Kategori
blog inspiring people

Eko Prawoto – Akar Arsitektur Indonesia

Kemarin saya dapat berita dan melihat di IG bahwa Pak Eko sedang sakit. Saya mendoakan supaya Pak Eko cepat sembuh. Saya yakin tidak hanya saya yang mendoakan beliau, tetapi begitu banyak orang yang mendoakan karena kebersamaan dengan Pak Eko membuat saya sendiri belajar tentang arti untuk terus memaknai ulang apa yang diperjuangkan demi sebuah nilai-nilai kebaikan yang universal. Dan Beliau mengajarkan untuk tidak pernah kenal lelah dan takut untuk terus mendengarkan kata hati yang terus membuat progress.

Apakah penting untuk mengakui bahwa ada banyak orang menginspirasi anda ? Dan apa pentingnya mengakui hal itu, Antoniades menginspirasi saya tentang pentingnya untuk mendalami apa itu creative pregnancy, bahwa ada fase kita menyerap dari begitu banyak hal yang dinamakan channels of creativity. Salah satunya adalah biografi seorang arsitek, selain itu ada banyak lagi, sebenarnya menurutnya ada 3 tingkatan aktualisasi ide. Yang pertama adalah alam fantasi dimana ada abstraksi yang jamak, luas, tak terhingga. alam kedua adalah alam imajinasi, dimana ada persilangan abstraksi diri kita dan orang lain, seni masuk disini. Yang terakhir adalah alam realisasi, yang merupakan alam produk. Originalitas menurut saya ada di bagaimana ada proses yang runtun dari fantasi, imajinasi, dan realitas. Disitulah arsitek perlu belajar dengan kerendahan hati.

Dimana banyak fenomena ketika ditanya, siapa yang menginspirasi anda, arsitek seringkali tidak tahu ataupun tidak mengakui darimana kepandaian dirinya. Hal ini membuat dirinya tidak sadar, dan belajar dalam ketidak sadaran itu membuat proses belajar berjalan lebih panjang. Untuk seseorang bisa mempercepat proses belajarnya, pembelajaran perlu terjadi di ranah tubuh, pikiran, dan jiwa yang menyeluruh, oleh karena itu praktik akan didampingi oleh teori, dan dibuat pengajaran 3 arah, dari subjek, objek, dan ekosistem.Ini sebagai refleksi, kebersamaan dengan Pak Eko membuat saya sendiri belajar tentang arti untuk terus memaknai ulang apa yang diperjuangkan demi sebuah nilai-nilai kebaikan yang universal. Dan Beliau mengajarkan untuk tidak pernah kenal lelah dan takut untuk terus mendengarkan kata hati yang terus membuat progress.Kemarin saya dapat berita dan melihat di IG bahwa Pak Eko sedang sakit. Saya mendoakan supaya Pak Eko cepat sembuh. Saya yakin tidak hanya saya yang mendoakan beliau, tetapi begitu banyak orang yang mendoakan karena kebersamaan dengan Pak Eko membuat saya sendiri belajar tentang arti untuk terus memaknai ulang apa yang diperjuangkan demi sebuah nilai-nilai kebaikan yang universal. Dan Beliau mengajarkan untuk tidak pernah kenal lelah dan takut untuk terus mendengarkan kata hati yang terus membuat progress.

Beberapa saat yang lalu saya bertemu dengan pak Eko Prawoto, sudah lama saya ingin berkunjung ke rumah beliau. Dan Begitu saya masuk dan melihat dari luar, saya melihat siluet matahari berwarna keemasan yang membelah dari arah timur ke barat. Pada saat itu jam menunjukkan pukul 3 sore. Nuansa landscape yang rimbun sekali dengan pohon juga berwarna keemasan, yang saya heran mengapa landscapenya begitu kering, tidak basah tetapi tanahnya sungguh subur dan sehat. Banyak ayam berkeliaran, suara-suara burung, dan kumbang. Saya melihat keteduhan dari kanopi pohon yang saling tutup menutupi. Di sisi bawahnya terlihat kumpulan massa berbentuk prisma, yang kadang-kadang massanya diputar 45 derajat untuk mengikuti bentuk kontur yang ada. Saya membaca ada tindakan-tindakan untuk mereduksi sumber daya yang tersedia, karena panjang kayu yang terbatas.

