Kategori
blog

Budi Sukada – Pentingnya Sejarah dalam Refleksi Perancangan Strukturalis

Terima kasih Pak Budi Sukada @budisukada, telah memberikan salah satu kelas terbaik di OMAH Library @omahlibrary. Beliau mengajarkan pentingnya sejarah dan bagaimana menggunakannya dalam refleksi perancangan yang strukturalis. Ia mengandalkan referensi, dan menggali satu persatu melalui kejadian yang spesifik, aktor yang spesifik, serta tahun yang spesifik.

Ia membahas orang-orang yang berpengaruh menggeser pranata arsitektur saat itu seperti William Morris, Philip Webb, juga Violet-Le-Duc dengan penemuan gramatika, Peter Behrens dengan gagasan gestalt, penggunaan beton, dan bahasa inovasi yang semakin jujur, menekuk tajam, serta sesuai dengan konteks dan problematika yang kritikal. Ia menggarisbawahi Art and Craft Movement yang bergeser peruntukannya dari kelas ekonomi atas ke kelas menengah sehingga mendorong kepraktisan olah material, produksi yang lebih banyak, dan lebih merepresentasikan budaya modern masyarakat. Ini dibahas dalam buku Herman Muthesius, Style-Architecture and Building-Art (1902) yang memperkenalkan semangat masa kini (Zeitgeist). Mesin hanyalah alat yang mempermudah produksi, yang terpenting adalah alam pikiran manusia yang mampu membayangkan bentuk yang dapat dibuat dengan mesin, yaitu Sachform (undercorated parctical form).

Banyak istilah yang muncul di kelas ini membantu menjembatani alam pemikiran dan realitas, menggali apa yang masih di angan-angan menjadi dalam dan bermakna. Pada akhirnya, Pak Budi menggarisbawahi pentingnya kejujuran, kelugasan (Sachlichkeit) dan kepekaan artistik yang murni, yang partikular dan beralasan. Atau keluagasan ini digarisbawahi sebagai gaya bahasa desain.

Terima kasih Pak Budi Sukada akan kelas yang bernas!

Kategori
blog

Ezra Birthday

Beberapa hari yang lalu, terjadi momen hangat yang mengisi studio kami. Hari di mana @k.ezraa salah satu anggota tim Techne merayakan ulang tahunnya. Di hari itu, kami berhenti sejenak, tertawa bersama, dan bersyukur atas kehadiran Ezra yang kurang lebih dua tahun ini tumbuh bersama kami di @guhatheguild

Bagi kami, Ezra adalah contoh kecil bagaimana bekerja dan tawa bisa berjalan beriringan, presisi dan cekatan dalam bekerja namun tetap berbagi humor dalam satu napas yang sama. Dalam setiap gambar yang ia buat, terlihat kesungguhan yang tidak bising dan selalu ada niat baiknya untuk membuat suasana di studio terasa hidup.

Di hari ulang tahunnya, Ezra datang dengan niat baiknya berbagi kebab untuk kami semua, tentu tidak ketinggalan juga pose mewing-nya yang legendaris yang menjadi gaya khasnya yang tak dibuat-buat. Di balik wajah iseng dan gurauan yang sering muncul, ada ketekunan dan ketulusan yang terus tumbuh bersama dengan dirinya.

Terima kasih Ezra, untuk setiap tawa dan energi positif yang kamu sebar bagi kami semua. Semoga tahun ini dan seterusnya langkahmu selalu dikelilingi cahaya yang menuntun, desain yang semakin keren, dan tentu tetap membawa tawa yang menjaga semangat semua orang di sekitarmu.

Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun Ezra!

Kategori
Press

Perjalanan Malam Hari

Yuswadi Saliya, Realrich Sjarief, Abidin Kusno, Undi Gunawan, Anas Hidayat, I Nyoman Gede Mahaputra, Johannes Adiyanto, M. Nanda Widyarta, M. Cahyo Novianto, Altrerosje A. Ngastowo, Eka Swadiansa, Revianto B. Santosa, Indah Widiastuti
Soft cover | Monochrome | Bilingual (English & Bahasa Indonesia) | 14,8cm × 21cm | 369 halaman | Release Date: (coming soon)
ISBN: dalam proses pengajuan ISBN

Synopsis

Oleh senyap dingin pun rebah ke pangkuan, kemudian
seperti kekasih sesuatu pun mengendap ke haribaan,
mencari pegangan saling menghangatkan.
Jalan sudah lengang, menggamang: semakin menghampiri sifat tepiannya
samar oleh ketidakpastian

Alam semesta sudah uzur luruh tertidur
waktu pun mengendur membebaskan rentangnya
melarutkan penat siang hari perlahan-lahan
ke dalam berbagai sifat temaram perbatasan.
Daun-daun pun merunduk menganggukkan wajah tua,
berkerisik pelan oleh tiupan angin purba,
melagukan madah perjalanan yang volumetrik.
Daging satai yang terlepas dari tusuknya
semakin menyodorkan sifat bangkainya
bergeletakan mendekati sifat-sifat tanah;
bungkah arang pun kian enggan membara
kawahnya keriput oleh susut semangatnya
terselaput abu malam mengaburkan bentuk.

Masih adakah yang terjaga saat ini?
saat kata-kata mulai terlepas dari tangkainya:
saat gelap lebur ke dalam suasana:
saat gerak menghablur membentuk tamasya:
saat bunyi berubah menjadi suara:
saat desir angin menaburkan bunga-bunga.
…………..
Semenjak temaram mulai membangkitkan perangkat indra
menyambut pencerahan apa pun di ufuk mana pun, iqra
Dengar!

Ya Allah,
Rupanya kisi-kisi jendela pun mulai berbisik
bahwa usia memang berjalan pada malam hari.

Pre-Order Price: Rp250.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Romo Mangun, Jejak-Jejak Arsitektur yang Memanusiakan

(English translation is available below)

Selama proses penulisan artikel ini, seorang desainer di studio kami bertanya, “Kenapa sih Kak Rich menulis tentang Romo Mangun? Kenapa kami yang muda ini perlu untuk mengenal beliau?” 

Well, mempelajari sosok Romo Mangun bukanlah sekadar tanggung jawab sejarah. Dalam refleksi praktik penulis di Jakarta, di tengah hingar-bingarnya arsitektur yang provokatif dan berorientasi bisnis di Jakarta, Romo Mangun melalui praktiknya menunjukkan ada banyak kalangan masyarakat yang membutuhkan pendekatan lebih terjangkau. Indonesia bukan cuma soal Jakarta, dan sepak terjang beliau secara strategis merespons dilema tersebut dengan berbagai perannya, menembus batas-batas keprofesian arsitektur yang dilematis.

Father Y. B. Mangunwijaya (right) receives guests in his house on the slopes of Kali Code, Yogyakarta, 1986 Photo: TEMPO/Yuyuk Sugarman.

Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Dalam sebuah pertemuan kami dengan alm. Adhi Moersid, beliau bercerita sempat merasakan kuliah bersama Y.B. Mangunwijaya di ITB tahun 1959-1960. Menurut beliau, Mangunwijaya sering berangkat ke kampus mengenakan baju pastor. Sebuah potongan memori yang cukup menggelitik mungkin bagi kita yang lebih familiar dengan Mangunwijaya lewat karya-karya terbangunnya—meski kita tahu ia sering dipanggil dengan sebutan “Romo” yang menunjukkan perannya sebagai imam Katolik, juga karya-karyanya yang sebagian besar merupakan fasilitas keagamaan Katolik.

Berkaca pada sosok Antoni Gaudi yang kita bahas sebelumnya, Mangunwijaya ini adalah “spesies” arsitek yang karya-karyanya tak tersekat pada profesi perancangan, tetapi juga dalam pengajaran, penulisan, aktivisme, dan pelayanan. Dari jubah pastor, kisah burung manyar, hingga anyaman bambu di tepi Kali Code, apa yang membuat Mangunwijaya memilih jalur multi-spektrum ini? Visi apa yang beliau perjuangkan?

Lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah di tengah keluarga Katolik dengan ayah dan ibu yang keduanya guru, Yulianus Sumadi Mangunwijaya tumbuh dalam lingkungan religius dan terpelajar. Sejak kecil ia sudah berkeinginan menjadi arsitek, tetapi belum juga tamat sekolah, ia harus turut memperjuangkan kemerdekaan sebagai Tentara Pelajar sepanjang 1945–1948. Dalam prosesnya, ia menyaksikan bagaimana warga desa telah banyak membantu tentara, sekaligus juga menjadi korban dari kekejaman penjajah. Menyaksikan kawan-kawannya gugur juga sudah pasti, dan bukan tak mungkin bahwa ia sendiri merasakan momen-momen antara hidup dan mati.

Di titik itu, barangkali muncul kesadaran bahwa selamat dari peristiwa itu merupakan sebuah anugerah tersendiri, dan kehidupan ini terlalu berharga untuk dihabiskan ala kadarnya. Mangunwijaya pun terdorong untuk “membayar utang kepada rakyat”, dan jalan yang ia pilih adalah pelayanan sebagai pastor. Di umur 21, beliau masuk sekolah pastor St. Paulus di Yogyakarta, terlepas usianya yang lebih tua dibanding calon pastor lain.

Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta

Buku The Altruism of Romo Mangun yang ditulis Darwis Khudori menjelaskan bahwa selepas lulus dari Sancti Pauli, Mangunwijaya ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Albertus Soegijapranata. Ia menggunakan nama resmi yang sudah tak asing di telinga kita, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Namun, baru sehari menjadi pastor, Soegija memintanya untuk belajar arsitektur, supaya bisa membangun rumah-rumah ibadah di berbagai tempat dengan bahasa yang lokal alih-alih ala kolonial. Di situlah ia belajar di ITB dan bertemu Adhi Moersid pada 1959-1960, sebelum akhirnya beliau pindah ke Rhein Westfalen Technical School di Jerman dan meraih gelarnya di sana.

Mangunwijaya Muda

Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mangun mulai membangun banyak gereja dan wisma di DIY dan Jateng. Beliau juga merancang untuk kalangan di luar lingkup gereja, berupa rumah tinggal, kos-kosan, komplek pemukiman, dan sekolah. Beberapa karya beliau di antaranya adalah Gereja Maria Asumpta (1967-1969), Sendang Sono (1972-1991), Permukiman Tepi Kali Code (1983-1987), Rumah Arief Budiman (1986-1987), Wisma Kuwera (1986-1999), Seminari Tinggi Fermentum (1996), dan masih banyak lagi.

Bila melihat perkembangan arsitektur Indonesia pasca-kemerdekaan, terlihat selalu ada urgensi untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia. Arsitektur modern ala Barat saat itu menjadi preferensi untuk membangun identitas nasional yang baru dan kuat, diinisiasi oleh Soekarno dan dilanjutkan saat kepemimpinan Soeharto lewat proyek-proyek monumental dan penataan urban.

Proyek Mercusuar Orde Lama

Namun, yang disayangkan Romo Mangun adalah aplikasi arsitektur tanpa penyesuaian terhadap iklim tropis dan budaya Indonesia, seperti yang banyak terjadi di Jakarta saat itu dengan gedung-gedung beton berlapis kaca. Selain itu, arsitektur yang membutuhkan material industri dengan teknik membangun yang canggih akan sulit diterapkan untuk rakyat biasa yang mayoritas tinggal di kota kecil atau desa-desa, sesuatu yang menjadi realitasnya selama masa kecil dan dalam kesehariannya sebagai pastor. Jadi, selain kebutuhan untuk mendefinisikan identitas nasional lewat arsitektur, di saat yang sama timbullah keresahan tentang arsitektur Indonesia yang relevan dengan iklim, sumber daya alam, dan keseharian masyarakat pada umumnya.

Generasi arsitek yang aktif saat itu, seperti Friedrich Silaban, Soejoedi, dan Romo Mangun sendiri rata-rata belajar arsitektur di luar negeri, khususnya Jerman. Wajar saja bila kemudian bahasa arsitektur yang digunakan banyak terpengaruh arsitektur modern. Namun, setiap arsitek punya caranya masing-masing dalam menerjemahkan kondisi iklim setempat dan masyarakat Indonesia dalam karya-karyanya.

Friedrich Silaban (1912-1984), meski mengerjakan proyek-proyek berskala monumental dengan gubahan massa modern, ia selalu mengupayakan bukaan yang lebar dan kisi-kisi untuk menghalau sinar matahari langsung. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928-1981) lebih memilih menggunakan tritisan yang lebar alih-alih kisi-kisi untuk merespons iklim. Sementara, secara budaya, beliau mengambil konsep ruang dalam dan luar pada arsitektur Jawa sebagai inspirasi program ruang yang seimbang, meski gubahan massanya benar-benar baru dan bercitra independen. 

Sementara, Adhi Moersid, teman sejawatnya yang bersekolah di dalam negeri, punya pendekatan yang lebih lokal dengan konsep Arsitektur Papan Kayu yang terangkum dalam buku Kagunan. Prinsipnya adalah menggabungkan dua papan kayu pipih untuk membentuk bilah usuk yang lebih kokoh, sehingga memungkinkan konstruksi atap tanpa gording. Konsep ini pun membuka lompatan dari struktur rangka menjadi struktur bidang. Susunan papan kayu ini juga menghasilkan visual yang lebih rapi dan indah ketika diekspos sehingga menjadi wujud “langit-langit yang baru”.

Ketiganya punya cara-cara tersendiri untuk meramu ruang dan material. Dengan skala yang monumental, material beton dan teknik fabrikasi jadi relevan untuk karya-karya Silaban dan Soejoedi. Visual yang sederhana pun membutuhkan tektonika tersendiri yang membuat hubungan antarmaterial jadi seamless. Pendekatan Adhi Moersid sifatnya lebih teknokratik, fokus pada ilmu itu sendiri dan konteks biaya-mutu-waktu dari suatu proyek. Ia mencoba menembus batas dengan material kayu yang natural dan lokal, tetapi masih perlu dibeli dari “pasar” dengan spesifikasi yang seragam.

Begitu bicara sosok Romo Mangun, segala aspek dieksplorasi. Dari bentuk atap, susunan bata, corak tekstur beton, hingga detail sambungan, semua diolah total tiada luput. Yuswadi Saliya pernah menggambarkan Sendang Sono dengan ekspresi, “Keinginannya untuk berbuat membekas di mana-mana. Menyaksikannya boleh jadi melelahkan, detail itu bercerita tanpa putus, menyapa pada setiap lekuk dan liku. Segi-tiga dan segi-empat membentuk bidang dan ruang yang bergema bersahut-sahutan, turun naik berundak-undak, semuanya membentuk tamasya buatan manusia yang lebur dengan kelok alur sungai dan punuk palung bukit. Sangat kompleks. Majemuk.” Keberagaman teknik menjadi kata kunci arsitektur Romo Mangun. Konsepnya adalah variatif atau hibrida yang menggambarkan konteks lokasi tempat arsitekturnya hadir.

Secara gubahan massa, beliau banyak mengeksplorasi bentuk atap miring dengan pertimbangan material genteng sebagai penutup yang mudah didapat dan relatif murah dibanding instalasi atap beton, apalagi bila harus menghadapi curah hujan Indonesia yang tinggi. Atap-atap Romo Mangun membentang lebar, tak jarang mendominasi citra bangunan. Terlebih dengan proporsi badan yang rendah, terkesan ada upaya untuk membuat skalanya tetap manusiawi agar perawatan menjadi mudah.

Untuk menopang atap-atap ini, beragam material digunakan. Dari sekitar 30 karya terbangunnya, terdapat belasan gereja yang mayoritas menggunakan beton sebagai elemen struktur. Kadang ia cukup menjadi kolom ketika bentang atap masih bisa ditopang oleh struktur kayu, terkadang ia juga hadir sebagai balok bila kapasitas gereja terlampau besar. Sementara, pada gereja-gereja kecil, wisma, sekolah, atau hunian dengan luasan yang tak seberapa, peran struktur utama biasanya dipegang oleh kayu.

Namun, sekalipun beton digunakan, Romo Mangun tak terbiasa meninggalkannya polos begitu saja. Motif-motif digoreskan, kadang dalam pola yang teratur, kadang menggunakan cetakan bambu atau kayu bekas, memberi kesan organik seperti pohon di dalam bangunan. Dimensi beton juga dijaga agar tetap ramping dan ditata dalam pengulangan berirama untuk menekan karakter kasar dan beratnya (Tjahjono, 1995). Kadang balok konsol dicetak sedemikian rupa menyerupai ranting. Beton di tangan Romo Mangun menjadi lebih lembut dan kadang terkesan organik.

Lanjut ke bagian badan, Romo Mangun sering membuat ruang-ruang publiknya, terutama gereja, tampil terbuka tanpa dinding penutup, kecuali hanya sebaris yang melatari altar. Pertama, untuk memasukkan udara secara maksimal—seperti gagasan Silaban yang lebih meyakini Indonesia butuh atap lebar untuk menghalau panas matahari daripada dinding yang menghalangi angin ekuator dengan kecepatan tak seberapa. Kedua, karena konsep “gereja pasar”. Romo pernah berpesan, “Ketika religiositas semakin mengakar dalam terang Tuhan, maka manusia sejati adalah cerminan bayang-bayang Tuhan sendiri,” (Mudji Sutrisno, 2001). Tidak ada urgensi untuk memisahkan ruang suci gereja dengan “pasar” kehidupan sehari-hari. Justru batas itu dibuka untuk menjembatani jiwa-jiwa yang mencari cahaya Tuhan.

Ketika sebuah dinding diperlukan, wujudnya hadir dalam berbagai bentuk: dari batu bata, kayu, bambu, batuan alam, beton, atau kombinasi dari semuanya. Parameternya tak jauh-jauh dari batasan anggaran, kesediaan material di lokasi, kreativitas ketukangan, dan pemberdayaan komunitas. Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono, Salatiga misalnya, awalnya dirancang menggunakan dinding batu bata. Namun, ketika Romo Mangun survei ke Gedono, beliau melihat warga setempat banyak yang berprofesi sebagai pemotong batu kricak. Ia mendapat ide untuk menggunakan jasa warga setempat untuk memotong batu yang lebih besar dari daerah Banaran, lebih dekat daripada harus mendatangkan batu bata dari Klaten. Akhirnya, biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil, dan warga pun belajar keterampilan baru untuk memecah batu besar dengan potongan yang rapi. Material yang terkesan biasa-biasa saja pun bertransformasi dengan cara yang istimewa.

Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono

Untuk lantai, pada beberapa karyanya yang dikonstruksi menggunakan kayu, khususnya yang berfungsi sebagai hunian, Romo Mangun banyak menerapkan struktur lantai panggung. Misalnya pada sebagian massa di Wisma Salam, Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Wisma Kuwera. Ini merupakan respons penggunaan kayu terhadap iklim tropis Indonesia yang lembab. Akan tetapi, lebih dari itu, kombinasi struktur panggung dengan struktur lantai konvensional dalam satu karya sekaligus menciptakan permainan ketinggian yang dinamis, membuat ruang-ruang di dalamnya terasa menyenangkan!

Arsitektur Romo Mangun menjadi salah satu preseden utama dalam hal kolaborasi antara low technology dengan high technology. Julia Watson di bukunya Lo-TEK (2019) menjelaskan bahwa low technology atau lo-tech sering diasosiasikan dengan sistem atau mesin yang sederhana, tidak canggih, tidak rumit, dan berasal dari masa sebelum revolusi industri. Kami juga melihatnya sebagai metode yang intuitif dan impulsif dengan penyelesaian yang terjadi secara impromtu di lapangan. Sebaliknya, high technology (high-tech) sifatnya baru, berfitur canggih, dan memberi kesan seakan jadi pilihan yang lebih baik. Watson mengungkapkan, sistem high-tech yang mencoba menjadi solusi untuk semua permasalahan justru bertentangan dengan heterogenitas atau kemajemukan yang ada dalam kompleksitas ekosistem.

Oleh karenanya, high-tech tidak selalu bisa menjadi solusi. Kombinasi lo-tech dan high-tech pun menjadi titik tengah yang diambil Romo Mangun dalam merespons gap antara arsitektur barat yang mutakhir dan mendominasi dunia, dengan arsitektur lokal yang jadi keseharian masyarakat Indonesia saat itu. Refleksi atas keresahan ini akhirnya menelurkan buku Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) lebih fokus pada aspek teknis dan respons terhadap iklim tropis Indonesia, juga fenomena alam yang khas seperti gempa bumi. Di dalamnya terdapat bab khusus yang membahas aplikasi material lokal bambu, kayu, dan bata yang cocok dengan kondisi Indonesia. Ditujukan untuk pelajar dan praktisi non-akademik, buku ini dikemas dengan bahasa dan diagram yang sederhana, dilengkapi dengan contoh-contoh praktis. Ada pemahaman bahwa masyarakat memiliki keterbatasan akses terhadap high technology, maka pendidikan berbasis arsitektur barat perlu diimbangi dengan pengetahuan tentang cara membangun yang relevan dengan kondisi setempat.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980)

Sementara itu, Wastu Citra (1988) lebih mengambil sudut pandang diskursus. Dirilis pada masa di mana Romo Mangun sudah tidak ingin bertugas menjadi pastor dan lebih sering berkutat dengan kegiatan aktivisme bersama masyarakat kelas bawah, barangkali Romo Mangun melihat bagaimana kebiasaan membangun tradisional dan yang berkembang di keseharian masyarakat seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari arsitektur juga. Oleh karena itu, digunakanlah istilah “wastu” yang mencakup segala bentuk kegiatan membangun untuk menyetarakan semuanya. 

Wastu Citra

Revianto B. Santosa di dalam film Wastu mengamati bagaimana Romo Mangun bersikap “universal” di buku ini: tidak hanya membahas keunggulan arsitektur Indonesia dengan iklim tropis dan budaya vernakularnya, tetapi juga mencantumkan bab tentang arsitektur barat dan filsafatnya serta inspirasi mancanegara seperti dari Yunani, Jepang, dan India. Ketika membahas makna-makna kosmologis yang lebih dalam dari sekadar wujud fisik wastu, Romo Mangun pun menarik studi dari berbagai adat budaya serta agama di dunia. Namun, pada akhirnya, beliau menutup buku ini lagi-lagi dengan ajakan untuk meramu hal-hal baik dari masing-masing kutub untuk membawa kesejahteraan bagi semua, termasuk kaum marjinal.

Menurut kami, lebih dari sekadar kombinasi low and high technology, keberpihakan Romo Mangun terhadap rakyat kecil bisa diturunkan hingga dimensi material yang digunakan. Katakanlah sebuah joglo yang datang dari tradisi low technology, penggunaannya tidak lagi relevan untuk masyarakat kecil karena balok-balok kayu yang besar, panjang, dan utuh tidak mungkin terbeli. Romo Mangun mau tak mau harus bekerja dengan kayu-kayu yang pendek ukurannya—dan material apa pun yang tersedia, sekalipun itu sisa-sisa atau bahkan sudah menjadi sampah. Dari wawancara kami dengan Rina Eko Prawoto, adalah hal yang biasa ketika Romo Mangun meminta para tukang untuk mencabut paku-paku dari sebilah balok kayu. Baik kayu maupun pakunya, keduanya akan sama-sama digunakan lagi untuk kebutuhan lain.

Kami sempat berkunjung ke Wisma Kuwera. Sekilas bangunan ini seperti mencoba merespons konteks urban Yogyakarta dengan menciptakan kepadatan program ruang di dalamnya. Dimensi modulnya tidak lebih besar dari 3 meter, dengan komposisi vertikal yang saling saut, dengan variasi ketinggian lantai antara 1-1,5 meter. Pengalaman ruang yang tercipta sungguh sangat menarik, memantik pertanyaan, “Kok Romo kepikiran membuat sesuatu seperti ini?” Setelah dipikir-pikir lagi, dimensi yang kecil-kecil itu adalah respons dari terbatasnya akses terhadap material-material masif, hanya saja dikreasikan sedemikian rupa membentuk susunan ruang yang kreatif.

Keterbatasan material juga mendorong munculnya elemen-elemen multifungsi. Salah satunya adalah kerangka A yang banyak digunakan kemudian di Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Pertapaan Gedono. Di sini, atap juga menjadi dinding, kolom sekaligus menjadi rangka atap. Seperti sebuah loteng, tetapi justru digunakan sebagai ruang primer. Hadirnya dinding sejati atau elemen lainnya pun tumbuh sesuai kebutuhan, membuat bangunan bertransformasi secara elegan.

Ketika akses terhadap material begitu terbatas, mau tak mau seseorang harus mengerti bagaimana memaksimalkan material tersebut. Mungkin dari sini muncullah benih-benih yang menghasilkan tektonika seorang Mangunwijaya. Mengutip Mahatmanto (2001, Tektonika YB, Mangunwijaya), “Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya.” 

Yuswadi Saliya pernah berkesempatan mengamati Romo Mangun saat hendak membangun dinding pembatas dari kerawang/roster. Beliau membolak-balik balok roster tersebut cukup lama. “Ditumpuk, dideretkan, diserongkan … Dibidiknya dari sisi, dari bawah, menjauh kemudian menyimpang … Mencari posisi yang paling serasi, memadu lagu yang paling merdu.” Elaborasi dilakukan tanpa gambar, mengandalkan kepekaan indrawi ketika manusia berinteraksi dengan ruang bentuk. Yuswadi melihatnya sebagai sebuah bentuk kemerdekaan.

Dalam prosesnya Romo Mangun bergerak sangat erat dengan para tukang. Tak sebatas mengawasi, beliau mendidik, dan tak jarang beliau pun belajar hal baru dari mereka. Kedudukannya begitu tinggi hingga dituliskan dalam halaman persembahan buku Wastu Citra, “Buku ini ditulis untuk menghormati para tukang dan karyawan-karyawati lapangan, yang dalam cara-cara mereka tertentu telah menjadi mahaguru arsitektur yang ulung bagiku.” Merekalah sosok-sosok yang oleh Romo Mangun ingin diajak untuk merdeka bersama-sama.

Romo Mangun fokus pada proses berkarya, tidak hanya untuk menghasilkan uang secara pendekatan kapitalisme, tetapi uang yang didapat untuk mensejahterakan. Eko Prawoto pernah bercerita tentang gurunya ini, “Romo membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu.” Bisa jadi biaya yang dikeluarkan untuk tukang menjadi lebih tinggi dibanding biaya yang dikeluarkan untuk belanja material. 

Di titik ini kami teringat arsitek Louis Kahn saat mendesain Gedung Parlemen Bangladesh di Dhaka. Proyeknya membuka banyak lapangan kerja baru dan menjadi sarana pengembangan keterampilan tukang lokal. Yang membuat berbeda adalah pilihan material dari kedua arsitek ini. Untuk sebuah proyek sebesar Gedung Parlemen Bangladesh, penggunaan beton dan marmer menimbulkan gap ketukangan di tengah masyarakat yang terbiasa membangun menggunakan tanah, bambu, kayu, dan bata.

Di sinilah pilihan Romo Mangun untuk mengkombinasikan low dan high technology menjadi penting. Karenanya, para tukang tetap mengerjakan sesuatu yang masih dekat dengan kesehariannya, tetapi juga sembari bersama-sama mempelajari material atau teknik baru. Circular resource pun terjadi dengan bahan sisa atau bekas yang masuk kembali dalam siklus dibarengi para tukang yang kembali berdaya. Mahatmanto dalam dokumenter Wastu menyampaikan bagaimana Romo Mangun menyadari kualitas masyarakat yang heterogen. “Sehingga dia mengambil ambang bawah supaya semua bahan, semua ketukangan atau keterampilan yang dimiliki oleh para tukang itu bisa dimanfaatkan secara optimal.”

Namun, teknik yang sederhana bukan berarti hasilnya biasa-biasa saja. Justru pendekatan ambang bawah membuka kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi. Tak jarang para tukang mengusulkan hal baru yang tak terpikirkan Romo Mangun sebelumnya. Gunawan Tjahjono menggambarkan proses ini seperti permainan musik Jazz di mana tiap pemain punya kebebasan untuk memperkaya sebuah lagu. “Dari tukang ke pemakai, semua terlibat dan berpeluang menafsirkan. Para pelaku memiliki ruang berekspresi atas bagian-bagian bangunan yang mungkin akan seumur hidup dihuninya.” Pada akhirnya, setelah Romo Mangun sudah tak lagi bisa mendampingi, diharapkan pengguna dan para tukang nantinya bisa melanjutkan atau merawat secara mandiri.

Performa bangunannya sendiri juga dirancang untuk mendidik. Di Seminari Tinggi Fermentum Bandung misalnya, Romo Mangun membagi wisma untuk para frater (calon pastor) dalam unit-unit kecil berisikan 5-6 orang saja untuk membentuk komunitas-komunitas kecil seperti keluarga yang saling mengenal. Kombinasi low and high technology lagi-lagi diterapkan, memberikan unsur kesementaraan yang membutuhkan perawatan berkala. “Romo Mangun bilang biarin aja, supaya nanti para frater di setiap unit berlomba mana unit yang paling terawat,” tutur Pastor William. Romo Mangun seakan memberi penekanan bahwa menjadi imam bukanlah sebuah keistimewaan, melainkan untuk melayani komunitas. Kesadaran ini dibentuk dari kebiasaan sehari-hari, menggunakan fasilitas selayaknya dan memperbaiki titik-titik yang rusak.

Nilai-nilai keseharian menjadi salah satu hikmah yang kami temukan pada sosok Romo Mangun. Selain diterjemahkan pada program ruang dan garis besar rancangan, beliau seakan mencoba menangkap hal-hal baik dari keseharian masyarakat dan merayakannya dalam simbolisme. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari massa unik yang menjadi vocal point, pengulangan struktur, pola susunan material, hingga elemen-elemen dekoratif. 

Penggunaan simbolisme mungkin terkesan dangkal bagi sosok dengan kedalaman berpikir seperti Romo Mangun. Namun, barangkali ini adalah cara paling sederhana untuk menimbulkan kebanggaan pada masyarakat kecil yang beliau dampingi—bahwa setiap kehidupan itu berharga, bahwa keindahan hadir dalam berbagai keadaan. Di lembah Kali Code misalnya, yang diharapkan Romo Mangun adalah kebangkitan harga diri warganya. Dari sana akan timbul semangat untuk berjuang, untuk menempuh setiap proses tanpa harus selalu disuapi. Ia menyadari bahwa pengembangan diri setiap orang sebaiknya berangkat dari apa yang dia punya dan diupayakan sendiri, sehingga buah kesejahteraan yang dipanen tidak tercabut dari akar identitasnya.

Eksplorasi arsitektur Romo Mangun menunjukkan keseimbangan antara aspek ontologi tentang hakikat dari sesuatu, epistemologi terkait cara mengetahui informasi tersebut, dan aksiologi yang membahas keberpihakan. Di ontologi, Romo Mangun berada dalam situasi di mana ia harus memahami karakter material secara mendalam hingga akhirnya menelurkan tektonika. Di epistemologi, beliau dibayangi arsitektur barat, tetapi di saat yang bersamaan menghadapi realita yang kontras, sehingga lahirlah metode mendesain yang mengkombinasikan low dan high technology. Pada aksiologi, keberpihakan Romo Mangun terhadap masyarakat marjinal menghasilkan elaborasi ketukangan yang menjadi bahasa estetika baru dan bisa dilanjutkan meski Romo Mangun sudah tidak ada. Setiap individu pasti memiliki tiga aspek ini dalam perjuangannya, hanya saja tidak banyak yang bisa menunjukkan totalitas di ketiganya, apalagi di titik aksiologi yang memerlukan empati dan keteguhan prinsip.

Ketika ditanya pendapatnya tentang Pameran Arus Silang AMI (Arsitek Muda Indonesia) di Jakarta (1992) yang mengangkat pendekatan ala dekonstruksi, Romo Mangun merasa apa yang mereka lakukan adalah cara yang ketinggalan zaman. Dalam artian, apabila arsitektur dikembangkan demi arsitektur itu sendiri—apabila fokusnya pada fungsi, ruang, dan permainan bentuk saja—kapan arsitektur bisa hadir untuk menanggapi permasalahan yang ada di Indonesia? Pada akhirnya, arsitektur bagi Romo Mangun bukanlah tujuan akhir. Ia adalah salah satu kendaraan yang dipakai untuk mendukung keberpihakannya.

Selain berarsitektur, menulis menjadi kelihaian lain Romo Mangun dalam mengkomunikasikan pemikirannya. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra hanya segelintir dari 35 judul buku yang pernah beliau tulis. Tidak hanya tema arsitektur, beliau justru banyak menulis esai kritik sosial tentang kesejahteraan rakyat dan pendidikan, selain juga menulis soal spiritualisme dan kemanusiaan. Beliau juga menelurkan puluhan artikel yang diterbitkan dalam antologi dan berbagai media massa sepanjang 1978-1998. Kekuatan Romo Mangun ada pada gaya menulisnya. Tidak kaku dengan diksi intelek seperti tulisan akademik, tetapi justru terkesan lebih amatir dengan pendekatan yang menyentuh. Tidak dengan teori yang mendakik-dakik, tetapi berdasarkan pengalamannya langsung sebagai praktisi dan pendidik. Refleksinya memberikan interpretasi baru pada fenomena yang selama ini ada dan membuka alternatif praktik atau penyelesaian masalah. (Darwis Khudori, 2001)

Namun, di antara banyak jenis tulisan yang pernah dibuat Romo Mangun, karya fiksi menjadi kendaraan terkuatnya. Esai-esai mungkin hanya akan dibaca oleh orang-orang terpelajar, sedangkan kalangan yang menjadi targetnya seringkali tidak memiliki akses pendidikan yang memadai. Fiksi pun menjadi media yang mampu menyentuh lebih banyak audiens, dan dengan adanya karakter, Romo Mangun dapat menggambarkan kompleksitas kehidupan yang selama ini beliau renungkan. Beberapa karya fiksi yang beliau tulis antara lain: Trilogi Roro Mendut, Rumah Bambu, Pohon-Pohon Sesawi, dan tentunya yang paling dikenal Burung-Burung Manyar.

Sama dengan karya-karya Romo Mangun dalam media lain, keberpihakan terhadap rakyat kecil masih menjadi tema utama dalam karya fiksinya, dielaborasi dengan nilai-nilai filosofis dalam menghadapi ekosistem pasca-kolonialisme yang rentan di berbagai bidang (lingkungan hidup, sosio-politik, budaya, sejarah). Akan tetapi, itu semua dibalut dalam metafora yang menyembunyikan kritik tajam yang sesungguhnya. Lagi-lagi Romo Mangun bermain dengan simbolisme. Selain agar pesan lebih mudah dicerna, faktor rezim Orde Baru yang ketat sensor dan antikritik membuatnya harus mencari jalur komunikasi alternatif. Strategi ini mengingatkan pada penulis Amerika, Ernest Hemingway (1899-1961) yang juga menggunakan metafora keseharian yang interpretatif untuk mengkritik peperangan, materialisme di dunia modern, dan isu sosial lainnya.

Burung-Burung Manyar

Romo Mangun di Burung-Burung Manyar, mengajak kita menyelami kehidupan masyarakat biasa di Indonesia pada rentang masa 1934-1978. Novelnya berkisah tentang Teto, pemuda keturunan campuran Indo-Jawa pro-Belanda yang kemudian berubah setelah bertemu Atik, gadis pribumi yang cerdas dan berani, tetapi juga punya sisi feminin dan hangat. Atik diceritakan menulis disertasi tentang “Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar”. Dari situ pembaca bisa menarik makna lebih dalam dari karakter Burung Manyar yang dikenal dengan kemampuan menganyam sarang. 

Burung Manyar

Teto tak ubahnya manyar jantan yang sedang berusaha membangun “sarang” untuk betinanya, tetapi ia harus lebih dahulu menghadapi krisis identitas dan pencarian “tempat” di tengah negara yang bergejolak. Sementara, Atik si manyar betina baru bersedia dipinang setelah memastikan bahwa sarangnya aman untuk bertelur. Metafora burung manyar memberikan pelajaran bahwa yang terpenting bukanlah rasa cinta terhadap pasangan, tetapi bagaimana pasangan ini bisa menyiapkan lingkungan yang kondusif untuk bertelur dan membesarkan generasi baru burung manyar. 

Masuk era 1980-an, kondisi sosial yang kritis nampaknya membuat Romo Mangun tak lagi bisa tenang di balik jubah pastur, arsitek, ataupun penulisnya. Visi pembangunan Orde Baru yang berorientasi pada modernisme dan keindahan kota berujung pada tergusurnya kaum-kaum marjinal. 

Salah satu yang menjadi korban adalah warga bantaran Kali Code di Yogyakarta. Rata-rata mereka adalah warga desa yang tidak lagi bisa sejahtera sebagai petani dan mencoba mencari peruntungan dengan merantau, tetapi justru tidak menemukan tempat di kota. Akhirnya, mereka bermukim di “ruang-ruang negatif” dan bekerja di sektor buangan, bahkan waktu itu Kampung Code sering dicap sarang preman dan PSK. Upaya penggusuran pada pemukiman ilegal ini sudah dilakukan berkali-kali sejak 1960-an dan aliran lahar Gunung Merapi pun turut mengancam kelangsungan kampung, tetapi warga selalu berhasil untuk kembali bermukim di sana lagi.

Prihatin melihat kondisi yang kurang kondusif bagi mental masyarakat dan pembelajaran anak-anak di sana, pada 1981 Romo Mangun mulai meninggalkan kesehariannya sebagai pastor dan tinggal bersama warga di Kali Code. Romo Mangun bernegosiasi untuk merevitalisasi kampung agar lebih aman, bersih, dan tertata. Pembangunan sepanjang tahun 1983-1987 menggunakan bambu, kayu, dan material murah lainnya, ternyata berhasil meningkatkan kualitas fisik kampung ini. Simbolisme terbentuk dari bahasa arsitektur yang sederhana ini, ditambah dekorasi warna-warni dari goresan cat yang membuat suasana lebih hidup. Revitalisasi ini menumbuhkan kebanggaan pada diri warga serta mengangkat nilai Kampung Kali Code di mata masyarakat umum. Kesejahteraan sosio-ekonomi warga Code pun turut membaik seiring waktu. Pada 1992, proyek ini mendapat penghargaan Aga Khan Award for Architecture.

Perjuangan Romo Mangun masih belum berhenti di sini. Seperti pada novel Burung-Burung Manyar yang ia tulis, generasi muda selalu jadi perhatian Romo Mangun. Satu dekade terakhir hidupnya didedikasikan untuk menciptakan ekosistem pendidikan dasar yang menyenangkan dan memerdekakan. Namun, biar cerita itu kita simpan untuk lain waktu. 

Di titik ini, kita cukup tahu bahwa empati dan keinginan Romo Mangun untuk bertindak amatlah besar hingga satu cara pun tak cukup untuk menyalurkan kehendaknya. Biasanya, orang yang empatinya begitu dalam memiliki daya yang terbatas karena emosi yang menguras energi. Namun, Romo Mangun justru bisa merdeka dari jebakan ini. Jolanda Atmadjaja melihat ini sebagai respons yang matang terhadap kondisi “Split Subject”. Psikoanalis Jacques Lacan (1901–1981) mengemukakan teori ini di 1960-an, menyatakan bahwa manusia tidak pernah memiliki identitas yang utuh, melainkan selalu terpecah—di antaranya karena simbol/label/peran sosial yang tersemat pada diri dan juga gap antara kondisi ideal yang kita impikan dengan realita yang terjadi. Seyogianya, manusia akan terus mencari titik seimbang, mengejar sesuatu yang membuat dirinya merasa utuh, mengembangkan perannya terus menerus. Kebanyakan orang, terutama yang baru memulai perjalanan menemukan jati diri, mungkin akan terjebak dalam ilusi satu peran/label saja, mengiranya sebagai kondisi utuh. 

Pengalaman menghadapi realita yang ekstrem sejak muda barangkali membuat Mangunwijaya begitu cepat merespons kondisi split dan pandai memposisikan ulang dirinya dalam peran lain lantaran menyadari adanya batasan dalam peran yang sebelumnya. Ia menyadari bahwa tidak semuanya bisa diselesaikan dari satu perspektif. Ia juga menyadari bahwa tidak semua bisa diselesaikan sendirian, sehingga ia senantiasa mengajak orang lain untuk ikut bergerak. Di titik ini ia mampu merubah konstruk dengan produktivitas di banyak lini dan berkonstelasi. Ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah terjun total dan menyadari bahwa batas-batas ilmu itu sebenarnya bisa dirangkai ulang.

Berkaca pada Kampung Code, hingga saat ini ia masih berdiri, sebagian bangunan yang seharusnya temporer sudah berubah menjadi lebih permanen. Memang, ini menyalahi visi dasar Romo Mangun untuk Code sebagai shelter sementara bagi warganya sampai mereka berangsur mandiri dan pindah ke tempat yang lebih baik. Hanya saja perubahan sosial yang terjadi ternyata tidak secepat yang diimpikan Romo Mangun. Meski patut disyukuri bahwa generasi mudanya saat ini sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan punya prospek yang lebih baik daripada orangtuanya.

Melihat apa yang hadir, pertanyaannya bukan sejauh mana Romo Mangun bisa berjuang untuk Kampung Code, tetapi bagaimana visi tersebut bisa terus mengudara jauh di atas bentuk arsitektural, bagaimana memperjuangkan tempat yang membumi, dan sejauh mana kata kemerdekaan itu bisa direnungi dan dihidupkan oleh generasi penerus Romo Mangun.

Romomangun bersama anak-anak Code

English translation

Romo Mangun: Footprints of Architecture That Humanizes

During the process of writing this article, a designer at our studio asked, “Why does Kak Rich write about Romo Mangun? Why do we, the younger generation, need to know about him?”

Well, studying the figure of Romo Mangun is not merely a historical responsibility. Reflecting on the author’s practice in Jakarta, amid the hustle and bustle of provocative, business-oriented architecture in the capital, Romo Mangun, through his work, demonstrated that many segments of society need a more accessible approach. Indonesia is not just about Jakarta, and his endeavors strategically addressed this dilemma through his multifaceted roles, breaking through the often contradictory boundaries of the architectural profession.

An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan

In a meeting with the late Adhi Moersid, he shared his experience of studying alongside Y.B. Mangunwijaya at ITB (Bandung Institute of Technology) in 1959–1960. According to him, Mangunwijaya often came to campus wearing his priestly robes. This snippet of memory might seem amusing to those of us more familiar with Mangunwijaya through his built works—though we know he was often called “Romo” (a Javanese term for a Catholic priest), and many of his projects were Catholic religious facilities.

Drawing a parallel with Antoni Gaudí, whom we discussed previously, Mangunwijaya was a “species” of architect whose work transcended the boundaries of design, extending into teaching, writing, activism, and service. From his priestly robes to the tales of weaverbirds and bamboo weaving along the banks of Kali Code, what drove Mangunwijaya to pursue this multispectral path? What vision did he champion?

Born on May 6, 1929, in Ambarawa, Central Java, into a Catholic family with both parents as teachers, Yulianus Sumadi Mangunwijaya grew up in a religious and educated environment. From a young age, he aspired to become an architect, but before he could finish school, he joined the struggle for independence as a student soldier from 1945 to 1948. During this time, he witnessed how villagers supported the soldiers while also becoming victims of colonial brutality. He saw his comrades fall, and it’s likely he himself experienced moments on the brink of life and death.

At that point, he may have realized that surviving such events was a blessing in itself, and that life was too precious to live halfheartedly. Mangunwijaya felt compelled to “repay a debt to the people,” and the path he chose was service as a priest. At the age of 21, he enrolled in St. Paulus Seminary in Yogyakarta, despite being older than most of the other aspiring priests.

In the book The Altruism of Romo Mangun by Darwis Khudori, it is explained that after graduating from Sancti Pauli, Mangunwijaya was ordained as a priest by Bishop Albertus Soegijapranata. He took on the official name we now know well: Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. However, just one day after becoming a priest, Bishop Soegija requested that he study architecture, so he could build places of worship in various regions with a local architectural language rather than a colonial one. This led him to study at ITB, where he met Adhi Moersid in 1959–1960, before later continuing his education at the Rhein Westfalen Technical School in Germany, where he earned his degree.

Upon returning to Indonesia, Romo Mangun began constructing numerous churches and retreat houses in Yogyakarta (DIY) and Central Java (Jateng). He also designed projects beyond the church’s scope, including residences, boarding houses, housing complexes, and schools. Some of his notable works include the Maria Assumpta Church (1967–1969), Sendang Sono (1972–1991), the Kali Code Riverside Settlement (1983–1987), Arief Budiman House (1986–1987), Wisma Kuwera (1986–1999), Fermentum Seminary (1996), and many others.

Looking at the development of Indonesian architecture post-independence, there was always an urgency to define what Indonesian architecture should be. At the time, Western modern architecture was the preferred style to build a new, strong national identity, initiated by President Soekarno and continued under President Soeharto through monumental projects and urban planning.

However, Romo Mangun lamented the application of architecture without consideration for Indonesia’s tropical climate and culture, as seen in Jakarta with its concrete-and-glass buildings. Moreover, architecture that required industrial materials and advanced construction techniques was difficult to implement for ordinary people, most of whom lived in small towns or villages—a reality Mangunwijaya knew well from his childhood and his daily life as a priest. Thus, alongside the need to define a national identity through architecture, there arose a concern for an Indonesian architecture that was relevant to the climate, natural resources, and daily lives of the general populace.

The generation of architects active at the time, such as Friedrich Silaban, Soejoedi, and Romo Mangun himself, mostly studied architecture abroad, particularly in Germany. It’s no surprise, then, that the architectural language they used was heavily influenced by modernism. However, each architect had their own way of interpreting local climate conditions and Indonesian society in their works.

Friedrich Silaban (1912–1984), despite working on monumental projects with modern mass compositions, always incorporated wide openings and louvers to block direct sunlight. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928–1981) preferred using wide eaves instead of louvers to respond to the climate. Culturally, he drew inspiration from the Javanese concept of inner and outer spaces as a basis for balanced spatial programming, even though his mass compositions were entirely new and conveyed an independent image.

Meanwhile, Adhi Moersid, a peer who studied locally, took a more localized approach with his concept of Wooden Board Architecture, as outlined in his book Kagunan. The principle involved combining two flat wooden boards to form a stronger rafter, enabling roof construction without purlins. This concept marked a leap from frame structures to planar structures. The arrangement of wooden boards also produced a neater and more aesthetically pleasing visual when exposed, creating a “new ceiling.”

Each of these architects had their own methods for working with space and materials. For the monumental scale of Silaban and Soejoedi’s works, concrete and fabrication techniques were relevant. Even simple visuals required a specific tectonic approach to ensure seamless connections between materials. Adhi Moersid’s approach was more technocratic, focusing on the science itself and the context of cost, quality, and time in a project. He pushed boundaries with natural, local wood materials, though these still needed to be sourced from the “market” with uniform specifications.

When it comes to Romo Mangun, every aspect was thoroughly explored. From the shape of the roof to the arrangement of bricks, the texture of concrete, and the details of joints—nothing was overlooked. Yuswadi Saliya once described Sendang Sono with the expression, “His desire to create left its mark everywhere. Witnessing it can be exhausting; the details tell an unending story, greeting you at every curve and turn. Triangles and rectangles form planes and spaces that echo and resonate, rising and falling in tiers, creating a human-made spectacle that blends with the winding river and the ridges and valleys of the hills. It’s incredibly complex. Diverse.” Diversity in technique became the hallmark of Romo Mangun’s architecture. His concept was variational or hybrid, reflecting the context of the location where his architecture stood.

In terms of mass composition, he often explored sloped roof forms, considering the use of tiles as a covering that was easily available and relatively affordable compared to concrete roof installations, especially given Indonesia’s high rainfall. Romo Mangun’s roofs spanned wide, often dominating the building’s image. With low body proportions, there seemed to be an effort to keep the scale humane, making maintenance easier.

To support these roofs, a variety of materials were used. Out of his roughly 30 built works, more than a dozen churches primarily used concrete as a structural element. Sometimes it served merely as columns when the roof span could still be supported by wooden structures; other times, it appeared as beams when the church’s capacity was too large. Meanwhile, in smaller churches, retreat houses, schools, or residences with modest areas, the primary structural role was typically taken by wood.

However, even when concrete was used, Romo Mangun was not accustomed to leaving it plain. Patterns were etched into it—sometimes in regular designs, sometimes using molds made from bamboo or reclaimed wood—giving an organic impression, like a tree within the building. The dimensions of the concrete were kept slender and arranged in rhythmic repetition to soften its rough, heavy character (Tjahjono, 1995). Sometimes, cantilever beams were molded to resemble branches. In Romo Mangun’s hands, concrete became softer and often felt organic.

Moving to the body of the building, Romo Mangun often designed his public spaces, especially churches, to be open without enclosing walls, except for a single row behind the altar. First, this maximized airflow—similar to Silaban’s belief that Indonesia needed wide roofs to shield from the sun’s heat rather than walls that block the equatorial breeze, which moves at a modest speed. Second, this was due to his concept of the “market church.” Romo once advised, “When religiosity becomes more deeply rooted in the light of God, then the true human being is a reflection of God’s own shadow” (Mudji Sutrisno, 2001). There was no urgency to separate the sacred space of the church from the “market” of daily life. Instead, that boundary was opened to bridge the souls seeking God’s light.

When a wall was needed, it took various forms: brick, wood, bamboo, natural stone, concrete, or a combination of them all. The parameters were not far from budget constraints, material availability on-site, the creativity of craftsmanship, and community empowerment. For example, the Convent of the Sisters of the Mother of Unity in Gedono, Salatiga, was initially designed with brick walls. However, when Romo Mangun surveyed Gedono, he noticed that many locals worked as gravel stone cutters. He had the idea to employ them to cut larger stones from the nearby Banaran area, which was closer than sourcing bricks from Klaten. This reduced costs, and the locals learned new skills in cutting large stones neatly. Materials that seemed ordinary were transformed in an extraordinary way.

For the floors, in some of his works constructed with wood—particularly residences—Romo Mangun often applied a raised floor structure. Examples include parts of Wisma Salam, Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and Wisma Kuwera. This was a response to Indonesia’s humid tropical climate, which can affect wood. But beyond that, the combination of raised and conventional floor structures within a single work created a dynamic play of heights, making the spaces within feel delightful!

Romo Mangun’s architecture became a key precedent in the collaboration between low technology and high technology. Julia Watson, in her book Lo-TEK (2019), explains that low technology, or lo-tech, is often associated with simple, unsophisticated, uncomplicated systems or machines from before the industrial revolution. We also see it as an intuitive and impulsive method, with solutions that emerge spontaneously on-site. Conversely, high technology (high-tech) is new, advanced, and gives the impression of being a better option. Watson reveals that high-tech systems, which attempt to be a solution for all problems, often contradict the heterogeneity or diversity within the complexity of ecosystems.

Therefore, high-tech isn’t always the answer. The combination of lo-tech and high-tech became the middle ground Romo Mangun adopted to address the gap between cutting-edge Western architecture, which dominated the world, and the local architecture that was part of Indonesian daily life at the time. This reflection on his concerns eventually led to the creation of the books Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (Introduction to Building Physics) and Wastu Citra (The Image of Building).

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) focused more on technical aspects and responses to Indonesia’s tropical climate, as well as natural phenomena like earthquakes. It included a special chapter discussing the application of local materials such as bamboo, wood, and brick, which were suitable for Indonesian conditions. Aimed at students and non-academic practitioners, the book was written in simple language with diagrams and practical examples. There was an understanding that society had limited access to high technology, so Western-based architectural education needed to be balanced with knowledge of building methods relevant to local conditions.

Meanwhile, Wastu Citra (1988) took a more discursive perspective. Published at a time when Romo Mangun no longer wished to serve as a priest and was more involved in activism with the lower classes, he likely saw how traditional building practices and those developed in daily life were often not considered part of architecture. Thus, he used the term “wastu,” which encompasses all forms of building activities, to level the playing field.

