
Dalam tabel standar biaya konsultan inkindo 2015 – Disdik DKI Jakarta, terdapat daftar untuk spesifikasi tenaga ahli dengan spesialisasi tertentu [1]. Spesialisasi tertentu ini mengacu ke perancangan gedung dengan kompleksitas tinggi seperti bangunan tinggi, pembangkit listrik, jembatan, dll. Uniknya dan anehnya, di dalam tabel ini tidak terdapat profesi arsitek, sedangkan disebutkan ahli mekanikal elektrikal, teknik lingkungan, teknik sipik, Geoteknik, Geologi. Memang di dalam lampiran tersebut terdapat kata – kata “dan lain – lain” namun disinilah tersirat bahwa, apakah profesi arsitek ini hadir dalam lingkungan jasa konsultan Indonesia. Jawabannya pasti iya, hadir, namun keberpihakan untuk arsitek patut untuk diperjuangkan karena tiga hal penting:
pertama arsitek berfungsi untuk melakukan efisiensi anggaran, dengan optimasi terhadap massa bangunan, luas bangunan, layout ruang, menentukan titik kolom struktur, menentukan jarak sisa untuk saluran mekanikal elektrikal dan pemipaan, dan optimasi penggunaan material. Kedua, arsitek berfungsi untuk mempercepat masa konstruksi bangunan dengan mempertimbangkan cara bangunan tersebut dikonstruksi, ketiga, arsitek bertanggung jawab terhadap tata ruang, dan perijinan bangunan tersebut untuk mendapatkan ijin mendirikan bangunan, yang bisa dipertanggung jawabkan keamanan, kenyamanan berdasarkan good practice, ataupun Standar Nasional Indonesia, ataupun timesaver, neufert data handbook, building metric handbook, ataupun standar – standar lain yang bisa diargumentasikan seperti standar pengamanan terhadap bocornya air, standar pengolahan minyak atau limbah, standar pengolahan air kotor, dan standar penyediaan air bersih dan sambungan antar detail yang mencegah angin, air, ataupun pandangan, terkait dengan privasi pengguna. Sedemikian mengerikannya apabila satu bangunan tidak didesain dengan benar, apalagi bangunan dengan kompleksitas tinggi yang akan digunakan oleh klien dan penggunanya. Kita patut bertanya – tanya, standar seperti apa yang digunakan. Apalagi ditambah apabila kita bertanya – tanya tentang penghargaan sebuah ide – ide dari satu bangunan. Mungkin keadaan ini masih jauh Panggang Dari Api atau kenyataan tidak sesuai harapan.
Professor Danisworo dalam kuliahnya di Omah library, menjelaskan bahwa standar fee untuk arsitek dari tahun ke tahun berkurang dari jaman ia merintis praktek Encona, dahulu pada waktu ia mengerjakan desain bandara udara Halim, uang imbalan balas jasa bersih yang didapat oleh kantor, bisa digunakan untuk membeli satu buah tanah berikut rumah yang besar, di daerah sumur bandung tempat kantor Encona beroperasi. Dari fee yang didapatkan sekarang dibandingkan biaya hidup yang ada, kompetisi yang ada, penghargaan yang ada harus membuat para arsitek menjadi perlu kreatif dalam mensiasati keadaan [2]. Keadaan yang dijelaskan professor Danisworo Hal ini berkebalikan dengan keadaan arsitek – arsitek luar yang masuk ke Indonesia dengan menerapkan fee 10 % – 20 % lebih tinggi dari fee arsitek di negara asalnya, memang disinilah peran marketting, pembentukan branding dan pada akhirnya kualitas menjadi penting. Bahwa adanya kualitas pranata yang mendukung, yang belum membuat profesi arsitek ini tumbuh subur, dan makin kuat. Arsitek Indonesia perlu berjuang dalam keterbatasan.
[1]http://www.simpel.lpse.kemenkeu.go.id/uploadFile/media/51_billing_rate_inkindo_2015%20(1).pdf
[2] professor Danisworo, dalam lecture di Omah Library