Pak Eko bergerak melalui jalinan rasa, disetiap langkah dan jengkal langkah kakinya ia berpikir. Saya yakin setiap pagi adalah pertemuan beliau dengan arsitektur. Di dalam sebuah pelataran dia menyapu plaza tersebut sambil menyusun dedaunan, yang kemudian dedaunan itu mengeras menjadi keramik-keramik yang berganti dan berolah rupa berbetuk binatang seperti burung, ataupun bebatuan. Mungkin ia ingin bebas seperti burung dan berkicau seperti burung. Tapi saya juga mempertanyakan sebenarnya, “Apa yang diperjuangkan?”.

Beliau seringkali bilang “Saya tidak memperjuangkan apapun, saya hanya mengalah kepada begitu banyak keinginan dunia”, tidak banyak arsitek yang bisa mengalah ataupun mau mengalah. Pak Eko menegaskan bahwa “Mengalah itu berarti menang”.

Kira-kira ditahun 2017, saya pernah membaca buku karangan Laura Romano yang berjudul “Sumarah: Spiritual Wisdom from Java”. Didalam buku itu saya menikmati cerita bahwa “Mengalah adalah awal dari ketenangan jiwa, bahwa inti dari kita hidup sebenarnya memberikan keharmonisan, kerahayuan bagi orang lain”.

Saya ditemani oleh beberapa anak-anak OMAH, ada Arlyn, ada Hanifah, ada Luluk. Dan kami diajak turun kebawah, melihat-lihat kontur tanah didalam jalan setapak. Ada beberapa aksis yang dipertahankan disitu, aksis menuju borobudur secara imajinasi bahwa ada satu stupa disana yang berbentuk melingkar sebagai pusat radial dari sumbu banyak hal. Di sumbu radial tersebut kita bisa berhenti sejenak dan melihat ke bawah, ada beberapa aksis yang dipertontonkan disana, ada kantilever beton, ada sambungan material kayu yang menggunakan sistem sederhana, ada ekspresi maju dan turunnya kayu-kayu bekas yang disusun berdasarkan panjangnya tanpa dipotong.

Disitu saya melihat adanya kombinasi sentuhan Kampus Berlage (kampus pak Eko waktu S2) dan desa, dimana sumber daya alam terbatas, sumber daya manusia terbatas, dan ketukangan pun terbatas. Jadi sebenarnya ketukangan yang disajikan disini adalah ketukangan yang biasa-biasa saja, bukan ketukangan yang super dahsyat. Saya turun kebawah, dibawa ada kolam renang, ada impian untuk anak-anak, cucu-cucunya, dan sanak keluarganya yang akan menikmati arsitektur yang ada disini lebih jauh.

Dirinya juga tidak luput dari sentuhan semesta yang memberikan kekayaan pengalaman yang beragam, diverse experience. Buku range yang ditulis oleh David Epstein, menekankan pentingnya kekayaan inspirasi, kelenturan berpikir, sampai berpikir 360 derajat.

Di akhir perjalanan saya diajak ke museum peralatan ketukangan desa yang sudah dikumpulkan beliau begitu banyak. Ia bergumam “Disini saya mengumpulkan alat-alat, alat-alat yang ada dikeseharian kita disini. Ada yang dari sini, ada yang dari situ (sambil menunjuk alat-alat dalam museum tersebut)”, kemudian saya hanya bergumam “Alat-alat ini menggambarkan bahwa keseharian pak Eko adalah sebuah dambaan bahwa ia ingin ketukangan tradisional yang sehari-hari itu muncul di dalam inspirasi yang ada di dalam keseharian kami-kami ini”.

Saya kembali ke pertanyaan saya diawal “Apa yang diperjuangkan pak Eko?”, dengan sedikit marah ia berkata bahwa “Saya kecewa dengan pendidikan arsitektur”. Saya tanya “Kenapa?”. Ia kemudian mengeluarkan satu kalimat yang saya kemudian memiliki interpretasi-interpretasi sendiri bahwa “Apakah sudah kita berfikir bahwa sebuah pengetahuan arsitektur itu memang perlu untuk dipahami? ataukah menelan mentah-mentah sebuah ilmu pengetahuan tanpa berfikir jangka panjang”. Ia mempertanyakan relevansi arsitektur dengan kritis, turunan – turunannya.

Satu titik dimana ia membawa saya ke satu persimpangan yang melintasi sebuah jalan, jalan tersebut adalah jalan kampung dan ia membangun jembatan ke tetangganya. Setelah saya menapak jalan itu dengan plat beton tipis, sebuan keahlian yang dipertunjukkan dia dengan keahlian yang dipelajari tentang struktur beton bertulang. Saya bertanya “Pak Eko, berani-beraninya bangun jembatan ke tetangga seperti ini? ini kan tidak normal, ia terkekeh-kekeh menjawab “Ini kalau setiap hari, tetangga saya lewat sini. Jadi jalan rumah ini dilalui oleh orang-orang lain”.

Sungguh sebuah inspirasi, menurut saya pak Eko Prawoto bukan orang yang mengalah, tapi dia justru sangat berani dan melihat dengan cermat. Begitu dia bertindak, maka tindakannya justru menggoyang pesan kehidupan “Sudahkah kita memahami esensi-esensi yang lebih dasar dari cuma sebuah formalitas dan sebuah tata arsitektur yang sudah baku”. Dari situ saya bisa belajar bahwa “The sky is the limit”.

Batu-batu yang disusun oleh pak Eko, menunjulkkan arsitektur yang kuat bisa dilemahkan, ia bisa bergerak dan ia akan stabil melalui bebannya sendiri. Batu-batu itu disusun dengan artistik, melingkar organik mengelilingi pohon. Ada satu aksis yang tegas, tetapi ada aksis juga yang memutar, radial bertemu aksial. Digerakkan oleh prinsip saling mengalah terhadap alam, batu-batu itu adalah penuntunnya. Batu-batu yang merupakan fosil jutaan tahun dibentuk oleh proses yang tidak mudah. Didalamnya terdiri dari jiwa-jiwa dan proses yang begitu panjang.

Dari batu kita bisa memaknai bahwa proses pembentukan hal yang fundamental itu tidak mudah. Tetapi fundamental itu bisa gerakkan oleh kekuatan alam dan kekuatan desain. Saya belajar akan kekuatan lemah, kekuatan kuat yang menopang yang lemah, dengan gaya gravitasi. Dari situ muncullah dasar ilmu landscape yang baru.

Di perkotaan kita sering dihadapkan dengan suatu kebakuan, suatu cetakan yang akhirnya kita terima apa adanya. Padahal batu yang tidak sempurna menyimpan bagitu banyak rasa tentang kepekaan hati. Manusia mungkin perlu dihajar hatinya supaya dia tidak sombong. Hatinya mungkin perlu di remukkan supaya batu itu menyala terang. Disitulah dasar dari batu itu muncul, mungkin ia bisa muncul dari gunung merapi, dari situ ia akan bergelimpangan menyabarkan dan menyebarkan rasa subur dan rasa pegangan yang kuat akan kehidupan.

Dari batu kita bisa belajar banyak, diatas batu itu ditempelkan keramik-keramik yang beraneka rupa, keramiknya adalah keramik-kemarik pecahan. Ia terlihat sebagai barang sisa, namun ia tampil begitu berkilaunya. Hal-hal seperti ini digarap juga oleh Gaudi didalam susunan konstelasi yang ada di Barcelona, Park Guell namanya. Di Indonesia kita bisa melihat Eko Prawoto. Citarasa seperti Park Guell juga ada di tempat rumah bu Kartika Affandi dan museum Affandi.

Satu saat Kartika Affandi bercerita bagaimana ia sangat mengagumi pak Eko Prawoto dan ia berkata “Tolong sampaikan salam saya untuk mas Eko”.

Dari kediaman Bu Kartika Affandi terdapat komposisi keramik menyerupai gambar alam kita dapat melihat bahwa ketukangan lokal itu terjadi diseluruh penjuru dunia, di kota dan desa. Dan ada sebuah dasar ketukangan yang menyatukan kita bahwa ilmu keramik satu dan ilmu keramik yang lain bisa jadi bebeda, tetapi memiliki penampakan yang serupa. Ada sebuah dasar benang merah yang mengatur kita semua. Dasar untuk berekperimentasi, berekplorasi dan memanusiakan tangan kita. Nah disinilah kita belajar bahwa arsitektur bukan hanya batu yang mati, tetapi arsitektur yang hidup berasal dari batu dan kombinasi keramik yang mulai menari.

Terimakasih pak Eko sudah mengajarkan banyak hal dengan semangat yang ada di desa. Menurut saya kami yang ada di kota perlu banyak belajar dari diri pak Eko, yang bisa mengalah untuk maju dan tidak mempermasalahkan, menang dan kalah itu hal yang biasa. tetapi memaknai nilai kehidupan yang begitu dalam melalui hal-hal yang biasa-biasa saja itu menjadi sungguh berarti. Rasakan liukan batu bata, rasakan angin muncul dari para-para, kita akan mulai sadar bahwa arsitektur akan menyapa, bulu kuduk kita akan merinding, dan saat itulah rahayu muncul. Itulah arsitektur Indonesia yang baru.

Semoga cepat sembuh pak Eko

#RAWinspirasi

avatar Realrich Sjarief

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar