tulisan ini dipersiapkan untuk majalah galeri, Universitas Diponegoro – # 1 Reborn Architecture. video mengenai brione cemetry yang didesain carlo scarpa ditampilkan, karena karya tersebut memiliki paradoks, mengenai depth soal kebangkitan, cinta, dan kematian, yang sesuai dengan artikel ini yang membahas mengenai kebangkitan kritik arsitektur
Fraser dan Hodgins berpendapat bahwa jurnalistik pada dasarnya adalah segala bentuk yang terkait dengan pembuatan berita dan ulasan mengenai berita yang disampaikan ke publik ataupun lebih – lebih lagi ada unsur gagasan untuk kepentingan publik, tanggung jawab yaitu dalam rangka membela kebenaran dan keadilan. Namun seberapa benar, dan seberapa adil terkait dengan informasi adalah satu dan dua hal yang kompleks untuk bisa dijelaskan dimana kebenaran disini terkait dengan transparasi dan hasil analisa yang kemudian bisa dipertanggung jawabkan kepada publik yang membaca. Untuk bisa melakukan pertanggungjawaban, seorang jurnalis memerlukan sebuah sikap dan kemampuan untuk memahami, menjelaskan, menganalisa dan mengevaluasi gagasan sehingga pada titik yang tertinggi disinilah pentingnya kritik dalam arsitektur sebagai bentuk jurnalisme yang memangku kepentingan publik.[1]
Dua hari ini saya membaca buku yang ditulis oleh Martin Pawley, judulnya The Strange Death of Architecture Criticism (kematian yang aneh dari kritik arsitektur), dengan pengantar ditulis oleh Norman Foster. Apakah ini pertanda dari kematian dalam cerita arsitektur ? Martin menjelaskan latar belakang penulisan artikel tersebut karena budaya publikasi yang kental dengan sikap berjualan seperti : menonjolkan gambaran – gambaran cantik saja, berita – berita baik saja. Di tulisan ini memberikan argumentasi bahwa lambat laun kritik arsitektur akan mati, hilang, karena sifat dasar arsitek yang menafikan elemen – elemen pembentuk satu proyek seperti : plagiarisme, kurangnya penghargaan terhadap kerja tim, elemen – elemen pembentuk seperti uang , waktu dan pada kontraktor, hubungan antar klien, meskipun saya sendiri tidak sepenuhnya setuju karena lapisan tanggung proyek yang kompleks, dan tingkat pemahaman publik yang tidak sama, namun katakanlah ini Martin sedang mengingatkan arsitek dan publik apa yang sedang terjadi, inilah jurnal arsitektur, perlunya memberikan reaksi terhadap apa yang menjadi kondisi awal. [2]
Jurnalisme dalam arsitektur perlu untuk menelisik lebih dalam dari sekedar klaim – klaim atau kulit atau permukaan, menyibak tirak yang tertutup untuk memberikan kesimpulan yang menunjukkan kredibilitas penulisnya. Dari kacamata jurnalisme, seorang arsitek jenius, atau seseorang biasa – biasa saja menjadi sama. Kondisi dunia yang tidak sama, sarat dengan kekuasaan ini dijelaskan dalam buku yang ditulis Machiavelli, berjudul the prince (sang pangeran), mengenai hubungan antar manusia, bagaimana proses manusia meraih kekuasaan, memperbesar kekuasaan dan kemudian mempertahankan kekuasaan, atau setidaknya itu pula yang diulas oleh robert greene dalam bukunya yang berjudul The 33 Strategies Of War (33 strategi berperang) , karena budaya menegasikan, menutupi, mematikan, menjadi insting dasar manusia untuk hidup. Disinilah fakta, cerita, ataupun deskripsi produk dan proses yang jujur yang dibahas oleh jurnalisme yang membentuk cerita yang utuh, bisa dipahami, diraih intisarinya untuk mendobrak kesombongan kekuasaan, dan kondisi stagnan menjadi penting. Cerita yang diharapkan adalah cerita kesedihan atau bisa juga kebahagiaan mengenai produk dan proses bangunan dengan segala inovasi dan penemuan – penemuan kreatif, untuk menjelaskan pertanyaan bahwa apakah arsitektur kita sekarang benar – benar menjawab permasalahan, dan memberikan gagasan – gagasan baru ? [3]
