Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam dunia arsitektur menuju 2030. Arsitektur dipahami sebagai profesi yang sedemikian tertutup, bebas nilai, padahal desain bisa jadi sangat efisien, strategis dan kolaboratif. Sebagai refleksi terhadap beberapa kejadian di sekitar studio kami, dimana banyak kesalahpahaman terjadi karena ketidaktahuan. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia. Mulai dari klien, kontraktor, vendor, hingga tukang, dan juga tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja efektif dan keunggulan hasil akhir proyek. Sederhananya dalam praktik arsitektur harus memenuhi tiga aspek utama optimalisasi: biaya, mutu, dan waktu. Namun, batasan-batasan tersebut sering kali terpengaruh oleh kondisi psikologis.
Di berbagai belahan dunia, kita dapat melihat bagaimana pergolakan ekonomi memengaruhi arah dan bentuk arsitektur. Pergolakan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk—mulai dari momentum politik, peristiwa global tertentu, hingga gelombang perubahan yang dipicu oleh krisis ekonomi global.
Salah satu contoh studi kasus yang berulang adalah dampak dari penyelenggaraan Olimpiade. Ambil contoh Olimpiade 2008 di Beijing, yang bertepatan dengan krisis finansial global. Kompleksnya kordinasi dan perencanaan program yang minim setelah olimpiade menyebabkan bengkaknya biaya pembangunan karena simbol yang dipaksakan dan banyak fasilitas menjadi kosong.

Pasca-Olimpiade, China menyadari perlunya pendekatan baru dalam arsitektur dan pembangunan. Negara ini mulai berfokus pada investasi dalam arsitektur lokal dan memperkenalkan desain lokal yang lebih efektif dan fleksibel.
Sebaliknya, Olimpiade 2012 di London, meskipun masih terpengaruh oleh efek krisis finansial 2008, menunjukkan bagaimana perencanaan yang matang dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Dengan mempertimbangkan sisi penataan kota, organisasi land use yang sebelumnya kawasan industri yang tidak optimal menjadi pusat ekonomi, kultural, sosial sekaligus memperbaiki lingkungan dan kapasitas infrastruktur. Pemerintah merencanakan penggunaan kembali fasilitas pasca-acara, London berhasil meningkatkan ekonomi kawasan sekitarnya.

Pergolakan ekonomi global juga mempengaruhi berbagai gerakan arsitektur yang muncul sebagai respons terhadap tantangan sosial dan ekonomi. Setelah Great Depression pada 1930-an, misalnya, arsitektur mulai beralih menjadi lebih fungsional dan mengurangi penggunaan ornamen yang berlebihan. Kehancuran yang terjadi setelah Perang Dunia II pada periode 1950 hingga 1970-an juga mendorong munculnya desain arsitektur yang lebih sederhana, cepat dibangun, dan ekonomis, guna memenuhi kebutuhan mendesak.
Contoh lain dari pengaruh pergolakan ekonomi terhadap arsitektur adalah munculnya gerakan Vkhutemas setelah Revolusi Bolshevik 1917. Pemerintah Soviet yang baru dibentuk ingin membangun negara yang lebih efisien melalui arsitektur yang mendukung industrialisasi dan efisiensi biaya. Gerakan ini berfokus pada penggunaan teknik dan material baru, serta desain yang mendukung kepentingan kolektif.


Selain itu, Walter Gropius dengan gerakan Bauhaus, yang dipengaruhi oleh Perang Dunia I dan Depresi Ekonomi 1929, menghasilkan desain yang fungsional dan terjangkau, yang dapat diproduksi secara massal. Begitu juga dengan Le Corbusier, yang pada masa tersebut merancang Villa Savoye, mengusung konsep desain yang efisien dan terjangkau. Sementara itu, Carlo Scarpa, yang bekerja dalam periode ketidakstabilan politik di era Mussolini, mengembangkan beberapa proyek yang dikerjakan secara bertahap, sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik saat itu.






Selalu ada momentum untuk seorang arsitek bekerja dengan pasang dan surut ekonomi di berbagai macam tempat dunia, namun yang terpenting adalah untuk terus belajar dan mempersiapkan diri. Penting bagi kita untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, terutama dalam dunia arsitektur yang terus berkembang.
Sebagaimana yang tercantum dalam laporan World Economic Forum tentang Future of Jobs 2025, beberapa keterampilan yang akan sangat diperlukan oleh arsitek di masa depan adalah kemampuan berpikir analitis, ketangguhan mental, keluwesan, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat. Keterampilan ini akan semakin penting menjelang 2030, dan bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, keberagaman budaya dan tantangan sosial-ekonomi akan menciptakan banyak peluang untuk melatih fleksibilitas, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi.



Arsitek perlu untuk mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat, menghadapi tantangan global dan berperan aktif dalam kepentingan ekosistem bersama. Keberagaman dan dinamika dalam proses ber-arsitektur menjadikan pemahaman dan penyadaran terhadap konteks lingkungan sekitar penting.
Belakangan ini tren #kaburajadulu menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Istilah ini menggambarkan bentuk kekecewaan terhadap ekosistem yang ada dan merasa bahwa ekosistem di luar sana lebih baik.
Tekanan dan dinamika dalam ekosistem arsitektur memang perlu dikritisi, tetapi juga dijalani. Pergeseran tempat kerja, perbedaan prinsip, dan ketegangan intelektual adalah bagian dari proses pembentukan seorang arsitek. Banyak tokoh besar dalam sejarah arsitektur mengalami fase ini, bahkan dengan mentor atau role model mereka sendiri.
Misalnya, Frank Lloyd Wright awalnya bekerja dengan Louis Sullivan, yang ia anggap sebagai mentor dan panutan. Namun, karena perbedaan pendapat—terutama setelah Wright diam-diam mengambil proyek-proyek sampingan—ia akhirnya memutuskan untuk keluar. Meskipun begitu, keduanya tetap saling menghormati. Wright selalu mengakui peran besar Sullivan dalam membentuk pemikirannya, sementara Sullivan, meskipun pernah kecewa, tetap mengakui bakat luar biasa Wright.

Lalu ada Frank Gehry, yang di awal kariernya bekerja di firma Victor Gruen, seorang arsitek terkenal yang dikenal sebagai “bapak mal modern.” Namun, Gehry akhirnya memilih keluar karena merasa tidak cocok dengan pendekatan desain arsitektur komersial Gruen. Ironisnya, ketika Gehry kemudian menjadi arsitek avant-garde dengan pendekatan dekonstruktifnya yang radikal, banyak yang bertanya-tanya apa yang Gruen pikirkan tentang muridnya yang dulu.
Robert Venturi dan Louis Kahn. Kahn, dengan pendekatan puristiknya yang mengedepankan bentuk kotak dan geometris, memberikan pengaruh besar bagi Venturi. Namun, alih-alih mengikuti jejak Kahn secara langsung, Venturi malah mematahkan prinsip tersebut dengan menggali bentuk-bentuk yang tidak geometris, yang penuh dengan kompleksitas dan kontradiksi. Perbedaan ini menciptakan sebuah ruang bagi Venturi untuk mengembangkan desainnya sendiri yang lebih ekspresif, meskipun ada konsep unity yang tetap diwariskan oleh Kahn. Venturi menurunkan kembali pemahaman dari Kahn, namun dalam bentuk yang lebih terbuka dan tidak terikat pada keharusan geometris yang kaku.

Unifikasi yang terjadi dalam dinamika hubungan beberapa arsitek besar ini justru memperlihatkan bagaimana proses pemberian tongkat estafet tidak hanya memperkaya pemahaman desain mereka, tetapi juga melahirkan warna-warni baru dalam dunia arsitektur. Meskipun terlihat seperti berlawanan, perbedaan mereka justru memperkaya satu sama lain.
Dari berbagai kisah ini, bisa dilihat bahwa tekanan dan perbedaan bukan hanya sesuatu yang menghambat, tetapi justru bisa menjadi pemicu bagi seorang arsitek untuk menemukan jalannya sendiri. Bahkan, terkadang perbedaan tersebut menjadi anekdot menarik dalam sejarah arsitektur—seperti bagaimana mentor dan murid yang pernah bersitegang tetap saling mengakui kontribusi satu sama lain, atau bagaimana seorang arsitek besar dulunya hanyalah anak magang yang mungkin sering diminta membuat gambar kerja saja oleh atasannya.
Fokus utamanya adalah pelatihan untuk lebih tangguh, luwes, dan adaptif dimana pun dengan siapa pun. Oleh karena itu Memperkuat pondasi keterampilan sebagai individu yang kerja cerdas dan bermanfaat sangat penting. Ini bukan tentang tempat atau posisi, tetapi bagaimana kita terus berlatih setiap saat, mempersiapkan diri untuk menyambut peluang yang akan datang.
Untuk arsitek ia berlatih dengan melayani klien, melihat dinamika pengalaman dan kasus studi sebagai referensi. Ia masuk ke kemampuan untuk mendengarkan, komunikasi, dan bagaimana kemampuan psikologis menjadi penting.
Tekanan yang muncul menggambarkan proses latihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, seperti yang dijelaskan oleh Ericcson dalam konsep deliberate practice, membantu seseorang mengatasi keterbatasan sambil menetapkan tujuan yang jelas dan menerima umpan balik dengan cepat.Hal ini dapat membawa kedalam kondisi flow, Mihály Csíkszentmihályi, di mana seseorang menikmati proses yang mereka jalani. P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) agar dapat efektif tetapi juga menyenangkan.
Dinamika yang begitu panjang, dari pengetahuan dasar yang luas sampai ke pemahaman kerja yang setia akan tujuan dan menikmati proses akan menjadi dasar-dasar yang menjanjikan untuk jati diri arsitek-arsitek Indonesia di masa depan.
