Kategori
blog lecture

Refleksi Hunian Layak dan Berkeadilan

Bagi saya kegiatan menulis, mendesain, dan sharing di tengah-tengah kesibukan menjadi penting sebagai wadah refleksi, Bagi saya refleksi merupakan catatan personal yang membuat saya dan team terus berkembang. Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 31 Oktober 2023, saya diberi kesempatan oleh Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan, DKI Jakarta untuk menyumbangkan beberapa pemikiran di Webinar Bicara Kota, dengan tema “Hunian Layak dan Berkeadilan. Disana saya bersama dengan kawan -kawan saya bu Hanna Meiria, Kamil Muhammad, Yu Sing, dan pak Ambia Kamil sebagai moderator kami.

Sesi-sesi diskusi menjadi menarik, karena dari mereka saya banyak belajar. Dari presentasi bu Hana, beliau menjelaskan bahwa perencanaan kota itu sifatnya inklusif dan punya banyak dinamika yang tidak mudah, tapi Jakarta terus bertransformasi dan membuka diri terhadap perubahan. Presentasi Kamil Muhammad menjelaskan being aktif is very important untuk menembus batas-batas sekat yang terjadi di Jakarta, bahwa didalam sejarah banyak sekat-sekat yang tercipta secara ekosistem, tinggal ada kemauan dari arsitek untuk bisa menembus batas. Dan presentasi Yusing menjelaskan bahwa prototype terus diperjuangkan, kekritisan perlu terus dibangun, dan usaha untuk merajut elemen-elemen teknik arsitektur kedalam sebuah kenyataan yang nyata terjadi itu menjadi suatu perjuangan hingga sekarang.

Saya sendiri mencoba menyumbangkan sudut pandang yang berbeda. Dari apa yang saya refleksikan, saya mencoba melihat dengan kacamata yang lebih luas, bahwa semua pihak di Jakarta itu perlu konsensus dari sebuah tim. Maka dari itu kita perlu berdiskusi intensif di dalam waktu dan sumber daya yang terbatas. Semoga kita yang duduk disini bisa bertemu lagi ya pak @ayikamil, bu @hannameiria, @_kamilmuhammad, dan @iniyusing take care dan sama2 terus berkembang lagi ke tahap selanjutnya.

Menurut saya, webinar tersebut merupakan perbincangan mengenai bagaimana cara melakukan perencanaan kota dan arsitektur yang inklusif dan saling membangun. Kuncinya bukan berada di para aktor, yang pada akhirnya bekerja sendiri-sendiri. Akan tetapi, peran para aktor menjadi penting di dalam pembentukan tim khusus yang akan mengawali perumusan profil perumahan dan permukiman. Perumusan profil perumahan dan permukiman ini sendiri juga sangat terkait dengan negosiasi banyak elemen. Elemen-elemen yang dimaksud berkaitan dengan kepercayaan publik, program, agenda-agenda politik dan ekonomi, hingga perumusan dari para ahli yang nantinya akan berperan di dalam sisi keteknikan dan manajemen sebuah proyek.
.
Refelksi tersebut berangkat dari pertanyaan-pertanyaan,

  • Seberapa penting tim dalam perumusan profil perumahan dan pemukiman?
  • Apakah kondisi kota saat ini siap dengan perumusan tersebut?
  • Belajar dari negara maju, Bagaimana dengan proses di negara berkembang?
  • Tatanan kota sebagai wadah semua orang?
  • Tatanan kota yang kontekstual?
  • Bagaimana dengan kami?

Seberapa penting tim dalam perumusan profil perumahan dan pemukiman?

Hal tersebut berkaitan dengan negosiasi elemen-elemen yang berkaitan dengan kepercayaan publik, program, agenda-agenda politik dan ekonomi, hingga perumusan dari para ahli dalam sisi keteknikan dan manajemen sebuah proyek. Dalam prosesnya perencanaannya tim ahli berperan menghubungkan dan merencanakan keberlangsungan perumusan profil perumahan, hingga menjadi proses yang inklusif.

Ada 7 parameter yang perlu diperhatikan untuk elaborasi sistem yang inklusif. Parameter tersebut adalah

  1. Perizinan
  2. Pengadaan Lahan
  3. Infrastruktur
  4. Pengadaan Fasilitas Umum
  5. Manajemen Proyek
  6. Ketersediaan Material
  7. Manajemen Keuangan

Apakah kondisi kota saat ini siap dengan perumusan tersebut?

Kekayaan elemen di dunia membuat dunia ini sangat beraneka ragam (diverse). Namun, di dunia yang beragam ini, apa yang bisa dijadikan pegangan? standar minimal lah jawabannya. Dalam skala makro perkotaan yang paling mungkin untuk dipegang adalah standar minimal luasan.

Hal tersebut juga hasil dari refleksi tekanan kepadatan kota yang terus melonjak. Seperti apa yang terjadi di kota padat penduduk seperti India dan Singapura. Pengali luasan apa yang kita temukan di dalam konsensus yang kita punya, per orang itu bisa sampai 12 m, bisa dikali 3 sampai 5.
.Banyak strategi dan inovasi yang terus dipikirkan secara repetitif hingga, yang justru hasil kontribusi sektor privat.

Strategi untuk memenuhi standar kelayakan pada ruang yang terbatas?


Meminjam gagasan bahwa kita memiliki lahan terbatas, sumber daya terbatas. Parameter ini terjadi di banyak tempat yang padat di negara maju, dimana banyak pihak berjibaku untuk mendesain ruang-ruang yang secara filosofi memiliki kelayakan yang sangat baik.

Ada 4 efisiensi yang bisa dilakukan di dalam memanajemen desain:
1.Biaya yang efektif
2.Material yang lokal
3.Layout yang fungsional & didiskusikan secara intensif
4.Peralatan yang hemat energi dan efisien

Tetapi itu banyak terjadi justru di sektor privat. Jadi privat sektor itu banyak menyumbangkan inovasi, baru kemudian diadopsi sebagai sebuah sistem public housing.

Inovasi tersebut kemudian diadopsi secara makro dan mikro di dalam ranah sektor privat. Sebagai contoh Muji Prefab House menawarkan proses dari hulu ke hilir dan prototipe modul-modul, bahkan hingga ke detail furnitur. Desain menjadi jalan keluar yang kreatif, kritis, dan khas. Berkaca dengan kekayaan pengetahuan ketukangan di Indonesia, hal tersebut menjadi titik gravitas yang strategis dan khas.


Salah satu gagasan yang Terbentuk adalah berjibakunya pihak privat untuk mengisi gagasan perencanaan yang baik. Dalam kasus ini kapling berukuran25 m2 disusun 3 lanta dengan luasan 75 m2 untuk 1 keluarga. Dan ada kemungkinan di sekat- sekat menjadi rumah untuk 3 keluarga. Gagasan ini didukung dengan desain furnitur yang terintegrasi untuk memasyarakatkan bahwa good desain itu penting menjelaskan bahwa memang keterbatasan itu nyata terjadi, jadi disini desain berfungsi sebagai jalan keluar yang memliki kekhasan, kreatif, sekaligus kritis.

Dikombinasikan dengan kombinasi ketukangan menggunakan struktur kayu laminasi untuk mencapai penggunaan material yang berkelanjutan dengan melestarikan budaya ketukangan kayu. Hubungan antar ruang dihubungkan dengan struktur ringan knock-down dan modular.

Bagaimana dengan proses di tempat lain?


Jika merunut pada sejarah, gagasan ini sebenarnya sudah dikembangkan di Tokyo sejak tahun 1970 oleh Fumihiko Maki, yaitu Collective Form. Konektifitas antar program dalam satu tatanan kota layaknya sebuah sel yang membentuk metabolisme kota. Berbagai macam skala parsial green space dalam kota pun dapat dihubungkan, salah satu contoh dalam skala nasional adalah tata kota Washington dan Canberra Plan. Batasan ruang hijau, privat, residensial, bahkan hingga komersial dapat dileburkan menjadi satu tatanan kota yang harmonis dan integratif.

Jika melihat Kampung Admiralty, Singapura yang dirancang Woha Architect, integrasi antara ruang privat dan publik, ruang dalam dan luar, dan ruang hijau, menjadi strategi perumahan kota yang integratif, hijau dan fungsional. Namun jika dirumuskan, menurut saya pembentukan ruang yang integratif memerlukan kombinasi dari hal yang mewakili 4 kuadran Nous yang sebelumnya didiskusikan di OMAH Library:

1.Tempat peribadatan (sophia)
2.Tempat berkesenian (techne)
3.Perpustakaan (episteme)
4.Pusat komunitas (phronesis)

Gravitasi dari 4 kuadran ini memunculkan budaya yang mereduksi gentrifikasi, dan mengkoneksikan program kota. Kolaborasi dan konektifitas tersebut menjadi identitas dasar dari kawasan.

Tatanan kota sebagai wadah semua orang?


Jika mungkin secara kontekstual proses negara berkembang terlalu berjarak dengan proses di Indonesia yang begitu banyak kompromi, maka tatanan kota Barcelona menjadi salah satu contoh yang tepat. Tarikan garis formal kota Barcelona memiliki kompromi dalam koneksi ruang publik dan komersial. Hal tersebut memungkinkan kota semakin terbuka, terhubung, inklusif, dan adaptif. Perjuangan tersebut tidak hanya berhenti pada perancangan massa dua dimensi, tetapi secara tiga dimensi pun integrasi dalam program ruang, dapat meningkatkan kualitas dan potensi perkembangan kota.

Tatanan kota yang kontekstual?


Value di Inodesia yang bisa membentuk tatanan baru:
Ketukangan + Identitas + Budaya = Gotong Royong


Telaah lanjutan dari sistem integrasi kota adalah melihat bagaimana lapisan kapital dari luar daerah yang masuk dengan identitas budaya baru.

Melihat dari Quinta Monroy Housing yang dirancang oleh Alejandro Aravena, pembentukan secara organik justru di wadahi dengan memahami konteks keterbatasan biaya, setengah dari rangka struktural tersebut dibangun, dan setengahnya lagi dibiarkan kosong untuk potensi kedepannya. Bangunan yang efisien, tipikal, modular, dan adaptif jadi dasar perencanaan.

Perjuangan yang sama juga dapat dilihat di Masjid Turen, potensi yang di buka dengan ke khasan Indonesia memungkinkan budaya craftmenship muncul hingga ke detail, bagi mereka yang mau berjibaku.
.
Di Indonesia begitu banyak aneka ragam potensi budaya ketukangan, etnis, suku, dan lainnya untuk menyumbangkan sisi yang organik dari pembentukan tatanan kota di Indonesia.

Bagaimana dengan kami?


Saya dan tim ketukangan bambu juga melakukan perjuangan yang serupa di Piyandeling, Bandung. Dengan semangat gotong royong ketukangan, dan merancang dengan membuka diri, kita dapat ber-refleksi sampai ke ornamen bambu hanya dengan kekriyaan tukang, wawasan material, dan pemberdayaan material sisah. Perjuangan itu tidak hanya kami lakukan pada skala bangunan, di Guha the Guild, Air Quality Index menjadi refleksi terakhir saya untuk kondisi Jakarta saat ini. Kita berusaha memerangi AQI disekitar kita dengan mengunci parameter dan membuat enclosed space, air purifier, interior plantings, dan rancangan selubung untuk mereduksi tempratur ruang sampai 28-29 derajat celcius. Dari perjuangan tersebut kita dapat membuktikan dengan hasil penurunan AQI di Guha the Guild yang mencapai titik terendahnya di angka 5.

Menghadapi keadaan yang sulit dan besar, bukan berarti kita menyerah, duduk diam dan tidak melakukan apa-apa.


Eksistensial dan survival insting yang sangat materialistik menjadi sisi sebenarnya manusia. Jadi pertanyaannya untuk bicara hunian layak dan berkeadilan, apakah hanya sekedar memenuhi sandang, pangan, papan, atau lebih dari sekedar itu, seperti soal harga diri setiap manusia yang patut didengarkan. Kalau survival kita hanya butuh tenda, seperti tenda pengungsian cukup.

Tapi apakah itu yang kita harapkan ? pasti tidak. Perlu ada sebuah kesetaraan terlebih dahulu yang dasarnya adalah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, maka

kita perlu berdiskusi dan mengambil konsesus bersama tentang apa saja yang menjadi masukan di dalam tim khusus secara intensif di dalam waktu dan sumber daya yang terbatas.

Semoga kita yang duduk disini bisa bertemu lagi ya pak @ayikamil, bu @hannameiria, @_kamilmuhammad, dan @iniyusing take care dan sama2 terus berkembang lagi ke tahap selanjutnya.

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar