Adalah bukan rahasia lagi bahwa seorang arsitek membutuhkan waktu lama untuk bisa tumbuh. Seorang Frank Gehry yang mendesain Guggenheim Museum di Bilbao, Spanyol, Thom Mayne yang mendesain Bangunan sekolah Copper Union di New York, ataupun Renzo Piano yang mendesain The Shard di London, Inggris, ataupun Norman Foster yang mendesain Reichstag di Jerman membutuhkan 20 – 30 tahun untuk bisa membuat publik memahami prinsip – prinsip desain yang ada kemudian menerimanya. Pencapaian ini bisa dihubungkan dengan penghargaan Pritzker Prize yang sudah diterima arsitek – arsitek tersebut. Pritzker prize adalah sebuah nobel arsitektur, penghargaan untuk arsitek yang menyumbangkan ide -idenya untuk masyarakat. Dari lamanya pembelajaran yang dibutuhkan arsitek, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berusaha untuk membuat tatanan pembelajaran arsitek dari 3 tahun untuk arsitek pratama, 5 tahun untuk arsitek madya, juga 10 tahun untuk arsitek utama. Ketiga tingkatan ini bergantung dari kompleksitas pekerjaan, tinggi bangunan, dan kerumitan sistem bangunan yang muncul untuk membuat bangunan ini berfungsi baik seperti integrasi struktur, mekanikal, elektrikal, pencahayaan, sistem transportasi, sistem kebakaran yang perlu untuk dituangkan kedalam gambar kerja yang terukur sebagai panduan kontraktor untuk bekerja.
Frank Gehry memulai belajar dengan kegagalan, kemudian ia bisa lulus dari jurusan arsitektur dan kemudian magang, ia kemudan mencoba bertahan hidup dengan membaut praktek sendiri dan mendesain bangunan – bangunan komersial. Sehingga pada akhirnya setelah saatnya tiba, ia memutuskan untuk memilih klien, dan mengerjakan pekerjaan yang baik untuk dirinya sendiri, pada akhirnya muncullah desain Guggenheim di BIlbao. Frank Gehry memutuskan untuk belajar menghadapi tantangan di masyarakat, membuktikan bahwa ia mau belajar untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat. Pak Achmad Noerzaman seorang direktur Arkonin juga membutuhkan waktu dalam perjalanannya menjadi seoarang presiden direktur di Arkonin, salah satu biro arsitek terbesar di Indonesia. Ia berangkat dari seseorang yang belajar dari senior – seniornya, melakukan sketsa – sketsa desain, dan membuktikan dari satu proyek ke proyek lainnya, terbangun dan tidak terbangun, konsep sampai gambar kerja sehingga karyanya mewarnai bilangan Jendral Sudirman, Bundaran HI, dan banyak lagi di kota – kota besar di seluruh Indonesia. Ada juga Tan Tjang Ay, yang mendesain bangunan – bangunan yang lebih sederhana, yang lebih menekankan pada sisi – sisi yang lebih detail, melayani klien – klien yang lebih personal dari jasa desain sampai bangunan – bangunan tersebut terbangun dengan inovasi – inovasi penggunaan material lokal dan pengolahan ruang yang efisien.Tidak jauh dari Indonesia, di Indonesia, seorang Laurie Baker, finalis peraih pritzker prize di tahun 2007, membuat desain – desain yang sederhana bersama costford sehingga terdesain rumah sebanyak 35.000 rumah di India. Desain – desain Laurie Baker memiliki sensitifitas terhadap kontur lahan, tipe pondasi, pemilihan jenis material, dan ekspresi yang jujur.