160315 Medan Jawaban untuk https://www.facebook.com/notes/agus-agm/learning-from-the-httpreal-richorg20151225learning-the-opposite-side-of-soejoedi/10156507986260521
Dear Agus,
Proses untuk bertemu adalah kehendak yang Kuasa. Setiap jalan yang kita jalani adalah kepemilikan semesta. Oleh karena itu saya akan membalas surat Agus dengan rahayu, melengkapi bukan meniadakan, dengan paradigma yang membangun, kita ada di satu meja yang sama tidak berseberangan, meski adakalanya meja yang berseberangan itu bisa terjadi, dan memang saling meniadakan itu perlu juga untuk meniadakan gangguan- gangguan sehingga kita bisa melihat esensi yang dibicarakan.
Dimanapun kita dengan segala sosok yang telah menjadi, di titik omega, titik akhir yang adalah titik sekarang, dan memperbandingkan dengan titik alpha, titik awal di jaman dahulu. Kita ada di titik yang sama, untuk membangun dunia yang lebih baik, kenangan – kenangan masa lalu masih lekat terasa, dan apa yang ada di saat ini adalah sebuah titik awal untuk kenangan di masa depan. Sebenarnya ini semua untuk melepas rasa kangen akan titik alpha, dengan adanya respek terhadap titik mula, sebenarnya kita melakukan kritik diri sendiri akan kesombongan kita di titik omega, karena apa jadinya titik akhir tanpa titik awalan. Apabila itu terjadi mungkin kita sedang lupa landasan, melayang terlalu tinggi yang sebenarnya kita ada di dalam dunia kita sendiri.
Oleh karena itu semoga diri ini bisa menjadi satu pribadi yang menghargai titik awal, tanpa pernah sombong dengan titik akhir. Karena tanpa titik awal apalah kita ini. Justru inilah yang terjadi dalam dunia arsitektur kita, dimana, jalinan titik awal dan titik akhir seringkali terputus, terputus oleh diskomunikasi, kesombongan, keengganan untuk berbicara dari hati ke hati yang sebenarnya urusannya cukup mudah dipetakan.Yuswadi Saliya sudah memang membahas mengenai trinitas dalam karya manusia di semesta, tangan, spiritual dan pikiran. Kerja tangan dari spiritual akan menghasilkan kecintaan dan kepakaran, segala sesuatu yang muncul dari cinta adalah perasaan kasih untuk bisa berbagi, membangun. Selain itu ada juga perasaan obsesi, nafsu yang kerap memunculkan pesan untuk berseberangan, tidak mau kalah. Rahayu mengajarkan keseimbangan, melengkapi untuk mencapai kesempurnaan.
Menilik Soejoedi, adalah soal rasionalitas keilmuan dan menilik Mangunwijaya adalah soal hati dalam menerapkan keilmuan dalam hidupnya menjadi manusia yang mengabdi semesta. Kerasionalitasan kita akan meletakkan lingkup batas kita pada keilmuan, itu adalah dasar tanpa perlu untuk dilebar – lebarkan. Tataran kelimuan memang membutuhkan batas untuk bisa diukur, dibedah, diiris – iris bagian yang enak dan bagian yang tidak enak, salah dan benarnya supaya bisa ditelan dan didudukkan pada tempatnya. Kerja kelimuan adalah kerja tangan dan pikiran. Kerja spiritualitas itu yang kemudian menjadikan Mangunwijaya menjadi manusia semesta, mendudukkan kita dalam kerja spiritual akan menjadikan kita memberikan kepakaran seutuhnya – seluruhnya, tidak setengah, seper empat sepertiga ataupun seper enam, jiwa kita pun akan masuk kedalam kerja kepakaran dalam rahayu, membangun. Mungkin ini kerangka spiritualitas yang muncul setelah alpha (titik awal) menuju omega (titik akhir).
Oleh karena itu agus, saya akan bertanya, kapan kita bertemu lagi ? untuk menggapai omega yang menjadi alpha kembali.
Salam,
dari pribadi yang gelisah.
Realrich Sjarief
