Bagian 1 | Arsip Karya Arsitektur
.
Kritik Arsitektur adalah sebuah proses untuk mendudukkan jalinan antara realitas dan imaji ke dalam sebuah sudut pandang yang subjektif dan objektif, dan terkadang juga spekulatif dan juga imajinatif. Disitulah sebuah proses berpikir seorang manusia terkait proses arsitektural yang dimaknai terus menerus dan dipikirkan berulang – ulang sampai kepada titik kritikal. Proses perulangan tersebut berbasis pada arsip kami yang tersedia dan juga bisa jadi tanpa mengacu ke arsip internal.
Proses tersebut dinamakan kritik arsitektur yakni sebuah proses seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan sudut padang berbagai macam rupa tafsir. Mereka adalah appresiator atau kritikus arsitektur.
Ada dua bagian utama di halaman kritik karya arsitektur| Bare Minimalist ini, bagian pertama adalah arsip mengenai karya Bare Minimalist, bagian kedua adalah kritik arsitektur mengenai produk dan proses di dalam
Bare Minimalist. Di dalam bagian pertama yaitu bagian arsip terdapat 3 arsip dasar, yaitu :
.
Arsip pertama menceritakan video yang dibuat di dalam rentang waktu 10 tahun. Di dalam rentang waktu 10 tahun antara 2011 sampai 2021, ekosistem desain saya dan tim bertransformasi. Hal ini terkait dengan proses pengolahan konsep arsitektural yang terjadi di proyek, cara pandang multi disiplin, pertemuan dengan intelektual-engineer, praktisi, teoris, dan juga kolaborasi dengan para pengrajin. Proses perubahan inilah yang dicoba untuk diidentifikasi untuk diolah kembali, pada dasarnya pengolahan tersebut adalah proses penyadaran.
Arsip kedua adalah arsip mengenai deskripsi proyek yang saya tulis untuk keperluan press yang memudahkan pihak – pihak di luar ekosistem desain kami memahami Bare Minimalist secara umum. Di dalam bagian arsip ini, juga terdapat brief dari klien kami, Charles Wiriawan yang ditulis beliau di tahun 2011. Dimana proyek ini bagi dirinya adalah sebuah tantangan dan upaya untuk menjawab sebuah permasalahan dari rumah tinggal tropis yang memiliki teknologi dan juga nilai fungsionalitas untuk dipakai sehari – hari. Ia menamakan proyek ini di awal perencanaan sebagai Project Open House (rumah yang terbuka).
.
Arsip ketiga adalah tulisan saya mengenai refleksi proyek dan refleksi personal yang berkelindan dengan performa yang anatomis dan juga filosofis dan terkadang menunjukkan kegelisahan dan keinginan untuk lebih diskursif untuk belajar meningkatkan kualitas desain arsitektural.
Salah satu bagian terpenting adalah di bagian utama yang kedua di halaman dimana bagian ini terdiri dari bagian kritik arsitektur dimana para pembaca atau pengunjung di halaman ini perlu memahami posisi setiap pengkritik secara subjektif, pandangan ideologinya, perjalanan hidupnya, dan relasi kritikus tersebut dengan saya ataupun ekosistem kami di studio. Relasi tersebut menandakan bahwa meskipun arsitektur itu personal dan kolaboratif untuk mencapai titik ekspektasi tertentu, namun juga tidak bebas nilai. Inti dasar dari kritik arsitektur adalah proses membangun nilai – nilai secara kolaboratif.
Saya berterima kasih untuk rekan – rekan intelektual, apresiator, dan kritikus di bawah ini seperti xxx. Mereka merelakan buah pikirannya untuk bersama – sama masuk ke ranah pendadaran dan pengajaran kami untuk menjadi pamong yang merendahkan hatinya dan juga posisinya untuk bisa belajar bersama – sama. Saya berterima kasih juga terhadap pihak – pihak yang sudah bekerja sama secara kolaboratif, langsung atau tidak langsung untuk terbentuknya diskursus arsitektural, sebuah proses untuk mengenal batas.
Salam,
Realrich Sjarief
Bagian 2 | Program
Client’s Brief
Writing by Charles Wiriawan
Speaking of my imagination this is a list of requirements I have for my house:
.
.
• Bare-minimalist, functional architecture
• Design done in Google SketchUp
• Open source, all access to design, budget files as well as material specifications
• Built on an area of about 200 square meter, bigger is better off course • 3 m ceiling height
• Public area as cozy as a lounge, bedroom as comfortable as commercial hotel
• Green, nature friendly (Maximum natural air flow, natural lighting) • Inexpensive
• Fast, straightforward to build
• Safe from burglars
• Secure (fireproof, flood-proof, quake-proof, child-proof)
• Highly energy efficient, partly powered by (solartiogas) renewable energy source
.
.
• Low-maintenance
• Potable tap water system with equalized water pressure
• Efficient waste management
• Bathrooms with urinals and high efficiency faucet, toilet with washlet system
• Walk-in closets with boutique-style clothes racks (See IKEA Stolmen system for reference)
• Modern full LED lighting
• Full HD video, 5.1 audio entertainment system
Finding a reliable architect who understand the concept of “green building” in Jakarta is not easy, and finding a contractor who’s willing to work for such a small project is another delicate issue. The big guys are outrageously expensive and slow, the small ones are generally fast but incompetent. Can I have such a house in Jakarta? I think so, but it will require a team of forward-looking people who are willing to constantly challenge the status quo, in architecture and property business that is.
I’m going to do this, and I’m calling it Project Open House. Stay tuned.
Project Description
Situated in the increasingly crowded West Jakarta area, the 159 sqm house occupies a 196 sqm plot of land. Reflected by its name, Bare Minimalist. Size-wise it is inconspicuous, but its exposed concrete façade gives it a distinctive look. The architecture of Bare Minimalist blocked the heat by completely walling off the west side of the house while opening the rest to let air and light in. The house has no receiving area, no wall, and no living room.
In their stead is a spacious lounge. ” After the lounge, the kitchen also takes some importance its final layout is the result of a few adjustments based on the owner’s domestic habits. The only enclosed space in the first story is Client’s study, which doubles as a home theater. A simple foyer and a light well with generous footwear storage- guests are to take off and store theirs there before entering-precede the lounging area.
.
The second story houses private spaces. At the end of the corridor is a 5 x 6 sqm master bedroom equipped with en suite bathroom and a walk-in closet. An outdoor showering area is attached to the bathroom, while the door connecting its indoor and outdoor area is made of clear glass.
An additional bedroom, bathroom, and a multi-function room linked by a corridor leading to an open space beside the void leading o the stairwell and staircase, a pretty bow to knot the horizontal and vertical circulations together.
The project installed a drinkable water tap in this open space. While pure, safe to drink tap water is increasingly common in some countries, it is still a rare, exceptional facility in Indonesia, one that this project was determined to have in this home.
Credit
Clients : Charles Wiriawan + Irene Natalia
Lead Architect : Realrich Sjarief
Design Team : Anastasia Widyaningsih, Silvanus Prima, Bismo
General Contractor : Singgih Suryanto
Structural Design: Anwar Susanto
Hvac Design: John Budi
Project Management : Endang Syamsuddin
Photograph : Andhang Trihamdhani, Eric Dinardi
Finished Photos
In the Section 1 of the archive is about finished photos which were take by several photographer which is listed in caption. One is Eric Dinardi, and another one is by Andhang Trihamdhani.
Construction Photos
The section 2 is about the construction photos were the courtesy of RAW Architecture. There are few photos archived by Charles Wiriawan as well from his tumblr.
Drawings
The section 3 is consist The drawing that include plans, elevations, and sections, including 3d axonometric file to understand the spatial space of the house.
Bagian 3 | Bare Minimalism
Catatan Proses oleh Realrich Sjarief
Saya memisahkan tulisan ini menjadi 2 bagian atas dasar saran dari Jolanda Atmadja karena proses yang ada disekitar Charles dan rumahnya berbeda dengan apa yang saya refleksikan dengan melalui medium Suryamentaram sebagai media pendadaran jiwa saya. Bagian pertama adalah bagian cerita mengenai proyek dan relasi hubungan klien, proyek, dan metode desain. Bagian kedua adalah bagian refleksi pelajaran personal saya melalui cerita tentang makna, tanda – tanda, dan pertanyaan seperti “setelah ini mau kemana lagi ?”
Di dalam kedua bagian tersebut adalah batas antara refleksi proyek dan refleksi personal. Wajar apabila halaman ini membutuhkan waktu 10 tahun untuk bisa terajut, memang kerja – kerja refleksi arsitektural membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Bagian pertama : Refleksi Proyek
Rumah tinggal adalah satu tipologi dalam arsitektur yang bersifat subjektif, dan tidak dibatasi oleh standar-standar atau aturan-aturan baku layaknya bangunan publik. Pada proses perancangannya, terjadi pertemuan antara keinginan dan kebutuhan klien dengan ilmu, idealisme, dan ideal dari arsitek. Kecocokan yang terjalin antara arsitek dengan klien menjadi penting, dan pada akhirnya rumah tinggal adalah karya yang sangat personal, baik bagi klien sebagai penghuninya, maupun bagi arsitek yang memiliki kebebasan untuk bereksplorasi yang sangat berbeda dengan proses perancangan bangunan publik. Hasilnya, antara satu rumah tinggal dengan yang lain adalah unik dan sangat personal, dan memiliki tingkat kenyamanan yang relatif, namun juga paling optimal berdasarkan ekspektasi si penghuni.
.
Pada satu kesempatan, saya bertemu dengan Charles Wiriawan. Saat ditemui, Charles telah memiliki angan-angan akan rumah idamannya— rumah pertamanya, dalam susunan program kebutuhan ruang yang sangat jelas. Ia menginginkan rumah dengan arsitektur yang fungsional, energy-efficient, ramah lingkungan—dengan sirkulasi udara dan pencahayaan alami yang memadai, tidak mahal, pembangunannya cepat, aman dari pencuri dan bencana alam, aman bagi anak-anak, low maintenance, serta memiliki ekspresi sederhana. Kebutuhan ruang yang diinginkan cukup banyak padahal lahan yang dimiliki tidak seberapa luas. Ini adalah salah satu hal yang menjadi isu pembahasan, selain dari masalah-masalah lainnya. Dari tampak depan terlihat susunan material yang sederhana dan apa adanya, sebagai cerminan dari konsep bare (apa adanya) dan minimalis (optimal). Charles kemudian menyebut rumah ini Teknologi Open House.
.
Terletak di lahan 8 x 24 m, menghadap ke selatan. Dari depan tampak bangunan dari Bare Minimalist terlihat tidak selesai. Saya selalu bilang bangunannya memang seperti itu, banyak yang bertanya “ini kok kaya bangunan nggak jadi pak ?” Pada akhirnya suka tidak suka setiap bangunan ini merepresentasikan sebuah karakter kesederhanaan yang fungsional. Saya selalu menikmati berdiskusi dengan klien – klien kami, mendengarkan visi, mimpi dan celoteh – celoteh jenakanya termasuk Charles. Menariknya adalah, pada waktu saya pulang dari London praktik di Indonesia, inilah proyek yang membuat kami menerapkan penyelesaian yang mentah yang sungguh jauh dari gimmick apa yang dilihat orang lain ketika bekerja di Foster and Partners yang memiliki pendekatan “integrative approach”. Integrative approach berarti, mengintegrasikan teknologi bangunan terhadap pendekatan fundamental integrasi arsitektur, struktur, dan MEP. Bare minimalist adalah bentuk usaha intergrative approach untuk iklim tropis di Indonesia. Meski proyek ini sudah selesai, kami sedang mengevaluasi proyek ini dalam hal performa teknis kualitatif.
.