Jurnalisme arsitektur yang menjawab permasalahan untuk memperbaiki satu kondisi awal (domain), menjadi penting, [4] karena layaknya kehidupan, setiap sendi – sendi hasil dari kriya manusia dalam satu bangunan tercermin dalam cerita arsitektur yang dibuatnya dan perlunya evolusi sebagai dasar untuk memperbaiki kondisi awal. Dari situ lah esensi dasar jurnalisme ada, untuk membuat sebuah cerita yang bisa dibaca, dan menggugah fantasi kecil pembaca. Jurnalisme dalam Arsitektur itu pada dasarnya bisa didekati dengan dua hal yaitu produk, dan proses. Produk bisa diwakilkan dalam pendekatan penjelasan yang sinkronik , mengacu pada hasil, tanpa mempertimbangkan proses, membedah melalui sistem. Proses bisa diwakilkan dalam penjelasan yang diakronik, atau kronologis, mencoba untuk mengetahui lebih dalam dengan runtutan sejarah. Disinilah dua buah pendekatan linguistik dan semiotik yang dibahas oleh Ferdinand Saussure bisa digunakan, pendekatan diakronik dan sinkronik [5]
Para sejarahwan seperti P.Leslie Waterhouse dalam bukunya the story of architecture di tahun 1901, menceritakan sudut pandang arsitektur secara diakronik dari segi sejarah, dimana ia membagi sejarah ke dalam 9 titik sejarah berdasarkan ideologi, ornamen, perencanaan ruang, ataupun anteseden yang dianggap mewakili setiap fase sejarah, seperti : arsitektur mesir, arsitektur yunani, arsitektur roma dan etruscan, arsitektur nasrani, arsitektur muslim, arsitektur romanesque, arsitektur gothic, arsitektur renaissance dan terakhir arsitektur modern. [6] kemudian Setiadi Sopandi didalam bukunya pengantar sejarah arsitektur membuat telaah diakronik dari segi sistem bangunan dengan memberikan tema konstruksi bangunan berupa : gundukan dan tumpukan, tiang dan balok, busur dan kubah, geomoteri dan teori.[7] Saya menilai buku Setiadi Sopandi lekat dengan jembatan antara dunia praktis dan akademis dimana ia mencoba untuk mengolah informasi kedalam dimensi untuk mudah diaplikasikan dari sudut pandang sistem konstruksi. Disinilah adanya dialektika dalam penulisan sejarah arsitektur, proses jurnalistik bisa dimulai dari membuat referensi, mengumpulkan data secara diakronik atau membuat analisa secara sinkronik. Dua contoh pembahasan ide – ide dari pembahasan secara sinkronik bisa terlihat seperti yang dibuat heino engel dalam bukunya Tragsysteme (sistem struktur) yang menjelaskan 5 buah klasifikasi (form,vector, cross section, surface, dan height), yang sangat sederhana untuk membedah seluruh struktur yang ada di dunia konstruksi, dengan mengklasifikasikan bagaimana beban tekan dan tarik, momen dan perilaku material dalam membuat bentuk sebuah bangunan. [8] Contoh lainnya bisa dilihat dari buku architecture without architect (arsitektur tanpa arsitek) yang ditulis oleh Bernard Rudofsky, mengenai arsitektur yang orisinal, asli, penuh dengan inovasi, kreatif, yang sudah ada sejak jaman primitif. [9]


“In multistoried houses they reach all the way down, doubling as intramural telephones. Although the origin of this contraption is unknown, it has been in use for at least five hundred years.”
Dari kedua pendekatan ini ada sah – sah saja untuk dipilih atau digabungkan yang bisa digunakan untuk sudut pandang dalam memulai. Namun lebih jauh lagi Jurnalisme dalam arsitektur ini diharapkan memiliki kedalaman pemikiran yang diibaratkan membaca satu tulisan seperti mencicipi satu buah yang akan dimakan. Kita mengharapkan bisa mencicipi daging buah tersebut, menembus kulit untuk kemudian merasakan manis dan pahitnya. Proses merasakan ini bisa dirasakan melalui tingkat kedalaman informasi yang diberikan dan tingkat fantasi yang melibatkan atau memanjakan indera perasa pembaca . Sehingga ketika membaca sebuah jurnal dalam arsitektur, kita seperti mengalami satu perjalanan yang luar biasa indahnya, seperti saat kita mengalami ruang – ruang arsitektur yang begitu indahnya dalam produk dan proses. Ruang -ruang yang dibentuk oleh jurnalistik, akan membangkitkan kecintaan kita pada sastra, sehingga arsitektur yang didesain akan bisa bercerita dengan sendirinya melalui tulisan.
Apabila Martin Pawley memilih untuk menulis mengenai kematian kritik arsitektur, saya lebih berpikir optimis, bahwa inilah saat – saat kebangkitan jurnalistik dalam arsitektur dengan memahami, menjelaskan, menganalisa, dan mengkritik arsitektur Indonesia. Saya akan menunggu Martin Pawley dari kutub yang berseberangan.