Wacana arsitektur berkelanjutan menjadi penting mengingat semakin tingginya degradasi lingkungan yang terjadi sebagai akibat dari manusia. Upaya-upaya meminimalkan dampak lingkungan ini disadari oleh banyak arsitek, yang dirumuskan sebagai kesadaran bersama-sama yang menjadi sebuah kesepakatan global. Arsitektur berkelanjutan disini dibahas dari lima titik kesadaran, yaitu pertama : kesadaran akan diri sendiri, kedua : kesadaran akan lingkungan sekitar, ketiga : kesadaran akan material, keempat : kesadaran akan strategi desain, dan ditutup di titik awal kelima yaitu : refleksi. Setiap titik awal tersebut diturunkan ke dalam 14 strategi arsitektur berkelanjutan dan akan dibahas satu demi satu.


Sebelum kita bahas bersama-sama, mari kita pertanyakan pada diri kita sendiri, “siapa aku?”
Arsitektur Berkelanjutan | Gelombang Kesadaran Lingkungan

Cara hidup manusia berkaitan erat dengan lingkungannya dan berpotensi besar mempengaruhi/merubah ekosistem bumi. Dengan memahami isu sosial – ekonomi – lingkungan masa lampau dan kaitannya dengan apa yang terjadi di masa kini kita bisa mempelajari hubungan sebab-akibat dalam mengonstruksikan arsitektur berkelanjutan. Keberlanjutannya tidak hanya tentang bangunan secara individual melainkan juga hubungan sebab akibat dengan lingkungan, kondisi sosial dan ekonomi.

(1) 1960-1967, munculnya buku Silent Spring tentang bahaya racun pestisida.
(2) 1987, tentang “Our Common Future” dan Brundtland Report, puncak penelitian tentang keberlanjutan dan identifikasi jangka panjang kehidupan Bumi.
(3) 1980-1990, tentang kesadaran konsumerisme dengan kebocoran gas di Bhopal dan tragedi di Chernobyl, terminologi eco-design muncul disini.
Perkembangan teknologi yang didorong revolusi industri dan revolusi perang mensponsori perkembangan desain yang semakin canggih. Selanjutnya, mari kita menelisik perjalanan menuju pemikiran & praktik pembangunan berkelanjutan yang dibagi dalam 3 pembabakan periode: 1851-1920; 1920-1945; dan 1945-1960.
Era keberlanjutan sendiri mulai popular sejak tahun 1960, ketika banyak bangunan mulai terputus dengan konteks lingkungan dan menimbulkan masalah sosial. Gerakan environmentalism pun muncul, salah satunya dipengaruhi oleh buku Silent Spring (Rachel Carson, 1962), menunjukkan perubahan drastis rantai ekosistem akibat pestisida sintesis. Dalam arsitektur & planning, buku Design with Nature (McHarg, 1969) lantas menawarkan konsep integrasi desain dan perencanaan dengan karakter dari sebuah ekosistem dan lansekap.

Masa ini ditandai dengan sebuah revolusi Romantik dan ketertarikan pada literatur Abad Pertengahan. Selain itu penulis seperti John Ruskin dalam buku Seven Lamps of Architecture (1849) dan Stones of Venice (1853) sangat menjunjung tinggi kualitas craftsmanship dari bangunan Gotik, menyebabkan munculnya sebuah style arsitektur yang disebut Gothic Revival (1750-1900).
Kota Barok & Gerakan City Beautiful Batasan antara seni, arsitektur, dan lansekap makin pudar. Gerakan Barok menyebar dari Italia ke negara lain di Eropa dan Amerika Latin, menciptakan penataan negara baru dengan prinsip geometris dan berpusat pada monarki. Perancangan tata kota yang terpengaruh oleh hal ini disebut City Beautiful. Gerakannya mulai terbentuk di Amerika Serikat, dari Municipal Arts movement dan World’s Columbian Exposition di Chicago di tahun 1893 dan berkembang di 1900-an.

Gambar potongan oleh Patrick Geddes pada tahun 1909 menjadi titik balik cara berpikir desain/intervensi manusia pada alam. Geddes menunjukkan adanya keanekaragaman lingkungan yang berkorelasi dengan perbedaan cara hidup manusia. Poinnya adalah ekosistem manusia adalah bagian dari ekosistem lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini membongkar dikotomi antara peradaban dengan alam.
Modern Empiris
Terdapat 2 pemikiran: (1) konsep urban seperti pembentukan ruang terbuka dan pengalaman ruang publik (Jane Jacobs, Christopher Alexander, dll.); (2) teori pembentuk kota baru dengan gerakan Garden City, mengatasi masalah kota industri melalui desentralisasi. Contoh konsep perancangan Garden City yaitu Broadacre City oleh Frank Lloyd Wright (1958), kawasan kota berkelanjutan dengan pembangunan horizontal berkepadatan penduduk rendah, mudah akses layanan/komoditas apapun dalam radius 150 mil melalui jalan darat/udara.

Memiliki cara pandang yang memperhatikan sistem sosial futuristik di dalam bentuk ideal geometris. Tokoh-tokoh dengan pemikiran ini kemudian berkumpul dan membentuk CIAM (1944), melahirkan kota-kota baru di akhir abad ke-20. Salah satunya adalah The Radiant City oleh Le Corbusier, pembangunan vertikal dikelilingi ruangan hijau, perumahan harus sesuai dengan ukuran keluarga, bukan posisi ekonomi. Proyek-proyek gerakan ini meliputi renovasi kota masal dan pembangunan sosial housing dalam waktu cepat.
Postmodernism
Terputusnya bangunan dengan konteks lingkungan menimbulkan masalah sosial. Jane Jacobs mengkritik dalam buku The Death and Life of Great American Cities (1961). Gerakan environmentalism mulai muncul, salah satunya dipengaruhi oleh buku Silent Spring (1962) yang ditulis Rachel Carson, menunjukkan perubahan drastis rantai ekosistem akibat pestisida sintesis. Dalam arsitektur & planning, Ian L. McHarg melalui buku Design with Nature (1969), menawarkan konsep integrasi desain dan planning dengan karakter dari sebuah ekosistem dan lanskap.
Gerakan pembangunan berkelanjutan kemudian berkembang dengan kemunculan: (1) New Urbanism, diprakarsai oleh Andres Duany, menentang perluasan pinggiran kota dan disinvestasi perkotaan, yang kemudian melahirkan gerakan sustainable architecture & sustainable urbanism; (2) Landscape Urbanism dimana kota dipandang sebagai sebuah lansekap dan segala intervensi harus mempertimbangkan aspek pembangunan termasuk un-building, removal, dan erasure. Contohnya pada restorasi Cheonggyecheon, Korea Selatan; Central Park, Manhattan; dan Water Square, Netherland.


