Kategori
99 percent blog

1 Persen yang Dinanti : Berdialog dengan Anas Hidayat

Jumat 24 Juni 2016
Dear Mas Anas Hidayat yang baik,

Ketika kita berjabat tangan, tentunya ada sebuah ikatan yang saling tarik-menarik. Mungkin makin lama makin banyak yang bisa maklum, pasrah, atau rela, bahwa kita membutuhkan paradoks dalam membuat satu argumentasi yang jujur. Tulisan mas Anas banyak memberikan keoptimisan tersendiri, bahwa kita arsitek perlu untuk selalu terus belajar, tanpa henti, semakin kita menginginkan sesuatu semakin banyak pulalah kita harus belajar, ambisi berbanding terbalik dengan lamanya pelajaran. Ketika keinginan itu dituturkan dan dilakukan dengan segitu dalamnya, sebegitu banyaknya juga yang harus dikerjakan. Mungkin tidak ada kata lain untuk arsitektur indonesia, selain kerja keras. Di balik seringnya kekecewaan saya terhadap pranata kita, yang ternyata ujung – ujungnya ke sikap dalam berprofesi, ketulusan hati dalam bekerja, mungkin kita perlu optimis dalam melihat masa depan, tidak dalam kacamata paradoks yang sudah biasa dikerjakan, bekerja melalui gambar, institusi, hukum, kontrak, ataupun hal – hal yang berbau – bau formal. Namun baiknya kita menelisik paradoks dari hal tersebut, tentunya dengan profesionalitas dan etika yang dijunjung tinggi yaitu, nilai kejujuran.

Pak Irianto Purnomo Hadi, sebuah figur yang banyak dihindari oleh beberapa orang – orang muda yang saya temui, ternyata berhati sangat lembut. Mungkin saja penghindaran itu terjadi karena beliau terlalu jujur, dan lugas dalam berkata – kata. Di balik orang – orang seperti ini, tanpa tedeng aling – aling, dengan sikap yang sudah siap akan kritik, tentunya akan pas saja, celakanya begitu kumpulan – kumpulan tidak siap, ya pasti menghindar, karena kurang kerja keras, kurang persiapan, kurang latihan, tapi pingin eksis.

Dari Pak Irianto, sesingkat bicara, ada dua hal yang penting, yang pertama adalah kekerabatan, brotherhood, sekali dua kali, beliau melontarkan cerita tentang pertemanannya dengan Yori Antar, Andra Matin, Sonny Sutanto, dan lain – lain, bahwa di antara mereka tidak ada puja puji berlebihan, dan memang sesuatu dilontarkan apa adanya. Ya memang kumpulannya sudah siap dan mereka sudah seakan – akan mengerti satu sama lain. Pada akhirnya diceritakan ada semangat penjelajahan, atau eksplorasi tanpa henti, hal itulah yang menjadi cikal bakal Arsitek Muda Indonesia. Dan atas nama AMI, label itu lalu terbentuk. Pertanyaannya setelah label itu terbentuk, kemudian apa yang menjadi semangat pertamanya apakah terus ada dan semakin meningkat ? ya mungkin saja ini titipan buat kita – kita ini mas Anas, supaya meneruskan semangat – semangat mereka. setidaknya saya berusaha mencari – cari kerabat yang bisa berjabat tangan, bukan saling mengentuti, saya menemukan nafas ini dalam diri Mas Anas. Dari kekerabatan ini kita berusaha saling meningkatkan diri, seperti kedua pendekar yang saling berlatih hanya sebagai sebuah pemberian untuk hidup yang ada ini, ini konteks mas Anas dengan ndaem,

Yang kedua adalah kedalaman (depth), beliau ucap kali berkata, bahwa menggapai sesuatu yang tidak lengkang jaman,membutuhkan waktu, dan proses latihan yang panjang. Di era sekarang yang semakin cepat, hal – hal ini semakin sulit ditemui, dimana kompetisi menjadi ketat, dan sisi egoisme dari arsitek menjadi kental dan tinggi. Disinilah diskusi berjalan menyenangkan membahas figur – figur arsitek seperti louis kahn, dan beliau juga bertanya, apakah saya suka dengan Scarpa, ya itu desainer yang luar biasa, meninggalkan torehan sejarah arsitektur yang dalam, seorang pendekar byzantine. Dari situ kita membahas mengenai castevechio, satu museum yang dulunya adalah barak, dengan intensi permainan detail, dan penataan ruang pameran, sampai ke bagaimana satu karya lukisan itu ditata dengan pendekatan visual, perspektif, perjalanan pengunjung menikmati satu – persatu karya dimulai dari pintu masuk. Dari kedua ini, saya coba beranikan diri untuk mengajak beliau turun gunung juga untuk berbagi keluh kesahnya ke anak – anak muda, jadi kelembutan dan ketegasannya, dua paradoks ini bisa terbaca dengan lebih baik. Ada dua hal, kekerabatan, dan kedalaman yang menjadi penting dalam pertemuan dengan pendekar gondrong namun lembut hati ini.

Buku Pak Yuswadi Saliya, akan meluncur hari ini ke Surabaya, nanti saya es em es untuk tau alamat njenengan. Coba nanti kasih tau pendapat njenengan apa tentang buku itu, dan kita bisa diskusi bersama, pinginnya, bab per bab, tulisan per tulisan, ha ha. tapi rangkuman aja mas, supaya kita endapkan dan seharusnya ada dialog dengan buku itu. Namun ngomong – ngomong soal pameran kita. tulisan mas sudah asik pol tenan, muantap. Dengan interpretasi dari swarang,

saya suka sekali dengan paragraph ini, kalau namanya suka ya susah ya, karena pakai hati, ngga pakai pikiran, atau malah pakai hidung kaya kata njenengan, ha ha.

“Dalam pandangan s[w]ar[w]ang atau swa-rwang (swa=mandiri, rwang=ruang/ruangan), sarang adalah ruang (buatan dan milik) sendiri, yang dibuat sendiri untuk kemudian ditempati sendiri. Jadi, swa-rwang bukan rwang/ruang untuk ditempati oleh orang lain, tetapi sebuah pergulatan yang bersifat individual, personal.

Ketika seekor burung membangun sarang, itu adalah urusan antara dirinya dengan semesta, sebagai sebuah “ritual” untuk “mengukur” dirinya, yang tak membedakan antara yang alami dan yang buatan, tak membedakan antara insting/naluri dan kesadaran, antara intelejensi dan emosi.

Sedikit cerita tentang burung-burung manyar (dari novel Burung-burung Manyar, karya Y.B. Mangunwijaya):
ketika masa berahi, burung-burung manyar jantan membangun sarang untuk menarik perhatian betina. mereka berlomba untuk membuat sarang yang sebagus mungkin. Hingga pada saatnya si betina memilih, dia akan memilih sarang yang terindah di antara sarang-sarang buatan para jantan itu, dan si pembangun sarang akan menjadi pasangannya. Lucunya, ketika tahu sarangnya tak terpilih, burung-burung manyar jantan lainnya akan merusak sarang buatannya sendiri hingga hancur-lebur, dipreteli dan dilolosi hingga tak berbentuk lagi, mungkin sebagai ekspresi kekecewaan.
Tetapi, burung-burung manyar jantan selalu optimis, dia akan membangun sarang baru lagi dari nol, dengan mengumpulkan bilah daun tebu dan rumput kering, dengan harapan ada burung betina yang memilihnya nanti.

Yang esensial di sini adalah refleksi, berkarya dengan bercermin pada dirinya sendiri, yang hasilnya adalah untuk dirinya sendiri (tetapi nantinya bukan hanya untuk dirinya sendiri), mulat sarira atau “mengukur diri”, yang dalam tahap berikutnya sebagai “persembahan” kepada dunia.
Swa-rwang adalah tempat untuk meraba diri, mempertanyakan entitas dirinya sebagai upaya menempatkan diri dalam konfigurasi agung semesta.”

sebuah pergulatan sendiri, sebagai ajang refleksi untuk persembahan pada semesta.

Nah Sarang lagi dibuat materinya ya mas Anas, Sepertinya kita perlu merangkul kutub yang berbeda jadi begini, saya ingat ada pameran ketukangan yang dipamerkan di Venice Bienalle, yang dikuratori oleh David Hutama, Avianti Armand, Setiadi Sopandi, Ahmad De ni tardiyana, dan Robin Hartanto. Mereka mengkategorikan perkembangan arsitektur melalui bahannya. Yang dalam pandangan saya bahwa karya ini bisa bersifat romantis, pada jiwanya, pada filosofinya, pada pengantarnya, namun untuk produk yang diberikannya, sarang perlu menegaskan bahwa ia berorientasi pada kerja keras, untuk memecahkan masalah. Nah kepikirannya, bahwa framework dari ketukangan itu kita bisa pakai, sekaligus sebagai usaha untuk meneruskan semangat pameran mereka, nah kita – kita yang meneruskan. Jadi yang terpikirkan ada pembahasan tentang kayu, batu, logam, bata, plastik, yang akan dipamerkan adalah gambar – gambar detail saja, sebagai satu sumbangan akan vocabulary untuk yang masih muda – muda, semoga bisa membantu untuk mengarungi profesi yang sedemikian kacau beliau. Jadi rumusnya akan dibagi, resepnya akan dibagi – bagi disini, seluruh perkembangan studio sampai saat ini melalui gambar, video, dan gambar kerja. Ini adalah sebuah tantangan untuk merefleksikan, atau mengkuratori diri kita sendiri yang berguna untuk perkembangan sarang itu sendiri. dengan detail effort yang tertinggi akan muncul karena disitulah dituntut ada konsistensi, dan permainan detail adalah bagaimana kita konsisten dalam bentuk dan intensi desain dari macro sampai titik terakhir begitu pekerjaan itu diselesaikan.

Yang menarik adalah di pengantar, ada beberapa fakta yang kita coba ulas, bahwa dalam pengerjaan 350 proyek yang ada sekarang, yang terbangun hanya sekitar 10 – 15 buah, selama 4 tahun. Jadi kita bisa cerita soal kompleksitas profesi yang memang membutuhkan kesabaran dalam berarsitektur. Kita bisa cerita juga tentang stastitika jumlah adik – adik yang datang dan pergi. di RAW , di DOT, atau di Omah library. sebagai satu jalan untuk melihat satu jalan yang penuh turun naik, tumpang tindih, manuver kiri dan kanan, dan melihat permasalahan yang tidak sederhana. Sarat dengan ledakan informasi, tanpa tedeng aling – aling, tanpa permisi, dan kemudian kita pergi dengan terbirit – birit ha ha ha, semoga tidak dikejar orang – orang. Arsitektur yang kita jalani sehari – hari saya setuju ini urusan profesi, menggapai kesempurnaan dan menghidupi banyak orang dengan inspirasi, dengan kenyamanan, juga dengan fulus yang diciptakannya.

Sumrabah ini menarik mas anas, bagaimana menyebar kemana – mana tanpa intensi khusus untuk itu, namun dengan keinginan untuk berbagi itu pun sudah sebuah intensi ya. Namun bagaimana yang dibagi itu, merasa dikentutin, atau dibelai, itu lain halnya, soal bertemu kekasih dan bertemu godot, yang tidak pernah ada. Saya coba cari referensi yang diberikan mas Anas, Finding Godot, apa ada referensi lain yang bisa dibagi, sayangnya dekonstrusi kimbell saya ngga dapat, sulit untuk dicari.. kembali ke sumrabah, kalau – kalau yang dibagi itu bisa menerima, dan suka, cinta dengan apa yang dibagi, atau sebenarnya mereka sedang menelisik adakah cinta disana, adakah sarang(dalam bahasa korea berarti cinta) itu ada disana, kalau ada , maka mereka (burung – burung manyar ) akan bersiap – siap memadu kasih.

Sedikit cerita lagi mengenai almarhum Heinz Frick, saya kebetulan berkesempatan ke rumahnya dan ke ruang tidur sekaligus ruang kerja dan perpustakaannya. Orangnya rapih sekali, ada map – map, manuscript, yang berisi kliping, dan data statistika dari buku – buku yang dikopi. Dari situlah saya melihat orang ini, adalah seorang akademisi yang bisa mampu memilah – milah informasi dan bekerja sama, dilihat dari banyaknya buku, kualitas buku, dan orang- orang yang diajak bekerja sama dalam pembuatan buku. Dan kemudian kemarin pada waktu saya ke cilacap, kebetulan saya take off dari bandara Halim Perdana Kusuma, disitu ada buku judulnya working clean karya dari Dan Charnas, ia mengetengahkan konsep mise en place, saya tuliskan prefacenya disini ya,

“everyday, ches across the globe churn out enormous amounts of high quality work with efficiency using a system called mise – en – place- a french culinary term that means “putting in place” and signifies an entire life style of readiness and engagement. …. Charnas speels out the 10 major principles of mise – en – place for chefs and non chefs alike : (1) planning is prime (2) arranging spaces and perfecting movements (3) cleaning as you go (4) making first moves) (5) finishing actions (6) slowing down to speed up (7) call and callback (8) open ears and eyes (9) inspect and correct (10) total utilitzation. ”

Ini ada paradigm ekstrim mengenai bagaimana chef bekerja, seperti ada ceritanya si Jimi Yui adalah seorang kitchen desainer terkenal, seperti paradigm biasa, bahwa dapur perlu besar dan lux, membuat setiap chef bergerak dengan mudah. Ini adalah logis, dan bisa dinalar bahwa ini satu kesepakatan yang bisa diterima bersama. Namun Jimi Yui mendesain kitchen untuk chef – chef terkenal di dunia seperti Mario Batali, MAsaharu Morimoto, dan Eric Rippert. Ia mendesain dapur yang sangat efisien, sekecil mungkin, bahkan chef tidak perlu untuk melangkah kemana – mana, ia cukup diam ditempat dan semuanya ada disekitarnya. Hal ini terbukti efisien, tidak membuang waktu, dan akhirnya chef tersebut bisa melakukan hal – hal yang lain, ia membuat stastitika bagaimana chef itu bergerak dan berapa waktu yang terbuang. Nah saya pikir, hal ini ada paradoks dengan apa yang terjadi disekitar kita, terkadang hal – hal yang menjadi kesepakatan bersama, membutuhkan dobrakan, sepertu bagaimana Jimi Yui bekerja. menurut mas Anas bagaimana, mungkin saja bentuk ekstrim studio bisa diredefinisi perlahan – lahan, tentunya dengan niat untuk meningkatkan kualitas.

Saya pikir Mas Anas pun demikian, tulisan – tulisannya mendobrak pemikiran saya, karena soal pikiran itu mudah, rasionalisasinya jelas dan bisa dipelajari namun siapa yang bisa menakar ledakan hati, siapa yang bisa membatasi, apalagi kalau aktornya hanya kita ha ha ha. (maaf mangap terlalu lebar) setelah sumarah, sumrabah, lalu sumringah. ha ha.

Hari ini, sudah akan ada progress untuk instalasi kita, saya akan kirimkan ya, semoga dua tarikan, paradoks, yang terjadi akan membuat kita semakin banyak belajar, dan berkembang, Mas Anas maaf kalau sedikit meledak – ledak, soalnya lama saya belum balas, jadi ide – ide ini menumpuk, baru sekarang disalurkan, Mas kalau sempat kita buat tulisan dialog ini semakin meledak – ledak, saya juga suka sikutan sikutan sampeyan. ha ha.

salam semesta,

Realrich

Rabu, 22 Juni 2016
Dear Mas Realrich Sjarief yang baik,

Selama sekitar tiga minggu setelah pertemuan kita, saya mengalami semacam terpaan gelombang-gelombang yang semakin cepat dalam pusaran. Saya seperti tidak percaya minggu lalu sudah datang ke Jakarta, seperti mimpi saja ketika memberikan lecture di open house-nya RAW/The Guild. Saya juga berpikir, setelah kita saling berkirim email, sampeyan yang arsitek saja masih bisa dan sempat-sempatnya menulis begitu panjang dan bernas. Sedangkan saya yang mengaku architext malah seringkali terlambat menulis, terlalu lama dipendam di kepala dan tak lekas dikeluarkan dalam tulisan (mungkin terlalu banyak pertimbangan, haha, atau kepala saya sudah terlalu kacau, hmmm..)

Saya rasa, tidak banyak arsitek yang bisa melakukan seperti yang sampeyan lakukan (mendesain, menulis, menyeni, dan entah apa lagi). Saya juga percaya, jika arsitek bisa mengungkapkan apa yang ada di kepalanya, maka apa yang dia kerjakan dengan tangannya akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh orang lain. Sebuah kesatuan antara kepala, tangan, kaki, mulut, telinga, mata dan bahkan perut (saya masih yakin juga bahwa arsitektur selalu berurusan dengan perut – selain dengan hati dan otak, seperti sering diajarkan dalam metode perancangan).
Mas Realrich, saya sangat suka dengan cerita-cerita sampeyan tentang para arsitek. Misalnya tentang pak Irianto PH yang katanya mau datang ke kantor sampeyan. Menurut saya, dia tidak sedang melirik ke “sekuntum bunga yang mekar”, tetapi sedang menengok ke “sebuah sarang yang sedang bergejolak” (gejolak positif, bukan negatif), yang menyimpan gelegak pembaruan di arsitektur Indonesia yang sampai saat ini masih mengalami makropsia, kurangnya iklim dialog/diskursus yang bermutu, dll. Ini sarang yang para penghuninya siap nge-trance, dan saya akan terus menunggu ledakan-ledakannya.

Kalau tentang karya terbaik menurut teman sampeyan seperti yang mas Rich ceritakan, yang dipandang secara sempit dari “kacamata kuda”, hmmmm,, saya rasa begitulah cara banyak orang kita dalam melihat karya. Kalau dari pandangan hermeneutik, saya pikir itu sejenis penafsir yang kurang kreatif, yang level horisonnya masih “rendah”, yang ingin membongkar candi dengan kunci inggris, atau ingin menservis arloji memakai pedang samurai (malah terlalu sarkastis, hahaha). Hmmm, saya jadi ingat kata2: “dalam dunia kecap, tidak ada nomer dua (karena semua nomer satu), dalam dunia arsitek, tidak ada nomer satu (karena semua punya nilai/pandangan/karakter sendiri yang jelas tak bisa dibandingkan secara simple saja seperti membandingkan pisang goreng dan kue lemper).”

Senang diceritain buku The Power Paradox-nya Dacher Keltner. Tentang power, yang berseliweran membentuk tegangan-tegangan. Power-nya Machiavelli, Will-nya Nietzsche sampai Desire-nya Deleuze memang menarik untuk diikuti. Sampai-sampai sampeyan membikin antitesisnya: Sumarah (menyerahkan diri). Mungkin nanti akan ada sumeleh (meletakkan hati) atau sumrambah (menyebar ke mana-mana). Antitesis itu membuat tegangan-tegangan akan makin dinamis, membuat pusaran semakin mendebarkan…
O iya, saya belum pernah membaca bukunya pak Yuswadi Saliya yang berjudul “perjalanan malam hari” (sekaligus ngarep dikirimi dari Jakarta, hehehe). Ya memang dalam dunia praksis yang kadang-kadang begitu pragmatis (dan ekonomis), perlu seorang begawan yang selalu mengingatkan, atau membantu merenungkan tentang profesi arsitek. Bukan sebagai (sekedar) pekerjaan belaka, tetapi sebagai panggilan semesta. Kalau kita balik menjadi “perjalanan menuju pagi” bisa jadi lebih seru. Semacam perjalanan “habis gelap terbitlah terang”. Kita memang harus optimis bahwa pagi akan tiba, saatnya beraksi di bawah matahari kesadaran…

Saya kemarin sudah bikin sedikit tulisan tentang “sarang” untuk kolaborasi kita. Mungkin masih belum matang sih, akan saya coba untuk lebih menajamkannya lagi…
salam,

Anas

Kamis, 16 06 16

Dear Mas Anas Hidayat yang baik,

Ketika pusaran itu bergerak, dan mungkin saja kejujuran menjadi penting, karena semua hilang arah, karena arsitek kehilangan kuasanya karena percepatan pertumbuhan jaman, dengan gejala – gejala hati yang sombong, dengki dan penuh angkara murka tanpa adanya kuasa. Saya sangat tertarik dengan bahasa hermeneutik sampeyan, dengan tafsir – tafsir yang mendasar yang sebenarnya menyadarkan kita semua, bahwa kita perlu percaya kata hati kita, bahwa kita adalah singa yang ada di alam bebas, bukan singa yang ada di sangkar besi. Penyentuhan presentasi njenengan adalah penyentuhan hati, yang bisa menyentil orang yang pintar menjadi marah, dan tidak terima, dan ketika kita sadar, ternyata yang diarahkan adalah bukan hitung – hitungan belaka, namun ini adalah soal hati.

Soal peran arsitek menjadi 1 %, mungkin kita semua disadarkan untuk harus selalu dekat dengan tanah, karena memang kuasa kita adalah ketika kita masih mengerjakan project tersebut. Ketika karya tersebut selesai dan tuntas peran kita, maka peran arsitek menjadi 1 %, dan memang 1% oleh karena sekarang saya menjadi bisu, mas anas saya tantang untuk mengambil 99 % tersebut dan mengambil alilh peran arsitek, menjadi peran tafsir untuk kebaikan publik.

Mas Anas, baru saja satu adik yang saya kenal mengabarkan bahwa ada satu arsitek senior, yang terkenal emosional, blak – blakan, ganas, dan rupawan dan ganteng, ingin datang mendatangkan satu kantornya ke theguild untuk berkunjung, namanya pak Irianto Purnomo Hadi dari antara architect. Ndalem sangat penasaran kenapa beliau ingin datang, mungkin saja, ini dari tebak – tebak tanpa maksud apa – apa bapak itu penasaran mendengar dari anak kantornya ketika acara kemarin, semesta sedang bergerak, dan sebaiknya kita menyambungnya dengan gegap gempita, gelap atau terang, mungkin saja kita akan bertemu pendekar atau guru yang belum terlihat, tokoh – tokoh baru. Mungkin saja ada tokoh – tokoh yang lain muncul satu persatu, dan memang ini pusaran bergerak saling tarik menarik yang sudah dimulai, ditanggapi dan diteruskan dalam langkah – langkah selanjutnya, syukur – syukur kalau orang – orang itu bisa ikut nge trance dan joged bareng, dan kemudia kita bisa berdialog juga, bermimpi bersama.

Saya ada cerita bertemu teman baik saya di satu acara di pameran di casa kemarin, dan ia bercerita tentang bahasa batu bata yang baru ia lihat, katanya arsitektur itu adalah arsitektur terbaik jaman sekarang, karya itu adalah karya seorang arsitek senior. Saya melihat foto – fotonya, dan sempat takjub, memang itu adalah satu karya yang luar biasa. Luar biasa karena konsistensi permainan detail, pengolahan ruang dalam – luar, terkejut, tenang, dengan permainan – permainan cahaya. Namun, saya kemudian berpikir, apa itu terbaik, dan apa ada yang terbaik ? Apa perlu ada sesuatu yang terbaik ? Kita mendapatkan terbaik mungkin untuk mendapatkan satu contoh yang ekstrim dengan permasalahan yang dipecahkan secara spesifik, tentunya sudut pandang dalam melihat kualitas menjadi penting.