Penyelesaian yang fungsional dieksplorasi di proyek ini yakni : Grill horizontal sebagai brise soleil, pengaman sekaligus pemberi privasi. Pada waktu itu studio kami memang baru memiliki tata bahasa ketukangan besi dan beton, Bangunan di desain dengan menempel di sisi barat untuk memberikan insulasi di sisi yang panas, membuka fasad ke arah utara selatan dan timur (dengan balkon). Grid yang digunakan adalah 2.0 m x 4.5 dan 6.0 m dan kelipatannya yang mendefinisikan area toilet, area foyer, area kamar, dan area ruang keluarga.
.
Desain kanopi ditujukan untuk meneduhi orang untuk merespon iklim tropis. Satu demi satu kami menemukan hal – hal yang mendasar, menyederhanakan banyak hal yang sudah dipelajari sebelumnya. Rumah ini selesai di tahun 2013 namun banyak menyimpan kenangan akan sebuah transformasi. Transformasi di dalam arsitektur terkait dengan perjalanan untuk berubah yang penuh dengan kegagalan, kekeliruan, dan hal – hal yang menjadi batu sandungan, buah dari pembelajaran yang tanpa henti.
.
Dari total lebar lahan 8.0 m, dari tampak depan terdapat jalan setapak dengan ramp sebesar 2 m.Pintu depan terbuat dari besi hollow ukuran 3 x 6 cm diatur dalam jarak yang konstan, menyisakan celah-celah per 3 cm. sehingga udara dapat masuk setiap saat melalui celah-celahnya. Celah diantaranya membuat udara dapat mengalir sepanjang waktu, namun keamanan dan privasi rumah tetap terjaga.
.
Lobby terdiri dari ruangan sebesar 2.0 x 2.5 m dilengkapi dengan kursi beton berlapis kayu. Skala lobby yang tidak besar mengakibatkan ruang kerja bisa ditempatkan di sebelahnya sehingga ruang yang tercipta efisien di dalam lebar lahan 8 x 24 m. Melangkah masuk ke rumah, penghuni disambut oleh foyer 3 lantai berukuran 2×2 meter. yang menerus ke atas dan berujung pada celah kecil di roof garden lantai tiga memberikan “air stacking effect“. Dimana udara mengalir dari tekanan tinggi ke rendah. Udara panas akan naik ke atas yang, menyebabkan tekanan udara di bawah menjadi rendah, sehingga udara bertekanan tinggi akan turun ke bawah dan menyejukkan rumah. Di bawah foyer terdapat rak penyimpanan sepatu yang berhadapan dengan rak buku yang menutupi tangga ke lantai 1.
.
.
.
Vista ruangan dari arah foyer menghadap ke dua sisi, sisi pertama adalah ruang keluarga berukuran 30 m2 menghadap ke arah utara dan timur. Sedangkan sisi kedua menghadap ke arah tangga yang memiliki rak buku yang bisa dibuka-tutup. Sisi daerah selatan adalah tempat ruang kerja yang juga merupakan ruangan multi-fungsi. Sisi tangga dan ruang lobby memiliki lubang di celah – celah di antara besi hollow, tempat masuknya sirkulasi udara silang. Lantai dikonstruksi dari beton yang dipoles, dan dinding menggunakan panel beton fiber (GRC).
.
.
Ruangan keluarga yang berukuran 30 m2 ini adalah ruang fleksibel yang menghadap taman di sisi utara dan timur. Di sisi timur massa bangunan terdapat celah untuk jalur service yang merupakan akses ke daerah service, cuci dan kamar asisten rumah tangga. Di ruang keluarga ini dapur bersih merangkap sebagai dapur kotor. Langit – langit terbuat dari kayu pinus (Jing Jing) yang bisa dibuka tutup, pintu terbuat dari kayu.
.
Konsep ruang keluarga ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu membuka seluas mungkin pandangan ke sisi utara dan selatan untuk memudahkan cahaya dan udara masuk ke rumah (sirkulasi udara silang). Komposisi ruang yang efisien dan fungsional dielaborasikan ke dalam tata letak sofa, meja dan daerah dapur.Di sisi luar terdapat taman dengan resapan air hujan.
.
Tangga di Bare Minimalist terbuat dari beton. Struktur beton tangga tersebut memiliki lubang di antara plat beton. Karena celah tersebut cahaya bisa menerangi tangga yang menerus di tengah massa dari lantai dasar sampai ke lantai atap. Beton adalah material yang memiliki kualitas “permanence”. Dibutuhkan detail yang artikulatif untuk meringankan kesan tangga beton. Artikulasi detail tersebut bisa berasal dari cahaya alami yang masuk menerangi ruang tangga ataupun lampu (LED strips) tidak langsung yang di tanam di parket bambu.
.
Di tengah – tengah tangga tersebut diletakkan railing dari kabel besi. Jaraknya yang rapat memberikan keamanan sekaligus efek “ringan”. Dibalik ringan ada yang berat, dialog antara dua kesan ini seperti mempelajari filosofi harmoni. Bagaimana dua dunia yang berseberangan bisa berjalan beriring-iringan dengan kontemplasi.
.
Parket bambu diletakkan di atas beton memberikan kesan tangga yang hangat sebagai penanda naik ke tempat yang lebih privat. Di ujung tangga diletakkan hollow untuk sebagai keamanan sekaligus batas antar ruang dan dalam dimana sirkulasi udara silang terjadi. Seperti ibaratnya kehidupan tangga adalah fungsi sentral, di dalam kasus Bare Minimalist, konsep tangga ini menginspirasi proyek – proyek setelahnya sebagai sebuah pembelajaran yang kontemplatif. Di proyek setelah ini, tebal plat tangga akan semakin tipis, dan kabel baja diganti dengan pipa untuk memudahkan maintenance dan pemasangan.
.
Foyer berukuran 2 m x 2 m ini memiliki ketinggian 3 lantai dimana terhubung dengan pintu masuk, koridor dan tangga yang menuju roof garden. Di lantai dasar foyer ini adalah tempat yang merupakan ruang transisi antara pintu masuk dan ruang keluarga. Di lantai satu foyer ini adalah penghubung antara kamar anak, kamar bapak-ibu dan kamar mandi bersama. Di foyer ini juga tempat masuknya cahaya matahari dan keluarnya udara panas yang ada di dalam rumah. Konsep Bare Minimalist yang introvert memiliki atrium sebagai ide utama yang menyatukan fungsi – fungsi lainnya. Selayaknya filosofi rasa, gelap terang yang seimbang memicu perasaan tenang dan tentram di dalam sebuah rumah. Adanya beberapa elemen seperti cahaya, angin, ruang, material memberikan catatan – catatan di dalam arsitektur. Catatan – catatan itu bisa diibaratkan kualitas ketiga atau Kramadangsa, seperti yang digagas suryomentaram. Catatan itu berkelompok juga berjalan sendiri-sendiri. Ibaratnya jangkrik yang mati apabila berkelompok, maupun lebah yang mati apabila dipisahkan dari kawanannya. Intinya adalah persatuan, terciptanya rasa yang utuh, rahayu di dalam arsitektur.
Bare Minimalist adalah salah satu proyek pertama kami. Selain proyek ini ada proyek rumah putih, dan rumah selatan karena lokasinya di selatan Jakarta. Ketiganya mewakili proses pengerjaan yang sama yakni dinilai dari sebuah relasi kepercayaan antara klien dan arsitek. Kedua proyek, rumah putih dan rumah selatan adalah proyek memiliki nilai esensial sebagai rumah tropis. Bare Minimalist dimiliki oleh Charles memiliki nilai literal sekaligus esensial yang memang cara berpikirnya Charles itu unik dan pribadinya juga unik. Salah satu hal yang dielaborasi di proyek ini adalah integrasi MEP yang memberikan integrasi pipa air untuk instalasi air siap minum langsung dari keran. Charles meminta hal ini dilakukan dengan kerjasama ahli MEP.
.
Gambar Potongan di proyek Bare Minimalist contohnya memiliki informasi yang berguna untuk mengetahui logika perancangan arsitektur. Misalkan gagasannya adalah efisiensi, bisa didapatkan dari kombinasi antara tinggi pintu dengan jenis material yang digunakan, apabila menggunakan triplek maka modul yang dipakai adalah 2.4 m. Apabila menggunakan kaca mati maka sebaiknya modulnya menggunakan dimensi 2 x 3 m dengan perulangan kelipatannya. Hal ini digabungkan dengan perhitungan bentang kolom yang memiliki konsekuensi tebal balok (dengan perhitungan umum tinggi balok 1/12-1/15 bentang kolom)
.
Tentunya juga terdapat dimensi – dimensi material tertentu yang membutuhkan kejelian di dalam menentukan lebar, tinggi, panjang ruang. Dan, tentunya ukuran – ukuran rasio tersebut tidak definitif.
.
Di dalam gagasan mengenai efisiensi, tahap pertama adalah modularitas, bisa dilihat dimulai dari 1930 dengan Walter Gropius dengan konsep Baukasten, Le Corbusier dengan Le Modulor. Pengembangannya kemudian dilanjutkan lagi oleh Christopher Alexander di dalam Notes of Synthesis of Form, dan sampailah ke era perencanaan yang berbasis pada parameter yang terlihat dari praktik Zaha Hadid architect dan seterusnya.
.
Namun relevansi gagasan di atas apabila diterapkan di praksis di studio kami, tentunya memiliki konteks tersendiri. Jujurnya dengan memahami keterbatasan di dalam penguasaan teknologi desain. Maka cara pengerjaan (metodenya) pun berbeda.Gagasan efisiensi perlu ditambahkan aspek material yang tersedia dihubungkan teknologi membangun dan juga dengan keahlian tukang yang membangun. Elemen sosial, budaya dan ekonomi tentunya menjadi salah satu pilihan untuk merajut pendekatan yang humanis. Hal ini merajut kepada ketiga konsep dasar yakni tradisi, industri dan kombinasi. Apa ya arti ketiga konsep dasar ini ?
.
Gambar denah di dalam Bare Minimalist menunjukkan ukuran – ukuran misal penggunaan grid untuk menunjukkan di as 2 m sebelah barat adalah sisi profan dan as di 5 meter setelahnya adalah sisi sacred. Pemisahan tersebut dengan tegas menunjukkan dualisme antara servis dan publik. Dualisme tersebut juga muncul di dalam pengembangan tradisi, dimana terdapat proses aksi-reaksi yang saling mempengaruhi yang saling bertumbukan berdasarkan perubahan aspek sosial, budaya, ekonomi, dan hal – hal yang merupakan kesetempatan. Hal tersebut tertuang ke dalam konsep arsitektur tanpa nama, ada sebuah proses panjang yang menjadi ukuran umum.
.
Bagian kedua : Refleksi Personal
Setiap kali memasuki sebuah rumah perasaan hangat itu penting, seperti ada di rahim ibu. Skala yang intim, fungsional dirasakan sebelum masuk ke ruang tengah yang luas. Hal ini dirayakan dengan komposisi material yang sederhana ditambah pencahayaan tidak langsung yang ada di sisi dinding. Hal ini memberikan puisi dan perasaan yang menenangkan, membentuk interpretasi masuk ke semua ruangan yang nyaman, tanpa pretensi sekaligus perasaan seperti kok rasanya familiar ya seperti bertemu keluarga lama.
.
Perasaan – perasaan familiar dibangkitkan dari artikulasi detail yang lebih dalam dari detail yang asing (sebuah bentuk Intangible Metaphors) + detail yang fungsional. Ada beberapa refleksi dari proyek ini bahwa ruang – ruang antara sebagai jeda bisa digunakan sebagai sebuah ruang pengkondisian hawa, skala, sekaligus fungsional sebagai ruang penyimpanan, dan lalu lalang yang tidak membutuhkan ruangan besar.
.
Kehangatan, kejujuran, keterus-terangan, hal – hal tersebut ada di sekitar kita sebagai arsitek, klien, ataupun penikmat dan pemerhati seni dan arsitektur. Satu waktu, saya berdiskusi dengan kawan lama tentang melihat sebuah kualitas yang otentik itu apa sih ?
.