Dengan mengupas masa lampau dan merelasikannya dengan masa kini, kita bisa memahami dampak apa yang sudah dan kemungkinannya dihasilkan oleh arsitektur kita terhadap keberlangsungan lingkungan masa kini dan mendatang.
Kesadaran Material dan Bahan

Diskursus tentang material dimulai dari pola pikir “working detail” yang dibahas oleh Michael Cadwell mengenai seluk-beluk sambungan detail-detail yang interpretatif namun ternyata justru membangun sensibilitas puitis terhadap penciptaan pengalaman ruang yang mampu merangsang kepekaan manusia. Juhani Palasma juga menyatakan bahwa arsitektur mengartikulasi pengalaman manusia dengan meningkatkan sensibilitas indera. Sedangkan Kenneth Frampton mengartikulasikan terminologi tektonika dengan menjelaskan bagaimana perancang mengembangkan berbagai percobaan untuk menemukan sistem konstruksi yang lebih optimal, estetika, dengan teknologi bangunan yang transformatif.



Sedangkan di Indonesia, diskursus material digagas Y. B Mangunwijaya yang mengkaitkan fungsi detail dengan iklim, budaya, dan fungsi bangunan. 32 tahun setelahnya, diskursus material kembali diperbincangkan melalui Paviliun Indonesia di Venice Biennale Architettura 2014 yang mengangkat tema “Ketukangan: Kesadaran Material”.


Bentuk platonik mewujud dalam objek geometri dasar lingkaran, segitiga, dan kotak. Penggunaan bentuk ini adalah mencapai kualitas formal yang diserap dari bentuk platonik agar dapat dibentuk dengan cepat. Dari segi efisiensi, bentuk platonik menghindari pemborosan ruang, lebih ekonomis, dan mengurangi material waste.
Lengkungan (parabolik/ catenary) Bentuk lengkung parabolik adalah konsekuensi matematis dari pertemuan dua buah titik menjadi kurva, begitu pula dengan lengkung catenary yang diperoleh dengan membiarkan gravitasi membentuk kurva dari sebuah tali. Lengkungan digunakan dalam desain karena tiga alasan, yakni kualitas natural, ekspresif, serta karakter informal ketika bentuk platonik tidak dapat menyelesaikan suatu desain.

Daya tradisional digunakan ketika situasi proyek bersinggungan dengan masyarakat (lokal) dengan cara-cara bekerja yang asli (tradisional) masih dilakukan dan padat karya adalah solusi yang paling relevan dalam menanggapi konteks.
Daya industrial dilakukan ketika tersedia akses manufaktur di suatu proyek. Metode ini ditempuh ketika proyeksi jangka panjang menghasilkan perhitungan biaya tenaga kerja padat karya lebih tinggi dari biaya sistem manufaktur yang tersedia di suatu proyek.
Daya adaptasi dilakukan ketika kedua aspek tersedia dimana keduanya dapat dilakukan secara paralel di suatu proyek. Apabila didukung oleh manajemen yang baik untuk menangani kedua jenis aset konstruksi.

Cave (gua) merujuk pada bentuk alami yang berasal dari hasil reduksi masa. Pendekatan cave berfokus pada diskusi mendalam antara klien dengan arsitek. Melalui analisa diskusi, arsitek dapat menemukan potensi solusi yang muncul dari benak seorang klien dan dirinya sendiri. Hasil dari konsep ini memperoleh form utama desain sebagai konsekuensi kepribadian, yang diikuti oleh fungsi arsitektural (Function follows form).
Nest (sarang) merupakan pendekatan untuk mengeksekusi desain dimana konstruksi ditangani melalui hal yang paling dasar, yakni program dan struktur, kemudian material hingga detail. Sehingga hasilnya adalah bentuk yang merupakan konsekuensi langsung dari fungsi arsitektural (Form follows function).
Plowright merumuskan tiga buah kerangka proses pemecahan masalah dalam lingkup desain yaitu pattern (form) yang merupakan penataan, organisasi, dan permainan komposisi pola sehingga kerangka bersifat rasional karena membatasi pertimbangan arsitektur terhadap hal-hal formal sebagai bentuk ideal. Forces (context) dimana kerangka terbentuk berdasarkan prinsip rasionalisme yang dipertajam dengan pengamatan konteks. Concept (conceptualization) melalui perangkat abstrak seperti metafora, analogi, hingga ide intuitif.

Melalui kesadaran material akan potensinya, arsitektur dapat berperan bagi diskursus keberlanjutan manusia dan lingkungan di dalam tataran detail, konstruksi dan teknologi bangunan yang transformatif dari jaman ke jaman.

Material | Memahami Karakter Material

Memahami material, dimulai dengan menggali prinsip – prinsipnya melalui kajian sejarah, jenis – jenis atau turunannya, nilai konduktivitas termal, hingga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.

12.000 SM – mortar (adonan perekat) dari kapur.
200 SM – opus caementitium (beton roma): mortar pozzolana (abu vulkanik) dan agregrat batuan, keramik, dan puing-puing bata.
1824 – semen Portland dari kapur hidraulik (Inggris) yang hingga kini paling umum digunakan dalam pembuatan beton.
1910 – pabrik semen pertama di Indonesia: NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschapp (PT. Semen Padang).
Produk turunannya dibedakan menjadi 2: Beton Murni (Beton berat: >2600 kg/m3; Beton normal: >2000-2600 kg/m3; Beton ringan: 800-2000 kg/m3)
Beton dengan Perkuatan (Beton fiber: logam, plastik, kaca, kayu; Beton fabrik: plastik, kaca; Beton bertulang (baja))
Berdasarkan Konduktivitas Termal (W/mK), beton memiliki kategori (Standar) 0.8 (2). Beton ringan memiliki nilai yang lebih rendah, sering digunakan sebagai material insulasi.
Berdasarkan Embodied CO2 (kgCO2 eq./m3), beton masuk kategori (Standar) 0.8 (2)
Tahap awal adalah kajian sejarah yang dimulai dari penggalian asal muasal dan bagaimana perkembangan satu material hingga akhirnya dapat menjadi konteks yang menjangkau site. Setelah mendapatkan opsi material, langkah selanjutnya adalah mengkaji lebih dalam jenis dan turunannya hingga mendapatkan keputusan berdasarkan konsep dan pembentukan pattern (form), yang telah disesuaikan dengan konteks lokasi.
Untuk melihat seberapa signifikan dampaknya terhadap kenyamanan user dan kelestarian lingkungan, dilakukan kajian konduktivitas termal. Apabila material yang dipilih memiliki angka konduktivitas yang tinggi misalnya beton, maka perlu ada perlakuan khusus seperti penambahan fasad misalnya bambu atau kayu sebagai pereduksi panas. Tahap terakhir adalah analisa embodied CO2 atau emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh material. Tahap ini lebih banyak merujuk pada signifikansi dampak bangunan terhadap lingkungan terkait carbon footprint. Kita dapat menekan angka ini, salah satunya dengan cara menggunakan material lokal sehingga mengurangi kegiatan transportasi material oleh kendaraan bermesin.

Dapat kita pahami bahwa setiap material memiliki nilai dan kegunaannya masing-masing dan pemilihannya berdasarkan konteks dan tipe konstruksi yang akan dikerjakan. Material dapat digunakan dengan optimal dan memiliki nilai keberkelanjutan apabila telah dipahami prinsip – prinsipnya.

Jenis-jenis bambu yang lazim digunakan di Indonesia: petung(d: 20cm), wulung (d: 14cm), apus (d: 40-10 cm). Produk olahan bambu:
Bambu gelondong: kolom, balok, rangka, dinding.
Bilah bambu: usuk, reng, rangka bidang, pagar, pengisi bidang.
Sayatan bambu: lembar anyaman untuk dinding, plafon, dll.
Bambu lapis, panel bambu, bambu komposit.
Bambu memiliki Konduktivitas Termal 0.55–0.59 W/mK. Material bambu memiliki embodied CO2 rendah, contohnya adalah lantai scrimber −14.89 kgCO2 eq./m3
Jadi, Siapkah untuk menggali potensi material yang ada di sekitar kita dan melestarikannya demi keberlanjutan hidup manusia dan lingkungan?

Penggunaan Material untuk Detail Arsitektur yang Berkelanjutan | Telaah Jejak Karbon dan Permainan Detail Arsitektural.

Di dalam jejak karbon setiap jenis material terkandung emisi yang dihasilkan dari proses terbentuknya material dan proses konstruksi. Besarnya jejak karbon diakibatkan dari tahap pemrosesan bahan , termasuk transportasi, sampai dengan pembuangan atau daur ulang akhir. Hal ini mengakibatkan besarnya emisi karbon global tahunan. Setiap tahun, karbon yang terkandung bertanggung jawab atas 11% emisi GRK (gas rumah kaca) global dan 28% emisi sektor bangunan global. Emisi yang dihasilkan dari jejak karbon akan tertinggal di dalam sebuah bangunan.Kita bisa mengurangi jejak karbon melalui perencanaan pemilihan material dan rekayasa detail arsitektural.

emisi GRK (gas rumah kaca) global dan emisi sektor bangunan global.
Namun, kita bisa mengurangi jejak karbon melalui perencanaan pemilihan material dan rekayasa detail arsitektural. Emisi yang dihasilkan dari jejak karbon akan tertinggal di dalam sebuah material, sebuah detail arsitektural, dan pada akhirnya sebuah bangunan, begitu bangunan tersebut dibangun, emisi tersebut dan tidak dapat ditarik kembali.

Tipe kedua yang semakin tinggi dari tahun ketahun adalah emisi karbon yang dihasilkan melalui perhitungan terhadap proses sebuah material diangkut, dikonstruksi, dan dipakai kembali/disimpan.
Di sini lah pemilihan material lokal dan rekayasa detail arsitektural yang mudah dikonstruksi berguna untuk mengurangi jejak karbon di dalam sebuah bangunan. Hal ini dinamakan kesadaran material dan detail arsitektural yang berkelanjutan.

Di dalam lingkup arsitektural, detail dipikirkan secara matang dengan mempertimbangkan pemilihan material lokal (transportasi sedekat mungkin dengan lokasi), bahasa yang mudah dimengerti, mudah dirawat, tahan lama. Sehingga kualitas detail tersebut kita bisa namakan detail yang berkelanjutan. Detail-detail berkelanjutan yang ada di dalam setiap karya arsitek sebenarnya memiliki batasan terhadap cuaca, perawatan, pengalaman ruang yang dihasilkan, sehingga mampu untuk berkelanjutan dan melawan waktu. Detail-detail berkelanjutan tersebut membentuk pengalaman ruang yang menyentuh sehingga arsitektur bisa merubah hal yang sederhana menjadi sedemikian dahsyat.

Detail-detail berkelanjutan yang ada di dalam karya yang dihasilkan oleh keempat arsitek ini memiliki batasan terhadap cuaca, perawatan, pengalaman ruang yang dihasilkan, sehingga mampu untuk berkelanjutan dan melawan waktu
Kuncinya adalah, merefleksikan diri sejauh mana kita bisa menyadari bahwa pemilihan material dan desain detail arsitektural itu memiliki parameter fungsional yang mengikat.

Permainan detail-detail berkelanjutan terlihat di dalam elemen-elemen pertemuan besi, kayu, batu, dan beton yang disesuaikan dengan jarak pandang, ergonomi, elemen pintu, jendela, dinding, lantai, langit-langit, engsel, sampai ke ornamen.



Sejauh mana arsitek dapat mendesain detail sehingga menjadi sebuah detail yang berkelanjutan ?

Metode Desain Menuju Arsitektur Berkelanjutan
Sebelumnya kita telah memahami korelasi antara konstruksi bangunan dengan arsitektur berkelanjutan dari sudut pandang detail arsitektur yang berkelanjutan. Selain konstruksi bangunan, arsitektur terkait erat dengan aspek perencanaan dimana prosesnya memiliki banyak pertimbangan, Hal ini dinamakan metode desain.

Untuk menyusun metode desain, arsitek perlu memahami bagaimana bangunan dikonstruksi dan dirancang. Proses perancangan juga memiliki begitu banyak pertimbangan yang perlu untuk dijawab, mulai dari apa? siapa? untuk apa? untuk siapa? bagaimana? kenapa? dan pada akhirnya apakah ada pilihan lain yang lebih baik? Ini dinamakan Design Theories and Methods (DTM). Pada pertengahan abad ke-20, kemudian kajian ini dibahas oleh Rittel dan Webber yang memisahkan dua jenis masalah yaitu Tame dan Wicked Problem.



1. Proses Arsitektur
Berkelanjutan (Process)
2. Produk Arsitektur Berkelanjutan (Product)
3. Relasi Sosial Arsitektur Berkelanjutan (Person)
4. Ekosistem Arsitektur Berkelanjutan (Press)
Tame problem adalah permasalahan yang solusinya dapat diselesaikan dengan pasti. Wicked problem merupakan krisis perencanaan yang penyelesaiannya tidak pasti dimana prosesnya berbelit karena pihak – pihak yang berkepentingan mempunyai pandangannya masing-masing. Karena itu Rittel dan Webber menunjukkan pentingnya untuk merangkai sebuah metodologi desain. Arsitek bisa untuk mensintesiskan Tame and Wicked.




Problem kedalam empat buah substansi atau 4 P:
1. Proses Arsitektur Berkelanjutan (Process)
2. Produk Arsitektur Berkelanjutan (Product)
3. Relasi Sosial Arsitektur Berkelanjutan (Person)
4. Ekosistem Arsitektur Berkelanjutan (Press)

Setiap arsitek memiliki situasi dan kondisinya masing – masing di dalam berpraktek. Dengan kemampuan mensintesiskan 4 substansi diatas, maka metode untuk menuju desain arsitektur berkelanjutan bagi masing – masing arsitek akan bertransformasi dengan sendirinya.
Arsitek Mengimplementasikan Arsitektur Berkelanjutan

Setelah memahami bagaimana menyusun metode desain menuju arsitektur berkelanjutan, kita perlu mengetahui bagaimana arsitek mengimplementasikan metode desain arsitektur berkelanjutan.


Karya – karya arsitek diharapkan mampu menjembatani antara kebutuhan solusi praktis di lapangan di dalam krisis ekologi yang nyata terjadi, dan keberlanjutan sisi kebaikan untuk sosial-ekonomi masyarakat.

Hal ini terlihat di dalam karya Boonserm Premthada; Frederic Druot, Lacaton and Vassal; Marta Maccaglia; Raumlabor; dan Nina Maritz yang dikurasi oleh Jana Revedin dan Marie-Hélène. Meski berbeda konteks projek, desain mereka pun memiliki keserasian dengan target hasil SDG poin ke-11. Di Indonesia, karya mendiang Y.B. Mangun Wijaya mencerminkan semangat lokalitas yang satu nafas dengan beberapa arsitek yang dibahas di atas. Hal ini menunjukkan bahwa pembahasan seperti ini tidak hanya terimplementasi di dalam lingkup global, namun juga di Indonesia.
Pada dasarnya di dalam praktik arsitektur setiap arsitek berhadapan dengan 3 kondisi akibat dari desain arsitektur yaitu sisi ekonomi, sisi sosial, dan sisi lingkungan. Tiga sisi tersebut berkaitan erat dengan kesadaran dari arsitek untuk memahami konteks site dimana arsitek tersebut bisa memilih material lokal (sumber daya alam setempat) sebagai usaha mengurangi jejak karbon dan membantu ekonomi masyarakat sekitar; dan membangun keahlian membangun SDM lokal yang syarat akan tradisi dan pemberdayaan masyarakat akan sisi teknikal bangunan yang mudah dipelihara, mudah dikonstruksi, dan efisien dari segi anggaran bangunan. Peran arsitek bisa menjembatani eksplorasi tata bahasa tektonik tersebut untuk mewujudkan pengalaman ruang utuh dari sambungan antar material ke ruang yang menggugah perasaan/indrawi melalui detail-detail berkelanjutan dengan berkolaborasi bersama pengrajin/tukang.



Perpanjangan ini untuk memperluas ruang keluarga dan menghadirkan teras/balkon. Tiap unit apartemen terbebas dari ruang tak berguna, digantikan dengan volume ruang yang bebas dan transparan. Pemilihan glass sliding door pada fasad memberikan akses pencahayaan alami dan view sementara teras/balkon memberikan strategi penghawaan 2 lapis yang bisa mendinginkan ketika musim panas dan mengurangi dingin ketika musim dingin.


Karya – karya arsitek diharapkan mampu menjembatani antara kebutuhan solusi praktis di lapangan di dalam krisis ekologi yang nyata terjadi, dan keberlanjutan sisi kebaikan untuk sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini dibahas oleh Jana Revedin dan Marie-Hélène bahwa arsitek bisa menjadi menjadi agen pemberdayaan masyarakat melalui pemilihan material lokal, kolaborasi dengan pengrajin/tukang setempat, dan pembangunan partisipatif merupakan dasar untuk menciptakan desain berkelanjutan dari detail menuju ruang-ruang ekonomi, sosial, dan lingkungan berkelanjutan.

Siapkah arsitek untuk kreatif menjawab sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan di dalam mendesain di balik seluruh pembicaraan mengenai penemuan metode desain sendiri ?
Memahami Parameter Karya Berkelanjutan Melalui Studi Kasus

Untuk memperkaya pertimbangan desain dari sisi Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan, seorang arsitek membutuhkan wawasan yang luas mengenai seberapa banyaknya kasus studi yang diketahui.