Saya pun iseng saja sebenarnya menimpali, bahwa ia perlu pergi ke India, untuk melihat satu master disana yang sudah membangun 35000 rumah dan memiliki arsitektur yang jujur untuk memecahkan masalah cuaca, konstruksi, pemilihan material, dan pengolahan bahasa arsitektur yang eksotis sarat akan alasan dan intuisi (Laurie Baker) , ataupun ia perlu ke Italia untuk melihat kekayaan detail yang didesain oleh Carlo Scarpa, atau malahan melihat Pohsarang Kediri dengan pembahasan ndoro klepon yang sampeyan tuturkan didalam buku Arsitektur Koprol mengenai lokalitas dan inovasi yang melewati keterbatasannya, atau lebih – lebih lagi arsitektur turen yang dibangun oleh santri – santrinya atas nama cinta. Bahwa ada arsitektur yang berupa – rupa dan unik – unik berbeda dengan arsitektur yang disampaikan tergantung sudut pandang yang ingin diciptakan. Arsitektur unik – unik ini memberikan warna – warna yang berbeda dalam kebudayaan dunia yang pluralistik, oleh karena itu, apakah pantas argumen terbaik itu muncul, mungkin saja, namun argumentasinya kalau hanya simplistis berupa kesan, gambar, tanpa memahami satu gambaran yang utuh adalah mungkin saja benar atau mungkin saja sedang tersesat. Saya melihat dibalik kedigjayaan yang ada, inovasi arsitektur dari gambar tersebut masih bergulat diantara wabi sabi, imperfect but perfect, seperti kevin Mark Low, atau Alvar Aalto, maka saya perlu kesana untuk mengalaminya secara langsung., Pada saat terakhir berdebat, ada satu kalimat yang membuat saya terhenyak bahwa setelah kita berdiskusi , katanya ia membatasi pembahasan karya yang kita perdebatkan yang hanya ada di Indonesia, dan tidak melihat negara lain, saya merasakan sedang dikentutin, dan itu bau kacang mente, ha ha, inilah sebabnya kalau menilai tanpa sudut pandang, pasti akhir – akhirnya bau kentut akan keluar.

Secara sikap, saya kemudian membayangkan seakan – akan kita ada di jaman 1800 dimana di Inggris taman – taman publik dibatasi oleh pagar – pagar besi dan hanya orang- orang ningrat yang boleh pergi ke taman. Pagar tersebut adalah representasi batasan terhadap informasi, seketika paradigma pembicaraan menjadi sempit sayangnya tanpa sudut pandang mengapa satu karya itu dianggap terbaik, bukan mau – maunya sendiri nilai sini nilai situ, lagian siapa lu siapa gue ? maaf kalau sedikit sarkasme atau sinis.

Terus terang saya sangat bahagia membaca tulisan njenengan yang berjudul The Gerundelan of 99,9% The Guild: Arsitektur Jaman Edan-Urban-Scarpan-Deleuzian , yang memiliki penafsiran seperti itu, saya tidak akan berkomentar apa – apa, hanya bahagia dengan respons yang ada, berarti ada dialog yang semakin intens antara kita, saling babat, tendang. sikut, pukul ataupun belai membelai, dari benci menjadi cinta, dan sebaliknya, dua tegangan yang berbeda.

Mas anas, saya baru mendapatkan buku bagus, yang judulnya The Power Paradox tulisan dari Dacher Keltner, disini ia membahas mengenai, buku machiavelli, the prince mengenai bagaimana mendapatkan kekuatan dunia. Sumarah memberikan antitesi dari apa yang ditulis oleh machiavelli, namun buku yang ditulis oleh Keltner ini, memberikan sebuah perspektif mengenai kekuatan paradox, dari tegangan – tegangan pada kondisi ekstrimnya masing – masing yang ada disitulah muncul kekuatan apabila kita bisa mengambil paradoks yang terjadi. Di balik sebuah krisis ada sebuah peluang, pertanyaannya, dengan sebegitu problem profesi kita, mungkin saja kita belum mengambil manfaat darinya, dengan mempertimbangkan peluang – peluang yang ada.

Dari masalah disitulah adanya manfaat, mungkin saja kuncinya adalah bukan di arsitek tapi di ketukangannya, mungkin saja kuncinya malah di teknologi bangunan, bukan di programming, mungkin saja lebih – lebih lagi kuncinya adalah pola pikir (paradigm) bukan programming, seperti yang dibahas Collin Rowe, apakah kita mendesain programnya dulu, atau bangunannya. Kita semua di tangan manusia – manusia yang disebut arsitek ini, bandul keseimbangan di antara tegangan tersebut bisa dimainkan olehnya, bukan dipermainkan olehnya. Mungkin dari situ perlunya keahlian saja dalam aspek – aspek diluar arsitektur, terutama mengenai hati dalam bersikap, perlunya training yang matang, dan sikap dekat dengan bumi.

Mas Anas sudah pernah membaca buku perjalanan malam hari yang ditulis oleh pak Yuswadi Saliya ? Saya pikir setelah saya membaca buku itu, saya mungkin berkesimpulan, beliau kecewa dan apa iya lagi frustasi ya dengan iklim kita. Kebisaannya dalam tuturkata, melahirkan sebuah tulisan yang berisikan kompleksitas profesi kita yang carut marut yang disusun dengan runtun.Kalau tidak ada nanti bisa saya kirimkan satu dari Jakarta, sepertinya saya punya lebihan di perpustakaan. Sempet saya iseng saja berpikir gimana kalau judulnya kita balik, menjadi perjalanan menuju pagi, seakan – akan ada optimisme untuk arsitektur yang lebih baik lagi, dari situ ada kekreatifitasan untuk menjaga arsitektur kita lebih baik lagi, yang saya yakin dengan arsitektur yang baik, maka profesi akan lebih baik lagi, tentunya dengan landasan hukum, pranata, dsb dsb.

Kondisi kesehatan saya sedang turun, dari acara kemarin sampai ke pekerjaan – pekerjaan yang menuntut kita untuk berkomitmen. Maklum mungkin ini sedang mau lebaran, jadi semua senggol – senggolan, ingin berdialog, saya pikir ini wajar, hanya saja sekarang sedang musim penyakit flu jadi kena juga. Sedikit istirahat pasti bisa membuat segar kembali, apalagi setelah membaca, The Gerundelan of 99,9% The Guild: Arsitektur Jaman Edan-Urban-Scarpan-Deleuzian, saya pun menjadi segar. Mas Anas untuk pameran IndonesiaLand kita nanti saya persiapkan dulu ya, bagaimana kita bisa saling membelah diri, namun rangkaian prosa- prosa ini bisa menjadi satu pelengkap untuk dialog yang manusiawi, karena kita kan manusia ya bukan alien ataupun monster jadi – jadian ha ha ha. Namun sudah jelas nanti kita berkolaborasi ya,

Salam,

Realrich

Dear Mas realrich Sjarief yang baik,

Terimakasih atas cerita-ceritanya yang menyegarkan, tentang Boss Utara dan tentang Andra Matin, juga tentang Pendidik Utara. Lakon-lakon penting yang malang-melintang dalam pusaran arsitektur kita. Saya suka sekali dengan metafor “pusaran” yang sampeyan sampaikan (sejak di Artotel minggu lalu), ada semacam kedinamisan, sekaligus juga permasalahan dan kompleksitas di sana. Hmmm… sampeyan masih sempat-sempatnya menulis panjang di sela-sela kesibukan senin ke senin, rabu ke rabu. Benar-benar Architrance… hehehe…

O iya, saya sangat tertarik untuk tawaran kolaborasinya, ayo kita mulai. Wastumiruda sebenarnya sudah lama ingin turun gunung, hanya menunggu waktu yang tepat saja. Dan rasanya, saat ini adalah waktu yang tepat, ketika saya bertemu dengan seorang Architrance dari Batavia Barat, yang kadar trance-nya sudah mulai menyeruak dalam pusaran.
Saya ingin membahas sedikit tentang celah, atau pintu kecil (ini terpikir dari jalan masuk 60 cm yang sampeyan paparkan). Di Serat Jatimurti (sebuah kitab lama Jawa yang membahas dimensi), ada bahasan tentang Alam Kajaten (Alam Kesejatian), yang menyebutkan bahwa alam kajaten itu merupakan alam yang bisa menampung yang tak terbatas, bahkan bisa menampung seluruh isi semesta.
Saya menafsirkan alam kajaten itu sebagai “pintu” (bisa berupa celah, lorong atau lubang). karena “kekosongan” pintu berbeda dengan “kekosongan” ruang (space). Jika ruang pada hakekatnya berupa volume yang bisa menampung sekian orang (dan bisa sesak, atau penuh), sedangkan pintu bisa dilewati ratusan, ribuan, dan bahkan jutaan orang, mungkin sampai angka tak terbatas dan tak pernah penuh (karena pintu kodratnya untuk dilewati/dilalui, bukan didiami/diduduki/dikuasai).

Untuk acara hari Minggu, saya tidak ada usulan, saya sudah pas diletakkan di awal, sebagai sebuah pancingan agar penafsir-penafsir lebih bebas mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan. Kalau untuk profil saya, cukup ditulis: Architext saja. Atau kalau mau agak panjang: Architext lulusan S1 (Arsitektur) dan S2 (Perancangan dan Kritik Arsitektur) ITS Surabaya, yang sedang menulis beberapa buku (termasuk Buku 15 Cerita), Dosen (UKDC dan UPN Veteran Jatim Surabaya), dan Dalang Wayang Arek (meskipun jarang manggung, hehe)

Setelah membaca 99% The Guild, rasanya saya ingin cepat-cepat datang untuk melihatnya secara langsung sebagai experiencing. Dari deskripsi sampeyan, saya rasa ini studio yang hidup, yang lahir dan berproses dari pergulatan, dan layak untuk diapresiasi publik. Yang setelah minggu sore besok segera berubah menjadi 1% The Guild, karena arsiteknya Bunuh Diri (hahaha..), dan publik dengan leluasa akan menafsirnya. Ini saya singgung juga di paparan saya untuk acara minggu sore besok.

sampai ketemu di acara besok,
salam,

Anas Hidayat


Dear Mas Anas Hidayat yang baik,

Mohon maaf saya baru membalas surat ini. Hari senin dan hari selasa sampai rabu biasa menjadi hantaman terbesar dalam kondisi berpraktek, kita punya inisiasi energi selama hari – hari awal minggu supaya bisa beristirahat di akhir minggu. Sebenarnya dipikir – pikir hidup itu sederhana, dari senin sampai senin, selasa sampai selasa, rabu sampai rabu, dan seterusnya, usaha kita menjalani hidup – hidup ini ya usaha yang untuk bisa hidup saja.

Saya mengidentifikasi wastu miruda dengan njenengan karena memang itu pemikiran, yang saya berandai andai ada pemikiran, perbuatan, hati, setidaknya ini bisa menelisik siapa itu anas hidayat. Mungkin saya ini menurut archilexicon wastumiruda adalah architrance= arsitek kesurupan mas ha ha ha. Terus terang membaca wastumiruda, seperti kembali ke saat – saat subtil, mungkin karena memang ruang hampa itu diciptakan sebagai jeda dalam keseharian, disinilah saya berpikir komunikasi ini menjadi penting.

Minggu kemarin selepas dari Bandung dan Surabaya, saya berkesempatan berkunjung ke satu lakon yang cukup penting, ia bisa kita namakan boss utara selain pendidik utara si David Hutama. Nama si boss ini Sonny Sutanto, unik karena saya menemukan pendekatan yang biasa – biasa dan wajar dalam berproses, beliau memang arsitek yang menangani banyak kasus komersial, namun disitu saya merasakan ada struktur, ada kategori, ada satu pranata yang dibuat dengan baik. Setiap desainer dikotak – kotakan supaya bisa punya otoritas, dan drafter ditempatkan di satu tempat terpusat, si boss ada di tengah – tengah semua dengan akses langsung ke perpustakaan. Detail arsitekturnya diwarnai oleh dekoratif dan quote ada di letakkan di courtyard yang menyatukan fungsi – fungsi yang ada. Yang menarik adalah buku yang diedit oleh David Hutama. Karena buku ini menunjukkan kekompleksitasan profesi arsitek kita di dalam rentang waktu 20 tahun terakhir, sehingga informasinya bisa digunakan untuk kita – kita yang muda ini dalam menapaki profesi kita yang tidak teratur, dan lemah akan apresiasi dalam dan luar.

tampak depan kantor Sonny Sutanto Architect
tampak depan kantor Sonny Sutanto Architect
area foyer sekaligus tangga dengan desain kulit terracotta
area foyer sekaligus tangga dengan desain kulit terracotta
Proses Pembangunan yang ditampilkan
Proses Pembangunan yang ditampilkan

Ini kontras dengan buku yang baru dikeluarkan oleh Andra Matin, yang simplistis, minim akan informasi, hanya berubah interview satu arah dan minim akan penjelasan gambar dan tekstual. Saya kemudian bertanya – tanya, apakah ini karena cepat – cepat, atau memang saja karakter andra matin yang simplistis dan easy going ataupun yang hangat dan cepat dekat dengan siapapun. Mungkin inilah contoh adanya dua tegangan yang berbeda akan pola pikir yang berbeda juga, saya yakin proses pergumulan perumusan buku Sonny Sutanto sangat besar, dan membutuhkan waktu yang lama. Selepas dari berapapun biaya dijual bukunya, yang saya pikir itu lebih ke dalam hal – hal bisnis dan tidak esensial dalam membicarakan bagaimana satu karya itu dibedah. Saya harus memberikan apresiasi kepada mata air yang mulai muncul satu persatu dengan tegangan – tegangn berbeda . Sayangnya si pendidik utara ini sebentar lagi pergi ke negara kuda besi, saya harus kehilangan teman sepemikiran, oleh karena itu mas Anas jadi semacam, penyegar, semoga kita bisa mendapatkan penyeimbang dalam alfa yang muncul kembali untuk membentuk omega yang akan datang sebentar lagi.

Kembali ke obrolan surat- surat kemarin, kebetulan saya diundang bu Sarah ginting dan Chobib untuk berpameran di Indonesia Land, membuat instalasi lagi. Sebenernya saya capek berpameran ini, karena kondisi praktek yang sudah menyibukkan, namun berpikir juga bahwa ini adalah satu momentum untuk berbagi ke publik, disaat pameran ada kita bisa punya agenda untuk berbuat kebaikan.

Saya berpikir ya mas, kalau – kalau wastumiruda mau turun gunung, ayo kita pameran bersama. saya ajak mas anas hidayat kolaborasi, saya sudah bicarakan dengan Sarah dan Chobib, dan mereka manggut – manggut excited melihat architrance = arsitek kesurupandi depan mereka sepertinya ha ha ha. Kalau mau ya, nanti disiapkan ya text ataupun pemikiran, tentang wastumiruda, kebetulan kita punya banyak jejak – jejak kehidupan di studio saya, jadi mungkin setelah pavillion sumarah kemarin, mungkin bisa jadi kita bisa buat satu instalasi hyper small, hyper complex, maze, terbuat dari kotak – kotak rubik cube, dimana orang masuk diberikan jalan 60 cm, pas tidak lebih tidak kurang, mengikuti alur yang sebenarnya pengunjung tidak mengetahui apa akhirnya. Itulah cerminan budaya kita mungkin, komplekse, disorder order, paradoks. mungkin tekstual bisa mengiringi dan dalang pun bisa mulai berpantun, berdongeng untuk cerita – cerita di masa lalu masa kini dan masa depan.

O Iya hari ini akan diatur sama kantor saya ya untuk tiket surabaya jakarta, dan akomodasi selama disini satu hari, monggo mawon kalau ada usulan mengenai acara, saya buatkan publikasinya 1 2 hari kedepan soal mas anas ya, apa bisa dikirimkan profil njenengan, ya saya buatkan judul lecturenya 1 % yang dinanti, kalau mau diganti silahkan ya:

ada 2 hal yang mau saya share lagi, pertama tulisan soal 99% theguild, dan ada breakdown acara dari website, saya tuliskan satu – satu dibawah ya, yang ketiga ada di attachment itu brosur untuk acara kita di hari minggu

1. 99 % The Guild
99% The Guild adalah refleksi sebuah pemahaman terhadap kondisi dua jalan pemikiran proses desain yang paradoks. Pemahaman pertama diukur dari pergumulan manusia tentang mencipta ruang dari bentuk – bentuk yang sudah pernah diketahui dengan kombinasi bentuk baru yang kemudian dicari kembali kegunaannya dari pengalaman – pengalaman masa lalu. Ini adalah bentuk pelatihan tanpa henti sehingga terkulminasi di dalam momentum begitu desain itu diciptakan sesuai citranya dengan perjalanan panjang. Ini adalah soal definisi sekaligus fungsi supaya mempunyai nilai kejujuran dalam produk dan proses. Disinilah proses kreatifitas selalu berusaha menembus batas dari batasan yang mengelilinginya dari angan – angan dari arsitek menuju coretan garis, seluruh aktualisasi pengalaman dalam coretan – coretan garis pertama, kedua dan seterusnya.

Pemahaman yang kedua adalah ukuran hubungan manusia dari dalam ke luar. Ini adalah cerita bagaimana memanfaatkan segala keterbatasan lokasi, juga manusia – manusia pembuatnya, lokasi dan cuaca yang ada , dan manusia – manusia yang akan menggunakannya. Disinilah ada proses negosiasi dari keterbatasan sumber daya, waktu, dan lebih – lebih lagi keterbatasan pemikiran dengan orang – orang sekitar, disinilah adanya proses transfer ilmu pengetahuan, yang disengaja ataupun tidak disengaja dalam satu proses yang alamiah dalam proses mencipta arsitektur yang rasionalis juga impulsif, dan intuitif.

The Guild dimulai dari , sebuah studio di dalam garasi berukuran 3 m x 10 m yang memulai titik pertamanya, menorehkan garis, dari satu ruang yang bercat hitam minim akan cahaya, yang memiliki keterbatasan ruang ergonomi yang ekstrim di rumah orang tua saya, dimana batas nyata – nyata terlihat mewarnai derap langkah kawah candra dimuka tersebut . Garasi Itu adalah tempat dimana desain digodok, dari mentah menjadi matang menanti supaya daya energinya bisa diledakkan dalam kekuatan tangis dan tawa dalam kenangan yang sudah menghujam jantung pikiran dari senin menuju senin, dari subuh menuju subuh, dari senja menuju senja, dari hari raya ataupun hari – hari biasa. Kemudian pertanyaan muncul mengenai apalagi bentuknya setelah babak pertama selesai dan babak kedua siap dimainkan ketika memang waktunya sudah tiba untuk pindah ke tempat yang baru.

Proses desain The Guild dimulai dari sebuah kombinasi program rumah, kantor RAW , dan perpustakaan arsitektur omah library yang didesain berupa kotak berukuran 12 m x 12 m menggunakan grid 6 m dengan perhitungan untuk mengurangi sisa bahan konstruksi baja, dengan teritisan panjang, kantilever baja berekspresikan semen, kayu, baja, dan material yang transparan. Permainan terbuka – tertutup didasarkan atas pertimbangan skala ruang dan pertimbangan untuk untuk menangkal cahaya matahari di antara jam 9 pagi sampai jam 4 sore dengan perhitungan bahwa setiap material tersebut punya thermal konduktifitasnya sendiri – sendiri. Pertimbangan tersebut terkulminasi menjadi perhitungan bentuk dari ketinggian, besar dan kecil, penempatan dan sudut – sudutnya pada sisi atas bangunan, pada sisi kulit luar bangunan.

Omah library diletakkan di sisi terluar, perimeter dan setengah di bawah ketinggian 0.00 karena pertimbangan akses publik dan kebutuhannya yang membutuhkan kondisi untuk menjaga buku – buku dari terik matahari, dan temperatur yang konstan dengan sesedikit mungkin menggunakan penghawaan buatan dengan akses akhir adalah sebuah ruang penyatu dari ketiga fungsi yang ada.

Bangunan dibagi kedalam zona publik dan privat seiring dengan bertambahnya lantai, makin ke atas makin privat, dengan pertimbangan akan bangunan yang modular, sirkulasi yang memudahkan orang untuk menggunakannya sesuai dengan 3 program : perpustakaan, studio, dan kediaman. Studio RAW didesain dengan bentuk yang kotak total 3 lantai dengan floor to ceiling sebesar 2.1m dengan permainan solid void, lengkung dan bidang lurus untuk memecahkan floor to ceiling yang cukup pendek. Area desainer, associate, dan administrasi disatukan dengan satu buah ruang tengah berukuran 3 x 6 dengan mezzanine di tengah – tengahnya yang 3 fungsi ini adalah jantung dari kantor arsitek. Ruang prinsipal ada di daerah dekat dengan ruang keluarga, terpisah dari kantor dan disinilah tempat pertemuan kantor dengan pihak luar menghadap ke taman yang merupakan ruang penyatu dari OMAH ruang keluarga dan studio RAW

Akses langsung dari studio RAW dan ruang keluarga yang multifungsi dihubungkan dengan foyer 2 x 2 m dengan pintu masuk yang sama, menunjukkan bahwa orang – orang yang bekerja di dalamnya diterima sebagai satu keluarga besar. Hanya ada satu kamar tidur disini, yang memiliki ruang keluarga sendiri di lantai atas dari ruang keluarga berukuran 4 x 12 m.

Terkadang bisa terlihat ada kenakalan – kenakalan bentuk yang tidak terduga, sebagai interpretasi bahwa arsitektur juga tidak lepas dari mimpi, dan coretan – coretan garis lengkung dan tegas yang, bahwa aktualisasi adalah sebuah fungsi juga dengan takaran yang wajar. Pengolahan – pengolahan detail selanjutnya adalah bagaimana mengaktualisasikan ke dalam fungsi bagaimana struktur dari detail berdiri, bagaimana kemudahan proses perawatan, dan bagaimana menambah efisiensi seperti memperkecil beban dengan memilih material dan bentuk sambungan yang tepat untuk memperkecil biaya dan menambah kompleksitas bahasa detail dalam bentuk yang terpikirkan dan terkomunikasikan dengan tukang – tukang dari waktu ke waktu. Intensi dari detail yang didesain ada 3 , yaitu desain berusaha untuk memperkecil volume barang yang dipakai (efisiensi biaya) , memperbesar celah – celah kretifitas pekerjaan tangan (ketukangan) , memperingan berat dari volume yang didesain (kemudahan prefabrikasi).

Sistem pengairan berjalan secara otomatis, dengan menerapkan zero greywater run off, dan zero storm water run off yang berarti seluruh air ditampung ke dalam bak retensi dengan kapasitas 8 m3 dan bak resapan berukuran 2.75 x 3 m dengan kedalaman 1.5 m yang menyumbang resapan juga ke tetangga yang diletakkan di depan lokasi The guild karena permasalahan banjir yang dihadapi pada saat hujan tiba, menimbulkan genangan air sekitar 500 m2 dengan kedalaman 10 cm di jalan depan.

The Guild adalah sebuah permulaan dari sebuah kantor yang mungkin biasa – biasa saja, desain kantor ini juga tidak spesial, seiringnya waktu, proses, pengunjung, orang – orang pernah , sudah, dan akan datang, menggunakannya dalam porsinya masing – masing bebas untuk berintepretasi, berkhayal, ataupun sedih, dan juga tertawa dalam kesehariannya yang wajar. untuk memberikan pemikiran interpretasi yang tanpa dibuat – buat, dengan seminim mungkin gincu dalam canda tawa ataupun celotehan yang merupakan identitas dari tiap orang – orang yang unik – unik. Disini ’The Guild’ menekankan arsitektur adalah pengajaran semesta mengenai mendapatkan teman, mencipta ruang, dan melepaskan diri sendiri dalam satu proses yang penuh pembelajaran untuk mengenal batas, dan dunia luar tanpa perlu mengharapkan apapun, apalagi tepuk tangan yang megah.

Kita sendiri perlu berkaca cermin dan mata pada Yue Min Jun, ia menertawakan dirinya sendiri dalam karyanya, dan membuat representasi dari kesulitan, problema, dan nafsu yang membelenggunya dengan tertawa dengan mukanya sendiri.

Di dalam dua pusaran pemahaman yang paradoks : dari luar – menuju dalam, dari subtil menuju kontras, dari angan – angan menuju kenyataan, arsitektur the guild kemudian bisa terbentuk. Rahayu kemudian muncul, untuk menemukan keseimbangannya.

Kata 99% berarti adalah sebuah proses yang hampir selesai dimana semua karya akan mengalami hal serupa dimana 1% adalah hasil interpretasi dari pengunjung, pengguna, dan 99 % adalah hasil dari kerja keras seluruh pihak dalam proses pembuatan. 1% dibutuhkan untuk melengkapi 99% menyadi 100 % dimana kekuatan kritik, interpretasi, dan gelak tawa dilantunkan untuk menandai perasaan cinta ketika satu karya dinilai, dirubah, dan diredefinisi lagi untuk kebutuhan di masa depan. tanpa 1 %, 99 % tidak akan menjadi 100 % oleh karena itu, karya dari arsitek seharusnya terbuka dalam produk dan proses untuk semua orang untuk melengkapinya.

Realrich Sjarief

2. ini break down acara dari website ya :
99% The Guild : Open House

We Glady invited you to come to 99 PercentThe Guild : Open house, new home of RAW, Omah Library, and Residence of realrich and family . Please RSVP, to book your schedule, in

https://docs.google.com/…/1AZG_hziz3wFGyLE9mLUCNqe…/viewform

There will be a lecture by Anas Hidayat titled 1 percent yang dinanti, about the death of the architect after the work is born and sharing of the craftsmanship process with the team involved to attract discussion and further response. We need you to RSVP because space is limited, there will be food for people who are fasting at 6 pm after the lecture.

The term 99 % is a process of almost finished which every work is always faced where 1% is left to the future, where work is occupied, changed, redefined by further need. The work of architect processed based on its expedients, alchemy, and experiments during the process of the making. Expedients are about the resources available in the process, alchemy is about the relationship along the persons inside the making, and experiments is more into the product driven by expedients and alchemy. The discussion about this work is based on this 3 category to uncover the relationship in the process of making of the guild which we are all hoping to hear, see, and learn from its 99% product and process. The process of living inside the cluster is always evolving, in this open house, but the process will be opened and shared, for critics and restless spirits just for evaluating the process and product.

invitation card will be given after RSVP because the space is limited. Thank you, see you allDear Mas Realrich Sjarief yang budiman,

Mohon maaf saya baru bisa membalas surat sampeyan hari ini, kemarin saya baru dari Purwokerto, Jawa Tengah naik KA bolak-balik, untuk mewawancarai salah satu arsitek yang masuk dalam Buku 15 Cerita.

Kembali ke pembicaraan awal kita. Sampeyan sudah membaca Wastumiruda ya, hehe. Dan sampeyan malah mengidentikkan saya dengan Wastumiruda, hmmm.. sebenarnya tidak terlalu identik sih, meski saya akui bahwa saya menggunakan Wastumiruda sebagai corong untuk mengungkapkan ide-ide dan pemikiran saya.

O iya, saya sebetulnya sudah lama mendengar nama sampeyan, tetapi hanya sekilas saja, seperti orang berkendara di jalan dan membaca iklan-iklan yang bertebaran, hanya mata yang membaca, tetapi tak membekas di hati. Baru setelah bertemu hari Kamis minggu lalu, saya baru tahu bahwa sampeyan bukan arsitek sembarangan. Apalagi ketika sampeyan menunjukkan website RAW yang berisi tentang karya-karya/konsep/pemikiran/ide-ide sampeyan. Saya semakin penasaran, saya buka lagi tentang karya sampeyan 99% Sumarah, yang terinspirasi dari candi-candi, tetapi menggunakan material kontemporer, dengan filosofi yang membikin saya berdecak kagum. Sebuah bibit hermenutik yang dahsyat, ketika arsitek menyerahkan karyanya sepenuhnya kepada publik untuk ditafsir, dibaca dan dinikmati, dan sumarah dalam menerima konsekuensinya. Mungkin ini sebuah bibit “bunuh diri” juga, wujud kerendah-hatian seorang arsitek.

Jika saya tinjau dari Archilexicon-nya Wastumiruda, sampeyan bukan hanya seorang arsitek, mungkin malah Architecxt, (dengan c dan x sekaligus), karena sampeyan dengan fasih bisa mengungkapkan ide-ide dan karya-karya sampeyan dalam tulisan, yang mungkin pada saatnya nanti menjadi teori-teori yang berguna bagi kemajuan arsitektur kita. Sampeyan juga seorang Bibliarchitect (arsitek yang bergelut dengan buku-buku) sekaligus Archiographer (yang pandai menjelaskan karya). Juga Architectonaut (penjelajah lintas-jagad arsitektur), karena sampeyan menyukai Yue Min Jun yang menertawakan diri sendiri dalam karyanya, yang juga tahu tentang Sudjojojo, Affandi atau Basuki Abdullah.

Ketika kita saling berbalas surat seperti ini, saya bisa berefleksi dan juga mengasah pemahaman saya. Semoga menjadi awal yang baik. Baru kali ini saya mendapat kawan arsitek yang bisa saling-berbalas dengan surat-surat panjang yang penuh makna dan perenungan.

salam hangat,

Anas


Dear Mas Anas Hidayat yang baik,

Saya seakan menemukan lakon baru dari lembaran – lembaran yang terbaca, cerita mu bukan cerita ngawur, cerita yang menunggu untuk memiliki sebuah keadaan sebagai landasan, seperti sebuah alegori dalam arsitektur yang belum siap untuk dinikmati, saya yakin 200 persen perlahan – lahan buahnya akan tumbuh, dan yang sampeyan tebar adalah benih – benih kebaikan dalam profesi arsitek yang serba individualistis, egois, dan mengecewakan sekarang ini, keadaan apresiasi homogen, dan rendah akal namun tinggi nafsu. Inilah cerminan budaya kita yang semu, kita perlu berkaca pada Yue Min Jun, ia menertawakan dirinya sendiri dalam karyanya, dan membuat representasi dari kebudayaan yang membelenggu kita dengan tertawa.

Apa ya, kejujuran menjadi satu yang dinanti – nanti, apalagi kritik terhadap diri sendiri. Akan ada saatnya, saya berharap, bahwa keseimbangan akan terjadi, dan kekecewaaan ini terobati. Setidaknya saya sudah menemukan salah satu teman seperjalanan, dengan mengucap syukur terhadap semesta yang sedang tersenyum untuk merasakan hangatnya bumi dan indahnya langit. Emosi dan impuls yang sedang tinggi – tingginya ini akan menemukan keseimbangannya kembali ketika kembali ke jalur praktik dan akademisi, berusaha untuk berbuat yang terbaik yang kita punya demi orang lain dalam keseharian kita yang kita cerminkan dalam laku, hati dan nalar,

Tokoh wastumiruda, yang saya baca bukan menghindar dari permasalahan, namun ia menghindar dari nafsu dunia, dan kemudian mencari jati diri ke universalan, yang penuh dengan paradoks, akan baik benar, salah benar, lalu, depan, karena semuanya itu benar yang membedakan adalah sikap kita menebarkan kebaikan yang hakiki. Kita dianugerahi ekpresi seperti affandi, daya karya seperti basuki abdullah, dan semoga hati seperti sudjojono, sebagai pramnya sastra, sama seperti yang mas perbincangkan. Kemarin saya perbincangkan pertemuan kita, kepada adik – adik saya di kantor, dan saya pikir, ini menarik, karena Wastumiruda akan datang ke Jakarta, untuk merayakan kematian kematian. Ada perasaan gegap gempita, karena ada perayaan, seperti ngaben di Bali, perayaan – perayaan ini adalah perayaan publik, komunitas, sebagai kesempatan untuk menebarkan nilai – nilai kebaikan.

