Ketika Kehamilan Laurensia sudah memasuki minggu ke 38, minggu tersebut adalah minggu kelahiran anak kami. Ini adalah kehamilan yang ke 6 bagi Laurensia. Laurensia sudah terbiasa dengan pulang pergi ke dokter kandungan untuk menanyakan kondisi kehamilan untuk kemudian pulang dengan kesedihan, begitupun kali ini kami pulang dengan ketakutan, takut karena kondisi bayi kami dan masa depan yang tidak bisa terprediksi, kehamilan kedepan, dan persentase keberhasilan yang rendah yang menjadi ketakutan kami.
Miraclerich lah yang mengatakan ke kami bahwa bayi kami adalah laki – laki bukan perempuan seperti USG yang dilakukan ke dokter kandungan ke Laurensia sebelumnya. Setiap malam, ia mendoakan adiknya supaya tetap sehat, di tengah – tengah suntikan yang perlu dilakukan setiap hari ke perut Laurensia, senyum, pelukan, doa Miracle menjadi senyum tersendiri bagi Laurensia. saya percaya bahwa “Tuhan mendengarkan doa dari anak – anaknya.”
Dulu Cherry, anak pertama kami, di dalam ketiadannya menyisakan kesedihan, lubang yang menganga ketika ia tiada. Saya percaya anak Tuhan tetap menjadi malaikat. Mata ini berair ketika mendengar doa Laurensia. “Tuhan apabila masih diberikan kesempatan, berikanlah satu orang malaikatmu untuk menemani kami.”
Berulang kali Laurensia menanyakan tentang nama anak kedua namun saya tidak menjawab karena nama itu muncul karena nama Heaven atau surga itu ibaratnya ada di antara kehidupan dan kematian. Mungkin saya hanya tidak rela kehilangan orang – orang yang saya cintai karena makna ganda tersebut. Saya hanya terlalu jauh berpikir antara makna surga dan dunia. ya nama bayi kami Heavenrich panggilannya even yang berarti begitu ia muncul surga akan datang ke sekitar dirinya. Heaven, heaven, nama yang mengingatkan tempat dimana anak – anak yang menjadi malaikat.
Hari itu, hari rabu pagi kami menginap satu malam dengan protokol COVID, pergi ke rumah sakit Graha Kedoya dengan masker, ia masuk ke kamar operasi jam 06:00 pagi, perawat mempersiapkan dan kami berdoa.
Keesokan dini hari, Laurensia pun dibawa ke ruang operasi dan saya ditemani pak Misnu menunggu di ruang tunggu di depan pintu ruang operasi. Saat – saat itu adalah saat – saat terlama untuk menunggu, waktu sekarang berhenti. Saya ingat Pak Misnu yang sudah ikut keluarga kami dari saya belum lahir, totalnya lebih dari 38 tahun dan sekarang membantu saya dan Laurensia. Ia sudah seperti ayah saya sendiri. Ia ada di dalam kelahiran Miraclerich, ketika saya rapat pertama di dalam perintisan studio, ia menemani menemui klien pertama, menemani proyek terbangun pertama, ia juga yang menemani untuk ikut survei ke daerah Taman Villa Meruya, tempat tinggal kami sekarang. Dan sekarang ia menemani saya lagi. Pak Misnu ada di saat kami sedih dan bahagia. Saat – saat ini saya tidak mau berandai – andai hanya berdoa semoga semua bisa selesai dengan baik.
10 menit berlalu,..
20 menit,…
30 menit,…
45 menit,…
50 menit,..
kemudian ada panggilan
“Pak, bayinya sudah keluar.”
Suster perawat memanggil, dan disitu sudah ada dokter Bertha yang menunggu dan menjelaskan bahwa semua baik – baik saja.
Heavenrich sudah lahir, berkulit putih bersih dengan berat badan 3.3 kg. 1 jam kemudian, Laurensia keluar dan saya pun bersyukur. Hari yang baru untuk keluarga kecil kami. Matahari bersinar cerah, setelah berkat (Miracle) hadir di dalam curahan Tuhan yang berlimpah (rich) kemudian surga pun datang ke dunia, kami adalah orang yang beruntung bisa dititipkan malaikat Tuhan untuk memberikan kidung surga.
Terima kasih Dokter kandungan kami namanya Dr. Raditya Wratsangka. Sungguh saya bersyukur semua bisa selesai dengan baik dan sekilas saya bisa melihat di samping dokter Bertha, Cherry muncul menemani dan menjaga Heaven.
Kamu sudah besar ya nak, papa kangen kamu, terima kasih ya sudah menemani mama dan adikmu.
Pada 9 Desember lalu, kami merayakan ulang tahun @adityakosman. Di tengah dinamika proses bekerja di studio, ada pribadi-pribadi yang kehadirannya memberi kedalaman, bukan hanya pada pekerjaan, tetapi juga pada cara berpikir dan refleksi. Adit adalah salah satu pribadi yang seperti itu.
Sejak awal, Adit dikenal memiliki kecintaan yang besar pada arsitektur. Ketertarikannya merambat pada bacaan tentang tokoh, bangunan, sejarah, dan teori—digali dengan kesabaran dan rasa ingin tahu yang serius. Ia kritis, tidak mudah menerima sesuatu secara mentah-mentah, dan selalu terdorong untuk memahami lebih jauh.
Adit merupakan lulusan California College of the Arts (CCA). Ia pertama kali datang ke studio kami sebagai intern. Selama masa itu, ia mempelajari banyak hal yang beragam: mulai dari konseptual design, design development, project management, hingga penulisan. Kemauan dan keseriusannya membuat proses belajarnya berjalan cepat; ia menyerap, mencatat, dan mengolah setiap pengalaman dengan sungguh-sungguh.
Kini, Adit hadir sebagai rekan yang dapat diandalkan sekaligus teman diskusi yang tajam. Di luar pekerjaan, ia juga pribadi yang menyenangkan untuk diajak berbincang—tentang olahraga, film, dan hal-hal ringan dalam keseharian.
Perayaan ini mungkin sederhana, tetapi rasa syukur kami tidak pernah sederhana. Syukur atas perjalanan seseorang yang terus bertumbuh, menjaga kedalaman berpikirnya, dan menghadirkan energi baik di lingkungan kecil kami. Semoga langkahmu ke depan dipenuhi kebahagiaan, proses-proses baik yang terus bertumbuh, dan segala impianmu dapat tercapai.
Sejak 2010 di Studio Garasi, kami percaya bahwa arsitektur, proses bekerja, dan belajar selalu berangkat dari hal yang paling dasar, yaitu manusia. Merayakan ulang tahun bukan sekadar menandai usia, tetapi kembali ke titik awal—sebuah momen yang pasti dialami setiap orang. Di sanalah kami mengingat bahwa di balik peran dan jabatan, selalu ada manusia yang bertumbuh. Tradisi ini kami jaga sejak masa studio garasi: merayakan satu sama lain, mendengarkan cerita, dan menjaga semangat kebersamaan yang merupakan DNA kami, RAW DOT OMAH.
The Java House was finished in 2015. It explores poetic architecture shaped by abstract poetic philosophy, architecture theories, and materialities where space unfolds gradually and privacy is formed through transition rather than enclosures, boundaries remain soft, movement is deliberate, and intimacy is achieved through depth rather than separation. Strategies:
The plan is composed as a series of overlapping planes and courtyards. In the middle of the inside-outside foyer, a tumpang sari skylight, welcoming visitors with the grammatics of the traditional stacks of wood and flat glass before they move deeper into the house.
Walls guide movement, frame views, and create moments of pause, allowing the house to be experienced as a continuous sequence rather than a collection of rooms.
Each bedroom is paired with its own views of the garden, forming a personal environment that remains closely connected to light, air, and nature. The open façade, expressed through a rhythmic arrangement of red brick and timber panels, responds to western heat while supporting north–south cross ventilation. Crafted by local artisans, these materials convey warmth, restraint, and durability. Skylights and clerestory openings bring daylight deep into the interior, casting a soft, even light throughout the house.
As a conclusion, the heart of the house, an open living area extends toward a garden terrace, creating a courtyard-like space for daily activities and family gatherings. The landscape, composed of native planting and a modest lawn, softens the urban context, cools the microclimate, and grounds the house in its natural setting.
Built on a compact site, Java House relies on passive cooling strategies and local materials to maintain comfort and efficiency. Designed to support family life over time, the house allows everyday routines to unfold naturally, balancing privacy, openness, and shared living.
Inter Garden Home is organized through a clear sequence from public to private. At the front, a promenade defines the entry experience, creating a gradual transition into a highly private residential environment. This entrance zone is anchored by a central core that accommodates a micro garden, contributing to daylight, ventilation, and spatial orientation from the outset.
The main interior opens into a double-height atrium equipped with a skylight, allowing natural light and airflow to move effectively through the house. This atrium functions as a spatial and environmental connector, supporting cross ventilation and enhancing indoor comfort.
The building form responds directly to climate and site conditions. A slanted façade is introduced as a response to sun angles, providing effective shading, while the overall massing follows the diagonal nature of the site. Spatial zoning is clearly defined: two bedrooms are positioned toward the front, while more private bedrooms are located at the rear, oriented toward the swimming pool to maximize privacy and views.
On the upper level, a badminton court is integrated with a wood-decked garden. Slightly elevated in relation to the surrounding spaces, this area extends the domestic program vertically, combining recreational use with an outdoor garden setting.
What was shared that day was personal. Yet what lingered was the way they listened. Their attentiveness carried a quiet enthusiasm, as if they were recognizing something deeply resonant, something that intersected with their own questions and longings.
That realization became clearer when we saw them in Baduy. They asked many questions about the mystery of sufficiency, about a way of living that does not rush. It felt as though Baduy offered a life they had been imagining: grounded, deliberate, and whole, standing calmly against the constant acceleration of technology.
We sensed the same feeling when they were in Piyandeling. They smiled. They were present. They were genuinely happy.
Noémie tends to move through rational structures, while Amber navigates the world more empirically, guided by intuition and feeling. Together, they represent a generation in motion, always thinking, sensing, and searching. The time we shared with them was deeply valuable. Their curiosity invited us to look again at Indonesia: at Nusantara, at simplicity, at modesty, at materials and craftsmanship we often take for granted.
They were most alive in the field, observing mock-ups, touching steel and wood shaped by hand, witnessing making as a process rather than merely a result. Through their excitement, we were reminded that what feels ordinary to us still holds care, meaning, and quiet beauty.
They come from far away, separated by thousands of kilometers, between Jakarta and La Réunion, between Indonesia and Africa. Yet we felt close. Connected not by geography, but by an inner energy: a shared spirit that keeps moving, keeps questioning, and keeps seeking.
This is how we will remember Noémie and Ambre, as part of a kinship across the equator, and as fellow travelers in a journey shaped by curiosity, humility, and care.
Mendekati akhir tahun 2025-Our little family, bersama Miracle dan Heaven, Miracle dan Heaven nata buku, pajangan bersama, latihan komposisi, organisasi, hal – hal sederhana ^^
Kami belajar, begitu berharga waktu, fokus kami ke mereka, apa kebutuhannya, sejauh manakecintaannya, bagaimana keinginannya terbentuk dan itu bukan ke apa kita anggap paling benar sebagai orang tua.
Ini proses melihat, mendengarkan, menyemangati mereka supaya menikmati waktu – waktu mereka yang tidak akan terulang.
Beberapa waktu lalu, kami merayakan graduasi salah satu rekan kami, @ha.ykal. Haykal adalah salah satu rekan kami di studio yang punya banyak bacaan yang disukai. Ia adalah alah satu dari sedikit orang yang membawa bacaan ke dalam percakapan sehari-hari. Salah satunya tentang Manfredo Tafuri akan kritik kontekstual yang berlapis, telaah struktural, melihat konteks bukan sebagai latar, melainkan sebagai medan perjuangan; yang dibaca bukan sekadar bentuk, tetapi virtue dan aktornya.
Haykal adalah salah satu anak didik dari UII, yang tumbuh sebagai salah satu mahasiswa terbaik di sana. Dengan bekal referensi yang kuat, kami rasa ia adalah orang yang sangat menjanjikan untuk menjadi salah satu pemikir ulung di arsitektur Indonesia ke depan.
Seorang pemikir memang membutuhkan waktu untuk mencapai kematangannya. Pemikiran itu seperti abstraksi yang dalam, ia tidak instan, tapi mengendap pelan, dalam, dan membutuhkan waktu panjang. Haykal adalah seorang yang punya variasi cara berpikir yang lengkap.
Di studio, kami sangat senang bertemu dengan keberagaman karakter yang ada. Dari seorang pemikir yang punya bacaan yang kuat, Haykal mewarnai praktik yang diskursif, kritis, dan diskusi yang selalu berjalan.
Kini kami melepas perjalanan Haykal di studio kami. Kami mendoakan dengan sungguh-sungguh agar Haykal terus bertumbuh dengan bacaan yang semakin luas, referensi yang tak terbatas, dan langkah yang membawanya ke titik di mana ia bisa merasa utuh dan bahagia dengan jalannya sendiri. Kami sangat bangga, karena orang seperti Haykal sangat langka.
Salah satu momen terbaik akhir-akhir ini, adalah melihat Mas Hugo dan Mbak Ayu merayakan kelahiran anak perempuan mereka. Di balik rumahnya yang tumbuh, terlihat dari tanamannya yang makin rindang, kebahagiannya juga kami rasakan sekeluarga. Dan ingin rasanya saya mengabadikan ini dalam kenangan kami.
Di RAW DOT OMAH, kami memiliki berbagai divisi, dan komunitas yang saling terangkai. Yang menarik adalah kami tidak melihat arsitektur sebagai semacam kotak kaca, tetapi justru menjalani esensinya, dan kemudian bertumbuh secara perlahan. Sampai akhirnya ada sebuah benih yang berkembang menjadi sebuah pohon: dengan akar-akarnya, dahan-dahannya, ranting-rantingnya, dan begitu banyak organisme di baliknya.
Tim pertama adalah tim strategic. Strategic ini dilematik karena di dalamnya ada proyek, klien, dan begitu banyak critical point yang menanti. Sebuah bangunan tidak dikerjakan oleh satu orang saja; ada banyak orang yang terlibat. Oleh karena itu, kerja tim menjadi hal yang utama dalam menghadapi critical point dan berbagai prioritas yang ada di tim strategic.
Di dalamnya sering kali juga terkait dengan hubungan interpersonal yang ketat. Kemampuan membaca psikologi menjadi salah satu kunci, memiliki empati menjadi kunci berikutnya, hingga sampai pada simpati.
Selain tim strategic, ada tim Sophia, tim Episteme, tim Techne, tim Phronesis, tim Finance, tim Branding, tim Penulisan, tim Analitik, serta laboratorium teknologi yang bekerja pada ranah workshop. Kami mencoba melakukan begitu banyak telaah dan detailing agar di lapangan dapat menghasilkan karya yang optimal.
Antoniades pernah mengatakan bahwa ada 9 channels of creativity: dari buku, mentorship, tempat, referensi, klien, tim, permenungan, refleksi, hingga melihat sesuatu yang baru dari teori, dogma, dan ideologi. Kami menyebutnya sebagai fragments. Fragments ini seperti sebuah kolase yang membentuk keutuhan, terus bergerak itulah mengapa kami menyebutnya sebagai creative fragments.
Tuhan pertemukan @gregoriusgiovannigerard sama @gayuhbudi dua G, melambangkan venturian Indonesiana haha. Thank u mas gayuh sudah diskusi banyak tadi dari refleksi, ritual, sampai keluatan rombengan. Atas hati, semangat, dan berbagi strateginya terima kasih ya :) see you soon 🔥
Beberapa waktu lalu, studio kami mengadakan sesi diskusi secara internal. Di pertemuan ini, kami membahas buku Strange Details karya Michael Cadwell, tetapi juga mengangkat premis yang selama ini menjadi fondasi cara kami bekerja di studio.
Premis bahwa materiality memegang peran krusial. Sebagai cara untuk membolak-balik metode desain, bukan hanya soal gambar atau ide, tetapi tentang bagaimana gagasan itu diuji di realitas lapangan.
Mulai dari perjalanan Carlo Scarpa dalam renovasi Querini Stampalia di Venice. Tim yang bekerja adalah orang-orang yang sama, dari proyek ke proyek sehingga chemistry pun sudah terbangun, mereka refining berlapis-lapis, sampai terbentuk maturity of work dan maturity of concept.
Lalu ada kisah keluarga Jacobs yang bertemu Frank Lloyd Wright setelah melihat Usonian House dan ingin membangun rumah mereka, bagaimana dalam kasus ini klien menjalin hubungan yang personal namun tetap profesional.
Diskusi berlanjut ke Farnsworth House karya Mies van der Rohe. Cadwell menyoroti bagaimana detail-detail di rumah itu justru menjadi representasi dari ide besar Mies. Namun dekade setelahnya, rumah ini beberapa kali kebanjiran. Cadwell menulis, as far as the architect tries to prioritize the situation, nature will have an ultimate power over architecture—sebuah pengingat tentang ego arsitek dan batas-batas kontrol manusia atas alam.
Terakhir, kami membahas Yale Center, bagaimana cahaya, material, dan bayangan dapat menjadi detail yang menegaskan atmosfer dan pengalaman ruang, sekaligus membawa kita kembali pada gagasan besar bangunan tersebut.
Diskusi berlangsung terbuka, untuk menyelaraskan cara pandang dan mempertajam sensibilitas desain. Bulan-bulan ke depan, kami akan membahas buku lainnya sebagai bagian dari usaha kolektif studio untuk terus belajar seperti sebuah detail yang dibentuk dengan kesabaran.
Seneng bisa ketemu one of our best friend Bambang, Tya and family, ketemu kakak bambang,. Take care ya broo ^^ have fun di Indonesia, ngopi2 ya sometime soon ^^
Previously, our studio has been exploring the idea of belonging in architecture, how space can embrace people, support communities, and nurture shared meaning. Today, we had the opportunity to work on a project that brings these values together, through a simple coexistence between communal spaces and perkutut birds dwellings.
The bird pavilion is shaped philosophy of nurturing and care. The perkutut birds, with their distinct voices and behaviors, offer a reflection on human life as Homo Socius, social beings who grow through presence, connection, and shared experience. Rather than standing apart, the architecture is meant to listen, to accommodate, and to grow alongside these relationships.
The project houses a communal lounge and farm supports perkutut competitions and its daily care. Over a hundred bird poles tower across the compound, with the lounge circling them to embrace their singing. This program offers privacy for the community, as living among passion would bear fruit for many. With abundant existing trees, it becomes the most introverted area for this activity.
Supported by abundant existing trees, the space becomes the most inward-looking part of the site, offering privacy and focus for the community that gathers around this shared passion.
We are excited to unveil RAW Architecture’s progress for Sapo Home. The images reveal the roof structure, with details carefully developed piece by piece in close collaboration with trusted craftsmen Inspired by the metaphor of a mountain, the roof integrates skylights with colorful glass patterns. The house’s silhouette expresses genuine values through the vernacular construction. The undulating canopy shades the ground floor, constructed through a restrained palette of steel, concrete, and bitumen finishes.
The house accommodates bedrooms, a gym, and a studio for prayer and gathering, forming a deeply personal retreat. “Sapo” in Karo culture, refers to a resting house where farmers could pause, reflect, and look out over their fields. This meaning shapes the vision of the home as a peaceful space for solitary remote work and a sanctuary to grow old in harmony together with nature.
Surrounded by arcades and terraces, the house is sheltered from the hot afternoon and evening sunlight. Preserved trees act as natural sunshades, while lattice elements filter daylight into the interior, creating a calm and inviting atmosphere. Building simulations informed the design, helping to optimize both daylight quality and thermal comfort throughout the house.
23 November menjadi salah satu hari yang spesial di studio kami—hari di mana kami merayakan perjalanan salah satu teman yang sudah berjalan cukup panjang bersama studio ini: ia adalah Tyo @tyoadngrh
Dari awal masuk pada Agustus 2021, ketika struktur tim masih belum seperti sekarang, Tyo sudah menunjukkan satu hal yang jarang dimiliki orang: keberanian untuk mencoba. Ia memulai perjalanannya bersama Kak Riyan di divisi Conceptual Design, lalu berpindah dari satu divisi ke divisi lainnya—bukan karena ragu, tapi karena ingin belajar seluas-luasnya.
Februari 2022 ia bergabung di Project Management; di tahun berikutnya, Februari 2023, ia masuk ke Design Development —menghitung RAB, menggambar polyline, hingga menyelesaikan detail sanitary. September 2023 ia bergabung dengan tim Episteme, Tahun 2024 ia sempat part-time dan kemudian masuk ke OMAH Library untuk penulisan dan branding. Sampai akhirnya di 2025, Tyo menjadi bagian dari tim Analytic, Visual, dan Design Communication—tempat ia terus tumbuh hingga hari ini.
Perjalanan yang panjang itu membentuk karakter yang semakin matang: Tyo eksploratif, cepat belajar, dan tidak pernah takut mencoba hal baru. Ia membawa energi ceria, mudah terbuka dengan teman baru, dan selalu peduli pada anak-anak intern—menyambut mereka, mengajarkan hal kecil dengan sabar, membuat mereka merasa aman di lingkungan baru.
Ia mungkin satu-satunya orang yang pernah mencicipi hampir semua divisi, dan justru dari situlah tampak ketekunan dan rasa ingin tahunya. Tyo bergerak dengan ringan, tapi kontribusinya terasa; hadir dengan santai, tapi membawa suasana yang hangat.
Lewat perayaan sederhana ini, kami bersyukur untuk pejalanan Tyo, untuk prosesnya, keberaniannya, dan untuk semua warna yang ia bagikan kepada semua orang yang ada di studio RAW.
Semoga di usia yang baru ini, Tyo semakin mantap melangkah, semakin luas eksplorasinya, dan semakin banyak kebaikan yang menyertai setiap prosesnya.
Happy birthday, Tyo! Semoga tahun-tahun kedepan membawa cerita-cerita baru yang baik untukmu.
25 tahun yang lalu, kami semua lulus, Dan kali ini kami merayakan reuni 25 tahun silver angkatan 2000 sang timur. Untuk yang datang kami menyambung rasa, kenangan, kehilangan. Campur aduknya dilengkapi dengan mendatangkan guru – guru kami dulu. Bu Meka, Mam Siska, Bu Thres, Bu Kris, Pak Agus, Pak Bagyo, Pak Yanto, Bu Katryn, Pak Heru, Bu Eny. Terima kasih ya kawan – kawan untuk berikan kenangan berkesan di akhir tahun 2025.
Balai Kartini stands as one of Jakarta’s cultural landmarks, envisioned as a place of togetherness and the spirit of Kartini, symbolizing enlightenment and progress. Inaugurated in 1980 by Ibu Tien Soeharto, Balai Kartini was established under Yayasan Kartika Eka Paksi (TNI AD).
It underwent its first renovation through the initiative of Ibu Nora Tristiana, before the building later closed during COVID. After the pandemic, the renewal started under Ibu Uli Pandjaitan and redesigned by RAW Architecture.
The design explored the use of bioclimatic design, reducing thermal intake by replacing the old façade with fins inspired by Borobudur’s stupa forms. These elements reduce heat on the west side and define three new canopies at the main entrance.
The design consists of a renewed space for gathering and community with a woven tapestry of our archipelago, spreading from east to west with a concept of Adiwastra — from the Sanskrit words “Adi” meaning superb and “Wastra” meaning cloth.
The details captures all layers from mountains, to rivers, trees, boats, and human. The Wastra is transformed into display of weaving, batik, patterns across Indonesia from local masters. The essence reflects to our conversation with Asmoro Damais, a prominent role in UNESCO’s recognition towards batik.
Panels in the lobby, textile chandeliers inspired by Nias, printed fabrics in the corridors, and details referencing cap, stupa, and textured stucco, highlights the poetic expression of Indonesia’s cultural continuity.
Proportions and materials are preserved where possible, while new insertions act as bridges between eras. Natural light filters through the atriums, becoming the new medium of celebration, and gardens reintroduce softness and care.
Balai Kartini continues its founding spirit as more than a building. Through this renewal, the entire team of designers, engineers, and project managers is honored to carry its story forward, reflecting Jakarta’s present and its hope for the future.
Di antara dinamika ruang kerja yang terus bergerak, ada pribadi-pribadi yang memberikan pengaruh yang berarti. Mereka hadir, belajar, berproses, dan pada akhirnya meninggalkan jejak baik di lingkungan kecil kami.
20 November menjadi hari yang berarti di studio kami, kami merayakan perjalanan teman kami, Zikri @zikrirahardian yang bertumbuh bersama tim Sophia di studio kami.
Sejak pertama kali bergabung sebagai intern, Zikri menunjukkan karakter yang mudah disukai, ia adalah pribadi yang sopan dan punya kepekaan untuk membantu orang lain bahkan tanpa diminta. Ada ketulusan dalam caranya hadir di tengah tim.
Seiring waktu kami melihat sisi lain dari dirinya. Zikri adalah pribadi yang fleksibel, cepat menyesuaikan diri, dan mampu membaca kebutuhan tim dengan sangat baik. Sikap adaptif itu membuatnya menjadi seseorang yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan banyak hal.
Ritme kerjanya cepat ketika standar tugas sudah jelas, dan meski kadang kecepatan itu membuat beberapa detail kecil terlewat, kontribusinya tetap sangat membantu tim di studio. Ia membantu tim bergerak lebih cepat, menjaga ritme kerja dan menguatkan proses kami setiap minggu.
Dalam setiap tantangan project, Zikri menunjukkan sikap yang tenang. Ia sabar, tidak mudah goyah, Tentu saja, tingkahnya yang tidak terduga sering membuat orang-orang di studio tertawa kecil, memberi warna dan energi positif di sela kesibukan kami.
Perayaan kali ini memang sederhana, tetapi rasa syukur kami tidak pernah berhenti. Syukur atas seseorang yang tumbuh sedikit demi sedikit, yang belajar setiap harinya, dan yang memberi dampak baik pada lingkungan kami.
Once again, Happy birthday, Zikri! Semoga di usia yang ke-26 ini, Zikri semakin matang dalam melangkah, semakin bijak dalam bertindak, dan semakin banyak kebahagiaan yang hadir di hidupnya, dan untuk orang-orang yang ia temui di perjalanan hidupnya.
Ini catatan pribadi papa, kalau Miracle besar semoga catatan ini bisa menemani Miracle dalam suka dan duka dan mengerti betapa kamu sungguh unik dan spesial. Miraclerich yang berulang tahun ke 10, dari apa yang papa baca dan pelajari dari banyak buku, jurnal, dan artikel inilah masa krusial untuk fase menata daya logika berpikir.
Menurut papa dan mama, Miracle adalah anak yang kreatif , dan suka bersosialisasi. Dan dari apa yang papa baca dari Ellen Kristi, ia menulis dalam buku “cinta itu berpikir” bahwa kepribadian anak adalah fitur yang membuat seorang manusia menjadi manusia. Menurutnya memandang seorang anak sebagai satu pribadi berarti melihatnya sebagai sesuatu yang tak akan terulang lagi, tidak ada duplikatnya, bukan produk pasaran, ia sangat unik, jenius, dan punya kebaikan spiritual. . Di balik kamar yang kecil dengan ranjang tumpuk Miracle tumbuh bersama heaven, ia menemani adiknya setiap hari tidur satu ranjang, juga siang malam kadang bermain sama kakak – kakak desainer di studio, ka mel, ka chai, ka, ataupun ka adit, tio dkk . Dengan majunya teknologi, Miracle suka sekali main komputer, papa mama takut sebenarnya bahwa miracle akan terdampak buruk, dimana impuls penyerapan pikiran menjadi dangkal, dan titik fokus menjadi berkurang. Hal ini dijelaskan Kristi pentingnya menyerap “great ideas”dalam buku yang bermutu. Untuk itu, Mama mengusulkan ikut kursus roblock, membangun “tower, castle” sampai Miracle ingin berlatih musik drum, membaca buku.’ semua adalah untuk membantu menikmati ide, mendapatkan titik fokus, dan bahagia dalam alam yang serba cepat dan membutuhkan kolaborasi.
Kali ini Papa Mama kasih satu komputer supaya Miracle bisa berekspresi riset mencari informasi. Dan apa yang papa mama berikan adalah komputer dulu dipakai kakak – kakak desainer, spesifikasinya cukup untuk usia Miracle jd bisa membangun dunia roblocknya.
Papa mama berkeyakinan bahwa anak-anak memiliki waktu, dunia, dan cara melihat teknologi yang melewati generasi orang tuanya, Miracle akan lebih pintar, lebih adaptif dibanding generasi papa mama. Seperti namamu, kami memberikan keyakinan dan kasih. Tuhan sudah punya rencana untukmu, kami berserah seutuhnya.
Terima kasih Pak Budi Sukada @budisukada, telah memberikan salah satu kelas terbaik di OMAH Library @omahlibrary. Beliau mengajarkan pentingnya sejarah dan bagaimana menggunakannya dalam refleksi perancangan yang strukturalis. Ia mengandalkan referensi, dan menggali satu persatu melalui kejadian yang spesifik, aktor yang spesifik, serta tahun yang spesifik.
Ia membahas orang-orang yang berpengaruh menggeser pranata arsitektur saat itu seperti William Morris, Philip Webb, juga Violet-Le-Duc dengan penemuan gramatika, Peter Behrens dengan gagasan gestalt, penggunaan beton, dan bahasa inovasi yang semakin jujur, menekuk tajam, serta sesuai dengan konteks dan problematika yang kritikal. Ia menggarisbawahi Art and Craft Movement yang bergeser peruntukannya dari kelas ekonomi atas ke kelas menengah sehingga mendorong kepraktisan olah material, produksi yang lebih banyak, dan lebih merepresentasikan budaya modern masyarakat. Ini dibahas dalam buku Herman Muthesius, Style-Architecture and Building-Art (1902) yang memperkenalkan semangat masa kini (Zeitgeist). Mesin hanyalah alat yang mempermudah produksi, yang terpenting adalah alam pikiran manusia yang mampu membayangkan bentuk yang dapat dibuat dengan mesin, yaitu Sachform (undercorated parctical form).
Banyak istilah yang muncul di kelas ini membantu menjembatani alam pemikiran dan realitas, menggali apa yang masih di angan-angan menjadi dalam dan bermakna. Pada akhirnya, Pak Budi menggarisbawahi pentingnya kejujuran, kelugasan (Sachlichkeit) dan kepekaan artistik yang murni, yang partikular dan beralasan. Atau keluagasan ini digarisbawahi sebagai gaya bahasa desain.
Terima kasih Pak Budi Sukada akan kelas yang bernas!
Terima kasih Pak Budi Sukada @budisukada, telah memberikan salah satu kelas terbaik di OMAH Library @omahlibrary. Beliau mengajarkan pentingnya sejarah dan bagaimana menggunakannya dalam refleksi perancangan yang strukturalis. Ia mengandalkan referensi, dan menggali satu persatu melalui kejadian yang spesifik, aktor yang spesifik, serta tahun yang spesifik.
Ia membahas orang-orang yang berpengaruh menggeser pranata arsitektur saat itu seperti William Morris, Philip Webb, juga Violet-Le-Duc dengan penemuan gramatika, Peter Behrens dengan gagasan gestalt, penggunaan beton, dan bahasa inovasi yang semakin jujur, menekuk tajam, serta sesuai dengan konteks dan problematika yang kritikal. Ia menggarisbawahi Art and Craft Movement yang bergeser peruntukannya dari kelas ekonomi atas ke kelas menengah sehingga mendorong kepraktisan olah material, produksi yang lebih banyak, dan lebih merepresentasikan budaya modern masyarakat. Ini dibahas dalam buku Herman Muthesius, Style-Architecture and Building-Art (1902) yang memperkenalkan semangat masa kini (Zeitgeist). Mesin hanyalah alat yang mempermudah produksi, yang terpenting adalah alam pikiran manusia yang mampu membayangkan bentuk yang dapat dibuat dengan mesin, yaitu Sachform (undercorated parctical form).
Banyak istilah yang muncul di kelas ini membantu menjembatani alam pemikiran dan realitas, menggali apa yang masih di angan-angan menjadi dalam dan bermakna. Pada akhirnya, Pak Budi menggarisbawahi pentingnya kejujuran, kelugasan (Sachlichkeit) dan kepekaan artistik yang murni, yang partikular dan beralasan. Atau keluagasan ini digarisbawahi sebagai gaya bahasa desain.
Terima kasih Pak Budi Sukada akan kelas yang bernas!
Sedikit kegelisahan, udara, menjadi mahal. Di balik ruang kota yabg terus ditata ada hal – hal mendasar juga yang perlu terus jadi kesadaran baru yang lebih baik. Sesederhana mengolah sampah semampu kita.
Baru belajar pake capcut ^^ukses jadi arsitek hebat.
Senang juga bisa ketemu Pak Agus, Mas @farid.nazaruddin , dan Pak Pudji, cerita sahabat, perjuangan edukasi. Dan, Saya juga ikut belajar dari presentasi pak Bambang dan pengalamannya di Kampung Kota dari visi sampai mandiri, dinamika perjuangan yang hebat !
Ini semua untuk anak2 UIN. Terus maju ya anak2 UIN, @himahajaraswad terus fokus belajar.
Setiap pertemuan selalu memberikan makna berharga bagi kami, teman-teman yang baru kami temui di guha, juga teman-teman yang sudah berjalan bersama kami. Semoga dengan merayakan hari yang membahagiakan ini dapat meneruskan aliran energi baik.
16 November 2025 menjadi salah satu hari yang istimewa, hari ketika kami merayakan perjalanan seorang teman yang tumbuh bersama tim Desain Sophia di Studio RAW Architecture, ia adalah Shafira @veeryanaa
Saat pertama kali bergabung, Shafira mungkin terlihat pendiam di lingkungan baru. Namun seiring berjalannya waktu, di balik ketenangannya, ada karakter yang mandiri dan memiliki resiliensi yang kuat. Ia belajar menghadapi banyak tantangan, dan setiap proses memperlihatkan betapa seriusnya ia ingin bertumbuh.
Setiap proyek yang dijalani Shafira tidak pernah mudah. Ada dinamika, revisi, dan berbagai tuntutan. Namun Shafira selalu kembali dengan konsistensi—menyelesaikan tugas dengan hati-hati, teliti, dan penuh tanggung jawab.
Kritis dan penuh rasa ingin tahu, Shafira menjadi salah satu suara yang kami percaya dalam menghadapi tantangan desain keseharian. Ia membawa perspektif baru, ide-ide segar, dan pendapat jujur yang membuat tim semakin kaya warna. Kehadirannya bukan hanya menambah tangan yang bekerja, tetapi juga menghadirkan keberanian baru dalam melihat masalah dan merumuskan solusi.
Perayaan ulang tahunnya mungkin sederhana, tetapi rasa syukur yang kami rasakan tidak pernah sederhana. Syukur atas perjalanan seseorang yang tumbuh sedikit demi sedikit, yang belajar memahami dirinya sendiri, dan yang membawa pengaruh baik bagi lingkungan kecil kami.
Semoga di usia yang ke-25 ini, Shafira semakin dewasa dalam melihat dunia, semakin bijak dalam melangkah, dan dipenuhi banyak kebahagiaan—untuk dirinya, dan untuk banyak orang yang akan ia temui ke depannya.
Happy birthday, Shafira! Semoga tahun ini menjadi tahun yang penuh cerita, pertumbuhan, dan kebaikan yang menyertaimu setiap hari.
Recently, RAW Architecture has just completed the concept phase of the RJ Bioclimatic Home. Each project feels like planting a new seed, shaped by its own process, people, methods, and context. On this site, the sun angles in diagonally and our design adjusts the massing by 50° to true North, aligning the home to its coolest orientation.
This rotation opens a “borrowed vista” toward the courtyard, connecting spaces such as the sunken living room with circular vistas, the staircase with an integrated bookshelf, a poetic book-nook landing, and a set of sleeping and living spaces layered with compartments. Above, a dual realm of healing, resting, and working brings the family together around a central garden.
Through these diagonal forms, we positioned the massing away from direct sunlight, potentially reducing heat from 32°C to comfort 27°C. This axis provides privacy in the North-South direction while revealing glimpses of life along the East-West. The clarity of massing, envelope, details, and brick materiality reinforces this bioclimatic intent.
Reflecting on this project and our works since 2012, nurtured by readings like Strange Details, Poetics of Architecture, and Material Imagination, we are reminded that poetic space, material play, and climatic sensitivity have always been at the heart of our practice. This scheme, through many iterations, leads us into an “upgraded reality,” a fresh outcome born from deep, persistent reflection.
Open House Davio bertajuk “Flow -The Creative Fragments” adalah Open House ketiga RAW Architecture setelah Rumah Ngumpar dan Rumah Lumintu di 2025.
Sejak 2011, kami memiliki kegelisahan akan bagaimana kreativitas arsitektur bisa dipahami lebih dalam, dari sudut pandang teknologi, pendekatan personal, juga proses desain. Hal ini terwujud dalam bentuk tulisan, buku, dan sebagian dalam bentuk detail dan karya. Inisiasi ini mulai terjawab satu persatu dalam kesempatan untuk mengadakan “Open House” di rumah karya kami yang dinamakan Davio, dan energi baik ini akan berkumpul menjadi satu pada 29 November 2025.
Pemilik rumah, pak david akan berbagi tentang optimalisasi penggunaan tenaga surya dalam bangunan dan Kak Realrich dan tim gabriela berbagi tentang The Creative Fragments, tentang sebuah ide dasar dan jarak antara gagasan ideal dengan kenyataan yang terjadi dalam alam klien, alam tim, alam biaya, dan alam waktu, dan alasan mengapa perpaduan material begitu banyak hadir.
Proyek ini spesial karena membicarakan soal bagaimana kanopi dapat menghadirkan kenyamanan termal, dan perpaduan materialnya dari bambu, bata, acian ekspos juga menjadi satu manifestasi yang kami percayai hadir dari pancaran proyek-proyek kami sebelumnya.
Open House ini bukan sekadar memamerkan fisik bangunan. Ia menjadi ruang berdiskusi dan berefleksi, juga untuk mendapatkan perspektif desain yang lebih kaya. Di sinilah arsitektur diuji secara nyata, apakah ruang tumbuh dan hidup, sekaligus dievaluasi apakah desain bekerja sebagaimana mestinya.
Rumah ini dirancang untuk menurunkan suhu alami melalui sirkulasi udara dan tata ruang terbuka. Lantai dasar terangkat menciptakan koridor angin dengan ruang komunal diatasnya. Lantai dua dilengkapi balkon sejuk sekaligus ruang berkebun dengan bukaan untuk pohon tumbuh. Sementara atapnya dilengkapi panel surya sebagai sumber energi berkelanjutan.
Pengunjung akan diajak berkeliling serta memahami batas-batas dalam proses perencanaan dan konstruksi. Seluruh rangkaian acara akan didokumentasikan sehingga yang belum berkesempatan hadir tetap dapat menyaksikannya.
Kemarin ke unpar, dan sharing untuk kelas pak Chris, dan tim dosen, ketemu Suwardi, one of our beloved big brother di himpunan ima g, kita sudah lama ngga ketemuan 20 tahun lamanya. Waktu berubah, kenangan masih sama. Sharing kali ini untuk anak2 unpar adalah soal metode desain, mereka ada di tugas akhir sebuah proses penting di akhir perjalanan belajar arsitektur.
Terus maju ya anak2 kampus arsitektur Parahyangan, pray for your progress, teacher chris and friends, and also the teaching. Terima kasih sudah diundang.
Selain itu hidup berjalan seperti biasa. Pagi bertemu satu klien, zoom meeting, workshop di alicante, sampai berkunjung ke ITB, kehangatan kampus tidak berubah, ngobrol2 panjang soal idealisme, teknologi, sampai realita proyek. Dari jaman lab multimedia, arsitektur itb tidak banyak berubah, kuncinya adalah apa yang ada di balik layar, struggle, truth, and willingness to learn. Di balik itu ada banyak cerita di balik layar dan tawa juga tangis, kesedihan, dan ego yang pasang surut di era teknologi yang berubah cepat “survival, adaptif, “^^ Diajakin juga melihat struktur knock down yang dibongkar pasang setahun sekali.
Satu refleksi mungkin ke depannya dengan keterbatasan tempat, ide workshop/botega jadi penting, struktur bongkar pasang, persiapan di tpt berbeda, konstruksi di tempat berbeda jd hal yang berharga.
Banyak hal terjadi dalam beberapa jam di Bandung ^^ kangen terus
We are excited to share the progress of Noah Kindergarten. The kindergarten project is located in Cipinang, East Jakarta. The project stands like an ark, welcoming its future students such that of a cave and canyon, enveloping them with the best possible environment. We do things for our children wholeheartedly, creating an ecosystem for them through the beautiful premises in which our architecture touch:
1. Our approach responds thoughtfully to Indonesia’s tropical climate through a series of strategies to achieve a Bioclimatic architecture. Slanted terraces and façades respond to tropical challenges, shading the harsh west sun and cooling corridors between classrooms and the exterior—creating a bioclimatic design that minimizes reliance on air conditioning. The south-facing roof channels indirect light into the auditorium, filling in a calm and even glow.
2. The design evokes a non-judgmental environment defined by soft, flowing curves that merge naturally into the site. Dots become lines, and lines transform into volumes, reflecting a continuous spatial evolution that invites curiosity and exploration.
3. The details of each edge are crafted to ensure durability while expressing the story of Indonesian craftsmanship. Inspired by Wastra, the woven narrative of the archipelago, the design captures a journey from the mountains to the rivers, and to the islands beyond. No corner is the same and each one holds its own story. The beauty presents itself in the details, and should be experienced at the scale of both children and nature, creating a living symbiosis between craft, space, and experience.
RAW and Noah School’s values resides in these subtle and intricate gestures rather than the big grand moves. Through this approach, the project finds its soul, ensuring the best way to do this special project.
Studio kami merayakan hari ulang tahun lima orang spesial. Mereka adalah @chairunnisabels, Pak Effendi, @septia.ti, @rrianditaa, dan @ridwan.kp. Dalam ucapan selamat ini, terselip doa untuk mereka semua agar selalu diberi kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan.
Chai adalah pribadi yang tenang, namun di balik ketenangannya tersimpan semangat belajar dan ketulusan untuk memahami orang lain. Ia punya cara sederhana tapi bermakna dalam membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Dari Chai, kami belajar bahwa kesungguhan tak selalu hadir dalam kata-kata besar, tapi justru dalam tindakan kecil yang dilakukan dengan sepenuh hati.
Pak Effendi, atau akrab disapa Pak E, adalah sosok yang terasa seperti Bapak di dalam tim kami, karena wibawa dan ketulusannya yang alami. Meski begitu, tak ada jarak di antara kami. Kami bisa bercanda dan tertawa bersama tanpa sekat usia, karena beliau selalu hadir dengan hati dan semangat yang hangat.
Nurul dikenal sebagai sosok yang peduli dan rendah hati. Ia selalu menyapa dengan senyum hangat, tak pernah pelit berbagi ilmu, dan selalu siap membantu ketika ada kesulitan. Ia mampu menjadi pemimpin yang memastikan pekerjaan selesai tepat waktu, sekaligus teman yang mau mendengar dan memberi nasihat dengan tulus. Di tengah keseriusan bekerja, terkadang ia pun kerap mencairkan suasana lewat tawa dan cerita lucunya.
Alya adalah sosok yang kami kenal mahir dalam bermain piano dan fotografi. Ia juga adalah seorang yang penuh fokus dan ketelitian. Di saat yang lain beristirahat, ia masih setia merevisi gambar, mengulik lighting foto, atau sekedar membaca hal random tentang jamur kesukaannya. Di balik kesibukannya, Alya punya sisi lembut yang menenangkan. Kadang ruangan bambu berubah jadi mini konser karena permainan pianonya, kadang jadi tempat ngobrol seru soal musik orkestra, dan berbagai kisah unik lainnya yang hadir bersama dirinya.
Terakhir, ada Kamil, rekan kerja, teman, sekaligus chef andalan yang tak pernah gagal bikin suasana ramai di kantor. Namun di balik itu semua, ia adalah sosok yang hangat, kreatif, dan penuh inisiatif.
Sekali lagi, selamat ulang tahun, Chai, Pak E, Nurul, Alya, dan Kamil!💛
RAW Architecture unveiled NCDC Project (Noah Children Development Center) which host the children development clinic, a place together with @sekolahnoah where children is nurtured and the child’s authentic language emerges through exploration and expression. The NCDC provides proper structure for young learners during their critical developmental years.
The design features an inviting open space with neutral tones and textures as a blank canvas, creating a safe, comfortable environment for children’s imagination. The architecture prioritizes child ergonomics with low sightlines, soft curves, and intuitive layouts that encourage free movement without being overwhelmed.
The center ensures thermal comfort through thoughtful design suited to the local climate, using strategies of shade and stack ventilation to create pleasant microclimates. Drawing from nature, the NCDC uses metaphors of flowers and trees, symbolizing growth and stability. Like seeds in fertile soil, early education plants knowledge that grows into fruits of culture, while trees offer great shade and rooted support.
Key spaces at the NCDC spark discovery. The importance of expressiveness is highlighted through spaces like theaters that guide the child’s development. Flexible therapy spaces as classrooms encourages collaborative learning. These methods are how the NCDC weaves a big, warm web of support for the child, supporting authentic language of the children.
Ini anak2 UIN Malang dan peserta seminar, mereka anak2 yang terus mau belajar dengan serius dan hebat, terlihat dari energi, persiapan, pertanyaan, dan diskusi di acara @cangkrukan.mlg , . Presentasi arsitektur kali ini saya cerita tentang kota, arsitektur, apa yang ideal dari keduanya dan merangkai mimpi yang ada dari kepercayaan klien, proyek, dari prototipe yang ideal. Ada 4 hal penting jadi refleksi problem praktik di studio kami, 1. Perjuangan menggali esensi dari dalam 2. Kota kita bermasalah, polusi bumi, air, udara 3. Arsitektur itu kolaborasi 4. Keseimbangan teknologi lokal yang terjangkau . Cerita yang diberikan adalah negosiasi antara hal nyata dari para guru, soal sikap dan inovasi,brikolase romo Mangun, toleransi Pak Eko Prawoto, Konstelasi Yogyakarta dan tensi kapital dan polusi kota sampai pengembangan ilmu konsep arsitektur yang diturunkan terus menerus prototipe konsep desain “generic city”, neighbourhood unit, pedestrian pocket, Evolusi Metode, realitas praktik yang menantang, ketukangan studio, sampai ke pentingnya literasi, buku, perpustakaan, dan sekolah. . berharap semua yang direnungkan dan dibagikan di sesi kali ini bisa dijadikan bahan diskusi, refleksi, dan turut mendoakan adik2 yang masih muda ini terus fokus, belajar, dan sukses jadi arsitek hebat.
Senang juga bisa ketemu Pak Agus, Mas @farid.nazaruddin , dan Pak Pudji, cerita sahabat, perjuangan edukasi. Dan, Saya juga ikut belajar dari presentasi pak Bambang dan pengalamannya di Kampung Kota dari visi sampai mandiri, dinamika perjuangan yang hebat !
Ini semua untuk anak2 UIN. Terus maju ya anak2 UIN, @himahajaraswad terus fokus belajar.
Tanggal 18 Oktober lalu, menjadi momen kecil yang berarti di studio kami. Di tengah ritme kerja yang padat, kami berhenti sejenak untuk merayakan perjalanan seorang teman yang tumbuh bersama kami. Ia adalah @kennpranoto, anggota tim desain Sophia di Studio RAW.
Setiap perjalanan selalu menyimpan cerita tentang bagaimana manusia tumbuh. Setiap harinya, kami bisa melihat setiap gestur kecil, bagaimana Kenn mendengar, serta kesungguhannya mengerjakan hal-hal detail, yang lahir dari hati yang ingin belajar dan memberi.
Ia tumbuh bersama waktu, tantangan, harapan, dan juga bersama teman-teman yang percaya padanya. Kehadirannya di tim Sophia bukan hanya menambah satu tangan yang membantu, tetapi juga menghadirkan kesejukan bagi seluruh tim.
Perayaannya sederhana, diiringi tawa, lilin, dan kue kecil di tengah sore yang hangat. Tapi di balik kesederhanaan itu ada rasa syukur yang besar atas perjalanan manusia yang saling belajar, saling bertumbuh, dan saling menjaga.
Kami berdoa agar setiap langkah Kenn selalu dipenuhi kegigihan untuk terus belajar, kebijaksanaan untuk memahami, dan ketulusan untuk memberi. Semoga di setiap tahun yang datang, Tuhan selalu menjagamu dalam terang yang lembut, dalam hati yang jujur, dan dalam kasih yang tak terhingga.
Selamat ulang tahun ke-22, Kenn. Semoga tahun ini dan seterusnya menjadi tahun yang luar biasa!
RAW Architecture’s design for the amphitheater for the children library is ready for use, the kids can play here ❤️. a result of the craftsmanship of carpenters and welders using a shell structure made of stiffening rods, spanning 8 meters with seating as beams. . In this case, inexpensive and simple wood can serve as a filler for the railing structure, mutually reinforcing each other. Steel acts as the primary structure, while wood serves as the secondary structure supporting the steel to maintain structural stability. It not only supports gravitational loads but also lateral loads, such as those on staircase supports, which can sometimes be supported very thinly. . In detail, RAW designed the steel, which serves as the primary element, to have the same thickness as the wood, at 10 cm. Steel measuring 5×10 cm meets wood of the same size, supported by wood measuring 5×7 cm as a tertiary element. . This combination can mutually support each other as long as the wood is bonded at intervals of approximately 35–40 cm. In this project, we used leftover scaffolding materials arranged in such a way and will later be complemented with glass covering material. This composition forms an interlocking pattern, ultimately creating wastra/patterns resulting from its functional elements. . Detail by #realricharchitectureworkshop @dot_workshop
Privilege itu dianterin pagi2 sama istri dan anak2 ke bandara, weekend trip ^^ buat acara Cangkrukan Malang ^^ can’t wait for tommorow home coming.❤️ . Pagi ini bangun, kordinasi kerjaan, anak2 tim beres, klien beres, kerjaan ga pernah beres2 , terus harus kordinasi dan ingetin, senengnya akan ketemu temen2 baru, kawan lama, menerus jadi ide baru ^^ Hal ini dibahas oleh Jim Collings dan Jerry I. poras, di buku Built to Last mengenai perusahaan Boeing, Johnson & Johnson, Motorola, Disney, Walmart, Sony. Ada perusahaan yang bisa merubah keadaan, menjadi inovator, merubah paradigma dan menjadi yang terdepan karena proses kreatif yang fokus ke inti jiwa manusia, perusahaan, komunitas yang progresif.
Inti dari temuan Collins adalah bahwa perusahaan-perusahaan ini berhasil karena mereka memiliki proses membangun perusahaan itu sendiri sebagai produk utama, didukung oleh visi ideologi inti yang kuat (core ideology) dan budaya yang intensif (cult-like culture), sambil terus mendorong kemajuan dan perubahan dalam tim. Proses leadership menjadi penting di balik semua itu, kepemimpinan substansial, menyelesaikan masalah dengan membangun sistem dengan kritis, perlahan – lahan namun drastis.
Studio RAW Architecture berkesempatan untuk berbagi dalam acara Cangkrukan di Malang pada tanggal 25 Oktober 2025, Bersama dengan Ir. Bambang Irianto, dengan tema: “Design to Regeneration: Reviving Nature, Inspiring Change”
Tema ini mengajak kita untuk kembali meninjau bagaimana arsitektur menjadi bagian dari proses regenerasi, bukan hanya melalui bentuk, tetapi juga melalui cara berpikir, materialitas, dan hubungan kita dengan alam.
Perubahan selalu terkait erat dengan waktu dan sumber daya, dua hal yang begitu spesifik dalam konteks Indonesia. Reviving nature bukan hanya mengagumi alam sebagai inspirasi, tapi menjadikannya sebagai tujuan dari proses perancangan itu sendiri.
Prinsipal RAW, kak Realrich melihat komparasi kritis dengan merujuk pada pemikiran banyak praktisi. Seperti, kita belajar tentang bagaimana urban forestry dan natural riparian bisa menjadi cara untuk menyatukan bangunan dan lanskap secara alami, bagaimana pendekatan ini tidak hanya memengaruhi praktik di Sri Lanka, tapi juga menyebar hingga ke Bali, Singapura, dan Malaysia. Dari Pak Eko Prawoto, kita diajak untuk membaca tapak secara lebih peka—melihat konteks dan menghubungkannya dengan ide-ide seperti milik Doxiadis – Pikionis tentang sistem angular dan wide angle, sebagaimana kuil-kuil Yunani yang mengarahkan pandangannya ke titik-titik tertentu untuk menciptakan harmoni ruang dan lansekap.
Di Indonesia, Romo Mangunwijaya mengingatkan bahwa praktik arsitektur adalah juga soal ketukangan. Ada kesadaran bahwa berpikir kritis adalah bagian penting dari proses menciptakan sesuatu yang tidak hanya indah, tapi juga relevan, kontekstual, dan bertanggung jawab.
Dari warisan pemikiran itu, kami merenungkan kembali praktik studio kecil kami di Jakarta, Bandung, Tangerang, dan berbagai kota lainnya, bahwa setiap proyek bukan hanya tentang menyelesaikan ruang, tapi juga menciptakan pengalaman yang bermakna bagi semua. Dan dari situ, kita terus belajar mencari komposisi yang selaras agar alam, manusia, dan budaya bisa hidup berdampingan.
Kami mengajak teman-teman di Malang untuk bergabung bersama dalam acara Cangkrukan, dan daftarkan diri melalui tautan atau QR code yang tertera pada poster.
Beberapa hari yang lalu, terjadi momen hangat yang mengisi studio kami. Hari di mana @k.ezraa salah satu anggota tim Techne merayakan ulang tahunnya. Di hari itu, kami berhenti sejenak, tertawa bersama, dan bersyukur atas kehadiran Ezra yang kurang lebih dua tahun ini tumbuh bersama kami di @guhatheguild
Bagi kami, Ezra adalah contoh kecil bagaimana bekerja dan tawa bisa berjalan beriringan, presisi dan cekatan dalam bekerja namun tetap berbagi humor dalam satu napas yang sama. Dalam setiap gambar yang ia buat, terlihat kesungguhan yang tidak bising dan selalu ada niat baiknya untuk membuat suasana di studio terasa hidup.
Di hari ulang tahunnya, Ezra datang dengan niat baiknya berbagi kebab untuk kami semua, tentu tidak ketinggalan juga pose mewing-nya yang legendaris yang menjadi gaya khasnya yang tak dibuat-buat. Di balik wajah iseng dan gurauan yang sering muncul, ada ketekunan dan ketulusan yang terus tumbuh bersama dengan dirinya.
Terima kasih Ezra, untuk setiap tawa dan energi positif yang kamu sebar bagi kami semua. Semoga tahun ini dan seterusnya langkahmu selalu dikelilingi cahaya yang menuntun, desain yang semakin keren, dan tentu tetap membawa tawa yang menjaga semangat semua orang di sekitarmu.
In RAW Architecture, we produce 3 main analytical framework, such as responses towards attentions to Details (Tectonics), Thermal conditions, and Wind Pressure. It is a lesson learnt that we implement in all of our projects.
In context of this case study, Jakarta exemplifies the challenges such as :
1. Details of Critical resources, our design depart from the fact that our context, Indonesia, is a postcolonial country, and we recognize its lack of resources. To focus on craftsmanship is a way to design in creative way with critical thinking senses. RAW’s core value has been shaped by the intangible knowledge of the craftsmen, artist, and design and we prioritize craftsmanship process over expensive materials. This approach coins to Pluralism architecture that involves diversity in construction, using whatever in our excess to create buildings that are inclusive and connected to their context, combining high-tech systems with low-tech basics.
2. To achieve thermal and wind pressure comfort in Jakarta, a hot-humid tropical climate (23–33°C, 70–85% humidity, 0.2–0.8 m/s winds), the work of RAW embraces the needs and constraints of our context. We are aware of keeping the indoor temperature towards 27°C, and relative humidity must be kept at 30-60% to avoid dryness and dampness, is essential in maintaining maximum comfort through strategies that allows for microclimate to exist. The architecture must employ passive strategies such as stack and cross ventilation to carry steady cooling inside the building. To add to our efforts, we work with active strategies such as fans to help regulate fresh air. Our analytic team approach designs through the studies of comfort. The team uses modelling and simulation to review design from the lenses of data, to model these strategies more accurately to test its impact to our designs.
A few months back, during an invitation to Kolkata, my flight was delayed for 14 hours — and quite unexpectedly, I met Pavel ( @pavelpedia ) along with his family (@mukherjee_smriti) + team Sayan (@shadow_paint_).
After RAW Architecture’s lecture on design perspectives in Kolkata, India, we continued the conversation at the terminal through a podcast session. Pavel has a fascinating way of building inspiration behind his films — using podcasts as a kind of backbone, a space to think aloud and weave ideas.
This post is my small gesture of appreciation for their effort to document a way of sharing struggles, processes, and inspirations — many of which I only discovered during that conversation. We talked about so many things: how to appreciate architecture, the sense of wonder and struggle within it, the tension between global inspiration and local action — and how critical thinking can lead us back to architecture rooted in culture and nature.
Our conversation flowed through the Mahabharata, the Seven Wonders, education, libraries, hermitage, postcolonial conditions, and even children’s education. It all ended on a reflective note — about the meaning of life, the joy of meeting new people, and how every encounter brings new energy.
Pavel is an Indian film director and screenwriter who primarily works in Bengali-language films. He made his debut with Babar Naam Gandhiji, followed by many others.
Thank you, my friend — and to the team and all the beautiful people behind it. You can listen to our podcast through the QR code below. Have fun, and enjoy the conversation.
Note: I still owe a reflection on the trip to the Santiniketan constellation, Bidyut Roy and Lipi Biwas’s home and works — brought to us by Swagata Mam, Lakshmi, Priyak and Riya. Thank you.
(Ep. 40), we cross oceans and cultures – from India to Indonesia – Host: Pavel Producer: Jaspreet Kaur & Pavel Cinematography: Sayan Bose Assistant DOP: Ayush Gupta Research & Creative Head: Smriti Mukherjee Edit: Pallab Bose Team: Arko Kiran Guha, Sumit Chowdhury & Priyanka Bhattacharya
Mendapatkan testimonial seperti ini memberikan keteduhan, angin sejuk dalam keseharian kami, tidak diduga tidak disangka ada yang mengapresiasi ruang kecil di boboto, ia hadir dengan semangat kesederhanaan, setiap ruang dan tumpukan bata, adalah keringat dari pengrajin dan jejak baik orang lain. Semoga keteduhan yang diberikan perpustakaan ini memberikan ketenangan batin untuk orang lain tuk kembali menjalani hari demi hari ke depan.
Happy birthday Billy, all the best for the future, Billy is eldest son of om Frans Wirawan. Billy dan Om Frans berdua banyak kesamaan, dari cara mengamati persoalan, menilai, dan membuat rencana – rencana. Ia memiliki kelebihan dalam interpretasi seni dan melihat komposisi, proyek dari sudut pandang proses. Billy juga finy, dan Ita kerap berkolaborasi dengan saya dan tim, ia membuat setiap pertemuan adalah saat menggali ide – ide dan realitas baru. Ia suka fotografi, juga design thinking, reading, and look at artistic space, material, and its constelation.
Ia bisa sangat menghargai ide, dan juga memiliki toleransi akan realitas yang ada. Racikannya membuat proyek – proyek yang unik, otentik dengan dasar akar yang kuat. Akar ini berbasis pada fungsi, sudut pandang, dan niat untuk bereksplorasi. Ada cerminan apresiasi tersendiri untuk tim, untuk orang sekitar sembari terus personal.
Melihat proses cara pandang, melihat bisnis, lingkaran keluarga dan bagaimana memandang kehidupan, dengan wonderball, saya melihat gerakannya, cara pikir, dan sikap sebagai satu legacy dengan inisial W yang sama, Wirawan fam, keluarga Wirawan. Dari rumah kotak bermaterial kayu, saya mengenal Billy, tante Giok, om Frans, Finy, Ita dan lingkaran2 keluarga besarnya. Architecture is struggle process, a way of life, show humanityband progress in every aspect.
Bil, if you father still here, he will be super proud of you Bil. He is smiling in heaven now, Thumbs up, we miss him so much day by day. Have fun today greeting for you and big fam ^^
Raw Architecture introduce our collaboration on @wonderballpadel project that consist of two padel courts, plus an F&B experience with artistic architecture experience. The project comes with a hypothesis, of how to combine the programs within the not so big lot, while integrating it with a sustainable design strategy.
Positioned along the east-west axis, the courts are integrated within the landscape + facade design that acts as a climate filter. They are enveloped by a thoughtfully composed skin of curved shape brick,plastic, perforated metal panels, and Sukabumi stone, which allow airflow, add texture, and enhance tactile quality.
The design creates a comfortable playing environment, supported by active 4 cooling fan to get cross active air circulation and air stack effect
A transition from the entrance into the court is made through a non-obstructive, glass and curved canopy, creating a subtle boundary that invites spectators, players, and passersby. Inside, a small gallery space offers a curated retail and lobby with the skylights above, while a concealed back-of-house service at the front efficiently supports the F&B.
Melihat akhir-akhir ini… Dinamika politik, energi batin yang Banyak membuat hati kecil orang – orang kecewa…
Suara Tuhan yang Maha Kuasa memberikan jalan ini semoga bisa terus membuat ketenangan batin bangsa, dan sekitar…
Indonesia negara besar, plural dan sangat indah… Tuhan berkati kita semua. Sehingga semesta bisa terus membolehkan… Kita semua untuk terus Tumbuh dan belajar…
Ketika melihat guru kami, salah satu pengajar terbaik arsitektur di Indonesia , pak Johan Silas dengan semangatnya dan mengajak untuk terus membongkar stagnasi dengan melihat isu kota, permukiman, kampung, proses membangun bersama. Umur 89, kuat mengakar, dedikasi ke pendidikan, pemerintah kota, arsitektur, dan kedisiplinan-titik fokus. dan selalu berdiskusi dengan mas Mohammad Cahyo Novianto, membuat saya selalu tersenyum, bahagia, dan kembali melihat selalu ada harapan, dan mari terus bergerak. @madcahyo
Topi dari ama tersayang ^^, kemarin saya terapi ke rumah ibu kami, ia memberikan topi ini, topinya yang dipakai untuk menangkal silaunya matahari, dan dipakai oleh anak – anak dengan ekspresinya sendiri. “Yang udah liat foto anak – anak ? “ laurensia fotoin ini, kadang saya miss dari momen-momen lucu mereka. Dan tiap liat foto anak – anak, saya selalu bisa senyum. Hari ini ke Pontianak, acara sharing ketemu kawan – kawan lama, urun rembug sama mas Cahyo dan Yoris, dan kawan – kawan profesi, akademia, dan anak – anak muda luar biasa. See soon @laurensiayudith besok, miss you already ^^
Antara bisnis dan proses mengayomi, keduanya menjadi bahan yang membuat saya merasa perlu untuk lebih hati-hati. Hubungan antara studio dengan keluarga, antara luar dan dalam perlu dijaga keseimbangan di banyak hal. Jujur saya mengalami kesulitan, dan semua pasti pernah berada di masa “ke engah-engahan” untuk menyeimbangkan banyak sekali ekspektasi. Dalam tawa lepas, dan air mata lelah. Sungguh rasa lelah yang luar biasa, tetapi tanpa lelah rasanya tidak ada juga puas. Keduanya resiprokal, dan keduanya menjadi kenangan yang sama-sama penting.
“What you see is on the branches, but the treasure is actually on the roots!” Itu kalimat @madcahyo, to the so many unseen things, banyak hati yang ber-resonansi antar satu sama lain. Setiap bertemu seperti banyak energi yang terjalin membentuk persaudaraan baru, walaupun terbatas oleh waktu, tetapi rasa ingin bertemu masih terus mengiringi. Dalam waktu Tuhan punya kuasa, dalam keinginan manusia kita sama-sama berusaha.
Sempet bertemu Yoris di Pontianak, anak muda pengawal budaya Dayak yang mencintai dan menyalurkan banyak energi kebaikan dari dayak, memberikan repetisi, tumbuh untuk membuka jalan arsitektur yang mencerahkan. Ia ikut mereferensikan kakak-kakaknya seperti @rasa.architektura dan @fas_architects
Akhirnya juga bisa ketemu Mas @rickyarchitectandpartners. Ia banyak menceritakan tentang kesadaran budaya, dari menggali titik personal. Seperti bagaimana pembuktian yang datang setelah kesadaran terbentuk, seperti “Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894” karya Anton W. Nieuwenhuis mengenai dinamika budaya Dayak, mulai dari arti menghormati leluhur, dan kekayaan kenangan yang berpusat dari tradisi air, kesabaran, memahami maksud-makna alam saujana, sampai kembali ke rahim ibu, penerimaan pelukan dan pengakuan budaya dalam ketetapan hati untuk being proud and taking care!
juga ketemu banyak saudara-saudara yang buat kangen seperti bli @gmahaputra, mas @reviantosantosa, dan teman-teman lainnya. Perjalanan kali ini membuka gerbang kesadaran baru! Thank you untuk @iai.kalbar dan acara Equator Architecture Forum. Thank you Almighty!
OMAH Library dengan bangga mempersembahkan buku baru lagi setelah Buku Pak Yuswadi Saliya, dan Pak Eko Prawoto, yaitu Buku “Workshop Denah”, buku bilingual yang dirancang sebagai dasar pengajaran membuat denah arsitektur yang baik. buku ini hadir menjawab kegagapan desain yang kerap dialami mahasiswa dan fresh graduate—yang sering berdampak pada inefisiensi hingga bongkar-pasang perencanaan.
Buku ini terdiri dari 5 Resep Denah, mulai dari Meracik Denah, Pragma, Referensi, Iterasi hingga meracik Epilogmu sendiri.
Pada bagian Resep Denah 1: Meracik Denah, membahas pentingnya denah sebagai jantung desain, dengan segala mimpi, semangat, sekaligus keterbatasan yang dimiliki. Lalu bertemu dengan mimpi klien dan arsitek yang harus bernegosiasi dengan realita biaya, mutu, waktu. Kemudian, melalui pembahasan lapisan-lapisan denah, seperti ergonomi tubuh, konstruksi ruang, hingga struktur anatomi desain.
Pada bagian Resep Denah 2: Meracik Pragma, membahas bagaimana setiap proyek membawa “resep pribadi” masing-masing. Bab ini juga mengelompokkan proyek ke dalam 3 karakter: Intrikasi, Terbatas, dan Fleksibel. Selanjutnya pada
Pada bagian Resep Denah 3: Meracik Refrensi buku ini mengajak teman-teman untuk melakukan beberapa rangkaian latihan dari Refrensi mulai dari Intrikasi, Terbatas, dan Fleksibel. Di sinilah teori dan ide-ide diuji melalui diskusi.
Pada bagian Resep Denah 4: Meracik Iterasi akan membahas bagaimana proses latihan tersebut melalui hipotesis sampai premis. Dan pada bagian terakhir Resep Denah 5: Meracik Epilog untuk kemampuan berefleksi dari proses latihan denah ini
Buku ini dirancang untuk disebarkan dengan harga Rp93.000,- sebagai ganti biaya produksi, Jika teman-teman tertarik namun mengalami kesulitan dalam berdonasi, silakan hubungi kami dan kirimkan motivation letter berisi alasan kenapa kamu ingin membaca buku ini. Kuota terbatas, namun semangat belajar tak boleh dibatasi. Ada bonus 1 buku berbeda untuk 3 pembeli pertama. Jika berminat bisa pesaan di bit.ly/OrderOMAH
Hari ini adalah hari anniversary kami ke 14, kami menikah tanggal 23 september 2011. Foto ini diambil 11 tahun yang lalu, di Venice setahun kemudian Miraclerich lahir setelah itu. Dan pada waktu 2020 Heavenrich lahir. Kedua malaikat yang mewarnai hari – hari kami, perjuangan kami, juga kenangannya di sekitar kami, sekitar keluarga besar, studio, klien, tukang, sampai orang – orang sekitar dan orang baru.
Semoga gerak tindakan saya, kami dimaafkan kalau ada yang masih belum pantas, belum sempurna. Ada satu refleksi yang saya dapatkan dari kakak saya, bu Yo, soal keluarga soal pekerjaan, “Berproses terus ke inti baik secara teknis, filosofis & spiritual saling berkelindan… Yg penting (dalam proses) sabar, pelan2 & pastikan kalau relasi keluarga inti aman & saling melengkapi… tantangan lebih berat, tp mudah2an kita dianugerahi media pemulihan selalu.”
Kalimat terakhir merepresentasikan kesulitan yang kita hadapi, dan proses pemulihan diri. Proses pemulihan diri kami sebagai orang tua salah satunya ketika melihat hubungan anak – anak malaikat kecil dengan komunikasi ajaibnya, tulusnya, tidak terduganya celetukan, reaksi, kenangan2 yang sungguh pemberian Tuhan.
Mas Erwin yang praktiknya di Bandung, punya banyak pengalaman dengan brand global, dengan suka dukanya, dan Ananta yang mencerminkan arsitek desainer di generasinya, muda, sosial, membawa keinginan untuk memperbaiki lingkungan dan sekitar dengan progresif. Dari keduanya saya belajar banyak, juga dari saat2 bersama2, diskusi, berbagi kenangan, banyak mendengarkan. Satu kata untuk proses arsitektur yang tidak mudah , “Struggle” diri sendirinya ke lingkungannya untuk terus melayani dengan terus belajar.
Great people, circle. Di satu hari Jumat, 191025, Ngumpul – ngumpul sharing dengan lingkungan doa bersama. Akhirnya bisa kenal dengan beberapa orang di komplek, Jakarta – Tangerang, dua kota yang sibuk dan padat. Hal-hal seperti ini, sangat kami syukuri bisa berkumpul, saling mendoakan dalam kasih.
Rei mungkin ngga inget dulu dia yang bawain compact disc album Wicked dari Inggris, hanya gara – gara saya lupa, cd yang ada ketinggalan pas pindahan. Kadang dia datang di London, sampai menemani dulu ngobrol, di taman sambil saya skypean long distance sama Yudith dulu belum jadi istri.
Ia jadi kawan saat sepi banget di Inggris, dingin, kerjanya cuma kerja – kerja – kerja. Dari pagi ke pagi, black cab to black cab karena lembur di kantor. Dan akhirnya bisa ketemu lagi sama Rei !!! precious mentor, brother, guide, dan teman baik banget. Lingkaran yang selalu pas ketemu bisa membuat awet muda, dengan kenangan yang positif dari Singapore, London, sampai ketemu di Bali yang ternyata nyambung sama one great architect di Indonesia – Budi Lim. Rei, I just wanna really appreciate, and keep the moment as one of butterfly collection ! Thank you
Cara Rei care, tidak terlihat tapi nyata terasa, ketulusan dan intensi akan terlihat, dan membekas, kapan kita makan lagi ya di Four Season ha ha. Ngga kerasa akhirnya sudah 12 tahun lebih dari 2012 an ngga ketemuan, big thank you again yaa rei!!! Hugs from us again and again. ^^
We are honored that OMAH Library has been featured in the book 150 Libraries You Need to Visit Before You Die by Léa Teuscher, published by Lannoo, a renowned Belgian publisher known for its celebrated “150” series.
It all began when we were contacted by Léa Teuscher, a London-based writer researching the world’s most fascinating libraries. We are truly humbled that OMAH Library was selected to be part of this thoughtfully curated global list.
To be recognized among the 150 most inspiring libraries worldwide is not just an appreciation for us, it’s also a moment of reflection on the role of libraries as spaces of knowledge, culture, and community.
Thank you to Léa Teuscher and Lannoo Publishing for seeing value in our library.
Sudah 25 tahun kami semua lulus, dari tahun 2000 di arsitektur ITB, dari lucu/culun/kelakuan mirip taman kanak – kanak. Memang aneh, lucu, sekaligus mencoba terus lugu. Dari situ persahabatan diuji, dalam suka, dalam duka, dalam drama, dalam kejujuran. Itulah makna reuni, ketika kenangan berjumpa dengan kenyataan – kenyataan yang baru. Kadang perasaan bergejolak, ketakutan dan kebahagiaan dan juga kesedihan dalam menghadapi realitas. Sebuah perasaan sureal yang nyata-“sunyata”.
Persahabatan adalah imajinasi menuju kenyataan, dari tidak kenal menjadi kenal, dari tidak peduli menjadi peduli. Kali ini dalam reunian, empati seperti ini yang berusaha dihadapi, seluruh bungkus ditinggalkan dan kita semua menghadapi diri kita kenangan kita yang lampau salam bentuk yang sekarang. Uban, otot, tulang yang menua – 25 tahun dari tahun 2000 ketika kami semua bersama. Dari satu angkatan, satu himpunan (IMA G), satu kekerabatan, ada yang sama unit budaya, olahraga, sampai sekarang beda jurusan, sama jurusan, seperti rujak dan gado-gado, kebhinekaan yang menyatu.
Dalam gelak tawa pasta (pasukan dangdut angkatan), tangis dan air mata perjuangan Ar2k, jujur dan apa adanya menjadi mahal, kembali ke masa muda menjadi mimpi, dibalik seluruh waktu yang tidak berulang. Setidaknya kami bisa selamat, survive, tertawa, tersenyum, dan saling mendoakan, (juga pertemuan singkat dengan anak2 KMK- ada yang sudah jadi pastur di Lembang). Sebelumnya satu hari ketemu Wira, anak2 IMA G vino dkk dan mantan dan still dosen kami pak Agus.
Kawan – kawan ar 2k, adik2 IMA G, rekan2 semua jaga diri ya, saling mendoakan, dan sampai ketemu lagi. Mohon maaf telat reportasenya. ^^ thank rekan panitia yang sudah capek banget siapin acara – acara juga adik – adik angkatan yang mau berkeringat untuk kami. Tuhan yang mahakuasa memberkati dan
Hi Restless Spirit, rekaman video kelas kuliah pertama kami Kelas Arsitektur 01 – Arsitektur Berkelanjutan di Tengah Sejuta Keinginan Manusia, sudah bisa teman-teman akses melalui website OMAH Library dan Youtube Realrich + Guha : RAWDOTOMAH
Kelas ini berbagi tentang kenapa arsitektur berkelanjutan jadi penting, bagaimana membawakan tema ini dalam desain, diturunkan dalam 7 tahapan global dalam arsitektur berkelanjutan (Site dan Klien, Massa, Kulit Bangunan, Denah, MEP, Efisiensi Energi dan Air, Material), ditambah 2 tahap lokal yang terinspirasi dari vernakularitas di Indonesia, (solidaritas + pluralitas desain).
Kuliah menggunakan beberapa studi kasus beberapa arsitek yang menginspirasi studio kami seperti pada karya Foster + Partners dengan Gherkin St. Mary Axe – Masschuchets Institute of Technology, Gehry Partners LLC dengan IAC Building, ataupun belajar dari desain-desain shopping mall (big box desain) sampai rumah tinggal di Indonesia. Selain itu, juga belajar dari Eropa Utara bagaimana Sigurd Lewerentz dengan desain St. Peter’s Church di Klippan, yang menggunakan material bata tidak terpotong dengan pendekatan massa sederhana. Termasuk juga beberapa contoh karya di Indonesia seperti karya provokatif YB Mangunwijaya hingga Eko Prawoto dengan Wisma Kuwera dan Rumah Kedondong yang menunjukkan pengolahan material dengan budaya solidaritas ketukangan di Indonesia.
Teman-teman bisa menyampaikan kesan pesan kelas ini, di link berikut bit.ly/TestimoniOMAH
Materi: Realrich Sjarief + RAW DOT OMAH Moderator: Jocelyn Emilia Persiapan acara: OMAH Library Video Editing: Jocelyn Emilia dan Fransisca Matanari
Case Study:
The Sainsbury Centre for Visual Arts by Norman Foster and Wendy Cheesman St. Mary Axe by Foster + Partners IAC Building by Gehry + Partners St. Mary Axe by Foster + Partners Hongkong and Shanghai Bank Headquarters by Foster + Partners 3Beirut, Lebanon by Foster + Partners Commerzbank Headaquarters by Foster + Partners St Mark’s Church by Sigurd Lewerentz Church of Saint Peter, Klippan Wisma Kuwera by Y.B. Mangunwijaya Rumah Kedondong by Eko Prawoto
Video:
St Mark’s Church Footage: Realrich Sjarief Video Editor: Jocelyn Emilia Music: “Grateful” from Levi Gunardi’s Inside Out(2018)
Church of Saint Peter, Klippan Footage: Realrich Sjarief Video Editor: Jocelyn Emilia Music: “Grateful” from Levi Gunardi’s Inside Out(2018)
Wisma Kuwera Footage: OMAH Library Team Video Editor: Lu’luil Ma’nun Music: Natasya Grisella Plays Levi GUnardi’s Loneliness
Rumah Kedondong Footage: OMAH Library Team Video Editor: Lu’luil Ma’nun Music: Happy Birthday by Levi Gunardi Produksi: @omahlibrary
Our studio Realrich Architecture Workshop felt grateful to be present by @cersaie 2025, as part of the Indonesian delegation in the historic city of Bologna, Italy. Being invited here is not just about representation, but also about carrying stories, experiences, and hopes from where we come from and cherish Italian ceramic as part of global genius creative.
Cersaie itself is an international exhibition that runs from 22 to 26 September 2025, gathering people and companies from around the world. It is a meeting ground where ideas, materials, and innovations in architecture and design are shared—creating space to listen, to learn, and to be inspired by what others are exploring.
For us, this moment is meaningful because it reminds us of the importance of exchange, to rethink how architecture can respond to challenges with solutions that are sustainable, thoughtful, and grounded in material performance. More than just showcasing, it is about being part of a larger conversation on how to build with care—for people and for the environment.
Photograph: 1 by @_yophrm 2-7 event documentation by @rawarchitecture_best 8-10 Cersaie 2025 Booklet
Beberapa waktu lalu kami baru saja melepas adik-adik kami yang telah menyelesaikan masa magangnya di studio kami. Kedua adik kami ini memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama seorang pengamat. Kemampuan ini membuat mereka menjadi orang yang tidak hanya kritis dan berwawasan luas, tetapi juga peduli terhadap sekitarnya.
@__skyraia yang diberkati dengan pribadi yang supel, tidak sungkan menyapa dan berbagi cerita dengan teman-teman lainnya sembari mengamati dinamika studio, hingga @syahidalshadiq yang memiliki semangat tinggi dalam berarsitektur, memperhatikan detail-detail dan secara kritis belajar dan seringkali bertanya.
Terima kasih Karisya dan Syahid sudah menjadi warna baru di studio kami. Harapan kami kalian bisa memancarkan warna kalian lebih luas lagi. Semoga sukses selalu dan apa yang sudah dipelajari bersama bisa terus berguna untuk perjalanan kalian ke depannya. Semangat kalian akan selalu ada di tengah-tengah kami.
Antara bisnis dan proses mengayomi, keduanya menjadi bahan yang membuat saya merasa perlu untuk lebih hati-hati. Hubungan antara studio dengan keluarga, antara luar dan dalam perlu dijaga keseimbangan di banyak hal. Jujur saya mengalami kesulitan, dan semua pasti pernah berada di masa “ke engah-engahan” untuk menyeimbangkan banyak sekali ekspektasi. Dalam tawa lepas, dan air mata lelah. Sungguh rasa lelah yang luar biasa, tetapi tanpa lelah rasanya tidak ada juga puas. Keduanya resiprokal, dan keduanya menjadi kenangan yang sama-sama penting.
“What you see is on the branches, but the treasure is actually on the roots!” Itu kalimat @madcahyo, to the so many unseen things, banyak hati yang ber-resonansi antar satu sama lain. Setiap bertemu seperti banyak energi yang terjalin membentuk persaudaraan baru, walaupun terbatas oleh waktu, tetapi rasa ingin bertemu masih terus mengiringi. Dalam waktu Tuhan punya kuasa, dalam keinginan manusia kita sama-sama berusaha.
Sempet bertemu Yoris di Pontianak, anak muda pengawal budaya Dayak yang mencintai dan menyalurkan banyak energi kebaikan dari dayak, memberikan repetisi, tumbuh untuk membuka jalan arsitektur yang mencerahkan. Ia ikut mereferensikan kakak-kakaknya seperti @rasa.architektura dan @fas_architects
Akhirnya juga bisa ketemu Mas @rickyarchitectandpartners. Ia banyak menceritakan tentang kesadaran budaya, dari menggali titik personal. Seperti bagaimana pembuktian yang datang setelah kesadaran terbentuk, seperti “Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894” karya Anton W. Nieuwenhuis mengenai dinamika budaya Dayak, mulai dari arti menghormati leluhur, dan kekayaan kenangan yang berpusat dari tradisi air, kesabaran, memahami maksud-makna alam saujana, sampai kembali ke rahim ibu, penerimaan pelukan dan pengakuan budaya dalam ketetapan hati untuk being proud and taking care!
juga ketemu banyak saudara-saudara yang buat kangen seperti bli @gmahaputra, mas @reviantosantosa, dan teman-teman lainnya. Perjalanan kali ini membuka gerbang kesadaran baru! Thank you untuk @iai.kalbar dan acara Equator Architecture Forum. Thank you Almighty!
Our work, Kampoong Guha is featured in @archdaily curated by @miwanegoro. We are honoured to be featured in Archdaily. It’s a huge effort by all of our the team involved over these continuous years, refining the craft through numerous iterations and hard work by everybody.
Kampoong Guha is a mixed-use project that brings together @omahlibrary, architectural studio @realricharchitectureworkshop, home education classrooms @rumaharsitekturindonesia, co-living spaces @dot_workshop, and a residence @guhatheguild, blending formal and informal neighborhoods in Meruya, Tangerang. Designed as an adaptive, evolving structure, the project seamlessly merges traditional and industrial materials with passive cooling, ensuring indoor temperatures remain below 30°C inspired by Kampoong. Over 200 doors, stacked combinations of hybrid materials, and layered gardens create a flexible spatial experience serving both as a learning hub and a prototype for compact tropical living. Together they form a way towards bioclimatic architecture in Jakarta.
To reduce temperature, we tested various passive strategies by using shading, cross ventilation, and air-stacking effects, all integrated into a cohesive system that blends built form with greenery. To create bioclimatic architecture involves deep collaboration and ongoing testing post-construction. But each challenge helps us reflect and grow better for the next journey.
Amanda Karina Dwipayana Soft cover | Monochrome | English | 14,8cm × 21cm | 47 halaman | Release Date: (coming soon) ISBN: dalam proses pengajuan ISBN
Synopsis
Imagine the anatomy of early-adulthood dissected through ink—and now you have it. A diary-ish. The mise-en-scene of this manuscript dissects the silent voices of, Thank You’s, I Love You’s, I Miss You’s, I’m Sorry’s– orchestrated by the questionings of being and becoming. And they are YOURS too. Find yourselves mapped along the pages and in 3, 2, 1….exhale.
Renhata Katili Soft cover | Monochrome | Bahasa Indonesia | 14,8cm × 21cm | 218 halaman | Release Date: (coming soon) ISBN: dalam proses pengajuan ISBN
Synopsis
Hidup jarang berjalan lurus. Begitu juga kisah Armand P., seorang arsitek yang menempuh jalan berliku-liku: mulai dari salah jurusan di Bandung, pindah ke Arsitektur, menyimpan rasa pada sahabatnya Bunga, hingga melewati masa Reformasi 1998 yang ikut membentuk jalan hidupnya. Perjalanannya berlanjut ke Munich dan Stuttgart, tempat ia belajar arsitektur tropis sambil beradaptasi di negeri asing. Kembalinya ke Indonesia, ia menghadapi krisis ekonomi, bekerja serabutan, lalu perlahan menemukan kembali jati dirinya lewat media sosial dan karya yang membuatnya terkenal.
Namun di balik sorot kamera dan keberhasilan, Armand masih menyimpan ruang kosong—kenangan cinta yang tak pernah terucap, serta pertanyaan tentang arti keluarga, pilihan, dan waktu yang terus berjalan.
Bugaru bercerita tentang cinta, persahabatan, mimpi, dan perjuangan. Sebuah potret generasi 90-an yang berjuang melewati krisis, lalu belajar menerima bahwa hidup tak selalu lurus, tapi justru menarik karena liku-likunya.
Akhir bulan Agustus lalu menjadi akhir perjalanan belajar adik-adik kami berikut ini di program magang studio kami. Ada @carmelinagabriellah, @lunaakirn, @olgamaisha, dan @gervahoy dari Institut Teknologi Bandung, @adli.shiedieq dari Institut Teknologi Sumatera, dan @rikiriynto_ dari Universitas Pembangunan Jaya. Menariknya, setiap adik-adik kami ini memiliki dan memancarkan energinya masing-masing selama berada di studio.
Gabby dengan kemampuan berpikir kritis dan tulus dalam membagikan pengetahuannya ke teman magang yang lain, Luna yang cair dan mampu mengikuti perkembangan pembelajaran, Mai yang menjadi virus kebahagiaan dan penuh kasih, Tristan yang cepat belajar dan tanggap dalam menyelesaikan pekerjaan, Adli yang mau terus belajar dan konsisten dengan yang dilakukan, hingga Riki dengan kemauan yang kuat dan rendah hati.
Terima kasih Gabby, Luna, Mai, Tristan, Adli, dan Riki atas energi yang sudah kalian bagikan ke antara kami di studio. Kami berharap kalian bisa memancarkan diri kalian ini ke orang lain lebih luas lagi. Semoga sukses selalu di perkuliahan dan apa yang sudah dipelajari di studio bisa terus berguna untuk perjalanan kalian ke depannya. Semangat kalian akan selalu ada di tengah-tengah kami.
Beberapa waktu lalu, kami kembali melepas teman-teman magang yang sudah menyelesaikan masa belajarnya di studio. Meski masa belajar mereka di studio yang singkat, adik-adik kami ini juga memiliki semangat yang tak kalah besarnya dengan adik-adik di periode sebelumnya. Kami bisa merasakan kesungguhan dan kontribusi penuh yang mereka pancarkan ke tim kami di studio.
Setiap adik-adik kami kali ini memiliki keunikan dan energi mereka masing-masing. Dari Universitas Sriwijaya, ada @rmdprtm_43 yang memiliki kemauan belajar yang tinggi, @davinashaff yang memiliki rasa keingintahuan yang besar, dan @al.khns yang detail dan teliti dalam melakukan pekerjaannya. Kemudian ada juga @jaladr dari Universitas Langlangbuana yang sangat kritis dan memiliki kemampuan beradaptasi yang baik. Hingga @_yavena dari University of Sydney dengan perspektif yang memberikan warna baru di studio kami.
Terima kasih Rama, Davina, Caca, Adri, dan Anevay karena sudah menjadi angin segar di dalam tim kami di studio. Kami menantikan pertemuan kembali dengan pribadi kalian yang lebih bersinar, sukses selalu dengan perkuliahan, dan semoga apa yang sudah dipelajari di studio bisa terus berguna untuk perjalanan kalian ke depannya. Energi kalian akan selalu membekas di tengah-tengah kami.
Terima kasih Rama, Davina, Caca, Adri, dan Anevay yang sudah menjadi angin segar di tengah tim kami di studio. Meski kehadiran kalian terbilang singkat, semangat yang kalian bawa, baik dari cara belajar, bekerja, hingga energi positif yang ditularkan setiap harinya, benar-benar memberi warna baru bagi kami. Semoga apa yang kalian pelajari di studio bisa terus berguna, dan tumbuh bersama langkah kalian ke depan. Sukses selalu dengan perkuliahannya, dan sampai bertemu lagi dengan versi diri kalian yang makin bersinar ✨
We’re excited to unveil RAW Architecture’s progress for wonderfull new creative @wonderballpadel It consists of high quality two Padel courts with optimal design experience, warm, & natural. The design is with Bio climatic method, curvy aesthetic, and also cost effective with light weight structure combining steel, local stone, bricks, glassbox in one composition to address problems in rain fall angle, sun thermal angle, and cost wise constructed in very short period 4 months time.
“Padel as a sport has been evolving less than a year becoming culture, and the challenge here is accomodating fast-cost effective structure briefed by clients and integrate it with design strategy in terms of accomodating user optimal experience, play of material, cost effective structure, cool space, and integrated program with f+b, retail in efficient space planning.”- Realrich Sjarief, Principal RAW Architecture
Referred to as craftsmen’s housing or architecture of the poor, these spaces are constructed on extremely modest budgets sometimes as low as IDR 1 million per square meter yet they are tactically intelligent, materially efficient, and socially responsive. The same spirit lives on in Indonesia’s vernacular heritage: from the elevated rumah panggung of Sumatra to the modular Joglo of Central Java, each exemplifies how to build wisely with limited means, responding to local conditions while subtly resisting centralized systems of exclusion.
In RAW’s design, Boboto project, this spirit is embraced through the use of available, repurposed materials and vernacular construction logic. Materials such as Jambi wood, plywood, scrap timber, and glue-laminated timber (Glulam) were all sourced and processed on-site, making the entire construction process both cost-efficient and environmentally responsible.
“What is being built here has long existed in villages, it’s a simple solution that is easy to implement.” -Aep Syapuloh, Craftsmen @DOTWorkshop
Beberapa waktu lalu, kami kembali melepas adik-adik yang magang di studio kami. Mereka adalah @yoshintaas_, @zakkazx, dan @haidartmm, tiga nama yang hadir dari tiga kampus berbeda, tapi memberi satu semangat yang sama: ketulusan untuk belajar dan keberanian untuk tumbuh.
Yoshinta, dari UPN “Veteran” Jawa Timur, datang dengan ketenangannya. Awalnya ia tampak malu-malu, namun perlahan keberaniannya muncul, menjadi pribadi yang penuh inisiatif. Ia adalah pribadi menunjukkan konsistensi dalam bekerja, rapi dalam detail, dan tangguh dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, shingga menjadikannya sosok yang sangat bisa diandalkan oleh kakak-kakak di studio.
Sementara itu, Zakka dan Haidar datang dari kota yang sama, Semarang. Zakka dari Universitas Negeri Semarang dan Haidar berasal dari UIN Walisongo Semarang. Keduanya memiliki kehangatan dan sikap kerendahan hati yang serupa, dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk melebur bersama teman-teman di studio. Selama masa magang di Guha the Guild, mereka menunjukkan semangat yang kuat dan selalu sigap dalam membantu tim. Mereka juga adalah 2 orang yang paling banyak menyelami semua bagian tim dari konstelasi kami di RAW, DOT, OMAH.
Terima kasih Yoshinta, Zakka, dan Haidar untuk warna baru, semangat, dan energi positif yang sudah kalian bawa ke tengah-tengah kami. Kami menantikan pertemuan kembali dengan pribadi kalian yang lebih bersinar. Sukses selalu dan semoga proses di studio menjadi bekal yang bermanfaat dalam langkah kalian berikutnya, baik di kampus maupun di kehidupan.
Ini adik saya namanya Meizhan, dan beberapa bulan, minggu, dan hari-hari terakhir adalah hari yang spesial dan bagaimana saya harus berterima kasih atas seluruh semangatnya di studio. Ia adalah salah satu mahasiswa terbaik UII, yang diperkenalkan oleh kakak saya, salah satu pengajar arsitektur terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini @reviantosantosa. Keduanya orang terbaik dalam generasi yang berbeda
Dan, Tuhan punya rencana yang indah dengan pembelajarannya untuk Meizhan, sesuatu yang dinantikannya sejak lama, belajar di Italia. Kondisi Italia, 75 tahun mirip dengan Indonesia memiliki amalgamasi yang plural sebelum dibekukan oleh jaman. Negeri itu juga negeri para pemikir yang begitu menginspirasi kami, dari Carlo Scarpa, Aldo Rossi, Renzo Piano, sampai Manfredo Tafuri, dan begitu banyak ahli yang mengajak berpikir melalui lapisan-lapisan sejarah, relik, kritik dan teori yang substantif. Itulah energi para pemikir yang datang dan pergi, seiring dengan pertemuan begitu pula munculnya perpisahan, matahari yang terbit akan menyongsong senjanya, dan akan terbitnya matahari-matahari baru. . Saya masih ingat bagaimana Meizzhan adalah sosok selfless, dalam setiap tugas kecil, ia selesaikan dengan membaca konteks, dan perlahan-lahan memikul tanggung jawab lebih luas dengan pesat, adaptif, dan presisi dalam strateginya. Sampai saatnya ia menjadi salah satu leader di studio yang memposisikan anggota tim di atas kepentingan dirinya. Dia meninggalkan sikap underdog, merunduk untuk menerobos batas. Batasan itu ditembus karena hati kecil perantau dari Lombok ini memiliki jiwa pemberani yang haus tantangan, dengan ketahanan dan konsentrasi yang tinggi. . Dia jadi penyeimbang sempurna untuk kawan-kawannya kadang menjadi api dan air yang saling melengkapi. Diskusi kami punya dinamika yang membuat diskusi desain menjadi warna warni dalam waktu-waktu panjang. . Bahkan di saat-saat terakhirnya masih memikirkan orang lain, mengurus ini-itu seperti bukan hari terakhir. Mungkin semua akan setuju, seolah dia akan selalu ada di sini, sibuk kerja sampai detik terakhir. Meizzhan, membawa energi yang terhubung, membentuk lingkaran baru dalam perjalanan hidupnya. . Tuhan mohon bukakan jalan adik kami ini, karuniakan ia dengan semangat, guru baru, kawan baru yang membuat dirinya menembus batas lagi. Dari kami semua di studio, Meizzhan, terima kasih atas segala semangat, tawa, dan penembusan batas dirimu sendiri yang tak ternilai. Slide 1 diambil dengan baju tidur, khas kami di studio, slide 2 diambil bersama kompatriot jendral Riyan, slide 3 diambil dengan tim sophia, dari tim lama juga ada tim baru ada Shafira, Inggrid, Timothy, Edo, Ken, dan slide 4 diambil beserta keluarga besar studio. . Kami percaya Tuhan punya rencana besar untukmu, Meizhan untuk semua yang kau sayangi, kau jaga, kau lindungi. Kami mendoakan langkahmu selalu diberkati, masa depanmu berbuah manis, dan setiap usahamu menari dalam lindungan tangan Tuhan yang Maha Kuasa.
Sapo named by the client, is a tranquil, multifunctional sanctuary that celebrates personal retreat while honoring the Batak Karo vernacular village, Siwaluh Jabu. In Karo culture of Sumatra, “Sapo” is a rest house where farmers reflect while overlooking their fields.
The house reflects the client’s vision of a peaceful space for solitary remote work and a sanctuary for growing old in harmony with nature. Inspired by the metaphor of a mountain, the house’s silhouette recalls the Siwaluh Jabu form. Its undulating canopy shades the ground floor while echoing Karo’s natural landscape. Built with steel, concrete, and bitumen finishes, the structure ensures durability and efficient construction. The low-rise, dual-angled pyramid roof adds to its sculptural identity.
Surrounded by terraces that harness afternoon and evening sunlight. Preserved trees act as natural sunshades, while latticework filters light into the interior, creating a calm, inviting atmosphere. Building simulations helped optimize daylight and thermal comfort.
Inside, the house includes a living room, bedroom, gym, workspace, and gardens. At the center is an open atrium, lit by patterned skylights. A stained-glass crown on the roof continues the organic language, flowing into the canopy and wings.
Ceiling patterns inspired by traditional Indonesian textiles bring cultural richness and transform the central area into a temple-like retreat for contemplation and rest.
Terima kasih kepada Mas Hugo yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar bersama dan teman-teman yang kemarin telah ikut Open House rumah Ngumpar, 12 Jul 2025. Kami bersyukur acara kemarin berjalan dengan baik.
Dikelas tersebut kami berdiskusi bagaimana bioclimatic design terimplementasikan dari proyek pertama hingga ke rumah Ngumpar. Pemanfaatan natural climate di landscape, yang secara aktif kembangkan. Ada juga banyak bentuk-bentuk yang perlu konsistensi, dan menjadikan budaya ketukangan hal yang bisa dibanggakan.
Tanggal 2 Agustus 2025 mendatang, kami mengundang kembali para restless spirit untuk mengikuti Open House, rumah Lumintu. Ini menjadi series kedua Open House kami di 2025.
Rumah ini memiliki microclimate yang berbeda dengan Ngumpar, microclimatenya disusun dari lattice curve yang dibangun oleh tukang di lapangan. Bagaimana lattice membantu mengkondisikan iklim dan tanah gersang untuk menanam pohon. Kombinasi bentuk lengkung, kompresi, tension, denah, ceiling pendek-tinggi, sandwich antara program dengan banyak teknik yang dilibatkan dalam merumuskan desain. Ada juga skylight, acian lengkung, tangga melayang plat dan beton, kombinasi besi yang menyerupai beton, kayu, dan batu bata.
Bagi kami Open House seperti pintu yang dibuka. Dengan kriteria rumah yang selesai dalam 1-2 tahun, hal tersebut tidak lah mudah. Kami sangat berterima kasih kepada klien-klien kami yang telah membuka diri dan rumahnya untuk dikunjungi dan belajar. Di situlah makna Open House bagi kami ajang solidaritas, toleransi, dan belajar bersama, bertemu kolega yang saling mencintai arsitektur.
Bagi teman-teman yang mau ikut Open House ini bisa isi form berikut yah bit.ly/OpenHouseRAW , acara tidak berbayar dan kuota terbatas
informasi lebih lanjut: +62 815-1797-0213 (Wa Chat) Tempatnya terbatas, ditunggu kedatangannya.
Sejak 2011, kami selalu memiliki kegelisahan akan bagaimana arsitektur bisa dipahami bukan hanya dari “kotak kaca”. Kadang – kadang hal ini terwujud dalam bentuk tulisan, buku, dan sebagian dalam bentuk detail dan karya. Salah satunya terjawab dalam kesempatan untuk mengadakan “Open House” di salah satu rumah karya kami yang dinamakan Rumah Ngumpar yang berarti energi, intensi, makna yang berkumpul pada nanti tanggal 12 Juli 2025.
Open House bukan sekadar tempat memamerkan wujud fisik tetapi acara ini ditujukan sebagai media berdiskusi, berefleksi, melihat bagaimana penghuni mendiami rumah dan mendapatkan perspektif desain yang lebih kaya.
Di sinilah arsitektur diuji secara nyata, apakah ruang itu tumbuh, hidup, dan sekaligus malah evaluasi apakah desain tersebut berfungsi sebagaimana mestinya?
Open House menjadi momen untuk memahami proses perancangan yang sudah berlangsung secara berkelanjutan, sistematis, dan juga tidak berkesudahan, karena sisi manusia yang terus mencari kesempurnaan.
Proses desain Rumah Ngumpar sendiri dimulai dari lebih darj memahami cerita dan mimpi klien, tempat untuk istirahat dengan berkumpul, sehingga ruang-ruang fleksibel namun terarah menjadi penting, dimana ada kedekatan tapi berjarak. Proses desain pun dimulai dengan pertimbangan bukaan terhadap sisi yang terdingin, orientasi bangunan, pemanfaatan lahan, pola ruang, biaya, hingga kebutuhan operasional jangka panjang, merancang sirkulasi dan fungsi ruang secara efisien, inilah pendekatan arsitektur bioklimatik untuk memastikan kenyamanan termal dan efisiensi energi secara alami.
Hal ini akan kami bagikan dalam acara “Open House” bertajuk “Di antara Batas dan Performa”. Nanti, pengunjung akan kami ajak untuk berkeliling, merasakan ruang, material, dan konsep penghawaan alami juga termasuk batas – batas yang hadir.
Seluruh rangkaian acara akan kami dokumentasikan dalam bentuk video, sehingga yang belum berkesempatan hadir tetap dapat menyaksikannya.
Untuk mendaftar bisa klik bit.ly/OpenHouseRAW (gratis – kuota terbatas) Informasi lebih lanjut: +62 815-1797-0213 (WA Chat)
Yuswadi Saliya, Realrich Sjarief, Abidin Kusno, Undi Gunawan, Anas Hidayat, I Nyoman Gede Mahaputra, Johannes Adiyanto, M. Nanda Widyarta, M. Cahyo Novianto, Altrerosje A. Ngastowo, Eka Swadiansa, Revianto B. Santosa, Indah Widiastuti Soft cover | Monochrome | Bilingual (English & Bahasa Indonesia) | 14,8cm × 21cm | 369 halaman | Release Date: (coming soon) ISBN: dalam proses pengajuan ISBN
Synopsis
Oleh senyap dingin pun rebah ke pangkuan, kemudian seperti kekasih sesuatu pun mengendap ke haribaan, mencari pegangan saling menghangatkan. Jalan sudah lengang, menggamang: semakin menghampiri sifat tepiannya samar oleh ketidakpastian
Alam semesta sudah uzur luruh tertidur waktu pun mengendur membebaskan rentangnya melarutkan penat siang hari perlahan-lahan ke dalam berbagai sifat temaram perbatasan. Daun-daun pun merunduk menganggukkan wajah tua, berkerisik pelan oleh tiupan angin purba, melagukan madah perjalanan yang volumetrik. Daging satai yang terlepas dari tusuknya semakin menyodorkan sifat bangkainya bergeletakan mendekati sifat-sifat tanah; bungkah arang pun kian enggan membara kawahnya keriput oleh susut semangatnya terselaput abu malam mengaburkan bentuk.
Masih adakah yang terjaga saat ini? saat kata-kata mulai terlepas dari tangkainya: saat gelap lebur ke dalam suasana: saat gerak menghablur membentuk tamasya: saat bunyi berubah menjadi suara: saat desir angin menaburkan bunga-bunga. ………….. Semenjak temaram mulai membangkitkan perangkat indra menyambut pencerahan apa pun di ufuk mana pun, iqra Dengar!
Ya Allah, Rupanya kisi-kisi jendela pun mulai berbisik bahwa usia memang berjalan pada malam hari.
. Manusia punya waktu, yang Kuasa menentukan seberapa jauh kita mempunyai waktu. Hari ini saya mendapatkan berita dari Pak Budi Sumaatmadja, @anggara.architeam Architect. Bahwa Gani Wijoyo sudah berpulang, saya sedih sekali, mengetahui bahwa ia masih muda, brilian, dan sangat berbakat di arsitektur. Saya mengenal Gani pada saat ia masih bekerja di DP Architect, tahun 2006-2007, ia ada di tim Mr. T sedangkan saya ada di tim Mr. Wu, ia satu tim dengan Pebiloka dan Rizky, ketiganya adalah kartu as Mr. T dalam menggolkan proyek konseptual, pengolahan desain, massa, denah, 3 dimensi, sampai skala berhektar – hektar bisa dikerjakan dengan komprehensif. Mereka adalah tim yang solid, dan siap menempuh waktu – waktu panjang pagi menuju pagi dalam proses perancangan sampai posisinya sebagai Associate Director di DP Architect.
Bulan Juni saya berkomunukasi dengan Gani, terkait mengundangnya sebagai salah satu pemateri di Omah Library, pribadinya yang peduli dengan timnya, peduli dengan proyek, juga mau tahu tentang kesulitan orang lain menjadikan ia pribadi yang langka di tengah maraton proyek. Saya bertemu dia sebanyak 2 kali setelah ia memutuskan untuk ke Indonesia, menjadi design director dari Anggara menemani Pak Budi. Sayang sekali kami belum sempat mendokumentasikan kiprah dari pribadi yang rendah hati dan sangat berbakat ini.
Kali ini saya ingin mengenang dan membagikan semangatnya, keunikannya dan berbagi disini, seorang sahabat yang dirindukan. Selamat jalan ya bro, selalu keinget dimana saya belajar tentang budaya korporasi yang sehat yang diperjuangkan dirimu, juga seluruh batas dan dilemanya yang seharusnya kita bisa bagikan pengalamanmu di Omah.
Tuhan yang Maha Kuasa, lindungi keluarga yang ditinggalkan, dan selalu berkati seluruh amal yang sudah diberikan Gani juga seluruh warisan ilmu, dan pengalaman yang sudah dibagikan. Selamat jalan bro, see you again when I see you.
Wonderball project consist of two padel courts, plus an F&B experience with artistic architecture experience. The project comes with a hypothesis, of how to combine the programs within the small size lot 46m x 17.65m, while integrating it with a sustainable design strategy.
Positioned along the east-west axis, the courts are integrated within the landscape design that acts as a climate filter. They are enveloped by a thoughtfully composed skin of brick,perforated metal panels, and Sukabumi stone, which together allow airflow, add texture, and enhance tactile quality. This design creates a comfortable playing environment, supported by four active cooling fans.
A transition from the entrance into the court is made through a non-obstructive, glass and curved canopy, creating a subtle boundary that invites spectators, players, and passersby alike. Inside, a small gallery space offers a curated retail and lobby with the skylights above, while a concealed back-of-house service at the front efficiently supports the F&B.
The flexible seating arrangement is designed around the main community table. Implemented in collaboration with Mejorset, a renowned Spanish padel brand, this project brings internationally standardized sport facility into the local context. At the back, visitors are pampered with amenities including a shower room, locker area, and makeup room, crafted using local Sukabumi stone and translucent glass blocks. The programs are based on the client’s research on the one of the most promising business opportunities at the end of 2024. It is a way to connect sports with lifestyle and business circle, defining a new kind of social gathering.
Sejak 2011, kami selalu memiliki kegelisahan akan bagaimana arsitektur bisa dipahami bukan hanya dari “kotak kaca”. Kadang – kadang hal ini terwujud dalam bentuk tulisan, buku, dan sebagian dalam bentuk detail dan karya. Salah satunya terjawab dalam kesempatan untuk mengadakan “Open House” di salah satu rumah karya kami yang dinamakan Rumah Ngumpar yang berarti energi, intensi, makna yang berkumpul pada nanti tanggal 12 Juli 2025.
Open House bukan sekadar tempat memamerkan wujud fisik tetapi acara ini ditujukan sebagai media berdiskusi, berefleksi, melihat bagaimana penghuni mendiami rumah dan mendapatkan perspektif desain yang lebih kaya.
Di sinilah arsitektur diuji secara nyata, apakah ruang itu tumbuh, hidup, dan sekaligus malah evaluasi apakah desain tersebut berfungsi sebagaimana mestinya?
Open House menjadi momen untuk memahami proses perancangan yang sudah berlangsung secara berkelanjutan, sistematis, dan juga tidak berkesudahan, karena sisi manusia yang terus mencari kesempurnaan.
Proses desain Rumah Ngumpar sendiri dimulai dari lebih darj memahami cerita dan mimpi klien, tempat untuk istirahat dengan berkumpul, sehingga ruang-ruang fleksibel namun terarah menjadi penting, dimana ada kedekatan tapi berjarak. Proses desain pun dimulai dengan pertimbangan bukaan terhadap sisi yang terdingin, orientasi bangunan, pemanfaatan lahan, pola ruang, biaya, hingga kebutuhan operasional jangka panjang, merancang sirkulasi dan fungsi ruang secara efisien, inilah pendekatan arsitektur bioklimatik untuk memastikan kenyamanan termal dan efisiensi energi secara alami.
Hal ini akan kami bagikan dalam acara “Open House” bertajuk “Di antara Batas dan Performa”. Nanti, pengunjung akan kami ajak untuk berkeliling, merasakan ruang, material, dan konsep penghawaan alami juga termasuk batas – batas yang hadir.
Seluruh rangkaian acara akan kami dokumentasikan dalam bentuk video, sehingga yang belum berkesempatan hadir tetap dapat menyaksikannya.
Untuk mendaftar bisa klik bit.ly/OpenHouseRAW (gratis – kuota terbatas) Informasi lebih lanjut: +62 815-1797-0213 (WA Chat)
Uung @yunitauung kami memanggilnya, adalah kesayangan kami semua. Hari ini adalah hari spesial, dan bagaimana saya berterima kasih atas seluruh semangatnya di studio. Ia salah satu mahasiswa terbaik Binus, dan ia belajar di studio dengan pesat. Tidak banyak yang bisa memposisikan diri dengan baik, menjadi jembatan yang baik antara tim studio, engineering, juga klien.
Manusia punya rencana, Tuhan tentukan, dirinya yang memiliki kapabilitas yang komplit, memiliki tugas lain, tugas yang lebih penting dari arsitektur bangunan. Saya percaya dalam waktu ke depan Tuhan punya rencanaNya, yang besar untuk dirinya, untuk semua yang disayangnya. Setiap gelak tawa adalah derai air mata begitu menghitung hari bahwa momen yang sudah terjadi tidak akan terulang lagi.
Saya masih ingat saat – saat di rapat pertama, Uung masuk dengan ceria, bisa menyelesaikan tugas – tugas kecil yang berujung kadang mewakili saya ke rapat – rapat. Saya merasa banyak sekali terbantu dan mengucapkan terima kasih banyak untuk kontribusi di RAW DOT Omah,
Dibalik itu ada juga perpisahan dari @yoshintaas_ yang sudah menimba ilmu selama magang, beserta one of lead best @putrakhairus + @k.ezraa juga ada anggota baru salah dua mahasiswa terbaik dari Perancis, La Reunion, Gonthier dan Noemie, selamat datang dunia, menjemput waktu datang dan pergi, energi terhubung membentuk lingkaran yang baru dalam syukur saat ini. Slide 1 dan 2 di atas diambil oleh one of the best sister, leader di RAW, @melisaakma ,
Kami semua di studio RAW, DOT Omah mendoakan mereka.Tuhan yang Maha Kuasa, berkati mereka, juga seluruh tim yang ada dalam lindungan kami, keluarga yang mereka kasihi, dan masa depan yang mereka rangkul, seluruh daya upaya, tidak sia – sia dan akan berbuah manis dalam tangan yang menari dan berdoa.
. Ini saat yang paling mengharukan dan menyentuh hati begitu melihat @timbulsimanjorang dan @celindvk , mendapatkan berkat dari pendeta, memohon restu orang tua, disaksikan saudara, sahabat. Dua insan dari salah satu pasangan arsitek terbaik jebolan RAW.
Di dalam kehidupan ada fase yang berbeda – beda yang ada di kita semua, dari anak – anak melihat dunia, berkembang dengan kemandirian sampai mencari belahan jiwanya. Dan, pernikahan adalah soal janji bersama, syahadat sehidup semati bersama – sama, menjalin ikatan batin yang menyatu. Dua insan menjadi satu merajut mimpi untuk menjadi bahagia. Untuk orang tua, melepas buah hati menjadi hal yang tidak mudah. Dalam tangis, dan kebahagiaan ada kehidupan disitu. Disini kita belajar arti penyatuan, arti cinta yang tulus, saling merendahkan hati untuk pasangan.
Acara dihias cantik oleh @gabymarcelina dan @angelkusumaa , bersahaja, bersatu padu, dengan warna – warni yang simpel, detail-detail daun, bunga, menyatu menjadi komposisi seni, mereka bertiga bersama joce lekat satu sama lain, dulu selalu bersama-sama.
Tuhan yang Maha Kuasa mohon berkati kedua insan ini, juga keluarga mereka, saudara, sahabat, hal – hal yang akan beririsan di masa lalu, masa depan dalam kasih tak berkesudahan. Tidak ada yang kebetulan dalam rencananya yang indah, semua baik.
Kami semua kakak – kakak, saudara – saudara di RAW, DOT, OMAH mengucapkan bahagia, langgeng, dikaruniai banyak berkat untuk kehidupan yang terberkati dalam salah hari terindah dalam kehidupan dan pelukan yang erat. Apa yang dipersatukan oleh Allah tidak akan diceraikan okeh manusia.
. Tidak terduga dan tidak direncanakan bisa bertemu dengan sahabat @eka_swadiansa , membicarkaan kehidupan, aktivitas sehari – hari, keluarga, juga teman – teman, saudara – saudara yang kami rindukan. Dunia terasa lambat di tempat, waktu yang spesial. Begitupun cerita di baliknya, visi, misi, perjuangan, kesulitan, kebahagiaan, dalam air mata dan tawa. Banyak rencana terkait irisan “passion” kami di arsitektur, telaah satu dengan yang lain elemen emosi, pengalaman yang berlipat -lipat saling kait mengait.
Perasaan ini seperti menemukan saudara dengan semangat persaudaraan, dalam arsitektur. hal ini sulit, langka, namun berharga. Pada umumnya arsitektur dibingkai dalam estetika tren, apa yang populer. Namun dibalik itu ada semangat persaudaraan yang saling mengingatkan dan reflektif.
Seperti hari ini segala sesuatu pertemuan memang sudah rencanaNya. Setiap titik temu adalah doa untuk titik temu selanjutnya, selamat jalan kembali ! Selamat hari minggu ! Foto terakhir adalah kami berdua di rumah Gayungsari, rumah dari keluarga Pak Ardi Pardiman. Rumahnya beratap miring, yang diteruskan dan dilubangi untuk lubang cahaya, di dalamnya ada teras-teras 3 tumpuk dari kayu dan beton. Sebuah cerita amalgamasi banyak hal. Tq mas Lendra, mba @adetinamei , bu Santi dan seluruh keluarga, kami bisa mampir kesini.
Hari ini hari yang penting ^^ With 2 of the best intern in RAW, you will be missed. Dari bulan Januari dan Februari tidak terasa ya, kita akan kangen sama @unggul_prasetyoo dari UNNES @akmalaminullah_ dari UNS.
Waktu berlalu, ombak datang silih berganti, mereka harapan arsitektur kita ke depan :), apapun yang sudah diajarkan di studio semoga berguna, dikembangkan lebih baik lagi supaya bisa jadi versi terbaik diri masing – masing yang lebih baik lagi. Setiap saat bertemu tidak ada yang hanya kebetulan, semua yang terjadi pertemuan adalah rencana masterplanNya, mempertemukan mereka dengan kami semua adalah sebuah berkat tidak ternilai. Hai penjaga waktu jagalah anak – anak muda terbaik kami ini, berkatilah mereka dengan kebahagiaan, progress, pembelajaran, kerendahan hatian, dan masa depan yang cemerlang. See you soon dengan kami semua yaa.
Kami semua, kakak2 di RAW DOT OMAH bangga kepadamu, semangatt terus belajar dan menembus batas ya.
. Selamat Ulang Tahun pak Yuswadi Saliya. Beliau adalah seorang legenda arsitektur Indonesia. Kalau mau melihat isi pemikiran, dan hati seseorang, lihatlah ruang kerjanya, penuh dengan buku yang sedemikian banyaknya.
Sikapnya yang mau mendengarkan menjadi satu hal yang jadi inspirasi, mengambil sudut pandang yang didengarkan untuk diolah dalam diskusi – diskusi lanjutan. Nigel Cross Designerly Ways of Knowing menjadi satu tolak ukur dan penjelasannya menginspirasi untuk memberikan dimensi bahwa desain itu sistemik, ada klien, ada fungsi juga estetika, ia holistik, dan banyak pembelajaran waktu membuat pilihan. Sehingga prosesnya adalah reflektif dimana tidak ada yang absolut, semua tergantung konteks dan pilihan – pilihan yang punya konsekuensi.
Buku Perjalanan Malam Hari menjadi satu buku yang memperlihatkan kelenturan beliau dalam berpikir, merenung, mengenai perjuangan dalam praktik, dan berpikir. Satu saat di Selasar Sunaryo, setelah pameran Indonesialand, ia menjelaskan tentang pentingnya 3 pisau bedah untuk mengupas sudut pandang dengan kritis, ia menjelaskan apa itu epistemologi (pengetahuan formal), ontologi (rentang runut waktu), dan axiologi (posisi moral dan etis) dalam waktu yang pendek, memperjelas bagaimana memulai membicarakan isu dengan komprehensif. 3 sisi itu yang menjadi pintu masuk di Omah Library dalam membicarakan isu – isu terkait praktik dan design.
Yang tidak terlupakan, Endurancenya yang tinggi dalam mengupas permasalahan, dan berdiskusi, hal itu muncul dalam diskusi – diskusi panjang Hermit of Architecture pada saat pandemi, dimana diskusi bisa berlangsung sampai menjelang subuh dari pukul 19:00. Beliau adalah kesayangan banyak orang, begitupun dengan kami di omah library, kami selalu menantikan kedatangan beliau di setiap sesi, dan kami berharap Omah selalu menjadi rumah beliau yang nyaman.
Pak kami kangen juga kalimat khas beliau”samberlag (SAMpai BERjumpa LAGi),Pekik Jangkrik!!! YeWeTea” ha ha ha, Selamat ulang tahun Sir ! Arsitektur Indonesia patut bangga memiliki seorang Yuswadi Saliya.
Photo diambil oleh @permanasatriaa ❤️ “inget ga sat?”
. Baru cek hp subuh-subuh, saya dapat pesan seperti ini “Selamat Malam Ko Rich, Saya Nando Yudhi murid dari kelas space workshop, setelah 11 tahun berlalu saya bisa merasakan sekolah dan kuliah sekaligus 😁
Mungkin ada kata2 saya yang belum di sampaikan, karena canggung bisa jadi 😁
Terima kasih untuk 3minggu terakhir ini dan masih ongoing mempelajari arsitektur melalui ig dan sekarang melalui buku dari ko Rich & team, saya sebelum nya awam sekali dengan arsitektur, hanya melihat bagus atau tidak nya sebuah tempat.
Saya datang dari masa depan Ko Rich, Saya tidak melanjutkan kuliah karena pemikiran lingkungan yang salah.ketika saya menemukan passion yang saya sukai yaitu arsitek, it’s to late for me. Kalau waktu bisa di ulang,tahun 2014 ketika saya tamat sekolah, dan mengambil jurusan arsitektur, (saya ada lihat omah dibangun di 2016) mungkin takdir hidup saya bisa berubah 😁
Seperti buku thinking fast & slow karya daniel kahneman system 1 system 2,yang saya bicarakan mungkin lebih ke system 1
System 2,ilmu yang saya dapat bisa saya implementasi kan dalam kehidupan sehari-hari
Saya bisa lihat Bapak Rich dapat memberikan impact luar biasa untuk Indonesia, diskusi2 seperti ini yang di butuhkan masyarakat kita pak, untuk menaikan taraf pola pikir, saya termasuk privilage bisa melihat dan mendengar langsung.
Ketika Ko Rich mencantum kan nomor whatsapp ini,dan bilang bisa tanya atau bantu,(kalau bertanya itu pasti ko 😁),kalau permintaan cuma 1
Saya hanya punya permintaan 1 saja ko Rich, kalau generasi penerus saya misalkan tertarik dengan arsitektur, mohon di bantu dan di bimbing 😁,jangan sampai menyesal seperti saya 🙏”
Kalimat seperti ini membuat lebih punya harapan, semangat, terima kasih ya Nando, terharu membacanya berulang – ulang untuk saya yang bukan siapa- siapa, seluruh pengetahuan ini kami bisa dapatkan dari guru- guru, mentor – mentor kehidupan yang begitu banyak membantu studio RAW dan Omah. Saya doakan dirimu selalu dalam saat teduh, semoga ucapanmu menerus menjadi berkat untuk yang lain. Gbu to u and all.
Ps: saya posting ini dengan seijin Nando sebagai catatan penyemangat pribadi.
Sepuluh tahun terakhir sebelum wafat, arsitek Eko Prawoto memutuskan untuk menepi ke desa. Keseharian kota yang tak pernah luput dari pembangunan dan lahan subur proyek arsitektur itu ia tinggalkan. Beliau membangun rumah baru di desa, menciptakan “proyeknya sendiri” bersama tukang-tukang yang tidak selalu ada karena disambi bertani. Kami keheranan, kok beliau mau ya ngurusin sesuatu yang tidak jelas kapan mulai dan selesainya? Saat OMAH Library berkunjung ke sana di 2023, akhirnya kami mulai paham. Di sana ada spirit yang dipancarkan, yang semangatnya menggema dengan lantang di tengah perjalanan yang sunyi, yang keras memantik di antara ruang-ruang yang terjalin lembut.
Eko Prawoto, Realrich Sjarief, dan tim OMAH Library. Sumber: OMAH Library
Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan
Sebelum pindah ke desa, sejak 1988 Eko Prawoto dan keluarganya tinggal di rumah rancangannya sendiri di Bener, pinggiran Kota Yogyakarta. Rumah itu perlahan berkembang dan sebagian menjadi studio yang ia namai Eko Prawoto Architecture Workshop.
Dari sana lahir karya-karya seperti Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), dan banyak rumah seniman lainnya, serta rumah murah untuk berbagai kalangan. Di sini pula beliau mulai mendapat tawaran untuk mendesain instalasi dan perlahan meniti jalan sebagai seniman internasional.
Sejak awal, pendekatan kontekstual, organik, dan humanistik sudah mewarnai karya-karyanya baik sebagai arsitek, maupun sebagai seniman. Hanya saja, pendekatan itu menjadi semakin kuat ketika berhadapan dengan kondisi di desa yang memiliki keterbatasan akses material dan tukang-tukang terampil. Namun, di situlah Eko Prawoto meyakini adanya kecerdasan dan kreativitas tinggi untuk menciptakan sesuatu yang sederhana sebagai wujud dari sikap kematangan serta keutuhan dan harmoni dengan alam.
Kepindahannya ke Kulon Progo dipengaruhi berbagai faktor. Daerah Bener yang dahulu dikelilingi sawah-sawah dan sudah menjadi rumahnya selama 3 dekade, perlahan berubah menjadi kawasan pemukiman yang cukup padat. Namun, ia masih bertahan karena masih harus mengajar di UKDW—posisi yang sudah ia tekuni sejak 1985. Rencananya, Pak Eko ingin menjalani kehidupan yang lebih lambat setelah pensiun. Terlebih, sebagai pengajar beliau merasakan bagaimana pendidikan arsitektur saat ini cenderung berfokus pada pendekatan urban, industrial, dan kapitalistik.
“Sekarang semua kurikulum itu karakternya hanya berfokus pada urban, industri, dan kapital. Mungkin cocok buat kota, tapi perlu diingat bahwa ada desa, ada pulau-pulau kecil, yang mungkin tidak cocok dengan pendekatan yang diajarkan,” ujar Pak Eko waktu kami mengunjungi beliau di rumah desanya—barangkali lebih seperti self-reminder daripada kritik untuk publik.
Rumah Bener akhirnya hanya ditinggali sampai tahun 2014. Kantor biro arsitekturnya masih terpusat di sana, dan beliau masih terus mengajar di UKDW. Namun, di tahun itu Pak Eko dan istrinya Bu Rina memantapkan hati, pindah menjadi warga Desa Kedondong di Kulon Progo. Sejak itu, ia memposisikan untuk hadir dan hidup di desa, mengamati cara hidup masyarakatnya dengan alam.
Diskusi OMAH Library bersama Eko Prawoto di Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library
“Memang proses belajar lagi,” begitu katanya. Ibarat beliau sedang mengambil disertasi S3 tentang “bahasa arsitektur yang lebih gayut di desa”. Dari situ kita bisa melihat karyanya yang semakin seimbang dan semakin mendengarkan, seperti yang nampak di kediamannya, Rumah Kedondong (yang ditempati hingga beliau jatuh sakit dan wafat pada September 2023), dan Balé Klegung (2021), warung makan tak jauh dari sana yang dikelola pribadi.
Kedua tempat ini nampak dieksekusi dengan metode desain yang sama. Secara spasial, Rumah Kedondong dan Bale Klegung memang punya karakter yang mirip: luasnya masing-masing ± 2.000 m2 dan sama-sama berlokasi di lereng tepi sungai dengan banyak pohon eksisting. Kondisi spasial yang spesifik ini direspons dengan cara berpikir vernakular, mengambil mindset masyarakat desa yang lebih mengikuti bentuk alam. Metodenya sangat kontekstual, salah satunya dengan sebisa mungkin tidak memotong pohon dan tidak mengubah kontur.
Sebagai konsekuensinya, massa bangunannya tersebar dan naik turun mengikuti kesediaan lahan. Seperti di rumah pertamanya di Bener, dan karya-karyanya yang lain, adanya pohon yang mencuat di tengah bangunan menjadi hal yang biasa. “Rumah ini muncul belakangan, sementara pohon ini sudah ada duluan. Pohonnya yang harus dimenangkan, kemudian bermain di antara ruang yang ada.”
Pekarangan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library
Desainnya pun seringkali tampak tidak terencana. Program ruangnya berkembang secara organik mengikuti pertumbuhan kebutuhan, dari hunian, tempat pertemuan untuk menyambut tamu, musyawarah, atau perkuliahan, hingga guest house dan museum. Hampir seluruhnya diwadahi struktur kayu bekas dari berbagai daerah, seperti rumah Jawa Timuran dan lumbung dari Bawean yang dikumpulkan secara bertahap. Material bekas, material baru, dan apa pun yang tersedia dipadukan dan digunakan secara maksimal.
Limasan atas untuk ruang tamu. Sumber: OMAH Library
Paviliun tamu. Sumber: OMAH Library
Lumbung dari Bawean. Sumber: OMAH Library
Rumah Jawa-Timuran yang jadi ruang tinggal utama. Sumber: OMAH Library
Limasan bawah untuk pertemuan. Sumber: OMAH Library
Sekilas, alam seperti menjadi elemen yang tertinggi dalam karya-karya Pak Eko. Namun, beliau justru menempatkan alam di posisi kedua dalam refleksinya selama hidup di desa. Yang pertama justru nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya agraris. “Institusi sosial, relasi sosial sangat penting di desa untuk membedakan dengan kota.”
Di desa, warga biasa membiarkan tetangganya untuk keluar masuk halaman rumah. Pekarangan tidak hanya bukan lagi ruang personal, tetapi juga ruang publik tempat warga bisa numpang lewat dan memotong akses. “(Bagi orang desa) Rumah itu adalah halaman, relasi menjadi penting,” tutur Pak Eko. Pagar di desa pun menjadi batas yang lentur, tidak pernah benar-benar tertutup. Pak Eko juga pernah menyampaikan bahwa gerbang rumahnya tidak pernah dikunci. Di kemudian hari beliau justru membuka akses baru, sebuah jembatan yang menghubungkan halaman Rumah Kedondong dengan rumah tetangga di seberangnya. Saat kami berkunjung ke sana pun, kami mendapati tetangga Pak Eko menggunakan jembatan tersebut, masuk ke halaman Rumah Kedondong, bertegur sapa sejenak, lalu melanjutkan perjalanan ke destinasinya yang entah di mana. Toleransi masyarakat desa ini barangkali sudah menjadi hal biasa di sana, tetapi sangat jarang ditemukan di masyarakat urban.
Tetangga Pak Eko numpang lewat halaman Rumah Kedondong melalui jembatan yang terhubung ke rumah seberang. Sumber: OMAH Library
Eko Prawoto dan Realrich Sjarief, di atas jembatan yang menghubungkan rumah Pak Eko dengan rumah tetangga. Sumber: OMAH Library
Hubungan antar-manusia menjadi elemen yang penting, tak hanya dalam praktik arsitekturnya di desa, tetapi konsisten dalam proyek-proyek Pak Eko yang lain. Beliau menjalin hubungan erat dengan semua yang terlibat dan seringkali memposisikan diri sebagai jembatan, fasilitator, pendamping. Pak Eko berkali-kali menyampaikan, kepada klien ia bertindak layaknya bidan yang membantu “persalinan”. Bangunan yang dihasilkan ibarat jabang bayi yang jelas bukan anak Pak Eko, melainkan orang tuanya sendiri alias si klien atau user yang akan menggunakan dan merawatnya selama puluhan tahun. Oleh karenanya, Pak Eko berusaha tidak memaksakan egonya sebagai arsitek. Pada proyek rumah tinggal, apalagi milik seniman yang egonya besar misalnya, Pak Eko mempersilakan klien untuk menentukan bagaimana rumah itu akan diisi, sementara beliau hanya membantu mengarahkan supaya keinginan klien terfasilitasi dengan baik sesuai sumber daya yang ada. Cara beliau memposisikan diri memberi ruang untuk relasi-relasi kolaboratif yang menantang batas-batas formal arsitek.
Di Rumah Kedondong, Pak Eko memang punya kekuasaan lebih sebagai pemilik dan pengguna, tetapi lagi-lagi ego itu ia simpan untuk memberi ruang pada tukang-tukang di desa. “Tukang-tukang di desa sebenarnya adalah petani yang di waktu luangnya menjadi tukang. Jadi, kemampuannya terbatas dan peralatannya juga seadanya,”—selain juga kesediaan waktu mereka yang sempit. Karakter tukang-tukang inilah yang kemudian banyak menentukan rupa arsitekturnya.
Pagar depan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library
“Kita tidak punya resources yang banyak, jadi kalau bisa tidak usah terlalu mengolah. Jangan memotong dan menghasilkan material sisa, jadi semua habis dipakai. Makanya saya senang keramik pecah itu karena tidak ada sisa, habis.” Yang muncul kemudian adalah arsitektur yang frugal (murah dan sederhana) dan primal (awal, mentah, dasar) yang jujur. Berawal dari relasi sosial dengan tukang desa, Pak Eko diantarkan kembali pada karakter otentik desa yang lebih membumi, yang secara naluriah mengalah pada bentuk alam.
Keramik pecah untuk dekorasi batu dan ornamen capung. Sumber: OMAH Library
Keramik pecah untuk dekorasi sink. Sumber: OMAH Library
Keramik pecah untuk finishing bangku duduk. Sumber: OMAH Library
Bukan berarti arsitekturnya menjadi tidak inovatif, justru sikap mengalah ini memunculkan kreatifitas baru. Misalnya, sebuah unit kamar keluarga di Rumah Kedondong dengan struktur beton yang kolom-kolomnya terpisah perbedaan kontur. Untuk menghindari cut-and-fill berlebih, akhirnya dibuat model panggung dengan kolom-kolom yang diberi perkuatan catenary arch agar dimensinya tetap tipis. Penyelesaian desain ini mungkin biasa untuk Pak Eko, tetapi baru untuk para tukang. Karena itu, beliau tidak memaksakan hasilnya harus rapi, “(Yang penting) secara struktur benar.” Lagipula, keteraturan alam juga tidaklah seragam. “Semua punya peran, punya fungsi. Kita tidak bisa menemukan dua helai daun yang sama dalam satu pohon. Jadi berbeda. Tidak usah berarsitektur dengan ngotot, gitu.”
Paviliun tamu yang menghindari pohon dan mengalah pada kontur. Sumber: OMAH Library
Catenary arch untuk memperkuat balok antara dua kolom yang terpisah kontur. Sumber: OMAH Library
Suasana di bawah panggung paviliun. Sumber: OMAH Library
Mempekerjakan tukang-tukang setempat merupakan strategi yang Pak Eko pelajari dari sosok gurunya, Romo Mangun. Kegiatan membangun tidak hanya dilihat sebagai cara memenuhi kebutuhan programatik, tetapi menjadi kesempatan untuk mendukung ekonomi lokal. “Dengan membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu, sehingga dia tetap punya pekerjaan.”
Pada Rekonstruksi Desa Ngibikan pasca-gempa di Yogyakarta tahun 2006, Pak Eko bergerak erat dengan komunitas lokal. Awal keterlibatan beliau di Ngibikan adalah karena Pak Maryono, warga desa tersebut yang sudah lama bekerja bersama Pak Eko sebagai tukang. Rumah Pak Maryono masih berdiri, tetapi rumah lain banyak yang rubuh karena penambahan konstruksi modern pada struktur asli limasan tanpa perkuatan yang layak. Warga kemudian mengungsi di tenda-tenda plastik yang didirikan di persawahan. Prihatin dengan kondisi ini, Pak Eko dan Pak Maryono dengan bantuan dana dari Kompas mencoba membangun ulang desa.
Ada banyak aspek yang coba direspons dalam kasus ini: kebutuhan mendesak terhadap tempat tinggal layak, karakter masyarakat dan budaya setempat yang harus dijaga, juga keterbatasan sumber daya material dan tukang berpengalaman. Desain yang kemudian muncul adalah rangka limasan yang dimodifikasi menggunakan kayu kelapa dari sekitar desa dengan umpak beton dan sambungan mur-baut. Tiga modul utama dibangun pada masa rekonstruksi dan bisa diduplikasi sesuai kebutuhan pengguna di masa mendatang. Tembok bata yang disusun ulang dari reruntuhan gempa berdiri setinggi ± 1 meter, disambung tembok papan gipsum yang ringan dan mudah dipotong. Prosedur konstruksinya mudah diikuti bahkan oleh warga biasa tanpa pengalaman bertukang sebelumnya, tetapi secara struktur lebih efektif menahan gempa dibanding struktur yang ada sebelumnya.
Dalam waktu 4 bulan saja, 55 rumah di RT 5 Ngibikan berhasil berdiri dan siap menyambut bulan Ramadhan. Ketika dikunjungi empat tahun kemudian untuk penilaian Aga Khan Award, desa ini terlihat seperti tidak pernah terguncang gempa sebelumnya. Suasananya hidup dengan rumah-rumah berkerangka serupa tetapi dengan pengembangan masing-masing yang penuh karakter—cukup kontras apabila dibandingkan dengan beberapa desa yang direkonstruksi dengan sistem top-down yang berjarak dengan keseharian warganya. Karena peristiwa itu, tumbuh pula tukang-tukang generasi baru dari desa ini. Lewat kolaborasi, arsitektur yang lahir dari tangan Eko Prawoto tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga merawat hubungan manusia dengan alam dan budaya.
Kisah Pak Eko dan Pak Maryono mengingatkan kami pada Le Corbusier dan muridnya, José Oubrerie pada pembangunan Gereja Saint-Pierre di Firminy. Oubrerie membutuhkan Corbusier untuk bisa menurunkan bentuk yang baku dari sketsa menjadi bangunan beton yang kokoh yang menjadi bangunan publik. Pak Maryono dalam studi kasus Ngibikan seperti menjadi Oubrerie, tukang yang menjadi murid Pak Eko. Beliau turut menurunkan gagasan limasan ke dalam teknis pengerjaan yang efisien, membagi warga yang juga merupakan pengguna dalam kelompok-kelompok kerja sesuai tahapan bangun: pondasi, rangka, pemasangan—dan mengajari mereka semua hingga bisa membangun sendiri. Di sini batas-batas arsitek menjadi lentur. Arsitek, tukang, dan klien menjadi satu demi ilmu arsitektur—sesuatu yang Pak Eko harap bisa lebih di akomodasi dalam pendidikan arsitektur di kampus.
Pendekatan Eko Prawoto untuk Ngibikan dan juga proyek-proyeknya lain tidak hanya mengingatkan pada pemberdayaan lokalitas khas Romo Mangun, tetapi juga kurikulum Berlage Institute yang menjadi tempatnya mengambil studi S2 pada 1993. Kontras dengan Amsterdam School yang ekspresif dan arsitektur yang ornamental, Berlage Institute menerapkan pendekatan yang lebih kritis, kolaboratif, dan eksperimental. Penekanannya ada pada relasi konteks lokal dan global, serta keterlibatan realitas praktis yang sarat konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Seperti Bauhaus di Jerman, atau AA School di London, dan berbagai institusi lain di dunia.
Ada aspek efisiensi dari modular rangka yang bisa diproduksi dengan mudah dalam jumlah besar sesuai kapasitas sumber daya alam dan manusianya sehingga semakin banyak rumah bisa dibangun dengan lebih cepat. Dalam pemilihan rangka limasan, kayu kelapa, dan penentuan program dapur di luar rumah, ada kepekaan pada budaya setempat—validasi terhadap identitas masyarakat yang menjadi pijakan untuk bangkit kembali.
Dalam hal relasi lokal dan global, kita perlu mengingat bahwa arsitektur merupakan sebuah investasi yang mahal, tetapi dibutuhkan oleh seluruh kalangan, tanpa terkecuali. Ketika pendidikan dan industri punya tendensi untuk menggunakan dan mengembangkan material hi-tech yang mahal, Pak Eko pun berkali-kali bertanya, “Posisi arsitek ada di mana?”
Pertanyaan itu beliau jawab secara literal dengan pindah ke Kulon Progo. Kekecewaan dan kemarahannya terhadap pendidikan dan industri arsitektur seakan ia olah kembali dalam kesederhanaan dan ketenangan desa—yang menurut kami adalah upayanya mendesain sebuah shift of paradigm, yang akan banyak merubah arsitektur Indonesia, dari kota menuju desa, melalui arsitektur frugal yang menyentuh hati.
Perbincangan di Limasan Depan. Sumber: OMAH Library
Di sisi lain, pertanyaan itu secara tersirat mengingatkan bahwa arsitek perlu bisa melayani berbagai kalangan, sehingga ia juga perlu menguasai berbagai teknik, tidak hanya teknik-teknik modern, tetapi juga teknik-teknik sederhana untuk kalangan yang mungkin hanya butuh pernaungan.
Roxana Waterson dalam buku The Living House mengamati bagaimana peradaban di Asia-Tenggara dimulai dengan shelter-shelter sederhana, dari ranting, daun, dan kulit pohon. Di buku ini Roxana mengemukakan teori Gaudenz Domenig tentang alternatif proses evolusi teepee structure (yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang disusun radial, mengerucut ke atas membentuk tenda) yang primitif, menjadi struktur vernakular berupa kolom-kolom tegak yang menopang atap lebar. Di Jawa, pengembangan ini muncul salah satunya dalam bentuk limasan. Mitu M. Prie melalui pengamatan sejarah dan arkeologi, mendapati bahwa bentuk limasan menjadi struktur yang paling sederhana dan banyak diduplikasi. Ia adalah versi vernakular dari kebutuhan primitif terhadap naungan.
The Development of Pile Building and Saddle Roof Based on Domenig’s Theory. Sumber: Roxana Waterson, The Living House.
Entah beliau sadari atau tidak, limasan menjadi model struktur yang seringkali Pak Eko adaptasi dalam karya-karyanya—baik dalam wujud aslinya seperti di Rumah Bener dan Rumah Kedondong, maupun dalam bentuk modifikasi seperti di Ngibikan. Terbukti, struktur ini memang mudah dipahami dan dibangun oleh tukang-tukang. Di bawah naungan struktur yang sederhana ini, program ruang yang lebih rinci kemudian dikembangkan.
Limasan Depan. Sumber: OMAH Library
Saat kami datang ke rumahnya di Kulonprogo, massa-massa limasan dan struktur lainnya yang bertebaran di halaman membuat kami ingin menangkap visualnya menggunakan drone. Namun, ketika dicoba, kami merasa gagal karena massa-massanya malah hampir tidak terlihat sama sekali, hampir seluruhnya tertutup rimbunan pohon.
Foto drone Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library
Memang, nampaknya kami ini datang masih dengan mindset kota. Belakangan, kami baru menyadari bahwa justru rimbunan pohon itulah wujud sesungguhnya dari arsitektur Eko Prawoto. Nampaknya beliau bersungguh-sungguh ketika berbicara bahwa bagi orang desa rumah adalah halaman. Rumah Kedondong bukan sekadar massa dan program ruangnya yang tersebar, melainkan juga halamannya itu sendiri yang membentuk sirkulasi, menjadi penjalin relasi dengan komunitas desa, dan juga menjadi ruang hidup itu sendiri bagi Pak Eko untuk mengamati semesta. Dan ketika halaman pun menjadi rumah, maka pohon-pohon pun menjulang layaknya kolom-kolom, dan rimbunan daun pun menjadi atap yang menaungi. Siapa sangka, konsep shelter atau pernaungan di Rumah Kedondong dikembalikan pada bentuk alaminya, bahkan sebelum peradaban primitif dimulai. Kembali ke fitrahnya.
Pekarangan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library
Tetangga Pak Eko numpang lewat halaman Rumah Kedondong melalui jembatan yang terhubung ke rumah seberang. Sumber: OMAH Library
Pemandangan pekarangan di bawah naungan atap Limasan Depan. Sumber: OMAH Library
Lanskap lintas kontur. Sumber: OMAH Library
Selain relasi sosial, hubungan manusia dengan alam turut menjadi refleksi utama Pak Eko. Bersama beliau, konsep genius loci tak lagi sebatas teori pendekatan desain, tetapi seperti kembali lagi pada makna aslinya, “jiwa dari sebuah tempat”. Ia mencoba berdialog dengan alam seperti berdialog dengan manusia, yang kadang perlu beberapa kali bertemu dalam setting yang berbeda baru bisa akrab dan kenal. “Kalau datang, sebaiknya jangan sekali. Tapi pagi kayak apa, siang kayak apa, lalu malam seperti apa. Lalu pas matahari terbit dari sini, itu kok bagus banget. Berarti visual koridor ke arah ini penting,” tuturnya dalam seri kelas Contextual Method (OMAH Library, 2021).
Dinding taman yang menghindari pepohonan, diterangi cahaya sore hari dari barat. Sumber: OMAH Library
Di Rumah Kedondong, proses berkenalan itu terjadi dalam ritual keseharian yang sederhana, seperti ketika Pak Eko menyapu halaman. Di situ ia memperhatikan detail-detail baru yang sebelumnya luput: dari titik pancaran matahari, detail daun yang menginspirasi, sampai keseimbangan ekologi. Semua makhluk hidup coba beliau rangkul, meski saat itu ia berpotensi merusak.
“Kadang-kadang kita merasa kita memiliki banyak hal, tapi sebetulnya makhluk lain itu juga berhak … Saya mikir, ketika tidak ada ulat lagi, kita jangan mengharapkan akan melihat kupu-kupu. Jadi kadang-kadang ya sudahlah dibiarkan.” Ia memahami alam yang bergulir dinamis, keindahan dan keburukannya yang relatif, sehingga mengalahnya Eko Prawoto adalah untuk menang demi kebaikan yang lebih luas.
Teras rumah dengan berbagai tanaman hias yang dirawat Bu Rina. Sumber: OMAH Library
Dalam sebuah presentasi IPLBI di Yogyakarta tahun 2024 lalu, untuk pertama kalinya kami menampilkan video yang diambil dari kunjungan kami ke Rumah Kedondong dalam iringan lagu Happy Birthday oleh Levi Gunardi. Lagu tersebut merupakan persembahan Levi untuk gurunya, Iravati Mursit. Video dan potongan kenangan yang diceritakan kembali dalam presentasi itu pun juga menjadi persembahan kami untuk Pak Eko Prawoto, atas rasa syukur bisa bertemu beliau sebagai murid.
Mengutip Pak Galih Pangarsa, salah seorang sahabat Pak Eko, ketika membicarakan arsitektur Eko Prawoto, kita menjadi tersadar bahwa “yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, tetapi bagaimana menjadikan arsitektur sebagai wujud upaya bersama untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan.”
Di 2025 ini, 2 tahun sudah berlalu sejak Pak Eko wafat, tetapi keberadaan beliau masih kami rasakan dan kami rindukan. Beliau adalah seorang Kesatria, seorang agent of change yang berjuang dengan pergerakan di desa, yang mengetuk tak hanya raga dan pikiran, tetapi juga hati orang-orang yang bersinggungan dengannya. Dari sosok Pak Eko kami belajar untuk tenang dalam kemarahan dan berefleksi dari kekecewaan. Kata-kata beliau selalu bisa “membersihkan” hati dan membuat kami merasa seperti dilahirkan kembali. Menjadi manusia sejati. Dan hari ini pesan itu kami sampaikan lagi.
Happy birthday, Sir.
Siluet Eko Prawoto. Sumber: OMAH Library
English translation
Eko Prawoto and the Village, Future Architectural Methods for Indonesia
The last ten years before he died, architect Eko Prawoto decided to move to the village. He left the daily life of the city that was never free from development and the fertile land of architectural projects. He built a new house in the village, creating “his own project” with craftsmen who were not always there because they were farming. We were surprised, why did he want to take care of something that was unclear when it would start and finish? When OMAH Library visited there in 2023, we finally began to understand. There was a spirit that was radiated there, whose enthusiasm echoed loudly in the midst of a silent journey, which loudly sparked between the softly woven spaces.
An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan
Before moving to the village, since 1988 Eko Prawoto and his family lived in a house he designed himself in Bener, on the outskirts of Yogyakarta City. The house slowly developed and part of it became a studio that he named Eko Prawoto Architecture Workshop.
From there were born works such as Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), and many other artist houses, as well as affordable houses for various groups. Here he also began to receive offers to design installations and slowly made his way as an international artist.
Since the beginning, a contextual, organic, and humanistic approach has colored his works both as an architect and as an artist. However, this approach became stronger when faced with conditions in the village that had limited access to materials and skilled craftsmen. However, that was where Eko Prawoto believed in the existence of high intelligence and creativity to create something simple as a manifestation of maturity and integrity and harmony with nature.
His move to Kulon Progo was influenced by various factors. The Bener area, which was previously surrounded by rice fields and had been his home for 3 decades, slowly changed into a fairly dense residential area. However, he still persisted because he still had to teach at UKDW—a position he had held since 1985. Pak Eko planned to live a slower life after retiring. Moreover, as a teacher, he felt how current architectural education tends to focus on urban, industrial, and capitalist approaches.
“Now all the curriculums are only focused on urban, industrial, and capital. It might be suitable for the city, but remember that there are villages, there are small islands, which might not be suitable for the approach taught,” said Pak Eko when we visited him at his village house—perhaps more like a self-reminder than a criticism for the public.
Rumah Bener was finally only occupied until 2014. His architectural bureau office is still centered there, and he continues to teach at UKDW. However, in that year Pak Eko and his wife Bu Rina made up their minds, moving to become residents of Kedondong Village in Kulon Progo. Since then, he has positioned himself to be present and live in the village, observing the way the people live with nature.
“It’s indeed a learning process again,” he said. It’s as if he is taking a doctoral dissertation on “architectural language that is more connected to the village”. From there we can see his work that is increasingly balanced and increasingly listening, as seen in his residence, Rumah Kedondong (which he occupied until he fell ill and died in September 2023), and Bale Klegung (2021), a food stall not far from there that is privately managed.
Both of these places appear to be executed with the same design method. Spatially, Rumah Kedondong and Bale Klegung do have similar characters: each has an area of ± 2,000 m2 and is both located on a riverbank slope with many existing trees. This specific spatial condition is responded to with a vernacular way of thinking, adopting the mindset of village communities that follow natural forms more. The method is very contextual, one of which is by not cutting trees as much as possible and not changing the contour.
As a consequence, the mass of the building is spread out and rises and falls following the availability of land. As in his first house in Bener, and his other works, the presence of a tree sticking out in the middle of the building is commonplace. “This house appeared later, while this tree was already there first. The tree had to be won, then played between the existing spaces.”
The designs often seem unplanned. The spatial program develops organically following the growth of needs, from residences, meeting places to welcome guests, discussions, or lectures, to guest houses and museums. Almost all of them are accommodated by used wooden structures from various regions, such as East Javanese houses and barns from Bawean that were collected gradually. Used materials, new materials, and whatever is available are combined and used to the maximum.
At first glance, nature seems to be the highest element in Pak Eko’s works. However, he actually places nature in second place in his reflections during his life in the village. The first is the value of togetherness as part of an agrarian culture. “Social institutions, social relations are very important in the village to differentiate it from the city.”
In the village, residents usually allow their neighbors to enter and exit their yards. The yard is no longer just a personal space, but also a public space where residents can pass through and cut off access. “(For villagers) The house is the yard, relations become important,” said Pak Eko. The fence in the village also becomes a flexible boundary, never completely closed. Pak Eko also once said that the gate to his house was never locked. Later, he actually opened a new access, a bridge that connects the yard of Rumah Kedondong with the neighbor’s house across from it. When we visited there, we found Pak Eko’s neighbor using the bridge, entering the yard of Rumah Kedondong, greeting for a moment, then continuing the journey to his destination who knows where. The tolerance of the village community may have become commonplace there, but it is very rare to find in urban communities.
Human relations are an important element, not only in his architectural practice in the village, but also consistent in Pak Eko’s other projects. He establishes close relationships with all those involved and often positions himself as a bridge, facilitator, and companion. Pak Eko has repeatedly said that to clients he acts like a midwife who helps with “delivery”. The resulting building is like a baby that is clearly not Pak Eko’s child, but rather his own parents, namely the client or user who will use and care for it for decades. Therefore, Pak Eko tries not to impose his ego as an architect. In residential projects, especially those owned by artists with big egos, for example, Pak Eko allows the client to determine how the house will be filled, while he only helps direct so that the client’s wishes are well facilitated according to the available resources. The way he positions himself provides space for collaborative relationships that challenge the formal boundaries of architects.
In Rumah Kedondong, Mr. Eko does have more power as the owner and user, but again he keeps that ego to himself to give space to the craftsmen in the village. “The craftsmen in the village are actually farmers who work as craftsmen in their spare time. So, their abilities are limited and their equipment is also simple,”—in addition to their limited availability of time. The character of these craftsmen is what then largely determines the appearance of the architecture.
“We don’t have many resources, so if possible, don’t process too much. Don’t cut and produce leftover material, so everything is used up. That’s why I like broken ceramics because there’s no leftover, it’s all used up.” What then emerges is an honest frugal (cheap and simple) and primal (initial, raw, basic) architecture. Starting from social relations with the village craftsmen, Mr. Eko is brought back to the authentic character of the village that is more down to earth, which instinctively gives in to the form of nature.
This does not mean that his architecture is not innovative, in fact, this attitude of giving in gives rise to new creativity. For example, a family room unit in Rumah Kedondong with a concrete structure whose columns are separated by different contours. To avoid excessive cut-and-fill, a stage model was finally made with columns reinforced with catenary arches so that the dimensions remain thin. This design solution may be common for Mr. Eko, but new for the craftsmen. Therefore, he did not force the results to be neat, “(The important thing is) that it is structurally correct.” Moreover, the order of nature is also not uniform. “Everything has a role, has a function. We cannot find two identical leaves on one tree. So it’s different. Don’t be too stubborn in your architecture, like that.”
Employing local craftsmen is a strategy that Mr. Eko learned from his teacher, Romo Mangun. Building activities are not only seen as a way to meet programmatic needs, but also as an opportunity to support the local economy. “By making those details, it is not an aesthetic consideration, but actually to absorb it longer, so that the craftsmen work longer in that place, so that they still have jobs.”
In the post-earthquake reconstruction of Ngibikan Village in Yogyakarta in 2006, Mr. Eko worked closely with the local community. His initial involvement in Ngibikan was because of Mr. Maryono, a villager who had long worked with Mr. Eko as a carpenter. Mr. Maryono’s house was still standing, but many other houses had collapsed due to the addition of modern construction to the original limasan structure without proper reinforcement. The residents then took refuge in plastic tents set up in the rice fields. Concerned about this condition, Mr. Eko and Mr. Maryono, with financial assistance from Kompas, tried to rebuild the village.
There were many aspects that were attempted to be responded to in this case: the urgent need for decent housing, the character of the local community and culture that must be maintained, as well as the limited material resources and experienced carpenters. The design that then emerged was a modified limasan frame using coconut wood from around the village with concrete bases and nut-bolt connections. Three main modules were built during the reconstruction and can be duplicated according to the needs of future users. The brick walls reassembled from the earthquake debris stand ± 1 meter high, connected by light and easy-to-cut gypsum board walls. The construction procedure is easy to follow even for ordinary people with no previous carpentry experience, but structurally it is more effective in withstanding earthquakes than the previous structure.
In just 4 months, 55 houses in RT 5 Ngibikan were successfully built and ready to welcome the month of Ramadan. When visited four years later for the Aga Khan Award assessment, the village looked as if it had never been shaken by an earthquake before. The atmosphere is alive with similar framed houses but with their own development full of character—quite a contrast when compared to several villages that were reconstructed with a top-down system that is distant from the daily lives of its residents. Because of this event, a new generation of carpenters also grew from this village. Through collaboration, the architecture born from the hands of Eko Prawoto not only functions physically, but also maintains the relationship between humans and nature and culture.
The story of Mr. Eko and Mr. Maryono reminds us of Le Corbusier and his student, José Oubrerie in the construction of the Saint-Pierre Church in Firminy. Oubrerie needed Corbusier to be able to reduce the standard form from sketch to solid concrete building that became a public building. Pak Maryono in the Ngibikan case study is like Oubrerie, a craftsman who became Pak Eko’s student. He also reduced the idea of limasan into efficient work techniques, dividing residents who were also users into work groups according to the construction stages: foundation, frame, installation—and taught them all until they could build it themselves. Here the boundaries of the architect become flexible. Architect, craftsman, and client become one for the sake of architectural knowledge—something Pak Eko hopes can be more accommodated in architectural education on campus.
Eko Prawoto’s approach to Ngibikan and his other projects is not only reminiscent of Romo Mangun’s typical local empowerment, but also the curriculum of the Berlage Institute where he took his Master’s studies in 1993. In contrast to the Amsterdam School’s expressive and ornamental architecture, the Berlage Institute applies a more critical, collaborative, and experimental approach. The emphasis is on the relationship between local and global contexts, as well as the involvement of practical realities that are full of social, cultural, and economic contexts. Like Bauhaus in Germany, or AA School in London, and various other institutions in the world.
There is an efficiency aspect of modular frames that can be easily produced in large quantities according to the capacity of natural and human resources so that more houses can be built more quickly. In the selection of the limasan frame, coconut wood, and the determination of the kitchen program outside the house, there is sensitivity to local culture—validation of the community’s identity that is the basis for rising again.
In terms of local and global relations, we need to remember that architecture is an expensive investment, but it is needed by all groups, without exception. When education and industry tend to use and develop expensive hi-tech materials, Mr. Eko has asked many times, “Where is the position of the architect?”
He answered that question literally by moving to Kulon Progo. His disappointment and anger towards education and the architecture industry seemed to be reprocessed in the simplicity and tranquility of the village—which we think is his attempt to design a paradigm shift, which will greatly change Indonesian architecture, from the city to the village, through heart-touching frugal architecture.
On the other hand, the question implicitly reminds us that architects need to be able to serve various groups, so they also need to master various techniques, not only modern techniques, but also simple techniques for groups who may only need shelter.
Roxana Waterson in the book The Living House observes how civilization in Southeast Asia began with simple shelters, made of twigs, leaves, and tree bark. In this book, Roxana presents Gaudenz Domenig’s theory about the alternative process of evolution of the primitive teepee structure (which consists of wooden slats arranged radially, tapering upwards to form a tent), into a vernacular structure in the form of upright columns supporting a wide roof. In Java, this development appears, among others, in the form of a limasan. Mitu M. Prie, through historical and archaeological observations, found that the limasan form is the simplest and most widely duplicated structure. It is a vernacular version of the primitive need for shelter.
Whether he realized it or not, the limasan became a structural model that Pak Eko often adapted in his works—both in its original form such as in Rumah Bener and Rumah Kedondong, and in a modified form such as in Ngibikan. Evidently, this structure is indeed easy to understand and build by craftsmen. Under the auspices of this simple structure, a more detailed spatial program was then developed.
When we came to his house in Kulonprogo, the masses of the limasan and other structures scattered in the yard made us want to capture the visuals using a drone. However, when we tried, we felt like we failed because the masses were almost invisible at all, almost entirely covered by the thick trees.
Indeed, it seems that we came with a city mindset. Later, we realized that the thick trees were the true form of Eko Prawoto’s architecture. It seems that he was serious when he said that for village people, a house is a yard. Rumah Kedondong is not just a mass and its spread out spatial program, but also its yard itself that forms circulation, becomes a weaver of relations with the village community, and also becomes a living space for Mr. Eko to observe the universe. And when the yard becomes a house, the trees tower like columns, and the thick leaves become a roof that shelters. Who would have thought, the concept of shelter or shelter in Rumah Kedondong is returned to its natural form, even before primitive civilization began. Back to its nature.
In addition to social relations, the relationship between humans and nature also becomes Mr. Eko’s main reflection. With him, the concept of genius loci is no longer limited to a design approach theory, but rather returns to its original meaning, “the soul of a place”. He tries to have a dialogue with nature like a dialogue with humans, who sometimes need to meet several times in different settings to be able to be familiar and know each other. “If you come, it’s better not to come once. But what’s it like in the morning, what’s it like in the afternoon, and what’s it like at night. Then when the sun rises from here, it’s really beautiful. That means the visual of the corridor in this direction is important,” he said in the Contextual Method class series (OMAH Library, 2021).
At Rumah Kedondong, the process of getting to know each other occurs in simple daily rituals, such as when Mr. Eko sweeps the yard. There he notices new details that were previously missed: from the point of sunlight, the inspiring details of the leaves, to the ecological balance. He tries to embrace all living things, even though at that time he has the potential to cause damage.
“Sometimes we feel like we have a lot of things, but actually other creatures also have the right … I think, when there are no more caterpillars, we shouldn’t expect to see butterflies. So sometimes, just let it be.” He understands the dynamic rolling nature, its relative beauty and ugliness, so that Eko Prawoto’s defeat is to win for the greater good.
In an IPLBI presentation in Yogyakarta in 2024, for the first time we showed a video taken from our visit to Rumah Kedondong accompanied by the song Happy Birthday by Levi Gunardi. The song is Levi’s dedication to his teacher, Iravati Mursit. The video and snippets of memories retold in the presentation are also our offerings to Mr. Eko Prawoto, as a form of gratitude for being able to meet him as a student.
Quoting Mr. Galih Pangarsa, one of Mr. Eko’s friends, when discussing Eko Prawoto’s architecture, we realize that “what is more important is not the debate on the spatial aspects of ‘local-global’, nor the temporal aspects of ‘traditional-modern’, but how to make architecture a form of joint effort to escape the trap of dwarfing and destroying the seeds of humanity.”
In 2025, 2 years have passed since Mr. Eko passed away, but we still feel and miss his presence. He was a Knight, an agent of change who fought with movements in the village, who touched not only the body and mind, but also the hearts of those who came into contact with him. From Mr. Eko we learned to be calm in anger and reflect on disappointment. His words could always “cleanse” our hearts and make us feel like we were reborn. To become true human beings. And today we deliver that message again.
Di RAW Architecture, proses desain selalu dimulai dari sketsa tangan. Bukan hanya tentang menggambar bentuk, tetapi sejak awal sketsa menjadi ruang dialog tentang program ruang, fungsi, sirkulasi, hingga susunan massa bangunannya. Sketsa menjadi alat eksplorasi yang cair yang membuka banyak kemungkinan, dari bentuk-bentuk yang abstrak hingga komposisi ruang yang lapang, bagaimana ruang-ruangnya dirancang blong, dengan jarak antar kolom yang renggang untuk menciptakan fleksibilitas dan rasa lega di dalam rumah.
Ada satu cerita yang kami ingat yaitu ketika klien memutuskan untuk memindahkan pintu utama ke sisi bangunan, agar bisa sesuai dengan fengshui. Setelah dihitung ternyata angin dari barat laut bisa masuk lebih optimal. Hal-hal seperti ini muncul dari percakapan yang santai, tapi memberi dampak besar dalam membentuk ruang masuk yang lebih sejuk.
Foto – foto ini memperlihatkan area penerima di Rumah Lumintu yang dinaungi oleh kanopi dan membentuk bayangan lembut bagi area tanaman di bawahnya. Keteduhan ini adalah hasil dari strategi bioklimatik yang dirancang secara cermat untuk menjawab tantangan panasnya tapak yang menghadap barat.
Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop Structural Engineer: PT. Cipta Sukses Photography: @kiearch Design process video by @realricharchitectureworkshop team
Magical people in @omahlibrary Greg, Erica with Jemai akhirnya ketemu lagi yaaa, best companion, librarian, father, and warm little fam :) filing day with warm hugs ❤️❤️❤️
Located in West Jakarta, Guha Boboto is a residential renovation project that turns a 1990s workshop made of simple plywood structures into a hybrid space integrating a family home, boarding house, food stall, and a public library. Set within a dense neighborhood, with a site of 26 x 14 m, the design posed two critical questions: Can a renovated house blend family, work, and community using recycled materials? And how can a bioclimatic design adapt to Jakarta’s climate with simplicity?
Our strategy was a “Vernacular Hybrid” approach, blending recycled materials with local craftsmanship. We reimagined the 1990s plywood structure, transforming it with glulam and lightweight steel to create a resilient, affordable framework. We use materials such as traditional wood joineries, plywood, and bricks. The interventions are designed and composed in such ways to preserve the old structure. This project highlights the spirit of locality, affordability, and sustainability.
The facade mixes repurposed plywood and steel slats, opens north-south for airflow, shading the west for thermal comfort. Craftsmen crafted plywood from 1997 into intricate wall and ceiling patterns, adding warmth. A central hallway, linking the family home, boarding house, and OMAH Library, acts as a courtyard like space, buzzing with community life. The library, a bookstore and activity hub, joins family-run stalls from the 1990s, supporting local micro-businesses. The landscape, with small garden patches shaded by the structure, weaves into the kampoong fabric.
The innovation lies in craft and sustainability. Repurposed bricks and plywood form intricate patterns, reducing heat while guarding privacy, also extending the lives of the waste materials, turning them into valuables by the touch of local craftsmen. It is a living experiment of how homes in urban Jakarta can be adaptable and generous, proving that less can be more.
Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Photography: 1-3, 6-10 by @aryophramudhito 3-4 by @luil_mn
Kami belajar banyak dan berdiskusi cerita arsitektur Indonesia dari pak Budi Sukada di hari minggu dari sejarah, teori, sampai kritik dan dinamikanya. “Very blessed day today” bisa bertemu seperti ini di hari minggu.
Diskusi sampai tentang pak Ardi Pardiman, relasi dengan pak Gunawan Tjahjono, penerbitan Djambatan dimana mbak Lit istri pak Budi sempat kerja disitu yang dimiliki oleh Mustafa Pamuntjak . Sungguh ditunggu kehadiran pak Budi di diskursus banyak tempat tentang arsitektur Indonesia. Indonesia memiliki banyak role model hebat untuk jadi sumber pelajaran juga tempat berdiskusi dengan puluhan tahun pengalaman.
Seorang maestro tidak untuk dipuja puji saja, namun untuk sebagai kawan berdiskusi, menguji seberapa kuat pemikiran kita, seberapa rendah hati kita untuk terus belajar, seberapa lentur ego kita, dan seberapa jauh kita mau berempati dengan apa yang namanya waktu, pengalaman, jam terbang, dan arti senyuman yang merangkul.
Di meja belajarnya, Heavenrich dengan cermat mengatur mainan-mainannya, menciptakan dunia kecil yang rapi. Kadang, ia kesulitan fokus atau mengatur barang, seperti lazimnya anak seusianya, namun setiap langkah kecilnya adalah progress. Bersama Laurensia, saya belajar untuk menjadi pembimbing yang sabar, mengingatkan diri bahwa anak-anak bukan miniatur orang dewasa. Tugas orang tua bukan menuntut, melainkan menunjukkan jalan.
Di usia 3 hingga 7 tahun, anak – anak sedang menjelajahi wilayahnya, belajar mengenal batas dan mempraktikkan kemandirian. Kami mengajarinya cara mengatur, mulai dari mainan hingga waktu, dengan penuh kasih. Setiap kali ia berhasil, kami mengabadikan momen itu dalam foto, menunjukkan betapa gagahnya ia. Pujian sederhana ini membangun harga dirinya, membuat matanya berbinar. Progresnya, meski kecil, terasa besar di hati kami.
Membimbing Heavenrich, dan belajar darinya adalah bagian dari tugas pembimbingan, juga pembelajaran, sebuah perjalanan untuk menumbuhkan kepekaan dan keberanian dalam dirinya. Sebagai orang tua, kami belajar rendah hati, menyadari bahwa setiap anak punya tempo sendiri untuk berkembang.
Saya merefleksikan arsitektur berpusat dari keluarga, dan dari situlah kasih muncul, itulah arsitektur.
Nestled within the dense complex of South Jakarta, The Sawo Morahai House is a home designed with the intention to engage and contribute meaningfully to its surroundings.
Located at the corner of a children’s playground (RPTRA) in the middle of a bustling neighbourhood, the area are alive with activities throughout the day. This vibrant context became an opportunity for the client to reflect on design that represent both of them, a design with strong identity links to his Maluku heritage, and her dedication to community service.
The home regularly welcomes many visitors, where it translates to a social area around the corner. Here, daily newspapers are made available in order to invite neighbours to gather and read. This creates an informal communal space, making the house a hub for social activities to take place.
The ground floor become a dynamic social core. An open garage accommodates up to four cars and doubles as a flexible multi-use area, seamlessly connected to the adjacent RPTRA. Two bedrooms and a workspace on the ground floor cater to daily needs, while a generous social space ties the home to its communal context.
The second floor houses a library and two guest bedrooms, with a central office space serves as the heart of the home. The third floor forms the private family zone, with a main bedroom and two children’s rooms. Above, a rooftop garden crowns the design, featuring a ping pong area, pantry, and seating zone—inviting retreat for relaxation and play.
The house explores combination of curves and rectangular shapes in its form and facade to facilitate healthy airflow and natural light into the interior spaces. The facade expresses Maluku’s heritage, with exposed wooden elements mimicking boat masts and totems through uses of natural ulin wood for a raw, organic texture, and gray toned finishes to compliment it.
As to respond to its climatic context, the design prioritizes methods to achieve thermal comfort of 28°C by strategically placing trees and plants to create a natural cooling effect. A lush garden fronts the house to block excess sunlight, while still offering views of the children’s playground. A rooftop garden serves as insulation for the rooms beneath it. Respecting its surroundings, the house maintains open southern and northern boundaries to prevent overshadowing neighbouring properties, ensuring light and air to circulate freely.
The name Morahai carries multiple meanings: a beautiful house, the beauty of family, and the beautiful notion of how opportunities can rise a meaningful live for the client. Morahai reflects a belief that every home should be rooted to its residents, nurtures them, and bring positive impact to its surrounding community.
Foto oleh @kiearch ini menceritakan bagaimana keteduhan, material ringan, dan ritme garis dari elemen kanopi yang naik turun membentuk komposisi indah sekaligus berfungsi secara termal. Fasad Rumah Lumintu dirancang seperti cabang-cabang pohon yang membentuk kanopi berkelanjutan, menciptakan naungan yang melindungi ruang di bawahnya. Tak hanya sebagai peneduh dari terik matahari Jakarta, kanopi ini juga memberi rasa tenang, seperti duduk di bawah rindangnya pohon.
Proyek ini menantang karena tapaknya menghadap barat. Oleh karena itu, pendekatan arsitektur bioklimatik menjadi landasan utama perancangannya. Mulai dari pemilihan material yang tepat, penempatan ventilasi silang, penerapan stacking effect, hingga kanopi sepanjang 6–8 meter, semua dirancang untuk menciptakan buffer alami terhadap panas sekaligus menghadirkan kenyamanan sejuk bagi ruang di dalamnya.
Dari Rumah Lumintu, kami belajar bahwa arsitektur tropis bukan hanya soal estetika, tapi soal kenyamanan yang dirancang dengan kepekaan. Menghilangkan panas bukan berarti ruang menjadi kosong, melainkan menghadirkan kesejukan nyata melalui bukaan dan ventilasi silang. Angin pun dimanfaatkan untuk mengurangi kelembapan, membuat ruang terasa sejuk dan nyaman. Rumah Lumintu lahir dari proses performatif yang menyesuaikan kebutuhan iklim, fungsi, dan gaya hidup klien. Inilah filosofi “Lumintu”, berkelanjutan, alami, dan tumbuh bersama waktu.
Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop Structural Engineer: PT. Cipta Sukses Photography: @kiearch Design process video by @realricharchitectureworkshop team
The School of Alfa Omega’s workshop building, as the second phase of the school’s development, is an attempted response to support educational needs in collaborative environment, uniting architectural design and alternative educational initiative to promote an open, creativity-driven pedagogy. From a holistic perspective, traces of rigid educational culture are still common and are the byproduct of varying elements from the post-colonial situation, often reflected in students through lack of participation, favoritism, and the suppression of creativity and critical thinking. These issues, rooted in a post-colonial legacy, inspire to rethink a new spatial and better pedagogical approach.
The new building serves as a multifunctional space, primarily for student workshop activities as part of the school’s initiative in direct collaborative education. Its star-shaped form reflects a break from rigid planning, emphasizing openness and connectivity, with a central atrium maximizing interaction. Six inward-facing rooms complete the program, all linked to the central atrium as the pivotal space and each used for different types of student workshop that includes timber, bamboo, metal, plastic, and clay workshops. The design is then guided by four main principles: connectivity, responsiveness to tropical climate, bamboo tectonics and sustainability, and adaptable function.
Client: @alfaomegaindonesia Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop Structure Engineer: Singgih Suryanto, Amud, and team Photography by: 1-9 @bacteria.archphotography 10 @indonesiacreativemedia
To reinforce the school’s vision of closeness to nature and local wisdom, bamboo was again chosen as the primary material. The structure was developed through collaboration between designers, craftsmen, and school staff, showcasing craftsmanship and experimentation. Elevated above the ground to respond towards the existing flood threat, the slanted roof responds to climate needs, with flooring made from bamboo and concrete layers. The walls combine traditional “gedhek” weaving and polycarbonate for ventilation and daylight, while the wind tunnel created from raised central roof enhances cross-ventilation.
The Workshop supports the holistic spirit to embody an alternative educational model: one that resists inherited rigidity and encourages independent, critical, and imaginative thinking through space that is close to nature and locality.
Domba kami si Tahura, sudah melahirkan anaknya 2 jantan baru saja lahir lagi, dapet kiriman pak saniin , kelahiran selalu jadi sesuatu yang ditunggu – tunggu. Dari 3 ekor dengan Tahura,Dago, Bandung, akhirnya beranak dengan nama si kembar satu, si kembar dua, dan si tunggal. Yang dua ini baru dinamain Maribaya dan Mekarwangi. Sekarang udah 9 ekor.
Domba – domba ini lucu – lucu, sekaligus bisa jadi koperasi bersama, saham saya 20 persen sisanya buat pak Saniin, mang Dede, mang Rojak, mang Uyu. ^^
Foto ini menunjukkan material lengkung dari besi membungkus struktur beton dua lantai, foto lain menunjukan bagaimana taman di bawahnya di teduhi oleh kanopi sehingga lebih teduh. Bangunan ini mengalami beberapa pergantian tampak, karena klien yang memberikan tantangan detail dan mau memberikan toleransi waktu untuk proyek.
Klien kami memiliki bisnis peralatan bangunan industri. Ia menginginkan rumah yang juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan tempat berkumpul bersama keluarga. Saya menampilkan juga video yang dibuat tim kami, jocelyn dan tim untuk menjelaskan proses desain secara singkat. Kuesioner selalu menjadi titik awal proses desain, bukan hanya formalitas, tetapi landasan untuk memahami siapa klien kami, apa yang mereka butuhkan, dan yang lebih penting, bagaimana mereka hidup dan dicatat.
Semoga rumah ini dapat tumbuh bersama mereka lintas generasi. Terhubung dengan klien juga berarti menghormati tradisi budaya, seperti mempertimbangkan feng shui untuk memastikan desain selaras dengan nilai-nilai yang sangat berarti bagi mereka seperti pintu di ujung sudut, memutar menikmati taman sebelum memasuki rumah.
Ia menghabiskan banyak waktu di lapangan lebih dari arsitek namun tetap menghargai proses desain. Penghargaan sederhana ini adalah proses kreatifitas yang sehat, inklusif. Banyak orang, banyak perputaran ide, kepercayaan yang total, proses desain yang analitis terhadap biaya, waktu, dan mutu yang terkontrol.
Foto ini diambil oleh @kiearch menunjukkan Fotonya memiliki komposisi bagus, memang fotografer ini punya mata yang tidak biasa, berseni, dan mampu memicu sudut – sudut yang khas kuat. Untuk arsitektur yang dibangun lama, fotografer mengabadikan memori yang berkesan untuk kami, tim studio, juga klien.
Design : RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop Structure Engineer: PT. Cipta Sukses Photography by @kiearch Design process video by @realricharchitectureworkshop team
EduAll is a learning and study center located in West Jakarta, nestled within a dense urban complex. The spatial constraints of the site called for a departure from conventional school design. In response, the project explores key questions: How can an informal school be effectively realized within a modest space? And to what extent can spatial potential be maximized despite physical limitations?
The design addresses these questions by reimagining the constrained urban site—defined by fixed columns and low ceilings—as a dynamic, playful, and therapeutic alternative to rigid, traditional schools.
At ground level, a “playground of possibilities” welcomes students with soft, curved forms and vibrant colors inspired by treetops to spark exploration and imagination. A vista from the entrance frames a broadcast space, rooting learning in communication and interaction.
Across four levels, the design uses thoughtful zoning to overcome spatial limitations. The ground floor combines functional spaces—admissions and lobby—with a creative hub. The first floor houses a science zone, integrating structure with experimentation. The second floor features a maker space to encourage hands-on innovation. At the top, the third floor offers an open-plan exhibition and art area to promote flexibility and expression.
Each level balances “viewing” and “being seen” through a combination of open and enclosed geometries. Materials evolve from simple whites and transparent glass on the lower floors to bold, colorful finishes above—serving as a visual and spatial stimulus that encourages students’ creative exploration.
EduAll offers an example on how an informal school can thrive within a modest setting. The space now serves to nurture the student in their creative endeavors, challenging traditional norms for a more dynamic and exploratory approach to learning.
Hari ini di Taman Mini Indonesia Indah lagi, Betapa anak – anak suka banget kesini, sekarang TMII semakin bagus dan rapih, semoga semakin banyak tempat seperti ini dan bisa biaya juga semakin murah, :) Tuhan sungguh baik.
Noah Kindergarten is a new kindergarten project located in Cipinang, East Jakarta. It is built in a hot and humid area, within a rather enclosed space. Therefore, the design considers the following questions: How can a kindergarten host an inclusive space while responding to its tropical context? What are the barriers, and how can a simple, groundbreaking sequence overcome them?
The design responds by prioritizing the child’s journey—how they enter, feel, and explore—within a safe, creative, and climate-responsive space.
From the lobby, an open expanse flows seamlessly to a playground, connecting every level with accessible, open areas. The ground floor offers a unified, safe space; the first floor links to an open swimming pool and landscape; the second floor ties together a library, terraces, and an open auditorium; and the rooftop blends sports with a garden of endemic plants.
Corridors, open to natural air, are crafted from a child’s perspective portraying explorative portals into varied “worlds”, all while ensuring disability access and intuitive navigation. Addressing spatial barriers, the classrooms adopt a simple, double-loaded corridor layout to maximize efficiency, while the building is lifted above ground as a safety measure against flooding in the area, and to house utilities and parking below.
Slanted terraces and façades respond to tropical challenges, shading the harsh west sun and cooling corridors between classrooms and the exterior—creating a bioclimatic design that minimizes reliance on air conditioning. The south-facing roof channels indirect light into the auditorium, enhancing comfort.
The building is now well on its way. The kindergarten aims to bring reassurance and security for its children, combining spaces of learning with a close connection to nature. Noah Kindergarten hopes to shape an open-minded education for the future.
. Happy birthday ka @laurensiayudith dr kami di studio RAW DOT OMAH ^^ terus bercahaya dan sabar dengan kami – kami semua. Terima kasih untuk bro and sis yang sudah menyiapkan kue dan waktunya untuk ka yudith.
. Selamat ulang tahun istri tersayang, Dokter gigi terbaik di dunia @laurensiayudith, sungguh tidak ternilai gimana kita bisa dapat ibu yang jadi pusat keluarga kami. Semoga Tuhan memberkati dirimu dengan kasih berlimpah, kesehatan, kebahagiaan, dan kenangan yang manis. Ia adalah permata Keluarga kami, ibu dari anak – anak yang lucu – lucu,mohon doanya ya untuk istri saya yang sangat sabar dan baik ini, mengurus begitu banyak hal sehari – harinya, memastikan semua baik2 saja di rumah, studio, dan sekitarnya. Ia hadir di tengah – tengah arsitektur, figur yang jarang dibicarakan namun perannya sentral dalam desain RAW.
Kali ini sempat menulis refleksi di bandara. Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, begitu cepat, banyak yang mengagetkan seperti hari ini kena delay sampai ber jam- jam ke kolkata.
Memang hidup tidak bisa diprediksi, dalam Hal – hal yang mengagetkan ada saja hal positif yang menanti, membuat harus sabar di hari – hari ini, di luar rencana, dan tidak ada yang kebetulan. Tuhan memberkati dirimu dengan seluruh kuasa baik yang terjadi dalam hidupmu. Saya hanya bisa mengucap terima kasih dan rasa syukur untuk karuniaNya mendapatkanmu 🙏🏻
Album foto kenang2an Slide 1 : foto hari ini ^^ Slide 2 : nunggu delay, dapet bantal dr sq buat nunggu 14 jam ^^
At Gate 56 of Delhi Airport, I sat waiting, initially weary from a 14-hour flight delay that felt like a test of endurance. Yet, in His mysterious way, God turned bitterness into sweetness. There, I met Jason Thankachan, a warm, smiling coder who shuttles between India and Indonesia, living in Bekasi. Simple and courteous, he sparked our connection with a question: “Do you like video games?”
I chuckled, memories flooding back. “I used to play Dota and Mobile Legends,” I said. Jason eagerly shared updates on characters I still recalled—Skeleton King, Berserker—reviving nights at ITB’s multimedia lab, where I installed Dota, learning software by day and battling in tournaments by night. Then, he showed me a tiny emulator packed with hundreds of games, affordable yet brilliant. I pictured my sons, Miracle and Heaven, delighting in it, their eyes bright with joy.
Sayan Bose, a DOP (Director of Photography), joined us, intrigued. “What’s that?” he asked, eyeing Jason’s emulator. From casual gaming talk, we dove into Kolkata’s culinary treasures: sweet desserts, potatoes, biryani. The three of us laughed freely, as I tweaked slides for my RAW Architecture presentation at FOAID later that day. The air felt light, like a family reunion unfolding unexpectedly.
Then came Pavel, a humble film director with a curious spirit, asking where Jason got the emulator and its price, peppering us with questions about Indonesia. I later learned via Google that he’d produced films like Kolkata Chalantika, Asur, and Rosogolla. Our chat shifted to life’s deeper currents—children, education, growth. Pavel shared that his wife, Smriti, whose name means “memory,” is a teacher. Her work shaping young minds resonated with me, reminding me of my own efforts to nurture through architecture and community. We spoke of Smriti’s dedication, how she crafts lessons with care fostering curiosity and kindness in her students, a quiet yet profound act of building the future…(continue in comment) . @hiitsme_pavel @mukherjee_smriti @shadow_paint_
School of Alfa Omega explores how an educational building can fully embody the spirit of locality and craftsmanship through its design approach. With a budget, time, and contextual constraint, it challenges the mutual teamwork of varying parties and local craftsmen on how to create a vernacular-inspired school typology on the chosen site that is a part of the design decision, and will become the main strategy to achieve the operational and aesthetical goal by itself.
The site chosen is an unstable, swampy ground in Tangerang. The project faced challenges of limited time and budget, all while committing to a collaborative process with local craftsmen. By combining steel with lightweight bamboo, the design balances efficient construction, completed within just four months, with an emphasis on local building techniques. To address the unstable site conditions and reduce its carbon footprint, the structure was first elevated 2.1 meters above ground and built.
To ensure that the spirit of craftsmanship is holistic, materials used are sourced from the surrounding area, contributing to efficient logistics and reducing the carbon footprint of the construction. Alongside that, a collaborative bond between various craftsmen is established, including local stone masons, steel welders from the Salembaran area, and bamboo craftsmen from the Sumedang area. With each bringing their own originality, the bond accelerates the construction process without losing its ubiquitous understanding of school typology.
The building is composed of four modular masses, utilizing a blend of brick and lightweight materials to form a flexible yet grounded composition. Its parabolic, curve-shaped roof, that draws inspiration from the characteristic form of nipah, was designed to align with tight budget constraints without sacrificing architectural identity. Stacked brickwork in a solid-void pattern facilitates natural cross-ventilation, eliminating the need for air conditioning, while 100% daylight is being used in the morning and afternoon time. Polished bare concrete flooring finish is used to ensure long-term durability in the high-traffic learning environment.
At its core, the project reflects the relationship between materiality and craftsmanship, where the spirit of collaboration becomes fundamental both for the construction and shown by the soul of the building. It stands as an attempt on how a learning space can be both modest and meaningful, rooted in local wisdom and vernacularity while responding to the particular site and climate.
#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture
Client: PKBM Alfa Omega Architect: RAW Architecture – Realrich Architecture Workshop Structure Engineer: John Djuhaedi and Associates Photography by @bacteria.archphotography
Selama proses penulisan artikel ini, seorang desainer di studio kami bertanya, “Kenapa sih Kak Rich menulis tentang Romo Mangun? Kenapa kami yang muda ini perlu untuk mengenal beliau?”
Well, mempelajari sosok Romo Mangun bukanlah sekadar tanggung jawab sejarah. Dalam refleksi praktik penulis di Jakarta, di tengah hingar-bingarnya arsitektur yang provokatif dan berorientasi bisnis di Jakarta, Romo Mangun melalui praktiknya menunjukkan ada banyak kalangan masyarakat yang membutuhkan pendekatan lebih terjangkau. Indonesia bukan cuma soal Jakarta, dan sepak terjang beliau secara strategis merespons dilema tersebut dengan berbagai perannya, menembus batas-batas keprofesian arsitektur yang dilematis.
Dalam sebuah pertemuan kami dengan alm. Adhi Moersid, beliau bercerita sempat merasakan kuliah bersama Y.B. Mangunwijaya di ITB tahun 1959-1960. Menurut beliau, Mangunwijaya sering berangkat ke kampus mengenakan baju pastor. Sebuah potongan memori yang cukup menggelitik mungkin bagi kita yang lebih familiar dengan Mangunwijaya lewat karya-karya terbangunnya—meski kita tahu ia sering dipanggil dengan sebutan “Romo” yang menunjukkan perannya sebagai imam Katolik, juga karya-karyanya yang sebagian besar merupakan fasilitas keagamaan Katolik.
Berkaca pada sosok Antoni Gaudi yang kita bahas sebelumnya, Mangunwijaya ini adalah “spesies” arsitek yang karya-karyanya tak tersekat pada profesi perancangan, tetapi juga dalam pengajaran, penulisan, aktivisme, dan pelayanan. Dari jubah pastor, kisah burung manyar, hingga anyaman bambu di tepi Kali Code, apa yang membuat Mangunwijaya memilih jalur multi-spektrum ini? Visi apa yang beliau perjuangkan?
Lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah di tengah keluarga Katolik dengan ayah dan ibu yang keduanya guru, Yulianus Sumadi Mangunwijaya tumbuh dalam lingkungan religius dan terpelajar. Sejak kecil ia sudah berkeinginan menjadi arsitek, tetapi belum juga tamat sekolah, ia harus turut memperjuangkan kemerdekaan sebagai Tentara Pelajar sepanjang 1945–1948. Dalam prosesnya, ia menyaksikan bagaimana warga desa telah banyak membantu tentara, sekaligus juga menjadi korban dari kekejaman penjajah. Menyaksikan kawan-kawannya gugur juga sudah pasti, dan bukan tak mungkin bahwa ia sendiri merasakan momen-momen antara hidup dan mati.
Di titik itu, barangkali muncul kesadaran bahwa selamat dari peristiwa itu merupakan sebuah anugerah tersendiri, dan kehidupan ini terlalu berharga untuk dihabiskan ala kadarnya. Mangunwijaya pun terdorong untuk “membayar utang kepada rakyat”, dan jalan yang ia pilih adalah pelayanan sebagai pastor. Di umur 21, beliau masuk sekolah pastor St. Paulus di Yogyakarta, terlepas usianya yang lebih tua dibanding calon pastor lain.
Buku The Altruism of Romo Mangun yang ditulis Darwis Khudori menjelaskan bahwa selepas lulus dari Sancti Pauli, Mangunwijaya ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Albertus Soegijapranata. Ia menggunakan nama resmi yang sudah tak asing di telinga kita, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Namun, baru sehari menjadi pastor, Soegija memintanya untuk belajar arsitektur, supaya bisa membangun rumah-rumah ibadah di berbagai tempat dengan bahasa yang lokal alih-alih ala kolonial. Di situlah ia belajar di ITB dan bertemu Adhi Moersid pada 1959-1960, sebelum akhirnya beliau pindah ke Rhein Westfalen Technical School di Jerman dan meraih gelarnya di sana.
Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mangun mulai membangun banyak gereja dan wisma di DIY dan Jateng. Beliau juga merancang untuk kalangan di luar lingkup gereja, berupa rumah tinggal, kos-kosan, komplek pemukiman, dan sekolah. Beberapa karya beliau di antaranya adalah Gereja Maria Asumpta (1967-1969), Sendang Sono (1972-1991), Permukiman Tepi Kali Code (1983-1987), Rumah Arief Budiman (1986-1987), Wisma Kuwera (1986-1999), Seminari Tinggi Fermentum (1996), dan masih banyak lagi.
Gereja Maria Assumpta Klaten
Sendang Sono
Permukiman Tepi Kali Code. Dokumentasi OMAH Library
Rumah Arief Budiman. Dokumentasi OMAH Library
Wisma Kuwera. Dokumentasi OMAH Library
Seminari Tinggi Fermentum.
Juan St. Sumampouw, Google Maps
Bila melihat perkembangan arsitektur Indonesia pasca-kemerdekaan, terlihat selalu ada urgensi untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia. Arsitektur modern ala Barat saat itu menjadi preferensi untuk membangun identitas nasional yang baru dan kuat, diinisiasi oleh Soekarno dan dilanjutkan saat kepemimpinan Soeharto lewat proyek-proyek monumental dan penataan urban.
Namun, yang disayangkan Romo Mangun adalah aplikasi arsitektur tanpa penyesuaian terhadap iklim tropis dan budaya Indonesia, seperti yang banyak terjadi di Jakarta saat itu dengan gedung-gedung beton berlapis kaca. Selain itu, arsitektur yang membutuhkan material industri dengan teknik membangun yang canggih akan sulit diterapkan untuk rakyat biasa yang mayoritas tinggal di kota kecil atau desa-desa, sesuatu yang menjadi realitasnya selama masa kecil dan dalam kesehariannya sebagai pastor. Jadi, selain kebutuhan untuk mendefinisikan identitas nasional lewat arsitektur, di saat yang sama timbullah keresahan tentang arsitektur Indonesia yang relevan dengan iklim, sumber daya alam, dan keseharian masyarakat pada umumnya.
Generasi arsitek yang aktif saat itu, seperti Friedrich Silaban, Soejoedi, dan Romo Mangun sendiri rata-rata belajar arsitektur di luar negeri, khususnya Jerman. Wajar saja bila kemudian bahasa arsitektur yang digunakan banyak terpengaruh arsitektur modern. Namun, setiap arsitek punya caranya masing-masing dalam menerjemahkan kondisi iklim setempat dan masyarakat Indonesia dalam karya-karyanya.
Friedrich Silaban (1912-1984), meski mengerjakan proyek-proyek berskala monumental dengan gubahan massa modern, ia selalu mengupayakan bukaan yang lebar dan kisi-kisi untuk menghalau sinar matahari langsung. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928-1981) lebih memilih menggunakan tritisan yang lebar alih-alih kisi-kisi untuk merespons iklim. Sementara, secara budaya, beliau mengambil konsep ruang dalam dan luar pada arsitektur Jawa sebagai inspirasi program ruang yang seimbang, meski gubahan massanya benar-benar baru dan bercitra independen.
Friedrich Silaban.
Masjid Istiqlal
Soejoedi
Gedung DPR-MPR
Sementara, Adhi Moersid, teman sejawatnya yang bersekolah di dalam negeri, punya pendekatan yang lebih lokal dengan konsep Arsitektur Papan Kayu yang terangkum dalam buku Kagunan. Prinsipnya adalah menggabungkan dua papan kayu pipih untuk membentuk bilah usuk yang lebih kokoh, sehingga memungkinkan konstruksi atap tanpa gording. Konsep ini pun membuka lompatan dari struktur rangka menjadi struktur bidang. Susunan papan kayu ini juga menghasilkan visual yang lebih rapi dan indah ketika diekspos sehingga menjadi wujud “langit-langit yang baru”.
Adhi Moersid
Masjid Said Naum Exterior
Masjid Said Naum Interior
Ketiganya punya cara-cara tersendiri untuk meramu ruang dan material. Dengan skala yang monumental, material beton dan teknik fabrikasi jadi relevan untuk karya-karya Silaban dan Soejoedi. Visual yang sederhana pun membutuhkan tektonika tersendiri yang membuat hubungan antarmaterial jadi seamless. Pendekatan Adhi Moersid sifatnya lebih teknokratik, fokus pada ilmu itu sendiri dan konteks biaya-mutu-waktu dari suatu proyek. Ia mencoba menembus batas dengan material kayu yang natural dan lokal, tetapi masih perlu dibeli dari “pasar” dengan spesifikasi yang seragam.
Begitu bicara sosok Romo Mangun, segala aspek dieksplorasi. Dari bentuk atap, susunan bata, corak tekstur beton, hingga detail sambungan, semua diolah total tiada luput. Yuswadi Saliya pernah menggambarkan Sendang Sono dengan ekspresi, “Keinginannya untuk berbuat membekas di mana-mana. Menyaksikannya boleh jadi melelahkan, detail itu bercerita tanpa putus, menyapa pada setiap lekuk dan liku. Segi-tiga dan segi-empat membentuk bidang dan ruang yang bergema bersahut-sahutan, turun naik berundak-undak, semuanya membentuk tamasya buatan manusia yang lebur dengan kelok alur sungai dan punuk palung bukit. Sangat kompleks. Majemuk.” Keberagaman teknik menjadi kata kunci arsitektur Romo Mangun. Konsepnya adalah variatif atau hibrida yang menggambarkan konteks lokasi tempat arsitekturnya hadir.
Sendang Sono, Dokumentasi OMAH Library
Sendang Sono, Dokumentasi OMAH Library
Sendang Sono, Dokumentasi OMAH Library
Secara gubahan massa, beliau banyak mengeksplorasi bentuk atap miring dengan pertimbangan material genteng sebagai penutup yang mudah didapat dan relatif murah dibanding instalasi atap beton, apalagi bila harus menghadapi curah hujan Indonesia yang tinggi. Atap-atap Romo Mangun membentang lebar, tak jarang mendominasi citra bangunan. Terlebih dengan proporsi badan yang rendah, terkesan ada upaya untuk membuat skalanya tetap manusiawi agar perawatan menjadi mudah.
Gereja St. Maria Fatima Sragen.
Gereja St. Albertus Jetis Yogyakarta
Bentara Budaya Jakarta
Gereja Bunda Maria Sapta Duka Mendut
Untuk menopang atap-atap ini, beragam material digunakan. Dari sekitar 30 karya terbangunnya, terdapat belasan gereja yang mayoritas menggunakan beton sebagai elemen struktur. Kadang ia cukup menjadi kolom ketika bentang atap masih bisa ditopang oleh struktur kayu, terkadang ia juga hadir sebagai balok bila kapasitas gereja terlampau besar. Sementara, pada gereja-gereja kecil, wisma, sekolah, atau hunian dengan luasan yang tak seberapa, peran struktur utama biasanya dipegang oleh kayu.
Interior Gereja Maria Assumpta Klaten. Dokumentasi OMAH Library
Gereja St. Yusuf Jurukarya Klaten
Gereja Salib Suci Cilincing
Gereja St. Theresia Jombor
Namun, sekalipun beton digunakan, Romo Mangun tak terbiasa meninggalkannya polos begitu saja. Motif-motif digoreskan, kadang dalam pola yang teratur, kadang menggunakan cetakan bambu atau kayu bekas, memberi kesan organik seperti pohon di dalam bangunan. Dimensi beton juga dijaga agar tetap ramping dan ditata dalam pengulangan berirama untuk menekan karakter kasar dan beratnya (Tjahjono, 1995). Kadang balok konsol dicetak sedemikian rupa menyerupai ranting. Beton di tangan Romo Mangun menjadi lebih lembut dan kadang terkesan organik.
Dokumentasi OMAH Library
Dokumentasi OMAH Library
Dokumentasi OMAH Library
Lanjut ke bagian badan, Romo Mangun sering membuat ruang-ruang publiknya, terutama gereja, tampil terbuka tanpa dinding penutup, kecuali hanya sebaris yang melatari altar. Pertama, untuk memasukkan udara secara maksimal—seperti gagasan Silaban yang lebih meyakini Indonesia butuh atap lebar untuk menghalau panas matahari daripada dinding yang menghalangi angin ekuator dengan kecepatan tak seberapa. Kedua, karena konsep “gereja pasar”. Romo pernah berpesan, “Ketika religiositas semakin mengakar dalam terang Tuhan, maka manusia sejati adalah cerminan bayang-bayang Tuhan sendiri,” (Mudji Sutrisno, 2001). Tidak ada urgensi untuk memisahkan ruang suci gereja dengan “pasar” kehidupan sehari-hari. Justru batas itu dibuka untuk menjembatani jiwa-jiwa yang mencari cahaya Tuhan.
Ketika sebuah dinding diperlukan, wujudnya hadir dalam berbagai bentuk: dari batu bata, kayu, bambu, batuan alam, beton, atau kombinasi dari semuanya. Parameternya tak jauh-jauh dari batasan anggaran, kesediaan material di lokasi, kreativitas ketukangan, dan pemberdayaan komunitas. Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono, Salatiga misalnya, awalnya dirancang menggunakan dinding batu bata. Namun, ketika Romo Mangun survei ke Gedono, beliau melihat warga setempat banyak yang berprofesi sebagai pemotong batu kricak. Ia mendapat ide untuk menggunakan jasa warga setempat untuk memotong batu yang lebih besar dari daerah Banaran, lebih dekat daripada harus mendatangkan batu bata dari Klaten. Akhirnya, biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil, dan warga pun belajar keterampilan baru untuk memecah batu besar dengan potongan yang rapi. Material yang terkesan biasa-biasa saja pun bertransformasi dengan cara yang istimewa.
Untuk lantai, pada beberapa karyanya yang dikonstruksi menggunakan kayu, khususnya yang berfungsi sebagai hunian, Romo Mangun banyak menerapkan struktur lantai panggung. Misalnya pada sebagian massa di Wisma Salam, Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Wisma Kuwera. Ini merupakan respons penggunaan kayu terhadap iklim tropis Indonesia yang lembab. Akan tetapi, lebih dari itu, kombinasi struktur panggung dengan struktur lantai konvensional dalam satu karya sekaligus menciptakan permainan ketinggian yang dinamis, membuat ruang-ruang di dalamnya terasa menyenangkan!
Wisma Salam. Dokumentasi OMAH Library
Sendang Sono. Dokumentasi OMAH Library
Rumah Arief Budiman. Dokumentasi OMAH Library
Wisma Kuwera. Dokumentasi OMAH Library
Arsitektur Romo Mangun menjadi salah satu preseden utama dalam hal kolaborasi antara low technology dengan high technology. Julia Watson di bukunya Lo-TEK (2019) menjelaskan bahwa low technology atau lo-tech sering diasosiasikan dengan sistem atau mesin yang sederhana, tidak canggih, tidak rumit, dan berasal dari masa sebelum revolusi industri. Kami juga melihatnya sebagai metode yang intuitif dan impulsif dengan penyelesaian yang terjadi secara impromtu di lapangan. Sebaliknya, high technology (high-tech) sifatnya baru, berfitur canggih, dan memberi kesan seakan jadi pilihan yang lebih baik. Watson mengungkapkan, sistem high-tech yang mencoba menjadi solusi untuk semua permasalahan justru bertentangan dengan heterogenitas atau kemajemukan yang ada dalam kompleksitas ekosistem.
Oleh karenanya, high-tech tidak selalu bisa menjadi solusi. Kombinasi lo-tech dan high-tech pun menjadi titik tengah yang diambil Romo Mangun dalam merespons gap antara arsitektur barat yang mutakhir dan mendominasi dunia, dengan arsitektur lokal yang jadi keseharian masyarakat Indonesia saat itu. Refleksi atas keresahan ini akhirnya menelurkan buku Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra.
Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) lebih fokus pada aspek teknis dan respons terhadap iklim tropis Indonesia, juga fenomena alam yang khas seperti gempa bumi. Di dalamnya terdapat bab khusus yang membahas aplikasi material lokal bambu, kayu, dan bata yang cocok dengan kondisi Indonesia. Ditujukan untuk pelajar dan praktisi non-akademik, buku ini dikemas dengan bahasa dan diagram yang sederhana, dilengkapi dengan contoh-contoh praktis. Ada pemahaman bahwa masyarakat memiliki keterbatasan akses terhadap high technology, maka pendidikan berbasis arsitektur barat perlu diimbangi dengan pengetahuan tentang cara membangun yang relevan dengan kondisi setempat.
Sementara itu, Wastu Citra (1988) lebih mengambil sudut pandang diskursus. Dirilis pada masa di mana Romo Mangun sudah tidak ingin bertugas menjadi pastor dan lebih sering berkutat dengan kegiatan aktivisme bersama masyarakat kelas bawah, barangkali Romo Mangun melihat bagaimana kebiasaan membangun tradisional dan yang berkembang di keseharian masyarakat seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari arsitektur juga. Oleh karena itu, digunakanlah istilah “wastu” yang mencakup segala bentuk kegiatan membangun untuk menyetarakan semuanya.
Revianto B. Santosa di dalam film Wastu mengamati bagaimana Romo Mangun bersikap “universal” di buku ini: tidak hanya membahas keunggulan arsitektur Indonesia dengan iklim tropis dan budaya vernakularnya, tetapi juga mencantumkan bab tentang arsitektur barat dan filsafatnya serta inspirasi mancanegara seperti dari Yunani, Jepang, dan India. Ketika membahas makna-makna kosmologis yang lebih dalam dari sekadar wujud fisik wastu, Romo Mangun pun menarik studi dari berbagai adat budaya serta agama di dunia. Namun, pada akhirnya, beliau menutup buku ini lagi-lagi dengan ajakan untuk meramu hal-hal baik dari masing-masing kutub untuk membawa kesejahteraan bagi semua, termasuk kaum marjinal.
Menurut kami, lebih dari sekadar kombinasi low and high technology, keberpihakan Romo Mangun terhadap rakyat kecil bisa diturunkan hingga dimensi material yang digunakan. Katakanlah sebuah joglo yang datang dari tradisi low technology, penggunaannya tidak lagi relevan untuk masyarakat kecil karena balok-balok kayu yang besar, panjang, dan utuh tidak mungkin terbeli. Romo Mangun mau tak mau harus bekerja dengan kayu-kayu yang pendek ukurannya—dan material apa pun yang tersedia, sekalipun itu sisa-sisa atau bahkan sudah menjadi sampah. Dari wawancara kami dengan Rina Eko Prawoto, adalah hal yang biasa ketika Romo Mangun meminta para tukang untuk mencabut paku-paku dari sebilah balok kayu. Baik kayu maupun pakunya, keduanya akan sama-sama digunakan lagi untuk kebutuhan lain.
Kami sempat berkunjung ke Wisma Kuwera. Sekilas bangunan ini seperti mencoba merespons konteks urban Yogyakarta dengan menciptakan kepadatan program ruang di dalamnya. Dimensi modulnya tidak lebih besar dari 3 meter, dengan komposisi vertikal yang saling saut, dengan variasi ketinggian lantai antara 1-1,5 meter. Pengalaman ruang yang tercipta sungguh sangat menarik, memantik pertanyaan, “Kok Romo kepikiran membuat sesuatu seperti ini?” Setelah dipikir-pikir lagi, dimensi yang kecil-kecil itu adalah respons dari terbatasnya akses terhadap material-material masif, hanya saja dikreasikan sedemikian rupa membentuk susunan ruang yang kreatif.
Wisma Kuwera. Dokumentasi OMAH Library
Wisma Kuwera. Dokumentasi OMAH Library
Wisma Kuwera. Dokumentasi OMAH Library
Wisma Kuwera. Dokumentasi OMAH Library
Keterbatasan material juga mendorong munculnya elemen-elemen multifungsi. Salah satunya adalah kerangka A yang banyak digunakan kemudian di Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Pertapaan Gedono. Di sini, atap juga menjadi dinding, kolom sekaligus menjadi rangka atap. Seperti sebuah loteng, tetapi justru digunakan sebagai ruang primer. Hadirnya dinding sejati atau elemen lainnya pun tumbuh sesuai kebutuhan, membuat bangunan bertransformasi secara elegan.
Sendang Sono. Dokumentasi OMAH Library
Rumah Arief Budiman. Dokumentasi OMAH Library
Cakruk Kali Code. Dokumentasi OMAH Library
Ketika akses terhadap material begitu terbatas, mau tak mau seseorang harus mengerti bagaimana memaksimalkan material tersebut. Mungkin dari sini muncullah benih-benih yang menghasilkan tektonika seorang Mangunwijaya. Mengutip Mahatmanto (2001, Tektonika YB, Mangunwijaya), “Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya.”
Yuswadi Saliya pernah berkesempatan mengamati Romo Mangun saat hendak membangun dinding pembatas dari kerawang/roster. Beliau membolak-balik balok roster tersebut cukup lama. “Ditumpuk, dideretkan, diserongkan … Dibidiknya dari sisi, dari bawah, menjauh kemudian menyimpang … Mencari posisi yang paling serasi, memadu lagu yang paling merdu.” Elaborasi dilakukan tanpa gambar, mengandalkan kepekaan indrawi ketika manusia berinteraksi dengan ruang bentuk. Yuswadi melihatnya sebagai sebuah bentuk kemerdekaan.
Dalam prosesnya Romo Mangun bergerak sangat erat dengan para tukang. Tak sebatas mengawasi, beliau mendidik, dan tak jarang beliau pun belajar hal baru dari mereka. Kedudukannya begitu tinggi hingga dituliskan dalam halaman persembahan buku Wastu Citra, “Buku ini ditulis untuk menghormati para tukang dan karyawan-karyawati lapangan, yang dalam cara-cara mereka tertentu telah menjadi mahaguru arsitektur yang ulung bagiku.” Merekalah sosok-sosok yang oleh Romo Mangun ingin diajak untuk merdeka bersama-sama.
Romo Mangun fokus pada proses berkarya, tidak hanya untuk menghasilkan uang secara pendekatan kapitalisme, tetapi uang yang didapat untuk mensejahterakan. Eko Prawoto pernah bercerita tentang gurunya ini, “Romo membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu.” Bisa jadi biaya yang dikeluarkan untuk tukang menjadi lebih tinggi dibanding biaya yang dikeluarkan untuk belanja material.
Di titik ini kami teringat arsitek Louis Kahn saat mendesain Gedung Parlemen Bangladesh di Dhaka. Proyeknya membuka banyak lapangan kerja baru dan menjadi sarana pengembangan keterampilan tukang lokal. Yang membuat berbeda adalah pilihan material dari kedua arsitek ini. Untuk sebuah proyek sebesar Gedung Parlemen Bangladesh, penggunaan beton dan marmer menimbulkan gap ketukangan di tengah masyarakat yang terbiasa membangun menggunakan tanah, bambu, kayu, dan bata.
Di sinilah pilihan Romo Mangun untuk mengkombinasikan low dan high technology menjadi penting. Karenanya, para tukang tetap mengerjakan sesuatu yang masih dekat dengan kesehariannya, tetapi juga sembari bersama-sama mempelajari material atau teknik baru. Circular resource pun terjadi dengan bahan sisa atau bekas yang masuk kembali dalam siklus dibarengi para tukang yang kembali berdaya. Mahatmanto dalam dokumenter Wastu menyampaikan bagaimana Romo Mangun menyadari kualitas masyarakat yang heterogen. “Sehingga dia mengambil ambang bawah supaya semua bahan, semua ketukangan atau keterampilan yang dimiliki oleh para tukang itu bisa dimanfaatkan secara optimal.”
Namun, teknik yang sederhana bukan berarti hasilnya biasa-biasa saja. Justru pendekatan ambang bawah membuka kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi. Tak jarang para tukang mengusulkan hal baru yang tak terpikirkan Romo Mangun sebelumnya. Gunawan Tjahjono menggambarkan proses ini seperti permainan musik Jazz di mana tiap pemain punya kebebasan untuk memperkaya sebuah lagu. “Dari tukang ke pemakai, semua terlibat dan berpeluang menafsirkan. Para pelaku memiliki ruang berekspresi atas bagian-bagian bangunan yang mungkin akan seumur hidup dihuninya.” Pada akhirnya, setelah Romo Mangun sudah tak lagi bisa mendampingi, diharapkan pengguna dan para tukang nantinya bisa melanjutkan atau merawat secara mandiri.
Performa bangunannya sendiri juga dirancang untuk mendidik. Di Seminari Tinggi Fermentum Bandung misalnya, Romo Mangun membagi wisma untuk para frater (calon pastor) dalam unit-unit kecil berisikan 5-6 orang saja untuk membentuk komunitas-komunitas kecil seperti keluarga yang saling mengenal. Kombinasi low and high technology lagi-lagi diterapkan, memberikan unsur kesementaraan yang membutuhkan perawatan berkala. “Romo Mangun bilang biarin aja, supaya nanti para frater di setiap unit berlomba mana unit yang paling terawat,” tutur Pastor William. Romo Mangun seakan memberi penekanan bahwa menjadi imam bukanlah sebuah keistimewaan, melainkan untuk melayani komunitas. Kesadaran ini dibentuk dari kebiasaan sehari-hari, menggunakan fasilitas selayaknya dan memperbaiki titik-titik yang rusak.
Nilai-nilai keseharian menjadi salah satu hikmah yang kami temukan pada sosok Romo Mangun. Selain diterjemahkan pada program ruang dan garis besar rancangan, beliau seakan mencoba menangkap hal-hal baik dari keseharian masyarakat dan merayakannya dalam simbolisme. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari massa unik yang menjadi vocal point, pengulangan struktur, pola susunan material, hingga elemen-elemen dekoratif.
Penggunaan simbolisme mungkin terkesan dangkal bagi sosok dengan kedalaman berpikir seperti Romo Mangun. Namun, barangkali ini adalah cara paling sederhana untuk menimbulkan kebanggaan pada masyarakat kecil yang beliau dampingi—bahwa setiap kehidupan itu berharga, bahwa keindahan hadir dalam berbagai keadaan. Di lembah Kali Code misalnya, yang diharapkan Romo Mangun adalah kebangkitan harga diri warganya. Dari sana akan timbul semangat untuk berjuang, untuk menempuh setiap proses tanpa harus selalu disuapi. Ia menyadari bahwa pengembangan diri setiap orang sebaiknya berangkat dari apa yang dia punya dan diupayakan sendiri, sehingga buah kesejahteraan yang dipanen tidak tercabut dari akar identitasnya.
Eksplorasi arsitektur Romo Mangun menunjukkan keseimbangan antara aspek ontologi tentang hakikat dari sesuatu, epistemologi terkait cara mengetahui informasi tersebut, dan aksiologi yang membahas keberpihakan. Di ontologi, Romo Mangun berada dalam situasi di mana ia harus memahami karakter material secara mendalam hingga akhirnya menelurkan tektonika. Di epistemologi, beliau dibayangi arsitektur barat, tetapi di saat yang bersamaan menghadapi realita yang kontras, sehingga lahirlah metode mendesain yang mengkombinasikan low dan high technology. Pada aksiologi, keberpihakan Romo Mangun terhadap masyarakat marjinal menghasilkan elaborasi ketukangan yang menjadi bahasa estetika baru dan bisa dilanjutkan meski Romo Mangun sudah tidak ada. Setiap individu pasti memiliki tiga aspek ini dalam perjuangannya, hanya saja tidak banyak yang bisa menunjukkan totalitas di ketiganya, apalagi di titik aksiologi yang memerlukan empati dan keteguhan prinsip.
Ketika ditanya pendapatnya tentang Pameran Arus Silang AMI (Arsitek Muda Indonesia) di Jakarta (1992) yang mengangkat pendekatan ala dekonstruksi, Romo Mangun merasa apa yang mereka lakukan adalah cara yang ketinggalan zaman. Dalam artian, apabila arsitektur dikembangkan demi arsitektur itu sendiri—apabila fokusnya pada fungsi, ruang, dan permainan bentuk saja—kapan arsitektur bisa hadir untuk menanggapi permasalahan yang ada di Indonesia? Pada akhirnya, arsitektur bagi Romo Mangun bukanlah tujuan akhir. Ia adalah salah satu kendaraan yang dipakai untuk mendukung keberpihakannya.
Selain berarsitektur, menulis menjadi kelihaian lain Romo Mangun dalam mengkomunikasikan pemikirannya. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra hanya segelintir dari 35 judul buku yang pernah beliau tulis. Tidak hanya tema arsitektur, beliau justru banyak menulis esai kritik sosial tentang kesejahteraan rakyat dan pendidikan, selain juga menulis soal spiritualisme dan kemanusiaan. Beliau juga menelurkan puluhan artikel yang diterbitkan dalam antologi dan berbagai media massa sepanjang 1978-1998. Kekuatan Romo Mangun ada pada gaya menulisnya. Tidak kaku dengan diksi intelek seperti tulisan akademik, tetapi justru terkesan lebih amatir dengan pendekatan yang menyentuh. Tidak dengan teori yang mendakik-dakik, tetapi berdasarkan pengalamannya langsung sebagai praktisi dan pendidik. Refleksinya memberikan interpretasi baru pada fenomena yang selama ini ada dan membuka alternatif praktik atau penyelesaian masalah. (Darwis Khudori, 2001)
Namun, di antara banyak jenis tulisan yang pernah dibuat Romo Mangun, karya fiksi menjadi kendaraan terkuatnya. Esai-esai mungkin hanya akan dibaca oleh orang-orang terpelajar, sedangkan kalangan yang menjadi targetnya seringkali tidak memiliki akses pendidikan yang memadai. Fiksi pun menjadi media yang mampu menyentuh lebih banyak audiens, dan dengan adanya karakter, Romo Mangun dapat menggambarkan kompleksitas kehidupan yang selama ini beliau renungkan. Beberapa karya fiksi yang beliau tulis antara lain: Trilogi Roro Mendut, Rumah Bambu, Pohon-Pohon Sesawi, dan tentunya yang paling dikenal Burung-Burung Manyar.
Sama dengan karya-karya Romo Mangun dalam media lain, keberpihakan terhadap rakyat kecil masih menjadi tema utama dalam karya fiksinya, dielaborasi dengan nilai-nilai filosofis dalam menghadapi ekosistem pasca-kolonialisme yang rentan di berbagai bidang (lingkungan hidup, sosio-politik, budaya, sejarah). Akan tetapi, itu semua dibalut dalam metafora yang menyembunyikan kritik tajam yang sesungguhnya. Lagi-lagi Romo Mangun bermain dengan simbolisme. Selain agar pesan lebih mudah dicerna, faktor rezim Orde Baru yang ketat sensor dan antikritik membuatnya harus mencari jalur komunikasi alternatif. Strategi ini mengingatkan pada penulis Amerika, Ernest Hemingway (1899-1961) yang juga menggunakan metafora keseharian yang interpretatif untuk mengkritik peperangan, materialisme di dunia modern, dan isu sosial lainnya.
Romo Mangun di Burung-Burung Manyar, mengajak kita menyelami kehidupan masyarakat biasa di Indonesia pada rentang masa 1934-1978. Novelnya berkisah tentang Teto, pemuda keturunan campuran Indo-Jawa pro-Belanda yang kemudian berubah setelah bertemu Atik, gadis pribumi yang cerdas dan berani, tetapi juga punya sisi feminin dan hangat. Atik diceritakan menulis disertasi tentang “Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar”. Dari situ pembaca bisa menarik makna lebih dalam dari karakter Burung Manyar yang dikenal dengan kemampuan menganyam sarang.
Teto tak ubahnya manyar jantan yang sedang berusaha membangun “sarang” untuk betinanya, tetapi ia harus lebih dahulu menghadapi krisis identitas dan pencarian “tempat” di tengah negara yang bergejolak. Sementara, Atik si manyar betina baru bersedia dipinang setelah memastikan bahwa sarangnya aman untuk bertelur. Metafora burung manyar memberikan pelajaran bahwa yang terpenting bukanlah rasa cinta terhadap pasangan, tetapi bagaimana pasangan ini bisa menyiapkan lingkungan yang kondusif untuk bertelur dan membesarkan generasi baru burung manyar.
Masuk era 1980-an, kondisi sosial yang kritis nampaknya membuat Romo Mangun tak lagi bisa tenang di balik jubah pastur, arsitek, ataupun penulisnya. Visi pembangunan Orde Baru yang berorientasi pada modernisme dan keindahan kota berujung pada tergusurnya kaum-kaum marjinal.
Salah satu yang menjadi korban adalah warga bantaran Kali Code di Yogyakarta. Rata-rata mereka adalah warga desa yang tidak lagi bisa sejahtera sebagai petani dan mencoba mencari peruntungan dengan merantau, tetapi justru tidak menemukan tempat di kota. Akhirnya, mereka bermukim di “ruang-ruang negatif” dan bekerja di sektor buangan, bahkan waktu itu Kampung Code sering dicap sarang preman dan PSK. Upaya penggusuran pada pemukiman ilegal ini sudah dilakukan berkali-kali sejak 1960-an dan aliran lahar Gunung Merapi pun turut mengancam kelangsungan kampung, tetapi warga selalu berhasil untuk kembali bermukim di sana lagi.
Prihatin melihat kondisi yang kurang kondusif bagi mental masyarakat dan pembelajaran anak-anak di sana, pada 1981 Romo Mangun mulai meninggalkan kesehariannya sebagai pastor dan tinggal bersama warga di Kali Code. Romo Mangun bernegosiasi untuk merevitalisasi kampung agar lebih aman, bersih, dan tertata. Pembangunan sepanjang tahun 1983-1987 menggunakan bambu, kayu, dan material murah lainnya, ternyata berhasil meningkatkan kualitas fisik kampung ini. Simbolisme terbentuk dari bahasa arsitektur yang sederhana ini, ditambah dekorasi warna-warni dari goresan cat yang membuat suasana lebih hidup. Revitalisasi ini menumbuhkan kebanggaan pada diri warga serta mengangkat nilai Kampung Kali Code di mata masyarakat umum. Kesejahteraan sosio-ekonomi warga Code pun turut membaik seiring waktu. Pada 1992, proyek ini mendapat penghargaan Aga Khan Award for Architecture.
Sendang Sono. Dokumentasi OMAH LibraryKampung Kali Code. Dokumentasi OMAH LibraryKampung Kali Code. Dokumentasi OMAH LibraryKampung Kali Code. Dokumentasi OMAH Library
Perjuangan Romo Mangun masih belum berhenti di sini. Seperti pada novel Burung-Burung Manyar yang ia tulis, generasi muda selalu jadi perhatian Romo Mangun. Satu dekade terakhir hidupnya didedikasikan untuk menciptakan ekosistem pendidikan dasar yang menyenangkan dan memerdekakan. Namun, biar cerita itu kita simpan untuk lain waktu.
Di titik ini, kita cukup tahu bahwa empati dan keinginan Romo Mangun untuk bertindak amatlah besar hingga satu cara pun tak cukup untuk menyalurkan kehendaknya. Biasanya, orang yang empatinya begitu dalam memiliki daya yang terbatas karena emosi yang menguras energi. Namun, Romo Mangun justru bisa merdeka dari jebakan ini. Jolanda Atmadjaja melihat ini sebagai respons yang matang terhadap kondisi “Split Subject”. Psikoanalis Jacques Lacan (1901–1981) mengemukakan teori ini di 1960-an, menyatakan bahwa manusia tidak pernah memiliki identitas yang utuh, melainkan selalu terpecah—di antaranya karena simbol/label/peran sosial yang tersemat pada diri dan juga gap antara kondisi ideal yang kita impikan dengan realita yang terjadi. Seyogianya, manusia akan terus mencari titik seimbang, mengejar sesuatu yang membuat dirinya merasa utuh, mengembangkan perannya terus menerus. Kebanyakan orang, terutama yang baru memulai perjalanan menemukan jati diri, mungkin akan terjebak dalam ilusi satu peran/label saja, mengiranya sebagai kondisi utuh.
Pengalaman menghadapi realita yang ekstrem sejak muda barangkali membuat Mangunwijaya begitu cepat merespons kondisi split dan pandai memposisikan ulang dirinya dalam peran lain lantaran menyadari adanya batasan dalam peran yang sebelumnya. Ia menyadari bahwa tidak semuanya bisa diselesaikan dari satu perspektif. Ia juga menyadari bahwa tidak semua bisa diselesaikan sendirian, sehingga ia senantiasa mengajak orang lain untuk ikut bergerak. Di titik ini ia mampu merubah konstruk dengan produktivitas di banyak lini dan berkonstelasi. Ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah terjun total dan menyadari bahwa batas-batas ilmu itu sebenarnya bisa dirangkai ulang.
Berkaca pada Kampung Code, hingga saat ini ia masih berdiri, sebagian bangunan yang seharusnya temporer sudah berubah menjadi lebih permanen. Memang, ini menyalahi visi dasar Romo Mangun untuk Code sebagai shelter sementara bagi warganya sampai mereka berangsur mandiri dan pindah ke tempat yang lebih baik. Hanya saja perubahan sosial yang terjadi ternyata tidak secepat yang diimpikan Romo Mangun. Meski patut disyukuri bahwa generasi mudanya saat ini sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan punya prospek yang lebih baik daripada orangtuanya.
Melihat apa yang hadir, pertanyaannya bukan sejauh mana Romo Mangun bisa berjuang untuk Kampung Code, tetapi bagaimana visi tersebut bisa terus mengudara jauh di atas bentuk arsitektural, bagaimana memperjuangkan tempat yang membumi, dan sejauh mana kata kemerdekaan itu bisa direnungi dan dihidupkan oleh generasi penerus Romo Mangun.
Romo Mangun: Footprints of Architecture That Humanizes
During the process of writing this article, a designer at our studio asked, “Why does Kak Rich write about Romo Mangun? Why do we, the younger generation, need to know about him?”
Well, studying the figure of Romo Mangun is not merely a historical responsibility. Reflecting on the author’s practice in Jakarta, amid the hustle and bustle of provocative, business-oriented architecture in the capital, Romo Mangun, through his work, demonstrated that many segments of society need a more accessible approach. Indonesia is not just about Jakarta, and his endeavors strategically addressed this dilemma through his multifaceted roles, breaking through the often contradictory boundaries of the architectural profession.
An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan
In a meeting with the late Adhi Moersid, he shared his experience of studying alongside Y.B. Mangunwijaya at ITB (Bandung Institute of Technology) in 1959–1960. According to him, Mangunwijaya often came to campus wearing his priestly robes. This snippet of memory might seem amusing to those of us more familiar with Mangunwijaya through his built works—though we know he was often called “Romo” (a Javanese term for a Catholic priest), and many of his projects were Catholic religious facilities.
Drawing a parallel with Antoni Gaudí, whom we discussed previously, Mangunwijaya was a “species” of architect whose work transcended the boundaries of design, extending into teaching, writing, activism, and service. From his priestly robes to the tales of weaverbirds and bamboo weaving along the banks of Kali Code, what drove Mangunwijaya to pursue this multispectral path? What vision did he champion?
Born on May 6, 1929, in Ambarawa, Central Java, into a Catholic family with both parents as teachers, Yulianus Sumadi Mangunwijaya grew up in a religious and educated environment. From a young age, he aspired to become an architect, but before he could finish school, he joined the struggle for independence as a student soldier from 1945 to 1948. During this time, he witnessed how villagers supported the soldiers while also becoming victims of colonial brutality. He saw his comrades fall, and it’s likely he himself experienced moments on the brink of life and death.
At that point, he may have realized that surviving such events was a blessing in itself, and that life was too precious to live halfheartedly. Mangunwijaya felt compelled to “repay a debt to the people,” and the path he chose was service as a priest. At the age of 21, he enrolled in St. Paulus Seminary in Yogyakarta, despite being older than most of the other aspiring priests.
In the book The Altruism of Romo Mangun by Darwis Khudori, it is explained that after graduating from Sancti Pauli, Mangunwijaya was ordained as a priest by Bishop Albertus Soegijapranata. He took on the official name we now know well: Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. However, just one day after becoming a priest, Bishop Soegija requested that he study architecture, so he could build places of worship in various regions with a local architectural language rather than a colonial one. This led him to study at ITB, where he met Adhi Moersid in 1959–1960, before later continuing his education at the Rhein Westfalen Technical School in Germany, where he earned his degree.
Upon returning to Indonesia, Romo Mangun began constructing numerous churches and retreat houses in Yogyakarta (DIY) and Central Java (Jateng). He also designed projects beyond the church’s scope, including residences, boarding houses, housing complexes, and schools. Some of his notable works include the Maria Assumpta Church (1967–1969), Sendang Sono (1972–1991), the Kali Code Riverside Settlement (1983–1987), Arief Budiman House (1986–1987), Wisma Kuwera (1986–1999), Fermentum Seminary (1996), and many others.
Looking at the development of Indonesian architecture post-independence, there was always an urgency to define what Indonesian architecture should be. At the time, Western modern architecture was the preferred style to build a new, strong national identity, initiated by President Soekarno and continued under President Soeharto through monumental projects and urban planning.
However, Romo Mangun lamented the application of architecture without consideration for Indonesia’s tropical climate and culture, as seen in Jakarta with its concrete-and-glass buildings. Moreover, architecture that required industrial materials and advanced construction techniques was difficult to implement for ordinary people, most of whom lived in small towns or villages—a reality Mangunwijaya knew well from his childhood and his daily life as a priest. Thus, alongside the need to define a national identity through architecture, there arose a concern for an Indonesian architecture that was relevant to the climate, natural resources, and daily lives of the general populace.
The generation of architects active at the time, such as Friedrich Silaban, Soejoedi, and Romo Mangun himself, mostly studied architecture abroad, particularly in Germany. It’s no surprise, then, that the architectural language they used was heavily influenced by modernism. However, each architect had their own way of interpreting local climate conditions and Indonesian society in their works.
Friedrich Silaban (1912–1984), despite working on monumental projects with modern mass compositions, always incorporated wide openings and louvers to block direct sunlight. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928–1981) preferred using wide eaves instead of louvers to respond to the climate. Culturally, he drew inspiration from the Javanese concept of inner and outer spaces as a basis for balanced spatial programming, even though his mass compositions were entirely new and conveyed an independent image.
Meanwhile, Adhi Moersid, a peer who studied locally, took a more localized approach with his concept of Wooden Board Architecture, as outlined in his book Kagunan. The principle involved combining two flat wooden boards to form a stronger rafter, enabling roof construction without purlins. This concept marked a leap from frame structures to planar structures. The arrangement of wooden boards also produced a neater and more aesthetically pleasing visual when exposed, creating a “new ceiling.”
Each of these architects had their own methods for working with space and materials. For the monumental scale of Silaban and Soejoedi’s works, concrete and fabrication techniques were relevant. Even simple visuals required a specific tectonic approach to ensure seamless connections between materials. Adhi Moersid’s approach was more technocratic, focusing on the science itself and the context of cost, quality, and time in a project. He pushed boundaries with natural, local wood materials, though these still needed to be sourced from the “market” with uniform specifications.
When it comes to Romo Mangun, every aspect was thoroughly explored. From the shape of the roof to the arrangement of bricks, the texture of concrete, and the details of joints—nothing was overlooked. Yuswadi Saliya once described Sendang Sono with the expression, “His desire to create left its mark everywhere. Witnessing it can be exhausting; the details tell an unending story, greeting you at every curve and turn. Triangles and rectangles form planes and spaces that echo and resonate, rising and falling in tiers, creating a human-made spectacle that blends with the winding river and the ridges and valleys of the hills. It’s incredibly complex. Diverse.” Diversity in technique became the hallmark of Romo Mangun’s architecture. His concept was variational or hybrid, reflecting the context of the location where his architecture stood.
In terms of mass composition, he often explored sloped roof forms, considering the use of tiles as a covering that was easily available and relatively affordable compared to concrete roof installations, especially given Indonesia’s high rainfall. Romo Mangun’s roofs spanned wide, often dominating the building’s image. With low body proportions, there seemed to be an effort to keep the scale humane, making maintenance easier.
To support these roofs, a variety of materials were used. Out of his roughly 30 built works, more than a dozen churches primarily used concrete as a structural element. Sometimes it served merely as columns when the roof span could still be supported by wooden structures; other times, it appeared as beams when the church’s capacity was too large. Meanwhile, in smaller churches, retreat houses, schools, or residences with modest areas, the primary structural role was typically taken by wood.
However, even when concrete was used, Romo Mangun was not accustomed to leaving it plain. Patterns were etched into it—sometimes in regular designs, sometimes using molds made from bamboo or reclaimed wood—giving an organic impression, like a tree within the building. The dimensions of the concrete were kept slender and arranged in rhythmic repetition to soften its rough, heavy character (Tjahjono, 1995). Sometimes, cantilever beams were molded to resemble branches. In Romo Mangun’s hands, concrete became softer and often felt organic.
Moving to the body of the building, Romo Mangun often designed his public spaces, especially churches, to be open without enclosing walls, except for a single row behind the altar. First, this maximized airflow—similar to Silaban’s belief that Indonesia needed wide roofs to shield from the sun’s heat rather than walls that block the equatorial breeze, which moves at a modest speed. Second, this was due to his concept of the “market church.” Romo once advised, “When religiosity becomes more deeply rooted in the light of God, then the true human being is a reflection of God’s own shadow” (Mudji Sutrisno, 2001). There was no urgency to separate the sacred space of the church from the “market” of daily life. Instead, that boundary was opened to bridge the souls seeking God’s light.
When a wall was needed, it took various forms: brick, wood, bamboo, natural stone, concrete, or a combination of them all. The parameters were not far from budget constraints, material availability on-site, the creativity of craftsmanship, and community empowerment. For example, the Convent of the Sisters of the Mother of Unity in Gedono, Salatiga, was initially designed with brick walls. However, when Romo Mangun surveyed Gedono, he noticed that many locals worked as gravel stone cutters. He had the idea to employ them to cut larger stones from the nearby Banaran area, which was closer than sourcing bricks from Klaten. This reduced costs, and the locals learned new skills in cutting large stones neatly. Materials that seemed ordinary were transformed in an extraordinary way.
For the floors, in some of his works constructed with wood—particularly residences—Romo Mangun often applied a raised floor structure. Examples include parts of Wisma Salam, Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and Wisma Kuwera. This was a response to Indonesia’s humid tropical climate, which can affect wood. But beyond that, the combination of raised and conventional floor structures within a single work created a dynamic play of heights, making the spaces within feel delightful!
Romo Mangun’s architecture became a key precedent in the collaboration between low technology and high technology. Julia Watson, in her book Lo-TEK (2019), explains that low technology, or lo-tech, is often associated with simple, unsophisticated, uncomplicated systems or machines from before the industrial revolution. We also see it as an intuitive and impulsive method, with solutions that emerge spontaneously on-site. Conversely, high technology (high-tech) is new, advanced, and gives the impression of being a better option. Watson reveals that high-tech systems, which attempt to be a solution for all problems, often contradict the heterogeneity or diversity within the complexity of ecosystems.
Therefore, high-tech isn’t always the answer. The combination of lo-tech and high-tech became the middle ground Romo Mangun adopted to address the gap between cutting-edge Western architecture, which dominated the world, and the local architecture that was part of Indonesian daily life at the time. This reflection on his concerns eventually led to the creation of the books Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (Introduction to Building Physics) and Wastu Citra (The Image of Building).
Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) focused more on technical aspects and responses to Indonesia’s tropical climate, as well as natural phenomena like earthquakes. It included a special chapter discussing the application of local materials such as bamboo, wood, and brick, which were suitable for Indonesian conditions. Aimed at students and non-academic practitioners, the book was written in simple language with diagrams and practical examples. There was an understanding that society had limited access to high technology, so Western-based architectural education needed to be balanced with knowledge of building methods relevant to local conditions.
Meanwhile, Wastu Citra (1988) took a more discursive perspective. Published at a time when Romo Mangun no longer wished to serve as a priest and was more involved in activism with the lower classes, he likely saw how traditional building practices and those developed in daily life were often not considered part of architecture. Thus, he used the term “wastu,” which encompasses all forms of building activities, to level the playing field.
Revianto B. Santosa, in the documentary Wastu, observed how Romo Mangun took a “universal” approach in this book: not only discussing the strengths of Indonesian architecture with its tropical climate and vernacular culture but also including chapters on Western architecture and its philosophy, as well as international inspirations from Greece, Japan, and India. When discussing deeper cosmological meanings beyond the physical form of wastu, Romo Mangun drew on studies from various cultural and religious traditions around the world. However, he ultimately concluded the book with a call to blend the best elements from each pole to bring prosperity to all, including the marginalized.
In our view, beyond just combining low and high technology, Romo Mangun’s commitment to the common people extended to the very dimensions of the materials he used. Take a joglo—a traditional Javanese house from the low-tech tradition; its use was no longer relevant for the lower classes because large, long, and solid wooden beams were unaffordable. Romo Mangun had to work with shorter pieces of wood—and whatever materials were available, even if they were scraps or what others might consider trash. From our interview with Rina Eko Prawoto, it was common for Romo Mangun to ask workers to remove nails from a piece of wood. Both the wood and the nails would be reused for other needs.
We had the chance to visit Wisma Kuwera. At first glance, the building seems to respond to Yogyakarta’s urban context by creating a dense program of spaces within. Its modular dimensions are no larger than 3 meters, with a vertical composition that interlocks, featuring floor height variations between 1 and 1.5 meters. The spatial experience it creates is truly fascinating, prompting the question, “How did Romo come up with something like this?” Upon further reflection, those small dimensions were a response to limited access to massive materials, creatively arranged to form an innovative spatial composition.
Material limitations also gave rise to multifunctional elements. One example is the A-frame structure, which was later widely used in Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and the Gedono Convent. Here, the roof also served as a wall, and the columns doubled as the roof frame. It was like an attic but used as a primary space. The presence of actual walls or other elements grew as needed, allowing the building to transform elegantly.
When access to materials was so limited, one had to understand how to maximize what was available. Perhaps this was the seed that produced Mangunwijaya’s tectonics. Quoting Mahatmanto (2001, Tectonics of YB Mangunwijaya), “Understanding the material is the starting point in building, and that can only be done by directly touching and feeling the qualities it holds.”
