Kategori
blog book writing tulisan-wacana

Rentang Asa dalam Ragam Rona Nusantara yang Terselubung

“…the man who regards his life as meaningless is not merely unhappy but hardly fit for life.” (Albert Einstein)

Victor Frankl menghabiskan waktu 3 tahun di dalam kamp konsentrasi. Ia menyaksikan bagaimana anak dan istrinya dibunuh di dalam kamp konsentrasi tersebut. Ia sendiri menghabiskan waktunya dengan bercakap – cakap membuat simulasi mengenai ruang kelas, tempat ia sedang memaparkan sebuah materi ke murid – muridnya. Materi tersebut adalah sebuah terapi terhadap dirinya sendiri, namanya logotherapy. Logotherapy adalah Konsep yang didasarkan pada premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian yang menjadi dasar pemikiran) bahwa kekuatan motivasi utama seorang individu adalah untuk menemukan makna dalam hidup.Semangat yang muncul di dalam kuliah Nusantara hadir seperti bayi mungil yang tanpa pretensi, ia lahir dengan kekuatan cinta, sebuah keinginan untuk merekonsiliasi, memperbaiki, membangun semangat Arsitektur di Indonesia.

Semangat yang muncul di dalam kuliah Nusantara hadir seperti bayi mungil yang tanpa pretensi, ia lahir dengan kekuatan cinta, sebuah keinginan untuk merekonsiliasi, memperbaiki, membangun semangat Arsitektur di Indonesia. Lagu terima kasih Ayla adalah lagu yang digubah Jaya Suprana untuk istrinya Ayla sebagai ungkapan terima kasih dan puji syukur.

Di dalam perenungan mengenai Nusantara setidaknya ada sebuah ide bahwa Indonesia yang dikaitkan Nusantara adalah negara besar, ada sebuah ide bahwa Indonesia yang dikaitkan Nusantara sebenarnya bagian dari sebuah tatanan yang lebih besar lagi, dan ada ide juga bahwa Indonesia tidaklah besar – besar amat. Saya percaya bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan sebuah ide adalah sebuah awalan, yang membantu untuk menggulirkan ritual – ritual yang lebih besar yang akhirnya bergulir menjadi kenyataan – kenyataan baru. Tanpa adanya ide kita tidak bisa maju jalan dan Frankl pun tidak akan bisa merekonsiliasi trauma yang dialaminya.

Ada kontradiksi di lukisan School of Athens yang dilukis oleh Raphael juga perjalanan hidup Suryomentaram. Di lukisan Raphael Terlihat figur Plato yang menaikkan tangannya dan Aristoteles yang menurunkan tangannya menunjukkan pentingnya bagaimana berpikir fundamental, atau mengakar, berbasis pada pengamatan lapangan. Berpikir fundamental ini di dalam definisinya adalah bagaimana menemukan akar dari sebuah hal yang sedang dibahas. Hal ini terkait dengan radix atau berpikir radikal. Untuk konteks Indonesia yang terajut dengan berbagai silang budaya, hal ini terlihat dari perjalanan Suryomentaram untuk melepas gelar kebangsawanannya dan berteman dengan rakyat jelata, menikmati realitas sosial yang tidak berjarak. Proses meniadakan ini mewarnai dinamika aksi reaksi yang menelurkan sikap filsafati yang berkelindan terhadap aksi reaksi diri pribadi dan kosmologi yang lebih luas sampai ke tataran negara dan dunia, disinilah muncul kekuatan sikap untuk mendapatkan fundasi yang kokoh dan dahsyat.

Berpikir radikal adalah sebuah fundasi, sebelum bisa menerapkan bagaimana berpikir kritis. Pembahasan pengetahuan yang ilmiah, ini dimulai dari Yunani dengan berusaha untuk menjelaskan dasar teori sebagai sebuah takaran intelektualitas, dimana kebudayaan pra sejarah Mesir – Mesopotamia, Sumeria, Babilon, dan India masih di ranah Mistis – Praktis. Di dalam kebudayaan di Yunani, sifat ilmiah dari sebuah pengetahuan muncul karena mengandung hal – hal yang pasti. Dimana terbagi ke dalam dua kutub yang dibahas di atas, Plato dengan pengetahuan yang universal dan Aristoteles dengan menjelaskan mengapa “the why”.

Di dalam buku Nusantara yang ditulis oleh Abidin Kusno (bisa dipesan disini) penelisikan “the why” dituliskan oleh Suwardana Winata di prolog dan Mohammad Nanda Widyarta di epilog. Suwardana melihat bahwa keterkaitan pembentukan brand di dalam dunia digital berpotensi memundurkan perkembangan keilmuannya.

Suwardana menulis “Arsitektur Nusantara dalam perdebatannya, secara terus menerus dicari dan diungkap dengan berbagai konteks pemikiran maupun filosofi serta perancangannya. Berbagai pendekatan dan metodologi digunakan untuk mencari atau mengungkap Arsitektur Nusantara itu. Dalam era digital, pencarian arti Arsitektur Nusantara dapat menghasilkan berbagai kemungkinan, akibat pembentukkan opini (tafsir opini). Pembentukkan opini ini  dapat “nyasar”, dengan hanya menjadi brand atau label bahkan hanya sebuah tag. Dalam era yang didominasi visual ini,  peran label ini memiliki pengaruh besar dalam membangun opini publik bahkan pembentukkan pengetahuan Arsitektur Nusantara. Perjalanan Arsitektur Nusantara, perlu terus “dikembangkan” dari berbagai arah, sehingga Arsitektur Nusantara tidaklah dapat didefinisikan sebagai “single” Selain itu perlu juga diperhatikan dengan opini “Arsitektur Nusantara” …oleh para star atau publicist digital yang akan menjadikan Arsitektur Nusantara hanya sebagai trend yang sifatnya sangat temporer dan meaningless.”

Di satu saat pada waktu saya memberikan kuliah di Universitas Udayana Bali, saya bertemu dengan Pak Josef Prijotomo, ia menitipkan satu manuskrip yang ketika saya buka, tulisannya seperti tulisan seorang penutur. Isinya tidak terstruktur, dan saya jujur saja kesulitan untuk menatanya. Akhirnya saya putuskan bahwa kami perlu menghabiskan waktu untuk berbincang- bincang dan membahas kuliah tersebut, sehingga saya masih belum bisa melanjutkan untuk menyunting manuskrip tersebut. Pada dasarnya, manuskrip itu perlu diolah kembali terutama dengan referensi apa ia akan dipadu padankan, banyak referensi yang belum jelas apakah itu hasil dari ekspedisi ataukah dari tutur – tuturan Pak Josef sendiri, dari situlah muncul sebuah dialog tentang, premis, pembuktian lapangan dan dasar teori yang digunakan. Disinilah masalahnya namun juga disinilah potensinya. Manukrip tersebut masih membutuhkan orang – orang yang perlu turun tangan untuk meneruskannya, wacana yang digagas beliau sebenarnya adalah wacana kritisisme yang dimulai dari refleksi hidupnya, dan semangat tersebut diperlukan untuk diteruskan, ditransformasikan ke dalam energi yang baru kembali.

Potensi seperti gambaran daya juang yang menjadi hulu ledak, neuron – neuron perjuangan di dalam kepala, hati dan kaki-tangan orang – orang yang sedang memperjuangkan pemikirannya untuk apa yang dicintai. Semangat daya juang ini menular, membuat rasa gairah yang tinggi, sebuah proses cinta. Proses tersebut pastilah melibatkan rasa benci, rasa suka, jarak dan tanpa jarak. Potensi ini muncul di dalam sebuah bentuk paguyuban.

Lain lagi potensi, lain lagi masalahnya, masalahnya muncul di dalam komunitas ilmiah dimana di dalam proses pembuktian proses berteori, yang dihindari adalah bagaimana proses penyusunan teori menjadi dasar dari proses berideologi. Dimana proses berideologi tersebut perlu untuk diungkapkan apa posisinya, apa urgensinya dan keputusan sejauh mana sang pemikir bisa menjaga jarak dari teorinya sendiri untuk bisa diuji oleh komunitas ilmiah.

Victor Frankl menulis Man’s Search for Meaning di dalam rekonsiliasinya terhadap penindasan yang dialaminya. Rekonsiliasi pemikiran ini terpancar di dalam proses kuliah Nusantara yang ada di Omah Library. Frankl menulis mengenai 3 tahap bagaimana seseorang bisa menemukan makna di dalam hidup. Pertama, dengan membuat karya atau melakukan perbuatan. Hal pertama yang dilakukan Jerman untuk bisa merekonsiliasi setelah perang dunia kedua adalah mengakui kesalahan dan membuat kenangan – kenangan tersebut menjadi kenyataan dengan banyaknya situs museum yang dibangun sebagai sarana refleksi bahwa Holocoust nyata – nyata terjadi dan memberikan pelajaran mahal mengenai korban yang muncul. Hal ini juga muncul tersirat di dalam diskusi yang muncul justru setelah pemaparan Abidin Kusno yang bisa dilihat di lembar lampiran.

Kedua, dengan mengalami sesuatu pengalaman baru atau bertemu orang lain. Pentingnya untuk bisa terhubung dengan orang lain, atau fakta – fakta baru bisa membuat kenyataan yang baru. Kenyataan tersebut misal sifatnya tidak tunggal atau ganda juga tidak sederhana dan kompleks. Fumihiko Maki perlu membuat teori Investigations in Collective Form, untuk mengantarkan kedahsyatan Jepang di dalam pembentukan teori yang akhirnya menyemangati munculnya gerakan kontemporer selanjutnya di Jepang yang mempengaruhi dunia barat . Hal ini juga ditunjukkan Bernard Rudofsky dengan penyingkapan arsitektur tanpa arsitek di tahun 1960 an dimana ia melakukan investigasi dan menelurkan pemikiran arsitektur tanpa turunan.

