Kategori
blog-formative years

Final Project at Institute Technology of Bandung – Special Prayer For The Death

Tugas Akhir adalah saat yang paling berkesan karena hal ini adalah rekonsiliasi dari kegagalan saya sendiri di tingkat 3, mendapatkan nilai E dan mendapatkan pelajaran mengenai transformasi dari kerja keras, dan membiarkan orang lain mengisi transformasi tersebut dengan tantangan – tantangan, sampai saya merubah tampilan, baju yang saya pakai supaya lebih formal setiap harinya supaya ada kedisiplinan, dan titik fokus dalam membuat karya arsitektur.

Harapan saya supaya umpan balik, proses, dan hal yang indah yang saya dapatkan bisa dibagikan dan dialami oleh adik – adik mahasiswa.

Saya adalah orang yang berusaha menjadi kakak yang bisa membantu adik – adik saya untuk menjalani proses kelahiran mereka. Terkadang saya mengalami gelap gulita di dalam transformasi saya sendiri. Dengan berdialog dengan masa lalu dan adik – adik saya, suasana menjadi damai. Konstruksi dialog, rekonsiliasi, dan kecerdasan transformatif adalah hal – hal yang saya cintai dan saya perjuangkan melalui arsitektur.

Kawasan Cigondewah pada tahun 70 – an adalah kawasan yang sangat hijau, kemudian seiring dengan perkembangan Bandung, berubahnya mata pencaharian penduduk dari bertani kepada industri kain, pengrusakan alam mulai terjadi, limbah – limbah industri mulai meracuni alam. Cigondewah mulai tandus, air mulai sulit diperoleh, dan bau – bauan menyengat. Hal ini kemudian menjadi suatu hal yang biasa dalam keseharian penduduk Cigondewah. Berangkat dari masalah – masalah lingkungan ini, galeri ini melakukan eksperimentasi mengenai bagaimana sebuah galeri ini menjadi instalasi yang mampu mengurangi dampak lingkungan dengan keberadaan Tisna Sanjaya untuk meningkatkan kesadaran lingkungan.

Dilihat dari arah kota, galeri ini akan membuat kesan surprise, landsekapnya akan dilingkupi pepohonan. Dari komposisi bentuknya Galeri Seni Tisna Sanjaya menyiratkan Karya Instalasi dari Tisna Sanjaya, Special Prayer for the death. Bentuk dinding menerus yang membelah kawasan secara diagonal akan menyiratkan anjungan dari special prayer for the death, sehingga secara perspektif, bentuk perahu itu akan muncul dan semakin ke arah barat seakan – akan tenggelam ke dalam tanah.

Di dalamnya anak – anak memiliki ruang untuk bermain di taman, berpartisipasi dalam kegiatan – kegiatan seni, melukis di tempat – tempat yang disediakan. Pengunjung bebas untuk datang, minum kopi, ngobrol, berdiskusi masalah seni atau sosial. Di dalamnya para pengunjung juga bebas untuk berekspresi dan mengeluarkan pikiran dan ideologinya tanpa rasa ketakutan.

Sebelum saya menjalani Tugas Akhir di tingkat 4. Di Tingkat 3 saya pernah gagal dan mendapatkan nilai E karena fokus waktu saya pada waktu itu ada di kemahasiswaan. (lihat cerita ini : di gunadharma awal titikpertama).

Setelah itu saya belajar melalui magang, dan membantu di berbagai 3 biro berbeda, 2 laboratorium multimedia (ITB dan 3+) sembari melatih teknik penggambaran melalui saat – saat mentrace gambar dari buku – buku yang saya temukan di perpustakaan ITB. Saya belajar bahwa belajar arsitektur membutuhkan banyak waktu.

Di waktu saya dibimbing oleh Pak Baskoro Tedjo (lihat cerita : Meaning Giver), beliau tidak pernah mencoret sketsa di kertas gambar saya. Saya bingung, terkadang meminta arahan, tetapi beliau hanya mendorong untuk membuat opsi, sketsa, dan transformasi desain yang terkadang pertanyaan – pertanyaan yang diajukan membuat saya penasaran. Di dalam proses itu saya mendapatkan prinsip permutasi desain, dimana ada runtutan logika – logika yang saling di perbandingkan untuk mendapatkan solusi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Disitu saya memproduksi 10 lembar gambar A 1 di kertas karkir, dua buah board 3 dimensi, dan 1 buah lukisan cat minyak, dengan maket.

Di waktu saya dibimbing oleh Pak Baskoro Tedjo, beliau tidak pernah mencoret sketsa di kertas gambar saya. Saya bingung, terkadang meminta arahan, tetapi beliau hanya mendorong untuk membuat opsi, sketsa, dan transformasi desain yang terkadang pertanyaan – pertanyaan yang diajukan membuat saya penasaran. Di dalam proses itu saya mendapatkan prinsip permutasi desain, dimana ada runtutan logika – logika yang saling di perbandingkan untuk mendapatkan solusi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Disitu saya memproduksi 10 lembar gambar A 1 di kertas karkir, dua buah board 3 dimensi, dan 1 buah lukisan cat minyak, dengan maket.