Yuswadi Saliya once had the chance to observe Romo Mangun while he was about to build a partition wall from lattice blocks. He spent a long time turning the blocks over. “Stacking them, lining them up, angling them… He examined them from the side, from below, stepping back and then shifting… Searching for the most harmonious position, composing the most melodious tune.” The elaboration was done without drawings, relying on sensory sensitivity as a human interacts with the form of space. Yuswadi saw this as a form of freedom.
In his process, Romo Mangun worked closely with the workers. He didn’t just oversee them—he educated them, and often, he learned new things from them as well. Their significance was so great that he dedicated a page in Wastu Citra to them: “This book is written to honor the workers and field laborers who, in their own way, have become master teachers of architecture to me.” They were the ones Romo Mangun wanted to invite to achieve freedom together.
Romo Mangun focused on the creative process, not just to make money through a capitalist approach, but to use the money earned to bring prosperity. Eko Prawoto once shared a story about his teacher: “Romo created those details not for aesthetic reasons, but to prolong the work, so the workers could stay employed longer at the site.” It’s possible that the cost spent on labor exceeded the cost of materials.
This reminds us of the architect Louis Kahn when he designed the National Parliament Building in Dhaka, Bangladesh. His project created many new jobs and became a means of skill development for local workers. What sets them apart is their choice of materials. For a project as large as the Parliament Building, the use of concrete and marble created a craftsmanship gap in a society accustomed to building with earth, bamboo, wood, and brick.
This is where Romo Mangun’s choice to combine low and high technology becomes significant. As a result, the workers could continue working on something familiar to their daily lives while also learning new materials or techniques together. A circular resource system emerged, with leftover or used materials reentering the cycle alongside workers who were re-empowered. Mahatmanto, in the documentary Wastu, explained how Romo Mangun recognized the heterogeneous quality of society: “So he took the lowest threshold to ensure that all materials, craftsmanship, and skills possessed by the workers could be utilized optimally.”
However, simple techniques didn’t mean ordinary results. On the contrary, the low-threshold approach opened opportunities for everyone to participate. Often, the workers proposed new ideas that Romo Mangun hadn’t thought of before. Gunawan Tjahjono described this process as a jazz performance, where each player has the freedom to enrich the song: “From the workers to the users, everyone was involved and had the chance to interpret. The participants had the space to express themselves through parts of the building they might inhabit for a lifetime.” Ultimately, after Romo Mangun was no longer there to guide them, it was hoped that the users and workers could continue or maintain the buildings independently.
The buildings’ performance was also designed to educate. At the Fermentum Seminary in Bandung, for instance, Romo Mangun divided the residence for the fraters (priest candidates) into small units of 5–6 people to form small, family-like communities that knew each other well. The combination of low and high technology was again applied, introducing a sense of temporariness that required regular maintenance. “Romo Mangun said, ‘Let it be, so the fraters in each unit can compete to see which unit is the best maintained,’” said Father William. Romo Mangun seemed to emphasize that being a priest is not a privilege but a role to serve the community. This awareness was cultivated through daily habits—using facilities appropriately and repairing any damaged parts.
The values of everyday life were one of the lessons we found in Romo Mangun’s figure. Beyond being translated into spatial programs and overall designs, he seemed to capture the good aspects of society’s daily life and celebrate them through symbolism. This could take various forms, from unique masses as focal points to repetitive structures, material arrangement patterns, and decorative elements.
The use of symbolism might seem superficial for a thinker as profound as Romo Mangun. However, this might have been the simplest way to instill pride in the small communities he served—that every life is valuable, that beauty exists in all circumstances. At the Kali Code valley, for example, what Romo Mangun hoped for was the revival of the residents’ self-esteem. From there, a spirit to strive would emerge, to go through every process without always being spoon-fed. He realized that personal development should stem from what one has and be achieved independently, so the fruits of prosperity reaped are not uprooted from their identity.
Romo Mangun’s architectural exploration demonstrates a balance between ontology (the essence of something), epistemology (the way of knowing that information), and axiology (the study of values and biases). In ontology, Romo Mangun was in a position where he had to deeply understand the character of materials, ultimately giving birth to his tectonics. In epistemology, he was overshadowed by Western architecture but simultaneously faced a contrasting reality, leading to a design method that combined low and high technology. In axiology, Romo Mangun’s commitment to the marginalized produced a craftsmanship elaboration that became a new aesthetic language, one that could continue even after he was gone. Every individual undoubtedly has these three aspects in their struggle, but few can demonstrate totality across all three, especially in axiology, which requires empathy and steadfast principles.
When asked his opinion on the 1992 Arus Silang AMI (Young Indonesian Architects) Exhibition in Jakarta, which promoted a deconstructivist approach, Romo Mangun felt that what they were doing was outdated. In the sense that if architecture is developed for architecture’s sake—if the focus is only on function, space, and form—when will architecture address the real issues in Indonesia? Ultimately, for Romo Mangun, architecture was not the end goal. It was merely one vehicle he used to support his advocacy.
Beyond architecture, writing became another skill Romo Mangun used to communicate his thoughts. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan and Wastu Citra are just a few of the 35 books he authored. His works weren’t limited to architecture; he wrote extensively on social critique regarding people’s welfare and education, as well as on spirituality and humanity. He also produced dozens of articles published in anthologies and various mass media from 1978 to 1998. Romo Mangun’s strength lay in his writing style. It wasn’t rigid with intellectual diction like academic writing but felt more amateurish in an approachable way. It wasn’t laden with lofty theories but was based on his direct experience as a practitioner and educator. His reflections offered new interpretations of existing phenomena and opened alternative practices or solutions to problems (Darwis Khudori, 2001).
However, among the many types of writing Romo Mangun produced, fiction became his most powerful medium. Essays might only be read by the educated, while his target audience often lacked access to adequate education. Fiction became a medium that could reach a broader audience, and through characters, Romo Mangun could depict the complexities of life he had long contemplated. Some of his fictional works include the Roro Mendut Trilogy, Rumah Bambu (Bamboo House), Pohon-Pohon Sesawi (Mustard Trees), and, of course, the most well-known, Burung-Burung Manyar (The Weaverbirds).
As with his works in other media, his commitment to the common people remained the central theme in his fiction, elaborated with philosophical values in facing the fragile post-colonial ecosystem across various fields (environment, socio-politics, culture, history). However, this was all wrapped in metaphors that concealed his sharp critiques. Once again, Romo Mangun played with symbolism. Besides making the message more digestible, the strict censorship and anti-criticism stance of the New Order regime forced him to find alternative communication channels. This strategy is reminiscent of the American writer Ernest Hemingway (1899–1961), who also used interpretive metaphors of daily life to critique war, materialism in the modern world, and other social issues.
In Burung-Burung Manyar, Romo Mangun invites us to delve into the lives of ordinary Indonesians from 1934 to 1978. The novel tells the story of Teto, a young man of mixed Indo-Javanese descent who initially sided with the Dutch but changed after meeting Atik, a smart and brave indigenous girl with a feminine and warm side. Atik is depicted as writing a dissertation on “Identity and Visual Language in the Communication Structure of the Weaverbird (Ploceus Manyar) Variety.” From this, readers can draw deeper meanings from the weaverbird’s character, known for its nest-weaving ability.
Teto is akin to a male weaverbird trying to build a “nest” for his mate, but he must first confront an identity crisis and a search for his “place” in a turbulent nation. Meanwhile, Atik, the female weaverbird, is only willing to be courted after ensuring the nest is safe for laying eggs. The weaverbird metaphor teaches that the most important thing is not the love for one’s partner but how the couple can create a conducive environment for laying eggs and raising the next generation of weaverbirds.
Entering the 1980s, the critical social conditions seemed to make Romo Mangun unable to remain at ease behind his roles as a priest, architect, or writer. The New Order’s development vision, which prioritized modernism and urban beautification, led to the displacement of marginalized communities.
One group affected was the residents along the banks of Kali Code in Yogyakarta. Most of them were villagers who could no longer prosper as farmers and sought better fortunes by migrating to the city, only to find no place for themselves. They ended up settling in “negative spaces” and working in discarded sectors, with Kampung Code often labeled at the time as a den of thugs and sex workers. Eviction attempts on this illegal settlement had been made multiple times since the 1960s, and the lava flows from Mount Merapi further threatened the village’s survival, but the residents always managed to return and resettle.
Concerned about the conditions that were detrimental to the community’s mental well-being and children’s education, in 1981, Romo Mangun left his daily life as a priest and began living with the residents of Kali Code. He negotiated to revitalize the village to make it safer, cleaner, and better organized. Construction from 1983 to 1987, using bamboo, wood, and other affordable materials, successfully improved the physical quality of the village. Symbolism emerged from this simple architectural language, enhanced by colorful decorations from painted strokes that brought the atmosphere to life. This revitalization fostered pride among the residents and elevated the value of Kampung Kali Code in the eyes of the wider community. The socio-economic welfare of the Code residents also improved over time. In 1992, this project received the Aga Khan Award for Architecture.
Romo Mangun’s struggle didn’t stop there. As in his novel Burung-Burung Manyar, the younger generation was always a focus for him. The last decade of his life was dedicated to creating a joyful and liberating elementary education ecosystem. But let’s save that story for another time.
At this point, it’s enough to know that Romo Mangun’s empathy and desire to act were immense, to the extent that a single medium was not enough to channel his will. Typically, people with such deep empathy have limited capacity due to the emotional toll it takes. However, Romo Mangun managed to break free from this trap. Jolanda Atmadjaja sees this as a mature response to the “split subject” condition. Psychoanalyst Jacques Lacan (1901–1981) introduced this theory in the 1960s, stating that humans never have a whole identity but are always fragmented—partly due to the symbols, labels, or social roles attached to them, and the gap between the ideal conditions we dream of and the reality we face. Ideally, humans will continually seek balance, chasing something that makes them feel whole, constantly evolving their roles. Most people, especially those just beginning their journey of self-discovery, might get trapped in the illusion of a single role or label, mistaking it for wholeness.
Perhaps Mangunwijaya’s experiences facing extreme realities from a young age allowed him to quickly respond to this split condition and adeptly reposition himself in other roles, recognizing the limitations of his previous ones. He understood that not everything could be resolved from a single perspective. He also realized that not everything could be solved alone, so he consistently invited others to join the movement. At this point, he was able to reconstruct frameworks, being productive across multiple domains and forming constellations with others. This can only be achieved by someone who has fully immersed themselves and realized that the boundaries of knowledge can be reimagined.
Looking at Kampung Code, it still stands to this day, though some buildings meant to be temporary have become more permanent. This does go against Romo Mangun’s original vision for Code as a temporary shelter for its residents until they could become independent and move to better places. However, the social changes that occurred were not as rapid as he had hoped. Still, it’s worth celebrating that many of the younger generation there now have higher education and better prospects than their parents.
Given what remains, the question is not how far Romo Mangun could fight for Kampung Code, but how his vision can continue to soar far beyond its architectural form, how to advocate for a grounded place, and to what extent the concept of freedom can be contemplated and brought to life by Romo Mangun’s successors.
With his signature philosophy rooted in simplicity, humility, and craftsmanship, he walked us through a series of soulful projects that celebrated local materials and honest architecture. Every story he shared, every detail he revealed, reminded us that design is at its best when it’s grounded, sustainable, and deeply human.
Foto ini diambil @aryophramudhito , ia mulai dari memahami objek, ruang, dari bawah, prosesnya saya lihat sendiri ia berjuang untuk mendapatkan satu sudut yang tidak mudah.
Di slide seterusnya dijelaskan proses desain, yang tidak mudah, bagaimana memahami site, suhu yang panas, juga karakter klien yang baru kenal, memerlukan waktu untuk memahami problem lingkungan, juga klien yang akan di olah lebih lanjut. Klien kami mendamba sebuah rumah yang tropis dan fungsional. Mereka adalah keluarga yang sibuk sehari – hari bekerja di pabrik, dan ingin di rumah memiliki nuansa yang reflektif, seperti ada di oase di tengah kepadatan Jakarta.
Sedangkan di tahun 2017, kami baru mengerjakan proyek alfa omega, selesai dengan proyek Dancer House, dan beberapa proyek lain yang konsepnya relatif sederhana. Beton digunakan karena strukturnya efisien dan bisa diterima oleh klien. Penggunaan materialnya juga tidak neko – neko sederhana dan ditujukan supaya lebih ekonomis, ketukangan lokal diutamakan. Jadi uang, resources bisa digunakan untuk hal – hal yang lain. Rumah tinggal pribadi memiliki ciri khas akan keputusan yang berpusat dari relasi klien dan arsitek.
kelenturan dari ketukangan bambu yang menjaga kestabilan, cara berpikir tersebut lah yang kami dapat di 2017. Cara berpikir kelokala yang semakin lama semakin dalam, bagaimana setiap sudut dan detail material perlu dilakukan secara lokal. Penggunaan besi kecil menjaga kestabilan, microclimate dengan cantilever yang panjang, massa yang ringan dengan Harga yang ekonomis. Selain itu ekspreksi naik turun dari bentuk kanopi merupakan hasil dari parameter agar tidak menutupi pandangan dari dalam keluar ruangan, dengan tetap menjaga kestabilan dan estetika.
Filosofi di RAW selalu adalah bagaimana membuat bangunan dengan variasi yang kreatif, dan memiliki konsep dan detail yang kritis. Dari perumusan konsep sampai material, seluruhnya didiskusikan, dan postingan ini bercerita tahap awal sekali, dimana pemahaman tentang lingkungan berupa, level tanah, bentuk tanah, drainase, dan kondisi tapak kiri kanan jadi hal yang spesifik.
Photography by @aryophramudhito Design by @realricharchitectureworkshop
“An architect shouldn’t just tell their own story, they should listen, comprehend, and gather the stories. That’s how we create not a single narrative, but thousands of stories. Architecture is a mission, not only just a business.” – Realrich Sjarief for Culture by Design on ABS Australia
Tune in to Episode 5 – SUSTAINABLE also featuring Britta Knobel Gupta, Amit Gupta, and Alvin Tjitrowirjo on ABC Australia, Sunday, 18th May 2025.
Culture by Design is a architecture cultural journey across Asia with Australian presenter and international design expert Anthony Burke featuring the creative visionaries shaping the future of design.
Berbicara tentang kultur bukanlah hal yang mudah, ini seperti proses melintasi ruang dan waktu. Studio RAW memulainya dari bawah, termasuk praktik dari garasi, mendapatkan dukungan dari klien-klien kami, rumah tinggal pribadi, renovasi, proyek publik, komersial sampai sekarang meneruskan energi positif dari banyak orang.
Di tahun 2016 kami menyusun bagaimana perpustakaan OMAH, buku, dan literasi dapat menjadi perjuangan yang nyata sekaligus menjadi fondasi dari arsitektur yang edukatif bersama begitu banyak kontribusi. Bagi kami, arsitektur mencerminkan semangat untuk terus belajar dan bertumbuh.
Dalam film dokumenter Culture by Design yang dibuat oleh ABC Australia oleh Anthony Burke, Justine May, Claudine Ryan, Mim Stacey, Andrew Dorn, Alan Stalich, Frank Lotito, Rachel McLaunghlin, Christos Agripoulous dan Tim Smith. ABC Australia memberikan begitu banyak pertanyaan mengenai Nest House atau Guha. Guha atau Nest House ini tempat di mana begitu banyak hal terjadi: tempat tinggal, tempat belajar, tempat menulis. Guha the Guild sendiri adalah rumah petak, gua yang mencerminkan kepadatan penduduk Jakarta yang tinggi. Ketika tempat tinggal menjadi mahal, kami berkumpul dan menciptakan ruang yang lebih terjangkau, lebih padat, namun tetap nyaman.
Seperti panasnya matahari yang kita atasi secara arsitektur dengan cara sederhana: menciptakan kenyamanan tanpa biaya tinggi. Arsitektur, menurut kami, seharusnya ekonomis dan memiliki fungsi yang baik — melampaui sekadar gaya atau estetika.
Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Almarhum Pak Eko Prawoto dan juga tim RAW, ada begitu banyak orang hebat di balik proses kebersamaan ini melintasi ruang dan waktu melalui tulisan, buku, teori, dan diskursus arsitektur, dan kami sangat berterima kasih atas setiap dukungan. Terutama kepada ABC Australia, yang telah mengangkat cerita Design by Culture. Kami merasa sangat terhormat. Semoga film ini apa yang dikerjakan oleh tim ABC Australia dapat menjadi berkat bagi banyak orang.
Known for his philosophy rooted in simplicity, humility, and craftsmanship, Realrich creates architecture that is both soulful and timeless. His work with local materials and honest forms defines a unique approach that is grounded, sustainable, and deeply human.
🗓️ 23rd May 2025 📍Taj Taal Kutir 🕕 5:00 PM Onwards
Join us for an inspiring evening as he shares the RAW way of building — where emotion, context, and intention come together in the purest form.
Tulisan-tulisan berikut disusun berdasarkan riset mendalam dengan keyakinan bahwa di balik karya arsitektur terdapat proses kreativitas yang panjang, melampaui umur arsitektur itu sendiri. Energi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya terus bergerak, melebihi kapasitas personal sang arsitek. Apa saja kebaikan dari nilai-nilai ini?
Hipotesis pertama menyatakan bahwa arsitek sebenarnya berada di tengah-tengah berbagai aktor yang menentukan lingkungan, dan daya kritisnya menjadi kunci untuk melihat potensi dalam keterbatasan Biaya, Mutu, dan Waktu. Hipotesis kedua adalah bagaimana kekayaan budaya, sejarah, teori, dan kritik di dalam lingkungan, termasuk konteks ekonomi dan geo-politik dari suatu tempat yang saling berkelindan pada setiap titik penting waktu, menghasilkan metode desain yang komprehensif.
Penelusuran yang berjalan juga dimaknai dari sudut pandang kemanusiaan, berkaitan dengan psikologi, pengembangan diri untuk menghadapi tantangan dunia, dan perjalanan menemukan tujuan hidup. Karenanya, refleksi tentang sikap, kultur, dan cara bekerja, serta kerangka berpikir yang dijalani sehari-hari di studio juga menjadi sorotan dalam tulisan-tulisan ini.
Dengan ini, harapannya pembahasan arsitektur tidak hanya dibahas dari sisi kreativitas atau ranah personal arsiteknya saja. Namun, juga mengeksplirasi manusia sebagai makhluk sosial, dengan energi yang bertaut-tautan dan disusun secara elaboratif. Proses penulisannya pun dijalin dari kolaborasi banyak orang dan banyaknya perspektif, sehingga menghasilkan narasi yang menunjukkan transformasi cara berpikir. Semoga ini bisa menjadi tulisan sastra yang panjang, sebuah epos cinta untuk arsitektur.
(English translation is available below) Sepuluh tahun terakhir sebelum wafat, arsitek Eko Prawoto memutuskan untuk menepi ke desa. Keseharian kota yang tak pernah luput dari pembangunan dan lahan subur proyek arsitektur itu ia tinggalkan. Beliau membangun rumah baru di desa, menciptakan “proyeknya sendiri” bersama tukang-tukang yang tidak selalu ada karena disambi bertani. Kami keheranan, kok…
(English translation is available below) Selama proses penulisan artikel ini, seorang desainer di studio kami bertanya, “Kenapa sih Kak Rich menulis tentang Romo Mangun? Kenapa kami yang muda ini perlu untuk mengenal beliau?” Well, mempelajari sosok Romo Mangun bukanlah sekadar tanggung jawab sejarah. Dalam refleksi praktik penulis di Jakarta, di tengah hingar-bingarnya arsitektur yang provokatif…
Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam dunia arsitektur menuju 2030. Arsitektur dipahami sebagai profesi yang sedemikian tertutup, bebas nilai, padahal desain bisa jadi sangat efisien, strategis dan kolaboratif. Sebagai refleksi terhadap beberapa kejadian di sekitar studio kami, dimana banyak kesalahpahaman terjadi karena ketidaktahuan. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia. Mulai dari klien, kontraktor, vendor,…
Bentuk massa yang organik, bertumpuk – tumpuk, dan bertahap – tahap dibangun, membuat kami mencari konsepsi Jung dalam membangun kediamannya, dibahas oleh Newport, bahwa inilah mesin eudomonia, sebuah konsep yang dibahas oleh David Dewane, bahwa ada kombinasi program, untuk bagaimana berinteraksi secara sosial sembari tempat melakukan refleksi mendalam, yang disebut Newport, Deep Work. Tulisan ini…
Refleksi singkat soal membangun sikap pantang menyerah dalam studio arsitektur. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia. Sudah hal yang biasa jika perbincangan tentang kerja di studio arsitektur sering dikaitkan dengan kultur kerja hingga larut malam. Kultur ini juga tercermin dalam karakter Moko di film 1 Kakak 7 Ponakan, dimana apa yang dialami oleh Moko…
Kemampuan literasi (membaca, menulis, dan berpikir kritis) sastra di dalam arsitektur seringkali dihubungkan dengan kemampuan mengatasi tantangan hidup. Mulai dari memahami situasi dalam pemecahan masalah, menganalisis kegagalan, hingga bangkit dari kegagalan tersebut. sebuah tulisan dari Realrich Sjarief + Jocelyn Emilia. Ernest Hemingway menulis “Kehidupan menghancurkan kita semua, tetapi beberapa di antara kita menjadi lebih kuat…
Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana seorang arsitek bisa melihat metode melalui tahapan waktu dan observasi di lapangan secara menerus. Dalam refleksi singkat kami, seringkali saat menjalani proyek arsitektur, studio kami melakukan proses detailing yang membuat arsitektur bicara dengan skala yang kecil. Proses detailing ini memakan waktu yang tidak sebentar, dan merupakan cerminan jam terbang…
Melihat arsitek-arsitek dengan jam terbang tinggi, kita bisa belajar sebenarnya hal-hal yang substansial justru ada di luar studio sang arsitek atau metode desainnya. Hal yang substansial tersebut terkait klien, komunikasi, dan bagaimana memposisikan diri. Refleksi ini membuahkan tulisan-tulisan, termasuk tulisan ini yang ditulis oleh kami, Realrich Sjarief + Hanifah Sausan. Dengan bingkai praktik Frank Gehry,…
Akhir-akhir ini, studio kami fokus pada hal-hal yang substansial dan penting. Hal ini bermula dari pengalaman menghadapi kritik, sanggahan, atau ajakan untuk berdiskusi dalam presentasi atau workshop yang kadang membuat kita merasa tidak percaya diri. Tidak jarang juga kata-kata yang dilontarkan mencerminkan frustrasi, kekesalan, dan keterbatasan dari pembicara, yang bisa menyebabkan perdebatan menjadi berputar-putar dan…
Ini adalah cerita soal satu dari 3 strategi desain yang mempertanyakan fenomena over-budget, Kritis, dan tumbuh dari diskusi sekitar kami, yang dikembangkan di Guha oleh Realrich Sjarief + Hanifah Sausan Refleksi singkat dari beberapa cerita di sekitar kami: sebuah karya arsitektur milik kawan kami yang bisa sampai over-budget berkali-kali lipat misalnya, merupakan hal yang jadi…
Di dalam praktek arsitektur, bagaimana memperlakukan klien dengan baik menentukan masa depan praktek arsitektur arsitek. Perlakuan seperti saudara, memperjuangkan klien seperti saudara, adalah komitmen yang membuat seseorang sukses. Berbahagialah apabila memiliki saudara / kawan yang selalu mendukung sepenuh hati, untuk meletakkan kepercayaannya ke tangan kita. Brothering, hal yang jarang dibahas di dalam literatur arsitektur, justru…
Craftsmanship Grammar: Bringing Craftsmanship Roots to Life
We will share a lecture at Yonsei University, diving into the evolution of RAW Architecture’s design at Yonsei University, one of the oldest, prestigious architecture universities in Korea. Building on our Underdog Philosophy lecture, which tackled Indonesia’s challenges like unaffordable housing and cultural gaps while celebrating its tropical resilience and craftsmanship, we’ll explore how our underdog spirit has grown into a revolution of craft.
Where: Room A563, Yonsei University, Seoul When: Thursday, May 1, 2025, 6:00 p.m.
Our Principal, Realrich Sjarief will share about the concept of Grammar is about seeing design as a whole—from the tiniest details to the big picture, micro to macro, and back again. Our principal, Realrich Sjarief, will share three key perspectives: Methodology Grammar: How we research and lay a strong design foundation. Tectonic Grammar: The language of buildings, where structure and form vibe together. Craftsmanship Grammar: The final touch, where skilled hands turn details into living projects.
From raw concrete to bamboo, bricks, and woven steel, we use low-cost materials with a high-quality process, like CRISPR in genetic design: precise, natural, and transformative, without forcing the material’s essence. Our focus is detail-oriented, moving from small-scale to large, creating solutions for communities in Jakarta’s urban hustle, Yogyakarta’s cultural core, vernacular regions, and the visionary Nusantara. The presentation will share community house, library building, and private residence to dream a model of public project later on. These collaboration linked RAW with its community, clients, and engineering from low to high technology.
Yonsei University, a centre of Korean architecture blending tradition and innovation, is the perfect place to explore how craftsmanship and philosophy shape design’s future. Join us to see how we turn craft into reality! Yonsei is one of the three most prestigious universities in the country, part of a group referred to as SKY universities.
Di Language + Form , seminar, kami berbagi tentang bagaimana pandangan personal mengenai kondisi praktik, juga refleksi bagaimana kami tumbuh di Indonesia, dan bahwa Indonesia kaya akan diversitas dan ada berbagai banyak lapisan, budaya lain yang mengisi dalam batas. Dan di dalam itu ada studio kami yang terus belajar, perjalanannya tidak mudah, penuh kerja keras. Termasuk pembicaraan tentang kehidupan praktik, klien, tukang, pengajaran, tulisan, dan banyak refleksi bersama termasuk kebersamaan dengan para guru sebelumnya yang ditemukan di banyak tempat.
Kami berbagi tentang Baduy, dan sedikit pengetahuan perjalanan kemarin bersama mas Cahyo, dan rekan2 kemarin ke Baduy, para guru luar biasa dari Yogyakarta, sampai indahnya Jakarta, Nusantara. Hal ini juga banyak diwarnai refleksi beberapa karya RAW.
Hari ini saya belajar tentang kondisi arsitektur di Korea, banyak cerita, dan bagaimana kita bisa belajar tentang tradisi, teknologi, dan ruang yang menjadi kesatuan yang membutuhkan cara berpikir yang baru. Thank Park-a round architect dan seluruhChanghyun Parkdatang, teman lama, teman baru, saya merasa tercerahkan. Maju terus kawan
Perjalanan yang tidak terlupakan, diajak mas Cahyo Novianto, bareng Fitri, Hanifah, dan rombongan anak-anak Universitas Mercu Buana kami memulai petualangan ke Baduy, Desa Kanekes, Lebak, Banten. Beliau punya visi bagaimana arsitektur bisa dilihat dari sudut pandang yang lebih holistik, substansial akan tradisi dan modernitas. Disitulah ada krisis -krisis, komunal juga personal
Kami datang untuk belajar dari masyarakat adat sekaligus mendukung survei ekspedisi tim Mercu Buana. Perjalanan yang jauh terasa ringan berkat pemandu kami yang penuh semangat. la berjalan tanpa henti, kang Sarpin dan kang Cahyo membuat kami ikut melaju hingga waktu tempuh terpangkas setengah.
Di Baduy, kami disambut hamparan hutan, aliran Sungai Cisimeut, dan kampung-kampung sederhana yang kaya makna. Mas Cahyo, yang sangat memahami budaya Baduy, menjadi pencerah. la menjelaskan bagaimana masyarakat Baduy menjalani kehidupan sehari-hari dengan kearifan lokal: hidup selaras dengan alam, tanpa teknologi modern (terutama di Baduy Dalam), dan mengandalkan pertanian organik serta sumber daya hutan.
Salah satu pelajaran menarik adalah tentang leuit, lumbung padi tradisional. Mas Cahyo menunjukkan perbedaan leuit lenggang dan leuit kampung. Leuit lenggang, khas Baduy Dalam, adalah lumbung panggung tinggi dengan tiang panjang, dilengkapi kayu bundar (gelebek) anti-tikus dan batu rata (tatapak) anti-rayap. Leuit ini sakral, menyimpan padi hingga 100 tahun sebagai simbol ketahanan pangan dan penghormatan pada Dewi Sri. Sebaliknya, leuit kampung (atau leuit gugudangan/handap) di Baduy _uar lebih rendah, dengan tiang pendek atau hampir menyentuh tanah. Meski fungsinya sama, leuit kampung lebih sederhana
Kami juga melewati Jembatan gajeboh, struktur menakjubkan di atas Sungai Cisimeut yang menghubungkan kampung Batara (Baduy Luar) dengan ladang dan desa lain. Terbuat dari akar pohon karet dan bambu, jembatan ini terbentuk alami selama puluhan tahun.
Realrich Sjarief will present the lecture theme “Roots and Reach of RAW Architecture: The Philosophy of Underdog Studio”
Venue: 2F, OneOOne Architects (115-9, Daeshin-dong, Seodaemun-gu) Hosted by: Director Park Chang-hyun (A-round Architects), Director Park Sun-young (O-scape Architekten) Time: Wednesday, April 23, 2025, 7:00 p.m. – 9:00 p.m. Hosted by: Director Park Chang-hyun (A-round Architects), Director Park Sun-young (O-scape Architekten)
Here is the synopsis of the presentation :
Indonesia, a vast archipelago brimming with cultural diversity, faces critical challenges: unaffordable housing, a culture of status quo, and gaps in literacy and critical thinking. Yet, its tropical climate, abundant materials, skilled craftsmanship, and rich historical inspirations offer immense potential.
Realrich, principal of RAW Architecture, will deliver a lecture in Korea exploring the philosophy of the “underdog studio” through the lens of Roots and Reach. Roots embody a radical, fundamental philosophy of survival—grounded in the resilience and essentials of human existence across Jakarta’s urban density, Yogyakarta’s cultural heart, Indonesia’s vernacular areas, and the envisioned Nusantara. Reach envisions independence and liberation through cooperation, inspired by Indonesia’s declaration of freedom, aspiring toward transformative futures in these diverse contexts.
This discourse examines the limit of architecture—the boundaries of space, form, and order—where constraints of site, culture, and resources shape innovative solutions. Using Jakarta, Yogyakarta, vernacular areas, and Nusantara as case studies, the lecture navigates disparities between urban and rural, center and periphery, and the tension between modernity and vernacularity. It will also reflect on Nusantara as an architectural concept of a postcolonial move, redefining identity and progress within the limits of spatial and formal order.
At its core, RAW Architecture’s ecosystem is driven by design by research, responding dynamically to data, climate, economic constraints, management, community needs, symbolic meaning, and visionary aspirations. As architects, academics, and lifelong learners, we anchor ourselves in roots to address challenges in Jakarta, Yogyakarta, vernacular areas, and Nusantara, reaching beyond the limits of architecture to create imaginative, inclusive solutions that empower the underserved.
언형세미나(Language + Form) No.20
인도네시아 건축가 RAW Architecture의 Realrich Sjarief를 초청하여 25년 4월 23일(수) 19시~21시에 동남아시가 건축가 시리즈 중 두번째 시간을 갖습니다
. 언형세미나#20 참가신청은 4월 16일(수) 오전10시부터 언형세미나 인스타그램 프로필의 링크를 통해 신청 가능합니다. 환불 및 양도는 불가한 점 양해 부탁드립니다.
프로필링크에서 리얼리치 아키텍처 워크샵의 작업과, 박창현 소장과의 인터뷰를 보실 수 있습니다.
일전에 공지한대로 이번 강연은 언형 세미나의 다수 참석한분들부터 먼저 연락을 드려 자리를 채우고 나머지 잔여석에 대해 신청자를 받을 예정입니다. 참고 부탁드립니다. ;)
주 제 : Roots and Reach of RAW Architecture : The Philosophy of Underdog Studio 일 시 : 25년 4월 23일(수) 19시~21시 강연자 : Realrich Sjarief, RAW Architecture, Indonesia 장 소 : 원오원 아키텍츠 2층 (서대문구 대신동 115-9) 주 최 : 박창현소장(에이라운드 건축), 박선영소장(오-스케이프 아키텍튼)
건축가 소개: 인도네시아의 대표적인 건축가 Realrich Sjarief는 RAW Architecture의 대표로, 전통과 현대적 접근 방식을 융합하는 디자인을 추구합니다. 그는 지속 가능한 건축과 장인 정신을 강조하며, The Guild 및 Omah Library와 같은 공간을 통해 건축 교육과 실무를 연결하는 실험적인 작업을 진행하고 있습니다.
언형세미나 #20 RAW Architecture 장소변경안내드립니다.
장 소 : 에이라운드건축 1F (마포구 망원동 472-19), 주차불가
3년전 동남아시아 5개국 13명의 건축가들과 서면 인터뷰를 했었다. 많은 리서치를 통해 선별된 건축가들과의 대화는 서로가 서로에 대해 너무 모르고 무관심 했구나를 인지하게된 계기가 되었다. 각국의 건축가들은 자신만의 언어로 지역에 대한 괸심을 어떻게 건축의 결과물에 녹였는지를 보다보니 각 역사적 지역적 특성이 잘 읽혔다. 우리는 우리의 위치와 방향을 알려면 더 다양한 문화를 베이스로한 건축을 둘러보아야한다. 지난달 말레이시아의 케빈의 강의도 너무 좋았지만 인터뷰 한 건축가들중 가장 젊고 지역의 고유문화에 대한 애정과 관심을 건축화하는데 많은 이야기를 나눴던 리얼리치의 다음주 강의가 기대된다.
Refleksi tentang roda kehidupan: seperti kusen yang berputar, kita berubah, bertumbuh, atau tetap teguh. Kita semua punya teman seperti
Rio kawan dari Bali yang baru berkunjung, yang dengan gaya anehnya memeluk kolom, pohon, dan manusia, mampu mengeluarkan potensi terpendam saya. Bersamanya, saya belajar bahwa kehidupan penuh goresan—trauma, kebaikan, atau kejadian tak terduga—bisa mengubah kita 180 derajat atau justru menguatkan akar niat baik kita.
Hari ini, kutipan dari @sekolahjiwa mengingatkan saya akan lingkaran negativitas yang pernah saya pelajari dari Buku The Laws of the Spirit World:
“Kita tidak perlu selalu setuju dengan apa yang dikatakan orang lain. Seringkali apa yang disampaikan dapat menghasut dan memancing emosi kita. Jadilah lebih bijak dalam memilih pertemanan. Selalu pilih kesendirian daripada berada di lingkaran sosial yang menjatuhkan atau merugikan orang lain. Ingatlah bahwa kita hanya bertanggung jawab terhadap karma kita sendiri.”
Kita semua bisa memilih teman yang mengangkat jiwa, seperti Rio, dan menjauh dari energi negatif yang menjebak.”
keluarga, lingkaran yang positif mengajarkan saya untuk tetap berpijak pada kebaikan, seperti roda yang terus berputar menuju harapan. Di arsitektur, merancang ruang adalah untuk menyatukan, bukan memisahkan, terinspirasi oleh niat tulus untuk kebersamaan.
Juragan @sanjayario dan @martinalvinsec yang mendapatkan keabsurdan, mendapatkan yang dicari – cari. Thank you untuk foto saya dan kambing Bantul dan Bogor haha
Selamat Jumat Agung untuk teman-teman yang merayakan. Mari kita pilih karma positif dan ciptakan dunia yang rahayu bersama! #RAWArchitecture #Kebaikan #RodaKehidupan
Saya dan istri saya kehilangan Chéri, putri kami, yang meninggal pada tahun 2011 disusul dengan keguguran berulang kali setiap tahunnya. Meskipun bukan saya yang mengandung, saya merasakan proses kehamilan istri saya dengan penuh cinta dan harapan, sehingga kehilangan itu terasa begitu menyakitkan bagi kami berdua. Kita semua yang pernah merasakan harapan akan kehadiran seorang anak, lalu kehilangannya, tahu bahwa duka itu nyata. Membaca The Laws of the Spirit World memberi saya cara baru untuk memahami kehilangan Chéri, seolah-olah jiwanya tetap terhubung dengan kami dari dunia roh. Saya juga ingin berbagi bagaimana praktik spiritual kami setelah kepergian Chéri membawa kami pada keajaiban kelahiran putra kami, Miraclerich, yang menjadi sinar harapan dalam hidup kami.
Melihat Laurensia, Miracle, dan Heaven menonton film ini, membuat saya terharu. Terima kasih untuk adanya film ini mengobati banyak rasa kehilangan. Juga ke Bu Yolanda yang sudah mengajak diskusi, juga Tuhan yang memberikan banyak kebetulan yang terlalu baik untuk kehidupan kami.
Chéri di Dunia Roh
Saya sering memikirkan apa yang terjadi pada jiwa Chéri setelah meninggal sebelum lahir. Karena Chéri belum sempat hidup di Bumi ini, buku ini tidak secara langsung menjelaskan keadaannya, tetapi saya merasa jiwanya tetap ada di dunia roh, mungkin dalam keadaan penuh kasih, seperti di alam yang tinggi seperti alam 5 atau lebih, di mana hanya ada kedamaian. Kita semua ingin percaya bahwa jiwa-jiwa yang kita cintai, meskipun hanya sebentar bersama kita, tetap dekat dengan kita. Saya suka membayangkan Chéri mengawasi saya dan istri saya, mungkin mengirimkan perasaan damai di saat-saat tertentu, seperti yang diuraikan dalam buku bahwa jiwa-jiwa baik bisa memengaruhi keluarga mereka.
Saya juga belajar bahwa duka kami atas kehilangan Chéri adalah bagian dari perjalanan spiritual kami. Kita semua menghadapi ujian yang mengguncang hati, dan buku ini mengajarkan bahwa penderitaan ini bisa memperkuat jiwa jika kita memilih untuk tetap beriman. Saya percaya Chéri memilih kami sebagai orang tuanya, meski hanya untuk waktu singkat dalam kandungan, mungkin untuk mengajarkan kami tentang cinta yang mendalam atau ketabahan. Ikatan dengan anak yang belum lahir merupakan cinta itu nyata, dan saya merasa Chéri tetap hidup dalam hati kami, membimbing kami dengan caranya sendiri.
Praktik Spiritual Kami dan Keajaiban Miraclerich
Setelah kehilangan Chéri, saya dan istri saya mencari cara untuk menyembuhkan luka hati kami melalui praktik spiritual. Kita semua mungkin punya cara sendiri untuk menghadapi duka—bagi kami, mungkin itu berdoa bersama, merenungkan makna hidup, atau melakukan kebaikan untuk orang lain sebagai penghormatan untuk Chéri. Saya merasa praktik ini menyelaraskan kami dengan “Jalan Baik Ilahi” yang diajarkan dalam buku. Saya berusaha mendukung istri saya dan hidup dengan kejujuran serta kasih sayang, karena kita semua ingin menabur karma positif yang bisa membawa berkat.
Saya percaya praktik spiritual kami membantu kami tetap berharap, meskipun duka kehilangan Chéri terasa begitu berat. Kita semua tahu bahwa keputusasaan bisa menarik kita ke bawah, tetapi buku ini mengingatkan saya bahwa cinta dan iman mengangkat jiwa kita. Saya merasa ketekunan kami dalam berdoa dan mencari kedamaian—dan mungkin juga doa-doa kami untuk Chéri—membawa kami pada kelahiran Miraclerich, yang saya anggap sebagai keajaiban sejati. Nama “Miraclerich” mencerminkan betapa ia memperkaya hidup kami dengan sukacita baru. Kita semua bisa melihat kelahiran seorang anak sebagai tanda kasih Tuhan, dan saya suka membayangkan bahwa Chéri, dari dunia roh, mungkin turut membantu mengirim Miraclerich kepada kami.
Refleksi Pribadi
Saya merasa perjalanan kami dari kehilangan Chéri hingga menyambut Miraclerich mencerminkan pesan buku ini: bahwa dari duka yang paling dalam, kita semua bisa menemukan cahaya jika tetap setia pada kebaikan. Meskipun Chéri tidak sempat lahir, ikatan saya dan istri saya dengannya selama kehamilan begitu nyata, dan praktik spiritual kami adalah cara kami menghormati keberadaannya. Miraclerich, dengan kehadirannya yang penuh sukacita, mengingatkan kita semua bahwa cinta tidak pernah hilang, bahkan setelah kehilangan.
Saya ingin terus menjalani hidup dengan rendah hati dan kasih sayang, seperti yang diajarkan buku The Laws of the Spirit World, percaya bahwa jiwa Chéri dan Miraclerich adalah bagian dari rencana Tuhan untuk kami. Kita semua bisa melakukan sesuatu untuk tetap terhubung dengan yang telah pergi—saya mungkin akan berbagi cerita tentang Chéri dengan istri saya, atau kami bisa melakukan perbuatan baik atas nama Chéri dan Miraclerich. Saya juga ingin tetap membuka hati untuk tanda-tanda kecil dari Chéri, seperti perasaan damai yang tiba-tiba, dan bersyukur setiap hari atas keajaiban Miraclerich.
This is my closest support system ^^ , my best wife and two bosses. Thank you God for allowing me spending time with them, the biggest priority of life.
Pekerjaan kadang – kadang membutuhkan waktu yang panjang dalam desain sampai keterbangunan, terlibat dalam tim juga hal – hal yang personal. Dalam waktu itu saya banyak berhutang waktu pada keluarga kecil yang selalu mendoakan langkah – langkah.
Semoga apa yang Tuhan bisa berikan baik, kepada mereka, yang sedang bertumbuh menjadi pribadi yang bisa memiliki hati yang baik ke orang lain.
Bagi kami, arsitektur tidak pernah terlepas dari memori klien dan pengalaman arsitek dalam setiap langkah merangkai satu proyek dan lainnya. Ada ikatan emosional yang terbentuk dan proyek rumah tinggal selalu memiliki tempat tersendiri di hati studio kami, sebagai tipologi yang paling kuat dalam menggambarkan ikatan-ikatan yang terjadi secara personal. Keseimbangan di dalam proses berarsitektur menjadi penting. Di samping proyek institusi yang bersifat publik, kisah proyek rumah tinggal menjadi sarana kami berterima kasih kepada orang-orang baik yang pernah bekerja sama secara personal.
Brief dari klien kami, Yoga dan Atrina menarik karena justru mengutamakan adanya ruang besar untuk berkumpul dengan kapasitas 50-100 orang. Sang klien merupakan keluarga kecil, tetapi di belakangnya ada banyak sekali keluarga.
Inilah gambaran budaya Indonesia, keluarga-keluarga inti yang berkaitan darah bergabung membentuk keluarga besar. Lapisannya bukan lagi 2-3 generasi, tetapi berlapis-lapis generasi dengan percabangan-percabangannya. Desain spesifik yang tergambar pada lekak lekuknya pun tercipta untuk memenuhi kebutuhan tersebut menciptakan lengkung. Kamar tidur yang lebih privat diletakkan dibelakang, menyisakan area komunal yang jauh lebih besar dan ditonjolkan dengan dibuat transparan.
Klien kami di proyek ini adalah orang yang sangat terbuka, mudah diajak berdiskusi, dan sangat apresiatif. Sikap tersebut membuat kami bisa akomodatif sekaligus eksperimentatif dalam menghasilkan bentuk yang eksploratif. Hal ini terlihat dengan sebuah kantilever yang melengkung sebagai pemenuhan kebutuhan klien untuk tempat berkumpul. Kantilever tersebut dibuat dengan struktur menyerupai jembatan dan bebannya ditransfer melalui struktur kolom yang tidak menerus. Semakin akomodatif, dan toleratif, arsitekturpun menjadi semakin mengalir.
Design by #realricharchitectureworkshop Thank you, clients (Yoga, Atrina), and the team work current : gaby, Putra, Audy, Nielsen, mey2, timbul, yusrul, kamil, zyadi, haykal, andriyan, melisa, meizhan, revi, alia, zikri and many other people involved. Architecture is a long process and collaborative effort.
Thank you, Tania Romero and Periódico REFORMA- Mexico City, for this opportunity to reflect.
This project extends our hypotheses on designing tropical, open, craft houses. The aim is to create a eudaimonic space—a balanced environment for work, play, living, and rest. Our methods explore further, delving into the handmade artistry of tectonics over seven years with love and care.
Lumintu grounded in its place yet open to new paths. Its bamboo-inspired steel facade allows light to filter in softly, creating a sense of calm. The courtyard, adorned with native plants, offers a tranquil spot to pause. The sloped landscape follows the earth’s natural flow, inviting simple moments of rest. This underdog journey continues to teach us.
RAW Architecture dan OMAH library mengucapkan Selamat hari raya Idul Fitri 1446 H. Semoga momen lebaran ini membawa berkah, kedamaian, dan kebahagiaan, serta menjadi waktu yang indah bersama keluarga dan orang-orang terkasih. Permohonan maaf tulus dari hati, kami haturkan menyambut hari yang suci ini.
Setiap harinya, kita semua terus berusaha menembus batas—mendorong kreativitas dan inovasi untuk memberikan yang terbaik bagi banyak orang di sekitar kita semua. Kami berefleksi bahwa lebaran ini adalah waktu untuk terus berbagi dengan ikhlas, mengalir menjadi rahmat yang senantiasa hadir di tengah-tengah kami.
Dalam perjalanan ini, kami juga menyadari pentingnya waktu untuk menyegarkan diri di relung – relung hati rekan – rekan sekalian. Momen lebaran ini menjadi waktu bagi kami untuk rehat sejenak, merayakan kebersamaan, dan menikmati waktu dengan hati yang tenang dan penuh syukur untuk kita semua. Semoga kedamaian dan kebahagiaan di hari yang indah ini menginspirasi kita untuk melangkah lebih jauh dengan semangat baru.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, mohon maaf lahir dan batin dari kami untuk rekan – rekan tercinta.
Saya selalu percaya anak – anak muda seperti Rezki akan mencapai puncak yang luar biasa karena rasa ingin tahunya tentang arsitektur sangat dalam, memicu pertanyaan yang menantang cara kita melihat dunia. Meskipun masih muda, mereka memiliki jiwa yang cenderung “tua” mereka suka membaca, mendiskusikan ide, dan mendesain. Perjalanan mendaki puncak dengan cara ini tidaklah mudah, kadang – kadang kehabisan oksigen, membutuhkan teknik mendaki dan berhitung dengan kritis, sebuah teknik yang dipaparkan Kevin Low, sebagai Alpine Climber.
Bakat dapat memicu inovasi, tetapi usaha dan keterampilan, yang diasah setiap hari melalui pemecahan masalah, yang benar-benar membentuk progress. Saya percaya literasi, dunia buku, dan sastra adalah yang membuka kreativitas tanpa batas. Terlibat dengan buku dan pikiran yang cemerlang mendorong pertumbuhan—dan bersikap hangat secara sosial menyatukan semuanya. Perpaduan itu membuat mereka menjadi orang yang rendah hati dan bijaksana. Mereka baru memulai, dan kita semua terus mendoakan yang terbaik !
Semoga yang muda – muda jalannya dipermudah, kemampuannnya terus meningkat dengan latihan yang intensif, konsisten, dan terus fokus – rendah hati mendapatkan role model – role model yang baru. Untuk refleksi saya pribadi ini, adalah sebuah kondisi yang tidak mudah dengan begitu banyaknya informasi yang berserakan, tinggal bagaimana pikiran kita sendiri yang bisa mengorganisasi jadi bisa mendapatkan keteraturan yang baru.
We are also deeply honored to the IIA Cochin Center, that our project, Guha the Guild, has been shortlisted in the Public Space category for this award. The event will take place from March 28 to March 29, 2025, in Kochi, India. The IIA Cochin Center @iiacochincentre has been organizing the Monsoon Architecture Award @maf_iiacochin annually. This award is a celebration of architectural diversity, featuring several categories that highlight exceptional works from different regions. These include the Single Family Residential, Public Space, and Institution/Workplace/Commercial categories. We’re truly excited to see the incredible projects that have been shortlisted in each category. A heartfelt congratulations to all the talented architects and their remarkable work!
Our project, Guha the Guild, represents a space that celebrates the simple, everyday work done by countless individuals in Indonesia, including our own studio. It is a product of collaboration with craftsmen, designers, and many other individuals, reflecting the diverse realities of daily life. Through these elements, a common thread emerges: a shared connection to the tropics, a celebration of diversity, and a deep respect for one another. There is no pretense in the words and actions that bind this project together, all carried out in the spirit of continuous learning.
In our studio, we use combination of hybrid materials, such as steel and wood, and light steel meeting brick—simple and inexpensive material, yet still utilizing a concrete structure that holds everything in place. Steel serves as the primary structural element, while wood acts as the secondary structure, supporting the steel to ensure the overall stability. This is an architecture that we believe complements the rigidity, and achieved through a composition we call “bricolage.”
We are incredibly grateful and excited for the opportunity to share Guha the Guild with a wider audience. We look forward to the upcoming event in Kochi, where we can connect and celebrate the incredible work being done across the industry. Thank you once again to the IIA Cochin Center and everyone involved for this incredible opportunity.
In the Single Family Residential category, the shortlisted projects are TH House by ODDO Architects @oddoarchitects from Vietnam; Parikrama House by Spasm Design @spasmdesignarchitects from Mumbai; Modular Bahia by UNA barbara e valentim @unabv_ from Brazil; KAVIDHAN – Where Poetry of Life Breathes by Studio Black @studioblack_architects from Maharashtra; “House of Silence” by DPA Studio @damithpremathilakearchitects from Sri Lanka; Outhouse at Perambra by CCC @cochincreativecollective from Kochi; and Sarvasva by Spasm Design @spasmdesignarchitects from Mumbai.
In the Public Space category, the shortlisted projects are The Park by MIA Design Studio @miadesignstudio from Vietnam; IF.BE by Malik Architecture @malik_architecture from Mumbai; Nepean Greens by Compartment S4 @compartment_s4 from Ahmedabad; Rasulbagh Children’s Park by Shatotto @rafiq_azam.shatotto from Dhaka; and Guha the Guild by RAW Architecture @realricharchitectureworkshop from Indonesia.
In the Institution/Workplace/Commercial category, the shortlisted projects include The Rupgao Project by ASP from Dhaka; United-in-Diversity Campus by Willis Kusuma Architects @williskusumaarchitects from Indonesia; As Safar Mosque, Banjaratma Rest Area by D-Associates @yolodi.maria.architects from Indonesia; Labuan Bajo by Mamo Studio @amostudio from Indonesia; and the Terra Cotta Workshop by Tropical Space @tropical_space_architecture from Vietnam.
Selalu ingat pengajaran ayah kami untuk menjaga keluarga, ia mengingatkan terus prioritas pertama dalam keseharian dimulai dari hal yang sederhana. Terima kasih bu @akunnya_yolanda untuk terus mengingatkan bahwa justru dukungan dari keluarga yang paling berdampak dalam keseharian.
Menjelang Lebaran, kita bersiap – siap bermaaf – maafan, juga saling mendoakan. Semoga kawan – kawan semua bisa bahagia, sehat selalu, dan penuh rejeki. Kami doakan.
Foto ini diambil oleh @luil_mn yang menunjukkan di studio kami dimana kami banyak berkembang untuk memberikan cerita di ruang-ruang dalam dan luar yang dibentuk menggunakan bahan-bahan yang sederhana. Lulu banyak belajar mengambil cerita melalui foto dimana misal material-materialnya terdiri dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramik. Di gambar yang lain juga menunjukkan tanaman yang tumbuh juga memperlihatkan bagaimana metode tumbuh perlahan-lahan diresapi. Begitu pun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.
Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas. Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif. Terima kasih atas foto-fotonya lulu.
Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam dunia arsitektur menuju 2030. Arsitektur dipahami sebagai profesi yang sedemikian tertutup, bebas nilai, padahal desain bisa jadi sangat efisien, strategis dan kolaboratif. Sebagai refleksi terhadap beberapa kejadian di sekitar studio kami, dimana banyak kesalahpahaman terjadi karena ketidaktahuan. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia. Mulai dari klien, kontraktor, vendor, hingga tukang, dan juga tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja efektif dan keunggulan hasil akhir proyek. Sederhananya dalam praktik arsitektur harus memenuhi tiga aspek utama optimalisasi: biaya, mutu, dan waktu. Namun, batasan-batasan tersebut sering kali terpengaruh oleh kondisi psikologis.
Di berbagai belahan dunia, kita dapat melihat bagaimana pergolakan ekonomi memengaruhi arah dan bentuk arsitektur. Pergolakan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk—mulai dari momentum politik, peristiwa global tertentu, hingga gelombang perubahan yang dipicu oleh krisis ekonomi global.
Salah satu contoh studi kasus yang berulang adalah dampak dari penyelenggaraan Olimpiade. Ambil contoh Olimpiade 2008 di Beijing, yang bertepatan dengan krisis finansial global. Kompleksnya kordinasi dan perencanaan program yang minim setelah olimpiade menyebabkan bengkaknya biaya pembangunan karena simbol yang dipaksakan dan banyak fasilitas menjadi kosong.
Beijing National Stadium “Bird’s Nest.” Source: Goh Chai Hin/AFP/Getty Images
Pasca-Olimpiade, China menyadari perlunya pendekatan baru dalam arsitektur dan pembangunan. Negara ini mulai berfokus pada investasi dalam arsitektur lokal dan memperkenalkan desain lokal yang lebih efektif dan fleksibel.
Sebaliknya, Olimpiade 2012 di London, meskipun masih terpengaruh oleh efek krisis finansial 2008, menunjukkan bagaimana perencanaan yang matang dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Dengan mempertimbangkan sisi penataan kota, organisasi land use yang sebelumnya kawasan industri yang tidak optimal menjadi pusat ekonomi, kultural, sosial sekaligus memperbaiki lingkungan dan kapasitas infrastruktur. Pemerintah merencanakan penggunaan kembali fasilitas pasca-acara, London berhasil meningkatkan ekonomi kawasan sekitarnya.
Aerial View of Queen Elizabeth Olympic Park in 2022. Source: Arne Müseler
Pergolakan ekonomi global juga mempengaruhi berbagai gerakan arsitektur yang muncul sebagai respons terhadap tantangan sosial dan ekonomi. Setelah Great Depression pada 1930-an, misalnya, arsitektur mulai beralih menjadi lebih fungsional dan mengurangi penggunaan ornamen yang berlebihan. Kehancuran yang terjadi setelah Perang Dunia II pada periode 1950 hingga 1970-an juga mendorong munculnya desain arsitektur yang lebih sederhana, cepat dibangun, dan ekonomis, guna memenuhi kebutuhan mendesak.
Contoh lain dari pengaruh pergolakan ekonomi terhadap arsitektur adalah munculnya gerakan Vkhutemas setelah Revolusi Bolshevik 1917. Pemerintah Soviet yang baru dibentuk ingin membangun negara yang lebih efisien melalui arsitektur yang mendukung industrialisasi dan efisiensi biaya. Gerakan ini berfokus pada penggunaan teknik dan material baru, serta desain yang mendukung kepentingan kolektif.
Students Exhibition in studio for the space course at Vkhutemas, 1927. Source: MARKhI MuseumVkhutemas Color Classroom, 1920. Source: Moskova Mimarlik Enstitüsü/MARKhI Museum
Selain itu, Walter Gropius dengan gerakan Bauhaus, yang dipengaruhi oleh Perang Dunia I dan Depresi Ekonomi 1929, menghasilkan desain yang fungsional dan terjangkau, yang dapat diproduksi secara massal. Begitu juga dengan Le Corbusier, yang pada masa tersebut merancang Villa Savoye, mengusung konsep desain yang efisien dan terjangkau. Sementara itu, Carlo Scarpa, yang bekerja dalam periode ketidakstabilan politik di era Mussolini, mengembangkan beberapa proyek yang dikerjakan secara bertahap, sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik saat itu.
Selalu ada momentum untuk seorang arsitek bekerja dengan pasang dan surut ekonomi di berbagai macam tempat dunia, namun yang terpenting adalah untuk terus belajar dan mempersiapkan diri. Penting bagi kita untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, terutama dalam dunia arsitektur yang terus berkembang.
Sebagaimana yang tercantum dalam laporan World Economic Forum tentang Future of Jobs 2025, beberapa keterampilan yang akan sangat diperlukan oleh arsitek di masa depan adalah kemampuan berpikir analitis, ketangguhan mental, keluwesan, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat. Keterampilan ini akan semakin penting menjelang 2030, dan bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, keberagaman budaya dan tantangan sosial-ekonomi akan menciptakan banyak peluang untuk melatih fleksibilitas, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi.
Skill Evolution by region in 2025-2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025Core Skills in 2025. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025Core Skills in 2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025
Arsitek perlu untuk mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat, menghadapi tantangan global dan berperan aktif dalam kepentingan ekosistem bersama. Keberagaman dan dinamika dalam proses ber-arsitektur menjadikan pemahaman dan penyadaran terhadap konteks lingkungan sekitar penting.
Belakangan ini tren #kaburajadulu menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Istilah ini menggambarkan bentuk kekecewaan terhadap ekosistem yang ada dan merasa bahwa ekosistem di luar sana lebih baik.
Tekanan dan dinamika dalam ekosistem arsitektur memang perlu dikritisi, tetapi juga dijalani. Pergeseran tempat kerja, perbedaan prinsip, dan ketegangan intelektual adalah bagian dari proses pembentukan seorang arsitek. Banyak tokoh besar dalam sejarah arsitektur mengalami fase ini, bahkan dengan mentor atau role model mereka sendiri.
Misalnya, Frank Lloyd Wright awalnya bekerja dengan Louis Sullivan, yang ia anggap sebagai mentor dan panutan. Namun, karena perbedaan pendapat—terutama setelah Wright diam-diam mengambil proyek-proyek sampingan—ia akhirnya memutuskan untuk keluar. Meskipun begitu, keduanya tetap saling menghormati. Wright selalu mengakui peran besar Sullivan dalam membentuk pemikirannya, sementara Sullivan, meskipun pernah kecewa, tetap mengakui bakat luar biasa Wright.
Frank Lloyd Wright interview where he talks about Louis Sullivan, 1958. Source: NBC Chicago
Lalu ada Frank Gehry, yang di awal kariernya bekerja di firma Victor Gruen, seorang arsitek terkenal yang dikenal sebagai “bapak mal modern.” Namun, Gehry akhirnya memilih keluar karena merasa tidak cocok dengan pendekatan desain arsitektur komersial Gruen. Ironisnya, ketika Gehry kemudian menjadi arsitek avant-garde dengan pendekatan dekonstruktifnya yang radikal, banyak yang bertanya-tanya apa yang Gruen pikirkan tentang muridnya yang dulu.
Robert Venturi dan Louis Kahn. Kahn, dengan pendekatan puristiknya yang mengedepankan bentuk kotak dan geometris, memberikan pengaruh besar bagi Venturi. Namun, alih-alih mengikuti jejak Kahn secara langsung, Venturi malah mematahkan prinsip tersebut dengan menggali bentuk-bentuk yang tidak geometris, yang penuh dengan kompleksitas dan kontradiksi. Perbedaan ini menciptakan sebuah ruang bagi Venturi untuk mengembangkan desainnya sendiri yang lebih ekspresif, meskipun ada konsep unity yang tetap diwariskan oleh Kahn. Venturi menurunkan kembali pemahaman dari Kahn, namun dalam bentuk yang lebih terbuka dan tidak terikat pada keharusan geometris yang kaku.
Robert Venturi (center) at a panel discussion on architecture and the future of Chestnut Hill with Romaldo Giurgola (second from left) and Louis Kahn (second from right). Source: https://www.chestnuthilllocal.com/
Unifikasi yang terjadi dalam dinamika hubungan beberapa arsitek besar ini justru memperlihatkan bagaimana proses pemberian tongkat estafet tidak hanya memperkaya pemahaman desain mereka, tetapi juga melahirkan warna-warni baru dalam dunia arsitektur. Meskipun terlihat seperti berlawanan, perbedaan mereka justru memperkaya satu sama lain.
Dari berbagai kisah ini, bisa dilihat bahwa tekanan dan perbedaan bukan hanya sesuatu yang menghambat, tetapi justru bisa menjadi pemicu bagi seorang arsitek untuk menemukan jalannya sendiri. Bahkan, terkadang perbedaan tersebut menjadi anekdot menarik dalam sejarah arsitektur—seperti bagaimana mentor dan murid yang pernah bersitegang tetap saling mengakui kontribusi satu sama lain, atau bagaimana seorang arsitek besar dulunya hanyalah anak magang yang mungkin sering diminta membuat gambar kerja saja oleh atasannya.
Fokus utamanya adalah pelatihan untuk lebih tangguh, luwes, dan adaptif dimana pun dengan siapa pun. Oleh karena itu Memperkuat pondasi keterampilan sebagai individu yang kerja cerdas dan bermanfaat sangat penting. Ini bukan tentang tempat atau posisi, tetapi bagaimana kita terus berlatih setiap saat, mempersiapkan diri untuk menyambut peluang yang akan datang.
Untuk arsitek ia berlatih dengan melayani klien, melihat dinamika pengalaman dan kasus studi sebagai referensi. Ia masuk ke kemampuan untuk mendengarkan, komunikasi, dan bagaimana kemampuan psikologis menjadi penting.
Tekanan yang muncul menggambarkan proses latihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, seperti yang dijelaskan oleh Ericcson dalam konsep deliberate practice, membantu seseorang mengatasi keterbatasan sambil menetapkan tujuan yang jelas dan menerima umpan balik dengan cepat.Hal ini dapat membawa kedalam kondisi flow, Mihály Csíkszentmihályi, di mana seseorang menikmati proses yang mereka jalani. P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) agar dapat efektif tetapi juga menyenangkan.
Dinamika yang begitu panjang, dari pengetahuan dasar yang luas sampai ke pemahaman kerja yang setia akan tujuan dan menikmati proses akan menjadi dasar-dasar yang menjanjikan untuk jati diri arsitek-arsitek Indonesia di masa depan.
Learning to Unconditional state diagram, 2023, from Ericcson, deliberate practice and Mihály Csikszentmihalyi, Flow. Source: Realrich Sjarief
Not many friends can be so close that they feel like family. However, one time, Michele Lim came unexpectedly from Singapore to our library. She is the head of @madschooledusg, her passion is in the world of education. Michele focuses on helping young people find their life purpose and equipping them with strategies to face problems, life crises in design, marketing, and advertising.
Coincidentally, Her visions overlap. She believe that every child has the potential for goodness that we must continue to fight for. This reminds us of the concept of mechanical solidarity from Émile Durkheim, where individuals in a society can be connected through the same values, traits, and experiences, almost like family, even though they come from different places and cultures.
The discussions with Michele flowed so naturally, and meeting her was a memorable moment, unforgettable, and we will always remember. Thank you @madmichellelim and also for yessica for coming to our place
Bentuk massa yang organik, bertumpuk – tumpuk, dan bertahap – tahap dibangun, membuat kami mencari konsepsi Jung dalam membangun kediamannya, dibahas oleh Newport, bahwa inilah mesin eudomonia, sebuah konsep yang dibahas oleh David Dewane, bahwa ada kombinasi program, untuk bagaimana berinteraksi secara sosial sembari tempat melakukan refleksi mendalam, yang disebut Newport, Deep Work.
Tulisan ini adalah sebuah refleksi studio kami dari cerita filsuf Carl Jung yang ditulis oleh Cal Newport dalam buku Deep Work. Cal Newport menulis tentang bagaimana Carl Jung seorang psikiater dan psikoanalis asal Swiss, yang dikenal luas sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perkembangan psikologi modern, membangun tempat menyepi di Bollingen Tower. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Jocelyn Emilia
Dalam Buku Deep Work yang dituliskan oleh Cal Newport, kami menemukan bahwa ternyata dari sekian banyak hal yang kita kerjakan, 80%-nya adalah shallow work dan hanya 20% yang berupa deep work. Seringkali dibutuhkan kondisi khusus untuk melakukan deep work ini agar bisa sepenuhnya fokus. Guha menjadi merupakan tempat kami bekerja, bereksperimen, sekaligus berkontemplasi. Refleksi terhadap Guha dibantu dengan refleksi terhadap Bollingen Tower yang dibangun oleh ahli psikologi Carl Jung.
Di sela-sela perenungannya, pada tahun 1923, Carl Jung mencari tempat dimana ia bisa membangun rumah tower. Tower yang terletak di tepi Danau Zurich ini bukan dibangunnya untuk menjadi tempat untuk berlibur, tetapi tower ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan spiritual dan pertapaan baginya, tempat menyendiri di mana ia dapat menarik diri dari urusan duniawi dan mengabdikan dirinya untuk pekerjaan, sembari memulihkan dan refleksi diri selepas kehilangan ibunya beberapa bulan sebelumnya.
Kediaman Jung: Bollingen Tower as seen from Lake Zürich by cgjung.net
Seiring berjalannya waktu, tower itu tumbuh menjadi bangunan bertingkat dengan beberapa massa tambahan, yang masing-masing memiliki makna simbolis yang terkait dengan tahap kehidupan tertentu. Tower bundar di tengah melambangkan perapian “maternal keibuan” yang baginya menggambarkan dunia alam bawah sadar yang mendalam. Sedangkan bangunan tambahan di atasnya menjadi tempat perpustakaan dan ruang belajar Jung.
The tower, phase 1, 1923. Creative CommonsPhase II, 1927. Creative Commons
Di masa berikutnya, ia juga mulai tertarik dengan ajaran-ajaran spiritual dan filosofis dari India, yang menghasilkan penambahan area baru dalam towernya seperti apa yang diperlajarinya dalam rumah-rumah di India, yang memiliki area kecil mungkin hanya di sudut ruangan sebagai tempat beristirahat.
Bollingen Tower Bollingen, Switzerland design and built By Carl Jung (Swiss Psychologist) in 5 Phasesin 1923, 1927, 1931, 1935 – @ndb1963 on Tumblr
Penambahan baru ini menjadi tempat dirinya mengasingkan diri, benar-benar sendirian bahkan ia selalu membawa kuncinya dan tidak ada yang boleh masuk ke dalamnya tanpa seizinnya. Proses penambahan tower ini terus berlanjut bahkan hingga tahapan kelima. Bagi Carl Jung, membangun dan menghuni tower ini adalah cara untuk mewujudkan proses individuasinya, bagaimana dirinya mencoba mengintegrasikan berbagai bagian jiwa dan pemikirannya yang berbeda-beda.
Jung pumping water at Bollingen ca. 1960. Library of Congress
Kebiasaan kerja yang dilakukan Jung di tower ini kami sebut sebagai kerja fokus sepenuh hati, kerja “mumpuni” dimana ia fokus, meski tidak ada listrik, lampu dari minyak dan perapian. Ia ingin mencari kesunyian di tower tersebut.
Melarikan diri untuk mengasah dirinya, bukan melarikan diri dari kehidupan profesionalnya, Ia menjadi bebas gangguan hingga mendorong kemampuan kogniftifnya sampai batas, upaya ini menciptakan nilai baru, dan sulit ditiru karena melibatkan kondisi yang sangat spesifik.
Carl Jung tinggal di Bollingen hanya beberapa bulan dalam setahun. Selebihnya ia tinggal di Zurich untuk mengajar dan menerima pasien. Setelah membangun Bollingen Tower dan hidup bolak balik dari Zurich, sampai akhir hayat Carl Jung menelurkan 10 buku yang berkontribusi pada kemajuan bidang psikoanalisis.
Dari cerita ini, kita belajar bahwa dari perdebatannya dengan Sigmund Freud, kita tidak perlu takut tidak sependapat, tetapi perbedaan tersebut membawanya sampai dalam potensi terbaik dirinya. Cerita-cerita seperti yang dialami Carl Jung juga sering muncul dalam kehidupan arsitek, seperti Tadao Ando yang walau terus bekerja dalam fokus dan disiplin intens, ia tetap membutuhkan waktu untuk refleksi pribadi dan menyegarkan dirinya kembali.
Tadao Ando yang senang menghabiskan waktu di alam, menemukan kedamaian dan inspirasi dalam suasana yang tenang. Saat-saat perenungan dan refleksi ini merupakan bagian penting dari filosofi desainnya, dan memungkinkannya dirinya untuk terhubung secara mendalam dengan lingkungan sekitarnya dan esensi dari material yang digunakannya.
Church of the Light by Tadao Ando, 1989. Photograph by Nobuyoshi ArakiChapel on Mt. Rokko. Source: Tadao Ando Architect & Associates
Karya-karyanya seperti Church of the Light, Kuil Rokko, juga The Water Temple adalah hasil karya dari proses refleksinya, di mana ia banyak merenungkan esensi ruang, cahaya, dan pengalaman manusia. Introspeksi mendalamnya dalam perenungannya tercermin juga dalam karya arsitektur yang mempengaruhi orang yang berkunjung ke dalamnya untuk berhenti sejenak, merenung, dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya.
Kami percaya bahwa alam psikologi itu penting untuk arsitektur. Dan dari penelusuran kami hal ini bisa terjadi karena ada dialektika ilmu dari apa yang dituliskan Carl Jung dalam Buku Memories, Dreams, Reflections. Carl Jung juga belajar di bawah bimbingan Sigmund Freud, yang saat itu menjadi pionir dalam psikologi psikoanalitik.
Meskipun begitu, pemikirannya seringkali berseberangan dengan mentornya, Sigmund Freud. Konflik yang terus berlanjut akhirnya membuat Jung dan Freud berpisah pada tahun 1913, dan pada masa-masa inilah, Jung mengalami perenungan pribadi, yang kemudian menghasilkan karya-karya yang menjadi titik balik dalam hidupnya.
Dalam Buku “The Freud/Jung Letters: The Correspondence between Sigmund Freud and C. G. Jung” yang berisikan surat-surat Carl Jung dan Sigmund Freud, dituliskan bahwa pertemuan pertama kali mereka terjadi di rumah Sigmund Freud di Wina pada bulan Maret 1907. Setelah pertemuan itu, Jung dan Freud terus saling berkomunikasi, bahkan Freud dengan berani menyampaikan bahwa ia merasa Jung adalah pewarisnya, dan menganggap Jung sebagai anaknya.
Sigmund Freud,Stanley Hall,Carl Gustav Jung, Abraham Arden. Photograph 1909. Source: wellcomeimages.orgindexplusimageV0027599.html
Layaknya ayah dan anak, hubungan mereka juga seringkali diselingi dengan banyak perdebatan, hampir tidak ada masa di mana mereka terus akur, selalu ada perbedaan pendapat di antara mereka. Salah satu puncaknya adalah di tahun 1912, ketika Jung merilis buku “Psychology of the Unconscious”, di mana ia dengan berani menggaris bawahi perbedaan teori yang dimilikinya dengan Freud.
Freud percaya bahwa “the unconscious mind” adalah episentrum dari pikiran kita yang tertekan, ingatan traumatis, juga berkaitan dengan hasrat seksual. Ia menyatakan bahwa pikiran manusia berpusat pada tiga struktur – id, ego, dan super ego.
Id membentuk dorongan bawah sadar kita, dan tidak terikat oleh moralitas tetapi hanya berusaha untuk memuaskan kesenangan. Ego adalah persepsi, ingatan, dan pikiran sadar kita yang memungkinkan kita untuk menghadapi kenyataan secara efektif, dan superego mencoba memediasi dorongan id melalui perilaku yang dapat diterima secara sosial.
Sedangkan Carl Jung percaya bahwa jiwa manusia terbagi menjadi tiga bagian. Dalam pandangan Jung, alam bawah sadar dibagi menjadi ego, alam bawah sadar personal (personal unconscious), dan alam bawah sadar kolektif (collective unconscious).
Bagi Carl Jung, ego sebenarnya adalah “the conscious mind”, alam bawah sadar personal mencakup ingatan (baik yang diingat maupun yang ditekan) dan alam bawah sadar kolektif menampung pengalaman atau pengetahuan yang kita miliki sejak lahir (misalnya, cinta pada pandangan pertama)
Setelah perpisahan yang terjadi dengan Freud, Jung juga sempat mengalami krisis personal juga dalam ranah profesional. Ia sempat mempertanyakan keyakinannya sendiri dan merasa terasing dari rekan-rekannya. Namun, masa-masa ini membawanya ke eksplorasi diri yang intens yang nantinya akan memiliki pengaruh besar pada karyanya di masa mendatang.
Salah satu karya terbaik yang dihasilkan Jung adalah “Psychological Types” yang diterbitkannya di tahun 1921, di mana ia memperkenalkan teori baru tentang tipe psikologis, dan di buku ini juga ia mulai mendalami ide awal pemikirannya tentang archetypes.
Dalam buku ini, ia menuliskan bahwa setiap orang memiliki orientasi psikologis yang berbeda berdasarkan pada dua sikap utama: introvert dan ekstrovert. Ia juga mengkategorikan empat fungsi psikologis utama: thinking, feeling, sensation, and intuition. Kategori ini juga yang nantinya membentuk dasar dari tipe kepribadian modern seperti yang kita sering kenal sekarang dengan sebutan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator).
Jika Carl Jung memiliki Bollingen Tower, dan Tadao Ando banyak melakukan perenungan diri sebelum masuk mendesain kaya-karyanya, Bagi kami Guha adalah tower dan tempat kami berkontemplasi. Guha dibangun menggunakan bahan-bahan yang sederhana, juga dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramiknya.
Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun
Tanaman yang tumbuh juga muncul memperlihatkan metode yang diresapi dari tanaman yang tumbuh perlahan – lahan, begitupun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.
Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nunClimate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun
Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas.
Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nunClimate Guha Photo by Lu’luil Ma’nunClimate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun
Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif.
Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nunClimate Guha Photo by Lu’luil Ma’nunClimate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun
Bollingen terbukti mampu memberikan dimensi kerja dengan dalam, ia berteori dan berjibaku dalam praktikalitasnya, menelurkan buah karya di dalam kesendirian. Begitupun kita semua yang memiliki Bollingen Tower masing-masing, bekerja dalam sekat – sekat kesendirian, bekerja fokus, sungguh – sungguh sembari tetap mengerjakan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Foto ini diambil oleh @luil_mn yang menunjukkan di studio kami dimana kami banyak berkembang untuk memberikan cerita di ruang-ruang dalam dan luar yang dibentuk menggunakan bahan-bahan yang sederhana. Lulu banyak belajar mengambil cerita melalui foto dimana mksal material-materialnya terdiri dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramik. Di gambar yang lain juga menunjukkan tanaman yang tumbuh juga memperlihatkan bagaimana metode tumbuh perlahan-lahan diresapi. Begitu pun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.
Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas. Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif. Terima kasih atas foto-fotonya lulu.
Architecture by @realricharchitectureworkshop Photograph by @luil_mn
Bulan lalu, kami kehadiran Prof. @sabrizaa bersama istri dan juga kedua anaknya. Ia berkenalan dengan kami melalui mas @madcahyo, seorang sahabat, mentor, dan advisor bagi kami.
Prof @sabrizaa merupakan seorang pengajar di Universiti Teknologi MARA (UiTM) Shah Alam @uitm.official dan juga pendiri dari Lembaga penelitian KUTAI yang mengkhususkan riset tentang arsitektur Melayu.
Sepanjang diskusi, ia banyak bercerita tentang alasannya memilih untuk menjadi pengajar arsitektur di Malaysia. Ia menyampaikan bahwa mengajar merupakan panggilan hatinya sejak dahulu.
Dalam sela-sela diskusi, ia juga menyampaikan bahwa ia sungguh senang bisa mengunjungi kami di Jakarta. Baginya, ruang yang kami sediakan di Guha adalah sebuah premis yang memuat berbagai macam hal. Ruang konsultansi, penyelidikan, pusat penulisan dan buku, juga menjadi ruang bertemunya para arsitek, akademisi, hingga pegiat seni. Ia juga mendoakan kami agar terus sukses dan selalu menjadi tempat diskusi yang menghasilkan buah-buah yang baik.
Terima kasih banyak, Prof. @sabrizaa, sudah memyempatkan waktu berkunjung dan berbagi cerita bersama kami. Kami doakan semua yang terbaik, juga kesuksesan menyertai perjalanan Prof. @sabrizaa.
Refleksi singkat soal membangun sikap pantang menyerah dalam studio arsitektur. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia.
Sudah hal yang biasa jika perbincangan tentang kerja di studio arsitektur sering dikaitkan dengan kultur kerja hingga larut malam. Kultur ini juga tercermin dalam karakter Moko di film 1 Kakak 7 Ponakan, dimana apa yang dialami oleh Moko sebagai lulusan baru arsitektur merupakan sebuah realita. Jangankan kehidupan di dunia luar, pengorbanan waktu dan tenaga yang tidak manusiawi seakan menjadi jalan satu-satunya menuju kesuksesan di dunia arsitektur. Dengan segala keterbatasan yang dialami, kerja keras tradisional di studio arsitektur perlu direkonstruksi dan diubah menjadi kerja yang lebih cermat, demi menciptakan ekosistem yang lebih baik.