Untuk mengetahui seberapa tinggi/dalam kualitas sebuah karya arsitektur, dibutuhkan pemahaman yang multi disiplin yang menantang seberapa jauh seorang arsitek di dalam mencurahkan keringatnya untuk membuat sebuah karya arsitektur yang komprehensif. Karya ini bukan hanya soal massa, denah, dan ruang. Namun sebuah pengalaman kerja praktik seumur hidup.
Untuk mengetahui seberapa tinggi/dalam kualitas sebuah karya arsitektur, dibutuhkan pemahaman multidisiplin yg menantang seberapa jauh seorang arsitek dalam mencurahkan keringatnya untuk membuat karya yang komprehensif. Karya ini bukan hanya soal massa, denah, dan ruang. Namun sebuah pengalaman kerja praktik seumur hidup melalui 3 buah tahapan analisa kasus studi:
1. Massa Bangunan: studi bentuk dasar sebagai landasan sosok, wujud, nilai filosofis, sampai hubungan sebab akibat dengan sudut matahari, sirkulasi sekitar bangunan, ataupun sesederhana mengikuti sejarah pembentukan arsitektur di dalam sebuah kota (pendekatan kontinental)
2. Denah Ruang: studi programming, kumpulan data tentang definisi sebuah ruang, bagaimana menggunakannya, berapa jumlah penggunanya, serta keperluan integrasi dengan sistem utilitas bangunan
3. Pengalaman ruang: berkaitan dengan intuisi yang terakumulasi dalam gubahan bentuk 3D (didukung dengan materialitas, membentuk pengalaman ruang.



Salah satu sumber terlengkap sebagai barometer awal mengenal arsitektur berkelanjutan bisa menggunakan karya Pritzker Prize sebagai kasus studi. Kasus studi ini adalah sebuah awalan untuk memahami bahwa begitu banyak kasus studi arsitektur berkelanjutan yang masih perlu dipelajari dan membuat proses berbagi menjadi penting. Dengan mempelajari kasus studi, arsitek dapat memahami metode arsitek lain secara holistik sebagai cermin untuk mengembangkan diri.




Siapkah sang arsitek bercermin dan kembali belajar untuk menambah kualitas metode desain dimilikinya melalui pengetahuan kasus studi yang begitu berlimpah di dalam arsitektur di dunia dan di Indonesia?

Siapa Aku | Membawa Diri Berselancar dalam Gerakan Arsitektur Berkelanjutan

Pertanyaan “Siapa aku?” adalah sebuah pertanyaaan yang menghinggapi setiap arsitek di dunia. Untuk menjawab itu sebenarnya seseorang hanya perlu mencukupkan dirinya dan mengetahui bahwa setiap individu dilahirkan unik. Pertanyaan “siapa aku?” akan memberikan landasan yang kuat terhadap perumusan strategi arsitektur berkelanjutan yang optimal.

Pemahaman terhadap kekurangan dan kelebihan diri, apa yang disukai dan tidak disukai, cara-cara yang berhasil dan yang gagal, juga bagaimana respons terhadap berbagai hal akan membantu menjelaskan secara logis apa yang dirasakan. Arsitek akan menjadi lebih percaya diri dan terampil dalam pengambilan keputusan. Memahami diri sendiri secara tidak langsung juga berarti memahami orang lain dan bagaimana setiap individu memiliki sifat dan caranya masing-masing.
Perjalanan mengenali diri sendiri membuthkan waktu. Ibaratnya, setiap orang membentuk orang lain, dan orang lain membetuk “siapa aku”.
Secara umum, manusia memiliki berbagai unsur kepribadian di dalam dirinya yang perlu untuk dipahami, diterima, dan dirangkul agar mampu mengambil langkah ke depan dengan lebih pasti.
Semangat manusia masih memiliki semangat untuk menjadi lebih baik dan kontributif terhadap masyarakat dalam konteks studi kreativitas terwujud dalam berbagai sisi, mulai dari belajar meniru dan mengejar kuantitas, menjadi mulai berpikir mengenai tujuan dan kualitas, hingga akhirnya mencapai fase “bermain-main” dan mengeksplorasi ide.

Sebuah jiwa akan mengalami keutuhan (self), dan merasa berkecukupan ketika terdapat integrasi atau penerimaan terhadap seluruh archetype, termasuk hal-hal di bawah alam sadarnya, juga penerimaan terhadap masa lalu dan impian akan meningkatnya potensi diri.

Semua orang pada dasarnya ingin memiliki kehidupan yang lebih baik juga semangat untuk memperbaiki diri, dalam studi kreativitas disebut kerajinan (craftsmanship).
Sennet menjelaskan prinsip ini menjadi tiga sisi: Animal Laboran (teknis), Homo Faber (manusia membuat/ kreatif), dan Homo Ludens (manusia bermain-main). Sisi terakhir ini mewakili manusia yang tak hanya memahami apa yang ia buat, tetapi juga mengupayakan proses yang menyenangkan.
Dalam konteks sebuah proyek, ada berbagai pihak yang berkepentingan, seperti arsitek, klien, kontraktor, dan engineer. Kunci ketuntasan kerajian di sini adalah bagaimana desain seorang arsitek memenuhi sisi teknis, kreatif, dan eksploratif di dalam proses perancangan dan pembangunan. Hal ini sederhananya adalah proses perkembangan diri yang berkelanjutan-multidisiplin.

Buku Craftgram (Adiyanto & Sjarief, 2020) memaparkan tahap-tahap yang menjadi titik mulai hingga adaptasi seseorang yang mendalami suatu keahlian.
Perjalanan dimulai dari menjadi apprentice, di mana seseorang menjadi murid yang dituntut memiliki semangat untuk belajar dengan berkreasi sesuai instruksi (mengutamakan kuantitas). Tahap selanjutnya adalah tahap journeyman di mana seseorang mulai mempertanyakan tujuan hidup, mengamati, dan bereksperimen sesuai tujuan yang ia temukan. Tahap ketiga adalah tahap master (mumpuni) di mana seseorang bisa bermain dengan keahliannya yang ditandai dengan wawasan yang luas dan jam terbang tinggi. Fokus keluaran dalam tahap ini adalah produksi ide-ide yang inovatif.
Selama berproses, diperlukan evaluasi terhadap diri melalui literasi dengan teknik yang tepat dan pendekatan yang disesuaikan dengan konteks. Wawasan yang terkumpul dalam proses panjang ini kemudian dirumuskan dalam teori-teori yang berasal dari dalam diri arsitek dan yang berdasar pada keadaan di lingkungan.

Menjadi arsitek membutuhkan pemahaman untuk bisa mengenali diri, dimulai dari menerima diri, dan menyadari bahwa dirinya memiliki keunikan di dalam masyarakat dunia, hingga akhirnya memberikan sumbangsih kepada lingkungannya. Hal ini dinamakan pengembangan diri yang berkelanjutan.

[Writing Architecture by Carter Wiseman (2014)]
Setelah mengetahui kepribadian diri dan mampu bekerja dengan orang lain, seseorang membutuhkan ruang untuk evaluasi. Hal ini ditandai dengan kemampuan literasi yang baik, yaitu kemampuan untuk memahami sebuah persoalan dengan komprehensif. Ada dua hal yang diperlukan, yakni teknik literasi dan pendekatan literasi.
Wiseman membagi teknik-teknik literasi menjadi: (1) structure, rangka literasi, (2) standard, penilaian objektif, (3) persuasion, meyakinkan bagi pembaca, (4) criticism, mencakup pemahaman soal konteks, (5) scholarship, opini yang didukung data objektif, (6) literature, unsur naratif/emosional, (7) presentation, penyampaian gagasan yang mudah dipahami, (8) professional communication, penjelasan singkat mengenai hal-hal penting dalam rangkaian gagasan.

[Writing About Architecture by Alexandra Lange (2012)]
Sedangkan, pendekatan literasi dibahas oleh Lange (Writing About Architecture) yang membaginya menjadi empat kategori, yaitu:
(1) pendekatan formal, berupa penjelasan deskriptif tentang organisasi ruang, material, dan hal faktual lainnya dalam sebuah rancangan,
(2) pendekatan eksperimental, yang memasukkan unsur perasaan atau pengalaman subyektif penulis terhadap sebuah karya/proses,
(3) pendekatan historikal, misal memasukkan unsur latar belakang arsitek yang mempengaruhi sebuah rancangan,
(4) pendekatan aktivis, yang membahas pihak yang diuntungkan/dirugikan dari adanya suatu karya, melihat segi ekonomi/sosial antara karya dengan lingkungan.

[Creating Architectural Theory by Jon Lang (1987)]
Setelah mengetahui kepribadian diri, mampu bekerja dengan orang lain, dan mampu mengevaluasi diri, seseorang perlu merumuskan apa yang sudah dipahaminya menjadi sebuah teori kehidupan. Lang (1987) membaginya menjadi beberapa jenis teori:
Teori normatif adalah teori yang didasarkan pada pengetahuan yang menjadi kebiasaan dalam diri arsitek, persepsinya terhadap dunia, ukuran baik dan buruk. Bentuknya dapat berupa prinsip desain yang dikembangkan oleh masing-masing arsitek.
Teori positif adalah teori yang didasarkan pada pengetahuan yang dirumuskan berdasarkan konteks dari isu yang dihadapi. Teori ini terbagi menjadi teori substantif yang fokus pada isu yang dihadapi, dan teori prosedural yang fokus pada metode desain yang tepat untuk membedah isu. Aktualisasi Diri Lewat Menulis Arsitektur: Menata Sudut Pandang
Siapkah setiap arsitek untuk mau rendah hati belajar kembali mengembangkan diri?

Kontributor Kelas Strategi Arsitektur Berkelanjutan untuk Mahasiswa – University of Pelita Harapan


Para kontributor yang terdiri dari mahasiswa, untuk mahasiswa dan oleh mahasiswa : Albert Lionggo, Andreas Hasiholan, Anggreny Ratnasari, Anissa Dipa, Anke Ardine, Ansell Samuel Julianto, Antonius Priya Prathama, Bayu Abimanyu, Carla Aurellia, Chelsea Gracelyn Halun, Chelsya Setiawan, Christal Yohanes Edy Widjaya, Darwin Winata, Dharmawan, Diandra, Arya Eka Putri, Edgard Jeremy, El Grantnada Romaulina Chyntia Manihuruk, Eubisius Vercelli, Ocvanto Kuncoro, Evania Hamdani Fania, Farisya Yunandira Putri, Fikra Abhinaya Djuhara, Franca Kartasasmita, Gerardo Leonard Nugroho, Gilbert Antonious Heidy Laurentia, Heinrich Benedick, Jason Lim, Jason Aristya Wongso, Jason Axel, Jesslyn Amanda, Joshua Alfando, Joshua Felix Theo, Joshua Michael, Jovin Juan, Marcell Cruxivisyo, Mauritzio Hizkia, Michael Antonio Halim, Michael Imanuel Susilo, Michellin Sonia Wibowo, Muhamad Yusuf Nyompa, Nathanael, Christopher Ng, Novi Synfah, Oliver Victor Wibowo, Praisella Hatijanto, Putroaji Darma Maulana, Raihan Ramadhan, Rayka Martawijana, Raynaldo Febrio Istanto, Sander Ekaputra, Satya Krisnadi, Shania Salsabila, Shella Angelica, Sherlyn Christiane, Spazio Julius, Stanly Alviando, Thessalonicca Venesya, Valencia Angelita, Vania Serrafine
Kuliah Strategi Arsitektur Berkelanjutan ini adalah sebuah mata kuliah yang diampu oleh Realrich Sjarief di dalam penelitian yang dilakukan di Omah Library dan pedagogi kelasnya di lakukan di dalam sesi mata kuliah Strategi Arsitektur Berkelanjutan di Universitas Pelita Harapan. Harapan dari kelas ini adalah berbagi mengenai pedagogi, riset mata kuliah, maupun pustaka supaya bisa dikembangkan di perkuliahan lain ataupun bermanfaat untuk praktik arsitektur di banyak tempat. Perkuliahan ini dirangkum ke dalam bentuk buku dan interpretasi terhadap keseluruhan materi ditulis oleh Anas Hidayat dan Johannes Adiyanto sebagai sudut pandang pelengkap dari luar.
Pengampu Perkuliahan
The Research Study is in Strategi Arsitektur Berkelanjutan Untuk Mahasiswa’s Book
Buku setebal 600-an halaman ini adalah salah satu refleksi untuk menyusun kerangka strategi arsitektur berkelanjutan yang dimulai dari kesadaran diri untuk membentuk sudut pandang multidimensi, multi disiplin dan konteks lingkungan makro-mikro sebelum menguasai aspek teknikal seperti pengetahuan detail material bangunan serta metode desain.
Buku terbaru yang berjudul “Strategi arsitektur untuk Mahasiswa” ini adalah sebagai buku kedua yang diterbitkan di awal tahun 2021. Buku ini merupakan antologi atas materi strategi arsitektur berkelanjutan yang didiskusikan dan dirangkum dalam bentuk esai beserta artwork untuk bersama-sama mencari seberapa luas dan seberapa dalam terminologi arsitektur berkelanjutan?
Disiplin arsitektur selalu berhubungan dengan dimensi lingkungan dan humaniora, terutama mengenai identitas, ilmu bangunan, evaluasi metode desain, sensitivitas tentang materialitas, sampai pengetahuan mengenai kasus studi. 5 Hal tersebut diturunkan ke dalam 5 bab yang berisi 14 bentuk strategi desain berisi bagaimana proses memahami diri, mengetahui budaya membangun ‘ketukangan’, dan aktualisasi diri melalui menulis, sejarah arsitektur berkelanjutan, materialitas, metodologi desain, dan pembedahan 60 kasus desain dari pritzker prize winner dan orang – orang lain yang mewarnai praktik dengan semangat lokalitas.
Sebagai penyimpul benang merah, bab terakhir meliputi refleksi diri dari para penulis tentang hasil dari pembelajaran mereka. Strategi (praktik) arsitektur berkelanjutan tidaklah statis dan berdiri sendiri, justru membutuhkan kedinamisan konstruksi pemikiran dari berbagai sudut pandang.

