Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Eko Prawoto dan Desa, Metode Arsitektur Masa Depan untuk Indonesia

(English translation is available below)

Sepuluh tahun terakhir sebelum wafat, arsitek Eko Prawoto memutuskan untuk menepi ke desa. Keseharian kota yang tak pernah luput dari pembangunan dan lahan subur proyek arsitektur itu ia tinggalkan. Beliau membangun rumah baru di desa, menciptakan “proyeknya sendiri” bersama tukang-tukang yang tidak selalu ada karena disambi bertani. Kami keheranan, kok beliau mau ya ngurusin sesuatu yang tidak jelas kapan mulai dan selesainya? Saat OMAH Library berkunjung ke sana di 2023, akhirnya kami mulai paham. Di sana ada spirit yang dipancarkan, yang semangatnya menggema dengan lantang di tengah perjalanan yang sunyi, yang keras memantik di antara ruang-ruang yang terjalin lembut.

Eko Prawoto, Realrich Sjarief, dan tim OMAH Library.
Sumber: OMAH Library

Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Sebelum pindah ke desa, sejak 1988 Eko Prawoto dan keluarganya tinggal di rumah rancangannya sendiri di Bener, pinggiran Kota Yogyakarta. Rumah itu perlahan berkembang dan sebagian menjadi studio yang ia namai Eko Prawoto Architecture Workshop.

Dari sana lahir karya-karya seperti Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), dan banyak rumah seniman lainnya, serta rumah murah untuk berbagai kalangan. Di sini pula beliau mulai mendapat tawaran untuk mendesain instalasi dan perlahan meniti jalan sebagai seniman internasional.

Sejak awal, pendekatan kontekstual, organik, dan humanistik sudah mewarnai karya-karyanya baik sebagai arsitek, maupun sebagai seniman. Hanya saja, pendekatan itu menjadi semakin kuat ketika berhadapan dengan kondisi di desa yang memiliki keterbatasan akses material dan tukang-tukang terampil. Namun, di situlah Eko Prawoto meyakini adanya kecerdasan dan kreativitas tinggi untuk menciptakan sesuatu yang sederhana sebagai wujud dari sikap kematangan serta keutuhan dan harmoni dengan alam.

Kepindahannya ke Kulon Progo dipengaruhi berbagai faktor. Daerah Bener yang dahulu dikelilingi sawah-sawah dan sudah menjadi rumahnya selama 3 dekade, perlahan berubah menjadi kawasan pemukiman yang cukup padat. Namun, ia masih bertahan karena masih harus mengajar di UKDW—posisi yang sudah ia tekuni sejak 1985. Rencananya, Pak Eko ingin menjalani kehidupan yang lebih lambat setelah pensiun. Terlebih, sebagai pengajar beliau merasakan bagaimana pendidikan arsitektur saat ini cenderung berfokus pada pendekatan urban, industrial, dan kapitalistik.

“Sekarang semua kurikulum itu karakternya hanya berfokus pada urban, industri, dan kapital. Mungkin cocok buat kota, tapi perlu diingat bahwa ada desa, ada pulau-pulau kecil, yang mungkin tidak cocok dengan pendekatan yang diajarkan,” ujar Pak Eko waktu kami mengunjungi beliau di rumah desanya—barangkali lebih seperti self-reminder daripada kritik untuk publik.

Rumah Bener akhirnya hanya ditinggali sampai tahun 2014. Kantor biro arsitekturnya masih terpusat di sana, dan beliau masih terus mengajar di UKDW. Namun, di tahun itu Pak Eko dan istrinya Bu Rina memantapkan hati, pindah menjadi warga Desa Kedondong di Kulon Progo. Sejak itu, ia memposisikan untuk hadir dan hidup di desa, mengamati cara hidup masyarakatnya dengan alam.

Diskusi OMAH Library bersama Eko Prawoto di Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

“Memang proses belajar lagi,” begitu katanya. Ibarat beliau sedang mengambil disertasi S3 tentang “bahasa arsitektur yang lebih gayut di desa”. Dari situ kita bisa melihat karyanya yang semakin seimbang dan semakin mendengarkan, seperti yang nampak di kediamannya, Rumah Kedondong (yang ditempati hingga beliau jatuh sakit dan wafat pada September 2023), dan Balé Klegung (2021), warung makan tak jauh dari sana yang dikelola pribadi.

Kedua tempat ini nampak dieksekusi dengan metode desain yang sama. Secara spasial, Rumah Kedondong dan Bale Klegung memang punya karakter yang mirip: luasnya masing-masing ± 2.000 m2 dan sama-sama berlokasi di lereng tepi sungai dengan banyak pohon eksisting. Kondisi spasial yang spesifik ini direspons dengan cara berpikir vernakular, mengambil mindset masyarakat desa yang lebih mengikuti bentuk alam. Metodenya sangat kontekstual, salah satunya dengan sebisa mungkin tidak memotong pohon dan tidak mengubah kontur.

Sebagai konsekuensinya, massa bangunannya tersebar dan naik turun mengikuti kesediaan lahan. Seperti di rumah pertamanya di Bener, dan karya-karyanya yang lain, adanya pohon yang mencuat di tengah bangunan menjadi hal yang biasa. “Rumah ini muncul belakangan, sementara pohon ini sudah ada duluan. Pohonnya yang harus dimenangkan, kemudian bermain di antara ruang yang ada.”

Pekarangan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

Desainnya pun seringkali tampak tidak terencana. Program ruangnya berkembang secara organik mengikuti pertumbuhan kebutuhan, dari hunian, tempat pertemuan untuk menyambut tamu, musyawarah, atau perkuliahan, hingga guest house dan museum. Hampir seluruhnya diwadahi struktur kayu bekas dari berbagai daerah, seperti rumah Jawa Timuran dan lumbung dari Bawean yang dikumpulkan secara bertahap. Material bekas, material baru, dan apa pun yang tersedia dipadukan dan digunakan secara maksimal.

Sekilas, alam seperti menjadi elemen yang tertinggi dalam karya-karya Pak Eko. Namun, beliau justru menempatkan alam di posisi kedua dalam refleksinya selama hidup di desa. Yang pertama justru nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya agraris. “Institusi sosial, relasi sosial sangat penting di desa untuk membedakan dengan kota.”

Di desa, warga biasa membiarkan tetangganya untuk keluar masuk halaman rumah. Pekarangan tidak hanya bukan lagi ruang personal, tetapi juga ruang publik tempat warga bisa numpang lewat dan memotong akses. “(Bagi orang desa) Rumah itu adalah halaman, relasi menjadi penting,” tutur Pak Eko. Pagar di desa pun menjadi batas yang lentur, tidak pernah benar-benar tertutup. Pak Eko juga pernah menyampaikan bahwa gerbang rumahnya tidak pernah dikunci. Di kemudian hari beliau justru membuka akses baru, sebuah jembatan yang menghubungkan halaman Rumah Kedondong dengan rumah tetangga di seberangnya. Saat kami berkunjung ke sana pun, kami mendapati tetangga Pak Eko menggunakan jembatan tersebut, masuk ke halaman Rumah Kedondong, bertegur sapa sejenak, lalu melanjutkan perjalanan ke destinasinya yang entah di mana. Toleransi masyarakat desa ini barangkali sudah menjadi hal biasa di sana, tetapi sangat jarang ditemukan di masyarakat urban.

Hubungan antar-manusia menjadi elemen yang penting, tak hanya dalam praktik arsitekturnya di desa, tetapi konsisten dalam proyek-proyek Pak Eko yang lain. Beliau menjalin hubungan erat dengan semua yang terlibat dan seringkali memposisikan diri sebagai jembatan, fasilitator, pendamping. Pak Eko berkali-kali menyampaikan, kepada klien ia bertindak layaknya bidan yang membantu “persalinan”. Bangunan yang dihasilkan ibarat jabang bayi yang jelas bukan anak Pak Eko, melainkan orang tuanya sendiri alias si klien atau user yang akan menggunakan dan merawatnya selama puluhan tahun. Oleh karenanya, Pak Eko berusaha tidak memaksakan egonya sebagai arsitek. Pada proyek rumah tinggal, apalagi milik seniman yang egonya besar misalnya, Pak Eko mempersilakan klien untuk menentukan bagaimana rumah itu akan diisi, sementara beliau hanya membantu mengarahkan supaya keinginan klien terfasilitasi dengan baik sesuai sumber daya yang ada. Cara beliau memposisikan diri memberi ruang untuk relasi-relasi kolaboratif yang menantang batas-batas formal arsitek.

Di Rumah Kedondong, Pak Eko memang punya kekuasaan lebih sebagai pemilik dan pengguna, tetapi lagi-lagi ego itu ia simpan untuk memberi ruang pada tukang-tukang di desa. “Tukang-tukang di desa sebenarnya adalah petani yang di waktu luangnya menjadi tukang. Jadi, kemampuannya terbatas dan peralatannya juga seadanya,”—selain juga kesediaan waktu mereka yang sempit. Karakter tukang-tukang inilah yang kemudian banyak menentukan rupa arsitekturnya.

Pagar depan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

“Kita tidak punya resources yang banyak, jadi kalau bisa tidak usah terlalu mengolah. Jangan memotong dan menghasilkan material sisa, jadi semua habis dipakai. Makanya saya senang keramik pecah itu karena tidak ada sisa, habis.” Yang muncul kemudian adalah arsitektur yang frugal (murah dan sederhana) dan primal (awal, mentah, dasar) yang jujur. Berawal dari relasi sosial dengan tukang desa, Pak Eko diantarkan kembali pada karakter otentik desa yang lebih membumi, yang secara naluriah mengalah pada bentuk alam.

Bukan berarti arsitekturnya menjadi tidak inovatif, justru sikap mengalah ini memunculkan kreatifitas baru. Misalnya, sebuah unit kamar keluarga di Rumah Kedondong dengan struktur beton yang kolom-kolomnya terpisah perbedaan kontur. Untuk menghindari cut-and-fill berlebih, akhirnya dibuat model panggung dengan kolom-kolom yang diberi perkuatan catenary arch agar dimensinya tetap tipis. Penyelesaian desain ini mungkin biasa untuk Pak Eko, tetapi baru untuk para tukang. Karena itu, beliau tidak memaksakan hasilnya harus rapi, “(Yang penting) secara struktur benar.” Lagipula, keteraturan alam juga tidaklah seragam. “Semua punya peran, punya fungsi. Kita tidak bisa menemukan dua helai daun yang sama dalam satu pohon. Jadi berbeda. Tidak usah berarsitektur dengan ngotot, gitu.”

Mempekerjakan tukang-tukang setempat merupakan strategi yang Pak Eko pelajari dari sosok gurunya, Romo Mangun. Kegiatan membangun tidak hanya dilihat sebagai cara memenuhi kebutuhan programatik, tetapi menjadi kesempatan untuk mendukung ekonomi lokal. “Dengan membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu, sehingga dia tetap punya pekerjaan.”

Pada Rekonstruksi Desa Ngibikan pasca-gempa di Yogyakarta tahun 2006, Pak Eko bergerak erat dengan komunitas lokal. Awal keterlibatan beliau di Ngibikan adalah karena Pak Maryono, warga desa tersebut yang sudah lama bekerja bersama Pak Eko sebagai tukang. Rumah Pak Maryono masih berdiri, tetapi rumah lain banyak yang rubuh karena penambahan konstruksi modern pada struktur asli limasan tanpa perkuatan yang layak. Warga kemudian mengungsi di tenda-tenda plastik yang didirikan di persawahan. Prihatin dengan kondisi ini, Pak Eko dan Pak Maryono dengan bantuan dana dari Kompas mencoba membangun ulang desa.

Kerusakan di Ngibikan pasca-gempa Yogyakarta 2006. Sumber: https://the.akdn/en/how-we-work/our-agencies/aga-khan-trust-culture/akaa/ngibikan-village-reconstruction

Ada banyak aspek yang coba direspons dalam kasus ini: kebutuhan mendesak terhadap tempat tinggal layak, karakter masyarakat dan budaya setempat yang harus dijaga, juga keterbatasan sumber daya material dan tukang berpengalaman. Desain yang kemudian muncul adalah rangka limasan yang dimodifikasi menggunakan kayu kelapa dari sekitar desa dengan umpak beton dan sambungan mur-baut. Tiga modul utama dibangun pada masa rekonstruksi dan bisa diduplikasi sesuai kebutuhan pengguna di masa mendatang. Tembok bata yang disusun ulang dari reruntuhan gempa berdiri setinggi ± 1 meter, disambung tembok papan gipsum yang ringan dan mudah dipotong. Prosedur konstruksinya mudah diikuti bahkan oleh warga biasa tanpa pengalaman bertukang sebelumnya, tetapi secara struktur lebih efektif menahan gempa dibanding struktur yang ada sebelumnya.

Dalam waktu 4 bulan saja, 55 rumah di RT 5 Ngibikan berhasil berdiri dan siap menyambut bulan Ramadhan. Ketika dikunjungi empat tahun kemudian untuk penilaian Aga Khan Award, desa ini terlihat seperti tidak pernah terguncang gempa sebelumnya. Suasananya hidup dengan rumah-rumah berkerangka serupa tetapi dengan pengembangan masing-masing yang penuh karakter—cukup kontras apabila dibandingkan dengan beberapa desa yang direkonstruksi dengan sistem top-down yang berjarak dengan keseharian warganya. Karena peristiwa itu, tumbuh pula tukang-tukang generasi baru dari desa ini. Lewat kolaborasi, arsitektur yang lahir dari tangan Eko Prawoto tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga merawat hubungan manusia dengan alam dan budaya.

Kisah Pak Eko dan Pak Maryono mengingatkan kami pada Le Corbusier dan muridnya, José Oubrerie pada pembangunan Gereja Saint-Pierre di Firminy. Oubrerie membutuhkan Corbusier untuk bisa menurunkan bentuk yang baku dari sketsa menjadi bangunan beton yang kokoh yang menjadi bangunan publik. Pak Maryono dalam studi kasus Ngibikan seperti menjadi Oubrerie, tukang yang menjadi murid Pak Eko. Beliau turut menurunkan gagasan limasan ke dalam teknis pengerjaan yang efisien, membagi warga yang juga merupakan pengguna dalam kelompok-kelompok kerja sesuai tahapan bangun: pondasi, rangka, pemasangan—dan mengajari mereka semua hingga bisa membangun sendiri. Di sini batas-batas arsitek menjadi lentur. Arsitek, tukang, dan klien menjadi satu demi ilmu arsitektur—sesuatu yang Pak Eko harap bisa lebih di akomodasi dalam pendidikan arsitektur di kampus.

Pendekatan Eko Prawoto untuk Ngibikan dan juga proyek-proyeknya lain tidak hanya mengingatkan pada pemberdayaan lokalitas khas Romo Mangun, tetapi juga kurikulum Berlage Institute yang menjadi tempatnya mengambil studi S2 pada 1993. Kontras dengan Amsterdam School yang ekspresif dan arsitektur yang ornamental, Berlage Institute menerapkan pendekatan yang lebih kritis, kolaboratif, dan eksperimental. Penekanannya ada pada relasi konteks lokal dan global, serta keterlibatan realitas praktis yang sarat konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Seperti Bauhaus di Jerman, atau AA School di London, dan berbagai institusi lain di dunia.

Ada aspek efisiensi dari modular rangka yang bisa diproduksi dengan mudah dalam jumlah besar sesuai kapasitas sumber daya alam dan manusianya sehingga semakin banyak rumah bisa dibangun dengan lebih cepat. Dalam pemilihan rangka limasan, kayu kelapa, dan penentuan program dapur di luar rumah, ada kepekaan pada budaya setempat—validasi terhadap identitas masyarakat yang menjadi pijakan untuk bangkit kembali.

Dalam hal relasi lokal dan global, kita perlu mengingat bahwa arsitektur merupakan sebuah investasi yang mahal, tetapi dibutuhkan oleh seluruh kalangan, tanpa terkecuali. Ketika pendidikan dan industri punya tendensi untuk menggunakan dan mengembangkan material hi-tech yang mahal, Pak Eko pun berkali-kali bertanya, “Posisi arsitek ada di mana?”

Pertanyaan itu beliau jawab secara literal dengan pindah ke Kulon Progo. Kekecewaan dan kemarahannya terhadap pendidikan dan industri arsitektur seakan ia olah kembali dalam kesederhanaan dan ketenangan desa—yang menurut kami adalah upayanya mendesain sebuah shift of paradigm, yang akan banyak merubah arsitektur Indonesia, dari kota menuju desa, melalui arsitektur frugal yang menyentuh hati.

Perbincangan di Limasan Depan. Sumber: OMAH Library

Di sisi lain, pertanyaan itu secara tersirat mengingatkan bahwa arsitek perlu bisa melayani berbagai kalangan, sehingga ia juga perlu menguasai berbagai teknik, tidak hanya teknik-teknik modern, tetapi juga teknik-teknik sederhana untuk kalangan yang mungkin hanya butuh pernaungan.

Roxana Waterson dalam buku The Living House mengamati bagaimana peradaban di Asia-Tenggara dimulai dengan shelter-shelter sederhana, dari ranting, daun, dan kulit pohon. Di buku ini Roxana mengemukakan teori Gaudenz Domenig tentang alternatif proses evolusi teepee structure (yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang disusun radial, mengerucut ke atas membentuk tenda) yang primitif, menjadi struktur vernakular berupa kolom-kolom tegak yang menopang atap lebar. Di Jawa, pengembangan ini muncul salah satunya dalam bentuk limasan. Mitu M. Prie melalui pengamatan sejarah dan arkeologi, mendapati bahwa bentuk limasan menjadi struktur yang paling sederhana dan banyak diduplikasi. Ia adalah versi vernakular dari kebutuhan primitif terhadap naungan.

Entah beliau sadari atau tidak, limasan menjadi model struktur yang seringkali Pak Eko adaptasi dalam karya-karyanya—baik dalam wujud aslinya seperti di Rumah Bener dan Rumah Kedondong, maupun dalam bentuk modifikasi seperti di Ngibikan. Terbukti, struktur ini memang mudah dipahami dan dibangun oleh tukang-tukang. Di bawah naungan struktur yang sederhana ini, program ruang yang lebih rinci kemudian dikembangkan.

Limasan Depan. Sumber: OMAH Library

Saat kami datang ke rumahnya di Kulonprogo, massa-massa limasan dan struktur lainnya yang bertebaran di halaman membuat kami ingin menangkap visualnya menggunakan drone. Namun, ketika dicoba, kami merasa gagal karena massa-massanya malah hampir tidak terlihat sama sekali, hampir seluruhnya tertutup rimbunan pohon.

Foto drone Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

Memang, nampaknya kami ini datang masih dengan mindset kota. Belakangan, kami baru menyadari bahwa justru rimbunan pohon itulah wujud sesungguhnya dari arsitektur Eko Prawoto. Nampaknya beliau bersungguh-sungguh ketika berbicara bahwa bagi orang desa rumah adalah halaman. Rumah Kedondong bukan sekadar massa dan program ruangnya yang tersebar, melainkan juga halamannya itu sendiri yang membentuk sirkulasi, menjadi penjalin relasi dengan komunitas desa, dan juga menjadi ruang hidup itu sendiri bagi Pak Eko untuk mengamati semesta. Dan ketika halaman pun menjadi rumah, maka pohon-pohon pun menjulang layaknya kolom-kolom, dan rimbunan daun pun menjadi atap yang menaungi. Siapa sangka, konsep shelter atau pernaungan di Rumah Kedondong dikembalikan pada bentuk alaminya, bahkan sebelum peradaban primitif dimulai. Kembali ke fitrahnya.

Selain relasi sosial, hubungan manusia dengan alam turut menjadi refleksi utama Pak Eko. Bersama beliau, konsep genius loci tak lagi sebatas teori pendekatan desain, tetapi seperti kembali lagi pada makna aslinya, “jiwa dari sebuah tempat”. Ia mencoba berdialog dengan alam seperti berdialog dengan manusia, yang kadang perlu beberapa kali bertemu dalam setting yang berbeda baru bisa akrab dan kenal. “Kalau datang, sebaiknya jangan sekali. Tapi pagi kayak apa, siang kayak apa, lalu malam seperti apa. Lalu pas matahari terbit dari sini, itu kok bagus banget. Berarti visual koridor ke arah ini penting,” tuturnya dalam seri kelas Contextual Method (OMAH Library, 2021).

Dinding taman yang menghindari pepohonan, diterangi cahaya sore hari dari barat. Sumber: OMAH Library

Di Rumah Kedondong, proses berkenalan itu terjadi dalam ritual keseharian yang sederhana, seperti ketika Pak Eko menyapu halaman. Di situ ia memperhatikan detail-detail baru yang sebelumnya luput: dari titik pancaran matahari, detail daun yang menginspirasi, sampai keseimbangan ekologi. Semua makhluk hidup coba beliau rangkul, meski saat itu ia berpotensi merusak.

“Kadang-kadang kita merasa kita memiliki banyak hal, tapi sebetulnya makhluk lain itu juga berhak … Saya mikir, ketika tidak ada ulat lagi, kita jangan mengharapkan akan melihat kupu-kupu. Jadi kadang-kadang ya sudahlah dibiarkan.” Ia memahami alam yang bergulir dinamis, keindahan dan keburukannya yang relatif, sehingga mengalahnya Eko Prawoto adalah untuk menang demi kebaikan yang lebih luas.

Teras rumah dengan berbagai tanaman hias yang dirawat Bu Rina. Sumber: OMAH Library

Dalam sebuah presentasi IPLBI di Yogyakarta tahun 2024 lalu, untuk pertama kalinya kami menampilkan video yang diambil dari kunjungan kami ke Rumah Kedondong dalam iringan lagu Happy Birthday oleh Levi Gunardi. Lagu tersebut merupakan persembahan Levi untuk gurunya, Iravati Mursit. Video dan potongan kenangan yang diceritakan kembali dalam presentasi itu pun juga menjadi persembahan kami untuk Pak Eko Prawoto, atas rasa syukur bisa bertemu beliau sebagai murid.

Mengutip Pak Galih Pangarsa, salah seorang sahabat Pak Eko, ketika membicarakan arsitektur Eko Prawoto, kita menjadi tersadar bahwa “yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, tetapi bagaimana menjadikan arsitektur sebagai wujud upaya bersama untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan.”

Di 2025 ini, 2 tahun sudah berlalu sejak Pak Eko wafat, tetapi keberadaan beliau masih kami rasakan dan kami rindukan. Beliau adalah seorang Kesatria, seorang agent of change yang berjuang dengan pergerakan di desa, yang mengetuk tak hanya raga dan pikiran, tetapi juga hati orang-orang yang bersinggungan dengannya. Dari sosok Pak Eko kami belajar untuk tenang dalam kemarahan dan berefleksi dari kekecewaan. Kata-kata beliau selalu bisa “membersihkan” hati dan membuat kami merasa seperti dilahirkan kembali. Menjadi manusia sejati. Dan hari ini pesan itu kami sampaikan lagi.

Happy birthday, Sir.

Siluet Eko Prawoto. Sumber: OMAH Library

English translation

Eko Prawoto and the Village, Future Architectural Methods for Indonesia

The last ten years before he died, architect Eko Prawoto decided to move to the village. He left the daily life of the city that was never free from development and the fertile land of architectural projects. He built a new house in the village, creating “his own project” with craftsmen who were not always there because they were farming. We were surprised, why did he want to take care of something that was unclear when it would start and finish? When OMAH Library visited there in 2023, we finally began to understand. There was a spirit that was radiated there, whose enthusiasm echoed loudly in the midst of a silent journey, which loudly sparked between the softly woven spaces.

An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan

Before moving to the village, since 1988 Eko Prawoto and his family lived in a house he designed himself in Bener, on the outskirts of Yogyakarta City. The house slowly developed and part of it became a studio that he named Eko Prawoto Architecture Workshop.

From there were born works such as Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), and many other artist houses, as well as affordable houses for various groups. Here he also began to receive offers to design installations and slowly made his way as an international artist.

Since the beginning, a contextual, organic, and humanistic approach has colored his works both as an architect and as an artist. However, this approach became stronger when faced with conditions in the village that had limited access to materials and skilled craftsmen. However, that was where Eko Prawoto believed in the existence of high intelligence and creativity to create something simple as a manifestation of maturity and integrity and harmony with nature.

His move to Kulon Progo was influenced by various factors. The Bener area, which was previously surrounded by rice fields and had been his home for 3 decades, slowly changed into a fairly dense residential area. However, he still persisted because he still had to teach at UKDW—a position he had held since 1985. Pak Eko planned to live a slower life after retiring. Moreover, as a teacher, he felt how current architectural education tends to focus on urban, industrial, and capitalist approaches.

“Now all the curriculums are only focused on urban, industrial, and capital. It might be suitable for the city, but remember that there are villages, there are small islands, which might not be suitable for the approach taught,” said Pak Eko when we visited him at his village house—perhaps more like a self-reminder than a criticism for the public.

Rumah Bener was finally only occupied until 2014. His architectural bureau office is still centered there, and he continues to teach at UKDW. However, in that year Pak Eko and his wife Bu Rina made up their minds, moving to become residents of Kedondong Village in Kulon Progo. Since then, he has positioned himself to be present and live in the village, observing the way the people live with nature.

“It’s indeed a learning process again,” he said. It’s as if he is taking a doctoral dissertation on “architectural language that is more connected to the village”. From there we can see his work that is increasingly balanced and increasingly listening, as seen in his residence, Rumah Kedondong (which he occupied until he fell ill and died in September 2023), and Bale Klegung (2021), a food stall not far from there that is privately managed.

Both of these places appear to be executed with the same design method. Spatially, Rumah Kedondong and Bale Klegung do have similar characters: each has an area of ​​± 2,000 m2 and is both located on a riverbank slope with many existing trees. This specific spatial condition is responded to with a vernacular way of thinking, adopting the mindset of village communities that follow natural forms more. The method is very contextual, one of which is by not cutting trees as much as possible and not changing the contour.

As a consequence, the mass of the building is spread out and rises and falls following the availability of land. As in his first house in Bener, and his other works, the presence of a tree sticking out in the middle of the building is commonplace. “This house appeared later, while this tree was already there first. The tree had to be won, then played between the existing spaces.”

The designs often seem unplanned. The spatial program develops organically following the growth of needs, from residences, meeting places to welcome guests, discussions, or lectures, to guest houses and museums. Almost all of them are accommodated by used wooden structures from various regions, such as East Javanese houses and barns from Bawean that were collected gradually. Used materials, new materials, and whatever is available are combined and used to the maximum.

At first glance, nature seems to be the highest element in Pak Eko’s works. However, he actually places nature in second place in his reflections during his life in the village. The first is the value of togetherness as part of an agrarian culture. “Social institutions, social relations are very important in the village to differentiate it from the city.”

In the village, residents usually allow their neighbors to enter and exit their yards. The yard is no longer just a personal space, but also a public space where residents can pass through and cut off access. “(For villagers) The house is the yard, relations become important,” said Pak Eko. The fence in the village also becomes a flexible boundary, never completely closed. Pak Eko also once said that the gate to his house was never locked. Later, he actually opened a new access, a bridge that connects the yard of Rumah Kedondong with the neighbor’s house across from it. When we visited there, we found Pak Eko’s neighbor using the bridge, entering the yard of Rumah Kedondong, greeting for a moment, then continuing the journey to his destination who knows where. The tolerance of the village community may have become commonplace there, but it is very rare to find in urban communities.

Human relations are an important element, not only in his architectural practice in the village, but also consistent in Pak Eko’s other projects. He establishes close relationships with all those involved and often positions himself as a bridge, facilitator, and companion. Pak Eko has repeatedly said that to clients he acts like a midwife who helps with “delivery”. The resulting building is like a baby that is clearly not Pak Eko’s child, but rather his own parents, namely the client or user who will use and care for it for decades. Therefore, Pak Eko tries not to impose his ego as an architect. In residential projects, especially those owned by artists with big egos, for example, Pak Eko allows the client to determine how the house will be filled, while he only helps direct so that the client’s wishes are well facilitated according to the available resources. The way he positions himself provides space for collaborative relationships that challenge the formal boundaries of architects.

In Rumah Kedondong, Mr. Eko does have more power as the owner and user, but again he keeps that ego to himself to give space to the craftsmen in the village. “The craftsmen in the village are actually farmers who work as craftsmen in their spare time. So, their abilities are limited and their equipment is also simple,”—in addition to their limited availability of time. The character of these craftsmen is what then largely determines the appearance of the architecture.

“We don’t have many resources, so if possible, don’t process too much. Don’t cut and produce leftover material, so everything is used up. That’s why I like broken ceramics because there’s no leftover, it’s all used up.” What then emerges is an honest frugal (cheap and simple) and primal (initial, raw, basic) architecture. Starting from social relations with the village craftsmen, Mr. Eko is brought back to the authentic character of the village that is more down to earth, which instinctively gives in to the form of nature.

This does not mean that his architecture is not innovative, in fact, this attitude of giving in gives rise to new creativity. For example, a family room unit in Rumah Kedondong with a concrete structure whose columns are separated by different contours. To avoid excessive cut-and-fill, a stage model was finally made with columns reinforced with catenary arches so that the dimensions remain thin. This design solution may be common for Mr. Eko, but new for the craftsmen. Therefore, he did not force the results to be neat, “(The important thing is) that it is structurally correct.” Moreover, the order of nature is also not uniform. “Everything has a role, has a function. We cannot find two identical leaves on one tree. So it’s different. Don’t be too stubborn in your architecture, like that.”

Employing local craftsmen is a strategy that Mr. Eko learned from his teacher, Romo Mangun. Building activities are not only seen as a way to meet programmatic needs, but also as an opportunity to support the local economy. “By making those details, it is not an aesthetic consideration, but actually to absorb it longer, so that the craftsmen work longer in that place, so that they still have jobs.”

In the post-earthquake reconstruction of Ngibikan Village in Yogyakarta in 2006, Mr. Eko worked closely with the local community. His initial involvement in Ngibikan was because of Mr. Maryono, a villager who had long worked with Mr. Eko as a carpenter. Mr. Maryono’s house was still standing, but many other houses had collapsed due to the addition of modern construction to the original limasan structure without proper reinforcement. The residents then took refuge in plastic tents set up in the rice fields. Concerned about this condition, Mr. Eko and Mr. Maryono, with financial assistance from Kompas, tried to rebuild the village.

There were many aspects that were attempted to be responded to in this case: the urgent need for decent housing, the character of the local community and culture that must be maintained, as well as the limited material resources and experienced carpenters. The design that then emerged was a modified limasan frame using coconut wood from around the village with concrete bases and nut-bolt connections. Three main modules were built during the reconstruction and can be duplicated according to the needs of future users. The brick walls reassembled from the earthquake debris stand ± 1 meter high, connected by light and easy-to-cut gypsum board walls. The construction procedure is easy to follow even for ordinary people with no previous carpentry experience, but structurally it is more effective in withstanding earthquakes than the previous structure.

In just 4 months, 55 houses in RT 5 Ngibikan were successfully built and ready to welcome the month of Ramadan. When visited four years later for the Aga Khan Award assessment, the village looked as if it had never been shaken by an earthquake before. The atmosphere is alive with similar framed houses but with their own development full of character—quite a contrast when compared to several villages that were reconstructed with a top-down system that is distant from the daily lives of its residents. Because of this event, a new generation of carpenters also grew from this village. Through collaboration, the architecture born from the hands of Eko Prawoto not only functions physically, but also maintains the relationship between humans and nature and culture.

The story of Mr. Eko and Mr. Maryono reminds us of Le Corbusier and his student, José Oubrerie in the construction of the Saint-Pierre Church in Firminy. Oubrerie needed Corbusier to be able to reduce the standard form from sketch to solid concrete building that became a public building. Pak Maryono in the Ngibikan case study is like Oubrerie, a craftsman who became Pak Eko’s student. He also reduced the idea of ​​limasan into efficient work techniques, dividing residents who were also users into work groups according to the construction stages: foundation, frame, installation—and taught them all until they could build it themselves. Here the boundaries of the architect become flexible. Architect, craftsman, and client become one for the sake of architectural knowledge—something Pak Eko hopes can be more accommodated in architectural education on campus.

Eko Prawoto’s approach to Ngibikan and his other projects is not only reminiscent of Romo Mangun’s typical local empowerment, but also the curriculum of the Berlage Institute where he took his Master’s studies in 1993. In contrast to the Amsterdam School’s expressive and ornamental architecture, the Berlage Institute applies a more critical, collaborative, and experimental approach. The emphasis is on the relationship between local and global contexts, as well as the involvement of practical realities that are full of social, cultural, and economic contexts. Like Bauhaus in Germany, or AA School in London, and various other institutions in the world.

There is an efficiency aspect of modular frames that can be easily produced in large quantities according to the capacity of natural and human resources so that more houses can be built more quickly. In the selection of the limasan frame, coconut wood, and the determination of the kitchen program outside the house, there is sensitivity to local culture—validation of the community’s identity that is the basis for rising again.

In terms of local and global relations, we need to remember that architecture is an expensive investment, but it is needed by all groups, without exception. When education and industry tend to use and develop expensive hi-tech materials, Mr. Eko has asked many times, “Where is the position of the architect?”

He answered that question literally by moving to Kulon Progo. His disappointment and anger towards education and the architecture industry seemed to be reprocessed in the simplicity and tranquility of the village—which we think is his attempt to design a paradigm shift, which will greatly change Indonesian architecture, from the city to the village, through heart-touching frugal architecture.

On the other hand, the question implicitly reminds us that architects need to be able to serve various groups, so they also need to master various techniques, not only modern techniques, but also simple techniques for groups who may only need shelter.

Roxana Waterson in the book The Living House observes how civilization in Southeast Asia began with simple shelters, made of twigs, leaves, and tree bark. In this book, Roxana presents Gaudenz Domenig’s theory about the alternative process of evolution of the primitive teepee structure (which consists of wooden slats arranged radially, tapering upwards to form a tent), into a vernacular structure in the form of upright columns supporting a wide roof. In Java, this development appears, among others, in the form of a limasan. Mitu M. Prie, through historical and archaeological observations, found that the limasan form is the simplest and most widely duplicated structure. It is a vernacular version of the primitive need for shelter.

Whether he realized it or not, the limasan became a structural model that Pak Eko often adapted in his works—both in its original form such as in Rumah Bener and Rumah Kedondong, and in a modified form such as in Ngibikan. Evidently, this structure is indeed easy to understand and build by craftsmen. Under the auspices of this simple structure, a more detailed spatial program was then developed.

When we came to his house in Kulonprogo, the masses of the limasan and other structures scattered in the yard made us want to capture the visuals using a drone. However, when we tried, we felt like we failed because the masses were almost invisible at all, almost entirely covered by the thick trees.

Indeed, it seems that we came with a city mindset. Later, we realized that the thick trees were the true form of Eko Prawoto’s architecture. It seems that he was serious when he said that for village people, a house is a yard. Rumah Kedondong is not just a mass and its spread out spatial program, but also its yard itself that forms circulation, becomes a weaver of relations with the village community, and also becomes a living space for Mr. Eko to observe the universe. And when the yard becomes a house, the trees tower like columns, and the thick leaves become a roof that shelters. Who would have thought, the concept of shelter or shelter in Rumah Kedondong is returned to its natural form, even before primitive civilization began. Back to its nature.

In addition to social relations, the relationship between humans and nature also becomes Mr. Eko’s main reflection. With him, the concept of genius loci is no longer limited to a design approach theory, but rather returns to its original meaning, “the soul of a place”. He tries to have a dialogue with nature like a dialogue with humans, who sometimes need to meet several times in different settings to be able to be familiar and know each other. “If you come, it’s better not to come once. But what’s it like in the morning, what’s it like in the afternoon, and what’s it like at night. Then when the sun rises from here, it’s really beautiful. That means the visual of the corridor in this direction is important,” he said in the Contextual Method class series (OMAH Library, 2021).

At Rumah Kedondong, the process of getting to know each other occurs in simple daily rituals, such as when Mr. Eko sweeps the yard. There he notices new details that were previously missed: from the point of sunlight, the inspiring details of the leaves, to the ecological balance. He tries to embrace all living things, even though at that time he has the potential to cause damage.

“Sometimes we feel like we have a lot of things, but actually other creatures also have the right … I think, when there are no more caterpillars, we shouldn’t expect to see butterflies. So sometimes, just let it be.” He understands the dynamic rolling nature, its relative beauty and ugliness, so that Eko Prawoto’s defeat is to win for the greater good.

In an IPLBI presentation in Yogyakarta in 2024, for the first time we showed a video taken from our visit to Rumah Kedondong accompanied by the song Happy Birthday by Levi Gunardi. The song is Levi’s dedication to his teacher, Iravati Mursit. The video and snippets of memories retold in the presentation are also our offerings to Mr. Eko Prawoto, as a form of gratitude for being able to meet him as a student.

Quoting Mr. Galih Pangarsa, one of Mr. Eko’s friends, when discussing Eko Prawoto’s architecture, we realize that “what is more important is not the debate on the spatial aspects of ‘local-global’, nor the temporal aspects of ‘traditional-modern’, but how to make architecture a form of joint effort to escape the trap of dwarfing and destroying the seeds of humanity.”

In 2025, 2 years have passed since Mr. Eko passed away, but we still feel and miss his presence. He was a Knight, an agent of change who fought with movements in the village, who touched not only the body and mind, but also the hearts of those who came into contact with him. From Mr. Eko we learned to be calm in anger and reflect on disappointment. His words could always “cleanse” our hearts and make us feel like we were reborn. To become true human beings. And today we deliver that message again.

Happy birthday, Sir.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Romo Mangun, Jejak-Jejak Arsitektur yang Memanusiakan

(English translation is available below)

Selama proses penulisan artikel ini, seorang desainer di studio kami bertanya, “Kenapa sih Kak Rich menulis tentang Romo Mangun? Kenapa kami yang muda ini perlu untuk mengenal beliau?” 

Well, mempelajari sosok Romo Mangun bukanlah sekadar tanggung jawab sejarah. Dalam refleksi praktik penulis di Jakarta, di tengah hingar-bingarnya arsitektur yang provokatif dan berorientasi bisnis di Jakarta, Romo Mangun melalui praktiknya menunjukkan ada banyak kalangan masyarakat yang membutuhkan pendekatan lebih terjangkau. Indonesia bukan cuma soal Jakarta, dan sepak terjang beliau secara strategis merespons dilema tersebut dengan berbagai perannya, menembus batas-batas keprofesian arsitektur yang dilematis.

Father Y. B. Mangunwijaya (right) receives guests in his house on the slopes of Kali Code, Yogyakarta, 1986 Photo: TEMPO/Yuyuk Sugarman.

Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Dalam sebuah pertemuan kami dengan alm. Adhi Moersid, beliau bercerita sempat merasakan kuliah bersama Y.B. Mangunwijaya di ITB tahun 1959-1960. Menurut beliau, Mangunwijaya sering berangkat ke kampus mengenakan baju pastor. Sebuah potongan memori yang cukup menggelitik mungkin bagi kita yang lebih familiar dengan Mangunwijaya lewat karya-karya terbangunnya—meski kita tahu ia sering dipanggil dengan sebutan “Romo” yang menunjukkan perannya sebagai imam Katolik, juga karya-karyanya yang sebagian besar merupakan fasilitas keagamaan Katolik.

Berkaca pada sosok Antoni Gaudi yang kita bahas sebelumnya, Mangunwijaya ini adalah “spesies” arsitek yang karya-karyanya tak tersekat pada profesi perancangan, tetapi juga dalam pengajaran, penulisan, aktivisme, dan pelayanan. Dari jubah pastor, kisah burung manyar, hingga anyaman bambu di tepi Kali Code, apa yang membuat Mangunwijaya memilih jalur multi-spektrum ini? Visi apa yang beliau perjuangkan?

Lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah di tengah keluarga Katolik dengan ayah dan ibu yang keduanya guru, Yulianus Sumadi Mangunwijaya tumbuh dalam lingkungan religius dan terpelajar. Sejak kecil ia sudah berkeinginan menjadi arsitek, tetapi belum juga tamat sekolah, ia harus turut memperjuangkan kemerdekaan sebagai Tentara Pelajar sepanjang 1945–1948. Dalam prosesnya, ia menyaksikan bagaimana warga desa telah banyak membantu tentara, sekaligus juga menjadi korban dari kekejaman penjajah. Menyaksikan kawan-kawannya gugur juga sudah pasti, dan bukan tak mungkin bahwa ia sendiri merasakan momen-momen antara hidup dan mati.

Di titik itu, barangkali muncul kesadaran bahwa selamat dari peristiwa itu merupakan sebuah anugerah tersendiri, dan kehidupan ini terlalu berharga untuk dihabiskan ala kadarnya. Mangunwijaya pun terdorong untuk “membayar utang kepada rakyat”, dan jalan yang ia pilih adalah pelayanan sebagai pastor. Di umur 21, beliau masuk sekolah pastor St. Paulus di Yogyakarta, terlepas usianya yang lebih tua dibanding calon pastor lain.

Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta

Buku The Altruism of Romo Mangun yang ditulis Darwis Khudori menjelaskan bahwa selepas lulus dari Sancti Pauli, Mangunwijaya ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Albertus Soegijapranata. Ia menggunakan nama resmi yang sudah tak asing di telinga kita, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Namun, baru sehari menjadi pastor, Soegija memintanya untuk belajar arsitektur, supaya bisa membangun rumah-rumah ibadah di berbagai tempat dengan bahasa yang lokal alih-alih ala kolonial. Di situlah ia belajar di ITB dan bertemu Adhi Moersid pada 1959-1960, sebelum akhirnya beliau pindah ke Rhein Westfalen Technical School di Jerman dan meraih gelarnya di sana.

Mangunwijaya Muda

Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mangun mulai membangun banyak gereja dan wisma di DIY dan Jateng. Beliau juga merancang untuk kalangan di luar lingkup gereja, berupa rumah tinggal, kos-kosan, komplek pemukiman, dan sekolah. Beberapa karya beliau di antaranya adalah Gereja Maria Asumpta (1967-1969), Sendang Sono (1972-1991), Permukiman Tepi Kali Code (1983-1987), Rumah Arief Budiman (1986-1987), Wisma Kuwera (1986-1999), Seminari Tinggi Fermentum (1996), dan masih banyak lagi.

Bila melihat perkembangan arsitektur Indonesia pasca-kemerdekaan, terlihat selalu ada urgensi untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia. Arsitektur modern ala Barat saat itu menjadi preferensi untuk membangun identitas nasional yang baru dan kuat, diinisiasi oleh Soekarno dan dilanjutkan saat kepemimpinan Soeharto lewat proyek-proyek monumental dan penataan urban.

Proyek Mercusuar Orde Lama

Namun, yang disayangkan Romo Mangun adalah aplikasi arsitektur tanpa penyesuaian terhadap iklim tropis dan budaya Indonesia, seperti yang banyak terjadi di Jakarta saat itu dengan gedung-gedung beton berlapis kaca. Selain itu, arsitektur yang membutuhkan material industri dengan teknik membangun yang canggih akan sulit diterapkan untuk rakyat biasa yang mayoritas tinggal di kota kecil atau desa-desa, sesuatu yang menjadi realitasnya selama masa kecil dan dalam kesehariannya sebagai pastor. Jadi, selain kebutuhan untuk mendefinisikan identitas nasional lewat arsitektur, di saat yang sama timbullah keresahan tentang arsitektur Indonesia yang relevan dengan iklim, sumber daya alam, dan keseharian masyarakat pada umumnya.

Generasi arsitek yang aktif saat itu, seperti Friedrich Silaban, Soejoedi, dan Romo Mangun sendiri rata-rata belajar arsitektur di luar negeri, khususnya Jerman. Wajar saja bila kemudian bahasa arsitektur yang digunakan banyak terpengaruh arsitektur modern. Namun, setiap arsitek punya caranya masing-masing dalam menerjemahkan kondisi iklim setempat dan masyarakat Indonesia dalam karya-karyanya.

Friedrich Silaban (1912-1984), meski mengerjakan proyek-proyek berskala monumental dengan gubahan massa modern, ia selalu mengupayakan bukaan yang lebar dan kisi-kisi untuk menghalau sinar matahari langsung. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928-1981) lebih memilih menggunakan tritisan yang lebar alih-alih kisi-kisi untuk merespons iklim. Sementara, secara budaya, beliau mengambil konsep ruang dalam dan luar pada arsitektur Jawa sebagai inspirasi program ruang yang seimbang, meski gubahan massanya benar-benar baru dan bercitra independen. 

Sementara, Adhi Moersid, teman sejawatnya yang bersekolah di dalam negeri, punya pendekatan yang lebih lokal dengan konsep Arsitektur Papan Kayu yang terangkum dalam buku Kagunan. Prinsipnya adalah menggabungkan dua papan kayu pipih untuk membentuk bilah usuk yang lebih kokoh, sehingga memungkinkan konstruksi atap tanpa gording. Konsep ini pun membuka lompatan dari struktur rangka menjadi struktur bidang. Susunan papan kayu ini juga menghasilkan visual yang lebih rapi dan indah ketika diekspos sehingga menjadi wujud “langit-langit yang baru”.

Ketiganya punya cara-cara tersendiri untuk meramu ruang dan material. Dengan skala yang monumental, material beton dan teknik fabrikasi jadi relevan untuk karya-karya Silaban dan Soejoedi. Visual yang sederhana pun membutuhkan tektonika tersendiri yang membuat hubungan antarmaterial jadi seamless. Pendekatan Adhi Moersid sifatnya lebih teknokratik, fokus pada ilmu itu sendiri dan konteks biaya-mutu-waktu dari suatu proyek. Ia mencoba menembus batas dengan material kayu yang natural dan lokal, tetapi masih perlu dibeli dari “pasar” dengan spesifikasi yang seragam.

Begitu bicara sosok Romo Mangun, segala aspek dieksplorasi. Dari bentuk atap, susunan bata, corak tekstur beton, hingga detail sambungan, semua diolah total tiada luput. Yuswadi Saliya pernah menggambarkan Sendang Sono dengan ekspresi, “Keinginannya untuk berbuat membekas di mana-mana. Menyaksikannya boleh jadi melelahkan, detail itu bercerita tanpa putus, menyapa pada setiap lekuk dan liku. Segi-tiga dan segi-empat membentuk bidang dan ruang yang bergema bersahut-sahutan, turun naik berundak-undak, semuanya membentuk tamasya buatan manusia yang lebur dengan kelok alur sungai dan punuk palung bukit. Sangat kompleks. Majemuk.” Keberagaman teknik menjadi kata kunci arsitektur Romo Mangun. Konsepnya adalah variatif atau hibrida yang menggambarkan konteks lokasi tempat arsitekturnya hadir.

Secara gubahan massa, beliau banyak mengeksplorasi bentuk atap miring dengan pertimbangan material genteng sebagai penutup yang mudah didapat dan relatif murah dibanding instalasi atap beton, apalagi bila harus menghadapi curah hujan Indonesia yang tinggi. Atap-atap Romo Mangun membentang lebar, tak jarang mendominasi citra bangunan. Terlebih dengan proporsi badan yang rendah, terkesan ada upaya untuk membuat skalanya tetap manusiawi agar perawatan menjadi mudah.

Untuk menopang atap-atap ini, beragam material digunakan. Dari sekitar 30 karya terbangunnya, terdapat belasan gereja yang mayoritas menggunakan beton sebagai elemen struktur. Kadang ia cukup menjadi kolom ketika bentang atap masih bisa ditopang oleh struktur kayu, terkadang ia juga hadir sebagai balok bila kapasitas gereja terlampau besar. Sementara, pada gereja-gereja kecil, wisma, sekolah, atau hunian dengan luasan yang tak seberapa, peran struktur utama biasanya dipegang oleh kayu.

Namun, sekalipun beton digunakan, Romo Mangun tak terbiasa meninggalkannya polos begitu saja. Motif-motif digoreskan, kadang dalam pola yang teratur, kadang menggunakan cetakan bambu atau kayu bekas, memberi kesan organik seperti pohon di dalam bangunan. Dimensi beton juga dijaga agar tetap ramping dan ditata dalam pengulangan berirama untuk menekan karakter kasar dan beratnya (Tjahjono, 1995). Kadang balok konsol dicetak sedemikian rupa menyerupai ranting. Beton di tangan Romo Mangun menjadi lebih lembut dan kadang terkesan organik.

Lanjut ke bagian badan, Romo Mangun sering membuat ruang-ruang publiknya, terutama gereja, tampil terbuka tanpa dinding penutup, kecuali hanya sebaris yang melatari altar. Pertama, untuk memasukkan udara secara maksimal—seperti gagasan Silaban yang lebih meyakini Indonesia butuh atap lebar untuk menghalau panas matahari daripada dinding yang menghalangi angin ekuator dengan kecepatan tak seberapa. Kedua, karena konsep “gereja pasar”. Romo pernah berpesan, “Ketika religiositas semakin mengakar dalam terang Tuhan, maka manusia sejati adalah cerminan bayang-bayang Tuhan sendiri,” (Mudji Sutrisno, 2001). Tidak ada urgensi untuk memisahkan ruang suci gereja dengan “pasar” kehidupan sehari-hari. Justru batas itu dibuka untuk menjembatani jiwa-jiwa yang mencari cahaya Tuhan.

Ketika sebuah dinding diperlukan, wujudnya hadir dalam berbagai bentuk: dari batu bata, kayu, bambu, batuan alam, beton, atau kombinasi dari semuanya. Parameternya tak jauh-jauh dari batasan anggaran, kesediaan material di lokasi, kreativitas ketukangan, dan pemberdayaan komunitas. Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono, Salatiga misalnya, awalnya dirancang menggunakan dinding batu bata. Namun, ketika Romo Mangun survei ke Gedono, beliau melihat warga setempat banyak yang berprofesi sebagai pemotong batu kricak. Ia mendapat ide untuk menggunakan jasa warga setempat untuk memotong batu yang lebih besar dari daerah Banaran, lebih dekat daripada harus mendatangkan batu bata dari Klaten. Akhirnya, biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil, dan warga pun belajar keterampilan baru untuk memecah batu besar dengan potongan yang rapi. Material yang terkesan biasa-biasa saja pun bertransformasi dengan cara yang istimewa.

Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono

Untuk lantai, pada beberapa karyanya yang dikonstruksi menggunakan kayu, khususnya yang berfungsi sebagai hunian, Romo Mangun banyak menerapkan struktur lantai panggung. Misalnya pada sebagian massa di Wisma Salam, Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Wisma Kuwera. Ini merupakan respons penggunaan kayu terhadap iklim tropis Indonesia yang lembab. Akan tetapi, lebih dari itu, kombinasi struktur panggung dengan struktur lantai konvensional dalam satu karya sekaligus menciptakan permainan ketinggian yang dinamis, membuat ruang-ruang di dalamnya terasa menyenangkan!

Arsitektur Romo Mangun menjadi salah satu preseden utama dalam hal kolaborasi antara low technology dengan high technology. Julia Watson di bukunya Lo-TEK (2019) menjelaskan bahwa low technology atau lo-tech sering diasosiasikan dengan sistem atau mesin yang sederhana, tidak canggih, tidak rumit, dan berasal dari masa sebelum revolusi industri. Kami juga melihatnya sebagai metode yang intuitif dan impulsif dengan penyelesaian yang terjadi secara impromtu di lapangan. Sebaliknya, high technology (high-tech) sifatnya baru, berfitur canggih, dan memberi kesan seakan jadi pilihan yang lebih baik. Watson mengungkapkan, sistem high-tech yang mencoba menjadi solusi untuk semua permasalahan justru bertentangan dengan heterogenitas atau kemajemukan yang ada dalam kompleksitas ekosistem.

Oleh karenanya, high-tech tidak selalu bisa menjadi solusi. Kombinasi lo-tech dan high-tech pun menjadi titik tengah yang diambil Romo Mangun dalam merespons gap antara arsitektur barat yang mutakhir dan mendominasi dunia, dengan arsitektur lokal yang jadi keseharian masyarakat Indonesia saat itu. Refleksi atas keresahan ini akhirnya menelurkan buku Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) lebih fokus pada aspek teknis dan respons terhadap iklim tropis Indonesia, juga fenomena alam yang khas seperti gempa bumi. Di dalamnya terdapat bab khusus yang membahas aplikasi material lokal bambu, kayu, dan bata yang cocok dengan kondisi Indonesia. Ditujukan untuk pelajar dan praktisi non-akademik, buku ini dikemas dengan bahasa dan diagram yang sederhana, dilengkapi dengan contoh-contoh praktis. Ada pemahaman bahwa masyarakat memiliki keterbatasan akses terhadap high technology, maka pendidikan berbasis arsitektur barat perlu diimbangi dengan pengetahuan tentang cara membangun yang relevan dengan kondisi setempat.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980)

Sementara itu, Wastu Citra (1988) lebih mengambil sudut pandang diskursus. Dirilis pada masa di mana Romo Mangun sudah tidak ingin bertugas menjadi pastor dan lebih sering berkutat dengan kegiatan aktivisme bersama masyarakat kelas bawah, barangkali Romo Mangun melihat bagaimana kebiasaan membangun tradisional dan yang berkembang di keseharian masyarakat seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari arsitektur juga. Oleh karena itu, digunakanlah istilah “wastu” yang mencakup segala bentuk kegiatan membangun untuk menyetarakan semuanya. 

Wastu Citra

Revianto B. Santosa di dalam film Wastu mengamati bagaimana Romo Mangun bersikap “universal” di buku ini: tidak hanya membahas keunggulan arsitektur Indonesia dengan iklim tropis dan budaya vernakularnya, tetapi juga mencantumkan bab tentang arsitektur barat dan filsafatnya serta inspirasi mancanegara seperti dari Yunani, Jepang, dan India. Ketika membahas makna-makna kosmologis yang lebih dalam dari sekadar wujud fisik wastu, Romo Mangun pun menarik studi dari berbagai adat budaya serta agama di dunia. Namun, pada akhirnya, beliau menutup buku ini lagi-lagi dengan ajakan untuk meramu hal-hal baik dari masing-masing kutub untuk membawa kesejahteraan bagi semua, termasuk kaum marjinal.

Menurut kami, lebih dari sekadar kombinasi low and high technology, keberpihakan Romo Mangun terhadap rakyat kecil bisa diturunkan hingga dimensi material yang digunakan. Katakanlah sebuah joglo yang datang dari tradisi low technology, penggunaannya tidak lagi relevan untuk masyarakat kecil karena balok-balok kayu yang besar, panjang, dan utuh tidak mungkin terbeli. Romo Mangun mau tak mau harus bekerja dengan kayu-kayu yang pendek ukurannya—dan material apa pun yang tersedia, sekalipun itu sisa-sisa atau bahkan sudah menjadi sampah. Dari wawancara kami dengan Rina Eko Prawoto, adalah hal yang biasa ketika Romo Mangun meminta para tukang untuk mencabut paku-paku dari sebilah balok kayu. Baik kayu maupun pakunya, keduanya akan sama-sama digunakan lagi untuk kebutuhan lain.

Kami sempat berkunjung ke Wisma Kuwera. Sekilas bangunan ini seperti mencoba merespons konteks urban Yogyakarta dengan menciptakan kepadatan program ruang di dalamnya. Dimensi modulnya tidak lebih besar dari 3 meter, dengan komposisi vertikal yang saling saut, dengan variasi ketinggian lantai antara 1-1,5 meter. Pengalaman ruang yang tercipta sungguh sangat menarik, memantik pertanyaan, “Kok Romo kepikiran membuat sesuatu seperti ini?” Setelah dipikir-pikir lagi, dimensi yang kecil-kecil itu adalah respons dari terbatasnya akses terhadap material-material masif, hanya saja dikreasikan sedemikian rupa membentuk susunan ruang yang kreatif.

Keterbatasan material juga mendorong munculnya elemen-elemen multifungsi. Salah satunya adalah kerangka A yang banyak digunakan kemudian di Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Pertapaan Gedono. Di sini, atap juga menjadi dinding, kolom sekaligus menjadi rangka atap. Seperti sebuah loteng, tetapi justru digunakan sebagai ruang primer. Hadirnya dinding sejati atau elemen lainnya pun tumbuh sesuai kebutuhan, membuat bangunan bertransformasi secara elegan.

Ketika akses terhadap material begitu terbatas, mau tak mau seseorang harus mengerti bagaimana memaksimalkan material tersebut. Mungkin dari sini muncullah benih-benih yang menghasilkan tektonika seorang Mangunwijaya. Mengutip Mahatmanto (2001, Tektonika YB, Mangunwijaya), “Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya.” 

Yuswadi Saliya pernah berkesempatan mengamati Romo Mangun saat hendak membangun dinding pembatas dari kerawang/roster. Beliau membolak-balik balok roster tersebut cukup lama. “Ditumpuk, dideretkan, diserongkan … Dibidiknya dari sisi, dari bawah, menjauh kemudian menyimpang … Mencari posisi yang paling serasi, memadu lagu yang paling merdu.” Elaborasi dilakukan tanpa gambar, mengandalkan kepekaan indrawi ketika manusia berinteraksi dengan ruang bentuk. Yuswadi melihatnya sebagai sebuah bentuk kemerdekaan.

Dalam prosesnya Romo Mangun bergerak sangat erat dengan para tukang. Tak sebatas mengawasi, beliau mendidik, dan tak jarang beliau pun belajar hal baru dari mereka. Kedudukannya begitu tinggi hingga dituliskan dalam halaman persembahan buku Wastu Citra, “Buku ini ditulis untuk menghormati para tukang dan karyawan-karyawati lapangan, yang dalam cara-cara mereka tertentu telah menjadi mahaguru arsitektur yang ulung bagiku.” Merekalah sosok-sosok yang oleh Romo Mangun ingin diajak untuk merdeka bersama-sama.

Romo Mangun fokus pada proses berkarya, tidak hanya untuk menghasilkan uang secara pendekatan kapitalisme, tetapi uang yang didapat untuk mensejahterakan. Eko Prawoto pernah bercerita tentang gurunya ini, “Romo membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu.” Bisa jadi biaya yang dikeluarkan untuk tukang menjadi lebih tinggi dibanding biaya yang dikeluarkan untuk belanja material. 

Di titik ini kami teringat arsitek Louis Kahn saat mendesain Gedung Parlemen Bangladesh di Dhaka. Proyeknya membuka banyak lapangan kerja baru dan menjadi sarana pengembangan keterampilan tukang lokal. Yang membuat berbeda adalah pilihan material dari kedua arsitek ini. Untuk sebuah proyek sebesar Gedung Parlemen Bangladesh, penggunaan beton dan marmer menimbulkan gap ketukangan di tengah masyarakat yang terbiasa membangun menggunakan tanah, bambu, kayu, dan bata.

Di sinilah pilihan Romo Mangun untuk mengkombinasikan low dan high technology menjadi penting. Karenanya, para tukang tetap mengerjakan sesuatu yang masih dekat dengan kesehariannya, tetapi juga sembari bersama-sama mempelajari material atau teknik baru. Circular resource pun terjadi dengan bahan sisa atau bekas yang masuk kembali dalam siklus dibarengi para tukang yang kembali berdaya. Mahatmanto dalam dokumenter Wastu menyampaikan bagaimana Romo Mangun menyadari kualitas masyarakat yang heterogen. “Sehingga dia mengambil ambang bawah supaya semua bahan, semua ketukangan atau keterampilan yang dimiliki oleh para tukang itu bisa dimanfaatkan secara optimal.”

Namun, teknik yang sederhana bukan berarti hasilnya biasa-biasa saja. Justru pendekatan ambang bawah membuka kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi. Tak jarang para tukang mengusulkan hal baru yang tak terpikirkan Romo Mangun sebelumnya. Gunawan Tjahjono menggambarkan proses ini seperti permainan musik Jazz di mana tiap pemain punya kebebasan untuk memperkaya sebuah lagu. “Dari tukang ke pemakai, semua terlibat dan berpeluang menafsirkan. Para pelaku memiliki ruang berekspresi atas bagian-bagian bangunan yang mungkin akan seumur hidup dihuninya.” Pada akhirnya, setelah Romo Mangun sudah tak lagi bisa mendampingi, diharapkan pengguna dan para tukang nantinya bisa melanjutkan atau merawat secara mandiri.

Performa bangunannya sendiri juga dirancang untuk mendidik. Di Seminari Tinggi Fermentum Bandung misalnya, Romo Mangun membagi wisma untuk para frater (calon pastor) dalam unit-unit kecil berisikan 5-6 orang saja untuk membentuk komunitas-komunitas kecil seperti keluarga yang saling mengenal. Kombinasi low and high technology lagi-lagi diterapkan, memberikan unsur kesementaraan yang membutuhkan perawatan berkala. “Romo Mangun bilang biarin aja, supaya nanti para frater di setiap unit berlomba mana unit yang paling terawat,” tutur Pastor William. Romo Mangun seakan memberi penekanan bahwa menjadi imam bukanlah sebuah keistimewaan, melainkan untuk melayani komunitas. Kesadaran ini dibentuk dari kebiasaan sehari-hari, menggunakan fasilitas selayaknya dan memperbaiki titik-titik yang rusak.

Nilai-nilai keseharian menjadi salah satu hikmah yang kami temukan pada sosok Romo Mangun. Selain diterjemahkan pada program ruang dan garis besar rancangan, beliau seakan mencoba menangkap hal-hal baik dari keseharian masyarakat dan merayakannya dalam simbolisme. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari massa unik yang menjadi vocal point, pengulangan struktur, pola susunan material, hingga elemen-elemen dekoratif. 

Penggunaan simbolisme mungkin terkesan dangkal bagi sosok dengan kedalaman berpikir seperti Romo Mangun. Namun, barangkali ini adalah cara paling sederhana untuk menimbulkan kebanggaan pada masyarakat kecil yang beliau dampingi—bahwa setiap kehidupan itu berharga, bahwa keindahan hadir dalam berbagai keadaan. Di lembah Kali Code misalnya, yang diharapkan Romo Mangun adalah kebangkitan harga diri warganya. Dari sana akan timbul semangat untuk berjuang, untuk menempuh setiap proses tanpa harus selalu disuapi. Ia menyadari bahwa pengembangan diri setiap orang sebaiknya berangkat dari apa yang dia punya dan diupayakan sendiri, sehingga buah kesejahteraan yang dipanen tidak tercabut dari akar identitasnya.

Eksplorasi arsitektur Romo Mangun menunjukkan keseimbangan antara aspek ontologi tentang hakikat dari sesuatu, epistemologi terkait cara mengetahui informasi tersebut, dan aksiologi yang membahas keberpihakan. Di ontologi, Romo Mangun berada dalam situasi di mana ia harus memahami karakter material secara mendalam hingga akhirnya menelurkan tektonika. Di epistemologi, beliau dibayangi arsitektur barat, tetapi di saat yang bersamaan menghadapi realita yang kontras, sehingga lahirlah metode mendesain yang mengkombinasikan low dan high technology. Pada aksiologi, keberpihakan Romo Mangun terhadap masyarakat marjinal menghasilkan elaborasi ketukangan yang menjadi bahasa estetika baru dan bisa dilanjutkan meski Romo Mangun sudah tidak ada. Setiap individu pasti memiliki tiga aspek ini dalam perjuangannya, hanya saja tidak banyak yang bisa menunjukkan totalitas di ketiganya, apalagi di titik aksiologi yang memerlukan empati dan keteguhan prinsip.

Ketika ditanya pendapatnya tentang Pameran Arus Silang AMI (Arsitek Muda Indonesia) di Jakarta (1992) yang mengangkat pendekatan ala dekonstruksi, Romo Mangun merasa apa yang mereka lakukan adalah cara yang ketinggalan zaman. Dalam artian, apabila arsitektur dikembangkan demi arsitektur itu sendiri—apabila fokusnya pada fungsi, ruang, dan permainan bentuk saja—kapan arsitektur bisa hadir untuk menanggapi permasalahan yang ada di Indonesia? Pada akhirnya, arsitektur bagi Romo Mangun bukanlah tujuan akhir. Ia adalah salah satu kendaraan yang dipakai untuk mendukung keberpihakannya.

Selain berarsitektur, menulis menjadi kelihaian lain Romo Mangun dalam mengkomunikasikan pemikirannya. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra hanya segelintir dari 35 judul buku yang pernah beliau tulis. Tidak hanya tema arsitektur, beliau justru banyak menulis esai kritik sosial tentang kesejahteraan rakyat dan pendidikan, selain juga menulis soal spiritualisme dan kemanusiaan. Beliau juga menelurkan puluhan artikel yang diterbitkan dalam antologi dan berbagai media massa sepanjang 1978-1998. Kekuatan Romo Mangun ada pada gaya menulisnya. Tidak kaku dengan diksi intelek seperti tulisan akademik, tetapi justru terkesan lebih amatir dengan pendekatan yang menyentuh. Tidak dengan teori yang mendakik-dakik, tetapi berdasarkan pengalamannya langsung sebagai praktisi dan pendidik. Refleksinya memberikan interpretasi baru pada fenomena yang selama ini ada dan membuka alternatif praktik atau penyelesaian masalah. (Darwis Khudori, 2001)

Namun, di antara banyak jenis tulisan yang pernah dibuat Romo Mangun, karya fiksi menjadi kendaraan terkuatnya. Esai-esai mungkin hanya akan dibaca oleh orang-orang terpelajar, sedangkan kalangan yang menjadi targetnya seringkali tidak memiliki akses pendidikan yang memadai. Fiksi pun menjadi media yang mampu menyentuh lebih banyak audiens, dan dengan adanya karakter, Romo Mangun dapat menggambarkan kompleksitas kehidupan yang selama ini beliau renungkan. Beberapa karya fiksi yang beliau tulis antara lain: Trilogi Roro Mendut, Rumah Bambu, Pohon-Pohon Sesawi, dan tentunya yang paling dikenal Burung-Burung Manyar.

Sama dengan karya-karya Romo Mangun dalam media lain, keberpihakan terhadap rakyat kecil masih menjadi tema utama dalam karya fiksinya, dielaborasi dengan nilai-nilai filosofis dalam menghadapi ekosistem pasca-kolonialisme yang rentan di berbagai bidang (lingkungan hidup, sosio-politik, budaya, sejarah). Akan tetapi, itu semua dibalut dalam metafora yang menyembunyikan kritik tajam yang sesungguhnya. Lagi-lagi Romo Mangun bermain dengan simbolisme. Selain agar pesan lebih mudah dicerna, faktor rezim Orde Baru yang ketat sensor dan antikritik membuatnya harus mencari jalur komunikasi alternatif. Strategi ini mengingatkan pada penulis Amerika, Ernest Hemingway (1899-1961) yang juga menggunakan metafora keseharian yang interpretatif untuk mengkritik peperangan, materialisme di dunia modern, dan isu sosial lainnya.

Burung-Burung Manyar

Romo Mangun di Burung-Burung Manyar, mengajak kita menyelami kehidupan masyarakat biasa di Indonesia pada rentang masa 1934-1978. Novelnya berkisah tentang Teto, pemuda keturunan campuran Indo-Jawa pro-Belanda yang kemudian berubah setelah bertemu Atik, gadis pribumi yang cerdas dan berani, tetapi juga punya sisi feminin dan hangat. Atik diceritakan menulis disertasi tentang “Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar”. Dari situ pembaca bisa menarik makna lebih dalam dari karakter Burung Manyar yang dikenal dengan kemampuan menganyam sarang. 

Burung Manyar

Teto tak ubahnya manyar jantan yang sedang berusaha membangun “sarang” untuk betinanya, tetapi ia harus lebih dahulu menghadapi krisis identitas dan pencarian “tempat” di tengah negara yang bergejolak. Sementara, Atik si manyar betina baru bersedia dipinang setelah memastikan bahwa sarangnya aman untuk bertelur. Metafora burung manyar memberikan pelajaran bahwa yang terpenting bukanlah rasa cinta terhadap pasangan, tetapi bagaimana pasangan ini bisa menyiapkan lingkungan yang kondusif untuk bertelur dan membesarkan generasi baru burung manyar. 

Masuk era 1980-an, kondisi sosial yang kritis nampaknya membuat Romo Mangun tak lagi bisa tenang di balik jubah pastur, arsitek, ataupun penulisnya. Visi pembangunan Orde Baru yang berorientasi pada modernisme dan keindahan kota berujung pada tergusurnya kaum-kaum marjinal. 

Salah satu yang menjadi korban adalah warga bantaran Kali Code di Yogyakarta. Rata-rata mereka adalah warga desa yang tidak lagi bisa sejahtera sebagai petani dan mencoba mencari peruntungan dengan merantau, tetapi justru tidak menemukan tempat di kota. Akhirnya, mereka bermukim di “ruang-ruang negatif” dan bekerja di sektor buangan, bahkan waktu itu Kampung Code sering dicap sarang preman dan PSK. Upaya penggusuran pada pemukiman ilegal ini sudah dilakukan berkali-kali sejak 1960-an dan aliran lahar Gunung Merapi pun turut mengancam kelangsungan kampung, tetapi warga selalu berhasil untuk kembali bermukim di sana lagi.

Prihatin melihat kondisi yang kurang kondusif bagi mental masyarakat dan pembelajaran anak-anak di sana, pada 1981 Romo Mangun mulai meninggalkan kesehariannya sebagai pastor dan tinggal bersama warga di Kali Code. Romo Mangun bernegosiasi untuk merevitalisasi kampung agar lebih aman, bersih, dan tertata. Pembangunan sepanjang tahun 1983-1987 menggunakan bambu, kayu, dan material murah lainnya, ternyata berhasil meningkatkan kualitas fisik kampung ini. Simbolisme terbentuk dari bahasa arsitektur yang sederhana ini, ditambah dekorasi warna-warni dari goresan cat yang membuat suasana lebih hidup. Revitalisasi ini menumbuhkan kebanggaan pada diri warga serta mengangkat nilai Kampung Kali Code di mata masyarakat umum. Kesejahteraan sosio-ekonomi warga Code pun turut membaik seiring waktu. Pada 1992, proyek ini mendapat penghargaan Aga Khan Award for Architecture.

Perjuangan Romo Mangun masih belum berhenti di sini. Seperti pada novel Burung-Burung Manyar yang ia tulis, generasi muda selalu jadi perhatian Romo Mangun. Satu dekade terakhir hidupnya didedikasikan untuk menciptakan ekosistem pendidikan dasar yang menyenangkan dan memerdekakan. Namun, biar cerita itu kita simpan untuk lain waktu. 

Di titik ini, kita cukup tahu bahwa empati dan keinginan Romo Mangun untuk bertindak amatlah besar hingga satu cara pun tak cukup untuk menyalurkan kehendaknya. Biasanya, orang yang empatinya begitu dalam memiliki daya yang terbatas karena emosi yang menguras energi. Namun, Romo Mangun justru bisa merdeka dari jebakan ini. Jolanda Atmadjaja melihat ini sebagai respons yang matang terhadap kondisi “Split Subject”. Psikoanalis Jacques Lacan (1901–1981) mengemukakan teori ini di 1960-an, menyatakan bahwa manusia tidak pernah memiliki identitas yang utuh, melainkan selalu terpecah—di antaranya karena simbol/label/peran sosial yang tersemat pada diri dan juga gap antara kondisi ideal yang kita impikan dengan realita yang terjadi. Seyogianya, manusia akan terus mencari titik seimbang, mengejar sesuatu yang membuat dirinya merasa utuh, mengembangkan perannya terus menerus. Kebanyakan orang, terutama yang baru memulai perjalanan menemukan jati diri, mungkin akan terjebak dalam ilusi satu peran/label saja, mengiranya sebagai kondisi utuh. 

Pengalaman menghadapi realita yang ekstrem sejak muda barangkali membuat Mangunwijaya begitu cepat merespons kondisi split dan pandai memposisikan ulang dirinya dalam peran lain lantaran menyadari adanya batasan dalam peran yang sebelumnya. Ia menyadari bahwa tidak semuanya bisa diselesaikan dari satu perspektif. Ia juga menyadari bahwa tidak semua bisa diselesaikan sendirian, sehingga ia senantiasa mengajak orang lain untuk ikut bergerak. Di titik ini ia mampu merubah konstruk dengan produktivitas di banyak lini dan berkonstelasi. Ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah terjun total dan menyadari bahwa batas-batas ilmu itu sebenarnya bisa dirangkai ulang.

Berkaca pada Kampung Code, hingga saat ini ia masih berdiri, sebagian bangunan yang seharusnya temporer sudah berubah menjadi lebih permanen. Memang, ini menyalahi visi dasar Romo Mangun untuk Code sebagai shelter sementara bagi warganya sampai mereka berangsur mandiri dan pindah ke tempat yang lebih baik. Hanya saja perubahan sosial yang terjadi ternyata tidak secepat yang diimpikan Romo Mangun. Meski patut disyukuri bahwa generasi mudanya saat ini sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan punya prospek yang lebih baik daripada orangtuanya.

Melihat apa yang hadir, pertanyaannya bukan sejauh mana Romo Mangun bisa berjuang untuk Kampung Code, tetapi bagaimana visi tersebut bisa terus mengudara jauh di atas bentuk arsitektural, bagaimana memperjuangkan tempat yang membumi, dan sejauh mana kata kemerdekaan itu bisa direnungi dan dihidupkan oleh generasi penerus Romo Mangun.

Romomangun bersama anak-anak Code

English translation

Romo Mangun: Footprints of Architecture That Humanizes

During the process of writing this article, a designer at our studio asked, “Why does Kak Rich write about Romo Mangun? Why do we, the younger generation, need to know about him?”

Well, studying the figure of Romo Mangun is not merely a historical responsibility. Reflecting on the author’s practice in Jakarta, amid the hustle and bustle of provocative, business-oriented architecture in the capital, Romo Mangun, through his work, demonstrated that many segments of society need a more accessible approach. Indonesia is not just about Jakarta, and his endeavors strategically addressed this dilemma through his multifaceted roles, breaking through the often contradictory boundaries of the architectural profession.

An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan

In a meeting with the late Adhi Moersid, he shared his experience of studying alongside Y.B. Mangunwijaya at ITB (Bandung Institute of Technology) in 1959–1960. According to him, Mangunwijaya often came to campus wearing his priestly robes. This snippet of memory might seem amusing to those of us more familiar with Mangunwijaya through his built works—though we know he was often called “Romo” (a Javanese term for a Catholic priest), and many of his projects were Catholic religious facilities.

Drawing a parallel with Antoni Gaudí, whom we discussed previously, Mangunwijaya was a “species” of architect whose work transcended the boundaries of design, extending into teaching, writing, activism, and service. From his priestly robes to the tales of weaverbirds and bamboo weaving along the banks of Kali Code, what drove Mangunwijaya to pursue this multispectral path? What vision did he champion?

Born on May 6, 1929, in Ambarawa, Central Java, into a Catholic family with both parents as teachers, Yulianus Sumadi Mangunwijaya grew up in a religious and educated environment. From a young age, he aspired to become an architect, but before he could finish school, he joined the struggle for independence as a student soldier from 1945 to 1948. During this time, he witnessed how villagers supported the soldiers while also becoming victims of colonial brutality. He saw his comrades fall, and it’s likely he himself experienced moments on the brink of life and death.

At that point, he may have realized that surviving such events was a blessing in itself, and that life was too precious to live halfheartedly. Mangunwijaya felt compelled to “repay a debt to the people,” and the path he chose was service as a priest. At the age of 21, he enrolled in St. Paulus Seminary in Yogyakarta, despite being older than most of the other aspiring priests.

In the book The Altruism of Romo Mangun by Darwis Khudori, it is explained that after graduating from Sancti Pauli, Mangunwijaya was ordained as a priest by Bishop Albertus Soegijapranata. He took on the official name we now know well: Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. However, just one day after becoming a priest, Bishop Soegija requested that he study architecture, so he could build places of worship in various regions with a local architectural language rather than a colonial one. This led him to study at ITB, where he met Adhi Moersid in 1959–1960, before later continuing his education at the Rhein Westfalen Technical School in Germany, where he earned his degree.

Upon returning to Indonesia, Romo Mangun began constructing numerous churches and retreat houses in Yogyakarta (DIY) and Central Java (Jateng). He also designed projects beyond the church’s scope, including residences, boarding houses, housing complexes, and schools. Some of his notable works include the Maria Assumpta Church (1967–1969), Sendang Sono (1972–1991), the Kali Code Riverside Settlement (1983–1987), Arief Budiman House (1986–1987), Wisma Kuwera (1986–1999), Fermentum Seminary (1996), and many others.

Looking at the development of Indonesian architecture post-independence, there was always an urgency to define what Indonesian architecture should be. At the time, Western modern architecture was the preferred style to build a new, strong national identity, initiated by President Soekarno and continued under President Soeharto through monumental projects and urban planning.

However, Romo Mangun lamented the application of architecture without consideration for Indonesia’s tropical climate and culture, as seen in Jakarta with its concrete-and-glass buildings. Moreover, architecture that required industrial materials and advanced construction techniques was difficult to implement for ordinary people, most of whom lived in small towns or villages—a reality Mangunwijaya knew well from his childhood and his daily life as a priest. Thus, alongside the need to define a national identity through architecture, there arose a concern for an Indonesian architecture that was relevant to the climate, natural resources, and daily lives of the general populace.

The generation of architects active at the time, such as Friedrich Silaban, Soejoedi, and Romo Mangun himself, mostly studied architecture abroad, particularly in Germany. It’s no surprise, then, that the architectural language they used was heavily influenced by modernism. However, each architect had their own way of interpreting local climate conditions and Indonesian society in their works.

Friedrich Silaban (1912–1984), despite working on monumental projects with modern mass compositions, always incorporated wide openings and louvers to block direct sunlight. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928–1981) preferred using wide eaves instead of louvers to respond to the climate. Culturally, he drew inspiration from the Javanese concept of inner and outer spaces as a basis for balanced spatial programming, even though his mass compositions were entirely new and conveyed an independent image.

Meanwhile, Adhi Moersid, a peer who studied locally, took a more localized approach with his concept of Wooden Board Architecture, as outlined in his book Kagunan. The principle involved combining two flat wooden boards to form a stronger rafter, enabling roof construction without purlins. This concept marked a leap from frame structures to planar structures. The arrangement of wooden boards also produced a neater and more aesthetically pleasing visual when exposed, creating a “new ceiling.”

Each of these architects had their own methods for working with space and materials. For the monumental scale of Silaban and Soejoedi’s works, concrete and fabrication techniques were relevant. Even simple visuals required a specific tectonic approach to ensure seamless connections between materials. Adhi Moersid’s approach was more technocratic, focusing on the science itself and the context of cost, quality, and time in a project. He pushed boundaries with natural, local wood materials, though these still needed to be sourced from the “market” with uniform specifications.

When it comes to Romo Mangun, every aspect was thoroughly explored. From the shape of the roof to the arrangement of bricks, the texture of concrete, and the details of joints—nothing was overlooked. Yuswadi Saliya once described Sendang Sono with the expression, “His desire to create left its mark everywhere. Witnessing it can be exhausting; the details tell an unending story, greeting you at every curve and turn. Triangles and rectangles form planes and spaces that echo and resonate, rising and falling in tiers, creating a human-made spectacle that blends with the winding river and the ridges and valleys of the hills. It’s incredibly complex. Diverse.” Diversity in technique became the hallmark of Romo Mangun’s architecture. His concept was variational or hybrid, reflecting the context of the location where his architecture stood.

In terms of mass composition, he often explored sloped roof forms, considering the use of tiles as a covering that was easily available and relatively affordable compared to concrete roof installations, especially given Indonesia’s high rainfall. Romo Mangun’s roofs spanned wide, often dominating the building’s image. With low body proportions, there seemed to be an effort to keep the scale humane, making maintenance easier.

To support these roofs, a variety of materials were used. Out of his roughly 30 built works, more than a dozen churches primarily used concrete as a structural element. Sometimes it served merely as columns when the roof span could still be supported by wooden structures; other times, it appeared as beams when the church’s capacity was too large. Meanwhile, in smaller churches, retreat houses, schools, or residences with modest areas, the primary structural role was typically taken by wood.

However, even when concrete was used, Romo Mangun was not accustomed to leaving it plain. Patterns were etched into it—sometimes in regular designs, sometimes using molds made from bamboo or reclaimed wood—giving an organic impression, like a tree within the building. The dimensions of the concrete were kept slender and arranged in rhythmic repetition to soften its rough, heavy character (Tjahjono, 1995). Sometimes, cantilever beams were molded to resemble branches. In Romo Mangun’s hands, concrete became softer and often felt organic.

Moving to the body of the building, Romo Mangun often designed his public spaces, especially churches, to be open without enclosing walls, except for a single row behind the altar. First, this maximized airflow—similar to Silaban’s belief that Indonesia needed wide roofs to shield from the sun’s heat rather than walls that block the equatorial breeze, which moves at a modest speed. Second, this was due to his concept of the “market church.” Romo once advised, “When religiosity becomes more deeply rooted in the light of God, then the true human being is a reflection of God’s own shadow” (Mudji Sutrisno, 2001). There was no urgency to separate the sacred space of the church from the “market” of daily life. Instead, that boundary was opened to bridge the souls seeking God’s light.

When a wall was needed, it took various forms: brick, wood, bamboo, natural stone, concrete, or a combination of them all. The parameters were not far from budget constraints, material availability on-site, the creativity of craftsmanship, and community empowerment. For example, the Convent of the Sisters of the Mother of Unity in Gedono, Salatiga, was initially designed with brick walls. However, when Romo Mangun surveyed Gedono, he noticed that many locals worked as gravel stone cutters. He had the idea to employ them to cut larger stones from the nearby Banaran area, which was closer than sourcing bricks from Klaten. This reduced costs, and the locals learned new skills in cutting large stones neatly. Materials that seemed ordinary were transformed in an extraordinary way.

For the floors, in some of his works constructed with wood—particularly residences—Romo Mangun often applied a raised floor structure. Examples include parts of Wisma Salam, Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and Wisma Kuwera. This was a response to Indonesia’s humid tropical climate, which can affect wood. But beyond that, the combination of raised and conventional floor structures within a single work created a dynamic play of heights, making the spaces within feel delightful!

Romo Mangun’s architecture became a key precedent in the collaboration between low technology and high technology. Julia Watson, in her book Lo-TEK (2019), explains that low technology, or lo-tech, is often associated with simple, unsophisticated, uncomplicated systems or machines from before the industrial revolution. We also see it as an intuitive and impulsive method, with solutions that emerge spontaneously on-site. Conversely, high technology (high-tech) is new, advanced, and gives the impression of being a better option. Watson reveals that high-tech systems, which attempt to be a solution for all problems, often contradict the heterogeneity or diversity within the complexity of ecosystems.

Therefore, high-tech isn’t always the answer. The combination of lo-tech and high-tech became the middle ground Romo Mangun adopted to address the gap between cutting-edge Western architecture, which dominated the world, and the local architecture that was part of Indonesian daily life at the time. This reflection on his concerns eventually led to the creation of the books Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (Introduction to Building Physics) and Wastu Citra (The Image of Building).

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) focused more on technical aspects and responses to Indonesia’s tropical climate, as well as natural phenomena like earthquakes. It included a special chapter discussing the application of local materials such as bamboo, wood, and brick, which were suitable for Indonesian conditions. Aimed at students and non-academic practitioners, the book was written in simple language with diagrams and practical examples. There was an understanding that society had limited access to high technology, so Western-based architectural education needed to be balanced with knowledge of building methods relevant to local conditions.

Meanwhile, Wastu Citra (1988) took a more discursive perspective. Published at a time when Romo Mangun no longer wished to serve as a priest and was more involved in activism with the lower classes, he likely saw how traditional building practices and those developed in daily life were often not considered part of architecture. Thus, he used the term “wastu,” which encompasses all forms of building activities, to level the playing field.

Revianto B. Santosa, in the documentary Wastu, observed how Romo Mangun took a “universal” approach in this book: not only discussing the strengths of Indonesian architecture with its tropical climate and vernacular culture but also including chapters on Western architecture and its philosophy, as well as international inspirations from Greece, Japan, and India. When discussing deeper cosmological meanings beyond the physical form of wastu, Romo Mangun drew on studies from various cultural and religious traditions around the world. However, he ultimately concluded the book with a call to blend the best elements from each pole to bring prosperity to all, including the marginalized.

In our view, beyond just combining low and high technology, Romo Mangun’s commitment to the common people extended to the very dimensions of the materials he used. Take a joglo—a traditional Javanese house from the low-tech tradition; its use was no longer relevant for the lower classes because large, long, and solid wooden beams were unaffordable. Romo Mangun had to work with shorter pieces of wood—and whatever materials were available, even if they were scraps or what others might consider trash. From our interview with Rina Eko Prawoto, it was common for Romo Mangun to ask workers to remove nails from a piece of wood. Both the wood and the nails would be reused for other needs.

We had the chance to visit Wisma Kuwera. At first glance, the building seems to respond to Yogyakarta’s urban context by creating a dense program of spaces within. Its modular dimensions are no larger than 3 meters, with a vertical composition that interlocks, featuring floor height variations between 1 and 1.5 meters. The spatial experience it creates is truly fascinating, prompting the question, “How did Romo come up with something like this?” Upon further reflection, those small dimensions were a response to limited access to massive materials, creatively arranged to form an innovative spatial composition.

Material limitations also gave rise to multifunctional elements. One example is the A-frame structure, which was later widely used in Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and the Gedono Convent. Here, the roof also served as a wall, and the columns doubled as the roof frame. It was like an attic but used as a primary space. The presence of actual walls or other elements grew as needed, allowing the building to transform elegantly.

When access to materials was so limited, one had to understand how to maximize what was available. Perhaps this was the seed that produced Mangunwijaya’s tectonics. Quoting Mahatmanto (2001, Tectonics of YB Mangunwijaya), “Understanding the material is the starting point in building, and that can only be done by directly touching and feeling the qualities it holds.”

Yuswadi Saliya once had the chance to observe Romo Mangun while he was about to build a partition wall from lattice blocks. He spent a long time turning the blocks over. “Stacking them, lining them up, angling them… He examined them from the side, from below, stepping back and then shifting… Searching for the most harmonious position, composing the most melodious tune.” The elaboration was done without drawings, relying on sensory sensitivity as a human interacts with the form of space. Yuswadi saw this as a form of freedom.

In his process, Romo Mangun worked closely with the workers. He didn’t just oversee them—he educated them, and often, he learned new things from them as well. Their significance was so great that he dedicated a page in Wastu Citra to them: “This book is written to honor the workers and field laborers who, in their own way, have become master teachers of architecture to me.” They were the ones Romo Mangun wanted to invite to achieve freedom together.

Romo Mangun focused on the creative process, not just to make money through a capitalist approach, but to use the money earned to bring prosperity. Eko Prawoto once shared a story about his teacher: “Romo created those details not for aesthetic reasons, but to prolong the work, so the workers could stay employed longer at the site.” It’s possible that the cost spent on labor exceeded the cost of materials.

This reminds us of the architect Louis Kahn when he designed the National Parliament Building in Dhaka, Bangladesh. His project created many new jobs and became a means of skill development for local workers. What sets them apart is their choice of materials. For a project as large as the Parliament Building, the use of concrete and marble created a craftsmanship gap in a society accustomed to building with earth, bamboo, wood, and brick.

This is where Romo Mangun’s choice to combine low and high technology becomes significant. As a result, the workers could continue working on something familiar to their daily lives while also learning new materials or techniques together. A circular resource system emerged, with leftover or used materials reentering the cycle alongside workers who were re-empowered. Mahatmanto, in the documentary Wastu, explained how Romo Mangun recognized the heterogeneous quality of society: “So he took the lowest threshold to ensure that all materials, craftsmanship, and skills possessed by the workers could be utilized optimally.”

However, simple techniques didn’t mean ordinary results. On the contrary, the low-threshold approach opened opportunities for everyone to participate. Often, the workers proposed new ideas that Romo Mangun hadn’t thought of before. Gunawan Tjahjono described this process as a jazz performance, where each player has the freedom to enrich the song: “From the workers to the users, everyone was involved and had the chance to interpret. The participants had the space to express themselves through parts of the building they might inhabit for a lifetime.” Ultimately, after Romo Mangun was no longer there to guide them, it was hoped that the users and workers could continue or maintain the buildings independently.

The buildings’ performance was also designed to educate. At the Fermentum Seminary in Bandung, for instance, Romo Mangun divided the residence for the fraters (priest candidates) into small units of 5–6 people to form small, family-like communities that knew each other well. The combination of low and high technology was again applied, introducing a sense of temporariness that required regular maintenance. “Romo Mangun said, ‘Let it be, so the fraters in each unit can compete to see which unit is the best maintained,’” said Father William. Romo Mangun seemed to emphasize that being a priest is not a privilege but a role to serve the community. This awareness was cultivated through daily habits—using facilities appropriately and repairing any damaged parts.

The values of everyday life were one of the lessons we found in Romo Mangun’s figure. Beyond being translated into spatial programs and overall designs, he seemed to capture the good aspects of society’s daily life and celebrate them through symbolism. This could take various forms, from unique masses as focal points to repetitive structures, material arrangement patterns, and decorative elements.

The use of symbolism might seem superficial for a thinker as profound as Romo Mangun. However, this might have been the simplest way to instill pride in the small communities he served—that every life is valuable, that beauty exists in all circumstances. At the Kali Code valley, for example, what Romo Mangun hoped for was the revival of the residents’ self-esteem. From there, a spirit to strive would emerge, to go through every process without always being spoon-fed. He realized that personal development should stem from what one has and be achieved independently, so the fruits of prosperity reaped are not uprooted from their identity.

Romo Mangun’s architectural exploration demonstrates a balance between ontology (the essence of something), epistemology (the way of knowing that information), and axiology (the study of values and biases). In ontology, Romo Mangun was in a position where he had to deeply understand the character of materials, ultimately giving birth to his tectonics. In epistemology, he was overshadowed by Western architecture but simultaneously faced a contrasting reality, leading to a design method that combined low and high technology. In axiology, Romo Mangun’s commitment to the marginalized produced a craftsmanship elaboration that became a new aesthetic language, one that could continue even after he was gone. Every individual undoubtedly has these three aspects in their struggle, but few can demonstrate totality across all three, especially in axiology, which requires empathy and steadfast principles.

When asked his opinion on the 1992 Arus Silang AMI (Young Indonesian Architects) Exhibition in Jakarta, which promoted a deconstructivist approach, Romo Mangun felt that what they were doing was outdated. In the sense that if architecture is developed for architecture’s sake—if the focus is only on function, space, and form—when will architecture address the real issues in Indonesia? Ultimately, for Romo Mangun, architecture was not the end goal. It was merely one vehicle he used to support his advocacy.

Beyond architecture, writing became another skill Romo Mangun used to communicate his thoughts. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan and Wastu Citra are just a few of the 35 books he authored. His works weren’t limited to architecture; he wrote extensively on social critique regarding people’s welfare and education, as well as on spirituality and humanity. He also produced dozens of articles published in anthologies and various mass media from 1978 to 1998. Romo Mangun’s strength lay in his writing style. It wasn’t rigid with intellectual diction like academic writing but felt more amateurish in an approachable way. It wasn’t laden with lofty theories but was based on his direct experience as a practitioner and educator. His reflections offered new interpretations of existing phenomena and opened alternative practices or solutions to problems (Darwis Khudori, 2001).

However, among the many types of writing Romo Mangun produced, fiction became his most powerful medium. Essays might only be read by the educated, while his target audience often lacked access to adequate education. Fiction became a medium that could reach a broader audience, and through characters, Romo Mangun could depict the complexities of life he had long contemplated. Some of his fictional works include the Roro Mendut Trilogy, Rumah Bambu (Bamboo House), Pohon-Pohon Sesawi (Mustard Trees), and, of course, the most well-known, Burung-Burung Manyar (The Weaverbirds).

As with his works in other media, his commitment to the common people remained the central theme in his fiction, elaborated with philosophical values in facing the fragile post-colonial ecosystem across various fields (environment, socio-politics, culture, history). However, this was all wrapped in metaphors that concealed his sharp critiques. Once again, Romo Mangun played with symbolism. Besides making the message more digestible, the strict censorship and anti-criticism stance of the New Order regime forced him to find alternative communication channels. This strategy is reminiscent of the American writer Ernest Hemingway (1899–1961), who also used interpretive metaphors of daily life to critique war, materialism in the modern world, and other social issues.

In Burung-Burung Manyar, Romo Mangun invites us to delve into the lives of ordinary Indonesians from 1934 to 1978. The novel tells the story of Teto, a young man of mixed Indo-Javanese descent who initially sided with the Dutch but changed after meeting Atik, a smart and brave indigenous girl with a feminine and warm side. Atik is depicted as writing a dissertation on “Identity and Visual Language in the Communication Structure of the Weaverbird (Ploceus Manyar) Variety.” From this, readers can draw deeper meanings from the weaverbird’s character, known for its nest-weaving ability.

Teto is akin to a male weaverbird trying to build a “nest” for his mate, but he must first confront an identity crisis and a search for his “place” in a turbulent nation. Meanwhile, Atik, the female weaverbird, is only willing to be courted after ensuring the nest is safe for laying eggs. The weaverbird metaphor teaches that the most important thing is not the love for one’s partner but how the couple can create a conducive environment for laying eggs and raising the next generation of weaverbirds.

Entering the 1980s, the critical social conditions seemed to make Romo Mangun unable to remain at ease behind his roles as a priest, architect, or writer. The New Order’s development vision, which prioritized modernism and urban beautification, led to the displacement of marginalized communities.

One group affected was the residents along the banks of Kali Code in Yogyakarta. Most of them were villagers who could no longer prosper as farmers and sought better fortunes by migrating to the city, only to find no place for themselves. They ended up settling in “negative spaces” and working in discarded sectors, with Kampung Code often labeled at the time as a den of thugs and sex workers. Eviction attempts on this illegal settlement had been made multiple times since the 1960s, and the lava flows from Mount Merapi further threatened the village’s survival, but the residents always managed to return and resettle.

Concerned about the conditions that were detrimental to the community’s mental well-being and children’s education, in 1981, Romo Mangun left his daily life as a priest and began living with the residents of Kali Code. He negotiated to revitalize the village to make it safer, cleaner, and better organized. Construction from 1983 to 1987, using bamboo, wood, and other affordable materials, successfully improved the physical quality of the village. Symbolism emerged from this simple architectural language, enhanced by colorful decorations from painted strokes that brought the atmosphere to life. This revitalization fostered pride among the residents and elevated the value of Kampung Kali Code in the eyes of the wider community. The socio-economic welfare of the Code residents also improved over time. In 1992, this project received the Aga Khan Award for Architecture.

Romo Mangun’s struggle didn’t stop there. As in his novel Burung-Burung Manyar, the younger generation was always a focus for him. The last decade of his life was dedicated to creating a joyful and liberating elementary education ecosystem. But let’s save that story for another time.

At this point, it’s enough to know that Romo Mangun’s empathy and desire to act were immense, to the extent that a single medium was not enough to channel his will. Typically, people with such deep empathy have limited capacity due to the emotional toll it takes. However, Romo Mangun managed to break free from this trap. Jolanda Atmadjaja sees this as a mature response to the “split subject” condition. Psychoanalyst Jacques Lacan (1901–1981) introduced this theory in the 1960s, stating that humans never have a whole identity but are always fragmented—partly due to the symbols, labels, or social roles attached to them, and the gap between the ideal conditions we dream of and the reality we face. Ideally, humans will continually seek balance, chasing something that makes them feel whole, constantly evolving their roles. Most people, especially those just beginning their journey of self-discovery, might get trapped in the illusion of a single role or label, mistaking it for wholeness.

Perhaps Mangunwijaya’s experiences facing extreme realities from a young age allowed him to quickly respond to this split condition and adeptly reposition himself in other roles, recognizing the limitations of his previous ones. He understood that not everything could be resolved from a single perspective. He also realized that not everything could be solved alone, so he consistently invited others to join the movement. At this point, he was able to reconstruct frameworks, being productive across multiple domains and forming constellations with others. This can only be achieved by someone who has fully immersed themselves and realized that the boundaries of knowledge can be reimagined.

Looking at Kampung Code, it still stands to this day, though some buildings meant to be temporary have become more permanent. This does go against Romo Mangun’s original vision for Code as a temporary shelter for its residents until they could become independent and move to better places. However, the social changes that occurred were not as rapid as he had hoped. Still, it’s worth celebrating that many of the younger generation there now have higher education and better prospects than their parents.

Given what remains, the question is not how far Romo Mangun could fight for Kampung Code, but how his vision can continue to soar far beyond its architectural form, how to advocate for a grounded place, and to what extent the concept of freedom can be contemplated and brought to life by Romo Mangun’s successors.

Kategori
blog tulisan-wacana

Kehilangan Cheri dan Kelahiran Miraclerich

Saya dan istri saya kehilangan Chéri, putri kami, yang meninggal pada tahun 2011 disusul dengan keguguran berulang kali setiap tahunnya. Meskipun bukan saya yang mengandung, saya merasakan proses kehamilan istri saya dengan penuh cinta dan harapan, sehingga kehilangan itu terasa begitu menyakitkan bagi kami berdua. Kita semua yang pernah merasakan harapan akan kehadiran seorang anak, lalu kehilangannya, tahu bahwa duka itu nyata. Membaca The Laws of the Spirit World memberi saya cara baru untuk memahami kehilangan Chéri, seolah-olah jiwanya tetap terhubung dengan kami dari dunia roh. Saya juga ingin berbagi bagaimana praktik spiritual kami setelah kepergian Chéri membawa kami pada keajaiban kelahiran putra kami, Miraclerich, yang menjadi sinar harapan dalam hidup kami.

Melihat Laurensia, Miracle, dan Heaven menonton film ini, membuat saya terharu. Terima kasih untuk adanya film ini mengobati banyak rasa kehilangan. Juga ke Bu Yolanda yang sudah mengajak diskusi, juga Tuhan yang memberikan banyak kebetulan yang terlalu baik untuk kehidupan kami.

Chéri di Dunia Roh

Saya sering memikirkan apa yang terjadi pada jiwa Chéri setelah meninggal sebelum lahir. Karena Chéri belum sempat hidup di Bumi ini, buku ini tidak secara langsung menjelaskan keadaannya, tetapi saya merasa jiwanya tetap ada di dunia roh, mungkin dalam keadaan penuh kasih, seperti di alam yang tinggi seperti alam 5 atau lebih, di mana hanya ada kedamaian. Kita semua ingin percaya bahwa jiwa-jiwa yang kita cintai, meskipun hanya sebentar bersama kita, tetap dekat dengan kita. Saya suka membayangkan Chéri mengawasi saya dan istri saya, mungkin mengirimkan perasaan damai di saat-saat tertentu, seperti yang diuraikan dalam buku bahwa jiwa-jiwa baik bisa memengaruhi keluarga mereka.

Saya juga belajar bahwa duka kami atas kehilangan Chéri adalah bagian dari perjalanan spiritual kami. Kita semua menghadapi ujian yang mengguncang hati, dan buku ini mengajarkan bahwa penderitaan ini bisa memperkuat jiwa jika kita memilih untuk tetap beriman. Saya percaya Chéri memilih kami sebagai orang tuanya, meski hanya untuk waktu singkat dalam kandungan, mungkin untuk mengajarkan kami tentang cinta yang mendalam atau ketabahan. Ikatan dengan anak yang belum lahir merupakan cinta itu nyata, dan saya merasa Chéri tetap hidup dalam hati kami, membimbing kami dengan caranya sendiri.

Praktik Spiritual Kami dan Keajaiban Miraclerich

Setelah kehilangan Chéri, saya dan istri saya mencari cara untuk menyembuhkan luka hati kami melalui praktik spiritual. Kita semua mungkin punya cara sendiri untuk menghadapi duka—bagi kami, mungkin itu berdoa bersama, merenungkan makna hidup, atau melakukan kebaikan untuk orang lain sebagai penghormatan untuk Chéri. Saya merasa praktik ini menyelaraskan kami dengan “Jalan Baik Ilahi” yang diajarkan dalam buku. Saya berusaha mendukung istri saya dan hidup dengan kejujuran serta kasih sayang, karena kita semua ingin menabur karma positif yang bisa membawa berkat.

Saya percaya praktik spiritual kami membantu kami tetap berharap, meskipun duka kehilangan Chéri terasa begitu berat. Kita semua tahu bahwa keputusasaan bisa menarik kita ke bawah, tetapi buku ini mengingatkan saya bahwa cinta dan iman mengangkat jiwa kita. Saya merasa ketekunan kami dalam berdoa dan mencari kedamaian—dan mungkin juga doa-doa kami untuk Chéri—membawa kami pada kelahiran Miraclerich, yang saya anggap sebagai keajaiban sejati. Nama “Miraclerich” mencerminkan betapa ia memperkaya hidup kami dengan sukacita baru. Kita semua bisa melihat kelahiran seorang anak sebagai tanda kasih Tuhan, dan saya suka membayangkan bahwa Chéri, dari dunia roh, mungkin turut membantu mengirim Miraclerich kepada kami.

Refleksi Pribadi

Saya merasa perjalanan kami dari kehilangan Chéri hingga menyambut Miraclerich mencerminkan pesan buku ini: bahwa dari duka yang paling dalam, kita semua bisa menemukan cahaya jika tetap setia pada kebaikan. Meskipun Chéri tidak sempat lahir, ikatan saya dan istri saya dengannya selama kehamilan begitu nyata, dan praktik spiritual kami adalah cara kami menghormati keberadaannya. Miraclerich, dengan kehadirannya yang penuh sukacita, mengingatkan kita semua bahwa cinta tidak pernah hilang, bahkan setelah kehilangan.

Saya ingin terus menjalani hidup dengan rendah hati dan kasih sayang, seperti yang diajarkan buku The Laws of the Spirit World, percaya bahwa jiwa Chéri dan Miraclerich adalah bagian dari rencana Tuhan untuk kami. Kita semua bisa melakukan sesuatu untuk tetap terhubung dengan yang telah pergi—saya mungkin akan berbagi cerita tentang Chéri dengan istri saya, atau kami bisa melakukan perbuatan baik atas nama Chéri dan Miraclerich. Saya juga ingin tetap membuka hati untuk tanda-tanda kecil dari Chéri, seperti perasaan damai yang tiba-tiba, dan bersyukur setiap hari atas keajaiban Miraclerich.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam Dunia Arsitektur Menuju 2030

Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam dunia arsitektur menuju 2030. Arsitektur dipahami sebagai profesi yang sedemikian tertutup, bebas nilai, padahal desain bisa jadi sangat efisien, strategis dan kolaboratif. Sebagai refleksi terhadap beberapa kejadian di sekitar studio kami, dimana banyak kesalahpahaman terjadi karena ketidaktahuan. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia. Mulai dari klien, kontraktor, vendor, hingga tukang, dan juga tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja efektif dan keunggulan hasil akhir proyek. Sederhananya dalam praktik arsitektur harus memenuhi tiga aspek utama optimalisasi: biaya, mutu, dan waktu. Namun, batasan-batasan tersebut sering kali terpengaruh oleh kondisi psikologis.

Di berbagai belahan dunia, kita dapat melihat bagaimana pergolakan ekonomi memengaruhi arah dan bentuk arsitektur. Pergolakan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk—mulai dari momentum politik, peristiwa global tertentu, hingga gelombang perubahan yang dipicu oleh krisis ekonomi global.

Salah satu contoh studi kasus yang berulang adalah dampak dari penyelenggaraan Olimpiade. Ambil contoh Olimpiade 2008 di Beijing, yang bertepatan dengan krisis finansial global. Kompleksnya kordinasi dan perencanaan program yang minim setelah olimpiade menyebabkan bengkaknya biaya pembangunan karena simbol yang dipaksakan dan banyak fasilitas menjadi kosong.

Pasca-Olimpiade, China menyadari perlunya pendekatan baru dalam arsitektur dan pembangunan. Negara ini mulai berfokus pada investasi dalam arsitektur lokal dan memperkenalkan desain lokal yang lebih efektif dan fleksibel.

Sebaliknya, Olimpiade 2012 di London, meskipun masih terpengaruh oleh efek krisis finansial 2008, menunjukkan bagaimana perencanaan yang matang dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Dengan mempertimbangkan sisi penataan kota, organisasi land use yang sebelumnya kawasan industri yang tidak optimal menjadi pusat ekonomi, kultural, sosial sekaligus memperbaiki lingkungan dan kapasitas infrastruktur. Pemerintah merencanakan penggunaan kembali fasilitas pasca-acara, London berhasil meningkatkan ekonomi kawasan sekitarnya.

Pergolakan ekonomi global juga mempengaruhi berbagai gerakan arsitektur yang muncul sebagai respons terhadap tantangan sosial dan ekonomi. Setelah Great Depression pada 1930-an, misalnya, arsitektur mulai beralih menjadi lebih fungsional dan mengurangi penggunaan ornamen yang berlebihan. Kehancuran yang terjadi setelah Perang Dunia II pada periode 1950 hingga 1970-an juga mendorong munculnya desain arsitektur yang lebih sederhana, cepat dibangun, dan ekonomis, guna memenuhi kebutuhan mendesak.

Contoh lain dari pengaruh pergolakan ekonomi terhadap arsitektur adalah munculnya gerakan Vkhutemas setelah Revolusi Bolshevik 1917. Pemerintah Soviet yang baru dibentuk ingin membangun negara yang lebih efisien melalui arsitektur yang mendukung industrialisasi dan efisiensi biaya. Gerakan ini berfokus pada penggunaan teknik dan material baru, serta desain yang mendukung kepentingan kolektif.

Selain itu, Walter Gropius dengan gerakan Bauhaus, yang dipengaruhi oleh Perang Dunia I dan Depresi Ekonomi 1929, menghasilkan desain yang fungsional dan terjangkau, yang dapat diproduksi secara massal. Begitu juga dengan Le Corbusier, yang pada masa tersebut merancang Villa Savoye, mengusung konsep desain yang efisien dan terjangkau. Sementara itu, Carlo Scarpa, yang bekerja dalam periode ketidakstabilan politik di era Mussolini, mengembangkan beberapa proyek yang dikerjakan secara bertahap, sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik saat itu.

Fransworth house, resor rendering. Source: Strange Details, Michael Cadwell
Querini Stampalia Foundation, garden datum line. Source: Strange Details, Michael Cadwell

Selalu ada momentum untuk seorang arsitek bekerja dengan pasang dan surut ekonomi di berbagai macam tempat dunia, namun yang terpenting adalah untuk terus belajar dan mempersiapkan diri. Penting bagi kita untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, terutama dalam dunia arsitektur yang terus berkembang.

Sebagaimana yang tercantum dalam laporan World Economic Forum tentang Future of Jobs 2025, beberapa keterampilan yang akan sangat diperlukan oleh arsitek di masa depan adalah kemampuan berpikir analitis, ketangguhan mental, keluwesan, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat. Keterampilan ini akan semakin penting menjelang 2030, dan bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, keberagaman budaya dan tantangan sosial-ekonomi akan menciptakan banyak peluang untuk melatih fleksibilitas, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi.

Skill Evolution by region in 2025-2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025
Core Skills in 2025. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025
Core Skills in 2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025

Arsitek perlu untuk mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat, menghadapi tantangan global dan berperan aktif dalam kepentingan ekosistem bersama. Keberagaman dan dinamika dalam proses ber-arsitektur menjadikan pemahaman dan penyadaran terhadap konteks lingkungan sekitar penting.

Belakangan ini tren #kaburajadulu menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Istilah ini menggambarkan bentuk kekecewaan terhadap ekosistem yang ada dan merasa bahwa ekosistem di luar sana lebih baik.

Tekanan dan dinamika dalam ekosistem arsitektur memang perlu dikritisi, tetapi juga dijalani. Pergeseran tempat kerja, perbedaan prinsip, dan ketegangan intelektual adalah bagian dari proses pembentukan seorang arsitek. Banyak tokoh besar dalam sejarah arsitektur mengalami fase ini, bahkan dengan mentor atau role model mereka sendiri.

Misalnya, Frank Lloyd Wright awalnya bekerja dengan Louis Sullivan, yang ia anggap sebagai mentor dan panutan. Namun, karena perbedaan pendapat—terutama setelah Wright diam-diam mengambil proyek-proyek sampingan—ia akhirnya memutuskan untuk keluar. Meskipun begitu, keduanya tetap saling menghormati. Wright selalu mengakui peran besar Sullivan dalam membentuk pemikirannya, sementara Sullivan, meskipun pernah kecewa, tetap mengakui bakat luar biasa Wright.