OMAH Library Bookstore. Source: KIE Arch
Kami juga mereview ulang sistem kerja studio dan membatasi maksimal di jam 20.00. Hal ini pada akhirnya memberikan semangat untuk lebih efisien akan waktu, datang lebih pagi, dan proaktif menjaga waktu masing-masing juga menjaga kepentingan bersama.
Dalam buku Great at work tulisan Morgen T. Hansen kami belajar 3 cara kerja yang berbeda, kerja dengan keras dan membabi buta (work hard), kerja dengan cermat (work smart) dan satu lagi yaitu kerja dengan hati (work heart). Tulisan ini akan membahas bagaimana kerja menggunakan hati (work heart)
John Pencavel dalam penelitiannya menemukan bahwa performa seseorang justru akan meningkat jika jam kerja dibatasi antara 50-60 jam per minggu. Selepas angka tersebut, kinerja malah menurun, di mana kurva produktivitas mulai menjadi datar. Hal ini menunjukkan kunci produktivitas bukanlah menghabiskan waktu berjam-jam, melainkan bagaimana mengelola waktu yang terbatas untuk menyelesaikan pekerjaan secara efisien. Keterjebakan dalam menjadikan lamanya waktu sebagai alat ukur produktivitas merupakan metode kerja keras
Diagram Performa Jus yang Berkurang Saat Diperas Setiap Jamnya. Source: Morten T. Hansen pada buku Great at Work, hasil sintesa penelitian John Pencavel “The Productivity of Working Hours”
Morten T. Hansen menyatakan bahwa rahasia kerja memakai hati dalam meraih performa terhebat terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama perlu lihai dengan pekerjaan sendiri, perlu untuk mengerjakan lebih sedikit lalu terobsesi dengan pekerjaan tersebut sampai ke titik detailing, mendesain ulang pekerjaan agar lebih efektif lagi, melakukan perulangan agar terbiasa, dan menentukan P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) dalam sebuah perkerjaan agar efektif dan menyenangkan. Kedua, lihai bekerja dengan orang lain dengan selalu memberi kredit dan kontribusi tim hingga menjadi para pemenang yang hebat, dapat bekerja dengan orang yang berselisih dan bersatu, dan mengurangi dosa-dosa atas nama kolaborasi serta lebih efektif dalam berdiskusi. Yang terakhir adalah bagaimana lihai menjalani pekerjaan sampai kehidupan sehari-hari, dengan membangun profil diri yang baik.
Morten T. Hansen pun mengemukakan konsep “kerjakan lebih sedikit, terobsesilah, dan berperformasilah.” Ia menyebut bagian ini “Lihai dengan pekerjaan sendiri”
Salah satu contoh nyata adalah Frank Lloyd Wright, yang mampu mendesain proyek dengan cermat dalam waktu singkat. Namun, hasil tersebut bukanlah tanpa proses panjang. Proyek-proyeknya tercipta melalui latihan berkelanjutan dan adanya tujuan serta gairah dalam pekerjaan. Wright sendiri menghabiskan bertahun-tahun untuk mencapai tingkat keterampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.rampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.
Frank Lloyd Wright (seated) and his student around him. Source: franklloydwright.org
Dengan desain yang eksploratif, Rem Koolhaas mengandalkan pendekatan yang terstruktur dan analitis, pemanfaatan teknologi, bentuk yang fleksibel dan modular, serta tujuan yang jelas sebagai amunisi dalam menghadapi proyek-proyeknya dengan cepat. Berbeda dengan Gaudí atau Zumthor yang cenderung terlalu terobsesi dengan pekerjaan mereka, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya gambar kerja keluar. Namun perlu diketahui bukan proses mereka yang lama, tetapi pendalaman dan kecerdasan yang mereka curahkan terhadap suatu konsep iterasi yang mereka percayai yang membuat karya mereka, menjadi magnum opus.
CCTV Headquarter programmatic diagram, Rem Koolhas, OMA. Source: Archdaily, OMADetail of the roof in the central nave of la Sagrada Familia. Source: SBA73 via Wikimedia Commons under CC BY-SA 2.0
Strategi yang keliru adalah bekerja dengan menghabiskan banyak tenaga dan waktu dengan tanpa kecerdasan. Padahal menyusun daftar prioritas baru hanya merupakan separuh dari suatu persamaan yang utuh. Prinsipnya adalah penyadaran bahwa dalam bekerja, kita harus mencurahkan segalanya untuk fokus dengan konsentrasi penuh pada apa yang telah dipilih berdasarkan prioritas, agar hasilnya semakin baik.
Proses untuk menyeleksi apa pun yang masuk atau diterima sangatlah penting. Oleh karena itu, mendokumentasikan, membagi, dan menjaga jam kerja dengan menggunakan timesheet menjadi prioritas, itu lah work smart.
Namun, bukan hanya pengaturan jam kerja yang perlu diperhatikan, komunikasi yang baik untuk mendelegasikan tugas juga menjadi tantangan tersendiri. Seorang pemimpin tim harus memastikan bahwa setiap anggota tim memahami tujuan dan mengutamakan kepentingan bersama, sehingga proses delegasi dapat berjalan efektif. Hal ini disebut Morgen T. Hansen sebagai bagian lihai bekerja dengan orang lain.
Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People juga menekankan pentingnya proaktif, menetapkan prioritas, dan memiliki tujuan yang jelas untuk mencapai efisiensi.
Dalam bekerja dengan orang lain, sikap profesional dan kemampuan untuk bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan mereka yang mungkin dianggap sebagai musuh, sangat diperlukan. Mengurangi ego, menghindari konflik yang mengatasnamakan kolaborasi, serta fokus pada produktivitas dan efektivitas adalah langkah-langkah penting dalam mencapai hasil yang maksimal.
Menurut Morten T. Hansen, tujuan pekerjaan haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Meskipun seseorang tahu apa tujuannya, terkadang ia tidak merasa bergairah atau tidak merasa sesuai dengan apa yang diinginkan. Ia menyebut bagian yang sehari-hari itu “Lihai bekerja dengan orang lain”
Praktik Kunci yang Memengaruhi Keseimbangan Keja-Kehidupan. Source: Morten T. Hansen, Great at Work
Hansen mengidentifikasi empat sumber gairah kerja yang penting, yaitu intrinsik, kreatif, perkembangan, dan sosial. Menurutnya, gairah ini tidak hanya mendukung keberhasilan dalam pekerjaan, tetapi juga membantu menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan citra yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya, transparansi informasi, pengetahuan, dan kesadaran untuk memahami psikologi serta posisi tim, vendor, dan klien menjadi hal yang krusial. Mengurangi ego, lebih banyak mendengarkan dengan empati, dan melayani dengan sepenuh hati adalah langkah-langkah yang dapat memperkuat hubungan kerja. Dengan pendekatan ini, arsitektur bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan juga jalan hidup yang dapat memenuhi isi hati. Dari sini work heart baru dimulai.
Bagi mahasiswa arsitektur, bergabung dalam kegiatan kemahasiswaan sangatlah penting. Ini merupakan kesempatan untuk mulai melatih diri dalam bekerja tanpa pamrih dan melayani tanpa mengharapkan imbalan. Pekerjaan di bidang arsitektur memang erat kaitannya dengan semangat bekerja tanpa pamrih, yaitu memenuhi kebutuhan klien tanpa menuntut bayaran langsung. Dari sikap tersebut, kepercayaan dan hubungan jangka panjang akan terjalin, dan pada akhirnya, hasil kerja tersebut akan dihargai dengan pantas.
DOT Workshop, RAW Architecture, and OMAH Library Team 2024. Soruce: RAW Architecture
Kemampuan literasi (membaca, menulis, dan berpikir kritis) sastra di dalam arsitektur seringkali dihubungkan dengan kemampuan mengatasi tantangan hidup. Mulai dari memahami situasi dalam pemecahan masalah, menganalisis kegagalan, hingga bangkit dari kegagalan tersebut. sebuah tulisan dari Realrich Sjarief + Jocelyn Emilia.
Ernest Hemingway Writing at Campsite in Kenya. Source: L’Isola D’Oro (CREATIVE COMMONS)
Ernest Hemingway menulis “Kehidupan menghancurkan kita semua, tetapi beberapa di antara kita menjadi lebih kuat di tempat-tempat yang hancur.” Realitas kehidupan nyatanya memang penuh dengan cobaan dan penderitaan. Tidak ada seorang pun yang luput dari luka dan kegagalan, tetapi yang membedakan adalah bagaimana respon dari orang tersebut.
Hemingway sendiri juga mengelaborasi metode Iceberg. Seperti namanya, metode Iceberg adalah analogi gunung es yang hanya menunjukkan sebagian kecil dari dirinya ke permukaannya. Bagaimana hanya sebagian kecil informasi yang ditampilkan secara eksplisit, sementara sebagian besar makna atau konteks dibiarkan tersirat untuk disimpulkan. Teknik ini membuat tulisannya menjadi lebih efektif dalam penyampaian, namun juga interpretatif. Tulisannya tidak literal, namun sarat akan puisi.
Sebagai gambaran contoh tulisan dengan metode Iceberg, “Menara kaca itu berdiri tegak, memantulkan langit biru. Di dalamnya, orang-orang bergerak seperti bayangan, sibuk dengan rutinitas mereka. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti monolit yang tak tergoyahkan, tetapi jika diamati lebih dekat, retakan-retakan halus terlihat di permukaannya.”
Sedangkan tulisan ini tidak memakai metode Iceberg yang teknis, yang saya sering sebut sebagai tulisan mati rasa, “Menara kaca ini dirancang oleh arsitek terkenal, John Smith, dan selesai dibangun pada tahun 2010. Bangunan ini memiliki 50 lantai, dengan total tinggi 200 meter. Fasadnya terbuat dari kaca tempered yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Di dalamnya, terdapat kantor-kantor perusahaan multinasional, restoran, dan pusat kebugaran. Bangunan ini telah memenangkan beberapa penghargaan desain arsitektur.”
Pada contoh tulisan dengan metode Iceberg, deskripsi bangunan sangat sederhana—hanya menyebutkan bentuk, material, dan kesan visualnya. Namun, ada petunjuk tersirat tentang kehidupan di dalamnya, kontras antara kekuatan luar dan kerapuhan dalam, serta mungkin simbolisme tentang ketidaksempurnaan yang tersembunyi. Pembaca diajak untuk mengisi kekosongan makna tersebut dengan interpretasinya sendiri.
Keterampilan Hemingway diasah melalui kombinasi pengalaman praktis, belajar mandiri, dan pengaruh ketika menjadi pengemudi ambulans selama Perang Dunia I (1918) saat ia baru berusia 18 tahun. Pengalamannya menjadi supir ambulans memberinya banyak pelajaran tentang penderitaan, keberanian, dan kekejaman perang. Pengalaman traumatis ini membuka mata Hemingway terhadap sisi gelap kemanusiaan, namun juga mengajarkan tentang ketahanan, keberanian, dan kehormatan.
Setelah perang, ia bergabung dengan komunitas sastra di Paris pada 1920-an. Di sinilah Hemingway menempa dan mengasah gaya penulisannya yang khas, yang juga dipengaruhi oleh panduan gaya surat kabar The Kansas City Star, yang menekankan kalimat pendek, bahasa Inggris yang kuat, dan menghindari kata-kata yang tidak perlu, prinsip-prinsip ini yang membentuk gaya minimalisnya di kemudian hari. “Pelatihan” sejati Hemingway datang dari membaca dengan rakus dan pengalaman hidupnya.
Hemingway at Shakespeare and Company in the 1920s (Paris). Source: Alamy
Seperti logam yang ditempa api, manusia yang menghadapi kesulitan dengan keberanian dan ketahanan akan menjadi lebih kuat di titik-titik di mana mereka pernah jatuh. Kita bisa belajar dari Hemingway, di dalam alam kehancuran, ada peluang untuk tumbuh, belajar, dan menjadi pribadi yang lebih tangguh. Kuncinya adalah bagaimana kita memilih untuk menghadapi kehidupan-apakah kita akan menyerah, atau menjadikan luka sebagai kekuatan baru untuk melangkah maju.
Novel The Old Man and the Sea karya Hemingway juga digunakan untuk mengajarkan keterampilan membaca, analisis teks, dan penulisan kepada muridnya. Dengan mengangkat tema-tema universal yang tidak intimidatif seperti keberanian, cinta, dan perjuangan, novel ini menarik banyak minat publik. Gaya penulisannya yang cenderung santai menjadikan kisahnya dekat dengan pembaca, dan perlahan meningkatkan kemampuan literasi publik.
Novel The Old Man and The Sea (original cover)
Teman baik kami Apurva Bose, ia adalah seorang jurnalis arsitektur, kurator, editor, dan pengajar di India. Dalam bukunya Architectural Voices of India (2017), ia mewawancarai total 19 orang, dan ia menggali data, fakta, serta realitas dengan sangat baik. Begitu juga dengan karya editorialnya dalam Writing and Literature untuk Architecture Asia. ia menyajikan kumpulan tulisan dari 5 narasumber yang berasal dari latar belakang berbeda-beda di arsitektur.
Book Presentation, OMAH Library, Jakarta; 18th July 2018. Source: OMAH Library19 architects in the Architecture Voices of India. Source: https://www.apurvabose.com/book/
Apurva begitu giat mengkampanyekan pentingnya penulisan arsitektur di India. Bahkan setelah tulisannya selesai, ia terus menjaga komunikasi dengan narasumber dan melatih anak-anak muda supaya bisa menulis. Melalui Apurva, sastra dalam arsitektur menjadi lebih inklusif, sehingga lebih banyak orang membaca dan menghargai karya tulis, hingga karyanya diterjemahkan di berbagai bahasa di seluruh dunia.
Bagaimana sastra arsitektur bukan hanya tentang mendeskripsikan bangunan atau ruang berdasarkan fakta yang ada. Arsitektur juga merupakan sebuah ruang untuk mengeksplorasi makna-makna yang lebih dalam yang terkandung dalam praktik, sejarah, dan konteks sosial budaya. Kami belajar banyak dari langkah hidup dan tulisannya.
Salah satu narasumber dari Writing and Literature untuk Architecture Asia, Sumita Singha, turut mengangkat masalah bias dalam penerimaan arsitektur India oleh dunia Barat— bagaimana selama ini narasi yang disampaikan kepada dunia tidak tertangkap dengan baik sehingga seharusnya narasi penulisan bisa mengangkat inti yang lebih substansial.
Narasumber lainnya, Chatterjee, juga membicarakan bagaimana pentingnya sastra dalam kurikulum pendidikan arsitektur untuk menggali makna membentuk ruang, bangunan, dan bahkan cara kita mendesain. Penulisan bukan hanya sebuah refleksi pasif dari arsitektur, tetapi sebuah kekuatan aktif yang membentuk budaya, sosial, dan intelektual kita.
Dalam pengertian ini, arsitektur juga bisa dilihat dari metode Iceberg tadi, di mana banyak elemen penting seperti nilai-nilai budaya, filosofi desain, dan konteks sosial tersembunyi di bawah permukaan bangunan itu sendiri. Dengan penulisan yang tepat, kita dapat lebih mudah memahami makna-makna tersebut dan memberi interpretasi lebih dalam tentang apa yang membentuk arsitektur kita. Hal tersebut memperkaya, memperbanyak variasi dan mempertajam kemampuan berpikir kritis dengan kreatif.
Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana seorang arsitek bisa melihat metode melalui tahapan waktu dan observasi di lapangan secara menerus. Dalam refleksi singkat kami, seringkali saat menjalani proyek arsitektur, studio kami melakukan proses detailing yang membuat arsitektur bicara dengan skala yang kecil. Proses detailing ini memakan waktu yang tidak sebentar, dan merupakan cerminan jam terbang yang panjang sekaligus proses transformasi diri. Apalagi jika proyek dikerjakan dalam waktu tidak sebentar karena biaya hanya bisa dikucurkan secara bertahap.
Kami ingat ada Carlo Scarpa dari Venesia yang senantiasa menampilkan elemen-elemen arsitektur yang puitis, artistik, dan memukau.
Sepanjang karirnya, Scarpa banyak mengerjakan proyek renovasi. Sentuhannya memberikan kehidupan baru yang begitu signifikan pada bangunan lama. Detail-detailnya demikian artikulatif dengan teknik repetisi. Orang yang melihatnya jadi auto bertanya: “Bagaimana ini bisa terbangun? Pasti butuh waktu yang lama.”
Rekam jejak Scarpa menunjukkan dua kecenderungan. Mayoritas proyeknya, terutama di rentang 1930-1960an justru dikerjakan dalam waktu relatif normal, rentang 1-5 tahun. Namun, karya-karya representatifnya yang dikerjakan di 2 dekade terakhir hidupnya memang punya timeline yang cukup ekstensif. Renovasi Castelvecchio Museum memakan waktu 14 tahun. Sementara, Brion Tomb yang menjadi karya terakhirnya sebelum wafat, selesai dalam waktu 10 tahun.
Kalau kita bicara proyek dengan skala sebesar Guggenheim Museum Bilbao karya Frank Gehry yang kita bahas terakhir kali, mungkin waktu sepanjang itu terdengar biasa saja (Gehry bahkan bisa menyelesaikan proyek seluas 24.000 m2 ini dalam 6 tahun saja). Namun, dalam konteks Scarpa, kita bicara proyek dengan luasan antara 2.000-7.000 m2 saja. Ini semakin menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana proyek-proyek tersebut dikerjakan begitu lama, ketika umumnya arsitek selalu kejar-kejaran dengan waktu?”
Pada dasarnya, sebelum benar-benar sampai di titik “selesai”, arsitek tidak pernah benar-benar menggenggam kontrol terhadap durasi pengerjaan proyek. Sekuat apa pun kontrol internal dilakukan, akan selalu ada hal tak terduga dari luar yang membuat pengerjaannya molor. Namun, bagaimana dengan Scarpa sendiri?
Arsitek kelahiran 1906 ini punya metode desain yang tidak hanya terpusat di gambar-gambar kerja, tetapi juga observasi dan pengambilan keputusan di lapangan bersama tukang dan seniman yang menjadi kolaboratornya. Proses perancangannya tidak linier, tetapi terjadi bolak-balik, menghasilkan berlapis-lapis gambar revisi yang menunjukkan upaya bertahap Scarpa untuk memahami apa yang diinginkan desain dan konteks yang mengelilinginya. Scarpa pernah bilang ia harus “melihat” supaya bisa paham, yang artinya proses konstruksi menjadi dialog antara konsep dan realita, bukan semata perlombaan menuju deadline.
Di Querini Stampalia Foundation misalnya, bangunan dari tahun 1869 ini memerlukan renovasi karena lantai dasarnya sering kebanjiran air kanal Venesia. Alih-alih memikirkan bagaimana menghalau air masuk, dalam renovasi di tahun 1961-1963 Scarpa membuat semacam catwalk yang memisahkan entrance dengan aula yang membuatnya seakan seperti dermaga ketika air sedang naik.
Scarpa juga membuat sistem kanal mengikuti dinding-dinding bangunan yang memungkinkan air surut dengan sendirinya. Untuk mencapai ini Scarpa harus mengamati langsung bagaimana air bergerak dan bereksperimen dengan desain kanal untuk mendapatkan leveling air yang tepat. Dan ini membutuhkan waktu serta dedikasi.
Aspek sejarah menambah tantangan proyek-proyek Scarpa yang banyak berupa renovasi bangunan historis. Castelvecchio Museum misalnya (1956–1975), bangunan aslinya sudah berdiri sejak abad ke-14. Direncanakan untuk pameran karya seni dari era medieval, renaisans, dan modern, museum ini membutuhkan sentuhan baru yang sekaligus mampu menghighlight sisi historisnya.
Selain melakukan rekonstruksi pada bagian museum yang terdampak PD-II, Scarpa juga mendesain jalur, tangga, dan jembatan yang menghubungkan berbagai massa di dalamnya. Ia membutuhkan waktu bahkan untuk “sekadar” menemukan perpaduan komposisi beton dan batu medieval yang cocok, atau menentukan peletakan patung-patung koleksi yang pas.
Sensitifitas Scarpa dalam meramu komposisinya banyak dipengaruhi oleh kecintaannya pada sastra dan prosa. Ia melihat desainnya dalam bahasa yang puitis. Bagi Scarpa, setiap elemen seakan bisa berbicara, dan ia mencoba mendengarkan apa yang masing-masing mereka inginkan.
Cara pandang ini mempengaruhi gaya komunikasi Scarpa dengan para tukang dan kolaboratornya. Ia seringkali mendeskripsikan desain atau material dengan ekspresi yang penuh kiasan. Misalnya, ketika menjelaskan tekstur beton untuk tangga baru di Castelvecchio Museum, ia menyebutnya “the breath of stone” atau “a memory caught in the grain”. Tukangnya pun keheranan dan nyeletuk, “Ini orang mau nyetak beton atau nulis puisi, sih?”
Gemas karena idenya tak kunjung tersampaikan, Scarpa pun mengambil sekop dan mencoba membuat adonan betonnya sendiri. Namun, tampaknya ia memang ditakdirkan menjadi konduktor sahaja, adonan buatannya menggumpal dan proporsinya aneh. Tukangnya pun nyengir, “Cukup, Maestro. Anda gambar, kami yang bangun—kasih tahu feelnya seperti apa, jangan cara nyampurnya.” Giliran Scarpa yang nyengir karena si tukang akhirnya mengerti.
Ada kalanya tukang-tukang Scarpa ikut bermain-main dengan ekspresi puitisnya. Saat menjelaskan sebuah sambungan di proyek Brion Tomb, Scarpa menyebutnya “jabat tangan dari dua material.” Lalu tukang kayunya membalas, “Semoga mereka tidak bertengkar terlalu keras saat hujan,” yang kemudian sukses menjadi bahan candaan di proyek.
Pembawaan Scarpa yang ringan dan humoris seperti menjadi penyeimbang terhadap ekspresinya yang imajinatif, dan barangkali menjadi oase tersendiri di tengah pergolakan yang terjadi sepanjang 1960-1970-an di Italia.
Saat baru memulai karir sebagai desainer di era 1930-an, Scarpa meniti langkah-langkah kecil di tengah rezim fasisme Mussolini. Karirnya baru naik setelah rezim berganti dan PD-II usai. Pemerintah Italia saat itu punya semangat untuk menebus ketertinggalan budaya yang terjadi 2 dekade sebelumnya. Dukungan pemerintah dan kemajuan ekonomi di masa itu nampaknya menjelaskan kelancaran proyek-proyek Scarpa yang didominasi renovasi museum/galeri, setidaknya hingga awal 1960-an.
Sayangnya, kemajuan ekonomi Italia ternyata menyebabkan kecemburuan di beberapa kalangan. Di politik, kubu kanan dan kiri juga saling berebut kekuasaan. Teror dan kekerasan terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Arsitektur pun tidak menjadi perhatian utama saat itu. Ini menjelaskan tersendatnya proyek Castelvecchio Museum dan juga Brion Tomb (1968-1978) yang menjadi magnum opus Scarpa.
Proyek pemakaman untuk keluarga Brion ini terletak di pedesaan Altivole, tidak jauh dari Asolo, kota kecil tempat Scarpa menepi setelah menjalani drama gugatan praktik tanpa lisensi di Venesia. Brion Tomb menjadi kesempatan langka bagi Scarpa yang terbiasa dengan proyek renovasi untuk mendesain segalanya from scratch.
Di tempat terpencil ini, jauh dari pusat pergolakan, Scarpa bersama tukang dan seniman kolaboratornya “diam-diam” mencurahkan tenaga dan pengalaman puluhan tahun untuk mengkonstruksi ruang yang begitu puitis dalam percakapan bahasa beton, marmer, logam, dan kaca yang bercerita tentang kematian sekaligus selebrasi kehidupan.
Meski terkendala situasi sosio-ekonomi-politik yang tidak stabil, Keluarga Brion tetap percaya dengan pengalaman dan visi artistik Scarpa sehingga tetap mendampingi hingga akhir. Brion Tomb dinyatakan selesai di 1978, sekitar 10 tahun sejak pertama kali dirancang. Tak berselang lama, Scarpa meninggal dunia saat berkunjung ke Jepang. Jasadnya ikut dimakamkan di Brion Tomb bersama istrinya Nini Lazzari, di bawah batu nisan yang dirancang oleh putranya juga menjadi desainer, Tobia Scarpa.
Dinamika perancangan Scarpa menunjukkan banyaknya faktor yang mempengaruhi durasi pengerjaan sebuah proyek. Visi arsitek semata belum tentu cukup untuk mengawal pembangunan hingga akhir, perlu dukungan ekosistem yang disambut dengan komitmen untuk memberikan yang terbaik. Saat ekosistem sedang tidak berpihak, barangkali rekam jejak dan kesungguhan yang telah dipupuk selama ini akan mebuahkan kepercayaan pada klien, yang akan setia menemani dalam perjalanan yang panjang.
Adakah perjalanan proyek yang lebih lama lagi? Tentu. Megastruktur dari masa lalu seperti Piramida Mesir, Borobudur, Tembok Besar Tiongkok telah menorehkan sejarah yang lebih panjang lagi. Namun, di era ini kita punya keistimewaan menjadi saksi pembangunan karya arsitektur Sagrada Familia rancangan Antoni Gaudi yang setidaknya sudah berjalan selama 144 tahun dan masih terus dibangun. Bagaimana dinamikanya? Mungkin bisa jadi bahasan di lain waktu~
Melihat arsitek-arsitek dengan jam terbang tinggi, kita bisa belajar sebenarnya hal-hal yang substansial justru ada di luar studio sang arsitek atau metode desainnya. Hal yang substansial tersebut terkait klien, komunikasi, dan bagaimana memposisikan diri.
Refleksi ini membuahkan tulisan-tulisan, termasuk tulisan ini yang ditulis oleh kami, Realrich Sjarief + Hanifah Sausan. Dengan bingkai praktik Frank Gehry, Alvaro Siza, dan Enric Miralles, juga melihat perjuangan panjang studio kami melalui refleksi strategi-strategi mereka yang membuat kami belajar kembali.
Seperti Frank Gehry dengan metodenya, ia bisa menjanjikan kepastian biaya, mutu, dan waktu. Dengan senjata CATIAnya, kita bisa melihat bagaimana leway jam terbang mereka yang berdekade-dekade, mereka memposisikan diri agar bisa dipercaya dengan metode desain, bentuk, dan teknik eksekusi yang pembiayaannya ketat. Begitu pun Alvaro Siza yang melakukan kontrol desain yang ketat, meskipun apa dikata klien dan dinamika politik proyek publik yang berkata berbeda. Juga Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue yang perlu menelan pil pahit meledaknya biaya di luar kendali untuk mempertahankan bentuk, tetapi di saat yang bersamaan menemukan hasil yang berbeda di proyek pasar Santa Catarina. Metode satu seakan-akan tidak kompatibel dengan metode yang lain.
Selihai-lihainya kapabilitas seorang arsitek, ada begitu banyak kondisi yang tidak bisa dikontrol yang membuat arsitek menjadi jembatan komunikasi, persetujuan antar-kepentingan, menanggung resiko beban biaya, mutu, dan waktu dengan kuasa yang terbatas. Seorang mediator.
Frank Gehry. Source: AFP/Getty Images
Di tahun 1991, Frank Gehry mendapat komisi untuk dua proyek penting, Guggenheim Museum Bilbao dan Walt Disney Concert Hall. Namun, keduanya punya nasib pembangunan yang berbeda.
WALT DISNEY CONCERT HALL: FRANK GEHRY’S ORIGINAL SKETCH. Source: Google Arts & Culture
Di proyek Walt Disney Concert Hall, peran Gehry terhenti di fase perancangan. Para eksekutif skeptis dengan bagaimana Gehry dianggap tidak mampu sehingga desainnya dilempar ke arsitek lain untuk dieksekusi. Namun, ternyata mereka malah kebingungan bagaimana membangun desain Gehry yang melengkung-lengkung, sehingga proyek itu terhambat hampir 10 tahun.
Initial sketch of Guggenheim Museum Bilbao
Sementara, di Bilbao, sejak awal Gehry mendapat kepercayaan untuk merealisasikan desainnya. Gehry bereksperimen dengan berbagai software permodelan, salah satunya CATIA yang biasa digunakan untuk permodelan pesawat terbang.
Full 3d model of Gehry’s project using CATIA (Shelden, 2002)
Software CATIA memungkinkan Gehry dan timnya menggambarkan berbagai lekukan massa yang dinamis, sekaligus menunjukkan bagaimana desain bisa dibangun hingga sedetail gaya tekanan yang diterima tiap material sesuai sifat dan spesifikasinya. Dengan ini kalkulasi anggaran terdesain lebih akurat.
Ia butuh 2 tahun hingga mencapai titik optimal sebelum masuk ke fase konstruksi di 1993 dengan waktu 4 tahun dan biaya sesuai anggaran. Museum resmi dibuka pada 1997 dan sukses.
Guggenheim Museum Bilbao
Keberhasilan museum di Bilbao menumbuhkan kepercayaan pada stakeholder Walt Disney Concert Hall untuk “mengembalikan” proyek ini pada Gehry di tahun 1999. Dengan metode permodelan yang sama, concert hall ini berhasil dibangun sesuai perkiraan waktu serta biaya. Ketika resmi dibuka tahun 2003, proyek ini mengenalkan Gehry sebagai arsitek dengan bentuk unik, tepat waktu, tepat biaya.
Walt Disney Concert Hall
Sementara itu seorang Alvaro Siza, pada 1973 ditunjuk pemerintah Protugal untuk merancang perumahan rakyat Bouça bagi masyarakat ekonomi rendah yang mendiami kawasan kumuh nan padat di Kota Porto.
Alvaro Siza
Dalam proses perancangan, Siza banyak berkomunikasi dengan calon penghuni untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik, sekaligus untuk menghindari biaya renovasi di masa depan akibat penghuni tidak puas dengan desain yang ada.
Standar material yang baik pun tetap dijaga dengan pasangan batu bata lokal yang tahan cuaca dan api karena dinilai lebih murah dan lebih mudah dibangun ketimbang beton.
Meski lahannya terbatas, Siza ingin menghadirkan rumah yang cukup lapang, sehingga ia menumpuk dua rumah bertingkat menjadi struktur 4 lantai. Dengan ini ia bisa menambah luasan per unit tanpa mengurangi jumlah rumah yang dibangun dengan manusiawi.
Siza berhasil menyelesaikan tahap pertama sebanyak 58 unit dari total 131 unit yang direncanakan. Namun, pembangunan tahap kedua dihentikan oleh klien karena dinamika politik di Portugal.
Bouça Housing Complex, Final Phase.
Baru 30 tahun kemudian, pemerintah Portugal berinisasi untuk menyelesaikan perumahan Bouça. Alvaro Siza diundang kembali menyelesaikan tantangan masa kini dengan efisiensi energi. Pada 2006, akhirnya kita bisa melihat perumahan ini selesai dibangun dalam rentang waktu lebih dari 3 dekade.
Yang ketiga adalah arsitek Spanyol, Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue (EMBT) yang menghadapi dua realitas berbeda di tahun 1997-2005. Mereka sukses menjaga anggaran di Pasar Santa Caterina, tetapi di saat yang sama mengalami dilema karena pembengkakan dana di proyek Gedung Parlemen Scotlandia.
The Old Santa Caterina Market.
Di Pasar Santa Caterina, EMBT melakukan renovasi terhadap bangunan pasar yang sudah berdiri sejak 1840-an. Seperti Siza, mereka berdialog dengan para pedagang dan pengguna untuk memastikan desain yang baru bisa membentuk harmoni dengan bangunan lama dan mendukung kegiatan yang selama ini sudah berjalan di sana, sembari menjaga anggaran tetap ideal.
The New Santa Caterina Market. Santa Caterina Market, interior.
Desain akhirnya memanfaatkan kembali fasad asli pasar, ditambah struktur atap parabolis yang ditopang kolom beton dan baja serta rangka kayu. Kenaikan atap yang signifikan memungkinkan cahaya alami masuk yang menghemat energi dengan 325 ribu tegel keramik lokal berwarna-warni. Renovasi dilakukan secara cerdas dalam pentahapan sepanjang 2001-2004. Pada 2005, pasar ini akhirnya bisa selesai dan sukses.
Berikut adalah video kunjungan kami ke sana yang diedit oleh Lu’luil Ma’nun: klik di sini. https://youtu.be/Jw6893ZyBM4
Sedangkan, situasi yang kontras terjadi di Gedung Parlemen Scotlandia yang dirancang dan dibangun di masa yang sama. Dana membengkak 10 kali lipat karena visi yang terlalu ambisius untuk menunjukkan identitas dan karakter alam Skotlandia pada desainnya. Sementara, hal ini tidak dibarengi komunikasi efektif dengan klien.
Ketiga contoh dinamika ini menggambarkan bagaimana perencanaan yang matang dan komunikasi yang efektif menjadi kunci optimalisasi BMW: biaya, mutu, dan waktu dari sebuah proyek. Akan tetapi, arsitek perlu selalu terbuka dengan berbagai kemungkinan, juga perlu menyadari keterbatasan kondisi sekitarnya: sejauh mana seorang arsitek bisa mengontrol, atau kapan saatnya memposisikan diri dengan komunikasi yang sehat. Dinamika waktu membuat sang arsitek perlu sabar, rendah hati, dan terus bisa berkarya, meski proyeknya tidak berjalan mulus, ataupun berhenti.
Siapa tahu beberapa dekade kemudian, nasib berkata berbeda. Persis seperti kata pak Yuswadi Saliya, arsitek ada di gerbong belakang.
Our work, Lumintu House, is featured in Archdaily. It’s huge effort by clients and the team involved in these continous years, refining the crafts, tons of itterations, hard work by everybody.
This project has a unique way to test methods to reduce the temperature by shading and air ventilation with modification to cool fresh air. Our design team also carries out the thermal simulation effort by providing a responsive form, increasing wind speed, and reducing temperature. The fins outside are extended as a 3.5 m canopy on the ground floor, providing a shaded space similar to sitting under a tree. This design also protects the surrounding plants from excessive sunlight and forms a soft, seamless transition. In the middle of the house, we design active fan and wind tunnel to lower humidity provide air stacking effect inside the house. Lumintu House also has a rooftop garden to add insulation and provide biodiversity on site.
To create a bioclimatic architecture is not easy, involving the team, acceptance from the client, and testing again in post-construction by our team, so we can reflect on being better for the next journey.
Thank you, @archdaily and @miwanegoro as the ArchDaily curator. We are honoured to be featured in archdaily.
Further Credit: Architect: Realrich Architecture Workshop | @realricharchitectureworkshop Lead Architects: Realrich Sjarief Structure Engineer: PT. Cipta Sukses Management Construction: DOT Workshop Design and Project Team: Realrich Sjarief, Alim Hanafi, Joana Agustin Support team: Rico Yohanes, Aqidon Noor Khafid, Sharfina Nur Dini, Sofiana Estiningtya, Pandu Nazarussadi Prefinishing design team: Erick, Septrio Effendi, Miftahuddin Nur Hidayat, Kanigara Ubazti Putra, Fadiah Nurannisa, Tirta Budiman, Larasati Ramadhina Interior Design: Realrich Architecture Workshop Landscape Design: Realrich Architecture Workshop Analytic Team: Alya Hasna Rizky Riandita, Aditya Kosman Photographer: @kiearch, @aryophramudhito, @luil_mn Videographer: @kiearch
Akhir-akhir ini, studio kami fokus pada hal-hal yang substansial dan penting. Hal ini bermula dari pengalaman menghadapi kritik, sanggahan, atau ajakan untuk berdiskusi dalam presentasi atau workshop yang kadang membuat kita merasa tidak percaya diri. Tidak jarang juga kata-kata yang dilontarkan mencerminkan frustrasi, kekesalan, dan keterbatasan dari pembicara, yang bisa menyebabkan perdebatan menjadi berputar-putar dan kehilangan substansi. Vibrasinya pun membuat orang lain ikut merasa kesal, frustasi, dan bingung.
Menurut Mark Twain, kata-kata yang bertujuan membuat orang lain merasa tidak berdaya justru akan membuat orang yang melawannya terlihat bodoh. Persepsi memang bervariasi, dan selama tidak melanggar norma dasar, tidak ada yang salah. Namun, inilah yang sering memicu kesalahpahaman dan konflik yang tidak disengaja.
Twain juga memperingatkan bahwa perbedaan pola berpikir yang ekstrem dapat memicu kekesalan, membuat diskusi menjadi terlalu personal, dan bahkan menumbuhkan dendam pada pihak yang kalah. Kutipan ini juga jadi sindiran bahwa orang yang tidak bijak sering kali berusaha memenangkan perdebatan bukan dengan logika atau fakta, tetapi dengan permainan kata-kata yang membuat lawan bicaranya terprovokasi.
Perbedaan pola berdebat dan berpikir ini sering kali menyebabkan kesalahpahaman yang mencerminkan ketidakselesaian pribadi antara pihak-pihak yang terlibat. Di sinilah gagasan substansial menjadi sangat penting: apa tujuan diskusi, apa solusi yang ditawarkan, dan variasi penyelesaian masalah yang ada? Jon Lang dalam bukunya Creating Architectural Theory membahas hal ini, serta apakah semua pihak dapat memahami pesan yang disampaikan dengan tepat. Semua itu harus disampaikan dengan mempertimbangkan batasan biaya, mutu, dan waktu yang dapat diterima bersama.
Ketika seseorang yang tenang, rasional, dan tidak emosional berhadapan dengan pihak yang emosional, maka ekosistem diskusi bisa menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman psikologi yang baik untuk membentuk diskusi yang sehat. Lang menyebutkan bahwa gagasan yang substansial adalah kunci untuk menghasilkan kualitas diskusi, sementara label dan status justru menjadi hambatan. Proses awal yang penting adalah memiliki pemimpin diskusi yang berkualitas—seseorang yang rendah hati, fokus pada tujuan bersama, dan mampu menanggalkan status atau label yang dimilikinya. Konsep ini juga dibahas oleh Robin Sharma dalam bukunya Leadership with No Title, yang menggambarkan pemimpin yang bijaksana, tegas, dan fleksibel dalam satu karakter yang sama.
Jika proses diskusi dua arah tidak terjadi, cara terbaik untuk menghadapi kekesalan atau kebodohan yang disebut Twain bukan dengan berdebat, tetapi dengan menjaga kebahagiaan diri sendiri. Tentunya, hal ini membutuhkan akal sehat, kasih sayang, dan sikap berpikiran positif.
Jika segala upaya telah dilakukan tetapi hasilnya masih belum optimal, tetaplah positif dan terus melangkah dengan bahagia. Jangan diam, ucapkan, “Maaf, saya tidak sempurna, mohon dimaafkan, terima kasih atas waktunya,” dan katakan dengan tegas, “I love you.” Mungkin Anda belum mengenal pemimpin diskusi yang tepat.
Untuk menjadi hebat, memilih tempat yang tepat untuk fokus, termasuk mendekatkan diri dengan pemimpin yang berkualitas, sangatlah penting. Di sinilah presentasi menjadi sarana untuk menyajikan mutu, membangun diskusi dua arah yang saling memperkaya, demi menciptakan proses desain yang sehat di dalam studio.
Ini adalah cerita soal satu dari 3 strategi desain yang mempertanyakan fenomena over-budget, Kritis, dan tumbuh dari diskusi sekitar kami, yang dikembangkan di Guha oleh Realrich Sjarief + Hanifah Sausan
Refleksi singkat dari beberapa cerita di sekitar kami: sebuah karya arsitektur milik kawan kami yang bisa sampai over-budget berkali-kali lipat misalnya, merupakan hal yang jadi catatan. Mungkin saja ada hal yang berubah karena program misal belum sempurna, belum dipikirkan matang, atau ada deviasi karena kurangnya ahli dalam eksekusi. Atau bisa saja itu merupakan strategi dari seorang arsitek untuk mempengaruhi klien, mendapatkan persetujuan.
Cerita terkenal tentang desain Fallingwater oleh Frank Lloyd Wright mengisahkan bagaimana ide proyek tersebut “mengalir begitu saja dari Wright” dalam ledakan inspirasi selama tiga jam. Dan memang ada benarnya.
Pada pagi hari tanggal 22 September 1935, Wright menerima panggilan telepon mendadak dari E.J. Kaufmann yang mengatakan bahwa ia akan tiba di Taliesin dalam beberapa jam dan ingin melihat perkembangan desain yang telah dibuat Wright.
“Wright berkata, ‘Tentu, kita akan bertemu nanti,’ padahal sebenarnya ia belum memiliki desain sama sekali,” kata Catherine Zipf, seorang penulis yang fokus pada karya-karya Wright. “Jadi Wright duduk bersama para murid di Taliesin dan mulai menggambar.”
Meskipun Wright memang membuat sketsa awal Fallingwater dalam tiga jam tersebut, ide-ide arsitektur radikal di baliknya sebenarnya telah berkembang dalam pikirannya selama berbulan-bulan.
Faktanya, menurut Zipf, Wright telah bereksperimen dengan prinsip-prinsip rekayasa di balik Fallingwater selama beberapa dekade. Beton, konstruksi kantilever, integrasi air yang mengalir, bahkan membangun di atas lokasi alami—semua konsep tersebut telah ia eksplorasi sejak tahun 1920-an, dan kini semuanya menyatu dalam sebuah proyek ambisius.
Ketika E.J. tiba di Taliesin, Wright menunjukkan sketsa yang baru saja dibuat lengkap dengan nama, “Fallingwater.”
E.J. berkata kepada Wright, “Saya kira Anda akan meletakkan rumah di dekat air terjun, bukan di atasnya.” Dan Wright menjawab, “E.J., saya ingin Anda hidup bersama air terjun, bukan hanya melihatnya, tetapi agar ia menjadi bagian integral dari hidup Anda.”
Fallingwater pun kini dianggap sebagai mahakarya arsitektur modern dan karya terbesar Frank Lloyd Wright. Namun, egonya yang besar dan sering kali mengabaikan saran dari para insinyur menyebabkan beberapa kompromi pada stabilitas struktural, yang akhirnya menjadi masalah serius di kemudian hari.
Struktur kantilevernya yang ikonik itu bermasalah. Balok beton utamanya mulai melengkung tak lama setelah selesai dibangun karena Wright mengabaikan rekomendasi dari para insinyur untuk memperkuat struktur dengan baja yang cukup. Akhirnya pada tahun 2000-an, bangunan ini memerlukan perbaikan besar untuk mencegah kegagalan struktural total, yang menghabiskan biaya jutaan dolar. Perawatan rutinnya juga memakan biaya yang tidak sedikit.
Selain itu, karena rumah dibangun di atas air terjun, tingkat kelembapan di dalam rumah sangat tinggi, menyebabkan masalah seperti jamur dan kerusakan material interior. Sekaligus Suara air terjun yang konstan bisa sangat bising, mengganggu kenyamanan penghuni.
Meskipun visualnya mengesankan, beberapa ruang di dalam rumah tergolong sempit, dengan langit-langit rendah yang bisa membuat beberapa orang merasa klaustrofobik. Beberapa ruangan memiliki pencahayaan alami yang terbatas karena desain overhang (atap yang menjorok keluar) yang ekstrem.
Meskipun ada berbagai kritik tersebut, Fallingwater tetap menjadi ikon desain arsitektur organik dan sering dipuji karena keberaniannya dalam mengintegrasikan alam dengan ruang hidup.
Dari sini kita bisa kembali belajar bahwa di balik bentuk yang mencengangkan, ego seorang arsitek seharusnya menjadi jembatannya untuk mempermudah kehidupan banyak orang. Dari kegagalan struktur, kelembapan, dan sulitnya akses, refleksi menjadi satu poin strategis yang penting dalam arsitektur. Selain pendekatan pertama di atas, ada dua strategi lain nanti kita bahas dalam utas selanjutnya.
Ada strategi lain juga yang erat berkaitan dengan resource, biaya, metode konstruksi, dan desain itu sendiri, sehingga luas bangunan menjadi efisien. Ini teknik yang digunakan Frank Gehry dalam Bilbao Museum, dan Alvaro Siza, Eduardo Souto de Moura dalam beberapa desainnya sehingga melahirkan arsitektur yang serba putih. Resources yang minimal dikerjakan dalam sekali jalan.
Pendekatan yang ketiga bisa dilihat dari arsitektur yang tumbuh dan dikerjakan dalam waktu tidak sebentar. Detail yang diulang dan dielaborasi dengan tangan-tangan terampil. Kadang-kadang tidak semua resource dimiliki di awal perencanaan. Di sinilah desainer Carlo Scarpa dengan Castelvecchio ataupun Gaudi dengan Sagrada Familia jadi satu contoh bagaimana seseorang yang bisa mendorong dengan segenap asa dan keringatnya. Budget itu tumbuh, desain itu tumbuh.
Peran arsitek dalam berkomunikasi jadi penting untuk menjembatani ekspektasi dan juga bersikap proaktif dalam memecahkan masalah. Setiap titik membutuhkan komunikasi yang matang, di situlah sikap diri untuk tidak hanya ahli, tapi memiliki tujuan yang fokus pada klien dan masalah proyek yang banyak sekali. Namun, bukan hanya komunikasi yang menjanjikan, tetapi juga ujian untuk terus fokus dan konsisten menjadi proaktif, menghindar dari menjadi arogan, dan mendefinisikan kesederhanaan dari rendah diri menjadi rendah hati. Ini 3 titik yang tidak perlu dipilih karena bisa saja ada arsitek yang menjalaninya sekaligus, meskipun bisa batuk-batuk karena namanya integrasi tidak akan mudah.
Di dalam praktek arsitektur, bagaimana memperlakukan klien dengan baik menentukan masa depan praktek arsitektur arsitek. Perlakuan seperti saudara, memperjuangkan klien seperti saudara, adalah komitmen yang membuat seseorang sukses. Berbahagialah apabila memiliki saudara / kawan yang selalu mendukung sepenuh hati, untuk meletakkan kepercayaannya ke tangan kita.
Brothering, hal yang jarang dibahas di dalam literatur arsitektur, justru dibahas di buku Robson tentang relasi Bawa brothers, sang adik Geoffrey dan sang kakak Bevis. Bevis menulis surat untuk kawan – kawannya, supaya menjaga adiknya yang baru pulang. selama puluhan tahun ia tidak menghabiskan waktu dengan adiknya, lalu Geoffrey harus pulang karena kesulitan ekonomi. Dan Bevis menunjukkan bisnis taman/ladang karet, sebagai kesehariannya.
Geoffrey melihat desain The Brief, kediaman Bevis, dan ia terinspirasi untuk tinggal di Sri Lanka dan belajar untuk membuat salah satu master piece desain Geoffrey di Lunagangga. Robin Maugham berceloteh “Brief is a Paradise: it is Shangri-la, a glimpse of Nirvana- call it what you will after you have been to see it. ” Saya berpikir bagaimana seseorang menulis sebuah tempat yang penuh aura misterius seperti itu, sampai – sampai kita yang membaca buku itu begitu ingin melihatnya.
Untungnya Robson dan Dominic menulis buku tentang mereka, dibalik lansekap Bawa ada hubungan yang lekat antara keduanya. Bukunya berjudul Bawa The Sri lanka Garden. Bevis kehilangan ayahnya di 1922, Bevis tinggi-besar, berbeda dengan Geoffrey yang lebih kurus dan rupawan, mereka berbeda umur 10 tahun. Geoffrey lebih banyak menghabiskan waktu di Eropa, berbeda dengan Bevis yang dalam satu saat terkena TBC yang membuat ia diminta berkeliling Cina, Jepang, Singapore, Hongkong.
Dalam pembicaraan dengan Channa Daswatte, ia berkata “I remember going to China. I remember vaguely, walking through dusty chinese squares, yellow walls, big doors. I don’t think at the time that one assessed these as such… but it all gave me feeling of pelasure, because one enjoyed the whole journey. I remember the Summer Palace and that great marble boat, pretending to be afloat… and lots of long corridors, galleries fo red laquer.”
Ini yang saya percaya, perjalanan ke timur, sangat penting untuk melihat bagaimana lansekap / arsitektur di cina dan banyak tempat di asia memiliki relasi dengan sejarah, materialitas, bentuk yang menurun kesejarahan yang kental masih turun dengan vista, simbol dengan skala besar dan kecil, semua ada di dalam satu area. Sebuah hal yang menjadi filosofi, yaitu “Embracing Things” dari situlah rasa, kesederhanaan yang elegan itu muncul dalam representasi kecantikan yang apa adanya.
Di balik debu, ada sejarah, ada pengaturan, ada desain, dan ada sebuah visi tentang kesederhanaan.Sedangkan Geoffrey menghabiskan waktu di eropa, setelah ia menyelesaikan studi hukumnya, ia pindah ke London dan tinggal bersama lingkaran dekatnya, Guy Strutt, yang adalah anak dari Lord Rayleigh yang memiliki banyak koneksi orang – orang kerajaan, dan properti seperti taman dan kastil.
Satu saat ia diajak oleh seorang arsitek untuk melihat karya arsitektur dari Andrea Palladio, dan taman Lombardy, dan Veneto. Perjalanan itu tidak terlupakan dan menjadi benih cintanya akan arsitektur Italia. Sebuah perjalanan ke barat di masa mudanya. Dua definisi barat dan timur ini sifatnya personal dan adalah sebuah perziarahan batin antara 4 kutub, kekuatan, kapital dan tradisi juga kerakyatan yang saling mengikat.
Bisnis Bevis di penjualan kayu karet tidak menguntungkan, kayu karet diproduksi dengan harga 9 cents – dan ia menjualnya sebesar 6 cents. Bevis bercerita ” I told my mother that if we cut down 200 trees we would lose less. Her mathematical capability was as shocking as my own and she said You seem to have a point there, but le’ts not go into it to deeply. Howver I agree that a view from you house is absolutely essential.”
Bertha menyetujui dan melihat bahwa bisnis yang lain harus dibuat, dan view rumah mereka begitu indah dengan lansekap yang besar. Lalu Ia melanjutkan bisnis dengan membuat peternakan, dan ayam, dan nursery tanaman, yang dijual ke kelas menengah di colombo. Ketika Geoffrey pulang dari Eropa itulah yang dilihatnya, yaitu Taman bernama The Brief.
Di Tahun 1950, bisnis peternakan mengalami kegagalan tapi bisnis nursery tanaman sukses, dan taman tersebut dikenal luas. dan banyak orang datang untuk melihat dan membeli , Bevis didapuk menjadi desainer taman yang terkenal, dan bersama kawannya ia memulai bisnis desain lansekap. menariknya justru Bevis tidak pernah diundang untuk mendesainkan taman untuk saudaranya, bahkan ada catatan oleh Robson bahwa Geoffrey menginstruksikan kliennya untuk tidak menyewa Bevis.
Lalu di tahun – tahun berikutnya Begitu banyak orang – orang berbakat datang, artis – artis Sri lanka, seperti artis batik : Ena de Silva, Desainer Barbara Sansoni, Artis, Laki senanayake, penari Chitrasena dan Vajra. Bevis adalah pusat dari lingkaran itu, dan Brief adalah tempat bertemu mereka. dalam akhir hidupnya ia mewariskan rumah dan tanah 7 acre ke kawan baiknya Dooland, dan membagi 22 acre tanah ke 5 orang pembantu terdekatnya.
Bevis belajar dari sekitarnya, hal ini menunjukkan bahwa seseorang desain belajar dari figur sekitar mereka, mereka mendengarkan cerita, dan mendapatkan banyak rencana dari sekitarnya. Dengan kerendahan hati, di sekitarnya terciptalah hub, pusat – pusat perlintasan informasi, energi, dan jiwa yang sampai sekarang bisa kita semua nikmati dalam turunan gaya arsitektur “Bali Style”.
Bevis memiliki empati yang besar dan baru kali ini saya melihatnya melalui jejak – jejaknya yang dikumpulkan oleh Robson dan Dominic. Sampai seseorang tuan tanah di bali, Waworuntu dan mendesain tanjung sari, satu butik hotel pertama di dunia, dimana kawan donald yang pernah ke brief menginspirasi mereka untuk membuat desain.
Robson menulis “The hotel incroporated many features inspired by friend’s experiments with Bevis at Brief-friezes of decorated terracotta tiles, paving slabs decorated with the imprints of leaves, open – air bathrooms. …. it was key.. of what came to be known as “Bali Style”, later in 1973, friend invited Geoffrey Bawa to Bali and commissioned him to design an estate of fifteen exclusive villas at Batu Jimbar.
Batu Jimbar adalah salah satu awal dari desain modern yang terintegrasi dengan elemen budaya yang menjadi cikal bakal bagaimana arsitektur bali bisa dipandang di dunia dengah desain hotel yang eksotik. Dari sebuah ziarah, diskusi, bisnis Bevis-Bertha- sampai ke Geoffrey, turunan itu kompleks namun mudah dipahami sebagai aksi cinta Bevis pada sekitarnya.
Termasuk cintanya pada sang adik. Ia menulis. “I have started my memoris and I have to bring my brother in to them at some stage… Though Geoffrey and I are dearly fond of each other we are strangers and … to avoid upsetting each other, … communicate through third parties… I remember seeing a book in which Geoffrey was described as one of the best architects in the world. Let me know all such detail but Don’t tell Geoffrey about my request. He knows, I don’t know how, that I am writing my life story. In writing about him I intend to leave out all his weaknesses, only telling about his extraordinary charisma, which enables him to get all he wants and desires.”
Sang kakak dengan segala otoritasnya sebagai kakak, di sini memberikan toleransinya, solidaritasnya yang bisa terjadi karena posisinya yang lebih tua. Tetapi untuk mengakui bahwa sang adik memiliki kredibilitas untuk dijaga, adalah aksi cinta. Dimana sekali saudara tetaplah saudara, dukung mendukung itu biasa, namun begitu abstraksinya adalah cinta yang sepenuh hati, dalam umur yang makin menua, segala kebaikan itu membuahkan kemumpunian, sebuah master piece, Magnum Opus yang bisa dilihat sampai sekarang, energi inspirasinya menyebar dimana – mana dalam karya, pemikiran, dan abstraksi yang jujur dan mendalam. Itulah magisnya arsitektur dengan hubungan personal, benci dan cinta menjadi sebuah perjuangan bersama.
Foto ini menunjukkan transformasi ruang yang berisi integrasi tanaman, jembatan, kolam, dan aktivitas orang-orang yang kadang-kadang makan bersama di tengah courtyard, ruang tengah kami. Jembatan di sini juga adalah sebuah transformasi dari susunan kayu-kayu yang dirangkai seperti perahu dan ditambatkan di dinding, dilengkapi dengan kombinasi tanaman-tanaman di sekitarnya. Di bagian ini, fasad bangunan yang menghadap ke selatan adalah fasad yang terdingin, tempat kami mendapatkan suhu dengan temperatur paling rendah, sebelum masuk ke ruangan-ruangan di alamnya. Courtyard ini juga dikelilingi oleh tiga pohon besar yang memang sudah ada sejak dahulu.
Di courtyard ini juga terdapat pecahan-pecahan batu yang yang tadinya tidak terpakai namun dirangkai satu persatu menjadi mozaik, serta tempat duduk-duduk untuk bersosialisasi. Sisi sebaliknya adalah sisi bangunan yang menghadap ke barat, di mana terdapat banyak kanopi yang dikelilingi tanaman, tangga yang juga berfungsi sebagai kanopi, dan beberapa komposisi yang menyatukan berat dan ringan. Keseluruhan komposisi membentuk bayangan supaya suhu bisa turun dan kelembapan bisa turun dengan penghawaan yang baik.
Improvisasi dan eksperimen dilakukan dalam ruangan ini ditujukan menggali kesiapan dalam berkarya, ada persiapan yang selalu diperhatikan untuk proyek ke depannya.
Foto kali ini bercerita tentang ruang di antara bagian yang kami sebut OMAH kaca dan ruang material. Ruangannya terdiri dari toilet yang dahulu dipakai oleh tukang-tukang, dan hingga saat ini tidak pernah dibongkar, tetapi terus-menerus diperbaiki. Tukang-tukang yang mengerjakan area ini juga terbagi menjadi tiga bagian: tukang yang menggali dan membuat toilet, tukang yang mengerjakan bambu, dan tukang yang mengerjakan bagian kaca.
Akses masuk yang lebih privat ke ruangan perpustakaan terbuat dari material kaca. Area ini sendiri diselimuti oleh tanaman di dinding-dindingnya untuk memberikan insulasi termal. Hal ini juga perlu dikombinasikan dengan kipas angin, sehingga kami menempatkan beberapa kipas angin untuk menjaga kelembaban tetap rendah. Area ini juga merupakan tempat di mana kastil bambu mulai dibangun, sehingga bangunan bambu ini selesai dengan dibangun dari atas ke bawah. Jadi area lantai kaca hingga ke bawah adalah sebagai hasil dari menggali sampai ke tanah keras dan batas air tanah.
Bagian ini juga sebenarnya adalah sebuah riset tentang bagaimana mengembangkan ruangan tanpa AC, namun tetap bisa menyentuh suhu yang nyaman. Karena tidak ada cahaya matahari di dalam ruangan, lantai kaca dipilih karena sifat dan mutunya yang stabil dan kekuatannya yang bisa menopang orang-orang yang beraktivitas di atasnya. Menuju ke lantai di bawahnya, lantai perforated dirancang untuk memungkinkan sirkulasi udara alami yang bisa melingkupi tiga lantai sekaligus. Di sini juga terdapat banyak testimonial yang tertulis di dinding. Ruangan ini menjadi sumber harapan bagi kami, ketika kami membutuhkan semangat, kami datang ke sini untuk melihat berbagai rangkaian kata-kata testimoni tersebut.
Arsitektur kami refleksikan sebagai begitu banyak harapan yang menjadi kata-kata. Inilah permulaan dari budaya tulisan ini, karena keinginan untuk mengapresiasi, di sini justru testimonial menjadi jalan bagi kami untuk tumbuh, membuka diri, berkontribusi, dan melangkah lagi.
We are deeply honored and grateful to have been selected as one of the “100 Architects of the Year” for 2024 by the Korean Institute of Architects (KIA). We are thankful to have had the opportunity to be part of the international invitational exhibition at the Suwon Convention Center in Korea, alongside 109 talented architects and 83 teams.
We extend our heartfelt thanks to Han Young Keun, the President of KIA, and Regina Gonthier, the President of the International Union of Architects (UIA), for their support and belief in our work.
We are truly humbled to have been part of the exhibition alongside so many talented architects from around the world. The incredible work on display was truly inspiring, and we are amazed by the creativity and innovation that continues to shape the field of architecture. This recognition is not just ours but a reflection of the collaboration and dedication of all those who contribute to the field of Indonesian architecture.
Our Guha the Guild project that featured in the exhibition reflect our ongoing commitment to creating bioclimatic architecture. A core principle of our work is to create comfortable, energy-efficient spaces by optimizing natural ventilation, allowing cool breezes to naturally regulate and lower the indoor temperatures. This approach not only minimizes energy consumption but also creates healthier and more sustainable environments that prioritize the natural rhythms of the climate.
As we look ahead, we are filled with hope for the future of architecture and the continued opportunities to learn, grow, and contribute to creating meaningful spaces for all.
Architectural photography by @aryophramudhito @luil_mn Product photography by @luil_mn
Foto ini menunjukkan ruang foyer yang adalah hasil dari banyak pertimbangan. Pertimbangan akan ruang yang tidak terlalu besar dengan lebar 2.5 meter, namun bisa memancing dialog. Ruangan ini seperti lorong yang bisa dipakai sebagai tempat duduk. Jika melihat ke atas, terdapat skylight seperti tumpang sari yang berundak-undak, juga skylight dengan bentuk lebih sederhana. Di bawah skylight sederhana itu, terdapat ruangan dengan perforated metal yang digunakan sebagai gudang yang terorganisir. Angin dan cahaya bisa masuk melalui perforated metal, dan juga bisa diinjak sebagai lantai.
Di ruangan ini, saya juga bertemu dengan banyak musisi yang datang secara tak terduga dan memainkan lagu di atas tuts piano. Piano di sini adalah angan-angan dari dulu, karena seringkali saya berkeliling ke toko-toko musik hanya untuk menjajal piano atau ikut kebaktian di gereja untuk bisa mendapatkan kesempatan bermain piano. Piano dan musik adalah sarana terapi, begitu juga dengan ruangan ini, yang dilengkapi dengan kucing hoki sebagai simbol pengharapan akan ekonomi yang baik serta pentingnya manusia untuk hidup sederhana dan berkontribusi dengan dirinya yang kecil di antara dunia yang terus menekan.
Ruangan yang tadinya adalah sebuah koridor, berubah menjadi atrium dan berkembang menjadi ruang penuh kenangan bagi kami, dan ini dihasilkan dari banyak hal-hal kecil. Kemudian memasuki ruangan yang kami sebut sebagai toko buku, terdapat buku-buku yang ditulis oleh begitu banyak kontributor, penulis, pengajar, dan praktisi. Terlihat pula plat beton tipis yang dirangkai dan dibuat oleh Pak Edi, seorang mandor dan supervisor lapangan yang merancang sendiri besinya, Ide kami adalah menggunakan meja sebagai balok dan menggantung besi dengan menempel di ujung kolom.
Keseluruhan komposisi itu dibingkai oleh jendela bulat sebagai vista ke arah kolam renang selebar 1,5 meter. Hal-hal ini memberikan bahasa yang tumbuh, perlahan – lahan tetapi pasti.
Di tanggal 31 Januari 2025 kemarin kami juga melepas adik kami, Gustaviano, yang sudah bersama kami selama satu tahun dari Universitas Bina Nusantara. Selama setahun ia sudah belajar dari berbagai divisi yang ada di guha. Ia berproses dan berkembang, menyentuh hati kami dengan kegigihan dan tekatnya. Dalam setiap pertemuan, kita pasti menjumpai perpisahan, dan kini masa internshipnya sudah selesai. Sampai jumpa di waktu terbaik ya, pribadi yang tangguh dan tulus, kami mendoakan masa depan terbaik yang gemilang @gustavianovict
Terima kasih untuk seluruh semangat dan energi positif yang sudah dibawakan ke kami. Kami mendoakan yang terbaik untuk selalu sukses dimanapun berada, melanjutkan perkuliahan kembali dengan lancar. Harapannya semua yang sudah di pelajari di studio bisa bermanfaat untuk ke depannya.
Kemarin, 31 Januari 2025, kami melepas 5 adik-adik internship kami, yang datang dari berbagai universitas di Indonesia. Mereka berproses dan menyentuh hati kami, dan kini, mereka sudah menyelesaikan masa internshipnya. Dalam setiap pertemuan, kita pasti akan menjumpai perpisahan menyentuh. Sampai jumpa dalam bentuk terbaik ya, pribadi yang tangguh, cerah, tulus sudah selayaknya memiliki akan masa depan yang gemilang, @juliaptrip dari Desain Interior @gunadarma.info, @maria.tsaa dari @architecturebinus, dan @raditaaaulia, @belleisnotyellow, dan @carina.h_ dari Arsitektur @univ.brawijaya. Doa kami untuk kesuksesan kalian.
Terima kasih untuk warna baru, semangat, dan energi positif yang sudah kalian bawa ke tengah – tengah kamj. Kami selalu berharap kalian, adik-adik kami bisa sukses di manapun kalian berada, melanjutkan perkuliahan kembali dengan lancar, dan harapannya apa yang sudah dipelajari di studio bisa berguna buat kalian ke depannya. Kalian akan selalu hadir di tengah – tengah kami.
Di balik usia kami yang tidak muda lagi, dan anak – anak, ponakan yang semakin ganteng dan cantik kami berkumpul satu kali satu tahun baru Cina. Sebuah tradisi ngumpul, makan, cerita yang saling menyemangati di keluarga kami. Banyak hal yang terjadi dalam satu tahun ini, pekerjaan, pelajaran, kenangan hubungan yang baik dengan orang lain dimulai dari hubungan baik dengan keluarga.
Kali ini kami berkumpul untuk mendoakan satu sama lain panjang umur, banyak rejeki, dan diberikan kesehatan tubuh yang bahagia. Hal ini jg menjadi doa yang tulus untuk sekitar.
Setiap tahun ama, engkong, emak mempersiapkan makanan, minuman, dan tempat untuk berkumpul. Hal – hal sederhana seperti waktu, kenangan kembali diulang – ulang. Dad pasti senang lihat anaknya berkumpul bersama juga dengan cucu, besan, dan keluarga besarnya. Terlebih lagi ini shio dad tahun ini shio ular. Jadi di sekitar kami yang baik terjadilah, dengan ketekunan, kepandaian, dan kerendahan hati yang diajarkan selalu oleh dad kami. Keturunan yang baik, perilaku yang baik, menjaga nama baik keluarga, itulah yang selalu dijunjung dad dengan rasa hormat terhadap orang lain.
Happy Chinese New Year teman – teman dan sahabat ! Semoga rejeki teman – teman, sahabat berlimpah juga karunia kesehatan dan peruntungan yang baik. Sukses selalu kami doakan.
Hari-hari di studio kami dipenuhi dengan orang-orang yang tulus belajar arsitektur dan memiliki kecintaan mendalam terhadap arsitektur. Di Guha, ditempat yang terlihat sunyi ini, pikiran kami selalu riuh dipenuhi dengan beragam aktivitas yang saling terhubung dimana pun kami berada, termasuk untuk Bang Faisol dari @arsitektur.ums yang menghabiskan hari terakhirnya kemarin bersama kami. Selamat menempuh dunia kampus kembali setelah belajar di Guha ya @fslyzd_. Kami doakan dirimu bisa tetap menjadi dirimu yang terbaik ❤️
Hari ini saya berulang tahun, ke 43. Umur yang saya syukuri karena bisa punya waktu foto bareng sama keluarga kecil kami. Laurensia yang selalu hadir untuk menyemangati dan menemani kesibukan. Hari ini juga kami sibuk sepanjang hari, rapat, lapangan, workshop-workshop desain. Akhirnya bisa pulang di rumah jam 17:00 untuk sedikit mengabadikan foto yang diambil oleh @luil_mn, yang punya talenta untuk mengambil momen – momen menyentuh hati, cukup foto ini kado ultah saya yang berkesan.
Kalau ada harapan di tahun 2025 ini, saya ingin kehidupan lebih bahagia untuk keluarga, studio, klien, masyarakat. Banyak penyadaran yang saya pelajari justru dari istri saya, supaya saya lebih sabar dan semangat. Doanya setiap hari ketika saya mau kerja ataupun anak – anak yang memeluk setiap kali saya pulang. Ada cerita dimana Heaven menyapa kakaknya dan meminta diajarin piano lagu Million Dream, padahal sebelumnya sulit berkomunikasi. Ataupun Miracle yang mengintip satu kakak di studio yang sedang main piano dan memberikan apresiasi bahwa ia suka akan permainannya. Kejujuran untuk memberikan apresiasi dan keinginan belajar yang tulus dari mereka membuat kami tersenyum.
Kami dikaruniai putra – putra yang baik dimana Heaven yang sudah bisa pose bareng Miracle menunjukkan pertumbuhannya yang bisa saya syukuri menjadi pribadi yang lebih terbuka.Ya Tuhan, Terima kasih ya yang sudah mengirimkan malaikat – malaikatnya menjadi keluarga, sahabat, dan inspirasi selamat ini dan di masa depan.
Hal – hal kecil itu kado terindah untuk ulang tahun saya kali ini akhirnya bisa foto bareng sekeluarga, Thank you ya lu buat foto2nya , @wiwidun dan @hendrick_tanu yang sudah sharing hari ini, juga guru-guru saya, kawan- kawan di raw, dot, omah, teman – sahabat, keluarga terkasih yang mendoakan.
This house is located on a plot measuring approximately 25 x 12 meters, and situated in Tangerang that still shaded with a microclimate that remains favorable, with daytime temperatures reaching around 29-30°C. The primary goal of this house design is to reduce the temperature by up to 3 degrees.
From the front view, the house features curves made of bamboo and brick, with railings that curve upwards, forming a consistent architectural language that unifies the entire structure.
The ground floor is appears to be elevated, allowing air to flow through creating a wind corridor that extends from the front of the house through to the backyard garden. This layout integrates the service and utility areas while enhancing the circulation of fresh air throughout the home.
The first floor consists of a communal space with a bedroom overlooking the swimming pool. This room is open and unpartitioned, separated only by dynamically shaped brick arches, which provide privacy for the residents on the first floor and create shading in the living room.
On the second floor, there is a balcony with overlapping elements that create a cooling light effect below. This balcony also offers space for the homeowners who enjoy gardening, allowing them to place plants on top. On the concrete slab of the second floor, openings have been created to allow a tree to grow. By bringing natural elements closer to the home, this provides positive psychological effects, like a “hugging tree,” fostering a harmonious relationship between the inhabitants and nature.
The top floor is equipped with photovoltaic solar panels, providing the home with a sustainable energy source and supporting the home’s overall environmental performance.
The performance language is a key aspect of our research in implementing bioclimatic architecture. It demonstrates that creating thermal comfort and functionality can be achieved through thoughtful and good design.
Di foto – foto ini, @kiearch mendokumentasikan sebuah momen yang merefleksikan banyak hal. Mulai dari rimbunnya pepohonan dan arsitekturnya yang tumbuh, juga udaranya yang semakin lama terasa semakin sejuk.
Di foto dan video tersebut, kami menjelaskan ruang luar – dalam yang terbuka, yang didesain supaya angin bertiup. Di dalam tanah ini, terdapat resapan yang besar untuk mencegah air tidak tergenang. Prinsip-prinsip dasar seperti ini tidak akan pernah bisa terkomunikasikan dengan baik tanpa jasa fotografer yang sangat baik. Itulah yang kami apresiasi dari karya fotografi ini.
Sebagai refleksi singkat, rahasia dari komposisi arsitektur dan tanaman adalah dari ayah dan ibu kami. Ayah insinyur teknik sipil, dan percaya kekuatan dasar, dan fungsional dari bangunan. Ibu hobi menanam tanaman, jadi setiap kali kami menanam tanaman, kami ingat betapa ibu sangat hobi menanam pot demi pot yang menjadikan rumahnya sangat hijau. Ia mengajarkan untuk memiliki tangan rajin yang membolehkan banyak tanaman itu tumbuh, dapat dilihat setiap hari, dirawat setiap hari, dan nantinya performanya pun berkembang. Lalu arsitektur bisa muncul belakangan untuk menopang tanaman-tanaman ini.
Buku tentang Geoffrey Bawa yang berjudul “Bawa: the Sri Lanka Gardens” menjelaskan bagaimana Bevis dan Geoffrey memulai karir sebagai tukang taman, dan mereka juga seringkali berdialog dengan ibunya. Profesi arsitek kadang sesederhana itu, mulai dari hal seperti tanaman-tanaman ini yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Hari ini tanggal 13 Januari adalah hari ulang tahun almarhum ayah kami, ia berpesan, “jagalah ibu”. Kami di keluarga merefleksikan, awal tahun baru 2025 ini membawa banyak harapan dan mimpi baru. Mari kita memulainya dengan menjaga keluarga kita masing-masing, terutama orang tua, pasangan, dan juga anak-anak kita.
Berbicara tentang bioclimatic architecture adalah berbicara tentang refleksi mendalam akan arsitektur yang dapat terus berinovasi dengan “less-using resources”, merespons iklim, dan merangkul budaya dari manusia yang menciptakan serta menghidupi ruang tersebut.
Seperti bangunan Guha yang kami rancang, simbol dari arsitektur bioclimatic adalah pertumbuhan. Guha yang tampak awal kering berubah menjadi hijau dipenuhi tanaman. Struktur rangka bidang-bidang yang saling menyambung membentuk komposisi utuh yang tumbuh secara organik. Arsitektur yang jauh dari kata selesai.
Pendekatan ini tujuan utamanya adalah untuk menurunkan suhu secara maksimal dan mendinginkan ruang dengan memanfaatkan elemen alam, sekaligus terus membuka diri terhadap fungsi-fungsi yang memberi efek terapi dalam desain. Ruang yang dihasilkan terasa hangat dan memeluk, seperti rumah lama yang membawa kita pada kenangan masa lalu. Namun, dalam kehangatan itu hadir semangat kebaruan, sebuah harmoni antara nostalgia dan masa depan.
Suatu hari, kami melihat anak-anak berlari riang di perpustakaan anak. Suara tawa mereka, permainan yang spontan, dan keakraban di antara teman-teman kecil itu membawa kami pada masa ketika kami bermain bebas di ruang-ruang seperti ini. Itu adalah momen sederhana, namun mengingatkan bahwa arsitektur memiliki peran besar yang tidak hanya menampung aktivitas, tetapi juga menciptakan ruang yang hidup, ruang yang menyatu dengan alam, budaya, dan memori.
Foto-foto ini diambil oleh Kie @kiearch, seorang fotografer yang sering disebut sama anak-anak studio, dan kami melihat kesabarannya dalam mengambil foto satu persatu. Ia menanyakan “apa konsepnya, mana lagi yang mau di ambil?” dan banyak pertanyaan lainnya. Dari hasil karyanya kami belajar tentang berkreasi melalui mendengarkan. Dan akhirnya muncullah karya fotografi yang menggambarkan dinamika Guha.
We are deeply grateful to IAI Jakarta for offering us the opportunity to participate in the valuable professional development program on Thursday, 9 January 2025, alongside respected architects such as @cosmasgozaliofficial and @tatengkd, who continue to inspire us with their expertise and vision.
We would also like to extend our heartfelt thanks to @farrizky for moderating the session, fostering meaningful discussions, and making this experience even more enriching. Being part of a community so dedicated to excellence and growth in the field of architecture is truly an honor.
Our heartfelt thanks goes to ACICIS for inviting Ar. Realrich Sjarief as a speaker in the discussion “Sustainability Design: Products, Branding, and Space” held at Atma Jaya University on Tuesday, January 14th, 2025. It was a great moment to engage with international students on how sustainability intersects with branding, products, and spatial design, and how we can continue to push boundaries in our practices.
Ar. Realrich Sjarief discussed about how Indonesia has so much inspiration to offer the world, with different places having their own unique characteristics. From architecture that responds to its environment to branding strategies that emphasize local values, everything demonstrates that sustainability is an approach that can be applied across various disciplines.
In this session, he also discussed the importance of communication skills, how sustainable ideas can be translated into impactful design, products, and branding. Interestingly, the students was not only from the field of architecture but also from various other disciplines, so we try to tell them that sustainability is a cross-disciplinary issue that requires collaboration. Through our project at Guha the Guild, we explored how a space can grow sustainably, not only in terms of materials but also by fostering engagement with craftsmen and achieving bioclimatic architecture through various experimentation and design analytics in the process.
Ar. Realrich Sjarief also spoke about a figure he greatly admires, Pak Eko Prawoto, who has taught many valuable lessons through the strong spirit of the village, how we need to learn from him about the power of humility and the deep meaning of life found in simplicity. The new Indonesian architecture should emerge from local wisdom and a sensitivity to nature.
During this experience, we had the opportunity to meet one of our interns, @itsgaric. It was a great moment for us to connect and get to know each other before he begins his learning journey at our office. We’re excited for what’s to come and hope to collaborate more with ACICIS @acicis.studyabroad in the future!
Ar. Realrich Sjarief was invited to the Road to ARCH:ID event on January 18th, 2025, at Wisma TOTO, Jakarta. We want to express our sincere gratitude to the organizing team of the Road to ARCH:ID 2025 Talk Series for bringing together such a diverse and inspiring group of architects. We were honored to share the stage with fellow architects @yanuarpf and @adi1710, whose contributions added immense value to the discussion also special thanks to the moderator @imeldaevasari for facilitating such an engaging and insightful conversation.
During the event, Ar. Realrich Sjarief discussed the concept of performative archipelago, a theme that resonates deeply with architecture firm’s approach in Indonesia; began by exploring the fundamentals of architectural education in Indonesia, dividing it into two main pillars: studio and theoretical classes. Before entering the university level, he highlighted the importance of early education, focusing on character development, psychology, and skill alongside scientific reasoning. The stages of cognitive development in education begin at age 2, where attachment is key, to age 2-7, when symbolic thinking emerges, followed by logical reasoning between 7-11, and scientific reasoning after age 11.
This scientific reasoning plays a significant role in shaping how we approach architecture and also how our firm is built on a scientific foundation, transitioning from an intuitive-based approach to one grounded in evidence and data. Looking to the future, we emphasized the importance of adaptability and resilience, aligning with economic trends and findings from the World Economic Forum. We also highlighted the need to nurture and build specific skills to address the industry’s evolving demands. Those skills are psychological skills, strategic skills, abstraction skills, integrative skills, practical skills, analytical skills, narrative skills, and branding skills.
Road to ARCH:ID is a platform to encourage meaningful conversations and exchange valuable insights within the architectural community. We hope the upcoming ARCH:ID 2025 @arch.id.indonesia will continue to contribute to architecture development and shape the future.
