Setiap orang dalam langkah hidupnya di dunia ini pasti membutuhkan rumah. Rumah adalah satu tempat dimana kita bisa pulang, mengekspresikan diri kita dalam sudut – sudut yang paling pribadi. Rumah adalah representasi dari orang yang tinggal didalamnya, terlihat dari wujud citra diri arsitektur yang ada di bangunan tersebut, apakah ia hidup sendiri, hidup dengan keluarga kecilnya, ataupun hidup dengan satu keluarga besarnya.
Citra diri ini terlihat dari hal yang yang besar sampai titik yang terkecil seperti Denah bangunan, sirkulasi antar ruang sampai elemen yang terkecil seperti di rumah ayah saya di Jakarta yang dibangun oleh dirinya sendiri. Gagang pintu yang membentuk kehidupan bagaimana pintu itu dibuka sehari – hari atapun bel rumah itu yang berbentuk unik dari material besi dengan gantungan bandul untuk membunyikannya yang bersuara seperti lonceng sapi. Suaranya lantang sampai jarak 5 rumah pun masih terdengar. Secara filosofis bel itu menjawab citra dirinya yang harus bersuara lantang memanggil penghuni untuk keluar dan menyapa orang lain yang datang untuk beramah tamah. Tampak rumah ayah saya bersifat fungsional dengan jendela kelipatan 60 cm dan bouvenlie setinggi 60 cm sebagai tempat keluar masuknya udara. Bentuk atap seperti Joglo menjanji satu kepraktisan turunnya air secara baik dengan kemiringan material genteng 30 dan 60 derajat dan sisi fungsional dimana di dalam atap joglo tersebut masih ada satu ruangan gudang. Rumah ini sejalan dengan pribadi ayah saya yang fungsional dan berhati – hati dalam menjalani hidup.
Hal tersebut adalah hasil dari Proses diskusi untuk membuat denah rumah, tampak rumah, sampai pemilihan gagang pintu, jenis pintu, pola dan jenis lantai, pola dan jenis plafond antar pemilik rumah dan arsiteknya menjadi satu proses yang membentuk citra diri arsitektur bangunan. Kalau – kalau pemilik rumah itu adalah arsitek bangunannya, terjadilah dialog itu didalam dirinya sendiri.
Romo Y.B. Mangunwijaya membahas ini dalam buku yang ditulisnya berjudul Wastu Citra berdasarkan ide bahwa setiap bangunan hendaknya memiliki citra khusus / image yang sesuai dengan identitas untuk apa bangunan itu dibangun sehingga bangunan menjadi memiliki citra diri. Buku ini menjadi landasan dalam berbuat, bahwa di dalam karya satu bangunan yang baik, cerminan citra ini menjadi satu hal yang jujur menjelaskan siapa yang menghuni, siapa arsiteknya yang mendesain, siapa yang membangun, dan bagaimana bangunan tersebut berdiri di atas alam dengan rentang waktunya tersendiri, yakni rentang waktu proses.
Rumah Glass House di conecticut milik arsitek Philip Johnson menunjukkan citra yang transparan, ringan dengan material baja, rumah ini memiliki konsep transparansi ke taman sebagai latar belakang rumah tersebut. Rumah ini l berukuran 9.8 x 17 m dengan keseluruhan dinding kaca dan ekspresi solid hanya ditunjukkan oleh ekspresi toilet di tengah – tengah bangunan. Philip Johnson hidup sendirian, tidak memiliki pelayan, sehari – hari ia ditemani oleh alam, lukisan dan buku – bukunya. Karya Philip Johnson ini , Glass House menjadi satu lambang modernisme yang menurut Nicolai Ouroussoff, seorang kritikus arsitektur menilai ini adalah satu rumah yang paling terkenal di Amerika, yang menjadi salah satu tonggak dalam sejarah arsitektur modern pada tahun 1949 di dalam jurnal architectural review.
Citra itu terbentuk atas satu proses yang panjang dimana satu bangunan setidaknya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dibangun dimana beton pun membutuhkan waktu untuk mengering setidaknya selama 21 hari, baja membutuhkan waktu untuk fabrikasi lebih lama dalam perencanaan yang kemudian bisa terakumulasi lebih cepat dalam proses perakitannya.
Proses pembentukan arsitektur adalah satu rajutan yang kompleks dengan segala elemen pembentuknya. Saya pikir ada dua elemen terutama dalam menentukan citra satu bangunan. Yang pertama, satu pemahaman yang utuh mengenai kualitas satu bangunan, satu citra diri arsitektur yang utuh adalah satu permulaan, dari jaman peradaban jaman ketika vitruvius menanamkan pentingnya estetika, utilitas, dan kekuatan struktur. Ataupun ketika jaman mulai berubah yang secara filsuf mulai terbentuk ideologi – ideologi yang membentuk bagaimana satu ruang itu dibentuk. Arsitektur mulai membawakan pesan dalam kekuatan desain bangunan yang dirancangnya.
Yang kedua adalah jati diri klien yang meminta arsitek tersebut untuk didesainkan rumahnya. Dibalik semua rajutan yang kompleks diatas. Setiap orang yang memiliki rumah memiliki satu impian untuk diwujudkan dari masa ia kecil sampai dewasa, sampai mampu untuk mengekspresikan dirinya di atas bangunan yang dihuninya. Seorang klien adalah satu figur yang sangat penting. Arsitek bisa sukses karena klien yang dilayaninya mampu bermimpi mengenai rumah yang disukainya. Setiap klien dalam berkerjasama dengan seorang arsitek perlu untuk menyampaikan kebutuhannya, preferensi pribadinya dalam membayangkan rumah pribadinya. Proses tarik menarik akan terwujudnya rumah idamannya ini membentuk satu interaksi yang saling memberi dan menerima. Satu desain rumah bisa jadi bersifat konservatif, mengikuti romantisme jaman seperti rumah neo kolonial dengan repetisi kolom – kolomnya yang tegas, ataupun rumah yang merepresentasikan kebutuhan pemiliknya yang dimulai dari perancangan yang membentuk ruang – ruang yang unik di dalamnya.
Oleh karena itu, kekuatan yang ada dibalik karya arsitektur adalah satu proses yang panjang dari membangun satu bangunan yang abadi atau tak lekang jaman dimana ketika kualitas proses tersebut sedemikian tingginya jadilah seseorang yang menghuni rumah tersebut akan mendapatkan perjalanan yang demikian indahnya dalam memahami dunia arsitektur. Dan kemudian arsitek pada akhirnya bisa berbangga hati bangunan yang didesainnya membawa kedamaian untuk penggunanya. Seperti kata John Ruskin, “When love and skill work together, expect a masterpiece.”
tulisan ini di publish di majalah baccarat edisi Mei – Juni 2014