Kategori
blog - loving years - context before loving Laurensia

Geek | Non Mainstream High School Group

2004, Sekolah Menengah Umum Katolik Sang Timur – Jakarta

Waktu saya masih belajar di sekolah menengah atas saya memiliki guru les fisika yang sama dengan Laurensia, namanya pak Harry. Saya ingat pada waktu saya suka sekali bermain tenis meja setiap dua minggu satu kali saya menghabiskan waktu untuk pulang lebih sore. Terkadang, saya terlambat mengikuti les tersebut ataupun malah saya absen mengikuti kelas tersebut. Akibatnya Laurensia harus mengikuti tes tersebut selama hampir empat jam. Ia masih terkadang mengingat hal tersebut. Meski demikian, saya tidak terlalu ambil pusing dengan les tersebut asal saya masih bisa bermain tennis meja sampai – sampai saya seringkali di rumah main tennis meja dengan guru fisika tersebut, dan menunda belajar di hari itu.

Kami berdua ada di kelas yang sama, 3 IPA1. Di waktu itu Laurensia memiliki pasangan dan saya adalah orang yang cukup bebas berteman dengan banyak orang yang tidak memiliki kecenderungan pada satu golongan apapun dalam pertemanan. Dan saya tidak memiliki pasangan pada saat itu. Saya punya kebiasaan untuk datang terlambat dan pulang terlambat. Hal itu saya lakukan karena saya senang untuk memaksimalkan waktu, entah itu untuk berdoa dulu di pagi hari, bersosialisasi, ataupun sekedar rileks di luar pelataran sekolah. Suster kami, suster josephine sampai bilang

“kamu sudah tau datang terlambat masih sempat – sempatnya ke gereja, kalau kamu mau ke gereja datang lebih pagi.”

Pada waktu itu murid – murid yang terlambat mendapatkan tugas untuk lari mengelilingi lapangan sesuai berapa menit dia terlambat, satu menit untuk satu kali keliling lapangan. Setelah itu kami ditugaskan untuk menyiram tanaman dan menjaga perpustakaan. Saya tidak pernah keberatan untuk menjalani hukuman seperti itu. Pada waktu itu saya pulang pergi naik motor tornado hitam, warisan dari kakak saya. Motor itu sudah di tune – up sampai konsumsi bahan bakarnya boros sekali. Terkadang saya lupa isi bensin, ya jadinya motornya mogok. Di luar semua hal tersebut, saya bisa membuktikan bahwa saya berprestasi dan menjadi satu – satunya anak yang mendapatkan nilai 100 untuk pra ebta di matematika dan 95 untuk fisika. Tapi saya tidak pernah ambil pusing untuk menjadikan nilai menjadi tujuan utama, setiap malam jam 7-9 malam saya akan mengurung diri di kamar dan berlatih entah itu hapalan, ataupun eksakta. Sisanya saya akan bermain – main seperti biasa.

Kelas tiga IPA satu adalah kelas yang cukup unik karena ia berisi anak anak yang kutubuku tidak memiliki hubungan sosial yang luas terkadang ada yang Introvert telepon lebih lebih simple nya kumpulan anak anak yang tidak populer. Namun pada waktu itu banyak ide brilian muncul dari ketidak populeran, terkadang ide – ide absurdpun muncul. Salah satunya ide foto kelas, anak pria memakai rok dan anak wanita memakai celana. Hal yang membuat heboh satu sekolah karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut membuat wali kelas kami Bu Meka marah besar. Akhirnya kami harus take ulang, pada waktu itu kami juga marah, karena itu foto ulang dilakukan dengan tema yang kami usulkan yaitu narapidana.

Ini dia wali kelas kami, namanya Dra. Meka Dewi Implasia.
3 IPA 1, kumpulan yang saya sebut “Geek | Non Mainstream High School Group”,
Kelas tiga IPA satu adalah kelas yang cukup unik karena ia berisi anak anak yang kutubuku tidak memiliki hubungan sosial yang luas terkadang ada yang Introvert telepon lebih lebih simple nya kumpulan anak anak yang tidak populer. Namun pada waktu itu banyak ide brilian muncul dari ketidak populeran, terkadang ide – ide absurdpun muncul. Salah satunya ide foto kelas, anak pria memakai rok dan anak wanita memakai celana. Hal yang membuat heboh satu sekolah karena belum pernah dilakukan sebelumnya.

Begitupun dengan balada monyet, drama musikal yang kami buat secara instan dengan perlengkapan seadanya. juga menuai gelak tawa dengan penuh keanehan. Ternyata kumpulan orang – orang aneh bisa membuat keributan.

Hidung sapi itu terbuat dari kotak obat ibu saya, dan tanduknya dibuat kawan saya dari bola sepak yang dibelah dua. Saya sibuk di belakang, mengatur suara, musik, dan hanya berperan sebagai awan ketika kera sakit membutuhkan awan tersebut untuk ke tempat – tempat yang ia tuju.

Kadang – kadang kami pergi ke pantai atau ke gunung, bermain sepak bola ataupun nonton ataupun makan bersama.

Hal – hal yang terjadi di kelas ini berlangsung secara spontan yang kadang – kadang cukup absurd juga, mungkin karena kami di cap dan memiliki karakter gerombolan orang – orang aneh. Jadinya kami tidak terbeban dengan tekanan sosial untuk memiliki stereotipe kelompok tertentu.

Sampai saatnya kami semua lulus dan saya mengambil ujian di universitas negeri. Laurensia sendiri diterima di Trisakti mengambil kedokteran gigi dan saya diterima di ITB dalam jurusan Teknik Arsitektur Bandung. Otomatis saya tidak bertemu lagi dengan Laurensia.

Kami menjalani kehidupan masing – masing. Saya kehilangan kenangan akan kelas 3 IPA 1, sekumpulan orang aneh dan kenangan saya untuk menjadi tidak sempurna dan bermain – main setiap harinya.

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar