130301 Jakarta “How well you live comes down to how much you love. The heart is wiser than the head. Trust it. Follow it
Satu teman berkata,”In order to succeed you have to kill your father.”
Kemudian sambungnya lagi “termasuk juga hal itu terjadi anak saya, ia selalu membantah saya, kita tidak cocok, selalu tidak sejalan dengan saya, anak saya adalah seorang pengacara”, ia sampai berkata, “ayo tanya apa yang saya tidak tahu.” anak itu kasar dan kami selalu berargumentasi untuk saling mengalahkan, untuk menentukan siapa yang benar – siapa yang nomor satu. Ini masalah antar ayah-anak.
Betapa kompetitifnya hidup orang ini ? Kompetisi memang mewarnai hidup kita, namun apakah harus sekeras itu ? atau apakah itu jalan yang terbaik menjalaninya ? Mungkin bagaimana generativitas atau cara pandang yang positif perlu direnungi, Post dan Neimark menulis “Beri ia ikan dan ia akan makan hari ini; ajari orang itu menangkap ikan dan dia akan makan seumur hidup.” Saat kita merawat orang lain agar hidup mereka berkembang dalam berbagai cara yang misterius dan tidak terduga, kita menyampaikan cinta kasih. Cinta kasih mungkin salah satu hal yang dilupakan di atas, seharusnya pandangan – pandangan di atas tersebut tidak perlu terjadi.
Hari itu sore – sore, satu teman menelpon menelepon, “Pak, kok project kita sudah ada di internet ya, berbeda dengan yang kita obrolkan, padahal kita belum publish project ini, mohon ini dilihat ya.” kemudian Diri ini mengkontak beberapa orang yang merupakan alumni dan relasi – relasi kantor untuk melihat hal ini, dan meminta mereka untuk membantu menyelesaikan hal ini. Ternyata Ada satu orang menyebarkan informasi tersebut dalam website pribadinya, tanpa ijin. Diri ini terus terang terhenyak dengan hal ini dan tersadar bahwa internet adalah sebuah medan informasi yang tanpa batas, dimana juga terdapat nilai – nilai apa yang bisa dilakukan apa yang tidak bisa dilakukan.
Saya berpikir dengan seluruh kecepatan informasi yang ada, kita perlu berhati – hati dalam menghargai sesama, etika perlu dibangun di masa yang serba cepat ini. Social media, Facebook, Twitter, WordPress, dsb. Dengan segala kecepatan informasi yang ditawarkan sebenarnya merupakan satu ruang bersama, sebuah rumah – rumah yang adakalanya ia diijinkan untuk masuk dan adakalanya juga ia tidak diijinkan untuk masuk. Disini ruang publik diibaratkan seperti sebuah persimpangan jalan yang dilalui orang – orang dengan billboard besar di samping – sampingnya. Informasi yang ditawarkan tentu banyak orang yang membaca di bill board tersebut. Masalahnya adalah sering orang tidak menyadari ini. Bahwa social media adalah ruang publik yang juga memiliki etika penyampaian informasi. Dalam ruang publik ini pun kita memiliki tanggung jawab.
“Facebook’s News Feed an Epic Fail ? Former employee Katherine Losse : The day we launched News Feed felt, without exaggeration, like a minor Vietnam… Email after email of the thousands we received that day told graphically of the betrayal and evisceration the users felt…Technology is the perfect alibi. Facebook doesn’t hurt people : people hurt people . This is true. But as Facebook makes it possible to do things faster, more efficiently, more cheaply, it makes it possible to hurt people faster, more efficiently, with less cost to themselves. It removes any sense of direct responsibility for our behavior, for how what we do makes others feel. With Facebook, you can act and be seen acting without ever having to look anyone who is watching you in the eye, or look at them at all. The boys Kings, 2012 [taken from Billionaire Boy, Mark Zuckerberg in his own words, ‘Hacker. Dropout. CEO’]
Melihat satu kejadian ini kebelakang, berpikir mengenai hubungan antar-manusia bahwa seseorang yang berkerja secara penuh waktu di dalam satu ikatan kerja, adalah pribadi yang belajar dan berkerja dengan permintaan, ia berkerja dalam satu tim besar dan kecil yang terikat dengan norma – norma yang terdapat didalamnya. Ia juga terikat dengan nilai untuk menjaga nama baik, kelanggengan hubungan dengan etika terbaik untuk membina hubungan yang selama – lamanya. Adapun terkait dengan hal – hal norma – norma, perlu meminta ijin untuk menampilkan dalam ruang publik. Diri ini pun bersikap demikin dengan seluruh orang tempat diri ini mengikat hubungan perkerjaan dengan atasan juga dengan bawahan, orang – orang yang memberikan kepercayaan dan dengan rekan sejawat.
“Etika adalah seni memperhatikan hak – hak dan perasaan orang lain,… pengorbanan yang kita lakukan demi hidup bersama, demi perjalanan kita bersama orang lain, dan dari cinta dan respek akan konsep bahwa memang ada orang lain. “Stephen Post, dan Jill Neimark.
Pikiran ini melayang mengenai hubungan manusia dengan manusia, Dulu harus mempersiapkan presentasi untuk acara lomba desain sekitar 9 tahun yang lalu, sesaat sebelum wisuda. Ingat bagaimana belajar memakai dasi, memakai lengan panjang, meminjam sabuk kepunyaan bapak. Ingat bagaimana juri berkata, “Melihat penampilan kamu, saya jadi pingin muntah, seperti professor, .” Generalisasi pun terjadi, Diri ini hanya terdiam, tersenyum, dan kemudian mencoba mempresentasikan karya sebaik mungkin. Diri ini ingat bagaimana bertemu kembali dengan juri tersebut, kemudian berbincang – bincang, setelah kita mengenal lebih dalam, rasa suka bertambah, dan rasa tidak suka pun berkurang. Diri ini pun merasa dekat dengan juri tersebut. Tidak ada ketidakcocokan apabila kita bisa berkomunikasi dengan baik. Merasa dekat, berbicara dengan tulus, dan berkomunikasi selayaknya keluarga.
Diri ini juga teringat akan satu film yang disukai, “Forest Gump”. Forest Gump adalah seorang pekerja keras namun memiliki etika yang tinggi dalam kehidupannya, sikapnya terhadap keluarga dan teman – teman yang dicintainya. Ia berkerja keras untuk itu dan akhirnya mendapatkan apa yang ia inginkan, cinta, keyakinan, kemudian menjaganya sepenuh hati. Diri ini pun merenungi arti dalam menjalani hidup ini.
satu teman terbaik bercerita mengenai keadaan di kantornya, salah satu kantor terbaik. Bagaimana wakilnya di kantor cabang mengerjakan pekerjaan – pekerjaan pribadi mereka menggunakan fasilitas kantor tanpa sepengetahuannya, kemudian memiliki proyek bayangan, proyek ilegal, kemudian terciptalah sistem kantor di dalam kantor tanpa sepengetahuan dengan staff – staff kantor berkerja untuk wakil kantor tersebut. Diri ini berpikir bagaimana itu bisa terjadi ? Kabar ini tercium ke relasi – relasi terdekatnya, teman – teman seprofesi, dan sahabat yang terkadang merangkap sebagai klien, sementara kita membantu mengingatkan sahabatku supaya hal – hal baik yang terjadi dalam ketidakpedulian pihak – pihak lain pada etika. Hal ini dinamakan Moonlighting, hal yang sudah biasa dilakukan oleh beberapa arsitek untuk menyambung hidup mereka. Sebenarnya asalkan perjanjiannya jelas, tidak ada masalah.
Di satu saat satu teman terbaik berkata bahwa dalam hidup ini untuk kaya ada 3 hal. Menjadi Kaya, kaya yang pertama, adalah kaya akan relasi,tidak boleh sombong. kaya yang kedua adalah kaya akan ilmu pengetahuan, tidak boleh berhenti belajar, yang ketiga kaya akan iman, terus berdoa dan bersyukur akan nikmat karunia yang diberikan. Intensi dari membangun etika adalah membangun ketiga kekayaan ini. Kaya relasi, kaya pengetahuan, dan kaya akan niat baik. Seketika diri ini ingat,
Pelajaran mengenai etika tidak disangka – sangka muncul ketika berkunjung ke Shirakawa Go, satu perkampungan tradisional Jepang untuk menginap disana untuk satu malam. Diri ini ingat waktu itu salju turun, dan koper ini pun sudah tidak bisa ditarik lagi, rodanya membeku. Kita berjalan setengah kilometer untuk ke Ryokan, satu penginapan tradisional. Saat itu suhu udara sudah minus dibawah o derajat celcius. Diri ini ingat bagaimana kekhawatiran akan istri, kondisinya yang sedang mengandung. Satu hal yang membuat diri ini merasa bersalah membuatnya berjalan capai.
Kami sudah ditunggu pemilik rumah, dipersilahkan masuk, diberikan handuk, kemudian dipertunjukkan letak kamar tidur kami. Rumah itu berisi tiga kamar tidur, kebetulan 2 kamar tidur lainnya diisi oleh 2 keluarga Jepang. Diri ini ingat gendang di perut sudah mulai ditabuh, sembari kami menghangatkan badan, kami menunggu makan malam. Saat – saat yang ditunggu – tunggu adalah makan malam, perut kami yang sudah lapar. Kami disuguhi hidangan Kaiseki, hidangan satu set menu khas Jepang. Ada satu orang di keluarga Jepang di sebelah meja kami membantu kami, karena kami tidak mengerti bagaimana cara makan hidangan ini, sang anak membantu menghidangkan teh kepada Laurensia, dan diri ini, Kemudian sang anak menghidangkan teh tersebut ke ayahnya sendiri, dan ia meletakkan poci tersebut. Kemudian Giliran ayahnya, menuangkan teh untuk anaknya. Kejadian itu berlangsung berulang – ulang pada keluarga yang lain, mereka saling menuangkan teh untuk yang lain begitu gelasnya kosong, namun tidak untuk mereka sendiri.
Diri ini bertanya – tanya kenapa sang anak tidak mengambil untuk dirinya sendiri ? … begitu diajarkan mengenai tata cara makan malam, dalam budaya Jepang. Ternyata cara kita makan, menghindari untuk mengambil minuman kita sendiri adalah filosofi bagaimana kita bisa mementingkan kepentingan orang lain, selain diri kita sendiri, hidangkan untuk orang lain lalu letakkan, biarkan orang lain yang menghidangkan untuk kita. Cara makan ini mengajarkan kita mengenai filosofi “respecting others” menghargai orang lain.
“The Japanese consider it an important part of hospitality to keep their guest’ glasses full, bu it is thought to be impolite to fill your own. Instead, you must wait for others to notice that your glass is empty so they can fill it for you.” Ayame
Diri ini juga berpikir mengenai tradisi timur, tradisi orang Indonesia, Jawa, yang memulai kebiasaan dengan memanggil nama “ayah makan, ibu makan, kakak makan.” bahwa mungkin etika adalah satu aspek yang sangat penting dalam kita bersikap, mewarnai hidup kita dengan sesama.
Satu kalimat dari Julian dalam suratnya kepada Jonathan dalam buku yang ditulis Robin sharma, The monk who sold his ferrari, dalam satu perenungan panjang dalam perhentian 3 bulan ini untuk mengajarkan diri ini untuk lebih bertanggung jawab, lebih beretika,
Live with kindness… how we treat someone defines how we treat everyone, including ourselves. If we disrespect another , we disrespect ourselves. If we are mistrusful of others, we are distrustful of ourselves… with every person we engage in everything we do, we must be kinder than expected, more generous than anticipated, more positive than we thought possible. Every moment in front of another human being is an opportunity to express our highest values and to influence some one with our humanity. We can make the world better, one person at a time. :)
Puji Tuhan semoga kita semua mendapatkan kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi. Terima kasih Tuhan :) Semoga hidup akan semakin baik untuk kita jalani.
3 replies on “#2 Etika”
Reblogged this on Unlimited Limitation and commented:
This is awesome post. Quiet inspirative and very literally article. Alhamdulilah randomly found this post, and the story is about someone stay for a few months in Japan and learn about “etika” to realize that there are so many other people around us to be treated gently. May this reblogged post can make some benefits to us. Jazaakumullohu khoir.
Nur Chariroh :) salam kenal, kita sebarkan kebaikan dalam waktu yang terbatas ini ya
Realrich
ok siap