Kategori
blog

Revolusi Humanisme

Melihat praktik arsitektur sekarang ini, dimana kesadaran saya sendiri juga mulai sudah saya pertanyakan, sejauh mana saya sadar, mau bergerak, dan kemudian menebar benih – benih kemanusiaan. Jujur saya melihat jalan masih sangat panjang, sejauh mana arsitektur bisa masuk ke tingkatan humanisme yang evolusioner. Konflik yang dihadapi, tidak dihindari, menghadapi itu tidaklah mudah dan saya pun masih banyak belajar.

Dua bulan terakhir ini, kami merenovasi struktur dari Summer Pavilion/rumah buku untuk menambah 2 buah mezanin tempat tidur penjaga rumah buku sekaligus pengemong anak – anak kecil dari kampung sekitar rumah kami. Perpustakaan ini adalah perjuangan dari saya untuk melakukan kegiatan sosial di sekitar komplek kami dimana banyak anak – anak membutuhkan ruang singgah, dan visi apa yang bisa dicapai di masa depan. Titik lompatannya adalah bagaimana tempat yang tersedia bisa dijadikan sebagai ruang aktif, tempat bagaimana anak – anak bisa belajar, bermain, dan mendapatkan komunitasnya. Dibalik itu semua saya menulis beberapa refleksi dengan perspektif humanisme terhadap perjalanan hidup manusia, terkait kepercayaan, dogma, ataupun refleksi terhadap kekuatan – kekuatan dibalik arsitektur.

Masyarakat modern ditawarkan kekuasaan yang memiliki konsekuensi bahwa kita sebagai manusia cepat atau lambat akan melepaskan kepercayaan terhadap kosmis yang sejauh ini dipahami pahami sebagai sebuah makna kehidupan. Sedangkan sepanjang sejarah, nabi dan filsuf meyakini bahwa ketika umat manusia berhenti meyakini rencana kosmis, maka konsekuensinya adalah seluruh ketertiban di dunia ini akan lenyap. Namun sampai tahun 2016 umat manusia berhasil memiliki keduanya yaitu tak ada satu pihak pun yang membatasi kekuasaan dan di sisi lain masih meyakini bahwa hidup ini memiliki makna.

Humanisme merupakan sebuah kredo revolusioner yang telah menawarkan sebuah solusi penangkal untuk eksistensi tanpa makna dan tanpa hukum sehingga agama yang revolusioner seharusnya juga humanis berprinsip berorieontasi kemanusiaan dan mengharapkan kemanusiaan mampu mredefinisikan makna ke-Tuhan-an, sebagai contoh dalam berbagai agama seperti Kristen Katolik, sedangkan hukum alam masih berperan dan berlaku dalam kepercayaan Buddha dan Daoisme. Dalam konsep tradisional, kepercayaan terhadap kosmis raya memberikan makna bagi kehidupan manusia, namun konsep humanisme adalah manusia harus menarik pengalaman dari dalam diri mulai dari makna kehidupan dalam diri masing – masing individu hingga makna seluruh jagat raya untuk menciptakan makna bagi sebuah dunia yang tidak bermakna. Pada akhirnya inti dari revolusi religius modernitas adalah: mendapatkan kepercayaan pada kemanusiaan dan bukanlah menghilangkan kepercayaan kepada Tuhan.

Dua bulan terakhir ini, kami merenovasi struktur dari Summer Pavilion/rumah buku untuk menambah 2 buah mezanin tempat tidur penjaga rumah buku sekaligus pengemong anak – anak kecil dari kampung sekitar rumah kami. Perpustakaan ini adalah perjuangan dari saya untuk melakukan kegiatan sosial di sekitar komplek kami dimana banyak anak – anak membutuhkan ruang singgah, dan visi apa yang bisa dicapai di masa depan. Titik lompatannya adalah bagaimana tempat yang tersedia bisa dijadikan sebagai ruang aktif, tempat bagaimana anak – anak bisa belajar, bermain, dan mendapatkan komunitasnya. Dibalik itu semua saya menulis beberapa refleksi dengan perspektif humanisme terhadap perjalanan hidup manusia, terkait kepercayaan, dogma, ataupun refleksi terhadap kekuatan – kekuatan dibalik arsitektur.

Revolusi humanisme dapat dipahami kedalaman dan implikasinya melalui kultur modern Eropa yang berbeda dengan kultur Eropa pada abad pertengahan dimana pada tahun 1300 orang – orang di London, Paris dan Toledo mempercayai bahwa hanya Tuhan yang bisa mendefinisikan kebaikan, keindahan, dan kebenaran dan cenderung tidak bisa mempercayai bahwa manusia mampu menentukan sendiri kebenaran, keindahan dan kebaikan sehingga pandangan ini telah menjadikan Tuhan sebagai sumber tertinggi yang bersifat otoriter. Prinsip Tuhan sebagai makna dan otoritas dapat dikatakan cukup mempengaruhi manusia dalam kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh kasus ini tercermin melalui sebuah fenomena ketika seorang perempuan yang baru saja menikah bersenang – senang dengan tetangganya dan melakukan hubungan seks dengan lelaki yang merupakan tetangganya tersebut. Setelah melakukan perbuatan tersebut ia mulai bimbang dan mempertanyakan apakah yang telah dilakukanya adalah perbuatan baik atau buruk sehingga ia perlu untuk mendatangi pendeta untuk membimbingnya. Kemudian pendeta tersebut mengungkapkan tentang apa yang disebut dengan perzinaan. Pendeta tersebut dengan tegas memfonis perempuan itu telah melakukan dosa besar. Pada akhirnya perempuan tersebut ber-nazar untuk tidak melakukanya lagi dan menanggung semua konsekuensi atas dosa yang telah diperbuatnya.

Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa ketika manusia ingin memahami apa yang telah diperbuatnya maka ia akan mencermati dengan hati dan perasaannya. Ketika perasaannya tidak jelas ia akan menghubungi temannya untuk mencurahkan isi hatinya, jika keadaan masih terasa membingungkan ia akan pergi ke terapis untuk mengutarakan masalahnya karena secara teoritis kedudukan terapis sama dengan pendeta pada abad pertengahan.

Dari apa yang telah dipelajari tentang perasaan, hal ini cukup erat kaitannya dengan apa yang telah Nietzche deklarasikan yaitu “Tuhan Telah Mati”. beberapa kasus juga telah menggambarkan bahwa dalam politik humanis pemilihlah yang paling tahu, dalam ekonomi humanis pelanggan selalu benar, dalam estetika humanis keindahan ada pada mata penonton, dalam etika humanis jika terasa baik-lakukanlah, dan dalam pendidikan humanis prinsipnya adalah berpikirlah untuk diri anda sendiri. Pada akhirnya sebagai manusia masing – masing dari kita memiliki keyakinan yang kuat terhadap hati. Bahkan ketika manusia memiliki keyakinan pada Tuhan pun itu karena hatinya meyakini bahwa ia mempercayai Tuhan di dalam hatinya. Hal ini cukup membuktikan bahwa otoritas tertinggi adalah humanisme dan bukanlah Tuhan.

Namun Hal ini tidak cukup hanya sampai perasaan saja karena tidak menutup kemungkinan bahwa perasaan sendiri juga memiliki kelemahan sehingga hal ini menjadi soal bagaimana metode untuk menilai otoritas dan mendapatkan pengetahuan sejati. Dalam kepercayaan Eropa pada abad pertengahan rumus pengetahuan adalah Pengetahuan = Kitab Suci x Logika sehingga ketika seseorang ingin memahami makna dari teks kitab suci perlu untuk membaca kitab suci dan menelan teksnya dengan logika yang telah dimiliki. Hal ini digambarkan melalui: ketika seseorang inging mengetahui bentuk permukaan bumi. Meraka akan menggunakan penggalan teks dari kitab suci seperti Yesaya 40:22 yang menyatakan bahwa Tuhan “duduk bertakhta diatas lingkaran bumi” sehingga didapati jawaban bahwa permukaan bumi itu bulat.

Sedangkan revolusi saintifik mengajukan rumusan bahwa Pengetahuan = Empiris x Matematika. Ketika ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan perlu untuk menemukan data empiris yang relevan, dan kemudian menggunakan alat – alat matematika untuk menganalisanya. Hal ini dapat digambarkan melalui fenomena manusia yang ingin mengukur bentuk sebenarnya dari bumi. Jawabanya dapat ditelusuri melalui pengamatan terhadap matahari, bulan, dan planet – planet lain disekitar bumi. Setelah hasil observasi terkumpul maka bisa menggunakan trigonometri untuk menyimpulkannya.

Namun meskipun demikian, disisi lain humanisme juga menawarkan sebuah alternatif yaitu ketika manusia telah mendapatkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri maka rumusan untuk mendapatkan pengetahuan yang etis adalah Pengetahuan = Pengalaman x Sensitivitas. Artinya ketika kita ingin mengetahui jawaban etis atas pertanyaan apapun perlu untuk menjangkau pengalaman dalam diri kemudian mengamatinya dengan sensitivitas yang tinggi.

Rumus Pengetahuan = Pengalaman x Sensitivitas telah membawa persepsi kita kepada permasalahan berat seperti perang. Hal ini mulai dipikirkan oleh seniman Dix dan Lea dimana mereka mencoba untuk mengungkap kebenaran tentang perang yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan. Dix dan Lea mendapatkan jawaban bahwa di satu sisi perang adalah neraka namun disisi lain perang juga merupakan jalan menuju surga.

The Trench by Otto Dix (1923). https://mydailyartdisplay.uk/tag/war-cripples-by-otto-dix/

Hal ini dapat dilihat melalui fenomena seorang Katolik yang berperang dalam Pertempuran Gunung Putih dan ia berkata pada dirinya sendiri bahwa “Benar saya menderita. Namun Paus dan Kaisar berkata bahwa kita perang untuk kebaikan, jadi penderitaan saya ada artinya.” Sedangkan Otto Dix justru menggunakan logika yang sebaliknya bahwa pengalaman personel sebagai sumber dari segala makna sehingga cara berpikirnya menjadi: “Saya menderita-dan ini buruk-karena itu seluruh perang adalah buruk. Apabila Kaisar dan Kependetaan tetap mendukung perang ini, mereka pasti salah.”

Kemudian lambat laun Humanisme mulai terpecah hingga menjadi tiga cabang utama yaitu: Humanisme ortodoks, Humanisme Sosialis, dan Humainsme Evolusioner :

Humanisme ortodoks merupakan cabang humanisme yang memandang bahwa setiap manusia adalah individu yang unik yang memiliki suara hati yang khas dan serangkaian pengalaman yang tak akan pernah terulang. Oleh karena itu perlu untuk memberikan kebebasan sebesar mungkin pada setiap individu untuk mengalami dunia dengan mengikuti kata hatinya dan mengekspresikan kebenaran dari dalam dirinya. Dengan penekanan kepada kebebasan individu maka ortodoks humanisme memiliki cabang juga yang dikenal sebagai humanisme liberal atau biasa disebut dengan liberalisme. Salah satu prinsip Liberalisme seperti dalam seni yang memandang bahwa keindahan ada di mata penonton. Kemudian ketika humanisme mendapatkan kredibilitas sosial dan kekuatan politik, dua cabang yang berbeda mulai tumbuh darinya yaitu humanisme sosialis yang mencakup sosialis dan komunis, dan humanisme evolusioner dimana penyokong yang paling terkenalnya adalah kaum Nazi. Kedua cabang tersebut juga menyetujui liberalisme bahwa pengalaman manusia merupakan sumber tertinggi dalam hal makna dan otoritas.

Humanisme Sosial pada dasarnya sebenarnya bertentangan dengan liberalis karena hanya fokus terhadap pengalaman setiap individu sedangkan prinsip utama dari sosialis adalah memfokuskan pada apa yang telah dialami oleh orang lain. Artinya Humanisme sosial benar setuju dengan ortodoks namun dalam hal pengalaman manusia adalah sumber segala makna akan tetapi ada miliaran orang di dunia dan sosialis mereka semua sama bernilainya dengan kita.

Humanisme evolusioner berpijak dari teori evolusi Darwin bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihargai. Konflik merupakan bahan baku utama bagi seleksi alam untuk mendorong evolusi bergerak maju. Hal ini dapat diambil contoh dari fenomena ketika pengalaman – pengalaman manusia bertabrakan maka manusia yang kuat akan menggilas habis manusia lain yang lebih lemah. Namun hal positif yang didapat ketika menggunakan teori evolusi ini adalah bahwa manusia akan berevolusi menjadi manusia yang lebih kuat dan tangguh hingga akhirnya melahirkan manusia super. Sedangkan hubungannya terhadap humanisme ortodoks adalah humanisme evolusioner menganggap bahwa perang adalah sesuatu yang berharga dan bahkan penting karena memiliki presentase yang tinggi terkait evolusi.

Berkaca dari perhelatan antara kepercayaan Eropa pada abad pertengahan yang merumuskan (Pengetahuan = Kitab Suci X Logika) dengan rumusan (Pengetahuan = Pengalaman x Sensitivitas), pada akhirnya didapati kesimpulan bahwa agama-agama tradisional tidak akan mampu menjadi alternatif yang riil untuk liberalisme karena kitab suci tidak memiliki apapun yang bisa dikatakan tentang rekayasa genetika atau kecerdasan artificial. Begitupun dengan sebagian besar pendeta, rabbi, dan mufti tidak akan memahami terobosan-terobosan mutakhir dalam biologi dan ilmu komputer. Kalaupun jika mereka ingin memahaminya perlu untuk membaca banyak arstikel-artikel ilmiah dan melakukan eksperimen lab dan bukannya menghafal dan memperdebatkan teks-teks kuno. Pada dasarnya kedua hal ini adalah suatu pilihan karena keduanya perlu menggunakan banyak waktu.

Sedangkan diibalik dari kemenangan liberalis ini adalah terjadinya fenomena mendorong manusia untuk menjangkau imortalitas, kebahagiaan, dan keilahian. Dengan bertumpu pada prinsip bahwa kehendak pemilih dan pelanggan tak pernah salah, para ilmuan dan insinyur mulai mencurahkan energi mereka dalam proyek-proyek liberal. Kemudian skenario terburuk dari yang telah ditemukan ilmuan dan dikembangkan oleh insinyur dapat memapar keduanya pada cacat bawaan dalam pandangan dunia liberal dan kebutaan pelanggan dan pemilih. Hal ini disebabkan karena ketika rekayasa genetika dan kecerdasan artifisial menampakkan potensi penuh, liberalisme, demokrasi, dan pasar bebas menjadi suatu hal yang usang seperti halnya pisau batu, kaset, Islam, dan komunisme. Hal ini membawa manusia kedalam evolusi keadaan dirinya di dalam sebuah ekosistem berpikir, sebuah revolusi humanistik, yang berarti kepada permulaan runtuh akan kontrol dirinya akan humanitas itu sendiri.

Melihat praktik arsitektur sekarang ini di Indonesia, dimana kesadaran saya sendiri juga mulai sudah saya pertanyakan, sejauh mana saya sadar, mau bergerak, dan kemudian menebar benih – benih kemanusiaan. Jujur saya melihat jalan masih sangat panjang, sejauh mana arsitektur bisa masuk ke tingkatan humanisme yang evolusioner bahwa konflik yang dihadapi, tidak dihindari. Hal ini menggarisbawahi bahwa menghadapi konflik tidaklah mudah, dan mau tidak mau sistem yang menantang humanisme akan terus berhamburan termasuk konstestasi karya arsitektur, sejauh mana cerita – cerita humanistik digaungkan terutama kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial yang pada intinya ujung – ujungnya soal kejujuran untuk selalu humanistik sebelum hilangnya proses tersebut tanpa kita sadari di tengah revolusi humanistik.

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s