Kualitas yang otentik itu berkaitan dengan kekuatan proses yang paradoksial yang dalam menyentuh sanubari dan estetis di kulit. Lalu apa ? Kedalaman adalah mencoba menembus apa yang belum pernah dicoba sebelumnya, sebuah proses keberanian untuk berbicara dari hati ke hati. Hal ini lepas dari argumen yang konfrontatif, ataupun justifikasi yang berlebihan dengan niat menguasai dan menang sendiri di dalam mencari kebahagiaan.
.
Suryamentaram membahas ini di dalam Kawruh Bagja, ilmu bahagia, Disitu dibahas namanya filsafat rasa,yakni pendalaman terhadap 4 jenis ukuran, kesatu adalah garis, kedua berwujud dataran yang memiliki panjang dan lebar. Ketiga adalah adalah soal ruang.Ukuran ke 4 adalah soal rasa manusia.
.
“Jadi rasa enak itu hanya dapat diperoleh dengan jalan mengenakkan orang lain, lain daripada itu tak ada.”
.
Lalu kaitan ke ruang arsitektur apa ?
.
Tempat yang hangat dimana keluarga bisa menghabiskan waktu dengan nyaman, berkesan menimbulkan kenangan – kenangan yang membekas, tidak bosan – bosan. Ruang tersebut bisa dimulai dari konsep yang terintegrasi, bisa ngobrol, makan, masak, nonton , sebuah tempat yang tidak cuma baik difoto saja namun membekas menimbulkan puisi akan kesan – kesan. Seperti rasa ukuran ke 4, perlu diatur didalam sebuah keteraturan, itulah titik awal untuk mendidik hati, memisahkan mana yang perlu dan tidak perlu, suka dan tidak suka. Hal ini dimulai dengan proses dari arsitek untuk mendengarkan ukuran ke 4 dari kliennya dalam hal ini Charles dan Irene. Proses untuk membuka mata, telinga, mendengarkan suara hati adalah proses yang panjang, jadi mari yuk belajar.
.
Seberapa dalam kita harus berpikir dan seberapa dangkal kita harus menalar. Kedua hal ini adalah paradoks plintiran kata – kata (linguistik) yang memang berguna untuk meluluhlantakkan kesombongan apabila ketetapan muncul dan enggan untuk berubah ketika jaman meminta kita untuk berubah. Paradoks ini digagas di dalam konsep “Stochastic Thinker” seseorang yang peduli dengan esensi. Louis Kahn menanyakan hal ini “what does the building want to be ?” Konsep boleh saja puitis namun hasilnya perlu untuk bermakna dan erat akan substansi. Sebenarnya menyederhanakan segala sesuatu membuat hidup lebih mudah. Dengan niat yang baik dan cara yang baik rahayu akan muncul, fokus berkarya ! Konsep akan selalu ada di kepala kita, great minds are simple minds.
.
Burung – burung yang sama berkumpul di grup yang sama. Termasuk dengan arsitek yang dibentuk oleh kliennya, lingkungannya. Dari proyek ini saya berkenalan dengan Ferdi yang kemudian muncul karya istakagrha. Dari situ tim studio semakin komplit, mereka banyak yang menjadi peneliti, arsitek, pengajar. Karirnya menjanjikan, di balik semua hal yang saya tunjukkan ataupun saya sembunyikan ada sebuah niat untuk menyemangati anak – anak untuk menembus batas diri masing – masing dengan tidak mendikte untuk lepas dari bayang – bayang saya. Burung – burung di kumpulan yang sama terbang bersama, mereka bermigrasi dan bekerja – sama. Di dalam bekerja sama tersebut ada yang di depan ada yang di belakang, perlahan – lahan yang lelah digantikan oleh yang lain. Begitupun arsitektur yang salah satu gagasan besarnya adalah kerja bersama – sama.
.
Burung Elang lain lagi, ia berkelana sendirian dan berburu untuk menemukan cintanya dan menghidupi keluarganya. Gagasan besarnya adalah bekerja di jalan yang sepi.
.
Hidup ini terdiri dari kedua jalan tersebut, di satu sisi manusia perlu bekerja sama dan disisi lain perlu untuk menemukan diri sendiri.
.
.Tradisi itu di dalam perencanaan juga hadir di dalam proses aksi reaksi hubungan arsitek-klien yang menimbulkan tumbukan kepentingan – kepentingan yang saling mempengaruhi. Hal ini dibahas Suryomentaram ke dalam catatan – catatan yang menyelubungi sebuah wujud yang dinamakan Kramadangsa. Tradisi adalah sebuah sudut pandang yang melingkupi tindakan berteori, setidaknya mewakili satu kutub pemikiran. Di dalam proses Bare Minimalist hal ini hadir berupa latar belakang aksi – reaksi klien dan arsitek yang lahir dari keadaan yang rasional, prosedural, sekaligus kontemplatif. Hal ini ditandai dengan bentuk yang sederhana, platonis.
Kramadangsa adalah sebuah dorongan untuk menginterpretasikan diri diatas kondisi awal, proses di Bare Minimalist ini adalah sebuah awalan untuk mulai (dengan bahasa Ki Ageng Suryomentaram) jujur, jujur, dan jujur. Setelah hal tersebut dijalani maka muncullah kondisi ukuran kasampurnan, kondisi yang wajar apa adanya. Setiap proyek adalah baik apa adanya, tarikan garis yang membentuk 7 metode desain seperti kramadangsa yang masuk ke konteks, massa yang menghadap utara selatan dan timur, kulit yang berlubang – lubang, layout ruang yang fleksibel, sistem MEP , efisiensi energi dan air, dan eksplorasi kesederhanaan material. Di dalam kasus ini metode yang digunakan adalah pembentukan rumah teknologi (integrasi MEP) (house) tropis (open) , wajar jika Charles menyebut rumah ini Teknologi Open House.
.
Tampak ini sekaligus menegaskan tentang ke “aku”an, yang di dalam bahasa jawa berarti Ingsun. Aku yang semakin menggebu – gebu bisa jadi merefleksikan sebuah kedangkalan jiwa yang sedang tidak terkontrol. Menurut saya prinsip ke”aku”an ini adalah aksi reaksi antara aku di dalam kamu, apa yang enak untuk kamu itu enak untuk kamu. Jadi untuk melihat tampak perlu melihat kiri, kanan, atas, dan bawah. Aksi reaksi ini adalah sebuah bentuk pendalaman jiwa ini jarang dibahas di dalam masa yang serba cepat. Jiwa yang dipupuk sehat memberikan ketentraman untuk orang lain dan menghilangkan sikap ingin unggul, mau enak sendiri, tidak berempati.
.
Ketentraman muncul begitu ambisi ditanggalkan yang membentuk pemahaman akan proses yang wajar terjadi. Di dalam arsitektur hal ini bisa dikaitkan dengan pengolahan teknik yang sejalan dengan teknologi bangunan yang aktual ada di dalam proses pra produksi, Bare Minimalist mengolah integrasi desain yang bisa diolah di konteks yang baru. Dan memang benar, sebagian parameter yang ada di proyek ini, memberikan aksi reaksi terhadap proyek – proyek setelahnya seperti material, sistem MEP, kulit bangunan, layout ruang, ataupun sederhananya massa bangunan. Pertanyaannya setelah proyek ini selesai lalu apa lagi ?
Bagian 3 | Kritik Karya Arsitektur
Shoemaker – Karsten – Mangunwijaya, Regionalisme Kritis
oleh Johannes Adiyanto
Saya Johannes Adiyanto, seorang pengajar sekaligus pengamat perkembangan arsitektur. Terutama yang ada di Indonesia. Saat Mas Realrich berdiskusi tentang salah satu project pertamanya yaitu bare minimalist, saya langsung terpikir bahwa project ini sangat kental dengan prinsip-prinsip arsitektur tropis.
Pada awal masuknya arsitektur modern ke Indonesia yang dibawa oleh arsitek-arsitek Belanda, iklim tropis menjadi perhatian utama mereka, sebab menjadi pembeda utama dengan keadaan mereka di negara asalnya yang empat musim. Pendekatan perancangan, metode hingga desainnya perlu memperhatikan iklim tropis lembab khas Hindia Belanda.
Salah satu tokoh yang bisa kita pelajari bersama tentang pemahaman prinsip tropikalitas adalah Charles Prosper Wolff Schoemaker. Beliau adalah arsitek Belanda, yang menarik adalah kelahiran Banyu Biru, Semarang. Yang kemudian dikenal sebagai salah satu guru besarArsitektur di TH Bandung yang sekarang menjadi ITB. Beliau mengembangkan prinsip-prinsip perancangan arsitektur yang mencoba menggabungkan antara rasionalisme versi arsitektur Eropa dengan keadaan atau kondisi iklim yang ada di Hindia Belanda pada saat itu.
Schoemaker dalam pesan kepada para muridnya mengatakan untuk para mahasiswanya lebih mengutamakan desain yang fungsional, konstruksi yang rasional, dan pada bentuk-bentuk yang bersahaja. Pendekatan tersebut tentu didasarkan pada konteks iklim yang menjadi salah satu perhatian utamanya. Pada saat itu memang terjadi cukup banyak pertentangan dalam mencoba mengembangkan arsitektur yang lebih cocok di tanah Hindia Belanda. Tarik menarik antara yang mengembangkan arsitektur berbasis arsitektur lokal atau berdasar rasionalistik Eropa atau memadukan kedua pendekatan tersebut.
Pemahaman tentang prinsip-prinsip tropikalitas yang dikembangkan oleh Schoemaker ternyata bisa dikatakan membekas di dalam benak presiden pertamakita, Bapak Soekarno, yang pernah menjadi mahasiswanya, pernah juga bekerja di kantor Schoemaker. Pada perkembangan selanjutnya ketika Presiden Soekarno sudah menjadi Presiden dan mulai membangun negara ini, sekitar tahun 50-an kita mengenal salah satu arsitek kepercayaannya yaitu F. Silaban, Silaban pernah menyatakan dengan sangat jelas dan tegas bahwa sebenarnya kita tidak perlu meniru-niru atau meng-copy bentuk-bentuk yang ada dan tersebar di negara Indonesia, yaitu bangunan-bangunan tradisional namum pelajari-prinsip dasarnya. Prinsipdasarnya, menurut F. Silaban,adalah tropikalitas. Ada kesinambungan antara pemikiran Schoemaker yang dijembatani oleh Soekarno yang kemudian dikembangkan oleh Silaban dalam beberapa karyanya. Disisi lain, kita juga mengenal nama Mangunwijaya. Seorang pastur yang belajar berarsitektur lebih lanjut di Jerman. Dalam buku Fisika Bangunan, Mangunwijaya mencermati lebih mendalam lagi pengaruh-pengaruh alam, yaitu sinar matahari, hujan, kelembaban, angin, serta potensi gempa yang ada di Indonesia ini, yang itu menjadi kekhasan dan menjadi basis dasar proses perancangan.
.
.
Pengaruh alam sangat mempengaruhi kenyamanan fisik dari manusia atau pengguna bangunan. Sinar matahari yang terkadang tidak diperhatikan akan membuat penghuninya silau, menyebabkan rasa gerah di ruang dalamnya jika sinar mataharinya itu sangat terik masuk kedalam ruangan di dalam bangunan. Jika kondisi hujan tidak dipikirkan lebih lanjut, tidak dikelola air hujannya, maka kemungkinan terjadi ruangan yang sangat lembab akan muncul. Permasalahan-permasalahan yang diungkap baik Silaban maupun Mangunwijaya mendasari bahwa iklim tropis lembab yang terjadi di Indonesia itu merupakan elemen dasar dalam proses perancangan.
