Rumah Tanpa Pintu
“Rumah tanpa pintu adalah sebuah kenyataan.”
>>

Melalui diskusi yang intensif dalam iterasi desain kami menduga bahwa pasti ada rumah yang secara harfiah tidak menggunakan dan mempunyai pintu. Bahwa kemungkinan rumah tanpa pintu tersebut ada di daerah informal karena mereka ada di daerah ruang publik, tanah yang tidak mereka punyai.
Kami melakukan penelusuran ke kawasan informal di daerah Jakarta. Penelusuran mencakup daerah jembatan, daerah pembuangan sampah, dan daerah pinggir rel kereta api. Setelah observasi yang dilakukan dan wewancara. Kami menarik kesimpulan bahwa memang sudah ada rumah tanpa pintu, yaitu rumah yang dekat dengan kemiskinan. Memang ia tidak memiliki pintu tapi ia juga memiliki salah satu syarat untuk tidak memiliki pintu yaitu memiliki aspek kemiskinan.
Menurut Oscar Lewis “Kemiskinan didefinisikan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya.” (Oscar Lewis). Oleh karena itu kami meyakini bahwa masyarakat miskin adalah masyarakat yang kreatif, dalam keterbatasannya mereka tetap mampu menginterpretasikan lingkungannya. Mereka bisa tinggal di tempat-tempat yang tidak terpikirkan sebelumnya, atau di tempat-tempat berbahaya. Mereka memanfaatkan berbagai hal yang mudah mereka dapatkan untuk membantu kehidupannya. Pola ide bertahan hidup seperti inilah yang menjadikan kemiskinan adalah sebuah kebudayaan, yang banyak berkembang di perkotaan.
Kita ambil contoh kota Jakarta, kota yang menjadi tujuan banyak orang dari desa untuk mengadu nasib. Sebagian besar penyebab kemiskinan di Jakarta adalah urbanisasi. Karena keterbatasan modal dan mahalnya biaya hidup di ibukota, mereka akhirnya menempati rumah, jika-boleh-dikatakan-rumah, temporer di sudut-sudut kota. Tempat huni ini biasa berada dekat dengan air, dekat dengan sumber pencaharian, atau di ruang-ruang sisa.
Melalui berbagai observasi, kami menemukan rumah tanpa pintu. Rumah dimana mereka benar – benar tidak memiliki pintu. Mereka tidak memiliki kuasa untuk mempunyai pintu. Ruang itu terjadi begitu saja. Terbentuk dari barang yang ada. Sebagai potret realitas kota besar Jakarta.
Bahkan eksistensi mereka pun dipertanyakan, Inilah proyek yang akan kami buat, kami menemukan klien. Sebutlah nama mereka Pak Ari dan Bu Sri. Mereka punya dua orang anak, dengan penghasilan dibawah 50000 rupiah satu hari, mereka tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah, dan mereka mencoba bertahan hidup untuk bisa makan setiap hari.
Yang penting bagi mereka adalah rumahnya murah, mudah dibangun, dan hemat energi. Lahan mereka cukup besar karena merupakan lahan bersama dengan kerabat yang lain. Mereka ingin rumahnya dapat digunakan oleh kegiatan bermain anak-anak kerabat atau tetangganya. Untuk itu tanpa pintu menjadikannya mudah dimasuki dan memberi kesan “mempersilakan”. Bagi mereka, dunia publik dan privat hanya ada pada waktu buang air.
Proposal ini menciptakan kondisi dari beberapa opsi desain dan kondisi dimana ruang yang sangat efisien, dan hanya 1 tipe studio dengan 1 kamar tidur dengan beberapa akses. Penghuni rumah ini bertindak sebagai penjaga rumah dimana tidak ada ruang tamu. Hanya 1 buah kamar tidur. Tidak ada isu keamanan.
Proses pencarian ini membuat kami untuk melakukan refleksi mengenai kehidupan dan pesan moral terhadap proses hidup kita sebagai manusia.
Credit to the team
Leader : Realrich Sjarief
Anastasia Widyaningsih
Andhang Trihamdhani
Bayu Prayudhi
David Sampoerna
Indra Dwi Nugraha
Morian Saspriatnadi
Silvanus Prima
Apriani Kurnia Sarashayu
Endy
Liana Sastro
Silvia Adityavarna
William steviene
Vincent Edson Ho
Photographer :
Anastasia Widyaningsih (all photos except mentioned belom)
Credit to :
Immanuel Antonius (photo slide 7)
Antyo Rentjoko (photo slide 5)
Adhi Wicaksono (photo slide 11)
Hino (editing photo and uploading)