Saya kemudian bertanya – tanya, apa yang akan terjadi dimasa depan, apa buah refleksi yang akan menghantam kekreatifitasan, nalar rasa dan logika. Apa ombak yang akan muncul, dan saya akan memberanikan diri untuk mengubur diri dan diam, dan menunggu. Satu lakon rasionalistis ada di tangan teman saya David Hutama, dan satu lakon empiris ada di tangan mas Anas, dua pusaran itu, semoga bisa membawa, hantaman terhebat dalam proses berarsitektur ndalem, dengan kesungguhan untuk bisa berbuat untuk orang lain. Ada saya ingat satu lakon, namanya pak Sunaryo mas Anas, saya ingat ini gara – gara mas juga, karena bertemu bu Sarah Ginting, dan Chobib Duta Hapsoro. Dia matahari dari Priangan selain mas wastumiruda ada juga David Hutama, pendidik dari utara, hanya karena dia tinggal di Jakarta Utara ha ha ha.

Sewaktu itu ia sedang membuat WOT Batu dan kebetualan ndalem diundang untuk menyaksikan 50 % dari karyanya pada saat itu, dan seperti pertemuan kita ini, semesta berbicara. nanti saya kirimkan, ndak untuk niat apa – apa, kalau sudah seneng ya begini tingkahnya ndalem mas,

Selamat pagi salam untuk keluarga njenengan,

Salam Hangat

Realrich

Mas Realrich Sjarief yang baik,

Saya sangat tersanjung membaca surat sampeyan. Saya pun sebenarnya ingin membuat sebuah tulisan tentang pertemuan kita kemarin, tetapi masih sebatas angan-angan, dan kemudian malah keduluan oleh surat sampeyan. Ah, sampeyan teryata lebih “Koprol” daripada saya, hehehe…

Selama sepuluh tahun lebih saya berdiskusi dan mengungkapkan pandangan saya dengan para arsitek, baru sampeyan yang secara lugas menyatakan: sangat menarik! dan itu membuat saya kaget setengah mati. Kalau dalam pola pikir Jawa saya, seperti ada Hawaning Bawana atau “Kekuatan Semesta” yang mempertemukan kita, yang semoga terus menggelinding melewati ranah-ranah baru yang lebih menantang…

Mungkin nanti akan saya tulis di blog saya dalam bentuk cerita dengan tokoh bernama Wastumiruda (wastu=arsitektur, miruda=minggat/menghindar). Meskipun blog saya ini kurang terawat, tetapi paling tidak mas Realrich bisa membaca cerita-cerita “ngawur” saya di: https://wastumiruda.wordpress.com/

salam hormat,

Anas Hidayat
REK! REpublik Kreatif
Surabaya

Kamis 02 Juni 2016

Dear Mas Anas Hidayat yang baik,

Saya habis membaca tulisan – tulisanmu di buku arsitektur Koprol di kereta perjalanan dari Bandung ke Jakarta , dan kebetulan ada 2 tulisan yang menyentuh hati saya. Untung saja kita bertemu di satu pagi di hotel Artotel milik keluarga Radjimin dan rekan – rekannya, kita duduk membicarakan hal yang lain, dan kemudian kita bergurau kemudian kita berdiskusi mengenai hermeneutika dalam arsitektur, saya bersyukur diperkenalkan oleh Andy Rahman dalam pertemuan di pameran studio ARA Intimacy kemarin di hari Rabu tanggal 1 juni 2016

Baiknya saya sudahi kronologis pertemuan kita dan, kembali ke tulisan tersebut, Tulisan yang pertama Hikayat Gereja Pohsarang, Kediri, dan dan yang kedua Pondok Pesantren Turen, Malang: Arsitektur sebagai laku. Ada beberapa hal yang menarik, pertama soal lokalitas, dari tulisan ini saya menemukan teman seperjalanan yang satu nafas, setidaknya dalam apresiasi dalam bentuk tulisan. Di tahun 1939 gereja Pohsarang selesai dibangun, dan itu adalah salah satu karya yang melewati jamannya, mencoba untuk menggali kreativitas terhadap budaya setempat, hasilnya adalah arsitektur yang tidak lekang jaman, mana saya tau bagaimana reng itu bisa digunakan sebagai batang tarik yang menumpu genteng. Bentuknya yang cantik, menandai hasil pergulatan Maclaine Pont terhadap keterbatasan. Disinilah usaha untuk menerobos batas itu terlihat dan ada warna yang serupa dengan stadion yang didesain Frei Otto di Munich dalam diskusi dengan Undi Gunawan satu sore di kampus UPH, disinilah saya percaya arsitektur tidak terbatas akan besar kecil. Ini hanya satu butir dalam banyak sekali butir konsep yang bisa ditelaah di Pohsarang dari macro menuju Micro yang masih tersisa, yang kemudian kita mencoba membayang – bayangkan di jaman itu seperti apa kesulitan dan bagaimana konteks bisa direkonstruk untuk mempelajari apabila kita menghadapi kesulitan di jaman sekarang.

Kemudian tulisan kedua, menjelaskan tentang satu pondok pesantren di Turen, Malang, menandakan bahwa ada juga arsitektur yang tanpa turunan, ada di tengah – tengah kita. Saya mencari – cari terus, dimana di bumi nusantara ini, ada arsitektur tanpa turunan, sebagai hasil dari manifestasi pekerjaan tangan yang tumbuh perlahan – lahan seiring manusianya tumbuh yang ternyata ada juga di Nusantara, di sebuah pesantren.

Untung saja saya membaca 2 tulisan ini sekarang, semesta sedang berbicara karena momentumnya tepat dimana kalau – kalau ada dua pusaran di dalam arsitektur Indonesia. Dimana saja kebudayaan akan paradoksial, dan baru saja pak Cosmas Gojali, dan bu Diana Nazir melontarkan  temanya di bravacasa, Simplexity dan Complexity 2016. Arsitektur Jepang, India dan lain – lain mungkin bisa mewakili kesederhanaan (simplexity) dan kemauan untuk kembali ke alam, dan arsitektur barat, bisa mewakili kekayaan bahasa melalui kompleksitas industrialisasinya, dan kekayaan khasanahnya yang sudah turun menurun di sempurnakan menjadi demikian kompleks dan terintegrasi. Dua buah paradoks yang menggapai keseimbangan itu menghantam bumi nusantara kita. Kalau – kalau saya ibaratkan,  Avianti Armand bisa saja reaktif, ataupun besikap  fenomenologis dengan tulisan – tulisannya, ia akan berdiri di tengah pusaran itu, sedikit bergoyang untuk mencari keseimbangan, dan menyalurkannya sedapat yang ia bisa ke arah yang membutuhkan. Namun Mas Anas yang ada di tengah pusaran paradoks,  tidak berdiri, namun sedang tidur terlentang, di tengah pusaran tidak bergoyang sama sekali, menunggu orang – orang mengangkatnya dengan tetap tidur terlentang  kemudian dalam tulisannya mas Anas membuat saya  menyadari bahwa arsitektur memiliki banyak sudut pandang, dan tidak simplistis. Disinilah arsitek mungkin akan mendapatkan kembali kejayaannya, untuk memiliki otoritas karena gayung itu diberikan sukarela karena publik menyadari bahwa ia memang layak dibuat.

Oleh karena itu, saya tunggu mas Anas di Jakarta untuk turun gunung, untuk merayakan kematian arsitek setelah karyanya selesai, seperti kematian seorang penulis ketika tulisannya sampai ke tangan pembacanya sebagai refleksi untuk membuat karya yang lebih baik lagi.

Realrich

 

Oleh Realrich Sjarief

Founder of RAW Architecture

Tinggalkan komentar