Hal inilah diterapkan oleh RealrichSjarief di salah satu project utamanya yaitu Bare Minimalist. Penempatan atau orientasi ruang yang membuka diri kearah utara, timur, dan selatan, dan menutup rapat di bagian barat merupakan respon terhadap aliran sinar matahari yang membawa juga panasnya. Agar supaya bangunan ini tidak lembab maka ada cross ventilation, sebuah prinsip-prinsip dasar yang sudah dikembangkan sejak masa lampau. Jika kita menoleh jauh kebelakang, nenek moyang kita juga sudah menerapkan hal-hal yang mendasar tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa prinsipd asar tropis itu bisa menjadi basis atau menjadi pijakan dasar dalam proses pengembangan, dalam proses perancangan arsitektur. Penyelesaian tata ruang yang tepat, orientasi bangunan, kemudian catatan terakhir Mangunwijaya tentang penggunaan material.
Di Bare Minimalist memang tidak menggunakan material yang bisa dikatakan material lokal seperti kayu, atau material organik, tapi menggunakan semen ekspos. Tapi permasalahannya bukan tidak menghormati potensi lokal, karena memang yang tersedia di sekitar dan kemampuan dari tukang dalammemahami material juga menjadi pertimbangan tersendiri di dalam prosesnya. Dari material semen ekspos ini, kita bisa mendapatkan sebuah estetika tersendiri. Dengan bidang datar, tanpa ornamen, tanpa difinisi dengan penuh ornamen, katakanlah. Polos, simple, tapifungsional. Tapi di sisi lain justru mendapatkan keindahan tersendiri karena sinar matahari yang masuk kedalam bangunan itu membawa cerita tersendiri, ada poetiknya di dinding-dinding yang bersih, yang di dinding-dinding yang sangat minimalis. Munculnya cerlang dan bayang di setiap dinding itu yang kemudian menjadi keindahan tersendiri. Mangunwijaya mengatakan, menyetir dari seorang filsuf Thomas Aquinas, bahwa keindahan adalah pancaran dari kebenaran. Kebenaran dalam pemahaman saya di kasus Bare Minimalist adalah kebenaran bahwa bangunan ini memahami benar lokasinya, memahami kebenaran prinsip-prinsip dasar yang sudah dikembangkan jauh-jauh hari di belakang bahkan saya rasa sebelum orang Eropa, dalam hal ini arsitek-arsitek Belanda mengembangkan, nenek moyang kita juga sudah memahami.
Arsitek Belanda mengembangkan prinsip-prinsip tropikalitas dan sekarang kita bisa memahami bahwa Bare Minimalist mengembangkan prinsip-prinsip tropikalitas yang mendassar tersebut. Menempatkan iklim sebagai titik pijakutama.
.
.
Dengan demikian, meskipun bentuknya, meskipun materialnya bisa dikatakan modern tapi modern di sini adalah bukan modern versi Eropa, bukan modern versi Belanda atau Amerika. Karena ada kekhasan, yaitu tropikalitas. Konsekuensi dari kebenaran dan memunculkan keindahan tersebut semakin lengkap ketika sipenghuninya, pemilik rumah ini, yaitu Pak Charles Wiryawan menyatakan bahwa dia bahagia dan ingin menghabiskan masa tuanya di rumah ini. Pernyataan tentang kebahagiaa nmelebihi kata kenyamanan. Di kasus ini, Bare Minimalist sudah berhasil menempatkan sebuah karya arsitektur sebagai sumber kebahagiaan atau tempat yang membahagiakan bagi si penghuninya. Itu buat saya luar biasa, pencapaian yang luar biasa di awal-awal perjalanan RAW Architecture. Di sisi lain, karena ini merupakan salah satu project pertama dari RAW Architecture, kemudian memberi titik pijak, memberi pondasi yang cukup kuat, tidak hanya karya arsitekturnya, tidak hanya hubungan dengan kliennya, antara principal architect dengan kliennya, tapi sudah mulai membangun ekosistem. Ekosistem adalah kolaborasi antara arsitek, klien, kontraktor, tukang, dan tim untuk menyelesaikan kasus Bare Minimalist ini. Kolaborasi yang cukup indah dan cukup cantik ini kemudian mendasari pada perjalanan selanjutnya.
RAW Architecture tidak hanya berhenti pada sekadar memahami prinsip-prinsip dasar perancangan dalam hal ini tropikalitas. Terus menggali dan terus menggali diperkembangan selanjutnya yang kemudian kita mengenal entitas OMAH yang merupakan bagian dari RAW Architecture. Ada komunitas tukang yang terus secara rajin dan terus menerus mengembangkan dirinya. Dasar-dasar setiap proses pembelajaran inilah yang menurut saya menarik untuk dicermati. Sebuah konsultan tidak berhenti pada satu titik dan berpuas diri karena sikliennya sudah Bahagia namun kemudian mencari terus kebahagiaan-kebahagiaan selanjutnya. Proses bahagianya adalah dengan proses belajar. Adanya OMAH Library merupakan motor dan sekaligus penggerak proses belajar tersebut. Tidak hanya RAW Architecture dan OMAH, tetapi juga komunitas tukangnya terus menerus menggali, mengeksplorasi kemampuan dirinya. Di sini buat saya merupakan perwujudan pemahaman keindahan Mangunwijaya dengan acuan Thomas Aquinas. Mencari kebenaran dalam sebuah proses pembelajaran dan terus menerus.Jadi keindahan arsitektur tidak hanya berhenti pada setelah arsitekturnya selesai tapi pada prosesnya. Arsitektur adalah sebuah proses mencari. Arsitektur adalah sebuah proses belajar yang terus menerus untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Dan menurut saya itu hakikat atau inti dari berarsitektur. Sebuah proses pencarian, sebuah proses pembelajaran untuk mencapai sebuah kebahagiaan.
Terimakasih.
Bare Minimalist, Bara yang Terperam: Dari Bima Bungkus, Star Wars, Koan, Pharmakon menuju Cinders oleh Anas Hidayat
Antara keberlanjutan dan teknologi, antara pikiran dan mimpi
Antara realitas dan fiksi, antara konsumsi atau produksi
Antara kecanggihan dan refleksi, Sang arsitek memilih tak lari
Bersama klien, mandor dan teknisi, menata tempat berdiri
Mematutkan posisi, dua-duanya: di sana sekaligus di sini
Rumah yang Diperam agar Matang (?)
Ketika mendengar dari Realrich Sjarief sendiri soal karyanya yang satu ini, Bare Minimalist, yang sebenarnya sudah selesai sejak 2011 tetapi dia tidak mau mem-publish sampai saat ini, di tahun 2021. Rasanya agak mengherankan. Bayangkan, ada rentang waktu sepuluh tahun. Jarak yang cukup lama, atau sangat lama, dan memberi sebuah tanda tanya: Mengapa? Mengapa?
Ada sedikit kecurigaan, bahwa ketika karya ini selesai terbangun dan menjadi bagian lingkungannya, klien sudah selesai dan menempatinya, para mandor dan tukang sudah selesai dan sudah meninggalkannya (untuk mengerjakan proyek lain lagi), ternyata arsiteknya – yang bernama Realrich Sjarief – belum selesai.
Ini seperti cerita kelahiran Bima, yang sering diceritakan dalam pewayangan dengan lakon: Bima Bungkus. Ketika Bima lahir, dia tidak seperti bayi seumumnya, dia lahir dalam keadaan “bungkus”, ada selaput tebal yang melingkupi tubuhnya, tak bisa ditembus senjata apapun. Meskipun “terjebak” di dalam bungkus, dia tetap tumbuh besar. Bahkan, sampai kelahiran adiknya (Arjuna), Bima masih di dalam bungkus itu. Ketika Arjuna menginjak remaja, dia yang ditugaskan untuk menjaga kakaknya yang masih dalam “bungkus” misterius itu, dibawa ke hutan. Akhirnya datanglah Gajah Sena yang berhasil menjebol bungkus itu dengan gadingnya dan muncullah Bima, dalam keadaan sudah dewasa.
Realrich belum selesai, setidaknya dalam konteks Bare Minimalist ini. Dalam konteks keseluruhan dirinya sebagai arsitek, mungkin tak akan pernah selesai sampai kapan pun. Di sini sepertinya dia belum selesai “merefleksikan” karyanya sendiri. Baginya, ini karya rumah tinggal yang – meskipun kecil – ada beberapa prinsip mendasar yang perlu dibagikan pada orang lain, tetapi dia sendiri masih berproses dengan prinsip-prinsip itu. Seperti Bima dalam bungkus, prinsip itu sepertinya masih diujinya di proyek-proyeknya yang lain.
Mungkin dia cukup berhati-hati juga, agar rumah itu berkembang dulu, “berinteraksi” dan “hidup” dengan lingkungan sekitarnya, terutama dengan kliennya (pemiliknya sekaligus penggunanya), agar lebih teruji. Rumah itu seperti diperamnya dalam “bungkus”, agar nanti pada saat yang tepat bisa dibongkar ceritanya secara lebih dalam dan lebih seru lagi.
Ada nada “keresahan” Realrich dalam melihat karyanya sendiri. Dia kadang agak “merendah” dengan mengatakan bahwa karya ini sebagai “Rumah Sehat”. Sementara di sisi lain, dia mengatakan bahwa rumah ini penekanannya pada teknologi. Kedua sisi ini memang bukan paradox (baca: berlawanan), tetapi memperlihatkan betapa gelisahnya dia. Seperti Bima di dalam “Bungkus”, dia sebetulnya tak betah di dalam (ingin secepatnya keluar), tetapi dia juga tak mau keluar terlalu cepat, karena mungkin masih ada hal-hal yang belum “selesai” tadi.
Tulisan ini bukan berposisi sebagai gading Gajah Sena yang ingin mendobrak “bungkus” itu dan memaksanya keluar, tetapi lebih sebagai “teman dialog” di dalam bungkus, agar nanti bisa keluar dengan tenang (atau justru malah makin tegang, hehehe). Kalau boleh berseloroh, karya ini layaknya bayang-bayang yang tiba-tiba bisa terwujud menjadi nyata, membuat arsiteknya berusaha mencari penjelasan yang masuk akal dan bisa diterima oleh orang lain.
Dalam karya Realrich yang lain yang punya dia sendiri, katakanlah seperti The Guild atau Piyandeling, dialah yang memiliki karyanya Di sini sedikit berbeda dan berbalik: karyanya itu yang memiliki dia. Dia bukan desainer/arsitek, dia menjadi produk dari desainnya itu sendiri. Itulah sebabnya, dia tidak bisa semau gue, dia harus sabar “menunggu” di dalam “bungkus” sampai semuanya dirasa “siap”.
Satu lagi, jika kita berbicara desain bisanya ada analisa tentang site, lalu kebutuhan klien, lingkungan dan lain-lain, arsitek sebagai konduktor. Di sini agak lebih rumit, arsitek berperan multirole, juga sebagai fasilitator, moderator dan juga provokator dari dialog-dialog antar-unsur (kadang silang-sengkarut) yang ternyata “belum selesai”. Dialog-dialog itu secara sadar diperamnya dalam “percakapan tanpa kata” selama sepuluh tahun.
Bare Minimalist dan Sindrom Star Wars
Berpijak dari masa awal RAW yang berusaha mencari potensi dirinya, yang kemudian bertemu dengan klien yang cukup visioner, Charles Wiriawan. Menjadi menarik di sini, yang terjadi adalah sindrom Star Wars. Meskipun secara umum Star Wars dianggap sebagai sebagai cerita science fiction yang menggambarkan dunia masa depan, namun di dalamnya ada unsur-unsur klasik yang sudah ada sejak lama, ada hubungan guru-murid, ada pertentangan baik-jahat seperti pada cerita-cerita dari masa lalu.
Bare Minimalist memang melompat jauh ke depan. Seperti yang Charles Wiriawan katakan ketika dia berbicara tentang sistem, alam dan rumah dalam sudut pandangannya. Dalam pemikiran klien, tersirat ada nuansa fiksi. Dalam arti, mungkin belum semua orang bisa menerapkan teknologi itu dalam desain rumahnya. Di Bare Minimalist ini, penerapan itu nyata, riil, tetapi ada jarak teknologi dengan rumah orang kebanyakan, termasuk tetangga-tetangganya.
.
.
.
.
Namun, ketika Realrich berbicara tentang keberlanjutan, dalam konteks material yang digunakan hingga pada bentuk atau tampilan rumahnya. Itu menjadi tarikan “ke belakang” yang mengimbangi visi ke depan, agar tidak terlalu “kebablasan”. Rumah ini terlihat sederhana tetapi bersuasana sublime. Material memancarkan karakternya secara lugas, apa adanya. Bahasa tangible dan intangible sama-sama keluar. Kerasnya beton dengan jujur menunjukkan sifat alamiahnya yang seperti “batu”, juga mengandung kesan tak mau menyerah, kukuh. Sekaligus menyiratkan watak dasarnya yang cair, mengalir, lentur.
Cahaya dimanfaatkan secara optimal sebagai Ana (Ada), yang membuat benda-benda menjadi mang-ana (meng-ada). Bukankah tanpa cahaya, kita tak bisa melihat adanya benda-benda? Lalu beton hadir sebagaimana ada-nya, tanpa dibuat-dibuat, sebuah “ketelanjangan material” yang purna, yang tak dapat disingkap lagi. Sebuah timbal-balik juga, di sini Realrich memunculkan ketelanjangan agar biaya pembangunan rumah ini bisa ditekan, mengingat Charles menginginkan teknologi yang “melompat” yang biayanya cukup mahal.
Ya, di antara dua tarikan itu: progresif dan reflektif, Bare Minimalist seperti cerita Star Wars, ada lompatan yang cukup jauh ke masa depan, tetapi ada kekuatan yang justru mengajak merenung ke kini. Sistemnya begitu “canggih”, sangat maju, melampaui jamannya. Sementara dalam konteks material, sangat jelas memperhatikan karakter dan juga perwujudannya, yang bisa memainkan dua jurus sekaligus: menghemat pembiayaan dan memanggil kedalaman sebuah refleksi.
Mungkin, gap depan-belakang itulah yang membuat Realrich terus berpikir, meskipun mungkin bukan hanya itu, tulisan ini hanya menerka saja apa yang menjadi perhitungannya. Desain lebih mirip alur kehidupan, pada akhirnya memang tak ada coba-coba, harus diputuskan untuk dilakukan atau tidak:
“Do or do not, there is no try” begitu kata master Yoda, dalam Star Wars
Klien-Arsitek: “Berpadu Sekaligus Beradu”
Klien pada awal proyek biasanya memiliki gambaran yang “kabur”, blurred image tentang (bakal) rumahnya sendiri. Lalu dalam dialog yang panjang dan intens, arsitek akan membantu untuk menjadikannya lebih nyata (jelas). Bagi arsitek, arsitektur adalah tindakan, aksi yang harus berpijak pada realitas. Asumsi-asumsi akan diuji dalam pengalaman nyata.
Pada proses desain Bare Minimalist ini, yang dominan adalah peristiwa perpaduan cakrawala antara klien-arsitek, meskipun di dalamnya ada sedikit peristiwa terpelesetnya dua cakrawala yang berbeda itu. Perpaduan tersebut mengingatkan pada koan, sebuah pertanyaan atau teka-teki a la Zen-Buddhism yang sebetulnya tak ada jawabannya, sebagai latihan untuk mempertajam gerak batin atau intuisi.
Charles Wiriawan seperti menanyakan sebuah koan: Bagaimana burung terbang mundur? Sebuah pertanyaan yang sangat menantang bagi arsitek. Burung yang terbang maju (ke depan) sudah biasa, tetapi bagaimana untuk terbang mundur? Logikanya, jika terbang maju bisa, mundur mestinya juga bisa.
Realrich berpikir keras, lalu dibalasnya koan dari klien tadi dengan pertanyaan juga, pertanyaan saloka-jati yang juga mirip koan: Di mana ujung sebuah lingkaran? Realrich tak membutuhkan jawaban Charles, hanya memberi “isyarat” bahwa semua harus dipikirkan secara timbal-balik. Ibarat mobil, Charles adalah gas, Realrich adalah rem-nya, kadang berposisi sebaliknya. Kolaborasi yang “saling menantang”, sekaligus sebuah pembuktian bahwa dalam desain selalu ada proses pergulatan “kompromi sekaligus kontradiksi”.
Charles pada awalnya bercerita tentang alam dan rumah dalam pandangannya. Bahwa pertama, rumah harus nyaman dulu, apa yang dibutuhkan ada di dalamnya. Dia ingin rumah ini green secara total, ada proses recycle, harus lepas sepatu, tak boleh merokok, listrik mandiri dengan LED dan lain-lain. Semua itu menurutnya lebih murah, lebih gampang. Meski jelas, harga di awal bisa sangat mahal.
Bagi Charles, air adalah elemen terpenting dalam rumah, “nonsense bilang green kalau masih memakai air galon.” Katanya tegas. Dia juga ingin hawa yang segar dan bersih, sehingga dia tak keberatan tinggal di rumah ini sampai nanti punya anak cucu. Dia ingin mendapatkan suasana dan kondisi “ideal” dari arsitektur berkelanjutan.
Realrich mewujudkan pernyataan klien dengan rumah yang merespon iklim tropis yang sangat efisien. Rumah dengan lebar 8 meter yang dibuka di sisi utara, timur dan selatan, sedangkan sisi barat ditutup untuk menghindari panas. Udaranya sejuk, dengan sirkulasi yang “lancar” dan tata ruang yang juga begitu efisien. Di sini banyak memakai beton, semen ekspos, material yang paling banyak di pasar. Realrich berupaya memakainya se-sedikit mungkin, se-estetis mungkin, se-cepat mungkin.
Pandangan Realrich dan Charles bertemu ketika mewujud dalam material rumah: Setiap sifat materi akan bagus jika tampil apa adanya, tak usah dandan dan memakai make-up. Orang bisa merasakan tekstur material, yang dikombinasikan secara puitik dengan cahaya dan bentuk. Realrich berhasil “mewujudkan” jiwa dan pikiran klien menjadi nyata, dengan menyingkap dan menampilkan hal baru seperti ini.
Ini yang disebutnya sebagai rumah sehat, agar klien merasa berbahagia. Kebahagiaan yang komprehensif, dari fisik sampai psikis. Meski ada sebuah pertanyaan lanjutan: konsep itu mungkin relatif mudah untuk diterapkan pada kondisi seorang Charles Wiriawan, tetapi bagaimana untuk orang lain?
Juga ada yang sedikit mengganjal, yakni soal solar panel, yang pernah disebut-sebut oleh arsiteknya. Charles pada awalnya menginginkan solar panel sebagai sumber energi, tetapi dengan pertimbangan tertentu kemudian rencana itu dibatalkan. Bagi Realrich, itu tak terlalu jadi masalah, karena dia malah sudah melakukannya (menggunakan solar panel) di proyek yang lain sesudah Bare Minimalist.
Mungkin satu kalimat koan di bawah ini bisa direnungkan:
“Bagaimana bunyi tepuk dengan satu tangan?”
.
.
.
.
Teknologi Masa Depan: Singkapan/Ancaman
Tentang sistem, sepak-terjang para engineer di rumah ini sungguh menakjubkan, di situlah mereka mendapatkan tantangan riil yang mungkin tak bisa didapatkan dari klien yang lain. Bagi mereka, ini “permainan” yang sangat asyik, karena jarang-jarang ada proyek yang memerlukan sentuhan eksperimental seperti di Bare Minimalist ini.
Singgih, sang kontraktor menjelaskan bahwa keinginan klien sama dengan keinginan Realrich, arsiteknya. Permintaan owner dibikin yang terbaik, ini pengalaman baru bagi dia. Termasuk ketika owner minta kayu, dengan anggaran minimalis yang dibuat dan dirakit bersama-sama. Secara umum banyak menggunakan material beton, lalu ada juga aluminium, banyak pula menggunakan grill hollow yang ditata vertikal.
Juga ada Teddy dari sistem water treatment. Menurutnya, masyarakat banyak minum air yang tak di-treatment dan itu sangat bahaya. Di rumah ini, air tanah dengan bantuan teknologi, bisa langsung diminum. Air bawah tanah dimasukkan tanki di atas, lalu di-treatment untuk menyaring unsur-unsur atau partikel yang berbahaya. Plumbing untuk cuci dan mandi sudah banyak dipakai di tempat lain. Lalu di sini ditambah dengan karbon sampai keramik agar airnya bisa minum, yang baru kali ini dia buat, tantangan yang menyenangkan baginya.
Kemudian John Budi dari sistem AC (Air Conditioner) yang menjelaskan bahwa penggunaan AC bisa sangat berbahaya jika udara hanya diputar-putar. Karena tidak ada udara luar yang masuk, kadar oksigen lama kelamaan berkurang. Bila kadar oksigen kurang 19,5 persen, terjadi oxygen deficiency. Jadi, harus memasukkan udara luar di dalam ruangan, juga panas buangan dipakai untuk menghasilkan air panas. Sistem AC di sini begitu canggih dan berkelanjutan.
Dalam posisi tersebut, penggunaan teknologi memang harus dilihat secara berimbang. Rumah ini sudah mencoba untuk memanfaatkan teknologi yang canggih untuk memenuhi konsep keberlanjutan untuk saat ini. Berikutnya yang perlu dipikirkan lagi adalah proses penyadaran bahwa manusia harus membuat konsep arsitektur berkelanjutan dalam konteks yang lebih membumi, bukan lagi sebuah fiksi.
Menyitir Guy Debord bahwa apapun, termasuk teknologi, saat ini menjadi tontonan alias spectacle. Masyarakat dunia adalah masyarakat tontonan, yang mereka tangkap adalah image-image yang berseliweran, yang menggoda dan merayu, yang silih-berganti menawarkan kemudahan-kemudahan dalam kehidupan. Di sisi yang lain, kita juga perlu untuk berpikir kembali secara lebih jernih: apakah teknologi itu benar-benar kita perlukan? Apakah ada alternatif lain yang lebih baik? Apakah yang hari ini mahal, di masa depan bisa dibuat lebih murah?
Kita tentu membutuhkan teknologi yang eksperimental, atau yang fenomenal sekalipun sebagai wujud kekuatan dan usaha manusia menguasai semesta. Namun teknologi itu mestinya juga punya kualitas relasional, yang bisa memperbaiki hubungan manusia dengan alam, hubungan baik manusia dengan manusia lain, serta hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhannya.
Ya, teknologi memang punya kualitas pharmakon, yang mendua: menjadi “obat” sekaligus “racun” bagi umat manusia.
Kita adalah tanda yang tak terbaca (Hoelderlin)
Refleksi
Bare Minimalist menjadi sebuah pemeraman, agar “matang” bersama antara karya dan arsiteknya. Bare Minimalist ini seperti seorang gadis yang sudah siap dipinang, tetapi si jejaka (baca: arsiteknya, hahaha) masih belum siap. Si gadis harus menunggu sampai 10 tahun, alangkah lamanya ya.
Mungkin bukan soal waktu. Kolaborasi untuk saling mengenal dan mendalami memang perlu proses, yang tak sebentar. Bukan hanya antara Realrich dan Charles, tetapi juga antara Bare Minimalist dan Realrich sendiri, arsitek dan karyanya, yang kadang hubungannya mengalami pasang-surut, ada mesra dan konflik, ada yang terjawab dan ada yang masih tertunda, ada yang “tertangkap baik” dan ada yang “lepas”, yang semuanya bermuara pada satu kata: cinta!
Ya, bara cinta! Karya ini adalah sebagai cinders bagi Realrich, abu-api yang masih setia menyimpan panas, meskipun sudah diperam selama sepuluh tahun. Karya dia yang lain adalah trace atau jejak, yang steril, tetapi cinders sungguh berbeda, dia masih menyimpan panas, dia masih punya potensi untuk bisa membakar! Cinders ini adalah konsep lanjutan dari Derrida (filsuf Dekonstruksi dari Perancis), yang dia buat sebagai penyempurnaan dari konsep trace (jejak).
