Nama saya Andika Jantoni, lahir di Jakarta yang kemudian pindah ke Bangka belitung saat berusia 1 tahun. Saya besar dalam keluarga yang sederhan dan merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Ayah saya bekerja sebagai pelelang ikan dan ibu saya seorang ibu rumah tangga yang merawat anak-anaknya dengan baik. Awalnya kami satu keluarga besar ayahku tinggal di satu rumah, kemudian karena rumah tersebut terlalu penuh, kami pindah ke rumah yang baru. Rumah yang tidak terlalu besar tidak terlalu kecil tapi cukup untuk menampung kami berlima.
Menjadi anak pertama menurutku cukup berat karena banyaknya ekspektasi yang harus saya tanggung. Sebagai anak pertama juga saya harus menjadi contoh bagi adik- adik saya. Tapi jujur saja menurutku lebih sulit menjadi adik perempuan yang satu tahun lebih muda dari saya. Tiap hari adik saya disuruh untuk mencuci piring dan memasak nasi. Kenapa enggak saya yang disurug mencuci piring dan memasak nasi? Karena menurut orang tua ku itu bukan tugas laki-laki, meskipun saya tidak setuju dengan hal tersebut. Oleh karenanya, saya selalu membantu adik saya mencuci piring dan sesekali memasak nasi.
Saya merupakan pemuda sederhana yang suka mendengar musik, bernyanyi, menggambar dan ngedance. Saya sangat suka mendengarkan lagu jazz. Entah kenapa lagu jazz itu make me feel like it’s christmas. Meskipun saya belum pernah merasakan natal yang seperti orang amerika, membuka kado di bawah pohon natal, dan salju turun dari langit. But listening to jazz is comforting. Even though, aku tau sebagian besar orang is not a fan of jazz. Selain itu juga saya sangat kpop. Menurut saya, kpop berdampak cukup besar bagi diri saya, terutama dalam segi penampilan. Saya jadi lebih care pada penampilan sendiri, meskipun saya tidak terbilang tampan paripurna.
Dari kpop ini saya mulai suka untuk bernyanyi. Saya pernah mengikuti audisi untuk agensi besar korea dengan mengirim video saya bernyanyi kepada mereka. Hasilnya bagaimana? Tentu saja saya tidak diterima. Tidak mungkin saya berada di sini dan mengetik tulisan ini jika saya diterima. Selain itu saya juga sering ikut collab cover lagu. Istilahnya itu Role Voice Note. Mereka sistemnya di Whatsapp dengan membuat grup chat yang merupakan agensi kecil online untuk cover lagu, terutama lagu kpop. Saya menghabiskan sebagian besar masa pandemi saya dengan RVN ini. Bahkan saya dapat beberapa teman yang hingga sampai sekarang masih kontakan. Sistem RVN ini sendiri sangatlah rapi dan mudah untuk dimengerti. Saya penasaran siapa yang punya ide untuk membuat hal-hal tersebut.
Saya sangat suka menggambar, terutama menggambar orang dan suasana yang ada di sekitar orang tersebut. Sampa saat ini saya terus menggambar setiap hari. Saya mencoba setidaknya menggambar satu gambar setiap hari agar kemampuan saya nggak menurun. Awalnya saya lebih ke style realis tapi makin kesini gambar saya semakin stylized. Stylized drawing sendiri cukup ngetrend pada masa ini dibandingkan realis. Saya juga saat ini ingin mencoba membuka komisi dan menjual gambar yang saya buat ke masyarakat luas untuk membantu orang tua saya membayar biaya kuliah saya yang terbilang mahal.
Saya juga sangat suka ngedance, terutama kpop. Saya sering cover dance dari grup-grup kpop. Tetapi saya berencana berhenti ngedance as a profession saat kuliah, karena ingin fokus dengan pembelajaran yang saya jalani, agar nantinya mendapatkan banyak prestasi dan membuat banyak uang di masa depan. Bukan berarti dance tidak bisa menghasilkan banyak uang, hanya saja saya prefer menghasilkan banyak uang dengan cara lain, because i see dance as my hobby not as my passion.
Melihat sosok saya yang sekarang, saya cukup terharu menyadari seberapa banyak saya berua\bah dari sosok kecil saya, entah itu dari penampilan, pemikiran, atau kemampuan. Saya seperti melihat 2 orang yang completely different from each other.
Saat kecil merupakan anak yang pendiam dan pemalu. Di sekolah dasar, saya jarang sekali berbicara ataupun mengeluarkan suara. Bahkan, beberapa teman saya ada yang mengira saya bisu. Saat ada tugas yang berkaitan dengan maju di kelas, saya tidak pernah maju dan duduk di bangku saya. Kenapa? Karena saya tidak berani. Saya juga bingung kenapa saya tidak berani. Susah juga dibilang jika saya punya teman atau nggak. Yang jelas saya tau beberapa nama orang di kelas.
Masuk SMP saya mulai banyak berbicara dan tidak semalu saat di SD. Saya memperoleh banyak teman dan mengikuti banyak kegiatan sekolah. Saat SMP ini juga saya mulai menunjukkan ketertarikan kepada menggambar. Saya pun bersama teman-teman saya masuk ekskul menggambar. Di sana kemampuan menggambar saya semakin meningkat.
Jujur saja rival itu sangat penting dalam perkembangan diri. Tanpa ada teman-teman saya yang saya anggap rival, tidak mungkin saya bisa seperti sekarang, entah itu dalam menggambar ataupun akademik. Omong-omong akademik, mulai SMP ini juga saya mulai serius belajar, yang akhirnya saya mendapatkan juara kelas pertama kali seumur hidup.
Di SMP ini juga saya memperoleh 3 orang sahabat yang hingga saat ini masih menjadi sahabat terbaik saya, meskipun saat SMA kami semua tidak satu sekolah. Mungkin bisa dibilang SMP merupakan salah satu masa terindah yang saya miliki. Sayangnya masa-masa indah tersebut berhenti dengan kehadiran COVID-19.
Masa SMA dengan adanya COVID-19 sangat sengsara bagi saya. Saya tidak mengerti sebagian materi yang diajarkan oleh guru via zoom, terutama fisika dan kimia. Tugas-tugas pun saya cukup kesulitan untuk mengerjakan karena tidak mengerti. Hal ini menyebabkan saya harus menonton video pembelajaran dari Youtube agar bisa mengerti pelajarannya.
Saat ada tugas kelompok pun sangat sulit. Banyak sekali orang-orang yang hanya numoang nilai dan tidak bekerja sama sekali. Namun hal utama yang membuat saya sengsara adalah tidak bisa berkomunikasi dengan teman sekelas. Saya bahkan tidak ingat temen sekelas saya siapa saja pada saat itu. Alhasil saat pembelajaran Face to face mulai dilakukan, saya tidak memiliki teman sama sekali.
COVID-19 ini juga membuat kemampuan komunikasi saya semakin menurun, sehingga membuat teman saat sekolah sudah melakukan pembelajaran Face to Face, sangat sulit bagi saya. Untungnya saat itu saya berhasil berteman dengan satu orang. Dialah satu-satunya orang yang menjadi teman berbagi keluh kesah saya selama akhir kelas 10 hingga akhir kelas 11.
Naik kelas 12 saya masuk ke ekskul dance. Kenapa enggak dari kelas 10? Karena pada saat itu tidak ada anggota laki-laki, dan anggota laki-lakinya baru ada kelas 12.
Mungkin masuk ke ekskul dance ini merupakan salah satu keputusan terbaik saya buat. Di sini saya berkenalan dengan banyak orang dan mempelajari banyak hal, tidak hanya dance tapi dalam cara menghadapi orang, cara berkomunikasi dengan orang lain, hal- hal yang harus disiapkan sebelum mengikuti lomba, rasannya ikut lomba, cara menyiapkan event lomba dan masih banyak lagi.
Saya banyak sekali menghabiskan waktu dengan mereka, entah itu latihan, mukbang bareng, ataupun sekedar ngumpul ngumpul. Terkadang memang melelahkan tetapi juga menyenangkan. Mereka seperti keluarga kedua saya. Di balik momen yang menyenangkan ini pastinya ada yang tidak menyenangkannya juga. Ada momen-momen di mana kami bertengkar karena perbedaan pendapat, momen kecewa saat tidak berhasil meraih juara dan momen momen sedih. Meskipun begitu, kami tetap solid dan tidak membenci satu sama lain.
Bisa dibilang 70% kenanganku pada masa SMA itu ada di ekskul dance ini. Sebenernya nggak bisa dibilang ekskul si, karena ada orang umum juga yang masuk. Jadi mungkin lebih bisa dibilang sebagai komunitas. Pokoknya sangat seru. Bahkan sampai sekarang saya masih ada di grup chat komunitas dance tersebut.
Komunitas ini sangat ngeboost self confidence saya. Saya mulai berani memulai interaksi dengan orang. Saya menjadi pribadi yang lebih ramah. Saya juga menjadi lebih aktif di kelas. Saya pun bisa dekat dengan teman-teman sekelas saya, yang tidak dapat saya dekati pada saat kelas 10 dan 11. Di kelas, saya dikenal sebagai si dancer karena saya sering tampil pada saat ada acara sekolah dan saya sering absen untuk mengikuti lomba dance. Namun cukup sulit bagi saya untuk mengatur waktu antara dance dan sekolah bagi saya, sehingga saya cukup banyak ketinggalan di pelajaran.
Di kelas 12 ini juga saya mulai punya gambaran saya ingin jadi apa. Saya ingin menjadi orang yang membuat seni. Oleh karenanya saya berkepikiran untuk masuk DKV. Tetapi pada saat itu, orang tua saya agak ragu dengan jurusan DKV. Mereka bilang kalau proker lulusan DKV enggak menentu, yang dimana hal tersebut tidak benar. Tetapi, dir saya yang nggak tau apa apa itu cuma angguk menuruti. Alhasil saya mencari jurusan lain yang masih ada kaitannya dengan menggambar, dan akhirnya memilih jurusan arsitek. Jurusan yang di mata orang-orang sulit dan elite. Orang tua saya juga oke-oke saja dengan jurusan tersebut.
Saat mulai masa kuliah, saya menyadari bahwa arsitektur ini lebih dari sekedar menggambar. Kita harus memperhitungkan ukuran, kekuatan, bahan dan segala macam. Makin saya belajar mengenai arsitektur semakin saya bertanya-tanya apakah saya salah jurusan? Jujur saja sampai sekarang saya masih ingin masuk jurusan DKV. Tapi keinginan tersebut saya pendam dalam-dalam. Siapa tau nantinya saya bisa belajar untuk benar-benar menyukai arsitekut. Siapa tau nantinya saya dapat menemukan hal yang saya senangi di arsitektur. Selain itu, saya juga harus bertanggung jawab atas pilihan saya.
Saya yakin jurusan apapun itu, saya tetap dapat mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang dan berkontribusi positif dalam masyarakat, sesuai dengan tujuan hidup saya. Omong-omong tujuan hidup, sebenarnya tujuan hidup saya memperoleh uang itu agar dapat keliling dunia. Saya bercita-cita pergi ke setiap belahan dunia. Tempat yang menyeramkan, indah, menyedihkan apapun itu. Saya ingin melihat apa saja yang ada di dunia ini secara langsung. Oleh karenanya saya harus memperoleh banyak uang terlebih dahulu.