Bagi saya nous adalah kecerdasan yang dimiliki manusia. Menurut Aristotle nous dibagi menjadi 4, yaitu Episteme, Techne, Phronesis, dan Sophia. Episteme merupakan ilmu pengetahuan yang memiliki porsi paling besar baik di dunia kehidupan maupun di dalam dunia pendidikan. Bagi saya episteme adalah kecerdasan yang paling mendasar dibanding Techne, Sophia, dan Phronesis. Tanpa ilmu pengetahuan atau episteme kita tidak akan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tanpa ilmu pengetahuan mungkin hidup kita akan tersesat, tanpa tahu arah dan tujuan. Oleh karena itu, bagi saya menuntut ilmu pengetahuan adalah hal yang paling penting dan wajib bagi setiap orang di dunia ini. Episteme atau ilmu pengetahuan ini dapat terus berkembang seiring berjalannya waktu, akan ada ilmu pengetahuan yang baru dan bisa saja untuk mengganti ilmu pengetahuan yang lama. Kemudian bagi saya menuntut ilmu pengetahuan itu bisa dimana saja, tidak harus di sekolah dan universitas saja. Berdasarkan pengalaman saya bertemu dan melakukan podcast dengan seorang arsitek, disitulah saya bisa mendapatkan ilmu yang belum pernah saya dapatkan selama di dunia pendidikan. Misalnya saja tentang fengsui, perbedaan keinginan klien di tiap daerah, dan masih banyak lagi.
Selain itu, membaca buku adalah salah satu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, karena bagi saya buku adalah jendela dunia. Dalam arti buku yang dimaksud adalah buku tentang keilmuan. Namun, yang kebanyakan orang pikir dan yang menjadi patokan dan acuan untuk seseorang menuntut ilmu pengetahuan ya di sekolah dan universitas, kebanyakan orang membaca buku itu hanya ketika di sekolah dan universitas, sangat jarang saat melihat orang lain yang membaca buku tentang ilmu pengetahuan di rumah. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat membaca di Indonesia yang jauh dibawah negara negara maju.
Cara lainnya adalah dengan mengikuti seminar atau webinar yang diadakan oleh universitas BINUS atau oleh IAI atau mungkin oleh seorang arsitek langsung. Bagi saya dunia pendidikan ini kita lebih banyak dituntut untuk mendengarkan guru oleh sebab itu kecerdasan episteme porsinya paling besar. Melanjutkan pengalaman selama saya menjalani dunia pendidikan dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas sampai saat ini saya ada di bangku perkuliahan, kenyataannya memang episteme porsinya besar sekali. Walaupun bagi saya di bangku perkuliahan ini episteme tidak sebesar saat di tingkat pendidikan dibawahnya. Bagi saya dan yang saya rasakan selama ini belajar itu terasa sangat membosankan karena polanya itu-itu saja, hanya guru atau dosen yang mengajar, guru atau dosen menjelaskan, siswa mencatat, kemudian guru atau dosen memberi soal latihan, tugas, pekerjaan rumah dan sebgainya, lalu siswa mengerjakannya. Hal ini membuat saya terkadang berpikir apa dengan penerapan gaya belajar yang menempatkan episteme dengan porsi yang besar akan membuat saya bisa bekerja dengan baik nantinya setelah lulus. Bagi saya, dunia kerja akan jauh berbeda dengan dunia pendidikan dan pastinya aja jauh lebih sulit. Dan dengan episteme yang hanya didapat di sekolah dan universitas aja itu tidak cukup, kita harus menggali ilmu pengetahuan juga dari orang lain.
Gaya belajar di sekolah dan universitas dengan porsi episteme yang besar itu juga tidak cukup untuk membuat kita menjadi seorang yang expert di dunia kerja. Bagi saya nantinya di dunia kerja yang lebih dibutuhkan adalah phronesis. Phronesis sendiri berarti kecerdasan taktikal dalam bertindak. Phronesis sendiri lebih mengarah ke dunia praktik yang dalam dunia pendidikan porsinya sangat sangat kecil. Gaya belajar mendengarkan membuat, tempat untuk melatih phronesis atau kecerdasan taktikal sangat sedikit. Padahal peran phronesis sangatlah penting, penting untuk kita untuk mengetahui seperti apa yang terjadi di lapangan. Bagi saya penting untuk kita melakukan praktik langsung di lapangan, agar kita bisa menguasa lapangan, kita bisa tahu kondisi lapangan itu seperti apa dan kita tahu apa yang harus kita lakukan saat menghadapi kondisi lapangan yang seperti itu. Untungnya di dalam dunia pendidikan kita masih diberikan techne walaupun porsinya kecil juga. Techne sendiri meliputi softskill dan hardskill. Softskill dalam konteks arsitektur lebih kepada bagaimana saat kita bertemu klien, saat kita menginformasikan desain kita. Sementara hardskill dalam arsitektur itu lebih ke bagaimana kita mendesain arsitektur dan menggunakan software arsitektur. Dan selama masa perkuliahan ini saya mendapat techne melalui studio desain arsitektur, yang hanya satu minggu sekali. Sekali-sekali ada workshop tambahan bagi yang menginginkan. Bagi saya, untuk dunia kerja ini saja tidak cukup. Di semester satu ini saya ditugaskan untuk mengembangkan hardskill dengan mendesain paviliun, dan untuk mengembangkan softskill saya juga harus bisa mengkomunikasikan dan menginformasikan hasil desain paviliun saya.
Selain itu, untuk melatih hardskill saya di jurusan arsitektur ini saya juga mulai mempelajari sendiri software-software yang digunakan di arsitektur seperti AutoCAD, Sketchup, Revit, Twinmotion, Adobe Photoshop, dan Vectorworks untuk mempelajari drafting, modelling dan rendering sebagai bekal untuk semester 3 keatas sehingga ketika memasuki semester 3 saya sudah siap menggunakan software arsitektur tersebut. Saya belajar software arsitektur ini dari internet seperti YouTube dengan dibantu sedikit dari mata kuliah computational architecture. Kemudian dari podcast yang lakukan dengan seorang arsitek saya menjadi tahu kalau saya bisa melatih softskill diluar perkuliahan dengan banyak cara seperti melakukan podcast, mengikuti organisasi, mengikuti lomba-lomba debat atau yang lainnya. Dari situ kita bisa bertemu dengan banyak orang, mengenal dan mengetahui lebih banyak orang, dan membuat kita lebih berani saat berbicara di depan banyak orang. Kembali lagi ke techne di dunia perkuliahan, sebenarnya nantinya di semester 6 dan 7, mahasiswa dan mahasiswi arsitek wajib melakukan magang di sebuah perusahaan yang berkaitan dengan arsitektur. Saya berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk magang di perusahaan arsitektur yang bagus. Karena disitu saya bisa belajar baik tentang melatih techne, tentang melatih hardskill dan softskill, dan mungkin bisa juga tentang melatih phronesis. Bagi saya, disana kita akan belajar untuk menghadapi kondisi yang sebenarnya. Disitulah simulasi dunia kerja arsitektur yang sebenarnya, kita mungkin dihadapkan langsung dengan klien, walaupun masih akan dibantu oleh atasa-atasan disana. Disana saya akan berusaha untuk memberikan yang terbaik, bekerja keras untuk masa depan yang lebih baik. Karena apa yang kita lakukan di hari ini menentukan hidup kita kedepannya.
Kemudian setelah lulus dari masa perkuliahan menjadi seorang sarjana arsitektur kita akan mengalami fase dimana kita mengalami krisis identitas, kita akan dihadapkan dengan berbagai pilihan, karena arsitek jangkauan prospek kerjanya luas. Pilihannya bisa kita anggap sebagai 4 kuadran yaitu arsitek profesional, kontraktor, developer, dan akademisi atau mungkin kita bisa mengambil 2 sampai lebih atau juga diluar kuadran itu. Bagi saya, semua itu bisa diraih tidak hanya dengan episteme saja, kita butuh melatih techne dan phronesis. Setelah lulus dari sarjana 1 arsitektur untuk yang ingin menjadi seorang arsitek profesional sebenarnya ada pilihan opsional buat setiap orang yang yaitu progam pendidikan profesi arsitek atau PPAr selama satu tahun. Melalui pendidikan profesi arsitek dan dilanjutkan dengan magang kembali 2 tahun baru kita bisa diakui oleh Ikatan Arsitek Indonesia sebagai arsitek profesional. Saya termasuk salah satu orang yang ingin untuk mengambil PPAr dan menjadi seorang arsitek profesional. Sebenarnya ada cara lain, yaitu dengan mengambil sarjana 2 yang berkaitan dengan arsitektur. Unuk menjalani perjalanan hidup ini dari awal perkuliahan sampai kita lulus menjadi seorang sarjana kemudia hingga menjadi seorang arsitek profesional yang mungkin berat, tidak mudah dan mungkin no fun at all yang kita tidak cukup hanya dengan episteme, phronesis, dan techne saja kita juga perlu akan adanya Sophia. Sophia ini ranahnya lebih personal, Sophia membentuk wisdom yaitu kebijaksanaan, kecintaan, keyakinan, dan keberanian dalam berkarya. Tanpa Sophia semua yang kita rencanakan mungkin tidak akan tercapai.
Bagi saya, keyakinan, kecintaan dan keberanian itu bisa kita dapat ketika kita mempunyai role model. Dalam konteks ini role model itu tidak harus seorang arsitek, tapi penting untuk punya seorang role mode arsitek. Dari mereka saya bisa belajar banyak hal, saya bisa belajar dari pengalaman yang sudah mereka lalui bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya. Hari-hari yang mereka lalui pasti tidak mudah, setiap hari pasti ada masalah. Dari situ saya bisa belajar bagaimana mereka bisa menyelesaikan permasalahan mereka, bagaimana mereka solve their problem. Yang mungkin saja bisa saya terapkan ketika menghadapi masalah yang sama. Dari mereka saya bisa tahu betapa besar effort mereka, goal mereka, fokus mereka untuk ada sampai saat ini, sampai bisa sukses dan menjadi role model dari banyak orang. Dan dengan pertemuan saya dengan role model saya, saya juga bisa mendapatkan feedback dari apa yang saya sudah lakukan dan saya pelajari. Selain role model ada juga support system yang bisa menumbuhkan kecintaan dan keyakinan kita bahwa suatu saat nanti kita bisa mempunyai masa depan yang indah. Saya sendiri merasakan selama ini support dari orang tua saya, adik saya, keluarga besar saya, sahabat sahabat saya begitu besar. Mereka sangat penting dan bermakna di hidup saya selama menjalani perkuliahan ini. Dengan adanya role model dan support system yang kuat saya semakin yakin dengan pilihan saya memilih jurusan arsitektur, dan saya semakin cinta dan berani dalam berkarya di dunia arsitektur. Saya yakin dengan melatih keempat kecerdasan ini sampai membentuk keseimbangan diantaranya kemudian ditambah dengan efort, fokus, dan kerja keras saya akan menjadi seorang arsitek yang expert. Bagi saya selama setengah semester perkuliahan ini saya menunjukkan hal itu, saya memberikan yang terbaik. Keseimbangan empat kecerdasan ini mmebentuk sebuah Nous, kapasitas untuk membangun wawasan, kecerdasan, dan kemampuan untuk memperoleh kebijaksanaan intelektual. Kadar Nous setiap orang itu berbeda-beda. Bagi saya, saya memiliki kecerdasan episteme dan sophia yang tinggi karena saya mendapat lebih banyak kecerdasan itu baik di universitas maupun di rumah.