Refleksi singkat soal membangun sikap pantang menyerah dalam studio arsitektur. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia.
Sudah hal yang biasa jika perbincangan tentang kerja di studio arsitektur sering dikaitkan dengan kultur kerja hingga larut malam. Kultur ini juga tercermin dalam karakter Moko di film 1 Kakak 7 Ponakan, dimana apa yang dialami oleh Moko sebagai lulusan baru arsitektur merupakan sebuah realita. Jangankan kehidupan di dunia luar, pengorbanan waktu dan tenaga yang tidak manusiawi seakan menjadi jalan satu-satunya menuju kesuksesan di dunia arsitektur. Dengan segala keterbatasan yang dialami, kerja keras tradisional di studio arsitektur perlu direkonstruksi dan diubah menjadi kerja yang lebih cermat, demi menciptakan ekosistem yang lebih baik.

Kami juga mereview ulang sistem kerja studio dan membatasi maksimal di jam 20.00. Hal ini pada akhirnya memberikan semangat untuk lebih efisien akan waktu, datang lebih pagi, dan proaktif menjaga waktu masing-masing juga menjaga kepentingan bersama.
Dalam buku Great at work tulisan Morgen T. Hansen kami belajar 3 cara kerja yang berbeda, kerja dengan keras dan membabi buta (work hard), kerja dengan cermat (work smart) dan satu lagi yaitu kerja dengan hati (work heart). Tulisan ini akan membahas bagaimana kerja menggunakan hati (work heart)
John Pencavel dalam penelitiannya menemukan bahwa performa seseorang justru akan meningkat jika jam kerja dibatasi antara 50-60 jam per minggu. Selepas angka tersebut, kinerja malah menurun, di mana kurva produktivitas mulai menjadi datar. Hal ini menunjukkan kunci produktivitas bukanlah menghabiskan waktu berjam-jam, melainkan bagaimana mengelola waktu yang terbatas untuk menyelesaikan pekerjaan secara efisien. Keterjebakan dalam menjadikan lamanya waktu sebagai alat ukur produktivitas merupakan metode kerja keras

Morten T. Hansen menyatakan bahwa rahasia kerja memakai hati dalam meraih performa terhebat terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama perlu lihai dengan pekerjaan sendiri, perlu untuk mengerjakan lebih sedikit lalu terobsesi dengan pekerjaan tersebut sampai ke titik detailing, mendesain ulang pekerjaan agar lebih efektif lagi, melakukan perulangan agar terbiasa, dan menentukan P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) dalam sebuah perkerjaan agar efektif dan menyenangkan. Kedua, lihai bekerja dengan orang lain dengan selalu memberi kredit dan kontribusi tim hingga menjadi para pemenang yang hebat, dapat bekerja dengan orang yang berselisih dan bersatu, dan mengurangi dosa-dosa atas nama kolaborasi serta lebih efektif dalam berdiskusi. Yang terakhir adalah bagaimana lihai menjalani pekerjaan sampai kehidupan sehari-hari, dengan membangun profil diri yang baik.
Morten T. Hansen pun mengemukakan konsep “kerjakan lebih sedikit, terobsesilah, dan berperformasilah.” Ia menyebut bagian ini “Lihai dengan pekerjaan sendiri”
Salah satu contoh nyata adalah Frank Lloyd Wright, yang mampu mendesain proyek dengan cermat dalam waktu singkat. Namun, hasil tersebut bukanlah tanpa proses panjang. Proyek-proyeknya tercipta melalui latihan berkelanjutan dan adanya tujuan serta gairah dalam pekerjaan. Wright sendiri menghabiskan bertahun-tahun untuk mencapai tingkat keterampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.rampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.