Ini sebagai refleksi singkat untuk saya yang sering bekerja terus yang kadang2 lupa perlu pengingat. Saat – saat kemarin bertemu sahabat jd jeda yang menyisakan banyak kenangan,
Belajar dari 4 hal yang dibagi Nita pada waktu jalan kaki menyambangi teman yang ternyata tetangga kami, ia bercerita tentang cerita dari Brian Dyson CEO Coca Cola. Cerita itu sangat berkesan dan akan saya ingat terus,
“Bayangkan hidup sebagai sebuah permainan seperti pemain sirkus di mana Anda menyulap lima bola di udara bernama pekerjaan, keluarga, teman, kesehatan, dan semangat.
Ketika Anda berusaha untuk menjaga semuanya tetap di udara, Anda segera menyadari bahwa pekerjaan itu adalah bola karet, dan jika Anda menjatuhkannya, ia akan memantul kembali. Namun empat bola lainnya, keluarga, kesehatan, teman, dan semangat terbuat dari kaca.
Jatuhkan salah satu dari mereka, dan bola akan lecet, tertanda, tergores, rusak, atau bahkan hancur, dan tidak akan pernah sama lagi.”
Thank you ya Nita untuk refleksinya dan perjalanan hidup yang luar biasa untuk terus kuat, juga ada Tisa, teman jalan2 ke zoo, cerita lucu2, keren, jenius tak terduga dan suaminya Andhie yang kepala ong and ong Indonesia, jg Ririe dan Acha yang super baik dan care sama teman-temannya dari dulu sampai sekarang dan kenal sama Dhisti jg , mereka orang yang rendah hati yang observant. Terakhir ada Aulia yang partner main musik dengan suaranya yang bagus, andalan singing telegram pada zamannya, suaminya Norman adalah satu role model yang mengajarkan saya banyak hal di arsitektur jg kawan serumah di Singapore.
Semua berkembang menjadi pribadi yang tidak akan terlupakan, akhir Desember ini menjadi refleksi untuk terus kuat, dan bersyukur akan kenangan dan pertemanan yang baik. Hari ini adalah hari penuh rasa syukur bisa mengingat persahabatan, kenangan. Hidup tidak mudah untuk kita. tapi masih bisa tertawa dan tersenyum. Banyak cerita yang jadi doa untuk ke depan, untuk selalu kuat dan bersyukur akan kenangan yang ada.
Located on Ciasem Street, this Platonic Bioclimatic Home is situated in 17 x 28 m land area surrounded by dense trees in South Jakarta. For this reason, we focused on a bioclimatic design principles that contributes to reducing the urban heat island effect while creating a sustainable oasis for the homeowners.
The concept of the house is to have a 4-sided design, with most of the private and public spaces oriented to face multiple sides. This allows indirect sunlight to reach the interior throughout the day, creating dynamic shadow patterns and air corridors that break up the mass of the building.
The west side of the building is remains solid for thermal comfort, while the east side features an artistic brise soleil wall that provides privacy and also functions as a sunlight blocker. This wall consists of about 40 patterns made of lightweight concrete block and has been refined through several experiments, concerning structure, strength, composition, and how the materiality is designed to ensure long-lasting durability.
On the south side, wooden-patterned lattices made of concrete are placed. These lattices create poetic spaces that highlight the grain of the wood and offering a timeless quality, akin to the durability of concrete. As homeowners enter from the ramp, they will experience a sequence of light-filled corridors that lead them through dynamic vistas.
The lower spaces are designed to be open, with the library and workspace located at the far end of the mass. On the first floor, an open family room is positioned, accessible via an exterior ramp. The access route curves around the side, and an open void allows light to penetrate from all four sides of the building. The second floor is designated as the bedroom zone, which also includes a shared gathering space. It is also designed with by considering the client’s domestic space needs, including communal areas for activities such as religious study, which can be held in various spaces and on different floors. The house is also designed with a zero-water runoff concept, utilizing recycled water to minimize its environmental impact.
design by #realricharchitectureworkshop photograph by @bacteria.archphotography
Terima kasih untuk seluruh rekan-rekan dan semua yang hadir dalam diskusi 8 jam di Ruang Guha Plato, yang gelap seperti lubang hitam. Kami duduk bersila, sejajar, dari pribadi menuju komunitas. Di sini saya mendapat kawan, teman berdiskusi, sehingga perjuangan terasa tidak sendirian. Dari topik abstraksi, tafsir, post-colonial, hingga utopia, dibahas dari berbagai sudut pandang oleh orang-orang yang mencurahkan hidupnya untuk arsitektur. Mereka yang hadir adalah orang-orang yang cinta pada pengetahuan, dan dari merekalah kami belajar tentang menjadi manusia pembelajar, penuh kasih sayang, bahwa masa depan adalah mimpi untuk membangun dan meneruskan tongkat estafet ke generasi muda.
Dari Mas Anas, kami belajar tafsir yang merdeka melalui mendengarkan. Dari Pak Ryadi, kami belajar kultur studio yang melihat kelemahan sebagai kekuatan. Pak Abidin mengajarkan kami bahwa tujuan post-colonial adalah membela yang lemah. Juga Gede yang mengajarkan bahwa isolasi adalah cara untuk keluhuran, perlu sikap kritis dan keberanian untuk membangun sistem yang terhubung secara global, hingga membentuk budaya luhur. Cahyo mengajarkan variasi pengajaran melalui rangka dan solid, memberi pilihan dalam membentuk karakter yang adaptif. Nanda mengingatkan kami bahwa identitas bukan hanya ideologi, tetapi juga strategi bermanuver. Jo Adiyanto mengajarkan pentingnya jejaring sejarah, keseimbangan kampung-kota, dan desa.
This PIK house is located on a compact plot of land in a residential area in Tangerang. This plot of land is facing southeast with measuring 10 x 20 meters. From the front, its exterior of this house is a combination of natural forms featuring wooden frames with flowing grass-like shapes arranged as if spreading from one side to the other.
The wavy frame in facade can be manually opened and closed using a simple hinge system that crafted by local craftsmen. Combination of brick and wood language reinforced with metal is also seen with the placement of brick arrangements. Those pattern become openings that aim brise soleil while maintaining natural ventilation.
This system used to reduce thermal heat while ensuring airflow into the living spaces. This strategy will also growing with the landscape that integrated between the exterior and interior connection. The placement of trees in front of the house mean to make a natural connection and act as a sun shading.
The lowest level or the ground floor is dedicated to the needs of a family gathering space, in the form of a living room and dining room. There is also a maids quarter area located on one side of this floor. The first floor features more private spaces including the master bedroom and two children’s room that connected with the same bathroom.
The second floor functions as a prayer room, and office room, which is used to interact with the outside world. The highest floor of this house is the rooftop area which is constructed with steel plates, serves as both a gathering space and an additional layer of insulation to maintain thermal comfort for the lower level. This strategy to ensures the house comfortable.
Currently, this house is still under construction. It continues progressing every day and gradually taking shape as it moves closer to completion.
This project is like our expedition on working in bigger scale, with existing structure, and public function room which has long history. our design begins with activating and renovating the facade and lobby, aim to create a optimised thermal comfort performance for Balai Kartini, integrated with the philosophy and functions of the convention center, gallery, auditorium, and restaurant within its 3,000m² space, planned in phases.
Balai Kartini is a cultural and historical reconstruction where it’s hot at the west side, and it lacks a storytelling of space. The design emphasizes understated beauty that emerges from interiority to architecture. In the interiority, the design proposes Kartini’s spirit and legacy through symbols, storytelling of traditional Nusantara patterns like weaving, ikat, and batik, which have become Indonesia’s heritage to the world. The project was launched with a strong commitment: to transform Balai Kartini into a home for the Kartini of the future.
In the outside, the vertical louvers on the building’s structure evoke the grandeur of Nusantara temple stupas, while also reducing the heat of the sunlight entering the main lobby. The result is a shadow cast onto the old floor, which has been revitalized and polished. The grain patterns in the floor remind us of a design rooted in history, that forms the foundation of Kartini’s struggle. Every design aspect was carefully considered for energy efficiency, cost, and maintenance.
This project illustrates process to document many hopes, reborn through tears and struggles. The spirit of Kartini, that touches the heart, inspires us to always spread goodness and provide a “home” for Indonesia’s future.
Ngumpar Bioclimatic house is located at the end of the street, with a land area of approximately 300 sqm. The 12 x 17 m layout was designed to create thermal performance and foster a natural atmosphere, creating a comfortable microclimate. Upon entering the building, the entrance access is set back through a foyer ramp, which is covered by a tropical garden, endemic trees, and bushes that serve as a way to provide thermal comfort. This setback strategy covers access to the building from the west side sun. It leads to a swimming pool that also cools the microclimate. The circulation then ended in a wooden deck through the main entrance of the living area on the 1st floor.
The first floor is a spacious main living area with a large void and skylights in the form of a ‘tumpang sari ‘, a traditional Javanese architectural element that allows for natural light penetration, inspired by a traditional joglo house, allowing sunlight to flood by side gaps. On this level, we can see a visual connection to the master bedroom in the void. This level also includes a shared workspace, private areas, and an atrium as a long foyer, linking the more prominent spaces with utility areas.
The second floor features a void that connects the master bedroom with the children’s rooms, while the upper level includes a gym and social spaces. The roof is designed to provide thermal insulation and air flow by tumpang sari skylight, wooden deck, and canopy, and is enhanced with greenery, providing insulation for the bedrooms below. This approach effectively lowers ambient temperatures by 3-5 degrees.
While on the ground floor, the service area and living area encircle a 2 central staircase, which acts as the house’s spine, featuring openings on its sides for natural light and airflow. The gap between the building and the neighbor’s house facilitates airflow and enhances natural light.
The house has an exploration of forms of opposing curves, creating an expansive feel despite the site’s limited size. This design also offers a flowing aesthetic. The recurring curves extend to the finer details of the home, including the curved railings made from a blend of iron and local ulin wood, as well as arched doorways made by local craftsmen.
design by #realricharchitectureworkshop photograph by @sonnysandjaya
The Morahai House is located on a 17.5 x 24.5 meter plot of land at the corner of Jalan Damai II, South Jakarta, directly adjacent to RPTRA Taman Sawo at the north. The northern, eastern, and southern sides of the house are surrounded by community activities and street vendors, while the western side is quieter, bordered by shophouse and formal residences.
The goal of designing this house was to reduce the indoor temperature to 28°C through a bioclimatic approach. This involves strategically placing trees and plants both inside and outside the perimeter to create a natural cooling effect. Additionally, we aimed to achieve a PM2.5 concentration of under 30 µg/m³ to ensure the house remains free from air pollution.
The exploration of combining curved and rectangular shapes in the building’s form and facade aims to facilitate healthy airflow and natural light into the interior spaces. The design features carefully selected materials that are cost-effective yet still provide a unique character. We used a mix of materials, including cement plaster and ulin wood. The western side of the house is designed to be more enclosed, complemented by lush trees to block excess sunlight, while still offering views of the RPTRA. A rooftop garden serves as insulation for the rooms beneath it.
The surrounding context, which blends both formal and informal characteristics, inspired us to create a design that is not only environmentally friendly but also provides space for the local community. Interestingly, the house features a social area with a newspaper corner on one side, creating an informal social space that can facilitate activities for the surrounding community. Through this approach, the Morahai House becomes a home that not only offers comfort to its occupants but also contributes positively to the environment and the surrounding community.
design by #realricharchitectureworkshop photograph by @ernesttheofilus
Di bangunan ini berukuran diameter 9 m, terbuat dari material bambu dan plastik poly carbonat. Pemetaan masalah-masalah arsitektur penting untuk memberikan analisa apa saja yang perlu dilakukan untuk mempermudah pekerjaan di lapangan sekaligus menambah nilai positif budaya. Dalam kasus ini apa yang kami lakukan di Bandung, khususnya di dalam bangunan 3 lantai yang terbuat dari bambu ini membantu menyelesaikan permasalahan angin sehingga bentuk yang tercipta yaitu silinder adalah hasil kompromi termudah, tersederhana sesuai dengan namanya saderhana.
Poly carbonat dengan frame bambu ditujukan untuk memberikan lapisan pelindung pertama, sekaligus plastik dengan ketahanannya akan baik untuk mempreservasi bambu dengan maksimal. Seluruh engsel menggunakan bambu. Gridnya 3.00 m, dengan akses tangga ada diantara lapisan pertama dan kedua. Bangunan ini dijangkar dengan kamar mandi di belakang menyerupai bentuk konde. Bangunan ini tidak mahal tetapi juga eksperimental, dengan tujuan membuktikan bahwa arsitektur bambu bisa didekati dalam intensi yang analitik juga intuitif yang terlihat dari komposisi detailing di sekujur ruang-ruang, pintu, jendela, langit-langit. Dari luar ia platonis dari dalam ia penuh pola matra dari berbagai sudut pandang dan wastra keberagaman pola nusantara yang begitu banyak dan kaya dalam sebuah komposisi
Located in Alam Sutera, this three-story house features a compact, modern design with a focus on sustainability. The 17 x 7 meters site is relatively narrow, which poses unique challenges in optimizing space while ensuring the home remains functional and comfortable.
The design focuses on integrating key sustainability features, such as solar panels and a north-south orientation, to optimize natural light and ventilation. The layout uses three simple grids, which structure the space efficiently while allowing for a fluid and dynamic spatial experience.
The design process begins by considering the overall organizational framework of the space. Each section is rearranged based on several criteria, such as the proportion of space, views, and the potential for creating interesting spatial experiences. By placing the most important areas, such as the living room and bedroom, in the center, the design ensures transparency through the core of the building. This central area provides the best views and natural light in the limited space. This iterative process continues with carefully selecting materials, ultimately achieving an optimal composition that balances functionality, aesthetics, and sustainability.
The final form of the house is tubular in shape, with a central “bridge” element. This “bridge” serves as a strategic feature, enhancing the flow of air and light throughout key areas like the bedroom and living room, ensuring a comfortable living and microclimate to the inner space.
design by #realricharchitectureworkshop photograph by @bacteria.archphotography
This project is located in Taman Permata Buana, Jakarta. The location faces the east side and is opposite a residential park. This project uses 80% of the old walls and structures to reduce construction costs optimally. The renovation is designed with a unique shape with simple exposed concrete materials and is equipped with balconies and canopies to protect the building from excessive sunlight.
The client dreamed of a house with natural light, passive cooling, aesthetics, and affordable costs and maintenance. To fulfill these desires, this project carries an open-plan concept combining indoor and outdoor spaces, providing an intimate space experience with wide gaps between spaces to maximize natural lighting.
The continuity of the design from inside and outside helps maximize the quality of the ground floor space. The living room facing the yard or small garden creates a more private and intimate space. The design of this house also has a unique shape that responds to the angle of sunlight from the east side, which is maximum at 10 am. The shape is formed by cavities that allow light to enter and can be used for cross-ventilation.
Natural light enters from the north and south through skylights and from the front and back through openings, ensuring that all rooms are exposed to natural sunlight and have good air circulation. The building uses raw materials, such as cement, brick, steel, wood, rough tiles, and terrazzo, showing layers of Javanese craftsmanship, where everything combines to create unity but also diversity in its interior and architecture.
This project illustrates a bioclimatic design by utilizing small gardens, natural light, passive cooling, diversity of materials, but still with easy maintenance to improve the quality of life indoors and outdoors. This design is also suitable for dense urban areas, with construction that can be done at a minimal cost and simple craftsmanship techniques, and all of these approaches underline the approach in our studio to create an earthy, environmentally friendly beauty in residential design in Jakarta.
design by #realricharchitectureworkshop photograph by @luil_mn @_yophrm
Realrich Sjarief, Anas Hidayat, Johannes Adiyanto, Jolanda Atmadjaja Soft cover | Monochrome | Bilingual (English & Bahasa Indonesia) | 14,8cm × 21cm | 410 halaman | Release Date: (coming soon) ISBN: dalam proses pengajuan ISBN
Synopsis
The process leading up to the formation of RAW, DOT, and OMAH was like a game of blending various aspects of personal identity and skills as an architect to reach a single point. This process involves an effort to balance the right and left sides of the brain. It includes long periods of practice and intense interaction with the team in the studio.
The presence of Bare Minimalist as our first completed project marked the beginning of enriching this process with the involvement of clients, engineers, and craftsmen, further complementing the existing network of relationships. Formulating a genesis that underlies an established practice pattern is certainly not an easy task. This explains the lengthy time required to publish Bare Minimalist in the form of a book. Proyek Pertama – First Project : RAW DOT OMAH could perhaps serve as a reference for newly-founded studios in experiencing the journey of a project for the first time, which also acts as an initial prototype, with the note that this reference needs to be refined to suit the most appropriate context for the reader.
Sedikit refleksi singkat, Ini adalah foto-foto diambil oleh Carlos Betancur adalah seorang desainer yang sangat berbakat, artis, dan fotografer jg kawan yang memiliki kerendahan hari dan kualitas spiritual yang bisa saya baca. Ia mengambil beberapa gambar dan mengirimkannya, foto – foto yang tidak akan pernah saya lupakan.
Juga bagaimana ia bercerita tentang pemahamannya belajar dari buku Harvard Business Review. Ia menceritakan soal Paul Nakazawa soal preposisi nilai, yang perlu dijawab justru oleh studio arsitektur yang akhirnya merubah studio opus secara fundamental dalam diagram produk dan klien.
Sophie Paviol adalah seorang pengajar yang menginspirasi kedekatan alam, proses dalam waktu yang sesingkatnya perlu dijalani. Ia belajar dari muridnya, ia mendengarkan apa saran muridnya, termasuk perjalanan kami yang sebenarnya adalah ide dari Claire murid disertasinya. Donald miller menulis bagaimana ide eksistensi manusia sebenarnya ada di dalam citra dirinya yang membutuhkan role model, figur. Disini proses mencari guru membutuhkan patahnya ego dan mengakui bahwa masalah yang kita hadapi tidak bisa kita selesaikan. Ego harus dijatuhkan sampai seseorang berlutut sebelum ia dapat bangkit kembali, serendah – rendahnya sampai tiarap menangis dalam derai air mata. Ego perlu dijatuhkan sampai titik terendah anda, kalau anda tidak siap, semesta akan mempersiapkan untuk anda, suka atau tidak suka.
Paradoksnya ketika kita terinspirasi, kita harus menahan keinginan untuk merekayasa balik kisah sukses seseorang. Dan bahkan ketika kita ada di atas awan dengan semua euforia kemenangan , menurut Ryan Gold dalam penaklukan ego kita harus menahan keinginan untuk menganggap semua hal terjadi sesuai dengan rencana kita. Ia melanjutkan bahwa Tidak ada cerita besar di balik semua cerita kehidupan. Tidak ada yang istimewa, semua terjadi bukan hanya karena anda namun orang lain. Nama besar dimulai bukan karena mereka berpikir untuk mengubah dunia namun bagaimana mereka dengan riang hati berkerja sesuai kata hati, jiwa yang berjalan tulus.
Disitulah persahabatan muncul cerita bahwa desain perlu jadi pengobat rasa takut dan sakit juga meraih nilai tambah.
In a residential project, the architect has the opportunity to get to know the client. It’s the beginning of a long-lasting relationship, where the architect and client come together not only to create a space but to shape a dream that will serve the client and their family for years to come.
Started in 2012, where we learned about the standardization of construction materials and the diversity of wood with its types of advantages, thickness, thinness, and imperfections. We also learned that space programming is important and and will be reflected in the daily life, attitude, nature, and goals of our client. How our client takes care of his family and all the dreams, including his children, are woven together in sequence.
This house maintains its compact efficiency. With a larger land area, this house has a view towards the garden from the family room, library, and bedroom by keeping its distance from the neighbors. The layout consists of 3 bedrooms + 1 master bathroom with their own bathrooms, allowing space for family members to gather while also respecting individual privacy.
The ground floor is attached to provide structural integrity while a central light and wind corridor serves as the heart of the home, opening up into a large void that invites natural light and air, creating a comfortable, family-centric atmosphere.
The house’s form is based on a stepped Platonic shape, rooted in clarity and simplicity, using a Cartesian grid. The green roof garden creates a transitional space that links the indoors with the outdoors, while wood elements and lush trees provide insulation on the west side.
The interior design is coordinated with the PIU studio; this is the first time we have worked with an interior consultant. This collaboration brought a special detail to the design, with thoughtful choices in the shape of the TV backdrop, sofa layout, and dining table selection. Every element was carefully selected to create a space filled with texture, color, and meaning—reflecting the family’s story and the legacy that will continue to develop into a new reality.
design by #realricharchitectureworkshop Interior @studio_piu photograph by @bacteria.archphotography
ada satu jalan memanjang yang işin ya bangunan – bangunan lama yang direstorasi ataupun di tutup fasadenya, ataupun diperbaiki eksterior, dan interior supaya bisa representatif untuk dijual. Langit- langit rendah, sumber daya terbatas, banyak ruang – ruang luar yang tertutup bayangan. Es krimnya enak, setara dengan Kochi India (salah satu es krim terenak yang pernah saya coba) di dekat kedai eskrim yang tidak perlu ada si jalan utama karena rasanya yang enak ada juga bisnis parkir mobil bertebaran di belakang jalan utama. Es krim membuat waktu berhenti selama beberapa menit harus habis. Suhu sekitar kira – kira 29-30 derajat celcius. Ada banyak landscape tropis dijejer padat di beberapa rumah penduduk, memberikan bayangan. . Daerah pulau ini dramatis, ada dua area, pantai dan gunung, dikelilingi oleh laut yang terkenal akan hiu dan larangan berenang. Koridor jalan disini sangat nyaman, drainase, kemiringan, materialnya sederhana tapi durable perpaduan semen dan batu. Arsitekturnya dua lantai mirip di kota gede, tapi ada pedestrian besar, mirip juga seperti di Dili, banyak bangunan putih, fungsional. Ada juga seperti arsitektur Jengki ngingetin sama mas Cahyo dkk dengan risetnya.
Di akhir jalan – jalan, saya tetap nyari nasi, pinginnya nasi padang tapi dapetnya chinese food ^^ lumayan, isi perut sebelum besoknya acara padat maklum dari tadi bunyi – bunyi seperti alarm nyala terus, perut adalah kunci ^^
Akhirnya ! Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2024) kali ini selesai, berjalan dengan baik, saya belajar banyak tentang arsitektur tropis dan performanya dari panitia dan presenter yang lain Prof Hao, Anthony, Carlos, Javier, Kevin, Anne, Alfredo, Juan, Maria, Rafael, David, sebastien, Javier, dan lain-lain. Tq untuk Panitia menghabiskan banyak waktu untuk mengkurasi , memilih materi berbulan – bulan dan akhirnya kami semua datang untuk berkumpul di La Reunion, saya bertemu banyak sahabat baru. Di tpt ini kami saling bertukar pikiran, dan saya tidak pernah bisa membayangkan kok bisa ada disini. “Tuhan punya kuasa atas apapun yang akan terjadi“ kata Bu Lisa Sanusi.
Kami juga belajar dari banyak biro, banyak professor, juga banyak kerja keras dari tim RAW DOT OMAH yang terus berjuang, saya menamakan tim kami the underdog studio, dengan semangat untuk terus belajar dengan keterbatasan, dan kesederhanaan praktek seperti di studio garasi. Semoga semua ilmu, jaringan kesetiakawanan teringat terus sampai jangka waktu yang lama. Sampai kemarin pun setiap presentasi selalu deg-degan, masih perlu doa, masih perlu geladi resik, masih perlu nulis sebelum presentasi.
La Reunion, bertemu saudara baru, pengetahuan baru. “I learn during talk with about our teacher and all Indonesian brothers that tolerance and solidarity teaches about coexistence that we share the same moon, the same sun, and the same earth. We are closer than ever, by inheritance and by such a fate. It’s a deep connection, and resonance about this beautiful world. I think it is meaning of reunion.” Satu catatan yang kami bacakan di awal penjelasan yang terinspirasi dari pertemuan dengan Pak Eko Prawoto.
Semoga Tuhan panitia, mahasiswa yang bertemu, semua yang mengajarkan pentingnya arsitektur bioklimatik dan berjejaring. Sampai jumpa lagi 👍 sukses untuk Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2025) dan ke depannya.
Inilah pentingnya simposium, konferensi, sharing, diskusi yang adalah soal abstraksi yang bisa dibawa pulang, jg pentingnya perjuangan orang lain yang kita dapatkan semangatnya. “Menular !!^^ mari capek lagi”
Beberapa bulan yang lalu kami mendapatkan undangan dari panitia BIAT, tentang jadi speaker “sebutnya diskusi ”Karena senangnya banyak belajarnya dari pembicara lain secara gratis, ini konferensi di La Reunion, sempat ragu – ragu karena ini memang di perancis tapi di daerah kepulauan dekat benua Afrika. Kaya kata Jon Lang “to learn is to teach to teach is to learn, and you please dont give me that blank face!” Haha
Senengnya juga bisa ketemu Tony, adik kelas saya dulu kerja bareng di DOT ngurusin pedestrian sampai desain Bank Indonesia yang saking kerennya atau jeleknya sampai ditolak ha ha. Ia l sekolah lagi di Cornell Amerika sekarang jadi urban transformation leader, ternyata ilmu analitik arsitekturnya terpakai sampai jadi planner, ekonom, dan strategis. Kita satu flight bareng ke Doha ia pisah untuk ke World Economic Forum di Mesir.
Dan perjalanan yang jauh 48 jama kadang membuat saya mengeluh dalam hati dan menelan ludah, kapan sampainya. “Kok ngga sampai – sampai?” Sesampainya transit di Paris, Begitupun hawa dingin, yang membuat harus cepat beradaptasi. Perut yang kosong, gemetarnya badan, membuat sadar juga musim dingin tidak menyenangkan untuk tubuh. Adaptasi badan, adaptasi pikiran, adaptasi ego. Bahwa proses yang tidak nyaman itu malah buat kita belajar lagi, jadi underdog lagi, dari situ malah buat saya jd tidak berjarak dengan perubahan positif untuk lebih sabar.
Sekarang masih 11 jam lagi perjalanan. Mimpi saya ya bisa belajar kualitas studio dari situ, pemahaman diri, desain tropis yang ilmunya bisa dibawa pulang. Prosesnya ya kok berat, Semoga kita semua bisa lebih kuat dalam perjalanan hidup kita yang membutuhkan adaptasi dalam belajar.
RAW Architecture are excited to be part of (BIAT) Biennale Internationale d’Architecture Tropicale de La Réunion # 3 on October 6th, 2024 in Le Port, La Réunion France. This edition, entitled “Alternative Project Practices in Tropical Environments”. Our presentation aims to explore and promote innovative approaches to architecture in tropical settings. BIAT will bring together international experts, local professionals, and students to discuss contemporary issues and advancements in the field.
The event features esteemed leaders from many regions, such as Hoang Thuc Hao from Vietnam, Carlos Betancur from Colombia, Javier Mera from Ecuador, Kevin O’Brien from Australia, Sébastien Clément from La Réunion, Léandre Guigma from Burkina Faso, Narein Perera from Sri Lanka, Anne-Laure Cavigneaux from Australia, and many more.
Our presentation will be presenting daily and simple works many people have done in Indonesia, like the photos in this post including our studio, by working hand to hand with craftsmen, designers, and many individuals creating unique structure of design who reflect the diverse realities of daily life. From these fragments, a common thread emerges: a shared connection to the tropics, a celebration of diversity, and a profound respect for one another, with words and actions without pretension in the spirit of continuing to learn.
The presentation will also featured several projects that emphasizing locality, affordability, and sustainability, also promoting green and bioclimatic architecture while encourage environmental awareness and critical thinking about the potential negative impacts of construction development.
BIAT de La Réunion serves as an exciting platform to share what we are doing in the studio and discuss mutual approaches in another tropical region. We believe this event will foster shared insights within the global architectural community and contribute to our field’s collective growth.
Our principal, Realrich Sjarief, participated in the ETALASE 2024 discussions hosted by Universitas Negeri Semarang (UNNES) on October 4th, 2024. The theme, “What is the Role of Architects for Net Zero Action?” centered around the role of architects in designing buildings based on Net Zero Emission principles, emphasizing the importance of caring for the environment and reducing carbon emissions.
Realrich’s presentation featured defining roles, that every step has its beginning—a state of humbleness inside the mindset. Our practice started in the humble garage studio. The RAW’s project harnessed locality, affordability, and sustainability to its limit by defining the limit’s territory. Ten projects presented are about getting the best air quality, reducing the temperature, providing well-being and biodiversity, and getting economic value while addressing the client’s physiological state. It’s a step-by-step process towards empathy, symphony with others, and diverse inspirations. Ultimately, it’s about creating an open design paradigm for architecture’s creative yet critical, more humanistic side.
In conclusion, Young architects must prepare for a long and complex journey by forming more detailed variations to grow new territory. In this case, DOT Tectonic’s evolution and solutions to clients include high-speed, crafted, and functional detailing. This comprehensive method needs a consistent willingness to learn that architecture is also about the clients. The last thing is to enjoy the process, bringing the best sensibility to the architect’s role.
ETALASE 2024 has attracted over 400+ attendees, and hopefully, we provide valuable insights. The Dean of UNNES, Wirawan Sumbodo, opened it, followed by a speech from Resza Riskiyanto, Chair of IAI Central Java. They encourage us to take responsibility and reduce environmental impact while enriching our surroundings. We also extend our heartfelt gratitude to the lecturers and students at UNNES for their support in nurturing.
Ini refleksi singkat, untuk saya sendiri yang perlu terus mendapatkan umpan balik terutama dari berbagai macam generasi, ataupun banyak orang- orang hebat yang ditemui setiap hari, ditambah foto dari iyok dulu di DP Architect, menunjukkan kalau perjuangan di dalam studio tidak pernah mudah, jam panjang, dan jatuh bangun, proses yang jauh dari musik klasik, lebih seperti dangdut. 🙂 . Menarik kembali catatan dari bu Eileen Rachman bahwa “kesuksesan belajar berasal dari 10% dari wejangan satu arah 20% dari diskusi sejajar , 2 arah , 70% dari learning by doing ( apalagi kalau di koreksi secara positif) “ Pikiran positif menghasilkan berbagai macam sudut pandang yang menjalar, seperti prinsip Getok Tular, yang sambung menyambung. . Belajar arsitektur membutuhkan fleksibilitas tingkat tinggi, karena adakalanya proses internalisasi mendigest apapun yang dialami dalam proses praktik itu perlu waktu, sedangkan banyak permintaan – permintaan diluar dirinya membuat ia harus sabar untuk juga menjawab permintaan tersebut. . Proses ini membutuhkan pengolahan sikap untuk membuka diri, tidak marah, perlu sabar, dan juga yang terpenting. Studio arsitektur perlu mengintrospeksi dirinya, dan membicarakan proses edukasi ini dengan terbuka, bahwa tantangan ada yang diluar kendali para leader, juga para desainer, apalagi klien, banyak permasalahan psikologis juga muncul berbarengan dengan permasalahan teknis. Gambar hanya representasi dari kualitas diri, tim, sekaligus quality control yang muncul dari banyak pihak yang membutuhkan konsistensi. Dan hal ini dicek terus menerus dalam kualitas yang memiliki standarisasi. . Sesederhananya ukuran, metodologi proses desain, dan bagaimana pengambilan – pengambilan keputusan itu ada yang memang membutuhkan kalkulasi presisi juga ada yang terkait bagaimana proses interview dengan klien itu dilakukan. Dan hal itu baik karena membuat kita semua jadi sadar, bahwa edukasi mengenai gambar pun harus terjadi. Dan memang banyak sekali talenta di studio itu hadir, dan cara untuk bisa bekerja bersama – sama adalah memiliki komunikasi yang baik, keterbukaan pikiran, dan contoh – contoh yang dibicarakan yang akan menjadi SOP.
This house was designed in 2011, about 14 years ago, and the project is still ongoing, having now entered the third stage of construction in 2024. It began with the needs of our clients, who desired a home that facilitates 3 families living together. Located in Alam Sutera, the house with an area of around 3000 m² features a cluster concept, allowing each family member to have their privacy and space for expression while still feeling connected to one another. This cluster concept aligns with research from a Harvard Medical School study, which indicates that the quality of relationships with family and the community significantly impacts health, happiness, and longevity. We believe that a home designed for multigenerational living reflects health and embodies a unique Indonesian harmony.
We adopted a bioclimatic approach to enhance thermal comfort by considering sun orientation, with roof angles opening toward the north and closing toward the west. Each corner of the house is designed to receive sunlight and fresh air, incorporating long overhangs, lattices, and surrounding trees to filter sunlight from the west and east.
At our studio, we have learned that continuous adaptation to changes over time is fundamental. In designing a house, finding abstraction within the process is crucial, as it allows us to align our vision with the client’s desires. We also found that the fight to find abstraction in this lengthy architectural process also aligns with what Carlo Scarpa has accomplished in Italy, such as the renovation of Museo Castelvecchio and the design of Banca Popolare in Verona, both of which took decades. In our studio, we foster a collaborative environment where contributions come from all levels, top down and bottom up. This emphasis on craftsmanship and grassroots detailing ensures that everyone is part of the process, enhancing our architectural studio practice.
We will participate in the exhibition at M Bloc Design Week, themed ‘Daur Rupa – Sustainable Design,’ meaning “everything recycled,” from September 27th to October 6th, 2024. The exhibition will feature the Guha Boboto model panel, that has four key components: a family home, a boarding house, a family-operated stall, and OMAH new philosophers survival library. This project emphasizes preserving old structures as a way to survive by minor changes and major impact while emphasizing kampoong material locality, family affordability, and local-symbolic sustainability, showing the DOT Workshop detailing at its critical and finest.
Our principal, Realrich Sjarief, will speak at the M Bloc Design Week 2024: Design Conference on October 5th, which focuses on exploring and advancing sustainable design in today’s fast-paced and complex world, questioning many thinking mode, defining static assumptions of sustainability in RAW practice. The conference will also feature other notable friends, brothers colleagues, including Antonius Richard, Sibarani Sofian, and Anton Siura.
The presentation will focus on empowering local craftsmen and harnessing their skills to create meaningful bioclimatic architecture. Our commitment to lifelong learning drives us to craft architecture with care and dedication to families, firmly grounded in sustainability and redefined local engagement to achieve operational expenditure in sustaining legacy of literacy, domestic needs. This is the model of the self-sustained economy, social, and culture of togetherness for the future.
M Bloc Design Week 2024 promises to be an exciting platform for discussing innovative approaches to sustainable architecture. We believe this event will foster valuable insights and contribute to the growth of the architectural community.
Join us at M Bloc Space Jakarta for inspiring discussions and don’t miss this opportunity to learn about the future of sustainable architecture!
@mblocdesignweek
Design by #realricharchitectureworkshop for @guhaboboto Detailing by #dotworkshop Guha Boboto Photograph by talented @_yophrm
Building a house is never easy; it’s a lengthy process that requires significant refinement and resources from the client, all focused on the client’s needs. This house took considerable time to complete, as the design and construction began during the COVID-19 pandemic. It was an unique opportunity for us, and the clients were supportive throughout the critical design process also open to exploring new possibilities as long as they remained functional.
Our goal in designing this house was to reduce the indoor temperature to 28°C through a bioclimatic approach. This involved strategically placing trees and plants both inside and outside the perimeter to create a natural cooling effect. Additionally, we aimed to achieve a PM2.5 concentration of below 30 µg/m³ to ensure that the house is free from air pollution.
The design features a thoughtful selection of materials that are not costly but still give a unique character. We utilized a mix of material, including cement plaster and ulin wood. The west side of the house is more enclosed, offering a view of the nearby RPTRA (children’s playground). Interestingly, the house features a social area where newspapers are placed, allowing people to read them. This creates an informal social space, making the house a neighborhood activity hub.
The layout of the house comprises two zones: public and private. This design was inspired by the clients’ desire for visiting relatives to feel at home. In the private zones, functional living spaces like the family room and bedrooms are designed with unique curved forms. The bedroom area features a series of continuous curves resembling terracing, echoing the natural language of curves. The staircase is prominently located on the west side, serving as a central element that enhances spatial efficiency and circulation.
The exploration of combining curved and rectangular forms in both the shape and façade of the building is intended to facilitate healthy airflow and introduce natural light into the interior spaces. To minimize the load on air conditioning, a rooftop garden serves as insulation.
The idea of our design of Gembrong Market is about accommodating an adequate number of stall units, emphasizing an inclusive design process led by the operator for arranging area zoning and layout, so the number is based on dialogue between stalls and business feasibility. It resulted in almost 200 wet market stalls, almost 400 dry market stalls, nearly 50 F&B stalls, 2 playgrounds, and a multipurpose hall. A key market feature is the integration of F&B spaces and children’s areas on the rooftop, creating vibrant anchors for the community. The ground floor is dedicated to a wet market, serving as another anchor.
Hygiene is a top priority in our design of the Gembrong Market. We have envisioned a market equipped with floor drains and grating to manage water flow in the wet market area effectively. Our design aims to cool down the temperature to 28 degrees Celsius by introducing voids that reduce the need for artificial lighting. The open, curved roof design allows for air gaps that enhance ventilation, creating a functional interior that is business viable and an open-air public space that reconnects with the city through affordable problem-solving solutions. Introducing an atrium allows natural sunlight to illuminate the inner core, minimizing the reliance on air conditioning and maximizing daylight.
Through this project, We grow our relationship and architecture grammar and patterns, evolving from personal or residential projects to more public projects. We believe that architecture is fundamentally about relationships rather than mere technical skills. It transcends aesthetics but is a way to understand basic design to create a viable business market while creating an aesthetically pleasing environment that makes people happy by having well-performed thermal performance.
design by #realricharchitectureworkshop for @pasar.gembrong #bogor #architecture #dezeen #archdaily #arsitekindonesiadesign
Bu Eileen Rachman adalah guide, inspirator saya dalam melihat cara untuk melihat dunia mentorship yang baik ke studio arsitektur kami. Bu Eileen sendiri adalah pemimpin dari Decorous, Kemang 89. Ia kesini bersama dengan bu Widarti Gunawan yang adalah mantan CEO Femina grup. Keduanya adalah mindfull soul sehingga saya merasakan bertemu keluarga yang saling terhubung, rasa, jiwa bertemu menjadi jalinan yang mengakar. . Apa yang disampaikan Bu Eileen dalam Salah satu TED talknya sangat menginspirasi, Beliau melihat bahwa ada 4 cara berpikir yang kami adopsi dan turunkan di dalam prinsip mentorship, dan cara mengajar. Pertama adalah berpikir kritis yaitu tidak ada yang original di dunia ini, kita harus belajar mendengarkan dari sekitar, dan arsitektur adalah sebuah ilmu yang majemuk. Kita sebagai arsitek mendapatkan inspirasi dari mana – mana. Kedua adalah berpikir kritis yaitu belajar berpikir kenapa , apa, dan mempertanyakan banyak hal bertahun – tahun. Ketiga adalah bepikir fleksibel, yang diilustrasikan dengan pertemuan beberapa great minds di dalam diskusi, tempat, yang memancing kreatiftias sehingga melahirkan neo klasik. Yang keempat adalah berpikir lateral, yakni bisa saja yang kita bahas arsitektur tapi tidak harus mulai dari ilmu yang sama, karena praktik bisa mulai dari mana saja, bisa dari biologi, kimia, psikologi, ataupun manapun. Dan hal ini adalah sebuah runtunan proses bahwa berpikir itu menyenangkan.
kami percaya bahwa bertemu great minds merubah cara pandang, menjalin rasa, merangkai hal yang terlihat baru sebenernya ada dalam relasi yang lama dan begitu panjang. Kami sangat terhibur ketika ia bercerita tentang relasi pak Adhi Moersid dan Pak Tan Tjiang Ay. Decorous Kemang 89 didesain oleh Tan Tjiang Ay, dengan bahasa yang modernist, sebuah kesederhanaan di pojok Kemang. Saya terkejut juga menemukan bahwa rumahnya didesain almarhum Adhi Moersid. Mereka semua orang yang saya rindukan abstraksi kebersahajaannya, pemandu yang rasa persahabatannya yang mengakar dalam arsitektur. Tidak jauh – jauh mereka berkumpul dalam lingkaran yang terus menjemput dalam masa lalu dan masa depan.
Guha Boboto is a building that has various functions that can also help reduce the operational expenditure of the building and maintain economic independence for families living in Boboto. Guha Boboto consists of four key components: a boarding house and a family-operated stall to support a family home while sustaining the community efforts in literacy with the library concept.
The boarding house itself is divided into 2 types: the first is a boarding house and a temporary boarding house for staffs and craftsmen. This setup allows flexibility to meet the needs of the Boboto family and provides space for visiting family members when needed. The family-operated stall has been part of the Guha Boboto since the 1990s. The library and the boarding house are open in 2024.
Originally the structure built in the 1990s with a basic plywood structure, the building has been upgraded with repurposed plywood transformed into glulam, and recently reinforced with lightweight steel and locally sourced glulam. Most materials used are recycled, including roof coverings, steel rods, bricks, aluminum, and glass.
The library within Guha Boboto plays a crucial role as a guardian and functions as a community activity center. Its goal is to support literacy in Indonesia by offering a space for communal learning and activities. The building is also designed to be easily constructed by anyone without requiring specialized skills, using local and low-cost materials. This also aligns with our studio’s vision that architecture does not need to look luxurious or glamorous; even simple and locally sourced materials can create aesthetically pleasing designs.
Design by #realricharchitectureworkshop Detailing by #dotworkshop
Sesuatu menjadi terang karena kita melihatnya dengan terang, sesuatu menjadi dekat karena kita mendekatinya, sesuatu menjadi terwujud karena kita mau mewujudkannya. Manusia awalnya tidak saling mengenal, tetapi kemudian ada hal yang membuat mereka terhubung, salah satunya melalui kenangan. Dan koneksi yang tercipta akibat kenangan ini juga tak jarang menjadi pendorong bagi seseorang untuk maju.
Dari semua hal tersebut, dibutuhkan kekuatan kesabaran untuk percaya pada sesuatu yang hasilnya mungkin belum terlihat di awal. Di Guha, proses ini kami alami dalam keseharian di studio. Kami fokus untuk berpikir dan berproduksi membuat karya yang baik, namun ikatan batin tetap menjadi oase yang kami butuhkan di tengah-tengah rutinitas kami.
Kehadiran Alim di Studio kami membuat suasana paguyuban di Guha terasa begitu kental. Alim adalah sosok yang sering dikerumuni adik-adiknya dan banyak bercerita tentang hal-hal dan nilai-nilai yang ia pelajari selama di Guha serta kesabaran dalam menggawangi proyek. Jika kita dapat mengajar dan memiliki semangat berbagi ke teman-teman lain, hal ini tentu menjadi sesuatu yang bermanfaat. Di samping melewati berbagai pengalaman, kita juga sekaligus memberi dampak bagi orang lain.
Di tengah-tengah kesibukannya, Alim juga tetap berusaha untuk membagi-bagi peran dan memposisikan dirinya. Ini adalah ciri khas dari seseorang dengan attitude yang sangat baik. Di samping itu, Alim juga seseorang yang bertanggung jawab. Ia pernah terlibat dalam salah satu proyek tersulit di RAW dimana ia tetap bertahan hingga proyek tersebut selesai.
Kami senang pernah melalui hari-hari bersamamu serta berjuang bersama, Lim. Semoga seluruh potensi dan hati yang dimiliki Alim bisa terus bermanfaat. Selamat mengembara lebih jauh dan lebih dalam lagi.
Ketemu dan ngobrol – ngobrol sama temen SMA Sang Timur while we are in Omah library , Nina with her kind, simple, and humble hubby, take care ya. Good memories since elementary school, sudah lama ngga ketemu 24 years ya. Kalo dihitung temenan sudah dari sd umur 10 aja sudah 32 tahun yaa.
Yang menarik dari pengalaman kami dalam mendidik anak adalah bagaimana peran kami adalah sebagai mediator untuk dirinya membuka banyak hal yang ia suka. Ellen Kristi dalam buku cinta yang berpikir menulis bahwa anak harus mendengar dengan telinga, membaca dengan matanya, dan menyentuh dengan tangannya sendiri.
Terkadang saya mengambil foto Heaven dan Miracle , untuk supaya mereka tau dulu mereka tumbuh dari tidak mengerti apa – apa menjadi dewasa. “Pa kamu foto aku ya ?” kata Heaven, . saya menjawab “Iya, papa suka foto kamu sama koko, karena waktu tidak akan kembali, dan ini untuk kalian semua nanti akan ingat foto – foto kamu waktu kecil, makanya kalau kamu sadar kalau difoto, kamu senyum ya.” Anak – anak seperti mempertanyakan kenapa saya mengambil gambar dirinya, ia juga mempertanyakan seberapa dirinya itu penting untuk kami. Setelah saya menjelaskan, barulah ia bisa tersenyum dan difoto dengan lepas, penjelasan saya itu sedemikian penting untuk menjelaskan kenapa, apa, bagaimana, siapa, dan dimana dirinya menjadi penting. . Belajar setiap hari itu terkait dengan pelajaran mengenai membaca kata – kata yang mulia, seperti juga kita semua membaca kitab suci dari berbagai banyak kebaikan agama dan nilai moral yang awalnya hanya bisa dipahami samar – samar. Kalimat yang muncul akan mengeluarkan pesona rohaninya, menyuburkan perilaku. Begitupun dengan belajar tentang sejarah, yang dimulai dengan mengerti, dan mengapresiasi sejarah dirinya. Begitupun dengan Miracle yang mendokumentasikan progress-progress dirinya setiap hari apa yang ia bisa, dari menyanyi atau main drum, ia sedang memperkaya galeri hidupnya di dalam formasi yang paling berharga dalam hidup manusia, mengingat bahwa saat – saat ia belajar dari awal. Hal itu mengingatkan kami, orang tuanya akan masa – masa kami kecil, akan ketidaksukaan kami dulu waktu kami tidak dianggap, tidak diakui, tidak didengarkan. Dan bagaimana ketika kami berusaha memutar balikkan waktu dan memberikan anak kita, momen terbaik di hidupnya. .
Sudah lama saya tidak cerita tentang proyek – proyek kami di RAW DOT OMAH. Kali ini saya bercerita mengenai Rumah Ngumpar terletak di ujung belokan jalan sehingga memberikan kesan memeluk lahan dan menyambut setiap orang yang akan masuk. Desain rumah ini memanfaatkan posisi strategisnya untuk menciptakan pengalaman penuh kehangatan dan keteduhan. Dari entrance, penghuni disambut oleh taman kecil di entrance sebagai barrier, memberikan nuansa adem sebelum memasuki rumah. Sequence rumah ini berjenjang dengan shading alami dari tanaman dan air, berlanjut ke dek kayu, sebelum memasuki area utama.
Di lantai dasar, area servis terletak di sekeliling tangga yang berfungsi sebagai batang tubuh rumah, dengan bukaan di sisi-sisinya untuk cahaya, sementara celah antara bangunan dan tetangga memfasilitasi aliran udara dan cahaya alami. Di lantai satu, ruang keluarga utama memiliki void besar dan bukaan atap, memungkinkan cahaya matahari masuk dan menciptakan koneksi visual antara penghuni dengan privasi masing-masing. Lantai ini juga menampung tempat kerja bersama, area pribadi, dan atrium sebagai foyer panjang yang menghubungkan ruang-ruang, membelah sisi yang lebih utama dan ruang yang supporting.
Di lantai dua, void menghubungkan ruang kamar utama dengan kamar anak, sementara lantai atas mencakup area gym dan ruang untuk bersosialisasi. Atap dirancang untuk melindungi dak beton, dan ditambahkan dengan tanaman sehingga memberikan insulasi bagi lantai kamar di bawahnya. Pendekatan ini menurunkan suhu udara 3-5 derajat di seluruh area rumah.
Secara bentuk, rumah ini mengambil bentuk kurva yang saling yang berlawanan seperti magnet. Sisi maskulin berwujud pada bentuk tegas dan ujung-ujungnya, sementara sisi feminim muncul melalui kurva yang mengalir, menciptakan ruang yang terasa luas meskipun ukuran lahannya terbatas. Bentuk ini juga menciptakan kesan plastis yang kontras dengan beton yang kaku. Kurva berulang terus hadir hingga ke detail rumah, bahkan dalam raiiling melengkung dengan perpaduan material besi dan kayu, hingga pintu yang memiliki lengkungan. Kayu ulin dipilih untuk menambah konektivitas dengan alam dan memberikan sentuhan yang alami.
Proses untuk melepaskan anak-anak intern kembali ke kampus merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, selalu ada pertemuan hangat di akhir masa internship untuk saling menyampaikan kesan dan pesan, masukkan, serta harapan bagi teman-teman intern. Pertemuan yang diadakan di studio ini biasanya kami lakukan dengan santai sambil mengenang setiap kesempatan yang telah dilalui.
Pertemuan-pertemuan hangat kami menciptakan sebuah komunikasi. Sebuah komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang diingat. Biasanya, hal ini dapat datang dari momen-momen tidak biasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula di studio. Begitu banyak momen yang tercipta mulai dari momen unik saat pertama kali datang ke Guha, momen mentoring yang menegangkan, momen kritikal menghadapi realita proyek, momen keseharian di meja makan, hingga momen random dan konyol bersama yang terjadi secara natural. Momen-momen ini merupakan wujud dimana realitas dan kreativitas tetap terawat dengan baik. Dualitas suasana ini muncul dalam keseharian kami, serius tapi juga santai dengan penuh rasa tanggung jawab. Semoga momen-momen ini bisa membantu mereka bertumbuh menjadi lebih baik.
Terimakasih @rizqyakbarrr dan @edhobaronmack atas warna yang kalian berikan. Qybar dan Edho adalah beberapa contoh intern terbaik RAW. Qybar adalah sosok yang unik, kreatif, ceria, dan humoris. Lewat setiap humornya, ia menjadi pencair suasana studio. Dalam bekerja, ia merupakan sosok yang strategis, bermental baja, dan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan tepat.
Sementara itu, Edho adalah sosok yang tenang tetapi sangat serius dan profesional saat bekerja. Jika telah mengenalnya lebih dalam, ia juga seseorang yang hangat, penuh perhatian, setia, dan rendah hati. Meski Edho cukup pendiam, di balik diamnya ia banyak mendengar dan menyerap hal-hal di sekelilingnya.
Kami berharap, Qybar dan Edho dapat berhasil dimanapun mereka berada. Teruslah menempa diri dan bersinar. Sampai bertemu kembali di Guha
Dari pingpong Miracle mencoba banyak hal, jujurnya apa yang kami harap sama Miracle adalah bagaimana ia menikmati hari – harinya yang berharga, dengan waktu yang tidak bisa kembali. Daya becandanya ala srimulat seringkali muncul seperti ketika pura2 naik meja, ia bercanda terus dengan gurunya. . Termasuk dengan gurunya yang di kelas robotika, ia kemarin diajari catur sederhana dan langsung minta les catur. Begitulah anak – anak ini tergantung dari guru – gurunya yang membimbing menuju pelatihan yang majemuk. . Impulsnya yang tinggi tergantung dari mana ia dapat pengaruh. Ia baru saja mendapatkan teknik bernyanyi mendayu-dayu dengan alat olahraga yang bergetar-getar yang ia temukan. Kalau dilihat – lihat sudah mirip dengan penyanyi opera genre baru ha ha. . Ping pong video by jedi master @putrakhairus
Yoris Mangenda, Alef Essperancio X. Dasilelo, Andi Ilham Badawi, Axel Tobias Imat Gamaliel, Bani Noor Muchamad, Indrabakti Sangalang, Mandarin Guntur, Noor Hamidah, Tari Budayanti Usop, Hardiyanti, Syahrozi, Sheila Nurfajrina, Susanto, Tatu Wijaya, Yunitha Soft cover | Monochrome | English| 14,8cm × 21cm | 286 page | Release Date: (coming soon) ISBN: dalam proses pengajuan ISBN
Synopsis
This book aims to showcase the diverse architectural heritage of the Dayak people in Kalimantan. Compiled through a collaborative effort of 14 authors from various backgrounds, this book serves a simple purpose: to fill the gap in comprehensive archival and documentation of the diverse Dayak architecture that still stands today. I believe that with a solid foundation of documented knowledge from the past, we can certainly strengthen efforts to develop knowledge for the future.
This book is organized into 14 chapters. The first chapter serves as a prologue, providing a brief overview of the historical implications of the diversity of Dayak architecture. The second chapter presents a concise historical mapping of the Dayak people. The subsequent 11 chapters delve into 11 categories of architectural objects drawn from 64 case studies. The final chapter, an epilogue, summarizes the diversity of architectural objects inventoried in this book. Each architectural object is written using a standardized format that balances textual and visual elements. Furthermore, the writing structure of each object extends beyond architectural aspects to include historical and cultural dimensions, aiming to provide a comprehensive and encyclopedic overview.
Yoris Mangenda, Alef Essperancio X. Dasilelo, Andi Ilham Badawi, Axel Tobias Imat Gamaliel, Bani Noor Muchamad, Indrabakti Sangalang, Mandarin Guntur, Noor Hamidah, Tari Budayanti Usop, Hardiyanti, Syahrozi, Sheila Nurfajrina, Susanto, Tatu Wijaya, Yunitha Soft cover | Monochrome | Bahasa Indonesia | 14,8cm × 21cm | 286 page | Release Date: (coming soon) ISBN: dalam proses pengajuan ISBN
Sinopsis
Buku ini hendak menampilkan keberagaman khazanah arsitektur yang dimiliki oleh masyarakat Suku Dayak di Kalimantan. Disusun dengan semangat kolegia oleh 14 penulis dengan latar belakang berbeda, buku ini hadir dengan mengemban tujuan yang sederhana yaitu untuk mengisi celah kekosongan arsip dan pendokumentasian yang komprehensif terhadap keberagaman arsitektur Suku Dayak yang masih berdiri saat ini. Karena saya percaya, dengan adanya fondasi pendokumentasian pengetahuan yang baik dari masa lalu, tentu akan dapat memperkukuh upaya-upaya pengembangan pengetahuan untuk masa depan.
Buku ini tersusun atas 14 bab, dengan komposisi 1 bab awal sebagai prolog yang mengulas secara singkat mengenai implikasi sejarah dengan keberagaman arsitektur Suku Dayak, bab ke 2 mengulas pemetaan kesejarahaan Suku Dayak secara singkat, 11 bab berikutnya mengulas 11 kategori objek arsitektur Suku Dayak yang di inkorporasi dari 64 objek atau studi kasus, dan 1 bab terakhir yaitu epilog yang coba merangkum keragaman objek-objek arsitektur yang diinventarisasi pada buku ini. Setiap objek arsitektur pada buku dibahas menggunakan format seragam dengan mengutamakan keberimbangan antara aspek tekstual maupun visual. Selain itu, struktur ulasan setiap objek juga tidak hanya terbatas pada aspek arsitektural saja, tetapi juga mencakup aspek kesejarahan maupun kebudayaan. Hal ini dilakukan agar ulasan setiap objek atau pendokumentasian yang dilakukan ini dapat bersifat akseptabel dan memiliki spektrum yang lebih ensiklopedis.
Hari ini saya belajar bahwa tiap jiwa akan bertumbuh dan menemukan lingkarannya sendiri seperti setiap saat bertemu Mirza dan Dhisti. Satu hal yang saya tidak pernah lupakan adalah asal darimana beton bisa melengkung membentuk tangan yang menari, membentuk doa, membentuk banyak asa dan rasa. Lengkungan itu juga membentuk jalan masa depan yang memisahkan dan menyatukan jiwa -jiwa yang sejalan. . Di balik waktu, rumah tumbuh dan penghuni tumbuh dalam harapan adanya grand piano, gamelan, cerita anak – anak, pekerjaan, rekonsiliasi banyak energi baik dalam hidup yang berserah yang ada di dalam dua ranah. Satu ranah abstraksi yang merupakan akar terdalam menggali kemauan jiwa yang baik. Charlote Mason, seseorang pendidik keluarga yang saya dapat pengetahuannya dari kawan lama saya percaya bahwa setiap anak dikaruniai jiwa yang baik dan mulia. Abstraksi itu ditandai dengan latihan jiwa keseharian yang natural untuk percaya dengan abstraksi bahwa hidup ini baik apa adanya. . Lain hal abstraksi ada juga implementasi dan fisik yang nyata, ia adalah 3 dunia, manusia yang berkembang, keuangan, dan juga operasional. 3 hal itu tertuang dalam bagian usaha, HRD, finance, dan juga manajemen. Dialog – dialog kami di rumah Kampono ini sampai 3 jam lebih mengalir, masukan, pengalaman, cerita, sambung menyambung memberikan benih yang tumbuh. Sejatinya benih disitulah ada harapan kita menyebarkan kebaikan dari semesta.
Tidak banyak arsitek dapat kesempatan belajar dari klien berulang – ulang kali, keduanya saling melengkapi, Sudah dua tahun terakhir kami tidak bertemu, mereka teman baik saya, klien, dan juga saudara seperjalanan, orang yang saya jaga dan juga saya sayangi sebagai jenderal mereka, di atas rumah yang menari, ada akar yang kuat doa untuk rahmat semesta yang mulia. . Terima kasih always for inspirations, dan semoga ya minggu depan bisa bertemu belajar bersama kembali. . @mirza_kampono@adhistykampono . #realrichsjarief
Hari ini adalah hari gym bersama anak – anak, mereka kreatif dan mengikuti termasuk Heaven dengan cobra yoga mamanya, dan Miracle yang ngga mau kalah lari di Treadmill seperti idolanya Usain Bolt, terakhir juga begitu liat barbel “pa aku bisa angkat barbel.” Mereka mudah sekali meniru dari sekitar.
Akhirnya tempat ini selesai, juga sebagai tempat main kita semua, saya meleng sedikit, treadmill ini langsung jadi landasan pacu mobil – mobil mainan mereka. . Termasuk gaya khas chameleon legendaris Miracle di atas struktur diagonal yang menopang kanopi atap. . “Can u go higher ?” tanya saya. “Only if somebody carry me.” Jawabnya . Ha ha ha, saya hanya mesem – mesem aja sambil ragu – ragu. wajar sekali jawaban yang jenius. Belajar dari anak – anak ini ternyata sederhana, masalahnya badan Miracle berat sekarang, membuat saya harus latihan otot biar kuat haha. .
Miracle dan Heaven hampir tiap saat bersama, keduanya saling belajar satu sama lain. Kalau Miracle disiplin, Heaven akan ikut disiplin, malau Miracle belajar, Heaven akan ikut belajar. Ada sebuah tren ikut – ikutan dari anak kedua ke pertama. Saya tanya ke laurensia itu heaven lg ngapain sih di video ini, bisa joget2 goyang pinggul seperti itu, “dia lagi ngikutin micky waktu di depan film Disney kan ada.” Sebegitu cepatnya Heaven bisa menyerap tiap informasi sekitarnya.
Menariknya role model Heaven adalah kakaknya juga, begitupun juga pertengkaran yang dipantik hal – hal sepele, berebut mainan. Yang didasarkan pada keisengan yang tidak disadari dari sang adik, yang mendorong kakaknya sampai batas kesabaran. Kakak yang sepantasnya lebih tua menjadi contoh, begitupun Miracle yang mencontoh kami berdua seperti kereta api yang sambung menyambung, ada satu rel yang menyatukan menuju tua bersama kami orang tuanya. Termasuk rel supaya perut kami lebih terkendali dan tidak membuncit supaya terus lebih bahagia, haha. . #miracleheavenrichsjarief
Heaven’s and dad’s activity time at Tunas Muda school. And off course with mama. No more papa sibuk-sibuk, hari ini untuk Heaven, “pa ayo nanti terlambat !” Heaven sudah mengingatkan sejak pagi. Anak kedua adalah anak yang sangat pintar, ia belajar dari kakaknya dan ia berlimpah kasih sayang dari sekitarnya, ia akan punya titik tolak yang membuat dirinya selalu berarti dan lebih baik lagi. Sikap yang kritis, hati – hati membuatnya lebih teliti, santai, dan serius. . Hari ini kita main game, kerja sama yang menyenangkan,kayanya perlu sering – sering supaya awet muda. Haha . #realrichsjarief#miracleheavenrich
Hai semuanya. Perkenalkan nama aku Ahmad Faqih Sadewa, boleh dipanggil Faqih atau Qih, asal jangan panggil dengan tiga huruf terawal ya hehe. Saya merupakan seorang mahasiswa jurusan Arsitektur yang sedang menempuh Pendidikan di Universitas Sriwijaya. Sedari kecil saya memiliki ketertarikan kepada dunia arsitektur, karena Menurut saya arsitektur dapat mendefinisikan seluruh aspek kehidupan yang ada didunia ini.
Hingga pada saat sedang menempuh Pendidikan di bangku SMA, Saya menempelkan sebuah kertas kecil yang bertuliskan “Architect soon”. Setiap harinya saya selalu memandangi tulisan itu, Yang baru saya sadari ternyata tulisan itulah yang menyemangati saya selama berproses di bangku SMA. Lalu kemudian kelulusan pun tiba. Setelah lulus dari bangku SMA, ternyata saya memiliki kebimbangan serta sedikit ketakutan apabila saya mengambil jalan hidup pada dunia arsitektur. Kebimbangan itu juga muncul dikarenakan saya memiliki ketertarikan juga dengan dunia seni. Hari itu menjadi hari – hari Dimana rasa bimbang terus menghantui. Namun pada akhirnya saya tetap memilih untuk mewarnai hidup di dunia arstiektur, dikarenakan menurut saya, saya masih bisa melakukan eksperimen seni yang dituangkan pada karya arsitektur dan juga mengingat kertarikan saya pada dunia arsitektur sangatlah besar.
Kemudian datanglah hari Dimana saya mulai berproses di dunia arsitektur di kampus tercinta. Saya sangat bersyukur dapat menjalani kehidupan di lingkup dunia yang dapat saya nikmati tanpa terbebani. Semasa kuliah saya sangat menyukai bangunan yang melakukan pendekatan terhadap alam baik itu dalam suatu bentuk ataupun fungsi. Hingga suatu hari, saat saya sedang membuka intagram saya menemukan akun @realricharchitectureworkshop, menurut saya saat itu cara RAW Architecture merancang bangunan sangatlah inspiratif, yang mana menginspirasi saya pada semasa perkuliahan.
Hari Dimana saya harus memulai kegiatan internship pun tiba. Dari jauh hari sebelum proses apply tiba, saya sudah sangat tertarik untuk dapat berproses di RAW Architecture. Pada tahap ini, saya merasa inilah titik terawal bagi saya untuk dapat melihat dan belajar bagaimana dunia arsitektur itu sebenarnya. Beruntungnya saya dapat diberi kesempatan untuk berproses dalam program internship di salah satu tempat yang saya favoritkan, yaitu RAW.
Sebelum datangnya hari untuk memulai kegiatan internship, banyak sekali kekhawatiran berdatangan sebelum memulai. seperti kekhawatiran saya untuk dapat menyesuaikan untuk hidup sendiri di kota orang, karena kegiatan internship ini merupakan my very first far from home experience. Lalu sebelum memulai saya juga memiliki kekhawatiran terhadap penyesuain diri di lingkungan kerja di RAW nanti.
Setelah kegiatan internship dimulai ternyata semua kekhawatiran yang saya pikirkan itu berbanding terbalik. Saya dipertemukan dan dikelilingi dengan orang – orang yang sangat supportif. Sehingga hari demi hari yang dilewatkan terasa sangat menyenangkan untuk dijalani.
Selama saya berproses di RAW Architecture saya banyak sekali mendapatkan ilmu dan pengalaman yang menurut saya sangat berharga dan belum tentu bisa saya dapatkan ditempat lain. Di RAW saya juga dapat belajar mengenai dinamika waktu dalam kerja yang cukup challenging, sehingga dapat membantu saya untuk dapat lebih berkembang. Lalu selama saya berproses disini saya merasa sangat beruntung dikarenakan saya dapat dibimbing dengan kakak – kakak yang sangat supportif dan sabar dalam berbagi ilmu. Selain itu keterbukaan yang ada pada lingkungan RAW seperti tawa, canda, gurauan, bertukar cerita, makan bareng, hingga jajan bareng Bersama kakak – kakak dan temen – temen intern lainnya akan selalu menjadi memory core yang akan selalu dikenang sampai nanti.
Lastly, saya ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada kak Rich dan kak Yudith telah memberikan kesempatan yang sangat berharga ini kepada saya untuk dapat menuntut ilmu di RAW Architecture. Kemudain saya ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada kakak – kakak, yaitu kak mel, kak chai, kak Richie, kak Tyo, kak uung, kak sultan, kak ikhsan, mas Benk, kak Riyan, kak Aul, kak Shaf, kak Ingrid, kak Ala, kak meizzhan, kak zikri, kak ezra, kak Irfan, kak yusrul, bang zyadi, kak gabby, kak putra, kak a cha, kak revi, ci mei, kak joshi, kak kamil, kak nielson, kak Haykal, kak Timbul, kak lulu, dan lainnya yang selalu terbuka dan selalu bersedia untuk berbagi ilmu serta memberikan nasihat kepada saya. Serta saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada teman – teman seperjuangan internship di RAW yang sudah berbagi banyak sekali kenangan Bersama.
Sekali lagi saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semuanya atas semua kenangan, ilmu dan kesempatan yang diberikan. Dan terimakasih banyak sudah bersedia menjadi bagian dalam perjalanan hidup saya untuk berproses di dunia arsitektur. Semoga kita semua dapat dipertemukan lagi di lain waktu.
Haloo semuaa! Saya Hasanub Basriyah Herdi telah menyelesaikan Internship Program selama 6 Bulan di RAW Architecture. Pada awalnya kenapa pilih RAW Architecture, saat saya semester 2, saya sangat beruntung dapat dibimbing langsung oleh Kak Rich sebagai dosen pembimbing saya di mata kuliah Teknik Bangunan. Saat itu saya banyak belajar dan kagum dengan bagaimana cara Kak Rich mengajar, selalu ada Pelajaran yang kita dapatkan setiap sesi bimbingan bukan hanya soal arsitektur namun juga kehidupan. Saat itu saya juga mendapatkan kesempatan untuk mempelajari Guha the guild langsung dipandu oleh Kak Rich sendiri, makin kagum, tertarik dan makin penasaran bagaimana ya cara saya bisa belajar disini. Sejak saat itu saya bertekad untuk melakukan internship di RAW Architecture.
Saat Awal Magang di RAW saya banyak mengagumi bagaimana berjalannya suatu Proyek, bagaimana cara berpikir untuk mencapai design yang ibaratnya RAW banget tapi tetap sesuai dengan keinginan client. Awal ini saya harus mengerti dan menyimak bagaimana sistem kerja disini. Perasaan saya cukup kaget, dan wah ternyata kerja tuh gini yaaa…
Setelah melewati masa adaptasi dan sudah mulai mengerti dan menerapkan apa yang diajarkan kakak-kakak designer, pola pikir saya yang perlahan terbentuk. Awal saya sering terpikir ohh Kak Rich kalo desain ciri khas nya kayak gini ya.. tapi semua berubah menjadi ohh Kak Rich punya ciri khas ini untuk menyelesaikan permasalahan ini ya.. Saya menyadari beberapa ciri khas yang RAW banget itu merupakan salah satu bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan, yang mungkin kalo dipikiran diri saya yang dulu hal itu hanya sebuah fitur saja.
Saya adalah sebuah gelas kosong yang menerima begitu banyak air saat melakukan internship di RAW merasakan bagaimana proses pengembangan desain di Tim Kak Riyan, merasakan bagaimana rasanya meeting bersama client, melihat progress langsung sebuah proyek dibangun, merasakan bagaimana membuat gambar kerja yang baik dan tepat, merasakan bagaimana rasanya melihat kakak – kakak berkoordinasi dengan Tim lapangan di Tim Kak Melisa dan Tim Sky. Begitu banyak Pelajaran yang saya dapatkan disini. Kalo ibarat nya belajar disini tuh kayak “Palu Gada” “apa yang lu mau pelajarin, RAW ada”.
Saat saya magang disini tidak hanya diajarkan tentang seputar proyek dan arsitektur saja. Disini saya juga mendapatkan Pelajaran mengenai kehidupan, pola pikir yang harus dibentuk untuk menghadapi masa yang akan datang, keluar dari nasihat nasihat Kak Rich dan Kakak – Kakak RAW kepada diri saya. Saya ingin berterima kasih kepada Kak Rich, Kakak – kakak designer di RAW yang telah memberikan saya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dan mengajarkan saya banyak ilmu di sini dan memberikan saya begitu banyak kenangan yang sangat berarti buat saya. Aku sudah rindu.
Hai semuanya! saya Muhammad Muhaimin, seorang mahasiswa semester 7 dari Universitas Sriwijaya. Pertemuan saya dengan RAW Architeture dapat dikatakan sebuah keberuntungan yang tidak disengaja, diawali dengan mencari referensi untuk tugas kuliah dan menemukan sebuah studio yang memiliki keunikan dari konsep perancangannya yang menekankan terhadap bioklimatik dan berkelanjutan. Dalam reflection letter yang saya tulis ini saya ingin menceritakan dan mengungkapkan perasaan yang saya rasakan selama menjadi salah satu internship di RAW. Pertama-tama saya ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada kak rich, teman-teman dan kakak-kakak yang telah menerima serta membimbing saya selama kurang lebih tiga bulan yang menyenangkan ini.
Pengalaman tiga bulan yang terasa singkat namun berarti ini tidak hanya memberikan saya pengetahuan dan keterampilan baru dalam berarsitektur namun juga memberikan saya Pelajaran tentang bagaimana cara berkomunikasi dan bekerjasama dalam tim. Bekerja dalam sebuah studio terasa sangat berbeda dengan kuliah, jujur saja awalnya saya agak kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan studio, untungnya ada teman-teman dan kakak-kakak RAW yang selalu membantu dan membimbing saya tidak hanya dalam hal pekerjaan namun juga dalam hal cara bersosialisasi yang membuat saya merasakan rasa kekeluargaan yang mungkin tidak bisa ditemukan di tempat kerja yang lain.
Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada kakak-kakak dari tim sky dan benteng yang sudah mengajarkan saya banyak tentang detail dan struktur dari sebuah bangunan serta mengajak saya untuk melihat langsung kondisi kerja lapangan yang sebelumnya tidak saya dapatkan di perkuliahan. Saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada kakak-kakak dari tim bambu meskipun saya hanya sebentar di bambu namun tetap diberikan ilmu yang berarti.
Terakhir saya ingin mengucapkan sekali lagi terima kasih kepada kak realrich dan kak yudith yang sudah memberikan saya kesempatan untuk bergabung Bersama RAW Architecture, serta kakak-kakak dan teman-teman intern lainnya yang sudah memberikan saya pengalaman, ilmu, dan kenangan yang akan saya selalu ingat dalam kehidupan saya. Saya berharap ini bukan menjadi akhir dari sebuah pertemuan namun menjadi awal dari pertemuan itu sendiri. See you all, I hope the best for everyone.
Halo, saya Lulu Farahdina, mahasiswa arsitektur dari Universitas Sriwijaya. Selama kurang lebih 2,5 bulan berada di RAW Architecture, saya merasa sangat bersyukur karena mendapatkan pengalaman yang luar biasa disini. Saya banyak belajar hal baru selama berada di RAW, khususnya mengenai perspektif saya tentang arsitektur yang ternyata sangatlah kompleks dalam melibatkan tim arsitek, client, dan bangunan itu sendiri. Perlu pemikiran, kerja keras, dan waktu yang panjang untuk membentuk mahakarya yang memuaskan. “It’s important to see wider and closer at the same time to break the challenge and find the solution” adalah salah satu kalimat yang membekas dari Kak Rich saat membagikan ceritanya untuk designer dan intern di RAW.
Pengalaman intern ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan dalam perjalanan hidup saya. Di tempat ini membentuk pribadi saya untuk berkembang lebih baik dalam hal teknis, komunikasi, dan mental dibimbing oleh kakak-kakak RAW yang sangat welcome dan menjelaskan dengan detail hal-hal yang terkadang masih baru untuk saya. Awalnya saya sempat merasa takut dan rendah diri untuk belajar, namun seiring berjalannya waktu serta dorongan dari kakak-kakak RAW membuat saya kembali termotivasi dan bersemangat untuk belajar hal baru yang tidak saya dapatkan di dunia perkuliahan. Saya merasa sangat senang berada di lingkungan yang se-positif ini, yang memberikan saya banyak ilmu tentang arsitektur yang sesungguhnya.
Untuk Guha, tempat ini sudah seperti rumah kedua saya di perantauan. Semua orang sangat seru terutama ketika jam makan siang. Bercanda bersama teman-teman intern dan kakak-kakaknya bisa membuat mood seketika jadi happy banget. Ruang-ruang di Guha seperti di Bambu, Benteng, Sky, Ruang Makan, Omah Library, sampai di depan Toilet pun punya ceritanya masing-masing untuk saya yang tidak akan pernah terlupakan. Gak terasa 2,5 bulan ternyata selesai secepat ini, mau say thank you untuk Kak Rich, Kak Yudith, and team for giving me the opportunity to learn dan grow here. I feel so blessed to have been a part of RAW Architecture. Thankyou juga untuk teman-teman Unsri dan intern lainnya (Leni, Faqih, Tria, Muhaimin, Raissa, Syahla, Nico, Qybar, Gustav, Kak Keke, Zhevan, Laura, Helga, Basriyah, dll) yang selalu haha hihi bersama.
And for the last, please kindly check my progress ya kak, Thank you so much ・┆✦ʚ♡ɞ✦ ┆・
Saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada RAW Architecture yang telah memberikan saya kesempatan magang selama 2,5 bulan. Pengalaman yang saya dapat selama menjalani program magang begitu berharga dan memberikan saya pengetahuan mendalam mengenai arsitektur serta diterapkan langsung pada proyek nyata, yang sebelumnya hanya saya pelajari selama masa kuliah.
Sebelumnya saya akan menceritakan perasaan saya saat pertama kali menginjakkan kaki di Guha. Hari pertama saya merasa sedikit gugup dan belum bisa bersosialiasi dengan semuanya, sehingga saya membutuhkan waktu beberapa hari untuk mulai terbiasa dengan lingkungan sekitar. Seiring berjalannya waktu, saya merasa nyaman terutama dengan kakak-kakak di RAW yang begitu baik dan tidak pelit ilmu. Saya banyak mendapat energi positif dari kakak-kakak RAW, sehingga jam kerja terasa tidak membosankan karena selalu ada canda tawa disetiap harinya.
Selama periode magang, saya terlibat dalam berbagai proyek yang sangat menakjubkan dan memberikan saya pemahaman tentang proses desain dari tahap awal hingga akhir, yakni dari konseptual hingga teknis pada lapangan. Dari pengalaman ini saya belajar bagaimana cara membuat konsep yang baik, tertata dan dapat diwujudkan menjadi bangunan nyata yang fungsional dan memiliki nilai estetika tinggi. Proyek-proyek yang saya ikuti membuat saya berfikir lebih kritis dan memiliki banyak ide dalam hal teknis maupun estetika. Selain itu, saya juga beberapa kali mendapat kesempatan site visit, meeting dengan owner, vendor, dan kontraktor. Kesempatan ini mengajarkan saya bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan klien.
Salah satu pelajaran penting bagi saya adalah bagaimana proyek itu akan memiliki berbagai revisi pada setiap detail aspeknya. Hal ini menyadarkan saya bahwa setiap detail dari desain sangatlah penting dan semuanya akan diperhitungkan agar tidak terjadi kesalahan. Mulai dari gambar-gambar kerja, pemilihan material, pemilihan furniture, dan lain-lain mengajarkan saya untuk lebih berhati-hati dalam berucap dan mengambil Keputusan, karena setiap keputusan kecil akan memiliki dampak terhadap proyek.
Pengalaman bekerja secara nyata dengan tim RAW memberikan saya banyak wawasan terutama dalam hal berkomunikasi dan kolaborasi. Saya sadar, jika suatu proyek tidak tergantung pada kemampuan individu saja melainkan dengan adanya kolaborasi satu sama lain sehingga terciptanya berbagai ide yang disatukan untuk menghasilkan solusi dari tiap permasalahan pada proyek. Selain itu, saya juga belajar bagaimana pentingnya mengelola waktu terutama dalam dunia arsitektur yang terikan dengan tenggat waktu, sehingga memotivasi saya untuk bekerja serta berusaha lebih efektif agar setiap hal yang dikerjakan pada tiap waktunya itu bermanfaat.
Selama masa magang ini pastinya saya memiliki beberapa tantangan terutama dalam menyesuaikan diri dengan cara kerja RAW. Namun, dengan bimbingan kakak-kakak saya menjadi terbiasa dan dapat menyesuaikan diri dengan hal itu. Selain itu, saya juga belajar mengenai etika, tanggungjawab, dan profesinal ketika bekerja dengan siapapun dan tugas apapun. Dengan hal ini, saya semakin menghargai bagaimana arsitek memberikan upayanya untuk menghasilkan yang terbaik. Hal ini juga mendorong dan memperkuat keinginan saya untuk terus mengembangkan diri dalam bidang ini. Secara pribadi, magang di RAW memberikan dampak positif yang besar bagi perkembangan dan pengetahuan saya. Saya merasa pengalaman ini mengajarkan bagaimana pentingnya terbuka terhadap kritik dan saran.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh keluarga Guha terutama kak Rich dan tim RAW yang telah memberikan ilmu, nasihat, bimbingan, dukungan serta memberikan saya kesempatan untuk belajar di studio yang begitu nyaman, menarik, fungsional, dan estetik. Oleh karena itu, saya sangat menghargai setiap momen dan pesan-pesan berharga dari kak Rich. Saya berharap dapat menjalin hubungan baik dengan RAW di masa mendatang, dan semoga saya bisa memberikan kontribusi yang lebih besar dalam bidang ini.
Semoga RAW Architecture terus sukses, berkembang, dan terus menciptakan karya-karya menakjubkan, menginspirasi, inovatif, fungsional, dan berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, serta menajdi tempat tumbuh bagi para arsitek muda untuk belajar dan berkarya.
Pembelajaran arsitektur merupakan sebuah perjalanan yang tiada habisnya, sama halnya dengan 99% GUHA. Itulah yang saya rasakan ketika “mencicipi” langsung dunia praktik arsitektur sebagai Intern di RAW Architecture. Setiap proyek, setiap klien, dan setiap tahap dalam desain membawakan sesuatu yang baru. Begitu kaya pengalaman yang saya peroleh tidaklah cukup digambarkan melalui refleksi singkat ini, melainkan ini menjadi sebuah ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada semua rekan-rekan GUHA Family.
Halo teman-teman! Saya Nicolas Ciu, kerap dipanggil Nico, mahasiswa semester 7 dari Institut Teknologi Bandung. Keputusan saya untuk magang di RAW Architecture memang sudah ada di benak saya sejak tahun-tahun lalu. Beberapa kali sempat berubah pikiran, tetapi apa yang menjadi keinginan terdalam akan tetap terlaksana. Singkat cerita, saya diterima menjadi RAW Intern di liburan antar semester yang singkat ini. Selama kurang lebih 2.5 bulan, saya berkesempatan untuk turut serta berkontribusi dan belajar dari RAW Architecture.
Mengawali perjalanan singkat saya di RAW, saya cukup gelisah dan terkejut dengan dinamika yang terjadi di sebuah biro arsitektur. Semua berjalan begitu cepat dan kompleks. Terlebih lagi, saya tidak terbiasa dengan software-software yang digunakan, padahal seharusnya kemampuan itu menjadi kemampuan yang basic. Akan tetapi, saya sangat beruntung karena kakak-kakak designer dengan sabar dan tulus mengajari saya software-software tersebut hingga saya terbiasa, bahkan sampai ke detail-detail command shortcut. Lingkungan kerja yang dibawakan di RAW membuat saya merasa nyaman belajar dan bertanya kepada kakak-kakak designer. Di sela-sela pertanyaan itu juga muncul diskusi diskusi singkat yang memperluas wawasan saya terkait praktik arsitektur.
Proyek-proyek rumah menjadi “highlight” dari pengalaman saya di RAW Architecture. Saya selalu tertarik dengan rumah tinggal yang kerap memiliki karakteristik yang beragam dan menjadi cerminan dari penghuninya. Tipe proyek yang tadinya saya anggap lebih mudah dibandingkan tipologi lainnya, namun begitu dinamis dalam realisasinya. Saya sadar bahwa mendesain dan membangun rumah merupakan salah satu hal tersulit yang dapat dilakukan oleh arsitek. Hal ini mengingatkan saya pada kata-kata dari almarhum Bapak Eko Prawoto bahwa membangun rumah merupakan hal yang sakral bagi keluarga. Tidak semua orang memiliki kesempatan dan keberuntungan untuk membangun rumah impiannya dan kalaupun iya, membangun rumah merupakan hal yang sangat jarang terjadi dalam hidup manusia. Oleh karena itu, momen penting ini menjadi tanggung jawab besar arsitek.
Terdapat banyak hal yang saya pelajari di sini, yang tidak bisa saya dapatkan selama kuliah. Salah satunya adalah mengunjungi proyek yang sedang dalam proses konstruksinya, melihat langsung apa yang digambar direalisasikan di dunia nyata. Saya sangat bersyukur saya mendapatkan cukup banyak pengalaman kunjungan ke proyek bersama kakak-kakak designer. Selain mempelajari terkait progres dari proyek tersebut, kakak-kakak juga sering menceritakan pengalaman dalam berbagai tahapan konstruksi dan selama bekerja sebagai designer. Selain itu saya juga berkesempatan mengerjakan gambar-gambar teknis, seperti gambar MEP yang tidak saya peroleh selama kuliah. Gambar-gambar detail teknis ini walau berskala kecil dapat mempengaruhi kemampuan desain dalam skala yang lebih besar.
Selain itu, salah satu hal yang baru saya sadari setelah memulai Internship di RAW Architecture adalah bagiamana arsitek dapat memposisikan dirinya sebagai sebuah konsultan, tidak hanya seorang designer. Hal ini menjadi menarik bagi saya karena kemampuan desain masih dapat dilatih selama kuliah, tetapi kemampuan berkonsultasi hanya dapat dipelajari di sebuah biro konsultan arsitektur. Saya bersyukur dapat mempelajar sedikit bagaimana Kak Rich dan kakak-kakak designer berkomunikasi dengan klien dan menuntun klien untuk memperoleh desain impiannya. Sering kali posisi arsitek sebagai konsultan terlupakan, padahal inti dari profesi arsitek adalah mendesain untuk manusia.
Mengakhiri masa Internship ini, saya ingin mencupakan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Kak Rich dan Kak Yudith atas ilmu dan kesempatannya; kepada Kak Riyan, Kak Ala, Kak Zikri, Kak Meizzhan, Kak Joshi, Kak Gaby, Kak Revi, Kak Putra, dan kakak-kakak designer lainnya yang telah berbagi ilmu dan pengalamannya; dan akhirnya kepada teman-teman Intern Faqih, Imin, Lulu, Tria, Leni, Raissa, Syahla, Laura, Kak Keke, Zhefan, Ken, dan masih banyak lagi karena telah menjadi sobat seperjuangan yang membuat suasana keseharian menjadi lebih asik dan bermakna. Semoga kita semua dapat terus berkembang menjadi pribadi terbaik dari masing-masing diri kita. Sampai jumpa di lain waktu!
“Food brings people together on many different levels, it’s the nourishment of the soul and body. It’s truly love.” – Giada De Laurentiis
Di dalam kehidupan yang penuh dengan perbedaan, makan bersama menjadi bagian yang menyatukannya. Seperti tradisi Ngeliwet, Tumpengan, Bajamba, dan Patita di Indonesia, makan bersama sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya hingga sekarang.
Momen di mana kami bisa duduk bersama, makan, dan saling bercerita menjadi kesempatan untuk saling mengenal dan membangun rasa nyaman serta saling percaya. Kebiasaan ini bukanlah hal yang baru di studio kami, melainkan sebuah budaya yang diwariskan. Makan bersama-sama sudah lama dilakukan oleh Pak Asnawi Sjarief, ayah Realrich Sjarief bersama dengan para pengrajin dan tukangnya. Sekarang, kebiasaan ini kami jaga, sebagai rupa dari kekeluargaan kami di Guha.
Makan bersama seperti perayaan sederhana yang biasa kami lakukan, berterima kasih atas dukungan dan berkat yang sudah kami terima selama ini.
Terkadang kami juga mencoba makanan-makanan baru, merasakannya bersama dengan saling berpendapat tentang rasa dan hal lainnya di luar keseharian. Momen-momen seperti ini menjadi penting karena kita disatukan dalam satu meja untuk saling belajar tentang berbagi, menerima, dan bersyukur dari sebuah piring berisi makanan.
Di studio kami makan bersama adalah proses penyatuan antar divisi, membangun rasa kepekaan dan kepedulian dalam keseharian, yang kemudian memupuk ikatan kekeluargaan meski dari latar belakang yang berbeda. Mulai dari tim desainer, penulis, admin, pengrajin, hingga logistik berbaur besama di ruang makan, bercerita tentang keseharian, hobi, keresahan, dan saling bertukar pengetahuan.
Makan bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan raga, tetapi juga mengisi jiwa bersama-sama melalui harapan dan cinta di dalamnya. Kami memimpikan budaya studio yang bisa melebur pekerjaan dan kehidupan sosial dengan seimbang, karena kehidupan lebih besar dari arsitektur itu sendiri.
Miracle is discussing with his teacher, about metabolism. The way that he explained the concept to the teacher is really authentic, and really come from his heart. I really love his explanation, about what you eat, is what’s out from your body. He is improving in many aspect, including his drum with coach Adi, and care about his brother, We are fortunate to be blessed by him and his brother heaven. We hope that both of the brothers will be in harmony, brother is always brother, sister is always sister. Learning from my best friend, Hugo that relationship he told us, is the most important part to form happy life.
so many things happened in our life. Like your life, like my life, whatever happens, one thing i sure that it’s beautiful because the abstraction is a motive to bring kindness in this life. This abstraction is important to walk everyday life, for me it’s architecture, thinking, and sharing in family which is so important, for others maybe their business, their life and family. Those work and life balance is very important, let’s cherish both of it.
Merdeka 17 Agustus 1945 bersama ketua RT tercinta, ibu kita semua. Tanggal 17 Agustus kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Di dalam usaha menyeimbangkan kehidupan studio dan keluarga yang berputar – putar tanpa henti, akhirnya hari ini bisa beristirahat dan menonton anak-anak ikut lomba. Dari satu hari sebelumnya ibu sudah telp kalau akan ada acara di RT, rumah Pulau Ayer. Miracle dan Heaven sangat antusias, dengan persiapan yang matang, ia berlatih makan pisang waktu pulang sekolah dengan bekalnya, ia bisa melahap satu pisang utuh langsung, dan alhasil dari latihannya dalam mukbang membuat ia menjuarai klasifikasi makan pisang.
Lain Miracle lain juga Heaven yang pun juga mendapatkan juara untuk memasukkan sedotan ke botol. Saya juga banyak bertemu teman-teman ibu dan ayah saya untuk bersilahturahmi, seakan-akan waktu berhenti dan kita bisa mengenang seberapa jauh kita sudah berjalan. Momen kemerdekaan jadi salah satu contoh bagaimana hal-hal kecil bisa membuat kita ingat momentum kebersamaan, menjadi satu dalam kemajemukan.
Dalam deru-deru kesibukan, dan keinginan untuk bisa seimbang dalam studio kami yang penuh dengan rasa panik, tidak nyaman, ketakutan. Tidak pernah menyerah untuk menggapai kesempurnaan dalam pekerjaan menjadi hal yang kami perjuangkan karena kami jauh dari kata sempurna. Kehidupan di belakang layar pekerjaan, keluarga, menjadi lapisan yang menyatukan dan membuat momentum ini justru bermakna dalam banyak kegiatan, relasi, dan harapan baru.
Saya senang bertemu lagi dengan guru saya Pak Apep dan juga bertemu kawan-kawan baru Gathi Subekti, Ivan Priatman, dan Irfan Fauzie dalam momen penjurian di Steel Architecture Award (IAI dan Bluescope). Hal ini membuat saya banyak belajar dari banyaknya variasi nominasi yang masuk.
Dalam kenangan panjang soal siapa kita, siapa saya, dan siapa yang masuk dalam kenangan. Kita semua merayakan doa kemerdekaan dalam satu kesatuan.
1 Ibu dan kami sekeluarga 2 Miracle mukbang pisang 3 Studio turbulensi 4 Rapat – Rapat, ketika hasil tidak sempurna 5 – 6 Studio hedon – hedon 7 Penjurian Bluescope 8 Presentasi kuliah di Mercubuana 9 – 10 Tanam – tanam lagi di Guha . #realrichsjarief
Perjalanan memahami arsitektur bukanlah hal yang instan, dibutuhkan kesabaran untuk bisa mengerti lapisan demi lapisan. Proses memahami arsitektur dan apa yang kami lakukan di Guha merupakan perjalanan panjang yang terus kami refleksikan dalam keseharian, dan bersama orang-orang yang silih berganti.
Proses kami memahami apa yang terjadi di Guha dengan seluruh dinamikanya melatih kami memiliki penglihatan yang menyelam kebelakang, melesat jauh kedepan, tapi berpijak pada keseharian. Sama halnya seperti proses berarsitektur, perlu memahami konteks dan memanfaatkan eksisting sebelum membuat sebuah karya arsitektur. Apa yang terjadi dalam keseharian adalah fondasi bagi kami, seperti sebuah fondasi didalam sebuah bangunan.
Fondasi merupakan hal yang penting, begitu juga diranah videografi. Ada sebuah quotes yang mengingatkan kami pada perjuangan @farhannash dalam memahami arsitektur dan Guha, “A video without a storyboard is like a house without a foundation” Han Lung. Farhan pernah menjadi videografer beberapa tahun di Guha, dengan background skill broadcasting yang ia miliki, sangat membantu kami merekam hari-hari yang terjadi di Guha, momen-momen penting yang tidak akan terulang kembali, kelas-kelas yang ada di OMAH, hingga mendokumentasikan beberapa proyek di RAW Architecture. Usahanya dalam memahami arsitektur ia tuangkan kedalam storyboard yang kami buat bersama-sama, yang kemudian menghasilkan karya-karya video dan foto-foto tentang integrasi antara manusia, studio dan arsitektur.
Terimaksih sudah pulang kembali ke Guha @farhannash, bersama @ismipradina yang juga mencintai dunia arsitektur. Kami percaya bahwa dimana kita mencurahkan upaya terbaik kita, disitu kita dapat meraih keberhasilan. Semoga jalan yang kamu tempuh menjadi fotografer dan videografer arsitektur mengantarkanmu menjadi orang punya semangat belajar dengan hati dan terus bermanfaat bagi sesama. Kami menantikan cerita perjuanganmu selanjutnya.
We are honored to be part of the architecture journalism led by @apurvabosesutta. She is the guest editor for the June issues of Writing and Literature from #ArchitectureAsia #ARCASIA.
As the official journal of Architects Regional Council Asia, a global organization representing architectural bodies in 22 Asian countries, Architecture Asia is a respected journal. We are delighted they found value in @apurvabosedutta proposal for this thematic issue.
Bogor City enjoys a comfortable climate despite being known for its frequent rainfall. It experiences a high number of rainfall days, ranging from 16 to 29 days per month, contributing to a pleasant temperature range of approximately 22-30 degrees Celsius. Its proximity to Mount Salak also influences a noticeable mountain climate around Sukasari Market #Bogor, shaping the interpretation of its facade concept as resembling a mountain.
Designing such an #architecture is also challenging. It must be cost-effective, fast to implement, collaborative, and long-lasting. We prioritize local materials for cost-effectiveness, using what is readily available. Initially, the layout of Sukasari #TraditionalMarket was based on a circulation scheme to ease movement within the market. Each stall’s number is carefully calculated with allowances to accommodate sufficient foot traffic for sustainable market growth, balancing commercial viability.
Collaboration is key, involving various stakeholders such as the Bogor city government, clients, investors to jointly discuss helping the design team maximize the development of Sukasari Market. To ensure a long-lasting aspect, RAW Architecture Studio #details apply a lengthy tropical roof design to promote adequate airflow. This helps manage the city’s high humidity levels and maintain cooler temperatures, especially within the market.
Bogor City’s unique climate and geographical features significantly influence the design and functionality of Sukasari Market. By using local materials and implementing a thoughtful circulation plan, the market enhances its aesthetic appeal and ensures practicality and durability for years to come.
With innovative approaches like using a tropical #architectureproject design to manage humidity and temperature, Sukasari Market is a testament to blending environmental responsiveness with architectural ingenuity in #Indonesia. This approach supports Bogor’s local economy and enriches the community’s experience of the city’s vibrant market culture.
Really enjoy this trip to Malaysia as we can see how my second son Heavenrich fought with monkey to defend his water bottle. Btw Heaven yang topi kuning ya bukan yang biru 😆
On RAW Architecture design, there is a foyer area and a library room with a mezzanine. The foyer features a high ceiling and skylights arranged in a pyramid-like staircase configuration. It’s compact and efficient.
In contrast, the library room with the mezzanine has a low ceiling with a thin concrete structure suspended from a concrete slab above. On the mezzanine floor, semi-circular voids are covered by perforated metal plates and glass, serving as spatial dividers and providing natural light and ventilation for both the ground floor and the mezzanine. The atmosphere of this low-ceilinged room deliberately recalls the ambiance of the humble space.
Structural changes were made to separate different zones, including incorporating a glass frame in the arch structure. At times, the space also functioned as a display area for models before eventually being sterilized into a dedicated library area. This transformation occurred rapidly, involving the exploration of spatial programs and extensive material explorations that continue to this day, a space of flexibility.
We thank PAM, PAM President Prof. Ar. Adrianta Aziz and the team for making DATUM part of KLAF2024. We would also like to thank Ar. Dr. Lim Teng Ngiom, the director of KLAF2024, and all of the committees. Thank you for inviting us to be present in Kuala Lumpur to share with brothers and sisters who have unique works, perspectives, and breakthroughs. The venue was very discursive and open for discussion. There are so many multi-perspectives that we, as RAW Architecture, learn so much in the process. . Ar. Realrich, along Ar. Ho Chin Keng, Shin Tseng, and Fadzlan Rizan Johari, in the DATUM+PLUS class, discuss architecture and its discourses of multi disciplinary, materiality, collaborations in the whole.
Ar. Realrich presented daily and simple works many people have done in Indonesia, in our studio, working hand to hand with craftsmen, designers, and so many personal realities in daily life. However, from all these fragments, one common line unites us all: tropics, energy for diversity, and close respect for each other, with words and actions without pretension in the spirit of continuing to learn. . We also celebrated the other speakers’ presentations at the DATUM:GREEN and DATUM:KL, who had such positive energy and a heartwarming story. There was so much complexity in their own territory. DATUM:GREEN: Chatpong Chuenrudeemol, Lucas Loo, Azman Zainal, and Mior Aizuddin Datum:KL : Dr. Yu Kong Jian, Dato’Sri Ar. John Lau Kah Sieng, Prasanna Morey, Praveen Bavadekar, Bayejid M. Khondoker, Jo Nagasaka, Chen Xi, Rasem Badran, Jim Cumeron, and Kun Lim & Kun Sam. . We need to learn from so many people to show positive energy in the ups and downs process. We need so many dreams and hopes, personas and selves, and collaboration and community. Therefore, we do all the best for all of the restless spirit . @shin.tseng @ckho.architect @ezmenzainal @garyeow @fadzlan_rizan @seadbuild @bungaateelierdesign @lucasloozexian @chatarchitect
All of the context and the design results portray our belief that poetic architecture comes from many experiments involving many parties. Design variations resulting from consistent experimentation have a common thread that is intact and complex but still integrated. The thread connects one project to another through a collaborative but personal architectural approach, a continuous point.
The Chimney Bioclimatic Home results from a study of skylights as passive light and air tunnels in tropical climates. The house has seven skylights varying in dimension, which suit the lighting needs calculation based on the room volume below and compared to the sunlight angle. One of the skylights is made prominent as the center point and becomes a visual connection in the form of a void between the family room and the floor above.
The skylights are designed to provide good air circulation without allowing rainwater in. The construction floats without a frame, using just a stainless pin, creating a gap below covered with a mosquito net. Finally, the glass cover is installed with a slope to prevent waterlogging.
Besides the skylight details, the house has another uniqueness in its form. Inspired by the site on the curved corner, it gives off a vibe of sitting on top of the garden, shaded by tree canopies. Thus, the curved shape influences the shape of the mass and is reflected in the design of doors, windows, skylights, and even several elevations that function as a divider between the family and prayer rooms.
I got to know architect I.M. Pei more deeply through Eka Swadiansa when, in 2007, he sent an email to discuss the book Spirit 45 and the enthusiasm for exploring discursive architecture. I consider Spirit 45 still relevant to what I strive for today. I greatly appreciate the continuous efforts that overlap with what I and my friends at OMAH Library also fight for. Behind the platform in any name and branding used to boost popularity, architecture becomes a means of therapy, duty, and a noble mission to spread many stories of goodness.
I describe the Suzhou Museum as a classic work with neat, orderly datum, parti, and porch. This work has openings and closures with a disciplined repertoire that harmonizes with its surroundings. Pei is very careful in playing with vistas, reflecting the lines of hills and valleys, as well as the everyday patterns of Suzhou with its black-and-white colors.
Upon entering the main museum, we are greeted by a foyer as a meeting point, where light enters and illuminates the intersecting geometry of the stairs, combining clear forms to present the silhouette of Suzhou as it is. Imaginary lines are made to continue from the city’s horizon to the stairs and roof of this building, with the scale of the Forbidden City’s walls as the highest height limit. Each building mass is connected by corridor hallways with repetitive and pragmatic lighting grids. I learned pragmatism from Mr. Yuswadi Saliya. Pragma is the art of examining skills until they become familiar. Its highest point is exploring taxonomy. Therefore, the science of sense is synonymous with taksu (an abstract spiritual essence).
This intersecting fold is continued to the central axis of the entrance, framing a courtyard containing one of the most beautiful gardens I have ever seen. There, stones are processed with the fifth technique/rule (rules 1-4 are stones with many wrinkles, tall, slender, and with many holes), which is to slice the stones perfectly to produce new shapes like paintings on a frozen paper scroll. His technique is an elaboration from “make a hole but don’t break it” to “slice it to celebrate the history.”
Each viewing area of the museum is divided into floor plans resembling the layout of a pagoda, indicating a primitive phase, framing a bamboo garden. Gradually, we are then invited to experience the everyday life of Pei’s late elder, Ming (Ieoh Ming Pei), who had a calming simplicity as the culmination of three dimensions of religiosity he experienced. The first dimension is being quite happy (Confucius) where life is graded with the goal of being happy by feeling content within oneself. The second dimension is flowing like water (Tao). The third dimension is doing for others, not for oneself (Virtue). Virtue means more than good. It is a mission to continuously spread goodness without expecting a return.
In a previous post, I discussed three types of architecture in China. This time, I find it difficult to classify them. For me, that is no longer an issue. At this point, my heart has been touched by taksu. The journey to Suzhou Museum was then closed with an exhibition of vernacular Suzhou houses, where the ground can be used for learning while appreciating everyday aesthetics. When I entered the 1:1 scale model house, time seemed to stop…
I remember Mr. Eko Prawoto, Mr. Josef Prijotomo, my father, and their daily lives as ordinary humans. It is there that I found them.
——
Saya mengenal arsitek I.M. Pei lebih dalam melalui Eka Swadiansa ketika pada tahun 2007 ia mengirimkan e-mail untuk membahas buku Spirit 45 dan semangat untuk menggali arsitektur yang diskursif. Saya menganggap bahwa Spirit 45 masih relevan dengan apa yang saya perjuangkan sampai sekarang. Saya sangat menghargai usaha yang dilakukan terus-menerus dan sekaligus menjadi irisan atas apa yang juga diperjuangkan oleh saya pribadi dan teman-teman di OMAH Library. Di balik kendaraan platform dalam bentuk nama dan branding apapun yang dipakai untuk mendongkrak popularitas, arsitektur menjadi satu sarana terapi, darma, dan misi yang mulia untuk menyebarkan banyak sekali cerita kebaikan. . Saya menyebut Suzhou museum sebagai karya yang klasik dengan datum, parti, dan porche yang rapi, runtun, dan teratur. Karya ini memiliki bukaan dan tutupan dengan sebuah repertoar yang tertib dan selaras dengan lingkungan sekitarnya. Pei sangat berhati-hati dalam memainkan vista yang dibalik-balik, mencerminkan garis-garis lereng bukit dan lembah, serta pola keseharian Suzhou dengan warna putih-hitamnya. . Saat memasuki museum utama, kita akan disambut oleh foyer sebagai titik temu, tempat cahaya masuk dan menyinari geometri tangga-tangga yang dibuat saling-silang, menggabungkan bentukan yang jernih dalam usaha menampilkan siluet Suzhou apa adanya. Garis-garis imajiner dibuat menerus dari horizon kota menuju ke tangga dan atap dari bangunan ini, dengan skala dinding Forbidden City sebagai batas ketinggian tertingginya. Setiap massa bangunan dihubungkan oleh selasar koridor dengan pencahayaan dari kisi-kisi yang dibuat repetitif dan terlihat pragmatis. Saya belajar pragma dari Pak Yuswadi Saliya. Pragma adalah seni menelisik keahlian sehingga terbiasa. Titik tertingginya adalah menggali taksonomi. Oleh karenanya, ilmu rasa identik dengan taksu.
Tekukan saling-silang ini ia lanjutkan hingga ke aksis tengah pintu masuk yang membingkai courtyard yang berisi salah satu taman terindah yang pernah saya lihat. Di sana, ada batu-batu yang diolah dengan teknik/aturan kelima (aturan 1-4 adalah batu yang memiliki banyak kerutan, tinggi, kurus, dan memiliki banyak lubang), yaitu batu diiris sempurna sehingga menghasilkan bentukan baru bagaikan lukisan di atas gulungan kertas yang membeku. Tekniknya merupakan elaborasi dari “make a hole but don’t break it” menjadi “slice it to celebrate the history”. . Satu per satu area pandang museum dibagi ke dalam bentukan denah menyerupai denah pagoda yang menandakan fase primitif, membingkai taman bambu. Secara berangsur-angsur, kita kemudian diajak mengalami keseharian mendiang tertua keluarga Pei, Ming (Ieoh Ming Pei), yang memiliki simplisitas yang menenangkan sebagai kulminasi dari 3 dimensi religiusitas yang dialaminya. Dimensi pertama adalah keadaan cukup bahagia (Konfusius). Hidup ini berjenjang dengan tujuan untuk menjadi bahagia dengan merasa cukup pada diri sendiri. Dimensi kedua adalah keadaan mengalir seperti air (Tao). Dimensi ketiga adalah untuk orang lain, bukan untuk diriku (budi). Budi berarti lebih dari baik. Ia adalah misi untuk terus menebar kebaikan tanpa mengharapkan imbalan. . Di postingan sebelumnya, saya membahas tentang 3 tipe arsitektur di Cina. Kali ini, saya justru kesulitan menemukan klasifikasinya. Bagi saya, itu sudah tidak menjadi persoalan lagi. Di titik ini, hati saya sudah tersentuh oleh taksu. Perjalanan ke Suzhou Museum lalu ditutup dengan pameran rumah vernakular Suzhou yang bagian dasarnya dapat digunakan untuk belajar sembari memaknai estetika sehari-hari. Pada saat saya memasuki model rumah dengan skala 1:1 tersebut, waktu seakan berhenti … … Saya mengingat sosok Pak Eko Prawoto, Pak Josef Prijotomo, ayah saya, dan keseharian mereka menjadi manusia biasa. Di situlah, saya menemukan mereka.
Five years after Studio Garasi was established, Realrich bought a plot of land in the Taman Villa Meruya complex. On this land, The Guild was built, encompassing Realrich’s home, a dental clinic, a library, and our architecture studio.
The Guild is situated within a residential complex developed around the 1990s. On the south side, neighboring houses predominantly in Mediterranean style have a wide enough road that two cars can pass. On the north side, the neighboring houses consist of single-story rental homes, coffee shops with non-permanent materials, catering businesses, and wholesale durian vendors, with a narrow road where only one car can pass at a time. The Guild’s location precisely borders this existing paradox, the residential complex, and the urban settlement area.
On this land, three 12-meter-tall Trembesi trees surround the building on the south side. Meanwhile, the entrance to The Guild faces the hot western side. However, the presence of these trees and other small trees planted around it maintain a comfortable microclimate within The Guild.
The difference in contour, which is lower on the south side by 2 meters, often floods the entrance area of The Guild as it is the lowest point compared to other roads in the complex. To address this, we also made infiltration wells along the west side of our building.
Sometimes, during the day, the front yard becomes a gathering point for neighboring children to play together. With its strategic location, the building enriches the daily lives of those who interact with it, fostering a sense of belonging and creativity in its unique environment. Looking to the future, The Guild continues to grow in the transformative power of craftsmanship architecture and play a role in shaping the microclimate in its environment.
We embarked on a journey to understand Chinese culture, starting with the roots that began in Mongolia, where I observed a cultural preservation to its most primitive point at the mountain peak, where offerings are still maintained. This illustrates how culture remains a deeply held value here. Comparable to Greece with its acropolis, here we have Confucius. From the West and East, there is a balance. Inner Mongolia is located on the central plate of China, dividing the western and eastern regions, where horseback riding and nomadic traditions persist, and people struggle to survive in the extreme climate.
Next, we learned from Shanghai, a metropolis that evolved from a poor village, the site of the opium wars. Its strategic location enabled it to become a place of cultural acculturation between the East and the West.
However, behind this, the influx of capital and trade brought artistic touches and beauty through the influence of bureaucratic families and garden house designs, residential forms featuring courtyards. Artistic touches extend even to the arrangement of stones with four rules: the number of wrinkles, the height of the stone, the slenderness of the stone, and the number of holes. Stones symbolize the strong character of humans. There is a proverb that describes how water continuously dripping on a stone can create a hole, but not break it. This phenomenon symbolizes the presence of problems in human life. Flow like water to create holes and learn to shape the stone, but do not break it.
In Western culture, designs often expose many things directly to the eye. However, in this garden, the aesthetic concept is designed to reveal itself gradually so that we can see more of nature as we enter each new point. In Chinese architecture, nature is the standard of beauty, not buildings, not architecture.
This concept extends to product design. A chair with an armrest symbolizes a man like the sun, with stability, strength, and power. Meanwhile, a chair without an armrest symbolizes a woman like the moon: soft, emotional, and sensitive. They care for children and support the family from behind.
Beijing is different from Shanghai. Beijing was built and developed by two dynasties, the Ming and Qing, led by 24 emperors over 600 years. We walked from south to north, passing through Tiananmen Plaza [tian (heaven), an (peace), men (gate)]. In this place, there have been many ideological struggles, power battles, and dreams for the welfare of the Chinese people, who are 2-4 times the population of Jakarta. In the 1950s, many people were illiterate. At that time, China bravely closed its doors for decades to organize its forces and reopened them later to showcase its progress. I had difficulty finding English-language books here. It seems that knowledge is stored in bookstores or libraries. There is a reflection of independent knowledge, confidence in its roots, and global-local integration. I found books like “Avant-Garde as Method: Vhkutemas and the Pedagogy of Space” and “Sigurd Lewerentz,” which are rarely discussed in popular realms. However, those aware of significant movements in world architecture will recognize their substantial contributions to the global map indirectly.
We then visited Ningbo, where we could observe one of the geniuses, Wang Shu, and his works to understand the rapid industry bridging Russian business interests and second-tier Chinese cities supporting the center. Here, there is a museum celebrating the city’s progress for its people, filled with many gardens, free art exhibitions, and complete archival data.
From there, we moved on to Hangzhou, where the genius was born and raised. Surrounded by hills and lakes, Hangzhou means a heavenly city. Marco Polo witnessed this philosophy when he arrived in China about 700 years ago. Despite many wars in China’s territory and conflicts over capital relocation, Hangzhou was spared from city destruction.
Hangzhou is the birthplace of a leader figure named Su Tung-Po, famous for his poetry, literature, and modern urban science. Su Tung-Po was a governor in the Song dynasty era. He solved water issues related to agriculture and city logistics with a canal system. We learned much from our journey to Hangzhou this time, with its poetic urban experience, uniting water and land with its architecture.
Besides being the capital of the Song dynasty, Hangzhou is famous for its Buddhist monasteries and tea-drinking culture, believed to prolong life with its polyphenols containing antioxidants, which clear the body from the impurities of daily food. According to a proverb, two earthly paradises are Suzhou and Hangzhou. Suzhou is renowned for its city center, culture, and daily architecture connected by its canals. Hangzhou is famous for its natural scenery. Here, the harmony between humans and nature is represented in the form of the city, nature, and architecture.
In Hangzhou, there is a saying, “Here, happiness is lived every day.” There are origins of temples and archaeological maps showing that this city is five centuries old. There are three UNESCO World Heritage sites here: West Lake, Grand Canal, and the ancient city of Liangzhu. They could build a dam without metal. Many works by Western Pritzker Prize winners are here. Uniquely, Wang Shu’s work at the China Academy of Art, one of the best art universities, has no clear axis or rules. Today, Hangzhou continues to move as the location of one of Alibaba’s largest branches in China.
On the last day, we visited Suzhou, the hometown of the craftsmen who built the Forbidden City, with its fragrant wooden sandals and large diameters. Suzhou has everything that makes it a beautiful place. It is close to Shanghai. It has water, stones, and the best craftsmanship in China. One of the most beautiful courtyards there belongs to the I.M. Pei family. Pei once recounted his childhood playing in the gardens and villages of Suzhou. The Suzhou Museum became one of Pei’s last projects, where he reunited with his family after wandering, battling with the best techniques he had to provide the greatest play he could for a well-deserved dignity.
Kami memulai perjalanan untuk mengerti budaya Cina, salah satunya, dari memahami akar budaya yang dimulai dari Mongol, tempat saya melihat preservasi budaya sampai ke titik paling primitif di puncak gunung, di mana persembahan masih dijaga. Hal ini menggambarkan betapa budaya menjadi salah satu hal yang masih dipegang teguh di sini. Setara dengan Yunani dengan akropolisnya, di sini ada Konfusius. Dari barat dan timur ada keseimbangan. Inner Mongolia berlokasi di lempeng tengah Cina yang membelah daerah barat dan timur, tempat menunggang kuda, di mana masih ada tradisi nomaden dan perjuangan untuk hidup di iklim yang ekstrim.
Setelahnya, kami belajar dari Shanghai, sebuah metropolitan yang berkembang dari kampung yang miskin, tempat terjadinya perang opium. Lokasinya yang strategis memungkinkannya menjadi tempat akulturasi budaya barat dan timur.
Namun, di balik itu, adanya kekuatan kapital dan perdagangan yang masuk memberikan sentuhan seni dan kecantikan melalui pengaruh keluarga-keluarga birokrat dan desain rumah taman, bentukan residensinya yang memiliki courtyard. Sentuhan seni muncul hingga ke penataan batu dengan 4 aturan: banyaknya kerutan, tinggi batu, kurusnya batu, dan banyaknya lubang. Batu menggambarkan kuatnya karakter manusia. Ada sebuah pepatah yang menggambarkan air yang menetes terus-menerus di atas batu dapat membuatnya berlubang, tetapi tidak sampai mematahkan. Fenomena tersebut melambangkan kehadiran problematika di dalam kehidupan manusia. Mengalirlah seperti air untuk membuat lubang dan belajar membentuk batu, tetapi jangan mematahkannya.
Di dalam budaya barat, desain banyak dibuat seakan-akan harus mengekspos banyak hal secara langsung di depan mata. Namun, di taman ini, konsep estetikanya justru dibuat untuk menyajikan perlahan-lahan agar kita bisa melihat alam lebih banyak lagi ketika masuk ke titik selanjutnya. Dalam arsitektur Cina, alamlah yang menjadi standar kecantikan, bukan bangunan, bukan arsitektur.
Konsep ini dibawa hingga ke dalam desain produknya. Kursi dengan adanya arm-rest menunjukkan perlambang laki-laki seperti matahari yang memiliki stabilitas, kekuata, dan kuasa. Sementara itu, kursi tanpa arm-rest menunjukkan perlambang wanita seperti bulan yang halus, emosional, dan sensitif. Mereka menjaga anak-anak dan membantu keluarga dari belakang.
Lain Shanghai, lain Beijing. Beijing dibangun dan dikembangkan oleh 2 dinasti, yaitu Ming dan Qing, dengan 24 raja dalam kurun waktu 600 tahun. Kami berjalan dari selatan ke utara, melewati plaza Tianmen [tian (heaven), an (peace), men (gate)]. Di tempat ini, ada banyak perjuangan ideologi, kekuasaan, dan juga mimpi akan kesejahteraan manusia Tiongkok yang besarnya 2-4 kali Jakarta. Di tahun 1950-an, banyak orang tidak bisa baca-tulis. Pada waktu itu, Cina dengan berani menutup tirainya selama berpuluh-puluh tahun untuk menata pasukannya dan membukanya kembali untuk menunjukkan kemajuannya di kemudian hari. Saya sulit menemukan buku berbahasa Inggris di sini. Seakan-akan, ilmu itu disimpan di toko buku atau perpustakaan. Ada cerminan kemandirian ilmu, kepercayaan diri akan akar kakinya, dan kelokalan yang mengglobal. Saya justru menemukan buku “Avant-Garde as Method: Vhkutemas and the Pedagogy of Space” dan “Sigurd Lewerentz” yang jarang dibahas dalam ranah populer. Akan tetapi, orang yang mengetahui pergerakan penting arsitektur dunia akan menyadari besarnya sumbangsih mereka dalam peta duni secara tidak langsung.
Kami kemudian mengunjungi Ningbo, tempat kita dapat mengamati salah satu jenius, Wang Shu, dan karya-karyanya untuk memahami industri yang pesat yang menjembatani kepentingan bisnis Rusia dan kota kelas dua Cina yang mendukung pusat. Di tempat ini, hadir museum yang merayakan kemajuan kota bagi rakyatnya, dipenuhi dengan begitu banyak taman, pameran seni gratis, dan data arsip yang lengkap. Dari situ, kami pun beralih ke Hangzhou, tempat sang jenius dilahirkan dan dibesarkan.
Dikelilingi oleh bukit dan danau, Hangzhou berarti kota surga. Marcopolo telah menyaksikan sendiri filosofi ini ketika mendarat di Cina sekitar 700 tahun yang lalu. Dalam banyak peperangan yang mewarnai wilayah Cina dan konflik pemindahan ibukota, Hangzhou pun luput dari penghancuran kota.
Hangzhou merupakan tanah kelahiran seorang pemimpin bernama Su Tung-Po yang terkenal dengan puisi, sastra, dan ilmu perkotaan modernnya. Su Tung-Po adalah gubernur di era dinasti Song. Ia menyelesaikan masalah air terkait pertanian sekaligus logistik kota dengan sistem kanal. Kami banyak belajar dari perjalanan kami ke Hangzhou kali ini, dengan pengalaman kotanya yang puitis, menyatukan air dan tanah dengan arsitekturnya.
Selain sebagai ibukota dinasti Song, Hangzhou terkenal dengan biara budha dan budaya minum tehnya yang dipercaya mampu memperpanjang umur dengan khasiat polifenolnya yang mengandung antioksidan dan mampu menjernihkan tubuh dari kekeruhan makanan yang dimakan sehari-hari. Dua dari surga dunia menurut pepatah adalah Suzhou dan Hangzhou. Suzhou terkenal dengan pusat kota, budaya, dan arsitektur kesehariannya yang disambung-sambung oleh kanal-kanalnya. Hangzhou terkenal dengan alamnya yang natural. Di sini, harmoni manusia dan alam terepresentasi dalam bentuk kota, alam, dan arsitekturnya.
Di Hangzhou, ada pepatah “di sini hidup bahagia itu setiap hari”. Ada asal-usul kuil dan peta arkeologi yang menunjukkan bahwa kota ini sudah berumur 5 abad. Ada 3 situs UNESCO World Heritage di sini: West Lake, Grand Canal, dan kota kuno Liangzhu. Tidak ada metal, tetapi mereka bisa membuat bendungan. Begitu banyak karya pemenang Pritzker Prize dari Barat ada di sini. Uniknya, karya Wang Shu di China Academy of Art, salah satu universitas seni terbaik, justru tidak memiliki aksis dan aturan yang jelas. Saat ini, Hangzhou terus bergerak sebagai lokasi dari salah satu cabang Alibaba terbesar di China.
Di hari terakhir, kami mengunjungi Suzhou, kampung dari para tukang yang membangun Forbidden City, dengan sandal kayunya yang wangi dan berdiameter besar. Suzhou memiliki semua hal yang menjadikannya tempat yang indah. Ia dekat dengan Shanghai. Ia memiliki air, batu, dan ketukangan terbaik di Cina. Salah satu courtyard terindah di sana dimiliki oleh keluarga I.M. Pei. Pei pernah bercerita tentang masa kecilnya bermain-main di taman dan perkampungan di kota Suzhou. Suzhou Museum menjadi salah satu proyek terakhir Pei, tempat ia bertemu kembali dengan keluarganya setelah berkelana, berjibaku dengan teknik terbaik yang dimiliki untuk memberikan permainan terdahsyat yang ia bisa demi sebuah harga diri yang pantas diperjuangkan.
My opportunity to visit China came from an invitation by a friend, Poh Kulthida, who recommended my name to Professor Yehao to speak at the 2024 Architectural Culture Symposium: Oriental Architectural Identity in the Context of Globalization (文化互鉴: 全球化语境下的东方建筑文化认同), initiated by Tsinghua University and Inner Mongolia University of Architecture in Hohhot. The event featured Cheng Taining, an almost 90-year-old figure, a venerable legend in Chinese architecture since the 1950s. He has witnessed China’s transformations through various challenging eras, to the point where the country could rise and enter a phase of independence with its cultural explosion. He reflected that personal discourse is important and cultural confidence can be built by integrating that culture into everyday life. I took some of his words for reflection.
In my opinion, there are three types of contemporary architecture that I observed during my travels in China, based on their design approaches. The first type includes works with a strong narrative that unites the metaphors of mountains and water, heaven and earth. On earth lies history. In heaven, there is an image of prosperity and shared happiness, a dignity worth striving for. Such works represent a subtle narrative, like the kung fu stories of the Bamboo Curtain country, from nothingness to existence and reality. This is the work of architect Cheng Taining, starting from philosophy and belief.
The second type includes works that weave historical roots with integration studies by university academics. They research Chinese culture by delving into archaeological data, building performance, and tectonic functions, along with the relevance of their use according to their respective timelines within the constraints of speed and cost. Remarkably, they also actualize this data in designing and weaving their design stories. This can be seen in the works of Zhang Pengju, SUP Atelier, Song Yehao, Sun Jingfen, Li Xiaodong, and others. Astonishingly, with their expertise, Zhang Pengju and his team managed to create a museum in Hohhot that integrates the city park and our conference venue within a 90-day design and construction period.
The third type includes works that weave various local stories in a literal way that can be directly enjoyed. The stories are simple and capable of captivating the public through symbols, from small to large scales. This third type is universal enough to shake the world of stars. From local, it goes global. Whoever the actor, they coexist in their own way. The works of colleagues from Foster, Nouvel, Chipperfield, Heatherwick, and Perkins&Will fall into this category.
Meanwhile, my presentation started from small, simple, and underdog practices by exploring issues around us, such as waste, climate, plants, and the need for places for people to rest and work. There are so many tasks to be done, including the reconstruction of archives, history, vernacularity, and Eastern philosophy that needs to be adapted. Many interpretations emerge from what my team has created, which cannot be separated from the interpretations of @arlynkeizia and her team at @omahlibrary, regarding the story of a practitioner seen through the image of a clown tirelessly performing on stage behind long hours of practice.
I felt a sense of friendship from all of us present at this symposium, standing together and discussing architecture that is deeply embedded in the hearts of each of us. Some of the projects mentioned at this event depict problem-solving in very everyday contexts.
The photo above was taken by Professor Duan Jianqiang. He described the figure of a father as a reflection of all of us who are struggling. A father always entrusts the message to take care of the mother. Architecture is the mother, whom we all take care of together. I write this reflection with the hope that whenever I look at this page, I will become happier and make many people happier with their own architecture. On this trip, I felt happy and enlightened with the wealth of knowledge gained. Thank you Poh Kulthida, Yehao, Hoàng Thúc Hào, Duan Jianqiang, Zhang Pengju, Chomchon Fusinpaiboon, Dai Chun, Fan Lu, and all of the distinguished professors, all the best.
Kesempatan saya bertandang ke Cina datang dari ajakan seorang kawan, Poh Kulthida, yang merekomendasikan nama saya ke Profesor Yehao untuk ikut berbicara dalam acara 2024 Architectural Culture Symposium: Oriental Architectural Identity in the Context of Globalization (文化互鉴: 全球化语境下的东方建筑文化认同) yang diinisiasi oleh Tsinghua University dan Inner Mongolia University of Architecture di HohHot. Acara tersebut diisi oleh Cheng Taining, seorang figur yang sudah berusia hampir 90 tahun, seseorang yang dituakan, legenda arsitektur Cina sejak 1950-an. Ia adalah saksi perubahan Cina dalam berbagai era sulit, hingga negara tersebut mampu merangkak naik dan menjalani fase kemandirian dengan ledakan budayanya. Ia berefleksi bahwa diskursus personal menjadi penting dan kepercayaan diri budaya dapat dibangun justru dengan merangkai budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Saya mengambil beberapa kalimatnya untuk menjadi refleksi.
Menurut saya, ada 3 tipe arsitektur kontemporer yang hadir di sekitar perjalanan saya di Cina, berdasarkan observasi pendekatan desainnya. Tipe pertama adalah karya yang memiliki cerita kuat dalam menyatukan metafora gunung dan air, surga dan bumi. Di bumi ada sejarah. Di surga ada citra kemakmuran dan kebahagiaan bersama, sebuah harga diri yang patut untuk diperjuangkan. Karya-karya yang demikian merepresentasikan halusnya narasi, seperti pada cerita kungfu negeri tirai bambu, dari tiada menjadi ada dan nyata. Itulah karya arsitek Cheng Taining, karya yang dimulai dari filosofi dan keyakinan.
Tipe kedua adalah karya yang merajut akar sejarah dengan telaah integrasi dari para akademisi di universitas. Mereka meriset budaya Cina dengan menggali data arkeologi, performa bangunan, dan fungsi tektonika beserta relevansi penggunaannya sesuai kronologi waktunya masing-masing dalam kecepatan dan keterbatasan biaya. Dahsyatnya, mereka juga mengaktualisasikan data-data tersebut dalam merancang dan merajut cerita desainnya. Hal tersebut dapat terlihat pada karya-karya Zhang Pengju, SUP Atelier, Song Yehao, Sun Jingfen, Li Xiaodong, dan kawan-kawan. Dahsyatnya lagi, dengan kepiawaiannya, Zhang Pengju dan tim bisa membuat museum di HohHot yang mengintegrasikan taman kota dan tempat konferensi kami dalam durasi desain dan konstruksi 90 hari.
Tipe ketiga adalah karya yang merangkai berbagai cerita lokal melalui cara literal yang dapat dinikmati langsung. Ceritanya sederhana dan mampu memukau publik dalam simbol dengan skala kecil sampai besar. Tipe ketiga ini adalah tipe yang universal untuk dapat mengguncangkan dunia bintang-bintang. Ibaratnya, dari lokal ia mengglobal. Siapaun aktornya, ia koeksis dengan caranya sendiri. Karya rekan-rekan dari Foster, Nouvel, Chipperfield, Heatherwick, dan Perkins&Will termasuk pada tipe ini.
Sementara itu, presentasi saya dimulai dari praktik yang kecil, sederhana, dan underdog dengan menggali isu-isu di sekitar, seperti sampah, iklim, tanaman, serta kebutuhan tempat untuk orang beristirahat dan bekerja. Ada begitu banyak PR yang perlu dikerjakan, termasuk rekonstruksi arsip, sejarah, vernakularitas, dan filosofi timur yang perlu diadaptasi. Banyak interpretasi muncul atas apa yang dibuat oleh tim saya, yang tidak lepas dari penafsiran @arlynkeizia dan timnya di @omahlibrary , mengenai cerita praktisi yang dilihat dalam gambaran seorang badut yang sibut beratraksi di atas panggung tanpa kenal lelah di balik jam latihan yang panjang.
Saya merasakan rasa persahabatan dari kami semua yang hadir di simposium ini, saling berdiri membicarakan arsitektur yang hadir begitu dalam di hati setiap dari kami. Beberapa proyek yang dibahas dalam acara ini menggambarkan penyelesaian masalah dengan kasus yang sangat sehari-hari.
Foto di atas diambil oleh Profesor Duan Jianqiang. Beliau menggambarkan sosok seorang ayah sebagai cerminan atas diri kita semua yang sedang berjuang. Ayah selalu menitipkan pesan untuk menjaga ibu. Arsitektur adalah ibu, yang kita semua jaga bersama-sama. Saya menulis refleksi ini dengan harapan bahwa setiap kali saya melihat halaman ini, saya akan bisa menjadi lebih bahagia dan membuat banyak orang lebih bahagia dengan arsitekturnya masing-masing. Di perjalanan kali ini, saya merasa senang dan tercerahkan dengan banyaknya ilmu yang didapat. Terima kasih Poh Kulthida, Yehao, Hoàng Thúc Hào, Duan Jianqiang, Zhang Pengju, Chomchon Fusinpaiboon, Dai Chun, Fan Lu, and all of the distinguished professors, all the best.
My travels to various places in China have sparked many questions. What happened after 2008, and how did it unfold? Leading up to the 2008 Olympics, China significantly opened up to works by foreign architects. Even now, the colorful advancements in architecture paint the ongoing dialogue between the two.
Wei Jie was someone who sat in front of me, a fellow group member in Group 5, back in 2005 when we worked together in Norman Foster’s studio. Now, he is part of the partnership group in Shanghai led by Emily, who also serves on the Design Board at Foster + Partners. Truly familiar faces. That day, I also met Xiao Xue, a good friend and fellow group member when we worked on a project in Abu Dhabi. There are so many dreams for a better life. From Indonesia-London-Shanghai, we are connected. Wei Jie and Xiao Xue are now married and they are striving together. This reminds me of a saying, “The most important thing is not the journey or the destination, but who you travel with.”
Although my journey and theirs are filled with pressures, local and external traditions continue to relate powerfully over time. In the end, our faces and theirs never become unfamiliar, even as our hair turns white and we look forward to meeting again. As the children grow up, our architecture will also mature. Architecture will become more mature with the resonance between global and local, or between business interests and missions. Each choice comes with its own consequences. Interestingly, architectural stories remain exciting to discuss, each with its own extremes.
Everything has its own story, from the 1001 trees that received complaints from neighbours for looking like a graveyard, to the 1001 jars that became a world-class marketing tool, to the curves of Galaxy Soho and the paradox of a simple noodle shop as a tenant. There is also the Natural History Museum for children, with many animal replicas to accelerate learning, giving colour to the current virtual and instant world, and the Long Museum West Bund with its simple axis, foyer, and courtyard where books and exhibition spaces are located, adorned with soft light filtering through fins on stone materials made to resemble lanterns. This museum reflects the Zen power that came to China from America before the architect, Liu Yi-chun of Atelier Deshaus, learned from Greece and Japan.
Be it Nouvel, Heatherwick, Hadid, Chipperfield, or Perkins&Will, they all possess the storytelling power and maintain arguments as a result of economic influences, the rise and fall of the property industry, commerce, pandemics, and simple politics—a simple human intent to survive within their ecosystem.
…
Perjalanan saya ke banyak tempat di Cina mewarnai banyak pertanyaan. Bagaimana dan apa yang terjadi setelah 2008? Menjelang Olimpiade 2008, Cina banyak membuka diri terhadap karya yang dikerjakan oleh arsitek asing. Sampai sekarang, warna-warni kemajuan arsitektural mewarnai dialog yang terjadi antara keduanya. Wei Jie adalah seseorang yang duduk di depan saya, rekan satu grup saya di grup 5, pada tahun 2005 ketika kami bekerja bersama di studio milik Norman Foster. Sekarang, ia merupakan bagian dari grup partnership di Shanghai yang dipimpin oleh Emily yang sekaligus merupakan Design Board di Foster + Partners. Sungguh wajah-wajah yang familiar. Hari itu, saya juga bertemu dengan Xiao Xue, kawan baik yang juga merupakan rekan satu grup kami ketika mengerjakan proyek di Abu Dhabi. Banyak sekali mimpi untuk kehidupan yang lebih baik. Dari Indonesia-London-Shanghai, kami terhubung. Wei Jie dan Xiao Xue sendiri adalah pasangan suami-istri yang sedang berjuang. Saya menjadi teringat sebuah pepatah, “Yang terpenting bukanlah perjalanan atau tujuan yang tercapai, tetapi dengan siapa kamu menjalaninya.” . Meskipun perjalanan kami dan mereka dilingkupi oleh tekanan, tradisi lokal dan luar terus berelasi dengan dahsyat dalam ikatan waktu. Pada akhirnya, wajah-wajah kami dan mereka tidak pernah menjadi asing meskipun sudah berambut putih dan menantikan saat bertemu kembali. Anak-anak mulai bertumbuh besar, arsitektur kita semua juga akan semakin matang. Arsitektur akan semakin matang dengan resonansi antara global dan lokal, ataupun antara kepentingan bisnis dan misi. Semuanya merupakan pilihan yang memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Lucunya, cerita arsitektur tetap selalu asyik diperbincangkan dengan ekstrimnya masing-masing. . Semua punya ceritanya sendiri, dari 1001 pohon yang mendapatkan komplain dari tetangga karena mirip kuburan, 1001 toples yang menjadi bahan pemasaran kelas dunia, hingga lengkungan Galaxy Soho dan paradoks warung mi sederhana sebagai tenant. Ada juga Natural History Museum untuk anak dengan begitu banyaknya replika binatang untuk mempercepat proses belajar yang mewarnai dunia maya dan instan, serta Long Museum West Bund dengan aksis yang sederhana, foyer, dan courtyard tempat buku-buku dan ruang pamer berada, dihiasi cahaya lembut yang masuk melalui sirip-sirip pada material batu yang dibuat seperti lampion. Museum ini menjadi cerminan dari kekuatan zen yang datang ke Cina dari Amerika sebelum sang arsitek belajar dari Yunani dan Jepang. . Baik Nouvel, Heatherwick, Hadid, Chipperfield, maupun Perkins&Will, semuanya memilliki kekuatan bercerita dan mempertahankan argumen, sebagai hasil dari pengaruh ekonomi, maju-mundurnya industri properti, komersial, pandemi, dan politik yang sederhana, sebuah maksud sederhana manusia dalam ekosistemnya untuk bertahan hidup.
The Wangkar Bioclimatic Home, currently under construction, is designed to serve as a residence for a large family. It consists of several houses for the parents, their grown-up childrens and their future family. The development process has spanned nearly eight years from conceptualization to its current state. Many have remarked that the project has taken too long. However, for us, attitude is as essential as design methodology.
Over these nearly eight years of construction, we’ve learned that architecture is not merely about completing a building. This project proves that success isn’t always measured by how quickly it is finished but by how the process builds solid and sustainable emotional connections with the people involved and various stakeholders.
Our journey with Wangkar Bioclimatic Home has been akin to a marathon, where we’ve learned not just as planners but also as mediators managing various dynamics and challenges. We’ve bridged different parties, overcome egos, and materialism, and learned that everything doesn’t come cheap—it’s a costly process.
From implementing simple rules like no smoking in the project area to discussing detailed architectural elements such as piping, finishing quality, and even ensuring protection against mice by sealing all gaps or safeguarding against water damage, every detail has been meticulously considered.
Every difficulty offers an opportunity to refine and produce high-quality results. For us, this project isn’t just a structure but the outcome of hard work, dedication from a solid team, and a sincere vision. With continued effort, we anticipate reaching the finish line soon, bringing along sweet memories and beautiful dreams for a better future.
Apart from taking lessons from Wang Shu, I also visited Tsinghua University which is said to be one of the best campuses in the world. There is Li Xiaodong’s figure there. I saw his works, the Liyuan Library in the north of Beijing, and a new building in the central area/courtyard of the architecture school of Tsinghua University.
Circulation to the new building is buried in the ground. The building is made open with so many student works exhibited in limited spaces. Its dense and intensive scale means that this building has to negotiate the intrigues through its interior. Many people’s dreams and hopes play out in it. My impression is that the program is bigger than the available dimensions, so it looks like they crowd the building. Academics, practitioners and architecture students are indeed one of the most difficult clients. There is always a need for new spaces, circulation and themes. The exterior of the building is covered by an iron frame with an industrial pattern that hides the outdoor split AC unit, exhaust fan and heater. This building seems to be racing at high speed in the construction process.
After that, I visited one of the works by the young bureau SUP Atelier, namely the Central Canteen of Tsinghua University, which was designed by Professor Song Yehao with his team and students. Besides teaching at Tsinghua University, Professor Song Yehao is also the curator of the Architectural Culture Symposium which invited me to speak at the Inner Mongolia University of Technology, Hohhot.
In this canteen building, there is an attempt to have a dialogue in forming the layers between industry and craftsmen through a brick pattern. The axis is formed by connecting the circulation that stretches around the building. The axis is made in the form of bridges and stairs that divide the site in its exterior and interior atmosphere. These axes are en by large windows and light holes that face the sky. “This hole can be opened from the top manually so it is cheaper,” Jingfen explained. Sun Jingfen is Song Yehao’s colleague that came to represent him who at that time was on a business trip. The details of this canteen building are simple. There are many attachments, such as plinths that are coated to maintain ease of operation and work with the use of color. The interior design is played by rotating and shifting elements slightly, also giving them different colors to give an understated personality.
This design approach was widely used by Alvar Aalto 100 years ago and is still valid today. The reconstruction of the studio’s language can be seen from the biography of SUP Atelier when they were working on several projects in the countryside. The new Tsinghua is red, a contrast to the old Tsinghua which was white. I feel a connection, a bond with the new generation. The language is still halting, but the intention is already shining through, waiting for the time to become more connected in an even stronger spirit of grammatical brotherhood.
Designing on this campus, I’m sure, is not easy, with the work of many world star architects in this area, such as Mario Botta, David Chipperfield, and Jean Nouvel. I whispered a prayer to Jingfen, and at the same time sent greetings to Yehao, hoping that SUP Atelier could work on more projects at Tsinghua University, the heart of the world of intelligent people. Hope is important and prayer is a sincere spirit of brotherhood for us to move forward together.
The hope is that this prayer will also be reflected in our lives at the RAW Architecture studio and the many things we do: building brotherhood, serving clients, absorbing daily dynamics, and learning again to improve our abilities. One moves forward, move forward altogether.
Selain mengambil pelajaran dari Wang Shu, saya juga berkunjung ke Tsinghua University yang digadang-gadang sebagai salah satu kampus terbaik di dunia. Ada figur Li Xiaodong di sana. Saya melihat karya-karyanya, yaitu Liyuan Library, sebuah perpustakaan di utara Beijing, dan bangunan baru di area tengah/courtyard departemen arsitektur di Tsinghua University.
Sirkulasi menuju bangunan baru tersebut dipendam ke tanah. Bangunan dibuat terbuka dengan begitu banyaknya karya mahasiswa yang dipamerkan di dalam ruang-ruang terbatas. Skalanya yang padat dan intensif membuat bangunan ini harus bernegosiasi dengan intrik-intrik interiornya. Banyak mimpi dan harapan orang-orang yang bermain di dalamnya. Kesan saya, programnya lebih besar dari dimensi yang tersedia, sehingga terlihat memadati bangunannya. Para akademisi, praktisi, dan mahasiswa arsitektur memang merupakan salah satu klien tersulit. Ada saja kebutuhan ruang-ruang, sirkulasi, dan tema yang baru. Tampak luar bangunan diselubungi oleh kerangka besi dengan pola industri yang menyembunyikan outdoor unit AC split, exhaust fan, dan heater. Bangunan ini seolah berlomba dengan kecepatan tinggi dalam proses pembuatannya.
Setelahnya, saya berkunjung ke salah satu karya biro muda SUP Atelier, yaitu Central Canteen of Tsinghua University, yang didesain oleh Profesor Song Yehao bersama tim dan murid-muridnya. Profesor Song Yehao merupakan seorang pengajar di Tsinghua University dan sekaligus kurator Architectural Culture Symposium yang mengundang saya untuk berbicara di Inner Mongolia University of Technology, HohHot.
Pada bangunan kantin ini, terdapat usaha untuk berdialog dalam membentuk lapisan-lapisan antara industri dan perajin di dalam pola bata-bata. Aksis dibentuk dengan menghubungkan sirkulasi yang membentang di sekeliling bangunan. Aksis dibuat dalam rupa jembatan dan tangga yang membelah site pada suasana eksterior dan interiornya. Aksis ini dihubungkan oleh jendela besar dan lubang cahaya yang menghadap langit. “Lubang ini bisa dibuka dari atas secara manual sehingga lebih murah,” Jingfen menjelaskan. Sun Jingfen datang mewakili sebagai rekan dari Song Yehao yang saat itu sedang melakukan trip bisnis ke daerah. Detail dari bangunan kantin ini sederhana. Banyak terdapat tempelan, seperti plinth yang dilapis untuk menjaga kemudahan operasional dan pekerjaan dengan penggunaan warna. Desain interior dimainkan dengan memutar dan memajukan sedikit elemen-elemen dengan pemberian warna berbeda untuk memberi kekhasan yang bersahaja.
Pendekatan desain seperti ini banyak dilakukan oleh Alvar Aalto 100 tahun yang lalu dan masih valid hingga sekarang. Rekonstruksi bahasa milik studio terlihat dari biografi SUP Atelier pada saat mereka mengerjakan beberapa proyek di pedesaan. Tsinghua baru berwarna merah, kontras dari Tsinghua lama yang berwarna putih. Saya merasakan adanya hubungan, ikatan dengan generasi baru. Bahasanya masih terbata-bata, tetapi niatnya sudah terpancar, menunggu waktu untuk semakin terhubung dalam satu semangat persaudaraan gramatika yang lebih kuat lagi.
Mendesain bangunan di kampus ini, saya yakin, tidaklah mudah, dengan banyaknya karya arsitek bintang, seperti Mario Botta, David Chipperfield, dan Jean Nouvel, di kawasan ini. Saya membisikkan doa ke Jingfen, sekaligus menitipkan salam untuk Yehao, harapan agar SUP Atelier dapat mengerjakan lebih banyak lagi proyek di Tsinghua University, jantung penggodokan manusia-manusia pintar di dunia. Harapan itu penting dan doa menjadi semangat persaudaraan yang tulus untuk kita maju bersama.
Harapannya, doa itu juga terpantul ke dalam kehidupan kami di studio RAW Architecture dan banyak hal yang kami kerjakan: membangun persaudaraan, melayani klien, menyerap dinamika keseharian, dan belajar kembali untuk meningkatkan kemampuan. Maju satu, maju semua.
Kata “nusantara” cukup populer. Tidak asing juga bagi dunia arsitektur. Ia pernah menjadi topik yang hangat dalam upaya “mencari” arsitektur Indonesia. Ada yang bilang arsitektur tradisional itu bagian dari arsitektur nusantara. Ada juga yang bilang “arsitektur tradisional nusantara” itu salah kaprah, karena tidak ada arsitektur semacam itu.” Meskipun suka dipakai dan sering diperdebatkan di dunia arsitektur, asal dan arti nusantara itu belum banyak kita ketahui, terutama penggunaannya di bidang ilmu di luar arsitektur. Dalam diskusi ini kita akan mencoba memperluas wawasan sambil mencari posisi yang baik untuk meletakkan “nusantara” dalam perdebatan arsitektur. Kita akan menelusuri pengertian dan penggunaan “nusantara” dalam lima posisi: sebagi ruang 1) Periferi; 2) Geo-body; 3) Bahari; 4) Hibrida; dan 5) Resistensi.
Kata “nusantara” cukup populer. Tidak asing juga bagi dunia arsitektur. Ia pernah menjadi topik yang hangat dalam upaya “mencari” arsitektur Indonesia. Ada yang bilang arsitektur tradisional itu bagian dari arsitektur nusantara. Ada juga yang bilang “arsitektur tradisional nusantara” itu salah kaprah, karena tidak ada arsitektur semacam itu.” Meskipun suka dipakai dan sering diperdebatkan di dunia arsitektur, asal dan arti nusantara itu belum banyak kita ketahui, terutama penggunaannya di bidang ilmu di luar arsitektur. Dalam diskusi ini kita akan mencoba memperluas wawasan sambil mencari posisi yang baik untuk meletakkan “nusantara” dalam perdebatan arsitektur. Kita akan menelusuri pengertian dan penggunaan “nusantara” dalam lima posisi: sebagi ruang 1) Periferi; 2) Geo-body; 3) Bahari; 4) Hibrida; dan 5) Resistensi.
This project is located on Gading Indah Street in North Jakarta. The roads are narrow and dense, and flooding problems occur. To address these challenges, the complex has implemented dams and water gates, although flooding remains a concern. The neighborhood can also be seen as an “urban village”, characterized by small lots measuring approximately 6 x 15 meters, each totaling around 90 square meters.
At first, our client asked, “Would you like to design a small house like this?”
Sometimes, we are surprised; perhaps there’s a perception that we only handle large projects. However, from this question, we realized that our client had placed great trust in us, and we also want to make the best collaborative effort, turning this project into a space for growth.
Once we started the design process, the question became how to create a house that meets our client’s needs. They desire a spacious layout and flexible spaces that can accommodate future needs over the next 20-30 years. They also want a home that still provides good ventilation and natural lighting.
From these considerations, the design process began by grouping essential parts and creating column-free spaces. The staircase was placed along one side to maximize usable area. Small light wells were designed around the building which double as boundaries between neighboring houses and the main structures. Also, the north-south orientation allows the facade to open widely while ensuring privacy and eco-friendliness for the users.
The result is a slim and tall house composition that adapts to the limited land in Gading Indah, incorporating a concept of zero water runoff to contribute positively to the beloved Jakarta.
In this 2 weeks trip, I learned a lot from architect Wang Shu who lived and grew with craftsmen in the early 90s until the monetary crisis which made him work on many institutional projects. In a decade, he was economically dependent on his wife, Lu Wenyu, who eventually became his partner in founding the Amateur Architecture Studio which consisted of 10 people in 1997.
His early projects were renovations of old buildings. He studied architectural styles from India, Africa, and America, adapting these influences to fit the context of his work. His designs often feature elements like concrete-framed glass windows, reminiscent of Le Corbusier’s work. Wang Shu skillfully plays with the up and down of the lands, traditions, and new contexts in his architecture.
I learned many valuable lessons, particularly from the Ningbo Contemporary Art Museum which became a historical representation of the pier. It can be seen from the horizontal and vertical layers of its architecture. Through a journey that starts from wall to wall, we can observe the evolution of materials from ancient to modern like wood and copper, until finally we are taken to see works of art that are also always changing towards a view of the pier bridge which depicts a new era. The ground floor houses a children’s museum, with walls resembling the height of the Forbidden City’s walls. Interestingly, the walls of the museum’s upper floors are made of wood, taking inspiration from historical shophouses often found in Ningbo in the past. “Contemporary” in the context of this museum is defined as a journey to the pier.
I also explored the Ningbo Historic Museum which represents mountains and caves emerging from the rocky landscape of Ningbo, surrounded by water. Pier bridges connect the transition from outside to inside, with a linear circulation centered on the foyer and leading to the highest point, symbolizing heaven. At the top, a lecture hall surrounded by a wooden deck offers a space for children to play.
Next to the museum, is a park with a series of pavilions named the 5 Scattered Houses which illustrate Wang Shu and Lu Wenyu’s method of constructing new Chinese architecture based on historical and material contexts. These houses embody five different craftsmanship methods: roof, bridge, mass, courtyard, and shadow. Readings of their work are complex and bold. There is a radical fight to break through and a belief to integrate culture, everyday life, and materiality to realize their vision, by being amateurs and continuously learning.
Lastly, I visited the China Academy of Art, a manifestation of Wang Shu and Lu Wenyu’s beliefs. I see the consistency of the language replicated from their previous projects. Interestingly, Wang Shu drew an axis from the city towards the lake, surrounding the lake—which symbolizes heaven—with amorphous vistas forming mountains—which symbolize earth. It is a representation of Hangzhou City in a microcosm. There are many glimpses of the history of temples and people’s houses, as well as old materials and construction techniques. Each mass of the building is penetrated by a courtyard, connected by corridors that rise, fall and crisscross to the tiered auditorium, adapting to the natural contours and excavation fill. The knowledge is the philosophy of the artisans, simple logic in barefoot architecture—no wonder they call themselves amateurs. The architecture is flexible, aiming to reconstruct historical discourse. This is where art plays a role in making people attached, both personally and publicly, to have an inner bond that leads to a collective bond.
Dalam trip 2 minggu kali ini, saya banyak sekali belajar dari Wang Shu yang tinggal dan berkembang dengan para perajin di awal tahun 90-an hingga datangnya krisis moneter yang justru membuat dirinya banyak mengerjakan proyek dari institusi. Dalam rentang 1 dekade tersebut, ia pun bergantung secara ekonomi dari istrinya, Lu Wenyu, yang akhirnya juga menjadi rekannya dalam mendirikan Amateur Architecture Studio yang berisikan 10 orang pada tahun 1997.
Proyek-proyek yang ia kerjakan adalah renovasi bangunan tua. Ia belajar dari arsitektur India, Afrika, dan Amerika yang kemudian ia kontekstualisasikan dengan situasi tempatnya mendesain. Dalam karyanya, kita juga bisa melihat pancaran dari bingkai kaca yang terbuat dari beton sebagaimana yang terdapat di karya Le Corbusier. Wang Shu bermain-main dengan naik-turunnya lahan, tradisi, dan konteks-konteks baru.
Ada banyak hal yang saya dapatkan, khususnya dari Ningbo Contemporary Art Museum yang merupakan representasi sejarah dermaga. Pelabuhan dapat terlihat dari lapisan-lapisan horizontal dan vertikal arsitekturnya. Melalui perjalanan yang dimulai dari dinding demi dinding, kita dapat mengamati perubahan material dari material kuno menuju kayu dan tembaga, hingga akhirnya kita dibawa melihat karya seni yang juga selalu berubah menuju vista jembatan dermaga yang menggambarkan bingkai era baru. Area bawah merupakan museum anak. Ketinggian dinding pada tampak menyerupai ketinggian dinding Forbidden City. Menariknya, dinding museum ini terbuat dari kayu yang diambil dari sejarah rumah toko yang banyak terdapat di Ningbo pada masa lalu. Kontemporer dalam konteks museum ini didefinisikan sebagai sebuah perjalanan ke dermaga.
Saya juga sempat berkunjung dan belajar ke Ningbo Museum yang merepresentasikan gunung dan gua yang muncul dari lanskap bebatuan di Ningbo yang dikelilingi oleh air. Jembatan-jembatan dermaga menghubungkan transisi dari luar ke dalam bangunan dalam sirkulasi linear yang berpusat di foyer dan menuju ke titik tertinggi yang merepresentasikan surga. Di titik tertinggi tersebut, terdapat lecture hall yang dikelilingi dek kayu, tempat anak-anak bisa bermain.
Di sebelahnya, terdapat 5 Scattered Houses yang menjelaskan metode Wang Shu dan Lu Wenyu dalam mengonstruksi arsitektur Cina baru yang berbasis pada sejarah dan material yang berbasis pada ketukangan dengan 5 metode berbeda: cerita atap, jembatan, massa, courtyard, dan bayangan. Pembacaan karya mereka memang kompleks dan berani. Ada perjuangan dari akar untuk menerobos dan meyakini bahwa budaya, sesuatu yang sehari-hari, dan materialitas akan mampu menopang wujud dari mimpi mereka, yaitu menjadi amatir dan terus belajar.
Terakhir, saya berkunjung ke China Academy of Art yang merupakan sarang dari manifestasi keyakinan mereka. Saya melihat konsistensi bahasa yang direplikasi dari proyek mereka sebelumnya. Menariknya, ia menarik aksis dari kota menuju danau, mengelilingi danau yang melambangkan surga dengan vista-vista amorf membentuk gunung yang melambangkan bumi. Inilah representasi Hangzhou dalam mikrokosmos. Ada banyak cercahan sejarah kuil dan rumah-rumah penduduk yang terlihat, serta material-material lama dengan teknik konstruksinya. Setiap massa bangunan ditembus oleh courtyard-courtyard yang terhubung dengan koridor yang naik-turun dan bersilang-silang menuju auditorium yang berjenjang-jenjang, menyesuaikan kontur dan urugan tanah yang merupakan hasil dari penggalian pondasi. Ilmunya adalah ilmu filosofi tukang, logika sederhana dalam arsitektur kaki telanjang. Pantas mereka menyebut dirinya amatir. Arsitekturnya luwes dan berpijak pada upaya rekonstruksi diskursus sejarah. Di sinilah seni berperan untuk menjadikan lekat, personal sekaligus publik, memiliki ikatan batin yang menuju ikatan kolektif.
This Arch Pavilion was initially built to address space constraints in our garage studio. With dimensions of 2.4 m x 6 m, the pavilion provided a space for interns to learn and gain experience. It consists of 120 modules, each measuring 200 mm x 400 mm x 600 mm. It took approximately 14 days to complete using a knock-down system, facilitating easy relocation with the help of three craftsmen. The construction is simple, modular, and cost-effective.
After the interns leave to complete their studies, the pavilion transitions into a resting place for studio members, offering a place for various intimate and enjoyable activities, sharing sessions, and more. Over time, it evolved into an architecture learning hub for young individuals and architects. The sense of intimacy felt within the Studio Garasi continued to grow wider, fostering an open ambiance for interaction during discussions and learning sessions for all. This marked the beginning of the journey of OMAH Library. At that time, many people continued to come to the pavilion for lectures and discussions.
Studio Garasi is a space full of memories. Despite its limitations, small, and efficient space, Studio Garasi is always filled with the sound of laughter and conversation. This also reminds us to remember the message of simplicity, beauty, honesty, and self-limitation to continue learning and shaping our future.
China dan pecahan- pecahan nya memang merupakan salah satu negara dengan kemampuan berhitung, membaca tertinggi di dunia bersama-sama Finlandia. Kedua regional ini ada di 10 teratas dunia, menjadi sebuah refleksi apa saja yang mereka lakukan dengan kerja keras, kritis, dan kolaboratif tentunya. Pendidikan karakter akan jadi kunci untuk tantangan ke depan padahal 1950 an dulu membaca dan menulis menjadi sebuah hal yang langka. Kemauan belajar, kerja keras dan kesederhanaan menjadi banyak hal yang bisa dipelajari. . Shanghai, Beijing, Ningbo, Hangzhou, perjalanan belajar bersama kami, satu keluarga, arsitektur, menghargai waktu, proses belajar, dan membuka mata. Laurensia berangkat di hari yang berbeda, saya ke Hohhot dulu karena ada lecture disitu. Sempet deg-degan karena ini kali pertama bawa anak – anak, dan Laurensia and kids doing it very well, eksplore budaya dan kota yang majemuk. . Dari taman Yu milik keluarga Pan, 1001 pohon, 1001 toples di Shanghai kami belajar filosofi kehidupan dari budaya China, dari Forbidden City, Temple of Heaven, dan Summer Palace kami belajar tidak mengeluh jalan berkilometer, mendapatkan sejarah yang dulu dijalani dalam abad – abad yang lalu. Kami juga belajar diajak oleh tim prof Yehao SUp Atelier untuk keliling Tsinghua untuk merasakan suasana salah satu kampus yang sungguh bagus.
. Dari cara makan, cara berpikir kita perlu belajar untuk membuka mata, banyak cara pandang yang berbeda dengan apa yang dipikirkan, perjalanan selalu menjadi alat untuk refleksi. Kami belajar kekayaan seni, filosofi, kemanusiaan, sejarah, dan juga ekonomi. Musik dipilih oleh Miracle, tentang kebahagiaan, friendship in new year, new adventure. Tuhan berkati semua yang baik untuk kita semua. .
Lumintu House is located on a challenging landfill site in North Jakarta, where temperatures can reach 35-40 degrees Celsius in the afternoon. The location is also near the beach, meaning the material used needs to be durable and protected with the best building technology in an urban area.
Lumintu House incorporates industrial and handcrafted sun-shading elements, doubling as a canopy for the building. This design resembles tree branching patterns extending outward as canopies, creating shaded spaces like sitting under a tree. It also protects surrounding plants from excessive sunlight and forms a soft and continuous transition, reflecting the “Lumintu” philosophy.
Craftsmen play a crucial role in construction, blending traditional craftsmanship with modern techniques. Skilled craftsmen bend each steel piece individually. Their meticulous attention to detail in shaping each component reflects a blend of modern construction efficiency, enhancing the overall value and character of the building.
Regarding spatial planning, Lumintu House reflects Indonesian family culture, where gathering with family is common. The expansive, column-free main spaces on the ground floor seamlessly integrate with the outdoor areas, facilitating natural airflow and offering tropical landscape views. The high ceilings and skylights optimize natural lighting, while the wire-lined ventilation around roof windows enhances air circulation and prevents insects. Lumintu House also added a roof garden as a space for relaxation and contemplation, offering panoramic views of the nearby sea.
