Kyoto, 091128 , Japan, a country with endless story about culture, history, and nature.
Tinggalkan pikiran – pikiran dunia, merunduklah. Dengarlah suara teko air teh yang mendidih, dengarlah suara alam, burung – burung yang berkicau, suara air yang menetes, suara kaki orang yang berjalan, alam sesungguhnya berbicara, rasakan kesempurnaan dalam ketidak sempurnaan, mata ini menatap ke arah huruf kaligrafi jepang yang ada di depanku, kemudian wanita di depan ku berkata, prinsip ini melandasi budaya Jepang pada upacara minum teh, yaitu Simple dan Rustic.
Tak heran semua yang ada di Jepang terlihat begitu sederhana dalam kesehariannya meskipun jejak – jejak modernisasinya juga terasa dimana – mana. Konstruksi Detail – detail kuil yang terbawa dari jaman dinasti Tang China, berubah menjadi sederhana dan tampil apa adanya.dengan warna – warna alam. Berbeda dengan China yang menggunakan warna – warna cerah untuk kuil – kuilnya. Di Kyoto, kuil2 dijaga kelestariannya, di jaga kesempurnaannya setiap 30 tahun, mereka tetap berbicara dengan alamnya dengan kondisi yang terbaik untuk anak cucu mereka untuk melestarikan budaya.
Musim gugur, di bulan november, saat yang sangat indah dimana pepohonan mulai menunjukkan warna-warninya. Gingko dengan warna kekuning-keemasannya, Mapple degan warna merah kekuningannya, maupun Sakura yang berwarna kecoklatan. Berjalan – jalan ke 4 kota yang berbeda, Tokyo, Nagoya, Kyoto, Osaka. Tokyo, Nagoya, Osaka dengan densitas yang sangat tinggi. Karya maestro – maestro designer Jepang yang bertaburang antara kota2 ini menjadikan kota ini menarik sebagai objek arsitektural ataupun relasinya denga tata ruang kota. Juga Kyoto, kota yang sangat indah dengan kuil2 shinto dan buddha, menunjukkan transisi dari artifisial ke alam.
pikiran ini beralih ke satu saat di studio NIT [Nagoya institute of Technology] ‘Hey apa yang kalian berdua lakukan, tanyaku, kepada kedua orang teman jepang yang ada di tim desain, mereka terlibat dalam debat yang cukup lama, saat itu sudah jam 5 pagi di studio workshop, satu bernama yuki, satu lagi bernama Ban, mereka masih berdiskusi tentang desain di saat sepagi ini sedangkan besok adalah waktu untuk presentasi jam 1 siang.. Aku juga baru tahu ternyata mereka sudah beberapa hari ini tidur hanya 1 ataupun 2 jam di studio workshop. Saat itu Teman – teman dari Australia pun sudah pulang.Bagi mereka berkerja sepagi ini di luar persepsi, dua dunia yang sungguh berbeda. Satu mengejar kesempurnaan dan satu mengejar kenyamanan..
Setelah kita berdiskusi sampai jam 6 pagi, 3 jam setelah itu mereka menyelesaikan gambar dan siap untuk presentasi.
Frank llyod Wright mendapatkan inspirasinya bentuk arsitekturnya pun dari jepang, cara ia bermain dengan bidang – bidang horisontal, Pola atap, proporsi massa dengan mengambil prinsip planning beaux art Perancis. Jepang sendiri secara jelas memamerkan budayanya pada saat World Columbian Exposition 1893, semenjak itu arsitektur jepang mulai menginspirasi banyak arsitek amerika dan dunia pada waktu itu. Diri ini terinspirasi oleh karya wright di imperial hotel dan school of free spirit, dimana ia bermain dengan planning split level untuk menghasilkan ruang – ruang yang mengalir dengan permainan bukaan dari permainan yang terlihat sangat sederhana namun sangat cerdik. Pola – pola detail artikulatif yang terus berulang yang konsisten dari tampak besar ke tampak kecil selebar 1 – 3 cm yang saling berbicara satu sama lain. Gedung imperial hotel ini hanya lobby yang tersisa, kamar – kamar dan ruang makan sudah dihancurkan. Saat itu aku bertanya kepada kyoko, salah satu mahasiswa jepang, kenapa dihancurkan ? Satu sebabnya, adalah gempa yang menyebabkan bangunan ini rusak parah, pertanyaan kedua , kenapa tidak direstorasi ? Kyoko pun menjawab, terlalu mahal. Aku pun tersenyum, diri ini kembali teringat pada Jon Lang, satu kata yang harus kita ingat, affordance. Seberapa terjangkau satu karya bagi satu negara, satu kota, satu komunitas, satu keluarga, orang per orang.
Desain juga bersentuhan dengan affordance meskipun ia adalah karya sebuah maestro arsitek.
Dari Jepang aku belajar lebih mencintai budaya, alam dan kesungguhan untuk berkarya. Dari totalitas yang ada, belajar untuk mengembangkan rasio dan rasa, pikiran dan perbuatan untuk menghasilkan karya terbaik. Di balik rasio yang kudapat dari Australia, aku mendapatkan pelajaran rasa dari Jepang, negara yang cantik, dan indah dalam keseharian.
dan 3 bulan lagi aku akan menyelesaikan studi di Australia, pertanyaan menarik ketika aku bepikir kemana aku akan melangkah selanjutnya… aku percaya 3 bulan ini adalah bulan yang paling kutunggu – tunggu…

Dan Aku pun berkata kepada teman – teman di Jepang, 2 tahun lagi aku akan kembali ke Jepang, karena pelajaran ini masih belum selesai , dengan wanita terbaikku…
2 replies on “Jepang dan Sebuah Pelajaran Tentang Rasa”
Wawawawa…. Asiik rich balik ke sini lagi!! Ntar kita jalan2 lagi ya Richie, tentunya sama si pacar yg mudah2an sudah berganti status saat itu =)
Yup.. selama disini, beneran kerasa bagaimana menghargai alam..dan sebenarnya alam itu banyak memberi pelajaran ke kita.
Like pocahontas said, every rocks and trees and creatures has a life, has a spirits, has a name.. we need to sing with the voices of the mountains, we need to paint with the colors of the wind… =)
Doain ya Vite, semoga semua lancar, sama seperti wishes di kuil2 itu :p, good life.semoga rich juga bisa ke Jepang lagi, ke tempat vite sama mas dito :)