Sabtu, 27 Mei 2023 kemarin saya diundang di acara webinar archistory yang diadakan oleh himpunan mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Negeri Semarang. Tema dari webinar ini adalah “Architecture Story: How The Journey Started”.
Saya merefleksikan tema tersebut kebeberapa tahun yang lalu saat saya mengenal arsitektur di bangku kuliah, pengalaman kerja, merintis biro arsitektur hingga sekarang. Kami menambahkan judul dari webinar tersebut dengan “Tracing the dots”
Penggabungan konektivitas perjalanan-perjalanan berarsitektur yang saya mulai dari hal-hal sederhana yang dipupuk sejak dibangku kuliah, dari kehidupan akademik hingga berorganisasi. Masa dimana saya selalu menjadi orang yang terakhir. Terakhir merapikan kursi-kursi setelah acara, terakhir mematikan lampu dikantor dsb. Secara tidak langsung hal-hal tersebut membentuk karakter kerja sampai tuntas dan belajar mengakhiri apa sudah dimulai. Di dunia arsitektur ternyata hal tersebut sangat berguna, karena proses pengerjaan sebuah proyek arsitektur merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan konsistensi yang tinggi hingga sebuah arsitektur terbangun, membentuk karakter konsisten hingga akhir.
Senjatanya adalah 3 hal, yang pertama adalah pengetahuan, yang kedua menemukan mentor, seperti Norman Foster selama 2 tahun, Mas Emil 1 tahun di Urbane, seperti juga mas Dani satu tahun di DP Architect, semua mentor saya sampai sekarang saya punya mentor-mentor sampai pada akhirnya kita punya role model, yang ketiga bangga dengan diri sendiri.
Kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang setipe dengan kita, menurut adik-adik yang bertanya pada saat pemaparan materi kuliah, mereka mengaggap saya sosok seorang arsitek yang mempunyai idealisme, sehingga dia bertanya “Bagaimana menyikapi ketika idelisme kita bertentangan dengan dosen?”, jawaban saya sederhana, bahwa kita tidak bisa lepas dari ekosistem pendidikan kita, dimana kita masih terperangkat dengan cara mendidik yang sistemnya top down. Itu memeng sudah diteliti juga bahwa negara-negara seperti kita yang masih berkembang ini sangat butuh ekosistem untuk kita mendengarkan anak-anak muda, juga menvalidasi siapa mereka. Tetapi dari sistem pengajaran juga mereka takut bahwa anak-anak akan berhasil atau tidak, karena waktunya benar-benar mepet. Kita itu sama-sama terjepit, seakan-akan sudah harus berproduksi, padahal masih butuh waktu untuk didengarkan.
Semakin cepatnya informasi, maka tekanan itu juga semakin besar. Kamu seakan-akan tidak didengarkan padahal yang terjadi adalah informasi begitu banyak. Padahal zaman dulu kita susah mencari informasi. Sekarang infoemasi dimana-mana. Kalau dulu anak-anak harus haus akan ilmu, karena kalau tidak mencari informasi, dia tidak akan mendapat apa-apa. Kalau sekarang tidak bergerakpun bisa mendapatkan banyak hal. Tapi banyak hal itu anatar jelek atau bagus tidak tau, Jadi menurut saya menjadi penting untuk memposisikan cara berfikirnya. Menurut saya, saya bisa advice. Cara berfikir dan filosofi itu menjadi penting ditahap-tahap awal mempelajari arsitektur.
Filososfi dimulai dari memvalidasi diapa aku, jadi punya background cerita dulu seperti keluarga, dsb. supaya kamu bisa dihargai orang, karena itu sebuah hal yang sangat baik. Caranya bisa lepas dari itu adalah dengan menfalidasi diri sendiri dulu, meskipun mungkin tidak ada dosen ataupun orang yang memvalidasi, kamu harus survive. Jadi reposisinya harus dirubah dulu bahwa dosen itu jangan dianggap sebagai client. Kita tidak bisa tau pengalaman dosen kita, oleh karena maka yang tepat adalah bukan masalah client atau tidak, tetapi proses bagaimana kita menggerakkan bukan cuma clientnya, tapi tentang bagaimana kamu suka dan cinta pada arsitektur. Jadi menurut saya dosen jangan dianggap sebagai client, tapi dianggap sebagai mentor. Nah dari situ kamu akan suka, pada akhirnya idealismenya dimana sih? “Kamu tau apa yang kamu suka dan kamu cintai, jadi kamu bekerja secara otomatis, bekerja tanpa disuruh – dengan begitu soul terbentuk”.