We embarked on a journey to understand Chinese culture, starting with the roots that began in Mongolia, where I observed a cultural preservation to its most primitive point at the mountain peak, where offerings are still maintained. This illustrates how culture remains a deeply held value here. Comparable to Greece with its acropolis, here we have Confucius. From the West and East, there is a balance. Inner Mongolia is located on the central plate of China, dividing the western and eastern regions, where horseback riding and nomadic traditions persist, and people struggle to survive in the extreme climate.
Next, we learned from Shanghai, a metropolis that evolved from a poor village, the site of the opium wars. Its strategic location enabled it to become a place of cultural acculturation between the East and the West.
However, behind this, the influx of capital and trade brought artistic touches and beauty through the influence of bureaucratic families and garden house designs, residential forms featuring courtyards. Artistic touches extend even to the arrangement of stones with four rules: the number of wrinkles, the height of the stone, the slenderness of the stone, and the number of holes. Stones symbolize the strong character of humans. There is a proverb that describes how water continuously dripping on a stone can create a hole, but not break it. This phenomenon symbolizes the presence of problems in human life. Flow like water to create holes and learn to shape the stone, but do not break it.
In Western culture, designs often expose many things directly to the eye. However, in this garden, the aesthetic concept is designed to reveal itself gradually so that we can see more of nature as we enter each new point. In Chinese architecture, nature is the standard of beauty, not buildings, not architecture.
This concept extends to product design. A chair with an armrest symbolizes a man like the sun, with stability, strength, and power. Meanwhile, a chair without an armrest symbolizes a woman like the moon: soft, emotional, and sensitive. They care for children and support the family from behind.
Beijing is different from Shanghai. Beijing was built and developed by two dynasties, the Ming and Qing, led by 24 emperors over 600 years. We walked from south to north, passing through Tiananmen Plaza [tian (heaven), an (peace), men (gate)]. In this place, there have been many ideological struggles, power battles, and dreams for the welfare of the Chinese people, who are 2-4 times the population of Jakarta. In the 1950s, many people were illiterate. At that time, China bravely closed its doors for decades to organize its forces and reopened them later to showcase its progress. I had difficulty finding English-language books here. It seems that knowledge is stored in bookstores or libraries. There is a reflection of independent knowledge, confidence in its roots, and global-local integration. I found books like “Avant-Garde as Method: Vhkutemas and the Pedagogy of Space” and “Sigurd Lewerentz,” which are rarely discussed in popular realms. However, those aware of significant movements in world architecture will recognize their substantial contributions to the global map indirectly.
We then visited Ningbo, where we could observe one of the geniuses, Wang Shu, and his works to understand the rapid industry bridging Russian business interests and second-tier Chinese cities supporting the center. Here, there is a museum celebrating the city’s progress for its people, filled with many gardens, free art exhibitions, and complete archival data.
From there, we moved on to Hangzhou, where the genius was born and raised. Surrounded by hills and lakes, Hangzhou means a heavenly city. Marco Polo witnessed this philosophy when he arrived in China about 700 years ago. Despite many wars in China’s territory and conflicts over capital relocation, Hangzhou was spared from city destruction.
Hangzhou is the birthplace of a leader figure named Su Tung-Po, famous for his poetry, literature, and modern urban science. Su Tung-Po was a governor in the Song dynasty era. He solved water issues related to agriculture and city logistics with a canal system. We learned much from our journey to Hangzhou this time, with its poetic urban experience, uniting water and land with its architecture.
Besides being the capital of the Song dynasty, Hangzhou is famous for its Buddhist monasteries and tea-drinking culture, believed to prolong life with its polyphenols containing antioxidants, which clear the body from the impurities of daily food. According to a proverb, two earthly paradises are Suzhou and Hangzhou. Suzhou is renowned for its city center, culture, and daily architecture connected by its canals. Hangzhou is famous for its natural scenery. Here, the harmony between humans and nature is represented in the form of the city, nature, and architecture.
In Hangzhou, there is a saying, “Here, happiness is lived every day.” There are origins of temples and archaeological maps showing that this city is five centuries old. There are three UNESCO World Heritage sites here: West Lake, Grand Canal, and the ancient city of Liangzhu. They could build a dam without metal. Many works by Western Pritzker Prize winners are here. Uniquely, Wang Shu’s work at the China Academy of Art, one of the best art universities, has no clear axis or rules. Today, Hangzhou continues to move as the location of one of Alibaba’s largest branches in China.