Dengan desain yang eksploratif, Rem Koolhaas mengandalkan pendekatan yang terstruktur dan analitis, pemanfaatan teknologi, bentuk yang fleksibel dan modular, serta tujuan yang jelas sebagai amunisi dalam menghadapi proyek-proyeknya dengan cepat. Berbeda dengan Gaudí atau Zumthor yang cenderung terlalu terobsesi dengan pekerjaan mereka, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya gambar kerja keluar. Namun perlu diketahui bukan proses mereka yang lama, tetapi pendalaman dan kecerdasan yang mereka curahkan terhadap suatu konsep iterasi yang mereka percayai yang membuat karya mereka, menjadi magnum opus.


Strategi yang keliru adalah bekerja dengan menghabiskan banyak tenaga dan waktu dengan tanpa kecerdasan. Padahal menyusun daftar prioritas baru hanya merupakan separuh dari suatu persamaan yang utuh. Prinsipnya adalah penyadaran bahwa dalam bekerja, kita harus mencurahkan segalanya untuk fokus dengan konsentrasi penuh pada apa yang telah dipilih berdasarkan prioritas, agar hasilnya semakin baik.
Proses untuk menyeleksi apa pun yang masuk atau diterima sangatlah penting. Oleh karena itu, mendokumentasikan, membagi, dan menjaga jam kerja dengan menggunakan timesheet menjadi prioritas, itu lah work smart.
Namun, bukan hanya pengaturan jam kerja yang perlu diperhatikan, komunikasi yang baik untuk mendelegasikan tugas juga menjadi tantangan tersendiri. Seorang pemimpin tim harus memastikan bahwa setiap anggota tim memahami tujuan dan mengutamakan kepentingan bersama, sehingga proses delegasi dapat berjalan efektif. Hal ini disebut Morgen T. Hansen sebagai bagian lihai bekerja dengan orang lain.

Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People juga menekankan pentingnya proaktif, menetapkan prioritas, dan memiliki tujuan yang jelas untuk mencapai efisiensi.
Dalam bekerja dengan orang lain, sikap profesional dan kemampuan untuk bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan mereka yang mungkin dianggap sebagai musuh, sangat diperlukan. Mengurangi ego, menghindari konflik yang mengatasnamakan kolaborasi, serta fokus pada produktivitas dan efektivitas adalah langkah-langkah penting dalam mencapai hasil yang maksimal.
Menurut Morten T. Hansen, tujuan pekerjaan haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Meskipun seseorang tahu apa tujuannya, terkadang ia tidak merasa bergairah atau tidak merasa sesuai dengan apa yang diinginkan. Ia menyebut bagian yang sehari-hari itu “Lihai bekerja dengan orang lain”

Hansen mengidentifikasi empat sumber gairah kerja yang penting, yaitu intrinsik, kreatif, perkembangan, dan sosial. Menurutnya, gairah ini tidak hanya mendukung keberhasilan dalam pekerjaan, tetapi juga membantu menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan citra yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya, transparansi informasi, pengetahuan, dan kesadaran untuk memahami psikologi serta posisi tim, vendor, dan klien menjadi hal yang krusial. Mengurangi ego, lebih banyak mendengarkan dengan empati, dan melayani dengan sepenuh hati adalah langkah-langkah yang dapat memperkuat hubungan kerja. Dengan pendekatan ini, arsitektur bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan juga jalan hidup yang dapat memenuhi isi hati. Dari sini work heart baru dimulai.
Bagi mahasiswa arsitektur, bergabung dalam kegiatan kemahasiswaan sangatlah penting. Ini merupakan kesempatan untuk mulai melatih diri dalam bekerja tanpa pamrih dan melayani tanpa mengharapkan imbalan. Pekerjaan di bidang arsitektur memang erat kaitannya dengan semangat bekerja tanpa pamrih, yaitu memenuhi kebutuhan klien tanpa menuntut bayaran langsung. Dari sikap tersebut, kepercayaan dan hubungan jangka panjang akan terjalin, dan pada akhirnya, hasil kerja tersebut akan dihargai dengan pantas.