Frank Lloyd Wright interview where he talks about Louis Sullivan, 1958. Source: NBC Chicago

Lalu ada Frank Gehry, yang di awal kariernya bekerja di firma Victor Gruen, seorang arsitek terkenal yang dikenal sebagai “bapak mal modern.” Namun, Gehry akhirnya memilih keluar karena merasa tidak cocok dengan pendekatan desain arsitektur komersial Gruen. Ironisnya, ketika Gehry kemudian menjadi arsitek avant-garde dengan pendekatan dekonstruktifnya yang radikal, banyak yang bertanya-tanya apa yang Gruen pikirkan tentang muridnya yang dulu.

Robert Venturi dan Louis Kahn. Kahn, dengan pendekatan puristiknya yang mengedepankan bentuk kotak dan geometris, memberikan pengaruh besar bagi Venturi. Namun, alih-alih mengikuti jejak Kahn secara langsung, Venturi malah mematahkan prinsip tersebut dengan menggali bentuk-bentuk yang tidak geometris, yang penuh dengan kompleksitas dan kontradiksi. Perbedaan ini menciptakan sebuah ruang bagi Venturi untuk mengembangkan desainnya sendiri yang lebih ekspresif, meskipun ada konsep unity yang tetap diwariskan oleh Kahn. Venturi menurunkan kembali pemahaman dari Kahn, namun dalam bentuk yang lebih terbuka dan tidak terikat pada keharusan geometris yang kaku.

Robert Venturi (center) at a panel discussion on architecture and the future of Chestnut Hill with Romaldo Giurgola (second from left) and Louis Kahn (second from right). Source: https://www.chestnuthilllocal.com/

Unifikasi yang terjadi dalam dinamika hubungan beberapa arsitek besar ini justru memperlihatkan bagaimana proses pemberian tongkat estafet tidak hanya memperkaya pemahaman desain mereka, tetapi juga melahirkan warna-warni baru dalam dunia arsitektur. Meskipun terlihat seperti berlawanan, perbedaan mereka justru memperkaya satu sama lain.

Dari berbagai kisah ini, bisa dilihat bahwa tekanan dan perbedaan bukan hanya sesuatu yang menghambat, tetapi justru bisa menjadi pemicu bagi seorang arsitek untuk menemukan jalannya sendiri. Bahkan, terkadang perbedaan tersebut menjadi anekdot menarik dalam sejarah arsitektur—seperti bagaimana mentor dan murid yang pernah bersitegang tetap saling mengakui kontribusi satu sama lain, atau bagaimana seorang arsitek besar dulunya hanyalah anak magang yang mungkin sering diminta membuat gambar kerja saja oleh atasannya.

Fokus utamanya adalah pelatihan untuk lebih tangguh, luwes, dan adaptif dimana pun dengan siapa pun. Oleh karena itu Memperkuat pondasi keterampilan sebagai individu yang kerja cerdas dan bermanfaat sangat penting. Ini bukan tentang tempat atau posisi, tetapi bagaimana kita terus berlatih setiap saat, mempersiapkan diri untuk menyambut peluang yang akan datang.

Untuk arsitek ia berlatih dengan melayani klien, melihat dinamika pengalaman dan kasus studi sebagai referensi. Ia masuk ke kemampuan untuk mendengarkan, komunikasi, dan bagaimana kemampuan psikologis menjadi penting.

Tekanan yang muncul menggambarkan proses latihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, seperti yang dijelaskan oleh Ericcson dalam konsep deliberate practice, membantu seseorang mengatasi keterbatasan sambil menetapkan tujuan yang jelas dan menerima umpan balik dengan cepat.Hal ini dapat membawa kedalam kondisi flow, Mihály Csíkszentmihályi, di mana seseorang menikmati proses yang mereka jalani. P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) agar dapat efektif tetapi juga menyenangkan.

Dinamika yang begitu panjang, dari pengetahuan dasar yang luas sampai ke pemahaman kerja yang setia akan tujuan dan menikmati proses akan menjadi dasar-dasar yang menjanjikan untuk jati diri arsitek-arsitek Indonesia di masa depan.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Carl Jung, Bollingen Tower, dan Refleksi Studio Kami

Bentuk massa yang organik, bertumpuk – tumpuk, dan bertahap – tahap dibangun, membuat kami mencari konsepsi Jung dalam membangun kediamannya, dibahas oleh Newport, bahwa inilah mesin eudomonia, sebuah konsep yang dibahas oleh David Dewane, bahwa ada kombinasi program, untuk bagaimana berinteraksi secara sosial sembari tempat melakukan refleksi mendalam, yang disebut Newport, Deep Work.

Tulisan ini adalah sebuah refleksi studio kami dari cerita filsuf Carl Jung yang ditulis oleh Cal Newport dalam buku Deep Work. Cal Newport menulis tentang bagaimana Carl Jung seorang psikiater dan psikoanalis asal Swiss, yang dikenal luas sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perkembangan psikologi modern, membangun tempat menyepi di Bollingen Tower. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Jocelyn Emilia

Dalam Buku Deep Work yang dituliskan oleh Cal Newport, kami menemukan bahwa ternyata dari sekian banyak hal yang kita kerjakan, 80%-nya adalah shallow work dan hanya 20% yang berupa deep work. Seringkali dibutuhkan kondisi khusus untuk melakukan deep work ini agar bisa sepenuhnya fokus. Guha menjadi merupakan tempat kami bekerja, bereksperimen, sekaligus berkontemplasi. Refleksi terhadap Guha dibantu dengan refleksi terhadap Bollingen Tower yang dibangun oleh ahli psikologi Carl Jung.

Di sela-sela perenungannya, pada tahun 1923, Carl Jung mencari tempat dimana ia bisa membangun rumah tower. Tower yang terletak di tepi Danau Zurich ini bukan dibangunnya untuk menjadi tempat untuk berlibur, tetapi tower ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan spiritual dan pertapaan baginya, tempat menyendiri di mana ia dapat menarik diri dari urusan duniawi dan mengabdikan dirinya untuk pekerjaan, sembari memulihkan dan refleksi diri selepas kehilangan ibunya beberapa bulan sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, tower itu tumbuh menjadi bangunan bertingkat dengan beberapa massa tambahan, yang masing-masing memiliki makna simbolis yang terkait dengan tahap kehidupan tertentu. Tower bundar di tengah melambangkan perapian “maternal keibuan” yang baginya menggambarkan dunia alam bawah sadar yang mendalam. Sedangkan bangunan tambahan di atasnya menjadi tempat perpustakaan dan ruang belajar Jung.

Di masa berikutnya, ia juga mulai tertarik dengan ajaran-ajaran spiritual dan filosofis dari India, yang menghasilkan penambahan area baru dalam towernya seperti apa yang diperlajarinya dalam rumah-rumah di India, yang memiliki area kecil mungkin hanya di sudut ruangan sebagai tempat beristirahat.

Penambahan baru ini menjadi tempat dirinya mengasingkan diri, benar-benar sendirian bahkan ia selalu membawa kuncinya dan tidak ada yang boleh masuk ke dalamnya tanpa seizinnya. Proses penambahan tower ini terus berlanjut bahkan hingga tahapan kelima. Bagi Carl Jung, membangun dan menghuni tower ini adalah cara untuk mewujudkan proses individuasinya, bagaimana dirinya mencoba mengintegrasikan berbagai bagian jiwa dan pemikirannya yang berbeda-beda.

Jung pumping water at Bollingen ca. 1960. Library of Congress

Kebiasaan kerja yang dilakukan Jung di tower ini kami sebut sebagai kerja fokus sepenuh hati, kerja “mumpuni” dimana ia fokus, meski tidak ada listrik, lampu dari minyak dan perapian. Ia ingin mencari kesunyian di tower tersebut.

Melarikan diri untuk mengasah dirinya, bukan melarikan diri dari kehidupan profesionalnya, Ia menjadi bebas gangguan hingga mendorong kemampuan kogniftifnya sampai batas, upaya ini menciptakan nilai baru, dan sulit ditiru karena melibatkan kondisi yang sangat spesifik.

Carl Jung tinggal di Bollingen hanya beberapa bulan dalam setahun. Selebihnya ia tinggal di Zurich untuk mengajar dan menerima pasien. Setelah membangun Bollingen Tower dan hidup bolak balik dari Zurich, sampai akhir hayat Carl Jung menelurkan 10 buku yang berkontribusi pada kemajuan bidang psikoanalisis.

Dari cerita ini, kita belajar bahwa dari perdebatannya dengan Sigmund Freud, kita tidak perlu takut tidak sependapat, tetapi perbedaan tersebut membawanya sampai dalam potensi terbaik dirinya. Cerita-cerita seperti yang dialami Carl Jung juga sering muncul dalam kehidupan arsitek, seperti Tadao Ando yang walau terus bekerja dalam fokus dan disiplin intens, ia tetap membutuhkan waktu untuk refleksi pribadi dan menyegarkan dirinya kembali.

Tadao Ando yang senang menghabiskan waktu di alam, menemukan kedamaian dan inspirasi dalam suasana yang tenang. Saat-saat perenungan dan refleksi ini merupakan bagian penting dari filosofi desainnya, dan memungkinkannya dirinya untuk terhubung secara mendalam dengan lingkungan sekitarnya dan esensi dari material yang digunakannya.

Karya-karyanya seperti Church of the Light, Kuil Rokko, juga The Water Temple adalah hasil karya dari proses refleksinya, di mana ia banyak merenungkan esensi ruang, cahaya, dan pengalaman manusia. Introspeksi mendalamnya dalam perenungannya tercermin juga dalam karya arsitektur yang mempengaruhi orang yang berkunjung ke dalamnya untuk berhenti sejenak, merenung, dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya.

Kami percaya bahwa alam psikologi itu penting untuk arsitektur. Dan dari penelusuran kami hal ini bisa terjadi karena ada dialektika ilmu dari apa yang dituliskan Carl Jung dalam Buku Memories, Dreams, Reflections. Carl Jung juga belajar di bawah bimbingan Sigmund Freud, yang saat itu menjadi pionir dalam psikologi psikoanalitik.

Meskipun begitu, pemikirannya seringkali berseberangan dengan mentornya, Sigmund Freud. Konflik yang terus berlanjut akhirnya membuat Jung dan Freud berpisah pada tahun 1913, dan pada masa-masa inilah, Jung mengalami perenungan pribadi, yang kemudian menghasilkan karya-karya yang menjadi titik balik dalam hidupnya.

Dalam Buku “The Freud/Jung Letters: The Correspondence between Sigmund Freud and C. G. Jung” yang berisikan surat-surat Carl Jung dan Sigmund Freud, dituliskan bahwa pertemuan pertama kali mereka terjadi di rumah Sigmund Freud di Wina pada bulan Maret 1907. Setelah pertemuan itu, Jung dan Freud terus saling berkomunikasi, bahkan Freud dengan berani menyampaikan bahwa ia merasa Jung adalah pewarisnya, dan menganggap Jung sebagai anaknya.

Layaknya ayah dan anak, hubungan mereka juga seringkali diselingi dengan banyak perdebatan, hampir tidak ada masa di mana mereka terus akur, selalu ada perbedaan pendapat di antara mereka. Salah satu puncaknya adalah di tahun 1912, ketika Jung merilis buku “Psychology of the Unconscious”, di mana ia dengan berani menggaris bawahi perbedaan teori yang dimilikinya dengan Freud.

Freud percaya bahwa “the unconscious mind” adalah episentrum dari pikiran kita yang tertekan, ingatan traumatis, juga berkaitan dengan hasrat seksual. Ia menyatakan bahwa pikiran manusia berpusat pada tiga struktur – id, ego, dan super ego.

Id membentuk dorongan bawah sadar kita, dan tidak terikat oleh moralitas tetapi hanya berusaha untuk memuaskan kesenangan. Ego adalah persepsi, ingatan, dan pikiran sadar kita yang memungkinkan kita untuk menghadapi kenyataan secara efektif, dan superego mencoba memediasi dorongan id melalui perilaku yang dapat diterima secara sosial.

Sedangkan Carl Jung percaya bahwa jiwa manusia terbagi menjadi tiga bagian. Dalam pandangan Jung, alam bawah sadar dibagi menjadi ego, alam bawah sadar personal (personal unconscious), dan alam bawah sadar kolektif (collective unconscious).

Bagi Carl Jung, ego sebenarnya adalah “the conscious mind”, alam bawah sadar personal mencakup ingatan (baik yang diingat maupun yang ditekan) dan alam bawah sadar kolektif menampung pengalaman atau pengetahuan yang kita miliki sejak lahir (misalnya, cinta pada pandangan pertama)

Setelah perpisahan yang terjadi dengan Freud, Jung juga sempat mengalami krisis personal juga dalam ranah profesional. Ia sempat mempertanyakan keyakinannya sendiri dan merasa terasing dari rekan-rekannya. Namun, masa-masa ini membawanya ke eksplorasi diri yang intens yang nantinya akan memiliki pengaruh besar pada karyanya di masa mendatang.

Salah satu karya terbaik yang dihasilkan Jung adalah “Psychological Types” yang diterbitkannya di tahun 1921, di mana ia memperkenalkan teori baru tentang tipe psikologis, dan di buku ini juga ia mulai mendalami ide awal pemikirannya tentang archetypes.

Dalam buku ini, ia menuliskan bahwa setiap orang memiliki orientasi psikologis yang berbeda berdasarkan pada dua sikap utama: introvert dan ekstrovert. Ia juga mengkategorikan empat fungsi psikologis utama: thinking, feeling, sensation, and intuition. Kategori ini juga yang nantinya membentuk dasar dari tipe kepribadian modern seperti yang kita sering kenal sekarang dengan sebutan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator).

Jika Carl Jung memiliki Bollingen Tower, dan Tadao Ando banyak melakukan perenungan diri sebelum masuk mendesain kaya-karyanya, Bagi kami Guha adalah tower dan tempat kami berkontemplasi. Guha dibangun menggunakan bahan-bahan yang sederhana, juga dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramiknya.

Tanaman yang tumbuh juga muncul memperlihatkan metode yang diresapi dari tanaman yang tumbuh perlahan – lahan, begitupun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.

Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas.

Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif.

Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun
Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun

Bollingen terbukti mampu memberikan dimensi kerja dengan dalam, ia berteori dan berjibaku dalam praktikalitasnya, menelurkan buah karya di dalam kesendirian. Begitupun kita semua yang memiliki Bollingen Tower masing-masing, bekerja dalam sekat – sekat kesendirian, bekerja fokus, sungguh – sungguh sembari tetap mengerjakan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Work Hard, Work Smart, Work Heart

Refleksi singkat soal membangun sikap pantang menyerah dalam studio arsitektur. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia.

Sudah hal yang biasa jika perbincangan tentang kerja di studio arsitektur sering dikaitkan dengan kultur kerja hingga larut malam. Kultur ini juga tercermin dalam karakter Moko di film 1 Kakak 7 Ponakan, dimana apa yang dialami oleh Moko sebagai lulusan baru arsitektur merupakan sebuah realita. Jangankan kehidupan di dunia luar, pengorbanan waktu dan tenaga yang tidak manusiawi seakan menjadi jalan satu-satunya menuju kesuksesan di dunia arsitektur. Dengan segala keterbatasan yang dialami, kerja keras tradisional di studio arsitektur perlu direkonstruksi dan diubah menjadi kerja yang lebih cermat, demi menciptakan ekosistem yang lebih baik.

Kami juga mereview ulang sistem kerja studio dan membatasi maksimal di jam 20.00. Hal ini pada akhirnya memberikan semangat untuk lebih efisien akan waktu, datang lebih pagi, dan proaktif menjaga waktu masing-masing juga menjaga kepentingan bersama.

Dalam buku Great at work tulisan Morgen T. Hansen kami belajar 3 cara kerja yang berbeda, kerja dengan keras dan membabi buta (work hard), kerja dengan cermat (work smart) dan satu lagi yaitu kerja dengan hati (work heart). Tulisan ini akan membahas bagaimana kerja menggunakan hati (work heart)

John Pencavel dalam penelitiannya menemukan bahwa performa seseorang justru akan meningkat jika jam kerja dibatasi antara 50-60 jam per minggu. Selepas angka tersebut, kinerja malah menurun, di mana kurva produktivitas mulai menjadi datar. Hal ini menunjukkan kunci produktivitas bukanlah menghabiskan waktu berjam-jam, melainkan bagaimana mengelola waktu yang terbatas untuk menyelesaikan pekerjaan secara efisien. Keterjebakan dalam menjadikan lamanya waktu sebagai alat ukur produktivitas merupakan metode kerja keras

Diagram Performa Jus yang Berkurang Saat Diperas Setiap Jamnya. Source: Morten T. Hansen pada buku Great at Work, hasil sintesa penelitian John Pencavel “The Productivity of Working Hours”

Morten T. Hansen menyatakan bahwa rahasia kerja memakai hati dalam meraih performa terhebat terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama perlu lihai dengan pekerjaan sendiri, perlu untuk mengerjakan lebih sedikit lalu terobsesi dengan pekerjaan tersebut sampai ke titik detailing, mendesain ulang pekerjaan agar lebih efektif lagi, melakukan perulangan agar terbiasa, dan menentukan P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) dalam sebuah perkerjaan agar efektif dan menyenangkan. Kedua, lihai bekerja dengan orang lain dengan selalu memberi kredit dan kontribusi tim hingga menjadi para pemenang yang hebat, dapat bekerja dengan orang yang berselisih dan bersatu, dan mengurangi dosa-dosa atas nama kolaborasi serta lebih efektif dalam berdiskusi. Yang terakhir adalah bagaimana lihai menjalani pekerjaan sampai kehidupan sehari-hari, dengan membangun profil diri yang baik.

Morten T. Hansen pun mengemukakan konsep “kerjakan lebih sedikit, terobsesilah, dan berperformasilah.” Ia menyebut bagian ini “Lihai dengan pekerjaan sendiri”

Salah satu contoh nyata adalah Frank Lloyd Wright, yang mampu mendesain proyek dengan cermat dalam waktu singkat. Namun, hasil tersebut bukanlah tanpa proses panjang. Proyek-proyeknya tercipta melalui latihan berkelanjutan dan adanya tujuan serta gairah dalam pekerjaan. Wright sendiri menghabiskan bertahun-tahun untuk mencapai tingkat keterampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.rampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.

Frank Lloyd Wright (seated) and his student around him. Source: franklloydwright.org

Dengan desain yang eksploratif, Rem Koolhaas mengandalkan pendekatan yang terstruktur dan analitis, pemanfaatan teknologi, bentuk yang fleksibel dan modular, serta tujuan yang jelas sebagai amunisi dalam menghadapi proyek-proyeknya dengan cepat. Berbeda dengan Gaudí atau Zumthor yang cenderung terlalu terobsesi dengan pekerjaan mereka, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya gambar kerja keluar. Namun perlu diketahui bukan proses mereka yang lama, tetapi pendalaman dan kecerdasan yang mereka curahkan terhadap suatu konsep iterasi yang mereka percayai yang membuat karya mereka, menjadi magnum opus.

CCTV Headquarter programmatic diagram, Rem Koolhas, OMA. Source: Archdaily, OMA
Detail of the roof in the central nave of la Sagrada Familia. Source: SBA73 via Wikimedia Commons under CC BY-SA 2.0

Strategi yang keliru adalah bekerja dengan menghabiskan banyak tenaga dan waktu dengan tanpa kecerdasan. Padahal menyusun daftar prioritas baru hanya merupakan separuh dari suatu persamaan yang utuh. Prinsipnya adalah penyadaran bahwa dalam bekerja, kita harus mencurahkan segalanya untuk fokus dengan konsentrasi penuh pada apa yang telah dipilih berdasarkan prioritas, agar hasilnya semakin baik.

Proses untuk menyeleksi apa pun yang masuk atau diterima sangatlah penting. Oleh karena itu, mendokumentasikan, membagi, dan menjaga jam kerja dengan menggunakan timesheet menjadi prioritas, itu lah work smart.

Namun, bukan hanya pengaturan jam kerja yang perlu diperhatikan, komunikasi yang baik untuk mendelegasikan tugas juga menjadi tantangan tersendiri. Seorang pemimpin tim harus memastikan bahwa setiap anggota tim memahami tujuan dan mengutamakan kepentingan bersama, sehingga proses delegasi dapat berjalan efektif. Hal ini disebut Morgen T. Hansen sebagai bagian lihai bekerja dengan orang lain.

Covey’s Maturity Continuum. Source: https://aaronicabcole.com/7-habits-of-highly-effective-people-habits-1-2/

Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People juga menekankan pentingnya proaktif, menetapkan prioritas, dan memiliki tujuan yang jelas untuk mencapai efisiensi.

Dalam bekerja dengan orang lain, sikap profesional dan kemampuan untuk bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan mereka yang mungkin dianggap sebagai musuh, sangat diperlukan. Mengurangi ego, menghindari konflik yang mengatasnamakan kolaborasi, serta fokus pada produktivitas dan efektivitas adalah langkah-langkah penting dalam mencapai hasil yang maksimal.

Menurut Morten T. Hansen, tujuan pekerjaan haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Meskipun seseorang tahu apa tujuannya, terkadang ia tidak merasa bergairah atau tidak merasa sesuai dengan apa yang diinginkan. Ia menyebut bagian yang sehari-hari itu “Lihai bekerja dengan orang lain”

Praktik Kunci yang Memengaruhi Keseimbangan Keja-Kehidupan. Source: Morten T. Hansen, Great at Work

Hansen mengidentifikasi empat sumber gairah kerja yang penting, yaitu intrinsik, kreatif, perkembangan, dan sosial. Menurutnya, gairah ini tidak hanya mendukung keberhasilan dalam pekerjaan, tetapi juga membantu menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan citra yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, transparansi informasi, pengetahuan, dan kesadaran untuk memahami psikologi serta posisi tim, vendor, dan klien menjadi hal yang krusial. Mengurangi ego, lebih banyak mendengarkan dengan empati, dan melayani dengan sepenuh hati adalah langkah-langkah yang dapat memperkuat hubungan kerja. Dengan pendekatan ini, arsitektur bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan juga jalan hidup yang dapat memenuhi isi hati. Dari sini work heart baru dimulai.

Bagi mahasiswa arsitektur, bergabung dalam kegiatan kemahasiswaan sangatlah penting. Ini merupakan kesempatan untuk mulai melatih diri dalam bekerja tanpa pamrih dan melayani tanpa mengharapkan imbalan. Pekerjaan di bidang arsitektur memang erat kaitannya dengan semangat bekerja tanpa pamrih, yaitu memenuhi kebutuhan klien tanpa menuntut bayaran langsung. Dari sikap tersebut, kepercayaan dan hubungan jangka panjang akan terjalin, dan pada akhirnya, hasil kerja tersebut akan dihargai dengan pantas.

DOT Workshop, RAW Architecture, and OMAH Library Team 2024. Soruce: RAW Architecture
Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Hemingway, Apurva and Metode Iceberg

Kemampuan literasi (membaca, menulis, dan berpikir kritis) sastra di dalam arsitektur seringkali dihubungkan dengan kemampuan mengatasi tantangan hidup. Mulai dari memahami situasi dalam pemecahan masalah, menganalisis kegagalan, hingga bangkit dari kegagalan tersebut. sebuah tulisan dari Realrich Sjarief + Jocelyn Emilia.

Ernest Hemingway menulis “Kehidupan menghancurkan kita semua, tetapi beberapa di antara kita menjadi lebih kuat di tempat-tempat yang hancur.” Realitas kehidupan nyatanya memang penuh dengan cobaan dan penderitaan. Tidak ada seorang pun yang luput dari luka dan kegagalan, tetapi yang membedakan adalah bagaimana respon dari orang tersebut.

Hemingway sendiri juga mengelaborasi metode Iceberg. Seperti namanya, metode Iceberg adalah analogi gunung es yang hanya menunjukkan sebagian kecil dari dirinya ke permukaannya. Bagaimana hanya sebagian kecil informasi yang ditampilkan secara eksplisit, sementara sebagian besar makna atau konteks dibiarkan tersirat untuk disimpulkan. Teknik ini membuat tulisannya menjadi lebih efektif dalam penyampaian, namun juga interpretatif. Tulisannya tidak literal, namun sarat akan puisi.

Iceberg. Source: https://www.50odd.co.uk/icebergs/

Sebagai gambaran contoh tulisan dengan metode Iceberg, “Menara kaca itu berdiri tegak, memantulkan langit biru. Di dalamnya, orang-orang bergerak seperti bayangan, sibuk dengan rutinitas mereka. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti monolit yang tak tergoyahkan, tetapi jika diamati lebih dekat, retakan-retakan halus terlihat di permukaannya.”

Sedangkan tulisan ini tidak memakai metode Iceberg yang teknis, yang saya sering sebut sebagai tulisan mati rasa, “Menara kaca ini dirancang oleh arsitek terkenal, John Smith, dan selesai dibangun pada tahun 2010. Bangunan ini memiliki 50 lantai, dengan total tinggi 200 meter. Fasadnya terbuat dari kaca tempered yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Di dalamnya, terdapat kantor-kantor perusahaan multinasional, restoran, dan pusat kebugaran. Bangunan ini telah memenangkan beberapa penghargaan desain arsitektur.”

Pada contoh tulisan dengan metode Iceberg, deskripsi bangunan sangat sederhana—hanya menyebutkan bentuk, material, dan kesan visualnya. Namun, ada petunjuk tersirat tentang kehidupan di dalamnya, kontras antara kekuatan luar dan kerapuhan dalam, serta mungkin simbolisme tentang ketidaksempurnaan yang tersembunyi. Pembaca diajak untuk mengisi kekosongan makna tersebut dengan interpretasinya sendiri.

Keterampilan Hemingway diasah melalui kombinasi pengalaman praktis, belajar mandiri, dan pengaruh ketika menjadi pengemudi ambulans selama Perang Dunia I (1918) saat ia baru berusia 18 tahun. Pengalamannya menjadi supir ambulans memberinya banyak pelajaran tentang penderitaan, keberanian, dan kekejaman perang. Pengalaman traumatis ini membuka mata Hemingway terhadap sisi gelap kemanusiaan, namun juga mengajarkan tentang ketahanan, keberanian, dan kehormatan.

Hemingway in WWI Red Cross ambulance in Italy, 1918. Source: https://redcrosschat.org/2015/10/09/archives-hemingway-red-cross-italy/wwi-ambulance-in-italy/

Setelah perang, ia bergabung dengan komunitas sastra di Paris pada 1920-an. Di sinilah Hemingway menempa dan mengasah gaya penulisannya yang khas, yang juga dipengaruhi oleh panduan gaya surat kabar The Kansas City Star, yang menekankan kalimat pendek, bahasa Inggris yang kuat, dan menghindari kata-kata yang tidak perlu, prinsip-prinsip ini yang membentuk gaya minimalisnya di kemudian hari. “Pelatihan” sejati Hemingway datang dari membaca dengan rakus dan pengalaman hidupnya.

Hemingway at Shakespeare and Company in the 1920s (Paris). Source: Alamy

Seperti logam yang ditempa api, manusia yang menghadapi kesulitan dengan keberanian dan ketahanan akan menjadi lebih kuat di titik-titik di mana mereka pernah jatuh. Kita bisa belajar dari Hemingway, di dalam alam kehancuran, ada peluang untuk tumbuh, belajar, dan menjadi pribadi yang lebih tangguh. Kuncinya adalah bagaimana kita memilih untuk menghadapi kehidupan-apakah kita akan menyerah, atau menjadikan luka sebagai kekuatan baru untuk melangkah maju.

Novel The Old Man and the Sea karya Hemingway juga digunakan untuk mengajarkan keterampilan membaca, analisis teks, dan penulisan kepada muridnya. Dengan mengangkat tema-tema universal yang tidak intimidatif seperti keberanian, cinta, dan perjuangan, novel ini menarik banyak minat publik. Gaya penulisannya yang cenderung santai menjadikan kisahnya dekat dengan pembaca, dan perlahan meningkatkan kemampuan literasi publik.

Novel The Old Man and The Sea (original cover)

Teman baik kami Apurva Bose, ia adalah seorang jurnalis arsitektur, kurator, editor, dan pengajar di India. Dalam bukunya Architectural Voices of India (2017), ia mewawancarai total 19 orang, dan ia menggali data, fakta, serta realitas dengan sangat baik. Begitu juga dengan karya editorialnya dalam Writing and Literature untuk Architecture Asia. ia menyajikan kumpulan tulisan dari 5 narasumber yang berasal dari latar belakang berbeda-beda di arsitektur.

19 architects in the Architecture Voices of India. Source: https://www.apurvabose.com/book/

Apurva begitu giat mengkampanyekan pentingnya penulisan arsitektur di India. Bahkan setelah tulisannya selesai, ia terus menjaga komunikasi dengan narasumber dan melatih anak-anak muda supaya bisa menulis. Melalui Apurva, sastra dalam arsitektur menjadi lebih inklusif, sehingga lebih banyak orang membaca dan menghargai karya tulis, hingga karyanya diterjemahkan di berbagai bahasa di seluruh dunia.

Bagaimana sastra arsitektur bukan hanya tentang mendeskripsikan bangunan atau ruang berdasarkan fakta yang ada. Arsitektur juga merupakan sebuah ruang untuk mengeksplorasi makna-makna yang lebih dalam yang terkandung dalam praktik, sejarah, dan konteks sosial budaya. Kami belajar banyak dari langkah hidup dan tulisannya.

Salah satu narasumber dari Writing and Literature untuk Architecture Asia, Sumita Singha, turut mengangkat masalah bias dalam penerimaan arsitektur India oleh dunia Barat— bagaimana selama ini narasi yang disampaikan kepada dunia tidak tertangkap dengan baik sehingga seharusnya narasi penulisan bisa mengangkat inti yang lebih substansial.

Narasumber lainnya, Chatterjee, juga membicarakan bagaimana pentingnya sastra dalam kurikulum pendidikan arsitektur untuk menggali makna membentuk ruang, bangunan, dan bahkan cara kita mendesain. Penulisan bukan hanya sebuah refleksi pasif dari arsitektur, tetapi sebuah kekuatan aktif yang membentuk budaya, sosial, dan intelektual kita.

Dalam pengertian ini, arsitektur juga bisa dilihat dari metode Iceberg tadi, di mana banyak elemen penting seperti nilai-nilai budaya, filosofi desain, dan konteks sosial tersembunyi di bawah permukaan bangunan itu sendiri. Dengan penulisan yang tepat, kita dapat lebih mudah memahami makna-makna tersebut dan memberi interpretasi lebih dalam tentang apa yang membentuk arsitektur kita. Hal tersebut memperkaya, memperbanyak variasi dan mempertajam kemampuan berpikir kritis dengan kreatif.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Mengejar Ekor Waktu, Proses De-Tailing

Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana seorang arsitek bisa melihat metode melalui tahapan waktu dan observasi di lapangan secara menerus. Dalam refleksi singkat kami, seringkali saat menjalani proyek arsitektur, studio kami melakukan proses detailing yang membuat arsitektur bicara dengan skala yang kecil. Proses detailing ini memakan waktu yang tidak sebentar, dan merupakan cerminan jam terbang yang panjang sekaligus proses transformasi diri. Apalagi jika proyek dikerjakan dalam waktu tidak sebentar karena biaya hanya bisa dikucurkan secara bertahap.

Kami ingat ada Carlo Scarpa dari Venesia yang senantiasa menampilkan elemen-elemen arsitektur yang puitis, artistik, dan memukau.

Carlo Scarpa at Casa Businaro (Monselice), courtesy Archivio Pietropoli

Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Sepanjang karirnya, Scarpa banyak mengerjakan proyek renovasi. Sentuhannya memberikan kehidupan baru yang begitu signifikan pada bangunan lama. Detail-detailnya demikian artikulatif dengan teknik repetisi. Orang yang melihatnya jadi auto bertanya: “Bagaimana ini bisa terbangun? Pasti butuh waktu yang lama.”

Rekam jejak Scarpa menunjukkan dua kecenderungan. Mayoritas proyeknya, terutama di rentang 1930-1960an justru dikerjakan dalam waktu relatif normal, rentang 1-5 tahun. Namun, karya-karya representatifnya yang dikerjakan di 2 dekade terakhir hidupnya memang punya timeline yang cukup ekstensif. Renovasi Castelvecchio Museum memakan waktu 14 tahun. Sementara, Brion Tomb yang menjadi karya terakhirnya sebelum wafat, selesai dalam waktu 10 tahun.

Kalau kita bicara proyek dengan skala sebesar Guggenheim Museum Bilbao karya Frank Gehry yang kita bahas terakhir kali, mungkin waktu sepanjang itu terdengar biasa saja (Gehry bahkan bisa menyelesaikan proyek seluas 24.000 m2 ini dalam 6 tahun saja). Namun, dalam konteks Scarpa, kita bicara proyek dengan luasan antara 2.000-7.000 m2 saja. Ini semakin menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana proyek-proyek tersebut dikerjakan begitu lama, ketika umumnya arsitek selalu kejar-kejaran dengan waktu?”

Pada dasarnya, sebelum benar-benar sampai di titik “selesai”, arsitek tidak pernah benar-benar menggenggam kontrol terhadap durasi pengerjaan proyek. Sekuat apa pun kontrol internal dilakukan, akan selalu ada hal tak terduga dari luar yang membuat pengerjaannya molor. Namun, bagaimana dengan Scarpa sendiri?

Arsitek kelahiran 1906 ini punya metode desain yang tidak hanya terpusat di gambar-gambar kerja, tetapi juga observasi dan pengambilan keputusan di lapangan bersama tukang dan seniman yang menjadi kolaboratornya. Proses perancangannya tidak linier, tetapi terjadi bolak-balik, menghasilkan berlapis-lapis gambar revisi yang menunjukkan upaya bertahap Scarpa untuk memahami apa yang diinginkan desain dan konteks yang mengelilinginya. Scarpa pernah bilang ia harus “melihat” supaya bisa paham, yang artinya proses konstruksi menjadi dialog antara konsep dan realita, bukan semata perlombaan menuju deadline.

Di Querini Stampalia Foundation misalnya, bangunan dari tahun 1869 ini memerlukan renovasi karena lantai dasarnya sering kebanjiran air kanal Venesia. Alih-alih memikirkan bagaimana menghalau air masuk, dalam renovasi di tahun 1961-1963 Scarpa membuat semacam catwalk yang memisahkan entrance dengan aula yang membuatnya seakan seperti dermaga ketika air sedang naik.

Scarpa juga membuat sistem kanal mengikuti dinding-dinding bangunan yang memungkinkan air surut dengan sendirinya. Untuk mencapai ini Scarpa harus mengamati langsung bagaimana air bergerak dan bereksperimen dengan desain kanal untuk mendapatkan leveling air yang tepat. Dan ini membutuhkan waktu serta dedikasi.

Aspek sejarah menambah tantangan proyek-proyek Scarpa yang banyak berupa renovasi bangunan historis. Castelvecchio Museum misalnya (1956–1975), bangunan aslinya sudah berdiri sejak abad ke-14. Direncanakan untuk pameran karya seni dari era medieval, renaisans, dan modern, museum ini membutuhkan sentuhan baru yang sekaligus mampu menghighlight sisi historisnya.

Selain melakukan rekonstruksi pada bagian museum yang terdampak PD-II, Scarpa juga mendesain jalur, tangga, dan jembatan yang menghubungkan berbagai massa di dalamnya. Ia membutuhkan waktu bahkan untuk “sekadar” menemukan perpaduan komposisi beton dan batu medieval yang cocok, atau menentukan peletakan patung-patung koleksi yang pas.

Sensitifitas Scarpa dalam meramu komposisinya banyak dipengaruhi oleh kecintaannya pada sastra dan prosa. Ia melihat desainnya dalam bahasa yang puitis. Bagi Scarpa, setiap elemen seakan bisa berbicara, dan ia mencoba mendengarkan apa yang masing-masing mereka inginkan.

Cara pandang ini mempengaruhi gaya komunikasi Scarpa dengan para tukang dan kolaboratornya. Ia seringkali mendeskripsikan desain atau material dengan ekspresi yang penuh kiasan. Misalnya, ketika menjelaskan tekstur beton untuk tangga baru di Castelvecchio Museum, ia menyebutnya “the breath of stone” atau “a memory caught in the grain”. Tukangnya pun keheranan dan nyeletuk, “Ini orang mau nyetak beton atau nulis puisi, sih?”

Castelvecchio Museum, concrete details

Gemas karena idenya tak kunjung tersampaikan, Scarpa pun mengambil sekop dan mencoba membuat adonan betonnya sendiri. Namun, tampaknya ia memang ditakdirkan menjadi konduktor sahaja, adonan buatannya menggumpal dan proporsinya aneh. Tukangnya pun nyengir, “Cukup, Maestro. Anda gambar, kami yang bangun—kasih tahu feelnya seperti apa, jangan cara nyampurnya.” Giliran Scarpa yang nyengir karena si tukang akhirnya mengerti.

Ada kalanya tukang-tukang Scarpa ikut bermain-main dengan ekspresi puitisnya. Saat menjelaskan sebuah sambungan di proyek Brion Tomb, Scarpa menyebutnya “jabat tangan dari dua material.” Lalu tukang kayunya membalas, “Semoga mereka tidak bertengkar terlalu keras saat hujan,” yang kemudian sukses menjadi bahan candaan di proyek.

Brion Tomb, metal details

Pembawaan Scarpa yang ringan dan humoris seperti menjadi penyeimbang terhadap ekspresinya yang imajinatif, dan barangkali menjadi oase tersendiri di tengah pergolakan yang terjadi sepanjang 1960-1970-an di Italia.

Saat baru memulai karir sebagai desainer di era 1930-an, Scarpa meniti langkah-langkah kecil di tengah rezim fasisme Mussolini. Karirnya baru naik setelah rezim berganti dan PD-II usai. Pemerintah Italia saat itu punya semangat untuk menebus ketertinggalan budaya yang terjadi 2 dekade sebelumnya. Dukungan pemerintah dan kemajuan ekonomi di masa itu nampaknya menjelaskan kelancaran proyek-proyek Scarpa yang didominasi renovasi museum/galeri, setidaknya hingga awal 1960-an.

Sayangnya, kemajuan ekonomi Italia ternyata menyebabkan kecemburuan di beberapa kalangan. Di politik, kubu kanan dan kiri juga saling berebut kekuasaan. Teror dan kekerasan terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Arsitektur pun tidak menjadi perhatian utama saat itu. Ini menjelaskan tersendatnya proyek Castelvecchio Museum dan juga Brion Tomb (1968-1978) yang menjadi magnum opus Scarpa.

Italian strike demonstration, 60s/70s

Proyek pemakaman untuk keluarga Brion ini terletak di pedesaan Altivole, tidak jauh dari Asolo, kota kecil tempat Scarpa menepi setelah menjalani drama gugatan praktik tanpa lisensi di Venesia. Brion Tomb menjadi kesempatan langka bagi Scarpa yang terbiasa dengan proyek renovasi untuk mendesain segalanya from scratch.

Di tempat terpencil ini, jauh dari pusat pergolakan, Scarpa bersama tukang dan seniman kolaboratornya “diam-diam” mencurahkan tenaga dan pengalaman puluhan tahun untuk mengkonstruksi ruang yang begitu puitis dalam percakapan bahasa beton, marmer, logam, dan kaca yang bercerita tentang kematian sekaligus selebrasi kehidupan.

Meski terkendala situasi sosio-ekonomi-politik yang tidak stabil, Keluarga Brion tetap percaya dengan pengalaman dan visi artistik Scarpa sehingga tetap mendampingi hingga akhir. Brion Tomb dinyatakan selesai di 1978, sekitar 10 tahun sejak pertama kali dirancang. Tak berselang lama, Scarpa meninggal dunia saat berkunjung ke Jepang. Jasadnya ikut dimakamkan di Brion Tomb bersama istrinya Nini Lazzari, di bawah batu nisan yang dirancang oleh putranya juga menjadi desainer, Tobia Scarpa.

Dinamika perancangan Scarpa menunjukkan banyaknya faktor yang mempengaruhi durasi pengerjaan sebuah proyek. Visi arsitek semata belum tentu cukup untuk mengawal pembangunan hingga akhir, perlu dukungan ekosistem yang disambut dengan komitmen untuk memberikan yang terbaik. Saat ekosistem sedang tidak berpihak, barangkali rekam jejak dan kesungguhan yang telah dipupuk selama ini akan mebuahkan kepercayaan pada klien, yang akan setia menemani dalam perjalanan yang panjang.

Adakah perjalanan proyek yang lebih lama lagi? Tentu. Megastruktur dari masa lalu seperti Piramida Mesir, Borobudur, Tembok Besar Tiongkok telah menorehkan sejarah yang lebih panjang lagi. Namun, di era ini kita punya keistimewaan menjadi saksi pembangunan karya arsitektur Sagrada Familia rancangan Antoni Gaudi yang setidaknya sudah berjalan selama 144 tahun dan masih terus dibangun. Bagaimana dinamikanya? Mungkin bisa jadi bahasan di lain waktu~

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Jam Terbang Arsitek dalam Ekosistem yang Terbatas

Melihat arsitek-arsitek dengan jam terbang tinggi, kita bisa belajar sebenarnya hal-hal yang substansial justru ada di luar studio sang arsitek atau metode desainnya. Hal yang substansial tersebut terkait klien, komunikasi, dan bagaimana memposisikan diri.

Refleksi ini membuahkan tulisan-tulisan, termasuk tulisan ini yang ditulis oleh kami, Realrich Sjarief + Hanifah Sausan. Dengan bingkai praktik Frank Gehry, Alvaro Siza, dan Enric Miralles, juga melihat perjuangan panjang studio kami melalui refleksi strategi-strategi mereka yang membuat kami belajar kembali.

Seperti Frank Gehry dengan metodenya, ia bisa menjanjikan kepastian biaya, mutu, dan waktu. Dengan senjata CATIAnya, kita bisa melihat bagaimana leway jam terbang mereka yang berdekade-dekade, mereka memposisikan diri agar bisa dipercaya dengan metode desain, bentuk, dan teknik eksekusi yang pembiayaannya ketat. Begitu pun Alvaro Siza yang melakukan kontrol desain yang ketat, meskipun apa dikata klien dan dinamika politik proyek publik yang berkata berbeda. Juga Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue yang perlu menelan pil pahit meledaknya biaya di luar kendali untuk mempertahankan bentuk, tetapi di saat yang bersamaan menemukan hasil yang berbeda di proyek pasar Santa Catarina. Metode satu seakan-akan tidak kompatibel dengan metode yang lain.

Selihai-lihainya kapabilitas seorang arsitek, ada begitu banyak kondisi yang tidak bisa dikontrol yang membuat arsitek menjadi jembatan komunikasi, persetujuan antar-kepentingan, menanggung resiko beban biaya, mutu, dan waktu dengan kuasa yang terbatas. Seorang mediator.

Frank Gehry. Source: AFP/Getty Images

Di tahun 1991, Frank Gehry mendapat komisi untuk dua proyek penting, Guggenheim Museum Bilbao dan Walt Disney Concert Hall. Namun, keduanya punya nasib pembangunan yang berbeda.

WALT DISNEY CONCERT HALL: FRANK GEHRY’S ORIGINAL SKETCH. Source: Google Arts & Culture

Di proyek Walt Disney Concert Hall, peran Gehry terhenti di fase perancangan. Para eksekutif skeptis dengan bagaimana Gehry dianggap tidak mampu sehingga desainnya dilempar ke arsitek lain untuk dieksekusi. Namun, ternyata mereka malah kebingungan bagaimana membangun desain Gehry yang melengkung-lengkung, sehingga proyek itu terhambat hampir 10 tahun.

Initial sketch of Guggenheim Museum Bilbao

Sementara, di Bilbao, sejak awal Gehry mendapat kepercayaan untuk merealisasikan desainnya. Gehry bereksperimen dengan berbagai software permodelan, salah satunya CATIA yang biasa digunakan untuk permodelan pesawat terbang.

Full 3d model of Gehry’s project using CATIA (Shelden, 2002)

Software CATIA memungkinkan Gehry dan timnya menggambarkan berbagai lekukan massa yang dinamis, sekaligus menunjukkan bagaimana desain bisa dibangun hingga sedetail gaya tekanan yang diterima tiap material sesuai sifat dan spesifikasinya. Dengan ini kalkulasi anggaran terdesain lebih akurat.

Ia butuh 2 tahun hingga mencapai titik optimal sebelum masuk ke fase konstruksi di 1993 dengan waktu 4 tahun dan biaya sesuai anggaran. Museum resmi dibuka pada 1997 dan sukses.

Guggenheim Museum Bilbao

Keberhasilan museum di Bilbao menumbuhkan kepercayaan pada stakeholder Walt Disney Concert Hall untuk “mengembalikan” proyek ini pada Gehry di tahun 1999. Dengan metode permodelan yang sama, concert hall ini berhasil dibangun sesuai perkiraan waktu serta biaya. Ketika resmi dibuka tahun 2003, proyek ini mengenalkan Gehry sebagai arsitek dengan bentuk unik, tepat waktu, tepat biaya.

Walt Disney Concert Hall

Sementara itu seorang Alvaro Siza, pada 1973 ditunjuk pemerintah Protugal untuk merancang perumahan rakyat Bouça bagi masyarakat ekonomi rendah yang mendiami kawasan kumuh nan padat di Kota Porto.

Alvaro Siza

Dalam proses perancangan, Siza banyak berkomunikasi dengan calon penghuni untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik, sekaligus untuk menghindari biaya renovasi di masa depan akibat penghuni tidak puas dengan desain yang ada.

Standar material yang baik pun tetap dijaga dengan pasangan batu bata lokal yang tahan cuaca dan api karena dinilai lebih murah dan lebih mudah dibangun ketimbang beton.

Meski lahannya terbatas, Siza ingin menghadirkan rumah yang cukup lapang, sehingga ia menumpuk dua rumah bertingkat menjadi struktur 4 lantai. Dengan ini ia bisa menambah luasan per unit tanpa mengurangi jumlah rumah yang dibangun dengan manusiawi.

Bouça Housing Complex, plan.
Bouça Housing Complex, section.
Bouça Housing Complex, First Phase.

Siza berhasil menyelesaikan tahap pertama sebanyak 58 unit dari total 131 unit yang direncanakan. Namun, pembangunan tahap kedua dihentikan oleh klien karena dinamika politik di Portugal.

Bouça Housing Complex, Final Phase.

Baru 30 tahun kemudian, pemerintah Portugal berinisasi untuk menyelesaikan perumahan Bouça. Alvaro Siza diundang kembali menyelesaikan tantangan masa kini dengan efisiensi energi. Pada 2006, akhirnya kita bisa melihat perumahan ini selesai dibangun dalam rentang waktu lebih dari 3 dekade.

Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue (EMBT). Photographer: © Yoshio Futagawa

Yang ketiga adalah arsitek Spanyol, Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue (EMBT) yang menghadapi dua realitas berbeda di tahun 1997-2005. Mereka sukses menjaga anggaran di Pasar Santa Caterina, tetapi di saat yang sama mengalami dilema karena pembengkakan dana di proyek Gedung Parlemen Scotlandia.

The Old Santa Caterina Market.

Di Pasar Santa Caterina, EMBT melakukan renovasi terhadap bangunan pasar yang sudah berdiri sejak 1840-an. Seperti Siza, mereka berdialog dengan para pedagang dan pengguna untuk memastikan desain yang baru bisa membentuk harmoni dengan bangunan lama dan mendukung kegiatan yang selama ini sudah berjalan di sana, sembari menjaga anggaran tetap ideal.

The New Santa Caterina Market.
Santa Caterina Market, interior.

Desain akhirnya memanfaatkan kembali fasad asli pasar, ditambah struktur atap parabolis yang ditopang kolom beton dan baja serta rangka kayu. Kenaikan atap yang signifikan memungkinkan cahaya alami masuk yang menghemat energi dengan 325 ribu tegel keramik lokal berwarna-warni. Renovasi dilakukan secara cerdas dalam pentahapan sepanjang 2001-2004. Pada 2005, pasar ini akhirnya bisa selesai dan sukses.

Berikut adalah video kunjungan kami ke sana yang diedit oleh Lu’luil Ma’nun: klik di sini. https://youtu.be/Jw6893ZyBM4

Scottish Parliament Building.
Scottish Parliament Building, interior.

Sedangkan, situasi yang kontras terjadi di Gedung Parlemen Scotlandia yang dirancang dan dibangun di masa yang sama. Dana membengkak 10 kali lipat karena visi yang terlalu ambisius untuk menunjukkan identitas dan karakter alam Skotlandia pada desainnya. Sementara, hal ini tidak dibarengi komunikasi efektif dengan klien.

Ketiga contoh dinamika ini menggambarkan bagaimana perencanaan yang matang dan komunikasi yang efektif menjadi kunci optimalisasi BMW: biaya, mutu, dan waktu dari sebuah proyek. Akan tetapi, arsitek perlu selalu terbuka dengan berbagai kemungkinan, juga perlu menyadari keterbatasan kondisi sekitarnya: sejauh mana seorang arsitek bisa mengontrol, atau kapan saatnya memposisikan diri dengan komunikasi yang sehat. Dinamika waktu membuat sang arsitek perlu sabar, rendah hati, dan terus bisa berkarya, meski proyeknya tidak berjalan mulus, ataupun berhenti.

Siapa tahu beberapa dekade kemudian, nasib berkata berbeda. Persis seperti kata pak Yuswadi Saliya, arsitek ada di gerbong belakang.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Membangun Diskusi yang Substansial

Akhir-akhir ini, studio kami fokus pada hal-hal yang substansial dan penting. Hal ini bermula dari pengalaman menghadapi kritik, sanggahan, atau ajakan untuk berdiskusi dalam presentasi atau workshop yang kadang membuat kita merasa tidak percaya diri. Tidak jarang juga kata-kata yang dilontarkan mencerminkan frustrasi, kekesalan, dan keterbatasan dari pembicara, yang bisa menyebabkan perdebatan menjadi berputar-putar dan kehilangan substansi. Vibrasinya pun membuat orang lain ikut merasa kesal, frustasi, dan bingung.

Menurut Mark Twain, kata-kata yang bertujuan membuat orang lain merasa tidak berdaya justru akan membuat orang yang melawannya terlihat bodoh. Persepsi memang bervariasi, dan selama tidak melanggar norma dasar, tidak ada yang salah. Namun, inilah yang sering memicu kesalahpahaman dan konflik yang tidak disengaja.

Twain juga memperingatkan bahwa perbedaan pola berpikir yang ekstrem dapat memicu kekesalan, membuat diskusi menjadi terlalu personal, dan bahkan menumbuhkan dendam pada pihak yang kalah. Kutipan ini juga jadi sindiran bahwa orang yang tidak bijak sering kali berusaha memenangkan perdebatan bukan dengan logika atau fakta, tetapi dengan permainan kata-kata yang membuat lawan bicaranya terprovokasi.

Perbedaan pola berdebat dan berpikir ini sering kali menyebabkan kesalahpahaman yang mencerminkan ketidakselesaian pribadi antara pihak-pihak yang terlibat. Di sinilah gagasan substansial menjadi sangat penting: apa tujuan diskusi, apa solusi yang ditawarkan, dan variasi penyelesaian masalah yang ada? Jon Lang dalam bukunya Creating Architectural Theory membahas hal ini, serta apakah semua pihak dapat memahami pesan yang disampaikan dengan tepat. Semua itu harus disampaikan dengan mempertimbangkan batasan biaya, mutu, dan waktu yang dapat diterima bersama.

Ketika seseorang yang tenang, rasional, dan tidak emosional berhadapan dengan pihak yang emosional, maka ekosistem diskusi bisa menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman psikologi yang baik untuk membentuk diskusi yang sehat. Lang menyebutkan bahwa gagasan yang substansial adalah kunci untuk menghasilkan kualitas diskusi, sementara label dan status justru menjadi hambatan. Proses awal yang penting adalah memiliki pemimpin diskusi yang berkualitas—seseorang yang rendah hati, fokus pada tujuan bersama, dan mampu menanggalkan status atau label yang dimilikinya. Konsep ini juga dibahas oleh Robin Sharma dalam bukunya Leadership with No Title, yang menggambarkan pemimpin yang bijaksana, tegas, dan fleksibel dalam satu karakter yang sama.

Jika proses diskusi dua arah tidak terjadi, cara terbaik untuk menghadapi kekesalan atau kebodohan yang disebut Twain bukan dengan berdebat, tetapi dengan menjaga kebahagiaan diri sendiri. Tentunya, hal ini membutuhkan akal sehat, kasih sayang, dan sikap berpikiran positif.

Jika segala upaya telah dilakukan tetapi hasilnya masih belum optimal, tetaplah positif dan terus melangkah dengan bahagia. Jangan diam, ucapkan, “Maaf, saya tidak sempurna, mohon dimaafkan, terima kasih atas waktunya,” dan katakan dengan tegas, “I love you.” Mungkin Anda belum mengenal pemimpin diskusi yang tepat.

Untuk menjadi hebat, memilih tempat yang tepat untuk fokus, termasuk mendekatkan diri dengan pemimpin yang berkualitas, sangatlah penting. Di sinilah presentasi menjadi sarana untuk menyajikan mutu, membangun diskusi dua arah yang saling memperkaya, demi menciptakan proses desain yang sehat di dalam studio.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Overbudget, Kritis, dan Tumbuh

Ini adalah cerita soal satu dari 3 strategi desain yang mempertanyakan fenomena over-budget, Kritis, dan tumbuh dari diskusi sekitar kami, yang dikembangkan di Guha oleh Realrich Sjarief + Hanifah Sausan

Refleksi singkat dari beberapa cerita di sekitar kami: sebuah karya arsitektur milik kawan kami yang bisa sampai over-budget berkali-kali lipat misalnya, merupakan hal yang jadi catatan. Mungkin saja ada hal yang berubah karena program misal belum sempurna, belum dipikirkan matang, atau ada deviasi karena kurangnya ahli dalam eksekusi. Atau bisa saja itu merupakan strategi dari seorang arsitek untuk mempengaruhi klien, mendapatkan persetujuan.

Cerita terkenal tentang desain Fallingwater oleh Frank Lloyd Wright mengisahkan bagaimana ide proyek tersebut “mengalir begitu saja dari Wright” dalam ledakan inspirasi selama tiga jam. Dan memang ada benarnya.