Ketiga, sikap yang kita ambil sebagai respon terhadap penderitaan yang tak terhindarkan. “Keadaan ini dipicu oleh trauma yang dihadapi setiap harinya di dalam kamp konsentrasi. Pentingnya keterbukaan di dalam melihat sebuah permasalahan. Perbedaan sudut pandang filsafati adalah, bagaimana medekonstruksi cara berpikir yang kaku dan merelasikan kedalam kebenaran yang situasional. Relasinya seperti, kekayaan situasional budaya, ekonomi, sosial di Indonesia misal, begitu kaya. Pemikiran filsafati berguna untuk menemukan akar keilmuan, proses perjalanannya seperti masuk ke hutan rimba yang pekat dan gelap diantara paradoks pandangan yang ideal dan pandangan yang fundamental. Perjalanan tersebut dimulai dari mempertanyakan hutan tersebut, dengan melihat gambaran besar hutan – hutan yang ada, dan apa sih hutan yang mau kita jalani ? terlebih lagi hal ini mempertanyakan apa yang kamu mau cari, passion apa yang kamu mau cari ? ataukah ada yang ingin dibuktikan ataupun sebenarnya tidak perlu membuktikan apa – apa. Pemikiran filsafati sebenarnya menjanjikan sebuah proses kedewasaan berpikir untuk menguraikan kekusutan terminologi, sebuah pemikiran yang terbuka (open ended) seperti kutipan diatas. sebuah progresi yang regresif, di satu sisi ia menjanjikan progress akan kedewasaan, disatu sisi mendefinisikan arti sebuah progresi dan regresi. Bahwa pada akhirnya, memahami maju mundurnya cara berpikir membuat tidak ada yang tidak mungkin di dalam alam pikir. Pertanyaannya apakah Nusantara patut untuk diperbincangkan ?

Melihat Indonesia yang sedang membangun dirinya, terkadang kita mungkin perlu bertanya – tanya di dalam kecepatan yang demikian pesat, bisakah kedua potensi dan masalah tersebut berdialog menjadi sebuah alfa (awal) dan omega (akhir). Kedua hal tersebut jelas – jelas sama – sama memiliki posisi masing – masing, dan saya pikir keduanya sedang mencari makna untuk kehidupannya masing – masing. Makna untuk rekonsiliasi trauma di dalam perjalanannya, penindasan, dan keleluasaan yang terjadi di dalam kehidupan setiap orang terpancar, terpantul dan terefleksi di dalam tata laku.

Melihat Indonesia yang sedang membangun dirinya, terkadang kita mungkin perlu bertanya – tanya di dalam kecepatan yang demikian pesat, bisakah kedua potensi dan masalah tersebut berdialog menjadi sebuah alfa (awal) dan omega (akhir). Kedua hal tersebut jelas – jelas sama – sama memiliki posisi masing – masing, dan saya pikir keduanya sedang mencari makna untuk kehidupannya masing – masing. Makna untuk rekonsiliasi trauma di dalam perjalanannya, penindasan, dan keleluasaan yang terjadi di dalam kehidupan setiap orang terpancar, terpantul dan terefleksi di dalam tata laku.

Abidin Kusno membuka kuliah pertama dengan sebuah tema reposisi, hal ini diperlukan untuk melihat Nusantara dari sudut pandang yang lebih luas. Diawali dengan Abidin Kusno, seseorang yang bisa melihat dari dalam dengan relasinya dengan Nusantara dan juga dari luar. Dalam kuliah wacana Nusantara: Reposisi, Abidin Kusno menampilkan 5 posisi/konsepsi nusantara, mencoba menunjukkan “nusantara” dalam sebuah konstruksi yang tidak lepas dari konteks suatu ruang dan waktu, politik negara, dan imaginasi intelektual & arsitek. Ia menjelaskan bahwa kelima posisi ini bisa saling berkelindan meskipun ada kontradiksi di antara mereka. Misalnya yang 1 & 2 itu tipis garis pemisahnya dan 3, 4, 5 erat hubungannya meskipun tekanannya berbeda.
1. Melalui Gajah Mada The Periferi: tanah di sebrang lautan (dari subjektivitas sebuah pusat). Dalam kehidupan zaman Majapahit, arsitektur nusantara mengandung 2 pengertian: arsitektur tanah sebrang/luar negeri, dan arsitektur pan-Majapahit style, atau mungkin sebuah empire style?
2. The Geo-body Melalui perspektif nation-state. Integrasi: penyatuan konsentris. Merupakan sebuah posisi yang berakhir dengan meng-nasionalisasikan nusantara. Menjadi ekspresi anti-kolonialisme dan legitimasi bagi formasi negara.
3. Melalui pengaruh austronesia Maerupakan konsep Aquatic space: yang berdasarkan aliran/arus/air. Posisi ketiga ini menjadi simbol tradisi bahari yang telah lama mengalami marginalisasi.
4. Melalui Denys Lombard Beyond the Nation-State. Yang dimaksud adalah posisi nusantara sebagai Persilangan: Hibrida budaya. Misal pada akhirnya ada yang klaim nusantara itu milik Indonesia atau Malaysia, tidak masalah, tapi tetap saja formasi budaya dari kedua negara ini adalah nusantara. Nusantara menjadi ungkapan kosmopolitanisme.
5. Melalui Josef Prijotomo Resistensi: Perlawanan dalam Kesetaran. Gerakan nusantara terjadi pada saat ada tekanan dari budaya hegemoni global yang cenderung memarginalisasikan sumber lokal. Sebagai perlawanan, nusantara diletakkan dalam posisi yang setara dengan kekuatan lain.

Pada akhirnya, Abidin Kusno merasa bahwa nusantara itu adalah istilah dimana keadaan ‘struggle over culture’ terjadi. Dan diharapkan lahir berbagai positioning lain sehingga membentuk sebuah himpunan yang beragam. Setelah itu kuliah disambut oleh 10 orang lain yang membicarakan arsitektur nusantara di dalam 10 buah perjuangan yang berbeda, dengan definisinya sendiri tentang Nusantara.

Di dalam Omah Library kami mengambil Nusantara untuk melihat apa yang penting dari kata tersebut, sejauh mana dampaknya untuk diperbincangkan, lalu pertanyaannya sejauh mana hal ini relevan di dalam komunitas – komunitas atau pribadi – pribadi yang saling berkelindan di dalam diskusi di Omah Library. Abidin Kusno mengambil 5 buah reposisi yang berbeda di dalam melihat Nusantara. Reposisi yang terakhir adalah latar belakang mengapa kuliah wacana Nusantara ini digulirkan.

Terkadang setelah acara saya menelpon Pak Josef untuk menanyakan pendapatnya, untuk melihat situasi yang mengukung beliau, apa perasaan beliau dengan pertanyaan, pernyataan yang satu dua hal terdengar mengadili dengan pretensi dari pihak yang berdiskusi. Hal ini saya lakukan karena beliau adalah orang yang patut diapresiasi dengan pencurahan seluruh energi hidupnya di dalam penyebaran dan kelahiran Arsitektur Nusantara. Ada beberapa kemungkinan – kemungkinan muncul di dalam diskusi yang dilakukan di Omah Library, mengenai bagaimana forum diskusi dan pemateri memaknai kekayaan dinamika budaya yang mewarnai wacana Nusantara di arsitektur Indonesia ke depannya.

  1. Munculnya diskusi yang kritis hasil dari pertemuan antargenerasi atau antarpengalaman orang – orang yang gelisah. Ada benang merah bahwa ketakutan yang muncul adalah wacana komersialisasi ataupun kompetisi yang mendegradasi perjuangan akan mencintai arsitektur tersebut. Dengan melihat akar permasalahan yang muncul, setidaknya bisa dipisahkan kompetisi dan komersialisasi dari perbincangan Nusantara yang lebih serius. Ataukah memang perlu ada dewan pengawas Nusantara untuk meregulasi bagaimana komersialisasi dan kompetisi Nusantara ini diturunkan ke ranah praktis. Saya harap tidak karena dasar filsafati yang terbaik adalah bagaimana membawakan diri dengan tepat, ketepatan ini ditunjukkan dengan suri Tauladan, memberikan ruang gerak pada penerus yang masih muda dan gelisah.
  2. Hubungan guru murid yang kental antara beberapa pembicara dengan Pak Josef Prijotomo. Keambiguannya terlihat dan terus muncul, meskipun diklarifikasi oleh beberapa orang yang membuat definisi – definisinya masing – masing dan berkelit dari hubungan yang memang nyata terjadi. Di dalam perdebatan Arsitektur Nusantara, saya masih melihat bahwa ada potensi luar biasa, hanya saja mungkin tongkat estafet itu sendiri perlu disibakkan oleh generasi penerusnya. Di antara hubungan guru murid tersebut, terlihat bahwa Pak Josef sendiri seakan – akan menantang murid – muridnya sekaligus memberi restu antara rasa euwuh pekewuh sekaligus kecintaan terhadap murid – muridnya. Hal ini perlu digawangi mungkin dengan kekuatan literasi.
  3. Adanya kesepahaman bahwa proses berpikir kritis diperlukan dengan saya tambahkan sebuah kebijaksanaan untuk merangkul orang yang tua dan yang muda dengan menjaga jarak dari hegemoni politik yang tidak diperlukan. Untuk itu pihak yang sadar (atau mudahnya bisa diinisiasi dengan Omah Library dan Jaringan Arsip Arsitektur Indonesia yang diinisiasi Mohammad Cahyo Novianto) perlu membantu menggawangi pendekatan akar rumput dari muda dan tua, antargenerasi hal ini dilakukan dengan bingkai acara perjalanan mengenal Indonesia dimana ini adalah usaha untuk merangkul orang – orang yang sudah mendokumentasikan arsitektur vernakular Indonesia untuk disebarkan dan memperkaya literasi arsitektur vernakular di Indonesia. Kita semua perlu bersatu bukan tercerai berai, untuk bersatu tersebut ditunjukkan dengan tauladan yang baik dengan menghindari pretensi yang muncul dalam menuangkan pemikiran.

Mari melangkah, banyak isu – isu lain yang layak dibahas seperti isu lingkungan, gender, ras, ekonomi kerakyatan, studio desain, dan banyak lagi. Mungkin kita akan bisa mendefinisikan Nusantara kembali setelah kita berjalan dan mengalami sebuah perjalanan ke empat penjuru dunia Barat-Timur, Utara-Selatan untuk mendapatkan kompas di dalam menjalani reposisi yang muncul di kemudian hari. Untuk menunggu hari itu tiba, mari kita mulai dengan Abidin Kusno, sebuah reposisi akan wacana Nusantara. Saya pikir jarak diperlukan untuk melihat bagaimana kedahsyatan Arsitektur Nusantara, energi yang mewakili salah satu dinamika arsitektur Indonesia.