Keluarlah dari “bungkus”, wahai Bare Minimalist, juga Realrich, dan semuanya! Di dalam “bungkus” terlihat sekilas ada Realrich dan bayangannya, namun ketika bungkus terbuka, hanya Realrich yang keluar. Di mana bayangannya yang tadi ? Dia lenyap dengan mengucapkan pesan: “Dalam setiap proyek, selalu ada bagian yang tak bisa tersingkap, tapi bukan itu intinya. Yang penting adalah menjaga semangat, menjaga bara dalam dada masing-masing. Bara yang bisa memantik api, tak harus bisa menerangi dunia, tetapi paling tidak: menerangi hati nurani kita sendiri!
Api adalah lambang kehidupan
Itulah sebabnya ia tak bisa menjadi fosil
(Sapardi Djoko Damono)
Pustaka
Derrida, Jacques (1991) Cinders (translated and edited by Ned Lukacher), University of Nebraska Press, Lincoln & London
Eberl, Jason T. and Decker, Kevin S. (eds.) (2016) The Ultimate Star Wars and Philosophy, John Wiley & Sons, Chichester UK
Roshi, Ross Bolleter (2018) The Crow Flies Backward and Other New Zen Koans, Wisdom Publications, Somerville USA
Debord, Guy (1992) The Society of The Spectacle (translated and annotated by Ken Knabb), Bureau of Public Secrets, Berkeley
Wong, Pak-Hang & Wang, Tom Xiaowei (eds.)(2021), Harmonious Technology, A Confucian Ethics of Technology, Routledge, London & New York
Waktu yang “Diam Membisu” dan Lubang Hitam serta Jaringan-Aktor yang Menyedot Mesin Hasrat oleh Anas Hidayat
Petualangan Wastumiruda…
Hari itu, Wastumiruda datang ke Guha. Guha ini sebetulnya bukan sekedar rumah, perpustakaan ataupun studio, lebih tepat jika disebut sebuah “sarang” atau padepokan. Ya, padepokan hibrida, dikenal juga sebagai The Guild di mana building dan spirit membaur dengan cara yang tak biasa. Oleh karena itulah, di situ Wastumiruda tidak menemui sebuah bangunan yang jelas. Sebenarnya dari jauh dia sudah agak curiga karena yang dilihatnya samar-samar adalah sebuah bulatan hitam besar yang berputar, warnanya sangat gelap, benar-benar hitam.
Dia jadi teringat kata-kata Stephen Hawking tentang Lubang Hitam atau Black Hole. Bahwa lubang hitam adalah fase terahir dari “kehidupan” sebuah bintang, yang memiliki tingkat kepadatan luar biasa, lebih dari yang dibayangkan siapapun. Wastumiruda termangu, dalam hati berkata: masuk atau tidakkah ke dalam lubang hitam itu?
Dialog-dialog dalam Lubang Hitam
Hawking mengutip paparan John Michell, bahwa Lubang Hitam adalah sebuah bintang yang memiliki kekuatan gravitasi yang sangat tinggi, sehingga cahaya yang dipancarkan ditarik kembali ke dalam (Hawking, 1996). Dengan demikian, tidak ada peristiwa di dalamnya yang bisa dilihat dari luar. Jika ingin tahu apa yang terjadi, orang harus terjun/masuk ke dalamnya, dan itu sungguh sangat berbahaya.
Apa yang terjadi dalam lubang hitam itu?
Memang sangat berbahaya, jika orang masuk ke dalamnya, bisa tersedot selama-lamanya dan tak pernah bisa keluar, bahkan tubuhnya akan terpotong-potong karena gravitasinya yang sangat kuat. Wastumiruda mencoba sedikit melongok ke dalam “lubang hitam” yang sangat mencekam itu. Dia agak ragu-ragu memasukinya, sepertinya lebih baik menjaga jarak aman.
Di dalam Lubang Hitam, semua peristiwa terjadi dalam dirinya sendiri. Tidak mungkin diketahui orang luar, karena tidak mungkin ada sesuatu yang bisa keluar. Cahaya saja tidak bisa keluar darinya, itulah sebabnya orang hanya bisa melihatnya sebagai hitam, bulatan hitam, lubang hitam!
Bare Minimalist adalah salah satu turunan lubang hitam yang dihasilkan oleh Lubang Hitam Besar The Guild/Guha, yang di dalamnya ada RAW Architecture, DOT Workshop dan Omah Library serta Realrich sendiri, yang semuanya saling terhubung, ada hubungan-hubungan soal teknis, diskursif, tentang ide sampai hubungan psikologis. Meski terlihat biasa, di dalamnya tersimpan rahasia. Hubungan antara arsitek dan klien, antara arsitek dan partner-partner kerjanya, juga hubungan antara arsitek dan orang-orang yang membantunya.
Dalam lubang hitam, hubungan-hubungan itu menjelma menjadi roda-roda gigi yang saling bergesek dan saling menggerakkan. Bayangkan, Realrich harus menjadi titik temu dengan banyak peran dari banyak roda-roda gigi yang beredar. Kadang dia berperan sebagai provokator, kadang sebagai reflektor, kadang sebagai negosiator yang mendamaikan yang lagi berantem, bahkan juga sebagai peredam gejolak ketika ada yang iri-irian soal gaji/apresiasi.
Roda-roda gigi dan komponen-komponennya adalah ego-ego yang memiliki potensi sekaligus kelemahannya sendiri, sehingga perlu di-manage dengan baik, tahu kapan harus keras dan kapan harus lunak. Mengurusi mulai dari gaji sampai soal mau beli septic tank, mulai dari hal-hal teknis sampai ke masalah yang bersifat pribadi. Belum lagi urusan dengan klien, juga dengan para tukang di lapangan yang kadang bisa out of control.
Jadi, rahasia pertama yang ingin diungkap di buku ini yang utama adalah Bare Minimalist itu sendiri, karya RAW Architecture yang belum pernah dimunculkan sejak selesai pada sepuluh tahun lalu. Lalu, di dari situ akan menyingkap hal-hal lain, seperti hubungan arsitek dengan klien, hubungan Realrich dengan arsitek-arsitek muda di dalam studio RAW Architecture, hubungan Realrich dengan pelaksana dan lain-lain, termasuk rahasia yang tertuang dalam tulisan-tulisan di dalam buku ini. Apakah lalu akan terbuka semaunya? Jelas tidak, tetap ada bagian yang menjadi misteri, awal terbentuknya lubang hitam yang baru, yang mungkin lebih “hitam” lagi.
Dari situlah, Wastumiruda melihat bahwa Realrich tak ingin Bare Minimalist menjadi “barang industrial”, begitu jadi langsung diluncurkan dan menjadi star (bintang) yang bersinar benderang memukau. Dia justru melihat proses meluncurkan karya seperti sebuah “kelahiran”. Tak sekedar muncul begitu saja, justru ada banyak hal yang harus dipikirkan, yang paling krusial mungkin rasa tanggungjawabnya dalam mengawal proses, rasanya bukan hanya sebagai arsitek, lebih sebagai seorang manusia.
Karyanya menjadi differance, yang niscaya tertunda, selalu “dicoretnya” sendiri!
Dia berbicara dalam berbagai ranah, seperti hentakan-hentakan tak beraturan, dari wacana ke praktik, dari teori sampai harga semen per-zak, dari membicarakan semesta yang superbesar, tiba-tiba berbalik membicarakan atom yang sangat kecil. Dari metode desain ke kebiasaan tukang-tukang. Dari hal-hal abstrak ke karakter dan pribadi klien, bahkan juga urusan remeh-temeh dengan pekerja lapangannya. Ya, seperti naik pesawat dengan tekanan gravitasi 5G, bisa bikin muntah darah!
.
.
.
.
Berguru pada Latour: ANT – Actor-Network Theory
Antara Manusia dan Non-manusia (yang ditata oleh Manusia)…
Di dalam lubang hitam itu, Wastumiruda secara samar melihat adanya banyak aktor yang ikut terlibat dalam project Bare Minimalist ini. Itu membuat Wastumiruda teringat pada rumusan dari Latour. Ya, Bruno Latour, seorang sosiologis yang mencetuskan Teori Jaringan Aktor atau Actor-Network-Theory.
Jaringan-aktor bukan sebuah bentuk (seperti bayangan/abstraksi bentuk yang mau kita gambar, misalnya), dia lebih mirip seperti kata “pensil” atau “penghapus”, yang nyata, yang bisa langsung digunakan. Maksudnya, jaringan-aktor bisa memberikan efek atau akibat tertentu pula yang nyata. (Latour, 2005)
Latour menggugat sistem yang terlalu berfokus pada individu, karena pada dasarnya semua hal ditemukan dan dikembangkan lewat jaringan. Lebih jauh lagi, bukan hanya jaringan manusia, tetapi juga jaringan antara manusia dan non-manusia.
Teknologi (atau dalam kasus ini: arsitektur, karya arsitektur) bukanlah soal artefak/bangunan saja dan penggunaan/kegunaannya, tetapi ada negosiasi terus-menerus antara keduanya, serta melibatkan berbagai aktor (yang bukan aktor tunggal), baik itu aktor manusia maupun yang non-manusia. Jaringan antar aktor ini lebih rumit, bisa jadi jauh lebih rumit dibanding karya yang dibuat.
Maka, di sini studio RAW Architecture adalah juga aktor, yang terpisah dari Realrich sendiri. Juga laboratorium tektonik DOT Workshop, serta perpustakaan-plus yang disebut “Omah library”, buku-buku, alat-alat dan semua hal yang terlibat, baik manusia atau non-manusia, membentuk jaringan aktor. Mungkin Realrich agak gusar dengan istilah “non-manusia” ini, karena menurutnya semua juga dikendalikan oleh manusia. Keduanya (manusia dan non-manusia) di sini bisa saling menggerakkan, saling mempengaruhi, saling mendukung.
Dalam kaitannya dengan aktor, arsitektur memang sebuah panggung. Banyak yang bernafsu untuk naik ke atasnya dan ditonton banyak orang, layaknya pemain drama atau opera. Realrich mungkin tak terlalu peduli dengan panggung itu, baginya yang lebih penting adalah membereskan banyak “pekerjaan rumah” di belakang panggung, hubungan dengan klien, dengan anak-buahnya di desain, juga di pelaksanaan, itu yang baginya mesti dibereskan lebih dulu, dan panggung hanya sebuah “perayaan” yang mungkin penting sekaligus tak penting.
Oleh sebab itulah, aksi-aksi para aktor masih tersembunyi di belakang panggung, inilah “lubang hitam” di belakang panggung para aktor. Mereka sebetulnya sudah beraksi, tetapi masih dilingkupi oleh tirai hitam, yang menunggu 10 tahun untuk disingkap!
Menyedot Mesin Hasrat
Pada akhirnya, Wastumiruda bertemu dengan dua orang sahabat bernama Deleuze dan Guattari yang terlihat sangat sibuk. Keduanya sedang mengutak-atik sebuah mesin, yang sebetulnya agak janggal juga untuk disebut sebagai “mesin”.
Wastumiruda bertanya: Apa ini?
Keduanya menjawab: Ini mesin hasrat! Desiring Machine! Woww…
Mesin hasrat, adalah konsep yang dicetuskan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari, bagaimana hasrat (bukan “kehendak” sebagaimana konsep Schopenhauer atau Nietzsche) yang menjadi unsur paling dominan dalam hidup manusia.
Hasrat diciptakan, sehingga manusia berhasrat pada sesuatu yang diimpikannya
Manusia digoda, dibujuk, dirayu, bahkan dimanipulasi dengan hasrat-hasrat
Kapitalisme adalah mesin hasrat, di mana tatanan produksi sekaligus juga bersifat sosial. Masyarakat disedot ke dalam mesin hasrat, di mana hasrat-hasrat diciptakan, dipasarkan dan sekaligus diberi pemuasnya, begitulah mekanisme-nya. Misal, hasrat akan kecantikan, akan citra/image, akan kepemilikan, akan kemudahan, akan kehebatan, terlepas dari kode atau norma.
