Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Eko Prawoto dan Desa, Metode Arsitektur Masa Depan untuk Indonesia

(English translation is available below)

Sepuluh tahun terakhir sebelum wafat, arsitek Eko Prawoto memutuskan untuk menepi ke desa. Keseharian kota yang tak pernah luput dari pembangunan dan lahan subur proyek arsitektur itu ia tinggalkan. Beliau membangun rumah baru di desa, menciptakan “proyeknya sendiri” bersama tukang-tukang yang tidak selalu ada karena disambi bertani. Kami keheranan, kok beliau mau ya ngurusin sesuatu yang tidak jelas kapan mulai dan selesainya? Saat OMAH Library berkunjung ke sana di 2023, akhirnya kami mulai paham. Di sana ada spirit yang dipancarkan, yang semangatnya menggema dengan lantang di tengah perjalanan yang sunyi, yang keras memantik di antara ruang-ruang yang terjalin lembut.

Eko Prawoto, Realrich Sjarief, dan tim OMAH Library.
Sumber: OMAH Library

Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Sebelum pindah ke desa, sejak 1988 Eko Prawoto dan keluarganya tinggal di rumah rancangannya sendiri di Bener, pinggiran Kota Yogyakarta. Rumah itu perlahan berkembang dan sebagian menjadi studio yang ia namai Eko Prawoto Architecture Workshop.

Dari sana lahir karya-karya seperti Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), dan banyak rumah seniman lainnya, serta rumah murah untuk berbagai kalangan. Di sini pula beliau mulai mendapat tawaran untuk mendesain instalasi dan perlahan meniti jalan sebagai seniman internasional.

Sejak awal, pendekatan kontekstual, organik, dan humanistik sudah mewarnai karya-karyanya baik sebagai arsitek, maupun sebagai seniman. Hanya saja, pendekatan itu menjadi semakin kuat ketika berhadapan dengan kondisi di desa yang memiliki keterbatasan akses material dan tukang-tukang terampil. Namun, di situlah Eko Prawoto meyakini adanya kecerdasan dan kreativitas tinggi untuk menciptakan sesuatu yang sederhana sebagai wujud dari sikap kematangan serta keutuhan dan harmoni dengan alam.

Kepindahannya ke Kulon Progo dipengaruhi berbagai faktor. Daerah Bener yang dahulu dikelilingi sawah-sawah dan sudah menjadi rumahnya selama 3 dekade, perlahan berubah menjadi kawasan pemukiman yang cukup padat. Namun, ia masih bertahan karena masih harus mengajar di UKDW—posisi yang sudah ia tekuni sejak 1985. Rencananya, Pak Eko ingin menjalani kehidupan yang lebih lambat setelah pensiun. Terlebih, sebagai pengajar beliau merasakan bagaimana pendidikan arsitektur saat ini cenderung berfokus pada pendekatan urban, industrial, dan kapitalistik.

“Sekarang semua kurikulum itu karakternya hanya berfokus pada urban, industri, dan kapital. Mungkin cocok buat kota, tapi perlu diingat bahwa ada desa, ada pulau-pulau kecil, yang mungkin tidak cocok dengan pendekatan yang diajarkan,” ujar Pak Eko waktu kami mengunjungi beliau di rumah desanya—barangkali lebih seperti self-reminder daripada kritik untuk publik.

Rumah Bener akhirnya hanya ditinggali sampai tahun 2014. Kantor biro arsitekturnya masih terpusat di sana, dan beliau masih terus mengajar di UKDW. Namun, di tahun itu Pak Eko dan istrinya Bu Rina memantapkan hati, pindah menjadi warga Desa Kedondong di Kulon Progo. Sejak itu, ia memposisikan untuk hadir dan hidup di desa, mengamati cara hidup masyarakatnya dengan alam.

Diskusi OMAH Library bersama Eko Prawoto di Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

“Memang proses belajar lagi,” begitu katanya. Ibarat beliau sedang mengambil disertasi S3 tentang “bahasa arsitektur yang lebih gayut di desa”. Dari situ kita bisa melihat karyanya yang semakin seimbang dan semakin mendengarkan, seperti yang nampak di kediamannya, Rumah Kedondong (yang ditempati hingga beliau jatuh sakit dan wafat pada September 2023), dan Balé Klegung (2021), warung makan tak jauh dari sana yang dikelola pribadi.

Kedua tempat ini nampak dieksekusi dengan metode desain yang sama. Secara spasial, Rumah Kedondong dan Bale Klegung memang punya karakter yang mirip: luasnya masing-masing ± 2.000 m2 dan sama-sama berlokasi di lereng tepi sungai dengan banyak pohon eksisting. Kondisi spasial yang spesifik ini direspons dengan cara berpikir vernakular, mengambil mindset masyarakat desa yang lebih mengikuti bentuk alam. Metodenya sangat kontekstual, salah satunya dengan sebisa mungkin tidak memotong pohon dan tidak mengubah kontur.

Sebagai konsekuensinya, massa bangunannya tersebar dan naik turun mengikuti kesediaan lahan. Seperti di rumah pertamanya di Bener, dan karya-karyanya yang lain, adanya pohon yang mencuat di tengah bangunan menjadi hal yang biasa. “Rumah ini muncul belakangan, sementara pohon ini sudah ada duluan. Pohonnya yang harus dimenangkan, kemudian bermain di antara ruang yang ada.”

Pekarangan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

Desainnya pun seringkali tampak tidak terencana. Program ruangnya berkembang secara organik mengikuti pertumbuhan kebutuhan, dari hunian, tempat pertemuan untuk menyambut tamu, musyawarah, atau perkuliahan, hingga guest house dan museum. Hampir seluruhnya diwadahi struktur kayu bekas dari berbagai daerah, seperti rumah Jawa Timuran dan lumbung dari Bawean yang dikumpulkan secara bertahap. Material bekas, material baru, dan apa pun yang tersedia dipadukan dan digunakan secara maksimal.

Sekilas, alam seperti menjadi elemen yang tertinggi dalam karya-karya Pak Eko. Namun, beliau justru menempatkan alam di posisi kedua dalam refleksinya selama hidup di desa. Yang pertama justru nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya agraris. “Institusi sosial, relasi sosial sangat penting di desa untuk membedakan dengan kota.”

Di desa, warga biasa membiarkan tetangganya untuk keluar masuk halaman rumah. Pekarangan tidak hanya bukan lagi ruang personal, tetapi juga ruang publik tempat warga bisa numpang lewat dan memotong akses. “(Bagi orang desa) Rumah itu adalah halaman, relasi menjadi penting,” tutur Pak Eko. Pagar di desa pun menjadi batas yang lentur, tidak pernah benar-benar tertutup. Pak Eko juga pernah menyampaikan bahwa gerbang rumahnya tidak pernah dikunci. Di kemudian hari beliau justru membuka akses baru, sebuah jembatan yang menghubungkan halaman Rumah Kedondong dengan rumah tetangga di seberangnya. Saat kami berkunjung ke sana pun, kami mendapati tetangga Pak Eko menggunakan jembatan tersebut, masuk ke halaman Rumah Kedondong, bertegur sapa sejenak, lalu melanjutkan perjalanan ke destinasinya yang entah di mana. Toleransi masyarakat desa ini barangkali sudah menjadi hal biasa di sana, tetapi sangat jarang ditemukan di masyarakat urban.

Hubungan antar-manusia menjadi elemen yang penting, tak hanya dalam praktik arsitekturnya di desa, tetapi konsisten dalam proyek-proyek Pak Eko yang lain. Beliau menjalin hubungan erat dengan semua yang terlibat dan seringkali memposisikan diri sebagai jembatan, fasilitator, pendamping. Pak Eko berkali-kali menyampaikan, kepada klien ia bertindak layaknya bidan yang membantu “persalinan”. Bangunan yang dihasilkan ibarat jabang bayi yang jelas bukan anak Pak Eko, melainkan orang tuanya sendiri alias si klien atau user yang akan menggunakan dan merawatnya selama puluhan tahun. Oleh karenanya, Pak Eko berusaha tidak memaksakan egonya sebagai arsitek. Pada proyek rumah tinggal, apalagi milik seniman yang egonya besar misalnya, Pak Eko mempersilakan klien untuk menentukan bagaimana rumah itu akan diisi, sementara beliau hanya membantu mengarahkan supaya keinginan klien terfasilitasi dengan baik sesuai sumber daya yang ada. Cara beliau memposisikan diri memberi ruang untuk relasi-relasi kolaboratif yang menantang batas-batas formal arsitek.

Di Rumah Kedondong, Pak Eko memang punya kekuasaan lebih sebagai pemilik dan pengguna, tetapi lagi-lagi ego itu ia simpan untuk memberi ruang pada tukang-tukang di desa. “Tukang-tukang di desa sebenarnya adalah petani yang di waktu luangnya menjadi tukang. Jadi, kemampuannya terbatas dan peralatannya juga seadanya,”—selain juga kesediaan waktu mereka yang sempit. Karakter tukang-tukang inilah yang kemudian banyak menentukan rupa arsitekturnya.

Pagar depan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

“Kita tidak punya resources yang banyak, jadi kalau bisa tidak usah terlalu mengolah. Jangan memotong dan menghasilkan material sisa, jadi semua habis dipakai. Makanya saya senang keramik pecah itu karena tidak ada sisa, habis.” Yang muncul kemudian adalah arsitektur yang frugal (murah dan sederhana) dan primal (awal, mentah, dasar) yang jujur. Berawal dari relasi sosial dengan tukang desa, Pak Eko diantarkan kembali pada karakter otentik desa yang lebih membumi, yang secara naluriah mengalah pada bentuk alam.

Bukan berarti arsitekturnya menjadi tidak inovatif, justru sikap mengalah ini memunculkan kreatifitas baru. Misalnya, sebuah unit kamar keluarga di Rumah Kedondong dengan struktur beton yang kolom-kolomnya terpisah perbedaan kontur. Untuk menghindari cut-and-fill berlebih, akhirnya dibuat model panggung dengan kolom-kolom yang diberi perkuatan catenary arch agar dimensinya tetap tipis. Penyelesaian desain ini mungkin biasa untuk Pak Eko, tetapi baru untuk para tukang. Karena itu, beliau tidak memaksakan hasilnya harus rapi, “(Yang penting) secara struktur benar.” Lagipula, keteraturan alam juga tidaklah seragam. “Semua punya peran, punya fungsi. Kita tidak bisa menemukan dua helai daun yang sama dalam satu pohon. Jadi berbeda. Tidak usah berarsitektur dengan ngotot, gitu.”

Mempekerjakan tukang-tukang setempat merupakan strategi yang Pak Eko pelajari dari sosok gurunya, Romo Mangun. Kegiatan membangun tidak hanya dilihat sebagai cara memenuhi kebutuhan programatik, tetapi menjadi kesempatan untuk mendukung ekonomi lokal. “Dengan membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu, sehingga dia tetap punya pekerjaan.”

Pada Rekonstruksi Desa Ngibikan pasca-gempa di Yogyakarta tahun 2006, Pak Eko bergerak erat dengan komunitas lokal. Awal keterlibatan beliau di Ngibikan adalah karena Pak Maryono, warga desa tersebut yang sudah lama bekerja bersama Pak Eko sebagai tukang. Rumah Pak Maryono masih berdiri, tetapi rumah lain banyak yang rubuh karena penambahan konstruksi modern pada struktur asli limasan tanpa perkuatan yang layak. Warga kemudian mengungsi di tenda-tenda plastik yang didirikan di persawahan. Prihatin dengan kondisi ini, Pak Eko dan Pak Maryono dengan bantuan dana dari Kompas mencoba membangun ulang desa.

Kerusakan di Ngibikan pasca-gempa Yogyakarta 2006. Sumber: https://the.akdn/en/how-we-work/our-agencies/aga-khan-trust-culture/akaa/ngibikan-village-reconstruction

Ada banyak aspek yang coba direspons dalam kasus ini: kebutuhan mendesak terhadap tempat tinggal layak, karakter masyarakat dan budaya setempat yang harus dijaga, juga keterbatasan sumber daya material dan tukang berpengalaman. Desain yang kemudian muncul adalah rangka limasan yang dimodifikasi menggunakan kayu kelapa dari sekitar desa dengan umpak beton dan sambungan mur-baut. Tiga modul utama dibangun pada masa rekonstruksi dan bisa diduplikasi sesuai kebutuhan pengguna di masa mendatang. Tembok bata yang disusun ulang dari reruntuhan gempa berdiri setinggi ± 1 meter, disambung tembok papan gipsum yang ringan dan mudah dipotong. Prosedur konstruksinya mudah diikuti bahkan oleh warga biasa tanpa pengalaman bertukang sebelumnya, tetapi secara struktur lebih efektif menahan gempa dibanding struktur yang ada sebelumnya.

Dalam waktu 4 bulan saja, 55 rumah di RT 5 Ngibikan berhasil berdiri dan siap menyambut bulan Ramadhan. Ketika dikunjungi empat tahun kemudian untuk penilaian Aga Khan Award, desa ini terlihat seperti tidak pernah terguncang gempa sebelumnya. Suasananya hidup dengan rumah-rumah berkerangka serupa tetapi dengan pengembangan masing-masing yang penuh karakter—cukup kontras apabila dibandingkan dengan beberapa desa yang direkonstruksi dengan sistem top-down yang berjarak dengan keseharian warganya. Karena peristiwa itu, tumbuh pula tukang-tukang generasi baru dari desa ini. Lewat kolaborasi, arsitektur yang lahir dari tangan Eko Prawoto tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga merawat hubungan manusia dengan alam dan budaya.

Kisah Pak Eko dan Pak Maryono mengingatkan kami pada Le Corbusier dan muridnya, José Oubrerie pada pembangunan Gereja Saint-Pierre di Firminy. Oubrerie membutuhkan Corbusier untuk bisa menurunkan bentuk yang baku dari sketsa menjadi bangunan beton yang kokoh yang menjadi bangunan publik. Pak Maryono dalam studi kasus Ngibikan seperti menjadi Oubrerie, tukang yang menjadi murid Pak Eko. Beliau turut menurunkan gagasan limasan ke dalam teknis pengerjaan yang efisien, membagi warga yang juga merupakan pengguna dalam kelompok-kelompok kerja sesuai tahapan bangun: pondasi, rangka, pemasangan—dan mengajari mereka semua hingga bisa membangun sendiri. Di sini batas-batas arsitek menjadi lentur. Arsitek, tukang, dan klien menjadi satu demi ilmu arsitektur—sesuatu yang Pak Eko harap bisa lebih di akomodasi dalam pendidikan arsitektur di kampus.

Pendekatan Eko Prawoto untuk Ngibikan dan juga proyek-proyeknya lain tidak hanya mengingatkan pada pemberdayaan lokalitas khas Romo Mangun, tetapi juga kurikulum Berlage Institute yang menjadi tempatnya mengambil studi S2 pada 1993. Kontras dengan Amsterdam School yang ekspresif dan arsitektur yang ornamental, Berlage Institute menerapkan pendekatan yang lebih kritis, kolaboratif, dan eksperimental. Penekanannya ada pada relasi konteks lokal dan global, serta keterlibatan realitas praktis yang sarat konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Seperti Bauhaus di Jerman, atau AA School di London, dan berbagai institusi lain di dunia.

Ada aspek efisiensi dari modular rangka yang bisa diproduksi dengan mudah dalam jumlah besar sesuai kapasitas sumber daya alam dan manusianya sehingga semakin banyak rumah bisa dibangun dengan lebih cepat. Dalam pemilihan rangka limasan, kayu kelapa, dan penentuan program dapur di luar rumah, ada kepekaan pada budaya setempat—validasi terhadap identitas masyarakat yang menjadi pijakan untuk bangkit kembali.

Dalam hal relasi lokal dan global, kita perlu mengingat bahwa arsitektur merupakan sebuah investasi yang mahal, tetapi dibutuhkan oleh seluruh kalangan, tanpa terkecuali. Ketika pendidikan dan industri punya tendensi untuk menggunakan dan mengembangkan material hi-tech yang mahal, Pak Eko pun berkali-kali bertanya, “Posisi arsitek ada di mana?”

Pertanyaan itu beliau jawab secara literal dengan pindah ke Kulon Progo. Kekecewaan dan kemarahannya terhadap pendidikan dan industri arsitektur seakan ia olah kembali dalam kesederhanaan dan ketenangan desa—yang menurut kami adalah upayanya mendesain sebuah shift of paradigm, yang akan banyak merubah arsitektur Indonesia, dari kota menuju desa, melalui arsitektur frugal yang menyentuh hati.

Perbincangan di Limasan Depan. Sumber: OMAH Library

Di sisi lain, pertanyaan itu secara tersirat mengingatkan bahwa arsitek perlu bisa melayani berbagai kalangan, sehingga ia juga perlu menguasai berbagai teknik, tidak hanya teknik-teknik modern, tetapi juga teknik-teknik sederhana untuk kalangan yang mungkin hanya butuh pernaungan.

Roxana Waterson dalam buku The Living House mengamati bagaimana peradaban di Asia-Tenggara dimulai dengan shelter-shelter sederhana, dari ranting, daun, dan kulit pohon. Di buku ini Roxana mengemukakan teori Gaudenz Domenig tentang alternatif proses evolusi teepee structure (yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang disusun radial, mengerucut ke atas membentuk tenda) yang primitif, menjadi struktur vernakular berupa kolom-kolom tegak yang menopang atap lebar. Di Jawa, pengembangan ini muncul salah satunya dalam bentuk limasan. Mitu M. Prie melalui pengamatan sejarah dan arkeologi, mendapati bahwa bentuk limasan menjadi struktur yang paling sederhana dan banyak diduplikasi. Ia adalah versi vernakular dari kebutuhan primitif terhadap naungan.

Entah beliau sadari atau tidak, limasan menjadi model struktur yang seringkali Pak Eko adaptasi dalam karya-karyanya—baik dalam wujud aslinya seperti di Rumah Bener dan Rumah Kedondong, maupun dalam bentuk modifikasi seperti di Ngibikan. Terbukti, struktur ini memang mudah dipahami dan dibangun oleh tukang-tukang. Di bawah naungan struktur yang sederhana ini, program ruang yang lebih rinci kemudian dikembangkan.

Limasan Depan. Sumber: OMAH Library

Saat kami datang ke rumahnya di Kulonprogo, massa-massa limasan dan struktur lainnya yang bertebaran di halaman membuat kami ingin menangkap visualnya menggunakan drone. Namun, ketika dicoba, kami merasa gagal karena massa-massanya malah hampir tidak terlihat sama sekali, hampir seluruhnya tertutup rimbunan pohon.

Foto drone Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

Memang, nampaknya kami ini datang masih dengan mindset kota. Belakangan, kami baru menyadari bahwa justru rimbunan pohon itulah wujud sesungguhnya dari arsitektur Eko Prawoto. Nampaknya beliau bersungguh-sungguh ketika berbicara bahwa bagi orang desa rumah adalah halaman. Rumah Kedondong bukan sekadar massa dan program ruangnya yang tersebar, melainkan juga halamannya itu sendiri yang membentuk sirkulasi, menjadi penjalin relasi dengan komunitas desa, dan juga menjadi ruang hidup itu sendiri bagi Pak Eko untuk mengamati semesta. Dan ketika halaman pun menjadi rumah, maka pohon-pohon pun menjulang layaknya kolom-kolom, dan rimbunan daun pun menjadi atap yang menaungi. Siapa sangka, konsep shelter atau pernaungan di Rumah Kedondong dikembalikan pada bentuk alaminya, bahkan sebelum peradaban primitif dimulai. Kembali ke fitrahnya.

Selain relasi sosial, hubungan manusia dengan alam turut menjadi refleksi utama Pak Eko. Bersama beliau, konsep genius loci tak lagi sebatas teori pendekatan desain, tetapi seperti kembali lagi pada makna aslinya, “jiwa dari sebuah tempat”. Ia mencoba berdialog dengan alam seperti berdialog dengan manusia, yang kadang perlu beberapa kali bertemu dalam setting yang berbeda baru bisa akrab dan kenal. “Kalau datang, sebaiknya jangan sekali. Tapi pagi kayak apa, siang kayak apa, lalu malam seperti apa. Lalu pas matahari terbit dari sini, itu kok bagus banget. Berarti visual koridor ke arah ini penting,” tuturnya dalam seri kelas Contextual Method (OMAH Library, 2021).

Dinding taman yang menghindari pepohonan, diterangi cahaya sore hari dari barat. Sumber: OMAH Library

Di Rumah Kedondong, proses berkenalan itu terjadi dalam ritual keseharian yang sederhana, seperti ketika Pak Eko menyapu halaman. Di situ ia memperhatikan detail-detail baru yang sebelumnya luput: dari titik pancaran matahari, detail daun yang menginspirasi, sampai keseimbangan ekologi. Semua makhluk hidup coba beliau rangkul, meski saat itu ia berpotensi merusak.

“Kadang-kadang kita merasa kita memiliki banyak hal, tapi sebetulnya makhluk lain itu juga berhak … Saya mikir, ketika tidak ada ulat lagi, kita jangan mengharapkan akan melihat kupu-kupu. Jadi kadang-kadang ya sudahlah dibiarkan.” Ia memahami alam yang bergulir dinamis, keindahan dan keburukannya yang relatif, sehingga mengalahnya Eko Prawoto adalah untuk menang demi kebaikan yang lebih luas.

