https://instagram.com/p/r3Va_fArcC/?taken-by=realrich82
“Negeri – negeri asia lainnya jauh lebih maju daripada Indonesia pada masa – masa sebelum perang dunia ke II. India telah dimahkotai hadiah nobel karena cerpen – cerpen Tagore. Singapure dan Malaya, serta Vietnam (ingat saja pada Perre Do – Din), tapi di masa sebelum perang dunia II itu, Indonesia baru menyumbangkan Hikayat Kancil, surat – surat Kartini, dan karya Multatuli yang notabene adalah pengarang Belanda.” [1]
Lalu bagaimana mengenai arsitektur Indonesia, apakah kita lebih maju ? Apakah kita kehilangan pondasi dalam berinovasi, sibuk melihat masa lalu, tanpa menatap masa depan. Lalu, pertanyaannya apakah kita sedang berarsitektur ke arah yang lebih baik ? lalu apakah nilai – nilai yang berpusat pada kebenaran itu semakin kuat mengakar dalam budaya berarsitektur kita, empati yang mendalam akan alam dan manusianya. Ataukah, kita terbutakan dalam keegoisan diri sendiri, dalam arsitektur itu tercerminkan jati diri satu karya, apakah ia pongah, apakah ia jujur, apakah ia sederhana, ataukah ia hanya bergelimang dalam kebombastisan materialistis. Arsitektur perlu untuk menjadi pencerahan, jawaban akan nilai – nilai kebaikan, kepuasan akan hidup yang lebih baik, mengajarkan menjadi manusia yang lebih baik, yang tadinya sombong menjadi lebih rendah hati, yang tadinya tidak menghargai alam, menjadi menghargai alam, itulah hakikat hidup kita yang sebentar ini, apalagi dengan profesi sebagai arsitek.
[1] Kutipan dari tulisan Pramodeya Ananta Toer dalam “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”, yang tulisannya ditampilkan dalam the wisdom of Pramodya Ananta Toer,disadur oleh Tofik Pram pp 45
https://instagram.com/p/xN-tsKgrdH/?taken-by=realrich82
https://instagram.com/p/xWdQAigrWj/?taken-by=realrich82