Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana seorang arsitek bisa melihat metode melalui tahapan waktu dan observasi di lapangan secara menerus. Dalam refleksi singkat kami, seringkali saat menjalani proyek arsitektur, studio kami melakukan proses detailing yang membuat arsitektur bicara dengan skala yang kecil. Proses detailing ini memakan waktu yang tidak sebentar, dan merupakan cerminan jam terbang yang panjang sekaligus proses transformasi diri. Apalagi jika proyek dikerjakan dalam waktu tidak sebentar karena biaya hanya bisa dikucurkan secara bertahap.
Kami ingat ada Carlo Scarpa dari Venesia yang senantiasa menampilkan elemen-elemen arsitektur yang puitis, artistik, dan memukau.

Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan
Sepanjang karirnya, Scarpa banyak mengerjakan proyek renovasi. Sentuhannya memberikan kehidupan baru yang begitu signifikan pada bangunan lama. Detail-detailnya demikian artikulatif dengan teknik repetisi. Orang yang melihatnya jadi auto bertanya: “Bagaimana ini bisa terbangun? Pasti butuh waktu yang lama.”

Photographed by Giovanni Nardi



Rekam jejak Scarpa menunjukkan dua kecenderungan. Mayoritas proyeknya, terutama di rentang 1930-1960an justru dikerjakan dalam waktu relatif normal, rentang 1-5 tahun. Namun, karya-karya representatifnya yang dikerjakan di 2 dekade terakhir hidupnya memang punya timeline yang cukup ekstensif. Renovasi Castelvecchio Museum memakan waktu 14 tahun. Sementara, Brion Tomb yang menjadi karya terakhirnya sebelum wafat, selesai dalam waktu 10 tahun.


Kalau kita bicara proyek dengan skala sebesar Guggenheim Museum Bilbao karya Frank Gehry yang kita bahas terakhir kali, mungkin waktu sepanjang itu terdengar biasa saja (Gehry bahkan bisa menyelesaikan proyek seluas 24.000 m2 ini dalam 6 tahun saja). Namun, dalam konteks Scarpa, kita bicara proyek dengan luasan antara 2.000-7.000 m2 saja. Ini semakin menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana proyek-proyek tersebut dikerjakan begitu lama, ketika umumnya arsitek selalu kejar-kejaran dengan waktu?”
Pada dasarnya, sebelum benar-benar sampai di titik “selesai”, arsitek tidak pernah benar-benar menggenggam kontrol terhadap durasi pengerjaan proyek. Sekuat apa pun kontrol internal dilakukan, akan selalu ada hal tak terduga dari luar yang membuat pengerjaannya molor. Namun, bagaimana dengan Scarpa sendiri?
Arsitek kelahiran 1906 ini punya metode desain yang tidak hanya terpusat di gambar-gambar kerja, tetapi juga observasi dan pengambilan keputusan di lapangan bersama tukang dan seniman yang menjadi kolaboratornya. Proses perancangannya tidak linier, tetapi terjadi bolak-balik, menghasilkan berlapis-lapis gambar revisi yang menunjukkan upaya bertahap Scarpa untuk memahami apa yang diinginkan desain dan konteks yang mengelilinginya. Scarpa pernah bilang ia harus “melihat” supaya bisa paham, yang artinya proses konstruksi menjadi dialog antara konsep dan realita, bukan semata perlombaan menuju deadline.





Di Querini Stampalia Foundation misalnya, bangunan dari tahun 1869 ini memerlukan renovasi karena lantai dasarnya sering kebanjiran air kanal Venesia. Alih-alih memikirkan bagaimana menghalau air masuk, dalam renovasi di tahun 1961-1963 Scarpa membuat semacam catwalk yang memisahkan entrance dengan aula yang membuatnya seakan seperti dermaga ketika air sedang naik.
Scarpa juga membuat sistem kanal mengikuti dinding-dinding bangunan yang memungkinkan air surut dengan sendirinya. Untuk mencapai ini Scarpa harus mengamati langsung bagaimana air bergerak dan bereksperimen dengan desain kanal untuk mendapatkan leveling air yang tepat. Dan ini membutuhkan waktu serta dedikasi.




Aspek sejarah menambah tantangan proyek-proyek Scarpa yang banyak berupa renovasi bangunan historis. Castelvecchio Museum misalnya (1956–1975), bangunan aslinya sudah berdiri sejak abad ke-14. Direncanakan untuk pameran karya seni dari era medieval, renaisans, dan modern, museum ini membutuhkan sentuhan baru yang sekaligus mampu menghighlight sisi historisnya.
Selain melakukan rekonstruksi pada bagian museum yang terdampak PD-II, Scarpa juga mendesain jalur, tangga, dan jembatan yang menghubungkan berbagai massa di dalamnya. Ia membutuhkan waktu bahkan untuk “sekadar” menemukan perpaduan komposisi beton dan batu medieval yang cocok, atau menentukan peletakan patung-patung koleksi yang pas.