Teras rumah dengan berbagai tanaman hias yang dirawat Bu Rina. Sumber: OMAH Library

Dalam sebuah presentasi IPLBI di Yogyakarta tahun 2024 lalu, untuk pertama kalinya kami menampilkan video yang diambil dari kunjungan kami ke Rumah Kedondong dalam iringan lagu Happy Birthday oleh Levi Gunardi. Lagu tersebut merupakan persembahan Levi untuk gurunya, Iravati Mursit. Video dan potongan kenangan yang diceritakan kembali dalam presentasi itu pun juga menjadi persembahan kami untuk Pak Eko Prawoto, atas rasa syukur bisa bertemu beliau sebagai murid.

Mengutip Pak Galih Pangarsa, salah seorang sahabat Pak Eko, ketika membicarakan arsitektur Eko Prawoto, kita menjadi tersadar bahwa “yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, tetapi bagaimana menjadikan arsitektur sebagai wujud upaya bersama untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan.”

Di 2025 ini, 2 tahun sudah berlalu sejak Pak Eko wafat, tetapi keberadaan beliau masih kami rasakan dan kami rindukan. Beliau adalah seorang Kesatria, seorang agent of change yang berjuang dengan pergerakan di desa, yang mengetuk tak hanya raga dan pikiran, tetapi juga hati orang-orang yang bersinggungan dengannya. Dari sosok Pak Eko kami belajar untuk tenang dalam kemarahan dan berefleksi dari kekecewaan. Kata-kata beliau selalu bisa “membersihkan” hati dan membuat kami merasa seperti dilahirkan kembali. Menjadi manusia sejati. Dan hari ini pesan itu kami sampaikan lagi.

Happy birthday, Sir.

Siluet Eko Prawoto. Sumber: OMAH Library

English translation

Eko Prawoto and the Village, Future Architectural Methods for Indonesia

The last ten years before he died, architect Eko Prawoto decided to move to the village. He left the daily life of the city that was never free from development and the fertile land of architectural projects. He built a new house in the village, creating “his own project” with craftsmen who were not always there because they were farming. We were surprised, why did he want to take care of something that was unclear when it would start and finish? When OMAH Library visited there in 2023, we finally began to understand. There was a spirit that was radiated there, whose enthusiasm echoed loudly in the midst of a silent journey, which loudly sparked between the softly woven spaces.

An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan

Before moving to the village, since 1988 Eko Prawoto and his family lived in a house he designed himself in Bener, on the outskirts of Yogyakarta City. The house slowly developed and part of it became a studio that he named Eko Prawoto Architecture Workshop.

From there were born works such as Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), and many other artist houses, as well as affordable houses for various groups. Here he also began to receive offers to design installations and slowly made his way as an international artist.

Since the beginning, a contextual, organic, and humanistic approach has colored his works both as an architect and as an artist. However, this approach became stronger when faced with conditions in the village that had limited access to materials and skilled craftsmen. However, that was where Eko Prawoto believed in the existence of high intelligence and creativity to create something simple as a manifestation of maturity and integrity and harmony with nature.

His move to Kulon Progo was influenced by various factors. The Bener area, which was previously surrounded by rice fields and had been his home for 3 decades, slowly changed into a fairly dense residential area. However, he still persisted because he still had to teach at UKDW—a position he had held since 1985. Pak Eko planned to live a slower life after retiring. Moreover, as a teacher, he felt how current architectural education tends to focus on urban, industrial, and capitalist approaches.

“Now all the curriculums are only focused on urban, industrial, and capital. It might be suitable for the city, but remember that there are villages, there are small islands, which might not be suitable for the approach taught,” said Pak Eko when we visited him at his village house—perhaps more like a self-reminder than a criticism for the public.

Rumah Bener was finally only occupied until 2014. His architectural bureau office is still centered there, and he continues to teach at UKDW. However, in that year Pak Eko and his wife Bu Rina made up their minds, moving to become residents of Kedondong Village in Kulon Progo. Since then, he has positioned himself to be present and live in the village, observing the way the people live with nature.

“It’s indeed a learning process again,” he said. It’s as if he is taking a doctoral dissertation on “architectural language that is more connected to the village”. From there we can see his work that is increasingly balanced and increasingly listening, as seen in his residence, Rumah Kedondong (which he occupied until he fell ill and died in September 2023), and Bale Klegung (2021), a food stall not far from there that is privately managed.

Both of these places appear to be executed with the same design method. Spatially, Rumah Kedondong and Bale Klegung do have similar characters: each has an area of ​​± 2,000 m2 and is both located on a riverbank slope with many existing trees. This specific spatial condition is responded to with a vernacular way of thinking, adopting the mindset of village communities that follow natural forms more. The method is very contextual, one of which is by not cutting trees as much as possible and not changing the contour.

As a consequence, the mass of the building is spread out and rises and falls following the availability of land. As in his first house in Bener, and his other works, the presence of a tree sticking out in the middle of the building is commonplace. “This house appeared later, while this tree was already there first. The tree had to be won, then played between the existing spaces.”

The designs often seem unplanned. The spatial program develops organically following the growth of needs, from residences, meeting places to welcome guests, discussions, or lectures, to guest houses and museums. Almost all of them are accommodated by used wooden structures from various regions, such as East Javanese houses and barns from Bawean that were collected gradually. Used materials, new materials, and whatever is available are combined and used to the maximum.

At first glance, nature seems to be the highest element in Pak Eko’s works. However, he actually places nature in second place in his reflections during his life in the village. The first is the value of togetherness as part of an agrarian culture. “Social institutions, social relations are very important in the village to differentiate it from the city.”

In the village, residents usually allow their neighbors to enter and exit their yards. The yard is no longer just a personal space, but also a public space where residents can pass through and cut off access. “(For villagers) The house is the yard, relations become important,” said Pak Eko. The fence in the village also becomes a flexible boundary, never completely closed. Pak Eko also once said that the gate to his house was never locked. Later, he actually opened a new access, a bridge that connects the yard of Rumah Kedondong with the neighbor’s house across from it. When we visited there, we found Pak Eko’s neighbor using the bridge, entering the yard of Rumah Kedondong, greeting for a moment, then continuing the journey to his destination who knows where. The tolerance of the village community may have become commonplace there, but it is very rare to find in urban communities.

Human relations are an important element, not only in his architectural practice in the village, but also consistent in Pak Eko’s other projects. He establishes close relationships with all those involved and often positions himself as a bridge, facilitator, and companion. Pak Eko has repeatedly said that to clients he acts like a midwife who helps with “delivery”. The resulting building is like a baby that is clearly not Pak Eko’s child, but rather his own parents, namely the client or user who will use and care for it for decades. Therefore, Pak Eko tries not to impose his ego as an architect. In residential projects, especially those owned by artists with big egos, for example, Pak Eko allows the client to determine how the house will be filled, while he only helps direct so that the client’s wishes are well facilitated according to the available resources. The way he positions himself provides space for collaborative relationships that challenge the formal boundaries of architects.

In Rumah Kedondong, Mr. Eko does have more power as the owner and user, but again he keeps that ego to himself to give space to the craftsmen in the village. “The craftsmen in the village are actually farmers who work as craftsmen in their spare time. So, their abilities are limited and their equipment is also simple,”—in addition to their limited availability of time. The character of these craftsmen is what then largely determines the appearance of the architecture.

“We don’t have many resources, so if possible, don’t process too much. Don’t cut and produce leftover material, so everything is used up. That’s why I like broken ceramics because there’s no leftover, it’s all used up.” What then emerges is an honest frugal (cheap and simple) and primal (initial, raw, basic) architecture. Starting from social relations with the village craftsmen, Mr. Eko is brought back to the authentic character of the village that is more down to earth, which instinctively gives in to the form of nature.

This does not mean that his architecture is not innovative, in fact, this attitude of giving in gives rise to new creativity. For example, a family room unit in Rumah Kedondong with a concrete structure whose columns are separated by different contours. To avoid excessive cut-and-fill, a stage model was finally made with columns reinforced with catenary arches so that the dimensions remain thin. This design solution may be common for Mr. Eko, but new for the craftsmen. Therefore, he did not force the results to be neat, “(The important thing is) that it is structurally correct.” Moreover, the order of nature is also not uniform. “Everything has a role, has a function. We cannot find two identical leaves on one tree. So it’s different. Don’t be too stubborn in your architecture, like that.”

Employing local craftsmen is a strategy that Mr. Eko learned from his teacher, Romo Mangun. Building activities are not only seen as a way to meet programmatic needs, but also as an opportunity to support the local economy. “By making those details, it is not an aesthetic consideration, but actually to absorb it longer, so that the craftsmen work longer in that place, so that they still have jobs.”

In the post-earthquake reconstruction of Ngibikan Village in Yogyakarta in 2006, Mr. Eko worked closely with the local community. His initial involvement in Ngibikan was because of Mr. Maryono, a villager who had long worked with Mr. Eko as a carpenter. Mr. Maryono’s house was still standing, but many other houses had collapsed due to the addition of modern construction to the original limasan structure without proper reinforcement. The residents then took refuge in plastic tents set up in the rice fields. Concerned about this condition, Mr. Eko and Mr. Maryono, with financial assistance from Kompas, tried to rebuild the village.

There were many aspects that were attempted to be responded to in this case: the urgent need for decent housing, the character of the local community and culture that must be maintained, as well as the limited material resources and experienced carpenters. The design that then emerged was a modified limasan frame using coconut wood from around the village with concrete bases and nut-bolt connections. Three main modules were built during the reconstruction and can be duplicated according to the needs of future users. The brick walls reassembled from the earthquake debris stand ± 1 meter high, connected by light and easy-to-cut gypsum board walls. The construction procedure is easy to follow even for ordinary people with no previous carpentry experience, but structurally it is more effective in withstanding earthquakes than the previous structure.

In just 4 months, 55 houses in RT 5 Ngibikan were successfully built and ready to welcome the month of Ramadan. When visited four years later for the Aga Khan Award assessment, the village looked as if it had never been shaken by an earthquake before. The atmosphere is alive with similar framed houses but with their own development full of character—quite a contrast when compared to several villages that were reconstructed with a top-down system that is distant from the daily lives of its residents. Because of this event, a new generation of carpenters also grew from this village. Through collaboration, the architecture born from the hands of Eko Prawoto not only functions physically, but also maintains the relationship between humans and nature and culture.

The story of Mr. Eko and Mr. Maryono reminds us of Le Corbusier and his student, José Oubrerie in the construction of the Saint-Pierre Church in Firminy. Oubrerie needed Corbusier to be able to reduce the standard form from sketch to solid concrete building that became a public building. Pak Maryono in the Ngibikan case study is like Oubrerie, a craftsman who became Pak Eko’s student. He also reduced the idea of ​​limasan into efficient work techniques, dividing residents who were also users into work groups according to the construction stages: foundation, frame, installation—and taught them all until they could build it themselves. Here the boundaries of the architect become flexible. Architect, craftsman, and client become one for the sake of architectural knowledge—something Pak Eko hopes can be more accommodated in architectural education on campus.

Eko Prawoto’s approach to Ngibikan and his other projects is not only reminiscent of Romo Mangun’s typical local empowerment, but also the curriculum of the Berlage Institute where he took his Master’s studies in 1993. In contrast to the Amsterdam School’s expressive and ornamental architecture, the Berlage Institute applies a more critical, collaborative, and experimental approach. The emphasis is on the relationship between local and global contexts, as well as the involvement of practical realities that are full of social, cultural, and economic contexts. Like Bauhaus in Germany, or AA School in London, and various other institutions in the world.

There is an efficiency aspect of modular frames that can be easily produced in large quantities according to the capacity of natural and human resources so that more houses can be built more quickly. In the selection of the limasan frame, coconut wood, and the determination of the kitchen program outside the house, there is sensitivity to local culture—validation of the community’s identity that is the basis for rising again.

In terms of local and global relations, we need to remember that architecture is an expensive investment, but it is needed by all groups, without exception. When education and industry tend to use and develop expensive hi-tech materials, Mr. Eko has asked many times, “Where is the position of the architect?”

He answered that question literally by moving to Kulon Progo. His disappointment and anger towards education and the architecture industry seemed to be reprocessed in the simplicity and tranquility of the village—which we think is his attempt to design a paradigm shift, which will greatly change Indonesian architecture, from the city to the village, through heart-touching frugal architecture.

On the other hand, the question implicitly reminds us that architects need to be able to serve various groups, so they also need to master various techniques, not only modern techniques, but also simple techniques for groups who may only need shelter.

Roxana Waterson in the book The Living House observes how civilization in Southeast Asia began with simple shelters, made of twigs, leaves, and tree bark. In this book, Roxana presents Gaudenz Domenig’s theory about the alternative process of evolution of the primitive teepee structure (which consists of wooden slats arranged radially, tapering upwards to form a tent), into a vernacular structure in the form of upright columns supporting a wide roof. In Java, this development appears, among others, in the form of a limasan. Mitu M. Prie, through historical and archaeological observations, found that the limasan form is the simplest and most widely duplicated structure. It is a vernacular version of the primitive need for shelter.

Whether he realized it or not, the limasan became a structural model that Pak Eko often adapted in his works—both in its original form such as in Rumah Bener and Rumah Kedondong, and in a modified form such as in Ngibikan. Evidently, this structure is indeed easy to understand and build by craftsmen. Under the auspices of this simple structure, a more detailed spatial program was then developed.

When we came to his house in Kulonprogo, the masses of the limasan and other structures scattered in the yard made us want to capture the visuals using a drone. However, when we tried, we felt like we failed because the masses were almost invisible at all, almost entirely covered by the thick trees.

Indeed, it seems that we came with a city mindset. Later, we realized that the thick trees were the true form of Eko Prawoto’s architecture. It seems that he was serious when he said that for village people, a house is a yard. Rumah Kedondong is not just a mass and its spread out spatial program, but also its yard itself that forms circulation, becomes a weaver of relations with the village community, and also becomes a living space for Mr. Eko to observe the universe. And when the yard becomes a house, the trees tower like columns, and the thick leaves become a roof that shelters. Who would have thought, the concept of shelter or shelter in Rumah Kedondong is returned to its natural form, even before primitive civilization began. Back to its nature.

In addition to social relations, the relationship between humans and nature also becomes Mr. Eko’s main reflection. With him, the concept of genius loci is no longer limited to a design approach theory, but rather returns to its original meaning, “the soul of a place”. He tries to have a dialogue with nature like a dialogue with humans, who sometimes need to meet several times in different settings to be able to be familiar and know each other. “If you come, it’s better not to come once. But what’s it like in the morning, what’s it like in the afternoon, and what’s it like at night. Then when the sun rises from here, it’s really beautiful. That means the visual of the corridor in this direction is important,” he said in the Contextual Method class series (OMAH Library, 2021).

At Rumah Kedondong, the process of getting to know each other occurs in simple daily rituals, such as when Mr. Eko sweeps the yard. There he notices new details that were previously missed: from the point of sunlight, the inspiring details of the leaves, to the ecological balance. He tries to embrace all living things, even though at that time he has the potential to cause damage.

“Sometimes we feel like we have a lot of things, but actually other creatures also have the right … I think, when there are no more caterpillars, we shouldn’t expect to see butterflies. So sometimes, just let it be.” He understands the dynamic rolling nature, its relative beauty and ugliness, so that Eko Prawoto’s defeat is to win for the greater good.

In an IPLBI presentation in Yogyakarta in 2024, for the first time we showed a video taken from our visit to Rumah Kedondong accompanied by the song Happy Birthday by Levi Gunardi. The song is Levi’s dedication to his teacher, Iravati Mursit. The video and snippets of memories retold in the presentation are also our offerings to Mr. Eko Prawoto, as a form of gratitude for being able to meet him as a student.

Quoting Mr. Galih Pangarsa, one of Mr. Eko’s friends, when discussing Eko Prawoto’s architecture, we realize that “what is more important is not the debate on the spatial aspects of ‘local-global’, nor the temporal aspects of ‘traditional-modern’, but how to make architecture a form of joint effort to escape the trap of dwarfing and destroying the seeds of humanity.”

In 2025, 2 years have passed since Mr. Eko passed away, but we still feel and miss his presence. He was a Knight, an agent of change who fought with movements in the village, who touched not only the body and mind, but also the hearts of those who came into contact with him. From Mr. Eko we learned to be calm in anger and reflect on disappointment. His words could always “cleanse” our hearts and make us feel like we were reborn. To become true human beings. And today we deliver that message again.

Happy birthday, Sir.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Romo Mangun, Jejak-Jejak Arsitektur yang Memanusiakan

(English translation is available below)

Selama proses penulisan artikel ini, seorang desainer di studio kami bertanya, “Kenapa sih Kak Rich menulis tentang Romo Mangun? Kenapa kami yang muda ini perlu untuk mengenal beliau?” 

Well, mempelajari sosok Romo Mangun bukanlah sekadar tanggung jawab sejarah. Dalam refleksi praktik penulis di Jakarta, di tengah hingar-bingarnya arsitektur yang provokatif dan berorientasi bisnis di Jakarta, Romo Mangun melalui praktiknya menunjukkan ada banyak kalangan masyarakat yang membutuhkan pendekatan lebih terjangkau. Indonesia bukan cuma soal Jakarta, dan sepak terjang beliau secara strategis merespons dilema tersebut dengan berbagai perannya, menembus batas-batas keprofesian arsitektur yang dilematis.

Father Y. B. Mangunwijaya (right) receives guests in his house on the slopes of Kali Code, Yogyakarta, 1986 Photo: TEMPO/Yuyuk Sugarman.

Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Dalam sebuah pertemuan kami dengan alm. Adhi Moersid, beliau bercerita sempat merasakan kuliah bersama Y.B. Mangunwijaya di ITB tahun 1959-1960. Menurut beliau, Mangunwijaya sering berangkat ke kampus mengenakan baju pastor. Sebuah potongan memori yang cukup menggelitik mungkin bagi kita yang lebih familiar dengan Mangunwijaya lewat karya-karya terbangunnya—meski kita tahu ia sering dipanggil dengan sebutan “Romo” yang menunjukkan perannya sebagai imam Katolik, juga karya-karyanya yang sebagian besar merupakan fasilitas keagamaan Katolik.

Berkaca pada sosok Antoni Gaudi yang kita bahas sebelumnya, Mangunwijaya ini adalah “spesies” arsitek yang karya-karyanya tak tersekat pada profesi perancangan, tetapi juga dalam pengajaran, penulisan, aktivisme, dan pelayanan. Dari jubah pastor, kisah burung manyar, hingga anyaman bambu di tepi Kali Code, apa yang membuat Mangunwijaya memilih jalur multi-spektrum ini? Visi apa yang beliau perjuangkan?

Lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah di tengah keluarga Katolik dengan ayah dan ibu yang keduanya guru, Yulianus Sumadi Mangunwijaya tumbuh dalam lingkungan religius dan terpelajar. Sejak kecil ia sudah berkeinginan menjadi arsitek, tetapi belum juga tamat sekolah, ia harus turut memperjuangkan kemerdekaan sebagai Tentara Pelajar sepanjang 1945–1948. Dalam prosesnya, ia menyaksikan bagaimana warga desa telah banyak membantu tentara, sekaligus juga menjadi korban dari kekejaman penjajah. Menyaksikan kawan-kawannya gugur juga sudah pasti, dan bukan tak mungkin bahwa ia sendiri merasakan momen-momen antara hidup dan mati.

Di titik itu, barangkali muncul kesadaran bahwa selamat dari peristiwa itu merupakan sebuah anugerah tersendiri, dan kehidupan ini terlalu berharga untuk dihabiskan ala kadarnya. Mangunwijaya pun terdorong untuk “membayar utang kepada rakyat”, dan jalan yang ia pilih adalah pelayanan sebagai pastor. Di umur 21, beliau masuk sekolah pastor St. Paulus di Yogyakarta, terlepas usianya yang lebih tua dibanding calon pastor lain.

Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta

Buku The Altruism of Romo Mangun yang ditulis Darwis Khudori menjelaskan bahwa selepas lulus dari Sancti Pauli, Mangunwijaya ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Albertus Soegijapranata. Ia menggunakan nama resmi yang sudah tak asing di telinga kita, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Namun, baru sehari menjadi pastor, Soegija memintanya untuk belajar arsitektur, supaya bisa membangun rumah-rumah ibadah di berbagai tempat dengan bahasa yang lokal alih-alih ala kolonial. Di situlah ia belajar di ITB dan bertemu Adhi Moersid pada 1959-1960, sebelum akhirnya beliau pindah ke Rhein Westfalen Technical School di Jerman dan meraih gelarnya di sana.

Mangunwijaya Muda

Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mangun mulai membangun banyak gereja dan wisma di DIY dan Jateng. Beliau juga merancang untuk kalangan di luar lingkup gereja, berupa rumah tinggal, kos-kosan, komplek pemukiman, dan sekolah. Beberapa karya beliau di antaranya adalah Gereja Maria Asumpta (1967-1969), Sendang Sono (1972-1991), Permukiman Tepi Kali Code (1983-1987), Rumah Arief Budiman (1986-1987), Wisma Kuwera (1986-1999), Seminari Tinggi Fermentum (1996), dan masih banyak lagi.

Bila melihat perkembangan arsitektur Indonesia pasca-kemerdekaan, terlihat selalu ada urgensi untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia. Arsitektur modern ala Barat saat itu menjadi preferensi untuk membangun identitas nasional yang baru dan kuat, diinisiasi oleh Soekarno dan dilanjutkan saat kepemimpinan Soeharto lewat proyek-proyek monumental dan penataan urban.

Proyek Mercusuar Orde Lama

Namun, yang disayangkan Romo Mangun adalah aplikasi arsitektur tanpa penyesuaian terhadap iklim tropis dan budaya Indonesia, seperti yang banyak terjadi di Jakarta saat itu dengan gedung-gedung beton berlapis kaca. Selain itu, arsitektur yang membutuhkan material industri dengan teknik membangun yang canggih akan sulit diterapkan untuk rakyat biasa yang mayoritas tinggal di kota kecil atau desa-desa, sesuatu yang menjadi realitasnya selama masa kecil dan dalam kesehariannya sebagai pastor. Jadi, selain kebutuhan untuk mendefinisikan identitas nasional lewat arsitektur, di saat yang sama timbullah keresahan tentang arsitektur Indonesia yang relevan dengan iklim, sumber daya alam, dan keseharian masyarakat pada umumnya.

Generasi arsitek yang aktif saat itu, seperti Friedrich Silaban, Soejoedi, dan Romo Mangun sendiri rata-rata belajar arsitektur di luar negeri, khususnya Jerman. Wajar saja bila kemudian bahasa arsitektur yang digunakan banyak terpengaruh arsitektur modern. Namun, setiap arsitek punya caranya masing-masing dalam menerjemahkan kondisi iklim setempat dan masyarakat Indonesia dalam karya-karyanya.

Friedrich Silaban (1912-1984), meski mengerjakan proyek-proyek berskala monumental dengan gubahan massa modern, ia selalu mengupayakan bukaan yang lebar dan kisi-kisi untuk menghalau sinar matahari langsung. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928-1981) lebih memilih menggunakan tritisan yang lebar alih-alih kisi-kisi untuk merespons iklim. Sementara, secara budaya, beliau mengambil konsep ruang dalam dan luar pada arsitektur Jawa sebagai inspirasi program ruang yang seimbang, meski gubahan massanya benar-benar baru dan bercitra independen. 

Sementara, Adhi Moersid, teman sejawatnya yang bersekolah di dalam negeri, punya pendekatan yang lebih lokal dengan konsep Arsitektur Papan Kayu yang terangkum dalam buku Kagunan. Prinsipnya adalah menggabungkan dua papan kayu pipih untuk membentuk bilah usuk yang lebih kokoh, sehingga memungkinkan konstruksi atap tanpa gording. Konsep ini pun membuka lompatan dari struktur rangka menjadi struktur bidang. Susunan papan kayu ini juga menghasilkan visual yang lebih rapi dan indah ketika diekspos sehingga menjadi wujud “langit-langit yang baru”.

Ketiganya punya cara-cara tersendiri untuk meramu ruang dan material. Dengan skala yang monumental, material beton dan teknik fabrikasi jadi relevan untuk karya-karya Silaban dan Soejoedi. Visual yang sederhana pun membutuhkan tektonika tersendiri yang membuat hubungan antarmaterial jadi seamless. Pendekatan Adhi Moersid sifatnya lebih teknokratik, fokus pada ilmu itu sendiri dan konteks biaya-mutu-waktu dari suatu proyek. Ia mencoba menembus batas dengan material kayu yang natural dan lokal, tetapi masih perlu dibeli dari “pasar” dengan spesifikasi yang seragam.

Begitu bicara sosok Romo Mangun, segala aspek dieksplorasi. Dari bentuk atap, susunan bata, corak tekstur beton, hingga detail sambungan, semua diolah total tiada luput. Yuswadi Saliya pernah menggambarkan Sendang Sono dengan ekspresi, “Keinginannya untuk berbuat membekas di mana-mana. Menyaksikannya boleh jadi melelahkan, detail itu bercerita tanpa putus, menyapa pada setiap lekuk dan liku. Segi-tiga dan segi-empat membentuk bidang dan ruang yang bergema bersahut-sahutan, turun naik berundak-undak, semuanya membentuk tamasya buatan manusia yang lebur dengan kelok alur sungai dan punuk palung bukit. Sangat kompleks. Majemuk.” Keberagaman teknik menjadi kata kunci arsitektur Romo Mangun. Konsepnya adalah variatif atau hibrida yang menggambarkan konteks lokasi tempat arsitekturnya hadir.

Secara gubahan massa, beliau banyak mengeksplorasi bentuk atap miring dengan pertimbangan material genteng sebagai penutup yang mudah didapat dan relatif murah dibanding instalasi atap beton, apalagi bila harus menghadapi curah hujan Indonesia yang tinggi. Atap-atap Romo Mangun membentang lebar, tak jarang mendominasi citra bangunan. Terlebih dengan proporsi badan yang rendah, terkesan ada upaya untuk membuat skalanya tetap manusiawi agar perawatan menjadi mudah.

Untuk menopang atap-atap ini, beragam material digunakan. Dari sekitar 30 karya terbangunnya, terdapat belasan gereja yang mayoritas menggunakan beton sebagai elemen struktur. Kadang ia cukup menjadi kolom ketika bentang atap masih bisa ditopang oleh struktur kayu, terkadang ia juga hadir sebagai balok bila kapasitas gereja terlampau besar. Sementara, pada gereja-gereja kecil, wisma, sekolah, atau hunian dengan luasan yang tak seberapa, peran struktur utama biasanya dipegang oleh kayu.

Namun, sekalipun beton digunakan, Romo Mangun tak terbiasa meninggalkannya polos begitu saja. Motif-motif digoreskan, kadang dalam pola yang teratur, kadang menggunakan cetakan bambu atau kayu bekas, memberi kesan organik seperti pohon di dalam bangunan. Dimensi beton juga dijaga agar tetap ramping dan ditata dalam pengulangan berirama untuk menekan karakter kasar dan beratnya (Tjahjono, 1995). Kadang balok konsol dicetak sedemikian rupa menyerupai ranting. Beton di tangan Romo Mangun menjadi lebih lembut dan kadang terkesan organik.

Lanjut ke bagian badan, Romo Mangun sering membuat ruang-ruang publiknya, terutama gereja, tampil terbuka tanpa dinding penutup, kecuali hanya sebaris yang melatari altar. Pertama, untuk memasukkan udara secara maksimal—seperti gagasan Silaban yang lebih meyakini Indonesia butuh atap lebar untuk menghalau panas matahari daripada dinding yang menghalangi angin ekuator dengan kecepatan tak seberapa. Kedua, karena konsep “gereja pasar”. Romo pernah berpesan, “Ketika religiositas semakin mengakar dalam terang Tuhan, maka manusia sejati adalah cerminan bayang-bayang Tuhan sendiri,” (Mudji Sutrisno, 2001). Tidak ada urgensi untuk memisahkan ruang suci gereja dengan “pasar” kehidupan sehari-hari. Justru batas itu dibuka untuk menjembatani jiwa-jiwa yang mencari cahaya Tuhan.

Ketika sebuah dinding diperlukan, wujudnya hadir dalam berbagai bentuk: dari batu bata, kayu, bambu, batuan alam, beton, atau kombinasi dari semuanya. Parameternya tak jauh-jauh dari batasan anggaran, kesediaan material di lokasi, kreativitas ketukangan, dan pemberdayaan komunitas. Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono, Salatiga misalnya, awalnya dirancang menggunakan dinding batu bata. Namun, ketika Romo Mangun survei ke Gedono, beliau melihat warga setempat banyak yang berprofesi sebagai pemotong batu kricak. Ia mendapat ide untuk menggunakan jasa warga setempat untuk memotong batu yang lebih besar dari daerah Banaran, lebih dekat daripada harus mendatangkan batu bata dari Klaten. Akhirnya, biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil, dan warga pun belajar keterampilan baru untuk memecah batu besar dengan potongan yang rapi. Material yang terkesan biasa-biasa saja pun bertransformasi dengan cara yang istimewa.

Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono

Untuk lantai, pada beberapa karyanya yang dikonstruksi menggunakan kayu, khususnya yang berfungsi sebagai hunian, Romo Mangun banyak menerapkan struktur lantai panggung. Misalnya pada sebagian massa di Wisma Salam, Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Wisma Kuwera. Ini merupakan respons penggunaan kayu terhadap iklim tropis Indonesia yang lembab. Akan tetapi, lebih dari itu, kombinasi struktur panggung dengan struktur lantai konvensional dalam satu karya sekaligus menciptakan permainan ketinggian yang dinamis, membuat ruang-ruang di dalamnya terasa menyenangkan!

Arsitektur Romo Mangun menjadi salah satu preseden utama dalam hal kolaborasi antara low technology dengan high technology. Julia Watson di bukunya Lo-TEK (2019) menjelaskan bahwa low technology atau lo-tech sering diasosiasikan dengan sistem atau mesin yang sederhana, tidak canggih, tidak rumit, dan berasal dari masa sebelum revolusi industri. Kami juga melihatnya sebagai metode yang intuitif dan impulsif dengan penyelesaian yang terjadi secara impromtu di lapangan. Sebaliknya, high technology (high-tech) sifatnya baru, berfitur canggih, dan memberi kesan seakan jadi pilihan yang lebih baik. Watson mengungkapkan, sistem high-tech yang mencoba menjadi solusi untuk semua permasalahan justru bertentangan dengan heterogenitas atau kemajemukan yang ada dalam kompleksitas ekosistem.

Oleh karenanya, high-tech tidak selalu bisa menjadi solusi. Kombinasi lo-tech dan high-tech pun menjadi titik tengah yang diambil Romo Mangun dalam merespons gap antara arsitektur barat yang mutakhir dan mendominasi dunia, dengan arsitektur lokal yang jadi keseharian masyarakat Indonesia saat itu. Refleksi atas keresahan ini akhirnya menelurkan buku Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) lebih fokus pada aspek teknis dan respons terhadap iklim tropis Indonesia, juga fenomena alam yang khas seperti gempa bumi. Di dalamnya terdapat bab khusus yang membahas aplikasi material lokal bambu, kayu, dan bata yang cocok dengan kondisi Indonesia. Ditujukan untuk pelajar dan praktisi non-akademik, buku ini dikemas dengan bahasa dan diagram yang sederhana, dilengkapi dengan contoh-contoh praktis. Ada pemahaman bahwa masyarakat memiliki keterbatasan akses terhadap high technology, maka pendidikan berbasis arsitektur barat perlu diimbangi dengan pengetahuan tentang cara membangun yang relevan dengan kondisi setempat.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980)

Sementara itu, Wastu Citra (1988) lebih mengambil sudut pandang diskursus. Dirilis pada masa di mana Romo Mangun sudah tidak ingin bertugas menjadi pastor dan lebih sering berkutat dengan kegiatan aktivisme bersama masyarakat kelas bawah, barangkali Romo Mangun melihat bagaimana kebiasaan membangun tradisional dan yang berkembang di keseharian masyarakat seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari arsitektur juga. Oleh karena itu, digunakanlah istilah “wastu” yang mencakup segala bentuk kegiatan membangun untuk menyetarakan semuanya. 

Wastu Citra

Revianto B. Santosa di dalam film Wastu mengamati bagaimana Romo Mangun bersikap “universal” di buku ini: tidak hanya membahas keunggulan arsitektur Indonesia dengan iklim tropis dan budaya vernakularnya, tetapi juga mencantumkan bab tentang arsitektur barat dan filsafatnya serta inspirasi mancanegara seperti dari Yunani, Jepang, dan India. Ketika membahas makna-makna kosmologis yang lebih dalam dari sekadar wujud fisik wastu, Romo Mangun pun menarik studi dari berbagai adat budaya serta agama di dunia. Namun, pada akhirnya, beliau menutup buku ini lagi-lagi dengan ajakan untuk meramu hal-hal baik dari masing-masing kutub untuk membawa kesejahteraan bagi semua, termasuk kaum marjinal.

Menurut kami, lebih dari sekadar kombinasi low and high technology, keberpihakan Romo Mangun terhadap rakyat kecil bisa diturunkan hingga dimensi material yang digunakan. Katakanlah sebuah joglo yang datang dari tradisi low technology, penggunaannya tidak lagi relevan untuk masyarakat kecil karena balok-balok kayu yang besar, panjang, dan utuh tidak mungkin terbeli. Romo Mangun mau tak mau harus bekerja dengan kayu-kayu yang pendek ukurannya—dan material apa pun yang tersedia, sekalipun itu sisa-sisa atau bahkan sudah menjadi sampah. Dari wawancara kami dengan Rina Eko Prawoto, adalah hal yang biasa ketika Romo Mangun meminta para tukang untuk mencabut paku-paku dari sebilah balok kayu. Baik kayu maupun pakunya, keduanya akan sama-sama digunakan lagi untuk kebutuhan lain.

Kami sempat berkunjung ke Wisma Kuwera. Sekilas bangunan ini seperti mencoba merespons konteks urban Yogyakarta dengan menciptakan kepadatan program ruang di dalamnya. Dimensi modulnya tidak lebih besar dari 3 meter, dengan komposisi vertikal yang saling saut, dengan variasi ketinggian lantai antara 1-1,5 meter. Pengalaman ruang yang tercipta sungguh sangat menarik, memantik pertanyaan, “Kok Romo kepikiran membuat sesuatu seperti ini?” Setelah dipikir-pikir lagi, dimensi yang kecil-kecil itu adalah respons dari terbatasnya akses terhadap material-material masif, hanya saja dikreasikan sedemikian rupa membentuk susunan ruang yang kreatif.

Keterbatasan material juga mendorong munculnya elemen-elemen multifungsi. Salah satunya adalah kerangka A yang banyak digunakan kemudian di Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Pertapaan Gedono. Di sini, atap juga menjadi dinding, kolom sekaligus menjadi rangka atap. Seperti sebuah loteng, tetapi justru digunakan sebagai ruang primer. Hadirnya dinding sejati atau elemen lainnya pun tumbuh sesuai kebutuhan, membuat bangunan bertransformasi secara elegan.

Ketika akses terhadap material begitu terbatas, mau tak mau seseorang harus mengerti bagaimana memaksimalkan material tersebut. Mungkin dari sini muncullah benih-benih yang menghasilkan tektonika seorang Mangunwijaya. Mengutip Mahatmanto (2001, Tektonika YB, Mangunwijaya), “Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya.” 

Yuswadi Saliya pernah berkesempatan mengamati Romo Mangun saat hendak membangun dinding pembatas dari kerawang/roster. Beliau membolak-balik balok roster tersebut cukup lama. “Ditumpuk, dideretkan, diserongkan … Dibidiknya dari sisi, dari bawah, menjauh kemudian menyimpang … Mencari posisi yang paling serasi, memadu lagu yang paling merdu.” Elaborasi dilakukan tanpa gambar, mengandalkan kepekaan indrawi ketika manusia berinteraksi dengan ruang bentuk. Yuswadi melihatnya sebagai sebuah bentuk kemerdekaan.

Dalam prosesnya Romo Mangun bergerak sangat erat dengan para tukang. Tak sebatas mengawasi, beliau mendidik, dan tak jarang beliau pun belajar hal baru dari mereka. Kedudukannya begitu tinggi hingga dituliskan dalam halaman persembahan buku Wastu Citra, “Buku ini ditulis untuk menghormati para tukang dan karyawan-karyawati lapangan, yang dalam cara-cara mereka tertentu telah menjadi mahaguru arsitektur yang ulung bagiku.” Merekalah sosok-sosok yang oleh Romo Mangun ingin diajak untuk merdeka bersama-sama.

Romo Mangun fokus pada proses berkarya, tidak hanya untuk menghasilkan uang secara pendekatan kapitalisme, tetapi uang yang didapat untuk mensejahterakan. Eko Prawoto pernah bercerita tentang gurunya ini, “Romo membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu.” Bisa jadi biaya yang dikeluarkan untuk tukang menjadi lebih tinggi dibanding biaya yang dikeluarkan untuk belanja material. 

Di titik ini kami teringat arsitek Louis Kahn saat mendesain Gedung Parlemen Bangladesh di Dhaka. Proyeknya membuka banyak lapangan kerja baru dan menjadi sarana pengembangan keterampilan tukang lokal. Yang membuat berbeda adalah pilihan material dari kedua arsitek ini. Untuk sebuah proyek sebesar Gedung Parlemen Bangladesh, penggunaan beton dan marmer menimbulkan gap ketukangan di tengah masyarakat yang terbiasa membangun menggunakan tanah, bambu, kayu, dan bata.

Di sinilah pilihan Romo Mangun untuk mengkombinasikan low dan high technology menjadi penting. Karenanya, para tukang tetap mengerjakan sesuatu yang masih dekat dengan kesehariannya, tetapi juga sembari bersama-sama mempelajari material atau teknik baru. Circular resource pun terjadi dengan bahan sisa atau bekas yang masuk kembali dalam siklus dibarengi para tukang yang kembali berdaya. Mahatmanto dalam dokumenter Wastu menyampaikan bagaimana Romo Mangun menyadari kualitas masyarakat yang heterogen. “Sehingga dia mengambil ambang bawah supaya semua bahan, semua ketukangan atau keterampilan yang dimiliki oleh para tukang itu bisa dimanfaatkan secara optimal.”

Namun, teknik yang sederhana bukan berarti hasilnya biasa-biasa saja. Justru pendekatan ambang bawah membuka kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi. Tak jarang para tukang mengusulkan hal baru yang tak terpikirkan Romo Mangun sebelumnya. Gunawan Tjahjono menggambarkan proses ini seperti permainan musik Jazz di mana tiap pemain punya kebebasan untuk memperkaya sebuah lagu. “Dari tukang ke pemakai, semua terlibat dan berpeluang menafsirkan. Para pelaku memiliki ruang berekspresi atas bagian-bagian bangunan yang mungkin akan seumur hidup dihuninya.” Pada akhirnya, setelah Romo Mangun sudah tak lagi bisa mendampingi, diharapkan pengguna dan para tukang nantinya bisa melanjutkan atau merawat secara mandiri.

Performa bangunannya sendiri juga dirancang untuk mendidik. Di Seminari Tinggi Fermentum Bandung misalnya, Romo Mangun membagi wisma untuk para frater (calon pastor) dalam unit-unit kecil berisikan 5-6 orang saja untuk membentuk komunitas-komunitas kecil seperti keluarga yang saling mengenal. Kombinasi low and high technology lagi-lagi diterapkan, memberikan unsur kesementaraan yang membutuhkan perawatan berkala. “Romo Mangun bilang biarin aja, supaya nanti para frater di setiap unit berlomba mana unit yang paling terawat,” tutur Pastor William. Romo Mangun seakan memberi penekanan bahwa menjadi imam bukanlah sebuah keistimewaan, melainkan untuk melayani komunitas. Kesadaran ini dibentuk dari kebiasaan sehari-hari, menggunakan fasilitas selayaknya dan memperbaiki titik-titik yang rusak.

Nilai-nilai keseharian menjadi salah satu hikmah yang kami temukan pada sosok Romo Mangun. Selain diterjemahkan pada program ruang dan garis besar rancangan, beliau seakan mencoba menangkap hal-hal baik dari keseharian masyarakat dan merayakannya dalam simbolisme. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari massa unik yang menjadi vocal point, pengulangan struktur, pola susunan material, hingga elemen-elemen dekoratif. 

Penggunaan simbolisme mungkin terkesan dangkal bagi sosok dengan kedalaman berpikir seperti Romo Mangun. Namun, barangkali ini adalah cara paling sederhana untuk menimbulkan kebanggaan pada masyarakat kecil yang beliau dampingi—bahwa setiap kehidupan itu berharga, bahwa keindahan hadir dalam berbagai keadaan. Di lembah Kali Code misalnya, yang diharapkan Romo Mangun adalah kebangkitan harga diri warganya. Dari sana akan timbul semangat untuk berjuang, untuk menempuh setiap proses tanpa harus selalu disuapi. Ia menyadari bahwa pengembangan diri setiap orang sebaiknya berangkat dari apa yang dia punya dan diupayakan sendiri, sehingga buah kesejahteraan yang dipanen tidak tercabut dari akar identitasnya.

Eksplorasi arsitektur Romo Mangun menunjukkan keseimbangan antara aspek ontologi tentang hakikat dari sesuatu, epistemologi terkait cara mengetahui informasi tersebut, dan aksiologi yang membahas keberpihakan. Di ontologi, Romo Mangun berada dalam situasi di mana ia harus memahami karakter material secara mendalam hingga akhirnya menelurkan tektonika. Di epistemologi, beliau dibayangi arsitektur barat, tetapi di saat yang bersamaan menghadapi realita yang kontras, sehingga lahirlah metode mendesain yang mengkombinasikan low dan high technology. Pada aksiologi, keberpihakan Romo Mangun terhadap masyarakat marjinal menghasilkan elaborasi ketukangan yang menjadi bahasa estetika baru dan bisa dilanjutkan meski Romo Mangun sudah tidak ada. Setiap individu pasti memiliki tiga aspek ini dalam perjuangannya, hanya saja tidak banyak yang bisa menunjukkan totalitas di ketiganya, apalagi di titik aksiologi yang memerlukan empati dan keteguhan prinsip.

Ketika ditanya pendapatnya tentang Pameran Arus Silang AMI (Arsitek Muda Indonesia) di Jakarta (1992) yang mengangkat pendekatan ala dekonstruksi, Romo Mangun merasa apa yang mereka lakukan adalah cara yang ketinggalan zaman. Dalam artian, apabila arsitektur dikembangkan demi arsitektur itu sendiri—apabila fokusnya pada fungsi, ruang, dan permainan bentuk saja—kapan arsitektur bisa hadir untuk menanggapi permasalahan yang ada di Indonesia? Pada akhirnya, arsitektur bagi Romo Mangun bukanlah tujuan akhir. Ia adalah salah satu kendaraan yang dipakai untuk mendukung keberpihakannya.

Selain berarsitektur, menulis menjadi kelihaian lain Romo Mangun dalam mengkomunikasikan pemikirannya. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra hanya segelintir dari 35 judul buku yang pernah beliau tulis. Tidak hanya tema arsitektur, beliau justru banyak menulis esai kritik sosial tentang kesejahteraan rakyat dan pendidikan, selain juga menulis soal spiritualisme dan kemanusiaan. Beliau juga menelurkan puluhan artikel yang diterbitkan dalam antologi dan berbagai media massa sepanjang 1978-1998. Kekuatan Romo Mangun ada pada gaya menulisnya. Tidak kaku dengan diksi intelek seperti tulisan akademik, tetapi justru terkesan lebih amatir dengan pendekatan yang menyentuh. Tidak dengan teori yang mendakik-dakik, tetapi berdasarkan pengalamannya langsung sebagai praktisi dan pendidik. Refleksinya memberikan interpretasi baru pada fenomena yang selama ini ada dan membuka alternatif praktik atau penyelesaian masalah. (Darwis Khudori, 2001)

Namun, di antara banyak jenis tulisan yang pernah dibuat Romo Mangun, karya fiksi menjadi kendaraan terkuatnya. Esai-esai mungkin hanya akan dibaca oleh orang-orang terpelajar, sedangkan kalangan yang menjadi targetnya seringkali tidak memiliki akses pendidikan yang memadai. Fiksi pun menjadi media yang mampu menyentuh lebih banyak audiens, dan dengan adanya karakter, Romo Mangun dapat menggambarkan kompleksitas kehidupan yang selama ini beliau renungkan. Beberapa karya fiksi yang beliau tulis antara lain: Trilogi Roro Mendut, Rumah Bambu, Pohon-Pohon Sesawi, dan tentunya yang paling dikenal Burung-Burung Manyar.

Sama dengan karya-karya Romo Mangun dalam media lain, keberpihakan terhadap rakyat kecil masih menjadi tema utama dalam karya fiksinya, dielaborasi dengan nilai-nilai filosofis dalam menghadapi ekosistem pasca-kolonialisme yang rentan di berbagai bidang (lingkungan hidup, sosio-politik, budaya, sejarah). Akan tetapi, itu semua dibalut dalam metafora yang menyembunyikan kritik tajam yang sesungguhnya. Lagi-lagi Romo Mangun bermain dengan simbolisme. Selain agar pesan lebih mudah dicerna, faktor rezim Orde Baru yang ketat sensor dan antikritik membuatnya harus mencari jalur komunikasi alternatif. Strategi ini mengingatkan pada penulis Amerika, Ernest Hemingway (1899-1961) yang juga menggunakan metafora keseharian yang interpretatif untuk mengkritik peperangan, materialisme di dunia modern, dan isu sosial lainnya.

Burung-Burung Manyar

Romo Mangun di Burung-Burung Manyar, mengajak kita menyelami kehidupan masyarakat biasa di Indonesia pada rentang masa 1934-1978. Novelnya berkisah tentang Teto, pemuda keturunan campuran Indo-Jawa pro-Belanda yang kemudian berubah setelah bertemu Atik, gadis pribumi yang cerdas dan berani, tetapi juga punya sisi feminin dan hangat. Atik diceritakan menulis disertasi tentang “Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar”. Dari situ pembaca bisa menarik makna lebih dalam dari karakter Burung Manyar yang dikenal dengan kemampuan menganyam sarang. 

Burung Manyar

Teto tak ubahnya manyar jantan yang sedang berusaha membangun “sarang” untuk betinanya, tetapi ia harus lebih dahulu menghadapi krisis identitas dan pencarian “tempat” di tengah negara yang bergejolak. Sementara, Atik si manyar betina baru bersedia dipinang setelah memastikan bahwa sarangnya aman untuk bertelur. Metafora burung manyar memberikan pelajaran bahwa yang terpenting bukanlah rasa cinta terhadap pasangan, tetapi bagaimana pasangan ini bisa menyiapkan lingkungan yang kondusif untuk bertelur dan membesarkan generasi baru burung manyar. 

Masuk era 1980-an, kondisi sosial yang kritis nampaknya membuat Romo Mangun tak lagi bisa tenang di balik jubah pastur, arsitek, ataupun penulisnya. Visi pembangunan Orde Baru yang berorientasi pada modernisme dan keindahan kota berujung pada tergusurnya kaum-kaum marjinal. 

Salah satu yang menjadi korban adalah warga bantaran Kali Code di Yogyakarta. Rata-rata mereka adalah warga desa yang tidak lagi bisa sejahtera sebagai petani dan mencoba mencari peruntungan dengan merantau, tetapi justru tidak menemukan tempat di kota. Akhirnya, mereka bermukim di “ruang-ruang negatif” dan bekerja di sektor buangan, bahkan waktu itu Kampung Code sering dicap sarang preman dan PSK. Upaya penggusuran pada pemukiman ilegal ini sudah dilakukan berkali-kali sejak 1960-an dan aliran lahar Gunung Merapi pun turut mengancam kelangsungan kampung, tetapi warga selalu berhasil untuk kembali bermukim di sana lagi.

Prihatin melihat kondisi yang kurang kondusif bagi mental masyarakat dan pembelajaran anak-anak di sana, pada 1981 Romo Mangun mulai meninggalkan kesehariannya sebagai pastor dan tinggal bersama warga di Kali Code. Romo Mangun bernegosiasi untuk merevitalisasi kampung agar lebih aman, bersih, dan tertata. Pembangunan sepanjang tahun 1983-1987 menggunakan bambu, kayu, dan material murah lainnya, ternyata berhasil meningkatkan kualitas fisik kampung ini. Simbolisme terbentuk dari bahasa arsitektur yang sederhana ini, ditambah dekorasi warna-warni dari goresan cat yang membuat suasana lebih hidup. Revitalisasi ini menumbuhkan kebanggaan pada diri warga serta mengangkat nilai Kampung Kali Code di mata masyarakat umum. Kesejahteraan sosio-ekonomi warga Code pun turut membaik seiring waktu. Pada 1992, proyek ini mendapat penghargaan Aga Khan Award for Architecture.

Perjuangan Romo Mangun masih belum berhenti di sini. Seperti pada novel Burung-Burung Manyar yang ia tulis, generasi muda selalu jadi perhatian Romo Mangun. Satu dekade terakhir hidupnya didedikasikan untuk menciptakan ekosistem pendidikan dasar yang menyenangkan dan memerdekakan. Namun, biar cerita itu kita simpan untuk lain waktu. 

Di titik ini, kita cukup tahu bahwa empati dan keinginan Romo Mangun untuk bertindak amatlah besar hingga satu cara pun tak cukup untuk menyalurkan kehendaknya. Biasanya, orang yang empatinya begitu dalam memiliki daya yang terbatas karena emosi yang menguras energi. Namun, Romo Mangun justru bisa merdeka dari jebakan ini. Jolanda Atmadjaja melihat ini sebagai respons yang matang terhadap kondisi “Split Subject”. Psikoanalis Jacques Lacan (1901–1981) mengemukakan teori ini di 1960-an, menyatakan bahwa manusia tidak pernah memiliki identitas yang utuh, melainkan selalu terpecah—di antaranya karena simbol/label/peran sosial yang tersemat pada diri dan juga gap antara kondisi ideal yang kita impikan dengan realita yang terjadi. Seyogianya, manusia akan terus mencari titik seimbang, mengejar sesuatu yang membuat dirinya merasa utuh, mengembangkan perannya terus menerus. Kebanyakan orang, terutama yang baru memulai perjalanan menemukan jati diri, mungkin akan terjebak dalam ilusi satu peran/label saja, mengiranya sebagai kondisi utuh. 

Pengalaman menghadapi realita yang ekstrem sejak muda barangkali membuat Mangunwijaya begitu cepat merespons kondisi split dan pandai memposisikan ulang dirinya dalam peran lain lantaran menyadari adanya batasan dalam peran yang sebelumnya. Ia menyadari bahwa tidak semuanya bisa diselesaikan dari satu perspektif. Ia juga menyadari bahwa tidak semua bisa diselesaikan sendirian, sehingga ia senantiasa mengajak orang lain untuk ikut bergerak. Di titik ini ia mampu merubah konstruk dengan produktivitas di banyak lini dan berkonstelasi. Ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah terjun total dan menyadari bahwa batas-batas ilmu itu sebenarnya bisa dirangkai ulang.

Berkaca pada Kampung Code, hingga saat ini ia masih berdiri, sebagian bangunan yang seharusnya temporer sudah berubah menjadi lebih permanen. Memang, ini menyalahi visi dasar Romo Mangun untuk Code sebagai shelter sementara bagi warganya sampai mereka berangsur mandiri dan pindah ke tempat yang lebih baik. Hanya saja perubahan sosial yang terjadi ternyata tidak secepat yang diimpikan Romo Mangun. Meski patut disyukuri bahwa generasi mudanya saat ini sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan punya prospek yang lebih baik daripada orangtuanya.

Melihat apa yang hadir, pertanyaannya bukan sejauh mana Romo Mangun bisa berjuang untuk Kampung Code, tetapi bagaimana visi tersebut bisa terus mengudara jauh di atas bentuk arsitektural, bagaimana memperjuangkan tempat yang membumi, dan sejauh mana kata kemerdekaan itu bisa direnungi dan dihidupkan oleh generasi penerus Romo Mangun.

Romomangun bersama anak-anak Code

English translation

Romo Mangun: Footprints of Architecture That Humanizes

During the process of writing this article, a designer at our studio asked, “Why does Kak Rich write about Romo Mangun? Why do we, the younger generation, need to know about him?”

Well, studying the figure of Romo Mangun is not merely a historical responsibility. Reflecting on the author’s practice in Jakarta, amid the hustle and bustle of provocative, business-oriented architecture in the capital, Romo Mangun, through his work, demonstrated that many segments of society need a more accessible approach. Indonesia is not just about Jakarta, and his endeavors strategically addressed this dilemma through his multifaceted roles, breaking through the often contradictory boundaries of the architectural profession.

An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan

In a meeting with the late Adhi Moersid, he shared his experience of studying alongside Y.B. Mangunwijaya at ITB (Bandung Institute of Technology) in 1959–1960. According to him, Mangunwijaya often came to campus wearing his priestly robes. This snippet of memory might seem amusing to those of us more familiar with Mangunwijaya through his built works—though we know he was often called “Romo” (a Javanese term for a Catholic priest), and many of his projects were Catholic religious facilities.

Drawing a parallel with Antoni Gaudí, whom we discussed previously, Mangunwijaya was a “species” of architect whose work transcended the boundaries of design, extending into teaching, writing, activism, and service. From his priestly robes to the tales of weaverbirds and bamboo weaving along the banks of Kali Code, what drove Mangunwijaya to pursue this multispectral path? What vision did he champion?

Born on May 6, 1929, in Ambarawa, Central Java, into a Catholic family with both parents as teachers, Yulianus Sumadi Mangunwijaya grew up in a religious and educated environment. From a young age, he aspired to become an architect, but before he could finish school, he joined the struggle for independence as a student soldier from 1945 to 1948. During this time, he witnessed how villagers supported the soldiers while also becoming victims of colonial brutality. He saw his comrades fall, and it’s likely he himself experienced moments on the brink of life and death.

At that point, he may have realized that surviving such events was a blessing in itself, and that life was too precious to live halfheartedly. Mangunwijaya felt compelled to “repay a debt to the people,” and the path he chose was service as a priest. At the age of 21, he enrolled in St. Paulus Seminary in Yogyakarta, despite being older than most of the other aspiring priests.

In the book The Altruism of Romo Mangun by Darwis Khudori, it is explained that after graduating from Sancti Pauli, Mangunwijaya was ordained as a priest by Bishop Albertus Soegijapranata. He took on the official name we now know well: Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. However, just one day after becoming a priest, Bishop Soegija requested that he study architecture, so he could build places of worship in various regions with a local architectural language rather than a colonial one. This led him to study at ITB, where he met Adhi Moersid in 1959–1960, before later continuing his education at the Rhein Westfalen Technical School in Germany, where he earned his degree.

Upon returning to Indonesia, Romo Mangun began constructing numerous churches and retreat houses in Yogyakarta (DIY) and Central Java (Jateng). He also designed projects beyond the church’s scope, including residences, boarding houses, housing complexes, and schools. Some of his notable works include the Maria Assumpta Church (1967–1969), Sendang Sono (1972–1991), the Kali Code Riverside Settlement (1983–1987), Arief Budiman House (1986–1987), Wisma Kuwera (1986–1999), Fermentum Seminary (1996), and many others.

Looking at the development of Indonesian architecture post-independence, there was always an urgency to define what Indonesian architecture should be. At the time, Western modern architecture was the preferred style to build a new, strong national identity, initiated by President Soekarno and continued under President Soeharto through monumental projects and urban planning.

However, Romo Mangun lamented the application of architecture without consideration for Indonesia’s tropical climate and culture, as seen in Jakarta with its concrete-and-glass buildings. Moreover, architecture that required industrial materials and advanced construction techniques was difficult to implement for ordinary people, most of whom lived in small towns or villages—a reality Mangunwijaya knew well from his childhood and his daily life as a priest. Thus, alongside the need to define a national identity through architecture, there arose a concern for an Indonesian architecture that was relevant to the climate, natural resources, and daily lives of the general populace.

The generation of architects active at the time, such as Friedrich Silaban, Soejoedi, and Romo Mangun himself, mostly studied architecture abroad, particularly in Germany. It’s no surprise, then, that the architectural language they used was heavily influenced by modernism. However, each architect had their own way of interpreting local climate conditions and Indonesian society in their works.

Friedrich Silaban (1912–1984), despite working on monumental projects with modern mass compositions, always incorporated wide openings and louvers to block direct sunlight. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928–1981) preferred using wide eaves instead of louvers to respond to the climate. Culturally, he drew inspiration from the Javanese concept of inner and outer spaces as a basis for balanced spatial programming, even though his mass compositions were entirely new and conveyed an independent image.

Meanwhile, Adhi Moersid, a peer who studied locally, took a more localized approach with his concept of Wooden Board Architecture, as outlined in his book Kagunan. The principle involved combining two flat wooden boards to form a stronger rafter, enabling roof construction without purlins. This concept marked a leap from frame structures to planar structures. The arrangement of wooden boards also produced a neater and more aesthetically pleasing visual when exposed, creating a “new ceiling.”

Each of these architects had their own methods for working with space and materials. For the monumental scale of Silaban and Soejoedi’s works, concrete and fabrication techniques were relevant. Even simple visuals required a specific tectonic approach to ensure seamless connections between materials. Adhi Moersid’s approach was more technocratic, focusing on the science itself and the context of cost, quality, and time in a project. He pushed boundaries with natural, local wood materials, though these still needed to be sourced from the “market” with uniform specifications.

When it comes to Romo Mangun, every aspect was thoroughly explored. From the shape of the roof to the arrangement of bricks, the texture of concrete, and the details of joints—nothing was overlooked. Yuswadi Saliya once described Sendang Sono with the expression, “His desire to create left its mark everywhere. Witnessing it can be exhausting; the details tell an unending story, greeting you at every curve and turn. Triangles and rectangles form planes and spaces that echo and resonate, rising and falling in tiers, creating a human-made spectacle that blends with the winding river and the ridges and valleys of the hills. It’s incredibly complex. Diverse.” Diversity in technique became the hallmark of Romo Mangun’s architecture. His concept was variational or hybrid, reflecting the context of the location where his architecture stood.

In terms of mass composition, he often explored sloped roof forms, considering the use of tiles as a covering that was easily available and relatively affordable compared to concrete roof installations, especially given Indonesia’s high rainfall. Romo Mangun’s roofs spanned wide, often dominating the building’s image. With low body proportions, there seemed to be an effort to keep the scale humane, making maintenance easier.

To support these roofs, a variety of materials were used. Out of his roughly 30 built works, more than a dozen churches primarily used concrete as a structural element. Sometimes it served merely as columns when the roof span could still be supported by wooden structures; other times, it appeared as beams when the church’s capacity was too large. Meanwhile, in smaller churches, retreat houses, schools, or residences with modest areas, the primary structural role was typically taken by wood.

However, even when concrete was used, Romo Mangun was not accustomed to leaving it plain. Patterns were etched into it—sometimes in regular designs, sometimes using molds made from bamboo or reclaimed wood—giving an organic impression, like a tree within the building. The dimensions of the concrete were kept slender and arranged in rhythmic repetition to soften its rough, heavy character (Tjahjono, 1995). Sometimes, cantilever beams were molded to resemble branches. In Romo Mangun’s hands, concrete became softer and often felt organic.

Moving to the body of the building, Romo Mangun often designed his public spaces, especially churches, to be open without enclosing walls, except for a single row behind the altar. First, this maximized airflow—similar to Silaban’s belief that Indonesia needed wide roofs to shield from the sun’s heat rather than walls that block the equatorial breeze, which moves at a modest speed. Second, this was due to his concept of the “market church.” Romo once advised, “When religiosity becomes more deeply rooted in the light of God, then the true human being is a reflection of God’s own shadow” (Mudji Sutrisno, 2001). There was no urgency to separate the sacred space of the church from the “market” of daily life. Instead, that boundary was opened to bridge the souls seeking God’s light.

When a wall was needed, it took various forms: brick, wood, bamboo, natural stone, concrete, or a combination of them all. The parameters were not far from budget constraints, material availability on-site, the creativity of craftsmanship, and community empowerment. For example, the Convent of the Sisters of the Mother of Unity in Gedono, Salatiga, was initially designed with brick walls. However, when Romo Mangun surveyed Gedono, he noticed that many locals worked as gravel stone cutters. He had the idea to employ them to cut larger stones from the nearby Banaran area, which was closer than sourcing bricks from Klaten. This reduced costs, and the locals learned new skills in cutting large stones neatly. Materials that seemed ordinary were transformed in an extraordinary way.

For the floors, in some of his works constructed with wood—particularly residences—Romo Mangun often applied a raised floor structure. Examples include parts of Wisma Salam, Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and Wisma Kuwera. This was a response to Indonesia’s humid tropical climate, which can affect wood. But beyond that, the combination of raised and conventional floor structures within a single work created a dynamic play of heights, making the spaces within feel delightful!

Romo Mangun’s architecture became a key precedent in the collaboration between low technology and high technology. Julia Watson, in her book Lo-TEK (2019), explains that low technology, or lo-tech, is often associated with simple, unsophisticated, uncomplicated systems or machines from before the industrial revolution. We also see it as an intuitive and impulsive method, with solutions that emerge spontaneously on-site. Conversely, high technology (high-tech) is new, advanced, and gives the impression of being a better option. Watson reveals that high-tech systems, which attempt to be a solution for all problems, often contradict the heterogeneity or diversity within the complexity of ecosystems.

Therefore, high-tech isn’t always the answer. The combination of lo-tech and high-tech became the middle ground Romo Mangun adopted to address the gap between cutting-edge Western architecture, which dominated the world, and the local architecture that was part of Indonesian daily life at the time. This reflection on his concerns eventually led to the creation of the books Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (Introduction to Building Physics) and Wastu Citra (The Image of Building).

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) focused more on technical aspects and responses to Indonesia’s tropical climate, as well as natural phenomena like earthquakes. It included a special chapter discussing the application of local materials such as bamboo, wood, and brick, which were suitable for Indonesian conditions. Aimed at students and non-academic practitioners, the book was written in simple language with diagrams and practical examples. There was an understanding that society had limited access to high technology, so Western-based architectural education needed to be balanced with knowledge of building methods relevant to local conditions.

Meanwhile, Wastu Citra (1988) took a more discursive perspective. Published at a time when Romo Mangun no longer wished to serve as a priest and was more involved in activism with the lower classes, he likely saw how traditional building practices and those developed in daily life were often not considered part of architecture. Thus, he used the term “wastu,” which encompasses all forms of building activities, to level the playing field.

Revianto B. Santosa, in the documentary Wastu, observed how Romo Mangun took a “universal” approach in this book: not only discussing the strengths of Indonesian architecture with its tropical climate and vernacular culture but also including chapters on Western architecture and its philosophy, as well as international inspirations from Greece, Japan, and India. When discussing deeper cosmological meanings beyond the physical form of wastu, Romo Mangun drew on studies from various cultural and religious traditions around the world. However, he ultimately concluded the book with a call to blend the best elements from each pole to bring prosperity to all, including the marginalized.

In our view, beyond just combining low and high technology, Romo Mangun’s commitment to the common people extended to the very dimensions of the materials he used. Take a joglo—a traditional Javanese house from the low-tech tradition; its use was no longer relevant for the lower classes because large, long, and solid wooden beams were unaffordable. Romo Mangun had to work with shorter pieces of wood—and whatever materials were available, even if they were scraps or what others might consider trash. From our interview with Rina Eko Prawoto, it was common for Romo Mangun to ask workers to remove nails from a piece of wood. Both the wood and the nails would be reused for other needs.

We had the chance to visit Wisma Kuwera. At first glance, the building seems to respond to Yogyakarta’s urban context by creating a dense program of spaces within. Its modular dimensions are no larger than 3 meters, with a vertical composition that interlocks, featuring floor height variations between 1 and 1.5 meters. The spatial experience it creates is truly fascinating, prompting the question, “How did Romo come up with something like this?” Upon further reflection, those small dimensions were a response to limited access to massive materials, creatively arranged to form an innovative spatial composition.

Material limitations also gave rise to multifunctional elements. One example is the A-frame structure, which was later widely used in Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and the Gedono Convent. Here, the roof also served as a wall, and the columns doubled as the roof frame. It was like an attic but used as a primary space. The presence of actual walls or other elements grew as needed, allowing the building to transform elegantly.

When access to materials was so limited, one had to understand how to maximize what was available. Perhaps this was the seed that produced Mangunwijaya’s tectonics. Quoting Mahatmanto (2001, Tectonics of YB Mangunwijaya), “Understanding the material is the starting point in building, and that can only be done by directly touching and feeling the qualities it holds.”

Yuswadi Saliya once had the chance to observe Romo Mangun while he was about to build a partition wall from lattice blocks. He spent a long time turning the blocks over. “Stacking them, lining them up, angling them… He examined them from the side, from below, stepping back and then shifting… Searching for the most harmonious position, composing the most melodious tune.” The elaboration was done without drawings, relying on sensory sensitivity as a human interacts with the form of space. Yuswadi saw this as a form of freedom.

In his process, Romo Mangun worked closely with the workers. He didn’t just oversee them—he educated them, and often, he learned new things from them as well. Their significance was so great that he dedicated a page in Wastu Citra to them: “This book is written to honor the workers and field laborers who, in their own way, have become master teachers of architecture to me.” They were the ones Romo Mangun wanted to invite to achieve freedom together.

Romo Mangun focused on the creative process, not just to make money through a capitalist approach, but to use the money earned to bring prosperity. Eko Prawoto once shared a story about his teacher: “Romo created those details not for aesthetic reasons, but to prolong the work, so the workers could stay employed longer at the site.” It’s possible that the cost spent on labor exceeded the cost of materials.

This reminds us of the architect Louis Kahn when he designed the National Parliament Building in Dhaka, Bangladesh. His project created many new jobs and became a means of skill development for local workers. What sets them apart is their choice of materials. For a project as large as the Parliament Building, the use of concrete and marble created a craftsmanship gap in a society accustomed to building with earth, bamboo, wood, and brick.

This is where Romo Mangun’s choice to combine low and high technology becomes significant. As a result, the workers could continue working on something familiar to their daily lives while also learning new materials or techniques together. A circular resource system emerged, with leftover or used materials reentering the cycle alongside workers who were re-empowered. Mahatmanto, in the documentary Wastu, explained how Romo Mangun recognized the heterogeneous quality of society: “So he took the lowest threshold to ensure that all materials, craftsmanship, and skills possessed by the workers could be utilized optimally.”

However, simple techniques didn’t mean ordinary results. On the contrary, the low-threshold approach opened opportunities for everyone to participate. Often, the workers proposed new ideas that Romo Mangun hadn’t thought of before. Gunawan Tjahjono described this process as a jazz performance, where each player has the freedom to enrich the song: “From the workers to the users, everyone was involved and had the chance to interpret. The participants had the space to express themselves through parts of the building they might inhabit for a lifetime.” Ultimately, after Romo Mangun was no longer there to guide them, it was hoped that the users and workers could continue or maintain the buildings independently.

The buildings’ performance was also designed to educate. At the Fermentum Seminary in Bandung, for instance, Romo Mangun divided the residence for the fraters (priest candidates) into small units of 5–6 people to form small, family-like communities that knew each other well. The combination of low and high technology was again applied, introducing a sense of temporariness that required regular maintenance. “Romo Mangun said, ‘Let it be, so the fraters in each unit can compete to see which unit is the best maintained,’” said Father William. Romo Mangun seemed to emphasize that being a priest is not a privilege but a role to serve the community. This awareness was cultivated through daily habits—using facilities appropriately and repairing any damaged parts.

The values of everyday life were one of the lessons we found in Romo Mangun’s figure. Beyond being translated into spatial programs and overall designs, he seemed to capture the good aspects of society’s daily life and celebrate them through symbolism. This could take various forms, from unique masses as focal points to repetitive structures, material arrangement patterns, and decorative elements.

The use of symbolism might seem superficial for a thinker as profound as Romo Mangun. However, this might have been the simplest way to instill pride in the small communities he served—that every life is valuable, that beauty exists in all circumstances. At the Kali Code valley, for example, what Romo Mangun hoped for was the revival of the residents’ self-esteem. From there, a spirit to strive would emerge, to go through every process without always being spoon-fed. He realized that personal development should stem from what one has and be achieved independently, so the fruits of prosperity reaped are not uprooted from their identity.

Romo Mangun’s architectural exploration demonstrates a balance between ontology (the essence of something), epistemology (the way of knowing that information), and axiology (the study of values and biases). In ontology, Romo Mangun was in a position where he had to deeply understand the character of materials, ultimately giving birth to his tectonics. In epistemology, he was overshadowed by Western architecture but simultaneously faced a contrasting reality, leading to a design method that combined low and high technology. In axiology, Romo Mangun’s commitment to the marginalized produced a craftsmanship elaboration that became a new aesthetic language, one that could continue even after he was gone. Every individual undoubtedly has these three aspects in their struggle, but few can demonstrate totality across all three, especially in axiology, which requires empathy and steadfast principles.

When asked his opinion on the 1992 Arus Silang AMI (Young Indonesian Architects) Exhibition in Jakarta, which promoted a deconstructivist approach, Romo Mangun felt that what they were doing was outdated. In the sense that if architecture is developed for architecture’s sake—if the focus is only on function, space, and form—when will architecture address the real issues in Indonesia? Ultimately, for Romo Mangun, architecture was not the end goal. It was merely one vehicle he used to support his advocacy.

Beyond architecture, writing became another skill Romo Mangun used to communicate his thoughts. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan and Wastu Citra are just a few of the 35 books he authored. His works weren’t limited to architecture; he wrote extensively on social critique regarding people’s welfare and education, as well as on spirituality and humanity. He also produced dozens of articles published in anthologies and various mass media from 1978 to 1998. Romo Mangun’s strength lay in his writing style. It wasn’t rigid with intellectual diction like academic writing but felt more amateurish in an approachable way. It wasn’t laden with lofty theories but was based on his direct experience as a practitioner and educator. His reflections offered new interpretations of existing phenomena and opened alternative practices or solutions to problems (Darwis Khudori, 2001).

However, among the many types of writing Romo Mangun produced, fiction became his most powerful medium. Essays might only be read by the educated, while his target audience often lacked access to adequate education. Fiction became a medium that could reach a broader audience, and through characters, Romo Mangun could depict the complexities of life he had long contemplated. Some of his fictional works include the Roro Mendut Trilogy, Rumah Bambu (Bamboo House), Pohon-Pohon Sesawi (Mustard Trees), and, of course, the most well-known, Burung-Burung Manyar (The Weaverbirds).

As with his works in other media, his commitment to the common people remained the central theme in his fiction, elaborated with philosophical values in facing the fragile post-colonial ecosystem across various fields (environment, socio-politics, culture, history). However, this was all wrapped in metaphors that concealed his sharp critiques. Once again, Romo Mangun played with symbolism. Besides making the message more digestible, the strict censorship and anti-criticism stance of the New Order regime forced him to find alternative communication channels. This strategy is reminiscent of the American writer Ernest Hemingway (1899–1961), who also used interpretive metaphors of daily life to critique war, materialism in the modern world, and other social issues.

In Burung-Burung Manyar, Romo Mangun invites us to delve into the lives of ordinary Indonesians from 1934 to 1978. The novel tells the story of Teto, a young man of mixed Indo-Javanese descent who initially sided with the Dutch but changed after meeting Atik, a smart and brave indigenous girl with a feminine and warm side. Atik is depicted as writing a dissertation on “Identity and Visual Language in the Communication Structure of the Weaverbird (Ploceus Manyar) Variety.” From this, readers can draw deeper meanings from the weaverbird’s character, known for its nest-weaving ability.

Teto is akin to a male weaverbird trying to build a “nest” for his mate, but he must first confront an identity crisis and a search for his “place” in a turbulent nation. Meanwhile, Atik, the female weaverbird, is only willing to be courted after ensuring the nest is safe for laying eggs. The weaverbird metaphor teaches that the most important thing is not the love for one’s partner but how the couple can create a conducive environment for laying eggs and raising the next generation of weaverbirds.

Entering the 1980s, the critical social conditions seemed to make Romo Mangun unable to remain at ease behind his roles as a priest, architect, or writer. The New Order’s development vision, which prioritized modernism and urban beautification, led to the displacement of marginalized communities.

One group affected was the residents along the banks of Kali Code in Yogyakarta. Most of them were villagers who could no longer prosper as farmers and sought better fortunes by migrating to the city, only to find no place for themselves. They ended up settling in “negative spaces” and working in discarded sectors, with Kampung Code often labeled at the time as a den of thugs and sex workers. Eviction attempts on this illegal settlement had been made multiple times since the 1960s, and the lava flows from Mount Merapi further threatened the village’s survival, but the residents always managed to return and resettle.

Concerned about the conditions that were detrimental to the community’s mental well-being and children’s education, in 1981, Romo Mangun left his daily life as a priest and began living with the residents of Kali Code. He negotiated to revitalize the village to make it safer, cleaner, and better organized. Construction from 1983 to 1987, using bamboo, wood, and other affordable materials, successfully improved the physical quality of the village. Symbolism emerged from this simple architectural language, enhanced by colorful decorations from painted strokes that brought the atmosphere to life. This revitalization fostered pride among the residents and elevated the value of Kampung Kali Code in the eyes of the wider community. The socio-economic welfare of the Code residents also improved over time. In 1992, this project received the Aga Khan Award for Architecture.

Romo Mangun’s struggle didn’t stop there. As in his novel Burung-Burung Manyar, the younger generation was always a focus for him. The last decade of his life was dedicated to creating a joyful and liberating elementary education ecosystem. But let’s save that story for another time.

At this point, it’s enough to know that Romo Mangun’s empathy and desire to act were immense, to the extent that a single medium was not enough to channel his will. Typically, people with such deep empathy have limited capacity due to the emotional toll it takes. However, Romo Mangun managed to break free from this trap. Jolanda Atmadjaja sees this as a mature response to the “split subject” condition. Psychoanalyst Jacques Lacan (1901–1981) introduced this theory in the 1960s, stating that humans never have a whole identity but are always fragmented—partly due to the symbols, labels, or social roles attached to them, and the gap between the ideal conditions we dream of and the reality we face. Ideally, humans will continually seek balance, chasing something that makes them feel whole, constantly evolving their roles. Most people, especially those just beginning their journey of self-discovery, might get trapped in the illusion of a single role or label, mistaking it for wholeness.

Perhaps Mangunwijaya’s experiences facing extreme realities from a young age allowed him to quickly respond to this split condition and adeptly reposition himself in other roles, recognizing the limitations of his previous ones. He understood that not everything could be resolved from a single perspective. He also realized that not everything could be solved alone, so he consistently invited others to join the movement. At this point, he was able to reconstruct frameworks, being productive across multiple domains and forming constellations with others. This can only be achieved by someone who has fully immersed themselves and realized that the boundaries of knowledge can be reimagined.

Looking at Kampung Code, it still stands to this day, though some buildings meant to be temporary have become more permanent. This does go against Romo Mangun’s original vision for Code as a temporary shelter for its residents until they could become independent and move to better places. However, the social changes that occurred were not as rapid as he had hoped. Still, it’s worth celebrating that many of the younger generation there now have higher education and better prospects than their parents.

Given what remains, the question is not how far Romo Mangun could fight for Kampung Code, but how his vision can continue to soar far beyond its architectural form, how to advocate for a grounded place, and to what extent the concept of freedom can be contemplated and brought to life by Romo Mangun’s successors.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam Dunia Arsitektur Menuju 2030

Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam dunia arsitektur menuju 2030. Arsitektur dipahami sebagai profesi yang sedemikian tertutup, bebas nilai, padahal desain bisa jadi sangat efisien, strategis dan kolaboratif. Sebagai refleksi terhadap beberapa kejadian di sekitar studio kami, dimana banyak kesalahpahaman terjadi karena ketidaktahuan. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia. Mulai dari klien, kontraktor, vendor, hingga tukang, dan juga tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja efektif dan keunggulan hasil akhir proyek. Sederhananya dalam praktik arsitektur harus memenuhi tiga aspek utama optimalisasi: biaya, mutu, dan waktu. Namun, batasan-batasan tersebut sering kali terpengaruh oleh kondisi psikologis.

Di berbagai belahan dunia, kita dapat melihat bagaimana pergolakan ekonomi memengaruhi arah dan bentuk arsitektur. Pergolakan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk—mulai dari momentum politik, peristiwa global tertentu, hingga gelombang perubahan yang dipicu oleh krisis ekonomi global.

Salah satu contoh studi kasus yang berulang adalah dampak dari penyelenggaraan Olimpiade. Ambil contoh Olimpiade 2008 di Beijing, yang bertepatan dengan krisis finansial global. Kompleksnya kordinasi dan perencanaan program yang minim setelah olimpiade menyebabkan bengkaknya biaya pembangunan karena simbol yang dipaksakan dan banyak fasilitas menjadi kosong.

Pasca-Olimpiade, China menyadari perlunya pendekatan baru dalam arsitektur dan pembangunan. Negara ini mulai berfokus pada investasi dalam arsitektur lokal dan memperkenalkan desain lokal yang lebih efektif dan fleksibel.

Sebaliknya, Olimpiade 2012 di London, meskipun masih terpengaruh oleh efek krisis finansial 2008, menunjukkan bagaimana perencanaan yang matang dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Dengan mempertimbangkan sisi penataan kota, organisasi land use yang sebelumnya kawasan industri yang tidak optimal menjadi pusat ekonomi, kultural, sosial sekaligus memperbaiki lingkungan dan kapasitas infrastruktur. Pemerintah merencanakan penggunaan kembali fasilitas pasca-acara, London berhasil meningkatkan ekonomi kawasan sekitarnya.

Pergolakan ekonomi global juga mempengaruhi berbagai gerakan arsitektur yang muncul sebagai respons terhadap tantangan sosial dan ekonomi. Setelah Great Depression pada 1930-an, misalnya, arsitektur mulai beralih menjadi lebih fungsional dan mengurangi penggunaan ornamen yang berlebihan. Kehancuran yang terjadi setelah Perang Dunia II pada periode 1950 hingga 1970-an juga mendorong munculnya desain arsitektur yang lebih sederhana, cepat dibangun, dan ekonomis, guna memenuhi kebutuhan mendesak.

Contoh lain dari pengaruh pergolakan ekonomi terhadap arsitektur adalah munculnya gerakan Vkhutemas setelah Revolusi Bolshevik 1917. Pemerintah Soviet yang baru dibentuk ingin membangun negara yang lebih efisien melalui arsitektur yang mendukung industrialisasi dan efisiensi biaya. Gerakan ini berfokus pada penggunaan teknik dan material baru, serta desain yang mendukung kepentingan kolektif.

Selain itu, Walter Gropius dengan gerakan Bauhaus, yang dipengaruhi oleh Perang Dunia I dan Depresi Ekonomi 1929, menghasilkan desain yang fungsional dan terjangkau, yang dapat diproduksi secara massal. Begitu juga dengan Le Corbusier, yang pada masa tersebut merancang Villa Savoye, mengusung konsep desain yang efisien dan terjangkau. Sementara itu, Carlo Scarpa, yang bekerja dalam periode ketidakstabilan politik di era Mussolini, mengembangkan beberapa proyek yang dikerjakan secara bertahap, sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik saat itu.

Fransworth house, resor rendering. Source: Strange Details, Michael Cadwell
Querini Stampalia Foundation, garden datum line. Source: Strange Details, Michael Cadwell

Selalu ada momentum untuk seorang arsitek bekerja dengan pasang dan surut ekonomi di berbagai macam tempat dunia, namun yang terpenting adalah untuk terus belajar dan mempersiapkan diri. Penting bagi kita untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, terutama dalam dunia arsitektur yang terus berkembang.

Sebagaimana yang tercantum dalam laporan World Economic Forum tentang Future of Jobs 2025, beberapa keterampilan yang akan sangat diperlukan oleh arsitek di masa depan adalah kemampuan berpikir analitis, ketangguhan mental, keluwesan, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat. Keterampilan ini akan semakin penting menjelang 2030, dan bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, keberagaman budaya dan tantangan sosial-ekonomi akan menciptakan banyak peluang untuk melatih fleksibilitas, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi.

Skill Evolution by region in 2025-2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025
Core Skills in 2025. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025
Core Skills in 2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025

Arsitek perlu untuk mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat, menghadapi tantangan global dan berperan aktif dalam kepentingan ekosistem bersama. Keberagaman dan dinamika dalam proses ber-arsitektur menjadikan pemahaman dan penyadaran terhadap konteks lingkungan sekitar penting.

Belakangan ini tren #kaburajadulu menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Istilah ini menggambarkan bentuk kekecewaan terhadap ekosistem yang ada dan merasa bahwa ekosistem di luar sana lebih baik.

Tekanan dan dinamika dalam ekosistem arsitektur memang perlu dikritisi, tetapi juga dijalani. Pergeseran tempat kerja, perbedaan prinsip, dan ketegangan intelektual adalah bagian dari proses pembentukan seorang arsitek. Banyak tokoh besar dalam sejarah arsitektur mengalami fase ini, bahkan dengan mentor atau role model mereka sendiri.

Misalnya, Frank Lloyd Wright awalnya bekerja dengan Louis Sullivan, yang ia anggap sebagai mentor dan panutan. Namun, karena perbedaan pendapat—terutama setelah Wright diam-diam mengambil proyek-proyek sampingan—ia akhirnya memutuskan untuk keluar. Meskipun begitu, keduanya tetap saling menghormati. Wright selalu mengakui peran besar Sullivan dalam membentuk pemikirannya, sementara Sullivan, meskipun pernah kecewa, tetap mengakui bakat luar biasa Wright.

Frank Lloyd Wright interview where he talks about Louis Sullivan, 1958. Source: NBC Chicago

Lalu ada Frank Gehry, yang di awal kariernya bekerja di firma Victor Gruen, seorang arsitek terkenal yang dikenal sebagai “bapak mal modern.” Namun, Gehry akhirnya memilih keluar karena merasa tidak cocok dengan pendekatan desain arsitektur komersial Gruen. Ironisnya, ketika Gehry kemudian menjadi arsitek avant-garde dengan pendekatan dekonstruktifnya yang radikal, banyak yang bertanya-tanya apa yang Gruen pikirkan tentang muridnya yang dulu.

Robert Venturi dan Louis Kahn. Kahn, dengan pendekatan puristiknya yang mengedepankan bentuk kotak dan geometris, memberikan pengaruh besar bagi Venturi. Namun, alih-alih mengikuti jejak Kahn secara langsung, Venturi malah mematahkan prinsip tersebut dengan menggali bentuk-bentuk yang tidak geometris, yang penuh dengan kompleksitas dan kontradiksi. Perbedaan ini menciptakan sebuah ruang bagi Venturi untuk mengembangkan desainnya sendiri yang lebih ekspresif, meskipun ada konsep unity yang tetap diwariskan oleh Kahn. Venturi menurunkan kembali pemahaman dari Kahn, namun dalam bentuk yang lebih terbuka dan tidak terikat pada keharusan geometris yang kaku.

Robert Venturi (center) at a panel discussion on architecture and the future of Chestnut Hill with Romaldo Giurgola (second from left) and Louis Kahn (second from right). Source: https://www.chestnuthilllocal.com/

Unifikasi yang terjadi dalam dinamika hubungan beberapa arsitek besar ini justru memperlihatkan bagaimana proses pemberian tongkat estafet tidak hanya memperkaya pemahaman desain mereka, tetapi juga melahirkan warna-warni baru dalam dunia arsitektur. Meskipun terlihat seperti berlawanan, perbedaan mereka justru memperkaya satu sama lain.

Dari berbagai kisah ini, bisa dilihat bahwa tekanan dan perbedaan bukan hanya sesuatu yang menghambat, tetapi justru bisa menjadi pemicu bagi seorang arsitek untuk menemukan jalannya sendiri. Bahkan, terkadang perbedaan tersebut menjadi anekdot menarik dalam sejarah arsitektur—seperti bagaimana mentor dan murid yang pernah bersitegang tetap saling mengakui kontribusi satu sama lain, atau bagaimana seorang arsitek besar dulunya hanyalah anak magang yang mungkin sering diminta membuat gambar kerja saja oleh atasannya.

Fokus utamanya adalah pelatihan untuk lebih tangguh, luwes, dan adaptif dimana pun dengan siapa pun. Oleh karena itu Memperkuat pondasi keterampilan sebagai individu yang kerja cerdas dan bermanfaat sangat penting. Ini bukan tentang tempat atau posisi, tetapi bagaimana kita terus berlatih setiap saat, mempersiapkan diri untuk menyambut peluang yang akan datang.

Untuk arsitek ia berlatih dengan melayani klien, melihat dinamika pengalaman dan kasus studi sebagai referensi. Ia masuk ke kemampuan untuk mendengarkan, komunikasi, dan bagaimana kemampuan psikologis menjadi penting.

Tekanan yang muncul menggambarkan proses latihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, seperti yang dijelaskan oleh Ericcson dalam konsep deliberate practice, membantu seseorang mengatasi keterbatasan sambil menetapkan tujuan yang jelas dan menerima umpan balik dengan cepat.Hal ini dapat membawa kedalam kondisi flow, Mihály Csíkszentmihályi, di mana seseorang menikmati proses yang mereka jalani. P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) agar dapat efektif tetapi juga menyenangkan.

Dinamika yang begitu panjang, dari pengetahuan dasar yang luas sampai ke pemahaman kerja yang setia akan tujuan dan menikmati proses akan menjadi dasar-dasar yang menjanjikan untuk jati diri arsitek-arsitek Indonesia di masa depan.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Carl Jung, Bollingen Tower, dan Refleksi Studio Kami

Bentuk massa yang organik, bertumpuk – tumpuk, dan bertahap – tahap dibangun, membuat kami mencari konsepsi Jung dalam membangun kediamannya, dibahas oleh Newport, bahwa inilah mesin eudomonia, sebuah konsep yang dibahas oleh David Dewane, bahwa ada kombinasi program, untuk bagaimana berinteraksi secara sosial sembari tempat melakukan refleksi mendalam, yang disebut Newport, Deep Work.

