Perjalanan yang tidak terlupakan, diajak
mas Cahyo Novianto, bareng Fitri, Hanifah, dan
rombongan anak-anak Universitas Mercu Buana kami
memulai petualangan ke Baduy, Desa Kanekes, Lebak,
Banten. Beliau punya visi bagaimana arsitektur bisa
dilihat dari sudut pandang yang lebih holistik,
substansial akan tradisi dan modernitas. Disitulah ada
krisis -krisis, komunal juga personal
Kami datang untuk belajar dari masyarakat adat
sekaligus mendukung survei ekspedisi tim Mercu
Buana. Perjalanan yang jauh terasa ringan berkat
pemandu kami yang penuh semangat. la berjalan tanpa
henti, kang Sarpin dan kang Cahyo membuat kami ikut
melaju hingga waktu tempuh terpangkas setengah.
Di Baduy, kami disambut hamparan hutan, aliran Sungai
Cisimeut, dan kampung-kampung sederhana yang kaya
makna. Mas Cahyo, yang sangat memahami budaya
Baduy, menjadi pencerah. la menjelaskan bagaimana
masyarakat Baduy menjalani kehidupan sehari-hari
dengan kearifan lokal: hidup selaras dengan alam, tanpa
teknologi modern (terutama di Baduy Dalam), dan
mengandalkan pertanian organik serta sumber daya
hutan.
Salah satu pelajaran menarik adalah tentang leuit,
lumbung padi tradisional. Mas Cahyo menunjukkan
perbedaan leuit lenggang dan leuit kampung. Leuit
lenggang, khas Baduy Dalam, adalah lumbung
panggung tinggi dengan tiang panjang, dilengkapi kayu
bundar (gelebek) anti-tikus dan batu rata (tatapak)
anti-rayap. Leuit ini sakral, menyimpan padi hingga 100
tahun sebagai simbol ketahanan pangan dan
penghormatan pada Dewi Sri. Sebaliknya, leuit
kampung (atau leuit gugudangan/handap) di Baduy
_uar lebih rendah, dengan tiang pendek atau hampir
menyentuh tanah. Meski fungsinya sama, leuit kampung
lebih sederhana
Kami juga melewati Jembatan gajeboh, struktur
menakjubkan di atas Sungai Cisimeut yang
menghubungkan kampung Batara (Baduy Luar) dengan
ladang dan desa lain. Terbuat dari akar pohon karet dan
bambu, jembatan ini terbentuk alami selama puluhan
tahun.