Revianto B. Santosa, in the documentary Wastu, observed how Romo Mangun took a “universal” approach in this book: not only discussing the strengths of Indonesian architecture with its tropical climate and vernacular culture but also including chapters on Western architecture and its philosophy, as well as international inspirations from Greece, Japan, and India. When discussing deeper cosmological meanings beyond the physical form of wastu, Romo Mangun drew on studies from various cultural and religious traditions around the world. However, he ultimately concluded the book with a call to blend the best elements from each pole to bring prosperity to all, including the marginalized.

In our view, beyond just combining low and high technology, Romo Mangun’s commitment to the common people extended to the very dimensions of the materials he used. Take a joglo—a traditional Javanese house from the low-tech tradition; its use was no longer relevant for the lower classes because large, long, and solid wooden beams were unaffordable. Romo Mangun had to work with shorter pieces of wood—and whatever materials were available, even if they were scraps or what others might consider trash. From our interview with Rina Eko Prawoto, it was common for Romo Mangun to ask workers to remove nails from a piece of wood. Both the wood and the nails would be reused for other needs.

We had the chance to visit Wisma Kuwera. At first glance, the building seems to respond to Yogyakarta’s urban context by creating a dense program of spaces within. Its modular dimensions are no larger than 3 meters, with a vertical composition that interlocks, featuring floor height variations between 1 and 1.5 meters. The spatial experience it creates is truly fascinating, prompting the question, “How did Romo come up with something like this?” Upon further reflection, those small dimensions were a response to limited access to massive materials, creatively arranged to form an innovative spatial composition.

Material limitations also gave rise to multifunctional elements. One example is the A-frame structure, which was later widely used in Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and the Gedono Convent. Here, the roof also served as a wall, and the columns doubled as the roof frame. It was like an attic but used as a primary space. The presence of actual walls or other elements grew as needed, allowing the building to transform elegantly.

When access to materials was so limited, one had to understand how to maximize what was available. Perhaps this was the seed that produced Mangunwijaya’s tectonics. Quoting Mahatmanto (2001, Tectonics of YB Mangunwijaya), “Understanding the material is the starting point in building, and that can only be done by directly touching and feeling the qualities it holds.”

Yuswadi Saliya once had the chance to observe Romo Mangun while he was about to build a partition wall from lattice blocks. He spent a long time turning the blocks over. “Stacking them, lining them up, angling them… He examined them from the side, from below, stepping back and then shifting… Searching for the most harmonious position, composing the most melodious tune.” The elaboration was done without drawings, relying on sensory sensitivity as a human interacts with the form of space. Yuswadi saw this as a form of freedom.

In his process, Romo Mangun worked closely with the workers. He didn’t just oversee them—he educated them, and often, he learned new things from them as well. Their significance was so great that he dedicated a page in Wastu Citra to them: “This book is written to honor the workers and field laborers who, in their own way, have become master teachers of architecture to me.” They were the ones Romo Mangun wanted to invite to achieve freedom together.

Romo Mangun focused on the creative process, not just to make money through a capitalist approach, but to use the money earned to bring prosperity. Eko Prawoto once shared a story about his teacher: “Romo created those details not for aesthetic reasons, but to prolong the work, so the workers could stay employed longer at the site.” It’s possible that the cost spent on labor exceeded the cost of materials.

This reminds us of the architect Louis Kahn when he designed the National Parliament Building in Dhaka, Bangladesh. His project created many new jobs and became a means of skill development for local workers. What sets them apart is their choice of materials. For a project as large as the Parliament Building, the use of concrete and marble created a craftsmanship gap in a society accustomed to building with earth, bamboo, wood, and brick.

This is where Romo Mangun’s choice to combine low and high technology becomes significant. As a result, the workers could continue working on something familiar to their daily lives while also learning new materials or techniques together. A circular resource system emerged, with leftover or used materials reentering the cycle alongside workers who were re-empowered. Mahatmanto, in the documentary Wastu, explained how Romo Mangun recognized the heterogeneous quality of society: “So he took the lowest threshold to ensure that all materials, craftsmanship, and skills possessed by the workers could be utilized optimally.”

However, simple techniques didn’t mean ordinary results. On the contrary, the low-threshold approach opened opportunities for everyone to participate. Often, the workers proposed new ideas that Romo Mangun hadn’t thought of before. Gunawan Tjahjono described this process as a jazz performance, where each player has the freedom to enrich the song: “From the workers to the users, everyone was involved and had the chance to interpret. The participants had the space to express themselves through parts of the building they might inhabit for a lifetime.” Ultimately, after Romo Mangun was no longer there to guide them, it was hoped that the users and workers could continue or maintain the buildings independently.

The buildings’ performance was also designed to educate. At the Fermentum Seminary in Bandung, for instance, Romo Mangun divided the residence for the fraters (priest candidates) into small units of 5–6 people to form small, family-like communities that knew each other well. The combination of low and high technology was again applied, introducing a sense of temporariness that required regular maintenance. “Romo Mangun said, ‘Let it be, so the fraters in each unit can compete to see which unit is the best maintained,’” said Father William. Romo Mangun seemed to emphasize that being a priest is not a privilege but a role to serve the community. This awareness was cultivated through daily habits—using facilities appropriately and repairing any damaged parts.

The values of everyday life were one of the lessons we found in Romo Mangun’s figure. Beyond being translated into spatial programs and overall designs, he seemed to capture the good aspects of society’s daily life and celebrate them through symbolism. This could take various forms, from unique masses as focal points to repetitive structures, material arrangement patterns, and decorative elements.

The use of symbolism might seem superficial for a thinker as profound as Romo Mangun. However, this might have been the simplest way to instill pride in the small communities he served—that every life is valuable, that beauty exists in all circumstances. At the Kali Code valley, for example, what Romo Mangun hoped for was the revival of the residents’ self-esteem. From there, a spirit to strive would emerge, to go through every process without always being spoon-fed. He realized that personal development should stem from what one has and be achieved independently, so the fruits of prosperity reaped are not uprooted from their identity.

Romo Mangun’s architectural exploration demonstrates a balance between ontology (the essence of something), epistemology (the way of knowing that information), and axiology (the study of values and biases). In ontology, Romo Mangun was in a position where he had to deeply understand the character of materials, ultimately giving birth to his tectonics. In epistemology, he was overshadowed by Western architecture but simultaneously faced a contrasting reality, leading to a design method that combined low and high technology. In axiology, Romo Mangun’s commitment to the marginalized produced a craftsmanship elaboration that became a new aesthetic language, one that could continue even after he was gone. Every individual undoubtedly has these three aspects in their struggle, but few can demonstrate totality across all three, especially in axiology, which requires empathy and steadfast principles.

When asked his opinion on the 1992 Arus Silang AMI (Young Indonesian Architects) Exhibition in Jakarta, which promoted a deconstructivist approach, Romo Mangun felt that what they were doing was outdated. In the sense that if architecture is developed for architecture’s sake—if the focus is only on function, space, and form—when will architecture address the real issues in Indonesia? Ultimately, for Romo Mangun, architecture was not the end goal. It was merely one vehicle he used to support his advocacy.

Beyond architecture, writing became another skill Romo Mangun used to communicate his thoughts. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan and Wastu Citra are just a few of the 35 books he authored. His works weren’t limited to architecture; he wrote extensively on social critique regarding people’s welfare and education, as well as on spirituality and humanity. He also produced dozens of articles published in anthologies and various mass media from 1978 to 1998. Romo Mangun’s strength lay in his writing style. It wasn’t rigid with intellectual diction like academic writing but felt more amateurish in an approachable way. It wasn’t laden with lofty theories but was based on his direct experience as a practitioner and educator. His reflections offered new interpretations of existing phenomena and opened alternative practices or solutions to problems (Darwis Khudori, 2001).

However, among the many types of writing Romo Mangun produced, fiction became his most powerful medium. Essays might only be read by the educated, while his target audience often lacked access to adequate education. Fiction became a medium that could reach a broader audience, and through characters, Romo Mangun could depict the complexities of life he had long contemplated. Some of his fictional works include the Roro Mendut Trilogy, Rumah Bambu (Bamboo House), Pohon-Pohon Sesawi (Mustard Trees), and, of course, the most well-known, Burung-Burung Manyar (The Weaverbirds).

As with his works in other media, his commitment to the common people remained the central theme in his fiction, elaborated with philosophical values in facing the fragile post-colonial ecosystem across various fields (environment, socio-politics, culture, history). However, this was all wrapped in metaphors that concealed his sharp critiques. Once again, Romo Mangun played with symbolism. Besides making the message more digestible, the strict censorship and anti-criticism stance of the New Order regime forced him to find alternative communication channels. This strategy is reminiscent of the American writer Ernest Hemingway (1899–1961), who also used interpretive metaphors of daily life to critique war, materialism in the modern world, and other social issues.

In Burung-Burung Manyar, Romo Mangun invites us to delve into the lives of ordinary Indonesians from 1934 to 1978. The novel tells the story of Teto, a young man of mixed Indo-Javanese descent who initially sided with the Dutch but changed after meeting Atik, a smart and brave indigenous girl with a feminine and warm side. Atik is depicted as writing a dissertation on “Identity and Visual Language in the Communication Structure of the Weaverbird (Ploceus Manyar) Variety.” From this, readers can draw deeper meanings from the weaverbird’s character, known for its nest-weaving ability.

Teto is akin to a male weaverbird trying to build a “nest” for his mate, but he must first confront an identity crisis and a search for his “place” in a turbulent nation. Meanwhile, Atik, the female weaverbird, is only willing to be courted after ensuring the nest is safe for laying eggs. The weaverbird metaphor teaches that the most important thing is not the love for one’s partner but how the couple can create a conducive environment for laying eggs and raising the next generation of weaverbirds.

Entering the 1980s, the critical social conditions seemed to make Romo Mangun unable to remain at ease behind his roles as a priest, architect, or writer. The New Order’s development vision, which prioritized modernism and urban beautification, led to the displacement of marginalized communities.

One group affected was the residents along the banks of Kali Code in Yogyakarta. Most of them were villagers who could no longer prosper as farmers and sought better fortunes by migrating to the city, only to find no place for themselves. They ended up settling in “negative spaces” and working in discarded sectors, with Kampung Code often labeled at the time as a den of thugs and sex workers. Eviction attempts on this illegal settlement had been made multiple times since the 1960s, and the lava flows from Mount Merapi further threatened the village’s survival, but the residents always managed to return and resettle.

Concerned about the conditions that were detrimental to the community’s mental well-being and children’s education, in 1981, Romo Mangun left his daily life as a priest and began living with the residents of Kali Code. He negotiated to revitalize the village to make it safer, cleaner, and better organized. Construction from 1983 to 1987, using bamboo, wood, and other affordable materials, successfully improved the physical quality of the village. Symbolism emerged from this simple architectural language, enhanced by colorful decorations from painted strokes that brought the atmosphere to life. This revitalization fostered pride among the residents and elevated the value of Kampung Kali Code in the eyes of the wider community. The socio-economic welfare of the Code residents also improved over time. In 1992, this project received the Aga Khan Award for Architecture.

Romo Mangun’s struggle didn’t stop there. As in his novel Burung-Burung Manyar, the younger generation was always a focus for him. The last decade of his life was dedicated to creating a joyful and liberating elementary education ecosystem. But let’s save that story for another time.

At this point, it’s enough to know that Romo Mangun’s empathy and desire to act were immense, to the extent that a single medium was not enough to channel his will. Typically, people with such deep empathy have limited capacity due to the emotional toll it takes. However, Romo Mangun managed to break free from this trap. Jolanda Atmadjaja sees this as a mature response to the “split subject” condition. Psychoanalyst Jacques Lacan (1901–1981) introduced this theory in the 1960s, stating that humans never have a whole identity but are always fragmented—partly due to the symbols, labels, or social roles attached to them, and the gap between the ideal conditions we dream of and the reality we face. Ideally, humans will continually seek balance, chasing something that makes them feel whole, constantly evolving their roles. Most people, especially those just beginning their journey of self-discovery, might get trapped in the illusion of a single role or label, mistaking it for wholeness.

Perhaps Mangunwijaya’s experiences facing extreme realities from a young age allowed him to quickly respond to this split condition and adeptly reposition himself in other roles, recognizing the limitations of his previous ones. He understood that not everything could be resolved from a single perspective. He also realized that not everything could be solved alone, so he consistently invited others to join the movement. At this point, he was able to reconstruct frameworks, being productive across multiple domains and forming constellations with others. This can only be achieved by someone who has fully immersed themselves and realized that the boundaries of knowledge can be reimagined.

Looking at Kampung Code, it still stands to this day, though some buildings meant to be temporary have become more permanent. This does go against Romo Mangun’s original vision for Code as a temporary shelter for its residents until they could become independent and move to better places. However, the social changes that occurred were not as rapid as he had hoped. Still, it’s worth celebrating that many of the younger generation there now have higher education and better prospects than their parents.

Given what remains, the question is not how far Romo Mangun could fight for Kampung Code, but how his vision can continue to soar far beyond its architectural form, how to advocate for a grounded place, and to what extent the concept of freedom can be contemplated and brought to life by Romo Mangun’s successors.

Kategori
blog

Event Session: Design Perspective – Kolkata Edition

[Repost from instagram @designperspective_]

A full house and an inspired audience

@rawarchitecture_best (@realricharchitectureworkshop session at Design Perspective – Kolkata Edition was nothing short of transformative. 🌿✨

With his signature philosophy rooted in simplicity, humility, and craftsmanship, he walked us through a series of soulful projects that celebrated local materials and honest architecture.
Every story he shared, every detail he revealed, reminded us that design is at its best when it’s grounded, sustainable, and deeply human.

(Design, Perspective, Kolkata, Success, Event, Architecture, Keynote, Speakers, International architects, Showcase, Inspiration, Audience, Highlights.)

#designperspective#kolkata#cityplanning#sustainablecities#futureofdesign#urbandevelopment#architectureinsights#foaid2025#designleaders#keynotespeaker#eventhighlights

Kategori
blog

Culture by Design featuring Guha the Guild

“An architect shouldn’t just tell their own story, they should listen, comprehend, and gather the stories. That’s how we create not a single narrative, but thousands of stories. Architecture is a mission, not only just a business.” – Realrich Sjarief for Culture by Design on ABS Australia

Tune in to Episode 5 – SUSTAINABLE also featuring Britta Knobel Gupta, Amit Gupta, and Alvin Tjitrowirjo on ABC Australia, Sunday, 18th May 2025.

Culture by Design is a architecture cultural journey across Asia with Australian presenter and international design expert Anthony Burke featuring the creative visionaries shaping the future of design.

Berbicara tentang kultur bukanlah hal yang mudah, ini seperti proses melintasi ruang dan waktu. Studio RAW memulainya dari bawah, termasuk praktik dari garasi, mendapatkan dukungan dari klien-klien kami, rumah tinggal pribadi, renovasi, proyek publik, komersial sampai sekarang meneruskan energi positif dari banyak orang.

Di tahun 2016 kami menyusun bagaimana perpustakaan OMAH, buku, dan literasi dapat menjadi perjuangan yang nyata sekaligus menjadi fondasi dari arsitektur yang edukatif bersama begitu banyak kontribusi. Bagi kami, arsitektur mencerminkan semangat untuk terus belajar dan bertumbuh.

Dalam film dokumenter Culture by Design yang dibuat oleh ABC Australia oleh Anthony Burke, Justine May, Claudine Ryan, Mim Stacey, Andrew Dorn, Alan Stalich, Frank Lotito, Rachel McLaunghlin, Christos Agripoulous dan Tim Smith. ABC Australia memberikan begitu banyak pertanyaan mengenai Nest House atau Guha. Guha atau Nest House ini tempat di mana begitu banyak hal terjadi: tempat tinggal, tempat belajar, tempat menulis. Guha the Guild sendiri adalah rumah petak, gua yang mencerminkan kepadatan penduduk Jakarta yang tinggi. Ketika tempat tinggal menjadi mahal, kami berkumpul dan menciptakan ruang yang lebih terjangkau, lebih padat, namun tetap nyaman.

Seperti panasnya matahari yang kita atasi secara arsitektur dengan cara sederhana: menciptakan kenyamanan tanpa biaya tinggi. Arsitektur, menurut kami, seharusnya ekonomis dan memiliki fungsi yang baik — melampaui sekadar gaya atau estetika.

Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Almarhum Pak Eko Prawoto dan juga tim RAW, ada begitu banyak orang hebat di balik proses kebersamaan ini melintasi ruang dan waktu melalui tulisan, buku, teori, dan diskursus arsitektur, dan kami sangat berterima kasih atas setiap dukungan. Terutama kepada ABC Australia, yang telah mengangkat cerita Design by Culture. Kami merasa sangat terhormat. Semoga film ini apa yang dikerjakan oleh tim ABC Australia dapat menjadi berkat bagi banyak orang.

#culturebydesign #realricharchitectureworkshop #abcdesignseries #realrichsjarief #designfuture #sustainabledesign #creativevisions #designasia #indonesiandesign #jakartadesign #indonesianarchitecture #designleaders #regenerativedesign #designvisionaries #designforgood #designinspo #asiancreatives #futurebydesign #designinspiration #designculture #anthonyburke

Kategori
blog

Design Perspective – Kolkata Edition

[Repost from instagram @designperspective_]


We are honoured to welcome @rawarchitecture_best, Founder of @realricharchitectureworkshop, Indonesia , as a keynote speaker at Design Perspective – Kolkata Edition, an initiative by FOAID.

Known for his philosophy rooted in simplicity, humility, and craftsmanship, Realrich creates architecture that is both soulful and timeless. His work with local materials and honest forms defines a unique approach that is grounded, sustainable, and deeply human.

🗓️ 23rd May 2025
📍Taj Taal Kutir
🕕 5:00 PM Onwards

Join us for an inspiring evening as he shares the RAW way of building — where emotion, context, and intention come together in the purest form.

[Event, Architecture, Architect, Architecture event, interior design, Speaker, Brand, Indian Architects, Networking]

#designperspective#kolkatacity#kolkata#interiorstyling#luxurydesign#moderndesign#architects#kolkataarchitects#architecture#architecturelovers

Kategori
blog

Ulang tahun yang ke-43

Hari ini saya berulang tahun, ke 43. Umur yang saya syukuri karena bisa punya waktu foto bareng sama keluarga kecil kami. Laurensia yang selalu hadir untuk menyemangati dan menemani kesibukan. Hari ini juga kami sibuk sepanjang hari, rapat, lapangan, workshop-workshop desain. Akhirnya bisa pulang di rumah jam 17:00 untuk sedikit mengabadikan foto yang diambil oleh @luil_mn, yang punya talenta untuk mengambil momen – momen menyentuh hati, cukup foto ini kado ultah saya yang berkesan.

Kalau ada harapan di tahun 2025 ini, saya ingin kehidupan lebih bahagia untuk keluarga, studio, klien, masyarakat. Banyak penyadaran yang saya pelajari justru dari istri saya, supaya saya lebih sabar dan semangat. Doanya setiap hari ketika saya mau kerja ataupun anak – anak yang memeluk setiap kali saya pulang. Ada cerita dimana Heaven menyapa kakaknya dan meminta diajarin piano lagu Million Dream, padahal sebelumnya sulit berkomunikasi. Ataupun Miracle yang mengintip satu kakak di studio yang sedang main piano dan memberikan apresiasi bahwa ia suka akan permainannya. Kejujuran untuk memberikan apresiasi dan keinginan belajar yang tulus dari mereka membuat kami tersenyum.

Kami dikaruniai putra – putra yang baik dimana Heaven yang sudah bisa pose bareng Miracle menunjukkan pertumbuhannya yang bisa saya syukuri menjadi pribadi yang lebih terbuka.Ya Tuhan, Terima kasih ya yang sudah mengirimkan malaikat – malaikatnya menjadi keluarga, sahabat, dan inspirasi selamat ini dan di masa depan.

Hal – hal kecil itu kado terindah untuk ulang tahun saya kali ini akhirnya bisa foto bareng sekeluarga, Thank you ya lu buat foto2nya , @wiwidun dan @hendrick_tanu yang sudah sharing hari ini, juga guru-guru saya, kawan- kawan di raw, dot, omah, teman – sahabat, keluarga terkasih yang mendoakan.

Photograph by @luil_mn

Kategori
blog

Jeda sejenak di akhir tahun 2024 dengan bertemu sahabat lama

Ini sebagai refleksi singkat untuk saya yang sering bekerja terus yang kadang2 lupa perlu pengingat. Saat – saat kemarin bertemu sahabat jd jeda yang menyisakan banyak kenangan,

Belajar dari 4 hal yang dibagi Nita pada waktu jalan kaki menyambangi teman yang ternyata tetangga kami, ia bercerita tentang cerita dari Brian Dyson CEO Coca Cola. Cerita itu sangat berkesan dan akan saya ingat terus,

“Bayangkan hidup sebagai sebuah permainan seperti pemain sirkus di mana Anda menyulap lima bola di udara bernama pekerjaan, keluarga, teman, kesehatan, dan semangat.

Ketika Anda berusaha untuk menjaga semuanya tetap di udara, Anda segera menyadari bahwa pekerjaan itu adalah bola karet, dan jika Anda menjatuhkannya, ia akan memantul kembali. Namun empat bola lainnya, keluarga, kesehatan, teman, dan semangat terbuat dari kaca.

Jatuhkan salah satu dari mereka, dan bola akan lecet, tertanda, tergores, rusak, atau bahkan hancur, dan tidak akan pernah sama lagi.”

Thank you ya Nita untuk refleksinya dan perjalanan hidup yang luar biasa untuk terus kuat, juga ada Tisa, teman jalan2 ke zoo, cerita lucu2, keren, jenius tak terduga dan suaminya Andhie yang kepala ong and ong Indonesia, jg Ririe dan Acha yang super baik dan care sama teman-temannya dari dulu sampai sekarang dan kenal sama Dhisti jg , mereka orang yang rendah hati yang observant. Terakhir ada Aulia yang partner main musik dengan suaranya yang bagus, andalan singing telegram pada zamannya, suaminya Norman adalah satu role model yang mengajarkan saya banyak hal di arsitektur jg kawan serumah di Singapore.

Semua berkembang menjadi pribadi yang tidak akan terlupakan, akhir Desember ini menjadi refleksi untuk terus kuat, dan bersyukur akan kenangan dan pertemanan yang baik. Hari ini adalah hari penuh rasa syukur bisa mengingat persahabatan, kenangan. Hidup tidak mudah untuk kita. tapi masih bisa tertawa dan tersenyum. Banyak cerita yang jadi doa untuk ke depan, untuk selalu kuat dan bersyukur akan kenangan yang ada.

Selamat tahun baru 2025

Kategori
blog

Platonic Bioclimatic Home

Located on Ciasem Street, this Platonic Bioclimatic Home is situated in 17 x 28 m land area surrounded by dense trees in South Jakarta. For this reason, we focused on a bioclimatic design principles that contributes to reducing the urban heat island effect while creating a sustainable oasis for the homeowners.

The concept of the house is to have a 4-sided design, with most of the private and public spaces oriented to face multiple sides. This allows indirect sunlight to reach the interior throughout the day, creating dynamic shadow patterns and air corridors that break up the mass of the building.

The west side of the building is remains solid for thermal comfort, while the east side features an artistic brise soleil wall that provides privacy and also functions as a sunlight blocker. This wall consists of about 40 patterns made of lightweight concrete block and has been refined through several experiments, concerning structure, strength, composition, and how the materiality is designed to ensure long-lasting durability.

On the south side, wooden-patterned lattices made of concrete are placed. These lattices create poetic spaces that highlight the grain of the wood and offering a timeless quality, akin to the durability of concrete. As homeowners enter from the ramp, they will experience a sequence of light-filled corridors that lead them through dynamic vistas.

The lower spaces are designed to be open, with the library and workspace located at the far end of the mass. On the first floor, an open family room is positioned, accessible via an exterior ramp. The access route curves around the side, and an open void allows light to penetrate from all four sides of the building. The second floor is designated as the bedroom zone, which also includes a shared gathering space. It is also designed with by considering the client’s domestic space needs, including communal areas for activities such as religious study, which can be held in various spaces and on different floors. The house is also designed with a zero-water runoff concept, utilizing recycled water to minimize its environmental impact.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @bacteria.archphotography

Kategori
blog

Terima kasih untuk seluruh rekan-rekan yang hadir dalam diskusi 8 jam 99% Abstraksi di Ruang Guha Plato

Terima kasih untuk seluruh rekan-rekan dan semua yang hadir dalam diskusi 8 jam di Ruang Guha Plato, yang gelap seperti lubang hitam. Kami duduk bersila, sejajar, dari pribadi menuju komunitas. Di sini saya mendapat kawan, teman berdiskusi, sehingga perjuangan terasa tidak sendirian. Dari topik abstraksi, tafsir, post-colonial, hingga utopia, dibahas dari berbagai sudut pandang oleh orang-orang yang mencurahkan hidupnya untuk arsitektur. Mereka yang hadir adalah orang-orang yang cinta pada pengetahuan, dan dari merekalah kami belajar tentang menjadi manusia pembelajar, penuh kasih sayang, bahwa masa depan adalah mimpi untuk membangun dan meneruskan tongkat estafet ke generasi muda.

Dari Mas Anas, kami belajar tafsir yang merdeka melalui mendengarkan. Dari Pak Ryadi, kami belajar kultur studio yang melihat kelemahan sebagai kekuatan. Pak Abidin mengajarkan kami bahwa tujuan post-colonial adalah membela yang lemah. Juga Gede yang mengajarkan bahwa isolasi adalah cara untuk keluhuran, perlu sikap kritis dan keberanian untuk membangun sistem yang terhubung secara global, hingga membentuk budaya luhur. Cahyo mengajarkan variasi pengajaran melalui rangka dan solid, memberi pilihan dalam membentuk karakter yang adaptif. Nanda mengingatkan kami bahwa identitas bukan hanya ideologi, tetapi juga strategi bermanuver. Jo Adiyanto mengajarkan pentingnya jejaring sejarah, keseimbangan kampung-kota, dan desa.

Kategori
blog

Ngumpar Bioclimatic Home

Ngumpar Bioclimatic house is located at the end of the street, with a land area of approximately 300 sqm. The 12 x 17 m layout was designed to create thermal performance and foster a natural atmosphere, creating a comfortable microclimate. Upon entering the building, the entrance access is set back through a foyer ramp, which is covered by a tropical garden, endemic trees, and bushes that serve as a way to provide thermal comfort. This setback strategy covers access to the building from the west side sun. It leads to a swimming pool that also cools the microclimate. The circulation then ended in a wooden deck through the main entrance of the living area on the 1st floor.

The first floor is a spacious main living area with a large void and skylights in the form of a ‘tumpang sari ‘, a traditional Javanese architectural element that allows for natural light penetration, inspired by a traditional joglo house, allowing sunlight to flood by side gaps. On this level, we can see a visual connection to the master bedroom in the void. This level also includes a shared workspace, private areas, and an atrium as a long foyer, linking the more prominent spaces with utility areas.

The second floor features a void that connects the master bedroom with the children’s rooms, while the upper level includes a gym and social spaces. The roof is designed to provide thermal insulation and air flow by tumpang sari skylight, wooden deck, and canopy, and is enhanced with greenery, providing insulation for the bedrooms below. This approach effectively lowers ambient temperatures by 3-5 degrees.

While on the ground floor, the service area and living area encircle a 2 central staircase, which acts as the house’s spine, featuring openings on its sides for natural light and airflow. The gap between the building and the neighbor’s house facilitates airflow and enhances natural light.

The house has an exploration of forms of opposing curves, creating an expansive feel despite the site’s limited size. This design also offers a flowing aesthetic. The recurring curves extend to the finer details of the home, including the curved railings made from a blend of iron and local ulin wood, as well as arched doorways made by local craftsmen.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @sonnysandjaya

Kategori
blog

Morahai Bioclimatic Home

The Morahai House is located on a 17.5 x 24.5 meter plot of land at the corner of Jalan Damai II, South Jakarta, directly adjacent to RPTRA Taman Sawo at the north. The northern, eastern, and southern sides of the house are surrounded by community activities and street vendors, while the western side is quieter, bordered by shophouse and formal residences.

The goal of designing this house was to reduce the indoor temperature to 28°C through a bioclimatic approach. This involves strategically placing trees and plants both inside and outside the perimeter to create a natural cooling effect. Additionally, we aimed to achieve a PM2.5 concentration of under 30 µg/m³ to ensure the house remains free from air pollution.

The exploration of combining curved and rectangular shapes in the building’s form and facade aims to facilitate healthy airflow and natural light into the interior spaces. The design features carefully selected materials that are cost-effective yet still provide a unique character. We used a mix of materials, including cement plaster and ulin wood. The western side of the house is designed to be more enclosed, complemented by lush trees to block excess sunlight, while still offering views of the RPTRA. A rooftop garden serves as insulation for the rooms beneath it.

The surrounding context, which blends both formal and informal characteristics, inspired us to create a design that is not only environmentally friendly but also provides space for the local community. Interestingly, the house features a social area with a newspaper corner on one side, creating an informal social space that can facilitate activities for the surrounding community. Through this approach, the Morahai House becomes a home that not only offers comfort to its occupants but also contributes positively to the environment and the surrounding community.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @ernesttheofilus

Kategori
blog

Bamboo Detailing at Piyandeling

Di bangunan ini berukuran diameter 9 m, terbuat dari material bambu dan plastik poly carbonat. Pemetaan masalah-masalah arsitektur penting untuk memberikan analisa apa saja yang perlu dilakukan untuk mempermudah pekerjaan di lapangan sekaligus menambah nilai positif budaya. Dalam kasus ini apa yang kami lakukan di Bandung, khususnya di dalam bangunan 3 lantai yang terbuat dari bambu ini membantu menyelesaikan permasalahan angin sehingga bentuk yang tercipta yaitu silinder adalah hasil kompromi termudah, tersederhana sesuai dengan namanya saderhana.

Poly carbonat dengan frame bambu ditujukan untuk memberikan lapisan pelindung pertama, sekaligus plastik dengan ketahanannya akan baik untuk mempreservasi bambu dengan maksimal. Seluruh engsel menggunakan bambu. Gridnya 3.00 m, dengan akses tangga ada diantara lapisan pertama dan kedua. Bangunan ini dijangkar dengan kamar mandi di belakang menyerupai bentuk konde. Bangunan ini tidak mahal tetapi juga eksperimental, dengan tujuan membuktikan bahwa arsitektur bambu bisa didekati dalam intensi yang analitik juga intuitif yang terlihat dari komposisi detailing di sekujur ruang-ruang, pintu, jendela, langit-langit. Dari luar ia platonis dari dalam ia penuh pola matra dari berbagai sudut pandang dan wastra keberagaman pola nusantara yang begitu banyak dan kaya dalam sebuah komposisi

Detailing by
#dotworkshop
.
#realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Bioclimatic Tube House

Located in Alam Sutera, this three-story house features a compact, modern design with a focus on sustainability. The 17 x 7 meters site is relatively narrow, which poses unique challenges in optimizing space while ensuring the home remains functional and comfortable.

The design focuses on integrating key sustainability features, such as solar panels and a north-south orientation, to optimize natural light and ventilation. The layout uses three simple grids, which structure the space efficiently while allowing for a fluid and dynamic spatial experience.

The design process begins by considering the overall organizational framework of the space. Each section is rearranged based on several criteria, such as the proportion of space, views, and the potential for creating interesting spatial experiences. By placing the most important areas, such as the living room and bedroom, in the center, the design ensures transparency through the core of the building. This central area provides the best views and natural light in the limited space. This iterative process continues with carefully selecting materials, ultimately achieving an optimal composition that balances functionality, aesthetics, and sustainability.

The final form of the house is tubular in shape, with a central “bridge” element. This “bridge” serves as a strategic feature, enhancing the flow of air and light throughout key areas like the bedroom and living room, ensuring a comfortable living and microclimate to the inner space.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @bacteria.archphotography

Kategori
blog

Artisanal Bioclimatic Home

This project is located in Taman Permata Buana, Jakarta. The location faces the east side and is opposite a residential park. This project uses 80% of the old walls and structures to reduce construction costs optimally. The renovation is designed with a unique shape with simple exposed concrete materials and is equipped with balconies and canopies to protect the building from excessive sunlight.

The client dreamed of a house with natural light, passive cooling, aesthetics, and affordable costs and maintenance. To fulfill these desires, this project carries an open-plan concept combining indoor and outdoor spaces, providing an intimate space experience with wide gaps between spaces to maximize natural lighting.

The continuity of the design from inside and outside helps maximize the quality of the ground floor space. The living room facing the yard or small garden creates a more private and intimate space. The design of this house also has a unique shape that responds to the angle of sunlight from the east side, which is maximum at 10 am. The shape is formed by cavities that allow light to enter and can be used for cross-ventilation.

Natural light enters from the north and south through skylights and from the front and back through openings, ensuring that all rooms are exposed to natural sunlight and have good air circulation. The building uses raw materials, such as cement, brick, steel, wood, rough tiles, and terrazzo, showing layers of Javanese craftsmanship, where everything combines to create unity but also diversity in its interior and architecture.

This project illustrates a bioclimatic design by utilizing small gardens, natural light, passive cooling, diversity of materials, but still with easy maintenance to improve the quality of life indoors and outdoors. This design is also suitable for dense urban areas, with construction that can be done at a minimal cost and simple craftsmanship techniques, and all of these approaches underline the approach in our studio to create an earthy, environmentally friendly beauty in residential design in Jakarta.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @luil_mn @_yophrm

Kategori
Press

Proyek Pertama – First Project : RAW DOT OMAH

Realrich Sjarief, Anas Hidayat, Johannes Adiyanto, Jolanda Atmadjaja
Soft cover | Monochrome | Bilingual (English & Bahasa Indonesia) | 14,8cm × 21cm | 410 halaman | Release Date: (coming soon)
ISBN: dalam proses pengajuan ISBN

Synopsis

The process leading up to the formation of RAW, DOT, and OMAH was like a game of blending various aspects of personal identity and skills as an architect to reach a single point. This process involves an effort to balance the right and left sides of the brain. It includes long periods of practice and intense interaction with the team in the studio.

The presence of Bare Minimalist as our first completed project marked the beginning of enriching this process with the involvement of clients, engineers, and craftsmen, further complementing the existing network of relationships. Formulating a genesis that underlies an established practice pattern is certainly not an easy task. This explains the lengthy time required to publish Bare Minimalist in the form of a book. Proyek Pertama – First Project : RAW DOT OMAH could perhaps serve as a reference for newly-founded studios in experiencing the journey of a project for the first time, which also acts as an initial prototype, with the note that this reference needs to be refined to suit the most appropriate context for the reader.

Price: Rp150.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
blog

Refleksi singkat dari perjalanan bersama Carlos Betancur dan Sophie Paviol

Sedikit refleksi singkat, Ini adalah foto-foto diambil oleh Carlos Betancur adalah seorang desainer yang sangat berbakat, artis, dan fotografer jg kawan yang memiliki kerendahan hari dan kualitas spiritual yang bisa saya baca. Ia mengambil beberapa gambar dan mengirimkannya, foto – foto yang tidak akan pernah saya lupakan.

Juga bagaimana ia bercerita tentang pemahamannya belajar dari buku Harvard Business Review. Ia menceritakan soal Paul Nakazawa soal preposisi nilai, yang perlu dijawab justru oleh studio arsitektur yang akhirnya merubah studio opus secara fundamental dalam diagram produk dan klien.

Sophie Paviol adalah seorang pengajar yang menginspirasi kedekatan alam, proses dalam waktu yang sesingkatnya perlu dijalani. Ia belajar dari muridnya, ia mendengarkan apa saran muridnya, termasuk perjalanan kami yang sebenarnya adalah ide dari Claire murid disertasinya. Donald miller menulis bagaimana ide eksistensi manusia sebenarnya ada di dalam citra dirinya yang membutuhkan role model, figur. Disini proses mencari guru membutuhkan patahnya ego dan mengakui bahwa masalah yang kita hadapi tidak bisa kita selesaikan. Ego harus dijatuhkan sampai seseorang berlutut sebelum ia dapat bangkit kembali, serendah – rendahnya sampai tiarap menangis dalam derai air mata. Ego perlu dijatuhkan sampai titik terendah anda, kalau anda tidak siap, semesta akan mempersiapkan untuk anda, suka atau tidak suka.

Paradoksnya ketika kita terinspirasi, kita harus menahan keinginan untuk merekayasa balik kisah sukses seseorang. Dan bahkan ketika kita ada di atas awan dengan semua euforia kemenangan , menurut Ryan Gold dalam penaklukan ego kita harus menahan keinginan untuk menganggap semua hal terjadi sesuai dengan rencana kita. Ia melanjutkan bahwa Tidak ada cerita besar di balik semua cerita kehidupan. Tidak ada yang istimewa, semua terjadi bukan hanya karena anda namun orang lain. Nama besar dimulai bukan karena mereka berpikir untuk mengubah dunia namun bagaimana mereka dengan riang hati berkerja sesuai kata hati, jiwa yang berjalan tulus.

Disitulah persahabatan muncul cerita bahwa desain perlu jadi pengobat rasa takut dan sakit juga meraih nilai tambah.

Kategori
blog

Jalan-jalan sekitar St. Denis

“Ini jalan-jalan sekitar St. Denis”,

ada satu jalan memanjang yang işin ya bangunan – bangunan lama yang direstorasi ataupun di tutup fasadenya, ataupun diperbaiki eksterior, dan interior supaya bisa representatif untuk dijual. Langit- langit rendah, sumber daya terbatas, banyak ruang – ruang luar yang tertutup bayangan. Es krimnya enak, setara dengan Kochi India (salah satu es krim terenak yang pernah saya coba) di dekat kedai eskrim yang tidak perlu ada si jalan utama karena rasanya yang enak ada juga bisnis parkir mobil bertebaran di belakang jalan utama. Es krim membuat waktu berhenti selama beberapa menit harus habis. Suhu sekitar kira – kira 29-30 derajat celcius. Ada banyak landscape tropis dijejer padat di beberapa rumah penduduk, memberikan bayangan.
.
Daerah pulau ini dramatis, ada dua area, pantai dan gunung, dikelilingi oleh laut yang terkenal akan hiu dan larangan berenang. Koridor jalan disini sangat nyaman, drainase, kemiringan, materialnya sederhana tapi durable perpaduan semen dan batu. Arsitekturnya dua lantai mirip di kota gede, tapi ada pedestrian besar, mirip juga seperti di Dili, banyak bangunan putih, fungsional. Ada juga seperti arsitektur Jengki ngingetin sama mas Cahyo dkk dengan risetnya.

Di akhir jalan – jalan, saya tetap nyari nasi, pinginnya nasi padang tapi dapetnya chinese food ^^ lumayan, isi perut sebelum besoknya acara padat maklum dari tadi bunyi – bunyi seperti alarm nyala terus, perut adalah kunci ^^

Kategori
blog

Akhirnya, Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2024) selesai dan berjalan dengan baik!

“Capek hilang ^^ !”

Akhirnya ! Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2024) kali ini selesai, berjalan dengan baik, saya belajar banyak tentang arsitektur tropis dan performanya dari panitia dan presenter yang lain Prof Hao, Anthony, Carlos, Javier, Kevin, Anne, Alfredo, Juan, Maria, Rafael, David, sebastien, Javier, dan lain-lain. Tq untuk Panitia menghabiskan banyak waktu untuk mengkurasi , memilih materi berbulan – bulan dan akhirnya kami semua datang untuk berkumpul di La Reunion, saya bertemu banyak sahabat baru. Di tpt ini kami saling bertukar pikiran, dan saya tidak pernah bisa membayangkan kok bisa ada disini. “Tuhan punya kuasa atas apapun yang akan terjadi“ kata Bu Lisa Sanusi.

Kami juga belajar dari banyak biro, banyak professor, juga banyak kerja keras dari tim RAW DOT OMAH yang terus berjuang, saya menamakan tim kami the underdog studio, dengan semangat untuk terus belajar dengan keterbatasan, dan kesederhanaan praktek seperti di studio garasi. Semoga semua ilmu, jaringan kesetiakawanan teringat terus sampai jangka waktu yang lama. Sampai kemarin pun setiap presentasi selalu deg-degan, masih perlu doa, masih perlu geladi resik, masih perlu nulis sebelum presentasi.

La Reunion, bertemu saudara baru, pengetahuan baru. “I learn during talk with about our teacher and all Indonesian brothers that tolerance and solidarity teaches about coexistence that we share the same moon, the same sun, and the same earth. We are closer than ever, by inheritance and by such a fate. It’s a deep connection, and resonance about this beautiful world. I think it is meaning of reunion.” Satu catatan yang kami bacakan di awal penjelasan yang terinspirasi dari pertemuan dengan Pak Eko Prawoto.

Semoga Tuhan panitia, mahasiswa yang bertemu, semua yang mengajarkan pentingnya arsitektur bioklimatik dan berjejaring. Sampai jumpa lagi 👍 sukses untuk Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2025) dan ke depannya.

Inilah pentingnya simposium, konferensi, sharing, diskusi yang adalah soal abstraksi yang bisa dibawa pulang, jg pentingnya perjuangan orang lain yang kita dapatkan semangatnya. “Menular !!^^ mari capek lagi”

Kategori
blog

Perjalanan menuju konferensi BIAT di La Reunion

“Capek!!!”

Beberapa bulan yang lalu kami mendapatkan undangan dari panitia BIAT, tentang jadi speaker “sebutnya diskusi ”Karena senangnya banyak belajarnya dari pembicara lain secara gratis, ini konferensi di La Reunion, sempat ragu – ragu karena ini memang di perancis tapi di daerah kepulauan dekat benua Afrika. Kaya kata Jon Lang “to learn is to teach to teach is to learn, and you please dont give me that blank face!” Haha

Senengnya juga bisa ketemu Tony, adik kelas saya dulu kerja bareng di DOT ngurusin pedestrian sampai desain Bank Indonesia yang saking kerennya atau jeleknya sampai ditolak ha ha. Ia l sekolah lagi di Cornell Amerika sekarang jadi urban transformation leader, ternyata ilmu analitik arsitekturnya terpakai sampai jadi planner, ekonom, dan strategis. Kita satu flight bareng ke Doha ia pisah untuk ke World Economic Forum di Mesir.

Dan perjalanan yang jauh 48 jama kadang membuat saya mengeluh dalam hati dan menelan ludah, kapan sampainya. “Kok ngga sampai – sampai?” Sesampainya transit di Paris, Begitupun hawa dingin, yang membuat harus cepat beradaptasi. Perut yang kosong, gemetarnya badan, membuat sadar juga musim dingin tidak menyenangkan untuk tubuh. Adaptasi badan, adaptasi pikiran, adaptasi ego. Bahwa proses yang tidak nyaman itu malah buat kita belajar lagi, jadi underdog lagi, dari situ malah buat saya jd tidak berjarak dengan perubahan positif untuk lebih sabar.

Sekarang masih 11 jam lagi perjalanan. Mimpi saya ya bisa belajar kualitas studio dari situ, pemahaman diri, desain tropis yang ilmunya bisa dibawa pulang. Prosesnya ya kok berat, Semoga kita semua bisa lebih kuat dalam perjalanan hidup kita yang membutuhkan adaptasi dalam belajar.

Ngomong dalam hati “Semoga makin kuat”

Kategori
blog

Refleksi singkat untuk saya sendiri

Ini refleksi singkat, untuk saya sendiri yang perlu terus mendapatkan umpan balik terutama dari berbagai macam generasi, ataupun banyak orang- orang hebat yang ditemui setiap hari, ditambah foto dari iyok dulu di DP Architect, menunjukkan kalau perjuangan di dalam studio tidak pernah mudah, jam panjang, dan jatuh bangun, proses yang jauh dari musik klasik, lebih seperti dangdut. 🙂
.
Menarik kembali catatan dari bu Eileen Rachman bahwa “kesuksesan belajar berasal dari 10% dari wejangan satu arah 20% dari diskusi sejajar , 2 arah , 70% dari learning by doing ( apalagi kalau di koreksi secara positif) “ Pikiran positif menghasilkan berbagai macam sudut pandang yang menjalar, seperti prinsip Getok Tular, yang sambung menyambung.
.
Belajar arsitektur membutuhkan fleksibilitas tingkat tinggi, karena adakalanya proses internalisasi mendigest apapun yang dialami dalam proses praktik itu perlu waktu, sedangkan banyak permintaan – permintaan diluar dirinya membuat ia harus sabar untuk juga menjawab permintaan tersebut.
.
Proses ini membutuhkan pengolahan sikap untuk membuka diri, tidak marah, perlu sabar, dan juga yang terpenting.
Studio arsitektur perlu mengintrospeksi dirinya, dan membicarakan proses edukasi ini dengan terbuka, bahwa tantangan ada yang diluar kendali para leader, juga para desainer, apalagi klien, banyak permasalahan psikologis juga muncul berbarengan dengan permasalahan teknis. Gambar hanya representasi dari kualitas diri, tim, sekaligus quality control yang muncul dari banyak pihak yang membutuhkan konsistensi. Dan hal ini dicek terus menerus dalam kualitas yang memiliki standarisasi.
.
Sesederhananya ukuran, metodologi proses desain, dan bagaimana pengambilan – pengambilan keputusan itu ada yang memang membutuhkan kalkulasi presisi juga ada yang terkait bagaimana proses interview dengan klien itu dilakukan. Dan hal itu baik karena membuat kita semua jadi sadar, bahwa edukasi mengenai gambar pun harus terjadi. Dan memang banyak sekali talenta di studio itu hadir, dan cara untuk bisa bekerja bersama – sama adalah memiliki komunikasi yang baik, keterbukaan pikiran, dan contoh – contoh yang dibicarakan yang akan menjadi SOP.

Kategori
blog

Morahai Bioclimatic Home

Building a house is never easy; it’s a lengthy process that requires significant refinement and resources from the client, all focused on the client’s needs. This house took considerable time to complete, as the design and construction began during the COVID-19 pandemic. It was an unique opportunity for us, and the clients were supportive throughout the critical design process also open to exploring new possibilities as long as they remained functional.

Our goal in designing this house was to reduce the indoor temperature to 28°C through a bioclimatic approach. This involved strategically placing trees and plants both inside and outside the perimeter to create a natural cooling effect. Additionally, we aimed to achieve a PM2.5 concentration of below 30 µg/m³ to ensure that the house is free from air pollution.

The design features a thoughtful selection of materials that are not costly but still give a unique character. We utilized a mix of material, including cement plaster and ulin wood. The west side of the house is more enclosed, offering a view of the nearby RPTRA (children’s playground). Interestingly, the house features a social area where newspapers are placed, allowing people to read them. This creates an informal social space, making the house a neighborhood activity hub.

The layout of the house comprises two zones: public and private. This design was inspired by the clients’ desire for visiting relatives to feel at home. In the private zones, functional living spaces like the family room and bedrooms are designed with unique curved forms. The bedroom area features a series of continuous curves resembling terracing, echoing the natural language of curves. The staircase is prominently located on the west side, serving as a central element that enhances spatial efficiency and circulation.

The exploration of combining curved and rectangular forms in both the shape and façade of the building is intended to facilitate healthy airflow and introduce natural light into the interior spaces. To minimize the load on air conditioning, a rooftop garden serves as insulation.

design by #realricharchitectureworkshop

photograph by
1, 3, 5, 6, 8, 9: @_yophrm @luil_mn

Kategori
blog

Bertemu Bu Eileen Rachman yang menginspirasi saya dalam melihat dunia mentorship yang baik di studio arsitektur

Bu Eileen Rachman adalah guide, inspirator saya dalam melihat cara untuk melihat dunia mentorship yang baik ke studio arsitektur kami. Bu Eileen sendiri adalah pemimpin dari Decorous, Kemang 89. Ia kesini bersama dengan bu Widarti Gunawan yang adalah mantan CEO Femina grup. Keduanya adalah mindfull soul sehingga saya merasakan bertemu keluarga yang saling terhubung, rasa, jiwa bertemu menjadi jalinan yang mengakar.
.
Apa yang disampaikan Bu Eileen dalam Salah satu TED talknya sangat menginspirasi, Beliau melihat bahwa ada 4 cara berpikir yang kami adopsi dan turunkan di dalam prinsip mentorship, dan cara mengajar. Pertama adalah berpikir kritis yaitu tidak ada yang original di dunia ini, kita harus belajar mendengarkan dari sekitar, dan arsitektur adalah sebuah ilmu yang majemuk. Kita sebagai arsitek mendapatkan inspirasi dari mana – mana. Kedua adalah berpikir kritis yaitu belajar berpikir kenapa , apa, dan mempertanyakan banyak hal bertahun – tahun. Ketiga adalah bepikir fleksibel, yang diilustrasikan dengan pertemuan beberapa great minds di dalam diskusi, tempat, yang memancing kreatiftias sehingga melahirkan neo klasik. Yang keempat adalah berpikir lateral, yakni bisa saja yang kita bahas arsitektur tapi tidak harus mulai dari ilmu yang sama, karena praktik bisa mulai dari mana saja, bisa dari biologi, kimia, psikologi, ataupun manapun. Dan hal ini adalah sebuah runtunan proses bahwa berpikir itu menyenangkan.

kami percaya bahwa bertemu great minds merubah cara pandang, menjalin rasa, merangkai hal yang terlihat baru sebenernya ada dalam relasi yang lama dan begitu panjang. Kami sangat terhibur ketika ia bercerita tentang relasi pak Adhi Moersid dan Pak Tan Tjiang Ay. Decorous Kemang 89 didesain oleh Tan Tjiang Ay, dengan bahasa yang modernist, sebuah kesederhanaan di pojok Kemang. Saya terkejut juga menemukan bahwa rumahnya didesain almarhum Adhi Moersid. Mereka semua orang yang saya rindukan abstraksi kebersahajaannya, pemandu yang rasa persahabatannya yang mengakar dalam arsitektur. Tidak jauh – jauh mereka berkumpul dalam lingkaran yang terus menjemput dalam masa lalu dan masa depan.

 #guhatheguild#realrichsjarief .

Kategori
blog

Guha Boboto

Guha Boboto is a building that has various functions that can also help reduce the operational expenditure of the building and maintain economic independence for families living in Boboto. Guha Boboto consists of four key components: a boarding house and a family-operated stall to support a family home while sustaining the community efforts in literacy with the library concept.

The boarding house itself is divided into 2 types: the first is a boarding house and a temporary boarding house for staffs and craftsmen. This setup allows flexibility to meet the needs of the Boboto family and provides space for visiting family members when needed. The family-operated stall has been part of the Guha Boboto since the 1990s. The library and the boarding house are open in 2024.

Originally the structure built in the 1990s with a basic plywood structure, the building has been upgraded with repurposed plywood transformed into glulam, and recently reinforced with lightweight steel and locally sourced glulam. Most materials used are recycled, including roof coverings, steel rods, bricks, aluminum, and glass.

The library within Guha Boboto plays a crucial role as a guardian and functions as a community activity center. Its goal is to support literacy in Indonesia by offering a space for communal learning and activities. The building is also designed to be easily constructed by anyone without requiring specialized skills, using local and low-cost materials. This also aligns with our studio’s vision that architecture does not need to look luxurious or glamorous; even simple and locally sourced materials can create aesthetically pleasing designs.

Design by #realricharchitectureworkshop
Detailing by #dotworkshop

#GuhaBoboto #jakarta #architecture #details #architectureproject #archdaily #dezeen #indonesia

Kategori
blog

Thank you Alim, Keep on exploring further

Sesuatu menjadi terang karena kita melihatnya dengan terang, sesuatu menjadi dekat karena kita mendekatinya, sesuatu menjadi terwujud karena kita mau mewujudkannya. Manusia awalnya tidak saling mengenal, tetapi kemudian ada hal yang membuat mereka terhubung, salah satunya melalui kenangan. Dan koneksi yang tercipta akibat kenangan ini juga tak jarang menjadi pendorong bagi seseorang untuk maju.

Dari semua hal tersebut, dibutuhkan kekuatan kesabaran untuk percaya pada sesuatu yang hasilnya mungkin belum terlihat di awal. Di Guha, proses ini kami alami dalam keseharian di studio. Kami fokus untuk berpikir dan berproduksi membuat karya yang baik, namun ikatan batin tetap menjadi oase yang kami butuhkan di tengah-tengah rutinitas kami.

Kehadiran Alim di Studio kami membuat suasana paguyuban di Guha terasa begitu kental. Alim adalah sosok yang sering dikerumuni adik-adiknya dan banyak bercerita tentang hal-hal dan nilai-nilai yang ia pelajari selama di Guha serta kesabaran dalam menggawangi proyek. Jika kita dapat mengajar dan memiliki semangat berbagi ke teman-teman lain, hal ini tentu menjadi sesuatu yang bermanfaat. Di samping melewati berbagai pengalaman, kita juga sekaligus memberi dampak bagi orang lain.

Di tengah-tengah kesibukannya, Alim juga tetap berusaha untuk membagi-bagi peran dan memposisikan dirinya. Ini adalah ciri khas dari seseorang dengan attitude yang sangat baik. Di samping itu, Alim juga seseorang yang bertanggung jawab. Ia pernah terlibat dalam salah satu proyek tersulit di RAW dimana ia tetap bertahan hingga proyek tersebut selesai.

Kami senang pernah melalui hari-hari bersamamu serta berjuang bersama, Lim. Semoga seluruh potensi dan hati yang dimiliki Alim bisa terus bermanfaat. Selamat mengembara lebih jauh dan lebih dalam lagi.

@realricharchitectureworkshop
@alimhanz
@rawarchitecture_best

guhatheguild #realricharchitectureworkshop #studioculture #arsitekindonesia #arsitekmuda #architecturestudentlife #architecturestudio #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Ketemu dan ngobrol – ngobrol sama temen SMA Sang Timur, Nina dan Dafik

Ketemu dan ngobrol – ngobrol sama temen SMA Sang Timur while we are in Omah library , Nina with her kind, simple, and humble hubby, take care ya. Good memories since elementary school, sudah lama ngga ketemu 24 years ya. Kalo dihitung temenan sudah dari sd umur 10 aja sudah 32 tahun yaa.

Kategori
blog

Menghargai setiap momen Miracle dan Heaven

Yang menarik dari pengalaman kami dalam mendidik anak adalah bagaimana peran kami adalah sebagai mediator untuk dirinya membuka banyak hal yang ia suka. Ellen Kristi dalam buku cinta yang berpikir menulis bahwa anak harus mendengar dengan telinga, membaca dengan matanya, dan menyentuh dengan tangannya sendiri.

Terkadang saya mengambil foto Heaven dan Miracle , untuk supaya mereka tau dulu mereka tumbuh dari tidak mengerti apa – apa menjadi dewasa. “Pa kamu foto aku ya ?” kata Heaven,
.
saya menjawab “Iya, papa suka foto kamu sama koko, karena waktu tidak akan kembali, dan ini untuk kalian semua nanti akan ingat foto – foto kamu waktu kecil, makanya kalau kamu sadar kalau difoto, kamu senyum ya.” Anak – anak seperti mempertanyakan kenapa saya mengambil gambar dirinya, ia juga mempertanyakan seberapa dirinya itu penting untuk kami. Setelah saya menjelaskan, barulah ia bisa tersenyum dan difoto dengan lepas, penjelasan saya itu sedemikian penting untuk menjelaskan kenapa, apa, bagaimana, siapa, dan dimana dirinya menjadi penting.
.
Belajar setiap hari itu terkait dengan pelajaran mengenai membaca kata – kata yang mulia, seperti juga kita semua membaca kitab suci dari berbagai banyak kebaikan agama dan nilai moral yang awalnya hanya bisa dipahami samar – samar. Kalimat yang muncul akan mengeluarkan pesona rohaninya, menyuburkan perilaku. Begitupun dengan belajar tentang sejarah, yang dimulai dengan mengerti, dan mengapresiasi sejarah dirinya. Begitupun dengan Miracle yang mendokumentasikan progress-progress dirinya setiap hari apa yang ia bisa, dari menyanyi atau main drum, ia sedang memperkaya galeri hidupnya di dalam formasi yang paling berharga dalam hidup manusia, mengingat bahwa saat – saat ia belajar dari awal. Hal itu mengingatkan kami, orang tuanya akan masa – masa kami kecil, akan ketidaksukaan kami dulu waktu kami tidak dianggap, tidak diakui, tidak didengarkan. Dan bagaimana ketika kami berusaha memutar balikkan waktu dan memberikan anak kita, momen terbaik di hidupnya.
.

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Ngumpar Bioclimatic Home

Sudah lama saya tidak cerita tentang proyek – proyek kami di RAW DOT OMAH. Kali ini saya bercerita mengenai Rumah Ngumpar terletak di ujung belokan jalan sehingga memberikan kesan memeluk lahan dan menyambut setiap orang yang akan masuk. Desain rumah ini memanfaatkan posisi strategisnya untuk menciptakan pengalaman penuh kehangatan dan keteduhan. Dari entrance, penghuni disambut oleh taman kecil di entrance sebagai barrier, memberikan nuansa adem sebelum memasuki rumah. Sequence rumah ini berjenjang dengan shading alami dari tanaman dan air, berlanjut ke dek kayu, sebelum memasuki area utama.

Di lantai dasar, area servis terletak di sekeliling tangga yang berfungsi sebagai batang tubuh rumah, dengan bukaan di sisi-sisinya untuk cahaya, sementara celah antara bangunan dan tetangga memfasilitasi aliran udara dan cahaya alami. Di lantai satu, ruang keluarga utama memiliki void besar dan bukaan atap, memungkinkan cahaya matahari masuk dan menciptakan koneksi visual antara penghuni dengan privasi masing-masing. Lantai ini juga menampung tempat kerja bersama, area pribadi, dan atrium sebagai foyer panjang yang menghubungkan ruang-ruang, membelah sisi yang lebih utama dan ruang yang supporting.

Di lantai dua, void menghubungkan ruang kamar utama dengan kamar anak, sementara lantai atas mencakup area gym dan ruang untuk bersosialisasi. Atap dirancang untuk melindungi dak beton, dan ditambahkan dengan tanaman sehingga memberikan insulasi bagi lantai kamar di bawahnya. Pendekatan ini menurunkan suhu udara 3-5 derajat di seluruh area rumah.

Secara bentuk, rumah ini mengambil bentuk kurva yang saling yang berlawanan seperti magnet. Sisi maskulin berwujud pada bentuk tegas dan ujung-ujungnya, sementara sisi feminim muncul melalui kurva yang mengalir, menciptakan ruang yang terasa luas meskipun ukuran lahannya terbatas. Bentuk ini juga menciptakan kesan plastis yang kontras dengan beton yang kaku. Kurva berulang terus hadir hingga ke detail rumah, bahkan dalam raiiling melengkung dengan perpaduan material besi dan kayu, hingga pintu yang memiliki lengkungan. Kayu ulin dipilih untuk menambah konektivitas dengan alam dan memberikan sentuhan yang alami.

Kategori
blog

Miracle yang senang mencoba banyak hal

Dari pingpong Miracle mencoba banyak hal, jujurnya apa yang kami harap sama Miracle adalah bagaimana ia menikmati hari – harinya yang berharga, dengan waktu yang tidak bisa kembali. Daya becandanya ala srimulat seringkali muncul seperti ketika pura2 naik meja, ia bercanda terus dengan gurunya.
.
Termasuk dengan gurunya yang di kelas robotika, ia kemarin diajari catur sederhana dan langsung minta les catur. Begitulah anak – anak ini tergantung dari guru – gurunya yang membimbing menuju pelatihan yang majemuk.
.
Impulsnya yang tinggi tergantung dari mana ia dapat pengaruh. Ia baru saja mendapatkan teknik bernyanyi mendayu-dayu dengan alat olahraga yang bergetar-getar yang ia temukan. Kalau dilihat – lihat sudah mirip dengan penyanyi opera genre baru ha ha.
.
Ping pong video by jedi master @putrakhairus

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
Press

Dayak Architectural Heritage: The Diversity of Architecture and Historical Traces

Yoris Mangenda, Alef Essperancio X. Dasilelo, Andi Ilham Badawi, Axel Tobias Imat Gamaliel, Bani Noor Muchamad, Indrabakti Sangalang, Mandarin Guntur, Noor Hamidah, Tari Budayanti Usop, Hardiyanti, Syahrozi, Sheila Nurfajrina, Susanto, Tatu Wijaya, Yunitha
Soft cover | Monochrome | English| 14,8cm × 21cm | 286 page | Release Date: (coming soon)
ISBN: dalam proses pengajuan ISBN

Synopsis

This book aims to showcase the diverse architectural heritage of the Dayak people in Kalimantan. Compiled through a collaborative effort of 14 authors from various backgrounds, this book serves a simple purpose: to fill the gap in comprehensive archival and documentation of the diverse Dayak architecture that still stands today. I believe that with a solid foundation of documented knowledge from the past, we can certainly strengthen efforts to develop knowledge for the future.

This book is organized into 14 chapters. The first chapter serves as a prologue, providing a brief overview of the historical implications of the diversity of Dayak architecture. The second chapter presents a concise historical mapping of the Dayak people. The subsequent 11 chapters delve into 11 categories of architectural objects drawn from 64 case studies. The final chapter, an epilogue, summarizes the diversity of architectural objects inventoried in this book. Each architectural object is written using a standardized format that balances textual and visual elements. Furthermore, the writing structure of each object extends beyond architectural aspects to include historical and cultural dimensions, aiming to provide a comprehensive and encyclopedic overview.

Price: Rp120.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

Khazanah Arsitektur Dayak: Keberagaman Arsitektur dan Jejak Sejarahnya

Yoris Mangenda, Alef Essperancio X. Dasilelo, Andi Ilham Badawi, Axel Tobias Imat Gamaliel, Bani Noor Muchamad, Indrabakti Sangalang, Mandarin Guntur, Noor Hamidah, Tari Budayanti Usop, Hardiyanti, Syahrozi, Sheila Nurfajrina, Susanto, Tatu Wijaya, Yunitha
Soft cover | Monochrome | Bahasa Indonesia | 14,8cm × 21cm | 286 page | Release Date: (coming soon)
ISBN: dalam proses pengajuan ISBN

Sinopsis

Buku ini hendak menampilkan keberagaman khazanah arsitektur yang dimiliki oleh masyarakat Suku Dayak di Kalimantan. Disusun dengan semangat kolegia oleh 14 penulis dengan latar belakang berbeda, buku ini hadir dengan mengemban tujuan yang sederhana yaitu untuk mengisi celah kekosongan arsip dan pendokumentasian yang komprehensif terhadap keberagaman arsitektur Suku Dayak yang masih berdiri saat ini. Karena saya percaya, dengan adanya fondasi pendokumentasian pengetahuan yang baik dari masa lalu, tentu akan dapat memperkukuh upaya-upaya pengembangan pengetahuan untuk masa depan.

Buku ini tersusun atas 14 bab, dengan komposisi 1 bab awal sebagai prolog yang mengulas secara singkat mengenai implikasi sejarah dengan keberagaman arsitektur Suku Dayak, bab ke 2 mengulas pemetaan kesejarahaan Suku Dayak secara singkat, 11 bab berikutnya mengulas 11 kategori objek arsitektur Suku Dayak yang di inkorporasi dari 64 objek atau studi kasus, dan 1 bab terakhir yaitu epilog yang coba merangkum keragaman objek-objek arsitektur yang diinventarisasi pada buku ini. Setiap objek arsitektur pada buku dibahas menggunakan format seragam dengan mengutamakan keberimbangan antara aspek tekstual maupun visual. Selain itu, struktur ulasan setiap objek juga tidak hanya terbatas pada aspek arsitektural saja, tetapi juga mencakup aspek kesejarahan maupun kebudayaan. Hal ini dilakukan agar ulasan setiap objek atau pendokumentasian yang dilakukan ini dapat bersifat akseptabel dan memiliki spektrum yang lebih ensiklopedis.

Price: Rp120.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
blog

Bertemu dan Belajar dari Mirza dan Dhisty


Hari ini saya belajar bahwa tiap jiwa akan bertumbuh dan menemukan lingkarannya sendiri seperti setiap saat bertemu Mirza dan Dhisti. Satu hal yang saya tidak pernah lupakan adalah asal darimana beton bisa melengkung membentuk tangan yang menari, membentuk doa, membentuk banyak asa dan rasa. Lengkungan itu juga membentuk jalan masa depan yang memisahkan dan menyatukan jiwa -jiwa yang sejalan.
.
Di balik waktu, rumah tumbuh dan penghuni tumbuh dalam harapan adanya grand piano, gamelan, cerita anak – anak, pekerjaan, rekonsiliasi banyak energi baik dalam hidup yang berserah yang ada di dalam dua ranah. Satu ranah abstraksi yang merupakan akar terdalam menggali kemauan jiwa yang baik. Charlote Mason, seseorang pendidik keluarga yang saya dapat pengetahuannya dari kawan lama saya percaya bahwa setiap anak dikaruniai jiwa yang baik dan mulia. Abstraksi itu ditandai dengan latihan jiwa keseharian yang natural untuk percaya dengan abstraksi bahwa hidup ini baik apa adanya.
.
Lain hal abstraksi ada juga implementasi dan fisik yang nyata, ia adalah 3 dunia, manusia yang berkembang, keuangan, dan juga operasional. 3 hal itu tertuang dalam bagian usaha, HRD, finance, dan juga manajemen. Dialog – dialog kami di rumah Kampono ini sampai 3 jam lebih mengalir, masukan, pengalaman, cerita, sambung menyambung memberikan benih yang tumbuh. Sejatinya benih disitulah ada harapan kita menyebarkan kebaikan dari semesta.

Tidak banyak arsitek dapat kesempatan belajar dari klien berulang – ulang kali, keduanya saling melengkapi, Sudah dua tahun terakhir kami tidak bertemu, mereka teman baik saya, klien, dan juga saudara seperjalanan, orang yang saya jaga dan juga saya sayangi sebagai jenderal mereka, di atas rumah yang menari, ada akar yang kuat doa untuk rahmat semesta yang mulia.
.
Terima kasih always for inspirations, dan semoga ya minggu depan bisa bertemu belajar bersama kembali.
.
@mirza_kampono@adhistykampono
.
#realrichsjarief

Kategori
blog

Hari gym bersama anak-anak

Hari ini adalah hari gym bersama anak – anak, mereka kreatif dan mengikuti termasuk Heaven dengan cobra yoga mamanya, dan Miracle yang ngga mau kalah lari di Treadmill seperti idolanya Usain Bolt, terakhir juga begitu liat barbel “pa aku bisa angkat barbel.” Mereka mudah sekali meniru dari sekitar.

Akhirnya tempat ini selesai, juga sebagai tempat main kita semua, saya meleng sedikit, treadmill ini langsung jadi landasan pacu mobil – mobil mainan mereka.
.
Termasuk gaya khas chameleon legendaris Miracle di atas struktur diagonal yang menopang kanopi atap.
.
“Can u go higher ?” tanya saya.
“Only if somebody carry me.” Jawabnya
.
Ha ha ha, saya hanya mesem – mesem aja sambil ragu – ragu. wajar sekali jawaban yang jenius. Belajar dari anak – anak ini ternyata sederhana, masalahnya badan Miracle berat sekarang, membuat saya harus latihan otot biar kuat haha.
.

#realrichsjarief #miracleheavenrich

Kategori
blog

Miracle dan Heaven yang saling belajar satu sama lain

Miracle dan Heaven hampir tiap saat bersama, keduanya saling belajar satu sama lain. Kalau Miracle disiplin, Heaven akan ikut disiplin, malau Miracle belajar, Heaven akan ikut belajar. Ada sebuah tren ikut – ikutan dari anak kedua ke pertama. Saya tanya ke laurensia itu heaven lg ngapain sih di video ini, bisa joget2 goyang pinggul seperti itu, “dia lagi ngikutin micky waktu di depan film Disney kan ada.” Sebegitu cepatnya Heaven bisa menyerap tiap informasi sekitarnya.

Menariknya role model Heaven adalah kakaknya juga, begitupun juga pertengkaran yang dipantik hal – hal sepele, berebut mainan. Yang didasarkan pada keisengan yang tidak disadari dari sang adik, yang mendorong kakaknya sampai batas kesabaran. Kakak yang sepantasnya lebih tua menjadi contoh, begitupun Miracle yang mencontoh kami berdua seperti kereta api yang sambung menyambung, ada satu rel yang menyatukan menuju tua bersama kami orang tuanya. Termasuk rel supaya perut kami lebih terkendali dan tidak membuncit supaya terus lebih bahagia, haha.
.
#miracleheavenrichsjarief

Kategori
blog

Heaven’s and dad’s activity time at Tunas Muda school

Heaven’s and dad’s activity time at Tunas Muda school. And off course with mama. No more papa sibuk-sibuk, hari ini untuk Heaven, “pa ayo nanti terlambat !” Heaven sudah mengingatkan sejak pagi. Anak kedua adalah anak yang sangat pintar, ia belajar dari kakaknya dan ia berlimpah kasih sayang dari sekitarnya, ia akan punya titik tolak yang membuat dirinya selalu berarti dan lebih baik lagi. Sikap yang kritis, hati – hati membuatnya lebih teliti, santai, dan serius.
.
Hari ini kita main game, kerja sama yang menyenangkan,kayanya perlu sering – sering supaya awet muda. Haha
.
#realrichsjarief #miracleheavenrich

Kategori
blog

Miracle discusses about Metabolism with His Teacher

Miracle is discussing with his teacher, about metabolism. The way that he explained the concept to the teacher is really authentic, and really come from his heart. I really love his explanation, about what you eat, is what’s out from your body. He is improving in many aspect, including his drum with coach Adi, and care about his brother, We are fortunate to be blessed by him and his brother heaven. We hope that both of the brothers will be in harmony, brother is always brother, sister is always sister. Learning from my best friend, Hugo that relationship he told us, is the most important part to form happy life.

so many things happened in our life. Like your life, like my life, whatever happens, one thing i sure that it’s beautiful because the abstraction is a motive to bring kindness in this life. This abstraction is important to walk everyday life, for me it’s architecture, thinking, and sharing in family which is so important, for others maybe their business, their life and family. Those work and life balance is very important, let’s cherish both of it.

Happy weekend all.
#realrichsjarief

Kategori
blog

Merayakan Hari Kemerdekaan

Merdeka 17 Agustus 1945 bersama ketua RT tercinta, ibu kita semua. Tanggal 17 Agustus kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Di dalam usaha menyeimbangkan kehidupan studio dan keluarga yang berputar – putar tanpa henti, akhirnya hari ini bisa beristirahat dan menonton anak-anak ikut lomba. Dari satu hari sebelumnya ibu sudah telp kalau akan ada acara di RT, rumah Pulau Ayer. Miracle dan Heaven sangat antusias, dengan persiapan yang matang, ia berlatih makan pisang waktu pulang sekolah dengan bekalnya, ia bisa melahap satu pisang utuh langsung, dan alhasil dari latihannya dalam mukbang membuat ia menjuarai klasifikasi makan pisang.

Lain Miracle lain juga Heaven yang pun juga mendapatkan juara untuk memasukkan sedotan ke botol. Saya juga banyak bertemu teman-teman ibu dan ayah saya untuk bersilahturahmi, seakan-akan waktu berhenti dan kita bisa mengenang seberapa jauh kita sudah berjalan. Momen kemerdekaan jadi salah satu contoh bagaimana hal-hal kecil bisa membuat kita ingat momentum kebersamaan, menjadi satu dalam kemajemukan.

Dalam deru-deru kesibukan, dan keinginan untuk bisa seimbang dalam studio kami yang penuh dengan rasa panik, tidak nyaman, ketakutan. Tidak pernah menyerah untuk menggapai kesempurnaan dalam pekerjaan menjadi hal yang kami perjuangkan karena kami jauh dari kata sempurna. Kehidupan di belakang layar pekerjaan, keluarga, menjadi lapisan yang menyatukan dan membuat momentum ini justru bermakna dalam banyak kegiatan, relasi, dan harapan baru.

Saya senang bertemu lagi dengan guru saya Pak Apep dan juga bertemu kawan-kawan baru Gathi Subekti, Ivan Priatman, dan Irfan Fauzie dalam momen penjurian di Steel Architecture Award (IAI dan Bluescope). Hal ini membuat saya banyak belajar dari banyaknya variasi nominasi yang masuk.

Dalam kenangan panjang soal siapa kita, siapa saya, dan siapa yang masuk dalam kenangan. Kita semua merayakan doa kemerdekaan dalam satu kesatuan.

1 Ibu dan kami sekeluarga
2 Miracle mukbang pisang
3 Studio turbulensi
4 Rapat – Rapat, ketika hasil tidak sempurna
5 – 6 Studio hedon – hedon
7 Penjurian Bluescope
8 Presentasi kuliah di Mercubuana
9 – 10 Tanam – tanam lagi di Guha
.
#realrichsjarief

Kategori
blog

Hello Again, Farhan

Perjalanan memahami arsitektur bukanlah hal yang instan, dibutuhkan kesabaran untuk bisa mengerti lapisan demi lapisan. Proses memahami arsitektur dan apa yang kami lakukan di Guha merupakan perjalanan panjang yang terus kami refleksikan dalam keseharian, dan bersama orang-orang yang silih berganti.

Proses kami memahami apa yang terjadi di Guha dengan seluruh dinamikanya melatih kami memiliki penglihatan yang menyelam kebelakang, melesat jauh kedepan, tapi berpijak pada keseharian. Sama halnya seperti proses berarsitektur, perlu memahami konteks dan memanfaatkan eksisting sebelum membuat sebuah karya arsitektur. Apa yang terjadi dalam keseharian adalah fondasi bagi kami, seperti sebuah fondasi didalam sebuah bangunan.

Fondasi merupakan hal yang penting, begitu juga diranah videografi. Ada sebuah quotes yang mengingatkan kami pada perjuangan @farhannash dalam memahami arsitektur dan Guha, “A video without a storyboard is like a house without a foundation” Han Lung. Farhan pernah menjadi videografer beberapa tahun di Guha, dengan background skill broadcasting yang ia miliki, sangat membantu kami merekam hari-hari yang terjadi di Guha, momen-momen penting yang tidak akan terulang kembali, kelas-kelas yang ada di OMAH, hingga mendokumentasikan beberapa proyek di RAW Architecture. Usahanya dalam memahami arsitektur ia tuangkan kedalam storyboard yang kami buat bersama-sama, yang kemudian menghasilkan karya-karya video dan foto-foto tentang integrasi antara manusia, studio dan arsitektur.

Terimaksih sudah pulang kembali ke Guha @farhannash, bersama @ismipradina yang juga mencintai dunia arsitektur. Kami percaya bahwa dimana kita mencurahkan upaya terbaik kita, disitu kita dapat meraih keberhasilan. Semoga jalan yang kamu tempuh menjadi fotografer dan videografer arsitektur mengantarkanmu menjadi orang punya semangat belajar dengan hati dan terus bermanfaat bagi sesama. Kami menantikan cerita perjuanganmu selanjutnya.

@rawarchitecture_best

guhatheguild #realricharchitectureworkshop #studioculture #arsitekmuda #architecturestudentlife #architecturestudio #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Trip to Malaysia – Heavenrich vs the monkey 😆

Really enjoy this trip to Malaysia as we can see how my second son Heavenrich fought with monkey to defend his water bottle. Btw Heaven yang topi kuning ya bukan yang biru 😆


#realrichsjarief

Kategori
blog

DATUM+PLUS: PAM International Design Forum

We thank PAM, PAM President Prof. Ar. Adrianta Aziz and the team for making DATUM part of KLAF2024. We would also like to thank Ar. Dr. Lim Teng Ngiom, the director of KLAF2024, and all of the committees. Thank you for inviting us to be present in Kuala Lumpur to share with brothers and sisters who have unique works, perspectives, and breakthroughs. The venue was very discursive and open for discussion. There are so many multi-perspectives that we, as RAW Architecture, learn so much in the process.
.
Ar. Realrich, along Ar. Ho Chin Keng, Shin Tseng, and Fadzlan Rizan Johari, in the DATUM+PLUS class, discuss architecture and its discourses of multi disciplinary, materiality, collaborations in the whole.

Ar. Realrich presented daily and simple works many people have done in Indonesia, in our studio, working hand to hand with craftsmen, designers, and so many personal realities in daily life. However, from all these fragments, one common line unites us all: tropics, energy for diversity, and close respect for each other, with words and actions without pretension in the spirit of continuing to learn.
.
We also celebrated the other speakers’ presentations at the DATUM:GREEN and DATUM:KL, who had such positive energy and a heartwarming story. There was so much complexity in their own territory.
DATUM:GREEN: Chatpong Chuenrudeemol, Lucas Loo, Azman Zainal, and Mior Aizuddin
Datum:KL : Dr. Yu Kong Jian, Dato’Sri Ar. John Lau Kah Sieng, Prasanna Morey, Praveen Bavadekar, Bayejid M. Khondoker, Jo Nagasaka, Chen Xi, Rasem Badran, Jim Cumeron, and Kun Lim & Kun Sam.
.
We need to learn from so many people to show positive energy in the ups and downs process. We need so many dreams and hopes, personas and selves, and collaboration and community. Therefore, we do all the best for all of the restless spirit
.
@shin.tseng @ckho.architect @ezmenzainal @garyeow @fadzlan_rizan @seadbuild @bungaateelierdesign @lucasloozexian @chatarchitect

#rawreflection #pam #klaf2024 #datum #datum+plus #datum:kl #datum:green #archidex #kualalumpur #malaysia

Kategori
Press

Nusantara: Reposisi

Penulis: Abidin Kusno
Soft cover | Monochrome | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 108 hlm. | Release Date: August, 2020
ISBN: 978-602-5615-94-8

Sinopsis

Kata “nusantara” cukup populer. Tidak asing juga bagi dunia arsitektur. Ia pernah menjadi topik yang hangat dalam upaya “mencari” arsitektur Indonesia. Ada yang bilang arsitektur tradisional itu bagian dari arsitektur nusantara. Ada juga yang bilang “arsitektur tradisional nusantara” itu salah kaprah, karena tidak ada arsitektur semacam itu.” Meskipun suka dipakai dan sering diperdebatkan di dunia arsitektur, asal dan arti nusantara itu belum banyak kita ketahui, terutama penggunaannya di bidang ilmu di luar arsitektur. Dalam diskusi ini kita akan mencoba memperluas wawasan sambil mencari posisi yang baik untuk meletakkan “nusantara” dalam perdebatan arsitektur. Kita akan menelusuri pengertian dan penggunaan “nusantara” dalam lima posisi: sebagi ruang 1) Periferi; 2) Geo-body; 3) Bahari; 4) Hibrida; dan 5) Resistensi.

Price: Rp75.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

Nusantara: Reposisi

Penulis: Abidin Kusno
Soft cover | Monochrome | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 108 hlm. | Release Date: August, 2020
ISBN: 978-602-5615-94-8

Sinopsis

Kata “nusantara” cukup populer. Tidak asing juga bagi dunia arsitektur. Ia pernah menjadi topik yang hangat dalam upaya “mencari” arsitektur Indonesia. Ada yang bilang arsitektur tradisional itu bagian dari arsitektur nusantara. Ada juga yang bilang “arsitektur tradisional nusantara” itu salah kaprah, karena tidak ada arsitektur semacam itu.” Meskipun suka dipakai dan sering diperdebatkan di dunia arsitektur, asal dan arti nusantara itu belum banyak kita ketahui, terutama penggunaannya di bidang ilmu di luar arsitektur. Dalam diskusi ini kita akan mencoba memperluas wawasan sambil mencari posisi yang baik untuk meletakkan “nusantara” dalam perdebatan arsitektur. Kita akan menelusuri pengertian dan penggunaan “nusantara” dalam lima posisi: sebagi ruang 1) Periferi; 2) Geo-body; 3) Bahari; 4) Hibrida; dan 5) Resistensi.

Price: Rp75.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
blog

Perjalanan kami ke China

China dan pecahan- pecahan nya memang merupakan salah satu negara dengan kemampuan berhitung, membaca tertinggi di dunia bersama-sama Finlandia. Kedua regional ini ada di 10 teratas dunia, menjadi sebuah refleksi apa saja yang mereka lakukan dengan kerja keras, kritis, dan kolaboratif tentunya. Pendidikan karakter akan jadi kunci untuk tantangan ke depan padahal 1950 an dulu membaca dan menulis menjadi sebuah hal yang langka. Kemauan belajar, kerja keras dan kesederhanaan menjadi banyak hal yang bisa dipelajari.
.
Shanghai, Beijing, Ningbo, Hangzhou, perjalanan belajar bersama kami, satu keluarga, arsitektur, menghargai waktu, proses belajar, dan membuka mata. Laurensia berangkat di hari yang berbeda, saya ke Hohhot dulu karena ada lecture disitu. Sempet deg-degan karena ini kali pertama bawa anak – anak, dan Laurensia and kids doing it very well, eksplore budaya dan kota yang majemuk.
.
Dari taman Yu milik keluarga Pan, 1001 pohon, 1001 toples di Shanghai kami belajar filosofi kehidupan dari budaya China, dari Forbidden City, Temple of Heaven, dan Summer Palace kami belajar tidak mengeluh jalan berkilometer, mendapatkan sejarah yang dulu dijalani dalam abad – abad yang lalu. Kami juga belajar diajak oleh tim prof Yehao SUp Atelier untuk keliling Tsinghua untuk merasakan suasana salah satu kampus yang sungguh bagus.

.
Dari cara makan, cara berpikir kita perlu belajar untuk membuka mata, banyak cara pandang yang berbeda dengan apa yang dipikirkan, perjalanan selalu menjadi alat untuk refleksi. Kami belajar kekayaan seni, filosofi, kemanusiaan, sejarah, dan juga ekonomi. Musik dipilih oleh Miracle, tentang kebahagiaan, friendship in new year, new adventure. Tuhan berkati semua yang baik untuk kita semua.
.

#realrichsjarief

Kategori
Press

Alvar Aalto – The Magic of Architect’s Life

Penulis: Realrich Sjarief
Soft cover | Monochrome  | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 390 hlm. | Release Date: August, 2020
ISBN: 978-602-5615-93

Sinopsis

Buku Alvar Aalto adalah hasil riset OMAH Library tentang karya beliau dengan kunjungan langsung di 13 karya beliau beserta 300+ foto dengan analisa eksperensial dan metode yang beliau kerjakan. Keajaiban Alvar Aalto menjadi contoh pandemi dalam dunia desain dalam artian positif. Dimana kerja kerasnya telah menyebar di seluruh dunia dari arsitektur hingga desain produk bersama Arteknya.

Masa pandemi ini menjadi perenungan panjang dalam penyelesaian buku ini. Sehingga kami melengkapinya dengan investigasi terhadap pandemi itu sendiri, dan bagaimana proses kreatif melampaui pandemi-pandemi yang sudah pernah ada hingga yang dilakukan saat ini di pandemi COVID-19.

Price: Rp300.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

TADAO ANDO: Let There be Light

Penulis: Eka Swadiansa
Soft cover | Monochrome  | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 401 hlm. | Release Date: April, 2021
ISBN: 978-623-96215-1-3

Sinopsis

Buku ini adalah buku desain. Semacam ‘reporting from the front’ dari ‘Ziarah Ando’ yang dilakukan hampir 12 tahun yang lalu ketika penulis memenangkan 2009 OFIX-Ando Programme. Namun sebagai buku desain, buku ini tidak beroperasi seperti layaknya monograf arsitektur pada umumnya.

Badan tubuh buku ini ditulis dalam 10 bab, untuk membahas 7 karya yang meliputi: Galleria Akka, The Time’s I & II, Church of the Light (and Sunday School), Honpuku-Ji (atau Water Temple), Chikatsu Asuka Museum, Sayamaike Museum dan Awaji Yumebutai. Bersama beberapa karya lainnya, ketujuh proyek tersebut seringkali diidentifikasi sebagai proyek-proyek ‘klasik Ando’ – yakni proyek-proyek yang dibangun ‘di era sekitar penerimaan Pritzker Architecture Prize (1995)’ antara akhir dekade 80an hingga awal 2000an.

Price: Rp198.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

Omah: Membaca Makna Rumah Jawa

Penulis: Revianto Budi Santosa
Soft cover | Monochrome  | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 160 hlm. | Release Date: July, 2019
ISBN: 978-602-5615-78-8

Sinopsis

Rumah Jawa adalah tempat untuk membina, mengembangkan, dan mentransformasikan budaya melalui praktik berkehidupan yang diselenggarakan di dalamnya. Buku ini memaparkan secara rinci rumah sebagai tempat untuk aktivitas keseharian, untuk pelaksanaan upacara dan perhelatan, serta untuk panggung seni pertunjukan. Dalam ketiga praktik tersebut rumah dimaknai dan dihayati oleh warganya. Berusaha untuk menyajikan spektrum yang luar, buku in mengkaji empat rumah Jawa di Yogyakarta dalam berbagai skala, dari bangunan tunggal yang kecil, hingga rumah pengusaha, dalem pangeran, dan Kraton yang terdiri atas lebih dari seratus bangunan. Melibatkan diri pada sejumlah peristiwa di rumah-rumah tersebut, penulis sangat akrab dengan kehidupan didalamnya sehingga mampu menyajikan rinci kehidupan dan praktik di dalamnya untuk kemudian diangkat dalam wacana budaya meruang yang luas. Diterbitkan pertama kali hampir 20 tahun yang lalu, Omah adalah referensi yang tersaji sederhana namun mampu mengungkapkan kekayaan makna dalam hidup meruang.

Price: Rp150.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

Antologi Kota Indonesia 2

Penulis: Warmadewa Research Center
Soft cover | Monochrome  | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 380 hlm. | Release Date: October, 2019
ISBN: 978-602-5615-83-5

Sinopsis

AKI dan OMAH Library kembali meluncurkan sebuah buku serial yang bertajuk “Antologi Kota Indonesia” seri 1 dan 2.

Kota-kota terus tumbuh sebagai fenomena karya manusia. Pertumbuhan ini terus melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru. Pemikiran dan tindakan akan terus menghasilkan kajian-kajian perkotaan terintegrasi sehingga studi tentang perkotaan akan terus dikembangkan dengan diskursus intelektual yang lebih dalam. Buku ini adalah upaya untuk terus menghadirkan kajian-kajian perkotaan dengan latar belakang multi-disiplin dan multi-perspektif.

Price: Rp150.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

Antologi Kota Indonesia 1

Penulis: Warmadewa Research Center
Soft cover | Monochrome  | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 290 hlm. | Release Date: October, 2019
ISBN: 978-602-5615-82-5

Sinopsis

AKI dan OMAH Library kembali meluncurkan sebuah buku serial yang bertajuk “Antologi Kota Indonesia” seri 1 dan 2.

Kota-kota terus tumbuh sebagai fenomena karya manusia. Pertumbuhan ini terus melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru. Pemikiran dan tindakan akan terus menghasilkan kajian-kajian perkotaan terintegrasi sehingga studi tentang perkotaan akan terus dikembangkan dengan diskursus intelektual yang lebih dalam. Buku ini adalah upaya untuk terus menghadirkan kajian-kajian perkotaan dengan latar belakang multi-disiplin dan multi-perspektif.

Price: Rp150.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

Arsitektur Radakng

Penulis: Yoris Mangenda
Soft cover | Monochrome  | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | Release Date: October, 2020
ISBN: 978-602-5615-95-5

Sinopsis

Buku ini memaparkan bagaimana pengaruh perkembangan budaya kehidupan komunal masyarakat Dayak Kanayatn, Desa Saham, terhadap morfologi bentuk dan ruang hunian mereka yang masih eksis hingga sekarang. Studi dan dokumentasi Radakng desa Saham mengkaji sisi arsitektural terkait tatanan ruang, filosofi, bentuk, struktur, dan konstruksi yang merupakan kemewahan warisan arsitektur leluhur Dayak Kanayatn, masih berdiri kokoh dan senantiasa dijaga serta dilestarikan hingga kini. Radakng sejatinya adalah sebuah wadah komunal tempat mereka bernaung, berlindung, membangun peradaban, dan melepaskan jubah individualisme untuk membangun sebuah antusiasme yang menjadi landasan utama budaya hidup komunal yang mereka jalani.

Price: Rp120.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

Arsitektur Lobo Melintas Waktu 1: Lobo Ngata Toro

Penulis: Komunitas Tadulako Tradisional
Soft cover | Monochrome  | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 250 page | Release Date: September, 2019
ISBN: 978-602-5615-79-5

Sinopsis

Arsitektur Lobo Melintas Waktu seri kesatu berjudul “Lobo Ngata Toro” bekerjasama dengan JAAI (Jaringan Arsip Arsitektur Indonesia) yang ditulis oleh Komunitas Tadulako Tradisional. Di Ngata Toro, adat tumbuh dari tempat (mungki). Arsitektur Lobo adalah hasil dari pemikiran orang tua dan tetua adat untuk mendirikan tempat bermusyawarah. Dengan demikian maka Lobo merupakan bagian dari sarana dan prasarana dadat untuk menemukan, merembugkan, dan meutuskan ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar hidup manusia, sebagai pembimbing, sebagai pembina dalam berkehidupan.

Sehingga dapat dikatakan tujuan pertama kali berdirinya Lobo adalah sebagai wadah berlangsunganya adat dan untuk merumuskan adat, fungsinya saat ini merupakan bagian dari adat itu sendiri. Selain daripada itu, Lobo yang berada disini merupakan salah satu kekayaan masyarakat adat Ngata Toro yang bertahan dan berkesinambungan hingga saat ini.

Price: Rp120.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

MAMASA: Ekspedisi Lima Banua

Penulis: Arsitektur Hijau
Soft cover | Full Colour | Bahasa
Indonesia
14.8cm × 21cm | 170 page | Release Date: April, 2021
ISBN: 978-602-5615-96-2

Sinopsis

Meski sistem strata sosial sudah ditinggalkan, jejak cara hidup warga Mamasa zaman dulu masih tercermin pada perbedaan wujud fisik Banua seperti pada warna, ornamen, elemen struktur, dan ukuran bangunan. 5 jenis banua berdasarkan tingkat strata sosial tinggi-rendah suku To Mamasa masa lampau yaitu: Banua Layuk, Banua Sura, Banua Bolong, Banua Rapa, Banua Longkarin. Pembangunannya adalah hasil runtutan trial-eror yang panjang, menggunakan material alam lokal, proses membangunnya sarat makna, gotong royong dan telah menjadi tradisi antar generasi.

Dalam buku ini, kami ajak pembaca menikmati keindahan arsitektur Mamasa melalui beragam sketsa, foto, dan penggambaran observasi yang menyentuh hati. Buku ini menggarisbawahi pentingnya mengalami berbagai macam khasanah akar budaya Indonesia sebagai sumber inspirasi yang maha dahsyat.

Price: Rp150.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
Press

SPIRIT_45: Cultural Hypnosis and an Unfinished Manisfesto

Writer: Andy Rahman, Eka Swadiansa, Realrich Sjarief
Soft cover | Monochrome | English

14.8cm × 21cm | 208 page | Release Date: July, 2018
ISBN: 978-602-5615-45-0

Synopsis

SPIRIT_45 is numerous sessions of dialogue, expansive moments of discourses, and odes to past architectural marvels. Andy Rahman, Eka Swadiansa, and Realrich Sjarief -3 young Indonesian architects- gathered and collided, drowned in endless discussions, to continuously reflect the Indonesian architecture scenery in the perspective of their daily practices. Of concepts and reality, of abstracts and details, of scale and magnitude, of time and space, of simplicity and complexity, of design visions and construction strategies –of all the oxymoron culminated within the limitation of their young practices- SPIRIT_45 is an attempt to understand the spirit of our time. To go beyond the mainstream popular cults, and be freed from hegemonic status quo of ‘formal’ history. A struggle to define new informality, a paradigm shift possibly of the spirits from the distant past. A journey among friends in search of collective identities.

Price: Rp150.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
blog

Studio Garasi, a Canvas for Creativity

From the very beginning of our practice, experimenting with materials has been a part of our process. This ethos is deeply rooted in our early days at the Garage Studio. Our front facade was a product of experimentation with plywood wrapped in teak wood and punctuated with circular perforations. This facade served as both cover and door, adaptable to our needs.

The garage’s front space was a canvas of creativity, with black-painted walls adorned with chalk and marker scribbles alongside sketches portraying an aerial city view. Einstein’s words, “If at first, the idea is not absurd, then there is no hope for it,” were engraved on the floor, reminding us to be brave enough to take a step and be willing to innovate.

Despite its modest dimensions, the front terrace was versatile, transforming from a gathering space to a reception or seating area as required. More than just a workplace, this Garage Studio had also become a home for those inside, fostering leisure alongside focused work and learning.

#refleksiraw #kilasbalikraw #studiogarasi #realricharchitectureworkshop #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
Press

Soul of Borobudur: Filosofi Mandala Chakrawartiin

Penulis: Hendrick Tanuwidjaja
Soft cover | Monochrome | Bahasa
Indonesia
21cm × 29.7cm | 371 page | Release Date: November, 2023
ISBN: 978-623-96215-9-9

Sinopsis

Buku Soul of Borobudur, Filosofi Mandala Chakravartin bercerita mengenai nilai-nilai atau esensi dari Candi Borobudur, bahwa ia bukanlah sekadar monumen mati, melainkan monumen hidup yang relevan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Di dalam buku ini, penulis berusaha menyadarkan pembaca mengenai betapa hebatnya bangsa Indonesia. Pada era pembangunan Candi Borobudur, peradaban Nusantara banyak dibawa jauh ke Jepang, Cina, Korea, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan hingga ke Tibet. Penyebaran peradaban tersebut kemudian memantik munculnya peradaban-peradaban baru di negara-negara tersebut.

Bagi penulis, Borobudur bukan sekadar cerita perjalanan masa lampau. Borobudur menjadi mandala dalam diri setiap manusia yang direpresentasikan secara monumental. Borobudur menggambarkan kehidupan keseharian yang mengajak kita untuk lebih mengenal dan menggali diri sendiri.

Harapannya, dengan menghayati isi dari buku ini, pembaca juga dapat terinspirasi untuk lebih mencintai Indonesia dan turut berkontribusi membawa Indonesia maju ke depan dengan menengok kisah dari masa lalu.

Pembuatan buku ini didukung oleh banyak sekali mandala yang membantu penulis. Di antaranya ada Ivan Chen dan Ninoi Kiling, CEO dan kepala pengembang dari studio yang membuat game moba pertama di Indonesia. Merekalah yang membantu penulis menetapkan Borobudur sebagai titik awal sudut pandang buku ini. Setelah naskah selesai ditulis, tantangan belum berhenti. Di sanalah dukungan OMAH Library masuk dengan segala naik-turun, suka-duka, yang membuat penulis masih merasa menjadi manusia di dalam prosesnya.

Pada akhirnya, walaupun buku ini lebih banyak menekankan kecintaan kepada Indonesia, ia tetap membebaskan pembaca untuk menyukai sesuatu yang berasal dari luar. Namun, sama halnya dengan mandala diri, kita perlu mencintai diri sendiri terlebih dahulu untuk dapat mencintai orang lain.

Dengan demikian, kita akan menjadi mandala yang utuh dan kaya.

Price: Rp400.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
projects

Project 25 – Kofuse

Project Description

Kofuse Coffee & Dine is an F&B project made for the brand of Kofuse Retro Fit Artisan Fine Dining, located on Cikajang Street, Kebayoran Baru, South Jakarta. It is a renovation project from a previous nail art and spa building. Almost 75% of the existing structure is re-used. Some structural columns with an arch shape are added to strengthen the roof structure. The arch columns are also applied to the facade as an additional structure to support the canopy we made to shade the inner building from direct sunlight and heavy rainfall, considering its context in the tropical climate of Indonesia. The arch shape of the columns is then mirrored to the top, making the impression of minarets. The facade is illuminated by the lighting path, giving a dramatic effect once we enter the site at night and standing out the minarets as an anchor point on the face of the T-section.

The canopy grille which is refracted by light displays an artistic side that is emphasized by dynamic lighting lines and is framed by curved walls showing the beautiful side of this building.

After the pandemic of COVID-19, people get used to do activities from home. Therefore, we tend to provide a space that can stimulate the imagination and give a home vibe, with an intimate feeling and a familiarity of a poetic space. We divide the Kofuse Cafe & Dining area into 3 zones, including the main room, the private space, and the front yard. The private space results in a group of micro-rooms that imitate several adjacent islands, private enough for discussion activities but still can look outside through the vista.

In the indoor dining area, there is an existing building column in the middle, this column is then covered with a new curved structure that is in harmony with the other designs and is used as a dining area as well.

The walls are made from exposed concrete and masonry, with wood as a list to give a transition effect. The ceiling is covered by bamboo woven and layered with UV plastic behind it to keep the cool air from AC from flowing out through the ceiling. It gives the cafe the nuance of an unpretentious and aesthetic museum or gallery. All the materials used in this project can be easily found in nearby areas, even the andesite used for the front yard, promoting local craftsmanship. However, the localized approach is taken as a method to adjust the after-pandemic condition.

Finally, the era of COVID-19 really teaches us that something valuable in the future doesn’t always have to be expensive. The localized and adaptive reuse approach can always be a choice we offer to the client. Moreover, it gives us the spirit to be optimistic and always rise after the critical condition.

There seems to be a unity of the various materials that exist in this cafe bar area, wooden floors combined with hexagon tiles, bricks rubbed with white paint, and woven bamboo ceilings look harmonious with all the elements in the building.

Project Credit :

Completion Year: 2022
Gross Built Area (m2/ ft2): 255,96 sqm
Project Location: South Jakarta, Indonesia

Lead Architect : Realrich Sjarief

Design Team : Realrich Sjarief, Andriyansyah Muhammad Ramadhan, Melisa Akma Sari, Agustin
Support Team : Avinsa Haykal, Prasetyo Adi Nugroho, Sharfina Nur Dini
Supervisor : Muhammad Eno

.

Photographer | Photo Credits: Nilai Asia, Aryo Phramudhito
Plan, Curatorial, and Illustration Team : Alya Hasna Rizky Riandita, Lu’luil Ma’nun, Imega Reski

Kategori
blog

Laurensia’s Birthday

Hari ini Laurensia ulang tahun ke 42, senang sekali melihat keceriaannya setelah selesai sakit kami. Ia adalah wanita yang sangat sederhana, ngga banyak keinginan, kemauan yang berlebih-lebihan dan hal itu mewarnai kesederhanaan keluarga kami. Ia adalah partner kehidupan, keluarga, dan memegang banyak pintu, kunci dari keluarga dan juga studio. Dokter gigi yang juga membantu mengorganisasi studio sehingga anak- anak studio bisa lebih bahagia.
.
Anak – anak kami sudah cukup besar, ada Miracle dan Heaven yang memiliki sifat – sifat unik. Kami percaya bahwa setiap anak memiliki jiwa yang baik dan bersahaja, seringkali pada saat ia dewasa ia menjadi terpapar dengan jiwa orang tuanya yang memiliki kebaikan dan juga berbagai macam trauma/rasa kenangan yang perlu diselesaikan. Laurensia dari dulu kami bersama dari tahun 2008 banyak membantu saya untuk arsitektur juga pribadi, sisi trauma saya, ia mengerti, memaafkan, dan menyabarkan saya pribadi. Bahkan untuk nonton bioskop senang-senang, dulu ia yang mensupport saya dengan praktiknya ketika uang saya habis karena memulai karir tidak pernah mudah.
.
Laurensia adalah orang yang perasa dan halus, ia mampu merasakan, mencium hal – hal yang tidak bisa dirasa oleh orang biasa, dan menajamkan intuisi saya pribadi sehingga bisa merasakan energi baik, niat baik, proses yang selalu berputar dalam keluarga kami.
.
Dari dirinya saya mendapatkan karunia 2 anak yang baik – baik. Seiring dengan kehidupan waktu kami yang berhitung mundur, saya ingin dia bahagia. Di balik ketidak sempurnaan kami semua, bagi saya inilah kesempurnaan yang layak dijalani. Berhitung mundur di balik rambut putih saya yang mulai muncul sehingga kehidupan ini akan mulia dan sempurna demi Tuhan yang kami pegang teguh. Semesta ini begitu luas dan indah dan ini bermula dari ibu sebagai pusat galaksi kecil, yaitu keluarga kita masing – masing.
.
Photograph @_yophrm
#realrichsjarief #miracleheavenrich

Kategori
blog

Gunawan Tjahjono, Cahaya yang Berguna

Pak Gunawan Tjahjono, seperti namanya “cahaya yang berguna”, adalah seorang professor yang saya selalu rindukan karena pengetahuan arsitekturnya yang berlimpah, dan banyaknya buku yang dibacanya.

Saya banyak menanyakan hal-hal terkait perjalanan hidupnya, sampai ke bagaimana seorang praktisi dididik, mengenal pola dan bagaimana melatih bahasa pola. Saya yang dulu berada dalam praktik kecil yang terbatas di ruang garasi, sekarang tersadar bahwa dalam praktik, bahasa pola perlu dilatih dalam ruang-ruang imajinasi & teori.

Dari diskusi ini saya belajar relasi antara 3 dunia: 1) grammar (pola), 2) rasa, dan 3) spiritual. Saya ingat grammar dipelajari melalui kekayaan wawasan, bercerita melalui kekuatan analitis.

Hal itu saya dapatkan ketika Pak Gun bercerita kembali tentang kekuatan story-telling Charles Moore dan metode analitik berpikir kritis Horst Rittel.

Cerita kedua adalah bagaimana menajamkan rasa melalui prinsip RSVP (resources, score, value, perform): sebuah perjalanan mengenal diri, menghidupkan kembali kepekaaan dengan merasakan kehilangan indra, membangun sistem diri yang definitif & terukur, bertindak secara kolektif, hingga pada akhirnya kita bisa menemukan makna dari aksi kolektif ini dalam sebuah proses kreatif.

Ia membahas pentingnya rasa melalui pengalaman arsitektur yang tidak hanya analitis, tetapi menembus kualitas atmosferik. Bukan hanya soal bentuk, tetapi perpaduan indra, teknik, cerita, dan kesadaran, yang layaknya beliau alami pada karya-karya Louis Kahn seperti Kimbell Art Museum & Salk Institute, ataupun figur Eko Prawoto.

Pak Gun cerita beliau sedang menyusun tulisan tentang domestifikasi arsitektur, sebuah titik di mana ia mencari definisi demi definisi kehidupan manusia & arsitekturnya.

Saya ingat beliau berkata, “Seorang pengajar tidak perlu merasa bisa memiliki semua jawaban dari pertanyaan murid-muridnya, tapi ia perlu menjawab ‘mari kita cari bersama-sama’.” Dari sini saya merasa relasi arsitektur Indonesia ada di 3 antara: antara pola, antara rasa, dan antara jiwa yang membentuk ikatan batin untuk pulang.

Terima kasih Pak Gun sudah menemani kami semua untuk mencari jawaban & juga pertanyaan-pertanyaan baru.

Pulangnya beliau mau membeli buku. Saya tanya, “Yang mana, Pak?”

Beliau jawab, “Yang dua ini, Alvar Aalto dan Methodgram.”

“Pak, ini ditulis sama saya dan Anas Hidayat, disunting sama Johannes Adiyanto. Buku Methodgram inget ngga, Pak? Saya ditantang sama Agustinus Sutanto, ‘Kalau kamu tidak bisa menemukan metodemu sendiri, kamu ngga akan bisa berkembang. Lihat Bjarke Ingels, Vo Trong Nghia.’ Setelah itu saya tulis buku ini, yang kadang saya ngga ngerti apa yang saya tulis sekarang.”

“Ya, semua bertumbuh kembang,” jawabnya. “Bagusnya begitu.”

“Kamu tau Alvar Aalto? Dulu Pak Wondo pernah cerita ke saya kalau gedung konsernya didesain supaya jari jemari pianisnya terlihat dari tempat duduk. Saya mau baca buku itu.”

Terakhir saya bilang, “Pak, Antologi Kota 1 & 2 ini dibuat oleh Mas Cahyo, Mas Gede, Mas Fritz, dan teman-teman.”

“Oooh iya. Oke, saya mau bayar semua.”

“Ngga usah, Pak. Ini semua sudah dibayar, saya tambahin beberapa buku ya, Pak. Kan untuk perpustakaan Bapak juga. Kita berbagi ilmu.”

Lima tahun setelah perjumpaan saya dengan Pak Gun di Bintaro Exchange—beliau menjelaskan relasi Jung, Archetype, dan kekuatan metode Rittel—beberapa buku, diskusi tentang arsitek & arsitektur mumpuni sudah terbit, dan cakrawala baru yang saya dapatkan dulu tidak ada habis-habisnya sampai sekarang, dan saya selalu menunggu apa yang akan saya lakukan besok pagi. Saya sebut itu “The Night Flame”, malam yang membara. Sebuah pantikan api yang dinyalakan di lubuk hati, yang saya perlu banyak berterima kasih pada beliau atas pencerahan dan penemanannya sampai sekarang.

#rawinspirasi


Kategori
Press

Pamflet OMAH : Gerak dan Sentuhan Tari Arsitektur Berkelanjutan

Realrich Sjarief, Hanifah Sausan N., Imega Reski, Jocelyn Emilia, Arlyn Keizia, Lu’luil Ma’nun, M. Nanda Widyarta
Soft cover | Monochrome | Bahasa | 14,8cm × 21cm | 243 page | Release Date: (coming soon)
ISBN: dalam proses pengajuan ISBN

Sinopsis

Setelah terbitnya #1 Alpha: Never-ending Dialogue in the Strange Architecture Library pada tahun 2016, OMAH Library kembali mempublikasikan Pamflet: Gerak dan Sentuhan Tari Arsitektur Berkelanjutan. Volume ini diterbitkan dalam bentuk pamphlet sebagai alat berdiskusi bagi kami. Dalam ranah global, ide mengenai pamflet ini kami dapatkan dari publikasi Pamphlet Architecture yang diprakarsai oleh Steven Holl dan William Stout pada tahun 1977. Dalam ranah Indonesia, publikasi semacam ini juga pernah dilakukan oleh AMI (Arsitek Muda Indonesia) melalui pameran dan publikasi yang bertajuk “Penjelajahan 1990-1995”. Menurut kami, pamflet menjadi media yang menyuarakan sudut pandang berbagai individu terhadap isu yang sedang berkembang. Mereka menggunakan pamflet untuk membuat anak-anak muda sadar, mempertanyakan banyak hal, dan membuat perubahan.

Di dalam pamflet kali ini, OMAH Library menyajikan berbagai realitas mengenai permasalahan lingkungan yang sedang kita hadapi bersama. Kita hidup di satu dunia yang sama dengan bentangan geografis dan dinamika di dalamnya. Pandemi COVID-19 dan krisis udara bersih telah menyadarkan kita untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Kami memulai dengan hipotesis bahwa ide arsitektur yang dibangun di atas pemikiran yang kritis akan berkelanjutan, menerus, dan dapat diturunkan hingga ke generasi selanjutnya, serta menjadi cerminan kegeniusan lokal masa kini untuk masa depan.

Beberapa contoh penerapan arsitektur yang demikian dibahas di pamflet ini, mulai dari teknologi vernakular perkotaan Iran dengan bentuknya yang memukau hingga ide pembuatan brise soleil oleh Le Corbusier di Perancis yang terinspirasi dari India dengan pola-pola dinding, seperti kerawang, kisi-kisi, dan berbagai macam ornamen tampak lainnya. Hal tersebut juga muncul di Indonesia, seperti di Masjid Turen dengan karakteristik humanistiknya dan pandangan Silaban dalam praktiknya di Jakarta ataupun di kota-kota besar lainnya yang merujuk ke arah modernisme dengan tetap memperhatikan konteks.

Artikel-artikel pada pampflet ini kami lengkapi dengan materi kelas yang pernah disampaikan oleh Andhang R. Trihamdani, tulisan M. Nanda Widyarta, dan narasi wawancara dengan tokoh arsitek mumpuni seperti Eko Prawoto, serta kontributor-kontributor lainnya: Eka Swadiansa, Rezki Dikaputera, M. Cahyo Novianto, Eko S. Darmansyah, I Nyoman Gede Mahaputra, Prasetyoadi, Dian Fitria, Doti Windajani, Adli Nadia, Mitu M. Prie, Hugo Diba. Meskipun dengan latar belakang yang beragam, para kontributor ini dan teman-teman OMAH Library bergerak menuju satu visi yang sama, menuju ekosistem arsitektur Indonesia yang lebih baik. Pamflet ini kami tutup dengan semangat untuk tidak pernah menyerah dalam menyongsong harapan di tengah dinamika kondisi lingkungan di masa kini dan masa depan.

Normal Price: Rp400.000,-
Student Price: Rp200.000,-

ORDER THIS BOOK

Kategori
blog

My 3 best person

My 3 best person, musketeer that I love most, Laurensia, mother of Miracle and Heaven.

Waktu berjalan dengan cepat, di balik keseharian yang menderu-deru, letih,mereka yang menemani keseharian dalam cinta, saya bener2 bersyukur bisa bersama – sama keluarga kecil ini ditambah sun, moon, star (3 marmut) Love u mom and kids.
.

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Holiday bersama Singa Laut

Pagi – pagi, anak – anak sudah bangun ya wis kami kenalin temen baru namanya jessica si singa laut ❤️ ngerasain dikilik2 sama kumisnya, kata orang kalau dikilik sama kumis singa laut bawa ke keberuntungan beberapa tahun ke depan. Selamat Lebaran lagi ya happy holiday all.

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Heaven Belajar Gambar

Heaven mulai belajar gambar, dunianya berkisar antara bermain – main sama kakaknya, mukanya yang lucu dan menggemaskan, apalagi ketika ia nanya “whyyy, whyy ?” Siap2 jawab terus dan disambut dengan “whyy , whhy lagi”

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Anniversary Kami yang ke 12

Terima kasih untuk 12 tahun yang indah @laurensiayudith

Tgl 25 september kemarin hari anniversary kami yang ke 12, 12 tahun merupakan saat-saat yang tidak mudah tetapi selalu saya syukuri. Dibalik 4x rasa kehilangan calon buah hati kami, sekarang ada dua malaikat yang selalu menemani kami setiap harinya. Keduanya lucu-lucu, yang satu jenaka dan ceria, yang kedua serius dan brilliant. Dibalik perbedaan keduanya, mereka saling belajar satu sama lain. Banyak orang bilang bahwa cerminan kejeniusan anaknya berasal dari kejeniusan ibunya, dan saya sangat percaya akan hal itu.

Dibalik canda tawa yang terjadi diantara kami, saya percaya bahwa yang terbaik itu baru akan terjadi. Dibalik seluruh kesuksesan dan kebagiaan, itu ada penghayatan akan rasa kehilangan, duka, serta progress yang tidak mudah dalam menjadi ini semua. Saya bersyukur dibalik seluruh kesibukan saya yang tidur kadang-kadang hanya 4-6 jam sehari, Laurensia selalu menyediakan saya multi vitamin sampai obat sensei, mulai dari suplemen-suplemen yang tradisional hingga yang futuristik. Tapi yang terpenting dari saya adalah dibalik semua yang tersuguh di meja makan, baik itu vitamin, makan dan minuman yang luar biasa enak, ada vitamin “C” cinta yang tidak ternilai.

Saat-saat anniversary kami dihabiskan dengan makan makanan yang sederhana saja di sebuah Food Court yang enak menurut kami. Itu adalah hal-hal biasa yang kami syukuri setiap harinya.

Rasa nyaman, rasa aman, kebiasaan yang membekas, itu adalah surga dan mujizat itu hadir dan nyata didalam hidup saya. Dan itulah keadaan Laurensia yang memberikan saya dua anak yang luar biasa, @miraclerichsjarief dan Heavenrich. Laurensia, terimakasih untuk segenap hati yang sudah diberikan untuk saya. Saya sangat bersyukur bertemu dirimu di kehidupan sekarang. Semoga Tuhan memberkati seluruh hati, kebaikan, dan semua yang kamu punya di dalam waktu yang terbatas ini.

Happy anniversary yang ke 12 Laurensia, love u to the Moon, terima kasih Tuhan sudah memberikan malaikat yang menemani hidup saya sampai saya sampai saya bertemu diriMu satu saat nanti.

Saya sudah mengenal @laurensiayudith istri saya sejak kelas 4 SD, pada waktu saya baru pindah dari Surabaya ke Jakarta. Saya masuk di SDK Sangtimur, pindahan dari SD Petra Surabaya. Ia duduk di samping saya, perawakannya ketus dan suka iseng pada saya yang logatnya Suroboyo-an.

Waktu di Surabaya saya terbiasa melontarkan pertanyaan-pertanyaan di waktu guru bertanya “Apakah ada pertanyaan?”, dan juga menjawab ketika guru bertanya ” Siapakah yang mau menjawab? “, Saya pasti akan mengacungkan tangantangan. Dia dalam hati mungkin Laurensia bertanya-tanya “Siapa ini anak kok tunjuk tangan terus? “, sampai-sampai guru saya bilang ” sudah-sudah, kamu jangan menjawab-jawab lagi, kamu terlalu sering mengangkat tangan.

Pertemanan kami berlanjut sampai ke bangku SMA dan kami ada di satu kelas yang sama, kelas IPA 1 kumpulan anak-anak yang kutu buku. Saya sendiri waktu itu senang bermain pingpong dan selalu pulang sore, sangat berbeda dengan Laurensia dulu yang selalu pulang telat waktu. Kami ada di dua buah dunia yang berbeda. Dunia Laurensia adalah dunia kepastian, sedangkan dunia saya adalah dunia bagaimana saya bisa menikmati setiap harinya secara maksimal.

Saya suka berkeliling berjalan-jalan . Tapi hobi saya yang saya suka adalah saya terlalu terlambat datang ke sekolah, karena saya bisa menikmati pagi dulu dan bertegur sapa dengan orang-orang orang di luar sekolah. Dan kadang-kadang sudah tau terlambat, tapi saya masih berdo’a dulu di gereja, dan banyak yang bertanya saya sedang apa. Kemudian saya bilang “Saya berdoa”.

Waktu itu status kami adalah sebagai teman biasa, hingga kemudian kami berpisah dan tidak bertemu lagi, karena saya melanjutkan kuliah ke Bandung, dan Laurensia berkuliah di Jakarta i tahun 2000.

Suatu saat di tahun 2008, ada satu email yang saya kirim ke Laurensia dijawab. Padahal email tersebut sudah saya kirim sejak 2 tahun yang lalu. Isinya adalah balasan dari Laurensia dan saya sangat senang. Di email tersebut kami bertegur sapa dan saya baru tau kalau dia baru bisa membalas email tersebut karena dia sedang tidak punya pacar.

Yang saya syukuri pada saat itu adalah saya merasa nyaman, sebagai teman berbicara, berdiskusi, hingga mendiskusikan masa lalu dan masa kini, untungnya saya juga jomblo. Indahnya masa lalu waktu bersama-sama di bangku SMA, kemudian di masa kini dimana situasi sudah tidak sama lagi. Dia sudah menjadi seorang dokter gigi, dan saya adalah seorang calon arsitek pada waktu itu. Kemudian saya baru tahu kalau dia sudah tidak punya pacar, padahal dulunya dia berpacaran sudah cukup lama dengan pacar yang sebelumnya, sampai pada akhirnya bertemu dengan saya. Saya meyakini bahwa yang terpenting dalam cinta adalah garis finishnya. Hasil akhir dari penantian yang panjang.

Saya berusaha jujur ke Laurensia bahwa saya menyukainya, mengajaknya makan malam dan kemudian saya menyadari bahwa memang pribadinya sangatlah menenangkan dan menyenangkan. Karena kita berada di dalamdunia yang berbeda, dia tidak tahu dan mau mengerti dunia arsitektur. Saya melihat juga dunia dokter gigi mirip dengan dunia arsitektur, bahwa pondasi bangunan adalah akar gigi, ada mahkota, dan ada batang giginya. Itu adalah sebuah cara untuk merawat sebuah bangunan yang namanya gigi.

Suksesnya hari pertama saya meresmikan status, saya di interogasi oleh calon mertua saya, “Kamu itu mau serius?”. Pertanyaan itu muncul karena pada waktu itu usia kamk sudah tidak muda lagi, bagitu sudah umur 26, saya harus serius. Kemudian saya menjawab ” Saya serius, tetapi saya membutuhkan waktu untuk menyelesaikan profesionalitas saya, pekerjaan saya di London.

Kalau ada hal yang membuat saya pulang, Laurensialah orangnya, karena saya tau bahwa dia orang yang sangat layak untuk diperjuangkan dan saya menginginkan hidup bersama-sama dengan dia. Hidup bersama Laurensia adalah hidup penuh dengan ketenangan, dimana kita sendiri memiliki cara pandang dan perspektif sendiri, kita memiliki apa yang kita suka sekaligus tidak suka di dalam sebuah frekuensi yang ternyata hampir sama.

Banyak orang bilang bahwa perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, menurut saya tidaklah demikian. Bagi saya kita sendiri memiliki sisi-sisi yang justru apabila kita mengerti pribadi pasangan kita, kita akan merasa sangat kecil dibandingkan pasangan kita.

Ketika kita sudah sangat yakin bahwa dialah pasangan kita, kita tidak perlu sejuta alasan, karena kita akan merasa sangat kecil dibangdingkan dia. Karena itulah saya merasa kehadiran Laurensia membuat saya sempurna. Di dalam perjalanannya memang tidaklah mudah, kami menikah tahun 2011 dan sejak saat itu saya sangat bersyukur.

Hari ini adalah hari anniversary kami yang ke 12, 12 tahun merupakan saat-saat yang tidak mudah tetapi selalu saya syukuri. Dibalik 4x rasa kehilangan calon buah hati kami, sekarang ada dua malaikat yang selalu menemani kami setiap harinya. Keduanya lucu-lucu, yang satu jenaka dan ceria, yang kedua serius dan brilliant. Dibalik perbedaan keduanya, mereka saling belajar satu sama lain. Banyak orang bilang bahwa cerminan kejeniusan anaknya berasal dari kejeniusan ibunya, dan saya sangat percaya akan hal itu.

Di balik kesibukan saya, Laurensia setiap harinya menemani anak-anak. Saya sendiri sangat bersyukur bahwa laurensia bisa menjadi seorang ibu yang sangat baik dan memiliki rasa mengayomi. Sampai-sampai saya kadang-kadang takut, “Apakah anak-anak saya bisa berkembang mandiri?”. Tapi saya percaya bahwa niatnya adalah rasa sayang yang tidak berlebihan, saya percaya bahwa kemandirian anak – anak akan muncul seiring kedewasaan kami mendidik anak – anak, mengayomi juga mendisiplinkan. Menghayati anak – anak yang menjadi dewasa matang sesuai waktunya.

Di balik kesibukan saya juga, Laurensia membantu mengatur banyak hal di studio kami. Bagi saya dialah sebenarnya ratu dari studio dan kehidupan saya. Bagi saya posisinya sangat penting, karena apapun yang saya lakukan membutuhkan keterlibatan dia. Saya yakin bahwa arsitektur itu inklusif juga, sama seperti suami takut istri, istri tidak perlu takut suami. Karena inklusif itu berarti takut kehilangan bersama jadi selalu melibatkan dalam keputusan bersama.

Dibalik canda tawa yang terjadi diantara kami, saya percaya bahwa yang terbaik itu baru akan terjadi. Dibalik seluruh kesuksesan dan kebagiaan, itu ada penghayatan akan rasa kehilangan, duka, serta progress yang tidak mudah dalam menjadi ini semua. Saya bersyukur dibalik seluruh kesibukan saya yang tidur kadang-kadang hanya 4-6 jam sehari, Laurensia selalu menyediakan saya multi vitamin sampai obat sensei, mulai dari suplemen-suplemen yang tradisional hingga yang futuristik. Tapi yang terpenting dari saya adalah dibalik semua yang tersuguh di meja makan, baik itu vitamin, makan dan minuman yang luar biasa enak, ada vitamin “C” cinta yang tidak ternilai.

Dalam langkah-langkah dalam pribadi, didalam arsitektur yang saya jalani sebagai laku kehidupan. Saya yakin semua perlu tau bahwa didalam laku kehidupan saya semuanya berbasis atas nama Tuhan dan dia hadir untuk melengkapi saya yang tidak sempurna.

Terimakasih Laurensia sudah menemani saya. Mulai dari saat-saat kita menghabiskan waktu LDR, dimana waktu terbalik, saat di Landon pagi hari di Jakarta subuh, malam di Jakarta makan siang di London. Didalam puluhan ribu jam yang sudah kita jalani bersama, ada sebuah cerita tentang saat-saat menuju pernikahan. Dimana kita mengadakan foto prewedding di jalanan rumah kita, menggunakan sepeda pinjaman dari ibu kita. Sepedanya sebenarnya biasa-biasa saja tapi dikombinasikan dengan setting ruang yang sederhana dan di sekitar kita itu yang kami inginkan.

Hal-hal tersebut mewarnai keseharian kita yang biasanya kami berjalanan-jalan disana, setting didepan studio garasi, dan hal-hal seperti kita bersepeda saat di Cambridge, dimana sepeda yang kami gunakan sebenarnya tidak untuk boncengan, melainkan untuk menaruh barang. Dan saya baru tau ketika saya selesai menyewa sepeda tersebut.Laurensia, terimakasih untuk kesabarannya ketika dibonceng dan juga ketika sudah berpindah ke Guha, tatap mau menikmati saat-saat yang sulit, sederhana, penuh rasa syukur menjalani kehidupan kita seperti sekarang.

Sampai saat-saat anniversary kami dihabiskan dengan makan makanan yang sederhana saja di sebuah Food Court yang enak menurut kami. Itu adalah hal-hal biasa yang kami syukuri setiap harinya.

Rasa nyaman, rasa aman, kebiasaan yang membekas, itu adalah surga dan mujizat itu hadir dan nyata didalam hidup saya. Dan itulah keadaan Laurensia yang memberikan saya dua anak yang luar biasa, @miraclerichsjarief dan Heavenrich. Laurensia, terimakasih untuk segenap hati yang sudah diberikan untuk saya. Saya sangat bersyukur bertemu dirimu di kehidupan sekarang. Semoga Tuhan memberkati seluruh hati, kebaikan, dan semua yang kamu punya di dalam waktu yang terbatas ini.

Happy anniversary yang ke 12 Laurensia, love u to the Moon, terima kasih Tuhan sudah memberikan malaikat yang menemani hidup saya sampai saya sampai saya bertemu diriMu satu saat nanti.

Kategori
blog inspiring people

Josef Prijotomo

Saya mengenal pak Josef Prijotomo kira-kira 10 tahun yang lalu pada waktu itu saya datang ke ITS. Ia masuk ruangan dan duduk disamping saya dan bercerita tentang bagaimana ia mendambakan bahwa Indonesiaan itu seharusnya muncul dan dibahas di dalam tugas akhir. Dia menyebut konsep ini sebagai “Arsitektur Nusantara”.

Pertanyaan dan pernyataannya selalu menohok tajam, dan memantik emosi kami. Satu saat ia berseloroh “Bohong besar kalau Anda tidak mampu, paling-paling Anda tidak mau!” ketika saya menolak untuk hadir di grup beliau karena kesibukan kami, ia mengirimkan pesan-pesan berisi apa saja yang dibicarakan di grup. Ia terus memaksa kami untuk mau ikut berdiskusi dan ia terus berjuang supaya banyak orang di dunia mengetahui uniknya bumi Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Pak Josef Prijotomo menjelaskan hal tersebut didalam konsep kesamaan, perbedaan berdasarkan ciri seismik, iklim dan budaya yang kaya raya di indonesia.

Saya mendapatkan matahari saya, ketika saya mengutarakan ketakutan saya pada simbol tersebut, justru Pak Josef tidak pernah merubah persepsinya terhadap saya kapanpun itu, padahal siapa sih saya, saya bukan siapa-siapa. Beliau dari Surabaya saya sekolah di Bandung dan juga praktik ada di Jakarta, kami jarang bertemu karena lokasi kita berjauhan, Dia bilang ke saya, “Yessss, Realrich apa yang kamu pikirkan gak masalah, berada di luar sistem memang tak harus, tapi bukan berarti tak mau peduli. Maju terus, saya akan dukung dan selalu kompori !!!”.

Pondasi ideologi atas gerakan modernis dunia diturunkan pada akhir abad ke-19 dan di awal abad 20. Dalam revolusi industri sampai terjadinya tremor, perang, bencana kemanusiaan yang pada dasarnya adalah soal kekuasaan, yang dimana konsepitu telah diperkenalkan jauh lebih awal oleh Herder, yang telah kita ketahui menulis istilah Zeitgeist atau semangat jaman.

Pertemuan tatap muka saya terakhir dengan beliau juga ketika tanggal 7 Februari 2020 ketika saya berbagi dengan mas @anashiday mengenai buku 3 gram: Tectogram, Methodgram, dan Craftgram yang kami tulis dan tanggapi bersama mas @jo_adiyanto yang berhalangan hadir. Saya dan @satriaapermana membuat wayang pada waktu itu, ibaratnya Pak Josef adalah semar yang bijak, ia akan memaksa kami untuk maju dan mau mengikuti konsepsinya.

“Kamu harus mau bukan tidak mau.” Ia selalu memaksa dengan konsep arsitektur nusantara. Siap tidak siap saya, ia akan mempertanyakan hal-hal yang sederhana dan mengingatkan kami, seberapa Indonesia arsitekturmu?. Hal-hal itu sebenarnya mempertanyakan keakuan apakah perlu mengangkat Norberg Schulz dari Norwegia padahal khasanah budaya Indonesia pun sudah ada didepan mata, menunggu untuk digali.

Sesuatu yang genius itu dalam pergulatan arsitektur Indonesia, digaungkan oleh Josef Prijotomo yang sejak tahun 1990 aktif menggelorakan arsitektur nusantara. Ia mendefinisikan arsitektur nusantara sebagai “cerlang-tara” atau kecemerlangan nusantara, sebuah genius yang spesifik untuk bumi nusantara. Orisinil dan memiliki aspek fungsional-kultural yang sudah diolah sejak jaman dahulu, dan selalu dikembangkan untuk masa depan. Sudah sedemikian aktif ia bergerak di dalam dan di luar sistem pendidikan melalui seminar-seminar, namun belum adanya dampak signifikan yang terjadi. Padahal, apa yang digaungkan oleh beliau adalah hal yang mendasar, fungsional, dan lekat dengan budaya nusantara [1]. Josef Prijotomo menjelaskan hal tersebut di dalam enam butir dasar: Pertama, ia melihat beberapa aspek yang menjadikan lanskap kriteria nusantara pertama seperti hubungan terbuka yang dihubungkan oleh konsep pelayaran sehingga tipe-tipe bangunan bisa dilihat kesamaan bentuk-bentuknya, mulai dari Madagaskar hingga Pasifik dan Cina. Kedua, kelembaban yang menyebabkan perbedaan cara berpakaian. Ketiga, kondisi angin yang menyebabkan sirkulasi udara silang diperlukan. Angin sebagai sumber utama bagi penyejukan udara melalui konstruksi kolom, serambi, dan beranda. Keempat, kondisi dua musim, yakni kemarau dan penghujan. Hal ini menyebabkan arsitektur nusantara bersifat terbuka dan tidak isolatif, berbeda di negara empat musim. Kelima, bangunan tahan gempa yang ditandai dengan penggunaan bangunan kayu atau konstruksi ikat di masa lalu dengan penekanan pada konstruksi goyang. Keenam, Ia menekankan variable kultur dan ekonomi yang disatukan seperti upacara pemasangan kuda-kuda yang didahului wujud pengupahan tenaga kerja yang merupakan barter antara tenaga dengan makanan yang disajikan. Josef Prijotomo adalah pengajar murni dimana ia memberikan narasi yang ideal tentang bumi nusantara, seorang pembawa kabar Genius Loci untuk arsitektur Indonesia yang disebutnya bumi nusantara.

Menariknya pada waktu itu, yang ikut menanggapi materi kami adalah pak Eko Prawoto, yang justru membawakan metode, ketukangan, dan tektonika dalam ranah keseharian. Saya melihat figur Pak Josef dan Pak Eko seperti yin dan yang, keras dan lembut, teori dan praktik, praktik yang teoritis dan teori yang praktis. Kedua orang ini saling tarik menarik menciptakan benih benih perubahan di dalam arsitektur Indonesia. Pak Josef dan murid-muridnya menulis banyak buku, dan pak Eko berpraktek dengan lentur. Kita semua adalah murid-murid beliau, Pak Josef dan Pak Eko, keduanya saling mengisi dua pondasi arsitektur yang berbeda.

Pak Josep dan Pak Eko berperan memiliki pemahaman arsitek kaki telanjang, berjalan tanpa alas kaki, diatas kerikil, tanah, ataupun beling sekalipun, ia mantap berjalan dengan berpihak. Kedua adalah mereka ibaratnya seorang pertapa yang menyendiri sembari terkadang memberikan intuisinya, pemahamannya dari perenungan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Menurut keduanya sisi arsitektur perlu lekat dengan manusia kreatif, meluruhnya ego, membuka hati, dan peduli dengan tukang-tukangnya, ia hidup dari tukangnya, tukangnya juga hidup dari hasil kriyanya, ia adalah orang yang mampu mendengar apa keluhan sekitarnya dan membuat solusi yang sederhana dari masalah-masalah yang ada, masalah perut, masalah keteknikan ataupun masalah-masalah personal yang dihadapi sekitarnya. Arsitektur itu personal dan berkembang ke hal-hal yang lebih besar.

Di Pesantren Turen Malang, saya mendapatkan cerita dari Anas, yang kemudian saya datangi, saya melihat dimana arsitek melebur dengan tukang-tukangnya menjadi satu untuk merajut ornamentasi ruang. Mereka berusaha memberikan ruang gerak untuk tukang agar bisa mengaktualisasikan diri dengan dialog tanpa henti akan dirinya terhadap karya. Usahanya adalah usaha untuk menanyakan kepada semesta dengan keinginan yang tulus untuk menggali dirinya sendiri.

Saya mungkin angkuh dengan mencoba mengambil Norwegia dan Norberg Schulz sebagai barometer. Hal ini juga lekat dengan apa yang dilontarkan para rasionalis di sekitar 40 tahun yang lalu oleh “Vienna Circle” bahwa, kebenaran itu perlu diacu secara rasionalis, perlu referensi, perlu pembenaran dimana seperti sebuah kemandekan yang disumbat lubangnya dan menimbulkan peradangan.

Keangkuhan juga perlu dilunturkan seperti sumbat yang perlu dibuka dengan keberanian, sehingga dialektika antara pembuat dan pembaca bisa terjadi begitu intensif, bolak-balik dan terbaca secara lugas. Hal-hal itulah yang bisa membuat kita bisa mengapresiasi kehidupan untuk bisa dibagikan dengan orang lain.

Di dalam keseharian kita bersama, tidak mudah untuk kita bisa bersama-sama dengan Pak Josef atau Pak Eko yang berbeda dan terkadang berbeda pendapat. Justru dari keduanya, saya menemukan tempat untuk saling berkaca dan bercermin bahwa ada cara lain dalam bersikap, ada yang memaksa ada yang melepaskan interpretasi bahwa keduanya baik dan saling menyeimbangkan.

Saya memiliki teman beberapa murid murid beliau yang saya kenal di praktik, penulis, dan intelektual. Ada mas @madcahyo, mas @eka_swadiansa, mas @gayuhbudi, dan @andyrahman, mas @anashiday, mas @jo_adiyanto, Mas @reviantosantosa, Bu @altrerosje, Bu @akunnya_yolanda, dan Bli @gmahaputra juga banyak lagi ribuan orang lainnya. Pak Pak Josef dan Pak Eko ibaratnya seperti ayah bagi mereka. Ada juga Pak Ardi Pardiman, Pak Galih Widjil, Pak Adhi Mursyid, dan Romo Mangun yang juga seperti ayah yang meski bahkan belum pernah bertemu.

Kasih ayah dan anak tidak selamanya ada di temu fisik, namun menembus batas jarak, waktu, dan pertemuan.Dulu kami ada di sebuah grup yang senang memakai sarung. Sarung dipergunakan sebagai simbol keberpihakan dan kesetaraan. Di dalam grup itu, terkadang saya mempertanyakan ke Pak Josep sendiri, untuk apa perjuangan itu apakah hanya untuk bergerak sebatas representasi luar?.

Pada waktu itu saya marah dengan diri saya sendiri, karena ketidak berdayaan saya terhadap problematika simbol kesetaraan, karena banyak momen di hidup saya berada di pihak yang lemah, tertindas, dan minoritas. Dan puncaknya dari situ saya mulai bertahap memutuskan diri dengan dunia luar. Di titik itu dunia menjadi gelap dan “I have my own shadow”. Bayangan saya sebenarnya adalah ketakutan saya sendiri, semakin saya menghindari semakin cepat dia datang dan tidak pernah lepas.

Dari Pak Josef dan Pak Eko saya mendapatkan keberanian dan kejujuran untuk membicarakan ketakutan tersebut. Dari pak Eko saya mendapatkan benih bagaimana bertujuan baik, menerima kenyataan sebagai hal yang baik dan perlu ada, termasuk membicarakan ketakutan, kesakitan sekaligus makna pencapaian secara lugas.

Saya mendapatkan matahari saya, ketika saya mengutarakan ketakutan saya pada simbol tersebut, justru Pak Josef tidak pernah merubah persepsinya terhadap saya kapanpun itu, padahal siapa sih saya, saya bukan siapa-siapa. Beliau dari Surabaya saya sekolah di Bandung dan juga praktik ada di Jakarta, kami jarang bertemu karena lokasi kita berjauhan, Dia bilang ke saya, “Yessss, Realrich apa yang kamu pikirkan gak masalah, berada di luar sistem memang tak harus, tapi bukan berarti tak mau peduli. Maju terus, saya akan dukung dan selalu kompori !!!!”. Dia berbicara bahwa sarung itu jiwa bukan hanya simbol. Melalui pertanyaan-pernyataannya, ia mendobrak sisi-sisi kritis, dan itu yang menunjukkan kasih sayang sebagai ayah tidak hanya dengan pujian, tapi juga dengan kritik yang membangun yang ia ibaratkan kompor.

Ada satu kalimat yang saya ingat untuk menutup cerita ini. Pak Josef berkata, “Arsitektur Nusantara ada di tangan anda. Mau dilepaskan, dibanting, ataupun dimatikan, boleh saja. Sebaliknya, dikedepankan dan menggeser kebaratan, juga bisa. Ini tantangan buat anda. Saya siap membantu dan mendampingi langkah Anda bila mau menjadikan arsitektur Nusantara sebagai tuan di negeri sendiri.”

Suatu saat ia menghampiri saya di dalam sebuah acara seminar di Bali yang kami bawakan bersama. Pak Josef menyenggol saya sambil tertawa, ia bilang sembari berbisik-bisik, “Kamu bawa sarung enggak?! hari ini saya bawa!” Saya bilang “Bawa pak kan kita sudah janjian ha ha ha”. Ia lalu lanjut bertanya “Jadi mau apa kita pake sarung hari ini?”.

Melihat wajahnya, saya seperti melihat wajah seseorang yang saya rindukan dengan kenakalannya dan juga keluguannya, saya ingat ayah saya, lalu saya jawab dengan senyuman dan tertawa, “Hayuk pak”.

Beliau mengatakan bahwa sarung itu jiwa bukan hanya simbol. Melalui pertanyaan-pernyataannya, ia mendobrak sisi-sisi kritis, dan itu yang menunjukkan kasih sayang sebagai ayah tidak hanya dengan pujian, tapi juga dengan kritik yang membangun yang ia ibaratkan kompor.
.
Suatu saat ia menghampiri saya di dalam sebuah acara seminar di Bali yang kami bawakan bersama. Pak Josef menyenggol saya sambil tertawa, ia bilang sembari berbisik-bisik, “Kamu bawa sarung enggak?! hari ini saya bawa!” Saya bilang “Bawa pak kan kita sudah janjian ha ha ha”. Ia lalu lanjut bertanya “Jadi mau apa kita pake sarung hari ini?”.

Saya seperti melihat wajah seseorang yang saya rindukan dengan kenakalannya dan juga keluguannya, saya ingat ayah saya, lalu saya jawab, “Hayuk pak”.

Sekarang sarung itu saya gantung di pintu masuk sebagai pembatas ruang dalam – ruang luar, pertanda sebagai tanda kasih bagaimana perjuangan melawan ketakutan saya sendiri saat hidup di keseharian kami di studio yang diawali dengan pertemuan dengan Pak Josef Prijotomo di Bali. Terima kasih Pak Josef sudah menemani kami semua.

[1] Prijotomo, Josef. (ed. 2018). Prijotomo Membenahi Arsitektur Nusantara. (hlm. 42) Surabaya: Wastu Lanas grafika.

Kategori
blog inspiring people

Figur ayah itu juga kontradiktif

Apa yang saya syukuri dari perjalanan saya dibimbing ayah adalah bagaimana saya merasa utuh mendapatkan contoh menjadi bapak yang mungkin sungguh sempurna. Ia hadir di masa-masa terbaik saya. Ia juga hadir di masa terkelam saya. Ia hadir justru ketika saya membutuhkan bantuan—dan secara tidak langsung saya terus mencari figur ayah saya di dalam pertemuan saya dengan siapa pun. Ia hadir untuk memberikan harapan bahwa setiap masalah bisa diselesaikan. Dan kamu yang perlu membantu untuk menyelesaikan masalah itu. Janganlah pernah lelah berharap bahwa kamu bisa terus kuat dan menjadi contoh bahwa ini bisa diselesaikan.

Figur ayah itu juga kontradiktif. Dengan seluruh kekuatan dia juga penuh dengan kelemahan. Tapi saya ingat bahwa di hadapan anaknya ia tidak pernah lemah karena ia tahu dia adalah pribadi yang bisa diharapkan. Tidak pernah ia menunjukkan bahwa ia lemah dan patut untuk dikasihani. Di masa-masa terakhirnya ia justru bilang kepada kami bahwa ia tidak ingin dioperasi. Dia ingin semua berjalan baik. Dia tidak ingin mempersulit hidup kami, meskipun kami bisa setuju atau tidak setuju, tapi ia sudah memiliki pilihannya.

Dari ayah saya belajar untuk selalu berharap, kekuatan harapan utnuk menjadi sosok yang kuat, bersahaja, dan bisa memberikan harapan juga untuk orang lain. Dari beliau saya percaya bahwa hidup terpancar sesuai namanya, yang berarti “bisa”. Ia dengan badannya yang kecil bisa memberikan jumping smash yang tinggi. Ia memberikan lompatan-lompatan termasuk 3 buah nilai seratus di ijazahnya. Ia adalah orang yang jenius, meskipun Bahasanya mendapat nilai 40. Ia memang tidak sempurna tetapi ia justru menghargai ketidaksempurnaan itu dan tertawa-tawa di balik nilainya yang sempurna dan tidak sempurna. Di balik hidupnya tidak ada yang pernah sempurna, tapi justru itu menjadi sempurna karena hidup ini sebenarnya adalah tuntunan.

#RAWinspirasi

Sudah satu tahun ayah saya berpulang. Kepulangannya menyisakan banyak sekali kenangan yang manis. Kadang-kadang saya berpikir bahwa, saya merasa kehilangan. Di balik kesendirian, terkadang saya merasa masih membutuhkan kehadiran seorang Bapak. Itulah arti seorang ayah bagi anaknya. Dia tidak akan pernah hilang karena bagi saya sosok ayah adalah seorang role model.

Di tahun 2010, ayah saya menemani saya rapat di mana-mana dan saya dikenalkan ke teman-temannya yang banyak ahli manajemen konstruksi. Saya diajari oleh teman-temannya yang pada waktu umur 70-an tahun mengenai basis-basis dasar sikap, etika, teknik, dan engineering dalam sebuah proyek di mana service dan ketepatan kualitas itu penting. Saya juga belajar bagaimana proyek itu penuh dengan konsensus yang terbaca dan tidak terbaca. Ayah saya pada waktu itu juga setiap hari menutup pintu kantor. Mengecek, kadang-kadang jam 1, kadang-kadang jam 2, jam 3 pagi. Dan beliau pasti bangun jam 4 atau jam 5 pagi.

Pada saat di studio garasi juga ayah kadang-kadang melihat bagaimana gambar-gambar yang terpampang di dinding-dinding studio garasi. Beliau tidak pernah memuji langsung tetapi ia menitipkan rasa bangganya melalui istri saya. Begitulah ayah, tidak pernah memuji langsung. Ia hanya ingin menjadi tidak sombong. Ia selalu memberikan tantangan, pertanyaan-pertanyaan, supaya saya bisa berkembang lebih baik.

Kemudian ditahun 2015 saya mulai membangun the guild (Yang sekarang menjadi Guha the Guild), karena diminta oleh ayah saya. Sebenarnya saya tidak pernah mau keluar dari rumah itu. Tapi kalau sudah ayah saya meminta, saya punya prinsip bahwa apa kata ayah saya pasti akan saya laksanakan. Mungkin ini karena saya anak ketiga, anak tengah yang sebenarnya sangat mendambakan rasa sayang dari ayah. Anak tengah penuh dengan problematika yang justru menjadi punya potensi apabila ia menyadari bahwa dirinya menjadi jembatan untuk begitu banyak jalinan kasih di antara keluarga.

Di tahun 2016 saya pindah ke the guild bersama istri. Setahun kemudian saya mendapat kabar bahwa ayah saya terkena parkinson. Kadang-kadang pak Misnu bicara soal bagaimana ayah rutinitas studio garasi kami di rumahnya. Rutinitas itu menjadi penting karena ada harapan untuk berdiskusi. Saya yang semakin sibuk kadang-kadang menyempatkan diri untuk bertemu ayah saya tetapi tidak bisa sesering dulu lagi di mana saya setiap siang adalah momen-momen saya bisa makan siang dan ada momen makan pagi juga bersama ayah saya.

Di dalam perjalanannya beliau terus menjadi pribadi yang tangguh, tidak pernah merasa sakit. Begitu beliau sakit, saya menemani beliau sampai saat-saat terakhirnya dan merasa begitu bangga menjadi anaknya di mana ia selalu berpegang teguh pada prinsip bahwa melayani orang lain adalah yang terutama tanpa pernah kehilangan prinsip dasar bahwa melayani itu butuh kemampuan teknis yang baik.

Di saat-saat terakhirnya, ia sendiri berkata pada saya. Kira-kira dua hari sebelum dia meninggal. Pada waktu itu saya sudah mendoakan beliau. Di satu titik saya kira beliau sudah tidur, saya keluar kamar, beliau memanggil.

“Real jangan pulang. Sini, saya pengen peluk kamu.” dan kemudian saya mendekat, saya memeluk dan dia mencium pipi saya.

Dia bilang, “maafkan dad karena dad kadang-kadang tidak bisa berpikir jernih. Penyakit ini membuat saya tidak bisa mengontrol apa yang saya pikirkan. Dad bangga terhadap kamu dan jaga mami.” gitu.

Saya tahu bahwa itulah waktunya sudah dekat. Saya menghitung jumlah kalori makanan, makin lama makin sedikit, dan nafasnya pun makin pendek. Ada kalanya beliau membutuhkan oksigen lebih banyak dan saya menghitung waktu. Saya menghubungi beberapa kawan saya yang dokter dan mereka menitip pesan bahwa perlu untuk bersiap-siap. Di saat yang dua hari lalu itu saya sudah mempersiapkan diri dan saya memeluk beliau erat dan saya berkata, “dad if you think it’s about time, then i think saya siap dan rela.” jadi di situlah saya sudah mempersiapkan diri bahwa the worst thing will come. Kemudian saya mempersiapkan diri… mental, untuk menghadapi keluarga, ibu dan saudara-saudara bahwa setidaknya saya sudah melepaskan diri dari semua ekspektasi dan menerima apa pun yang terjadi di masa depan. Saya percaya bahwa he has done the best for the best and we have.. Kita sudah jadi yang terbaik. Dan saya sudah percaya bahwa ia sudah bersiap untuk berpulang.

Dua hari kemudian beliau berpulang.

Saya belajar dari Pak Wondo dan Pak Ary Murthy di dalam dialognya dengan Laura (Sumarah), bahwa hidup ini adalah tuntunan. Kita sama sekali tidak pernah memprediksi di mana kita lahir, kapan kita lahir. Tetapi beliau berkata bahwa hidup ini tuntutan dan tuntunan itu adalah bagaimana kita bisa semua belajar menjadi seorang pamong. Dari pamong pribadi sampai ke pamong yang lebih besar. Dan saya benar-benar bersyukur bahwa ayah saya memberikan saya sebuah contoh. Ia adalah sebuah pamong hidup yang menerangi kita sekeluarga. Sebuah matahari yang bisa, karena ia memang bertanggung jawab. Dari tanggung jawabnya muncullah reputasi. Dan kami benar-benar beruntung bisa meneruskan reputasi yang dimiliki oleh beliau untuk membawa nama baik keluarga.

Kenangan ini membawa sejuta makna, sejuta persaan, sejuta rasa kehilangan, dan juga rasa kelahiran kembali. Saya cuma sadar bahwa proses di sini yang dalami adalah sebuah proses di mana nanti, suatu saat nanti, adalah saat yang saya rindukan begitu saya bisa bertemu ayah saya kembali.

Saya berpikir hal-hal tersebut menjadi komplit. Melihat sebuah circle yang sangat menerus, dan menurut saya itu kan arsitektur juga seperti itu. Banyak orang yang tidak percaya sama kekuatannya. Tapi saya sendiri tahu bahwa arsitektur itu sedemikian kuat dan representasi hidup ayah saya itu tergambar dalam arsitektur yang saya hidupi dan saya lakoni sehari-hari. Jadi saya adalah wujud saksi hidup wujud kekuatan seorang ayah di dalam daya arsitektural yang maha dahsyat. Jadi terima kasih semesta sudah mempertemukan saya dengan role model saya yang luar biasa.

#RAWinspirasi

Kategori
blog

Home of Atlantis

.

Saya bertemu dengan client kami ini Anggit, kira-kira ditahun 2008 ketika saya masih ada di London. Saya tidak pernah menyangka bahwa kami bisa bekerja bersama sebagai arsitek & client. Anggit adalah pribadi yang menyenangkan & pikirannya terbuka akan berbagai macam kemungkinan. Ia dilatih oleh ayahnya dengan berbagai macam sudut pandang untuk bisa mempertanyakan “Kenapa sebuah hal itu bisa muncul?”

Di dalam interaksi desain kami menghabiskan waktu 4 tahun. Saya menemani Anggit didalam proses panjangnya untuk menggali nilai lebih tentang kehidupan. Dari dia & orang tuanya saya mengenal banyak pribadi & konsepsi tentang kebersahajaan. Saya sungguh berterimakasih karena konsep tersebut yang menggarisbawahi apa yang kami sedang perjuangkan didalam studio yaitu sebuah konsep mengenai “Understated Beauty”. Sebuah kecantikan yang bersahaja, tidak berlebihan & memiliki akar yang kuat.

Perbincangan dengan Anggit berlanjut dengan dikusi lebih dalam dengan pak Heru, ayahnya Anggit. Dari pak Heru saya mendapatkan cerita bahwa energi di dalam alam ini selalu berputar, cerita tentang bumi, air, dan udara akan terus menghiasi & menghayati arsitektur, & selalu hadir untuk mengisi kehidupan. Diantara serpihan memory, kenangan yang begitu dalam tentang rasa trauma, suka & duka didalam setiap keluarga.

Di satu waktu, Pak Heru menambahkan satu elemen lagi sebelum proyek ini dimulai dengan menambahkan kata tetangga. Hal ini menujukkan kepeduliannya dengan sekitar. Sama seperti cerita petugas keamanan yang begitu bersyukur mendapatkan beras beberapa kilogram perbulan dari dirinya. Arsitektur itu bisa saja sangat rumit, tetapi bisa juga sangat sederhana. Karena cerita-cerita arsitektur ini membuat saya bisa mengenal banyak kebaikan diantara serpihan rekonstruksi kenangan. Dan rumah ini adalah sebuah rekonstruksi kata pak Heru.

Rekonstruksi ini adalah bagaimana kita bisa saling meningkatkan kehidupan orang lain dengan cara apapun yang kita bisa termasuk arsitektur.
.
Terimakasih Anggit + Pak Heru tim @realricharchitectureworkshop: Haikal, Evan dan Adriyan, sudah mengawal project ini, Pandu, Alifian, Thomas dan Anthony juga, serta banyak orang yang lain.

.

Kategori
blog publication

RAW Architecture shares studio culture in Design Anthology Issue 32 | March 2022

Realrich Architecture Workshop featured on Design Anthology

We see architecture as an act of collaboration and deep connection. Enjoying the architectural process filled with memories of all our happiness and struggles. We love being able to share our studio process with lots of people. Luckily in 2022 Simone Schultz, Managing Editor of Design Anthology contacted us and gave us the opportunity to talk about the culture in our studio.

In Design Anthology Issue 32/March 2022 we share how our studio in Guha, has become a broad ecosystem with the presence of the OMAH Library and our experimental workshops in it. Having a wide cross-discipline in Guha from designers, writers, administrators and craftsmen makes our studio more like a campus with many individuals playing various roles, but they can all also be involved in the process of creative exploration and experimentation.

Kategori
Team - Reflection Letter

Aulia Gema Alfaatihah – Universitas Pradita

Memiliki kesempatan untuk bekerja praktik di OMAH LIBRARY merupakan pengalaman yang sangat berharga, walau memang saya pun belum tahu pasti dan tidak dapat membandingkan dengan tempat-tempat lainnya, tetapi apa yang telah saya rasakan, keuntungan dan kelebihan yang didapat, hingga dapat menyadarkan saya atas kelemahan yang saya miliki lebih dari cukup untuk mengatakan ini adalah pengalaman berharga. Atmosfer kekeluargaan yang kuat, keceriaan, aura positif memberikan sebuah rumah yang harmonis. Membuat saya teringat sebuah perusahaan yang hampir bangkrut, alih alih merumahkan pekerjanya, malah membuat sistem cuti untuk dapat mempertahankan pekerjanya. Mengandalkan kekeluargaan dan saling toleran tidak disangka keuntungan yang didapat melampaui perkiraan bahkan lebih dari jika merumahkan pekerja. Mungkin sedikit lancang jika dalam 4 bulan menyimpulkan hal ini tapi saya hanya tidak bisa berhenti kagum dengan pengalaman di OMAH LIBRARY ini. Awal saya masuk sudah mendapat sambutan hangat, saya ingat tugas pertama saya manuskrip wawancara arsitek untuk buku arsitektur partisipatoris untuk mahasiswa. Belajar mengenal arsitektur dari sudut pandang seorang arsitek profesional membuat tamparan atas saya yang merasa beban sks studio yang besar sedang tidak ada apa-apanya dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Menyadarkan saya betapa banyak yang harus dikejar untuk menjadi seorang arsitek. Namun tidak hanya tamparan, cerita itu juga sebagai kawan, karena apa yang saya rasakan itu adalah masa yang telah beliau-beliau lalui dan menenangkan karena ini memang hal yang wajar dirasakan mahasiswa arsitektur. Ini adalah salah satu pengalaman yang sangat berharga, seperti mendapat bocoran dari cenayang secara cuma-cuma. Selanjutnya adalah tugas-tugas yang membutuhkan ide liar. Menemukan poin, mengembangkannya, membungkusnya dalam wajah yang berbeda tetapi tidak kehilangan poin itu. Substansi, substansi, substansi. Pengalaman ini bagaikan perlombaan lari tanpa kaki bagi saya. Dipaksa menyerah dengan keadaan. Tapi tidak lama para pelari lainnya dan berbalik menopang saya dan kita berlari bersama menuju garis finish. Ya, pelari yang berbalik tidak lain adalah kakak-kakak mentor serta teman-teman seperjuangan. Walaupun sebenarnya mereka juga berada dalam kesulitan dan tekanan yang lebih besar. Pengalaman akhir di OMAH LIBRARY, menata perpustakaan baru, mengatur buku-buku yang banyak dan mengurutkannya satu persatu. Pengalaman yang sangat lucu dan sangat berbeda karena ini satu-satunya pekerjaan yang terlepas dari duduk dan mencari inspirasi. Komunikasi dan koordinasi sangat penting, terutama kepercayaan pada rekan satu tim. Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas pengalaman yang diberikan baik yang tertulis maupun tidak, semuanya tetap menjadi pelajaran, bekal masa depan saya. Digembleng untuk tidak melek walang, membuka indera yang sudah lama tertidur.

24-05-2022

Dear Aulia, Maria

Thank you for everything your passion, your soul, and have cherished OMAH Library + people inside, hopefully, this sunshine will go brighter to shine on Architecture Literacy.

You guys one word is a fight for and be the one who can contribute to the appreciation of great Indonesia Architecture.

Regrads
Realrich Sjarief

Kategori
Team - Reflection Letter

Maria Angela Rowa – Universitas Pradita

Mat pagi kak!””, ucapan wajib saya, Maria, memasuki Perpus Omah menyapa umi-umi Omah Library. Akhir semester 7, saya sempat bingung ingin mengajukan magang, selain karena saya mengulang Studio 6, saya juga meragukan apakah saya mencintai arsitektur, dan apakah saya bisa mengerjakannya. Beruntung dosen pembimbing mengizinkan saya untuk magang dibidang penulisan arsitektur.

Selanjutnya adalah . . . cari tempat magang di mana? Waktu semakin mepet, saya baru mengirim surat lamaran magang terakhir tanggal 30 Desember 2021, dan sepertinya sudah tidak ada harapan untuk mendapat tempat magang. 2 Januari 2022 malam Kak Yudith menghubungi saya dan menawarkan apakah bisa mulai magang di Omah besok. Ini kesempatan yang jelas tidak saya tolak.

Lalu, muncul lagi pertanyaan, apakah bekerja di perpus akan sekaku itu? Satu bulan awal magang, saya masih menyesuikan diri saya dengan pekerjaan magang dan menyesuaikan dengan lingkungan Guha. Ternyata seru juga, selain ngetik-ngetik, ada pekerjaan lain seperti sketsa atau buat ilustrasi dan jalan-jalan (ke Otten Coffee dan Piyandeling Bandung). Melihat detail bambunya Piyandeling yang disusun satu-satu keren banget, para bapak pengrajinnya niat sekali mengerjakannya, berasa dikerjakan dengan hati.

Setelah 4 bulan magang, banyak pembelajaran dari Kak Rich dan kakak-kakak Omah mengenai penulisan, ilustrasi, serta berbagi pengalaman arsitektur dan kehidupan melalui wawancara. Sisi lain yang tidak hanya sekedar pekerjaan, tapi bagaimana kita bisa berkontribusi untuk orang banyak.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada -Kak Rich dan Kak Yudith yang telah menerima maria magang di Omah Library, -Kak Nirma, Kak Ufi, Kak Luluk, dan Kak Farhan yang sudah menjadi mentor dan membimbing maria untuk mengembangan potensi yang ada, *maaf juga maria sering main jadi kadang kurang fokus :)) -Kakak-kakak di RAW dan Admin yang sering becanda saat jam makan, terima kasih sudah menerima maria dengan baik -dan teman-teman magang pejuang TA: Aulia, Aryo, Gaby, Angel, dan Evan, suatu kolaborasi yag keren antara penulisan dan desain di studio arsitektur.

Tetaplah bahagia, :) Salam, M.A.R “

24-05-2022

Dear Aulia, Maria

Thank you for everything your passion, your soul, and have cherished OMAH Library + people inside, hopefully, this sunshine will go brighter to shine on Architecture Literacy.

You guys one word is a fight for and be the one who can contribute to the appreciation of great Indonesia Architecture.

Regrads
Realrich Sjarief