Kategori
blog

Gunawan Tjahjono, Cahaya yang Berguna

Pak Gunawan Tjahjono, seperti namanya “cahaya yang berguna”, adalah seorang professor yang saya selalu rindukan karena pengetahuan arsitekturnya yang berlimpah, dan banyaknya buku yang dibacanya.

Saya banyak menanyakan hal-hal terkait perjalanan hidupnya, sampai ke bagaimana seorang praktisi dididik, mengenal pola dan bagaimana melatih bahasa pola. Saya yang dulu berada dalam praktik kecil yang terbatas di ruang garasi, sekarang tersadar bahwa dalam praktik, bahasa pola perlu dilatih dalam ruang-ruang imajinasi & teori.

Dari diskusi ini saya belajar relasi antara 3 dunia: 1) grammar (pola), 2) rasa, dan 3) spiritual. Saya ingat grammar dipelajari melalui kekayaan wawasan, bercerita melalui kekuatan analitis.

Hal itu saya dapatkan ketika Pak Gun bercerita kembali tentang kekuatan story-telling Charles Moore dan metode analitik berpikir kritis Horst Rittel.

Cerita kedua adalah bagaimana menajamkan rasa melalui prinsip RSVP (resources, score, value, perform): sebuah perjalanan mengenal diri, menghidupkan kembali kepekaaan dengan merasakan kehilangan indra, membangun sistem diri yang definitif & terukur, bertindak secara kolektif, hingga pada akhirnya kita bisa menemukan makna dari aksi kolektif ini dalam sebuah proses kreatif.

Ia membahas pentingnya rasa melalui pengalaman arsitektur yang tidak hanya analitis, tetapi menembus kualitas atmosferik. Bukan hanya soal bentuk, tetapi perpaduan indra, teknik, cerita, dan kesadaran, yang layaknya beliau alami pada karya-karya Louis Kahn seperti Kimbell Art Museum & Salk Institute, ataupun figur Eko Prawoto.

Pak Gun cerita beliau sedang menyusun tulisan tentang domestifikasi arsitektur, sebuah titik di mana ia mencari definisi demi definisi kehidupan manusia & arsitekturnya.

Saya ingat beliau berkata, “Seorang pengajar tidak perlu merasa bisa memiliki semua jawaban dari pertanyaan murid-muridnya, tapi ia perlu menjawab ‘mari kita cari bersama-sama’.” Dari sini saya merasa relasi arsitektur Indonesia ada di 3 antara: antara pola, antara rasa, dan antara jiwa yang membentuk ikatan batin untuk pulang.

Terima kasih Pak Gun sudah menemani kami semua untuk mencari jawaban & juga pertanyaan-pertanyaan baru.

Pulangnya beliau mau membeli buku. Saya tanya, “Yang mana, Pak?”

Beliau jawab, “Yang dua ini, Alvar Aalto dan Methodgram.”

“Pak, ini ditulis sama saya dan Anas Hidayat, disunting sama Johannes Adiyanto. Buku Methodgram inget ngga, Pak? Saya ditantang sama Agustinus Sutanto, ‘Kalau kamu tidak bisa menemukan metodemu sendiri, kamu ngga akan bisa berkembang. Lihat Bjarke Ingels, Vo Trong Nghia.’ Setelah itu saya tulis buku ini, yang kadang saya ngga ngerti apa yang saya tulis sekarang.”

“Ya, semua bertumbuh kembang,” jawabnya. “Bagusnya begitu.”

“Kamu tau Alvar Aalto? Dulu Pak Wondo pernah cerita ke saya kalau gedung konsernya didesain supaya jari jemari pianisnya terlihat dari tempat duduk. Saya mau baca buku itu.”

Terakhir saya bilang, “Pak, Antologi Kota 1 & 2 ini dibuat oleh Mas Cahyo, Mas Gede, Mas Fritz, dan teman-teman.”

“Oooh iya. Oke, saya mau bayar semua.”

“Ngga usah, Pak. Ini semua sudah dibayar, saya tambahin beberapa buku ya, Pak. Kan untuk perpustakaan Bapak juga. Kita berbagi ilmu.”

Lima tahun setelah perjumpaan saya dengan Pak Gun di Bintaro Exchange—beliau menjelaskan relasi Jung, Archetype, dan kekuatan metode Rittel—beberapa buku, diskusi tentang arsitek & arsitektur mumpuni sudah terbit, dan cakrawala baru yang saya dapatkan dulu tidak ada habis-habisnya sampai sekarang, dan saya selalu menunggu apa yang akan saya lakukan besok pagi. Saya sebut itu “The Night Flame”, malam yang membara. Sebuah pantikan api yang dinyalakan di lubuk hati, yang saya perlu banyak berterima kasih pada beliau atas pencerahan dan penemanannya sampai sekarang.

#rawinspirasi


Tinggalkan komentar