Terima kasih untuk seluruh rekan-rekan dan semua yang hadir dalam diskusi 8 jam di Ruang Guha Plato, yang gelap seperti lubang hitam. Kami duduk bersila, sejajar, dari pribadi menuju komunitas. Di sini saya mendapat kawan, teman berdiskusi, sehingga perjuangan terasa tidak sendirian. Dari topik abstraksi, tafsir, post-colonial, hingga utopia, dibahas dari berbagai sudut pandang oleh orang-orang yang mencurahkan hidupnya untuk arsitektur. Mereka yang hadir adalah orang-orang yang cinta pada pengetahuan, dan dari merekalah kami belajar tentang menjadi manusia pembelajar, penuh kasih sayang, bahwa masa depan adalah mimpi untuk membangun dan meneruskan tongkat estafet ke generasi muda.
Dari Mas Anas, kami belajar tafsir yang merdeka melalui mendengarkan. Dari Pak Ryadi, kami belajar kultur studio yang melihat kelemahan sebagai kekuatan. Pak Abidin mengajarkan kami bahwa tujuan post-colonial adalah membela yang lemah. Juga Gede yang mengajarkan bahwa isolasi adalah cara untuk keluhuran, perlu sikap kritis dan keberanian untuk membangun sistem yang terhubung secara global, hingga membentuk budaya luhur. Cahyo mengajarkan variasi pengajaran melalui rangka dan solid, memberi pilihan dalam membentuk karakter yang adaptif. Nanda mengingatkan kami bahwa identitas bukan hanya ideologi, tetapi juga strategi bermanuver. Jo Adiyanto mengajarkan pentingnya jejaring sejarah, keseimbangan kampung-kota, dan desa.