Sensitifitas Scarpa dalam meramu komposisinya banyak dipengaruhi oleh kecintaannya pada sastra dan prosa. Ia melihat desainnya dalam bahasa yang puitis. Bagi Scarpa, setiap elemen seakan bisa berbicara, dan ia mencoba mendengarkan apa yang masing-masing mereka inginkan.
Cara pandang ini mempengaruhi gaya komunikasi Scarpa dengan para tukang dan kolaboratornya. Ia seringkali mendeskripsikan desain atau material dengan ekspresi yang penuh kiasan. Misalnya, ketika menjelaskan tekstur beton untuk tangga baru di Castelvecchio Museum, ia menyebutnya “the breath of stone” atau “a memory caught in the grain”. Tukangnya pun keheranan dan nyeletuk, “Ini orang mau nyetak beton atau nulis puisi, sih?”

Gemas karena idenya tak kunjung tersampaikan, Scarpa pun mengambil sekop dan mencoba membuat adonan betonnya sendiri. Namun, tampaknya ia memang ditakdirkan menjadi konduktor sahaja, adonan buatannya menggumpal dan proporsinya aneh. Tukangnya pun nyengir, “Cukup, Maestro. Anda gambar, kami yang bangun—kasih tahu feelnya seperti apa, jangan cara nyampurnya.” Giliran Scarpa yang nyengir karena si tukang akhirnya mengerti.
Ada kalanya tukang-tukang Scarpa ikut bermain-main dengan ekspresi puitisnya. Saat menjelaskan sebuah sambungan di proyek Brion Tomb, Scarpa menyebutnya “jabat tangan dari dua material.” Lalu tukang kayunya membalas, “Semoga mereka tidak bertengkar terlalu keras saat hujan,” yang kemudian sukses menjadi bahan candaan di proyek.

Pembawaan Scarpa yang ringan dan humoris seperti menjadi penyeimbang terhadap ekspresinya yang imajinatif, dan barangkali menjadi oase tersendiri di tengah pergolakan yang terjadi sepanjang 1960-1970-an di Italia.
Saat baru memulai karir sebagai desainer di era 1930-an, Scarpa meniti langkah-langkah kecil di tengah rezim fasisme Mussolini. Karirnya baru naik setelah rezim berganti dan PD-II usai. Pemerintah Italia saat itu punya semangat untuk menebus ketertinggalan budaya yang terjadi 2 dekade sebelumnya. Dukungan pemerintah dan kemajuan ekonomi di masa itu nampaknya menjelaskan kelancaran proyek-proyek Scarpa yang didominasi renovasi museum/galeri, setidaknya hingga awal 1960-an.




Sayangnya, kemajuan ekonomi Italia ternyata menyebabkan kecemburuan di beberapa kalangan. Di politik, kubu kanan dan kiri juga saling berebut kekuasaan. Teror dan kekerasan terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Arsitektur pun tidak menjadi perhatian utama saat itu. Ini menjelaskan tersendatnya proyek Castelvecchio Museum dan juga Brion Tomb (1968-1978) yang menjadi magnum opus Scarpa.

Proyek pemakaman untuk keluarga Brion ini terletak di pedesaan Altivole, tidak jauh dari Asolo, kota kecil tempat Scarpa menepi setelah menjalani drama gugatan praktik tanpa lisensi di Venesia. Brion Tomb menjadi kesempatan langka bagi Scarpa yang terbiasa dengan proyek renovasi untuk mendesain segalanya from scratch.
Di tempat terpencil ini, jauh dari pusat pergolakan, Scarpa bersama tukang dan seniman kolaboratornya “diam-diam” mencurahkan tenaga dan pengalaman puluhan tahun untuk mengkonstruksi ruang yang begitu puitis dalam percakapan bahasa beton, marmer, logam, dan kaca yang bercerita tentang kematian sekaligus selebrasi kehidupan.




Meski terkendala situasi sosio-ekonomi-politik yang tidak stabil, Keluarga Brion tetap percaya dengan pengalaman dan visi artistik Scarpa sehingga tetap mendampingi hingga akhir. Brion Tomb dinyatakan selesai di 1978, sekitar 10 tahun sejak pertama kali dirancang. Tak berselang lama, Scarpa meninggal dunia saat berkunjung ke Jepang. Jasadnya ikut dimakamkan di Brion Tomb bersama istrinya Nini Lazzari, di bawah batu nisan yang dirancang oleh putranya juga menjadi desainer, Tobia Scarpa.




Dinamika perancangan Scarpa menunjukkan banyaknya faktor yang mempengaruhi durasi pengerjaan sebuah proyek. Visi arsitek semata belum tentu cukup untuk mengawal pembangunan hingga akhir, perlu dukungan ekosistem yang disambut dengan komitmen untuk memberikan yang terbaik. Saat ekosistem sedang tidak berpihak, barangkali rekam jejak dan kesungguhan yang telah dipupuk selama ini akan mebuahkan kepercayaan pada klien, yang akan setia menemani dalam perjalanan yang panjang.
Adakah perjalanan proyek yang lebih lama lagi? Tentu. Megastruktur dari masa lalu seperti Piramida Mesir, Borobudur, Tembok Besar Tiongkok telah menorehkan sejarah yang lebih panjang lagi. Namun, di era ini kita punya keistimewaan menjadi saksi pembangunan karya arsitektur Sagrada Familia rancangan Antoni Gaudi yang setidaknya sudah berjalan selama 144 tahun dan masih terus dibangun. Bagaimana dinamikanya? Mungkin bisa jadi bahasan di lain waktu~