Realrich Sjarief
Realrich Sjarief mendirikan Realrich Architecture Workshop di tahun 2011. Ia juga aktif di DOT Workshop, yang berfokus pada penelitian tektonika, dan Perpustakaan OMAH, kelompok penelitian dan perpustakaan umum yang menampung sekitar 1.500 buku arsitektur dan menyelenggarakan publik berkala acara tentang wacana arsitektur kontemporer. Ia menulis
beberapa buku bersama dengan Johannes Adiyanto, bersama-sama menjadi cantrik yang haus akan ilmu. Realrich Sjarief aktif mengajar di beberapa universitas di Indonesia, dan kerap kali memberikan kuliah umum di Australia, Singapore, Filipina, India. Bersama RAW Architecture ia memenangkan beberapa kompetisi desain, termasuk Kompetisi Galeri Nasional Indonesia, finalis dari Museum Silaban, IAI Jakarta Award di tahun 2017 dengan karya Omah Library, Finalis World Architecture Festival Award 2018, Fibra Award 2019, dan Kohler Award 2018 untuk karya Sekolah Alfa Omega. RAW Architecture di tahun 2018-2019 adalah long listed world emerging architect. Baru-baru ini RAW Architecture juga mendapatkan nominasi Emerging Architect di Asia Pacific Design Award 2020.
Penyunting Buku
Satria Agung Permana
Satria A. Permana is currently working at OMAH Library, observing and researching architecture discourse in Indonesia. He graduated from the school of architecture in Universitas Islam Indonesia. His thesis about “Recoding the Code’s Urban Kampong”, has led him to put his concern on developing urban kampong design language, which also aided him to gain several prizes in architecture and urban design competition such as merit award in FuturArc Prize 2019 and nominated in Student Charrette World Architecture Festival 2016. Besides architecture and design, he spends half of his life observing the worlds in writings and photography which could be found at http://www.medium.com/@satriaap. In 2020, he co-authored with Realrich Sjarief a book titled The Secret of Architect’s Life. He is available to reach by email at satriaap@live.com or Instagram @satria__ap.
Amelia Mega Djaja
Amelia Mega Djaja adalah salah satu periset dan pustakawan OMAH Library, pernah terlibat dalam penulisan buku berjudul “Craftgram: Craft + Grammatology” dan “Alvar Aalto: The Magic of Architect’s Life,” dan juga sebagai koordinator Kri(s)tik Book Club 2019. Lulus dari S1 jurusan arsitektur pada tahun 2016 dari The University of Sheffield, dengan disertasi mengenai narasi arsitektur poskolonial di Jakarta tahun 1960an.
Sebelum bergabung di OMAH, Amel memiliki pengalaman bekerja selama 3 tahun sebagai desainer, antara lain dalam proyek Alun-Alun Cicendo Bandung (2017, di bawah Florian Heinzelmann), juga sebagai koordinator tim Sayembara Kantor Bupati Sleman yang mendapat juara 2 (IAI 2018, di bawah Ary Indra).
Menurutnya, arsitektur bisa menjadi medium dalam melakukan pembacaan dan analisis mengenai kultur, sejarah, lingkungan maupun dimensi sosial yang lebih luas. Karena ketertarikannya untuk mendalami hal tersebut, saat ini Amel juga merupakan salah satu pegiat ASF-Indonesia yang aktif dalam fasilitasi dan diskusi mengenai komunitas informal kota Jakarta.
Tim Omah Library : Redaksi

Kirana Ardya Garini
Lulus dari jurusan Teknik Arsitektur pada tahun 2017, Kirana A. Garini memiliki pengalaman bekerja di konsultan arsitektur PT Tripatra Konsultan di Yogyakarta yang khusus menangani proyek pemerintahan.
Kirana sempat bergabung dalam Housing Resource Center Yogyakarta dengan fokus penanganan kampung kota Kali Code Yogyakarta dengan output berupa profil kawasan.
Kirana senang bereksperimen dengan desain produk, khususnya yang dapat digunakan di ruang publik. Ia pernah membuat Pringgam (pring-gamelan), prototipe produk bermain bagi anak usia SD di taman kota Surabaya, berbahan bambu, memadukan sistem alat box musik dan gamelan. Produk tersebut sengaja didesain untuk beberapa penggunan sebagai tanggapan atas minim nya interaksi sosial anak di kota urban yang cenderung terikat pada gadget mereka. Karya tersebut mendapat penghargaan juara 1 pada sayembara Play MORPH yang diselenggarakan oleh Departemen Arsitektur ITS, Surabaya bersama dengan 2 orang dalam timnya.
Kirana sangat tertarik dengan arsitektur untuk publik, yang mengutamakan kesehatan dan kenyamanan masyarakat luas, desain universal, multi dimensi dan multi disiplin, serta bersinggungan dengan kebijakan publik, politik, dan ekonomi.
Selama di OMAH Library, Kirana terlibat dalam berbagai riset yang diantaranya diterbitkan dalam bentuk buku, seperti: Methodgram, Craftgram, Sejarah Arsitektur untuk Mahasiswa, dan yang terbaru, buku Alvar Aalto: the magic of architects life. Kenal lebih dekat dengan Kirana melalui Instagram @kiranaardya atau LinkedIn Kirana Ardya Garini.

Dimas Dwi Mukti Purwanto
Dimas Dwi Mukti Purwanto, lahir di Madiun 7 Maret 1996. Lulus dari Akademi Teknik Arsitektur YKPN Yogyakarta tahun 2018 dan sekarang sedang melanjutkan studi S1 di Universitas Mercu Buana Jakarta untuk melanjutkan cita – citanya.
Beberapa pengalaman yang mempengaruhi pemikiran Dimas adalah ketika menjadi volunteer yang bertugas sebagai tim riset Venice Architecture Biennale 2018 bersama tim pavillion Indonesia pada tahun 2017, ketika menjadi tim desain revitalisasi desa Krapyak di Pekalongan bersama Studio Akanoma dalam mendampingi World Bank pada tahun 2018, dan ketika mendapatkan kesempatan untuk menjadi juru gambar PT. Waskita Karya dalam proyek tol Pemalang – Batang pada tahun 2018. Kemudian Dimas juga pernah bekerja di PT. Kreasi Nusa Studio sebagai desainer interior dimana banyak mengerjakan proyek – proyek kantor, residensial hingga komersial sepanjang tahun 2019. Untuk saat ini Dimas sedang belajar dan bekerja sebagai pustakawan dan juga periset di Omah Library. Salah satu prestasi yang pernah Dimas raih adalah juara 3 dalam kompetisi desain ruang publik yang bertema Unexpected Space di tahun 2018.
Dimas adalah orang yang tidak pintar – pintar amat namun memiliki keinginan yang kuat untuk bisa membanggakan bangsa Indonesia sebagai arsitek yang baik sehingga hal itulah yang selalu membuatnya mendapatkan motivasi untuk terus belajar dan belajar lebih dalam lagi.

Hanifah Saussan
Hanifah Sausan Nurfinaputri lahir dan tumbuh besar di Magelang, kemudian pindah ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan arsitektur di Universitas Gadjah Mada yang diselesaikannya pada tahun 2019 dengan tugas akhir perancangan sekolah alam.
Sebelumnya, Hanifah pernah mengikuti exchange program Japan in Today’s World oleh Universitas Kyushu pada tahun 2018-2019 di mana ia banyak belajar mengenai budaya, masyarakat, dan keberagaman. Pengalaman tersebut memberinya sudut pandang berbeda dalam melihat dunia di mana arsitektur ternyata hanya salah satu “kacamata” saja. Meski begitu, ia tetap ingin berkontribusi pada bidang arsitektur sehingga belum lama ini ia bergabung dengan OMAH Library sebagai salah satu periset dan pustakawan. Di waktu luangnya, ia lebih suka belajar mengenai dunia melalui film, drama, buku, atau media seni lainnya. Hanifah bisa dihubungi melalui upak.upik@gmail.com atau Instagram @hanifahsausann.
Refleksi
Terima kasih saya haturkan untuk Alvar Mensana selaku kepala jurusan UPH pada saat mata kuliah ini diajarkan, rekan – rekan pengajar yang tersebar di Indonesia, untuk sebuah semangat berbagi. Keseluruhan pedagogi ini terbuka untuk dielaborasi terkait dengan pengembangannya yang berkelanjutan. Juga tidak lupa untuk Anas Hidayat dan Johannes Adiyanto untuk tulisan refleksinya di dalam buku Arsitektur Berkelanjutan untuk Mahasiswa.
Pentingnya Riset | Welcome
Hi Restless Spirits, Hope you are doing great,
Riset menjadi hal yang penting sebagai awalan mendesain dimana ada proses sadar(mudheng), kritis, menelaah data, memahami persoalan, kemudian melakukan iterasi (implementasi dan eksperimentasi).
Untuk para praktisi, riset berguna sebagai pembatas dan pembuka batasan sehingga batasan – batasan tersebut mudah dipahami dan kemudian diadaptasikan ke dalam realita perancangan yang baru.
Untuk para akademisi riset ini bisa berguna untuk jembatan teoritikal praktik dan kasus studi yang realistis. Sehingga pembahasan – pembahasan selanjutnya bisa dilakukan dengan kontekstual, kritis, dan kreatif.
Keduanya dipahami sebagai jalan untuk membuka sekat – sekat pemikiran, sehingga menghidupkan inovasi dan peningkatan kualitas proses dan produk arsitektur di praktik kami dan juga kontribusi kami untuk arsitektur di Indonesia.
Riset ini dibuat dan dipersiapkan dengan kolaboratif oleh para kontributor yang tertera di bawah dimana teori dan pembahasan yang berjarak (distance discourse) disiapkan oleh Omah Library dan studi taktis dan praktis (direct discourse) disiapkan oleh RAW Architecture.
Hal ini dilakukan dengan inspirasi yang datang dari begitu banyak intelektual yang menyumbangkan pemikirannya di Omah Library dan RAW Architecture langsung dan tidak langsung dan dalam rentang waktu yang panjang dimana mereka adalah klien, pengajar, penulis, kolega, adik, kakak, orang tua, dan teman kami.
Kedua kutub tersebut menjadi kutub otak kanan dan otak kiri yang menyeimbangkan. Kita semua masih berproses untuk bertransformasi dan memaknai hidup sebagai satu hal yang sementara, setiap titik dan detik pertemuan menyalakan bara api untuk proses dan progress.
Oleh karena itu selamat membaca, dan bertransformasi bersama, Yuk !
Salam,
Realrich Sjarief