Saya sebut 99,9% The Guild karena karya arsitektur ini sudah [hampir] paripurna, sebuah penciptaan dalam proses panjang yang sudah diluncurkan dan ditafsirkan oleh publik, sejak 12 Juni 2016 lalu. Mengapa bukan 100%? karena karya ini masih membuka 0,1% untuk sebuah pembacaan kemungkinan (atau bahkan ketidakmungkinan), keterbatasan (atau bahkan ketidakterbatasan), perlawanan (atau bahkan ketakberdayaan), kesalahpahaman (atau bahkan kesalah-kaprahan), juga tabrakan (atau sekedar serempetan).
Dengan 0,1% ketidakselesaiannya itulah, karya ini bisa berdialog dengan siapa saja dan dengan apa saja yang ditemuinya, yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh arsiteknya sendiri. Jika Tuhan melihat karya ini mungkin akan bersabda: Ini bukan sejenis Menara Babel, biarkan selesai! dan Realrich Sjarief akan bisa tidur nyenyak ditemani mainan-mainan detail dan material di sekelilingnya…(Congrats bung!).
Anti-Arsitek[tur]
Jika saya boleh menilai, 99,9% The Guild ini bukan karya seorang arsitek, tetapi karya seorang anti-arsitek dengan timnya yang juga anti-arsitek[tural], semacam pendurhaka yang [masih]beriman. Karena karyanya tidak didasarkan pada kondisi kestabilan dan kemapanan, tetapi lebih kepada pergerakan dan kegelisahan, yang kadang membuncah berlebihan. Meminjam istilah Realrich Sjarief sendiri: ini karya di tengah pusaran! Di pusaran yang berputar, menjadi arsitek sering memabukkan, bisa terpeleset ke posisi berlawanan (menjadi anti-arsitek, lalu kembali lagi, terus-menerus), mendoakan dan mengutuki dirinya sendiri…
Maka dari itulah, karya Realrich Sjarief ini menjadi sebuah “retakan” yang patut diapresiasi (mungkin pada saatnya nanti akan menjadi rekahan atau dobrakan). Meskipun ada yang bilang dia pengagum [Carlo] Scarpa, tetapi [paling tidak] dia mampu membuktikan bahwa dia bukanlah Scarpan yang membuta. Diubahnya infiniti possibili menjadi possibilik (kemungkinan bilik/ruangan), dari Scarpa menuju Sekarepmu! (Semaumu!). Puitis dan sekaligus sarkastis, misalnya: pintu didesain serupa busur begitu indahnya (perpaduan lurus dan lengkung), tetapi juga sering “menghantam” kepala si arsitek sendiri (sebuah hubungan pencipta dan karya yang aneh, namun sangat manusiawi, hehehe..)
Dalam hal ini, pendekatan energi, makna, simbol dan lain-lain terhadap karya ini sepertinya sudah ketinggalan mode. Ini bukan soal energi, makna atau detail, ini adalah soal attitude seorang arsitek, yang mendesain seperti bernapas saja sebagai bagian dari metabolisme kehidupannya sehari-hari, tanpa dipikirkan, tanpa dikonsep secara muluk-muluk, tanpa disadari, tahu-tahu bersin (hahaha…)
Jika boleh kita tilik peringatan dari Pujangga Jawa Ronggowarsito yang pernah bertembang Amenangi Jaman Edan (mengalami jaman edan/gila). Inilah arsitek yang edan, tetapi masih eling lan waspada (masih ingat dan waspada/sadar). Saya tidak tahu, mungkin kadarnya 0,1% memang edan dan 99,9% eling, atau malah sebaliknya…
Body without Organs
Body without organs dari Gilles Deleuze adalah sebuah kondisi seperti seekor domba yang hilang, yang terlepas dari kawanannya atau rombongannya. Di situ terjadi deteritorialisasi dan desosialisasi pada dirinya. Si domba yang kehilangan kebiasaan lama, kehilangan hubungan dengan masyarakat yang memposisikannya secara politik, ekonomi, budaya maupun profesi. Bahkan dia juga kehilangan identitas yang bisa jadi akan menjatuhkan mentalnya.
Tetapi, dalam kondisi tersebut akhirnya dia mampu menemukan dirinya sendiri secara lebih kreatif. Dia mampu menggerakkan desiring machine (mesin hasrat) untuk menemukan identitasnya yang baru. Menemukan cara baru untuk menemukan libido atau seksualitasnya (dalam konteks yang luas). Dalam konteks arsitektur, libido arsitek adalah menimang-nimang desain yang akan dibuatnya, sebagai bagian dari hasratnya. Di situ, dia bisa mengambil bentuk/rupa/wujud/material apa saja tanpa takut dikomentari baik atau buruk, salah atau benar, indah atau jelek. Itulah penyingkapan keberadaan yang “baru”.
99,9% The guild adalah desiring machine yang diproduksi oleh arsitek yang sedang hilang dari kawanan, yang sedang terdeteritorialisasi, sehingga tak tersubornasi oleh norma atau aturan, bisa mengeksplorasi arsitektur dengan lebih bebas. Dalam Body without Organs, prakonsepsi kadang-kadang dikesampingkan, lalu kembali ke keadaan sebelum desain menemukan bentuknya, ditarik ke titik nol (0%). Misalnya, ketika jendela yang lazimnya di dinding tak memperoleh tempat karena keterbatasan ruang urban yang mepet dengan batas luar, maka dilubangilah atap dan plafon, bahkan juga lantai dengan sesuka hati (benar-benar sontoloyo…)
Ruang Rhizomatik
Ruang-ruang yang terjadi di The Guild ini adalah ruang-ruang yang berlogika rhizomatik, bukan berlogika pohon. Pohon adalah konsep yang (terlanjur) ditanamkan dalam tubuh kita. Pada pohon ada akar yang menyangga batang, lalu ada cabang, ada ranting, ada daun, sangat hirarkis. Tubuh kita menjadi hirarkis juga (karena “dicangkok” dari pohon): ada otak yang mengatur semuanya, ada kepala dengan posisi tertinggi (dan terhormat), ada tubuh utama yang lebih penting dari yang lain, sampai jari manis yang hanya untuk melingkarkan cincin.
Sedangkan konsep rhizome ini berbeda, rhizome tidak memiliki hirarki, karena berupa organisme yang rumit serupa jalinan benang-benang halus yang terus tumbuh dan menyebar acak ke segala arah, semua menjadi akar, semua menjadi batang, cabang, ranting dan semua menjadi daun, tidak ada hirarki: tidak ada yang lebih penting antara yang satu dengan yang lain.
Di The Guild, terjadi ruang-ruang yang terus tumbuh, seperti menjalar ke mana-mana, tak ada yang lebih penting, banyak terdapat lorong-lorong, celah, lubang, bukaan dan pintu yang menggerakkan orang untuk terus berjalan. Tak ada yang menjadi batang atau cabang, bahkan ranting, semua adalah rhizome. Antara kantor RAW, Omah Library dan rumah tinggal tidak ada yang lebih penting, demikian juga dengan ruang-ruang di dalamnya. Ruang pembantu saja mendapat kemewahan dengan cerobong besar mengarah ke langit, mungkin ini kamar pembantu yang paling transenden yang pernah saya temui.
Sebagaimana diungkapkan oleh Deleuze (seperti dikutip oleh Andrew Ballantyne (2007) dalam buku Deleuze&Guattari for Architects):
Dionysius knows no other architecture than that of routes and trajectories…
He has no territory because he is everywhere on the earth.
Jadi, mungkin sebetulnya tak ada ruang-ruang di sini, yang ada hanya rute dan lintasan. Lintasan yang multi-konteks, antara di sini dan di sana, antara rumah dan kantor, antara The Gild dan kota, antara bumi dan langit, antara kehidupan dan kematian, antara pekerjaan dan kehidupan, antara menjadi manusia dan menjadi bagian alam, antara merem (tidur) dan melek (terjaga). Tak mempersoalkan tempat (place) lagi, berada di mana saja di atas bumi, seperti rhizome.
Tampilan yang letting be
Manusia dan alam saling memproduksi. Itulah sebabnya, Realrich Sjarief tak pernah melupakan alam dan semesta di sekelilingnya. Perlakuan manusia terhadap alam adalah perlakuan terhadap dirinya sendiri. Dalam membuat The Guild ini, rasanya bukan ego yang berbicara, bukan upaya mengekspresikan diri, tetapi upaya untuk memberi kepada semesta dan menerima dari semesta. Tak hendak menguasai sepenuhnya, masih ada 1% yang disisakannya.
Tampak luarnya yang berkesan “letting be” (terserah karya itu mau jadi apa), lebih menunjukkan sumarah-nya kepada semesta. Mungkin instalasi yang dia buat sebelumnya (yang bertajuk 99% Sumarah) menjadi kredo yang bersifat letting be ini. Ada semacam ilham yang tiba-tiba saja muncul, menyeruak tanpa tanda apa pun. Sebuah wajah memang selalu menyimpan rahasia, yang tak diketahui. Kata deleuze: all faces enveloped an unknown.
Inilah Arsitektur Jaman Edan-Urban-Scarpan-Deleuzian…
Menurut saya, Realrich Sjarief mendesain dan berarsitektur bukan dengan otak dan hatinya (yang hirarkis), melainkan dengan hidungnya. Ya, benar, hidung yang untuk bernapas, untuk membau, dan juga untuk “mencium” (baik secara konotatif maupun denotatif). Dia bisa mencium jika ada hal yang kurang pas atau kurang tepat pada The Guild ini, dia juga bisa mencium mana penyelesaian detail yang bagus yang kurang bagus.
Kemampuan penciuman yang didapat dari dialog intens dengan semesta, yang makin lama makin peka, makin tajam. Ini jaman Edan, jaman Deleuzian, jaman Rhizome, hidung pun tak kalah penting dengan otak dan hati. Hmmm…walaupun di luar sana, otak dan hati masih dipuja-puja, menjadi berhala yang (kelihatannya) makin tumpul dan karatan, hanya alat legitimasi untuk mencipta dan menghakimi karya-karya yang kadang serampangan. Meski hidungnya kadang terserang flu atau pilek, sehingga ada beberapa spot yang agak mrucut (kaki saya sempat tersandung dan hampir jatuh di ruang Associate Teknis), tetapi (mungkin dengan bantuan beberapa butir Mixagrip), secara utuh karya ini patut dibanggakan, seperti tertulis di ruang tengah itu: Best Office in The World.