Kemudian Realrich masuk ke mesin hasrat itu, dan celakanya, dia malah membikin mesin itu macet selama sepuluh tahun.
Mengapa bisa begitu? Di sini Realrich tidak tersedot, justru dia dan orang-orang di padepokan The Guild/Guha menjelma jadi lubang hitam dan mampu menyedot Mesin Hasrat itu, sehingga menjadi macet, diam membisu. Hahaha, gebleg! Mestinya karyanya bisa “dijual” sebagai bukti nyata atas kemampuan desainnya, ini malah “diperam”-nya sehingga tak terdeteksi, dan sekarang ini baru dimunculkan, setelah hal-hal lain (yang tak kalah penting) juga dibereskan.
Karya yang dipublikasikan, bisa disebut sebagai sebuah “perayaan” setelah bekerja keras. Tetapi Rich rasanya tidak semudah itu untuk melakukan perayaan. Justru disimpannya rapat-rapat, karena kerja keras itu bukan entitas tunggal, tetapi berkaitan dengan banyak tanggung jawab yang lain selain tanggung jawab desain, ada tanggung jawab diskursif, ada tanggung jawab sosial, ada tanggung jawab humanis dan lain-lain.
Anas, yang Mengamati dan Menulis
Lalu Wastumiruda menanggapi Anas Hidayat menulis tentang Bare Minimalist ini. Menurutnya, Anas menulis dengan cara yang agak absurd, masuk dan sekaligus juga tak masuk ke Lubang Hitam, mungkin merasa ragu-ragu. Separuh tubuhnya masuk ke lubang hitam, sementara separuhnya lagi di luar.
.
.
.
.
Wastumiruda melihat bahwa Anas adalah penulis yang sebenarnya sangat peragu, tetapi di sisi lain dia juga nekad. Dia tak ingin berkonflik (meski ini kadang justru memicu konflik), tetapi konflik dalam skala yang kecil mungkin lebih membuatnya sedikit “berani”. Berani untuk “berayun” dari dan ke ranah yang berbeda-beda, yang lebih menantang.
Bagi Wastumiruda, Anas bergerak dari sontoloyo, ke post-sontoloyo. Topik bahasannya tidak makin mengerucut, namun makin membuncah dan ambyar ke mana-mana, kadang tak bisa ditebak. Merebak ke sana-kemari, merangsek masuk ke bilik-bilik sunyi yang sebelumnya tak pernah dijamahnya.
Menulis adalah panggung wayangnya, ada pakem (baca: bakuan), namun tetap ada kemungkinan untuk menabraknya. Agaknya (ini juga jadi kelemahannya), dia lebih fokus ke soal “tabrak” itu, padahal dia juga belum memahami sepenuhnya tentang bagaimana yang pakem itu.
Wastumiruda menjadi semacam alter-egonya, agar dia bisa bergerak lebih fleksibel, termasuk untuk mengkritik dan menertawakan dirinya sendiri.
Menulis, Melantur sampai Latour
Dialog antara Realrich dan Anas Hidayat di sini adalah dialog di belakang panggung, dialognya tak cuma tentang cerita yang sudah pernah dimainkan, juga dialog untuk melihat apa saja yang sudah terjadi “di belakang dan di atas” panggung.
Ini memang panggung yang mendebarkan dan berbahaya. Yang berakting gila bisa menjadi gila beneran. Salah omong bisa dianggap sebagai “kebenaran”. Iseng bisa terjadi sungguh, tapi salah langkah sedikit bisa membuat kacau semua. Bahkan, di sini sutradaranya bisa merangkap menjadi kameraman, atau jadi tukang bikin teh. Benar-benar semprul rumitnya!
Betapa kompleks-nya dialog di sini, ada banyak aktor, ini malah ada aktor yang non-aktor. Ada non-aktor yang pura-pura jadi aktor, bahkan ada aktor yang tak mau disebut aktor. Gimana sih.. Jancuk poolll…
Saling Bercermin
Dalam proses itu, keduanya (Realrich dan Anas) lebih dari sekedar berdialog, lebih tepatnya membentuk sebuah pusaran, di mana bisa saling bertukar pandangan, saling bercermin, kadang cerminnya sangat bening, kadang juga sedikit buram, sangat buram, dan kadang gelap total!
Dalam pusaran itu, keduanya tak ingin saling menghakimi, justru saling memetakan, saling membuka diri, saling menertawakan. Di dalamya sekaligus saling menyingkap, membuka selubung-selubung yang menutupi fakta-fakta, hingga fakta-fakta itu transparan dan telanjang, bisa dilihat oleh orang lain.
Lubang Hitam telah tersingkap…
Makin lama makin terbuka dan makin berani, bahkan dalam mem-preteli esensi dan hakekat diri sendiri, menjadi tubuh tanpa organ.
Akhiran
Di sini, proses berarsitektur di Bare Minimalist (juga keseluruhan karya RAW Architecture secara pars pro toto) bisa dilihat lebih luas dari sudut pandang saintifik-sosiologis-filosofis (Hawking-Latour-DeleuzeGuattari), tak hanya sebagai proses desain saja. Dari lubang hitam yang berisi roda-roda gigi yang bekerja, lalu ke jaringan kerja dan hubungan antar pelakunya (aktornya), sampai bagaimana bisa “menundukkan” mesin hasrat (lebih tepatnya: mengurangi dominasinya).
Jangan terlalu terpukau oleh hasrat-hasrat yang ditawarkan mesin hasrat
Mungkin itu hanya ilusi atau fatamorgana yang pura-pura nyata
Carilah dan ungkaplah hasrat dari nuranimu yang terdalam
Itulah hasrat otentik, bukan hasrat karena rayuan dari luar
Apakah akhirnya Realrich dan RAW Architecture tunduk kepada hasrat ? Atau justru menundukkannya? Bisa dua-duanya yang terjadi. Jaman sekarang ini adalah jaman yang tidak mungkin lepas dari Das Sein maharaksasa yang bernama kapitalisme global, maka rasanya siapapun tak bisa “hidup” atau berkarya hanya dengan berbekal “idealisme” tanpa melirik “isi dompet”.
Menurut Realrich, ada beberapa hal penting di sini: “uang” uang bukan hanya dilihat sebagai sumber finansial, tetapi sebagai resources material, lalu jaringan sebagai resources non material, juga nilai, attitude dan expertise (wawasan, ketrampilam )”, semuanya berkelindan dan saling terkait. Jadi, dalam keringat dan waktu pun tercium bau-bau semen, bau-bau besi, juga bau-bau dompet. Hahaha..
Mesin hasrat dan lubang hitam saling menyedot
Lama-lama mencari keseimbangan, jadilah sebuah Mesin Keseimbangan
Keseimbangan antara idealisme, nilai, jaringan, expertise dan uang
Pusaran abadi dalam epos besar bernama: arsitektur!
Pustaka
Hawking, Stephen (1996) A Brief History of Time, Bantam Books, New York
Latour, Bruno (2005) Reassembling The Social; An Introduction to Actor-Network-Theory, Oxford University Press, New York
Deleuze, Gilles dan Guattari, Felix(1983) Anti Oedipus, Capitalism and Schizophrenia, University of Minnesota Press, Minneapolis
Decoding Bare Minimalist :
Relasi Alam, Budaya dan Eksperimentasi Teknologi dalam Rumah Urban
oleh Jolanda Atmadjaja
Rumah adalah oase bagi penghuninya. Kembali ke rumah adalah kembali pada diri sejatinya. Secara umum harapan ini mungkin tidak selalu tercapai di tengah dinamika konflik yang melatarbelakanginya. Walaupun demikian – proses dialog yg terjadi dalam relasi antara penghuni dengan wadah bernaungnya sejak saat awal berhuni hingga berproses dalam arena problematika
keseharian – merupakan narasi yang mampu menjadi bahan refleksi terus menerus. Mengkaji karya desain rumah tinggal adalah hal menarik bagi saya. Keragaman visi penghuni umumnya tercermin pada bentuk arsitektural, tektonika, ruang-ruang yang mewadahi beragam aktivitas , komposisi
visual dan detail-detail khususnya.
Saat pertama kali membaca dan menyimak liputan tentang Bare Minimalist – proyek pertama Realrich dan RAW ini – spontan yang ada di benak saya adalah dinamika dialog antara subyek arsitek, owner, tim pelaksana dengan alam dan teknologi . Bagaimana alam berbicara dan dimaknai
melalui beragam caranya yang tidak terbatas waktu, ruang dan pencapaian manusia di tiap tahap perkembangan jaman. Suatu pendekatan yang berpotensi dielaborasi secara holistik dan cair. Pendekatan desain integratif yang awalnya rasional dan penuh perhitungan melalui sains dan teknologi bangunan menjadi berpeluang untuk berproses lebih intuitif dan menyentuh dimensi interiority – bagi penghuni dan Rich secara pribadi sebagai arsiteknya – sebagai media refleksi dan terapi diri.
Rentang waktu 10 tahun untuk mempublikasikan proyek pertama ini dalam bentuk buku menunjukkan bahwa karya arsitektur adalah salah satu medium pembelajaran dan refleksi yang berkelanjutan, selain sebagai obyek yang memenuhi kebutuhan fungsional, estetik ataupun hasrat
atas nama kepentingan tertentu. Proyek rumah tinggal menjadi kasus nyata dialetika tanpa henti antara manusia , arsitektur , konteks jaman dan semesta. Sebentuk meditasi – proses pencarian hakekat kehidupan di tengah arena kehidupan urban yang sarat krisis lingkungan alam, sosial
ekonomi, keterbatasan lahan, beragam kompetisi dan dominasi serta kekurangnyamanan lainnya.
Sepuluh tahun paska Bare Minimalist selesai dibangun – bisa jadi merupakan waktu yang lebih tepat untuk memperbincangkan beragam dialektika yang terjadi – tepat di saat pandemi masih berlangsung. Di masa pandemi ini – mereview kembali sejauh mana, sedalam apa arsitektur menjadi adaptif dengan beragam ketidakpastian situasi secara sosial ekonomi , kebijakan politis di bidang keamanan, kesehatan, aspek kehidupan lainnya – menjadi dibutuhkan. Proses decoding – memaknai kembali, mencari dasar apa yang diprioritaskan untuk elaborasi ber-arsitektur ke depan. Menyikapi dominasi perkembangan teknologi kekinian secara terkontrol dan berada dalam negotiable position. Di masa ini alam dan keseimbangan ekosistem dimaknai juga dalam kacamata
penerapan sains dan teknologi secara umum, maupun yang diterapkan dalam bangunan.
Orientasi pada Efisiensi dan Pendekatan Integrasi dalam Arsitektur
Sejauh ini tradisi membangun hunian mengajarkan kita tentang hal mendasar dalam ber-arsitektur – antara lain adalah kemampuan sensing, feeling, thinking manusia dalam merespon kondisi iklim,
tapak dan konteks ekosistem yang melingkupinya. Dari pemahaman ini metode dan teknik membangun dielaborasi. Beragam material dari alam sekitar diolah dan dipelajari. Tradisi ini menjadi bagian dari budaya hidup keseharian. Merupakan pendekatan multi-dimensi , paduan intuitif dan logis dalam membangun.
Efisiensi dan Integrasi menjadi kata kunci. Orientasi dan pendekatan kedua hal ini merupakan metode dasar yang merujuk pada kejujuran, kewajaran, keterbukaan dan keterhubungan dalam sistem yang utuh dan keberlanjutan.