Total ada 4 dosen yang menjadi penguji termasuk dosen saya sendiri Pak Baskoro Tedjo (lihat cerita : Meaning Giver). 3 dosen lain adalah Dewi Larasati, Adib Abadi, dan Ahmad Rida Soemardi yang baru pulang dari praktik di Yunani.

Saya sangat terkesan dengan suasana di sidang akhir, dimana ada perdebatan yang berkesan yang dimulai dari pertanyaan Pak Baskoro, “Kenapa bentuk diagonalnya diletakkan disitu, kenapa tidak kebalikannya ? apa dasar perancangan saudara.” Saya terdiam beberapa saat di waktu itu, dan dosen penguji lain, Bu Dewi Larasati tiba – tiba berbisik, “pintu masuk”.

Dari pertanyaan dan bisikan itu saya mendapatkan jawaban bahwa galeri ini dinikmati justru dari perspektif ketika seseorang memasuki pintu masuk, ia akan bisa melihat klimaks atau titik puncak dari perancangan yakni, instalasi seni Tisna Sanjaya. “Special Prayer of The Death”. Hal – hal tersebut tidak saya pernah duga, bagaimana bisa salah satu dosen penguji membisikkan sesuatu yang akhirnya menginspirasi untuk sebuah jawaban. Mungkin saja waktu itu Bu Dewi lupa, dan terlontar begitu saja, mungkin saja empati beliau terpantik, begitu melihat pertanyaan sulit yang diajukan pembimbing saya sendiri.

Setelah itu, Pak Adib Abadi pada waktu itu mendadak maju ke depan dan mengukur dan menghitung jumlah tangga, saya tidak pernah menyangka di Tugas Akhir hal tersebut penting. Penyadaran itu membuat saya bertanya – tanya bahwa detail itu begitu penting. “sampai dihitung jumlah anak tangganya ?” Namun hal tersebut bisa dijawab dengan baik, saya juga membantu beliau menghitung, intinya saya tidak menutup – nutupi hal apapun, semua informasi tersedia di gambar.

Pada akhirnya Ahmad Rida Soemardi kemudian bertanya “Apakah saudara puas melihat hasil saudara sendiri, apa perasaan kamu ?”

Saya menjawab, bahwa saya terus mengerjakan ini sepenuh hati, dengan semua daya sehingga bisa sampai sejauh ini, sehingga tidak pernah berpikir tentang hasil yang memuaskan. Yang terpenting adalah apa penilaian dosen – dosen sehingga saya bisa menjadi orang yang lebih baik.

Kemudian, Pak Ahmad Rida Soemardi berdiri dan bertepuk tangan. 3 dosen lainnya juga berdiri dan bertepuk tangan.

Saya tertegun, terharu, dan meneteskan air mata, baru kali itu saya terharu karena apresiasi mereka yang saya anggap sebelumnya sebagai tantangan, padahal merekalah yang mendukung saya dari belakang, meskipun kadang saya tidak menyadarinya.

1 jam kemudian, di satu ruangan ada seluruh dosen – dosen arsitektur ITB. Kami dibacakan status kami, ada yang lulus langsung, lulus bersyarat dengan perbaikan, dan ada yang tidak lulus.

Kami duduk berbanjar, dalam format saling berhadapan dan mengelilingi, ada sekitar 40 orang di dalam satu ruangan pada saat itu, termasuk dosen – dosen.

Pak Ridwan Kamil (lihat cerita lain : “Ridwan Kamil – Professional Professor) adalah salah satu dosen yang pernah membimbing saya di tingkat sebelumnya, ia duduk di depan saya. Pada waktu menunggu, saya mendapatkan sms dari beliau, beliau mungkin melihat panel – panel kami yang dipajang di depan ruang sidang dan ingin memberikan pendapat karena saya masih sering bertukar pesan terkadang karena ada pekerjaan yang mungkin bisa saya bantu.

sms beliau masuk.

“Realrich mau tidak kamu kerja bareng saya di Urbane.”

Saya berpikir, bagaimana bisa saya lulus saja belum. Saya mikir ini Mas Emil becanda deh, dia duduk di depan saya pada waktu itu, tapi ia tetap menatap ke depan sambil melihat hpnya. Saya bingung kok ada pesan seperti itu.

Akhirnya pengumuman itu dibacakan dan saya lulus. Sesaat acara itu ditutup oleh kepala jurusan pada waktu itu, bu Himasari Hanan, mendadak Pak Ridwan Kamil berbalik

Ia berkata, sembari tersenyum “Bagaimana apakah tawaran saya diterima, sudah ada jawaban ?”

saya terkesima, sungguh epik dan kehormatan luar biasa.

Tugas Akhir adalah saat yang paling berkesan karena hal ini adalah rekonsiliasi dari kegagalan saya sendiri di tingkat 3, mendapatkan nilai E dan mendapatkan pelajaran mengenai transformasi dari kerja keras, dan membiarkan orang lain mengisi transformasi tersebut dengan tantangan – tantangan, sampai saya merubah tampilan, baju yang saya pakai supaya lebih formal setiap harinya supaya ada kedisiplinan, dan titik fokus dalam membuat karya arsitektur.

Harapan saya supaya umpan balik, proses, dan hal yang indah yang saya dapatkan bisa dibagikan dan dialami oleh adik – adik mahasiswa.

Saya adalah orang yang berusaha menjadi kakak yang bisa membantu adik – adik saya untuk menjalani proses kelahiran mereka. Terkadang saya mengalami gelap gulita di dalam transformasi saya sendiri. Dengan berdialog dengan masa lalu dan adik – adik saya, suasana menjadi damai. Konstruksi dialog, rekonsiliasi, dan kecerdasan transformatif adalah hal – hal yang saya cintai dan saya perjuangkan melalui arsitektur.

English :

The Cigondewah area in the 70s was very green. Along with the development of Bandung, the people’s livelihood changed from farming to the cloth industry, and natural destruction began to occur, industrial wastes began to poison nature. Cigondewah is becoming barren, water is getting hard to come by, and the smell is pungent. This situation later became a common thing in the daily life of the residents of Cigondewah. Departing from these environmental problems, this gallery conducts experiments on how a gallery can become an installation that can reduce environmental impacts with the presence of Tisna Sanjaya to increase ecological awareness.

From its composition, the Tisna Sanjaya Art Gallery implies Tisna Sanjaya’s installation, Special Prayer for the death. Viewed from the direction of the city, this gallery will make a stunning impression, and trees will surround the landscape. The continuous wall shape that divides the area diagonally will imply a platform of Special Prayer for The Death. From perspective, the boat’s shape will appear and move towards the west as if sinking into the ground.

Children have space to play in the garden, participate in art activities, paint in the areas provided. Visitors are free to come, have coffee, chat, discuss artistic or social issues. In it, visitors are also free to express and express their thoughts and ideologies without fear.

Before I took my Final Project at level 4, at Level 3, I had failed and got an E because my focus at that time was on student affairs. After that, I studied through internships and helped in 3 different bureaus and two multimedia laboratories (ITB and 3+) while practicing drawing techniques by tracing pictures from drawing books I found in the ITB library. I learned that studying architecture takes a lot of time.

When Mr. Baskoro Tedjo mentored me, he never crossed out the sketches on my drawing paper. I was confused, sometimes asking for directions, but he only encouraged me to make options, sketches, and design transformations which sometimes the questions asked intrigued me. In the process, I found the principle of permutation of design, where there is a sequence of logic. The logic is compared to each other to get a solution that I never imagined before.

In the final jury, I produced ten sheets of A1 drawings on tracing paper, two 3-dimensional boards, and one oil painting, with mockups.

I was very impressed with the atmosphere at the final session, where there was an impressive debate starting with Mr. Baskoro’s question, “Why is the diagonal shape placed there, why not the other way around? What is the basis for your design.” I was silent for a while at that time, and another examiner, Mrs. Dewi Larasati, suddenly whispered, “Entrance.”

From those questions and whispers, I got the answer that this gallery is enjoyed from the perspective that when someone enters the entrance, they will see the climax or the culmination of the design, namely, Tisna Sanjaya’s art installation. “Special Prayers of the Death”.

I never expected these things. How can one of the examiners whisper something that finally inspires an answer? Maybe at that time, Mrs. Dewi forgot and just threw it out; perhaps her empathy was sparked when she saw the difficult question asked by my supervisor.

After that, Mr. Adib Abadi suddenly came forward and measured and counted the number of stairs, and I never thought that in the Final Project, this would be important. That realization made me wonder how important those details are. “Until the number of steps is counted?” I answered all the questions. I also helped him calculate; I don’t cover up anything. All information is available in the picture.

In the end, Ahmad Rida Soemardi then asked, “Are you satisfied with your own results, how do you feel?”

I replied that I was working on this with all my heart and hard work to get this far. I never think about a satisfactory result. The most important thing is what the lecturers evaluate to become a better person.

Then, Pak Ahmad Rida Soemardi stood up and clapped. The other three lecturers also stood up and applauded.

I was stunned, moved, and shed tears, and this was the first time my heart was touched because of their appreciation, which I considered before as a challenge, even though they were the ones who supported me from behind, even though sometimes I didn’t realize it.

One hour later, there were all ITB architecture lecturers in one room. We were read out on our status, some passed straight away, passed conditionally with improvements, and some did not pass.

We sat in rows, facing each other and around each other; there were about 40 people in one room at that time, including the lecturers.

The Final Project was my most memorable moment because it reconciled my failure at level 3. I got an E in my third grade and learned about transformation from hard work and letting others fill that transformation with challenges until I changed my appearance and clothes. I used to be more formal every day so that there is discipline and a focal point in doing architectural works.

I hope that the feedback, process, and wonderful things I get can be shared and experienced by younger students.

I am a person who tries to be a big brother who can help my younger siblings to go through the process of their birth. Sometimes I experience complete darkness in my transformation. The atmosphere became peaceful by dialogue with the past and the younger students. Dialogue construction, reconciliation, and transformative intelligence are things I love and strive for through architecture.

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s