Lembang 3 November 2012
“The only way to be happy is to love. Unless you love, your life will flash by.” Mrs. O’Brien

Pagi ini diriku ada dalam satu perjalanan ke Bandung, kota yang memiliki aura menyejukkan, sabtu ini diri ini bisa rileks sejenak dari kesibukan yang menerpa 5 hari kemarin. Hari ini udara sedikit berkabut dan sejuk, matahari seakan – akan menyembunyikan dirinya dibalik gugusan awan tebal yang menyelimuti perjalanan kami.’ Sambil diri ini tertawa membayangkan saat saat kecil kami.
Diri ini berpikir, sebenarnya ada satu sisi dalam diri yang menyukai hal yang sama berulang – ulang, ingin itu – itu saja, baju itu – itu saja, melakukan yang itu – itu saja. Aku dilahirkan di Surabaya, dengan 4 orang bersaudara, kami lelaki semua. Saya pikir saya yang paling jelek diantara saudara – saudara kami.
Ayah adalah seorang kontraktor bangunan, ia insinyur sipil, dan ibu sendiri adalah seorang ibu rumah tangga. Aku ingat dulu diri ini tinggal di daerah Dukuh Kupang, daerah perumahan yang sepi di gang 13, kami punya pohon mangga yang sering kuambil mangga mudanya untuk sekedar dimakan dengan kecap manis di genteng rumah keluarga kami. Merasakan panasnya talang seng ketika diinjak di terik matahari, ataupun menggergaji triplek menjadi pedang kayu menjadi satu perkenalan dengan arsitektur. Di gang ini aku belajar berbicara , menyapa, bergaul anak – anak yang lain, dengan tetangga, tegur sapa dengan tetangga sering dilakukan, pada waktu itu diri ini ingat, permainan yang populer adalah bermain sepatu roda.
Pada waktu itu akumasih berusia 9 tahun, saat itu adalah saat dimana diri ini ada di satu lingkungan yang baru, Jakarta, bertemu dengan teman -teman yang baru. Diri ini ingat, dengan logat bahasa masih khas suroboyo, medok, sama sekali tidak tahu dengan budaya kota yang berbeda, budaya pergaulan yang berbeda. Saya heran kenapa kalau guru bertanya, kenapa saya yang selalu tunjuk tangan, padahal di Surabaya dulu, kami berlomba – lomba untuk tunjuk tangan, sampai pak Martin satu guru IPA kami bosen melihat diri ini tunjuk tangan. Aku juga ingat ada beberapa orang yagn mengusili terus menerus sampai membuat tidak tahan. Mungkin mereka tertawa juga melihat satu makhluk aneh yang baru, aku waktu itu kelas 4.
[laurensia adalah orang yang mengusiliku ketika aku ada di kelas 4 SD, Tuhan memang punya kejutannya yang tidak pernah diduga]
Atau saat – saat dimana diri ini, sedang senang – senangnya berolahraga tennis meja, dan hampir sebagian besar waktu dihabiskan untuk berlatih sehingga nilai – nilai pelajaran menjadi turun. Ada satu kesenangan yang baru. Atau saat – saat penuh tanda tanya mengapa diri ini selalu jalan – jalan ke satu gedung untuk memotretnya terus menerus setiap pulang berkerja di hari jumat sewaktu ada di Singapore dan London dengan orang – orang yang berbeda – beda, atau saat – saat bermain bulu tangkis dengan teman satu SMA yang dilakukan terus menerus.
Semudah ke satu tempat yang sama terus menerus, melakukan hal yang sama terus menerus, seperti tukang kayu yang belajar menggergaji, tukang batu yang belajar untuk memplester satu permukaan, atau seorang pandai besi yang belajar untuk menempa satu karya. Mereka melakukannya terus menerus, tanpa henti, sampai kamu menjadi tinta, kamu menjadi kertas, semua menyatu dalam nafas, dalam jiwa. Diri ini ingat kehati – hatian wanita terbaikku ketika berkerja, satu bersatu gigi itu dibersihkannya, diobatinya, ada teori – teori yang dijalaninya, seminar – seminar yang diikutinya. Semua pelajaran , latihan itu memerlukan waktu hanya untuk menjadi lebih mampu.
Memang pengalaman – pengalaman di tempat yang baru akan selalu menjanjikan pengalaman yang tak ternilai, berhadapan dengan orang – orang baru, wajah – wajah baru, budaya – budaya baru.
Kayu kelapa terbaik ada di daerah Menado, Sulawesi, karena ia tumbuh secara perlahan – lahan, bukan hibrida, bukan dikatalisasi. Seperti juga kayu bengkirai yang habitatnya ada di Kalimantai atau sama dengan damar laut yang berasal dari Sumatra. atau kayu jati Belanda yang memang tumbuh perlahan – lahan. Seratnya keras, matang, tua, karena teksturnya yang padat, rayap pun enggan menghampiri. Memang di jaman yang kompetisinya sedemikian tingginya menuntut kita selalu untuk berpikir lebih kritis, lebih cepat, lebih dan selalu lebih baik.
Kemudian diri ini teringat pesan dari pak Tisna Sanjaya, untuk tumbuh perlahan – lahan, seperti pohon, berakar kuat, bertajuk rindang, menjanjikan kehidupan untuk makhluk yang diteduhinya melalui alam yang memberikan air, sinar matahari, dan mineral yang didapatnya. Mungkin dalam kehidupan ini kita semampu kita perlu untuk meneduhi seteduh – teduhnya dengan perbuatan, perkataan, dan pikiran kita.
Hari ini diri ini tenggelam dalam romantisme kegiatan berulang – ulang yang itu – itu saja, dan memang inilah yang kunikmati, beserta Laurensia, Keluarga, dan teman – teman terbaikku yang ditemui sepanjang hari..
“Help each other. Love everyone. Every leaf. Every ray of light..”