Dalam konteks Bare Minimalist orientasi efisiensi dan pendekatan integrasi sebagai respon terhadap iklim, kondisi tapak dengan lahan terbatas dalam perumahan dan ekosistem yang ada dalam konteks dinamika urban – diupayakan melalui
- desain yang mengutamakan fungsi, sederhana, efisien dalam pemilihan, pemanfaatan material dan system konstruksi, perhitungan RAB yang ketat merupakan cerminan efisiensi yang terus diupayakan agar segala sesuatu terkelola sesuai dengan kemampuan yang ada
dan telah terbentuk - pendekatan desain integratif – penerapan sains dan teknologi bangunan sebagai
pendekatan fundamental integrasi arsitektur, struktur dan MEP – juga menjadi bentuk usaha integrative approach untuk iklim tropis di Indoesia, di mana arsitektur tropis terbentuk saat kenyamanan thermal terpenuhi – pada Bare Minimalist pencahayaan alami , cross
ventilation diupayakan optimal untuk menghemat energi yang diperoleh dari sistem pencahayaan dan penghawaan buatan - foyer 2 m x 2 m setinggi 3 lantar – yang menghubungkan lantai dasar ke roof garden adalah bentuk negosiasi, upaya memanfaatkan energi cahaya dan udara alami melalui strategi tata ruang dalam lahan terbatas
- permutasi desain melalui penerapan modular system , pola grid dengan ukuran-ukuran tertentu menjadi potensi untuk membuat prototype , sehingga dapat dielaborasi pada proyek lainnya, genesis bagi perancangan rumah kompak
- upaya hemat energi melalui penerapan sistem pemanfaatan udara luar masuk ke dalam AC yang mengatur temperatur dan kelembaban udara tertentu dalam ruang dan penerapan sistem daur ulang panas buangan AC untuk penyediaan air panas kebutuhan mandi, cuci, dll serta instalasi air bersih siap minum. Pemanfaatan renewable energy melalui penerapan
solar panel pada awalnya ada dalam perencanaan, namun dibatalkan atas pertimbangan efisiensi biaya dan maintenance(?)
.
.
.
.
Eksperimentasi sains dan teknologi sebagai upaya kemandirian energi dalam sejarahnya juga berkembang di tiap tempat dan waktu, di ranah domestik maupun publik. Renewable energy juga menjadi salah satu arah kebijakan pemerintah ke depan. Menjadi pendekatan multidimensi dalam mencari solusi di tengah arena konflik dan beragam ketidakpastian di masa kini dan ke depan. Keterpaduan alam, budaya dan teknologi menjadi tantangan dalam segala bentuk negosiasi dan adaptasi.
Melalui pemahaman ini, kesadaran akan efisiensi , menyikapi segala hal sesuai kebutuhan fungsi, pembiayaan yang proporsional dan peruntukan yang tepat sasaran – menjadikan kita selalu ada di
posisi tawar, bernegosiasi, mengonsumsi, bereksperimen dan memproduksi teknologi yang relevan dan sewajarnya.
Dalam Bare Minimalist eksperimentasi juga dilakukan berkait pengadaan instalasi air. Instalasi air panas untuk mandi dan cuci – yang dihasilkan oleh panas buangan AC dan penerapan instalasi air mineral siap minum dipilih sesuai kebutuhan owner. Eksperimentasi sains teknologi dalam ranah
domestik telah banyak dilakukan di bidang arsitektur lain, misalnya dengan penerapan sistem tadah hujan – memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan air bersih rumah tangga, pengembangan biomassa sebagai sumber energi, dan lain-lain.
Saya teringat pada proses yang dilalui teman-teman dari komunitas Kandhang Udan – yang dipelopori oleh Romo Kirjito, Mbah Bimo, Mbah Sunar, dan warga dukuh Bunder, Bandungan, Jatinom, Klaten. Berawal dari upaya menyikapi keterbatasan sumber mata air, karena kondisi geologis bebatuan di bawah tanah lereng Gunung Merapi ini – secara turun temurun warga memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bak penampungan air hujan dibangun di rumah-rumah warga.
Untuk mendapatkan air yang siap minum – Romo Kirjito berinisiatif mengupayakan air hujan tersebut menjadi air alkali. Air alkali layak minum diperoleh melalui medium proses elektrolisis air hujan, yang kemudian diukur untuk memenuhi standard TDS, pH dan ORP tertentu berdasar aturan WHO dan hasil penelitian laboratorium. Air alkali yang dikonsumsi juga telah dirasakan manfaatnya
bagi peningkatan kualitas kesehatan tubuh warga. Sebagai ekspresi rasa syukur atas berkah air hujan ini sudah menjadi tradisi sejak lama – warga melakukan ritual budaya tahunan – merti desa kirab banyu udan.
Dalam konteks arsitektur semi urban – pemanfaatan air hujan menjadi air siap minum juga dilakukan Frederico – pegiat lain komunitas Kandhang Udan ini – dengan melalui penerapan instalasi tadah hujan , elektrolisis air yang kemudian disalurkan ke dalam ruang-ruang dan menjadi bagian dari elemen interior rumah tinggal. Hal in menjadi satu bagian dalam upaya Rico memahami relasi air, pangan dan energi secara mendalam.
Eksperimentasi sains, teknologi tentang air , sistem elektrolisis, energi, desain instalasi air hujan siap minum , juga manfaat bagi kesehatan tubuh dilakukan secara terus menerus oleh komunitas ini – yang beranggotakan dari beragam profesi – rohaniwan, peternak, petani, seniman, pendidik, arsitek, dokter, teknisi, dll. Krisis kesehatan di masa pandemi juga menjadi perhatian khusus. Beragam uji coba pemanfaatan air hasil elektrolisis untuk terapi penderita Covid 19 , penelitian tentang kinerja tubuh dan self-healing, dll juga dilakukan secara mandiri sesuai kebutuhan tiap pegiat komunitas ini. Penelusuran hikmah dari tradisi berkait dengan kebermanfaatan air langit dan energi air dalam tubuh manusia menjadi upaya refleksi tentang hakekat kehidupan.
Ini menjadi salah satu contoh titik temu Alam, Budaya dan Teknologi di keseharian. Menjadi wadah pembelajaran bersama. Perwujudan dari mindfulness – kesadaran harmoni tubuh, pikiran, jiwa dan lingkungan dengan cara yang khas dan menjadi tradisi.
( Kandhang Banyu Udan – Air Hujan, Air Kehidupan https://youtu.be/J4dTVOzMhI0)
Mindfulness – Energi Hidup dalam Dialektika tentang Kesadaran Relasi Alam, Budaya dan Teknologi
Charles Wiriawan sebagai owner rumah Bare Minimalist memiliki keberminatan khusus pada pola hidup sehat dan teratur hingga aktivitas meditatif . Beragam data yang diberikan Realrich pada saya berkait proyek rumah ini memancing saya untuk melihat konteks proyek ini pada skala yang lebih
besar, yaitu permasalahan kota yang melingkupinya. Isu lingkungan berkait polusi udara, ketersediaan air bersih dan pemanfaatan energi surya menjadi salah satu masukan penting dalam keputusan desain, juga dinamika relasi sosial yang menjadikan aspek keamanan penghuni juga jadi salah satu penentu pilihan desain.
Rasa nyaman berkait dengan sehat, teratur, tenang dan visi keseimbangan. Hal-hal ini menarik perhatian saya untuk melihat aspek interiority Bare Minimalist sebagai wacana holistik dan personal – upaya harmoni tubuh, pikiran, jiwa dan lingkungan – bersifat integral dan utuh. Penerapan signage Dilarang Merokok, Buanglah Sampah pada Tempatnya merupakan kejelasan sikap dan
bentuk kedisiplinan untuk menuju kualitas hidup yang lebih selaras dan alami, khususnya dalam visi Charles sebagai owner – seperti yang dinyatakan Charles – jika menerapkan sistem sirkulasi udara yang baik, tapi tetap berkegiatan merokok dalam rumah itu non sense.
.
.
.
.
Refleksi masa pandemi membawa kita pada pemahaman bahwa desain berbasis upaya healing menjadi relevan untuk diterapkan, baik yang bersifat fungsi , sains teknologi, estetika pada bangunan dan lansekap – maupun upaya individual berkait terapan filosofi , konsep spiritual tertentu yang diyakini dapat menyelaraskan energi seperti feng shui, dst – juga upaya mindfulness
dalam arsitektur lainnya. Dalam hal ini wacana energi ada pada rentang yang lebar – antara yang alami – dapat kita rasakan dan manfaatkan secara langsung – dengan yang dalam bentuk representasi dan dipahami melalui daya persepsi, kepekaan multisensory kita.
Saya meyakini – di saat kita ada dalam kesadaran kolektif akan nilai-nilai keseimbangan ekosistem. Kesatuan visi ini membawa kita pada pemahaman yang sama akan kebutuhan self-therapy yang berkelanjutan. Pendekatan personal menyikapi permasalahan keseharian, termasuk melalui penerapan dalam lingkungan fisik rumah tinggal – wadah kita bernaung dengan beragam cara yang sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Desain yang adaptif terhadap alam, baik dengan
interaksi langsung dalam ruang terbuka hijau, maupun melalui medium sains dan teknologi.
Wacana healing , mindfulness dalam arsitektur umum dibicarakan di masa pandemi ini dan juga di masa depan. Beragam bentuk anxiety makin banyak muncul sebagai dampak beragam krisis yang
terjadi, di mana kualitas lingkungan fisik kota juga kurang kondusif untuk terjaganya keseimbangan alam. Khususnya juga saat teknologi Artificial Intelligent, Internet of Thing makin jadi bagian tak terpisahkan dari proses realita keseharian. Teknologi makin deterministik – mengubah persepsi kita
tentang ruang dan waktu melalui beragam sistem daring , yang memungkinkan sektor fomal dapat dilakukan di ranah domestik ataupun di mana saja – melalui gadget kita.
Metode-metode berkait penerapan ruang terbuka, kejelasan area privat dan area publik, elaborasi teknik sanitasi dan detail-detail desain pendukung protokol kesehatan, pendekatan desain berbasis multisensory system , juga penerapan organik, Biophilic Architecture yang mengintegrasikan alam
dalam ruang menjadi beberapa alternatif desain adaptif. Metode-metode arsitektur healing awalnya banyak diterapkan di rumah sakit, klinik mental health, sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus, dan sejenisnya – sekarang dibutuhkan untuk diterapkan juga dalam rumah tinggal dan bangunan publik lain – baik secara umum maupun untuk kebutuhan khusus isolasi mandiri.
Dalam Bare Minimalist proses negosiasi dan adaptasi terhadap kondisi alam urban dengan
keterbatasannya disikapi Rich dan Charles antara lain juga melalui penerapan konsep pagar transparan dari jajaran besi hollow, tanaman rambat untuk memperlunak kesan kaku dari dan dingin dari bangunan dan sebagai kontribusi penghijauan pada lingkugan sekitar, juga keberadaan roof garden.
Kesadaran mindfulness sejatinya bersumber dari dialog intens kita dengan realita yang berproses dinamis di tiap tempat dan tahapan waktu. Ada masa kita mampu leluasa menyatu dengan alam terbuka, ada masa segala bentuk perubahan menggeser cara kita mengakrabi alam. Dalam konteks urban dengan kelindan krisis lingkungannya – alam dimediasi juga oleh sains dan teknologi agar
tetap menjadi bagian dari proses mindfulness living dalam arsitektur. Energi dari alam pun
berpotensi dielaborasi dengan segala bentuk inovasinya.
Pada akhirnya kesadaran akan efisiensi, integrasi dan mindfulness dalam arsitektur adalah upaya Eling dan Waspada – upaya refleksi yang tak pernah putus dalam relasi dengan alam, budaya dan teknologi. Upaya resistensi dan hibriditas dalam menyikapi beragam tantangan paska pandemi. Menguatnya dominasi industri di tengah krisis ekonomi , climate change dan kemajuan teknologi digital yang makin pesat , seolah tanpa batas – berikut beragam strategi politis yang menyertainya – akan selalu berproses dinamis dan alam tetap akan eksis dengan beragam caranya, di luar kuasa manusia.
di saat metaverse hadir menjadi ‘rumah’ kita
akankah oase itu tetap ada
dalam rumah tempat kita bernaung ?
sedalam apa kesadaran jiwa
mampu menghadirkan selalu realita
menyatu dalam diri sejati ?
Yogyakarta, 6 Januari 2021
Jolanda Atmadjaja