Untuk menutup keseluruhan sesi ini, ijinkan saya meminjam pernyataan Mohammad Nanda Widyarta yang dituliskan ke dalam epilog buku,

Nanda menulis, “Menurut hemat saya, bila Arsitektur Nusantara kehilangan aspek perlawanan ini, maka ia akan menjadi kajian yang “itu-itu saja.” Maksudnya, ia masih juga terjebak dalam pengetahuan sebagaimana didefinisikan berdasarkan sudut pandang si pemilik hegemoni. Penggunaan istilah seperti “kearifan lokal” misalnya, masih menyiratkan adanya hegemoni dalam pemikiran si pemikir/periset. Arsitektur Nusantara sepatutnya bertindak sebagai pengingat bahwa ada banyak arsitektur-arsitektur lain di dunia yang juga patut diangkat.”

Dengan selesainya epilog dari Mohammad Nanda Widyarta di buku Nusantara kita bisa bersama – sama mengucapkan :


Hi semesta, ayam sudah berkokok berulang kali, selamat pagi, mari berjalan !

Dan pada akhirnya, saya perlu mengucapkan terima kasih terutama kepada Abidin Kusno yang mau berjibaku untuk mereposisi sebuah terminologi Nusantara dan memberikan tongkat estafetnya kepada kami – kami melalui Omah Library. Terima kasih juga kepada 10 pembicara yang sudah meluangkan waktunya untuk menyumbangkan 10 jembatan pemikiran reposisi lanjutan dari kuliah Abidin Kusno. Kesepuluh orang tersebut adalah Indah Widiastuti, Eka Swadiansa, Robin Hartanto, Mohammad Cahyo Novianto, Anas Hidayat, Revianto Budi Santosa, Mitu M. Prie, Defry Ardianta, Altrerosje Asri Ngawi, dan Johannes Adiyanto. dari kesepuluh orang tersebut kita memulai konstruksi pemikiran yang terbuka, rajutan pembangunan konstruksi yang sehat.

Terima kasih terbesar ada di Kirana Ardya Garini yang sudah membantu menyimpulkan kuliah demi kuliah, menemani di dalam sesi – sesi yang ada di dalam Nusantara, mengkordinasikan dan menjadi jembatan untuk banyak pihak. Juga kepada Satria Agung Permana, Amelia Mega Djaja, Dimas Dwi Mukti Purwanto untuk teman berdiskusi tanpa henti di dalam Omah Library, jembatan yang terakhir ini adalah doa untuk mereka berempat menjadi mata air baru untuk arsitektur Indonesia.

Dengan selesainya epilog dari Mohammad Nanda Widyarta di buku Nusantara kita bisa bersama – sama mengucapkan :

Hi semesta, ayam sudah berkokok berulang kali, selamat pagi, mari berjalan !
Publikasi buku yang dibuat oleh tim Omah Library, Tulisan ini berjudul Rentang Asa dalam Ragam Rona Nusantara yang Terselubung, atas dasar usulan Jolanda Atmadjaja untuk menanti – nanti kekuatan semesta terkait dinamika budaya yang melingkupi kebaikan setiap orang untuk selalu berproses dalam perjuangannya masing – masing.

Omah library dengan bangga mengeluarkan buku baru berjudul Nusantara: Reposisi
.
Masa mendekati perayaan 75 tahun merdekanya Republik Indonesia ini adalah saat yang tepat untuk menelusuri kembali imajinasi kita tentang negara, tak terkecuali juga hubungannya dengan ruang, makna, dan sejarah. Penelusuran tersebut kerap kali berujung dengan pertanyaan seputar “bagaimana kita memaknai Nusantara?”

Pemesanan buku @omahlibrary dapat melalui link di bio bit.ly/OrderOMAH atau hubungi Vivi (WA) 08998898239

Kategori
book writing

Buku Alvar Aalto – “Mati Sakjroning Urip”

Kira – kira di akhir tahun 2018, saya dan Laurensia berkunjung ke Finlandia. Hal itu dilatarbelakangi satu kebetulan yang cukup aneh dan hal tersebut menjadi warna yang penuh kejutan dan spontan. Jadi waktu itu saya selalu meletakkan satu buku di samping tempat tidur, pada waktu itu saya sedang mau memulai membaca buku Space, Time and Architecture karya Siegfried Gideon. Sudah beberapa hari berlalu buku tersebut belum saya baca karena studio RAW sedang padat-padatnya. Tidak tau gimana ceritanya mungkin tersenggol, buku tersebut jatuh terbalik dan ada halaman yang terbuka, disitulah saya melihat sebuah gambar dan narasi mengenai Saynatsalo Townhall. Disitu diceritakan, bahwa ada teknik yang menggunakan komposisi berbagai material yang menimbulkan simfoni material yang mencengangkan. Siegfried Gideon begitu apiknya menyelipkan Aalto di tengah – tengah figur yang lain seperti Corbusier, Frank llyod Wright, dan Jorn Utzon. Figur Alvar Aalto yang membumi terlihat seperti karyanya biasa – biasa saja atau ada perasaan familiar. Karya ini mengundang decak kagum justru karena terlalu biasanya sampai mudah untuk dicerna. Ini adalah satu karya yang saya cari – cari, keindahan adalah pancaran dan pantulan dari arsitektur yang bersahaja. Dari situ saya langsung berbicara ke Laurensia, “kita perlu ke Finlandia akhir tahun ini.”

Akhirnya kami berkesempatan berkunjung ke karya Alvar Aalto, Saynatsalo Townhall, setelah tersesat di hutan pinus akibat diturunkan di perhentian yang jarang dilalui orang

Beberapa bulan kemudian, saya memutuskan untuk menuangkan pengalaman tersebut di dalam bentuk buku, dan mulai meriset mengenai karir kehidupan Alvar Aalto dan merefleksikan ulang apa yang saya dapatkan di dalam perjalanan melihat karya beliau, ada hal yang magis di dalam hidup Alvar Aalto, bahwa ia melakukan praksis, aksis reaksi penyelesaian masalah dan refleksi akan penyelesaian masalah tersebut, fakta – fakta dan arsip yang ada menjelaskan bahwa kehidupannya erat kaitannya dengan praksis – praksis besar di dunia seperti kejadian ketika ia tidak memiliki proyek, pandemi, perang dunia pertama, perang dunia kedua, pameran di Amerika, menulis, berkumpul dengan kawan – kawannya termasuk bertemu dengan Siegfried Gideon, Le Corbusier, dan Frank llyod Wright dan mempengaruhi cara dan bagaimana ia mendesain. Ini adalah praksis yang manusiawi sekali. Pertanyaannya apa formulanya ?

1 tahun setengah kemudian Buku itu selesai dan diterbitkan Omah library, dan kami dengan bangga mengeluarkan buku baru berjudul Alvar Aalto : The Magic of Architect’s life. Buku ini Berisi tentang bagaimana studio Alvar Aalto dan relasi dengan dirinya bekerja dan seperti apa di dalamnya. Buku ini adalah salah satu refleksi dari perjalanan karya Alvar Aalto yang mendesain dengan inklusif, sebuah pendekatan yang mampu menembus batas imajinasi. Alvar Aalto adalah seorang arsitek yang memanifestasikan totalitas desain dari arsitektur, interior, sampai produk desain di Paimio Sanatorium yang terelasi dengan pandemi TBC dan Viipuri Library. Buku ini berisi mengenai :

  1. Strategi arsitek di dalam menghadapi pandemik masa kini dan masa lalu.
  2. Metode mendesain dari Alvar Aalto yang mampu menembus batas kanon tren dengan 3 pendekatan : Gesamtkunstwerk, Free Curve, dan Arsitektur Monumental
  3. Pada akhirnya ini merujuk kepada kesimpulan : arsitek ini memulai karirnya dengan kegagalan, sifat mau belajar, berpikiran terbuka, berprinsip teguh, dan akhirnya kejeniusan itu datang sebagai buah dari kerja keras.

Saya dibantu oleh Johannes Adiyanto untuk penyuntingan. Ia membuka buku ini dengan definisi dirinya sebagai “Cantrik” dan buku ini ditutup oleh tulisan dari Jolanda Atmadja yang membahas “TAKSU-Dinamika Daya Hidup dalam Keutuhan”, cerita Jolanda membahas mengenai relasi Panca Skandha kedalam keutuhan karya dan bagaimana Taksu itu didapatkan sebagai refleksi penyelesaian terhadap masalah keseharian.

Jolanda Atmadja menulis

“Dinamika Taksu pada akhirnya bergerak dalam rentang yang lebar sesuai kapasitas dan peran kita masing-masing. Akan selalu ada batasan-batasan yang membedakan Taksu kita – sesuai pilihan jalan sebagai rohaniwan, politisi, tenaga medis, pekerja mandiri, akademisi, arsitek, desainer, seniman, petani dan tenaga profesi lain, aktivis sosial, maupun pilihan berkarya di ranah domestik. Pada kondisi optimalnya – Taksu dalam laku berarsitektur merujuk pada Totalitas – yang berproses kembali menjadi energi kehidupan dalam menghadapi konflik keseharian. Keberlanjutan yang ‘hidup’ dengan menjadikan kita bukan sebagai pemeran utama. Menjadikan kita ‘tiada’. Sebagai perantara, pembaca pesan-pesan yang disampaikan oleh semesta. Kenikmatan me’Rasa’ yang berujung pada upaya menjawab kebutuhan dan masalah dasar dalam berarsitektur. Tidak bertujuan utama untuk jadi tontonan, simbol status ataupun melulu komoditi. Kesunyian yang meniadakan, sekaligus melahirkan kekuatan diri. Mati sakjroning urip.”

Tulisan Jolanda menjadi penutup dari buku Alvar Aalto yang menekankan pentingnya menyadari pentingnya jujur di dalam menjalani tata laku yang menjauhkan diri dari kepentingan simbol status, kepentingan ataupun komodifikasi.

Menurut saya refleksi yang menggambarkan bagaimana sikap untuk menjalani tata laku tersebut disimpulkan oleh Johannes Adiyanto di dalam catatan editorial bagaimana bersikap tulus dengan cinta.

Johannes Adiyanto menulis “Ada dua hal —menurut saya— yang dapat dipelajari dari buku Alvar Aalto ini. Pertama, pembaca dapat menemukan proses kehidupan percintaan Aalto dengan arsitektur. Aalto tidak sekedar menempatkan arsitektur sebagai sebuah profesi semata (cinta agape), tapi proses kehidupannya pada setiap tahapnya selalu mengembangkan diri untuk mampu mencintai arsitektur (cinta Philautia), sehingga dapat dikatakan proses percintaan Aalto dengan arsitektur telah sampai pada titik cinta pragma, sebuah cinta yang teruji oleh ruang dan waktu. Cinta pragma ini dapat dicapai jika seseorang mampu menerima kehidupannya sebagai sebuah proses cinta agape, sebuah cinta yang tanpa pamrih. Apapun yang dilakukan demi hal yang dia cintai.”

Di balik ruang kerja saya dilapisi cermin, saya bisa melihat Alvar Aalto yang melihat dari belakang, disebelahnya ada Johannes Adiyanto dan Romo Mangunwijaya yang merangkulnya dan tersenyum.

Mereka berbisik – bisik,

“Mati sakjroning urip.”

Nglakoni Mati Sajroning Urip. Dalam falsafah Jawa ungkapan “nglakoni mati sakjroning urip” rasanya tidak terlalu asing. Ungkapan itu sendiri bermakna bahwa seyogyanya manusia bisa mematikan segenap hawa nafsunya dalam menjalani kehidupan.


Credit to the Team, It’s Collaborative work

Penulis: Realrich Sjarief

Realrich Sjarief mendirikan Realrich Architecture Workshop di tahun 2011. Ia juga aktif di DOT Workshop, yang berfokus pada penelitian tektonika, dan Perpustakaan OMAH, kelompok penelitian dan perpustakaan umum yang menampung sekitar 1.500 buku arsitektur dan menyelenggarakan publik berkala acara tentang wacana arsitektur kontemporer. Ia menulis
beberapa buku bersama dengan Johannes Adiyanto, bersama-sama menjadi cantrik yang haus akan ilmu. Realrich Sjarief aktif mengajar di beberapa universitas di Indonesia, dan kerap kali memberikan kuliah umum di Australia, Singapore, Filipina, India. Bersama RAW Architecture ia memenangkan beberapa kompetisi desain, termasuk Kompetisi Galeri Nasional Indonesia, finalis dari Museum Silaban, IAI Jakarta Award di tahun 2017 dengan karya Omah Library, Finalis World Architecture Festival Award 2018, Fibra Award 2019, dan Kohler Award 2018 untuk karya Sekolah Alfa Omega. RAW Architecture di tahun 2018-2019 adalah long listed world emerging architect. Baru-baru ini RAW Architecture juga mendapatkan nominasi Emerging Architect di Asia Pacific Design Award 2020.

Editor: Johannes Adiyanto

Johannes Adiyanto, lahir sebagai anak pertama pada bulan September 1974 beristri Veronica Dwi Yantina yang dinikahinya tahun 2005. Jo – biasa dia dipanggil – menyelesaikan studi doktoralnya di ITS dengan tema Konsekuensi Filsafat Jawa pada Arsitektur Jawa. Kecintaannya pada filsafat terjadi karena koleksi bacaan dari Bapaknya, Erasmus Prijotjahjono dan koleksi kaset wayang dari Eyang, Gerardus Soewandi yang kesemuanya menuju pada satu pemahaman tentang budaya Jawa dan filsafat masyarakat Jawa. Kecintaan akan filsafat juga ditunjang dengan kecintaan akan buku. Hal inilah yang menuntun Jo bertemu dengan ‘juragan buku’ dari gua Omah, Realrich Sjarief. Kecintaan mereka berdua akan buku dan arsitektur membawa mereka merangkai kata dalam beberapa buku yang diterbitkan oleh Omah Library. Dalam buku-buku mereka yang bertema arsitektur seringkali tidak berbicara teknis semata, namun menjelajah jauh mendalam seperti seorang penjelajah ilmu. Jo selalu menyebut dirinya sebagai cantrik, seorang murid yang tidak berhenti mencari dan mencari pengetahuan dan ilmu. Buku Alvar Aalto sebuah tapak pencahariannya.

Tim Omah Library : Penulisan, Riset, dan Layout

Amelia Mega Djaja

Amelia Mega Djaja adalah salah satu periset dan pustakawan OMAH Library, pernah terlibat dalam penulisan buku berjudul “Craftgram: Craft + Grammatology” dan “Alvar Aalto: The Magic of Architect’s Life,” dan juga sebagai koordinator Kri(s)tik Book Club 2019. Lulus dari S1 jurusan arsitektur pada tahun 2016 dari The University of Sheffield, dengan disertasi mengenai narasi arsitektur poskolonial di Jakarta tahun 1960an.

Sebelum bergabung di OMAH, Amel memiliki pengalaman bekerja selama 3 tahun sebagai desainer, antara lain dalam proyek Alun-Alun Cicendo Bandung (2017, di bawah Florian Heinzelmann), juga sebagai koordinator tim Sayembara Kantor Bupati Sleman yang mendapat juara 2 (IAI 2018, di bawah Ary Indra).

Menurutnya, arsitektur bisa menjadi medium dalam melakukan pembacaan dan analisis mengenai kultur, sejarah, lingkungan maupun dimensi sosial yang lebih luas. Karena ketertarikannya untuk mendalami hal tersebut, saat ini Amel juga merupakan salah satu pegiat ASF-Indonesia yang aktif dalam fasilitasi dan diskusi mengenai komunitas informal kota Jakarta.

Dimas Dwi Mukti P

Dimas Dwi Mukti Purwanto, lahir di Madiun 7 Maret 1996. Lulus dari Akademi Teknik Arsitektur YKPN Yogyakarta tahun 2018 dan sekarang sedang melanjutkan studi S1 di Universitas Mercu Buana Jakarta untuk melanjutkan cita – citanya.
 
Beberapa pengalaman yang mempengaruhi pemikiran Dimas adalah ketika menjadi volunteer yang bertugas sebagai tim riset Venice Architecture Biennale 2018 bersama tim pavillion Indonesia pada tahun 2017, ketika menjadi tim desain revitalisasi desa Krapyak di Pekalongan bersama Studio Akanoma dalam mendampingi World Bank pada tahun 2018, dan ketika mendapatkan kesempatan untuk menjadi juru gambar PT. Waskita Karya dalam proyek tol Pemalang – Batang pada tahun 2018. Kemudian Dimas juga pernah bekerja di PT. Kreasi Nusa Studio sebagai desainer interior dimana banyak mengerjakan proyek – proyek kantor, residensial hingga komersial sepanjang tahun 2019. Untuk saat ini Dimas sedang belajar dan bekerja sebagai pustakawan dan juga periset di Omah Library. Salah satu prestasi yang pernah Dimas raih adalah juara 3 dalam kompetisi desain ruang publik yang bertema Unexpected Space di tahun 2018.
 
Dimas adalah orang yang tidak pintar – pintar amat namun memiliki keinginan yang kuat untuk bisa membanggakan bangsa Indonesia sebagai arsitek yang baik sehingga hal itulah yang selalu membuatnya mendapatkan motivasi untuk terus belajar dan belajar lebih dalam lagi.

Kirana Ardya Garini

Lulus dari jurusan Teknik Arsitektur pada tahun 2017, Kirana A. Garini memiliki pengalaman bekerja di konsultan arsitektur PT Tripatra Konsultan di Yogyakarta yang khusus menangani proyek pemerintahan.

Kirana sempat bergabung dalam Housing Resource Center Yogyakarta dengan fokus penanganan kampung kota Kali Code Yogyakarta dengan output berupa profil kawasan.

Kirana senang bereksperimen dengan desain produk, khususnya yang dapat digunakan di ruang publik. Ia pernah membuat Pringgam (pring-gamelan), prototipe produk bermain bagi anak usia SD di taman kota Surabaya, berbahan bambu, memadukan sistem alat box musik dan gamelan. Produk tersebut sengaja didesain untuk beberapa penggunan sebagai tanggapan atas minim nya interaksi sosial anak di kota urban yang cenderung terikat pada gadget mereka. Karya tersebut mendapat penghargaan juara 1 pada sayembara Play MORPH yang diselenggarakan oleh Departemen Arsitektur ITS, Surabaya bersama dengan 2 orang dalam timnya.

Kirana sangat tertarik dengan arsitektur untuk publik, yang mengutamakan kesehatan dan kenyamanan masyarakat luas, desain universal, multi dimensi dan multi disiplin, serta bersinggungan dengan kebijakan publik, politik, dan ekonomi.

Oleh karena itu saat ini Kirana memilih bergabung sebagai Researcher Librarian di OMAH Library. Kirana berharap dapat melatih ketajaman observasi dan berpikir lebih dalam guna mengkoneksikan sejarah dan teori, mampu membuka wacana, membangun kritik, dan menakar kebijakan publik yang kontekstual.

Selama di OMAH Library, Kirana terlibat dalam berbagai riset yang diantaranya diterbitkan dalam bentuk buku, seperti: Methodgram, Craftgram, Sejarah Arsitektur untuk Mahasiswa, dan yang terbaru, buku Alvar Aalto: the magic of architects life.

Satria A. Permana

Satria A. Permana is currently working at OMAH Library, observing and researching architecture discourse in Indonesia. He graduated from the school of architecture in Universitas Islam Indonesia. His thesis about “Recoding the Code’s Urban Kampong”, has led him to put his concern on developing urban kampong design language, which also aided him to gain several prizes in architecture and urban design competition such as merit award in FuturArc Prize 2019 and nominated in Student Charrette World Architecture Festival 2016. Besides architecture and design, he spends half of his life observing the worlds in writings and photography which could be found at http://www.medium.com/@satriaap. In 2020, he co-authored with Realrich Sjarief a book titled The Secret of Architect’s Life. He is available to reach by email at satriaap@live.com or Instagram @satria__ap.

Epilog.

Jolanda Atmadjaja
Pemerhati permasalahan keseharian
.Lulusan desain interior Institut Seni Indonesia Yogyakarta
dan Institut Teknologi Bandung