
Bangunan dengan atap meliuk – liuk ini adalah bangunan dengan struktur panggung yang terbuat dari konstruksi bambu, dengan grid 5.0 m dan 4.0 m untuk mengakomodasi fungsi ruang perpustakaan, kamar tidur, dan ruang pertemuan. Strukturnya seperti bentuk kupu – kupu atau kepakan sayap burung yang dielaborasi dari proyek Alfa Omega. Balok bambu dikakukan dengan dagu – dagu (pengkaku), sementara kolom duduk di atas umpak batu kali yang dihubungkan dengan konstruksi bambu sebagai pelataran di lantai dasar.


Bentuk – bentuk melengkung ini sebenarnya pernah saya elaborasi di dalam Kampono (Dancer) House sebelumnya di dalam konstruksi beton dengan perhitungan terhadap sisi panas, angin yang mengalir di dalam desain massa – kulit bangunan sampai detail – detail yang lain. Dan, di balik permainan bentuk – bentuk melengkung yang muncul, ada logika kekuatan dan estetika yang terinspirasi dari bahasa alam.

Selain sisi tradisional yang ditonjolkan, sisi industri juga muncul dengan komposisi bentuk atap yang melengkung ditutupi dengan daun Nipah yang dikombinasikan dengan membran tahan air untuk atap.Membentuk Julang Ngapak sebagai bangunan vernakuler tradisional Jawa Barat. Balustrade bambu yang dilengkungkan dimainkan sebagai bentuk hiperboloid yang lebih kompleks, lebih kuat, dan lebih fleksibel serta menciptakan siluet gerakan alami burung atau pergerakan Kujang yang merupakan senjata tradisional dalam Tradisi Sunda.


Pak Jatmiko adalah orang yang membantu saya melakukan supervisi ke bangunan inti di Piyandeling, dimana ia memberikan batas seberapa tinggi bangunan dengan konstruksi bambu ini bisa dibangun dengan aman. Pak Jatmiko dulu menemani kakek saya, dan ayah saya ke proyek. Ia juga adalah pengawas bangunan dari almarhum Han Awal, dan Teddy Boen (ahli gempa Indonesia). Dari Pak Jatmiko saya belajar bahwa setiap murid membutuhkan guru dan pelatih, seorang pelatih akan bisa melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Sebegitunya kita membutuhkan waktu untuk berlatih setiap harinya. Di kasus saya berlatih ini erat kaitannya dengan berapa banyak masalah desain yang bisa kita pelajari dan pecahkan setiap harinya dan relasi dengan beliau dimana beliau bisa menjawab dengan kata “tidak” lalu saya mulai belajar menilai keadaan dengan diskusi lebih lanjut.

Saya kenal 2 orang pengrajin, pengrajin pertama pintar berbicara, mulutnya manis-kerjanya hanya di permukaan, terlihat manis – hanya estetika tempelan, apabila diminta memasang bata ia akan memasang bata dengan apik, namun terkadang lupa bahwa di balik bata tersebut ada pipa, perhitungannya hanya sebatas manis dilihat. Sedangkan pengrajin kedua tidak pandai berbicara namun pekerjaannya halus dan langkah – langkahnya bisa membuat proyek aman karena perhitungan yang mendalam tentang prosedur kerja dan detail tahapan kerja, kekuatan, tahan terhadap air, cuaca. Seiring dengan perjalanan saya berkembang di dalam praktik, detail – detail yang saya pikirkan bertransformasi di dalam pertemuan dengan banyak pengrajin. Termasuk pertemuan dengan pengrajin pertama, saya belajar untuk susunan yang terlihat manis, sebuah kualitas yang literal. Dan, dengan pengrajin kedua saya belajar untuk masuk ke kualitas yang esensial. Kedua pola pikir diperlukan untuk bisa bermain di integrasi disiplin (MEP, Struktur, Arsitektural). Saya menyebut detail transformatif ini ke dalam detail yang berkelanjutan.

Terkadang setiap 2 minggu saya berulang kali ke Piyandeling untuk memikirkan ulang detail – detail selanjutnya termasuk penggabungan detail tradisional dan industrial. Di tempat ini saya melepaskan diri sejenak dari rutinitas dan masuk di dalam dunia fantasi Piyandeling. Arsitektur memiliki kekuatan maha dahsyat untuk membuat orang mengingat pengalaman ruang yang menjadi kenangan membekas.

Pada akhirnya saya sadar, seperti halnya seorang manusia yang seakan-akan memiliki dua kehidupan. Kehidupan pertama dimulai ketiga manusia tersebut berusaha menggapai banyak hal, berjuang di tengah – tengah keterbatasan sampai dirinya merasa cukup. Saya merasa perjalanan suka – duka berpraktik lekat dengan perjuangan di tahap ini.
Dan sebenarnya, kehidupan kedua dimulai ketika, dirinya sadar bahwa ia hanya punya satu kehidupan. Dari situlah saya belajar mengenai fokus dan kebahagiaan sebenarnya sehingga saya tidak merasakan apapun lagi.
Tiba – tiba ada sapaan yang hangat dari belakang.
“Mau minum pak ? satu pengrajin menawarkan kopi dengan cangkir terbuat dari bambu.”
“Terima kasih pak untuk cangkir, kopi, dan perjalanannya bersama – sama.” ini Cangkir kedua saya, puji Tuhan.

Dan sebenarnya, kehidupan kedua dimulai ketika, dirinya sadar bahwa ia hanya punya satu kehidupan. Dari situlah saya belajar mengenai fokus dan kebahagiaan sebenarnya sehingga saya tidak merasakan apapun lagi.
Tiba – tiba ada sapaan yang hangat dari belakang.
“Mau minum pak ? satu pengrajin menawarkan kopi dengan cangkir terbuat dari bambu.”
Translation :
Title : Second Cup of My Life
The building with a twisting roof is a building with a stilt structure made of bamboo construction, with a grid of 5.0 m and 4.0 m to accommodate the functions of the library room, bedroom and meeting room. The structure is like the shape of a butterfly or the flapping of a bird’s wing which is elaborated from the Alfa Omega project. Bamboo blocks are stiffened with chin – chin (stiffeners), while the column sits on a river stone pedestal connected by a bamboo construction as a platform on the ground floor. I actually elaborated these curved shapes in the previous Kampono (Dancer) House in concrete construction by calculating the hot side, the wind that flows in the mass design – the skin of the building to other details. And, behind the game of curvy shapes that appear, there is a logic of strength and aesthetics inspired by the language of nature. Apart from the traditional side that is highlighted, the industrial side also appears with the composition of the curved roof shape covered with Nipah leaves combined with a waterproof membrane for the roof. Forming the Julang Ngapak as a traditional West Javanese vernacular building. The curved bamboo balustrade is played as a hyperboloid form that is more complex, stronger and more flexible and creates silhouettes of natural bird movements or kujang movements which are traditional weapons in Sundanese Tradition.
Pak Jatmiko is the person who helps me supervise the main building in Piyandeling, where he provides a limit on how high a building with bamboo construction can be built safely. Pak Jatmiko used to accompany my grandfather, and my father to projects. He was also the building supervisor of the late Han Awal, and Teddy Boen (Indonesian seismologist). From Pak Jatmiko I learned that every student needs a teacher and a trainer, a trainer will be able to see it from a different point of view. In fact, we need time to practice every day. In my case this practice is closely related to how many design problems we can learn and solve every day and the relationship with him where he can answer with the word “no” then I start to learn to assess the situation with further discussion.
I know 2 craftsmen, the first craftsman is good at talking, his mouth is sweet – he works only on the surface, looks cute – just a sticky aesthetic, when asked to install a brick he will put the brick neatly, but sometimes forgets that there is a pipe behind the brick, the calculation is as sweet as seen. Meanwhile, the second craftsman is not very good at talking, but the work is smooth and the steps can make the project safe because of in-depth calculations of work procedures and details of work stages, strength, resistance to water, weather. As I progressed in practice, the details I had in mind were transformed in the meetings with many craftsmen. Including meeting the first craftsman, I studied for a cute looking array, a literal quality. And, with the second craftsman I learned to get into the essential qualities. Both mindsets are needed to be able to play in the integration of disciplines (MEP, Structure, Architecture). I call this transformative detail into continuous detail
Sometimes every 2 weeks I repeatedly go to Piyandeling to rethink the next details including a mix of traditional and industrial details. In this place, I took a break from my routine and entered the fantasy world of Piyandeling. Architecture has the immense power to make people remember the experience of space that has become a lasting memory. In the end I realized, like a human who seems to have two lives. The first life started by the three humans trying to achieve many things, struggling in the midst of limitations until they feel enough. I feel that the journey of joy and sorrow is closely related to the struggle at this stage. And in fact, the second life begins when, he realizes that he only has one life. From there I learned about true focus and happiness so that I didn’t feel anything anymore.
Suddenly there was a warm greeting from behind. “Want to drink, sir? One craftsman offers coffee with a cup made of bamboo.”
“Thank you sir for the cup, coffee and the trip together.” this is my second cup, thank God.