Pada pagi hari tanggal 22 September 1935, Wright menerima panggilan telepon mendadak dari E.J. Kaufmann yang mengatakan bahwa ia akan tiba di Taliesin dalam beberapa jam dan ingin melihat perkembangan desain yang telah dibuat Wright.

“Wright berkata, ‘Tentu, kita akan bertemu nanti,’ padahal sebenarnya ia belum memiliki desain sama sekali,” kata Catherine Zipf, seorang penulis yang fokus pada karya-karya Wright. “Jadi Wright duduk bersama para murid di Taliesin dan mulai menggambar.”

Meskipun Wright memang membuat sketsa awal Fallingwater dalam tiga jam tersebut, ide-ide arsitektur radikal di baliknya sebenarnya telah berkembang dalam pikirannya selama berbulan-bulan.

Faktanya, menurut Zipf, Wright telah bereksperimen dengan prinsip-prinsip rekayasa di balik Fallingwater selama beberapa dekade. Beton, konstruksi kantilever, integrasi air yang mengalir, bahkan membangun di atas lokasi alami—semua konsep tersebut telah ia eksplorasi sejak tahun 1920-an, dan kini semuanya menyatu dalam sebuah proyek ambisius.

Ketika E.J. tiba di Taliesin, Wright menunjukkan sketsa yang baru saja dibuat lengkap dengan nama, “Fallingwater.”

E.J. berkata kepada Wright, “Saya kira Anda akan meletakkan rumah di dekat air terjun, bukan di atasnya.” Dan Wright menjawab, “E.J., saya ingin Anda hidup bersama air terjun, bukan hanya melihatnya, tetapi agar ia menjadi bagian integral dari hidup Anda.”

Fallingwater pun kini dianggap sebagai mahakarya arsitektur modern dan karya terbesar Frank Lloyd Wright. Namun, egonya yang besar dan sering kali mengabaikan saran dari para insinyur menyebabkan beberapa kompromi pada stabilitas struktural, yang akhirnya menjadi masalah serius di kemudian hari.

Struktur kantilevernya yang ikonik itu bermasalah. Balok beton utamanya mulai melengkung tak lama setelah selesai dibangun karena Wright mengabaikan rekomendasi dari para insinyur untuk memperkuat struktur dengan baja yang cukup. Akhirnya pada tahun 2000-an, bangunan ini memerlukan perbaikan besar untuk mencegah kegagalan struktural total, yang menghabiskan biaya jutaan dolar. Perawatan rutinnya juga memakan biaya yang tidak sedikit.

Selain itu, karena rumah dibangun di atas air terjun, tingkat kelembapan di dalam rumah sangat tinggi, menyebabkan masalah seperti jamur dan kerusakan material interior. Sekaligus Suara air terjun yang konstan bisa sangat bising, mengganggu kenyamanan penghuni.

Meskipun visualnya mengesankan, beberapa ruang di dalam rumah tergolong sempit, dengan langit-langit rendah yang bisa membuat beberapa orang merasa klaustrofobik. Beberapa ruangan memiliki pencahayaan alami yang terbatas karena desain overhang (atap yang menjorok keluar) yang ekstrem.

Meskipun ada berbagai kritik tersebut, Fallingwater tetap menjadi ikon desain arsitektur organik dan sering dipuji karena keberaniannya dalam mengintegrasikan alam dengan ruang hidup.

Dari sini kita bisa kembali belajar bahwa di balik bentuk yang mencengangkan, ego seorang arsitek seharusnya menjadi jembatannya untuk mempermudah kehidupan banyak orang. Dari kegagalan struktur, kelembapan, dan sulitnya akses, refleksi menjadi satu poin strategis yang penting dalam arsitektur. Selain pendekatan pertama di atas, ada dua strategi lain nanti kita bahas dalam utas selanjutnya.

Ada strategi lain juga yang erat berkaitan dengan resource, biaya, metode konstruksi, dan desain itu sendiri, sehingga luas bangunan menjadi efisien. Ini teknik yang digunakan Frank Gehry dalam Bilbao Museum, dan Alvaro Siza, Eduardo Souto de Moura dalam beberapa desainnya sehingga melahirkan arsitektur yang serba putih. Resources yang minimal dikerjakan dalam sekali jalan.

Pendekatan yang ketiga bisa dilihat dari arsitektur yang tumbuh dan dikerjakan dalam waktu tidak sebentar. Detail yang diulang dan dielaborasi dengan tangan-tangan terampil. Kadang-kadang tidak semua resource dimiliki di awal perencanaan. Di sinilah desainer Carlo Scarpa dengan Castelvecchio ataupun Gaudi dengan Sagrada Familia jadi satu contoh bagaimana seseorang yang bisa mendorong dengan segenap asa dan keringatnya. Budget itu tumbuh, desain itu tumbuh.

Peran arsitek dalam berkomunikasi jadi penting untuk menjembatani ekspektasi dan juga bersikap proaktif dalam memecahkan masalah. Setiap titik membutuhkan komunikasi yang matang, di situlah sikap diri untuk tidak hanya ahli, tapi memiliki tujuan yang fokus pada klien dan masalah proyek yang banyak sekali. Namun, bukan hanya komunikasi yang menjanjikan, tetapi juga ujian untuk terus fokus dan konsisten menjadi proaktif, menghindar dari menjadi arogan, dan mendefinisikan kesederhanaan dari rendah diri menjadi rendah hati. Ini 3 titik yang tidak perlu dipilih karena bisa saja ada arsitek yang menjalaninya sekaligus, meskipun bisa batuk-batuk karena namanya integrasi tidak akan mudah.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

“Brothering” Geoffrey and Bevis Bawa, Perjalanan Dukung Mendukung dalam Bersaudara.

Di dalam praktek arsitektur, bagaimana memperlakukan klien dengan baik menentukan masa depan praktek arsitektur arsitek. Perlakuan seperti saudara, memperjuangkan klien seperti saudara, adalah komitmen yang membuat seseorang sukses. Berbahagialah apabila memiliki saudara / kawan yang selalu mendukung sepenuh hati, untuk meletakkan kepercayaannya ke tangan kita.

Brothering, hal yang jarang dibahas di dalam literatur arsitektur, justru dibahas di buku Robson tentang relasi Bawa brothers, sang adik Geoffrey dan sang kakak Bevis. Bevis menulis surat untuk kawan – kawannya, supaya menjaga adiknya yang baru pulang. selama puluhan tahun ia tidak menghabiskan waktu dengan adiknya, lalu Geoffrey harus pulang karena kesulitan ekonomi. Dan Bevis menunjukkan bisnis taman/ladang karet, sebagai kesehariannya.

Geoffrey melihat desain The Brief, kediaman Bevis, dan ia terinspirasi untuk tinggal di Sri Lanka dan belajar untuk membuat salah satu master piece desain Geoffrey di Lunagangga. Robin Maugham berceloteh “Brief is a Paradise: it is Shangri-la, a glimpse of Nirvana- call it what you will after you have been to see it. ” Saya berpikir bagaimana seseorang menulis sebuah tempat yang penuh aura misterius seperti itu, sampai – sampai kita yang membaca buku itu begitu ingin melihatnya.

Untungnya Robson dan Dominic menulis buku tentang mereka, dibalik lansekap Bawa ada hubungan yang lekat antara keduanya. Bukunya berjudul Bawa The Sri lanka Garden. Bevis kehilangan ayahnya di 1922, Bevis tinggi-besar, berbeda dengan Geoffrey yang lebih kurus dan rupawan, mereka berbeda umur 10 tahun. Geoffrey lebih banyak menghabiskan waktu di Eropa, berbeda dengan Bevis yang dalam satu saat terkena TBC yang membuat ia diminta berkeliling Cina, Jepang, Singapore, Hongkong.

Dalam pembicaraan dengan Channa Daswatte, ia berkata “I remember going to China. I remember vaguely, walking through dusty chinese squares, yellow walls, big doors. I don’t think at the time that one assessed these as such… but it all gave me feeling of pelasure, because one enjoyed the whole journey. I remember the Summer Palace and that great marble boat, pretending to be afloat… and lots of long corridors, galleries fo red laquer.”

Ini yang saya percaya, perjalanan ke timur, sangat penting untuk melihat bagaimana lansekap / arsitektur di cina dan banyak tempat di asia memiliki relasi dengan sejarah, materialitas, bentuk yang menurun kesejarahan yang kental masih turun dengan vista, simbol dengan skala besar dan kecil, semua ada di dalam satu area. Sebuah hal yang menjadi filosofi, yaitu “Embracing Things” dari situlah rasa, kesederhanaan yang elegan itu muncul dalam representasi kecantikan yang apa adanya.

Di balik debu, ada sejarah, ada pengaturan, ada desain, dan ada sebuah visi tentang kesederhanaan.Sedangkan Geoffrey menghabiskan waktu di eropa, setelah ia menyelesaikan studi hukumnya, ia pindah ke London dan tinggal bersama lingkaran dekatnya, Guy Strutt, yang adalah anak dari Lord Rayleigh yang memiliki banyak koneksi orang – orang kerajaan, dan properti seperti taman dan kastil.

Satu saat ia diajak oleh seorang arsitek untuk melihat karya arsitektur dari Andrea Palladio, dan taman Lombardy, dan Veneto. Perjalanan itu tidak terlupakan dan menjadi benih cintanya akan arsitektur Italia. Sebuah perjalanan ke barat di masa mudanya. Dua definisi barat dan timur ini sifatnya personal dan adalah sebuah perziarahan batin antara 4 kutub, kekuatan, kapital dan tradisi juga kerakyatan yang saling mengikat.

Bisnis Bevis di penjualan kayu karet tidak menguntungkan, kayu karet diproduksi dengan harga 9 cents – dan ia menjualnya sebesar 6 cents. Bevis bercerita ” I told my mother that if we cut down 200 trees we would lose less. Her mathematical capability was as shocking as my own and she said You seem to have a point there, but le’ts not go into it to deeply. Howver I agree that a view from you house is absolutely essential.”

Bertha menyetujui dan melihat bahwa bisnis yang lain harus dibuat, dan view rumah mereka begitu indah dengan lansekap yang besar. Lalu Ia melanjutkan bisnis dengan membuat peternakan, dan ayam, dan nursery tanaman, yang dijual ke kelas menengah di colombo. Ketika Geoffrey pulang dari Eropa itulah yang dilihatnya, yaitu Taman bernama The Brief.

Di Tahun 1950, bisnis peternakan mengalami kegagalan tapi bisnis nursery tanaman sukses, dan taman tersebut dikenal luas. dan banyak orang datang untuk melihat dan membeli , Bevis didapuk menjadi desainer taman yang terkenal, dan bersama kawannya ia memulai bisnis desain lansekap. menariknya justru Bevis tidak pernah diundang untuk mendesainkan taman untuk saudaranya, bahkan ada catatan oleh Robson bahwa Geoffrey menginstruksikan kliennya untuk tidak menyewa Bevis.

Lalu di tahun – tahun berikutnya Begitu banyak orang – orang berbakat datang, artis – artis Sri lanka, seperti artis batik : Ena de Silva, Desainer Barbara Sansoni, Artis, Laki senanayake, penari Chitrasena dan Vajra. Bevis adalah pusat dari lingkaran itu, dan Brief adalah tempat bertemu mereka. dalam akhir hidupnya ia mewariskan rumah dan tanah 7 acre ke kawan baiknya Dooland, dan membagi 22 acre tanah ke 5 orang pembantu terdekatnya.

Bevis belajar dari sekitarnya, hal ini menunjukkan bahwa seseorang desain belajar dari figur sekitar mereka, mereka mendengarkan cerita, dan mendapatkan banyak rencana dari sekitarnya. Dengan kerendahan hati, di sekitarnya terciptalah hub, pusat – pusat perlintasan informasi, energi, dan jiwa yang sampai sekarang bisa kita semua nikmati dalam turunan gaya arsitektur “Bali Style”.

Bevis memiliki empati yang besar dan baru kali ini saya melihatnya melalui jejak – jejaknya yang dikumpulkan oleh Robson dan Dominic. Sampai seseorang tuan tanah di bali, Waworuntu dan mendesain tanjung sari, satu butik hotel pertama di dunia, dimana kawan donald yang pernah ke brief menginspirasi mereka untuk membuat desain.

Robson menulis “The hotel incroporated many features inspired by friend’s experiments with Bevis at Brief-friezes of decorated terracotta tiles, paving slabs decorated with the imprints of leaves, open – air bathrooms. …. it was key.. of what came to be known as “Bali Style”, later in 1973, friend invited Geoffrey Bawa to Bali and commissioned him to design an estate of fifteen exclusive villas at Batu Jimbar.

Batu Jimbar adalah salah satu awal dari desain modern yang terintegrasi dengan elemen budaya yang menjadi cikal bakal bagaimana arsitektur bali bisa dipandang di dunia dengah desain hotel yang eksotik. Dari sebuah ziarah, diskusi, bisnis Bevis-Bertha- sampai ke Geoffrey, turunan itu kompleks namun mudah dipahami sebagai aksi cinta Bevis pada sekitarnya.

Termasuk cintanya pada sang adik. Ia menulis. “I have started my memoris and I have to bring my brother in to them at some stage… Though Geoffrey and I are dearly fond of each other we are strangers and … to avoid upsetting each other, … communicate through third parties… I remember seeing a book in which Geoffrey was described as one of the best architects in the world. Let me know all such detail but Don’t tell Geoffrey about my request. He knows, I don’t know how, that I am writing my life story. In writing about him I intend to leave out all his weaknesses, only telling about his extraordinary charisma, which enables him to get all he wants and desires.”

Sang kakak dengan segala otoritasnya sebagai kakak, di sini memberikan toleransinya, solidaritasnya yang bisa terjadi karena posisinya yang lebih tua. Tetapi untuk mengakui bahwa sang adik memiliki kredibilitas untuk dijaga, adalah aksi cinta. Dimana sekali saudara tetaplah saudara, dukung mendukung itu biasa, namun begitu abstraksinya adalah cinta yang sepenuh hati, dalam umur yang makin menua, segala kebaikan itu membuahkan kemumpunian, sebuah master piece, Magnum Opus yang bisa dilihat sampai sekarang, energi inspirasinya menyebar dimana – mana dalam karya, pemikiran, dan abstraksi yang jujur dan mendalam. Itulah magisnya arsitektur dengan hubungan personal, benci dan cinta menjadi sebuah perjuangan bersama.

Kategori
blog tulisan-wacana

Lilin dan Gelas Kaca – Refleksi Terhadap Eksploitasi Arsitektur

Bagian 1 | Midlife Crisis ?

Sebenarnya saya enggan untuk membahas soal eksploitasi, karena ujungnya adalah soal identitas, atau mungkin saya sendiri enggan juga untuk menyinggung hal – hal personal. Ataupun mungkin saya sendiri takut apakah memang yang saya risaukan adalah hal yang saya hindari, saya irikan, atau justru hal – hal yang saya risaukan atau takutkan ini justru hal yang sedang saya kerjakan. Hal ini penting untuk bisa fokus di dalam mengeksplorasi secara total dan berani sekaligus menelusuri sisi – sisi yang membuat saya bahagia.

Tahun ini, saya berumur 40 tahun sekarang, secara umum arsitek baru berkembang di umur – umur 40, jadi perlu mengorientasikan dirinya, menginvestasikan dirinya. Mungkin di dalam kasus saya juga memilih – milih jalan mana yang harus ditempuh. Usia 40, adalah usia mematangkan diri. Seperti istilah “Midlife Criris” yang dikatakan oleh psikolog Elliott Jaquest, biasanya seseorang pada usia 40-65 tahun merenungkan kembali kedudukan profesionalitas mereka dan membuat perubahan. Pada usia ini seseorang jadi mempertanyakan banyak hal diantara kegelisahan, penuaan, tujuan yang masih ingin dicapai, sampai memperhitungkan kematian mereka. Begitu pula seorang arsitek, kematangan karyanya biasanya terbentuk di usia yang tidak muda, karena berarsitektur merupakan perjalanan yang panjang.

Salah satu arsitek yang menjadi role model saya, Renzo Piano, berumur 40 ketika Pompidou diselesaikan di 1977, ia sendiri lahir di tahun 1937. 4 tahun kemudian, selama 4 tahun barulah ia mematangkan diri di dalam karya Menil Galeri yang bertempat di kawasan rumah tinggal, sebuah tempat koleksi seni keluarga Menil. Di umur 50 an barulah ia memiliki sebuah body of work yang cukup lengkap, dengan begitu banyak variasi metode desain yang menghasilkan variasi tipologi proyek, di berbagai tempat di dunia dengan desain airport, cultural museum di Oceania, dan begitu banyak kantor, mall, residensial, dan paviliun. Selanjutnya bisa kita lihat, bagaimana ia menata ekosistem, menikmati masa tuanya dengan terus mendesain dan terus berkolaborasi dengan timnya RPBW (Renzo Piano Building Workshop). Di satu sisi saya berpendapat bahwa menjadi arsitek seperti beliau membutuhkan waktu yang panjang.


Namun, saya melihat persepsi melihat parameter sebuah kesuksesan terhadap waktu seringkali berbeda di dalam dunia digital. Dengan munculnya Tik Tok, instagram, facebook, banyak arsitek – arsitek, calon – calon arsitek, dan publik biasa, semua memiliki jejak digital dalam upaya mendefinisikan identitas diri. Identitas sendiri adalah hal yang penting, karena saya melihat Renzo Piano juga meraih identitas dirinya melalui begitu banyak hal yang bisa dipelajari yakni kliennya, publik dan intelektual melalui referensi tulisan ataupun verbal, kritik arsitektur, publikasi media melalui publikasi karyanya, penghargaan ataupun jejak – jejak media sosial yang dilakukannya dan juga firma RPBW (Renzo Piano Building Workshop). Ada yang saya pertanyakan di dalam mudahnya dan cepatnya identitas itu dibentuk sekarang melalui sosial media. Ibaratnya dengan media sosial, saya sendiri dengan mudah untuk mensejajarkan diri dengan arsitek – arsitek lainnya. Apakah sebenarnya sejajar ? ataukah apa yang sedang saya sejajarkan ini adalah upaya untuk mengaktualisasikan sisi ingin tampil saja. Mungkin arsitektur menjadi kompleks karena manusia pada dasarnya kompleks dan ingin memburu – buru waktu. “ini ada apa ya ?” seringkali saya merasa dieksploitasi dengan informasi yang terjadi tanpa diberitahu apa arahnya, apa maksudnya. Taruhlah mungkin kita ada di satu kumpulan. Anehnya di dalam satu titik, apa yang saya kerjakan jadi berorientasi juga ke ekosistem media sosial yang begitu masif, saya baru sadar saya berubah.

Bagian 2 | Midlife Crisis ?

Saya jadi teringat, peribahasa ekosistem merubahmu, dan kamu pun merubah ekosistemmu. Saya berpikir apa ada ya kecenderungan praktik yang mengedepankan apa – apa yang dilakukan perlu dibingkai dalam kacamata media sosial. Dan saya juga berpikir, mungkin saya saja yang terlalu kuno. Hal ini adalah hal yang terus baru untuk saya yang konvensional/malah tradisional dalam berpikir, dan wacana ini terus menjadi pergumulan untuk saya yang sedang terus mendefinisikan apa yang saya kerjakan sampai sekarang.

Di dalam keseharian, saya terpapar referensi visual. Referensi ini sangat memudahkan klien untuk memahami arsitektur. Perlu diingat bahwa arsitektur lebih daripada sebuah gambar visual, namun juga gambar teknis yang berupa instruksi berupa detail bubble programming , space planning, dan materialitas. Seorang calon arsitek yang tidak memahami keutuhan dari sebuah karya membentuk pemahaman arsitektur yang sebatas visual saja.

Tapi hal – hal yang saya bimbangkan di dalam kebimbangan di atas adalah, sejauh mana memang proses ekploitasi itu dilakukan oleh para praktisi arsitek? . Eksploitasi itu juga terkait di banyaknya klaim – klaim terbaik, terindah yang dimainkan di dalam persona – persona yang terbentuk. Saya sendiri juga berpikir, apa saya juga yang sering terjebak di dalam jebakan identitas, seperti itu, dan sejenak saya berpikir, refleksi ini berputar – putar tidak pernah selesai.

Kemarin saya bertemu mbak Sunthy, saya lama tidak bertemu dia. Tentunya saya selalu ingat bahwa tulisannya mengenai Bare Minimalist, berjudul “Function Over Fashion” adalah salah satu tulisan yang mengupas ide – ide di balik sebuah proyek. Yang menariknya, ia memulai dengan pertanyaan – pertanyaan sebelum mengamati, dan di tulisannya banyak referensi – referensi reflektif dari klien kami, Charles Wiriawan. Tentunya proses saya bertemu beliau juga ada kaitan dengan bisnis media dibaliknya, ada kepentingan mendapatkan karya dari para arsitek untuk kepentingan publikasi.

Dalam pertemuan kami, di satu lapak, ada kata – katanya yang membekas dalam ingatan saya “begitu membaca tulisan, sebenarnya bisa kita baca mana tulisan yang menggurui atau reflektif.” Kemudian kita berdiskusi perjalanan saya melihat polarisasi yang terjadi dengan kawan – kawan di barat (Jakarta Sumatra), timur (Jawa Timur khususnya), dan Jawa tengah (Yogyakarta, Solo) dengan berbagai macam dinamikanya kelompok kiri kanan ataupun tengah, kapitalis, sosialis, ataupun punya dogma – dogma kedaerahan. Ada yang terpolariasi sebagai arsitek yang terpinggirkan, ada juga yang terpolarisasi sebagai arsitek yang hedonistik, ada juga yang terpolarisasi sebagai arsitek yang introvert dan menyingkir ke pedalaman.

Kami berdiskusi dan saling bercerita tentang perjalanan hidup masing – masing, bersahabat dengan arsitek – arsitek dari jauh, dan memisahkan preferensi. Ada yang secara pribadi sesuai dengan preferensinya dan ada yang tidak sesuai. Diskusi berlanjut bahwa ada fenomena klaim – klaim yang kurang dalam/tidak berdasar/hanya judul yang dilakukan yang bukan preferensi kami. Contohnya arsitek dengan jualan material tertentu seperti beton atau batu batanya, ataupun dengan kayu atau bambu – bambunya, juga arsitek dengan medianya, klaim – klaim teritori itu, tidak menyehatkan. Saya bertanya – tanya dalam hati apa yang tidak menyehatkan tersebut karena perasaan tereksploitasi ?

Mbak Sunthy juga melanjutkan ceritanya, di dalam menggawangi beberapa arsitek yang ingin merajut media dan arsitektur di dalam platform design stories – spotify dsb. Ini adalah runtunan dari proses eksplorasi diri mbak Sunthy, memulai dengan pertanyaan di beberapa media yang berbeda. Kalau saya pikir, pertanyaan – pertanyaan yang diberikan sebenarnya untuk menjelaskan bahwa banyak elemen konteks arsitektur misal klien / arsitek / tempat / iklim / material / pembangunan / penemuan itu memiliki daya untuk saling tarik menarik. Dan elemen tersebut menjelaskan bahwa singularitas itu terjadi dari hibriditas elemen tersebut. Nah kemudian hal ini menjadi personal begitu menjelaskan preferensi saya. Bahwa ada subjektifitas, kecocokan dan juga ketidak cocokkan, nah hal tersebut mungkin yang bisa mejelaskan ketidak setujuan satu dengan yang lain. Dan hal tersebut memancing wacana.

Di dalam membahas eksploitasi terhadap arsitektur, saya secara personal, berusaha cukup hati – hati di dalam memainkan media sosial. Secara pribadi saya merefleksikan bahwa media sosial itu bisa jadi 4 hal yang perlu dijaga, di dalamnya adalah persahabatan, keluarga, keyakinan, kesehatan. dan 1 hal lainnya adalah tentang bisnis. 4 hal itu sifatnya rapuh, mudah retak, seperti gelas kaca, dimana sekali retak tidak akan kembali. Namun hal yang kelima yaitu bisnis yang bisa dieksplotiasi, sifatnya seperti lilin yang bisa dibentuk apabila dilelehkan. Persahabatan, keluarga, keyakinan, dan kesehatan adalah investasi seumur hidup kita, kenangan yang membentuk pribadi kita seutuhnya. Sedangkan bisnis, selalu rentan untuk dibentuk dan dieksploitasi, tinggal perlu api, dengan mudah.

Berbeda dengan bisnis yang seperti lilin yang bisa dibentuk, 4 lainnya bisa diibaratkan gelas kaca, yang membentuknya juga diperlukan api, sekali terbentuk gelas kaca tersebut, gelas kaca yang diibaratkan persahabatan, keluarga, keyakinan dan kesehatan akan kaku dan tidak akan bisa kembali, kecuali pecah. [1]

Semoga ketika pecah, bukan berarti tidak bisa kembali, namun bara api yang diperlukan untuk menyatukannya kembali bukan menggunakan api lilin. Namun api tungku dengan 1400 derajat celcius dan itu pasti bukan nyala api lilin dari bisnis belaka. 1400 derajat itu adalah vitamin C, cinta yang bisa mengubah semua orang menjadi kawan, termasuk musuh saya yang terbesar yaitu diri saya yang trauma terhadap masa lalu saya sendiri.

Terima kasih Tuhan untuk memberikan orang – orang yang bisa memberikan pelajaran berharga untuk memisahkan yang mana gelas kaca dan yang mana lilin yang bisa dibentuk sehingga yang namanya persahabatan, keluarga, keyakinan, dan kesehatan akan terjaga dengan apik.

note :

[1] Terinspirasi dari Bryan Dawson tentang cerita “Jugling Glass and Rubber Balls” lihat pidato di Georgia Tech September 1991.

Disunting oleh by Lu’luil Ma’nun, penyunting membantu menyusun diagram / gambar / komposisi / dan juga tulisan – tulisan pembantu.

Kategori
blog tulisan-wacana

Batas itu dimana ?

Saya seringkali berpikir, di dalam segala hal yang di sekitar kita yang penuh batasan. Bagaimana caranya mengetahui titik kelemahan diri kita sendiri ? Segala sesuatu yang jadi kekuatan biasanya adalah kelemahannya sendiri. Segala sesuatu yang jadi kekuatan bisa jadi kekuatannya. Lalu bagaimana caranya mengetahui kekuatan dan kelemahan, supaya keduanya bisa saling berdialog.

Saya akan mulai dengan preposisi :

If you care about only your name, the limit is in the name itself.

If you care only about other people’s name the limit is in the other’s people name in your mind.

If you care about only your workshop, the limit is in the workshop itself

If you care about only your progress in Guha, the limit is in the Guha itself

If you care about introversion of yourself, the limit is in the introversion of yourself.

Saya sering bilang,

“saya tidak peduli, kalau…”

lalu kemudian saya menimpali kalimat selanjutnya dengan,

“Kak Rich minta maaf kalau tidak peduli. Kita perlu sadar bahwa…”

Yang membuat saya tersenyum adalah seringkali asisten saya, tidak mendengarkan sampai selesai, jadi dia mengambil kesimpulan kalau saya benar – benar tidak peduli, padahal saya menunjukkan kepedulian saya dengan mengatakan saya tidak peduli supaya munculnya kesadaran kolektif. Barulah mereka kasak – kusuk, berdesas – desus, dan apalagi sampai berdiskusi akan kejadian tersebut. Ditambah lagi seringkali, saya menimpalinya lagi dengan kenapa saya menjelaskan saya tidak peduli adalah sisi emosional manusia yang sedang keluar untuk mengharapkan adanya perubahan dengan lebih cepat.

Dan kenapa kita perlu berubah dengan cepat, dan perlu tidak perlunya merubah dengan cepat. Kemudian saya menjelaskan bahwa saya perlu meminta maaf karena kecepatan itu saya anggap begitu karena hidup ini hanya satu kali, namun hal itu juga menjadi batasan yang baru, pertanyaannya, kalau memang hidup hanya sekali, lalu kenapa harus cepat – cepat atau terbirit – birit ?

Pada akhirnya saya belajar bahwa melambatkan ritme itu penting, mempercepat ritme juga penting. Terkadang sisi lontaran emosi unutk tidak peduli itu penting bukan menunjukkan ketidak pedulian, namun justru sebaliknya, dan juga lontaran emosi menjadi peduli itu penting. Keduanya adalah cerminan emosional sesaat yang terkadang menjadi tidak emosional juga tidak kalah pentingnya.

Yang menjadi menarik adalah bagaimana caranya mengintegrasikan berbagai macam hal ? yang juga menarik adalah juga bagaimana menjalani kedua kutub kiri dan kanan, positif dan negatif, bisnis dan berbagi, diri sendiri dan orang lain, personal juga komunal secara bersamaan. Dan pergulatan sisi – sisi kontradiktif tersebut menghasilkan rekonsiliasi pemikiran yang mencengangkan, dan maha dahsyat, ledakan kreatifitas dengan mengetahui batas diri.

Namun sebelum kita masuk kesitu, saya ingin berbagi satu cerita mengenai latar belakang kontradiksi tersebut.

Saya punya cerita, dulu waktu di Surabaya saya sering pulang sekolah bersama ibu saya naik becak. Hal yang saya damba – dambakan adalah perjalanan naik becak itu, karena saya bisa melihat lebih lambat bagaimana orang berinteraksi. Kami melewati pasar, jalan – jalan tanah, dan rumah – rumah petak. Biasanya kami naik becak berdua, adik saya kalau tidak salah masih kecil dan saya masih TK pada saat itu.

Perjalanan itu memiliki beberapa kemungkinan. Saya tidak pernah bilang apapun ke ibu saya bahwa yang saya inginkan dan saya suka adalah perjalanan melalui kuburan Kembang Kuning.

Kami melintas area kuburan itu untuk mendapatkan jalan pintas. Saya ingat, melintasi kuburan itu adalah perjalanan sekitar 5 menit. Dari kejauhan, saya merasakan udara menjadi dingin, wewangian bunga mulai semerbak, dan warna – warni tanaman mulai muncul. Saya melihat pedestal kuburan yang kokoh, repetitif, beraneka rupa, dan indah – indah. Ada yang terbuat dari granit, ataupun marmer, ada juga yang dari kayu. Lebar jalan kuburan itu hanya sekitar 2.5 m, dan ada saja yang tidak rata. Kadang – kadang kepala saya terantuk kepala ibu saya ataupun besi becak, tapi selalu saya berdiri kembali untuk melihat suasana kuburan, menghirup udara yang wangi, dan merasakan dinginnya kuburan tersebut. Saya melihat bunga – bunga bougenville , dan wanginya harum, saya suka sekali dengan bunga kenanga. Padahal banyak orang bilang itu bunga orang mati.

Kelewat senangnya kalau lewat kuburan, saya selalu ada di depan becak sedepan – depannya untuk menghirup udara wangi kuburan. Ibu saya suka bilang “Kamu ngapain sih ? kaya anak kampung aja.” Belum lagi beliau kadang – kadang geli sendiri, kalau melihat saya suka makan pakai tangan, ataupun jalan tidak memakai sandal. Saya suka dengan hal – hal yang langsung, karena dari situ saya merasakan sentuhan, kehangatan, wewangian meskipun lucunya hal itu dianggap aneh oleh ibu saya.

Perjalanan saya praktik juga sama, ada hal yang saya suka, selalu saya ulang – ulang. Hal tersebut muncul karena saya merasakan keterhubungan langsung, emosional, dan personal. Saya mencoba membayangkan apa jadinya ya kalau bentuk ini begini dan begitu. Lebih lanjut lagi saya membayangkan apa jadinya ya, kalau orang ini merasakan ini dan itu. Ini dan itu, begini dan begitu, menjadi reka ruka, olah bentuk, berdasarkan pertimbangan – pertimbangan yang menerus. Inti dasarnya adalah kejujuran dalam berproses, membuka telinga tanpa harus terbawa arus juga. Begitu banyak kata – kata positif yang membangun kita, dan juga banyak juga kata – kata negatif yang bisa juga membangun kita asalkan pikiran kita bisa merubah yang negatif tersebut menjadi positif. Dan hal tersebut adalah sebuah proses untuk memahami diri kita sendiri. Dan satu hal yang terpenting yang saya pelajari adalah bagaimana menjadi satu kata

“Jujur akan diri sendiri.” kata – kata ibu saya adalah doa, ia tertawa melihat saya yang sungguh aneh, dan hal tersebut adalah pemaknaan tersendiri. Namun perasaan jujur tersebut adalah titik tengah sebelum pikiran kita bisa bermain dengan kutub – kutub ekstrim selanjutnya.

Di dalam arsitektur hal ini disebut juxtaposition, memperbandingkan dan mengintegrasikan kedua hal dengan ekstrim. Hal ini menghasilkan hasil yang hibrida. Pemikiran hal – hal seperti tidak ada yang baru di dunia ini, juga tidaklah benar seluruhnya, dan pemikiran bahwa ide dasar itu selalu orisinal juga tidaklah benar seluruhnya. Dan pertanyaan lebih mendasar, apa sih yang benar itu ? ataukah bukan masalah kebenaran ? tapi bagaimana saya paham mengenai batasan diri saya sendiri.

Dan kemudian, barulah kita bisa mengambil kesimpulan,

“saya cukup”

Di tengah – tengah Plato dan Aristoteles ada anak – anak dengan wujud kecil, berbaju putih yang menengahi mereka berdua ketika berdialog. Wujudnya lebih kecil dari lubang telinga, lubang hidung, dan lubang- lubang yang lain. Ia menyapa,

“hallo, namaku Kronos, sang penjaga semesta aku penjaga waktu, jembatan alfa dan omega ! cukup atau tidak cukup waktumu, kita cukupkan.”

Kategori
blog tulisan-wacana

Cangkirku, Kehidupan yang Kedua

Bangunan dengan atap meliuk – liuk ini adalah bangunan dengan struktur panggung yang terbuat dari konstruksi bambu, dengan grid 5.0 m dan 4.0 m untuk mengakomodasi fungsi ruang perpustakaan, kamar tidur, dan ruang pertemuan. Strukturnya seperti bentuk kupu – kupu atau kepakan sayap burung yang dielaborasi dari proyek Alfa Omega. Balok bambu dikakukan dengan dagu – dagu (pengkaku), sementara kolom duduk di atas umpak batu kali yang dihubungkan dengan konstruksi bambu sebagai pelataran di lantai dasar.

Bangunan dengan atap meliuk – liuk ini adalah bangunan dengan struktur panggung yang terbuat dari konstruksi bambu, dengan grid 5.0 m dan 4.0 m untuk mengakomodasi fungsi ruang perpustakaan, kamar tidur, dan ruang pertemuan. Strukturnya seperti bentuk kupu – kupu atau kepakan sayap burung yang dielaborasi dari proyek Alfa Omega.
Balok bambu dikakukan dengan dagu – dagu (pengkaku), sementara kolom duduk di atas umpak batu kali yang dihubungkan dengan konstruksi bambu sebagai pelataran di lantai dasar.

Bentuk – bentuk melengkung ini sebenarnya pernah saya elaborasi di dalam Kampono (Dancer) House sebelumnya di dalam konstruksi beton dengan perhitungan terhadap sisi panas, angin yang mengalir di dalam desain massa – kulit bangunan sampai detail – detail yang lain. Dan, di balik permainan bentuk – bentuk melengkung yang muncul, ada logika kekuatan dan estetika yang terinspirasi dari bahasa alam.

Bentuk – bentuk melengkung ini sebenarnya pernah saya elaborasi di dalam Kampono (Dancer) House sebelumnya di dalam konstruksi beton dengan perhitungan terhadap sisi panas, angin yang mengalir di dalam desain massa – kulit bangunan sampai detail – detail yang lain. Dan, di balik permainan bentuk – bentuk melengkung yang muncul, ada logika kekuatan dan estetika yang terinspirasi dari bahasa alam.

Selain sisi tradisional yang ditonjolkan, sisi industri juga muncul dengan komposisi bentuk atap yang melengkung ditutupi dengan daun Nipah yang dikombinasikan dengan membran tahan air untuk atap.Membentuk Julang Ngapak sebagai bangunan vernakuler tradisional Jawa Barat. Balustrade bambu yang dilengkungkan dimainkan sebagai bentuk hiperboloid yang lebih kompleks, lebih kuat, dan lebih fleksibel serta menciptakan siluet gerakan alami burung atau pergerakan Kujang yang merupakan senjata tradisional dalam Tradisi Sunda.

Selain sisi tradisional yang ditonjolkan, sisi industri juga muncul dengan komposisi bentuk atap yang melengkung ditutupi dengan daun Nipah yang dikombinasikan dengan membran tahan air untuk atap.Membentuk Julang Ngapak sebagai bangunan vernakuler tradisional Jawa Barat.
Balustrade bambu yang dilengkungkan dimainkan sebagai bentuk hiperboloid yang lebih kompleks, lebih kuat, dan lebih fleksibel serta menciptakan siluet gerakan alami burung atau pergerakan Kujang yang merupakan senjata tradisional dalam Tradisi Sunda.

Pak Jatmiko adalah orang yang membantu saya melakukan supervisi ke bangunan inti di Piyandeling, dimana ia memberikan batas seberapa tinggi bangunan dengan konstruksi bambu ini bisa dibangun dengan aman. Pak Jatmiko dulu menemani kakek saya, dan ayah saya ke proyek. Ia juga adalah pengawas bangunan dari almarhum Han Awal, dan Teddy Boen (ahli gempa Indonesia). Dari Pak Jatmiko saya belajar bahwa setiap murid membutuhkan guru dan pelatih, seorang pelatih akan bisa melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Sebegitunya kita membutuhkan waktu untuk berlatih setiap harinya. Di kasus saya berlatih ini erat kaitannya dengan berapa banyak masalah desain yang bisa kita pelajari dan pecahkan setiap harinya dan relasi dengan beliau dimana beliau bisa menjawab dengan kata “tidak” lalu saya mulai belajar menilai keadaan dengan diskusi lebih lanjut.

Pak Jatmiko adalah orang yang membantu saya melakukan supervisi ke bangunan inti di Piyandeling, dimana ia memberikan batas seberapa tinggi bangunan dengan konstruksi bambu ini bisa dibangun dengan aman. Pak Jatmiko dulu menemani kakek saya, dan ayah saya ke proyek. Ia juga adalah pengawas bangunan dari almarhum Han Awal, dan Teddy Boen (ahli gempa Indonesia). Dari Pak Jatmiko saya belajar bahwa setiap murid membutuhkan guru dan pelatih, seorang pelatih akan bisa melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Sebegitunya kita membutuhkan waktu untuk berlatih setiap harinya. Di kasus saya berlatih ini erat kaitannya dengan berapa banyak masalah desain yang bisa kita pelajari dan pecahkan setiap harinya dan relasi dengan beliau dimana beliau bisa menjawab dengan kata “tidak” lalu saya mulai belajar menilai keadaan dengan diskusi lebih lanjut.

Saya kenal 2 orang pengrajin, pengrajin pertama pintar berbicara, mulutnya manis-kerjanya hanya di permukaan, terlihat manis – hanya estetika tempelan, apabila diminta memasang bata ia akan memasang bata dengan apik, namun terkadang lupa bahwa di balik bata tersebut ada pipa, perhitungannya hanya sebatas manis dilihat. Sedangkan pengrajin kedua tidak pandai berbicara namun pekerjaannya halus dan langkah – langkahnya bisa membuat proyek aman karena perhitungan yang mendalam tentang prosedur kerja dan detail tahapan kerja, kekuatan, tahan terhadap air, cuaca. Seiring dengan perjalanan saya berkembang di dalam praktik, detail – detail yang saya pikirkan bertransformasi di dalam pertemuan dengan banyak pengrajin. Termasuk pertemuan dengan pengrajin pertama, saya belajar untuk susunan yang terlihat manis, sebuah kualitas yang literal. Dan, dengan pengrajin kedua saya belajar untuk masuk ke kualitas yang esensial. Kedua pola pikir diperlukan untuk bisa bermain di integrasi disiplin (MEP, Struktur, Arsitektural). Saya menyebut detail transformatif ini ke dalam detail yang berkelanjutan.

… pertemuan dengan pengrajin pertama, saya belajar untuk susunan yang terlihat manis, sebuah kualitas yang literal. Dan, dengan pengrajin kedua saya belajar untuk masuk ke kualitas yang esensial. Kedua pola pikir diperlukan untuk bisa bermain di integrasi disiplin (MEP, Struktur, Arsitektural). Saya menyebut detail transformatif ini ke dalam detail yang berkelanjutan.

Terkadang setiap 2 minggu saya berulang kali ke Piyandeling untuk memikirkan ulang detail – detail selanjutnya termasuk penggabungan detail tradisional dan industrial. Di tempat ini saya melepaskan diri sejenak dari rutinitas dan masuk di dalam dunia fantasi Piyandeling. Arsitektur memiliki kekuatan maha dahsyat untuk membuat orang mengingat pengalaman ruang yang menjadi kenangan membekas.

Terkadang setiap 2 minggu saya berulang kali ke Piyandeling untuk memikirkan ulang detail – detail selanjutnya termasuk penggabungan detail tradisional dan industrial. Di tempat ini saya melepaskan diri sejenak dari rutinitas dan masuk di dalam dunia fantasi Piyandeling. Arsitektur memiliki kekuatan maha dahsyat untuk membuat orang mengingat pengalaman ruang yang menjadi kenangan membekas.

Pada akhirnya saya sadar, seperti halnya seorang manusia yang seakan-akan memiliki dua kehidupan. Kehidupan pertama dimulai ketiga manusia tersebut berusaha menggapai banyak hal, berjuang di tengah – tengah keterbatasan sampai dirinya merasa cukup. Saya merasa perjalanan suka – duka berpraktik lekat dengan perjuangan di tahap ini.

Dan sebenarnya, kehidupan kedua dimulai ketika, dirinya sadar bahwa ia hanya punya satu kehidupan. Dari situlah saya belajar mengenai fokus dan kebahagiaan sebenarnya sehingga saya tidak merasakan apapun lagi.

Tiba – tiba ada sapaan yang hangat dari belakang.

“Mau minum pak ? satu pengrajin menawarkan kopi dengan cangkir terbuat dari bambu.”

“Terima kasih pak untuk cangkir, kopi, dan perjalanannya bersama – sama.” ini Cangkir kedua saya, puji Tuhan.

Pada akhirnya saya sadar, seperti halnya seorang manusia yang seakan-akan memiliki dua kehidupan. Kehidupan pertama dimulai ketiga manusia tersebut berusaha menggapai banyak hal, berjuang di tengah – tengah keterbatasan sampai dirinya merasa cukup. Saya merasa perjalanan suka – duka berpraktik lekat dengan perjuangan di tahap ini.

Dan sebenarnya, kehidupan kedua dimulai ketika, dirinya sadar bahwa ia hanya punya satu kehidupan. Dari situlah saya belajar mengenai fokus dan kebahagiaan sebenarnya sehingga saya tidak merasakan apapun lagi.
Tiba – tiba ada sapaan yang hangat dari belakang.
“Mau minum pak ? satu pengrajin menawarkan kopi dengan cangkir terbuat dari bambu.”

Translation :

Title : Second Cup of My Life

The building with a twisting roof is a building with a stilt structure made of bamboo construction, with a grid of 5.0 m and 4.0 m to accommodate the functions of the library room, bedroom and meeting room. The structure is like the shape of a butterfly or the flapping of a bird’s wing which is elaborated from the Alfa Omega project. Bamboo blocks are stiffened with chin – chin (stiffeners), while the column sits on a river stone pedestal connected by a bamboo construction as a platform on the ground floor. I actually elaborated these curved shapes in the previous Kampono (Dancer) House in concrete construction by calculating the hot side, the wind that flows in the mass design – the skin of the building to other details. And, behind the game of curvy shapes that appear, there is a logic of strength and aesthetics inspired by the language of nature. Apart from the traditional side that is highlighted, the industrial side also appears with the composition of the curved roof shape covered with Nipah leaves combined with a waterproof membrane for the roof. Forming the Julang Ngapak as a traditional West Javanese vernacular building. The curved bamboo balustrade is played as a hyperboloid form that is more complex, stronger and more flexible and creates silhouettes of natural bird movements or kujang movements which are traditional weapons in Sundanese Tradition.

Pak Jatmiko is the person who helps me supervise the main building in Piyandeling, where he provides a limit on how high a building with bamboo construction can be built safely. Pak Jatmiko used to accompany my grandfather, and my father to projects. He was also the building supervisor of the late Han Awal, and Teddy Boen (Indonesian seismologist). From Pak Jatmiko I learned that every student needs a teacher and a trainer, a trainer will be able to see it from a different point of view. In fact, we need time to practice every day. In my case this practice is closely related to how many design problems we can learn and solve every day and the relationship with him where he can answer with the word “no” then I start to learn to assess the situation with further discussion.

I know 2 craftsmen, the first craftsman is good at talking, his mouth is sweet – he works only on the surface, looks cute – just a sticky aesthetic, when asked to install a brick he will put the brick neatly, but sometimes forgets that there is a pipe behind the brick, the calculation is as sweet as seen. Meanwhile, the second craftsman is not very good at talking, but the work is smooth and the steps can make the project safe because of in-depth calculations of work procedures and details of work stages, strength, resistance to water, weather. As I progressed in practice, the details I had in mind were transformed in the meetings with many craftsmen. Including meeting the first craftsman, I studied for a cute looking array, a literal quality. And, with the second craftsman I learned to get into the essential qualities. Both mindsets are needed to be able to play in the integration of disciplines (MEP, Structure, Architecture). I call this transformative detail into continuous detail

Sometimes every 2 weeks I repeatedly go to Piyandeling to rethink the next details including a mix of traditional and industrial details. In this place, I took a break from my routine and entered the fantasy world of Piyandeling. Architecture has the immense power to make people remember the experience of space that has become a lasting memory. In the end I realized, like a human who seems to have two lives. The first life started by the three humans trying to achieve many things, struggling in the midst of limitations until they feel enough. I feel that the journey of joy and sorrow is closely related to the struggle at this stage. And in fact, the second life begins when, he realizes that he only has one life. From there I learned about true focus and happiness so that I didn’t feel anything anymore.

Suddenly there was a warm greeting from behind. “Want to drink, sir? One craftsman offers coffee with a cup made of bamboo.”

“Thank you sir for the cup, coffee and the trip together.” this is my second cup, thank God.

Kategori
blog tulisan-wacana

Autumn Strong

Dulu kira – kira 13 tahun yang lalu, bulan – bulan Agustus menuju Desember adalah bulan dimana autumn tiba, di saat itu saya ingat satu waktu saya menghabiskan waktu ke Cambridge, menyusuri sungai disana, naik sepeda bersama Laurensia. Kami mengambil gambar untuk mengabadikan bahwa kami pernah di situ. Perjalanan kami berdua di kota – kota di Inggris seperti St. Ives, Cambridge, London dan kota – kota kecil lainnya membekas di dalam musim autumn. Musim autumn memberikan suasanya jatuhnya daun – daun dan masuknya musim dingin, terbitnya bunga, dan datangnya musim panas. Hal ini adalah siklus berulang di dalam waktu yang linear.

Kali ini, kira – kira mulai bulan Agustus sampai bulan Desember lalu, saya menghabiskan waktu – waktu malam dengan membaca jurnal, buku, membuat mind map, menyusun presentasi. Hal ini paralel di siang hari dan kadang subuh untuk berpraktik, mendesain, survei lapangan, supervisi proyek. Setiap senin diwarnai dengan meeting pagi tim proyek yang dilanjutan dengan webinar jam 10 bersama Iwan Sudrajat, belajar mengenai metodologi penelitian melalui buku dan diskusi. Hari selasa, saya mendapatkan waktu untuk berdiskusi dengan Himasari Hanan sebagai pembimbing, dan hari kamis, saya bertemu dengan Bambang Sugiharto di kelas filsafat.

Apa yang mau saya bagikan di dalam tulisan ini adalah soal merasa cukup, sebuah proses dari menuju sesuatu, waktu adalah linear.

Pertama, soal disertasi, topik yang saya minati adalah soal kreatifitas di dalam desain. Saya tertarik untuk mengikuti kelas di 3 bulan pertama sampai satu titik dimana saya bertemu dengan Anna Herringer di dalam acara Design United dimana kami mengisi acara bersama – sama. Di dalam diskusi bersama dan sharing, ia menjelaskan bagaimana arsitek perlu peka di dalam praktik, dan melihat karya – karyanya saya merefleksikan bahwa tataran yang saya jalani di dalam disertasi adalah tataran yang teoritis. Saya membutuhkan tataran praktis sebagai pelengkap teori, lokalitas dalam praktik, membumi, mengakar, fundamental.

Selain urusan disertasi, waktu saya habiskan juga untuk mengatur studio dan perpustakaan juga menulis buku sebagai bahan refleksi. Covid ini merubah banyak sekali hal, mulai dari hilangnya tatap muka, dan munculnya peluang – peluang digitalisasi, seperti media webinar, dan rapat di atas awan (rapat digital menggunakan zoom). Sebenarnya kami hidup lebih sehat, lebih tenang, dan lebih damai. Karya – karya yang saya hasilkan jauh lebih mengakar, dan terpikirkan matang.

Saya teringat kira – kira setahun yang lalu, saya memutuskan untuk keluar dari banyak grup digital karena terus terang merasa tidak nyaman apabila tidak memiliki jarak akan segala hal sehingga hal – hal yang prinsipal menjadi dogma yang ikut – ikutan. Mungkin hal ini yang menyebabkan Pak Gunawan Tjahjono tidak memiliki WA. Saya mengamati ada teman saya yang sukanya mengumbar dirinya sendiri, ada juga teman saya yang juga problematis dengan masalah waktu, ada juga teman yang sukanya pansos. Setiap orang punya masalah, masalah pribadi biarlah menjadi masalah pribadi, masalah bawaan. Masalah bersama itulah yang lebih penting untuk dibicarakan. Masalah pribadi itu urusan refleksi masing – masing. Saya sungguh merasa kesepian, mungkin yang bisa mengobati adalah adik – adik saya di perpustakaan, ataupun murid – murid atau teman – teman yang bisa bersenda gurau tanpa pretensi ataupun sekedar mengupdate berita mengenai bagaimana hidup mereka akhir – akhir ini dengan cerita yang konyol, gagal, bodoh, hidup memang tidak sempurna kawan.

Minggu ini saya bertemu dua orang anak muda, satu sedang mencari jalan hidup. Ia adalah calon arsitek yang potensial, ia memiliki kegelisahan mengenai sejauh mana jalan itu aman baginya, untungnya ia memiliki begitu banyak kesempatan yang diberikan keluarganya dan teman – teman sekitarnya. Orang yang kedua justru tidak memiliki kesempatan tersebut, ia harus berjuang sendirian di dalam menembus keterbatasannya sebagai anak di dalam ekosistem yang broken home. Ia sendiri sekarang sukses di dalam dunia retail yang memegang salah satu banyak brand tas yang ternama. Mereka berdua berjuang menembus keterbatasannya sendiri, memiliki kesamaan akan sebuah proses yang understated. Proses ini adalah proses yang sederhana, fokus kepada kemauan belajar, yang tidak kompetitif, tanpa perlu menonjolkan diri, ada rasa cukup yang terlihat di dalam prosesnya. Saya bangga akan proses mereka berdua dan menyaksikan keduanya tumbuh mandiri.

Saya melihat tantangan ke depan tidak mudah, dengan menghitung jumlah proyek, dan proyeksi keuangan, beberapa langkah – langkah perlu di lakukan dengan taktis dan hal tersebut membutuhkan waktu. Disinilah tegangan akan waktu ini muncul. Waktu sekali lagi linear, pertimbangan – pertimbangan yang dipilih akan menghadapkan pilihan – pilihan seberapa layak satu pilihan itu dipilih, apa yang didapatkan, perkiraan – perkiraan apa yang menunggu di ujung jalan. Proses ini seperti proses menyiapkan bahan masakan dengan menimbang satu dan yang lain supaya hasilnya memuaskan.

Sebelumnya, sebenarnya di dalam proses saya mengerjakan disertasi tidak berfokus ke tujuan mendapatkan gelar S3 namun lebih ke proses pembelajaran, menemukan teman untuk berdiskusi, ekosistem untuk membicarakan penelitian – penelitian lebih lanjut dengan masuk ke substansi bukan normatif.

Satu minggu setelah saya mengirimkan surat untuk mundur ke prodi , saya bertemu dengan Lisa Sanusi. Kita berdua berdiskusi mengenai mimpi – mimpi akan dunia pendidikan. kira – kira baru 2 minggu lalu ia mengirim pesan “pak Rich apa ada waktu saya mau bicara.”, ia kemudian melanjutkan :

“Pak Rich, saya sudah dari Bandung, kita dalam pengurusan sekolah arsitektur.”

Saya terdiam, dan jantung ini berdegup keras. Dan sekonyong – konyong ada suara dari belakang telinga mengingatkan,

“jangan lupa doa ya.”

The feeling of autumn, leaving someone feels like the sadness of autumn
a glass of wine thousands of different emotions, so many farewells when the leaves fall, there are so many farewells, holding your hand tight
remembering this, i want you to remember
this silent promise I’m not afraid of being lovesick
I’m just afraid of hurting you all resentments vanish with the wind
meeting or parting ways, it’s not up to me
I’m not afraid of being lonely
I’m just afraid you’ll be disappointed
that you won’t have a shoulder to cry on

Saya terbangun, mari jalan kembali. Sampai jumpa kawan.

Kategori
blog tulisan-wacana

Forming the Gift Society

“Apa yang menjadi dasar kriteria untuk membuat buku ini untuk mahasiswa ?” Ini satu pertanyaan yang muncul dari peserta diskusi ketika ada acara Omah Library di Bandung, kira – kira dua tahun yang lalu ketika terdapat paparan mengenai bagaimana kerangka pemikiran buku Filsafat, Teori, dan Keprofesian di dalam 3 buku yang sudah diterbitkan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang luar biasa bagus, yang biasa ditanyakan ketika ada pengujian. Di dalam assesment mengenai kualitas, ada penentuan parameter, kunci – kunci penentuan parameter ini sangatlah penting dan kritikal sebagai dasar apa yang menjadi pertimbangan, dan bagaimana menimbangnya. Pertanyaan ini menjadi dasar bahwa ada pembaca yang ingin mengerti kualitas seperti apa yang menjadi konsep dasar buku tersebut.

“Terima kasih ya pak, sudah mau membuatkan buku untuk kami.” Eubisius, murid saya berbicara pada saat saya menanyakan di malam saya mempresentasikan buku ini ke mereka, “apa ada yang mau kalian sampaikan atau tambahkan ?”.

Malam itu adalah saat dimana saya mempresentasikan apa yang sudah kami lakukan di Omah Library, untuk mengkurasi, dan menyusun materi ajar di dalam buku Strategi Arsitektur Berkelanjutan. Isu – isu arsitektur berkelanjutan kerap digunakan untuk menggali tema di dalam proses perencanaan.

Saya masih ingat, dulu Eubisius atau Ubi panggilannya, berkata pada saya, “mungkin ini terdengar konyol pak, cuma saya bercita -cita ingin menjadi pemenang Pritzker Prize.” Pritzker Prize adalah satu penghargaan di arsitektur yang identik dengan nobel, penghargaan itu ditujukan untuk seseorang yang sudah berjasa untuk menyumbangkan hidupnya untuk kemanusiaan di dalam menjalani profesinya sebagai arsitek. Saya bisa membayangkan bahwa mungkin saja pengajar – pengajar yang menertawakan keinginan muridnya seperti ini. Namun di mata saya, keinginan seperti ini adalah sungguh amat berharga.

Perkataan – perkataan “saya ingin seperti ini, seperti itu…” itu sebenarnya yang sering dilontarkan oleh para mahasiswa, sebuah keinginan untuk menggapai mimpi menyumbangkan hidupnya untuk kemanusiaan. Dari perjumpaan dengan banyak mahasiswa yang menginginkan hal tersebut, ada benang merah, bahwa para mahasiswa ini ingin dihargai sebagai perancang, dan mereka juga ingin belajar mempertanggung-jawabkan metodologi desainnya sebagai arsitek, dan terakhir mereka semua juga menyadari pentingnya sikap untuk selalu belajar.

Seringkali benang merah tersebut disalah-artikan sebagai keinginan untuk menonjolkan diri, padahal sesederhananya keinginan itu berawal dari kebutuhan untuk diapresiasi oleh orang lain termasuk pengajarnya.

Buku ini tidak boleh mahal, tapi boleh tebal, setebal 600 halaman juga oke. Berikan yang terbaik untuk anak – anak, karya ini dari anak – anak untuk anak – anak, kita akan menjadi jembatan yang baik untuk mereka.” saya menekankan di dalam rapat di Omah Library

Apresiasi ini begitu penting di dalam pembentukan Gift Society dimana Gift Society tidaklah sama Consumerism Society, hal ini dibicarakan oleh Lewis Hyde di dalam bukunya The Gift: How the Creative Spirit Transforms the World. Hyde membagi dua buah kelompok, pertama yaitu : Consumerism Society , kelompok mengandalkan asas untung rugi, ibaratnya keinginan untuk mengetahui apa yang aku dapat di dalam proses kreasi sebagai motif dasar. Di dalam kelompok ini, terdapat keterbatasan waktu yang mengikat untuk berproduksi, informasi yang dibatasi, dan patronisasi yang kuat. Sedangkan di dalam kelompok yang kedua Gift Society, menghasilkan karya yang inovatif dari sikap saling percaya , hubungan yang saling memberi, dan aspek pembagian ekonomi yang bijaksana, memiliki motif untuk membangun.

Buku “Untuk Mahasiswa” ini ditulis untuk mahasiswa dan oleh mahasiswa, bahwa mahasiswa bisa dan boleh berinterpretasi untuk kasus – kasus yang mungkin mereka sendiri belum terbayang seutuhnya bagaimana cara arsitek berproses. Disinilah proses (pedagogi) pengajaran itu perlu dipaparkan dengan apa adanya yang terkait ke 4 titik permenungan, pertama : sistem pengajaran, kedua : anatomi pemaparan dari quiz sampai tugas, ketiga : buku yang direferensikan, dan keempat : evaluasi dari tugas mahasiswa yang patut diapresiasi. Disinilah proses pedagogi “untuk mahasiswa” patut untuk dibagikan untuk sebagai titik awal bagi pengajar – pengajar lain berbagi hal yang menjadi rahasia kecil yang terkadang terselubung di dalam hubungan pengajar dan diajar.

Lebih lanjutnya buku ini sebenarnya adalah tempat merefleksikan kegiatan mencatat, mengarsip, dan mengevaluasi proses pengajaran arsitektur berkelanjutan untuk kepentingan menyambung tongkat evaluasi yang dibutuhkan. Hal ini perlu supaya pengajar dan murid bisa memahami kompleksitas praktik- teori di dalam bentuk kontekstualisasi kasus studi ke dalam kasus – kasus yang kita alami di dalam keseharian kita semua sebagai murid – murid kehidupan.

Beberapa komentar dari adik – adik saya di Omah Library dimana pada dasarnya buku yang baru terbit ini adalah strategi untuk menemukan diri sendiri menggunakan tema arsitektur berkelanjutan setidaknya membuat saya menghela nafas.

“Selama proses penyuntingan, saya belajar banyak hal dari tulisan-tulisan yang terkumpul. Sepertinya, kesadaran kolektif memang muncul disini, di mana benang merah ini saling merajut antar tulisan dengan tujuan yang sama; sebuah kesadaran arsitektur berkelanjutan. Buku ini buku paling tebal, dan buku yang membawa saya menemukan apa makna arsitektur berkelanjutan, yang jarang sekali diperbincangkan. Ini memang buku strategi. Strategi yang menghantarkan kita mencari strategi sesuai konteks kita sendiri, dengan melibatkan kesepahaman arsitektur yang berkelanjutan.” – Satria A. Permana

Mungkin kalau Ian Mcharg masih hidup, ia bisa tersenyum sembari berjaga – jaga kembali.

bit.ly/OrderOMAH

.
Terima kasih untuk para kontributor murid – murid kami : Albert Lionggo, Andreas Hasiholan,Anggreny Ratnasari, Anissa Dipa, Anke Ardine, Ansell Samuel Julianto, Antonius Priya Prathama, Bayu Abimanyu, Carla Aurellia, Chelsea Gracelyn Halun, Chelsya Setiawan, Christal Yohanes Edy Widjaya, Darwin Winata, Dharmawan, Diandra Arya Eka Putrim Edgard Jeremy, El Grantnada Romaulina Chyntia, Manihuruk, Eubisius Vercelli Ocvanto Kuncoro, Evania Hamdani, Fania, Farisya Yunandira Putri, Fikra Abhinaya Djuhara, Franca Kartasasmita, Gerardo Leonard Nugroho, Gilbert Antonious, Heidy Laurentia, Heinrich Benedick, Jason Lim, Jason Aristya Wongso, Jason Axel, Jesslyn Amanda, Joshua Alfando, Joshua Felix Theo, Joshua Michael, Jovin JuanMarcell Cruxivisyo, Mauritzio Hizkia, Michael Antonio Halim, Michael Imanuel Susilo, Michellin Sonia Wibowo, Muhamad Yusuf Nyompa, Nathanael Christopher Ng, Novi Synfah, Oliver Victor Wibowo, Praisella Hatijanto, Putroaji Darma Maulana, Raihan Ramadhan, Rayka Martawijana, Raynaldo Febrio Istanto, Sander Ekaputra, Satya Krisnadi, Shania Salsabila, Shella Angelica, Sherlyn Christiane, Spazio Julius, Stanly Alviando, Thessalonicca Venesya, Valencia Angelita, Vania Serrafine, Para Restless Spirit Librarian : Penyunting (Amelia Widjaja, Satria A. Permana), Kirana Adrya, Hanifah Sausan, dan Dimas Dwimukti. Juga tim administrasi, Laurensia, Vivi, dan Putri. Kawan – kawan yang menulis pengantar bersama – Johannes Adiyanto dan penutup Anas Hidayat.

Kategori
blog tulisan-wacana

Filosofi Donat di tahun 39

“Yang, besok ulang tahun mau dibuatin apa ?” Laurensia bertanya, 

Saya tidak punya ekspektasi apa – apa untuk ulang tahun kali ini. Saya menyadari sudah diberikan begitu banyak berkat dari Tuhan di masa krisis karena pandemi ini dan saya selalu berdoa supaya kawan – kawan dilindungi selalu kesehatannya dan jangan lupa memakai masker. Berkat – berkat di masa pandemi ini mewujud pada kenangan – kenangan yang membekas berupa kedekatan kami sekeluarga. Seperti ketika Laurensia mempersiapkan donat pada hari ini. Kemarin ia bercerita bahwa Miracle ingin makan donat dan ia ingin mengajarkan Acle (panggilan sayang miracle) membuat donat bersama, hal yang sederhana.

Titik kali ini adalah titik ulang tahun yang ke tiga puluh sembilan, dan Laurensia sudah mempersiapkan bahan – bahan tepung, telur, dan topping, seperti mendesain proses persiapan ini yang paling penting yaitu mempersiapkan adonan, dan menikmati momen proses pembuatannya. [1]

Kemarin Laurensia bercerita bahwa Miracle ingin makan donat dan ia ingin mengajarkan Acle (panggilan sayang miracle) membuat donat. Donat memiliki bentuk seperti lingkaran, garis yang memutar saling menjaga dan menerus.

“Papa, jangan lihat kesini, we are making surprise for you, close your eyes.”

kata Acle sambil membawa bantal sambil menutupi mata saya. Saat – saat sederhana seperti ini membuat saya bersyukur, dengan bagaimana Acle dan Laurensia ingin membuat sesuatu untuk saya, perhatian – perhatian kecil seperti ini adalah hadiah yang tidak ternilai untuk apa yang saya dapatkan di hari ulang tahun ini. Salah satu hal yang tidak ternilai adalah keluarga termasuk Acle, Heaven, dan Laurensia di dalamnya. Kami sibuk mengisi hari – hari dengan rutinitas pagi dimulai dengan doa, makan pagi bersama, bekerja, makan siang bersama, kerja/istirahat siang, makan malam dan istirahat. Hal yang kami tanamkan ke keluarga adalah respek untuk orang – orang di sekitar kami. Respek menjadi penting, dimulai respek kepada diri sendiri, sebuah bentuk self criticism.

Dulu ayah saya di waktu memimpin konstruksi, memperkenalkan proses slametan, sebuah proses syukur yang ada di dalam akhir sebuah proses yang kritikal, kalau di dalam pembangunan rumah hal ini dilakukan sebelum bangunan dibangun, dan sesudah proses tutup atap. Hal ini adalah sebuah proses yang wajar dan manusiawi. [2]

Prinsip slamet ini menjadi relevan di masa Covid dimana, sebagai manusia kita harus menahan diri. Ada beberapa cerita lucu tetapi juga sedih, juga mengenai mandor – mandor di sekitar saya yang kehilangan orang – orang terbaiknya karena flow proyek terputus karena COVID. Mereka setengah menggerutu, orang saya diambil orang pak, ada proyek baru disana. Sudah capai – capai melatih lalu mereka pergi. Kira – kira ada dua kelompok di tim kami yang kehilangan anak didik mereka. Terkadang mereka menggerutu, saya terus berpikir kenapa orang – orang terbaik mereka pergi ya ? apakah ada faktor kepemimpinan, ataukah tantangan, selain faktor ekonomi? Saya memiliki hipotesa – hipotesa soal ini. Hal ini wajar terjadi dimana – mana, dan wajar setiap orang ingin tumbuh dan berkembang [3]

Besoknya saya mengajak bicara mereka soal ketiga hal ini, dan hal ini juga saya alami di studio bahwa untuk maju setiap lingkungan membutuhkan evaluasi dan regenerasi. Seperti pohon besar yang tumbuh yang membutuhkan regenerasi, memang perlu dipotong ataupun terpotong karena keadaan supaya pohon – pohon kecil di sekitarnya bisa tumbuh. Dengan memaklumi hal ini, melihat apa yang terjadi di sekitar pengrajin memang ada dua tipe pembelajar bangunan, tipe yang pertama adalah tipe pengrajin, disini sifat patronisasinya dominan yang diperlihatkan, dengan keahlian – keahlian yang melibatkan teknik bereksperimen dan memiliki struktur seperti pohon besar. Tipe kedua adalah tipe pekerja yang melibatkan teknik yang sudah ada / repetitif mengikuti apa yang menjadi standar baku, di kelompok ini patronisasinya bisa jadi berubah menjadi sebuah platform terbuka berbentuk rhizoma dimana ada transparansi, dengan syarat yang masuk di dalam lingkungan kerja mereka adalah orang – orang yang memang sudah ahli. Keduanya memiliki perbedaan cara bekerja, berkordinasi, transfer ilmu, dan membagi ekonomi. Meskipun demikian ada banyak hal yang menjadi rahasia masing – masing, biarlah itu menjadi urusan kantong sendiri – sendiri.

Seperti satu saat Abidin Kusno yang menulis buku Melawan Waktu memulai dengan tulisan yang merupakan suatu bentuk melawan waktu itu sendiri, Perlawanan itu bisa diibaratkan melalukan negosiasi waktu, dan bagaimana beliau mengisi kehidupan yang sementara ini dengan mencoba merubah keadaan dengan diskursus arsitektural. Bahwa perubahan itu wajar, hal ini adalah sebuah proses dari titik, menuju garis.

Perlawanan waktu ini bisa diibaratkan juga seperti orang yang melalui perjalanan menghitung mundur, dan identik juga dengan proses kelahiran – kematian, kejadian ulang tahun, setiap tahun berulang – ulang, dengan rambut yang semakin memutih, teman – teman yang datang, tinggal, pergi silih berganti, keluarga besar dan anak yang semakin besar. Ulang berulang adalah sebuah rutinitas yang menjadi kebiasaan dan karakter, sederhananya proses hidup, apa yang kamu ulangi itulah karaktermu. Proses pembentukan karakter ini akan membentuk Gift Society. Sebuah lingkaran yang saling memberi yang dimulai dari diri sendiri, self criticism, respek kepada orang lain, dan mengulang – ngulangnya sehingga menjadi karakter yang dimulai dari lingkaran keluarga dan diri sendiri.

Hal – hal inilah yang membuat kadang saya membanting setir, kanan – kiri, gas dan rem, keluar-masuk di dalam menulis buku, keluar-masuk ke penelitian, keluar-masuk dari proses disertasi, keluar-masuk ke kelompok praktik, keluar-masuk dari kelompok belajar, ataupun apapun yang terkait hubungan antar-personal, bahwa pada dasarnya mempertanyakan apa sih yang layak untuk dilakukan untuk waktu yang sedemikian terbatasnya.

“Papa I want to be like you”… Miracle menghampiri saya satu saat ketika saya sedang bekerja di ruang kerja yang berbatasan dengan kamar tidur kami. Untuk masuk ke ruang kerja itu harus melewati pintu putar berupa lemari yang bisa berputar dimana ia mengintip dibalik sela – sela pintu putar tersebut.

“Hei, kamu ngapain ?” kata saya, “come here” saya membiasakan berbicara dua bahasa dengan Miracle. Saya memangku dia untuk memperlihatkan apa yang sedang saya kerjakan, dan berbagi bagaimana memencet tombol keyboard ataupun berinteraksi dengan layar sentuh. Saya melanjutkan “You will be better than papa, we are proud of you.” Dari lingkaran terkecil kami berupa donut, saya menarik nafas semoga semesta memberkati kita semua, dan memberikan rasa slamet, sehingga kehidupan kita, saya doakan menjadi lebih bersahaja, menenangkan, damai dan tenteram.

Di usia ke 39 ini, saya belajar untuk lebih memberi kepada orang lain, tidak untuk dibalas kebaikannya namun karena memang sudah sepantasnya kita memberi. Berbuat tidak untuk dilihat, bernyanyi tidak untuk didengar, berdansa tanpa mengharap tepuk tangan, bertindak tanpa mengharap hadiah.

“Papa please don’t work today, where are you going ?” Miracle mengintip dibalik pintu, karena melihat saya turun tangga.

“Sebentar I will come back in a few minutes.” (ada beberapa tukang sudah menunggu, pak ini detailnya bagaimana.) “Is there someone below ?” Miracle bertanya, saya menjawab, “sebentar ya, sabar few minutes.” Miracle berteriak, “Semangat pa”

Hadiah dari Tuhan untuk saya di umur 39 ini, Laurensia, Miracle, Heaven yang memberikan filosofi donat. Seperti Filosofi Donat bahwa setiap orang memiliki keteduhan di lingkaran terkecilnya. Tidak ada yang manusia yang ditakdirkan menjadi titik yang sendiri. Ada lingkaran membentuk donat yang saling merajut, dari titik, kemudian menjadi garis untuk menjadi lingkaran yang saling menjaga.

Kembali ke pertanyaan pertama,”Yang, besok ulang tahun mau dibuatin apa ?” Laurensia bertanya.

Saya menjawab “Donat ^^”

Terima kasih Tuhan, Terima kasih Tuhan, Terima kasih Tuhan untuk memberikan Laurensia, Miracle, dan Heaven yang sudah membentuk donat keluarga kecil kami juga beserta kawan – kawan tempat kami berkarya bersama. Tuhan memberkati.

[1] Proses persiapan adalah proses pertama di dalam studi mengenai kreativitas, hal ini digagas oleh Wallace di dalam buku Art of Thought dengan tahapan preparation, incubation, illumination, verification.

[2] Inspirasi : Satu kawan saya mengingatkan ketika kita berdiskusi soal arsitektur untuk menghargai soal kekuatan berproses dan jalan masih panjang, “Terkadang kita lupa untuk bersyukur dibalik seluruh proses yang ada.” Saya teringat juga suatu waktu, Wastumiruda (saya menyebutnya Kungkang pemabuk yang bijaksana) atau mas Anas yang bercerita tentang hakikat respek terhadap diri sendiri ini. “KAS ( Ki Ageng Suryomentaram) itu seperti Bima dlm cerita Dewa Ruci…Bima yg benar2 ada…Ya dia mencari kebenaran gk ke mana2. Ya dari dirinya sendiri. Betul. Kan ceritanya perjalanan jauh, tp itu hanya kiasan. Justru diri sendiri ini yg sebenarnya sangat jauh. Krn orang sering lupa, sibuk meniru orang lain. Jika kamu menghadap ke utara, apa yg paling jauh di utara sana ? Ya punggungmu, karena bumi ini bulat. Lawan terkuat sebetulnya ya diri sendiri. Kalo dari sloki (tahap kemabukkan) ya sloki ke 10: dasa buta (nama tingkatan kemabukkan terakhir) … mati. Balik nol lagi. Maka di Jawa yg utama adalah Slamet (selamat), bukan bener (benar).

[3] lihat cuplikan youtube untuk melihat relasi craftmen dimana hal ini sedang distudi oleh Yasmin Aryani, nanti akan saya bagikan cerita proses kami bertemu Yasmin lebih lanjut. Link youtube : https://www.youtube.com/watch?v=cySldJBIlqA&t=52s, hal ini dibahas di dalam postingan https://real-rich.org/2020/08/22/hidup-bersama-sama-arsitektur-yang-rahayu/

[4] foto – foto diambil oleh Jeffri Hardianto (Pepen) dari House of Photographers.

lingkaran contoh lingkaran donat di bidang musik yang dibentuk oleh Gita Gutawa dan Erwin Gutawa yang menaruh cita di tangan anak – anak muda Indonesia.
Kategori
blog tulisan-wacana

70 Tahun Pendidikan Arsitektur Indonesia – Suara dari Jiwa – Jiwa yang Tidak Kenal Lelah

Saya mengawali judul materi kali ini dengan sebuah judul “Melihat 70 tahun pendidikan arsitektur di Indonesia Suara dari jiwa – jiwa yang tidak kenal lelah.”Saya lulus di tahun 2005, mulai masuk ITB di tahun 2000. Pada waktu saya belajar arsitektur di tingkat dua, saya ingat oleh pak Eko Purwono diajak untuk mensketsa bangunan yang didesain oleh Henri Maclaine Pont, ada perasaan berbeda, yaitu penggunaan materialnya lokal, konstruksinya yang jujur, dan ada rekayasa teknik untuk mengaktualisasikan bentuk bentang lebar. Dari situ saya mulai jatuh cinta dengan arsitektur dan tidak pernah berpikir berhenti memikirkan arsitektur satu hari pun. Pertemuan dengan pak Eko Purwono dan Henri Maclaine Pont menjadi penting.

.
Pertemuan saya dengan Pak Baskoro Tedjo, Pak Ridwan Kamil dan dosen – dosen lain di tingkat setelahnya menjanjikan sebuah lompatan selanjutnya, saya ingat, beliau berkata

“kamu bisa, buat lebih baik lagi”

dan saya ingat itulah sebuah kekuatan yang mendorong membuat saya terpacu untuk ikut menyemangati teman – teman yang lebih muda. Saya ingat untuk tidak pernah lelah untuk lebih baik lagi. dan hal itulah yang mendasari judul kali ini, yang membuat saya membagikan kuesioner ke anak – anak muda dan semua orang lain testimonial mengenai pendidikan kita, hanya karena saya ingin tahu apa sih yang dipikirkan orang lain soal kondisi pendidikan kita sekarang. Teman saya yang berasal dari Serawak bernama Wendy Teo, memberikan masukan kepada saya untuk terus semangat pantang menyerah mewujudkan suatu hal yang kita anggap ideal. Ia berkata,

“If you want to stand for something and you’re someone, if you don’t stand for anything then you’re no one.”


Dari sudut pandang sebagai praktisi di praktik kami RAW Architecture, proses untuk maju bisa dilihat dari 3 buah posisi, yang pertama adalah pentingnya wacana untuk mengkonstruksi hal yang lebih positif .

Materi dari 4 pemateri menyajikan 3 hal yang yaitu mengenai isu setting, ritual, dan memory. Pemaparan ini sebenarnya adalah sebuah reaksi utnuk melihat tegangan yang ada antara ITB sebagai pihak yang merayakan ulangtahun dan melihat bahwa desain berbasis inovasi dan ilmu pengetahuan ini menjadi penting dan kritis untuk masa kini. Sebelum pak Adhi Moersid meninggal kami menginterview pak Adhi, dan melihat bagaimana dahulu ketiadaan pengajar, bagamana pada saat itu mengejar ketertinggalan yang menjadikan pengajaran masuk ke ranah teknis. Hal tersebut menyisakan gap atau celah yang dibahas juga oleh Aswin Indraprastha bagaimana menutup gap tersebut. ada dua hal untuk melihat gap tersebut, gap sebagai sebuah hal yang mengkhawatirkan ataukah gap tersebut adalah sebuah berkat. Di dalam presentasi kedua, presentasi Donny Koerniawan memaparkan bagaimana aktor – aktor yang terlibat di keilmuan perlu untuk merendahkan hatinya untuk merajut antar bidang keilmuan, bahasa beliau adalah menyerahkan axioma keilmuannya untuk bersatu membentuk ilmu baru.
.
Presentasi ketiga dari Sonny Sutanto mungkin justru menampar lagi posisi mendesain, titik inovasi dari sudut pandang ekonomi, yakni ketika produksi sudah begitu murah dimana posisi ide, saya ingat di sesi omah library, Rizal Muslimin membahas hal ini dimana manusia perlu terus berinovasi untuk bisa mereposisi dirinya dari replikasi dan representasi komputasi dari bahasa mesin. Di presentasi ketiga Gusti Ngurah Antaryana menyajikan sebuah potensi akan sebuah hal yang sudah pernah ada, dan sekarang ekosistem yang merdeka ada di depan mata, lalu apa reaksi kita ? pertanyaan ini terus berkelindan di kepala saya ketika mendengarkan 4 pemaparan material ini. Saya pikir mungkin jalan keluarnya ada di ritual yang dijalankan, atau mudahnya eksekusi apa yang akan menjembatani tataran teoritis dan eksekusi atau metode yang dilakukan di dunia nyata yang tidak abstrak. Sebagai contoh di dalam pandemi ini justru kami di studio menjalankan praktik melalui gambar tangan, karena tatarannya adalah konsepsi, perspektif juga dilakukan dengan gambar tangan lalu sampai ada komitmen baru ditransfer ke tools, jadi ada strategi yang perlu dilakukan.
.

Wacana ketelanjangan akibat ekosistem ditunjukkan oleh provokasi yang digagas oleh Marina Abramovic. Selama pertunjukan Abramovic dengan sengaja menjadi pasif, mengubah dirinya menjadi benda hidup demi seni. Dia memutuskan bahwa dia akan berdiri dengan tenang di galeri selama enam jam, di mana penonton diundang untuk menggunakan salah satu dari 72 objek di atas meja di ruangan itu untuk berinteraksi dengannya. Benda-benda itu berkisar dari bulu, kue coklat, minyak zaitun dan mawar, hingga pisau, gunting, pistol, beberapa peluru dan rantai. Instruksi di atas tabel berbunyi: Kinerja. Akulah objeknya. Selama periode ini saya bertanggung jawab penuh. Durasi: 6 jam. Selama enam jam, dia menyerahkan hidup dan tubuhnya sepenuhnya ke tangan orang asing, mengubah dirinya menjadi objek untuk digunakan, seperti yang diinginkan. Selama waktu ini dia setuju untuk tetap pasif, dan tidak responsif sampai eksperimen selesai. Abramovic memutuskan bahwa dia akan mengamati dengan tenang dan lemas. Untuk penonton, tidak ada konsekuensi langsung. Menurutmu, apa yang terjadi ?

Ia berakhir di dalam kondisi setengah telanjang, terluka.

Hal ini sebenarnya memunculkan tingkatan interpretasi selanjutnya dari sebuah pemikiran yang tidak hanya cantik, saya berintepretasi bahwa pemikiran yang menutup gab tersebut membutuhkan sebuah pemikiran yang tidak hanya ekspresif dan perlu untuk menggelontorkan wacana yang diskursif, dari sini saya pikir wacana untuk bertindak aktif dan tidak pasif akan penting, bagaimana yang pasif akan ditelanjangi, tidak berdaya, dan menunjukkan derasnya informasi dan kemajuan memungkinkan terjadinya ketelanjangan tubuh kita.

Di dalam bertindak aktif ada 3 hal yang bisa dipikirkan seperti, yang pertama adalah Setting yang bisa didefinisikan sebagai Kondisi sebelum wacana tersebut digulirkan yang melibatkan proses pembacaan relevansi terhadap problematika yang terjadi (Konteks)
Ritual yang bisa didefinisikan sebagai tindakan – tindakan untuk mengaktualisasikan wacana tersebut yang melibatkan proses aksi – reaksi (praksis). Di dalam proses ini sebenarnya terlibat lebih jauh ranah – ranah keilmuan. Memory yang bisa didefinisikan sebagai Hasil dari Wacana yang sudah menjadi milik publik yang ditandai akan pergeseran/pendalaman/penolakan akibat proses dari aksi reaksi yang muncul dengan repetitif. IAI sebagai asosiasi profesi pun dibentuk dengan sebuah setting, dengan melihat konteks apa yang terjadi disaat itu , dimana di tahun 1960 an ada instruksi dari pemerintah untuk membentuk gabungan perusahaan untuk menunaikan tugas membangun. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan konferensi seperti mungkin yang sedang kita lakukan sekarang, dan disitulah ada sebuah wacana ketidakpuasan, bahwa kedudukan perencanaan dan perancangan tidaklah sama dan tidak juga setara dengan pelaksanaan, ada harga diri yang dipertaruhkan yang berbeda dengan bisnis komersial yan gkeberhasilannya diukur dengan besarnya laba. Lalu pada waktu itu Ir. Soehartono susilo dan Friederich Silaban meneruskan pemikiran yang radikal (ketidakpuasan) tersebut dengan menggalang para arsitek muda dan mengadakan pertemuan – pertemuan lanjutan, di tahun 1959 dihadiri oleh 21 orang, dan selanjutnya di jalan wastukancana di rumah Lim Bwan Tjie, dan akhirnya di tahun 1959 tersebut muncullah Ikatan Arsitek Indonesia.
.
Hal ini adalah hasil dari sebuah kegelisahan, muncul dari yang muda, ada integrasi dari sistem dan di luar sistem, dan mereka memiliki energi / sumberdaya untuk berpikir lebih dari kebutuhan sehari – hari.
.
Salah satu konteks ekonomi yang bisa langsung terasa dalam praktik adalah bagaimana akses terhadap industri software berlisensi misal, kalau menggunakan gambar tangan itu masih gratis, namun apabila melihat dokumen autocad harga 1521 USD, sketchup 649 USD, 3dsmax 1620 USD, REvit 2425USD, Rhino 995 USD ) total satu tahun pertama dibutuhkan kira – kira 110 juta. sedangkan untuk standarisasi gaji di Indonesia, dengan 4,5 -6 jt misal untuk anak – anak yang baru lulus kira – kira sisa gaji hanya 34 juta, setelah dipotong dengan kebutuhan sehari hari. Apabila misal gaji sekitar 10 juta, baru bisa mengakses setelah 2 tahun menabung, dan setelah beli software tidak ada uang tabungan lagi. Lalu pertanyaannya bagaimana kita menjembatani hal ini. Saya ingat china memiliki software cadnya sendiri, dan pertanyaannya bagaimana hal ini bisa dibantu utuk dijembatani ? inilah konteks kita yang menjadi setting, lalu apa wacana yang perlu digelontorkan ? mungkin share resources menjadi penting, pembuatan platform yang menembus batas.

.
Jadi apabila kita semuan ada di sebuah setting dan wacana, lalu apa ritualnya ? mungkin yang penting adalah kecepatan yang menjadi kuncinya, untk merangkul elemen yang tidak hanya ceklist, berbicara antar relasi, antar wilayah, merangkum ulang relasi – relasi yang bhineka. Acara ini adalah permulaan. titik yang penting adalah merangkul yang muda, integrasi sistem, gelisah, dan memiliki energi lebih.

.
Kami di omah library berusaha sekeras mungkin untuk membentuk iklim ekosistem literasi yang baik dengan membantu penulis – penulis, mempermudah jalan, menyambung rasa antar generasi, antar librarian, pemateri, antar peserta, dari situ diharapkan bisa ada sebuah ekosistem yang mengayomi, kolaborasi, keguyuban, kerendahan hati untuk berbagi dimana yang penting adalah bagaimana teori, wacana, kritisme yang terjadi di dalam diskusi kita kali ini bisa berbuah inspirasi yang akan mewarnai lingkup praktik ataupun akademik yang mempengaruhi suasana belajar – mengajar untuk membentuk pribadi yang rendah hati dan mau selalu belajar membentuk budaya ajar mengajar yang diskursif, sebuah proses yang membuka jalan.

Perjalanan Ki Ageng Suryomentaram bisa diibaratkan sebagai analogi perjalanan Pendidikan arsitektur di Indonesia. Kondisi perkuliahan arsitektur yang hanya fokus pada kemampuan teknis seperti penanaman tugas dan tanggung jawab, etika berprofesi, estetika, budaya, dan sosial, membuat arsitek akan mengalami titik dimana ia akan mengalami kegelisahan mendalam terhadap jiwanya. Keprofesian ini akan menjadi membosankan karena berjarak dengan realitas sendiri dan menjadi pengetahuan normatif saja karena hilangnya kerendah-hatian oleh karena itu mari bersama – sama merajut dengan bergotong – royong, Ohana means family, family means nobody gets left behind or forgotten.

Saya berbicara mengenai refleksi di acara diskusi pendidikan arsitektur.
menit 2.58 – 3.08
Kategori
blog book writing tulisan-wacana

Rentang Asa dalam Ragam Rona Nusantara yang Terselubung

“…the man who regards his life as meaningless is not merely unhappy but hardly fit for life.” (Albert Einstein)

Victor Frankl menghabiskan waktu 3 tahun di dalam kamp konsentrasi. Ia menyaksikan bagaimana anak dan istrinya dibunuh di dalam kamp konsentrasi tersebut. Ia sendiri menghabiskan waktunya dengan bercakap – cakap membuat simulasi mengenai ruang kelas, tempat ia sedang memaparkan sebuah materi ke murid – muridnya. Materi tersebut adalah sebuah terapi terhadap dirinya sendiri, namanya logotherapy. Logotherapy adalah Konsep yang didasarkan pada premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian yang menjadi dasar pemikiran) bahwa kekuatan motivasi utama seorang individu adalah untuk menemukan makna dalam hidup.Semangat yang muncul di dalam kuliah Nusantara hadir seperti bayi mungil yang tanpa pretensi, ia lahir dengan kekuatan cinta, sebuah keinginan untuk merekonsiliasi, memperbaiki, membangun semangat Arsitektur di Indonesia.

Semangat yang muncul di dalam kuliah Nusantara hadir seperti bayi mungil yang tanpa pretensi, ia lahir dengan kekuatan cinta, sebuah keinginan untuk merekonsiliasi, memperbaiki, membangun semangat Arsitektur di Indonesia. Lagu terima kasih Ayla adalah lagu yang digubah Jaya Suprana untuk istrinya Ayla sebagai ungkapan terima kasih dan puji syukur.

Di dalam perenungan mengenai Nusantara setidaknya ada sebuah ide bahwa Indonesia yang dikaitkan Nusantara adalah negara besar, ada sebuah ide bahwa Indonesia yang dikaitkan Nusantara sebenarnya bagian dari sebuah tatanan yang lebih besar lagi, dan ada ide juga bahwa Indonesia tidaklah besar – besar amat. Saya percaya bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan sebuah ide adalah sebuah awalan, yang membantu untuk menggulirkan ritual – ritual yang lebih besar yang akhirnya bergulir menjadi kenyataan – kenyataan baru. Tanpa adanya ide kita tidak bisa maju jalan dan Frankl pun tidak akan bisa merekonsiliasi trauma yang dialaminya.

Ada kontradiksi di lukisan School of Athens yang dilukis oleh Raphael juga perjalanan hidup Suryomentaram. Di lukisan Raphael Terlihat figur Plato yang menaikkan tangannya dan Aristoteles yang menurunkan tangannya menunjukkan pentingnya bagaimana berpikir fundamental, atau mengakar, berbasis pada pengamatan lapangan. Berpikir fundamental ini di dalam definisinya adalah bagaimana menemukan akar dari sebuah hal yang sedang dibahas. Hal ini terkait dengan radix atau berpikir radikal. Untuk konteks Indonesia yang terajut dengan berbagai silang budaya, hal ini terlihat dari perjalanan Suryomentaram untuk melepas gelar kebangsawanannya dan berteman dengan rakyat jelata, menikmati realitas sosial yang tidak berjarak. Proses meniadakan ini mewarnai dinamika aksi reaksi yang menelurkan sikap filsafati yang berkelindan terhadap aksi reaksi diri pribadi dan kosmologi yang lebih luas sampai ke tataran negara dan dunia, disinilah muncul kekuatan sikap untuk mendapatkan fundasi yang kokoh dan dahsyat.

Berpikir radikal adalah sebuah fundasi, sebelum bisa menerapkan bagaimana berpikir kritis. Pembahasan pengetahuan yang ilmiah, ini dimulai dari Yunani dengan berusaha untuk menjelaskan dasar teori sebagai sebuah takaran intelektualitas, dimana kebudayaan pra sejarah Mesir – Mesopotamia, Sumeria, Babilon, dan India masih di ranah Mistis – Praktis. Di dalam kebudayaan di Yunani, sifat ilmiah dari sebuah pengetahuan muncul karena mengandung hal – hal yang pasti. Dimana terbagi ke dalam dua kutub yang dibahas di atas, Plato dengan pengetahuan yang universal dan Aristoteles dengan menjelaskan mengapa “the why”.

Di dalam buku Nusantara yang ditulis oleh Abidin Kusno (bisa dipesan disini) penelisikan “the why” dituliskan oleh Suwardana Winata di prolog dan Mohammad Nanda Widyarta di epilog. Suwardana melihat bahwa keterkaitan pembentukan brand di dalam dunia digital berpotensi memundurkan perkembangan keilmuannya.

Suwardana menulis “Arsitektur Nusantara dalam perdebatannya, secara terus menerus dicari dan diungkap dengan berbagai konteks pemikiran maupun filosofi serta perancangannya. Berbagai pendekatan dan metodologi digunakan untuk mencari atau mengungkap Arsitektur Nusantara itu. Dalam era digital, pencarian arti Arsitektur Nusantara dapat menghasilkan berbagai kemungkinan, akibat pembentukkan opini (tafsir opini). Pembentukkan opini ini  dapat “nyasar”, dengan hanya menjadi brand atau label bahkan hanya sebuah tag. Dalam era yang didominasi visual ini,  peran label ini memiliki pengaruh besar dalam membangun opini publik bahkan pembentukkan pengetahuan Arsitektur Nusantara. Perjalanan Arsitektur Nusantara, perlu terus “dikembangkan” dari berbagai arah, sehingga Arsitektur Nusantara tidaklah dapat didefinisikan sebagai “single” Selain itu perlu juga diperhatikan dengan opini “Arsitektur Nusantara” …oleh para star atau publicist digital yang akan menjadikan Arsitektur Nusantara hanya sebagai trend yang sifatnya sangat temporer dan meaningless.”

Di satu saat pada waktu saya memberikan kuliah di Universitas Udayana Bali, saya bertemu dengan Pak Josef Prijotomo, ia menitipkan satu manuskrip yang ketika saya buka, tulisannya seperti tulisan seorang penutur. Isinya tidak terstruktur, dan saya jujur saja kesulitan untuk menatanya. Akhirnya saya putuskan bahwa kami perlu menghabiskan waktu untuk berbincang- bincang dan membahas kuliah tersebut, sehingga saya masih belum bisa melanjutkan untuk menyunting manuskrip tersebut. Pada dasarnya, manuskrip itu perlu diolah kembali terutama dengan referensi apa ia akan dipadu padankan, banyak referensi yang belum jelas apakah itu hasil dari ekspedisi ataukah dari tutur – tuturan Pak Josef sendiri, dari situlah muncul sebuah dialog tentang, premis, pembuktian lapangan dan dasar teori yang digunakan. Disinilah masalahnya namun juga disinilah potensinya. Manukrip tersebut masih membutuhkan orang – orang yang perlu turun tangan untuk meneruskannya, wacana yang digagas beliau sebenarnya adalah wacana kritisisme yang dimulai dari refleksi hidupnya, dan semangat tersebut diperlukan untuk diteruskan, ditransformasikan ke dalam energi yang baru kembali.

Potensi seperti gambaran daya juang yang menjadi hulu ledak, neuron – neuron perjuangan di dalam kepala, hati dan kaki-tangan orang – orang yang sedang memperjuangkan pemikirannya untuk apa yang dicintai. Semangat daya juang ini menular, membuat rasa gairah yang tinggi, sebuah proses cinta. Proses tersebut pastilah melibatkan rasa benci, rasa suka, jarak dan tanpa jarak. Potensi ini muncul di dalam sebuah bentuk paguyuban.

Lain lagi potensi, lain lagi masalahnya, masalahnya muncul di dalam komunitas ilmiah dimana di dalam proses pembuktian proses berteori, yang dihindari adalah bagaimana proses penyusunan teori menjadi dasar dari proses berideologi. Dimana proses berideologi tersebut perlu untuk diungkapkan apa posisinya, apa urgensinya dan keputusan sejauh mana sang pemikir bisa menjaga jarak dari teorinya sendiri untuk bisa diuji oleh komunitas ilmiah.

Victor Frankl menulis Man’s Search for Meaning di dalam rekonsiliasinya terhadap penindasan yang dialaminya. Rekonsiliasi pemikiran ini terpancar di dalam proses kuliah Nusantara yang ada di Omah Library. Frankl menulis mengenai 3 tahap bagaimana seseorang bisa menemukan makna di dalam hidup. Pertama, dengan membuat karya atau melakukan perbuatan. Hal pertama yang dilakukan Jerman untuk bisa merekonsiliasi setelah perang dunia kedua adalah mengakui kesalahan dan membuat kenangan – kenangan tersebut menjadi kenyataan dengan banyaknya situs museum yang dibangun sebagai sarana refleksi bahwa Holocoust nyata – nyata terjadi dan memberikan pelajaran mahal mengenai korban yang muncul. Hal ini juga muncul tersirat di dalam diskusi yang muncul justru setelah pemaparan Abidin Kusno yang bisa dilihat di lembar lampiran.

Kedua, dengan mengalami sesuatu pengalaman baru atau bertemu orang lain. Pentingnya untuk bisa terhubung dengan orang lain, atau fakta – fakta baru bisa membuat kenyataan yang baru. Kenyataan tersebut misal sifatnya tidak tunggal atau ganda juga tidak sederhana dan kompleks. Fumihiko Maki perlu membuat teori Investigations in Collective Form, untuk mengantarkan kedahsyatan Jepang di dalam pembentukan teori yang akhirnya menyemangati munculnya gerakan kontemporer selanjutnya di Jepang yang mempengaruhi dunia barat . Hal ini juga ditunjukkan Bernard Rudofsky dengan penyingkapan arsitektur tanpa arsitek di tahun 1960 an dimana ia melakukan investigasi dan menelurkan pemikiran arsitektur tanpa turunan.

Ketiga, sikap yang kita ambil sebagai respon terhadap penderitaan yang tak terhindarkan. “Keadaan ini dipicu oleh trauma yang dihadapi setiap harinya di dalam kamp konsentrasi. Pentingnya keterbukaan di dalam melihat sebuah permasalahan. Perbedaan sudut pandang filsafati adalah, bagaimana medekonstruksi cara berpikir yang kaku dan merelasikan kedalam kebenaran yang situasional. Relasinya seperti, kekayaan situasional budaya, ekonomi, sosial di Indonesia misal, begitu kaya. Pemikiran filsafati berguna untuk menemukan akar keilmuan, proses perjalanannya seperti masuk ke hutan rimba yang pekat dan gelap diantara paradoks pandangan yang ideal dan pandangan yang fundamental. Perjalanan tersebut dimulai dari mempertanyakan hutan tersebut, dengan melihat gambaran besar hutan – hutan yang ada, dan apa sih hutan yang mau kita jalani ? terlebih lagi hal ini mempertanyakan apa yang kamu mau cari, passion apa yang kamu mau cari ? ataukah ada yang ingin dibuktikan ataupun sebenarnya tidak perlu membuktikan apa – apa. Pemikiran filsafati sebenarnya menjanjikan sebuah proses kedewasaan berpikir untuk menguraikan kekusutan terminologi, sebuah pemikiran yang terbuka (open ended) seperti kutipan diatas. sebuah progresi yang regresif, di satu sisi ia menjanjikan progress akan kedewasaan, disatu sisi mendefinisikan arti sebuah progresi dan regresi. Bahwa pada akhirnya, memahami maju mundurnya cara berpikir membuat tidak ada yang tidak mungkin di dalam alam pikir. Pertanyaannya apakah Nusantara patut untuk diperbincangkan ?

Melihat Indonesia yang sedang membangun dirinya, terkadang kita mungkin perlu bertanya – tanya di dalam kecepatan yang demikian pesat, bisakah kedua potensi dan masalah tersebut berdialog menjadi sebuah alfa (awal) dan omega (akhir). Kedua hal tersebut jelas – jelas sama – sama memiliki posisi masing – masing, dan saya pikir keduanya sedang mencari makna untuk kehidupannya masing – masing. Makna untuk rekonsiliasi trauma di dalam perjalanannya, penindasan, dan keleluasaan yang terjadi di dalam kehidupan setiap orang terpancar, terpantul dan terefleksi di dalam tata laku.

Melihat Indonesia yang sedang membangun dirinya, terkadang kita mungkin perlu bertanya – tanya di dalam kecepatan yang demikian pesat, bisakah kedua potensi dan masalah tersebut berdialog menjadi sebuah alfa (awal) dan omega (akhir). Kedua hal tersebut jelas – jelas sama – sama memiliki posisi masing – masing, dan saya pikir keduanya sedang mencari makna untuk kehidupannya masing – masing. Makna untuk rekonsiliasi trauma di dalam perjalanannya, penindasan, dan keleluasaan yang terjadi di dalam kehidupan setiap orang terpancar, terpantul dan terefleksi di dalam tata laku.

Abidin Kusno membuka kuliah pertama dengan sebuah tema reposisi, hal ini diperlukan untuk melihat Nusantara dari sudut pandang yang lebih luas. Diawali dengan Abidin Kusno, seseorang yang bisa melihat dari dalam dengan relasinya dengan Nusantara dan juga dari luar. Dalam kuliah wacana Nusantara: Reposisi, Abidin Kusno menampilkan 5 posisi/konsepsi nusantara, mencoba menunjukkan “nusantara” dalam sebuah konstruksi yang tidak lepas dari konteks suatu ruang dan waktu, politik negara, dan imaginasi intelektual & arsitek. Ia menjelaskan bahwa kelima posisi ini bisa saling berkelindan meskipun ada kontradiksi di antara mereka. Misalnya yang 1 & 2 itu tipis garis pemisahnya dan 3, 4, 5 erat hubungannya meskipun tekanannya berbeda.
1. Melalui Gajah Mada The Periferi: tanah di sebrang lautan (dari subjektivitas sebuah pusat). Dalam kehidupan zaman Majapahit, arsitektur nusantara mengandung 2 pengertian: arsitektur tanah sebrang/luar negeri, dan arsitektur pan-Majapahit style, atau mungkin sebuah empire style?
2. The Geo-body Melalui perspektif nation-state. Integrasi: penyatuan konsentris. Merupakan sebuah posisi yang berakhir dengan meng-nasionalisasikan nusantara. Menjadi ekspresi anti-kolonialisme dan legitimasi bagi formasi negara.
3. Melalui pengaruh austronesia Maerupakan konsep Aquatic space: yang berdasarkan aliran/arus/air. Posisi ketiga ini menjadi simbol tradisi bahari yang telah lama mengalami marginalisasi.
4. Melalui Denys Lombard Beyond the Nation-State. Yang dimaksud adalah posisi nusantara sebagai Persilangan: Hibrida budaya. Misal pada akhirnya ada yang klaim nusantara itu milik Indonesia atau Malaysia, tidak masalah, tapi tetap saja formasi budaya dari kedua negara ini adalah nusantara. Nusantara menjadi ungkapan kosmopolitanisme.
5. Melalui Josef Prijotomo Resistensi: Perlawanan dalam Kesetaran. Gerakan nusantara terjadi pada saat ada tekanan dari budaya hegemoni global yang cenderung memarginalisasikan sumber lokal. Sebagai perlawanan, nusantara diletakkan dalam posisi yang setara dengan kekuatan lain.

Pada akhirnya, Abidin Kusno merasa bahwa nusantara itu adalah istilah dimana keadaan ‘struggle over culture’ terjadi. Dan diharapkan lahir berbagai positioning lain sehingga membentuk sebuah himpunan yang beragam. Setelah itu kuliah disambut oleh 10 orang lain yang membicarakan arsitektur nusantara di dalam 10 buah perjuangan yang berbeda, dengan definisinya sendiri tentang Nusantara.

Di dalam Omah Library kami mengambil Nusantara untuk melihat apa yang penting dari kata tersebut, sejauh mana dampaknya untuk diperbincangkan, lalu pertanyaannya sejauh mana hal ini relevan di dalam komunitas – komunitas atau pribadi – pribadi yang saling berkelindan di dalam diskusi di Omah Library. Abidin Kusno mengambil 5 buah reposisi yang berbeda di dalam melihat Nusantara. Reposisi yang terakhir adalah latar belakang mengapa kuliah wacana Nusantara ini digulirkan.

Terkadang setelah acara saya menelpon Pak Josef untuk menanyakan pendapatnya, untuk melihat situasi yang mengukung beliau, apa perasaan beliau dengan pertanyaan, pernyataan yang satu dua hal terdengar mengadili dengan pretensi dari pihak yang berdiskusi. Hal ini saya lakukan karena beliau adalah orang yang patut diapresiasi dengan pencurahan seluruh energi hidupnya di dalam penyebaran dan kelahiran Arsitektur Nusantara. Ada beberapa kemungkinan – kemungkinan muncul di dalam diskusi yang dilakukan di Omah Library, mengenai bagaimana forum diskusi dan pemateri memaknai kekayaan dinamika budaya yang mewarnai wacana Nusantara di arsitektur Indonesia ke depannya.

  1. Munculnya diskusi yang kritis hasil dari pertemuan antargenerasi atau antarpengalaman orang – orang yang gelisah. Ada benang merah bahwa ketakutan yang muncul adalah wacana komersialisasi ataupun kompetisi yang mendegradasi perjuangan akan mencintai arsitektur tersebut. Dengan melihat akar permasalahan yang muncul, setidaknya bisa dipisahkan kompetisi dan komersialisasi dari perbincangan Nusantara yang lebih serius. Ataukah memang perlu ada dewan pengawas Nusantara untuk meregulasi bagaimana komersialisasi dan kompetisi Nusantara ini diturunkan ke ranah praktis. Saya harap tidak karena dasar filsafati yang terbaik adalah bagaimana membawakan diri dengan tepat, ketepatan ini ditunjukkan dengan suri Tauladan, memberikan ruang gerak pada penerus yang masih muda dan gelisah.
  2. Hubungan guru murid yang kental antara beberapa pembicara dengan Pak Josef Prijotomo. Keambiguannya terlihat dan terus muncul, meskipun diklarifikasi oleh beberapa orang yang membuat definisi – definisinya masing – masing dan berkelit dari hubungan yang memang nyata terjadi. Di dalam perdebatan Arsitektur Nusantara, saya masih melihat bahwa ada potensi luar biasa, hanya saja mungkin tongkat estafet itu sendiri perlu disibakkan oleh generasi penerusnya. Di antara hubungan guru murid tersebut, terlihat bahwa Pak Josef sendiri seakan – akan menantang murid – muridnya sekaligus memberi restu antara rasa euwuh pekewuh sekaligus kecintaan terhadap murid – muridnya. Hal ini perlu digawangi mungkin dengan kekuatan literasi.
  3. Adanya kesepahaman bahwa proses berpikir kritis diperlukan dengan saya tambahkan sebuah kebijaksanaan untuk merangkul orang yang tua dan yang muda dengan menjaga jarak dari hegemoni politik yang tidak diperlukan. Untuk itu pihak yang sadar (atau mudahnya bisa diinisiasi dengan Omah Library dan Jaringan Arsip Arsitektur Indonesia yang diinisiasi Mohammad Cahyo Novianto) perlu membantu menggawangi pendekatan akar rumput dari muda dan tua, antargenerasi hal ini dilakukan dengan bingkai acara perjalanan mengenal Indonesia dimana ini adalah usaha untuk merangkul orang – orang yang sudah mendokumentasikan arsitektur vernakular Indonesia untuk disebarkan dan memperkaya literasi arsitektur vernakular di Indonesia. Kita semua perlu bersatu bukan tercerai berai, untuk bersatu tersebut ditunjukkan dengan tauladan yang baik dengan menghindari pretensi yang muncul dalam menuangkan pemikiran.

Mari melangkah, banyak isu – isu lain yang layak dibahas seperti isu lingkungan, gender, ras, ekonomi kerakyatan, studio desain, dan banyak lagi. Mungkin kita akan bisa mendefinisikan Nusantara kembali setelah kita berjalan dan mengalami sebuah perjalanan ke empat penjuru dunia Barat-Timur, Utara-Selatan untuk mendapatkan kompas di dalam menjalani reposisi yang muncul di kemudian hari. Untuk menunggu hari itu tiba, mari kita mulai dengan Abidin Kusno, sebuah reposisi akan wacana Nusantara. Saya pikir jarak diperlukan untuk melihat bagaimana kedahsyatan Arsitektur Nusantara, energi yang mewakili salah satu dinamika arsitektur Indonesia.

Untuk menutup keseluruhan sesi ini, ijinkan saya meminjam pernyataan Mohammad Nanda Widyarta yang dituliskan ke dalam epilog buku,

Nanda menulis, “Menurut hemat saya, bila Arsitektur Nusantara kehilangan aspek perlawanan ini, maka ia akan menjadi kajian yang “itu-itu saja.” Maksudnya, ia masih juga terjebak dalam pengetahuan sebagaimana didefinisikan berdasarkan sudut pandang si pemilik hegemoni. Penggunaan istilah seperti “kearifan lokal” misalnya, masih menyiratkan adanya hegemoni dalam pemikiran si pemikir/periset. Arsitektur Nusantara sepatutnya bertindak sebagai pengingat bahwa ada banyak arsitektur-arsitektur lain di dunia yang juga patut diangkat.”

Dengan selesainya epilog dari Mohammad Nanda Widyarta di buku Nusantara kita bisa bersama – sama mengucapkan :


Hi semesta, ayam sudah berkokok berulang kali, selamat pagi, mari berjalan !

Dan pada akhirnya, saya perlu mengucapkan terima kasih terutama kepada Abidin Kusno yang mau berjibaku untuk mereposisi sebuah terminologi Nusantara dan memberikan tongkat estafetnya kepada kami – kami melalui Omah Library. Terima kasih juga kepada 10 pembicara yang sudah meluangkan waktunya untuk menyumbangkan 10 jembatan pemikiran reposisi lanjutan dari kuliah Abidin Kusno. Kesepuluh orang tersebut adalah Indah Widiastuti, Eka Swadiansa, Robin Hartanto, Mohammad Cahyo Novianto, Anas Hidayat, Revianto Budi Santosa, Mitu M. Prie, Defry Ardianta, Altrerosje Asri Ngawi, dan Johannes Adiyanto. dari kesepuluh orang tersebut kita memulai konstruksi pemikiran yang terbuka, rajutan pembangunan konstruksi yang sehat.

Terima kasih terbesar ada di Kirana Ardya Garini yang sudah membantu menyimpulkan kuliah demi kuliah, menemani di dalam sesi – sesi yang ada di dalam Nusantara, mengkordinasikan dan menjadi jembatan untuk banyak pihak. Juga kepada Satria Agung Permana, Amelia Mega Djaja, Dimas Dwi Mukti Purwanto untuk teman berdiskusi tanpa henti di dalam Omah Library, jembatan yang terakhir ini adalah doa untuk mereka berempat menjadi mata air baru untuk arsitektur Indonesia.

