Kategori
blog blog - loving years - context before loving Laurensia

Kumpulan Manusia Absurd

18 Agustus 2000, Institut Teknologi Bandung,

Dunia di ITB itu berbeda dengan dunia SMA saya yang homogen. Dunia SMA saya dimana saya dibesarkan di lingkungan gereja katolik, dan daerah Jakarta Barat. Sebagian kawan – kawan saya tinggal di daerah yang sama, dengan radius sampai 5 kilometer.

Saya suka duduk – duduk di sepulang sekolah di tukang gorengan yang kurang populer. Ada dua tukang gorengan, yang satu kurang populer karena tempatnya di dekat SMP yang lebih populer lokasinya lebih strategis, dengan dengan toko minuman. Saya menghabiskan waktu setengah jam setiap pulang sekolah untuk bertegur sapa, menanyakan keseharian tukang gorengan tersebut. Sampai – sampai satu saat saya melihat sepatu tukang ini robek, saya melihat di rumah saya banyak sepatu, dan mengambil sepatu tersebut untuk diberikan ke tukang ini.

Terkadang saya diberikan bonus gorengan, beli 5 gratis 1. Apa yang saya alami di sekolah, tukang ini mengetahuinya, karena beliau ini teman cerita saya. Mulai dari saya kehilangan uang, kisah cinta, atau ketika ujian saya mendapat nilai jelek. Dengan dekat dengan tukang gorengan, saya juga jadi mengetahui jenis – jenis pisang yang dia pakai untuk membuat pisang goreng. Ternyata ada lebih dari 5 jenis pisang. Pisang – pisang tersebut tidak selamanya ada di pasaran, karena ia mencari yang harganya tidak mahal dan juga berkualitas bagus. Dari situ saya belajar dari tukang gorengan yang memberikan pengetahuan yang praktis, bagus sekaligus tidak mahal dengan logika mendasar.

Di ITB saya menghadapi begitu banyak wajah dan latar belakang yang heterogen. Kawan – kawan baru saya ada dari seluruh penjuru Indonesia. Dalam satu bulan saya sudah ketemu kawan – kawan dari Kudus, Papua, Jember, Bandung, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan banyak lagi. Mereka pintar – pintar dan juga bisa berargumen juga punya kegiatan unik – unik dari orator sampai hobi mengumpulkan sampah. Di ITB juga tersedia kelompok minat ataupun unit budaya yang begitu banyak. Uniknya, setiap kelompok memiliki ruang kerja, ruang himpunan. Saya merasa diterima di semua kalangan, di kelompok tersebut. Saya terlibat di Unit Tennis, Unit Tennis Meja, Unit Aikido, Unit Keluarga Mahasiswa Katolik, Unit Badminton, dan Ikatan Mahasiswa Gunadarma, ibaratnya semua yang ada raketnya + keagamaan + organisasi arsitektur.

Uniknya ITB, dengan begitu banyaknya keberagaman, tetep memiliki suasana informal di dalam kemahasiswaan. Ada perasaan bangga menjadi mahasiswa, dengan teriakan – teriakan yel – yel yang ads di sabtu minggu. Sudah biasa kita melihat hari sabtu minggu ada saja orang berkumpul untuk berkegiatan. Mereka menggunakan jaket dengan warna beda – beda. Misalnya farmasi warnanya kuning, geodesi warnanya oranye, Teknik Mesin warnanya biru dongker. Dan arsitek warnanya biru tua. Saya belajar dan menyadari bahwa Indonesia itu begitu kaya.

Setiap hari saya habiskan untuk bermain – main di kampus, saya jarang pulang ke kos – kosan dan juga jarang pulang ke Jakarta. Saya mendapatkan dunia yang lebih luas dibandingkan dunia SMA saya. Sejenak rasa kangen saya terhadap dunia SMA terobati.

Ternyata ada ya kumpulan manusia absurd yang lebih besar dan beragam, dunia ini warna – warni ternyata dengan begitu banyaknya bendera yang berkibaran.

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar