Kategori
blog

I.M. Pei: Taksu and Pragmatism

I.M. Pei: Taksu and Pragmatism

I got to know architect I.M. Pei more deeply through Eka Swadiansa when, in 2007, he sent an email to discuss the book Spirit 45 and the enthusiasm for exploring discursive architecture. I consider Spirit 45 still relevant to what I strive for today. I greatly appreciate the continuous efforts that overlap with what I and my friends at OMAH Library also fight for. Behind the platform in any name and branding used to boost popularity, architecture becomes a means of therapy, duty, and a noble mission to spread many stories of goodness.

I describe the Suzhou Museum as a classic work with neat, orderly datum, parti, and porch. This work has openings and closures with a disciplined repertoire that harmonizes with its surroundings. Pei is very careful in playing with vistas, reflecting the lines of hills and valleys, as well as the everyday patterns of Suzhou with its black-and-white colors.

Upon entering the main museum, we are greeted by a foyer as a meeting point, where light enters and illuminates the intersecting geometry of the stairs, combining clear forms to present the silhouette of Suzhou as it is. Imaginary lines are made to continue from the city’s horizon to the stairs and roof of this building, with the scale of the Forbidden City’s walls as the highest height limit. Each building mass is connected by corridor hallways with repetitive and pragmatic lighting grids. I learned pragmatism from Mr. Yuswadi Saliya. Pragma is the art of examining skills until they become familiar. Its highest point is exploring taxonomy. Therefore, the science of sense is synonymous with taksu (an abstract spiritual essence).

This intersecting fold is continued to the central axis of the entrance, framing a courtyard containing one of the most beautiful gardens I have ever seen. There, stones are processed with the fifth technique/rule (rules 1-4 are stones with many wrinkles, tall, slender, and with many holes), which is to slice the stones perfectly to produce new shapes like paintings on a frozen paper scroll. His technique is an elaboration from “make a hole but don’t break it” to “slice it to celebrate the history.”

Each viewing area of the museum is divided into floor plans resembling the layout of a pagoda, indicating a primitive phase, framing a bamboo garden. Gradually, we are then invited to experience the everyday life of Pei’s late elder, Ming (Ieoh Ming Pei), who had a calming simplicity as the culmination of three dimensions of religiosity he experienced. The first dimension is being quite happy (Confucius) where life is graded with the goal of being happy by feeling content within oneself. The second dimension is flowing like water (Tao). The third dimension is doing for others, not for oneself (Virtue). Virtue means more than good. It is a mission to continuously spread goodness without expecting a return.

In a previous post, I discussed three types of architecture in China. This time, I find it difficult to classify them. For me, that is no longer an issue. At this point, my heart has been touched by taksu. The journey to Suzhou Museum was then closed with an exhibition of vernacular Suzhou houses, where the ground can be used for learning while appreciating everyday aesthetics. When I entered the 1:1 scale model house, time seemed to stop…

I remember Mr. Eko Prawoto, Mr. Josef Prijotomo, my father, and their daily lives as ordinary humans. It is there that I found them.

——

Saya mengenal arsitek I.M. Pei lebih dalam melalui Eka Swadiansa ketika pada tahun 2007 ia mengirimkan e-mail untuk membahas buku Spirit 45 dan semangat untuk menggali arsitektur yang diskursif. Saya menganggap bahwa Spirit 45 masih relevan dengan apa yang saya perjuangkan sampai sekarang. Saya sangat menghargai usaha yang dilakukan terus-menerus dan sekaligus menjadi irisan atas apa yang juga diperjuangkan oleh saya pribadi dan teman-teman di OMAH Library. Di balik kendaraan platform dalam bentuk nama dan branding apapun yang dipakai untuk mendongkrak popularitas, arsitektur menjadi satu sarana terapi, darma, dan misi yang mulia untuk menyebarkan banyak sekali cerita kebaikan.
.
Saya menyebut Suzhou museum sebagai karya yang klasik dengan datum, parti, dan porche yang rapi, runtun, dan teratur. Karya ini memiliki bukaan dan tutupan dengan sebuah repertoar yang tertib dan selaras dengan lingkungan sekitarnya. Pei sangat berhati-hati dalam memainkan vista yang dibalik-balik, mencerminkan garis-garis lereng bukit dan lembah, serta pola keseharian Suzhou dengan warna putih-hitamnya.
.
Saat memasuki museum utama, kita akan disambut oleh foyer sebagai titik temu, tempat cahaya masuk dan menyinari geometri tangga-tangga yang dibuat saling-silang, menggabungkan bentukan yang jernih dalam usaha menampilkan siluet Suzhou apa adanya. Garis-garis imajiner dibuat menerus dari horizon kota menuju ke tangga dan atap dari bangunan ini, dengan skala dinding Forbidden City sebagai batas ketinggian tertingginya. Setiap massa bangunan dihubungkan oleh selasar koridor dengan pencahayaan dari kisi-kisi yang dibuat repetitif dan terlihat pragmatis. Saya belajar pragma dari Pak Yuswadi Saliya. Pragma adalah seni menelisik keahlian sehingga terbiasa. Titik tertingginya adalah menggali taksonomi. Oleh karenanya, ilmu rasa identik dengan taksu.

Tekukan saling-silang ini ia lanjutkan hingga ke aksis tengah pintu masuk yang membingkai courtyard yang berisi salah satu taman terindah yang pernah saya lihat. Di sana, ada batu-batu yang diolah dengan teknik/aturan kelima (aturan 1-4 adalah batu yang memiliki banyak kerutan, tinggi, kurus, dan memiliki banyak lubang), yaitu batu diiris sempurna sehingga menghasilkan bentukan baru bagaikan lukisan di atas gulungan kertas yang membeku. Tekniknya merupakan elaborasi dari “make a hole but don’t break it” menjadi “slice it to celebrate the history”.
.
Satu per satu area pandang museum dibagi ke dalam bentukan denah menyerupai denah pagoda yang menandakan fase primitif, membingkai taman bambu. Secara berangsur-angsur, kita kemudian diajak mengalami keseharian mendiang tertua keluarga Pei, Ming (Ieoh Ming Pei), yang memiliki simplisitas yang menenangkan sebagai kulminasi dari 3 dimensi religiusitas yang dialaminya. Dimensi pertama adalah keadaan cukup bahagia (Konfusius). Hidup ini berjenjang dengan tujuan untuk menjadi bahagia dengan merasa cukup pada diri sendiri. Dimensi kedua adalah keadaan mengalir seperti air (Tao). Dimensi ketiga adalah untuk orang lain, bukan untuk diriku (budi). Budi berarti lebih dari baik. Ia adalah misi untuk terus menebar kebaikan tanpa mengharapkan imbalan.
.
Di postingan sebelumnya, saya membahas tentang 3 tipe arsitektur di Cina. Kali ini, saya justru kesulitan menemukan klasifikasinya. Bagi saya, itu sudah tidak menjadi persoalan lagi. Di titik ini, hati saya sudah tersentuh oleh taksu. Perjalanan ke Suzhou Museum lalu ditutup dengan pameran rumah vernakular Suzhou yang bagian dasarnya dapat digunakan untuk belajar sembari memaknai estetika sehari-hari. Pada saat saya memasuki model rumah dengan skala 1:1 tersebut, waktu seakan berhenti …

Saya mengingat sosok Pak Eko Prawoto, Pak Josef Prijotomo, ayah saya, dan keseharian mereka menjadi manusia biasa. Di situlah, saya menemukan mereka.

#rawrefleksi #rawinspirasi #hohhot #innermongolia #shanghai #beijing #hangzhou #china

avatar Realrich Sjarief

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar