Kategori
Teaching Tugas 2 - Reflection

Nofitrian Shelly – Reflection

Bagi saya, Nous merupakan ciri khas seseorang. Nous membutuhkan keseimbangan dari 4 kecerdasan yaitu Episteme; Phronesis; Techne; dan Sophia, bukan hanya unggul di salah satu bidang kecerdasan tapi mengabaikan bidang kecerdasan lainnya. Dalam kehidupan perkuliahan di jurusan arsitektur, Nous sangat berpengaruh. Mulai dari Episteme yang memiliki porsi paling besar yaitu sebagai ilmu pengetahuan, bahkan ilmu pengetahuan merupakan hak mendasar dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya manusia tidak lepas dari ilmu pengetahuan karena pengetahuan akan terus berkembang sejalan dengan kebudayaan dan peradaban manusia. 

Dalam kehidupan perkuliahan Episteme merupakan kecerdasan yang hampir selalu diasah dan digunakan setiap harinya. Episteme yang saya dapat sehari-harinya dan paling banyak adalah melalui guruchella, yaitu sistem belajar seperti mentoring dari dosen-dosen atau sesi tutor seperti pada mata kuliah Architecture Design. Lalu sisanya seperti: distance learning pada saat Guided Self Learning Class (GSLC), buku-buku yang dapat diakses dari perpustakaan di universitas, banyaknya video pembelajaran yang disediakan pada aplikasi atau website Binusmaya, dan lain-lain. Dari banyaknya Episteme yang saya dapat, bagi saya Episteme merupakan kecerdasan dari dunia pendidikan yaitu kampus dengan lebih banyak belajar dengan mendengarkan, karena semua fasilitas yang disediakan dari universitas untuk melatih kecerdasan Episteme mahasiswa, semuanya diakses dan dicerna melalui atau dengan cara mendengar. Pada saat saya mendapat tugas wawancara dari pak Realrich pada mata kuliah Introduction to Architecture, saya juga mendapat kecerdasan Episteme dari arsitek yang saya wawancarai, Mande Austriono, yaitu berbagai ilmu pengetahuan baru yang diberikan dari beliau, seperti cara menggali kemampuan desain, cara untuk memperdalam ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

Menurut saya Episteme merupakan kecerdasan yang sangat penting dan mendasar dalam Nous, karena jika tidak ada Episteme maka dalam membangun tiga kecerdasan yang lain akan sangat sulit karena tidak didasari oleh ilmu pengetahuan yang kuat. Peran banyak orang dalam dunia pendidikan sangatlah penting dalam hal ini, terutama para pengajar seperti dosen maupun guru. Jika tidak adanya seseorang yang meneruskan, memfasilitasi, atau memberitahu mahasiswa mengenai ilmu pengetahuan yang begitu luas maka mahasiswa akan jauh lebih sulit dan lebih lambat dalam mengembangkan kecerdasan ini.

Diikuti dengan Phronesis yaitu kecerdasan taktikal dalam bertindak atau kemampuan untuk mengambil sikap dan keputusan bijaksana dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari di kampus, karena didominasi oleh gaya belajar mendengar, ruang untuk melatih kecerdasan taktikal sangat sedikit sehingga terdapat gap antara pelajaran di universitas dan dunia praktik dan akan menghasilkan sifat impulsif. Biasanya, mahasiswa kurang dalam hal kecerdasan Phronesis ini. Kecerdasan Phronesis ini dapat saya lihat dari sikap atau reaksi seseorang terhadap sosial, bagaimana mereka menyelesaikan sebuah masalah. Kecerdasan Phronesis ini bisa dilatih ketika turun ke lapangan langsung atau ketika berinteraksi dengan seseorang. Phronesis hanya dapat terwujud dalam tindakan yang bersifat situasional dimana adanya kemampuan untuk menilai sebuah situasi secara bijak yang juga mempertimbangkan kepentingan diri sendiri sekaligus kepentingan yang lainnya. Menurut saya singkatnya Phronesis bisa disebut pemikiran mengenai problem solving. 

Menurut saya, dalam kehidupan perkuliahan di dunia arsitektur, problem solving merupakan suatu hal yang sangat penting. Pada saat wawancara yang saya sebutkan diatas, saya juga dapat sedikit melihat kecerdasan Phronesis pada arsitek yang saya wawancarai, Mande Austriono mengenai cara beliau bertindak atau caranya dalam menyelesaikan masalah selama masa hidupnya. Saya juga dapat belajar dari beliau bahwa dalam memilih seorang arsitek yang kita sukai, kita dapat belajar atau melihat kecerdasan Phronesis yang dimiliki arsitek tersebut melalui karyanya, bagaimana arsitek-arsitek tersebut menyelesaikan masalah dan kemampuan mengambil keputusan dari situasi yang kompleks dan khas dari setiap karya yang mereka buat. Pak Mande mengungkapkan bahwa arsitek berbeda dengan seniman, jika seniman tidak memiliki aturan dalam berkarya, arsitek memiliki hal tersebut. Maka dari itu ketika terjadi permasalahan yang tidak sesuai aturan, arsitek harus memiliki suatu solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Seperti kalimat yang diucapkan beliau, “Jadi, solusi setiap arsitek itu pasti akan beda walaupun briefnya sama”, beliau menyebutkan bahwa setiap cara orang atau masing-masing arsitek dalam memecahkan masalah pasti berbeda, sehingga ia mengagumi seorang arsitek dari setiap gaya atau cara arsitek tersebut memecahkan solusi dari setiap karya bangunan yang dibuatnya. 

Selanjutnya ada kecerdasan Techne, karena mahasiswa kurang dalam hal kecerdasan Phronesis, beruntungnya ada Techne yaitu skill yang diberikan dari dunia pendidikan, yang disimulasikan ke dalam studio desain, yang diperkuat dengan adanya kuliah praktik dan profesi tetapi ini bersifat opsional dengan kata lain, setiap universitas atau kampus dapat memberikan kebijakan atau gaya belajar yang berbeda. Saat di Binus saya merasakan adanya dukungan pada kecerdasan Techne ini. Melalui mata kuliah seperti Architecture Design, Building Technology, dan Computational Architecture saya bisa merasakan praktik dalam menggambar, modelling, dan rendering. Kemudian pada saat semester 5 dan 6 nanti, juga akan disediakan beberapa pilihan yaitu kesempatan belajar di luar negeri; membangun suatu usaha; pengabdian pada masyarakat; kuliah praktik dan profesi magang yang nantinya akan melatih soft skill maupun hard skill yang lebih banyak untuk kita, ada juga pilihan lain yang dapat melatih Episteme seperti lanjut ke Strata-2 atau penelitian untuk skripsi. Saya merasa bahwa kecerdasan Techne ini ikut serta dalam penugasan wawancara yang diberikan, karena memerlukan salah satu soft skill yaitu komunikasi mengenai bagaimana menyikapi arsitek yang menetapkan waktu wawancara secara mendadak, bagaimana saya mengikuti waktu tersebut, bagaimana cara saya bersikap ketika sudah bertemu langsung dan melakukan wawancara.

Techne sebenarnya juga bisa dilatih dari hal-hal kecil yang didapat dari universitas atau kampus seperti melalui presentasi-presentasi di kelas; kerja kelompok; organisasi kemahasiswaan; tugas pengabdian pada masyarakat, yang dapat membentuk soft skill kita dalam hal komunikasi, kerja tim, kepemimpinan, dan empati. Menurut saya melalui kecerdasan Techne akan sangat berpengaruh juga untuk mendapatkan relasi dari berbagai lingkup pendidikan yang kita hadapi. Relasi merupakan hal yang sangat penting dalam pekerjaan dan untuk bertahan hidup. Sehingga kecerdasan Techne ini bagi saya bisa disebut dengan kecerdasan pada masa kehidupan perkuliahan yang akan menjadi bekal untuk kehidupan di masa depan dan dalam dunia pekerjaan nantinya, karena Techne inilah yang akan lebih dicari di dalam dunia pekerjaan nanti.

Kecerdasan yang terakhir yaitu Sophia yaitu kebajikan atau wisdom yang merupakan ranah yang lebih personal yang membentuk keberanian dan kecintaan dalam berkarya. Sophia sering dikaitkan dengan intuisi karena melibatkan penalaran mengenai kebenaran universal atau umum. Sophia tidak  memiliki nilai praktikal, bersifat kontemplatif, dan memiliki unsur pemahaman. Kecerdasan Sophia ini berbeda dengan Phronesis, bedanya Sophia lebih umum dan melibatkan perasaan atau intuisi sedangkan Phronesis perlu adanya pemikiran rasional yang meliputi berbagai analisis. Sophia lebih menekankan pada apa yang kita rasakan bukan apa yang kita lihat, jadi apa yang kita pahami belum tentu bisa ditransfer kepada orang lain sehingga Sophia ini bersifat sangat personal. Sophia dalam dunia perkuliahan merupakan apa yang kita nikmati seperti rasa senang; menikmati; lelah; dan sebagainya, serta menekankan pada pengetahuan terhadap diri sendiri, seperti saya bisa menjadi apa dan saya ini apa. Menurut saya Sophia merupakan poin penting dalam Nous, karena menekankan transformasi secara mendasar yang mengubah diri saya. 

Dalam konteks kehidupan perkuliahan, saya bisa kehilangan apa yang saya dapatkan termasuk ilmu pengetahuan kalau tidak dapat saya transformasi dalam diri saya. Sophia mengharuskan saya untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan tersebut ke dalam diri saya, supaya saya bisa menjadi sesuatu di masa depan. Sehingga bagi saya, dalam kehidupan perkuliahan, Sophia merupakan sebuah pemahaman mengenai tujuan utama dari hidup kita, visi yang akan saya buat dari berbagai perasaan yang saya alami dan apa yang saya rasakan serta pahami sehingga saya dapat membentuk keberanian dan kecintaan dalam berkarya. Ilmu pengetahuan yang sudah saya dapat harus bisa saya transformasikan ke diri saya agar saya dapat menjadi arsitek yang sukses nantinya, sehingga ilmu pengetahuan mengenai dunia arsitektur yang saya dapatkan dalam dunia pekerjaan bisa mengubah saya menjadi seorang arsitek yang baik atau diri saya sendiri yang lebih baik lagi di masa depan. Mungkin contoh yang bisa saya ambil adalah dari wawancara bersama pak Mande kemarin mengenai Sophia, beliau menjelaskan bahwa sedari awal beliau kuliah, pak Mande memang sudah berencana menjadi arsitek dan ingin membuka sebuah kantor pribadi miliknya. Singkatnya Sophia merupakan pemahaman mendalam tentang kehidupan yaitu makna dan tujuan hidup. 

Keseimbangan keempat kecerdasan ini yaitu Episteme; Phronesis; Techne; dan Sophia, membentuk sebuah Nous, kapasitas untuk membangun wawasan, kecerdasan, dan kemampuan untuk memperoleh kebijaksanaan intelektual. Kadar Nous dapat berbeda-beda pada setiap orang. Meskipun berbeda, tapi setiap kecerdasan yang ada di dalam Nous terus berdampingan. Kita tentu perlu melihat dan mempertimbangkan kadar Techne dalam diri kita untuk mempunyai Sophia, sedangkan Techne didapat dari Episteme dan Phronesis. Mungkin ada yang lebih unggul pada kecerdasan Episteme, ada yang lebih menguasai kecerdasan Phronesis, ada yang lebih terlatih pada kecerdasan Techne, atau ada yang lebih kuat dalam Sophia. Contohnya ada yang lebih menguasai teori dibanding dengan praktiknya, ada yang hebat dalam memecahkan masalah tetapi tidak dapat mempresentasikannya, dan masih banyak lagi. 

Dalam kehidupan perkuliahan mungkin Episteme memiliki porsi lebih banyak sehingga banyak mahasiswa yang lebih cenderung ke arah sana tetapi ketika lulus dari perkuliahan, menurut saya, mahasiswa perlu sedikit banyaknya memiliki keempat kecerdasan ini secara seimbang. Tentu saja dalam hal mengembangkan keempat kecerdasan ini, support system akan sangat berpengaruh. Adanya support system akan memberikan suatu dukungan sosial terhadap apa yang kita lakukan, sehingga akan membuat kita menjadi lebih bersemangat dalam mencintai dunia arsitektur dan secara tidak langsung mengembangkan keempat kecerdasan ini. Support system tersebut bisa berupa teman seperjuangan dalam jurusan atau kehidupan perkuliahan, keluarga, sahabat, pasangan, atau memotivasi diri sendiri melalui role model kita. Dengan melengkapi setiap kadar Nous, ini akan menjadikan diri kita sebagai seorang profesional dalam studio yang mengenal diri sendiri dan tujuan hidup pada diri masing-masing.

avatar Realrich Sjarief

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar