Kategori
99 percent blog

Rumah Sang Penghuni Waktu by Rifandi Septiawan Nugroho

“Ko disuruh makan dulu ko…”

Aku tersenyum tiap kali mendengar bibi memanggil kak Rich (panggilan akrab untuk Realrich Sjarief) dengan teriakan setengah sungkan dari luar ruangannya yang luasnya kurang lebih 9 meter persegi di ujung depan garasi rumah orang tuanya, kantor lama RAW. Dengan tampak lusuh karena baru pulang meeting dengan klien, ia menjawab “iya sebentar”. Biasanya teriakan itu terdengar di sela-sela waktu kak Rich sedang berdiskusi dengan Miftah dan Tatyana (duo design associate di RAW), sedang asistensi dengan salah satu desainer, atau sedang membicarakan hal penting dengan kami semua. Tak jarang diskusi berlangsung hingga larut malam, ia pun baru beranjak makan setelah semua urusan selesai dibicarakan. Tanpa sadar satu dua jam telah berlalu sejak panggilan makan malam pertama dari si bibi.

“Ko disuruh makan dulu ko…” Lagi-lagi bibi memanggilnya. Wajah muram mulai tampak perlahan dari rautnya.

Sedari sulitnya memenuhi panggilan makan malam bersama keluarga saja bisa dibayangkan betapa padatnya aktivitas yang dilaluinya. Kesehariannya dihabiskan dengan berkutat pada waktu – tenggat proyek, tanda tangan kontrak, meeting, terbang dari satu kota ke kota lain, cek progress pekerjaan lapangan, dan terkadang harus memenuhi undangan kuliah di kampus-kampus. Pada hari Sabtu dan Minggu juga masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, beragam agenda di perpustakaan OMAH Library mungkin baginya adalah relaksasi dari aktivitas proyek yang melelahkan. Lalu apakah itu berarti rumah baginya adalah sekedar ruang untuk transit? Menjadi tempatnya untuk pulang dan beristirahat setelah terpental-pental dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat. Kemudian harus bangun lebih pagi untuk melakukan aktivitas serupa setiap harinya.

Mari melihat dari apa yang terjadi di dalam rancangan rumah barunya. Ketika pertama kali ditanya, kenapa rumah ini dinamakan “The Guild”? Sederhana saja jawabnya, itu hanya terinspirasi dari istilah yang ada di video game, sebutan yang digunakan untuk perkumpulan. Ia pun berangan-angan rumahnya adalah tempat yang terbuka untuk orang dapat berkumpul, baik untuk bekerja, berdiskusi, dan beragam kegiatan dengan niat baik lainnya. Ia mengimpikan sebuah bangunan yang compact untuk merangkum semua kegiatan yang diperlukannya. Maka tidak perlu heran, implikasinya adalah tanah yang seluas sekitar 650 meter persegi, dengan luas bangunan sekitar 420 meter persegi, dua per tiga dari bagian massa bangunannya didedikasikan untuk publik – kantor, workshop, omah, halaman luas untuk diskusi, dan klinik dokter gigi istrinya. Sementara untuk ruang hunian sendiri, hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi utama. Kamar tidur bibi (asisten rumah tangga) diletakan sejajar dengan kamar tidur utama, didesain memiliki skylight yang menjadikan kamar terkesan megah. “Bibi harus dapat tempat yang spesial”, katanya.

Banyak kejadian menarik, baik sebelum pindah atau selama aku menghuni di rumah ini. Pada saat masih dibangun misalnya, tentang proses membuat geometri aneh yang ada di studio, sempat terlintas pertanyaan dari kepalaku bagaimana bisa muncul bentuk lengkung dan lingkaran dan untuk apa itu dibuat? Semuanya terjadi dengan improvisasi dan eksekusi di lapangan, dengan gambar kerja seadanya. Ide-ide muncul karena keinginan untuk menantang para tukang yang sangat lihai. “Mereka semua itu orang pinter, kalau tidak dikasih pekerjaan yang rumit mereka akan bosan”, begitu kata kak Rich. Bentuk akhir bangunan ini terkesan campur aduk. Para tukang pun puas dengan apa yang dikerjakannya.

Setelah menghuni pun demikian. Tidak hanya bentuk yang membingungkan, begitu juga program ruangnya. Aku terheran-heran jika teringat tentang bibi pernah terkunci setelah selesai dari kamar mandi tengah malam. Kamar mandi ini letaknya jauh dari kamar bibi, ada di sisi terluar ruang kantor yang ada di lantai satu, sedangkan kamar bibi ada di lantai dua. Bibi malam itu menangis, sembari aku kebingungan dalam hati, apa pentingnya skylight yang megah kalau bibi lebih butuh kamar mandi gumamku. Bukan kali pertama aku mendengar keluhannya, aku pun sempat tertawa waktu bibi masak di dapur dan kebingungan harus meletakan masakan yang baru matang dimana. Maklum, dapurnya sangat kecil, kitchen setnya hanya cukup untuk satu kompor dan satu kitchen sink. Akhirnya, meja tambahan pun ditambahkan. Bibi pun memaafkan kami yang malahan mengunci ruangan kantor malam itu tanpa ingat dia ada di kamar mandi. Rumah itu memang tempat untuk berbagi cerita lucu bukan?

Aku, sebagai salah satu penghuni rumah yang lain ini sengaja menghindar dari rayuan bentuk kurvatur, lingkaran, kastil. kotak, coakan, dan berbagai geometri yang bercampur aduk di dalam rumahnya karena tidak cukup penting bagiku keberadaannya. Hal yang lebih menarik bagiku justru adalah pertanyaan, untuk apa itu dibuat semacam itu? Jawabannya tidak lebih dari pemaknaan-pemaknaan yang dikarangnya sendiri. Bentuk lingkaran baginya adalah kesempurnaan, kurvatur baginya adalah bukaan yang seperlunya, berundak baginya adalah tumpangsari, undakan di tiap pintu masuk baginya adalah berhati-hatilah ketika masuk ruangan, lantai dan dinding yang difinish acian baginya adalah pietra serena dan stucco lucido, susunan grc melayang pada dinding adalah representasi dari strange details dan yang menarik adalah saat ditanya apa maksud dari bentuk menyerupai kastil? Jawabannya adalah tanpa intensi apapun tiba-tiba menjadi seperti itu. Menariknya, segala ledakan geometri yang ada di dalam bangunan yang sudah sulit-sulit dibuat itu malahan berusaha ditutupi dari bagian luar agar tidak mencolok jika dilihat tetangga dengan menggunakan beberapa material tambahan. Maka bagi saya rumahnya adalah implikasi dari ambisi pribadi, angan-angan yang belum tercapai, dan juga harapan bersiratkan sejuta makna yang tentunya mengandung kebaikan yang diimpikannya.

Sebagai seorang arsitek muda yang kehidupannya berkutat dengan tekanan waktu (dan tentunya masih ada keinginan untuk terus berkembang), rumah ini adalah candu bagi dirinya. Semua hal yang telah dirancangnya memang sengaja untuk dilihat dari dalam, refleksi bagi dirinya melihat beragam eksperimentasi dalam karya yang dihuni sendiri. Ia berusaha untuk jujur tidak menutupi segala proses yang telah dilalui dalam membangun rumah ini, baik ketercapaian maupun kegagalan. Dialog dengan tukang pun masih berlanjut hingga hari ini. Rumah ini tidak akan pernah selesai, sampai tidak ada lagi masalah yang muncul. Ketika ia sudah menyadarinya, pastinya ia orang yang sudah banyak belajar dari kejujurannya. Ia menularkan kejujuran itu kepada kami, para penghuni rumah yang lain untuk terus belajar tanpa takut bereksperimentasi.

“Yaal, makan dulu yuk…” Bibi mulai kelelahan memanggilnya. Terpaksa Kak Yudith menggantikannya. Dengan panggilan suara lembut khas dirinya biasanya membuat Kak Rich takluk dan segera beranjak dari aktivitasnya.

“Iya-iya, sebentar ya…” Jawabnya. Akhirnya ia beranjak masuk untuk makan sambil berkata santun pada kami, “Saya makan dulu ya…”

Perlu diakui, terpaksa aku pun harus menyebut diriku “penghuni yang lain” rumah ini, lantaran waktu yang ku habiskan di the guild lebih banyak ketimbang di rumahku sendiri. Lebih dari dua belas jam ku habiskan di sini. Cukup njelimet memang membicarakan perihal rumah, apalagi tentang rumah arsitek. Tak terasa ini sudah pukul satu pagi. Seharian kuhabiskan waktuku di rumahnya sampai-sampai aku kesulitan mencari waktu untuk diriku sendiri, paling tidak membicarakan tentang rumahnya itu. Aku harus segera pulang ke rumahku dan harus segera menyelesaikan seluruh tulisanku. Aku ingin segera beranjak ke ranjang tidurku.

*ditulis di rumahku*

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s