“Believe in this world – that there is meaning behind everything.” Vivekananda
Malam ini sunyi senyap, hari ini pun hari biasa, dengan kicauan suara burung – burung yang ada di taman sebelah rumah. yang berbeda adalah diri ini bangun lebih pagi dari biasanya, sekarang jam 3 pagi. Diri ini pun merenung terdiam mengenai apa saja yang sudah terjadi dalam hidup sampai hari ini. Sejenak diri ini bersyukur, bahwa sudah dikaruniai nafas kegagalan, nafas keberhasilan, dan nafas yang diberikan untuk bisa merenungi inti dari kehidupan ini. Untuk apa kita ada disini.
Melalui kerja nyata romo mangunwijaya membantu masyarakat, ada satu renungan tulisan dr Mohammad Sobary, “… Beliau menemukan suatu renungan mengenai memuja kebesaran Tuhan bukan di altar melainkan di pasar… melalui tradisi”topo ngrame”. Memuja Tuhan bukan di ruang terbatas,… tetapi sebaliknya,pemujaan itu tampil dalam kerja, dalam kesibukan mewujudkan proyek – proyek kemanusiaan, di tengah masyarakat. Kalau perlu, dan itu selalu perlu, di tengah masyarakat kaum miskin yang memerlukan bantuan.”Sobary(2014:xix) dalam buku kata – kata terakhir Romo Mangun, sebuah perjumpaan hangat di ujung perjalanan.


“Pak bagaimana kehidupan di kampung bapak, apa bapak punya keluarga, istri, anak – anak ?” Tanya diri ini ke satu tukang kayu yang merantau setiap minggunya pulang pergi ke daerah Sukabumi, Jawa Barat. Untuk hidup di masa depan, diri ini percaya bahwa masa lalu adalah masa lalu, usaha untuk menjalani masa depan adalah usaha untuk melihat masa depan, oleh karena itu kita selalu hidup dalam rantai ketika. Ketika kita berbicara dengan sekitar, dengan hidup, dari situlah kita bisa memahami indahnya rajutan kehidupan.
Saya dulu punya istri pak, tapi istri saya meninggal, karena kanker payudara, dulu saya bawa dia ke rumah sakit hasan Sadikin Bandung, namun saya ngga punya uang pak, jadi istri saya tidak bisa berobat. Dalam hati ini , tidak bisa membayangkan ada di posisi dia. Dengan segala keterbatasannya, ia bergulat dengan craftmanship yang dimilikinya. Saya pikir ini realitas yang ada, kehidupan yang diwarnai himpitan ekonomi.Kalau ada kesempatan, ingin sekali meningkatkan penghidupan mereka, para tukang – tukang terbaik, untuk mendapatkan penghargaan setinggi – tingginya. Dalam kapasitas diri ini yang akan meningkat, tanggung jawab akan orang – orang di sekitar ini pun meningkat, bahwa mereka harus mendapatkan penghidupan yang layak. Bisa menabung, untuk hari tuanya, sekaligus bisa mengekspresikan dirinya melalui karya.

Arsitek dalam praktik sehari – hari pada hakikatnya adalah satu pribadi yang mengetahui seni membangun dan teknik membangun, sehakikatnya membuka diri untuk berdialog dengan orang – orang untuk mempelajari teknik membangun yang lebih baik, mungkin juga dengan para tukang ini, para pemilik rumah, pada alam, pada tanah, dan mungkin lagi pada langit. Mungkin saja dari situ ia bisa mendapatkan pasir putih, butiran – butiran yang tersisa sebagai inspirasi dalam desain arsitektur yang dicoretkannya. Bahwa memang itu lah hakikatnya, mendesain bangunan yang lebih baik.
Oleh karena itu, kali itu diri ini membuat satu desain untuk sopir pribadi yang sudah seperti keluarga saya sendiri, ia menemani diri ini sehari – hari, orang yang tahu nafas kegagalan, dan nafas keberhasilan sehari – hari saya. Namanya Pak Misnu, istrinya bernama Sri, ia memiliki 3 anak, yang pertama namanya nurul, yang kedua aisyah, yang ketiga Tria.
Rumah ini didesain dari material yang sederhana, dari triplek 9mm, 12mm, 15 mm, 18 mm, dengan menggunakan pondasi umpak dengan kayu papan bengkirai 30 mm x 145 mm dengan ketinggian 50 cm yang dicor ke umpak beton. Desain dimulai dari melihat keseharian, banyaknya potongan triplek – triplek di workshop dengan menguji, apa yang bisa muncul dari satu keterbatasan bahan, kayu triplek, dengan keterbatasan kekuatan yang dipunyainya, dengan 2 orang tukang kayu yang ada, dengan dimensi yang terbatas. Oleh karena itu susunan ketebalan dimensi yang merupakan inti kekuatan triplek menjadi penting dimana triplek ditumpuk sehingga menyerupai kaso supaya kekuatannya bisa ditambah. Rumah ini menggunakan modul 1.2 x 2.4 m setiap kolomnya dengan jarak umpak per 2.4 m. Keluarga Pak Misnu juga membutuhkan satu warung di depan, oleh karena itu kemudian bagaimana pagar yang juga berfungsi sebagai warung ini bisa dibuka dengan dinding. modul GRC putih 150 mm x 600 mm disusun horisontal. Sebagian atap yang digunakan adalah atap alumunium foil yang didapatkan dari daur ulang dari kardus susu ultra. Dari ongkos membangun rumah ini bisa mencapai ongkos 1 juta per m2. rumah ini pun masih berevolusi, karena proses tinggal ada sepanjang karya itu bisa memberikan hal positif terhadap penghuni dan diskursus arsitektur akan dimulai lagi dengan evaluasi satu desain terhadap karyanya, berputar dalam iterasi untuk membuat desain yang lebih baik.



Saya punya janji ke diri ini sendiri, kalau sudah ada sedikit kemampuan nanti, orang – orang yang menikmatinya yang pertama harus orang yang terdekat yaitu keluarga, kemudian orang – orang yang berkerja untuk kita, barulah orang lain sekitar kita. Rumah ini untuk supir pribadi saya, pak Misnu dan keluarganya yang sudah seperti keluarga sendiri, ia sudah berkerja sejak saya masih kecil.

Di belakang rumah pak misnu diletakkan satu workshop untuk bereksprimen mengenai detail arsitektur, detail sambungan kayu, uji coba mock up, ataupun melayani relasi – relasi dan mungkin juga orang – orang yang baru dikenal dimana workshop ini akan tumbuh dan berkembang bersama rumah pak Misnu. Workshop yang baru ini didesain dengan modul 3 m menggunakan kayu jambi dengan sistem umpak beton, disini sistem pertukangan yang ada di dasarkan pada budaya saling mengajarkan, dengan pembagian yang merata, bonus – bonus per proyek . Diri ini mencoba menjawab masalah – masalah hidup yang tidak layak dari diskursus yang dilakukan Adi Purnomo dalam acara diskusi Venice Bienale beberapa saat yang lalu, dimana beliau menampilkan standar kualitas hidup yang rendah dan pentingnya menghargai para pembangun kita . Diri ini berpikir semoga disini tukang dibayar lebih, namun berkerja lebih baik, bisa membuat lebih rapih, dan menjaga craftmanship lebih baik, dari situ kita bisa dihargai lebih. semua berpulang dari satu keinginan untuk hidup yang lebih baik, untuk semua orang. Kita sudah punya satu project manager, sudah ada 4 tukang tetap yang terus menerus berproduksi , workshop ini sudah membuahkan 2 beasiswa untuk keluarga tukangnya sebesar 24 juta rupiah, bonus – bonus per-bulannya, tunjangan – tunjangan dan akan terus berbuat menyebarkan kebaikan kepada sesama.
pesanan sudah mulai datang dari orang – orang yang bersimpati untuk membantu. Saya bilang ke tukang – tukang, saya pesan, kita buat produk yang murah dan bagus, orang – orang pasti akan mau memesan. Curahkan seluruh tenaga kita untuk membuat produk yang bagus.Garis tangan yang di buat, ada untuk dinikmati bersama. berpikir punya banyak klien yang minta didesainkan rumah, ini juga menjadi satu titik perenungan, untuk apa kita ada. ini adalah satu buah karya untuk meneruskan pesan almarhum Robi Sularto. Architecture as Dharma not merely as a profession.Ijinkan saya perkenalkan nama rumah ini Murakabi, dari bahasa sansekerta artinya bermanfaat untuk semua.


One reply on “2013 – Craftsmen Guild, Murakabi”
[…] Murakabi […]