Dengan selesainya epilog dari Mohammad Nanda Widyarta di buku Nusantara kita bisa bersama – sama mengucapkan :

Hi semesta, ayam sudah berkokok berulang kali, selamat pagi, mari berjalan !
Publikasi buku yang dibuat oleh tim Omah Library, Tulisan ini berjudul Rentang Asa dalam Ragam Rona Nusantara yang Terselubung, atas dasar usulan Jolanda Atmadjaja untuk menanti – nanti kekuatan semesta terkait dinamika budaya yang melingkupi kebaikan setiap orang untuk selalu berproses dalam perjuangannya masing – masing.

Omah library dengan bangga mengeluarkan buku baru berjudul Nusantara: Reposisi
.
Masa mendekati perayaan 75 tahun merdekanya Republik Indonesia ini adalah saat yang tepat untuk menelusuri kembali imajinasi kita tentang negara, tak terkecuali juga hubungannya dengan ruang, makna, dan sejarah. Penelusuran tersebut kerap kali berujung dengan pertanyaan seputar “bagaimana kita memaknai Nusantara?”

Pemesanan buku @omahlibrary dapat melalui link di bio bit.ly/OrderOMAH atau hubungi Vivi (WA) 08998898239

Kategori
blog tulisan-wacana

Cermin Aku

Baru saja kemarin saya bertemu dengan teman saya Eric Dinardi, dan klien saya yang sudah seperti keluarga saya, Djonny Taslim. Pertemuan itu berlangsung karena rumah Djonny Taslim yang saya panggil om di Danau Biru, akan difoto oleh Eric Dinardi. Pagi itu Eric sudah melakukan sesi foto di pagi hari, dan saya baru datang.
.
Saya menyapa Eric dan Om Djonny, dan membuka jalan untuk masuk ke kamar beliau yang privat, Joan (istri Eric) menyemprotkan disinfektan, dan membantu menata, merapihkan perabot dibantu oleh asistennya. begitulah proses yang berlangsung ketika pemotretan, terlihat mudah tetapi membutuhkan persiapan.
.

Setelah pemotretan di kamar Om Djonny selesai, kami semua dipersilahkan untuk makan pagi bersama, sementara Om Djonny bersiap – siap untuk mandi karena akan berangkat kerja. Di meja makan disediakan bakmi 1 porsi, dan bihun 2 porsi. Om Djonny bertanya “kamu mau yang mana Rich ?” saya bilang, saya bihun saja om, supaya Eric dan Joan bisa saling mencicipi masakan yang berbeda. Setelah itu kami makan dan Om Djonny mempersiapkan dirinya, setelah menyetel lagu dengan speaker yang disiapkan dari dalam rumah.
.
Ketika kami makan, awal mulanya Eric mempertanyakan hal – hal yang fundamental, seperti “pernah kepikiran ngga sih ? saya ini maunya mencari apa ?” saya sebenarnya bingung darimana Eric bisa mendapatkan pertanyaan seperti itu. Hal ini seperti komposisi yang dimainkan oleh Ravel S. Gunardi dengan karya Victorious dari Levi Gunardi bahwa ada hal yang memuncak, sebuah keinginan untuk memurnikan diri. Diskusi kemudian berlanjut ke hal – hal seperti pendalaman diri, karya, dan pentingnya metode, skill untuk mempertajam karya, sampai satu saat Om Djonny Taslim bergabung duduk di meja makan. Saya kemudian mengarahkan pertanyaan ke beliau, dan meminta beliau mengeluarkan pendapatnya mengenai pendalaman diri, desain, arsitektur, fotografi sampai industri. Ia membuka diskusi dengan sebuah kalimat,

Ketika kami makan, awal mulanya Eric mempertanyakan hal – hal yang fundamental, seperti “pernah kepikiran ngga sih ? saya ini maunya mencari apa ?” saya sebenarnya bingung darimana Eric bisa mendapatkan pertanyaan seperti itu. Hal ini seperti komposisi yang dimainkan oleh Ravel S. Gunardi dengan karya Victorious dari Levi Gunardi bahwa ada hal yang memuncak, sebuah keinginan untuk memurnikan diri.
foto bersama Eric dan Joan bertemu dengan Djonny Taslim. Diskusi kemudian berlanjut ke hal – hal seperti pendalaman diri, karya, dan pentingnya metode, skill untuk mempertajam karya, sampai satu saat Om Djonny Taslim bergabung duduk di meja makan. Saya kemudian mengarahkan pertanyaan ke beliau, dan meminta beliau mengeluarkan pendapatnya mengenai pendalaman diri, desain, arsitektur, fotografi dampai industri. Ia membuka diskusi dengan sebuah kalimat,

“Jadi terkenal salah, ngga terkenal pun salah.”

Ia menjelaskan bahwa sebenarnya kami perlu mempertanyakan apa yang kami mau raih, di antara menjadi terkenal ataupun tidak terkenal, ada maksud masing – masing yang kontekstual dengan kebutuhan dan keinginan, juga persiapan. Ia berkata bahwa, penting untuk memiliki kawan untuk bertukar pikiran, jangan maju gegabah ke sebuah peperangan, menjadi terkenal ataupun tidak terkenal tidak masalah asalkan ada kebersamaan. Segala hal perlu disiapkan, sistematika pemikiran, ekonomi, hubungan relasi, dan hal – hal yang mendasar supaya begitu kamu terjun, kamu akan berprestasi. Dan pada akhirnya ia menitipkan ke kami, dan ingat tidak semua orang bisa menghargai karya kamu, yang terpenting, kamu harus bisa menunjukkan kenapa satu karya itu lebih unggul dari yang lain, dengan bukti, dan semua pembuktian itu membutuhkan waktu.

Batu Andesit yang disusun dengan pengaturan yang natural, kesan tidak teratur namun teratur, pola dalam kebersahajaan sesuai dengan karakter kesederhanaan. Dan pada akhirnya ia menitipkan ke kami, dan ingat tidak semua orang bisa menghargai karya kamu, yang terpenting, kamu harus bisa menunjukkan kenapa satu karya itu lebih unggul dari yang lain, dengan bukti, dan semua pembuktian itu membutuhkan waktu.
Foto bersama Djonny Taslim di rumah yang didesain di Danau Biru, sebuah konsep rumah kommunal yang dilanjutkan di dalam konsep rumah di Bukit Golf, mengenai hidup bersama – sama, sebuah konsep harmoni. Pertemuan kali ini berlangsung kira – kira hari rabu, 3 hari yang lalu. Saya masih mengendapkan, bahwa memang kami, Eric, Om Djonny, dan saya sendiri, berelasi dan kami perlu untuk saling mendukung satu sama lain, dan hal tersebut diwarnai saat – saat makan bersama di pagi hari di Danau Biru.

Pikiran saya kembali ke masa 2011, rumah Om Djonny dibangun dalam jangka waktu hampir 5 tahun, dan 9 tahun kemudian, baru kami berkumpul bersama, dan Eric ada disitu untuk memotret bagaimana rumah ini selesai dari tahun 2017. Waktu menjawab soal kualitas relasi, keutuhan, dan rasa kesabaran dari hanya hubungan klien dan arsitek. Pertemuan itu berlangsung kira – kira hari rabu, 3 hari yang lalu. Saya masih mengendapkan jawaban dan pertanyaan yang muncul, bahwa memang kami, Eric, Om Djonny, dan saya sendiri, berelasi dan kami perlu untuk saling mendukung satu sama lain, dan hal tersebut diwarnai saat – saat makan bersama di pagi hari di Danau Biru.
.
Sore ini Laurensia mengirimkan cerita ini ke saya :
.
Seorang Anak Muda sedang membersihkan aquarium Paman nya, ia memandang ikan arwana agak kebiruan dengan takjub..
Tak sadar Pamannya sudah berada di belakangnya .. “Kamu tahu berapa harga ikan itu?”. Tanya sang Paman..
.
“Tidak tahu”. Jawab si Anak Muda..
.
“Coba tawarkan kepada tetangga sebelah!”. Perintah sang Paman.
.
la memfoto ikan itu dan menawarkan ke tetangga .. Kemudian kembali menghadap sang Paman.. “Ditawar berapa ?” tanya sang Paman. .
“50.000 Rupiah Paman”. Jawab si Anak Muda dengan mantap.
.
“Coba kau tawarkan ke toko ikan hias!!”. Perintah sang Paman lagi.
.
“Baiklah Paman”. Jawab si Anak Muda. Kemudian ia beranjak ke toko ikan hias..
.
“Berapa ia tawar ikan itu?”. Tanya sang Paman.
.
“800.000 Rupiah Paman”. Jawab si Anak Muda dengan gembira, ia mengira sang Paman akan melepas ikan itu.
.
“Sekarang coba kau tawarkan ke Juragan Joni Rahman (nama – penamaan cerita ini tidak ada kaitan dengan Djonny Taslim ataupun siapapun, saya hanya menampilkan mentah – mentah cerita yang dikirimkan Laurensia)

, bawa ini sebagai bukti bahwa ikan ini sudah pernah ikut lomba”. Perintah sang Paman lagi. “Baik Paman”. Jawab si Anak Muda. Kemudian ia pergi menemui Pak Joni yang dikatakan Pamannya. Setelah selesai, ia pulang menghadap sang Paman.
.
“Berapa ia menawar ikannya?”. “50 juta Rupiah Paman”.
la terkejut sendiri menyaksikan harga satu ikan yang bisa berbeda-beda.
.
“Nak, aku sedang mengajarkan kepadamu bahwa kamu hanya akan dihargai dengan benar ketika kamu berada di lingkungan yang tepat”. “Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenal kita”. “Kita adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita”. “Kita istimewa dalam penglihatan orang-orang yang mencintai kita”. “Kita ada lah pribadi yang menjengkelkan bagi orang yang penuh kedengkian terhadap kita”. “Kita adalah orang jahat di dalam tatapan orang-orang yang iri akan kita”. Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing masing terhadap kita, maka tak usahlah bersusah payah supaya kelihatan baik dimata orang.

Tapi berusahalah terus melakukan kebaikan dan menjalankan apapun dengan keikhlasan.

Refleksi ini muncul secara paralel di dalam wacana perbincangan arsitektur soal Nusantara dari Altrerosje Asri dan Johannes Adiyanto soal pentingnya membuka diri dan pentingnya merendahkan hati untuk bercermin kepada situasi – situasi yang membuat manusia perlu untuk beradaptasi dan mempertanyakan pemikirannya sendiri, bahwa perubahan itu ada, tidak ada yang sempurna, mari belajar kembali. Dari mereka berdua ada sebuah kegelisahan untuk melangkah maju, termasuk dialog dengan Eric Dinardi dan Djonny Taslim, termasuk Joan.

Cerita – cerita di atas ini setidaknya membuktikan satu hal, bahwa terkadang waktu bisa menjawab segalanya, dan memang Tuhan bekerja dengan caranya yang indah dan misterius untuk mempertemukan jiwa – jiwa yang gelisah.

Cerita – cerita di atas ini setidaknya membuktikan satu hal, bahwa terkadang waktu bisa menjawab segalanya, dan memang Tuhan bekerja dengan caranya yang indah dan misterius untuk mempertemukan jiwa – jiwa yang gelisah.


Lalu ada suara yang hangat menyapa,

“makanya bangun, dan hari ini jangan lupa berdoa ya, dan membuka dirimu terhadap hal – hal yang baru”

Kategori
blog tulisan-wacana

Jalan yang Sepi

Minggu depan, kuliah S3 dimulai. Ada 3 mata kuliah yang saya ambil, pertama adalah mata kuliah wajib metodologi penelitian yang diampu oleh Professor Iwan Sudrajat, dan kolokium yang diampu oleh Professor Sugeng Triyadi, dan Dr. Ir. Himasari Hanan. Yang kedua adalah filsafat ilmu pengetahuan yang diampu Professor Bambang Sugiharto.

The Road Not Taken – Jalan yang tidak diambil, Puisi dari Robert Frost.

Yang menarik adalah kenapa saya mengambil studi S3 ini, apakah ada waktunya ? lalu apa yang dicari ? Saya ingat satu kawan taruhlah namanya Abramovic menanyakan, atau bukan menanyakan tapi memberikan pernyataan yang cukup aneh mungkin terkesan punya presumsi tertentu,

“elo niat banget sih – semua mau – kantor mau / bikin buku mau / anak banyak mau / sekolah terus mau hehehehee 👍🏼👍🏼👍🏼👏🏼👏🏼👏🏼”

mungkin pernyataan pertama “kantor mau” itu muncul dari observasi kawan saya ini bahwa saya sudah membuat studio Realrich Architecture Workshop (dikenal dengan nama RAW Architecture), dimana studio tersebut adalah tempat saya dan anak – anak saya bereksperimen. Kami berusaha untuk terus bereksplorasi, bertanya, dan mencoba mencari tahu mengenai kemungkinan – kemungkinan eksplorasi. Menurut saya yang menarik adalah membongkar kondisi kata “mau” sebagai predikat dan objectnya “kantor”.

Pernyataan kedua “bikin buku mau”, lebih kepada observasi kawan saya ini akan saya dan kawan – kawan sudah membuat beberapa buku di Omah Library, tempat dimana kami membuka wacana – wacana yang diskursif. Dimana buku – buku tersebut adalah hasil dari proses dialog – dialog yang ada, satu arah, dua arah, ataupun tiga arah, arah – arah tersebut ada di dalam perspektif orang yang lain yang dibangun dengan repetisi yang saling membangun.

Pernyataan ketiga “anak banyak mau”, berkaitan dengan kelahiran Heaven anak kami yang kedua (lihat artikel “Heavenrich Selamat Datang Surga”), setelah beberapa kali mencoba dan tidak kunjung berhasil. Disini mungkin perlu dilihat perjuangan Laurensia di dalam menahan suntikan demi suntikan, ataupun, proses – proses kehilangan buah hati kami yang membawa rasa syukur akhirnya Heaven lahir dan menjadi kesayangan kakaknya juga.

Pernyataan keempat “sekolah terus mau”, muncul dari observasi terhadap kemauan untuk bersekolah (saya coba balikkan kalimatnya). Hal ini dikaitkan dengan mungkin usaha mahasiswa untuk mendapatkan gelar S “3 (atau saya simpelnya berbicara kadang es tung tung)” dimana hal tersebut menjadi salah satu tolak ukur sebagai pengajar. Proses tersebut adalah proses menemukan diri, dengan membongkar tatanan dengan sistematis, dan menyusun ulang dengan sistematis. Bu Himasari berkata pada sebuah saat tatap muka, “S3 itu bukan proses problem solving, tapi proses menemukan ilmu baru dengan pembacaan obyek yang diteliti.”

Saya merefleksikan darimana saya mendapatkan kondisi pemikiran untuk mau bersekolah kembali untuk meneguhkan kemauan diri supaya bisa berjalan sampai selesai (titik). Mungkin saya mencari sebuah oase perhentian, tempat untuk berpikir, berhenti sejenak, dan tempat untuk menilai, mendiskusikan, menambal, dan mengikis jelaga dari apa yang sudah dipikirkan, lakukan, rasakan. Mungkin manusia itu sebenarnya hanya menjadi jembatan yang berkelindan di antara dirinya dan orang lain, lalu kalau ditanya maunya apa, “kita berbagi kondisi – kondisi yang sama, dan juga berbeda, namun dari kesamaan tersebut kita bisa berbagi tentang matahari dan bulan yang sama dan meninggalkan bayangan yang berbeda – beda.

Kawan saya yang lain di satu saat Johannes Adiyanto mengirimkan pesan,

“beberapa teman yg ty sy ttg s3, selalu sy tanya, mo ngapain s3? cr pamor, ato cari apa? klo sekedar sibuk dan demi karir dosen… siap2….siap2 sakit semua badan, krn yg dikejar gak terlihat mas,perlu dari dalam sendiri, lha jenengan skrg dalamnya adalah suwung dan pasrah, ini modal, tp perlu ‘api’, ya itu tadi… pertaruhkan semuanya….” – Johannes Adiyanto

Teringat dahulu di dalam perjalanan karir di negeri Kuda Besi (kawan saya, yang lama tidak saya jumpai Marissa Aviana menyebut), dimana keputusan diambil dengan pertaruhan. Dan saya pikir, banyak orang juga mempertaruhkan banyak keputusan – keputusan dalam hidup masing – masing, dan kondisi – kondisi yang memicu pertaruhan tersebut membuat kita sedang berbagi tentang matahari dan bulan yang sama dan meninggalkan bayangan yang berbeda – beda.

Ini adalah tulisan saya sebelumnya tentang berbagi jalan, yang saya lampirkan juga puisi dari Robert Frost sebagai tempat refleksi :

SETIAP MINGGU WANITA TERBAIKKU SELALU BERANGKAT KE KLINIKNYA, TERMASUK HARI SABTU PAGI.

“Dari hari senin sampai kamis ia harus ke puskesmas, dari pagi jam 6 pagi sampai jam 9 malam. juga hari jumat dan sabtu. Terkadang kemudian kita bercerita hal – hal yang biasa, namun selalu membuat hal – hal yang biasa menjadi luar biasa dengan tertawa. Ternyata kita masih bisa tersenyum dibalik kesibukan yang luar biasa…”

The Road Not Taken – Jalan yang tidak diambil.

“Dua jalan bercabang dalam remang hutan kehidupan,

Dan sayang aku tidak bisa menempuh keduanya

Dan sebagai pengembara, aku berdiri lama

Dan memandang ke salah satu jalan sejauh aku bisa

Ke mana arahnya mengarah di balik semak belukar

Kemudian aku memandang yang jalan yang lain, sama bagusnya,

Dan mungkin malah lebih bagus,

Karena jalan itu segar dan mengundang

Meskipun tapak yang telah melewatinya

Juga telah merundukkan rerumputannya

Dan pagi itu keduanya sama – sama membentang

Di bawah hamparan dedaunan rontok yang belum terusik.

Oh kusimpan jalan pertama untuk kali lain!

Meski tahu semua jalan berkaitan

Aku ragu akan pernah kembali

Aku akan menuturkannya sambil mendesah

Suatu saat berabad – abad mendatang;

Dua jalan bercabang di hutan, dan aku,…

Aku menempuh jalan yang jarang dilalui,

Dan itu mengubah Segalanya.”Robert Frost [1916]

Dan seketika saya, tersadar, ternyata masih ada pernyataan terakhir dari kawan saya satu lagi itu yang mungkin memiliki presumsi, menyisakan Pernyataan kelima “hehehehee 👍🏼👍🏼👍🏼👏🏼👏🏼👏🏼” yang saya anggap sikap sebagai kawan dan dukungan untuk perjalanan yang akan dimulai, dengan gestur terkekeh – kekeh.

dan memang hal itu mengubah segalanya, menjadi begitu menyenangkan :) .

lalu,

“Dang Dut Time !” mumpung sepi ngga ada yang liat, hi hi. Ayo jalan, ga usah dipikirin kaya ngga ada kerjaan aja.

Es lilin adalah makanan penyegar berupa es dengan batang kayu sebagai alat untuk dipegang.Hal ini seperti permisalan seperti es (S) 1, es (S) 2, es (S) 3. sebuah bentuk yang baku seperti lilin yang dicetak siap untuk disajikan. Ia bisa mencair, yang dinikmati bersama sesuai selera. bisa jadi semakin ditambah S nya akan semakin membeku mulut kita, atau apabila dinikmati perlahan – lahan, rasa beku tersebut akan melumer dan nikmat dimulut lengkap dengan jus jeruk, durian, nangka, stroberi, kopyor, atau yang lainnya sesuai selera) yang diberi batang kayu lalu dibekukan.
Kategori
blog tulisan-wacana

Belenggu Kultural

Di dalam acara Nusantara kemarin, saya teringat saya melemparkan anekdot ke Eka mengenai,

“Ka itu Spirit 45 sebaiknya dibubarkan saja. Karena memang berbasis kepada acara tertentu, perjalanan ke Paris.”

Saya sendiri sudah tidak memiliki kepentingan disitu. Mungkin yang tersisa adalah pengembangan ide mengenai Le Corbusier bahwa kami pernah berziarah bersama. Apabila ada ide tentang pengembangan buku dan sebagainya, saya melihatnya sebagai ajang romantisme bahwa sejujurnya saya dahulu ingin supaya kami bertiga (Eka Swadiansa dan Andy Rahman) tetap berdialog dan tidak saling meninggalkan, dimana ini adalah ranah personal, bukan bisnis dan juga bukan misi tertentu.

Mempelajari sesuatu yang baru, seperti berada menelusuri tempat – tempat yang rahasia. Seperti metafora taman, “Secret Garden” yang indah, proses menelusurinya yang berkesan, setelah proses itu dilakukan, lalu sudah saatnya kita kenang lalu kita menelusuri taman – taman rahasia yang lain.

Sebagai sebuah grup, secara personal dulu Eka mengirimkan email ke saya untuk membentuk Spirit 45. Yang menarik bagi saya adalah ajakan untuk berkunjung ke karya Le Corbusier selain menyiapkan turunan dari Arsitektur Vernakular, dimana saya percaya bahwa apa yang digagas akan mampu memberikan wacana untuk kontemplasi kami di studio.

Arsitektur Vernakular adalah arsitektur dengan pendekatan perancangan yang biasa, menggunakan bahan yang dipakai sehari – hari, bentuk massa yang sederhana, kulit bangunan menggunakan kekriyaan lokal, penggunaan layout yang platonis, dan juga sistem MEP, pemanfaatan energi dan air yang mudah didapatkan, tidak mahal. Ibaratnya lekat dengan kehidupan sehari – hari, kehidupan tanpa solek. Turunan ini sifatnya memang problematis, karena perlu menggali bagaimana sistem produk bekerja di dalam perancangan yang biasa.

Sarah Edwards menulis “Arsitektur vernakular, bentuk paling sederhana untuk memenuhi kebutuhan manusia, tampaknya dilupakan dalam arsitektur modern. …merangkul tradisi regionalisme dan bangunan budaya, mengingat bahwa pemikiran ini … terbukti hemat energi dan sepenuhnya berkelanjutan. Di era urbanisasi dan kemajuan teknologi yang pesat ini, masih banyak yang dapat dipelajari dari pengetahuan tradisional tentang konstruksi vernakular. Metode berteknologi rendah untuk membuat perumahan yang secara sempurna disesuaikan dengan lokasinya adalah brilian, karena ini adalah prinsip yang lebih sering diabaikan oleh arsitek yang ada.” lihat link

Disinilah ada irisan antara kami, karena memang ada irisan terhadap apa yang dipercayai, bahwa arsitektur seharusnya bisa diturunkan dengan pendekatan – pendekatan spesifik tertentu.

Meta-Vernacular adalah teori arsitektur turunan yang dibahas di buku putih Spirit 45, sebuah terminologi yang digagas oleh Swadiansa untuk irisan kami, saya hanya berperan kecil di dalam buku itu, ia menyapa dan kami masih berkawan baik sampai sekarang. Di ranah profesionalitas bisa saja kami tidak sependapat namun tidak akan bertengkar secara personal. Ia pun masih berproses, dan saya mendukungnya secara personal. Ia melanjutkan kemudian dengan merajut Spirit 47. Teori seperti yang dibahas oleh Undi Gunawan adalah sebuah cara memandang, Meta Vernacular adalah turunan lebih lanjut daripada ranah vernakular sebagai aksi reaksi dari postmodernism. Saya sangat mendukung Eka di dalam menurunkan hal – hal ini, karena seseorang yang mengembangkan teori sangatlah jarang di Indonesia.

Setelah trip kami ke karya Corbusier di satu saat di kereta kembali ke Paris saya mengusulkan untuk membuat buku 0 dimana itu adalah buku awal mula, dan di hotel saya menelpon Anas Hidayat dari Perancis untuk memintanya menjadi penulis buku Andy Rahman karena saat itu saya sedang menulis beberapa buku dengan Anas Hidayat, dan saya pikir ia akan mudah berkerjasama dengan Andy selain ada kemungkinan kepentingan bisnis yang bisa baik untuk kedua belah pihak. Buku Nata Bata selesai, saya menantikan buku Static City dari Eka. Namun waktu dan jalan hidup berkata berbeda. Karena saya kehabisan waktu menunggu dan Eka memiliki momentum untuk mengembangkan hal yang lain.

Saya memiliki ide untuk menerbitkan beberapa hasil riset kami berupa buku – buku saya tulis beserta kawan – kawan di Omah Library, juga Anas Hidayat, dan Johannes Adiyanto hanya karena saya merasa dekat, dan ada teman seperjalanan, tidak kurang dan tidak lebih, alasannya pun cukup personal. Setahun setelahnya, saya merefleksikan kembali, banyak yang sudah dilakukan, dan didiskusikan. Bahwa ada yang tidak sejalan itu normal ataupun semuanya yang sejalan itu pun juga wajar – wajar saja, dan hubungan personal akan baik – baik saja di antara kami.

Kemudian apa yang saya takutkan bahwa Spirit 45 sebagai alat untuk agenda-agenda personal tertentu (bisnis, ketenaran, dan ambisi pribadi tertentu termasuk saya sendiri), dan saya memang pernah dan sudah jadi bagian disitu. Suka atau tidak suka disclaimer diperlukan untuk menjaga hubungan antarpersonal yang lain.

Sementara bola sudah bergulir,

jadi bagaimana ?

“Eh jangan mas, di-peti es kan saja, sampai satu saat cair kembali, atau beku selamanya.”

Satu saat kawan saya bergumam. Bisa ya ? karena sekali bergulir tidak bisa kembali itulah namanya Snowball Effect, ataupun hal tersebut sering dibahas di dalam terminologi perubahan iklim (climate change).

lalu apa. Minggir ae lah ya, ke ladang membajak sawah, berproduksi dan berhenti dan kemudian berteriak – teriak “kerja – kerja – kerja.”

Sejenak saya sadar dan bangun, bahwa belenggu kultural tercipta kembali, setiap orang punya peperangannya sendiri dan kontemplasinya sendiri, dan itu sah – sah saja. Belenggu kultural akan muncul apabila apa yang kita proyeksikan menjadi kenyataan dan hasilnya pun kita tidak akan bisa tebak arahnya kemana. Ada yang menggelinding ke ranah bisnis, ada juga ke ranah misi tertentu, ada juga ke ranah yang personal. Bola saljunya pecah ke segala arah.

Sejenak saya ingat cerita Phytagoras dimana ia harus memilih antara permainan publik, politik, permainan ketenaran dan kuasa untuk menang atau paling mudahnya, hegemoni. Seperti yang dikutip dari Simon Singh


“Kehidupan… mungkin bisa diperbandingkan dengan sebuah permainan di dalam keramaian. Beberapa orang tertarik dengan seberapa ia bisa memperoleh keuntungan, sementara yang lain tertarik oleh harapan dan ambisi akan ketenaran dan kemenangan. Tapi di antara mereka, ada beberapa yang datang hanya mengamati dan memahami semua yang terjadi di kerumunan dan lalu lalang disini.”

“Sama juga dengan kehidupan. Beberapa orang terpengaruh akan cinta akan harta dimana yang lain buta akan kekuasaan, dan keinginan untuk mendominasi. tetapi tipe manusia yang terbaik memberikan dirinya untuk menemukan arti dan tujuan kehidupan. Ia akan mencari untuk mengungkap rahasia kehidupan. Orang ini yang saya sebut, filsuf, meskipun tidak ada orang yang sepenuhnya bijaksana, ia bisa mencintai kebijaksanaan akan sebuah kunci untuk memahami rahasia alam.”

Tiba – tiba ada suara hangat kembali menyapa. Kali ini disertai dengan sentuhan halus.

“Kerja Kerja Kerja, Bangun!”

Lalu saya bangun dari mimpi, muka Miracle tepat di depan saya, Heavenpun menangis dan sepertinya semua baik – baik saja, tidak terlihat bola salju yang besar itu, mungkin saya sedang berhalusinasi.

Kategori
blog tulisan-wacana

Eh baru tahu ya, makanya Jangan asyik sendiri.

Baru beberapa minggu terakhir saya disibukkan dengan banyak pertanyaan tentang tradisi dan kekinian, kali ini tentang Arsitektur Nusantara. Ada satu mahasiswa lagi aneh – aneh saja nanya ke saya. Dari cara ia bertanya saya sudah bisa merasakan kadar kesontoloyoannya.

.
“Pak saya ngga suka sama arsitektur nusantara soalnya kok katro gitu sih pak ngga modern.”

.
Jawab saya “Lho kamu ngga boleh gitu dong masa prejudice gitu sih, memang kenapa sama arsitektur nusantara orang itu bukan bangunan desain kamu ya, silahkan saja kan kalau orang mau mendesain sebebas dia, masa kamu mau jadi polisi. “
.
Tapi kemudian saya pikir mungkin mahasiswa ini ada benarnya, lalu saya tanya lagi sama dia.
.
“Memangnya kenapa kok kamu ngga suka sama Arsitektur Nusantara ?kamu ngga suka sama arsiteknya atau karyanya. Dia menjawab ya pak, soalnya ya saya ngga melihat ada yang baru, pendekatan – pendekatannya sudah kuno kan Romo Mangun pernah membahas ini pak waktu membahas tentang AMI (maksud dia adalah Arsitek Muda Indonesia). Kan karyanya Romo juga melakukan pendekatan yang sama.”

.
Kemudian saya mengingat – ngingat, kalimat yang dituliskan almarhum Ahmad Djuhara di dalam buku AMI 2. ” Dalam salah satu acara Forum AMI…mendiang Romo Mangun menyatakan hal yang menyentak teman – teman : “Karyanya bagus, tapi kuno!” Menurutnya tidak ada temuan, terobosan, konsep baru tentang arsitektur, elemen arsitektur, program dan dalm semua skala, dari furnitur (kursi, misalnya…) sampai kota (yang menjadi mainan Le Corbusier atau Otto Wagner.” Saya mengingat satu kata yang merupakan komposisi musik yang dituliskan oleh Levi Gunardi. Dahayu dalam bahasa Sansekerta, artinya Cantik. Seperti arti nama Dahayu, ibu dan wanita memiliki peranan penting yang mengayomi. Setiap bertemu orang baru, mahasiswa didik, sisi mengayomi akan dibutuhkan untuk membantu mereka menembus batas. Untuk diayomi kita perlu mengayomi, untuk diiyakan kita perlu mengiyakan, hal ini sifatnya resiprokal.

Dahayu dalam bahasa Sansekerta, artinya Cantik. Seperti arti nama Dahayu, ibu dan wanita memiliki peranan penting yang mengayomi. Setiap bertemu orang baru, mahasiswa didik, sisi mengayomi akan dibutuhkan untuk membantu mereka menembus batas. Untuk diayomi kita perlu mengayomi, untuk diiyakan kita perlu mengiyakan, hal ini sifatnya resiprokal.

.
Kemudian, saya tersadar. “Sontoloyo” ternyata anak ini canggih juga, lalu saya tanya lagi

“jadi mau kamu apa ?”
.
Ya saya itu tertarik bukan hanya soal bentuk pak, atau nama saja, tapi bagaimana satu bangunan itu didesain secara pintar oleh arsiteknya bukan hanya mengulang – ulang jargon – jargon yang menjemukan sembari ia mengulang apa kata Romo Mangun dengan mengganti kata AMI dengan Arsitektur Nusantara.
.
Lalu gimana saya tanya ?
.
Lha iya pak kalau gitu nanti kalau saya dapat klien, saya akan buat karya saya sendiri.
.
Nah gitu dong, tunjukkan pada dunia jalan yang berbeda. Kata saya ke anak ini
.
Ia lalu berseloroh, tunggu pak saya belum selesai, dan akan saya namakan arsitektur saya Arsitektur Indonesia.
.
“Kenapa” saya tanya ke dia,
.
Iya pak Nusantara itu identik dengan kolonialisme.
.
Waduh, nak kamu baca apa aja sih.
.
Dia menjawab Wikipedia pak,

Ia lalu berseloroh, tunggu pak saya belum selesai, dan akan saya namakan arsitektur saya Arsitektur Indonesia. “Kenapa” saya tanya ke dia, Iya pak Nusantara itu identik dengan kolonialisme. Waduh, nak kamu baca apa aja sih. Dia menjawab Wikipedia pak.

Saya kemudian tersenyum, sontoloyo tenan. Pelan – pelan saya balik ke meja saya membuka referensi buku – buku untuk saya bagikan ke anak ini, salah-satunya adalah novel Romo Mangun mengenai burung – burung Manyar, kekuatan berproses bercinta di dalam arsitektur dan untuk tetap menjadi sontoloyo. Teruskan dik untuk meredefinisi Arsitekturmu ! Hal ini membuat saya tertarik untuk melihat diskursus identitas di dalam Arsitektur Nusantara … ups atau .. Indonesia.

Saya ingat di dalam acara di Omah Library, Abidin Kusno mereposisikan 5 buah posisi untuk Nusantara.

Saya ingat di dalam acara di Omah Library, Abidin Kusno mereposisikan 5 buah posisi untuk Nusantara. Abidin menempatkan posisi Josef Prijotomo di dalam kuadran ke-5 sebuah resistensi untuk kesetaraan. Kritisisme yang diperbincangkan di dalam diskusi terlihat bagaimana keresahan kawan – kawan terhadap arsitektur nusantara ini yang membuahkan posisi ke 6, yaitu penggunaan istilah Nusantara sebagai sebuah komoditas.

Abidin menempatkan posisi Josef Prijotomo di dalam kuadran ke-5 sebuah resistensi untuk kesetaraan. Kritisisme yang diperbincangkan di dalam diskusi terlihat bagaimana keresahan kawan – kawan terhadap arsitektur nusantara ini yang membuahkan posisi ke 6, yaitu penggunaan istilah Nusantara sebagai sebuah komoditas.

Eka, Roro, Alva, Cahyo dan rekan – rekan lain menggarisbawahi posisi selanjutnya ke 7 dan 8 untuk memberikan posisi bahwa nusantara bisa membuka wacana dekolonialisasi. Namun hal ini sungguhlah perlu studi yang tidak sebentar mengenai penemuan – penemuan lanjutan para intelektual, dimana ini merupakan kerja bersama.

Ada saya inget beberapa kalimat dari Roro Damar di dalam perbincangan.

” Pak Abidin, saya ada pertanyaan :

  1. Nusantara salah satunya menjadi popular karena ada doktrinasi dari pemerintah dalam dunia pendidikan, sehingga masyarakat secara blindly percaya Nusantara adalah jaman ‘keemasan’ Indonesia di masa lalu, despite the problematic history. Saat ini
    Nusantara dan Arsitektur Nusantara sudah dimaknai secara ‘dogmatic’ oleh pendukungnya, seakan jadi satu2nya ‘the most authentic’ identitas dr Indonesia. Bagaimana pak Abidin
    menanggapi ini?
  2. Nusantara sangat Javasentis, bahkan saat ini Arsitektur Nusantara ditolak oleh beberapa elemen masyarakat di perifer Indonesia karena mereka tidak pernah merasa ‘dijajah’ Majapahit. Bukankah Nusantara dan Arsitektur Nusantara ini bentuk penindasan budaya juga jika memaksa mereka ‘bersatu’ di bawah ide ini? Dan fakta bahwa Majapahit berarti adalah imperialist, apakah etis negara yang telah dijajah 3,5 abad kemudian merefer pada glorious history kerajaan imperialist?
  3. Arsitektur Nusantara yang saat ini ramai digaungkan oleh arsitek Indonesia seakan hanya representasi middle class, dengan ide idealnya menggunakan material lokal, ornament daerah, dll. Sementara masyarakat marginal terpaksa menggunakan material
    fabrikasi krn itulah yang terjangkau oleh mereka, karena himpitan ekonomi. Dengan rumah yang tidak ‘Nusantarais’ seakan membuat orang2 marjinal ini bukan termasuk orang
    Nusantara. Bagaimana harusnya menempatkan ide Arsitektur Nusantara diantara kompleksitas dan himpitan geo-politik, sosial dan ekonomi saat ini? Mungkinkah kita membuat garis mana yg merupakan identitas bangsa, dan mana yg bukan? Terima kasih pak.”

Pertanyaan ini dijawab Abidin Kusno dengan jelas bahwa intinya kita mengalami sebuah problematika dan perjalanan untuk mencari kesejatian itu sendiri juga problematis dan tidak produktif. Ia menyarankan bahwa perlu dilihat bahwa apa yang telah dihasilkan melalui klaim “arsitektur nusantara”? Abidin memprediksi kemungkinan karena genealogi kata “nusantara” itu adalah dari para political elite, maka ia cenderung “elitis” atau
“propagandais.”

Untuk menurunkan sebuah istilah menjadi sebuah dasar teori, perlu perdebatan dan perbincangan, untuk melihat apa makna dan arti sesungguhnya sebuah wacana. Dari diskusi di atas kita bisa belajar bahwa perdebatan diperlukan tanpa ad hominem (personal) dan pretensi – pretensi yang tidak diperlukan.

Di balik layar saya mencari – cari pak Josef Prijotomo, ia tidak hadir di acara tersebut. Padahal saya khusus menginginkan dialog ini terdengar oleh pak Josef, dimana apresiasi diberikan untuk sebuah perjuangan, resistensi demi kesetaraan.

Saya jadi teringat ketika saya mengirimkan tulisan Madeg Pandhito ke pak Josef Prijotomo. Ia menjawab,

“Terima kasih. Saya tidak pantas bila diberi label “madeg pandhito” sebab saya bukan pandhito, saya hanya soso(k) yg ekstrimnya boleh disebut pINandhito, yakni sosok yang mesti berperan bagaikan pandhito (=pinandhito) saat harus membawa murid saya ke ladang kebijaksanaan (wisdom, sophia)”

saya membalas, “nah terima kasih pak sudah membawa ke ladang tersebut :)…kita semua mesti memainkan peran tersebut kan pak.”

Saya jadi berpikir ulang memang sang pINandhito sudah tidak perlu hadir lagi, karena tidak ada peran untuknya, baginya ia akan muncul begitu muncul peran. Seni peran memang membutuhkan sebuah pertunjukkan. Untuk mendalami wacana dibutuhkan kacamata di luar panggung(lingkaran) itu sendiri.

Saya tertarik justru akan cerita dibelakang panggung, tulisan perspektif 4 titik.

“Alhasil disini kita bisa belajar mengenai semangat di dalam backstage ini, elemen yang terpenting namun sering dilupakan, panggung seringkali menyilaukan dengan hingar bingarnya, merah kuningnya, namun terkadang, semangat backstage ini sendiri adalah jiwa dari panggung tersebut, semua ini sama seperti dunia kerja, maupun apapun yang ada di hidup kita, back stage itu hati, jiwa dan proses, dapur dari pikiran kita …panggung itu hanya pemanis dan pupur kiasan, yang terkadang menipu. di Backstage ada semangat untuk salah, ada juga semangat untuk belajar, apalagi semangat untuk mencoba benar ,…terkadang mungkin kita lupa dengan ini.”

Hal ini membuat saya melihat – lihat grafik tentang sejauh mana isu – isu yang dibahas ini relevan terhadap masyarakat melalui data – data. Di hari minggu kemarin saya berdiskusi dengan Mohammad Cahyo Novianto, mengenai sejauh mana Googletrend bisa memetakan beberapa isu terkait hal yang sederhana yaitu “kata kunci”. Ini setidaknya bisa menelisik tentang sejauh isu – isu arsitektural menjadi relevan dengan masyarakat dengan grafik – grafik yang sederhana. Dimana kalau dilihat di dalam beberapa diagram yang di gambarkan dibawah ini, bahwa isu arsitektur sudah jauh berkurang dibanding tahun 2004 – semakin menurun.

Diagram 1. Dimana kalau dilihat di dalam beberapa diagram yang di gambarkan dibawah ini, bahwa kata kunci “arsitektur” sudah jauh berkurang dibanding tahun 2004 – semakin menurun
Diagram 2. Demikian juga apalagi dengan kata kunci “Arsitektur Nusantara” yang juga menurun.
Diagram 3. Namun apabila diperbandingkan terminologi arsitektur dengan lingkungan, bisnis, ekonomi, dan sebagainya. Terminologi tersebut lebih penting daripada isu – isu elit, atau eksklusif “arsitektur”, hal ini membuktikan bahwa isu arsitektur masih berjarak dengan masyarakat.
Diagram 4. Kata kunci “Arsitektur” tersebut dibandingkan dengan kata kunci “Indonesia”

Apabila dilihat sepanjang masa, apa yang paling populer. kita bisa melihat bahwa facebook memberikan juaranya, disusun oleh Instagram yang lebih besar daripada isu negara, misal China, America, ataupun Indonesia. Selamat datang jaman digital.

Diagram 5. Apabila dilihat sepanjang masa, apa yang paling populer. kita bisa melihat bahwa facebook memberikan juaranya, disusun oleh Instagram yang lebih besar daripada isu negara, misal China, America, ataupun Indonesia.

Dibalik seluruh acara webinar yang diadakan di Omah Library, saya jadi berpikir, sejauh mana wacana yang diberikan di perpustakaan menjadi relevan dengan kawan – kawan arsitek.

Tiba – tiba ada suara hangat menyapa,

“Eh baru tahu ya, makanya Jangan asyik sendiri.”

Kategori
blog tulisan-wacana

Mengenal Arsitektur Indonesia

Suatu hari di saya bertemu dengan satu kawan saya, ia senior saya yang berumur beberapa tahun diatas saya. Saya belajar menulis, dan mendesain dari dia. Satu saat ia menelpon saya, nadanya gusar seakan – akan seperti baru kejambret di pasar atau seperti rumahnya baru saja kemalingan.

“Bro lu ada waktu gue mau cerita”

Kemudian berceritalah ia mengenai kejadian – kejadian disekitar dia melihat media dan perasaannya. Ia punya perhatian bahwa etalase arsitektur Indonesia hanya milik segelintir orang tertentu, orang yang dominan, orang yang itu – itu saja. Parahnya media juga menselebrasikan hal tersebut. Ia memberikan contoh mengenai beberapa pameran sebagai referensinya bahwa hanya segelintir orang yang dominan yang dimasukkan terkait dengan hegemoni kekuasaan. Yang menariknya justru narasinya berbicara kebalikannya.

“Namun terlepas dari semua itu, kami hanya berharap ada yang dapat kita semua sama-sama pelajari dari penyelenggaraan pameran “Segar” ini. Jika tidak mengenai teknis penyelenggaraannya, dan jika tidak mengenai karya-karya yang ada di dalamnya, paling tidak kita bisa sama-sama belajar mengenai kekerabatan, kesejawatan dan kehangatan yang terjalin dalam tiga hari penyelenggaraannya.” (lihat link diatas Segelintir Wajah Arsitek Indonesia–Pameran “SEGAR” – )

Sugih tanpa bandha, kaya tanpa harta. Kaya yang dimaksud sebenarnya adalah tidak berkekurangan, artinya bukan semata-mata harta yang menjadikan tolok ukur. Kaya yang dituju dalam hidup bukanlah pengumpulan harta benda dan uang selama hidup… Kita juga dituntut sebelumnya mau melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati, bahkan tanpa imbalan sekalipun. Dengan demikian, dalam kehidupan kita, budi baik kita, akan senantiasi diingat orang lain, …

Mungkin kawan saya ini berpikir bahwa atas nama Arsitektur Indonesia, kenapa yang ikut hanya seputar arsitek yang itu – itu saja, apa yang digunakan atas nama Indonesia. Perasaannya itu malah berkebalikan dengan narasi pamerannya, kok malah begitu sih.

Saya bertanya ke kawan saya ini untuk memancing dari mana asalnya muncul kekesalan ini.

“Bro bukannya wajar hal ini terjadi, kan sah – sah saja satu orang lebih terkenal dari orang lain, kalau memang lu mempermasalahkan ketenaran ?”
.
Ia menjawab, “Bro ini bukan urusan cari duit atau rejeki aja atau urusan cari pamor aja, atau urusan keberuntungan segelintir orang saja. Ini urusan kebanggaan kita bersama. Lu setuju ngga kalau ini urusan Arsitektur Indonesia urusan kita bersama ?” Urusan duit ini dibahas di dalam tulisan Madeg Pandhito.

Di dalam hati saya berkata ke diri saya sendiri, orang ini boleh juga, setidaknya ada dedikasi dirinya untuk orang lain, tulus juga. Lalu saya bertanya ke dia

“lalu lu maunya apa, gimana caranya ?” Saya suka kalau dia sudah menggebu – gebu seperti ini.
.
“Begini bro sejak jaman dulu Indonesia terkenal dengan politik Identitas bro, ini yang perlu kita kritisi.”

“Gue punya caranya bro yang sederhana tapi mengena”
.
“Apa bro ?”
.
“Pertama semua harus tahu bahwa arsitektur itu ngga cuma soal arsitektur bro, ilmu ini punya hubungan dengan disiplin yang lain, ngga autis, ada lingkungan, ada sosial budaya, ada ekonomi, ada juga isu ideologi. Lalu ada beberapa tahapan untuk memajukan isu ini lebih dalam dan luas, kita bisa mengambil contoh di CIAM atau, di Jepang dengan gerakan Metabolist.”

Lalu ? Saya bertanya lagi penasaran dengan isi otaknya. Saya bertanya lagi dengan beberapa lalu, dan akhirnya ia menimpali.
.
“Ya dengan mengerti hal tersebut arsitektur bukan cuma milik kalangan tertentu bro, arsitektur Indonesia itu punya semua orang. Dan kita perlu punya platform yang memiliki nilai itu. Lu tau kan senior gue itu sukanya main politik identitas?”

lha ? lalu saya bilang, lah ujungnya ini tentang personal dong, hubungan elu sama senior lu bro, mana ada urusan sama Arsitektur Indonesia ?
.
ngga usah ngurusin orang lain lah bro kita urusin diri kita sendiri aja lu tau nanti lu juga punya murid,
.
dan ada pepatah bilang kan bro

“Murid jatuh tidak jauh dari gurunya ?”
.
Kawan saya ini menjawab “Asem lu,
setidaknya gue kan mau merubah keadaan bro.”
.
Kemudian saya pun menyambung “Nah karena itu gue bersyukur lu jadi temen gue bro”

Ini adalah diskusi – diskusi sederhana mengenai politik identitas. Saya percaya bahwa hal – hal yang besar dirajut dari semangat – semangat kecil untuk menembus empati yang lebih dari sekedar mencari identitas, yaitu semangat persaudaraan. Dan perasaan bahwa diri saya atau kita bukan siapa – siapa. Apresiasi kita bisa lantunkan ke kawan saya satu ini yang sungguh gelisah akan sebuah perubahan. Perubahan itu perlu ditetapkan dulu di hati. Lalu baru kita cari jalan tengahnya.

Mari yuk..

lalu di Whatsapp grupnya, muncullah satu poster tentang pameran di Rio dan teman saya bergumam, “jancuk”.

dan saya pun membalas, “yess, jadi ada bahasan lagi, jadi saya tunggu responmu kawan. ” cerita ini akan bersambung dan akan ada skenario – skenario lanjutan mengenai Arsitektur Indonesia.

Catatan :

1. Pameran Segar dibahas di https://sugarandcream.co/segelintir-wajah-arsitek-indonesia-pameran-segar/

2. Identitas dibahas oleh Professor Kemas Ridwan Kurniawan di dalam https://www.researchgate.net/publication/322660754_DINAMIKA_ARSITEKTUR_INDONESIA_DAN_REPRESENTASI_’POLITIK_IDENTITAS’_PASCA_REFORMASI

Kategori
blog tulisan-wacana

Madeg Pandhito, Untuk Siapa, Untuk Apa ?

Beberapa hari terakhir ini saya ragu – ragu untuk menelisik satu terminologi Nusantara. Mengapa ? Sederhananya hal ini menjadi barang perebutan ketika terkait dengan masa depan arsitektur Indonesia. Nusantara sebenarnya adalah sebuah usaha untuk menemukan benang merah Arsitektur Indonesia. Andrea Peresthu di dalam diskusi soal bagaimana arsitek Indonesia bisa berjalan sejajar dengan arsitek luar negeri ia berkata “work! work! buktikan arsitek indo bisa mendunia spt arsitek irak ini” banyak hal yang perlu dilakukan. Lihat postingan Apakah perlu arsitek asing ? kita belum mampu ya ? – Discussion

Ingsun, yang dalam bahasa Jawa berarti kawula, kula, abdi, dalem, ulun, nglulun, Ingwang, mami, kita, ingong, ngong, inyong, dan nyong. Hal ini untuk mempertanyakan keakuan saya di dalam bertata laku.

Dan hal tersebut bisa dimulai dengan memperhatikan suara anak – anak muda supaya mereka bisa didukung akan keberadaannya. Hal ini sifatnya resiprokal , kita mendukung kita akan didukung, apa yang kamu beri itu akan kamu tuai. Melalui literasi dan forum – forum yang memberikan tempat untuk mendengar yang muda, hal ini bisa dimulai. Penting untuk bisa menghargai pribadi yang gelisah, supaya mereka bisa berkembang menembus jamannya, bekerja menurut suara hatinya. Bahwa mengenal Arsitektur Indonesia sendiri begitu penting, sekaligus membuka mata akan pentingnya eksplorasi dan belajar lintas golongan dan teritori juga sama pentingnya.

Kedua ada cerita tentang hal ini. Saya berdiskusi dengan satu kawan arkeolog (Mbak Mitu namanya), dan membaca beberapa paper. Bahwa ada Politik Identitas yang ada di Arsitektur Indonesia.Hal ini yang kita bisa bahas selanjutnya ya. Saya berdialog dengan mbak Mitu, “Mbak secara etimologinya Nusantara identik dengan kolonialisasi dari Majapahit, lalu apa sebaiknya kita memakai kata ini apabila satu kata itu memiliki makna yang kontradiktif dimana hanya mewakili golongan tertentu, kebudayaan tertentu yang dominan ? Yang hal tersebut rawan menimbulkan konflik horisontal? ” (hal ini dibahas Yasmin Tri Aryani di dalam kerja kuratorialnya di Eindhoven, saya akan bahas ini di lain kesempatan). ini blog beliau : https://katadansketsa.wordpress.com/

Karya Yasmin Tri Aryani di dalam mempertanyakan identitas sebagai obyek komodifikasi.

Mitu kemudian menjelaskan tentang teknik komunikasi supaya tidak memancing polemik, bagaimana memilih judul, menyeleksi isi yang memiliki kedalaman dan menjelaskan dengan contoh – contoh. Kesimpulannya adalah Nusantara sendiri sudah menjadi sebuah terminologi yang awam, mengenai sebuah semangat untuk mencari identitas Indonesia. Yang kedua, ia menjelaskan pentingnya mereferensikan darimana pemahaman nusantara itu berasal, penting untuk meredefinisi istilah – istilah Arsitektur Nusantara, Vernakular, Tradisional dan menghubungkannya dengan disiplin lain seperti arkeologi, antropologi, dan kajian disiplin yang lain.

Saya mendapatkan pembelajaran bahwa mengenal Arsitektur Indonesia sendiri begitu penting, sekaligus membuka mata akan pentingnya eksplorasi dan belajar lintas golongan dan teritori juga sama pentingnya. Belajar, belajar, dan belajar, menjadi murid kehidupan.

Kenusantaraan sendiri adalah sebuah definisi tentang kesetempatan, sebuah semangat untuk mengolah apa yang ada di dalam lahan, sumber daya manusia dan alam dengan kritis. Sehingga Arsitektur Nusantara sendiri bisa dipandang sebagai sebuah cara pandang menuju ke masa depan, dan banyak mahasiswa bisa melihat “Kenusantaraan” apabila kata itu yang mau dipakai sebagai bingkai ke masa depan.

Salah satu kuncinya ada melebur atau inklusif, bukan dominan atau eksklusif. Dimana semua parameter diperhitungkan, ada dualisme luar diri, dalam diri, dimana hal ini dibahas oleh Antoniades di dalam Poetic of Architecture sebagai sebuah kemauan untuk bereksplorasi. Atau digagas lebih lanjut oleh Apurva Bose ke dalam sikap untuk mau berkorban, mengajar, mengantarkan ilmu ke generasi lebih muda. Hal ini juga tersirat di dalam perjalanan Ki Ageng Suryomentaram, bahwa menjauh dari keramaian memberikan jarak dari keriuh rendahan untuk mendapatkan diri sendiri , dan setelah itu pengembangannya bisa keluar. Hal tersebut dimulai dari prosedur di dalam diri sendiri dahulu, Penguasaan diri. Penguasaan diri ini penting untuk mengenal Arsitektur Indonesia, milik kita bersama dengan lebih baik. Jadi bukan tentang istilah – istilah kulitnya tapi juga tentang isinya. Keduanya sama – sama penting. Jadi mari yuk mengenal Indonesia lebih dalam.

Sebagai Arsitek professional, kita punya tugas – tugas dasar. Hal ini yang saya terus bagikan ketika mengajar, ini lah praksis, pendekatan aksi reaksi antara metode desain dan refleksi atas metode tersebut. Hal ini disebut praksis. Cara kerja Model Praksis mengacu pada penjelasan Paulo Freire dimana terdapat aksi atas refleksi dan refleksi terhadap aksi. Intinya tugas arsitek adalah berkarya dengan eksploratif, puitis, dan mempersiapkan transfer ilmu ke penerus kita, dunia yang indah untuk arsitek muda. Lihat buku menjadi arsitek untuk mengenal apa itu tugas arsitek.

Di dalam alam profesi arsitek, ada dua buah kutub yang berseberangan dan saling melengkapi, keduanya berjalan beriringan tanpa meninggalkan satu sama lain. Alam pertama adalah Taksu, Taksu adalah sebuah bentuk dari keutuhan. Taksu sendiri ada karena proses repetisi terus menerus, berusaha melakukan evaluasi diri di dalam setiap tahap perancangan. Taksu ada karena proses belajar di dalam sisi seorang arsitek. (Lihat postingan mengenai Aalto)

Kutub kedua adalah Materi, atau mudahnya “Fee/Uang”. Salah satu kawan saya Anas Hidayat bicara soal ini di bagian prolog buku yang saya dan Johannes Adiyanto tulis beberapa bulan yang lalu berjudul “Fee”. Ia menulis “Jika hanya mencari uang saja, jadilah sodagar. Cari selisihnya, dan selesai! arsitek jelas bukan nabi mungkin memang pedagang tetapi yang punya harga diri dan punya nilai-nilai ya, harga diri, itu yang justru tak ternilai yang tak bisa dinominalkan sebagai fee itulah fee-lo-so-fee, phee-losophy.”

Tulisan Prolog Anas Hidayat : Anas Hidayat menjelaskan dengan mudah bagaimana cara menyusun fee sebenarnya didasarkan seberapa besar anda mau menakar diri, dan seberapa besar orang lain menghargai anda, dan terakhir adalah seberapa besar kebahagiaan yang anda dapatkan sampai misal bisa bekerja tanpa bayaran.

Tentunya pembahasan ini terkait kondisi ekonomi setiap orang. Tanpa adanya materi, percuma untuk bicara Taksu. Hal ini sama saja dengan membicarakan Taksu tanpa adanya materi, sama seperti berjalan diatas air, karya luar biasa tidak akan pernah lahir karena karya yang biasa – biasa saja tidak akan pernah lahir.

Dan pastinya semua arsitek ingin melahirkan karya yang luar biasa, tunggu ya ada caranya, nanti akan saya bagi caranya, caranya mudah, satu demi satu, ada prosedurnya. Simak terus ya, nanti dipostingan selanjutnya.

Kemudian di dalam keragu – raguan saya. Saya berdiskusi dengan Prof. Josef Prijotomo. Dan saya berbicara mengatakan “semoga rekan2 bisa makin percaya diri dan mau membentuk logika dan framenya dan kawan2 cukup excited, salam Pak Josef, saya perlu menjaga tenaga dulu jaga kesehatan jg ya. Nanti jgn lupa frame untuk Indonesia sy kontak pak Gunawan pak Yuswadi pada tertarik nanti kita isi ya, ” Pak Josef membalas , di dalam merencanakan wacana untuk arsitektur nusantara, saya sedikit banyak berdiskusi dengan pak Abidin Kusno, saya pikir ia ada dibalik kutub pemikiran Gunawan Tjahjono dan Josef Prijotomo.

Saya kemudian menjelaskan ke beliau bahwa Omah akan mempublikasikan kuliah wacana Nusantara. Ia bersemangat dan mengambarkan hal tersebut akan menggelinding dan tak terhentikan. Ia memuji Abidin Kusno, Omongnya bisa sana halus dan pelan, namun omongannya adalah guntur yang menggelegar. Ia berkata “aku sungguh bahagia punya murid yang mampu lebih dari aku.”

Ia menitipkan juga cara berkomunikasi bahwa berdialog dengan para tetua atau manula mesti pilih waktu atau situasi yg pas. Bahwa bisa saja mereka kurang berkenan dgn orang muda. Ia menceritakan bagaimana ia di coret oleh satu kampus terkenal karena kuatnya budaya penghormatan Juga, jangan posisikan sebagai sebuah pengadilan. Yang muda mungkin tidak merasa mengadili, tapi tidak begitu dengan perasaan para tetua.

Saya menulis seperti ini untuk menggambarkan setiap orang punya eksistensinya sendiri, adalah tugas kami yang muda untuk menyapa, yang tua, adalah tugas yang muda menyambut tongkat yang tua, dan terkadang meminta nasihat. Saya ingat kawan saya M. Cahyo Novianto menuliskan satu kata “Madeg Pandhito”

Karya Tisna Sanjaya “Madeg Pandhito” adalah sebuah metafora dari orang tua yang bijaksana, tinggal di sebuah “pertapaan” dan selalu bersedia memberi nasihat kepada siapa pun yang membutuhkan.

Saya kemudian menulis “Iya saya akan coba jaga semampu saya, semoga menjadi jembatan yang rahayu, Benar tidak ada pengadilan, Saya akan kawal, mengerti. Ini adalah estafet bukan salah menyalahkan, Saya akan highlight ke beberapa orang, Supaya bisa menjaga perasaan, …Seluruh pemateri adalah jembatan Itu highlight saya akan saya kondisikan.”

Kembali ke awal, di balik keragu – raguan akan kelas ini, sebenarnya pertanyaan muncul dari hati saya. “Apa yang ditakutkan ?” Apa bila seorang murid ingin mencari sebuah jawaban, ada baiknya kita melangkah tanpa keragu – raguan, namun apabila yang dicari hanya sebuah ketenaran, ada baiknya urungkan niatmu. Ya saya sudah tau jawabannya.

Bersamaan dengan permenungan tersebut. Satu teman saya Johannes Adiyanto mengirim sebuah puisi yang didapatkan beliau dari satu acara di Malang dari Johannes Widodo.

Anak

oleh Khalil Gibran

Anakmu bukanlah milikmu,

mereka adalah putra putri sang Hidup,

Mereka lahir lewat engkau,

yang rindu akan dirinya sendiri.

tetapi bukan dari engkau,

mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,

namun jangan sodorkan pemikiranmu,

sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,

sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,

namun tidak bagi jiwanya,

yang tiada dapat kau kunjungi,

sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,

namun jangan membuat mereka menyerupaimu,

sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,

ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,

anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,

hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,

sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,

sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap. “

Puisi berjudul Anak dari Khalil Gibran ini menyentuh lubang hati Johannes Adiyanto dan kemudian menyentuh lubang hati kawan – kawan dan pada akhirnya menyentuh lubang hati saya yang sedang ada di alam mimpi.

Lalu sayup – sayup saya kemudian terbangun karena ada kehangatan yang muncul. Ada suara halus menyapa “Anakku, muridku, mari kita berjalan, … kawan – kawan akan turun tangan.”

Kita haturkan Puji Syukur, Rahayu.

Kategori
blog tulisan-wacana

Hai kawan kita ini manusia biasa… catatan di penghujung tahun 2017

Satu orang di depan saya pada waktu itu adalah seseorang yang terkenal, ia adalah fresh graduate dari universitas ternama di Amerika, namanya Diastika ia terkenal karena kepiawaiannya menyanyi. “kak tau ngga dia itu artis” kalimat itu sudah saya dengar berkali – kali dari staff -staff yang bekerja di kantor , dan kehebohan satu kantor karena kedatangan orang di depan saya ini karena citranya atau Imagenya yang memang sudah terbentuk di dunia maya dan nyata. “Apaan sih kalian.” saya biasa menjawab seperti itu, karena menurut saya hal tersebut tidaklah penting sama sekali.

Saya melihat anak ini antusias untuk belajar arsitektur melalui presentasinya mengenai portfolio yang dibawanya dan sudah dilayoutnya dengan apik di atas kertas A3. Setelah mendengar presentasinya, ada 2 hal yang saya sampaikan , pertama lokasi rumahnya yang cukup jauh dari kantor, sehingga menyebabkan waktu pulang pergi setiap harinya akan menghabiskan waktu dan energi, mengingat kondisi kemacetan di Jakarta pada jam – jam khusus. Kedua, saya kemudian mencoba untuk mereferensikan satu senior arsitek yang sangat terkenal karena lokasinya yang relatif dekat dengan tempat tinggalnya di daerah selatan. Jujur saya berpikir, setiap orang pasti ingin dihargai, namun ketika seseorang dihargai bukan karena apa yang melekat pada kulit atau citra dirinya, namun dihargai akan jati dirinya, maka itu adalah penghargaan tertinggi. Untuk saya orang didepan saya itu, dia hanyalah manusia biasa yang juga ingin berkembang maju menjadi arsitek yang dihargai karena ia arsitek yang memiliki bakat menyanyi juga, bukan hanya dihargai karena image atau citra yang terbentuk. Diastika adalah satu orang yang sudah mengetahui bahwa ia membutuhkan simbol, dan jalan untuk bisa menemukan kesuksesannya.

Sudah satu dua tahun terakhir ini, saya dikelilingi orang – orang yang berkembang bersama – sama dengan saya, mereka membantu saya dalam membesarkan studio yang sudah saya rintis. Saya melihat potensi yang besar dalam diri mereka, mereka membantu untuk memberikan yang terbaik kepada diri mereka sendiri, saya bersyukur atas seluruh kerja keras dan proses yang tidaklah mudah dalam tugas pekerjaan yang dilakukan sehari – hari. Ada yang pergi ada yang datang, setiap hari pun kita bertemu orang yang baru atau kawan lama. Tidaklah ada yang istimewa dalam kehidupan kita. Namun apa yang membuat kehidupan ini begitu istimewa adalah bagaimana kita sendiri merasakan bahwa diri kita ini berkembang setiap saatnya dan penghargaan akan satu sama lain bahwa karakter manusia itu memang unik – unik. Kemudian keseluruhan kehidupan ini akan membuat kita berkontemplasi mengenai keberadaan kita, suka atau tidak suka saat itu akan tiba, dan begitu saat itu tiba, gelap akan datang untuk menyosong matahari yang akan terbit di keesokan harinya.

Banyak hal yang sudah dialami anak – anak muda sekarang ini, banyak juga yang dipelajarinya, dalam rentang waktu yang tidak sebentar dan juga tidak lama. Lama dan sebentar hanya dirinya yang tahu. Namun anak – anak sekarang belajar lebih cepat, generasi yang lebih muda, bekerja lebih cepat, berkembang lebih cepat. Banyak yang bilang itu instan, ya saya tidak percaya, ya memang berbeda toh teknologi, apresiasi, dan semangatnya juga berbeda. Berbeda itu bukan berarti menurun, hanya saja berbeda. Malcom Gladwell mengangkat fenomena seperti ini yang dinamakan matthew effect bahwa semua rejeki itu sudah ditakar, ditentukan, diberikan sebelum kita lahir, kita semua memiliki sebuah latar belakang, keluarga kita, pertemanan ayah dan ibu kita, ataupun perjumpaan yang mungkin terlihat kecil yang mempengaruhi bagaimana kita mendapatkan klien, bersosialisasi dengan orang lain. [1]

Kalau pernah membaca tulisan Paulo Coelho didalam novel yang ditulisnya The Alchemist, ia menggaris bawahi 3 tipe seorang manusia. Tipe pertama adalah orang yang tidak tahu bagaimana untuk sukses, ia bingung dan ragu – ragu dalam menempuh jalan hidupnya. Tipe kedua adalah orang yang mencoba mencari tahu cara untuk sukses, ia juga bingung dan ragu – ragu dalam hidupnya. Tipe ketiga adalah orang yang tidak mengerti cara untuk sukses, ia tidak ragu – ragu, ia sukses. [2] Ketika keinginan kamu begitu besarnya maka semesta akan menuju ke arahmu dan membuka jalan. Namun jiwa – jiwa di dunia ini akan menantangmu, menguji kamu, seberapa siap kamu akan mimpi yang kamu inginkan. Karakter Santiago di dalam novel ini, menggambarkan pribadi yang sedang di dalam perjalanan untuk mengenali dirinya sendiri di dalam pusaran ia dan orang lain, berkelana ke banyak tempat di dunia. Hidup kita ini seperti di tengah perjalanan, dan perjalanan itu adalah perjalanan milikmu, milikmu sendiri, duniamu sendiri, bersinarlah.

Untuk kawan lama, sahabat kita akan bertemu kembali, suatu waktu di suatu tempat, suka atau tidak suka dalam mimpi dan realitas, dalam ambisi dan kerendahan hati. Pada saat pertemuan nanti, akankah dirimu masih jujur dengan dirimu sendiri, ataukah hanya topeng – topeng yang terlihat seakan – akan dirimu adalah orang yang lain. Yang saya yakini, tidak ada orang lain, topeng itu hanyalah representasi dari diri kita sendiri, sahabat dan teman yang datang dalam satu waktu di satu tempat adalah cerminan dari diri kita yang terdalam, ia akan berjabat tangan, dan memeluk sebagai pertanda bahwa dirimu masih manusia biasa. Oleh karena tersenyumlah, kita ini sama – sama manusia biasa.

Di balik sendu dan cerianya hari natal kali ini di penghujung tahun 2017, diantara berbagai kado natal, dan kue natal yang diterima dan dikirimkan. Selamat Natal dan Tahun baru, semoga damai beserta kita semua. Selamat tidur untuk bangun kembali kawan !

[1] Outliers, Malcolm Gladwell. Tentang Matthew Effect. Biologist often talk about the “ecology” of an organism: the tallest oak in the forest is the tallest no just because it grew from the hardiest acorn l it is the tallest also because no other trees blocked its sunlight, the soil around it was deep an rich, no rabbit chewed through its bark as sapling, and no lumberjack cut it down befor it matured.” pp 20

[2] Ditulis oleh Paulo Coelho dalam The Alchemist. There are three types of alchemist : those who are vague because the don’t know what they’re doing those who are vague because they do know that the language of alchemy is addressed to the heart and no to the mind…. (The third type is the one) who will never hear about the alchemy, but who will succeed, through the lives they lead, in discovery the philoshoper’s stone.” pp vii

[x] cover by Ryuichi Sakamoto – one of the best pianist in the world

Kategori
blog tulisan-wacana

Being Dominant ? phrasing cuala …

“you will never go wong in doing what is right,my young friend, never. if there is one thing I’ve learned about leadership siccess it’s that it lies at the intersection where excellence meets honor.” Robin Sharma

http://www.youtube.com/watch?v=LJ5aVIIf-9I
There is one phrase, “juara” meaning champion, some of my fellow staff named it as
“cuala”, one of the phrase that they often mentioned.  I’m curious because It’s weird,  it’s like jokes when people want to mock chinese language they use that alphabet C instead of J to express the accent by chinese people. I’m also curious where did they get that phrase. But anyway, this phenomena is interesting, because some of the people, tend to make it serious, as a way to get dominant, competitive, as a brotherhood, or as individual, allienate themselves, to show that being juara or cuala meaning that they are on top of others. Champion means a person who has defeated or surpassed all rivals in a competition, then what is rival, a person or thing competing with another for the same objective or for superiority in the same field of activity.

Norman Foster, a very talented and well organised architect was in the phase of phrasing cuala or being dominant as well. He did his first studio with team 4 together with Richard Rogers, Sue Rogers, and Wendy Foster. The kept arguing, in the discussion, the ideas could not be integrated, Rogers was keen to expression, the tectonics of building while Foster was more interested on building integration ,building performance, then they were separated in the early years of practice left both of them making their own architecture ideals. Foster went for foster associates, and Rogers for their own. They hired a flat in Hampstead, and the practiced in the other room, the office and living quarter was divided by wall partition. Foster almost went bankrupt while working for HSBC, he kept his office with small group of people in London. He sent Spencer, David, Moshan, Ken, and another people in total of 100 people to Hongkong, he thought that that was their best chance. [1]

“At the time we couldn’t understand why he (Norman) didn’t move to Hongkong with us, We had to keep briefing him on what had happened between visits, but in retrospect he was abolutely right. What Foster always had in mind was the long term future . When the bank was finished he did not want to find himself back where he had been before he won the hongkong competition. “ David Nelson

Then after the HSBC, he had to sacrifice people in his studio because he couldn’t afford them, one of the people even had to redraw some of the old projects, for publications that can attract more works. It was turbulent time for him.  He focussed on the ide of the projects nailed the idea one by one, one of the important milestone is HSBC tower, the firm had not worked on high rise project before, the reputation went up, and some of the next commision gave opportunities for giving more innovation, more ideas, and then perfecting mastery in building performance and integration.

Norman Foster is probably can be justified as cuala or championed for building performance and integration. He found design principle to make the building run more efficient, building system more efficient, and look more sophisticated, and cost more efficient. His chemistry with other people has been remarkable, he has been well known of his persuasive, and effort for making his projects realized. In the book by Deyan Sujic, Sujic wrote that, “Out of every eight competitions he takes part in, only one leads to completed building. And even when it ocmes to the successful projects where the fees get paid, ony one produces abuilding. yet he must not only design it, but lobby for it, help raise money for it, and do his best to sell it as well. … ” and then he continued, the most important message.

He embraced the ideas, not on his position, label, status, wealth. Civilized meaning to think about your positioning by contributing increasing other’s value. he is such open and well connected to his collegeaue, client, and friends. the cuala or champion title, comes from cuala or champion habit, that is connecting with other people, giving your self out to the world, rather than being introvert and detached from other people. Sudjic then wrote as a very beautiful conclusion ‘the process demands the self knowledge needed to stop the architect from failing into the banal trap of the fountainhead complex, losing all touch with reality in a pursuit of a megalomaniac fantasy.” [1]

Deyan Sudjic's work Norman Foster a life in Architecture https://aabookshop.net/wp-content/uploads/2013/09/foster-web-708x1024.jpg
Deyan Sudjic’s work Norman Foster a life in Architecture https://aabookshop.net/wp-content/uploads/2013/09/foster-web-708×1024.jpg

Ref :
[1] Norman Foster Works 1
[2] Sudjic Deyan, Norman Foster A life in architecture. pp 293

Kategori
blog tulisan-wacana

Dad Loves

161023 “Bagi seorang anak kecil, Ibu adalah cinta pertamanya, dan Ayah adalah pahlawannya.” Laurensia.

dscf9313
Pekerjaan Menggali tanah setinggi 5 m dibawah permukaan 0.00

“Yang, itu kata daddy basement bawah jangan dibuat, berbahaya nanti airnya bagaimana ?” pada waktu itu, Laurensia sedang bercerita ketika baru pulang dari rumah permata buana, kami biasa makan malam bersama setelah ia selesai praktek dan menjemput miracle di rumah opa, omanya. Diri ini menjawab “tenang saja, semua sudah direncanakan, soal air tinggal kita waterproofing dan pengecekan akan pengecoran.” Ayah saya sedang berusaha mengingatkan dengan caranya tersendiri, menyelidik dahulu, memberikan premise, tantangan, kemudian penyelesaian. Satu pagi ia bercerita mengenai gaya tekan air yang membuat beton kolam yang sedang dicornya di madura patah dan meledak, karena permukaan air yang dangkal. Singkatnya berat kolam renang lebih ringan daripada gaya tekan air, dirinya pun bertanya “apakah ini sudah diperhitungkan ?” Beberapa hari setelahnya, pada waktu kami berkunjung ke rumah permata, ia pun mengingatkan, “jangan lupa saluran listriknya outbow untuk di bawah tanah.”

Situasi seperti itu seringkali terjadi, dan hal – hal yang ditanyakan adalah hal yang mendasar, keamanan, kenyamanan tanpa perlu menjadi seorang avant garde. Avant-garde (pengucapan bahasa Perancis: [avɑ̃ɡaʁd]) berarti “advance guard” atau “vanguard”.[1] Bentuk kata sifat digunakan dalam bahasa Inggris untuk merujuk kepada orang atau karya yang eksperimental atau inovatif, , perlawanan terhadap batas – batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu kebudayaan. Bahasa Ayah saya ini adalah bahasa yang fundamental. Darinya saya belajar untuk menahan diri, memperkuat lagi pondasi, dasar pemahaman untuk menghindari akrobatik perubahan, yang hanya untuk menjadi sekedar berbeda.

dad

Ia juga yang sedemikian khawatir ketika diri ini memutuskan untuk pulang ke Indonesia, dimana hal tersebut menjadi kebanggaannya, sedih, pada waktu prinsip kita menjadi tidak sama. Senyumnya kembali timbul ketika pengakuan muncul dari karya – karya yang mulai terbangun yang berarti menandakan diri ini bisa bertahan hidup di kota Jakarta, ia terus menanyakan mengenai keuangan, apakah cukup untuk membayar gaji, cukup untuk hidup, cukup untuk menabung. Ia juga yang memberikan semangat, ketika satu exhaust fan merk Miele penyok titik karena pekerjaan kontraktor kitchen set satu vendor ternama, yang sebegitu saja luput sekejap . Ayah juga yang memberikan semangat untuk terus bertanggung jawab, bahwa tidak ada artinya apabila kamu untung tapi nama baik hilang, tidak apa – apa, nanti akan ada gantinya yang lebih baik lagi. Dari situlah diri ini belajar untuk bisa menarik garis positif di tengah turbulensi.

Ia juga yang memberikan pemahaman bahwa beton memiliki kelemahan akan retakan, dan potensi terhadap retakan waterproofing, oleh karena itu lapisan batu sangat penting untuk menjaga retakan tidak terjadi. Sebelumnya diri ini melihat lapisan batu dari aspek estetis untuk menghaluskan, dari ayah saya ia memberikan sudut pandang baru dan beberapa vendor waterproofing kemudian memberikan saran – saran mereka hanya untuk melihat satu material, yaitu beton. Tidak terhitung banyaknya dari beberapa material beton, kayu, besi, alumunium, plastik, bambu yang sedang dielobarasi, kita diskusikan, kita tarik benang merahnya, untuk kemudian dibangun di tempat.

Sedemikiannya ia tersenyum ketika diri ini menceritakan atap yang dipelintir di satu project di Telok Naga, memberikan kesan dinamis, naik dan turun, dan menunjukkan foto – foto padanya. Ia pun diam, tidak berkomentar apa – apa. Beberapa hari setelahnya diri ini kembali ngobrol dan bercerita mengenai kesulitan dalam fabrikasi atap yang tidak memeiliki sudut yang sama tersebut, memutar, terpelintir sedikit – sedikit dalam segmen yang menghubungkan titik – titik pertemuan rangka. Ayah pun bercerita mengenai bagaimana Wiratman membuat konstruksi atap bangunan istiqlal, mesjid yang didesain oleh Frederich Silaban, Atap itu didesain dengan pendekatan empiris dimulai dengan membuat maket, dan melakukan ujicoba, pra kiraan tanpa perhitungan yang solid karena konstruksi yang memiliki bentang lebar dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Ia pun menyarankan, “coba kamu buat maketnya”.

atap sekolah alfa omega di Telok Naga, model pertama menggunakan struktur bambu. Model kedua menggunakan struktur besi. Kedua model tersebut menggunakan curva parabloid untuk konstruksi bubungan atap.
atap sekolah alfa omega di Telok Naga, model pertama menggunakan struktur bambu. Model kedua menggunakan struktur besi. Kedua model tersebut menggunakan curva parabloid untuk konstruksi bubungan atap.

atap2.jpg
Prototype ke 2

Dari beberapa cerita demi cerita, dedemikiannya diri ini ingin membahagiakannya, membuatnya bangga, biasanya ia hanya diam. Dari Laurensialah diri ini bisa tau, mengenai komentarnya, ayah tidak pernah berbicara langsung, mungkin ia hanya ingin melihat kami anak – anak nya tidak sombong akan pencapaian dan terus berkarya. Dr. Aris satu dokter yang setiap minggunya datang ke rumah kami, dan rumah ayah saya untuk melakukan terapi ke keluarga kita, berbicara, “Ayah sering bertanya mengenai bagaimana Real kabarnya, apa masih sering terapi ? ” ia pun menjawab “ngga pernah, sibuk itu” kita yang membahasnya pun tertawa, dalam hati kecil saya, diri ini kembali diingatkan hal yang terpenting, kesehatan, waktu untuk beristirahat dimana kesibukan semakin padat dan Ayah sepertinya tidak pernah kehilangan itu. Sesambil berkerut Dr. Aris berujar setelah memeriksa diri ini “waduh gawat ini Real”. Dalam hati saya deg – deg an, sesambil iseng menimpali “kita perlu liburan dok.” kita kemudian tertawa.

whatsapp-image-2016-10-02-at-4-41-24-pm

Kategori
blog tulisan-wacana

My Garden of Dreams and Memory – Writings for Baccarat Indonesia

2010, Japan “Beauty surrounds us, but usually we need to be walking in a garden to know it.” – Rumi
1

The writing for Baccarat Indonesia was just published, it was written when we had trip to  Japan few years ago during summer studio, by Professor James Weirick. The trip was about travelling to 4 different cities (Kyoto, Nagoya, Tokyo, some remote area such as Shirakawa, Mt. Gifu, and new site of Imperial Hotel by Frank Lloyd Wright). The brief from Editorial team was about telling story about garden. So the story is about  the zen garden, and story about beautiful garden of versailes, the idea was about explaining garden of the east and garden of the west. Those are two different standing point, one is more about the logic, power of man, another is about the spiritual being, reflection to blend with nature.

Tinggalkan pikiran – pikiran dunia, merunduklah. Dengarlah suara teko air teh yang mendidih, dengarlah suara alam, burung – burung yang berkicau, suara air yang menetes, suara kaki orang yang berjalan, alam sesungguhnya berbicara, rasakan kesempurnaan dalam ketidak sempurnaan, mata ini menatap ke arah huruf kaligrafi jepang yang ada di depanku, kemudian wanita di depan ku berkata, prinsip ini melandasi budaya Jepang pada upacara minum teh, yaitu Simple dan Rustic.

Tak heran semua yang ada di Jepang terlihat begitu sederhana dalam kesehariannya meskipun jejak – jejak modernisasinya juga terasa dimana – mana. Konstruksi Detail – detail kuil yang terbawa dari jaman dinasti Tang China, berubah menjadi sederhana dan tampil apa adanya.dengan warna – warna alam. Berbeda dengan China yang menggunakan warna – warna cerah untuk kuil – kuilnya. Di Kyoto, kuil2 dijaga kelestariannya, di jaga kesempurnaannya setiap 30 tahun, mereka tetap berbicara dengan alamnya dengan kondisi yang terbaik untuk anak cucu mereka untuk melestarikan budaya. Hal ini juga terasa dalam retakan – retakan budaya yang ada di Ubud, Bali yang menyisakan secercah kenangannya akan kualitas spiritual yang masih tersisa.

Musim gugur, di bulan november, saat yang sangat indah dimana pepohonan mulai menunjukkan warna-warninya. Gingko dengan warna kekuning-keemasannya, Mapple degan warna merah kekuningannya, maupun Sakura yang berwarna kecoklatan. Berjalan – jalan ke 4 kota yang berbeda, Tokyo, Nagoya, Kyoto, Osaka. Tokyo, Nagoya, Osaka dengan densitas yang sangat tinggi. Karya maestro – maestro designer Jepang yang bertaburang antara kota2 ini menjadikan kota ini menarik sebagai objek arsitektural ataupun relasinya dengan tata ruang kota. Juga Kyoto, kota yang sangat indah dengan kuil2 shinto dan buddha, menunjukkan transisi dari artifisial ke alam.Dari Jepang aku belajar lebih mencintai budaya, alam dan kesungguhan untuk berkarya. Dari totalitas yang ada, belajar untuk mengembangkan rasio dan rasa, pikiran dan perbuatan untuk menghasilkan karya terbaik. Di balik rasio yang bisa didapatkan dari negeri barat, dari budaya timur kita mendapatkan pelajaran rasa dari Jepang, negara yang cantik, dan indah dalam keseharian.

Dari budaya barat dan timur, dari penataan istana Versailes dengan desain taman baroque yang simetris, dengan geometri yang teratur, sampai kepada taman Ryoanji di Kyoto, ataupun taman di desain tata lansekap Bali yang menghadirkan tanaman kamboja dengan berbagai jenisnya. Bahwa pada hakikatnya perencanaan ini untuk menyediakan bunga kamboja sehari – harinya yang dibutuhkan untuk berdoa den meminta rejeki ataupun untuk bersyukur akan rahmat yang diberikan. Bunga ini kemudian semerbak dengan wanginya yang harum. Dari sinilah kita mengetahui kegunaan kamboja di lain sifatnya yang mudah untuk dibiakan, dipotong pada pangkalnya ditanam di media tanah, ia pun akan hidup tanpa perlu air yang banyak.

Ataupun taman vertical pun muncul dalam lingkungan hidup kota yang padat, yang dipopulerkan oleh Peter Blanc, seorang desainer lansekap dari Perancis yang membuat eksplorasi yang sebenarnya sudah pernah ada sebelumnya, seperti yang ada di gua pindul, ataupun ada di lereng – lereng gunung, dengan memadukan tanaman tersebut di media yang vertikal, dimana hal tersebut dicoba untuk diterapkan dengan pengairan yang baik, dengan sistem yang bisa memadukan dengan keterbatasan tempat.

Taman, adalah sebuah anatomi yang penting dalam sebuah bangunan, layaknya sebuah badan manusia, taman adalah satu hal yang adalah tempat untuk mengembalikan 5 indra kita sebagai manusia, dengan mencium semerbak wangi bunga, atau wanginya daun pohon kayu putih yang bisa tumbuh di lahan yang tidak memiliki banyak air. Ataupun melihat hijaunya daun, merasakan hangatnya rerumputan di kaki kita, mendengar gemericik air dan suara burung – burung, ataupun mengecap manisnya buah – buah yang dihasilkan dari taman.

Di lain itu, taman tidak hanya memiliki parameter terhadap time and space, ataupun economy and ethic, untuk menunjukkan kemewahan, atau, sekedar tempat yang harus ada, atau function and aesthetic, tempat yang cantik – cantikan saja. Tamun taman bisa dikombinasikan sebagai tempat untuk pesta kebun, sebagai place and event, tempat yang merupakan kenangan bagi orang – orang yang datang.

Sederhananya di dalam sebuah rumah, dimana taman yang ini begitu indah adalah taman yang bisa membuat kita berkontemplasi secara puitis terhadap alam. Taman tidak hanya berfungsi sebagai estetika saja, atau sebagai resapan saja yang membuat bumi ini lebih hidup, namun taman ini bisa meninggalkan dan membawa sisi spiritualitas kita lebih tinggi, dengan daun – daun yang berjuta warnanya, dengan susunan batu yang ditata begitu cantiknya, dengan pemilihan tanaman yang diatur dengan kegunaan dan warna warninya. kenangan bagi keluarga mengingat hakikat kita sebagai manusia yang seutuhnya, melebur kepada alam untuk mengingat waktu kita semua yang sedang menghitung mundur, dan tidak perlu tergesa – gesa menikmati perjalanan ini.

“Jadilah pohon yang rindang”, kata om William Soeryadjaya, yang buahnya lezat bisa dinikmati siapapun. “untuk ke bintang, alami kerja keras yang luar biasa dan menjadi pohon yang memiliki tajuk yang lebar.”

This storywas inspired so much by om William, his humbleness towards life explained in his biography which make us  admires him. I remember talking to Ditri, managerial editor of Baccarat, time flies, relationship happened, it madr use started to think, and wake up in this beautiful world, beautiful landscape, how grateful we should be in this world.

3
Kategori
blog tulisan-wacana

Building Nation Legacy through Architecture Fundametal – writing for Baccarat Indonesia

“I cannot believe that the purpose of life is to be “Happy.” I think the purpose of life us to be useful, to be responsible, to be compassionate. It is, above all, to matter : to count, to stand for something, to have made some difference that you have lived at all.” Leo C. Rosten 

Oscar Niemeyer,  Lucio Costa, seorang arsitek dan  perencana kota  mendesain kota Brasilia dan bangunan pemerintahan di pusat kota yang berbentuk lambang negara Brazil, dengan lambang burung Garuda,yang memiliki langgam yang modern dengan bentuk – bentuk geometris sebagai cara untuk meniciptakan citra kota brasilia yang maju. Brasilia sukses dalam menciptakan citra kota yang indah dengan coretan –  coretan garis karya Oscar Niemeyer yang tegas dan monumental. Presiden Soekarno pernah melakukan hal yang serupa dimana ia yakin bahwa lingkungan tempat kita tinggal akan membentuk visi, sebuah konsepsi besar mengenai wajah kota dengan pengembangan – pengembangan mercusuar seperti hotel indonesia, senayan, gedung DPR-MPR yang didesain oleh Soejoedi. Disini terlihat bahwa membangun kota seringkali ditandai dengan merubah wajah kota dengan pembangunan arsitekturnya. Disini arsitektur kemudian menjadi satu cara untuk meningkatkan citra diri. Meskipun dibalik citra kota Brasilia yang indah, perencanaan jalan yang masih berorientasi pada mobil membuat kota tersebut tidak ramah terhadap pejalan kaki, sepi dari pejalan kaki, sehingga menyebabkan kualitas interaksi antar penduduk berlangsung introvert, berbeda dengan yang terjadi di San Paolo ataupun Rio Janeiro. Disinilah kita melihat apakah citra itu menjadi sedemikian penting ? semanis luarnya ? lalu apa itu kualitas yang elementer dan kualitas yang fundamental ?

3 tahun yang lalu kami mendesainkan Arum Dalu Resort untuk Pak Agus Supramono dan keluarganya. Resort berada di tengah hutan dengan jarak 2 jam di daerah membalong, selatan Belitung. Kesulitan yang tinggi mewarnai pengerjaan pembangunan seperti kesulitan akan kualitas tukang dan penyediaan tukang untuk membangun, juga kesulitan akan jenis bahan yang terbatas dalam pembangunan. Desain dimulai  dari renovasi 10 buah resort yang sudah dibuat sebelumnya. Keadaan selanjutnya tidak mudah karena kondisi infrasturktur yang terbatas,  dimana tidak ada listrik, tidak ada sinyal untuk bisa berkomunikasi, daerah yang masih hutan dengan jalan yang berupa tanah liat yang seringkali membuat kendaraan tergelincir dan perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki. Alhasil proyek diselesaikan dalam waktu 3 tahun dan sebagian besar waktu pembangunan dihabiskan tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Solusi terhadap krisis pada waktu pembangunan dipecahkan dengan sistem konstruksi prefabrikasi yang tinggi dengan cetakan material batuan sintetis yang dikhususkan dari batuan dan pasir setempat. Disini air ditampung untuk untuk digunakan kembali, dan efisiensi energi ditingkatkan dengan menggunakan energi dari penghawaan udara dan penggunaan energi matahari. Sistem konstruksi bangunan baru menggunakan bahan konstruksi alumunium yang ringan,  yang dibungkus anyaman rotan sintetis yang ada di setiap cabana yang ada di 10 villa. Pekerja didatangkan untuk menganyam rotan di tempat, tidak cukup disitu, pengolahan – pengolahan sampah, pembibitan tanaman melalui proses hidroponik dan aeroponik, dipadukan dengan sistem integrasi arsitektur ke dalam bangunannya menjadi cerita villa dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang modern secara fundamental dalam menangani krisis. Arsitektur kemudian muncul dalam anyaman, dan detail – detail yang terselesaikan baik dalam citra bangunan yang dialasi dengan hal yang fundamental.

Kemudian saya teringat kira – kira setengah tahun yang lalu, kami dipanggil kembali untuk mendesain galeri nasional, satu proyek yang kami menangkan dari kompetisi nasional kira – kira 2 tahun yang lalu, alasannya adalah tampak galeri nasional untuk di bagian bangunan tinggi 10 lantai kini menjadi 16 lantai dengan kotak kaca dinilai tidak merepresentasikan galeri nasional, panitia dan tim DED sudah mencoba untuk membuat kulit bangunan, berupa wayang, batik,tanam – tanaman  atau apapun itu yang berkaitan dengan kulit bangunan. Desain prinsip bangunan adalah kotak kaca yang dibungkus – bungkus dengan berbagai pendekatan.

Disinilah saya tersadar dalam pergumulan proses desain bahwa, Desain bisa didekati melalui dua buah kualitas, yang pertama desain yang bersifat gimmick atau elementer dan desain yang bersifat mendalam atau fundamental. Dimanakah paradigma desain kita sekarang ini ? apakah kita puas dengan bungkus – membungkus ? melihat satu bangunan dari kulitnya saja ?

Desain dari galeri nasional tentu saja akan merepresentasikan wajah bangsa Indonesia, sederhana namun indah, wajah yang tidak cukup puas untuk diam di kotak kaca, wajah yang tidak cukup puas untuk berhenti di satu titik, wajah desain yang penuh dengan lompatan. Oleh karena itu desain galeri nasional sebaiknya didekati dengan pendekatan yang fundamental terhadap karakter bangsa yang menghargai alam, keterbukaan, dan kesederhanaan melalui material dan sistem konstruksi yang  penuh dengan lompatan untuk menyelesaikan masalah kebutuhan ruang dan tidak hanya merancang tampak seperti wayang, atau diberikan elemen batik atau apapun itu yang berkaitan hanya di kulit yang lepas dari stigma kebarat-baratan atau ketimur-timuran.

Desain yang fundamental akan menarik elemen alam dengan lekukannya yang dinamis, untuk kemudian melangkah ke dalam satu titik yang penuh kejutan dimana secara filosofis langit akan menjadi tanah, dan tanah akan menjadi langit. Disitulah mungkin saya mendapatkan pelajaran bahwa hal – hal arsitektural bisa digunakan untuk membangun bangsa, untuk menemukan citra diri yang terhakiki dalam representasi bangunannya di bumi Indonesia tanpa dikotomi barat – timur. Identitas bangsa itu akan muncul dengan sendirinya melalui desain yang fundamental.bahkan alam pun tidak tegak lurus dalam tarikan garis – garisnya. Desain yang semoga menjadi fundamental pun mulai dicoretkan.

lalu

Ketika merefleksikan judul diatas membangun negeri melalui arsitektur, ada banyak sekali parameter untuk bisa membangun negeri melalui arsitektur dan tentunya desain yang baik akan menyelesaikan permasalahan secara fundamental, bukan elementer saja. MIchael Caldwell berkata ada 3 hal yang bisa dirasakan dari karya seorang master arsitek secara fundamental, ia membedah karya master arsitek Carlo Scarpa, Mies Van De Rohe, Frank Llyod Wright, dan Louis Kahn dimana ia menyimpulkan hal yang mendetail yang membuat bangunan yang diciptakan arsitek – arsitek tersebut menjadi master piece. Pertama bahwa arsitekturnya memiliki kepekaan terhadap lokalitas, vernakular, memakai sumber daya yang ada di lokasi secara kreatif lekat dimana bangunan itu berada seperti juga bumi Indonesia dengan berbagai potensi material dan budaya ketukangannya. Yang kedua bahwa arsitekturnya memiliki solusi untuk memuliakan sekitarnya, di kota dan di desa untuk menghubungkan fungsi secara kreatif dari hubungan manusia dengan manusia dan merayakan keindahannya melalui ruang -ruang terbentuknya dan elemen – elemen arsitekturnya , yang ketiga yang terpenting, bahwa arsiteknya berusaha dengan segala sumber daya yang dimilikinya, mendorong dengan kerja keras yang luar biasa untuk hasil yang semaksimal mungkin demi tercapainya kualitas bangunan yang dipercayainya.

Sejauh mata memandang, telinga mendengar, dan hati ini merasakan, saya pun rindu untuk langkanya fundamental arsitektur, dan mulai untuk membangunnya setidaknya dari tulisan ini.

Brrrrrrrrrrr [dingin datang]

Kategori
blog tulisan-wacana

Traditional Home in Modernity – writing for Baccarat Indonesia

Di tahun 1990 Pameran AMI [Arsitek Muda Indonesia] menandai satu titik kritis dimana desain yang rasionalis ataupun yang sering disebut – sebut sebagai gaya minimalis menjadi sejarah di dalam arsitektur Indonesia. Desain rasionalis ditandai dengan garis – garis yang geometris, penuh pertimbangan untuk menjawab kebutuhan fungsional dan estetika yang tinggi. Hal ini menandai pergeseran nilai – nilai tentang apa yang dianggap baik oleh Arsitek Muda Indonesia sebagai reaksi terhadap menjamurnya rumah bergaya mediterania, klasik, ataupun tradisional yang menjamur pada waktu itu. 14 tahun kemudian, setelah pameran AMI tersebut, rumah – rumah yang rasionalis ini menjamur dimana – mana, gaya rasionalis menjadi satu tren pasar yang sensual untuk disukai oleh masyarakat. Hal ini ditambah dengan perubahan gaya hidup orang – orang yang lebih individual juga terjadi hal ini ditandai dengan tendensi berkurangnya rumah nukleus, rumah yang terdiri dari beberapa generasi di dalamnya. Mungkin 20 tahun yang lalu kita masih biasa dengan tradisi bapak ibu, kakek nenek, cucu cucu tinggal di dalam satu rumah. Sebuah situasi dimana canda gurau, tegur sapa terjadi secara dekat di dalam satu rumah yang ditinggali bersama – sama. Untuk ini kita bisa catat adanya pergeseran gaya hidup, pergeseran budaya, pegeseran dari tradisional menjadi modern, pergeseran dari komunal menjadi individual. Tergerusnya rumah nukleus ini menjadi satu hal yang patut untuk dicatat dan tumbuhnya rumah – rumah berukuran lebih kecil menjadi pertanda akan satu perubahan yang nyata. Pertanyaannya kemudian untuk siapa ? dan untuk apa ? satu rumah itu ada.

Untuk siapa ?

Romantisme akan keluarga yang menyatukan hubungan menjadi satu dasar utama dalam membina kesuksesan. Orang yang tinggal bersama – sama, menurut penelitian di Amerika orang – orang mengalami interaksi manusia dengan manusia terbukti akan hidup lebih lama. Catatan ini ditujukan sebagai ada korelasi dari gaya hidup / budaya ke dalam satu parameter yang hakiki, seberapa lama kita hidup, ternyata semangat kebersamaan [spirit togetherness] yang menjadi satu ciri khas yang baik dalam masyarakat kita, ternyata memiliki harta yang terpenting dalam hidup setiap orang yakni, seberapa lama kita hidup atau seberapa banyak usia yang kita punya.

Tren meningkatnya nilai individualistis ini di kota – kota besar seperti Jakarta mungkin juga dipicu oleh kurangnya tempat untuk berekspresi dan berkumpul, sehingga ada dimensi seperti ini yang mempengaruhi kualitas manusia yang menghargai arsitektur yang menghargai kebersamaan. Di tengah – tengah mulai berbenahnya Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Bogor, dan kota – kota lain. Kita di hadapkan kepada pertanyaan mengenai rumah, satu kumpulan ruang tempat kita menghabiskan sebagian waktu di dalam hidup kita, nilai apakah yang akan kita pupuk didalam rumah tersebut. Tentu saja banyak rumah yang memiliki kualitas tinggi, kualitas tinggi itu menerobos kungkungan tradisional dan modern. Ia mampu tegak berdiri di tengah kungkungan permintaan jaman, sehingga lambat laun rumah tersebut dicintai oleh orang – orang yang menghuninya atau bahkan hanya sekadar mengunjunginya karena kualitas yang terdapat didalamnya.

Untuk apa ?

Buku yang ditulis oleh Bernard Rudofsky, Architecture Without Architects bisa menjadi satu rujukan dimana menjelaskan mengenai beberapa karya rumah tinggal di tungkwan Honan, Cina misal, adalah satu rumah di bawah tanah sebagai satu usaha untuk menghindari udara dingin dan terpaan badai taufan dimana temperatur bisa turun drastis, ataupun rumah – rumah petak di Hdyrabad Pakistan dengan fitur cerobong angin untuk mendinginkan udara pada ruang di dalam dimana udara panas mengalir ke atas karena kelembapan yang rendah. Terdapat satu garis yang menyatukan beberapa bangunan yang dibahas yaitu bangunan yang diciptakan adalah satu jawaban akan kebutuhan mendasar manusia. Hal ini juga terlihat dalam rumah – rumah adat di indonesia misal rumah Batak Karo, Toba dimana bangunan dibuat panggung untuk menghindari binatang buas dan menjaga kesehatan karena konstruksi yang tersedia adalah konstruksi kayu. Ataupun Keben yang ditujukan sebagai lumbung padi yang berupa rumah panggung sekaligus menunjukkan simbol kekayaan materi pemilik rumah tersebut.

Rumah – rumah tradisional Indonesia juga merupakan respon terhadap satu kebutuhan mendasar untuk hidup nyaman dengan keterbatasan material, teknik membangun yang ada pada jamannya. Di era modern ini dimana kebutuhan mendasar manusia sudah tercukupi kemudian apa lagi yang harus dijawab oleh arsitektur tropis Indonesia. Abraham Maslow dalam penjelasan mengenai teori bagaimana alam semesta mencukupi kebutuhan manusia, bahwa ternyata kebutuhan yang paling utama adalah kebutuhan untuk mengekspresikan diri. Di titik ini, esensi apa yang mau dijawab dalam desain menjadi tidak sederhana lagi, ia menjadi kompleks karena terkait dengan pemaknaan untuk apa kita hidup dimana hal ini berbeda dari satu orang dan orang yang lain. Keberagaman ini yang tercampur aduk dalam modernitas sekarang ini, dimana orang mempertanyakan batas seberapa tradisional dan seberapa modern satu desain, dua hal yang bertolak belakang. Ingin terlihat baru juga terlihat lama, ingin terlihat berat juga terlihat ringan, ingin melihat masa lalu juga melihat masa depan.

Lalu ?

Manusia memang seakan – akan bingung dengan apa yang diinginkan dengan segala keinginannya terus menerus berubah, tradisional menuju modern. Menurut saya semuanya ini dimulai dari satu usaha untuk membuat desain yang lebih baik daripada sebelumnya. Perlu kita lihat rumah Millard karya dari Frank Llyod Wright seluas 220 m2 untuk Alice Millard di tahun 1906, kira – kira hampir seratus tahun yang lalu. Rumah yang didesain untuk menonjolkan sisi ketukangan [craftmanship] dengan material beton yang dicetak menyerupai motif sehingga menjadi tema dalam perancangannya selain pengalaman ruang yang merespon sisi selatan yang terbuka terhadap matahari mengingat posisinya di daerah Amerika Utara yang ada di Lintang Utara sehingga matahari selalu datang dari arah selatan. Frank llyod Wright ingin membuktikan bahwa ia juga bisa berkreasi dengan material yang sederhana yaitu beton. Rumah ini menjadi satu penanda di Los Angeles dan menjadi satu karya yang menjadi contoh akan membuat satu hal yang belum ada di daerah tersebut sebelumnya yang memecahkan hal – hal mendasar seperti pentingnya sinar matahari, udara yang masuk di pori – pori motif beton yang ada sampai kepada hal – hal yang bersifat keindahan, dibanggakan oleh orang – orang lain, tidak hanya pemiliknya. Kalau misalnya desain Millard house sudah dibangun sejak tahun 1923, lalu kita di tahun 2014, ditanyakan dengan satu pertanyaan, bisakah kita membuat yang lebih baik lagi. Mengenai rumah tradisional di jaman modern ini, saya kemudian ingat satu kalimat dari Daniel Liebeskind, “To provide meaningful architecture is not to parody history but to articulate it.” Be Authentic, be honest with yourself dan ajakannya kemudian adalah membuat karya yang lebih baik dari masa lalu.

Screen Shot 2014-08-29 at 1.04.08 PM

Diskusi di OMAH, mengenai Architecture Without Architect.

Tulisan ini ditampilkan di Baccarat edisi akhir tahun 2014

Kategori
blog tulisan-wacana

Empati

Jakarta 16 Maret 2014

“Someone secretly bury a berry in the side road and when a small sprout grows, the secret code is the passport, to the forest a wonderful journey will begin – Joe Hisaishi”

Di awal tahun 2014 di bumi pertiwi ini, mengenai arsitektur, dunia yang semakin hiruk pikuk, responsif, dinamis dengan informasi yang begitu banyaknya membuat diri ini berpikir apakah diskursus yang terjadi dalam hati yang pribadi, tempat perenungan untuk berbuat, mendesain masih terjadi dengan dalam atau sungguh – sungguh sekarang ini, di masa yang serba cepat ini ? Loncatan – loncatan inovasi arsitektur menjadi suatu gerakan politis dimana kedalamannya dipertanyakan sehingga kejujuran pun lebih lebih lagi dicari – cari begitu gencarnya dengan provokasi yang gencar di berbagai media informasi. Lucunya ada yang menjawabnya dengan pertanyaan retoris yang menimbulkan kesan sinis, kurang berempati dengan generalisasi berlebihan, juga penuh alasan sebab akibat. Saya pikir hal tersebut tidak akan menimbulkan empati yang mendalam dari manusia lain, namun ironilah yang muncul akibat salah membaca pesan ataupun menyesatkan logika. Saya pun ingin ikut menuangkan pendapat.

Kita sebagai arsitek perlu berbuat inovasi terhadap disiplin ilmu kita yang terdiri dari berbagai macam olah ruang, olah rasa. Olah ruang ini tidaklah seseksi gerakan politis, atau ideologi berlebihan seperti yang dicari oleh orang – orang filsuf, namun akan memberikan kenyamanan pada pengguna, berfokuslah kepada klien anda, apa kebutuhannya, luangkan waktu untuk merenungkannya dan jawablah, renungkanlah lagi, dan jujurlah pada diri sendiri. Arsitek adalah profesi yang melayani dengan empati. Dari situlah ia akan dihargai dengan dasarnya yang kuat, fondasinya yang matang seperti bangunan yang kuat diterpa kemajuan jaman dengan kepiawaian yang teruji [sense of mastery].

Perumusan teori mengenai kebutuhan manusia ini sudah bertumpuk banyaknya, hanya saja solusi yang kreatif dari arsitek untuk memecahkan masalah kebutuhan ini yang ditunggu tunggu dengan berbagai kompleksitas bangunan yang dirancang dengan isu – isu pemakaian bangunan dengan performa yang sebaik – baiknya. Kultur budaya manusia ini akan berubah lebih baik ketika olah ruang memang memiliki maksud yang baik, memiliki nilai guna, memiliki inovasi yang mencerahkan dengan kebolehan desain yang lebih baik dari masa sebelumnya. Dan semoga saja bentuknya seksi dan mengundang decak kagum sesama kita, disinilah olah rasa itu mulai muncul, rasa yang disukai sesama, terkadang rasa itu bisa angkuh, sombong, ataupun rendah hati ataupun sederhana, itu adalah hasil proses panjang berpraktek, dan itu sah – sah saja ditengah anggapan miring orang lain yang terkadang merupakan gerakan politis yang berdasarkan emosi tanpa empati. Sehingga yang muncul adalah cita rasa yang otentik [Authenticity] dari pribadi arsitek itu sendiri.

Ketika kepiawaian itu sudah teruji kemudian pembuktian empati ini pada dasarnya adalah pembuktian untuk membuka diri terhadap etika yang terdalam dari pribadi arsitek. Yang kalau – kalau pembacaan arsitek ini sudah sedemikian dalam, dicaplah ia sebagai sang radikal ataupun sang konservatif secara sendirinya, pembawa angin perubahan dan ketentraman arsitektur yang lebih baik.

Lalu lambat laun mungkin profesi arsitek akan semakin dihargai dengan sendirinya sebagai salah satu penentu peradaban jaman.

Keyakinan, empati yang lebih luas

Di tengah – tengah gerakan politis diatas. Saya mempertanyakan keyakinan yang semu ? Satu saat diri ini bertemu satu kawan lama, untuk mengingat masa – masa lalu, bahwa manusia itu berubah. Ada satu orang teman yang sudah berubah keyakinannya akan jaman yang sudah berubah, ada juga teman yang sudah semakin matang dengan kehidupannya dan keyakinan hidupnya. Mengenai keyakinan, diri ini sendiri masih mencari arti kehidupan yang hakiki tanpa menghakimi, yang terbaik yang bisa diberikan untuk sesama ini. Diri ini tidak pernah sekalipun berkata diri ini seorang katolik, ataupun katolik yang pernah membantu jemaat kristen untuk melakukan perjamuan, ataupun membantu panti asuhan muslim yang membutuhkan, ataupun membantu teman – teman Budha ataupun Hindu. Keyakinan itu ada untuk memperbaiki kehidupan manusia, namun relativitas yang ada inilah yang membuat pemahaman dan persepsi setiap orang tidak sama. Banyak juga pribadi – pribadi yang memanfaatkan agama demi dirinya sendiri.

Diri ini dibesarkan di universitas yang majemuk, plural, dengan romantisme kegiatan berhimpun yang heterogen dengan keyakinan, ideologi, pemikiran yang berbeda – beda. Namun saya ingat orang – orang yang didalamnya adalah para pemimpi yang ideal, mendambakan hidup bersama yang lebih baik. Dalam canda, senda gurau, justru saya menemukan cinta kasih, Tuhan itu di dalam diri teman – teman yang muslim, Adalah Adi namanya, Xenia namanya, ataupun Yulia namanya, ketiga orang berjilbab  ditambah teman – teman lain yang musim yang teguh untuk melakukan sholat 5 waktu juga mengajarkan arti persaudaraan yang tulus dan begitu dalam membekas, dalam teman – teman kristen yang tulus melakukan perjamuan ketika jumlah mereka hanya kurang dari 7 orang saja mengajarkan semangat tulus memuji Tuhan, ataupun teman – teman Hindu yang teguh setiap pagi berangkat ke pura untuk berdoa dan mendoakan semesta yang lebih baik sebelum memulai pekerjaan mereka, ataupun cinta kasih tulus tanpa pamrih yang ditujukan oleh orang – orang budha dengan merawat viharanya dan menahan dirinya. Mereka mengajarkan perbuatan cinta kasih yang tulus untuk sesama.

Saya mendoakan selalu teman – teman masa lalu – masa depan, teman – teman terkasih untuk bisa teguh menyebarkan tindakan cinta kasih kepada sesama.

Kategori
blog tulisan-wacana

Tumbuh perlahan – lahan

Lembang 3 November 2012

“The only way to be happy is to love. Unless you love, your life will flash by.” Mrs. O’Brien

Pagi ini diriku ada dalam satu perjalanan ke Bandung, kota yang memiliki aura menyejukkan, sabtu ini diri ini bisa rileks sejenak dari kesibukan yang menerpa 5 hari kemarin. Hari ini udara sedikit berkabut dan sejuk, matahari seakan – akan menyembunyikan dirinya dibalik gugusan awan tebal yang menyelimuti perjalanan kami.’ Sambil diri ini tertawa membayangkan saat saat kecil kami.

Diri ini berpikir, sebenarnya ada satu sisi dalam diri yang menyukai hal yang sama berulang – ulang, ingin itu – itu saja, baju itu – itu saja, melakukan yang itu – itu saja. Aku dilahirkan di Surabaya, dengan 4 orang bersaudara, kami lelaki semua. Saya pikir saya yang paling jelek diantara saudara – saudara kami.

Ayah adalah seorang kontraktor bangunan, ia insinyur sipil, dan ibu sendiri adalah seorang ibu rumah tangga. Aku ingat dulu diri ini tinggal di daerah Dukuh Kupang, daerah perumahan yang sepi di gang 13, kami punya pohon mangga yang sering kuambil mangga mudanya untuk sekedar dimakan dengan kecap manis di genteng rumah keluarga kami. Merasakan panasnya talang seng ketika diinjak di terik matahari, ataupun menggergaji triplek menjadi pedang kayu menjadi satu perkenalan dengan arsitektur. Di gang ini aku belajar berbicara , menyapa, bergaul anak – anak yang lain, dengan tetangga, tegur sapa dengan tetangga sering dilakukan, pada waktu itu diri ini ingat, permainan yang populer adalah bermain sepatu roda.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Pada waktu itu akumasih berusia 9 tahun, saat itu adalah saat dimana diri ini ada di satu lingkungan yang baru, Jakarta, bertemu dengan teman -teman yang baru. Diri ini ingat, dengan logat bahasa masih khas suroboyo, medok, sama sekali tidak tahu dengan budaya kota yang berbeda, budaya pergaulan yang berbeda. Saya heran kenapa kalau guru bertanya, kenapa saya yang selalu tunjuk tangan, padahal di Surabaya dulu, kami berlomba – lomba untuk tunjuk tangan, sampai pak Martin satu guru IPA kami bosen melihat diri ini tunjuk tangan. Aku juga ingat ada beberapa orang yagn mengusili terus menerus sampai membuat tidak tahan. Mungkin mereka tertawa juga melihat satu makhluk aneh yang baru, aku waktu itu kelas 4.

[laurensia adalah orang yang mengusiliku ketika aku ada di kelas 4 SD, Tuhan memang punya kejutannya yang tidak pernah diduga]

Atau saat – saat dimana diri ini, sedang senang – senangnya berolahraga tennis meja, dan hampir sebagian besar waktu dihabiskan untuk berlatih sehingga nilai – nilai pelajaran menjadi turun. Ada satu kesenangan yang baru. Atau saat – saat penuh tanda tanya mengapa diri ini selalu jalan – jalan ke satu gedung untuk memotretnya terus menerus setiap pulang berkerja di hari jumat sewaktu ada di Singapore dan London dengan orang – orang yang berbeda – beda, atau saat – saat bermain bulu tangkis dengan teman satu SMA yang dilakukan terus menerus.

Semudah ke satu tempat yang sama terus menerus, melakukan hal yang sama terus menerus, seperti tukang kayu yang belajar menggergaji, tukang batu yang belajar untuk memplester satu permukaan, atau seorang pandai besi yang belajar untuk menempa satu karya. Mereka melakukannya terus menerus, tanpa henti, sampai kamu menjadi tinta, kamu menjadi kertas, semua menyatu dalam nafas, dalam jiwa. Diri ini ingat kehati – hatian wanita terbaikku ketika berkerja, satu bersatu gigi itu dibersihkannya, diobatinya, ada teori – teori yang dijalaninya, seminar – seminar yang diikutinya. Semua pelajaran , latihan itu memerlukan waktu hanya untuk menjadi lebih mampu.

Memang pengalaman – pengalaman di tempat yang baru akan selalu menjanjikan pengalaman yang tak ternilai, berhadapan dengan orang – orang baru, wajah – wajah baru, budaya – budaya baru.

Kayu kelapa terbaik ada di daerah Menado, Sulawesi, karena ia tumbuh secara perlahan – lahan, bukan hibrida, bukan dikatalisasi. Seperti juga kayu bengkirai yang habitatnya ada di Kalimantai atau sama dengan damar laut yang berasal dari Sumatra. atau kayu jati Belanda yang memang tumbuh perlahan – lahan. Seratnya keras, matang, tua, karena teksturnya yang padat, rayap pun enggan menghampiri. Memang di jaman yang kompetisinya sedemikian tingginya menuntut kita selalu untuk berpikir lebih kritis, lebih cepat, lebih dan selalu lebih baik.

Kemudian diri ini teringat pesan dari pak Tisna Sanjaya, untuk tumbuh perlahan – lahan, seperti pohon, berakar kuat, bertajuk rindang, menjanjikan kehidupan untuk makhluk yang diteduhinya melalui alam yang memberikan air, sinar matahari, dan mineral yang didapatnya. Mungkin dalam kehidupan ini kita semampu kita perlu untuk meneduhi seteduh – teduhnya dengan perbuatan, perkataan, dan pikiran kita.

Hari ini diri ini tenggelam dalam romantisme kegiatan berulang – ulang yang itu – itu saja, dan memang inilah yang kunikmati, beserta Laurensia, Keluarga, dan teman – teman terbaikku yang ditemui sepanjang hari..

“Help each other. Love everyone. Every leaf. Every ray of light..”

Kategori
blog tulisan-wacana

Perjalanan Membuka Mata

Tulisan ini dipublikasikan untuk Majalah Ruang edisi ke 4

Saya tiba di NewYork dengan kapal laut sebagai seorang remaja, imigran dan seperti orang orang yang lain, saya terkesan dengan patung liberti dan horizon gedung gedung kota manhattan. Saya tidak pernah melupakan kesan tersebut. Dan proyek ini adalah mengenai kesan saya yang tidak pernah saya lupakan.

Itulah paragraph yang dibuat Daniel Liebeskind dalam narasi pembuka skema Word Trade Center yang dia menangkan dalam kompetisi Internasional yang diikuti oleh 5200 orang.

Dalam perjalanan hidupnya, seorang arsitek belajar untuk merasakan, mengatur, ataupun mencipta ruang dimana kemampuan tersebut seiring berjalannya waktu akan semakin terasah. Diskusi akan menjadi dalam apabila kita membahas latar belakang arsitek per-arsitek atau desainer per desainer. Desainer arsitektur atau architectural designer, ini padanan istilah apabila seseorang tidak mempunyai sertifikat sebagai seorang arsitek. Kita tidak akan membahas mengenai legal seorang arsitek namun latar belakang factual. Kita berhipotesa bahwa ada satu benang merah yang dialami oleh para arsitek tersebut. Benang merah yang bisa membuat kita belajar, tulisan ini pun adalah menjadi dasar untuk thesis selanjutnya, batu pondasi kalau ia bisa dianalogikan dalam satu bangunan.

Model lain yang cukup dikenal diambil dari 7 arsitek yang mempelopori deconstructivist architecture, dimulai dari sebuah pameran di museum of modern art yang dikuratori oleh Philip Johnson. Frank O Gehry peraih pritzker prize di tahun 1989. lahir di Kanada kemudian berangkat untuk bersekolah di University of Southern California school of architecture dan meneruskan di Harvard Graduate school of design. Lain dengan frank o gehry, Zaha Hadid lahir di Badhdad, belajar di bawah bimbingan Rem Koolhass di Architectural Association (AA) di London, berkerja di OMA kantor Rem Koolhas selama beberapa tahun sebelum ia menjadi partner dan membuka kantor sendiri. Salah satu figur lainnya dari 7 arsitek tersebut, Rem Koolhas lahir di Roterdam di tahun 1944, belajar di Architectural Association London sebelum mendirikan OMA bersama Elia, Zoe Zenghelis dan Madelon Vriersendrop. Kemudian arsitek lainnya Bernard Tschumi lahir di Lausanne, Switzerland, belajar di paris dan ETH Zurich dimana ia memenangkan kompetisi parc de la villete di tahun 1982. Arsitek – arsitek tersebut memiliki satu pola yang sama. pola hidup nomaden, berpindah – pindah untuk belajar kemudian terkulminasi dalam satu titik di hidupnya. Mereka lahir di suatu tempat untuk kemudian belajar atau berkerja di tempat yang memiliki budaya yang berbeda termasuk 2 arsitek lainnya Wolfgang Prix yang mendirikan coop himmeblau bersama Helmut Swiczinsky and Michael Holzer dan juga Peter Eisenman sebagai salah satu dari 7 arsitek tersebut. Meskipun ada arsitek – arsitek jenius yang memang bisa menetap di satu tempat dan kemudian benar – benar mendalami budaya, material lokal, dan pengetahuan membangun yang kemudian disintesiskan menjadi karya terbangun yang orisinal namun dari pengamatan singkat, perjalanan nomaden tersebut memberikan satu dampak signifikan dari perkembangan karir tiap – tiap arsitek. Pengembangan karir tersebut bisa dilakukan dengan berjalan – jalan, bersekolah, ataupun berkerja pada biro luar negeri, sebuah perjalanan nomaden untuk membuka mata.

Architectural association pada latar belakang dengan paviliun salah satu karya mahasiswanya, http://www.dezeen.com/2008/07/15/swoosh-pavilion-at-the-architectural-association/

Patut dicatat bahwa krisis ekonomi ada pada tahun 1987 dan 1988 yang kemudian berulang setiap 10 tahun dalam siklus krisis ekonomi. Krisis di tahun 1987 ini berkaitan dengan gerakan Dekonstruksi yang digaungkan pada akhir tahun 1980. Ada sebuah celah kesempatan setelah krisis moneter. Ketika ekonomi sudah mulai pulih, kesempatan – kesempatan bisnis datang dan peluang untuk arsitek untuk berkarya menjadi besar. Hal ini juga berlaku setelah krisis 1997 – 1998 dimana setelah perekonomian pulih, banyak biro – biro baru yang kemudian memiliki portfolio yang unik dan baru pada jamannya dilengkapi dengan brand marketing yang mampu diserap pasar, seperti kemunculan BIG, Lava, REX. Juga di Indonesia terdapat satu biro seperti Urbane Indonesia yang karyanya progresif dalam waktu kurang dari lima tahun menyabet peringkat 10 besar BCI Asia dan memenangkan beberapa kompetisi nasional. Uniknya orang – orang di belakang BIG, Lava, REX, atau Urbane Indonesia mengalami sebuah perjalanan dalam hidupnya yang kurang lebih sama dengan 7 arsitek desconstructivist. Yakni kesempatan untuk belajar , bekerja, dan berjalan – jalan di sebuah tempat yang berbeda budayanya dengan tempat kelahirannya dan mengalami hidup nomaden.

Satu Arsitek yang patut dicatat karena tidak memiliki latar belakang formal pendidikan arsitektur adalah Tadao Ando, peraih pritzker prize tahun 1995. Jauh sebelum menjadi arsitek ia adalah petinju, ia menghabiskan waktu – waktunya untuk mempelajari arsitektur barat dengan berjalan – jalan berkeliling dunia, menjadi nomaden dalam rentang umurnya 24 sampai dengan 28 tahun. Dalam kemiskinan ia bepergian ke moskow, finlandia, spaniel, italia, Marseilles, Madagascar, India, paris, vienna dimana ia melihat karya alvar alto dan michaelangelo sebagai sumber inspirasi. Ia kemudian ia memberanikan dirinya membuka prakteknya yang berkonsentrasi dalam perancangan rumah kecil dan sederhana. Di usia 35 Tadao ando kemudian mendapatkan penghargaan tahunan dari institute arsitek di jepang, sebuah penghargaan yang diberikan pertama kalinya untuk proyek rumah berskala kecil sebesar 65 m persegi. Pengalaman belajar menikmati arsitektur dari tempat – tempat di luar jepang dalam rentang waktu 4 tahun memberikan pengaruh yang besar dalam kesuksesannya tadao ando. Proyek nya berkembang dari rumah kecil menuju bangunan publik seperti museum ataupun baungan komersial tidak hanya di Jepang namun tersebar di Texas sampai Perancis dan Abu Dhabi.

Satu Arsitek yang patut dicatat karena tidak memiliki latar belakang formal pendidikan arsitektur adalah Tadao Ando, peraih pritzker prize tahun 1995. Jauh sebelum menjadi arsitek ia adalah petinju, ia menghabiskan waktu – waktunya untuk mempelajari arsitektur barat dengan berjalan – jalan berkeliling dunia, menjadi nomaden dalam rentang umurnya 24 sampai dengan 28 tahun. Dalam kemiskinan ia bepergian ke moskow, finlandia, spaniel, italia, Marseilles, Madagascar, India, paris, vienna dimana ia melihat karya alvar alto dan michaelangelo sebagai sumber inspirasi. Ia kemudian ia memberanikan dirinya membuka prakteknya yang berkonsentrasi dalam perancangan rumah kecil dan sederhana. Di usia 35 Tadao ando kemudian mendapatkan penghargaan tahunan dari institute arsitek di jepang, sebuah penghargaan yang diberikan pertama kalinya untuk proyek rumah berskala kecil sebesar 65 m persegi. Pengalaman belajar menikmati arsitektur dari tempat – tempat di luar jepang dalam rentang waktu 4 tahun memberikan pengaruh yang besar dalam kesuksesannya tadao ando. Proyek nya berkembang dari rumah kecil menuju bangunan publik seperti museum ataupun baungan komersial tidak hanya di Jepang namun tersebar di Texas sampai Perancis dan Abu Dhabi.

Salah satu karya tadao Ando, Church of light

Kalau kita lihat dari lokasinya bahwa Indonesia adalah Negara khatulistiwa dengan 2 musim yang suhu udaranya konstan sepanjang tahun. Sebuah Negara yang sangat beruntung dengan posisinya di equator dan memiliki tanah yang subur dengan kekayaan hutan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Siapapun akan mengetahui Hal Ini sungguh berbeda dengan kota, letak architectural association, sebuah sekolah avant – garde penghasil arsitek kelas dunia yang ada di London, Inggris dimana cuaca yang ada tidak bersahabat dengan terpaan angin kencang sehingga musim dingin kita selalu merasakan wind chilled effect, dan sinar matahari hanya datang untuk menerpa suhu diatas 20 derajat hanya tidak lebih dari 4 bulan dalam satu tahun. Ada satu benang merah dari bagaimana letak geografis dan kondisi iklim satu Negara bisa memberikan sebuah masa adaptasi yang luar biasa, sense of survival saya rasa. Hidup di luar negeri menjanjikan pola hidup yang baru, lepas dari kultur bangsa kita sebagai bangsa Indonesia. Pola Hidup tersebut mengasah pola berpikir untuk bisa beradaptasi yang kemudian memberikan satu titik positif luar biasa dalam pengembangan diri pribadi. Selain itu Dalam percampuran budaya di tempat yang baru , para arsitek juga mendapatkan jaringan pertemanan yang luar biasa yang kadang kala akan saling terhubung dalam jaringan bisnis . Bjarke angels pernah berkerja di MVRDV, Zaha Hadid yang pernah berkerja di OMA, Prince Joshua Ramus yang pernah berkerja di OMA, Ole Schrehen yang juga pernah berkerja di OMA sebelum mereka membuat biro sendiri. Dalam Ikatan Arsitektur Indonesia prose’s untuk mendapatkan sertifikasi arsitek dibedakan menjadi 3 tahap, pratama dengan 3 tahun pengalaman, madya dengan lima tahun pengalaman, dan utama dengan 12 tahun pengalaman . Pengalaman tersebut menunjukkan kematangan arsitek. Seorang arsitek mengalami program sarjana, bachelor arsitektur di Indonesia 4 tahun ataupun di luar negeri selama 3 tahun, dimana rata – rata akan lulus di usia 23 sampai 25 tahun. Setelah seorang arsitek itu lulus ia membuka mata dan memulai perjalanannya.

Baik atau buruk hidup di luar negeri, menjanjikan satu fase dalam hidup yang signifikan dalam perkembangan karir seorang arsitek. Belajar untuk memulai perjalanan membuka mata.

Bibliography
1. OMA official Website, http://www.oma.eu, 2.Jodiiou Philip, New Forms, 1990 3.http://architecture.about.com/library/bl-libeskind-statement.htm
2. skema WTC dari Daniel Liebeskind, image source http://www.september11news.com/1_Libeskind_LMDC_3.jpg

Kategori
blog tulisan-wacana

The secret is … ? , catatan singkat #1

Diri ini teringat betapa sudah beberapa puluh anak – anak yang ada di studio, dari dahulu hingga sekarang menemani malam – malam pembuktian yang panjang dan jam – jam workshop yang melelahkan. Saya seringkali menanyakan apa saja yang akan membuat orang- orang terbaik untuk tinggal di studio.  Professor Danisworo membisikkan suatu waktu di acara archiworx, “Realrich, arsitek itu dasarnya adalah makhluk yang independen. “Pada saat itu pak Danis bercerita mengenai pengalamannya pada waktu membentuk Encona dan PDW dan dikelilingi oleh orang –orang terbaiknya yang datang dan pergi.

Pada waktu itu diri ini diselimuti pertanyaan kira – kira apa yang membentuk biro arsitek ini seharusnya. Budaya apa ? berpikir melalui kepala ini tidak keluar juga ? merasakan dengan hati juga tidak ada hasilnya ? menurut saya cerita ini justru muncul dengan adanya satu pencarian, refleksi mengenai apa sih rahasianya. Apa sih rahasia yang terbaik untuk meracik satu studio desain, selain tentu saja pengetahuan membuat ruang penuh filosofi, dan functionally beautiful dengan dimensi akan aktivitas dan performance yang terbaik dari aktifitas tersebut. Salah satu kunci bertanyalah pada batu bata, sensitiflah pada material, begitu catatan Kahn dalam intonasinya secara filosofis.

Pada bulan ini Maret 2012, seluruh pegawai kantor berjumlah 18 orang. Tidak termasuk dengan tukang – tukang kayu ataupun tukang listrik, tukang batu yang digaji perharian.  Sangat kontras dari dua tahun yang lalu yang kita baru berjumlah 2 orang. Pada saat ini baiknya kita merenungkan sejenak apa cerita dibalik layar dari studio kecil ini. Diri ini mencoba berhitung secara total kira – kiraada 180 pekerjaan dalam satu tahun setengah ini. Sebuah angka yang terjadi dalam waktu yang tidak singkat membutuhkan beribu – ribu jam untuk bisa menyelesaikannya. Pekerjaan ada yang datang dan ada yang pergi, begitupun dengan tim yang selalu berubah. Dinamis lincah bergerak seperti awan membawa kesedihan dan kegembiraan di langit yang biru.

Aku teringat betapa diri ini harus berterima kasih sedalam – dalamnya kepada para designer yang ada di kantor ini. Dari kenakalan – kenakalan yang akhirnya membuahkan video klip singkat mengenai satu dan dua lagu yang sedang ngetrend pada saat itu, dengan orang- orang jenaka seperti wiwid, imal, Silvanus, Lia, Morian, dan Dicke dengan K – pop alirannya. Ataupun David dengan keisengannya yang fenomenal memasukkan tokoh doraemon kedalam salah satu desain bangunan yang sedang dikerjakannya ataupun masa ospek di kantor yang dijalaninya dengan hukuman membuka dan memimpin rapat dengan bahasa jawa timuran.

Herannya, Surya dan David yang asal Surabaya ini, seringkali datang pada waktu sabtu atau minggu, mungkin saja kantor sudah menjadi rumah kedua bagi mereka yang anak perantau, jauh – jauh datang dari kampung halaman hanya untuk membuka mata dengan suasana Jakarta yang membisingkan. Banyak dari anak – anak di kantor adalah perantauan yang hidup nomaden, berpindah – pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di dalam hati diri ini tersenyum apabila tempat ini bisa menjadi rumah kedua mereka.

Yang memukau juga kesediaan anak – anak kantor untuk selalu membuka diri akan pertanyaan, apakah ada yang lebih baik ?, Hal seperti ini sangat sulit untuk dilakukan bagi seorang designer. Diskusi demi diskusi dilakukan dengan jenaka, lontaran – lontaran celetukan yang menghidupkan suasana studio seakan – akan membuat design progress dan design produk yang fresh from the oven. Dari sketsa ke workshop. Adalagi tim sayap kiri dengan Adit, Randy, Hamu yang siap mengacau suasana dengan berceloteh atau berkomentar tentang teman – temannya yang pada akhirnya akan membuat riuh rendah di kantor, yang terkadang suaranya sampai ke jalan raya depan kantor, untungnya ibu saya adalah ketua RT di neighbourhood, jadi keributan ini bisa dimaklumi oleh tetangga . Memang berguna hal – hal seperti ini. He he…

Tim sayap kiri ini salah satunya adalah tipe yang disukai wanita dengan pesonanya celetuk anak – anak yang lain, yang satu adalah pemancing suasana, dan yang satu adalah arsitek melankolis dengan kemampuan lapangan yang luar biasa tajamnya. Sayang sang Jendral Workshop, Indra namanya, sudah keluar kota, keluar kantor maksudnya, kalau tidak tim sayap kiri ini akan semakin piawai dalam membuat keributan terutama kalau si jenderal baru saja memakan kambing yang membuat dirinya high.

Kita juga memiliki beberapa tipe rapat yang spontan saja dilakukan, sejak jaman wiwid, Imal, Sil, Toni, Morian, Lia, Bayu, . Dari rapat di hari valentine, rapat dengan bahasa sunda, ataupun berguling – guling di pantai Anyer. Mereka semua orang – orang terbaik yang fenomenal yang sekarang sudah terbang keluar kantor, keluar pulau, keluar kota ataupun keluar negeri.

tim sayap kanan juga tidak ketinggalan dengan passionnya yang tekun menerus, satu persatu dengan hati – hati seluruh project dikerjakannya. Andhang, Raras, Emmy, Maria, meski dengan mata merah menahan kantuk seringkali, dan stress menarik garis yang tidak kunjung selesai untuk menuruti kemauan saya yang selalu meminta hal yang lebih baik dan lebih baik lagi, dateline yang menerpa setiap minggunya dengan masih sempat – sempatnya tertawa dalam penat yang diri ini tahu terkadang sulit mengusirnya.

Dan lagi terkadang Kita terkejut – kejut Andhang bisa muncul tidak terduga di hari – hari libur dan datang di hari kerja membawa foto – foto yang luarbiasa mengenai karya – karya kantor.

Ini semua Outstanding, tim terbaik di dunia sudah mulai menampakkan batang hidungnya, saya tidak pernah melihat tim selengkap ini.

Belum lagi mas bambang yang dikenal sebagai magical man dan Mas Rudi Yanto yang dipanggil mas padahal ialah yang termuda, mewarnai keteknikan tim studio yang terlalu fluid dan melayang diatas awan. Awan itu pada akhirnya harus turun dan membumi, dari merekalah sentuhan itu tajam. Ada lagi menurut saya yang harus disebut dengan kredit yang luar biasa, tim – tim awal studio seperti Meirisa, wiwid, Reinard, Refano,  Sapta, Meilani, Bismo, Lia, Toni, dan anak – anak yang melakukan internship di Studio ini dalam gelak tawanya sendiri. Total kami sudah memenangkan dua digit kompetisi nasional sejak terbentuknya, dan dua digit project yang akan terbangun di tahun ini.

Setiap studio desain tentu saja memiliki kekuatan ide yang spesial di setiap langkah – langkahnya. Dengan pendekatan empiricism atau rationalismnya. Ide bisa dicari – cari dimana – mana, termasuk dengan menatap alam pun kita bisa mendapatkan ide yang tak terhingga banyaknya. Gabungan antara art dan teknik itulah yang membentuk arsitektur kata Ruskin.  Herannya diri ini merasakan mengenai gairah dan kekuatan penghargaan di arsitektur. Saling menghargai di dalam tim studio adalah satu harta yang priceless.

Diri ini tidak tahu apa yang ada di dalam kantor ini, kesedihan ketika satu persatu anak kantor ini pergi juga kegembiraan begitu ada yang bergabung menjadi keluarga. Namun salah satu asset yang paling berharga dalam >O+ Workshop adalah pada saat kita tertawa bersama – sama karena satu hal yang biasa – biasa saja.

Ada juga satu anak, Lisa namanya,  yang gemar untuk berceloteh untuk mengomentari teman – temannya,di siang bolong ataupun di saat – saat malam – malam lembur, ia  membantu untuk menimbulkan celoteh yang lain, yang pada akhirnya ia menjadi pusat perhatian untuk dicelotehi. Sehingga ia mendapatkan title celoteh Lisa untuk sesi celotehnya untuk menjadi satu superstar di warga perkampungan >O+

Ada juga yang tidak mau memperkenalkan kekasih hatinya kepada anak – anak kantor dan diakhiri dengan anak tersebut dikejar – kejar sampai ia lari terbirit – birit begitu kekasihnya datang membawa helm dan meminta kekasihnya menunggu 200 meter jauhnya dari kantor di satu pos satpam. Ada – ada saja kelakuan anak – anak ini.

Dan saya pun baru menyadarinya ternyata selama ini harta studio yang paling berharga adalah kebahagiaan dalam tawa. Ketika kita tertawa,

The secret is the laughter… oleh karena itu mungkin besok kita akan canangkan bagaimana motto kanto Gaul Asik Cool Professional bisa lebih melekat tentunya untuk membentuk kantor arsitek terbaik di dunia dengan passion terbaik di dunia. Mulai Besok banyak – banya tertawalah dikantor, karena itulah rahasia utamanya …

[RS]

diri ini kemudian juga teringat akan bingkisan kalimat yang diberikan IP.

Pak Realrich Sjarief and  family members
Simple dream, simple act, great impact
In here I learn
Work in family
Work with care
Work with fun
Work with laugh
Work in good mood
Work with love
It’s not office
It’s home
It’s not duty
It’s a pleasure
Then,
Attitude
Responsibility
Respect
Dicipline
Will be created by itself
It’s pleasure and honor to meet these amazing and creative family
IP

membuat diri ini bersyukur akan adanya tempat ini

Kategori
blog tulisan-wacana

Shopping Mall story – Tulisan untuk majalah ruang edisi 3

“Yuk, hari ini kita ke shopping mall kata seorang ibu kepada anak perempuannya. Kemudian dia menjinjing tas hermes, tas dari gerai toko terkenal di dunia. Sang anak pun mengiyakan, sejenak kemudian, ibu tersebut menelpon suaminya, pa kita ketemu di mall ya, sambil makan siang, setelah itu ke kidzania, anak kita mau main di mall.”

Kehidupan berkota di jakarta mau tidak mau memang diwarnai dari kehidupan satu mall ke mall yang lain. Ruang terbuka hijau yang semakin kecil dengan target yang bisa dipenuhi oleh pemerintah daerah DKI Jakarta sebesar 9,7 persen dari 13 persen yang ditargetkan (Antara 2009). Kehidupan berkota yang introvert,mandiri, serasa tidak bergantung satu sama lain, egois.  Dari segi arsitektur kota shopping mall adalah sebuah nodes. Hal yang digaris bawahi kevin lynch sebagai elemen pembentuk ruang kota. Kevin lynch “pola pola pembentuk ruang kota terdiri dari beberapa elemen pembentuk ruang kota seperti, paths, districts, nodes, edges, landmarks ” lynch. Shopping mall sendiri adalah sebuah nodes dalam elemen pembentuk ruang kota.

Menurut Yayat Supriatna, sekertaris jenderal ikatan ahli planer (IAP), Jakarta memiliki jumlah mall terbesar di dunia mencapai 130 mall, tetapi hanya mempunyai empat taman kota. Pertanyaan mengenai mengapa mall bisa sebegitu banyaknya dan himbauan para intelektual kepada pemerintah untuk bisa membatasi jumlah shopping mall juga terjadi. Di lain pihak para developer selalu jeli untuk mencium kesempatan dalam pertumbuhan properti yang tinggi di jakarta. Jakarta sedang ada dalam paradigma Bussiness as usual yang kuat.

business as usual

Namun Bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran shopping mall memberikan suntikan ekonomi yang positif terhadap perekonomian satu kota. Shopping mall menyediakan oase bagi penduduk jakarta ditengah makin tergerusnya ruang terbuka hijau. Posisinya sebagai nodes sama seperti konsep pasar tradisional yang selalu berdekatan dengan alun – alun kota, pusat peribadatan, pusat pemerintahan di kota – kota seperti Semarang, Bandung, Cilacap, dan kota – kota indonesia lainnya.

Kita kemudian teringat pada pasar tradisional yang pada hakikatnya merupakan tempat bertransaksi, menawar harga, berinteraksi, bersenggolan, bersentuhan, berpeluh keringat, mencium wewangian rempah. Tempat yang menurut Edward T Hall adalah tempat yang intim. Seperti ruang yang terdapat di Pasar Johar semarang dimana koridor hanya sebesar 1 meter dan bahkan ada yang lebih kecil dengan lebar pundak manusia sebesar 60 cm maka otomatis saat kita berpapasan dengan orang lain, kita akan bersenggolan dengan orang lain. Alih – alih tersenggol karena emosi, dari bersenggolan itu sepanjang kita merasakan kehangatan. Ada  senyuman ibu ibu yang tersenggol Atau bapak yang cuek-cuek saja sambil meliukkan tubuhnya menghindari senggolan. Hal ini berbeda dengan shopping mall dengan korridor selebar minimum 3 meter yang memberikan jarak untuk kita tidak bersenggolan sebagai dampak untuk memenuhi kebutuhan privasi dan kenyamanan. Keragaman pola aktifitas “pattern language” yang ada ini tentunya yang menurut saya berharga.

Pola kehidupan dari jarak koridor 3 m mencerminkan gaya hidup yang cenderung individualistis. Hal ini tercermin dengan  kiasan shopping mall yang identik dengan big box, kotak yang tertutup, dan dikondisikan dengan air conditioner. Shopping mall ini sering diasosiasikan dengan kehidupan kaum sub urban di America. Dimana tercipta kehidupan pergeseran kehidupan berkota dari jalan – jalan yang bersifat tradisional menjadi interaksi di dalam shopping mall yang diakibatkan oleh  keamanan, kenyamanan, hiburan yang sudah tidak didapatkan lagi dari jalan – jalan kota.

Sama seperti yang terjadi di Amerika, hal ini terjadi di Jakarta, dari sepanjang jalan Harmoni sampai Kota tua memiliki kualitas pedestrian yang sangat buruk. Pedestrian yang sempit dengan permukaan yang sudah hancur juga minim peneduh untuk pengguna pedestrian.

Leon Krier Sketch

Dalam perencanaan sebuah shopping mall, perhitungan efisiensi luasan kotor bangunan yang tinggi mensyaratkan desain untuk dapat memberikan luasan retail semaksimal mungkin untuk bisa dijual kepada gerai gerai toko eksklusif seperti hermes, louis vuitton, channel, gucci, prada, dsb. Hal ini menimbulkan kompleksitas desain yang tinggi dengan kecenderungan menggabungkan beberapa fungsi bangunan seperti kantor, hotel, convention centre, exhibition centre, cinema, shopping mall, dan apartment menjadi tipologi mixed use sebagai akibat dari harga nilai tanah yang tinggi.

Melihat densitas yang tinggi dalam mixed use, ada potensi untuk membuat pengembangan yang kompak, teintegrasi berorientasi ke arah vertikal, seperti senayan city, rasuna epicentrum, pacific place, ataupun st.moritz. Ada pula kesempatan untuk membuat pengembangan yang berbasis transit oriented development, pola pengembangan yang berbasis dari infrastruktur transportasi. Banyak sekali kelebihan potensi dari pengembangan yang berbasis mixed use ini. Singapore sebagai salah satu preseden yang sukses dalam menempatkan shopping mall yang terintegrasi dengan sarana transportasi. Lagi – lagi kordinasi antara pemerintah kota DKI dengan pihak developer yang memiliki shopping mall menjadi penting.

Kontrol terhadap pengembangan densitas disuatu wilayah harus diskenariokan dengan cermat. Karena posisi dan densitas tersebut akan mempengaruhi arus lalu lintas, pola peruntukan lahan, dan keberlangsungan ruang terbuka hijau. Sehingga paradigma business as usual bisa memiliki kontrol. Dan yang berhak mengontrol itu adalah pemerintah kota DKI sebagai kepanjangan tangan dari penduduknya.

Dari sudut pandang arsitektur, dalam perencanaan elemen pembentuk shopping mall terdiri dari 3 bagian terpenting yaitu koridor, atrium dan retail. Koridor dalam sebuah mall pun sebenarnya adalah edge dimana terdapat tempat duduk duduk saling berhadapan untuk orang bercengkrama. Ada baiknya apabila koridor ini tidak hanya berfungsi sebagai sirkulasi saja namun juga tempat berkumpul. Koridor ini sebaiknya juga tidak gelap, akan lebih baik kalau memiliki kaca yang transparan di sisi luar di ujung ujung koridor supaya cahaya luar bisa memasuki ruangan. Sisi yang menghadap toko”retail” seharusnya bisa dibuka selebar lebarnya untuk membantu penyewa toko mendapatkan keuntungan semaksimal mungkindari kegiatan menjual, memamerkan barang dagangannya. Sebaiknya juga perancangan koridor ini tidak kalah dengan perancangan museum museum terkenal seperti museum di dunia. Karena pada hakikatnya kegiatan yang ditampilkan kurang lebih sama yaitu ruang pamer.

Sedangkan Atrium adalah tempat orang berkumpul, tempat yang mengingatkan agora sebagai tempat berkumpul warga yunani di jaman dahulu,  courtyard pada keraton jogja, rumah tradisionak jepang, rumah tradisional hanook. Terkadang ada fungsi tempat berkumpul, tempat untuk bercerita, tempat untuk menonton pertunjukkan seni, melalui media ataupun pertunjukkan langsung. saya teringat dengan aklung saung udjo. Bagaimana ia membagikan pengetahuan mengenai nilai – nilai tradisional mengenai angklung. Atrium hendaknya juga adaptif terhadap pergantian fungsi.

Retail hendaknya adaptif terhadap penyediaan fungsi gudang yang memakan ruang, ruang restaurant pun harus dirancang dengan mempertimbangkan fungsi koridor untuk servis. Ada baiknya jam tutup shopping mall diperpanjang, supaya orang – orang bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan berinteraksi dengan orang lain, meski melalui berbelanja. Ada juga penambahan fungsi tempat peribadatan di dalam shopping mall. Dimana saya kira ini hal yang baik untuk dilakukan di jakarta. Tempat anak – anak bersekolah pun bisa dilakukan di dalam shopping mall. Konsep ini sesuai dengan neighbourhood unit yang dicetuskan oleh clarence perry, dimana pada saat itu, pengembangan masih ke arah horisontal dan sekarang kita ada di era kepadatan yang tinggi dengan pengembangan ke arah vertikal.

Meskipun ekses negatif yang ditimbulkan oleh shopping mall. merupakan salah satu realitas kota Jakarta merupakan masa depan kota Jakarta.  Banyak pekerjaan rumah yang dibebankan ke pemerintah kota DKI Jakarta dan banyak Pekerjaan moral dibebankan ke pihak swasta. Ada banyak jalan untuk menyatukan realitas kota menjadi sebuah potensi positif, dan shopping mall memiliki masa depan yang cerah untuk memperbaiki juga merusak kota Jakarta. Pemerintah, swasta, dan pengguna memiliki tanggung jawab moral untuk membuat Jakarta kota yang nyaman ditinggali penggunanya dengan realitas, positif dan negatif dari ada shopping mall. Sebagai kalimat penutup, saya akan mengutip kalimat dari Ir. Robi Sularto Sastrowardojo dalam essay yang dipresentasikan dalam pertemuan ikatan arsitek se dunia di tokyo tahun 1980.

“Most of the architectural works are a local mirror of one culture as it is today. Professionaly there is nothing might be nothing wrong with these works, possibly when excellence… Architecture it seems to me should be considered as a dharma, a social obligation, instead of a commision. When architecture is considered, as a dharma, then more architects will realise that architecture is born, not made.”

Inilah yang seharusnya kita menyadari. Bagaimana kita melihat realitas kota, dan berbuat yang terbaik dari apa yang bisa kita buat sebagai salah satu penghuninya.

Bibliografi

Antara 2009, RTH Jakarta Bertambah empat hektar, http://www.antaranews.com/berita/1256793870/rth-jakarta-bertambah-empat-hektar

(Terakhir terakses 01 desember 2010 )

Sularto, robi, architecture is a dharma not made,­­­2009, Jakarta.

Kategori
tulisan-wacana

The secret is … ? , catatan singkat #2

Diri ini teringat betapa sudah beberapa puluh anak – anak yang ada di studio, dari dahulu hingga sekarang menemani malam – malam pembuktian yang panjang dan jam – jam workshop yang melelahkan. Saya seringkali menanyakan apa saja yang akan membuat orang- orang terbaik untuk tinggal di studio. Professor Danisworo membisikkan suatu waktu di acara archiworx, “Realrich, arsitek itu dasarnya adalah makhluk yang independen. “Pada saat itu pak Danis bercerita mengenai pengalamannya pada waktu membentuk Encona dan PDW dan dikelilingi oleh orang –orang terbaiknya yang datang dan pergi.

Pada waktu itu diri ini diselimuti pertanyaan kira – kira apa yang membentuk biro arsitek ini seharusnya. Budaya apa ? berpikir melalui kepala ini tidak keluar juga ? merasakan dengan hati juga tidak ada hasilnya ? menurut saya cerita ini justru muncul dengan adanya satu pencarian, refleksi mengenai apa sih rahasianya. Apa sih rahasia yang terbaik untuk meracik satu studio desain, selain tentu saja pengetahuan membuat ruang penuh filosofi, dan functionally beautiful dengan dimensi akan aktivitas dan performance yang terbaik dari aktifitas tersebut. Salah satu kunci bertanyalah pada batu bata, sensitiflah pada material, begitu catatan Kahn dalam intonasinya secara filosofis.

Pada bulan ini Maret 2012, seluruh pegawai kantor berjumlah 18 orang. Tidak termasuk dengan tukang – tukang kayu ataupun tukang listrik, tukang batu yang digaji perharian. Sangat kontras dari dua tahun yang lalu yang kita baru berjumlah 2 orang. Pada saat ini baiknya kita merenungkan sejenak apa cerita dibalik layar dari studio kecil ini. Diri ini mencoba berhitung secara total kira – kiraada 180 pekerjaan dalam satu tahun setengah ini. Sebuah angka yang terjadi dalam waktu yang tidak singkat membutuhkan beribu – ribu jam untuk bisa menyelesaikannya. Pekerjaan ada yang datang dan ada yang pergi, begitupun dengan tim yang selalu berubah. Dinamis lincah bergerak seperti awan membawa kesedihan dan kegembiraan di langit yang biru.

Aku teringat betapa diri ini harus berterima kasih sedalam – dalamnya kepada para designer yang ada di kantor ini. Dari kenakalan – kenakalan yang akhirnya membuahkan video klip singkat mengenai satu dan dua lagu yang sedang ngetrend pada saat itu, dengan orang- orang jenaka seperti wiwid, imal, Silvanus, Lia, Morian, dan Dicke dengan K – pop alirannya. Ataupun David dengan keisengannya yang fenomenal memasukkan tokoh doraemon kedalam salah satu desain bangunan yang sedang dikerjakannya ataupun masa ospek di kantor yang dijalaninya dengan hukuman membuka dan memimpin rapat dengan bahasa jawa timuran.

Ada juga ketercenganan dari Surya namanya yang membuat desain dengan segala sambung kayu, besi dan bautnya. Herannya, Surya dan David yang asal Surabaya ini, seringkali datang pada waktu sabtu atau minggu, mungkin saja kantor sudah menjadi rumah kedua bagi mereka yang anak perantau, jauh – jauh datang dari kampung halaman hanya untuk membuka mata dengan suasana Jakarta yang membisingkan. Banyak dari anak – anak di kantor adalah perantauan yang hidup nomaden, berpindah – pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di dalam hati diri ini tersenyum apabila tempat ini bisa menjadi rumah kedua mereka.

Yang memukau juga kesediaan anak – anak kantor untuk selalu membuka diri akan pertanyaan, apakah ada yang lebih baik ?, Hal seperti ini sangat sulit untuk dilakukan bagi seorang designer. Diskusi demi diskusi dilakukan dengan jenaka, lontaran – lontaran celetukan yang menghidupkan suasana studio seakan – akan membuat design progress dan design produk yang fresh from the oven. Dari sketsa ke workshop. Adalagi tim sayap kiri dengan Adit, Randy, Hamu yang siap mengacau suasana dengan berceloteh atau berkomentar tentang teman – temannya yang pada akhirnya akan membuat riuh rendah di kantor, yang terkadang suaranya sampai ke jalan raya depan kantor, untungnya ibu saya adalah ketua RT di neighbourhood, jadi keributan ini bisa dimaklumi oleh tetangga . Memang berguna hal – hal seperti ini. He he…

Tim sayap kiri ini salah satunya adalah tipe yang disukai wanita dengan pesonanya celetuk anak – anak yang lain, yang satu adalah pemancing suasana, dan yang satu adalah arsitek melankolis dengan kemampuan lapangan yang luar biasa tajamnya. Sayang sang Jendral Workshop, Indra namanya, sudah keluar kota, keluar kantor maksudnya, kalau tidak tim sayap kiri ini akan semakin piawai dalam membuat keributan terutama kalau si jenderal baru saja memakan kambing yang membuat dirinya high.

Kita juga memiliki beberapa tipe rapat yang spontan saja dilakukan, sejak jaman wiwid, Imal, Sil, Toni, Morian, Lia, Bayu, . Dari rapat di hari valentine, rapat dengan bahasa sunda, ataupun berguling – guling di pantai Anyer. Mereka semua orang – orang terbaik yang fenomenal yang sekarang sudah terbang keluar kantor, keluar pulau, keluar kota ataupun keluar negeri.

Para wanita sayap kanan juga tidak ketinggalan dengan passionnya yang tekun menerus, satu persatu dengan hati – hati seluruh project dikerjakannya. Andhang, Raras, Emmy, Maria, meski dengan mata merah menahan kantuk seringkali, dan stress menarik garis yang tidak kunjung selesai, dateline yang menerpa setiap minggunya dengan masih sempat – sempatnya tertawa dalam penat yang diri ini tahu terkadang sulit mengusirnya.

Dan lagi terkadang Kita terkejut – kejut Andhang bisa muncul tidak terduga di hari – hari libur dan datang di hari kerja membawa foto – foto yang luarbiasa mengenai karya – karya kami.

Ini semua Outstanding, tim terbaik di dunia sudah mulai menampakkan batang hidungnya, saya tidak pernah melihat tim selengkap ini.

Belum lagi mas bambang yang dikenal sebagai magical man dan Mas Rudi Yanto yang dipanggil mas padahal ialah yang termuda, mewarnai keteknikan tim studio yang terlalu fluid dan melayang diatas awan. Awan itu pada akhirnya harus turun dan membumi, dari merekalah sentuhan itu tajam. Ada lagi menurut saya yang harus disebut dengan kredit yang luar biasa, tim – tim awal studio seperti Meirisa, wiwid, Reinard, Refano, Sapta, Meilani, Bismo, Lia, Toni, dan anak – anak yang melakukan internship di Studio ini dalam gelak tawanya sendiri. Total kami sudah memenangkan dua digit kompetisi nasional sejak terbentuknya, dan dua digit project yang akan terbangun di tahun ini.

Setiap studio desain tentu saja memiliki kekuatan ide yang spesial di setiap langkah – langkahnya. Dengan pendekatan empiricism atau rationalismnya. Ide bisa dicari – cari dimana – mana, termasuk dengan menatap alam pun kita bisa mendapatkan ide yang tak terhingga banyaknya. Gabungan antara art dan teknik itulah yang membentuk arsitektur kata Ruskin. Herannya diri ini merasakan mengenai gairah dan kekuatan penghargaan di arsitektur. Saling menghargai di dalam tim studio adalah satu harta yang priceless.

Diri ini tidak tahu apa yang ada di dalam kantor ini, kesedihan ketika satu persatu anak kantor ini pergi juga kegembiraan begitu ada yang bergabung menjadi keluarga. Namun salah satu asset yang paling berharga dalam studio kami adalah pada saat kita tertawa bersama – sama karena satu hal yang biasa – biasa saja.

Ada juga satu anak, Lisa namanya, yang gemar untuk berceloteh untuk mengomentari teman – temannya,di siang bolong ataupun di saat – saat malam – malam lembur, ia membantu untuk menimbulkan celoteh yang lain, yang pada akhirnya ia menjadi pusat perhatian untuk dicelotehi. Sehingga ia mendapatkan title celoteh Lisa untuk sesi celotehnya untuk menjadi satu superstar di warga perkampungan >O+

Ada juga yang tidak mau memperkenalkan kekasih hatinya kepada anak – anak kantor dan diakhiri dengan anak tersebut dikejar – kejar sampai ia lari terbirit – birit begitu kekasihnya datang membawa helm dan meminta kekasihnya menunggu 200 meter jauhnya dari kantor di satu pos satpam. Ada – ada saja kelakuan anak – anak ini.

Dan saya pun baru menyadarinya ternyata selama ini harta studio yang paling berharga adalah kebahagiaan dalam tawa. Ketika kita tertawa,

The secret is the laughter… oleh karena itu mungkin besok kita akan canangkan bagaimana motto kantor Gaul Asik Cool Professional bisa lebih melekat tentunya untuk membentuk kantor arsitek terbaik di dunia dengan passion terbaik di dunia. Mulai Besok banyak – banya tertawalah dikantor, karena itulah rahasia utamanya …

[RS]

diri ini kemudian juga teringat akan bingkisan kalimat yang diberikan IP.

Pak Realrich Sjarief and DOT’s family members
Simple dream, simple act, great impact
In DOT Workshop I learn
Work in family
Work with care
Work with fun
Work with laugh
Work in good mood
Work with love
It’s not office
It’s home
It’s not duty
It’s a pleasure
Then,
Attitude
Responsibility
Respect
Dicipline
Will be created by itself
It’s pleasure and honor to meet these amazing and creative family
IP
membuat diri ini bersyukur akan adanya tempat ini

Kategori
blog tulisan-wacana

Leading to Green Evolution – satu Tulisan untuk Majalah Ruang Edisi ke 2

Sudah 43 tahun sejak Ian Mcharg mempublikasikan hasil risetnya design with nature pada tahun 1967 mengenai kerusakan lingkungan dan adanya degradasi lingkungan di dunia. Istilah – istilah seperti green, ecological design, sustainable design pun mulai muncul dan sebenarnya memiliki artian yang sama dan terkadang menyesatkan dengan banyaknya publikasi dan tulisan mengenai istilah – istilah tersebut.

Istilah sustainable sendiri mulai diperbincangkan sejak brundtland commision menuliskan definisi dari sustainable development di tahun 1980. Yang kemudian diikuti oleh kesepakatan bersama di rio summit di tahun 1992. Dimana sustainable didefinisikan sebagai “sebuah pengembangan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang dengan tidak mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. “ Steele (2005:6)

Definisi arsitektur pun berkembang dari definisi pertama yang ditengarai oleh John Ruskin dan William morris bahwa arsitektur adalah penggabungan antara Building dan Art. Di saat sekarang ini , Conway Roesnich(1994:8). Arsitektur sendiri tidak bisa lepas dari teknologi untuk memaksimalkan kinerja system bangunan khusnya pada bangunan bertingkat tinggi. Oleh karena itu definisi Arsitektur bisa saja berubah menjadi perpaduan antara building + art + teknologi. Debat dan argumentasi bagaimana kita mendesain untuk meminimalisasi dampak bangunan terhadap lingkungan terus bergulir dalam berbagai macam studi salah satu studi yang patut untuk diberi catatan yaitu studi yang dilakukan oleh Malcolm B. Wells di dalam thesisnya Gentle Architecture mengenai dampak suatu bangunan yang ada didalam satu lingkungan. Ia memperbandingkan antara performa bangunan kantor (suburban design lab) yang ada di dalam tanah / basement (lihat figur 2) dengan 3 tipe lahan yang lain yaitu : Hutan Belantara, lahan pertanian kosong,  dan tengah kota manhattan, Wells(1971:92-97).

Suburban design Lab adalah sebuah bangunan dengan fungsi kantor yang diletakkan di dalam tanah / basement  dengan bukaan void untuk memasukkan cahaya matahari di iklim sub tropis karena suhu udara yang didapatkan terbukti relatif konstan dan ideal, efek pemanasan yang terjadi relatif kecil di kala terik yang ekstrim, dan tidak dibutuhkan perawatan ruang luar dengan menjadi ruang atap dan ruang luar seperti di hutan belantara. Perlu dicatat bahwa suburban research lab berdiri di iklim subtropis dimana memiliki perbedaan suhu ekstrim. Salah satu kelemahan dari skema ini adalah biaya inisiasi yang mahal. Studi yang dihasilkan membuktikan bahwa meskipun suburban research lab didesain dengan memaksimalkan efisiensi energi. Meksipun efisiensi yang dihasilkan maksimal namun performa yang dihasilkan masih sangat jauh dibandingkan dengan performa hutan belantara. Studi ini dilakukan pada tahun 1969. Thesis ini membuktikan bahwa usaha terbaik untuk menjaga alam dengan tidak menyentuhnya sama sekali.

Namun harus diingat bahwa di tahun 1969 Suburban research lab tidak mampu mengolah air kotor menjadi air bersih, tidak mampu menyerap energi matahari, tidak mampu mendaur ulang sampahnya. Seperti kita lihat itu yang terjadi di tahun 1969 karena teknologi pada saat itu tidak mampu untuk melakukan hal tersebut

Pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan di masa depan ?

Penggunaan teknologi, pendefinisian fungsi ruang komunal, dan inovasi strategi perencanaan akan memegang peranan penting di masa depan, terutama pada masyakarakat metropolitan. Di negara maju terjadinya perubahan pola kerja masyarakat modern karena dampak industrialisasi disebabkan pertumbuhan teknologi informasi yang terjadi sepanjang tahun 1960 – 1970 mengakibatkan kebutuhan untuk berkerja lebih lama di kantor. Sehingga pola ini menuntut sebuah kebutuhan untuk berinteraksi dan menggunakan ruang komunal di area . Kebutuhan akan ruang – ruang komunal inilah kemudian yang diakomodasikan ke dalam tower pencakar langit. Istilah yang disebut ken yeang, Bio climatic tower. Ide ini diwujudkan pada tahun 1992 menjadi dengan bangunan menara mesin niaga yang memiliki taman gantung diatas setinggi 3 lantai yang ditanamai oleh tanaman lebat. Foster and partners memiliki inovasi sebelum adanya istilah bioclimatic tower dari Ken Yeang melalui konsep taman gantung dalam desain Hongkong and Shanghai Bank Headquarters yang dibangun pada tahun 1979 – 1986. dimana bentuk massa dari HSBC tower masih berbentuk dual aspect slab (massa dua sisi terbuka). Yang merupakan turunan dari konsep Le Corbusier dalam Radiant city , City for tomorrow ataupun L unite d habitation dengan strategi untuk membuka kedua sisi bangunan dengan bukaan untuk membiarkan cahaya matahari dan udara segar dengan kedalaman sebesar kurang lebih 24 m.

konsep dual aspect slab ini disempurnakan oleh Commerzbank Headquarter di Berlin, dimana ini diklaim sebagai world’s first ecological tower yang dibuat pada tahun 1991 sampai dengan 1997 dimana  setiap lantai kantor mendapatkan pencahayaan alami. Dengan jendela yang bisa dibuka membuat penggunanya mampu mengontrol iklim mikro. Dengan hal tersebut nyata – nyata mampu menurunkan konsumsi energi yang ekuivalen dengan setengah dari konsumsi energi desain kantor konvensional. Taman gantung di atas langit ini memainkan peranan untuk memasukkan cahaya matahari, udara segar, dan menyediakan tempat untuk relaksasi ketika jam istirahat.kantor  . Di lantai dasar terdapat restaurant dan café yang memiliki relasi dengan ruang terbuka dengan meminjam konsep borrowed landscape dari konsep arsitektur jepang.

Usaha untuk meminimalkan dampak terhadap alam terutama untuk tipologi bangunan berskala kecil dan berlantai rendah terlihat dalam desain Glenn Murcutt dimana terdapat beberapa kecenderungan dari pengambilan keputusan desain seperti : 1. meminimalkan bidang yang bersentuhan dengan tanah dengan konsep pilotis. 2. Memaksimalkan view ke arah luar. 3. memanfaatkan sirkulasi udara didalam bangunan. 4. Penggunaan kulit bangunan 3 lapis yang bisa diatur posisinya oleh pengguna.

Sistem bangunan yang ada bersifat sangat sederhana dengan prinsip – prinsip yang rasional namun mampu menampilkan kualitas melalui penemuan – penemuan Glenn yang diakuinya ada di perjalanan desain bersama klien yakni pendekatan desain yang strategi perencanaan yang rasional, efisien dan responsif terhadap terhadap iklim, kondisi eksisting lahanseperti aliran air, kondisi matahari, geomorfologi lahan.

Ada satu Quote dari Glenn Murcutt dalam pameran hasil karya beliau di Museum of Sydney di bulan Desember 2009 yang menurut saya sangat menarik untuk dipikirkan,

“Works of Architecture are discovered, not designed. The creative process is a path of discovery.  The hand makes drawings and arrives at solutions before the mind has even comprehended them. It is very important to me to make buildings that work like instruments. They respond to light, to the movements of the air, to prospect, to the needs of comfort. Like musical instrument, they produce the sounds and the tones of the composer. But I’m not the composer. Nature is the composer. The light and sounds of the land are already there. I just make instruments that allow people to perceive these natural qualities. ‘Glenn Murcutt.

Penutup

Seorang arsitek tidak bisa menyelesaikan permasalahan ekologi lingkungan keseluruhan, namun arsitek bisa mendesign bangunan yang memiliki efisiensi energi tinggi sehingga penggunaan energi dalam bangunan bisa ditekan serendah mungkin.  Selain dari desain dan hal ini bisa diterapkan dari segi peraturan yang bersifat sertifikasi. Cara – cara ini sudah dicoba oleh beberapa lembaga seperti USGBC (united States Green Building Council) adalah dengan membuat peringkat penghargaan untuk bangunan – bangunan yang mampu melakukan efisiensi energi dengan predikat Platinum, Gold, Silver. Banyak Negara – Negara di dunia yang sudah memiliki peringkat penghargaan seperti ini (Green Rating) seperti Amerika dengan LEEDS, Inggris dengan BREAAM, Australia dengan Nathers, BASIX, Green Star. Dan GBCI dikabarkan sedang menyusun sebuah green code untuk Indonesia. Ada baiknya apabila sebuah sertifikat tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menilai namun juga sebagai alat untuk mendesain yang apabila diikuti maka akan mendapatkan sertifikasi penghargaan yang tentu saja menghasilkan bangunan yang memiliki respon sangat baik terhadap alam.

sebagai penutup Mcharg  pernah menulis  dalam Design with Nature, “I hope that in the 21st centure the largest accomplishment of art will be to restore the earth.” Mungkin saja harapan Mcharg akan menjadi kenyataan setidaknya di abad ini.

Referensi :

Conway, H. Roesnich, R. 1994, Understanding Architecture, Routlege, London, pp. 8

Murcutt, G. 2008, Thinking Drawing / Working Drawing, TOTO shuppan, Japan, pp. 91 – 92

Mcharg, I. 1992, Design With Nature, John Wiley & Sons, Inc, Canada, pp 180

Steele, J. 2005, Ecological Architecture: a critical history, Thames & Hudson, London, pp. 6

Wells, M.B.1971, ‘The absolutely constant, inconstestably stable architectural value scale,’ Progressive Architecture, vol.52 no 3, pp 93