On the last day, we visited Suzhou, the hometown of the craftsmen who built the Forbidden City, with its fragrant wooden sandals and large diameters. Suzhou has everything that makes it a beautiful place. It is close to Shanghai. It has water, stones, and the best craftsmanship in China. One of the most beautiful courtyards there belongs to the I.M. Pei family. Pei once recounted his childhood playing in the gardens and villages of Suzhou. The Suzhou Museum became one of Pei’s last projects, where he reunited with his family after wandering, battling with the best techniques he had to provide the greatest play he could for a well-deserved dignity.
#rawrefleksi #rawinspirasi #hohhot #innermongolia #shanghai #beijing #hangzhou #china
—–
Kami memulai perjalanan untuk mengerti budaya Cina, salah satunya, dari memahami akar budaya yang dimulai dari Mongol, tempat saya melihat preservasi budaya sampai ke titik paling primitif di puncak gunung, di mana persembahan masih dijaga. Hal ini menggambarkan betapa budaya menjadi salah satu hal yang masih dipegang teguh di sini. Setara dengan Yunani dengan akropolisnya, di sini ada Konfusius. Dari barat dan timur ada keseimbangan. Inner Mongolia berlokasi di lempeng tengah Cina yang membelah daerah barat dan timur, tempat menunggang kuda, di mana masih ada tradisi nomaden dan perjuangan untuk hidup di iklim yang ekstrim.
Setelahnya, kami belajar dari Shanghai, sebuah metropolitan yang berkembang dari kampung yang miskin, tempat terjadinya perang opium. Lokasinya yang strategis memungkinkannya menjadi tempat akulturasi budaya barat dan timur.
Namun, di balik itu, adanya kekuatan kapital dan perdagangan yang masuk memberikan sentuhan seni dan kecantikan melalui pengaruh keluarga-keluarga birokrat dan desain rumah taman, bentukan residensinya yang memiliki courtyard. Sentuhan seni muncul hingga ke penataan batu dengan 4 aturan: banyaknya kerutan, tinggi batu, kurusnya batu, dan banyaknya lubang. Batu menggambarkan kuatnya karakter manusia. Ada sebuah pepatah yang menggambarkan air yang menetes terus-menerus di atas batu dapat membuatnya berlubang, tetapi tidak sampai mematahkan. Fenomena tersebut melambangkan kehadiran problematika di dalam kehidupan manusia. Mengalirlah seperti air untuk membuat lubang dan belajar membentuk batu, tetapi jangan mematahkannya.
Di dalam budaya barat, desain banyak dibuat seakan-akan harus mengekspos banyak hal secara langsung di depan mata. Namun, di taman ini, konsep estetikanya justru dibuat untuk menyajikan perlahan-lahan agar kita bisa melihat alam lebih banyak lagi ketika masuk ke titik selanjutnya. Dalam arsitektur Cina, alamlah yang menjadi standar kecantikan, bukan bangunan, bukan arsitektur.
Konsep ini dibawa hingga ke dalam desain produknya. Kursi dengan adanya arm-rest menunjukkan perlambang laki-laki seperti matahari yang memiliki stabilitas, kekuata, dan kuasa. Sementara itu, kursi tanpa arm-rest menunjukkan perlambang wanita seperti bulan yang halus, emosional, dan sensitif. Mereka menjaga anak-anak dan membantu keluarga dari belakang.
Lain Shanghai, lain Beijing. Beijing dibangun dan dikembangkan oleh 2 dinasti, yaitu Ming dan Qing, dengan 24 raja dalam kurun waktu 600 tahun. Kami berjalan dari selatan ke utara, melewati plaza Tianmen [tian (heaven), an (peace), men (gate)]. Di tempat ini, ada banyak perjuangan ideologi, kekuasaan, dan juga mimpi akan kesejahteraan manusia Tiongkok yang besarnya 2-4 kali Jakarta. Di tahun 1950-an, banyak orang tidak bisa baca-tulis. Pada waktu itu, Cina dengan berani menutup tirainya selama berpuluh-puluh tahun untuk menata pasukannya dan membukanya kembali untuk menunjukkan kemajuannya di kemudian hari. Saya sulit menemukan buku berbahasa Inggris di sini. Seakan-akan, ilmu itu disimpan di toko buku atau perpustakaan. Ada cerminan kemandirian ilmu, kepercayaan diri akan akar kakinya, dan kelokalan yang mengglobal. Saya justru menemukan buku “Avant-Garde as Method: Vhkutemas and the Pedagogy of Space” dan “Sigurd Lewerentz” yang jarang dibahas dalam ranah populer. Akan tetapi, orang yang mengetahui pergerakan penting arsitektur dunia akan menyadari besarnya sumbangsih mereka dalam peta duni secara tidak langsung.
Kami kemudian mengunjungi Ningbo, tempat kita dapat mengamati salah satu jenius, Wang Shu, dan karya-karyanya untuk memahami industri yang pesat yang menjembatani kepentingan bisnis Rusia dan kota kelas dua Cina yang mendukung pusat. Di tempat ini, hadir museum yang merayakan kemajuan kota bagi rakyatnya, dipenuhi dengan begitu banyak taman, pameran seni gratis, dan data arsip yang lengkap. Dari situ, kami pun beralih ke Hangzhou, tempat sang jenius dilahirkan dan dibesarkan.
Dikelilingi oleh bukit dan danau, Hangzhou berarti kota surga. Marcopolo telah menyaksikan sendiri filosofi ini ketika mendarat di Cina sekitar 700 tahun yang lalu. Dalam banyak peperangan yang mewarnai wilayah Cina dan konflik pemindahan ibukota, Hangzhou pun luput dari penghancuran kota.
Hangzhou merupakan tanah kelahiran seorang pemimpin bernama Su Tung-Po yang terkenal dengan puisi, sastra, dan ilmu perkotaan modernnya. Su Tung-Po adalah gubernur di era dinasti Song. Ia menyelesaikan masalah air terkait pertanian sekaligus logistik kota dengan sistem kanal. Kami banyak belajar dari perjalanan kami ke Hangzhou kali ini, dengan pengalaman kotanya yang puitis, menyatukan air dan tanah dengan arsitekturnya.
Selain sebagai ibukota dinasti Song, Hangzhou terkenal dengan biara budha dan budaya minum tehnya yang dipercaya mampu memperpanjang umur dengan khasiat polifenolnya yang mengandung antioksidan dan mampu menjernihkan tubuh dari kekeruhan makanan yang dimakan sehari-hari. Dua dari surga dunia menurut pepatah adalah Suzhou dan Hangzhou. Suzhou terkenal dengan pusat kota, budaya, dan arsitektur kesehariannya yang disambung-sambung oleh kanal-kanalnya. Hangzhou terkenal dengan alamnya yang natural. Di sini, harmoni manusia dan alam terepresentasi dalam bentuk kota, alam, dan arsitekturnya.
Di Hangzhou, ada pepatah “di sini hidup bahagia itu setiap hari”. Ada asal-usul kuil dan peta arkeologi yang menunjukkan bahwa kota ini sudah berumur 5 abad. Ada 3 situs UNESCO World Heritage di sini: West Lake, Grand Canal, dan kota kuno Liangzhu. Tidak ada metal, tetapi mereka bisa membuat bendungan. Begitu banyak karya pemenang Pritzker Prize dari Barat ada di sini. Uniknya, karya Wang Shu di China Academy of Art, salah satu universitas seni terbaik, justru tidak memiliki aksis dan aturan yang jelas. Saat ini, Hangzhou terus bergerak sebagai lokasi dari salah satu cabang Alibaba terbesar di China.
Di hari terakhir, kami mengunjungi Suzhou, kampung dari para tukang yang membangun Forbidden City, dengan sandal kayunya yang wangi dan berdiameter besar. Suzhou memiliki semua hal yang menjadikannya tempat yang indah. Ia dekat dengan Shanghai. Ia memiliki air, batu, dan ketukangan terbaik di Cina. Salah satu courtyard terindah di sana dimiliki oleh keluarga I.M. Pei. Pei pernah bercerita tentang masa kecilnya bermain-main di taman dan perkampungan di kota Suzhou. Suzhou Museum menjadi salah satu proyek terakhir Pei, tempat ia bertemu kembali dengan keluarganya setelah berkelana, berjibaku dengan teknik terbaik yang dimiliki untuk memberikan permainan terdahsyat yang ia bisa demi sebuah harga diri yang pantas diperjuangkan.
#rawrefleksi #rawinspirasi #hohhot #innermongolia #shanghai #beijing #hangzhou #china