Tulisan ini adalah sebuah refleksi studio kami dari cerita filsuf Carl Jung yang ditulis oleh Cal Newport dalam buku Deep Work. Cal Newport menulis tentang bagaimana Carl Jung seorang psikiater dan psikoanalis asal Swiss, yang dikenal luas sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perkembangan psikologi modern, membangun tempat menyepi di Bollingen Tower. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Jocelyn Emilia

Dalam Buku Deep Work yang dituliskan oleh Cal Newport, kami menemukan bahwa ternyata dari sekian banyak hal yang kita kerjakan, 80%-nya adalah shallow work dan hanya 20% yang berupa deep work. Seringkali dibutuhkan kondisi khusus untuk melakukan deep work ini agar bisa sepenuhnya fokus. Guha menjadi merupakan tempat kami bekerja, bereksperimen, sekaligus berkontemplasi. Refleksi terhadap Guha dibantu dengan refleksi terhadap Bollingen Tower yang dibangun oleh ahli psikologi Carl Jung.

Di sela-sela perenungannya, pada tahun 1923, Carl Jung mencari tempat dimana ia bisa membangun rumah tower. Tower yang terletak di tepi Danau Zurich ini bukan dibangunnya untuk menjadi tempat untuk berlibur, tetapi tower ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan spiritual dan pertapaan baginya, tempat menyendiri di mana ia dapat menarik diri dari urusan duniawi dan mengabdikan dirinya untuk pekerjaan, sembari memulihkan dan refleksi diri selepas kehilangan ibunya beberapa bulan sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, tower itu tumbuh menjadi bangunan bertingkat dengan beberapa massa tambahan, yang masing-masing memiliki makna simbolis yang terkait dengan tahap kehidupan tertentu. Tower bundar di tengah melambangkan perapian “maternal keibuan” yang baginya menggambarkan dunia alam bawah sadar yang mendalam. Sedangkan bangunan tambahan di atasnya menjadi tempat perpustakaan dan ruang belajar Jung.

Di masa berikutnya, ia juga mulai tertarik dengan ajaran-ajaran spiritual dan filosofis dari India, yang menghasilkan penambahan area baru dalam towernya seperti apa yang diperlajarinya dalam rumah-rumah di India, yang memiliki area kecil mungkin hanya di sudut ruangan sebagai tempat beristirahat.

Penambahan baru ini menjadi tempat dirinya mengasingkan diri, benar-benar sendirian bahkan ia selalu membawa kuncinya dan tidak ada yang boleh masuk ke dalamnya tanpa seizinnya. Proses penambahan tower ini terus berlanjut bahkan hingga tahapan kelima. Bagi Carl Jung, membangun dan menghuni tower ini adalah cara untuk mewujudkan proses individuasinya, bagaimana dirinya mencoba mengintegrasikan berbagai bagian jiwa dan pemikirannya yang berbeda-beda.

Jung pumping water at Bollingen ca. 1960. Library of Congress

Kebiasaan kerja yang dilakukan Jung di tower ini kami sebut sebagai kerja fokus sepenuh hati, kerja “mumpuni” dimana ia fokus, meski tidak ada listrik, lampu dari minyak dan perapian. Ia ingin mencari kesunyian di tower tersebut.

Melarikan diri untuk mengasah dirinya, bukan melarikan diri dari kehidupan profesionalnya, Ia menjadi bebas gangguan hingga mendorong kemampuan kogniftifnya sampai batas, upaya ini menciptakan nilai baru, dan sulit ditiru karena melibatkan kondisi yang sangat spesifik.

Carl Jung tinggal di Bollingen hanya beberapa bulan dalam setahun. Selebihnya ia tinggal di Zurich untuk mengajar dan menerima pasien. Setelah membangun Bollingen Tower dan hidup bolak balik dari Zurich, sampai akhir hayat Carl Jung menelurkan 10 buku yang berkontribusi pada kemajuan bidang psikoanalisis.

Dari cerita ini, kita belajar bahwa dari perdebatannya dengan Sigmund Freud, kita tidak perlu takut tidak sependapat, tetapi perbedaan tersebut membawanya sampai dalam potensi terbaik dirinya. Cerita-cerita seperti yang dialami Carl Jung juga sering muncul dalam kehidupan arsitek, seperti Tadao Ando yang walau terus bekerja dalam fokus dan disiplin intens, ia tetap membutuhkan waktu untuk refleksi pribadi dan menyegarkan dirinya kembali.

Tadao Ando yang senang menghabiskan waktu di alam, menemukan kedamaian dan inspirasi dalam suasana yang tenang. Saat-saat perenungan dan refleksi ini merupakan bagian penting dari filosofi desainnya, dan memungkinkannya dirinya untuk terhubung secara mendalam dengan lingkungan sekitarnya dan esensi dari material yang digunakannya.

Karya-karyanya seperti Church of the Light, Kuil Rokko, juga The Water Temple adalah hasil karya dari proses refleksinya, di mana ia banyak merenungkan esensi ruang, cahaya, dan pengalaman manusia. Introspeksi mendalamnya dalam perenungannya tercermin juga dalam karya arsitektur yang mempengaruhi orang yang berkunjung ke dalamnya untuk berhenti sejenak, merenung, dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya.

Kami percaya bahwa alam psikologi itu penting untuk arsitektur. Dan dari penelusuran kami hal ini bisa terjadi karena ada dialektika ilmu dari apa yang dituliskan Carl Jung dalam Buku Memories, Dreams, Reflections. Carl Jung juga belajar di bawah bimbingan Sigmund Freud, yang saat itu menjadi pionir dalam psikologi psikoanalitik.

Meskipun begitu, pemikirannya seringkali berseberangan dengan mentornya, Sigmund Freud. Konflik yang terus berlanjut akhirnya membuat Jung dan Freud berpisah pada tahun 1913, dan pada masa-masa inilah, Jung mengalami perenungan pribadi, yang kemudian menghasilkan karya-karya yang menjadi titik balik dalam hidupnya.

Dalam Buku “The Freud/Jung Letters: The Correspondence between Sigmund Freud and C. G. Jung” yang berisikan surat-surat Carl Jung dan Sigmund Freud, dituliskan bahwa pertemuan pertama kali mereka terjadi di rumah Sigmund Freud di Wina pada bulan Maret 1907. Setelah pertemuan itu, Jung dan Freud terus saling berkomunikasi, bahkan Freud dengan berani menyampaikan bahwa ia merasa Jung adalah pewarisnya, dan menganggap Jung sebagai anaknya.

Layaknya ayah dan anak, hubungan mereka juga seringkali diselingi dengan banyak perdebatan, hampir tidak ada masa di mana mereka terus akur, selalu ada perbedaan pendapat di antara mereka. Salah satu puncaknya adalah di tahun 1912, ketika Jung merilis buku “Psychology of the Unconscious”, di mana ia dengan berani menggaris bawahi perbedaan teori yang dimilikinya dengan Freud.

Freud percaya bahwa “the unconscious mind” adalah episentrum dari pikiran kita yang tertekan, ingatan traumatis, juga berkaitan dengan hasrat seksual. Ia menyatakan bahwa pikiran manusia berpusat pada tiga struktur – id, ego, dan super ego.

Id membentuk dorongan bawah sadar kita, dan tidak terikat oleh moralitas tetapi hanya berusaha untuk memuaskan kesenangan. Ego adalah persepsi, ingatan, dan pikiran sadar kita yang memungkinkan kita untuk menghadapi kenyataan secara efektif, dan superego mencoba memediasi dorongan id melalui perilaku yang dapat diterima secara sosial.

Sedangkan Carl Jung percaya bahwa jiwa manusia terbagi menjadi tiga bagian. Dalam pandangan Jung, alam bawah sadar dibagi menjadi ego, alam bawah sadar personal (personal unconscious), dan alam bawah sadar kolektif (collective unconscious).

Bagi Carl Jung, ego sebenarnya adalah “the conscious mind”, alam bawah sadar personal mencakup ingatan (baik yang diingat maupun yang ditekan) dan alam bawah sadar kolektif menampung pengalaman atau pengetahuan yang kita miliki sejak lahir (misalnya, cinta pada pandangan pertama)

Setelah perpisahan yang terjadi dengan Freud, Jung juga sempat mengalami krisis personal juga dalam ranah profesional. Ia sempat mempertanyakan keyakinannya sendiri dan merasa terasing dari rekan-rekannya. Namun, masa-masa ini membawanya ke eksplorasi diri yang intens yang nantinya akan memiliki pengaruh besar pada karyanya di masa mendatang.

Salah satu karya terbaik yang dihasilkan Jung adalah “Psychological Types” yang diterbitkannya di tahun 1921, di mana ia memperkenalkan teori baru tentang tipe psikologis, dan di buku ini juga ia mulai mendalami ide awal pemikirannya tentang archetypes.

Dalam buku ini, ia menuliskan bahwa setiap orang memiliki orientasi psikologis yang berbeda berdasarkan pada dua sikap utama: introvert dan ekstrovert. Ia juga mengkategorikan empat fungsi psikologis utama: thinking, feeling, sensation, and intuition. Kategori ini juga yang nantinya membentuk dasar dari tipe kepribadian modern seperti yang kita sering kenal sekarang dengan sebutan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator).

Jika Carl Jung memiliki Bollingen Tower, dan Tadao Ando banyak melakukan perenungan diri sebelum masuk mendesain kaya-karyanya, Bagi kami Guha adalah tower dan tempat kami berkontemplasi. Guha dibangun menggunakan bahan-bahan yang sederhana, juga dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramiknya.

Tanaman yang tumbuh juga muncul memperlihatkan metode yang diresapi dari tanaman yang tumbuh perlahan – lahan, begitupun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.

Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas.

Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif.

Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun
Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun

Bollingen terbukti mampu memberikan dimensi kerja dengan dalam, ia berteori dan berjibaku dalam praktikalitasnya, menelurkan buah karya di dalam kesendirian. Begitupun kita semua yang memiliki Bollingen Tower masing-masing, bekerja dalam sekat – sekat kesendirian, bekerja fokus, sungguh – sungguh sembari tetap mengerjakan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Work Hard, Work Smart, Work Heart

Refleksi singkat soal membangun sikap pantang menyerah dalam studio arsitektur. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia.

Sudah hal yang biasa jika perbincangan tentang kerja di studio arsitektur sering dikaitkan dengan kultur kerja hingga larut malam. Kultur ini juga tercermin dalam karakter Moko di film 1 Kakak 7 Ponakan, dimana apa yang dialami oleh Moko sebagai lulusan baru arsitektur merupakan sebuah realita. Jangankan kehidupan di dunia luar, pengorbanan waktu dan tenaga yang tidak manusiawi seakan menjadi jalan satu-satunya menuju kesuksesan di dunia arsitektur. Dengan segala keterbatasan yang dialami, kerja keras tradisional di studio arsitektur perlu direkonstruksi dan diubah menjadi kerja yang lebih cermat, demi menciptakan ekosistem yang lebih baik.

Kami juga mereview ulang sistem kerja studio dan membatasi maksimal di jam 20.00. Hal ini pada akhirnya memberikan semangat untuk lebih efisien akan waktu, datang lebih pagi, dan proaktif menjaga waktu masing-masing juga menjaga kepentingan bersama.

Dalam buku Great at work tulisan Morgen T. Hansen kami belajar 3 cara kerja yang berbeda, kerja dengan keras dan membabi buta (work hard), kerja dengan cermat (work smart) dan satu lagi yaitu kerja dengan hati (work heart). Tulisan ini akan membahas bagaimana kerja menggunakan hati (work heart)

John Pencavel dalam penelitiannya menemukan bahwa performa seseorang justru akan meningkat jika jam kerja dibatasi antara 50-60 jam per minggu. Selepas angka tersebut, kinerja malah menurun, di mana kurva produktivitas mulai menjadi datar. Hal ini menunjukkan kunci produktivitas bukanlah menghabiskan waktu berjam-jam, melainkan bagaimana mengelola waktu yang terbatas untuk menyelesaikan pekerjaan secara efisien. Keterjebakan dalam menjadikan lamanya waktu sebagai alat ukur produktivitas merupakan metode kerja keras

Diagram Performa Jus yang Berkurang Saat Diperas Setiap Jamnya. Source: Morten T. Hansen pada buku Great at Work, hasil sintesa penelitian John Pencavel “The Productivity of Working Hours”

Morten T. Hansen menyatakan bahwa rahasia kerja memakai hati dalam meraih performa terhebat terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama perlu lihai dengan pekerjaan sendiri, perlu untuk mengerjakan lebih sedikit lalu terobsesi dengan pekerjaan tersebut sampai ke titik detailing, mendesain ulang pekerjaan agar lebih efektif lagi, melakukan perulangan agar terbiasa, dan menentukan P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) dalam sebuah perkerjaan agar efektif dan menyenangkan. Kedua, lihai bekerja dengan orang lain dengan selalu memberi kredit dan kontribusi tim hingga menjadi para pemenang yang hebat, dapat bekerja dengan orang yang berselisih dan bersatu, dan mengurangi dosa-dosa atas nama kolaborasi serta lebih efektif dalam berdiskusi. Yang terakhir adalah bagaimana lihai menjalani pekerjaan sampai kehidupan sehari-hari, dengan membangun profil diri yang baik.

Morten T. Hansen pun mengemukakan konsep “kerjakan lebih sedikit, terobsesilah, dan berperformasilah.” Ia menyebut bagian ini “Lihai dengan pekerjaan sendiri”

Salah satu contoh nyata adalah Frank Lloyd Wright, yang mampu mendesain proyek dengan cermat dalam waktu singkat. Namun, hasil tersebut bukanlah tanpa proses panjang. Proyek-proyeknya tercipta melalui latihan berkelanjutan dan adanya tujuan serta gairah dalam pekerjaan. Wright sendiri menghabiskan bertahun-tahun untuk mencapai tingkat keterampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.rampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.

Frank Lloyd Wright (seated) and his student around him. Source: franklloydwright.org

Dengan desain yang eksploratif, Rem Koolhaas mengandalkan pendekatan yang terstruktur dan analitis, pemanfaatan teknologi, bentuk yang fleksibel dan modular, serta tujuan yang jelas sebagai amunisi dalam menghadapi proyek-proyeknya dengan cepat. Berbeda dengan Gaudí atau Zumthor yang cenderung terlalu terobsesi dengan pekerjaan mereka, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya gambar kerja keluar. Namun perlu diketahui bukan proses mereka yang lama, tetapi pendalaman dan kecerdasan yang mereka curahkan terhadap suatu konsep iterasi yang mereka percayai yang membuat karya mereka, menjadi magnum opus.

CCTV Headquarter programmatic diagram, Rem Koolhas, OMA. Source: Archdaily, OMA
Detail of the roof in the central nave of la Sagrada Familia. Source: SBA73 via Wikimedia Commons under CC BY-SA 2.0

Strategi yang keliru adalah bekerja dengan menghabiskan banyak tenaga dan waktu dengan tanpa kecerdasan. Padahal menyusun daftar prioritas baru hanya merupakan separuh dari suatu persamaan yang utuh. Prinsipnya adalah penyadaran bahwa dalam bekerja, kita harus mencurahkan segalanya untuk fokus dengan konsentrasi penuh pada apa yang telah dipilih berdasarkan prioritas, agar hasilnya semakin baik.

Proses untuk menyeleksi apa pun yang masuk atau diterima sangatlah penting. Oleh karena itu, mendokumentasikan, membagi, dan menjaga jam kerja dengan menggunakan timesheet menjadi prioritas, itu lah work smart.

Namun, bukan hanya pengaturan jam kerja yang perlu diperhatikan, komunikasi yang baik untuk mendelegasikan tugas juga menjadi tantangan tersendiri. Seorang pemimpin tim harus memastikan bahwa setiap anggota tim memahami tujuan dan mengutamakan kepentingan bersama, sehingga proses delegasi dapat berjalan efektif. Hal ini disebut Morgen T. Hansen sebagai bagian lihai bekerja dengan orang lain.

Covey’s Maturity Continuum. Source: https://aaronicabcole.com/7-habits-of-highly-effective-people-habits-1-2/

Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People juga menekankan pentingnya proaktif, menetapkan prioritas, dan memiliki tujuan yang jelas untuk mencapai efisiensi.

Dalam bekerja dengan orang lain, sikap profesional dan kemampuan untuk bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan mereka yang mungkin dianggap sebagai musuh, sangat diperlukan. Mengurangi ego, menghindari konflik yang mengatasnamakan kolaborasi, serta fokus pada produktivitas dan efektivitas adalah langkah-langkah penting dalam mencapai hasil yang maksimal.

Menurut Morten T. Hansen, tujuan pekerjaan haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Meskipun seseorang tahu apa tujuannya, terkadang ia tidak merasa bergairah atau tidak merasa sesuai dengan apa yang diinginkan. Ia menyebut bagian yang sehari-hari itu “Lihai bekerja dengan orang lain”

Praktik Kunci yang Memengaruhi Keseimbangan Keja-Kehidupan. Source: Morten T. Hansen, Great at Work

Hansen mengidentifikasi empat sumber gairah kerja yang penting, yaitu intrinsik, kreatif, perkembangan, dan sosial. Menurutnya, gairah ini tidak hanya mendukung keberhasilan dalam pekerjaan, tetapi juga membantu menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan citra yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, transparansi informasi, pengetahuan, dan kesadaran untuk memahami psikologi serta posisi tim, vendor, dan klien menjadi hal yang krusial. Mengurangi ego, lebih banyak mendengarkan dengan empati, dan melayani dengan sepenuh hati adalah langkah-langkah yang dapat memperkuat hubungan kerja. Dengan pendekatan ini, arsitektur bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan juga jalan hidup yang dapat memenuhi isi hati. Dari sini work heart baru dimulai.

Bagi mahasiswa arsitektur, bergabung dalam kegiatan kemahasiswaan sangatlah penting. Ini merupakan kesempatan untuk mulai melatih diri dalam bekerja tanpa pamrih dan melayani tanpa mengharapkan imbalan. Pekerjaan di bidang arsitektur memang erat kaitannya dengan semangat bekerja tanpa pamrih, yaitu memenuhi kebutuhan klien tanpa menuntut bayaran langsung. Dari sikap tersebut, kepercayaan dan hubungan jangka panjang akan terjalin, dan pada akhirnya, hasil kerja tersebut akan dihargai dengan pantas.

DOT Workshop, RAW Architecture, and OMAH Library Team 2024. Soruce: RAW Architecture
Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Hemingway, Apurva and Metode Iceberg

Kemampuan literasi (membaca, menulis, dan berpikir kritis) sastra di dalam arsitektur seringkali dihubungkan dengan kemampuan mengatasi tantangan hidup. Mulai dari memahami situasi dalam pemecahan masalah, menganalisis kegagalan, hingga bangkit dari kegagalan tersebut. sebuah tulisan dari Realrich Sjarief + Jocelyn Emilia.

Ernest Hemingway menulis “Kehidupan menghancurkan kita semua, tetapi beberapa di antara kita menjadi lebih kuat di tempat-tempat yang hancur.” Realitas kehidupan nyatanya memang penuh dengan cobaan dan penderitaan. Tidak ada seorang pun yang luput dari luka dan kegagalan, tetapi yang membedakan adalah bagaimana respon dari orang tersebut.

Hemingway sendiri juga mengelaborasi metode Iceberg. Seperti namanya, metode Iceberg adalah analogi gunung es yang hanya menunjukkan sebagian kecil dari dirinya ke permukaannya. Bagaimana hanya sebagian kecil informasi yang ditampilkan secara eksplisit, sementara sebagian besar makna atau konteks dibiarkan tersirat untuk disimpulkan. Teknik ini membuat tulisannya menjadi lebih efektif dalam penyampaian, namun juga interpretatif. Tulisannya tidak literal, namun sarat akan puisi.

Iceberg. Source: https://www.50odd.co.uk/icebergs/

Sebagai gambaran contoh tulisan dengan metode Iceberg, “Menara kaca itu berdiri tegak, memantulkan langit biru. Di dalamnya, orang-orang bergerak seperti bayangan, sibuk dengan rutinitas mereka. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti monolit yang tak tergoyahkan, tetapi jika diamati lebih dekat, retakan-retakan halus terlihat di permukaannya.”

Sedangkan tulisan ini tidak memakai metode Iceberg yang teknis, yang saya sering sebut sebagai tulisan mati rasa, “Menara kaca ini dirancang oleh arsitek terkenal, John Smith, dan selesai dibangun pada tahun 2010. Bangunan ini memiliki 50 lantai, dengan total tinggi 200 meter. Fasadnya terbuat dari kaca tempered yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Di dalamnya, terdapat kantor-kantor perusahaan multinasional, restoran, dan pusat kebugaran. Bangunan ini telah memenangkan beberapa penghargaan desain arsitektur.”

Pada contoh tulisan dengan metode Iceberg, deskripsi bangunan sangat sederhana—hanya menyebutkan bentuk, material, dan kesan visualnya. Namun, ada petunjuk tersirat tentang kehidupan di dalamnya, kontras antara kekuatan luar dan kerapuhan dalam, serta mungkin simbolisme tentang ketidaksempurnaan yang tersembunyi. Pembaca diajak untuk mengisi kekosongan makna tersebut dengan interpretasinya sendiri.

Keterampilan Hemingway diasah melalui kombinasi pengalaman praktis, belajar mandiri, dan pengaruh ketika menjadi pengemudi ambulans selama Perang Dunia I (1918) saat ia baru berusia 18 tahun. Pengalamannya menjadi supir ambulans memberinya banyak pelajaran tentang penderitaan, keberanian, dan kekejaman perang. Pengalaman traumatis ini membuka mata Hemingway terhadap sisi gelap kemanusiaan, namun juga mengajarkan tentang ketahanan, keberanian, dan kehormatan.

Hemingway in WWI Red Cross ambulance in Italy, 1918. Source: https://redcrosschat.org/2015/10/09/archives-hemingway-red-cross-italy/wwi-ambulance-in-italy/

Setelah perang, ia bergabung dengan komunitas sastra di Paris pada 1920-an. Di sinilah Hemingway menempa dan mengasah gaya penulisannya yang khas, yang juga dipengaruhi oleh panduan gaya surat kabar The Kansas City Star, yang menekankan kalimat pendek, bahasa Inggris yang kuat, dan menghindari kata-kata yang tidak perlu, prinsip-prinsip ini yang membentuk gaya minimalisnya di kemudian hari. “Pelatihan” sejati Hemingway datang dari membaca dengan rakus dan pengalaman hidupnya.

Hemingway at Shakespeare and Company in the 1920s (Paris). Source: Alamy

Seperti logam yang ditempa api, manusia yang menghadapi kesulitan dengan keberanian dan ketahanan akan menjadi lebih kuat di titik-titik di mana mereka pernah jatuh. Kita bisa belajar dari Hemingway, di dalam alam kehancuran, ada peluang untuk tumbuh, belajar, dan menjadi pribadi yang lebih tangguh. Kuncinya adalah bagaimana kita memilih untuk menghadapi kehidupan-apakah kita akan menyerah, atau menjadikan luka sebagai kekuatan baru untuk melangkah maju.

Novel The Old Man and the Sea karya Hemingway juga digunakan untuk mengajarkan keterampilan membaca, analisis teks, dan penulisan kepada muridnya. Dengan mengangkat tema-tema universal yang tidak intimidatif seperti keberanian, cinta, dan perjuangan, novel ini menarik banyak minat publik. Gaya penulisannya yang cenderung santai menjadikan kisahnya dekat dengan pembaca, dan perlahan meningkatkan kemampuan literasi publik.

Novel The Old Man and The Sea (original cover)

Teman baik kami Apurva Bose, ia adalah seorang jurnalis arsitektur, kurator, editor, dan pengajar di India. Dalam bukunya Architectural Voices of India (2017), ia mewawancarai total 19 orang, dan ia menggali data, fakta, serta realitas dengan sangat baik. Begitu juga dengan karya editorialnya dalam Writing and Literature untuk Architecture Asia. ia menyajikan kumpulan tulisan dari 5 narasumber yang berasal dari latar belakang berbeda-beda di arsitektur.

19 architects in the Architecture Voices of India. Source: https://www.apurvabose.com/book/

Apurva begitu giat mengkampanyekan pentingnya penulisan arsitektur di India. Bahkan setelah tulisannya selesai, ia terus menjaga komunikasi dengan narasumber dan melatih anak-anak muda supaya bisa menulis. Melalui Apurva, sastra dalam arsitektur menjadi lebih inklusif, sehingga lebih banyak orang membaca dan menghargai karya tulis, hingga karyanya diterjemahkan di berbagai bahasa di seluruh dunia.

Bagaimana sastra arsitektur bukan hanya tentang mendeskripsikan bangunan atau ruang berdasarkan fakta yang ada. Arsitektur juga merupakan sebuah ruang untuk mengeksplorasi makna-makna yang lebih dalam yang terkandung dalam praktik, sejarah, dan konteks sosial budaya. Kami belajar banyak dari langkah hidup dan tulisannya.

Salah satu narasumber dari Writing and Literature untuk Architecture Asia, Sumita Singha, turut mengangkat masalah bias dalam penerimaan arsitektur India oleh dunia Barat— bagaimana selama ini narasi yang disampaikan kepada dunia tidak tertangkap dengan baik sehingga seharusnya narasi penulisan bisa mengangkat inti yang lebih substansial.

Narasumber lainnya, Chatterjee, juga membicarakan bagaimana pentingnya sastra dalam kurikulum pendidikan arsitektur untuk menggali makna membentuk ruang, bangunan, dan bahkan cara kita mendesain. Penulisan bukan hanya sebuah refleksi pasif dari arsitektur, tetapi sebuah kekuatan aktif yang membentuk budaya, sosial, dan intelektual kita.

Dalam pengertian ini, arsitektur juga bisa dilihat dari metode Iceberg tadi, di mana banyak elemen penting seperti nilai-nilai budaya, filosofi desain, dan konteks sosial tersembunyi di bawah permukaan bangunan itu sendiri. Dengan penulisan yang tepat, kita dapat lebih mudah memahami makna-makna tersebut dan memberi interpretasi lebih dalam tentang apa yang membentuk arsitektur kita. Hal tersebut memperkaya, memperbanyak variasi dan mempertajam kemampuan berpikir kritis dengan kreatif.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Mengejar Ekor Waktu, Proses De-Tailing

Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana seorang arsitek bisa melihat metode melalui tahapan waktu dan observasi di lapangan secara menerus. Dalam refleksi singkat kami, seringkali saat menjalani proyek arsitektur, studio kami melakukan proses detailing yang membuat arsitektur bicara dengan skala yang kecil. Proses detailing ini memakan waktu yang tidak sebentar, dan merupakan cerminan jam terbang yang panjang sekaligus proses transformasi diri. Apalagi jika proyek dikerjakan dalam waktu tidak sebentar karena biaya hanya bisa dikucurkan secara bertahap.

Kami ingat ada Carlo Scarpa dari Venesia yang senantiasa menampilkan elemen-elemen arsitektur yang puitis, artistik, dan memukau.

Carlo Scarpa at Casa Businaro (Monselice), courtesy Archivio Pietropoli

Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Sepanjang karirnya, Scarpa banyak mengerjakan proyek renovasi. Sentuhannya memberikan kehidupan baru yang begitu signifikan pada bangunan lama. Detail-detailnya demikian artikulatif dengan teknik repetisi. Orang yang melihatnya jadi auto bertanya: “Bagaimana ini bisa terbangun? Pasti butuh waktu yang lama.”

Rekam jejak Scarpa menunjukkan dua kecenderungan. Mayoritas proyeknya, terutama di rentang 1930-1960an justru dikerjakan dalam waktu relatif normal, rentang 1-5 tahun. Namun, karya-karya representatifnya yang dikerjakan di 2 dekade terakhir hidupnya memang punya timeline yang cukup ekstensif. Renovasi Castelvecchio Museum memakan waktu 14 tahun. Sementara, Brion Tomb yang menjadi karya terakhirnya sebelum wafat, selesai dalam waktu 10 tahun.

Kalau kita bicara proyek dengan skala sebesar Guggenheim Museum Bilbao karya Frank Gehry yang kita bahas terakhir kali, mungkin waktu sepanjang itu terdengar biasa saja (Gehry bahkan bisa menyelesaikan proyek seluas 24.000 m2 ini dalam 6 tahun saja). Namun, dalam konteks Scarpa, kita bicara proyek dengan luasan antara 2.000-7.000 m2 saja. Ini semakin menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana proyek-proyek tersebut dikerjakan begitu lama, ketika umumnya arsitek selalu kejar-kejaran dengan waktu?”

Pada dasarnya, sebelum benar-benar sampai di titik “selesai”, arsitek tidak pernah benar-benar menggenggam kontrol terhadap durasi pengerjaan proyek. Sekuat apa pun kontrol internal dilakukan, akan selalu ada hal tak terduga dari luar yang membuat pengerjaannya molor. Namun, bagaimana dengan Scarpa sendiri?

Arsitek kelahiran 1906 ini punya metode desain yang tidak hanya terpusat di gambar-gambar kerja, tetapi juga observasi dan pengambilan keputusan di lapangan bersama tukang dan seniman yang menjadi kolaboratornya. Proses perancangannya tidak linier, tetapi terjadi bolak-balik, menghasilkan berlapis-lapis gambar revisi yang menunjukkan upaya bertahap Scarpa untuk memahami apa yang diinginkan desain dan konteks yang mengelilinginya. Scarpa pernah bilang ia harus “melihat” supaya bisa paham, yang artinya proses konstruksi menjadi dialog antara konsep dan realita, bukan semata perlombaan menuju deadline.

Di Querini Stampalia Foundation misalnya, bangunan dari tahun 1869 ini memerlukan renovasi karena lantai dasarnya sering kebanjiran air kanal Venesia. Alih-alih memikirkan bagaimana menghalau air masuk, dalam renovasi di tahun 1961-1963 Scarpa membuat semacam catwalk yang memisahkan entrance dengan aula yang membuatnya seakan seperti dermaga ketika air sedang naik.

Scarpa juga membuat sistem kanal mengikuti dinding-dinding bangunan yang memungkinkan air surut dengan sendirinya. Untuk mencapai ini Scarpa harus mengamati langsung bagaimana air bergerak dan bereksperimen dengan desain kanal untuk mendapatkan leveling air yang tepat. Dan ini membutuhkan waktu serta dedikasi.

Aspek sejarah menambah tantangan proyek-proyek Scarpa yang banyak berupa renovasi bangunan historis. Castelvecchio Museum misalnya (1956–1975), bangunan aslinya sudah berdiri sejak abad ke-14. Direncanakan untuk pameran karya seni dari era medieval, renaisans, dan modern, museum ini membutuhkan sentuhan baru yang sekaligus mampu menghighlight sisi historisnya.

Selain melakukan rekonstruksi pada bagian museum yang terdampak PD-II, Scarpa juga mendesain jalur, tangga, dan jembatan yang menghubungkan berbagai massa di dalamnya. Ia membutuhkan waktu bahkan untuk “sekadar” menemukan perpaduan komposisi beton dan batu medieval yang cocok, atau menentukan peletakan patung-patung koleksi yang pas.

Sensitifitas Scarpa dalam meramu komposisinya banyak dipengaruhi oleh kecintaannya pada sastra dan prosa. Ia melihat desainnya dalam bahasa yang puitis. Bagi Scarpa, setiap elemen seakan bisa berbicara, dan ia mencoba mendengarkan apa yang masing-masing mereka inginkan.

Cara pandang ini mempengaruhi gaya komunikasi Scarpa dengan para tukang dan kolaboratornya. Ia seringkali mendeskripsikan desain atau material dengan ekspresi yang penuh kiasan. Misalnya, ketika menjelaskan tekstur beton untuk tangga baru di Castelvecchio Museum, ia menyebutnya “the breath of stone” atau “a memory caught in the grain”. Tukangnya pun keheranan dan nyeletuk, “Ini orang mau nyetak beton atau nulis puisi, sih?”

Castelvecchio Museum, concrete details

Gemas karena idenya tak kunjung tersampaikan, Scarpa pun mengambil sekop dan mencoba membuat adonan betonnya sendiri. Namun, tampaknya ia memang ditakdirkan menjadi konduktor sahaja, adonan buatannya menggumpal dan proporsinya aneh. Tukangnya pun nyengir, “Cukup, Maestro. Anda gambar, kami yang bangun—kasih tahu feelnya seperti apa, jangan cara nyampurnya.” Giliran Scarpa yang nyengir karena si tukang akhirnya mengerti.

Ada kalanya tukang-tukang Scarpa ikut bermain-main dengan ekspresi puitisnya. Saat menjelaskan sebuah sambungan di proyek Brion Tomb, Scarpa menyebutnya “jabat tangan dari dua material.” Lalu tukang kayunya membalas, “Semoga mereka tidak bertengkar terlalu keras saat hujan,” yang kemudian sukses menjadi bahan candaan di proyek.

Brion Tomb, metal details

Pembawaan Scarpa yang ringan dan humoris seperti menjadi penyeimbang terhadap ekspresinya yang imajinatif, dan barangkali menjadi oase tersendiri di tengah pergolakan yang terjadi sepanjang 1960-1970-an di Italia.

Saat baru memulai karir sebagai desainer di era 1930-an, Scarpa meniti langkah-langkah kecil di tengah rezim fasisme Mussolini. Karirnya baru naik setelah rezim berganti dan PD-II usai. Pemerintah Italia saat itu punya semangat untuk menebus ketertinggalan budaya yang terjadi 2 dekade sebelumnya. Dukungan pemerintah dan kemajuan ekonomi di masa itu nampaknya menjelaskan kelancaran proyek-proyek Scarpa yang didominasi renovasi museum/galeri, setidaknya hingga awal 1960-an.

Sayangnya, kemajuan ekonomi Italia ternyata menyebabkan kecemburuan di beberapa kalangan. Di politik, kubu kanan dan kiri juga saling berebut kekuasaan. Teror dan kekerasan terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Arsitektur pun tidak menjadi perhatian utama saat itu. Ini menjelaskan tersendatnya proyek Castelvecchio Museum dan juga Brion Tomb (1968-1978) yang menjadi magnum opus Scarpa.

Italian strike demonstration, 60s/70s

Proyek pemakaman untuk keluarga Brion ini terletak di pedesaan Altivole, tidak jauh dari Asolo, kota kecil tempat Scarpa menepi setelah menjalani drama gugatan praktik tanpa lisensi di Venesia. Brion Tomb menjadi kesempatan langka bagi Scarpa yang terbiasa dengan proyek renovasi untuk mendesain segalanya from scratch.

Di tempat terpencil ini, jauh dari pusat pergolakan, Scarpa bersama tukang dan seniman kolaboratornya “diam-diam” mencurahkan tenaga dan pengalaman puluhan tahun untuk mengkonstruksi ruang yang begitu puitis dalam percakapan bahasa beton, marmer, logam, dan kaca yang bercerita tentang kematian sekaligus selebrasi kehidupan.

Meski terkendala situasi sosio-ekonomi-politik yang tidak stabil, Keluarga Brion tetap percaya dengan pengalaman dan visi artistik Scarpa sehingga tetap mendampingi hingga akhir. Brion Tomb dinyatakan selesai di 1978, sekitar 10 tahun sejak pertama kali dirancang. Tak berselang lama, Scarpa meninggal dunia saat berkunjung ke Jepang. Jasadnya ikut dimakamkan di Brion Tomb bersama istrinya Nini Lazzari, di bawah batu nisan yang dirancang oleh putranya juga menjadi desainer, Tobia Scarpa.

Dinamika perancangan Scarpa menunjukkan banyaknya faktor yang mempengaruhi durasi pengerjaan sebuah proyek. Visi arsitek semata belum tentu cukup untuk mengawal pembangunan hingga akhir, perlu dukungan ekosistem yang disambut dengan komitmen untuk memberikan yang terbaik. Saat ekosistem sedang tidak berpihak, barangkali rekam jejak dan kesungguhan yang telah dipupuk selama ini akan mebuahkan kepercayaan pada klien, yang akan setia menemani dalam perjalanan yang panjang.

Adakah perjalanan proyek yang lebih lama lagi? Tentu. Megastruktur dari masa lalu seperti Piramida Mesir, Borobudur, Tembok Besar Tiongkok telah menorehkan sejarah yang lebih panjang lagi. Namun, di era ini kita punya keistimewaan menjadi saksi pembangunan karya arsitektur Sagrada Familia rancangan Antoni Gaudi yang setidaknya sudah berjalan selama 144 tahun dan masih terus dibangun. Bagaimana dinamikanya? Mungkin bisa jadi bahasan di lain waktu~

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Jam Terbang Arsitek dalam Ekosistem yang Terbatas

Melihat arsitek-arsitek dengan jam terbang tinggi, kita bisa belajar sebenarnya hal-hal yang substansial justru ada di luar studio sang arsitek atau metode desainnya. Hal yang substansial tersebut terkait klien, komunikasi, dan bagaimana memposisikan diri.

Refleksi ini membuahkan tulisan-tulisan, termasuk tulisan ini yang ditulis oleh kami, Realrich Sjarief + Hanifah Sausan. Dengan bingkai praktik Frank Gehry, Alvaro Siza, dan Enric Miralles, juga melihat perjuangan panjang studio kami melalui refleksi strategi-strategi mereka yang membuat kami belajar kembali.

Seperti Frank Gehry dengan metodenya, ia bisa menjanjikan kepastian biaya, mutu, dan waktu. Dengan senjata CATIAnya, kita bisa melihat bagaimana leway jam terbang mereka yang berdekade-dekade, mereka memposisikan diri agar bisa dipercaya dengan metode desain, bentuk, dan teknik eksekusi yang pembiayaannya ketat. Begitu pun Alvaro Siza yang melakukan kontrol desain yang ketat, meskipun apa dikata klien dan dinamika politik proyek publik yang berkata berbeda. Juga Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue yang perlu menelan pil pahit meledaknya biaya di luar kendali untuk mempertahankan bentuk, tetapi di saat yang bersamaan menemukan hasil yang berbeda di proyek pasar Santa Catarina. Metode satu seakan-akan tidak kompatibel dengan metode yang lain.

Selihai-lihainya kapabilitas seorang arsitek, ada begitu banyak kondisi yang tidak bisa dikontrol yang membuat arsitek menjadi jembatan komunikasi, persetujuan antar-kepentingan, menanggung resiko beban biaya, mutu, dan waktu dengan kuasa yang terbatas. Seorang mediator.

Frank Gehry. Source: AFP/Getty Images

Di tahun 1991, Frank Gehry mendapat komisi untuk dua proyek penting, Guggenheim Museum Bilbao dan Walt Disney Concert Hall. Namun, keduanya punya nasib pembangunan yang berbeda.

WALT DISNEY CONCERT HALL: FRANK GEHRY’S ORIGINAL SKETCH. Source: Google Arts & Culture

Di proyek Walt Disney Concert Hall, peran Gehry terhenti di fase perancangan. Para eksekutif skeptis dengan bagaimana Gehry dianggap tidak mampu sehingga desainnya dilempar ke arsitek lain untuk dieksekusi. Namun, ternyata mereka malah kebingungan bagaimana membangun desain Gehry yang melengkung-lengkung, sehingga proyek itu terhambat hampir 10 tahun.

Initial sketch of Guggenheim Museum Bilbao

Sementara, di Bilbao, sejak awal Gehry mendapat kepercayaan untuk merealisasikan desainnya. Gehry bereksperimen dengan berbagai software permodelan, salah satunya CATIA yang biasa digunakan untuk permodelan pesawat terbang.

Full 3d model of Gehry’s project using CATIA (Shelden, 2002)

Software CATIA memungkinkan Gehry dan timnya menggambarkan berbagai lekukan massa yang dinamis, sekaligus menunjukkan bagaimana desain bisa dibangun hingga sedetail gaya tekanan yang diterima tiap material sesuai sifat dan spesifikasinya. Dengan ini kalkulasi anggaran terdesain lebih akurat.

Ia butuh 2 tahun hingga mencapai titik optimal sebelum masuk ke fase konstruksi di 1993 dengan waktu 4 tahun dan biaya sesuai anggaran. Museum resmi dibuka pada 1997 dan sukses.

Guggenheim Museum Bilbao

Keberhasilan museum di Bilbao menumbuhkan kepercayaan pada stakeholder Walt Disney Concert Hall untuk “mengembalikan” proyek ini pada Gehry di tahun 1999. Dengan metode permodelan yang sama, concert hall ini berhasil dibangun sesuai perkiraan waktu serta biaya. Ketika resmi dibuka tahun 2003, proyek ini mengenalkan Gehry sebagai arsitek dengan bentuk unik, tepat waktu, tepat biaya.

Walt Disney Concert Hall

Sementara itu seorang Alvaro Siza, pada 1973 ditunjuk pemerintah Protugal untuk merancang perumahan rakyat Bouça bagi masyarakat ekonomi rendah yang mendiami kawasan kumuh nan padat di Kota Porto.

Alvaro Siza

Dalam proses perancangan, Siza banyak berkomunikasi dengan calon penghuni untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik, sekaligus untuk menghindari biaya renovasi di masa depan akibat penghuni tidak puas dengan desain yang ada.

Standar material yang baik pun tetap dijaga dengan pasangan batu bata lokal yang tahan cuaca dan api karena dinilai lebih murah dan lebih mudah dibangun ketimbang beton.

Meski lahannya terbatas, Siza ingin menghadirkan rumah yang cukup lapang, sehingga ia menumpuk dua rumah bertingkat menjadi struktur 4 lantai. Dengan ini ia bisa menambah luasan per unit tanpa mengurangi jumlah rumah yang dibangun dengan manusiawi.

Bouça Housing Complex, plan.
Bouça Housing Complex, section.
Bouça Housing Complex, First Phase.

Siza berhasil menyelesaikan tahap pertama sebanyak 58 unit dari total 131 unit yang direncanakan. Namun, pembangunan tahap kedua dihentikan oleh klien karena dinamika politik di Portugal.

Bouça Housing Complex, Final Phase.

Baru 30 tahun kemudian, pemerintah Portugal berinisasi untuk menyelesaikan perumahan Bouça. Alvaro Siza diundang kembali menyelesaikan tantangan masa kini dengan efisiensi energi. Pada 2006, akhirnya kita bisa melihat perumahan ini selesai dibangun dalam rentang waktu lebih dari 3 dekade.

Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue (EMBT). Photographer: © Yoshio Futagawa

Yang ketiga adalah arsitek Spanyol, Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue (EMBT) yang menghadapi dua realitas berbeda di tahun 1997-2005. Mereka sukses menjaga anggaran di Pasar Santa Caterina, tetapi di saat yang sama mengalami dilema karena pembengkakan dana di proyek Gedung Parlemen Scotlandia.

The Old Santa Caterina Market.

Di Pasar Santa Caterina, EMBT melakukan renovasi terhadap bangunan pasar yang sudah berdiri sejak 1840-an. Seperti Siza, mereka berdialog dengan para pedagang dan pengguna untuk memastikan desain yang baru bisa membentuk harmoni dengan bangunan lama dan mendukung kegiatan yang selama ini sudah berjalan di sana, sembari menjaga anggaran tetap ideal.

The New Santa Caterina Market.
Santa Caterina Market, interior.

Desain akhirnya memanfaatkan kembali fasad asli pasar, ditambah struktur atap parabolis yang ditopang kolom beton dan baja serta rangka kayu. Kenaikan atap yang signifikan memungkinkan cahaya alami masuk yang menghemat energi dengan 325 ribu tegel keramik lokal berwarna-warni. Renovasi dilakukan secara cerdas dalam pentahapan sepanjang 2001-2004. Pada 2005, pasar ini akhirnya bisa selesai dan sukses.

Berikut adalah video kunjungan kami ke sana yang diedit oleh Lu’luil Ma’nun: klik di sini. https://youtu.be/Jw6893ZyBM4

Scottish Parliament Building.
Scottish Parliament Building, interior.

Sedangkan, situasi yang kontras terjadi di Gedung Parlemen Scotlandia yang dirancang dan dibangun di masa yang sama. Dana membengkak 10 kali lipat karena visi yang terlalu ambisius untuk menunjukkan identitas dan karakter alam Skotlandia pada desainnya. Sementara, hal ini tidak dibarengi komunikasi efektif dengan klien.

Ketiga contoh dinamika ini menggambarkan bagaimana perencanaan yang matang dan komunikasi yang efektif menjadi kunci optimalisasi BMW: biaya, mutu, dan waktu dari sebuah proyek. Akan tetapi, arsitek perlu selalu terbuka dengan berbagai kemungkinan, juga perlu menyadari keterbatasan kondisi sekitarnya: sejauh mana seorang arsitek bisa mengontrol, atau kapan saatnya memposisikan diri dengan komunikasi yang sehat. Dinamika waktu membuat sang arsitek perlu sabar, rendah hati, dan terus bisa berkarya, meski proyeknya tidak berjalan mulus, ataupun berhenti.

Siapa tahu beberapa dekade kemudian, nasib berkata berbeda. Persis seperti kata pak Yuswadi Saliya, arsitek ada di gerbong belakang.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Membangun Diskusi yang Substansial

Akhir-akhir ini, studio kami fokus pada hal-hal yang substansial dan penting. Hal ini bermula dari pengalaman menghadapi kritik, sanggahan, atau ajakan untuk berdiskusi dalam presentasi atau workshop yang kadang membuat kita merasa tidak percaya diri. Tidak jarang juga kata-kata yang dilontarkan mencerminkan frustrasi, kekesalan, dan keterbatasan dari pembicara, yang bisa menyebabkan perdebatan menjadi berputar-putar dan kehilangan substansi. Vibrasinya pun membuat orang lain ikut merasa kesal, frustasi, dan bingung.

Menurut Mark Twain, kata-kata yang bertujuan membuat orang lain merasa tidak berdaya justru akan membuat orang yang melawannya terlihat bodoh. Persepsi memang bervariasi, dan selama tidak melanggar norma dasar, tidak ada yang salah. Namun, inilah yang sering memicu kesalahpahaman dan konflik yang tidak disengaja.

Twain juga memperingatkan bahwa perbedaan pola berpikir yang ekstrem dapat memicu kekesalan, membuat diskusi menjadi terlalu personal, dan bahkan menumbuhkan dendam pada pihak yang kalah. Kutipan ini juga jadi sindiran bahwa orang yang tidak bijak sering kali berusaha memenangkan perdebatan bukan dengan logika atau fakta, tetapi dengan permainan kata-kata yang membuat lawan bicaranya terprovokasi.

Perbedaan pola berdebat dan berpikir ini sering kali menyebabkan kesalahpahaman yang mencerminkan ketidakselesaian pribadi antara pihak-pihak yang terlibat. Di sinilah gagasan substansial menjadi sangat penting: apa tujuan diskusi, apa solusi yang ditawarkan, dan variasi penyelesaian masalah yang ada? Jon Lang dalam bukunya Creating Architectural Theory membahas hal ini, serta apakah semua pihak dapat memahami pesan yang disampaikan dengan tepat. Semua itu harus disampaikan dengan mempertimbangkan batasan biaya, mutu, dan waktu yang dapat diterima bersama.

Ketika seseorang yang tenang, rasional, dan tidak emosional berhadapan dengan pihak yang emosional, maka ekosistem diskusi bisa menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman psikologi yang baik untuk membentuk diskusi yang sehat. Lang menyebutkan bahwa gagasan yang substansial adalah kunci untuk menghasilkan kualitas diskusi, sementara label dan status justru menjadi hambatan. Proses awal yang penting adalah memiliki pemimpin diskusi yang berkualitas—seseorang yang rendah hati, fokus pada tujuan bersama, dan mampu menanggalkan status atau label yang dimilikinya. Konsep ini juga dibahas oleh Robin Sharma dalam bukunya Leadership with No Title, yang menggambarkan pemimpin yang bijaksana, tegas, dan fleksibel dalam satu karakter yang sama.

Jika proses diskusi dua arah tidak terjadi, cara terbaik untuk menghadapi kekesalan atau kebodohan yang disebut Twain bukan dengan berdebat, tetapi dengan menjaga kebahagiaan diri sendiri. Tentunya, hal ini membutuhkan akal sehat, kasih sayang, dan sikap berpikiran positif.

Jika segala upaya telah dilakukan tetapi hasilnya masih belum optimal, tetaplah positif dan terus melangkah dengan bahagia. Jangan diam, ucapkan, “Maaf, saya tidak sempurna, mohon dimaafkan, terima kasih atas waktunya,” dan katakan dengan tegas, “I love you.” Mungkin Anda belum mengenal pemimpin diskusi yang tepat.

Untuk menjadi hebat, memilih tempat yang tepat untuk fokus, termasuk mendekatkan diri dengan pemimpin yang berkualitas, sangatlah penting. Di sinilah presentasi menjadi sarana untuk menyajikan mutu, membangun diskusi dua arah yang saling memperkaya, demi menciptakan proses desain yang sehat di dalam studio.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Overbudget, Kritis, dan Tumbuh

Ini adalah cerita soal satu dari 3 strategi desain yang mempertanyakan fenomena over-budget, Kritis, dan tumbuh dari diskusi sekitar kami, yang dikembangkan di Guha oleh Realrich Sjarief + Hanifah Sausan

Refleksi singkat dari beberapa cerita di sekitar kami: sebuah karya arsitektur milik kawan kami yang bisa sampai over-budget berkali-kali lipat misalnya, merupakan hal yang jadi catatan. Mungkin saja ada hal yang berubah karena program misal belum sempurna, belum dipikirkan matang, atau ada deviasi karena kurangnya ahli dalam eksekusi. Atau bisa saja itu merupakan strategi dari seorang arsitek untuk mempengaruhi klien, mendapatkan persetujuan.

Cerita terkenal tentang desain Fallingwater oleh Frank Lloyd Wright mengisahkan bagaimana ide proyek tersebut “mengalir begitu saja dari Wright” dalam ledakan inspirasi selama tiga jam. Dan memang ada benarnya.

Pada pagi hari tanggal 22 September 1935, Wright menerima panggilan telepon mendadak dari E.J. Kaufmann yang mengatakan bahwa ia akan tiba di Taliesin dalam beberapa jam dan ingin melihat perkembangan desain yang telah dibuat Wright.

“Wright berkata, ‘Tentu, kita akan bertemu nanti,’ padahal sebenarnya ia belum memiliki desain sama sekali,” kata Catherine Zipf, seorang penulis yang fokus pada karya-karya Wright. “Jadi Wright duduk bersama para murid di Taliesin dan mulai menggambar.”

Meskipun Wright memang membuat sketsa awal Fallingwater dalam tiga jam tersebut, ide-ide arsitektur radikal di baliknya sebenarnya telah berkembang dalam pikirannya selama berbulan-bulan.

Faktanya, menurut Zipf, Wright telah bereksperimen dengan prinsip-prinsip rekayasa di balik Fallingwater selama beberapa dekade. Beton, konstruksi kantilever, integrasi air yang mengalir, bahkan membangun di atas lokasi alami—semua konsep tersebut telah ia eksplorasi sejak tahun 1920-an, dan kini semuanya menyatu dalam sebuah proyek ambisius.

Ketika E.J. tiba di Taliesin, Wright menunjukkan sketsa yang baru saja dibuat lengkap dengan nama, “Fallingwater.”

E.J. berkata kepada Wright, “Saya kira Anda akan meletakkan rumah di dekat air terjun, bukan di atasnya.” Dan Wright menjawab, “E.J., saya ingin Anda hidup bersama air terjun, bukan hanya melihatnya, tetapi agar ia menjadi bagian integral dari hidup Anda.”

Fallingwater pun kini dianggap sebagai mahakarya arsitektur modern dan karya terbesar Frank Lloyd Wright. Namun, egonya yang besar dan sering kali mengabaikan saran dari para insinyur menyebabkan beberapa kompromi pada stabilitas struktural, yang akhirnya menjadi masalah serius di kemudian hari.

Struktur kantilevernya yang ikonik itu bermasalah. Balok beton utamanya mulai melengkung tak lama setelah selesai dibangun karena Wright mengabaikan rekomendasi dari para insinyur untuk memperkuat struktur dengan baja yang cukup. Akhirnya pada tahun 2000-an, bangunan ini memerlukan perbaikan besar untuk mencegah kegagalan struktural total, yang menghabiskan biaya jutaan dolar. Perawatan rutinnya juga memakan biaya yang tidak sedikit.

Selain itu, karena rumah dibangun di atas air terjun, tingkat kelembapan di dalam rumah sangat tinggi, menyebabkan masalah seperti jamur dan kerusakan material interior. Sekaligus Suara air terjun yang konstan bisa sangat bising, mengganggu kenyamanan penghuni.

Meskipun visualnya mengesankan, beberapa ruang di dalam rumah tergolong sempit, dengan langit-langit rendah yang bisa membuat beberapa orang merasa klaustrofobik. Beberapa ruangan memiliki pencahayaan alami yang terbatas karena desain overhang (atap yang menjorok keluar) yang ekstrem.

Meskipun ada berbagai kritik tersebut, Fallingwater tetap menjadi ikon desain arsitektur organik dan sering dipuji karena keberaniannya dalam mengintegrasikan alam dengan ruang hidup.

Dari sini kita bisa kembali belajar bahwa di balik bentuk yang mencengangkan, ego seorang arsitek seharusnya menjadi jembatannya untuk mempermudah kehidupan banyak orang. Dari kegagalan struktur, kelembapan, dan sulitnya akses, refleksi menjadi satu poin strategis yang penting dalam arsitektur. Selain pendekatan pertama di atas, ada dua strategi lain nanti kita bahas dalam utas selanjutnya.

Ada strategi lain juga yang erat berkaitan dengan resource, biaya, metode konstruksi, dan desain itu sendiri, sehingga luas bangunan menjadi efisien. Ini teknik yang digunakan Frank Gehry dalam Bilbao Museum, dan Alvaro Siza, Eduardo Souto de Moura dalam beberapa desainnya sehingga melahirkan arsitektur yang serba putih. Resources yang minimal dikerjakan dalam sekali jalan.

Pendekatan yang ketiga bisa dilihat dari arsitektur yang tumbuh dan dikerjakan dalam waktu tidak sebentar. Detail yang diulang dan dielaborasi dengan tangan-tangan terampil. Kadang-kadang tidak semua resource dimiliki di awal perencanaan. Di sinilah desainer Carlo Scarpa dengan Castelvecchio ataupun Gaudi dengan Sagrada Familia jadi satu contoh bagaimana seseorang yang bisa mendorong dengan segenap asa dan keringatnya. Budget itu tumbuh, desain itu tumbuh.

Peran arsitek dalam berkomunikasi jadi penting untuk menjembatani ekspektasi dan juga bersikap proaktif dalam memecahkan masalah. Setiap titik membutuhkan komunikasi yang matang, di situlah sikap diri untuk tidak hanya ahli, tapi memiliki tujuan yang fokus pada klien dan masalah proyek yang banyak sekali. Namun, bukan hanya komunikasi yang menjanjikan, tetapi juga ujian untuk terus fokus dan konsisten menjadi proaktif, menghindar dari menjadi arogan, dan mendefinisikan kesederhanaan dari rendah diri menjadi rendah hati. Ini 3 titik yang tidak perlu dipilih karena bisa saja ada arsitek yang menjalaninya sekaligus, meskipun bisa batuk-batuk karena namanya integrasi tidak akan mudah.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

“Brothering” Geoffrey and Bevis Bawa, Perjalanan Dukung Mendukung dalam Bersaudara.

Di dalam praktek arsitektur, bagaimana memperlakukan klien dengan baik menentukan masa depan praktek arsitektur arsitek. Perlakuan seperti saudara, memperjuangkan klien seperti saudara, adalah komitmen yang membuat seseorang sukses. Berbahagialah apabila memiliki saudara / kawan yang selalu mendukung sepenuh hati, untuk meletakkan kepercayaannya ke tangan kita.

Brothering, hal yang jarang dibahas di dalam literatur arsitektur, justru dibahas di buku Robson tentang relasi Bawa brothers, sang adik Geoffrey dan sang kakak Bevis. Bevis menulis surat untuk kawan – kawannya, supaya menjaga adiknya yang baru pulang. selama puluhan tahun ia tidak menghabiskan waktu dengan adiknya, lalu Geoffrey harus pulang karena kesulitan ekonomi. Dan Bevis menunjukkan bisnis taman/ladang karet, sebagai kesehariannya.

Geoffrey melihat desain The Brief, kediaman Bevis, dan ia terinspirasi untuk tinggal di Sri Lanka dan belajar untuk membuat salah satu master piece desain Geoffrey di Lunagangga. Robin Maugham berceloteh “Brief is a Paradise: it is Shangri-la, a glimpse of Nirvana- call it what you will after you have been to see it. ” Saya berpikir bagaimana seseorang menulis sebuah tempat yang penuh aura misterius seperti itu, sampai – sampai kita yang membaca buku itu begitu ingin melihatnya.

Untungnya Robson dan Dominic menulis buku tentang mereka, dibalik lansekap Bawa ada hubungan yang lekat antara keduanya. Bukunya berjudul Bawa The Sri lanka Garden. Bevis kehilangan ayahnya di 1922, Bevis tinggi-besar, berbeda dengan Geoffrey yang lebih kurus dan rupawan, mereka berbeda umur 10 tahun. Geoffrey lebih banyak menghabiskan waktu di Eropa, berbeda dengan Bevis yang dalam satu saat terkena TBC yang membuat ia diminta berkeliling Cina, Jepang, Singapore, Hongkong.

Dalam pembicaraan dengan Channa Daswatte, ia berkata “I remember going to China. I remember vaguely, walking through dusty chinese squares, yellow walls, big doors. I don’t think at the time that one assessed these as such… but it all gave me feeling of pelasure, because one enjoyed the whole journey. I remember the Summer Palace and that great marble boat, pretending to be afloat… and lots of long corridors, galleries fo red laquer.”

Ini yang saya percaya, perjalanan ke timur, sangat penting untuk melihat bagaimana lansekap / arsitektur di cina dan banyak tempat di asia memiliki relasi dengan sejarah, materialitas, bentuk yang menurun kesejarahan yang kental masih turun dengan vista, simbol dengan skala besar dan kecil, semua ada di dalam satu area. Sebuah hal yang menjadi filosofi, yaitu “Embracing Things” dari situlah rasa, kesederhanaan yang elegan itu muncul dalam representasi kecantikan yang apa adanya.

Di balik debu, ada sejarah, ada pengaturan, ada desain, dan ada sebuah visi tentang kesederhanaan.Sedangkan Geoffrey menghabiskan waktu di eropa, setelah ia menyelesaikan studi hukumnya, ia pindah ke London dan tinggal bersama lingkaran dekatnya, Guy Strutt, yang adalah anak dari Lord Rayleigh yang memiliki banyak koneksi orang – orang kerajaan, dan properti seperti taman dan kastil.

Satu saat ia diajak oleh seorang arsitek untuk melihat karya arsitektur dari Andrea Palladio, dan taman Lombardy, dan Veneto. Perjalanan itu tidak terlupakan dan menjadi benih cintanya akan arsitektur Italia. Sebuah perjalanan ke barat di masa mudanya. Dua definisi barat dan timur ini sifatnya personal dan adalah sebuah perziarahan batin antara 4 kutub, kekuatan, kapital dan tradisi juga kerakyatan yang saling mengikat.

Bisnis Bevis di penjualan kayu karet tidak menguntungkan, kayu karet diproduksi dengan harga 9 cents – dan ia menjualnya sebesar 6 cents. Bevis bercerita ” I told my mother that if we cut down 200 trees we would lose less. Her mathematical capability was as shocking as my own and she said You seem to have a point there, but le’ts not go into it to deeply. Howver I agree that a view from you house is absolutely essential.”

Bertha menyetujui dan melihat bahwa bisnis yang lain harus dibuat, dan view rumah mereka begitu indah dengan lansekap yang besar. Lalu Ia melanjutkan bisnis dengan membuat peternakan, dan ayam, dan nursery tanaman, yang dijual ke kelas menengah di colombo. Ketika Geoffrey pulang dari Eropa itulah yang dilihatnya, yaitu Taman bernama The Brief.

Di Tahun 1950, bisnis peternakan mengalami kegagalan tapi bisnis nursery tanaman sukses, dan taman tersebut dikenal luas. dan banyak orang datang untuk melihat dan membeli , Bevis didapuk menjadi desainer taman yang terkenal, dan bersama kawannya ia memulai bisnis desain lansekap. menariknya justru Bevis tidak pernah diundang untuk mendesainkan taman untuk saudaranya, bahkan ada catatan oleh Robson bahwa Geoffrey menginstruksikan kliennya untuk tidak menyewa Bevis.

Lalu di tahun – tahun berikutnya Begitu banyak orang – orang berbakat datang, artis – artis Sri lanka, seperti artis batik : Ena de Silva, Desainer Barbara Sansoni, Artis, Laki senanayake, penari Chitrasena dan Vajra. Bevis adalah pusat dari lingkaran itu, dan Brief adalah tempat bertemu mereka. dalam akhir hidupnya ia mewariskan rumah dan tanah 7 acre ke kawan baiknya Dooland, dan membagi 22 acre tanah ke 5 orang pembantu terdekatnya.

Bevis belajar dari sekitarnya, hal ini menunjukkan bahwa seseorang desain belajar dari figur sekitar mereka, mereka mendengarkan cerita, dan mendapatkan banyak rencana dari sekitarnya. Dengan kerendahan hati, di sekitarnya terciptalah hub, pusat – pusat perlintasan informasi, energi, dan jiwa yang sampai sekarang bisa kita semua nikmati dalam turunan gaya arsitektur “Bali Style”.

Bevis memiliki empati yang besar dan baru kali ini saya melihatnya melalui jejak – jejaknya yang dikumpulkan oleh Robson dan Dominic. Sampai seseorang tuan tanah di bali, Waworuntu dan mendesain tanjung sari, satu butik hotel pertama di dunia, dimana kawan donald yang pernah ke brief menginspirasi mereka untuk membuat desain.

Robson menulis “The hotel incroporated many features inspired by friend’s experiments with Bevis at Brief-friezes of decorated terracotta tiles, paving slabs decorated with the imprints of leaves, open – air bathrooms. …. it was key.. of what came to be known as “Bali Style”, later in 1973, friend invited Geoffrey Bawa to Bali and commissioned him to design an estate of fifteen exclusive villas at Batu Jimbar.

Batu Jimbar adalah salah satu awal dari desain modern yang terintegrasi dengan elemen budaya yang menjadi cikal bakal bagaimana arsitektur bali bisa dipandang di dunia dengah desain hotel yang eksotik. Dari sebuah ziarah, diskusi, bisnis Bevis-Bertha- sampai ke Geoffrey, turunan itu kompleks namun mudah dipahami sebagai aksi cinta Bevis pada sekitarnya.

Termasuk cintanya pada sang adik. Ia menulis. “I have started my memoris and I have to bring my brother in to them at some stage… Though Geoffrey and I are dearly fond of each other we are strangers and … to avoid upsetting each other, … communicate through third parties… I remember seeing a book in which Geoffrey was described as one of the best architects in the world. Let me know all such detail but Don’t tell Geoffrey about my request. He knows, I don’t know how, that I am writing my life story. In writing about him I intend to leave out all his weaknesses, only telling about his extraordinary charisma, which enables him to get all he wants and desires.”

Sang kakak dengan segala otoritasnya sebagai kakak, di sini memberikan toleransinya, solidaritasnya yang bisa terjadi karena posisinya yang lebih tua. Tetapi untuk mengakui bahwa sang adik memiliki kredibilitas untuk dijaga, adalah aksi cinta. Dimana sekali saudara tetaplah saudara, dukung mendukung itu biasa, namun begitu abstraksinya adalah cinta yang sepenuh hati, dalam umur yang makin menua, segala kebaikan itu membuahkan kemumpunian, sebuah master piece, Magnum Opus yang bisa dilihat sampai sekarang, energi inspirasinya menyebar dimana – mana dalam karya, pemikiran, dan abstraksi yang jujur dan mendalam. Itulah magisnya arsitektur dengan hubungan personal, benci dan cinta menjadi sebuah perjuangan bersama.