Piyandeling terletak di desa Mekarwangi di Perbukitan di Dago Utara. Daerah ini memiliki suhu yang rendah, kecepatan angin yang tinggi, dan pepohonan eksisting yang rimbun yang membantu untuk mencegah longsor. Sebenarnya membangun di lahan ini sangat sulit di awal konstruksi, karena sulitnya akses transportasi, air, dan akses tenaga kerja sekaligus udara yang dingin. Dengan menggunakan bambu, permasalahan ini teratasi karena ketersediaan material bambu sebagai material lokal, dan karena beratnya yang ringan sehingga mudah dimobilisasi, dan cepat dikonstruksi dengan detail yang adaptif di dalam keterbatasan sumber daya.
Tampak depan didesain dengan pertimbangan untuk melindungi konstruksi bambu supaya awet dan tahan lama. Dari sisi luar, kulit bangunan terbuat dari bambu, plastik daur ulang dan atap nipah. Kulit bangunan ini berfungsi sebagai pelindung dari matahari dan curah hujan sekaligus memberikan ruang antara ruang inti bangunan (core) dan kulit bangunan dengan lorong antara.


Kulit bangunan ini memiliki beberapa komponen, pertama Jendela memiliki lebar 500 – 600 mm, kedua lorong antara dimana terletak tangga dan ruang jemur sekaligus berfungsi sebagai proteksi struktur utama bangunan. Piyandeling didesain berbentuk silider untuk mengurangi beban angin dan melindungi ruang keluarga, ruang tidur, ruang kerja yang terletak di sisi terdalam dari bangunan inti.
Detail – detail didesain untuk mempertimbangkan aspek fungsional untuk saling memperkuat elemen arsitektural dari struktur, lorong antara, dan kulit bangunan.
Sederhananya bangunan ini dinamakan Sumarah, karena menggunakan bahan – bahan daur ulang dari Paviliun Sumarah. Sumarah berarti kepasrahan, sebuah sikap untuk mengalir di dalam kehidupan. Dari Piyandeling kita belajar untuk lentur sekaligus kokoh, dan ia mengajarkan material lain yang kokoh untuk lentur. Sebuah fleksibilitas yang mengalir.
Ada satu kejadian di waktu kami melakukan inspeksi lapangan di proyek lain, taruhlah namanya proyek Srabi. Inspeksi lapangan ini identiknya seperti memberikan ruang antara, jembatan antara klien, kontraktor, dan disiplin – disiplin lain supaya berjalan harmoni.
Baru kemarin saya rapat dengan satu klien dan kontraktornya, saya melihat di lokasi, kenapa pekerjaan lift yang ada di tengah rumah tidak dikerjakan dan seakan – akan tertinggal. Kami meluangkan waktu untuk melihat data – data yang ada, ternyata gambarnya tidak lengkap dan ada banyak ketidak-konsistenan, sehingga orang lapangan kebingungan.
Saya membuka diskusi dengan bertanya ke vendor lift di depan saya :
“Pak, ini gambarnya tidak lengkap ya ?”
Saya memberikan referensi kenapa gambarnya tidak lengkap, dengan memberikan contoh bahwa lubang lift perlu “digambar” untuk memperlihatkan besaran bracket struktural yang tersedia, dan perlu hati – hati dengan ketinggian lokasi. Hal ini wajar terjadi karena terkadang, beberapa vendor tidak memiliki orang teknikal. Gambar menjadi penting sebagai sarana komunikasi dan tanggung jawab sekaligus kontrol untuk menghindari adanya kesalahan.
Pertanyaan kemudian muncul, bracket struktural itu perlu disupply oleh siapa ?
Kemudian nada orang di hadapan saya ini meninggi,
“katanya bapak sudah pernah bekerja sama orang lift lain ?? Kok begini saja tidak tahu ??”
Saya menatap satu orang dari vendor ini, dan sedih sebenarnya karena saya berusaha menjembatani data yang kurang di lapangan. Untungnya ada temannya yang memberikan informasi bahwa ketinggian kaca yang akan datang untuk lift tersebut adalah 3.0 m dan diperlukan ketinggian balok 2.1 m untuk pintu masuk. Setelah saya mendapatkan data tersebut dan mendapatkan kepastian bahwa bracket struktural itu akan disediakan oleh vendor tersebut, saya bilang ke klien saya,
“Pak sudah cukup kita sudah dapat apa yang perlu dilakukan.”
Saya pikir di dalam project, penting untuk bisa melihat substansi yang ada yaitu gambar, dan memang di dalam gambar diperlukan beberapa penyesuaian di luar verbal. Di dalam gambar, ada dua tingkatan, tingkatan pertama gambar itu bicara sendirian, tingkatan kedua gambar tersebut menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya, semudah menyesuaikan dengan ketinggian di potongan dan detail potongan, tata letak kondisi eksisting yang ada dengan denah dan penjelasan berapa dimensi yang dibutuhkan untuk menjadi “jembatan” antar disiplin.
“Pak Real saya minta maaf ya karena memang dia orangnya keras, dia cuma sales Pak” klien saya menyapa di akhir diskusi kami setelah kita selesai berkordinasi membicarakan desain.
Mendengar komentar klien seperti ini membuat kerja arsitek terapresiasi, dan hal ini akan membuat dunia arsitektur bersama kita semakin maju dengan cara yang sederhana.
Untuk kejadian di atas anggap saja cara penyampaian saya, bahasa saya salah. Yang terutama adalah proyek, dan klien tidak terlantar akibat gambar tidak lengkap dan orang lapangan tidak kebingungan lagi. Memang wajar setidaknya proyek membutuhkan waktu dan setiap orang – orang di dalamnya punya masalah – masalahnya sendiri. Kuncinya adalah bagaimana kita bisa saling menyelesaikan masalah di luar personal kita itu yang terpenting.
Saya kembali teringat dengan Piyandeling dan Sumarah yang ada di Bandung, dengan material apapun kita dari keras belajar untuk lembut, dan dari sosok yang mengalir belajar untuk lebih tegas, semua pihak saling belajar tanpa henti seumur hidup. Satu saat setelah saya melakukan inspeksi lapangan disana saya tersenyum melihat kerja keras mereka melakukan menutup celah bambu yang tidak mudah untuk membuat bambu awet, sisi suka dan duka, terekam di dalam pembelajaran tanpa henti di dalam proyek lain dan juga Piyandeling.

