Langit, langit, dirimu begitu biru, satu saat dirimu begitu mendung, apa pesanmu, kucoba menangkap
satu orang berbisik, dunia tidak sama lagi
Bumi, bumi, dirimu begitu hangat, satu saat dirimu begitu dingin, apa pesanmu, kucoba menangkap
satu orang berbisik, dunia tidak sama lagi
Satu saat kutangkap pesan langitan, dan pesan tanah ini, katanya jaman sudah berubah
tidak seperti dulu ketika satu dekade lalu begitu hangat di bumi priangan
teman seperjalananku dalam menatap langit dan menapak bumi berkata,
mungkin ini pesan langitan, arahan bumi, mengenai birunya langit, dan hangatnya tanah
Ketika jaman silih berganti, ketika sang gunadharma menua, muncul pertanyaannya
apa yang bisa dipertahankan, apa yang kemudian berubah, manifesto fisik apa yang bisa diperbuat untuk mempertahankannya
usia tidak akan pernah sama, masa lalu, detik, menit, jam hari, bulan, tahun, berangsur dengan satu jentik jari antara masa lalu dan masa kini.
Manusia punya umur, kalau ia beruntung bisalah ia mendapatkan 100 tahun,
Langitan oh langitan apa pesanmu terhadap daging, otot yang membalut tulang yang digerakkan oleh akal dan hati.
namun
Langit diam, bumi pun juga diam.
Satu Orang berbisik, akan tiba waktu, untuk menggerakkan kembali otot, daging, tulang,
seperti jaman dahulu, ketika jaman masih sama, ketika gunadharma belum menua
kenangan demi kenangan antara masa lalu, dan masa depan, bergerak berputar
orang yang berbisik tidak hanya satu, mereka beramai – ramai
ramai – ramai yang meributkan dunia tidak sama,
diri ini menengadah ke langit, dan duduk merasakan bumi,
Namun langit masih diam, bumi pun diam
langit masih saja mendung, bumi pun masih dingin
Kemudian satu waktu sosok itu muncul,
satu anomali dalam dunia,
dalam keriputnya ia membalas paradoks antara tangan dan akal, antara masa lalu dan masa depan,
antara solid dan void, antara dinamis dan statis
keabadian, warisan menjadi tujuannya untuk berbagi dengan tangannya yang sudah tidak sekuat dulu,
boleh jadi dalam balutan daging otot tulang ia lelah, namun cobalah lihat matanya, saya tidak berani
Satu saat saya berkesempatan melihat hatinya, mencoba menebak – nebak apa mau orang tua ini,
tak dinyana
ternyata hari itu saya belajar mengenai kehidupan, dan apa pesan untuk hadir di dunia ini,
bahwa totalitas menjadi manusia adalah mengabdi kepada alam semesta, alam dan masyarakat,
menjalani semuanya dengan harapan adanya secercah nilai yang bisa dibagikan kepada orang lain.
yaitu semangat, hati, ketulusan untuk berbuat dalam hidup yang singkat ini.
orang tua yang mengajarkan bahwa spirit itu yang akan ditebarkan
itu yang abadi yang bukan hanya menyentuh akal namun juga hati terdalam.
Senin depan keadaan mungkin berubah dalam hidup ini, dengan inspirasi yang diterbitkannya,
biar saya saja yang menamakan orang tua ini matahari dari priangan.
satu saat, mendung berangsur – angsur hilang, langit itu kembali biru,
diri ini jongkok meraba tanah, bumi kembali hangat.
“selamat datang”, kata orang tua itu.
terima kasih,
Orang tua itu, Seniman Sunaryo
Bandung, 31 May 2014, Realrich