Kategori
blog

1% Cendol by Alhamdamar Mudafiq

Siang itu saya menikmati waktu lenggang yang tidak seberapa di sebuah warung sebelah kantor, yang, dijuluki Si Benteng oleh para penghuni-nya. Saya anak baru, saya cuma magang disana, beruntungnya saya masuk awal bulan Mei saat si Benteng baru dilahirkan dan mulai dihuni sebagaimana fungsinya. Walaupun, belum sepenuhnya bisa merangkak bahkan berjalan. Kami penghuni-nya yang menuntun adek Benteng kemudian memberinya tirai pada bagian tubuhnya yang tersengat panas matahari, menghiasnya dengan pernak-pernik agar sang adik terlihat menarik untuk para tamu yang silih berganti berkunjung untuk menengoknya.Ya Seperti yang saya bilang, saya cuma anak baru. Baru kenal bapaknya, ndoro Sugih. Baru dapat kepercayaan dari beliau untuk turut menuntun anaknya yang baru lahir, mengisi ruang dalam rekam jejak hidupnya nanti. Itu kenapa saya lebih sering keluar dibanding penghuni si Benteng yang lain. Saya masih ingin kenal si Benteng lebih jauh, mulai dari mengamatinya dari warung sebelah, dari pos satpam perumahan, atau dari depan rumah tetangga yang berada di seberangnya. Warung sebelah, tempat yang paling sering saya kunjungi untuk menatap si Benteng. Kadang pagi sebelum mulai masuk kantor, kalau lagi datang pagi, saya mampir untuk seruput kopi panas sambil ngudud. Duduk diam, termenung di bale kayu depan warung yang tak beratap. Dari sini sesekali menyipitkan mata kalau menatap lurus pada pucuk-pucuk pelindung kepala si Benteng. Pucuk-pucuk penangkal petir yang gagah menusuk lagit seperti menantang dunia tempat ia dilahirkan.

Dari sini juga terlihat topi-topi cerobong udara/cahaya si Benteng yang begitu lugas berkata, kalau mereka berfungsi dengan baik memberi cukup penerangan alami untuk si Benteng. Memberi cukup ruang untuk melepas udara panas yang mengganggu si Benteng. Sementara dari warung ini juga, komentar para tetangga tentang si Benteng sering jadi perbincangan yang menarik. Pemilik warung, lebih banyak berkomentar tentang proses kelahiran si Benteng. Menurutnya prosesnya sangat panjang, kurang lebih menghabiskan waktu selama tiga tahun. Dia banyak bercerita tentang pengalamannya mengamati proses tersebut. Yang selalu jadi pertanyaan untuknya adalah, bagaimana nanti rupanya si Benteng ; kapan hari kelahirannya . Tapi yang paling penting, pertanyaannya sekarang saat si benteng sudah resmi terlahir di dunia dan mulai bisa berinteraksi. Si pemilik warung punya pertanyaan, si Benteng sudah lahir .Seorang ibu pemuilik kontrakan di sebelah warung pun sesekali menanyai saya tentang si Benteng. Mas, bapaknya si Benteng suka matematika ya Anaknya kok bisa berwujud seperti itu Kayak rumus matematika, ya Saya ngeliatnya kayak ada bentuk kerucut, tabung, dan bidang bidang masif yang tegas .

Sementara saya Cuma bisa tersenyum, mengiyakan komentar sang ibu pemilik kontrakan itu. Tak lama setelah meresponnya, bapak tua penjual cendol yang mengaku tiap kamis lewat di samping tempat si Benteng bersemayam menyambar komentarnya.Katanya, bapaknya seorang arsitek ya Si ndoro Sugih Tenanan itu, kan Kok anaknya seperti itu ya Buat saya gak menarik, Mas. Kita kan butuh warna untuk memanjakan mata.Kalau warnanya hijau, pasti saya suka , ujar bapak tua penjual cendol sambil meninggalkan gerobak pikul cendolnya, lalu duduk di sebelah saya

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar