Setiap beberapa bulan sekali pasti ada kalanya kami (saya dan Laurensia) menghabiskan waktu bersama Mirza dan Adhisty. Lingkaran pertemanan kami tadinya saya pikir tidak beririsan dan ternyata sangat beririsan, terkadang ada saja teman atau klien kami yang saling kenal.
.
Dua orang ini unik, karena apa yang kita bicarakan biasa berkutat akan kehidupan sehari – hari, keluarga, pekerjaan, sampai karya arsitektur yang termuktahir yang sedang kami kerjakan.
.
Satu saat mereka bercerita, bahwa rumah Kampono menghadap ke kiblat. Saya sendiri pernah menulis sebuah postingan tentang tangan yang berdoa. Doa yang menghadap sisi barat memberikan keteduhan, dan kepercayaan akan niat untuk berbuat baik. Di balik itu memang fasade kaca di rumah ini serta merta dihadapkan ke arah barat sisi terpanas yang juga membingkai pohon eksisting di sisi tersebut, hasilnya adalah bayangan-bayangan yang hadir mewarnai ruang keluarga memberikan ruang yang sinematik menuju sore hari.
.
Saya menulis kalimat tentang simbolisme disini , “bentuk – bentuk lengkung tersebut secara sadar membentuk symbol jari yang menapak bumi, yang menyiratkan bentuk doa di dalam konsep tangan yang sedang berdoa di dalam tarian. Di dalam proses desain iterasi bentuk lengkung banyak sekali dicoba dan digunakan dari bentuk yang liar sampai bentuk yang tidak lebih – tidak kurang dengan takaran yang pas.
.
Permainan bentuk ini dimulai dari proses pengolahan bentuk partii (susunan organisasi sub-massa) yang jelas dahulu, dan
kemudian tiap- tiap massa tersebut di acak dan disusun ulang menurut dasar kriteria seperti : proporsi ruang, arah pandangan, dan kemungkinan – kemungkinan ruang yang tidak
terduga yang terbentuk. Proses in berlanjut dengan kuantitas pilihan yang banyak, sampai terbentuk komposisi yang optimal.
.
Pendekatan ini dibahas Antoniades dan Jean Labatut di dalam pendekatan yang desain inklusif dan bagaimana perspektif yang berbeda, aktor yang berbeda berpengaruh di dalam sebuah alam kreatifitas yang membentuk kenyamanan penghuni.
.
Membentuk lengkungan adalah pemberontakan terhadap keseragaman, dan bentuk yang itu – itu saja, mendekati alam dan juga pertanda akan pemberontakan terhadap rasionalitas melalui intuisi dan percobaan desain. Di dalam
kasus ini pemberontakan dijadikan alasan untuk membuka sisi terentan di iklim tropis, dimana melalui desain justru penghuni bisa mendapatkan kenyamanan sekaligus, pandangan, bayang – bayang, sinar matahari, udara segar, dan semuanya adalah seni untuk perlawanan terhadap diri sendiri.
Di dalam alam seni hal tersebut menjadi sebuah pernyataan akan visi misi, bahwa klien percaya pada eksplorasi sang arsitek. Sebuah perjalanan seumur hidup.





