Lumintu House strategically minimizes environmental impact in both the construction and operation phases. By utilizing locally sourced materials and engaging skilled local craftsmen, the project reduces carbon footprint while ensuring long-term durability and low maintenance. This approach not only supports environmental goals but also strengthens community ties and promotes economic sustainability.
Our project Piyandeling is published at @archdigest . It’s a project on remote site on North Bandung in village of Mekarwangi, Lembang, Bandung. This area has low temperatures, high wind speeds, and dense existing trees. Constructing here was challenging due to difficult transportation access, water availability, labor access, and the cold air.
We learn this during designing school of Alfa Omega and Bamboo Castle. That few people can manage to construct with lightweight construction.
Bamboo’s lightweight nature facilitated easy mobilization and quick construction, also locally available. The design simplified and eased the process by reducing the span and simplifing floor plans, into grids and courtyards. The simplification then made Piyandeling done by only four craftsmen experimenting with bamboo, carving bamboo compositions from ceilings, floors, columns, door elements, and rotating windows, utilizing materials efficiently without waste. It introduce join without nails by using glue laminated joineries.
Piyandeling is a work of togetherness. Pak Saniin’s and friends’ work, along with many other craftsmen, past and present, has contributed to its ongoing evolution. That fight makes it special, starting with four people and still progressing to this day express the soul of promising traditional craftmanship.
Making and experiencing this architecture is like therapy, a healing and beautiful experience. We hope many more people believe in architecture that can touch people’s souls through this project especialy by soul of craftmanship.
During our time in Studio Garasi, around 20 students from ITS, ITB, Petra, Gunadarma, and many more came for internships. With limited space available, accommodating their needs became a challenge. Luckily, an empty space in the garden area of Realrich’s parents house provided a solution. After discussions with Realrich’s parents, we constructed a building named the Arch Pavilion there.
The pavilion became an extension of our Studio Garasi. It was crafted primarily from modular plywood assembled using a knock-down technique. This approach ensured structural integrity and allowed for quick and efficient construction by just three craftsmen. The structure is also covered with polycarbonate for additional protection and natural lighting, creating a bright yet shady atmosphere.
What started as a workspace for student interns has evolved into much more. The Arch Pavilion emerged not only as a hub for collaboration and architectural exchange but also transformed into an OMAH Library. Through this library, we created a dynamic space, fostering discussion, research, and architectural collaboration.
In Studio Garasi, adaptation and growth are constant themes. This Arch Pavilion taught us that experimentation can be conducted through simple, modular, quick, and optimal approaches. The Arch Pavilion exemplifies how such principles can effectively address complex spatial needs while promoting sustainable and efficient construction methods, and it has become an integral part of shaping our architecture studio today.
Our innovative #rawcollectivecave approach on Nizamia Andalusia is inspired by the kampong cross-programming arrangement that integrates diverse design elements, such as recycled materials, within the structure. We repurpose the existing buildings, adapt their modules for classrooms, and strategically add the new structures needed.
Like a city, Andalusia Nizamia School accommodates many activities within its walls. Inspired by the tales of 1001 Arabian Nights, the school unfolds 1001 stories from dawn to dusk. Here, stories are an activity, core function, and program. This approach resonates with the cross-programming philosophy discussed by Rafael Moneo in “Theoretical Anxiety and Design Strategies in the Work of Eight Contemporary Architects” and practiced by architects like Rem Koolhaas.
This concept is applied in the organization of each space. The ground-floor lobby opens into a spacious prayer area, followed by classrooms and gathering spaces above. The third floor connects additional gathering spaces via bridges to the preceding building phases.
Classrooms and other spaces continue to evolve, culminating in sports facilities stands in rooftop areas. This underscores the importance of gathering, playing, and praying in the learning environment.
For us, the term “high” in “junior high school” means a higher level of maturity than “elementary” school students. Their thinking has begun to be elaborated, and they have begun to be able to act independently. From Nizamia, we learn that maturity development can be met with architectural impulses.
Ar Realrich Sjarief from RAW DOT OMAH has been honored with the opportunity to serve as the keynote speaker at the 2024 Architectural Culture Symposium on June 16th, 2024, hosted by the Architectural Society of China (ASC). This event will focus on Asian architectural culture and take place at the Inner Mongolia University of Technology, featuring esteemed leaders from the ASC and the participation of Professor Cheng Taining, an academician of the Chinese Academy of Engineering.
Realrich will share his experiences and insights into innovative approaches to promoting cultural values in architectural work. His presentation will delve into three key stages that an architect undergoes: the process of survival, the process of making, and the process of playing in architecture.
The philosophy of Javanese local wisdom deeply permeates his profession. He also emphasizes the empowerment of local craftsmen and harnesses their skills to create meaningful bioclimatic architecture. Working with passion and love, Realrich believes that life is about how one can contribute to others and is committed to lifelong learning.
The 2024 Architectural Culture Symposium by ASC will be an exciting platform to showcase our studio’s endeavors. We believe this event will foster shared insights within the global architectural community and contribute to our field’s collective growth.
Photograph: 1,6,8,9 by @_yophrm 3 by @andhang.rt 4,5,6 by @bacteria.archphotography 7 by @luil_mn
In our first ever office which we call the Garage Studio, the front space was initially designed as a transitional zone before entering the working area, a room to play and chat with black-painted walls, adorned with chalk and white marker scribbles. As time progressed and our team expanded, the need for working space became imperative. The garage studio underwent gradual transformations to maximize its ergonomics, yet still had a room for versatility.
In one scenario, the room could be used as a communal space with casual seating format. When demand for projects was high, it could easily transformed into a working space, first by opening a wide door to connect the room with the designers’ working space behind. The furniture installed were crafted by hand, with knockdown tables that could be easily assembled comprising three tables for the technical team. This team arrangement was strategically positioned streamline coordination among team members.
Various tasks unfolded simultaneously within the studio, fostering a natural and harmonious process. The spatial arrangement of this garage studio reminds us of how we once envisioned spaces, navigating spatial constraints through the strategic placement of horizontal and vertical dividers. Each stage represented a gradual and exploratory journey of growth within the garage studio.
Working on school projects has never been easy. Alfa Omega School, a medical school in UPH, a vocational school in UI, also Tunas Muda’s campus renovation, facelift, and multifaceted projects—each project brings its unique set of demands: from accommodating continuous growth, integrating cross-programs from clients, defining the school’s identity, adhering to budgets & timelines while also working on our vision & mission on architecture.
Now we are working on Tunas Muda’s new building with integration to the old one. The school is undergoing rapid growth driven by rising number of students, prompting the addition of several new buildings within its complex. In the first phase, they will build a 5-storey structure which we call the Extension Wing 1.
As the existing mass lacks adequate space for canteen, we dedicated a significant portion of the ground floor in the new wing to a semi-outdoor canteen. An outdoor area is also laid out to seamlessly connect the new and old ones, offering a more spacious & comfortable dining environment for the students.
Understanding the importance of convenient parking, we have calculated & adjusted the parking lot around the building to meet the community’s needs. Some parking spaces are also rented from adjacent vacant land.
Classrooms will be on the 1st to 3rd floors, with glass windows facing north & south to maximize natural ventilation & daylighting facing north south. Connecting bridges to the existing mass on several floors support student mobility, daily and especially during events that utilize the multi-purpose hall on the 4th floor.
The multi-purpose hall doubles as FIBA standard basketball court, utilizing wide-span curved steel structures topped with lightweight roof to create a column-free space. With a capacity of 380 students, the raised roof ensures cross ventilation through north & south openings.
The Extension Wing 1 was carefully crafted to address school’s growth and enhance the school community by fostering physical connections and creating a supportive environment for students.
Ar Realrich Sjarief from RAW DOT OMAH is set to present alongside Linda Ocatvia and Revianto B. Santosa at Temu Narasi 45 at Ikatan Penelitian Lingkungan Binaan Indonesia. This event will occur through a Zoom meeting on 8 June 2024, 10:00 am.
Realrich’s presentation will be based on the process before the design is made in the studio, starting from the architectural ecosystem, knowledge insight, teams as a family, and professional development.
In the studio, a personal and family approach is one variable in understanding each person’s role. From the team in the studio to the craftsmen in the field, it is an important point that turns the wheels of the architectural design studio.
IPLBI is an critical platform to share how our process in studio. Hopefully, this event will catalyze diverse collaboration between practical and architecture research on how people impact the studio.
In 2011, our studio was mainly run inside a bedroom-turned-office in our principal’s parents’ house. Over the time, it expanded to the garage area. The house ceiling was designed to be 3.25 m high, providing the opportunity to divide the space vertically, so that our studio could have a mezzanine.
The layout design often modified every month according to the ever-changing function of the space. One day the mezzanine area was used as a place to store books and on other days it turned into a place for material samples.
Sometimes his mother commented, “Has it changed again?”
One thing that can be understood is that this limitation explored context sensitivity, by critically calculating the elements that were designed to be optimal. Thus forming a cave concept that changes slowly, transforming from one stage to another.
The 99%-almost-finished Tunas Muda Kindergarten project began with exploring the school complex to determine potential areas for development. Our attention was focused on the existing dormitory building as the starting point for the construction. This building is historically significant memory for the clients and everyone who has worked at Tunas Muda. However, because of its historical value, this building was still intact and had yet to be redesigned. We also tried to utilize it by reusing the existing structure.
This is the meaning of Young Shoots for us, small things that spark new things, just as shoots emerge from plant seeds and will grow into plants. That’s the cycle of life.
We maintained the existing perimeter wall with a span of 19 meters and one dividing wall in the middle. We placed the cremona structure for the roof with a very light UPVC covering so that the wide-span structure could bear the load. We also used the leveling of the land, which had fallen 80 cm, to get a sizeable welcoming area by adding stairs and ramps, and this also streamlined costs for creating new foundations. Currently, Tunas Muda Kindergarten has five classrooms, a multipurpose room, a mini zoo, and two parks. The lounge area was made continuous to form a corridor with a translucent roof to let in light.
From the outside, the front facade exudes simplicity with a circular entrance area adorned with a fresh coat of white paint. The remaining walls, adorned with plants, are part of the existing property that we have chosen to maintain. This design approach allows the historic building to be repurposed with minimal changes, preserving its unique character. However, the true beauty of this building lies within, with many surprises awaiting discovery. This project is significant for our client to commemorate a historic building through a new function filled with children’s laughter.
Buku Alvar Aalto adalah hasil riset OMAH Library tentang karya beliau dengan kunjungan langsung di 13 karya beliau beserta 300+ foto dengan analisa eksperensial dan metode yang beliau kerjakan. Keajaiban Alvar Aalto menjadi contoh pandemi dalam dunia desain dalam artian positif. Dimana kerja kerasnya telah menyebar di seluruh dunia dari arsitektur hingga desain produk bersama Arteknya.
Masa pandemi ini menjadi perenungan panjang dalam penyelesaian buku ini. Sehingga kami melengkapinya dengan investigasi terhadap pandemi itu sendiri, dan bagaimana proses kreatif melampaui pandemi-pandemi yang sudah pernah ada hingga yang dilakukan saat ini di pandemi COVID-19.
Buku ini adalah buku desain. Semacam ‘reporting from the front’ dari ‘Ziarah Ando’ yang dilakukan hampir 12 tahun yang lalu ketika penulis memenangkan 2009 OFIX-Ando Programme. Namun sebagai buku desain, buku ini tidak beroperasi seperti layaknya monograf arsitektur pada umumnya.
Badan tubuh buku ini ditulis dalam 10 bab, untuk membahas 7 karya yang meliputi: Galleria Akka, The Time’s I & II, Church of the Light (and Sunday School), Honpuku-Ji (atau Water Temple), Chikatsu Asuka Museum, Sayamaike Museum dan Awaji Yumebutai. Bersama beberapa karya lainnya, ketujuh proyek tersebut seringkali diidentifikasi sebagai proyek-proyek ‘klasik Ando’ – yakni proyek-proyek yang dibangun ‘di era sekitar penerimaan Pritzker Architecture Prize (1995)’ antara akhir dekade 80an hingga awal 2000an.
Rumah Jawa adalah tempat untuk membina, mengembangkan, dan mentransformasikan budaya melalui praktik berkehidupan yang diselenggarakan di dalamnya. Buku ini memaparkan secara rinci rumah sebagai tempat untuk aktivitas keseharian, untuk pelaksanaan upacara dan perhelatan, serta untuk panggung seni pertunjukan. Dalam ketiga praktik tersebut rumah dimaknai dan dihayati oleh warganya. Berusaha untuk menyajikan spektrum yang luar, buku in mengkaji empat rumah Jawa di Yogyakarta dalam berbagai skala, dari bangunan tunggal yang kecil, hingga rumah pengusaha, dalem pangeran, dan Kraton yang terdiri atas lebih dari seratus bangunan. Melibatkan diri pada sejumlah peristiwa di rumah-rumah tersebut, penulis sangat akrab dengan kehidupan didalamnya sehingga mampu menyajikan rinci kehidupan dan praktik di dalamnya untuk kemudian diangkat dalam wacana budaya meruang yang luas. Diterbitkan pertama kali hampir 20 tahun yang lalu, Omah adalah referensi yang tersaji sederhana namun mampu mengungkapkan kekayaan makna dalam hidup meruang.
AKI dan OMAH Library kembali meluncurkan sebuah buku serial yang bertajuk “Antologi Kota Indonesia” seri 1 dan 2.
Kota-kota terus tumbuh sebagai fenomena karya manusia. Pertumbuhan ini terus melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru. Pemikiran dan tindakan akan terus menghasilkan kajian-kajian perkotaan terintegrasi sehingga studi tentang perkotaan akan terus dikembangkan dengan diskursus intelektual yang lebih dalam. Buku ini adalah upaya untuk terus menghadirkan kajian-kajian perkotaan dengan latar belakang multi-disiplin dan multi-perspektif.
AKI dan OMAH Library kembali meluncurkan sebuah buku serial yang bertajuk “Antologi Kota Indonesia” seri 1 dan 2.
Kota-kota terus tumbuh sebagai fenomena karya manusia. Pertumbuhan ini terus melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru. Pemikiran dan tindakan akan terus menghasilkan kajian-kajian perkotaan terintegrasi sehingga studi tentang perkotaan akan terus dikembangkan dengan diskursus intelektual yang lebih dalam. Buku ini adalah upaya untuk terus menghadirkan kajian-kajian perkotaan dengan latar belakang multi-disiplin dan multi-perspektif.
Ar Realrich Sjarief from RAW DOT OMAH is set to present alongside Ho Chin Keng, Fadzlan Rizan Johani, and Shin Tseng at DATUM+ Plus, KLAF 2024. This event will occur at the Plenary Theatre (Level 3) of the Kuala Lumpur Convention Centre on 4th July 2024.
Realrich’s presentation will be based into the alignment of the studio’s design approach allign to critical craftmanship, the making of architecture’s guild, and the relation of using common – uncommon material such as waste, bamboo, wood, plastic alongside with concrete, steel, alumunium making symphony of collages.
The studio explore diverse variables, engage discussions with clients, engineers, and local craftsmen, thinking about architecture theory and implementations, or intuitively bringing our imaginations to reality and answering our clients’ needs with good spirit.
Datum @klaf_my is an exciting platform to share what we are doing in the studio. Hopefully, this event will catalyze fruitful collaborations and cultivate shared insights within friends and bro-sisterhoods in the global architectural community.
Buku ini memaparkan bagaimana pengaruh perkembangan budaya kehidupan komunal masyarakat Dayak Kanayatn, Desa Saham, terhadap morfologi bentuk dan ruang hunian mereka yang masih eksis hingga sekarang. Studi dan dokumentasi Radakng desa Saham mengkaji sisi arsitektural terkait tatanan ruang, filosofi, bentuk, struktur, dan konstruksi yang merupakan kemewahan warisan arsitektur leluhur Dayak Kanayatn, masih berdiri kokoh dan senantiasa dijaga serta dilestarikan hingga kini. Radakng sejatinya adalah sebuah wadah komunal tempat mereka bernaung, berlindung, membangun peradaban, dan melepaskan jubah individualisme untuk membangun sebuah antusiasme yang menjadi landasan utama budaya hidup komunal yang mereka jalani.
Arsitektur Lobo Melintas Waktu seri kesatu berjudul “Lobo Ngata Toro” bekerjasama dengan JAAI (Jaringan Arsip Arsitektur Indonesia) yang ditulis oleh Komunitas Tadulako Tradisional. Di Ngata Toro, adat tumbuh dari tempat (mungki). Arsitektur Lobo adalah hasil dari pemikiran orang tua dan tetua adat untuk mendirikan tempat bermusyawarah. Dengan demikian maka Lobo merupakan bagian dari sarana dan prasarana dadat untuk menemukan, merembugkan, dan meutuskan ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar hidup manusia, sebagai pembimbing, sebagai pembina dalam berkehidupan.
Sehingga dapat dikatakan tujuan pertama kali berdirinya Lobo adalah sebagai wadah berlangsunganya adat dan untuk merumuskan adat, fungsinya saat ini merupakan bagian dari adat itu sendiri. Selain daripada itu, Lobo yang berada disini merupakan salah satu kekayaan masyarakat adat Ngata Toro yang bertahan dan berkesinambungan hingga saat ini.
Meski sistem strata sosial sudah ditinggalkan, jejak cara hidup warga Mamasa zaman dulu masih tercermin pada perbedaan wujud fisik Banua seperti pada warna, ornamen, elemen struktur, dan ukuran bangunan. 5 jenis banua berdasarkan tingkat strata sosial tinggi-rendah suku To Mamasa masa lampau yaitu: Banua Layuk, Banua Sura, Banua Bolong, Banua Rapa, Banua Longkarin. Pembangunannya adalah hasil runtutan trial-eror yang panjang, menggunakan material alam lokal, proses membangunnya sarat makna, gotong royong dan telah menjadi tradisi antar generasi.
Dalam buku ini, kami ajak pembaca menikmati keindahan arsitektur Mamasa melalui beragam sketsa, foto, dan penggambaran observasi yang menyentuh hati. Buku ini menggarisbawahi pentingnya mengalami berbagai macam khasanah akar budaya Indonesia sebagai sumber inspirasi yang maha dahsyat.
SPIRIT_45 is numerous sessions of dialogue, expansive moments of discourses, and odes to past architectural marvels. Andy Rahman, Eka Swadiansa, and Realrich Sjarief -3 young Indonesian architects- gathered and collided, drowned in endless discussions, to continuously reflect the Indonesian architecture scenery in the perspective of their daily practices. Of concepts and reality, of abstracts and details, of scale and magnitude, of time and space, of simplicity and complexity, of design visions and construction strategies –of all the oxymoron culminated within the limitation of their young practices- SPIRIT_45 is an attempt to understand the spirit of our time. To go beyond the mainstream popular cults, and be freed from hegemonic status quo of ‘formal’ history. A struggle to define new informality, a paradigm shift possibly of the spirits from the distant past. A journey among friends in search of collective identities.
From the very beginning of our practice, experimenting with materials has been a part of our process. This ethos is deeply rooted in our early days at the Garage Studio. Our front facade was a product of experimentation with plywood wrapped in teak wood and punctuated with circular perforations. This facade served as both cover and door, adaptable to our needs.
The garage’s front space was a canvas of creativity, with black-painted walls adorned with chalk and marker scribbles alongside sketches portraying an aerial city view. Einstein’s words, “If at first, the idea is not absurd, then there is no hope for it,” were engraved on the floor, reminding us to be brave enough to take a step and be willing to innovate.
Despite its modest dimensions, the front terrace was versatile, transforming from a gathering space to a reception or seating area as required. More than just a workplace, this Garage Studio had also become a home for those inside, fostering leisure alongside focused work and learning.
Alpha Omega school is an educational building with the spirit of locality. Located on Tangerang city, it sat on 11700 sqm area with the prior condition of the swamp and paddy field. The design responded to this unstable soil condition by raising structure to 2.1 m high above the ground. The site itself was chosen as part of the design scheme, —corresponding to its natural surroundings, in order to give children a sense of closeness to nature, thus invoking outdoor-learning experience. (The building integrates 4 modular buildings, with an efficient access point in one central courtyard, due to limitation of local land zoning of what can be built and what can not be built.)
photography by Eric Dinardi
The solution to answer the brief of the project is to create an optimum collaboration, or bridge relationship in the economic and creative process of construction in two important levels of masonry steel and bamboo construction which can enrich the economic impact of the surrounding. Steel structure, not only for its ability to hold structural load effectively but is also chosen for its construction speed and vigorous durability. The whole building based on this framework, from foundation to roof component. Steel in its variation from thickness to treatments, opening chances in versatile details of the design. While bamboo, on the other hand, is a flexible matter that requires little maintenance in long-range which always available in that area. This availability also related to brick and concretes in that area. The structure is combined with bamboo for the roof to create a parabolic shape which enhances the character of Nipah which can be tilted or bent while keeping the cost constraint on budget. The brick is stacked in solid void pattern to allow cross air circulation in the facade. Meanwhile the polished bare concrete is used as floor finishes as its durability for a daily school activity.
Another target of the project is to create a collaborative bonding within people and its buildings. Initiating a healthy social cycle with local involvement has proven to unlocked the collective creative process of the construction. This achieved by hiring diverse local craftsmen, rather than employing prime developers. This project completed by local stone masonry, to steel welder from the Salembaran area, and bamboo craftsmen from the Sumedang area. Each has its originality, without losing its ubiquitous understanding of school design.
The local craftsmanship is the answer of 3 problem, which is: 1. Optimum resource, 2. Time constraint, 3. Manpower. The material resources can be found within 5 km from the site to accelerate development while reducing the carbon footprint at the same time.
In 4 months range, the craftsman is categorized into two types:
(1) Light structure, which is concentrated on the roof. Constructed by a triangular light steel frame per 600 mm, man-powered by 40 Sumedang craftsman. Its low-cost material had reduced 30 % initial budget, using bamboo and Nipah entirely.
(2) The heavy structure is built for modular classrooms by Salembaran craftsman constructing masonry and steel framework. By the first 2 months, light structure craftsmen had constructed dock, followed by roof and ceiling details. In followed 4 months they joined in heavy structure part. The school is built in 4 months’ time.
atap sekolah alfa omega di Telok Naga, model pertama menggunakan struktur bambu. Model kedua menggunakan struktur besi. Kedua model tersebut menggunakan curva parabloid untuk konstruksi bubungan atap.
The school designed as a passive cooling building, which relied heavily on natural cross air ventilation in its construction. The open-high ceiling designed as an airing pathway, followed by porous solid-void brick on each side of the classroom’s wall. This way, interior airflow is circulated optimally without the necessity to use the air conditioner. For heat problem, the structure on top of the corridor is cantilevered by 2000 mm to create natural sunshade while providing protection from heavy rainfall. Nipah’s roof, brick’s solid void facade, bamboo’s ceiling, and concrete’s floor finishes provide low thermal conductivity materials that allow the building to cool down in an average whole year, interior temperature to 27-celsius degree. it the opening in the building designed for 100 percent daylight until afternoon, and 100 percent LED in the night time.
Located at the corner of the Street at Villa Meruya residential precinct, The guild shows its introvert side with the solid and high border wall, the solid fence without a gap to peek. As if to withdraw from the noisy Jakarta city and build its own sanctuary, the guild is solid from the outside but open on the inside. The Building consists of one residence, living room, studio a place to work for Realrich Architecture Workshop, Omah Library, one open courtyard, and a kitchen. The entrance is introduced by concrete, steel, glass, and polycarbonate sheet. The access from public and private is separated by an open-air corridor. The access to the House and the Studio are separated by 2 x 2 m foyer.
photography by Eric Dinardi
The bedroom is located on the 1st floor while the other program is located on the ground floor. The circulation is interlocked to give easy access for the owner to access the studio below. Living room and also the dining room with a total area of 35 sqm located on the ground floor, while the more private family rooms are located on the first floor and limited by the void of stairs to separate family area and the studio.
Hot west-east tropical sunlight is blocked by placing a solid wall and bathroom while the facade is open to the north-south orientation. Several pyramids shaped form is also introduced to allow sunlight coming to the middle of the building and allowing fresh air circulation through the small gaps in between glass and concrete. The building system uses an automatic watering system that applies zero greywater runoff and zero stormwater runoff. It means the whole water is collected to the retention basin with 8 m3 capacity and 2.75 x 3 m of catchment basin with 1,5 m of depth that also contributes the catchment to the neighbor.
photography by Eric Dinardi
The studio consists of 6 x 6 m square shapes, a small void. The small void has a tapered skylight made of concrete with several small gaps to provide light and air circulation. The library named Omah which is open at the weekend has a size of 3,4 x 12,3 m. It is sunken at perimeter area, half below the height of 0:00 meters considering public access and the needs that require a condition to keep books from the sun and constant temperature with the minimum possible to use the air conditioner. At the heart of the house is a courtyard with a fish pond with a background of the 3.5 m radius circle window with 3.50 m looking through the family room. The Guild is one example of a project which exercises the modification of form and program with interlocked circulation in the tropical climate of Jakarta, Indonesia.
Guha is a combination of new and renovation projects based on previously “The Guild” located in Taman Villa Meruya. The Project consists of Omah Library, Dental Clinic, residence, and Realrich Sjarief’s studio named Guha Bambu, The studio is Realrich Architecture Workshop (well known by name of RAW Architecture). The renovation section is consisted of adding sequences for adding elaborated programs for Omah Library such as more storage for bookshelves, bookstore, and gallery. The circulation is designed to separate the public and private which is solved by separating the access at the entrance. The new project, named Guha Bambu is on the east side. This building stands in the lot of 7.5 x 26 m size consisted of new 3 levels Bamboo structure, 2 levels of the basement. The technique to build the structure is elaborated from the experimental school of the Alfa Omega project. The technique separates the steel plane truss structure as a roof and bamboo structure to hold the 3-floor plate under the steel structure roof.
Construction of Guha is elaborated into 9 materials, to sum up, craftmanship experimentation in Realrich Architecture Workshop such as steel, wood, glass, metal, gypsum, bamboo, plastic, stone, and concrete. The layout is flexible, and open while some of the rooms are opened by a minimum of 2 doors allowing further scenarios while the program can be changed. The idea is basically addressing the tropical climate to open north-south and close the facade on the west side. The Facade is basically basic material, concrete, vertical louver by steel and bamboo. The program it self challenge the typical housing in Indonesia to be mixed with more micro business programs such as education, even coffee shop in the future by maintaining the privacy and opening itself to the public. The construction is done by generations of craftsmen from west java which integrate some traditional fish mouth joint in bamboo construction and more modern construction methods such as steel and construction.
Guha is an combination of new and renovation project based on previously “The Guild” located in Taman Villa Meruya. The Project consist of Omah Library, Dental Clinic, residence and Realrich Sjarief’s studio named Guha Bambu, The studio is Realrich Architecture Workshop (well known by name of RAW Architecture).
The renovation section is consisted on adding sequence for adding elaborated programs for Omah Library such as more storage for book shelves, bookstore and gallery. The circulation is designed to separate the public and private which is solved by separating the access at the entrance.
The new project, named Guha Bambu is at the east side. This building stands in the lot of 7.5 x 26 m size consisted new 3 storey Bamboo structure, 2 storey of basement. The technique to build the structure is elaborated from experimental school of alfa omega project. The technique separates the steel plane truss structure as a roof and bamboo structure to hold the 3 floor plate under steel structure roof.
Construction of Guha is elaborated into 9 materials to sum up craftsmanship experimentation in Realrich Architecture Workshop such as : steel, wood, glass, metal, gypsum, bamboo, plastic, stone and concrete. The layout is flexible, and open while some of the rooms is opened by minimum 2 doors allowing the further scenario while the program can be changed. The idea is basically addressing the tropical climate to open north south and close the facade at west side
The Facade is basically basic material, concrete, vertical louver by steel and bamboo. The program it self challenge the typical housing in Indonesia to be mixed with more micro business programs such as education, even coffee shop in the future by maintaining privacy and opening itself to the public. The construction is done by generations of craftsmen from west java which integrate some of traditional fish mouth joint in bamboo constructions and more modern construction method such as steel and construction.
Piyandeling is a new project consisting of The Residence and Artisan Workshop The concept is elaborated from the previously Realrich Architecture Workshop (well known by RAW Architecture)’s “Guha” project. Piyandeling is located in a tranquil area of Mekarwangi Village, North Bandung.
Piyandeling adalah proyek baru yang terdiri dari residensi dan bengkel untuk berkreasi. Konsep ini dielaborasi dari proyek “Guha”. Piyandeling terletak di daerah yang tenang di Desa Mekarwangi, Bandung Utara.
Piyandeling is a new project consisting of The Residence and Artisan Workshop The concept is elaborated from the previously Realrich Architecture Workshop (well known by RAW Architecture)’s “Guha” project. Piyandeling is located in a tranquil area of Mekarwangi Village, North Bandung.
The Residence consists of a three-storey house with a grid 3.0 x 3.0 m for 1 family consists of 2 kid bedrooms, 1 master bedroom, and shared bathrooms. The building envelope is openable which is constructed with recycled 300 x 600 mm plastic panels to cover and protect the inner bamboo structure. The plastic panel is recycled from 99 percent Sumarah Pavilion, that is why the residence is named Sumarah.
Daerah residensi, terdiri dari rumah tiga lantai dengan grid 3,0 x 3,0 m untuk 1 keluarga terdiri dari 2 kamar tidur anak, 1 kamar tidur utama, dan kamar mandi bersama. Selubung bangunan dapat dibuka yang dibangun dengan panel plastik 300 x 600 mm daur ulang untuk menutupi dan melindungi struktur bambu bagian dalam. Panel plastik tersebut didaur ulang dari 99 persen Paviliun Sumarah, itulah sebabnya tempat tinggal tersebut diberi nama Sumarah.
The Residence consists of a three-storey house with a grid 3.0 x 3.0 m for 1 family consists of 2 kid bedrooms, 1 master bedroom, and shared bathrooms. The building envelope is openable which is constructed with recycled 300 x 600 mm plastic panels to cover and protect the inner bamboo structure.
The envelope forms an 800 mm service corridor with double cross air ventilation and double wall insulations to the core living space of the building. This forms an adaptation of traditional and more industrial approaches mixing traditional joineries and glued joinery of bamboo. The technique is elaborated from Guha Bambu and Alfa Omega Project. which allows the experimentation of 3 storey of the bamboo structure by the diagonal bamboo structure of the floor plate construction.
Selubung tersebut membentuk koridor layanan 800 mm dengan ventilasi udara silang ganda dan insulasi dinding ganda ke ruang inti bangunan. Ini membentuk adaptasi dari pendekatan tradisional dan lebih industri yang mencampurkan sambungan tradisional dan sambungan bambu yang direkatkan. Teknik tersebut diuraikan dari Proyek Guha Bambu dan Alfa Omega. yang memungkinkan percobaan struktur bambu 3 lantai dengan struktur bambu diagonal pada konstruksi pelat lantai.
The envelope forms an 800 mm service corridor with double cross air ventilation and double wall insulations to the core living space of the building.This forms an adaptation of traditional and more industrial approaches mixing traditional joineries and glued joinery of bamboo.
Construction of Piyandeling is designed as an exercise using 3 types of main material such as recycled plastic, a local type of sympodial bamboo, and local stone for the foundation. The composition started as an exploration on how bamboo craftsmanship integrated with modular rectangular space to create such integrated craft carving bamboo composition from the ceiling, floor, column, door handle, lock, and finishing details handcrafted in site creating art and craft composition in the whole integrated space.
Konstruksi Piyandeling dirancang sebagai latihan dengan menggunakan 3 jenis bahan utama yaitu plastik daur ulang, bambu simpodial jenis lokal, dan batu lokal untuk pondasi. Komposisi tersebut dimulai sebagai eksplorasi bagaimana pengerjaan bambu terintegrasi dengan ruang modular persegi panjang untuk menciptakan komposisi bambu ukir yang terintegrasi dari langit-langit, lantai, kolom, pegangan pintu, kunci, dan detail finishing buatan tangan di lokasi menciptakan komposisi seni dan kerajinan secara keseluruhan. ruang terintegrasi.
Construction of Piyandeling is designed as an exercise using 3 types of main material such as recycled plastic, a local type of sympodial bamboo, and local stone for the foundation. The composition started as an exploration on how bamboo craftsmanship integrated with modular rectangular space to create such integrated craft carving bamboo composition from the ceiling, floor, column, door handle, lock, and finishing details handcrafted in site creating art and craft composition in the whole integrated space.
Piyandeling is an example of bricolage architecture. It is an understanding that to design and build something out of the land, the project needs to find the roots of Local Genius by understanding the adaptation of local craftsmanship and local material available on specific sites.
Piyandeling adalah salah satu contoh arsitektur bricolage. Dimana Bricolage merupakan pemahaman bahwa untuk merancang dan membangun sesuatu dari tanah, proyek perlu menemukan akar dari Local Genius dengan memahami adaptasi keahlian lokal dan materi lokal yang tersedia di lokasi tertentu.
Kujang is another building from the whole of Piyandeling complex. This building is a two-floored building with a large open hall that is used for workshops or meetings.
Imagine-Bacteria
Upholding local vernacularity, Kujang is stretched out with its materials that consist of natural fiber or bamboo for its main structure and daun nipah as the coverage of its roof. The roof is shaped the familiar triangle as an expression of Indonesian vernacular architecture that creates a silhouette of a mountain.
Imagine-BacteriaImagine-Bacteria
The bamboos are transformed into balustrades with unique and aesthetic geometry. Not only does it appeal to the eyes, the geometry is also designed such that it will add the overall strength and rigidity of Kujang’s structure.
Imagine-BacteriaImagine-BacteriaImagine-Bacteria
The programming of the building requires the surface of its building to contact the earth as minimally as possible. As a solution, Kujang is also designed with a floating structure underneath. This solution also acts as a response to the environment of the site that faces struggle in gathering clean water caused by water pipes that are not accommodating enough. With its floating structure, waters are ensured to follow directions to the land.
Sederhana is another building from the whole of Piyandeling complex. This building is a one-floored building, just like its name, which is more simplistic than Sumarah and Kujang.
Imaginr-Bacteria
The building is constructed with stone as a podium. Still using bamboo as its main materials, bamboo is used to construct its roofs. The method to make its roof is called Talahap which is a traditional bamboo construction made from layering it on top of each other. The bamboo would then be layered with a waterproof membrane and nipah.
Lumintu House is located in the residential area of Pantai Indah Kapuk 1 (PIK 1), North Jakarta. The building is constructed on a landfill site near the beach, where daytime temperatures can reach 35 – 40 degrees Celsius.
Positioned in a corner, the house strategically places its main door diagonally, giving the impression of two front facades, with a steel lattice extending from above and gently curving outward, offering additional shade to the porch. Credit: Aryo Phramudhito
Rumah Lumintu terletak di kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk 1 (PIK 1), Jakarta Utara. Bangunan ini dibangun di atas area landfill yang dekat dengan pantai, di mana suhu siang hari bisa mencapai 35 – 40 derajat Celsius.
To address these challenges, the design strategy focused on using steel lattice to protect the building from direct sunlight. Steel was chosen for its strong durability, low maintenance, and ease of construction. The concept of “Lumintu,” meaning sustainability and flow, is reflected in the design of the steel lattice arranged like branches extending outward to form a canopy, creating an atmosphere akin to sitting under a tree. This canopy not only enhances the comfort of the residents but also protects the surrounding plants.
This canopy also provides comfort for the surrounding plants, protecting them from excessive sunlight. It forms a gentle and continuous transition, reflecting the philosophy of “Lumintu.” Credit: KIE
Untuk mengatasi tantangan tersebut, strategi desain difokuskan pada penggunaan kisi-kisi baja untuk melindungi bangunan dari sinar matahari langsung. Baja dipilih karena daya tahan materialnya yang baik, perawatan yang rendah, dan kemudahan dalam proses konstruksi. Konsep “Lumintu” yang mengartikan keberlanjutan dan aliran, tercermin dalam desain kisi-kisi baja yang disusun menyerupai cabang-cabang pohon yang menjulur ke luar membentuk kanopi, menciptakan suasana seperti berada di bawah pohon. Selain meningkatkan kenyamanan penghuni, kanopi ini juga melindungi tanaman di sekitarnya.
Local craftsmen employed traditional techniques, bending each steel component individually to ensure quality and imbue the building with a distinctive touch. The meticulous attention to detail in shaping each component reflects the craftsmen’s skill in blending modern construction with traditional techniques, thereby enhancing the overall value and character of Lumintu House.
Para tukang-tukang lokal menerapkan teknik tradisional, membengkokkan setiap bagian baja satu per satu, untuk memastikan kualitas dan memberikan sentuhan khas pada bangunan ini. Kecermatan terhadap detail dalam membentuk setiap komponen ini mencerminkan keterampilan para tukang dalam memadukan konstruksi modern dengan konstruksi tradisional yang juga meningkatkan value dan karakter dari Rumah Lumintu secara keseluruhan.
Spatially, the arrangement of the family room in Lumintu House adopts an open-plan concept that integrates outdoor and indoor spaces. This large family room is connected to a pool to maintain the building’s temperature and provide views from the central area of the house, creating a seamless spatial experience while maximizing air circulation. This spacious family area also reflects Indonesian family culture, where gatherings with extended family are common. This cultural consideration influenced the decision to place a spacious, column-free main space on the ground floor.
Continuity in design is evident throughout the interior, with curved walls seamlessly integrated. The family room, located opposite the kitchen island, basks in natural light streaming through a large opening, blurring the boundaries between indoor and outdoor spaces. Credit: KIE
Secara spasial, penataan ruang keluarga di Rumah Lumintu mengadopsi konsep open-plan yang memadukan ruang outdoor dan indoor. Ruang keluarga ini terintegrasi dengan kolam untuk tetap menjaga suhu bangunan dan memberikan pemandangan dari area tengah rumah, menciptakan pengalaman ruang tanpa batas sekaligus memaksimalkan sirkulasi udara. Ruang keluarga yang luas ini juga merupakan cerminan dari budaya keluarga Indonesia, dimana berkumpul dengan keluarga besar adalah hal yang umum. Hal ini juga menjadi pertimbangan utama bagi klien, yang mempengaruhi keputusan untuk menempatkan ruang utama yang luas dan bebas kolom di lantai dasar.
The house also features high ceilings that naturally cool the interior, even without air conditioning. Skylights are strategically installed for optimal natural lighting, and ventilation holes lined with wire mesh allow fresh air into the house while keeping insects out, particularly at night. Service areas in the house are consolidated into one corridor to optimize space efficiency. Lumintu House also includes a roof garden to assist with heat insulation and provides a space for family relaxation while enjoying nighttime views. From the rooftop, residents can also enjoy views of the nearby sea.
Rumah ini juga dilengkapi langit-langit tinggi yang secara alami menyejukkan, meski tanpa AC. Skylight dipasang secara strategis untuk memberikan pencahayaan yang optimal, dan terdapat juga lubang ventilasi yang dilapisi kawat untuk memungkinkan udara segar masuk ke dalam rumah sekaligus mencegah masuknya serangga, terutama di malam hari. Di rumah ini, area layanan dikonsolidasikan menjadi satu koridor untuk mengoptimalkan efisiensi ruang. Rumah Lumintu juga memiliki roof garden untuk membantu dalam insulasi panas, serta memberikan ruang bersantai bersama keluarga sambil menikmati pemandangan saat malam hari. Dari rooftop ini, penghuni juga bisa menikmati pemandangan laut yang terletak tak jauh dari lokasi.
Lumintu House is an example of a project that embraces diverse craftsmanship techniques, empowering local craftsmen without relying on expensive factory production. The collaboration between craftsmen, architects, and structural consultants, along with active client involvement during the design process, enriches its architecture and reflects a deep connection with its surrounding environment.
Rumah Lumintu adalah contoh proyek yang mencakup keberagaman teknik ketukangan, dengan memberdayakan pengrajin lokal tanpa memerlukan produksi yang mahal dari pabrik. Kolaborasi antara tukang, arsitek, dan konsultan struktur, serta keterlibatan aktif klien selama proses desain, memperkaya arsitekturnya dan mencerminkan hubungan mendalam dengan lingkungan sekitarnya.
Project Credit :
Completion Year: 2022 Gross Built Area (m2/ ft2): 898.63 sqm Project Location: North Jakarta, Indonesia
Lead Architect : Realrich Sjarief
Design Team : Alim Hanafi, Joana Agustin Support Team : Rico Yohanes, Aqidon Noor Khafid, Sharfina Nur Dini, Sofiana Estiningtya, Pandu Nazarussadi Prefinishing Design Team: Erick, Septrio Effendi, Miftahuddin Nur Hidayat, Kanigara Ubazti Putra, Fadiah Nurannisa, Tirta Budiman, Larasati Ramadhina
Photographer | Photo Credits: Aryo Phramudhito, KIE Arch
Senang sekali dan bersyukur atas kesempatan terlibat dalam salah satu proyek paling menantang di RAW Architecture. Dalam proyek ini, saya menikmati setiap prosesnya dan banyak belajar dari berbagai aspek. Saya terlibat aktif dalam diskusi yang hampir berlangsung setiap hari, baik dengan klien maupun dengan tim di lapangan. Tantangan yang dihadapi tidak hanya terkait dengan penyelesaian masalah teknis dalam desain-desain eksperimental, tetapi juga bagaimana menyinergikan berbagai pemikiran dari kepala-kepala tim di lapangan untuk mencapai tujuan bersama yang telah diamanatkan oleh klien.
Penyelesaian masalah desain dan konstruksi dengan anggaran yang seefisien mungkin memaksa kami untuk berpikir dan bertindak secara kreatif. Selain itu, pengelolaan data dan informasi yang terus mengalir dan berkembang setiap waktu menjadi tantangan tersendiri. Kami dituntut untuk mensinkronkan data lapangan, gambar, serta pemikiran secara efektif, mengingat keterbatasan waktu dan energi. Dari pengalaman ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran berharga yang memperkaya kemampuan saya dalam menghadapi situasi kompleks di lapangan.
Alim Hanafi
Saya sangat senang dan bangga atas prestasi yang sudah dicapai RAW sampai saat ini. Semoga seterus RAW makin mengibarkan nama baiknya dan semakin besar. Sukses terus RAW dan team. Saya selaku alumni berterima kasih atas kesempatan yang pernah diberikan RAW pada saya. Ini kabar yang sangat menyenangkan. Lumintu house akhirnya selesai dengan apik!
Fadiah Nurannisa
Tadi habis liat juga di designboom nya jadi flashback keinget gimana dulu eksplorasi yang dilakuin sama temen2 RAW dan gimana elaborasi nya ke tim lapangan (dulu sama pak Endang dkk), senang liat dokumentasi akhirnya keliatan fulfilling dari semua effort yang dilakuin. Sukses selalu juga buat kak Rich dan temen2 RAW ya, looking forward to be back visiting guha 😁
Tirta Budiman
Cerita2 waktu proses designnya waktu itu sebenernya sempat ganti2 yg ngerjain. Gw inget d akhir2 kerja d RAW itu megang banyak lebih bagian konstruksinya. Gw itu terakhir megang waktu konstruksi sampe mulai nge cor lantai 2 kalo gak salah,
Ngerjain project rumah itu excited bgt sih karena rumah itu untuk dr luasan besar, lalu segi struktur juga lumayan advance dan waktu itu banyak belajar interdisiplin.
Salah satu pengalaman berharga itu adalah tetangga lahan kita sesuatu hahaha. Jd kita banyak juga ngehadapin masalah non technical ya dikonstruksi.
Tp kita jadi belajar juga design dan kegiatan konstruksi kita itu bakal berpengaruh ke tetangga di sebelah, jadi perlu d pikirin juga. Kalo masalah desain sih rumah ini jadinya lumayan jauh sih dr desain awal. Tapi facadenya jadi lebih bagus dari sebelumnya. Sama dulu sering ada monyet datang ke lahan haha. Gak tau monyet darimana.
Miftahuddin Nurdayat
Lumintu adalah proyek ke-3 yang saya alami dalam pekerjaan saya di studio RAW. Saat itu saya Bersama dengan kolega, sekaligus senior saya saat itu yakni Icha mencoba membuat tracing lengkungan kolam renang dimana sebelum di lakukan pengecoran sangat diperlukan untuk menjaga bentukan yang presisi. Dan ada beberapa pekerjaan juga yang terlibat didalamnya seperti pembuatan canopy rooftop, pembuatan kolam ikan rooftop dan lain-lain. Walaupun tidak terlalu lama ikut dalam proyek Lumintu ini, tapi menurut saya proyek ini sangat berkesan untuk saya.
Menurut saya ini adalah salah satu proyek yang sangat ekploratif yang pernah dilakukan oleh Kak Rich. Jendela yang memiliki bentuk seperti lengkungan yang tidak biasa, seperti lengkungan yang dibuat dari tali yang ditarik menyerupai bentuk parabolic atau biasa disebut catenary. Bentuk pintu yang terlihat rata dan kotak dari tampak depan, namun ternyata pintu tersebut tidaklah rata tapi berbentuk lengkungan, karena mengikutin sudut bangunan. Dan yang lebih menakjubkan menurut saya adalah saluran lubang-lubang Udara yang diciptakan melalui vent cap karena merespon iklim Jakarta utara yang lebih lembab dan sangat panas.
Saya sangat bersyukur bisa mengikuti sedikit dari proses pembanungnan rumah ini. Rumah ini sangat berkesan buat saya, dan jika diperbolehkan saya pasti akan studi Kembali rumah yang didesain kak rich ini, karena begitu unik dan menarik untuk dijadikan inspirasi. Semoga rumah dengan tingkat kesulitan yang amat rumit ini terus dapat menjadi pembelajaran bagi saya sebagai desainer muda untuk belajar berexplorasi dengan dasar mewujudkan impian klien yang dilakukan oleh Kak Rich. Sukses terus untuk Kak Rich dan studio RAW, karya-karya luar biasanya akan selalu ditunggu.
Located in West Jakarta, Guha Boboto was initially constructed in the 1990s using a simple plywood structure—a cheap and easy-to-find material in the area. With its simplicity, this house continues evolving with a series of renovations. The first renovation was carried out using plywood, which the craftsmen glued together into glulam. In its latest renovation, the existing structure was reused and reinforced with light steel and local glulam wood to reduce costs.
Terletak di Jakarta Barat, Guha Boboto dibangun tahun 1990-an dengan strukur sederhana berbahan tripleks—material yang murah & mudah ditemukan di daerah tersebut. Dengan kesederhanannya, rumah ini terus mengalami evolusi dengan serangkaian renovasi. Renovasi pertama dilakukan dengan memanfaatkan tripleks yang direkatkan oleh para tukang menjadi glulam. Pada renovasi terkini, struktur yang ada dimanfaatkan kembali, ditambah dengan baja ringan & kayu glulam lokal sebagai perkuatan untuk mengurangi biaya.
Various waste materials, such as roof coverings, steel bars, bricks, aluminum, and glass, were creatively repurposed. Craftsmen skillfully turned cheap bricks into luxurious works of art that enhance airflow and privacy. They also created a ceiling design by recycling plywood. This recycling process was not easy, but it succeeded in emphasizing the craftsmen’s attention to creativity, detail, and sustainability in renovating this house.
Berbagai material sisa, seperti penutup atap, batangan baja, batu bata, aluminium, dan kaca juga digunakan kembali. Para tukang berproses mengubah batu bata yang murah menjadi karya seni yang terlihat mewah, yang juga membantu sirkulasi udara dan menjaga privasi. Para tukang-tukang ini juga membuat kreasi plafon dari hasil daur ulang tripleks bekas. Proses daur ulang ini tidaklah mudah, tetapi berhasil mempertegas adanya perhatian tukang terhadap kreativitas, detail, dan keberlanjutan dalam proses renovasi rumah ini.
Guha Boboto now hosts diverse programs, creating a dynamic environment that integrates various functions on different scales. Doors connect the residence to an employee dormitory which is separated by a hallway leading to the library. Library also functions as a bookstore and community activity center. There are also stalls that families of Guha Boboto residents have managed since the 1990s, which stand as a form of strengthening local micro-businesses and surrounding communities.
Guha Boboto kini mengintegrasikan beragam program, menciptakan ruang dinamis di mana berbagai skala fungsi dapat bersatu. Pintu-pintu menghubungkan hunian dengan asrama karyawan yang dipisahkan oleh sebuah lorong menuju perpustakaan. Perpustakaan juga berfungsi sebagai toko buku dan pusat kegiatan komunitas. Terdapat pula warung yang telah dikelola oleh keluarga penghuni Bobotoh sejak tahun 1990-an sebagai bentuk perkuatan bisnis mikro lokal & komunitas masyarakat sekitar.
Guha Boboto has become a place where a mixture of various needs and interests converge, showing that architecture can be flexible. By maintaining privacy, thermal comfort, and spatial functionality, all elements combine harmoniously in Guha Boboto.
Guha Boboto telah menjadi tempat bertemunya berbagai kebutuhan dan kepentingan, menunjukkan bahwa ada fleksibilitas dalam sebuah karya arsitektur. Dengan menjaga privasi, kenyamanan termal, dan fungsionalitas spasial, seluruh elemen tersebut berpadu harmonis di Guha Boboto.
Situated in the increasingly crowded gated community at West Jakarta, Indonesia, the 110 sqm design Realrich architecture Workshop first office “RAW architecture” occupies a 150 sqm in 375 sqm plot of land and built at the periphery and inside main house’s garage. Reflected by its well-known name, RAW architecture office, the finishes are bare and using natural material. Size-wise it is extremely efficient, and relatively small, but its dotted exposed plywood facade combined with exposed concrete, the black painted wall gives it a distinctive look yet privacy from outside the gated neighborhood.
The office is divided by 2 main structure located at the garden and the garage of the existing house. The first structure is meeting space made by plywood structure located outdoor The office has one meeting room dedicated to the OMAH library, which is made by plywood which housed all of the architecture books, OMAH is a community-based library and sometimes is used for hosting architecture talks and discussion. OMAH is made by plywood forming an arch as its geometry, This 2.4 m wide span arch pavilion is made entirely from prefabricated plywood. The fabricated system is designed to be built within 2 weeks accommodating efficiency, affordability, movability as a temporary structure. You can see OMAH’s program in here http://www.omah-library.com
the second structure is working space located at the garage of the main existing house. The office space is designed based on efficiency to create intimate feeling for designers working on intense architecture projects. The working space has no receiving area, no permanent wall. A simple foyer and a big opening with generous footwear storage- guests are to take off and store theirs there before entering-precede the lounging area. After the entrance, the separation between technical and designer also takes some importance its final layout is the result of few adjustments based on the designer and technical’s domestic habits. The only enclosed space in the first story is administration room study, which doubles as a office storage. The second story mezzanine area is more private spaces to store vast material library, and some drinks for chill out time.
Realrich Architecture Workshop has been arranging summer architecture fellowship program which invites 50 people per year in South East Asia to be trainee, learning skill of programming, designing space, and more is to understand the local craftsmanship available developed in the office.
The studio shows example of small home office in Jakarta tries to explore design in its space situated in very limited space in Jakarta.
Realrich Architecture Workshop is like a Roseto that believe on the workshop between the craftsmen and designer for having the best solution in the design, I want to create Roseto that is intimate, fun and breaking the boundary to create innovation as much as we can.” Realrich Sjarief
Situated in the increasingly crowded West Jakarta area, the 159 sqm house occupies a 196 sqm plot of land. Reflected by its name, Bare Minimalist. Size-wise it is inconspicuous, but its exposed concrete façade gives it a distinctive look. The architecture of Bare Minimalist blocked the heat by completely walling off the west side of the house while opening the rest to let air and light in. The house has no receiving area, no wall, and no living room. In their stead is a spacious lounge. ” After the lounge, the kitchen also takes some importance its final layout is the result of a few adjustments based on the owner’s domestic habits. The only enclosed space in the first story is Client’s study, which doubles as a home theater. A simple foyer and a light well with generous footwear storage- guests are to take off and store theirs there before entering-precede the lounging area.
The second story houses private spaces. At the end of the corridor is a 5 x 6 sqm master bedroom equipped with en suite bathroom and a walk-in closet. An outdoor showering area is attached to the bathroom, while the door connecting its indoor and outdoor area is made of clear glass. An additional bedroom, bathroom, and a multi-function room linked by a corridor leading to an open space beside the void leading o the stairwell and staircase, a pretty bow to knot the horizontal and vertical circulations together.
The project installed a drinkable water tap in this open space. While pure, safe to drink tap water is increasingly common in some countries, it is still a rare, exceptional facility in Indonesia, one that this project was determined to have in this home.
Client’s Brief
Speaking of my imagination (Charles Wiriawan’s imagination), this is a list of requirements I have for my house:
• Bare-minimalist, functional architecture
• Design done in Google SketchUp
• Open source, all access to design, budget files as well as material specifications
• Built on an area of about 200 square meter, bigger is better off course • 3 m ceiling height
• Public area as cozy as a lounge, bedroom as comfortable as commercial hotel
• Highly energy efficient, partly powered by (solartiogas) renewable energy source
• Low-maintenance
• Potable tap water system with equalized water pressure
• Efficient waste management
• Bathrooms with urinals and high efficiency faucet, toilet with washlet system
• Walk-in closets with boutique-style clothes racks (See IKEA Stolmen system for reference)
• Modern full LED lighting
• Full HD video, 5.1 audio entertainment system
• Full wi-fi access
Finding a reliable architect who understand the concept of “green building” in Jakarta is not easy, and finding a contractor who’s willing to work for such a small project is another delicate issue. The big guys are outrageously expensive and slow, the small ones are generally fast but incompetent. Can I have such a house in Jakarta? I think so, but it will require a team of forward-looking people who are willing to constantly challenge the status quo, in architecture and property business that is.
I’m going to do this, and I’m calling it Project Open House. Stay tuned.
Credit Clients : Charles Wiriawan + Irene Natalia
Lead Architect : Realrich Sjarief
Design Team : Anastasia Widyaningsih, Silvanus Prima, Bismo
Located in The Green Precinct, Bumi Serpong Damai, Tangerang, Dancer House (well known by Kampono House) sited on the corner of the complex facing west and south. Its total area is 319 sqm, and having land shaped round. The design use this existing situation to emphasize the land potential of scenery and continuous attributes by juxtapositioning axial line and curvature lines, both in the interior and exterior part. The concept is elaborated from the previous Realrich Architecture Workshop’s project such as the Wood Box project, the project is a new way of how intuition, iterations, and functions shape its form.
From outside, the house shows its extroverted while from inside, neatly put dwelling program kept family activities intact and still private. Land orientation influences the design process as an opportunity to maximize lighting reception and vistas. Double height window standing still an upfront side that facing Southwest, which shaded by 2 existing Albizia Chinensis trees. The design process changes in a flow/continuous manner into final shape following its ground and scenery, as to resemble a dancing house, which was inspired by Mrs. Adhisty’s profession as a dancer.
Entering the house, an open plan living room welcomed inhabitants and visitors. The ground floor ceiling is extended to maximize its spaciousness by a height of 4 meters. On top of the living room, the airflow mechanism consists of air stacking effect, -a lightwell, with a size of 180×180 cm and periphery opening as cross air circulation. The swimming pool is located on the second floor to guard user’s privacy, this position is achieved by raising the level of ground for about 2 m above, with land cut-and-fill method. Its positioned below curvature roof and having outmost scenery of the entire neighborhood.
The roof garden is placed at the rooftop to insulate the building from heat. This space also serves as a relaxing place for an immediate garden party. Below on the first floor, there is 3 bedroom beside central stair. Two-bedroom are designed in 18 sqm for children, adjoining to terrace from curvature component. The master bedroom has a bigger area of 30 sqm, with a walk-through closet for clothes and powder area, adjoining master study, and facing directly to the swimming pool.
Photography by Eric Dinardi
The dance floor is placed on the same floor between the master and kid’s rooms. This space also works as a second living room for the family. The service floor and the wet kitchen are located in the semi-basement floor, along with utilities as Genset and wáter pump.
The material used in the house consisted of local cream Tulungagung marble, solid Merbau wood, and steel pipe for handrailing. For handrailing, it is designed vertically placed each in 80 mm distance, put horizontally for kid’s safety. It used local ceramic for service floor and coated bare concrete for outdoor finishes.
Dancer House is one example of a project which exercises the modification of form and program with open plan circulation, in the tropical climate of Bumi Serpong Damai Tangerang, Indonesia.
Photography by Eric DinardiPhotography by Eric DinardiPhotography by Eric DinardiPhotography by Eric DinardiPhotography by Eric DinardiPhotography by Eric Dinardi
We were awarded the first place in a competition for the National Gallery of Indonesia in Jakarta. Seeking to form a connection with the 2 heritage building, their proposal for a Gallery complex, entitled “Nature + Sky,” derives its form from the continuity from public and private spaces.
The heritage building, built during the Dutch-Indies government era, will be framed with a gallery with an expression of greeneries with museum underneath the landscape. The building frames the office tower as a background.
The lobby is located in the heritage building, making this building a hub for entrance and egress. A sky bridge connects the heritage building with the gallery building that frames it. The reception plaza is located at the western side of the Galeri Nasional Indonesia. An art plaza concept will be built along the east-west axis, and art stores will be located at the bridge where the axis the north-south and east-west met.
The project is divided into two components to demarcate public and private programming. First, In the lower level, gallery and retail space comprised of a permanent gallery, temporary gallery, art shops, a cafe, and meeting room are housed within a courtyard with a bridge to connect the heritage building and the new extension. Additional public interaction is encouraged through the inclusion of areas for hosting live workshops. Second, Above these functions, the private programming – consisting of operational office, library, and rooftop garden terraces is designed. The installation of these serves as an abstract nod to the region’s vernacular style of vertical wooden cladding.
In general, the building masses of the Galeri Nasional Indonesia complex respond to two main axes. The Monas axis and the Galeri Nasional heritage building which was connected to the Gambir train station. The Monas axis is realized through the construction of an underground tunnel. The front and rear side of the Galeri Nasional complex hold interconnected open plazas as a response to the Monas area (at the front) and the Ciliwung River (at the rear). The Galeri Nasional Indonesia depicts the simplicity of Indonesian architecture in harmony with nature where earth and sky merge.
Principal Architect : Realrich Sjarief
Team : Happy Marfianta (architect on the record), Apriani Sarashayu, Septrio Effendi, Tatyana Kusumo, Miftahuddin Nurdayat, Maria Vania, Muhammad Iqbal Zuchri, Christiandy Pradangga, Donald Aditya, dan Mukhamad Ilham.
SAYEMBARA PROYEK DESAIN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN BANGUNAN GALERI NASIONAL
INDONESIA Galeri Nasional Indonesia (GNI) merupakan salah satu lembaga kebudayaan berupa museum khusus dan pusat kegiatan seni rupa, sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas melaksanakan pengkajian, pengumpulan, registrasi, perawatan, pengamanan, penyajian dan pameran karya seni rupa. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Galeri Nasional Indonesia menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengkajian, pengumpulan dan registrasi, perawatan dan pengamanan, penyajian dan pameran, kemitraan, layanan edukasi, pendokumentasian, publikasi, dan pelaksanaan urusan ketatausahaan Galeri Nasional Indonesia. Sejalan dengan perkembangan zaman, berdasarkan latar belakang perjalanan tersebut diatas dan mengantisipasi kondisi terkini guna menyelaraskan pencapaian visi tersebut, Galeri Nasional Indonesia membutuhkan masukan dari para stakeholder mengenai rencana pengembangan bangunan yang saat ini kebutuhannya dirasa mendesak seiring berkembangnya fungsi dan aktivitasnya sesuai visi dan misi Galeri Nasional Indonesia. Untuk itu diharapkan melalui kegiatan Sayembara Proyek Desain Arsitektur Pengembangan Bangunan Galeri Nasional Indonesia pada Kawasan Pengembangan Kebudayaan Nasional ini dapat membuka ruang partisipasi publik secara lebih luas dalam merencanakan konsep pengembangan Galeri Nasional Indonesia melalui gagasan dan karya arsitektural yang terbaik.
JUMLAH HADIAH : 465 JUTA RUPIAH JADWAL SAYEMBARA
17 Juli 2013 Pengumuman 17 Juli — 28 Ags 2013 Pendaftaran dan Pengunduhan Dokumen Sayembara 25 Juli 2013 Pemberian Penjelasan (aanwijzing) 28 Ags 2013 Batas pemasukan karya 31 Ags 2013 Penjurian 02 Sept 2013 Pengumuman Pemenang 17 Sept 2013 Penyerahan Hadiah Pemenang
Dewan Juri:
DR.Ir. Ady R. Thahir,MA Pakar Sustainable Development
Ir. Arya Abieta Pakar Konservasi
Ir. Baskoro Tedjo Arsitek Praktisi
Ir. Isandra Matin Wakil Galeri Nasional Indonesia
Sunaryo Budayawan
Hasil: Tiga (3) Pemenang Satu (1) Penerima Penghargaan Khusus Informasi lebih lanjut: http://www.sayembara-iai.org
Located on the outskirts of Tangerang, Karawaci, one of the cities next to Jakarta, Tresno is the design of a simple tropical house in Jakarta. It’s simultaneously designed by the Geomancy principle creating 9 squares of the grid which forbids and allows some functions in the zoning such as the area of the north is for master bedroom and south for the kid’s bedroom. The squares consist of the 3.6 m x 3.6 grid in 9 square boxes with cantilevered space to allow pool, garden, and connection from ground floor to 1st floor flows from service level on the ground floor to living level on 1st floor and at the end to more private level on the 2nd-floor plan. The orientation of the sunlight is studied so the exposure is minimum from the west side facade by having a solid wall and minimum opening. the ground floor and 1st-floor functions to open to the garden. The landscape of “The Pucuk Merah trees” functions as barrier sunlight, and creating a microclimate in the periphery of the site providing microclimate.
At the center of the house, there is a skylight design based on the elaboration of the Tumpang Sari technique which was done in Guha. Basically it is a way to provide air stacking effect to cool the inside atrium space. The atrium connects bedrooms, kitchen, living room. Tumpang Sari is a form of traditional Architecture in Java, that the house is an act of prayer towards life for positive contribution, no pretension, life learning. In this case, the learning curve of understanding the basic needs of grids, modules, and atrium functions are key aspects.
The design uses craftsmen who polished the concrete from the previous projects such as The Guild project before with module 600 mm width x 1200 mm, length to avoid cracking between joints. The steel welder who comes from Subang, West Java combines the lightness of perforated metal and crafted to create a layer of shadow and privacy. The perforated steel is positioned as wall and floor plate in the indoor mezzanine level and outdoor balcony. An idea is a functional approach plus expression raw, rough, and honest material in combination with steel, concrete, and wood plus landscape and lighting and at the end in a combination of tradition.
Stupa is a house like a Castle inspired by Stupa or tapered traditional masonry temple of Indonesian architecture. This form has been exercised in the Guha project and Istakagrha (meaning bricks house), marking the continuation of the experimentation process in the studio. Stupa also means stupa home, a space for meditation, forming a temple or sanctuary for the family.
Stupa is a house like a Castle inspired by Stupa or tapered traditional masonry temple of Indonesian architecture. This form has been exercised in the Guha project and Istakagrha (meaning bricks house), marking the continuation of the experimentation process in the studio. Stupa also means stupa home, a space for meditation, forming a temple or sanctuary for the family.
The project is in the plot of land in Alam Sutera, Tangerang, a rural area of Jakarta that brings peculiarity to the surrounding existing generic neighborhood. The homeowner’s entry celebrates the lush landscape at the front because of the shade of the current Ketapang Kencana tree.
The project is in the plot of land in Alam Sutera, Tangerang, a rural area of Jakarta that brings peculiarity to the surrounding existing generic neighborhood. The homeowner’s entry celebrates the lush landscape at the front because of the shade of the current Ketapang Kencana tree.
Architecturally The entrances also bring micro-climate from the solid – translucent canopy in the entrance as a promenade walk from the foyer to the living area. The house forms a castle of skylights in the hot, humid Alam Sutera area, forming an oasis outside. The idea is to have lights and air circulation with tiny gaps at the top of the skylights while providing thermal insulation to the house.
The house forms a castle of skylights in the hot, humid Alam Sutera area, forming an oasis outside. The idea is to have lights and air circulation with tiny gaps at the top of the skylights while providing thermal insulation to the house.
The house consists of 3 types of skylights. One is six primary tapered 3.0 x 3.0 m skylights. The second is the serviced 2.0 m x 3.5 m skylights that light the service area, the third is the smaller 0.5 m x 1.25 m skylight that illuminates the toilet area.
In this house, every room has natural lights. The white bricks are stacked at the front to accommodate privacy framing blue color door and view to the backyard. The living room exposed big glass openings towards the gardens by doing that. The living room is double height providing spacious space that allows air stacking effect to the skylights at the house’s core.
In this house, every room has natural lights. The white bricks are stacked at the front to accommodate privacy framing blue color door and view to the backyard. The living room exposed big glass openings towards the gardens by doing that. The living room is double height providing spacious space that allows air stacking effect to the skylights at the house’s core.
The toilet adjacent to the bedroom and master bedrooms views the gardens and lights from tapered skylights. This house reminded us of the traditional Javanese home.
The toilet adjacent to the bedroom and master bedrooms views the gardens and lights from tapered skylights. This house reminded us of the traditional Javanese home.
Reconstruction of the concept started from Lawang Pintu, meaning vista door that greeted the visitor with open space and continued the passage to Pendopo, meaning the arrival building. The Pendopo is the most prominent structure in the house consisting living room. The attached back part is the serviced area and bedrooms area organized by the tapered skylights roof.
Reconstruction of the concept started from Lawang Pintu, meaning vista door that greeted the visitor with open space and continued the passage to Pendopo, meaning the arrival building. The Pendopo is the most prominent structure in the house consisting living room. The attached back part is the serviced area and bedrooms area organized by the tapered skylights roof.
The clients are simple people, the discussion in the project combined the grey plastered cement as a basis craftmanship to surface the house. As simple as the house color, it shows the character of the project, the clients, and the approach of the architecture, which is a simple and understated beauty.
Video for Stupa : The clients are simple people, the discussion in the project combined the grey plastered cement as a basis craftmanship to surface the house. As simple as the house color, it shows the character of the project, the clients, and the approach of the architecture, which is a simple and understated beauty.
Client’s Brief
Memories
by Obed Iskandar.
Home is a place to build memories. A place where I can introduce lots of things to kids. Most important aspect of home to me is light, light, and lights. The best feeling in the world is waking up from afternoon nap basked in golden sunset rays. I’m not much of a design/artsy person so interior wise, I’d left it to my wife. I’m easily satisfied in this sector. I’m more concerned on the quality and materials of the build. I will be happy if the house is uncluttered/tidy and the house is just running smoothly without any “tetek bengek” to deal with.
Rumah adalah tempat istirahat dan beraktifitas
by Della Wangsa.
Rumah adalah tempat istirahat dan beraktifitas. Hal ini terjadi karena aktifitas saya sehari2 ada di rumah, dari sibuk di dapur (baking & cooking), melakukan hobi saya (arts & crafts), mengurus anak ke depannya. Rumah dengan good natural lighting dan aliran udara sangat penting bagi saya. Growing up di Bandung yang udaranya sejuk membuat saya mendambakan rumah yang setidaknya ada aliran udara supaya tidak menambah pengap dan tidak perlu selalu menyalakan AC. Dari semua aktifitas sehari2, saya ingin dapat bersantai juga di rumah. Rumah yang tertata rapi dan semua barang ada tempatnya adalah keinginan saya. Rumah yang memberikan homey feel dan nyaman. Kalau bisa rumah yang gampang di tidy up, kadang mungkin saya tidak bisa tiap hari membereskan rumah tapi saya tidak ingin terlihat terlalu berantakan.Saya juga ingin rumah yang timeless karena kami baru mulai berkeluarga dan perjalanan ke depannya masih panjang, tidak perlu yang terlalu modern atau minimalis. Efisien dan praktis dalam hal maintenance tapi masih terlihat bagus adalah yang utama dirumah yang saya ingin. Good planning tentang placement of everything is important to me too.
Ruang yang dibutuhkan
4 Kamar Tidur yang terdiri dari 1 Master Bedroom – Lantai 2 dengan walk-in closet & bathroom
2 Kamar Tidur Anak – Lantai 2 dengan 1 shared but separate bathroom
1 Kamar Tamu – Lantai 1 dengan 1 shared bathroom with bathroom Lantai 1 (if possible ada 2 bathroom, 1 inside the guestroom and 1 for the guests)
Kitchen + Pantry + Dining Room – Lantai 1
Ruang Keluarga – Lantai 1
Library/Office/Playroom/Arts & Crafts area
Gudang besar untuk barang2/dus tidak terpakai
2x Kamar pembantu dengan 1 shared but separate bathroom
Dapur Kotor
Gudang kecil untuk tools & alat2 bersih di setiap lantai
Future dog room/area
Area Laundry room/ruang cuci.
Apakah memiliki koleksi khusus yang ingin dipajang, misalkan lukisan/barang antik/koleksi lain?
Tidak ada, tapi ingin ada satu space tembok yang bisa dipenuhin untuk gantung foto2 keluarga.
Kriteria Kamar Tidur Utama
Decent size, not to overly big but feel spacious. With walk-in closet & bathroom
Kriteria Kitchen
Baking is a big part of my life. Jadi kitchen area is really important. Good workflow and storage is a need. Ada satu solusi dimana saya bisa bikin berantakan satu sisi di kitchen yang tidak terlihat dari bagian rumah lain. Connected to wet kitchen & pantry.
Kriteria Kamar Pembantu
Dua kamar with AC
Kriteria Garasi Mobil
Garasi tidak perlu, kalau tidak ada garasi, yang penting covered car port dan access ke rumah yang tidak kena hujan.
Kriteria Ruang Cuci
Cukup untuk mesin cuci dan ada space untuk cuci baju manual. Akses ke tempat jempur: tempat jemur preferably di dek atas.
Kriteria Dek Atas
Keran air dan clean station (if we need to clean dusty stuff).
Kriteria Taman
Provide a good shade, Easy maintenance, Not attracting scary bugs, Provide a good area for a child to grow up (play yard)
Project Credit :
Completion Year: 2022 Gross Built Area (m2/ ft2): 400 sqm Project Location: Alam Sutera Tangerang Banten Indonesia
Photographer | Photo Credits: Ernest Theofilus Videographer : Muhammad Farhan Nashrullah RAW Visual Arts Team : Angel Gabriela Kusuma, Andriyansyah Muhammad Ramadhan, Lu’Luin Ma’nun, Alim Hanafi
. Structure Design :John Djuhaedi Associates Team of Local Builders :Singgih Suryanto, Yudi Atang, Mohammad Enoh, Bonari, Eddy Bachtiar
Located at Kaliki, Bandung, Otten Coffee Experience is a renovation project of two storeys building with a total of 600 sqm building area where the old structure is preserved. Spaces are redefined and optimized to give a better experience for guests.
The exterior wall facade is layered with a combination of timber slats and brick walls. Timber slats buffer the sun, create shades and texture on the plain concrete wall yet also keep the rain splash coming inside the building. Covered by a new cantilevered canopy, three arches framing the interior – draw people’s attention to inside the space – while a small slit at the side allows direct access to storage. Tilted wall of the lobby makes a spacious double volume entry in an unexpected triangle shape and guides curiosity further to the main area.
Entering the space, guests are passing a 36 sqm digital theme lobby with visibility and access to the tavern which is located side-by-side. The 24 sqm tavern takes a smaller portion of the space Natural light penetrates through the transparent roofing. Behind it is a 24 sqm linear display hall which previously functioned as a foyer. This area separates the entry space and the main area. On one side, a U shape existing stair is modified to the L shape considering efficiency, it leads to an office and coffee shop at the mezzanine area above the lobby. On the other side, access to direct storage is subtly hidden.
Moving to the main area, a traditional gedek bamboo or bamboo weave on the ceiling blends into the space, making a strong and bold identity. The 144 sqm open plan space exhibit products which are displayed along the wall side in sequences. Two customized tables are set up for tasting. Furnitures are made concealed using drywall considering construction time and budget efficiency. A 36 sqm bar in the center is elevated with timber parquet flooring creating hierarchy and dynamic inside the space. Playing with two tones, white and natural timber finish, the bar subtly stands out among the grey tone on the wall & floor. Timber finish in a herringbone pattern on display cabinets balance and keep the material continuity within the space. Behind the bar is a display of coffee machines which are lined up on pedestals. Further at the end, a 15 sqm dedicated robotic room serving performative visual – enclosed by the glass as its own space, framed with an arch brick wall, and elevated also with timber parquet flooring.
Further Credit: Clients: Robin Boe, Jhoni Kusno (Otten Coffee) Lead Architects: Realrich Sjarief Design and Project Team: Andriyansyah Muhammad Ramadhan, Alifian Kharisma, Pandu Nazarrusadi, Avinsa Haykal, Timbul Arianto Simanjorang, Thomas Andrean S. General Contractor: PT. Bangun Cipta Interindo Plan, Illustration Team: Manuel Hendru, Adhika Annisa, Lu’luil Ma’nun, Aryo Phramudhito Photo Credits: Ernest Theofilus Video Production Team: Muhammad Farhan Nashrullah, Lu’luil Ma’nun Maria Angela Rowa, Hanifah Sausan Nurfinaputri
Located in a residential area, Taman Buana Permata house complex, West Jakarta. With an area of 250 sqm, Sarang Nest House consists of 2 generations of families living together, this underlies a centralized circulation and creates a micro-environment through a spatial arrangement with different angles. This angle creates distance between the perimeter of the house and the neighbors thereby allowing air to flow freely around the building while maintaining privacy between spaces. Each room has its own outdoor space. Light enters the room through perforated walls, crevices, windows, and skylights. The shape of this house is tilted to make it more efficient as well as a response from the corner of the building. .
Text description provided by the architects. Located in a residential area, Taman Buana Permata house complex, Sarang Nest House design redefines house stereotypes and grew organically from the base to becoming, as a reaction to its environmental constraints. Sitting at the hook of the street, the building is facing west and south. The storeys are stacked in angles with protruded spaces enclosed by perforated wall to buffer the heat, either with traditional red bricks or metal screen that gives industrial look in contrast. .
Imaginr-BacteriaImaginr-Bacteria
The house has four storeys. 250sqm of the ground floor is for the parking area and service quarter where the floor area is partially occupied. One-third of the area is filled with soil to provide setback for the building and serves as a garden for the area on the first floor. Perforated service stair at the corner accessing whole floors and still allowing light to get into the space. While the main staircase with an active fan circulates the air through the skylight. Living dining in 80sqm open plan space and guest area on the first floor are spoiled by a garden and the roof deck which turns into outdoor space.
.
Imaginr-BacteriaImaginr-BacteriaImaginr-Bacteria
Strategi kedua adalah memanfaatkan lengkungan bata yang artistik dan fungsional sehingga terbentuklah vista pertama memasuki ruang lobby dimana klien bisa menempatkan, mengkurasi pameran dalam bentuk desain yang ergonomis. Display pameran ini menarik karena bisa direpetisi di dalam sistem dry panel dengan motif semen yang terintegrasi.A 3sqm indoor garden in the center keeps the core connecting the upper storeys and serves as a void for light and air. On perimeter walls, a hint of views from across the house is still visible to see through the gaps between bricks. Going up to the second floor, the space is dedicated mainly to a 40 sqm master bedroom, 21 sqm bedrooms, and a playroom. The perimeter is mostly enclosed by a combination of solid walls and perforated metal screens to keep it private. Yet the most enclosed area like a bathroom is washed by light through skylights.
Imaginr-BacteriaImaginr-BacteriaImaginr-Bacteria
The third floor is the top floor. Dominated by open space, 48sqm of a barbeque area, and an enclosed meditation room sit-like pavilion where a 20sqm laundry area is separated by the main stairs. Within the dense residential area, Sarang finds its way to creating a micro-environment by setting up the space in angles. These angles create distance between the house’s outer wall and the neighbors’ which allows air circulation to move freely around the house perimeter, yet it also maintains privacy between rooms. Every room gets its own private outdoor space. Light penetrates the space through perforated walls, gaps, windows, and skylights. Playing out from the grid, the architecture captures the organic and dynamic flow of basic reactions toward nature and the site constraints. .
Further Credit: . Clients: Henry Kusuma Family Lead Architects: Realrich Sjarief Design and Project Team: Realrich Sjarief, Agustin, Erick Fei, Riswanda Setyo, Tirta Budiman, Septrio Effendi, Miftahuddin Nurdayat, Regi Kusnadi Supervisor In Charge: Singgih Suryanto, Sudjatmiko, Muhammad Enoh, Eddy Bahtiar, Endang Syamsudin Construction Manager: Singgih Suryanto, Agustin Structure Engineer: John Djuhaedi, Singgih Suryanto Mechanical And Electrical Engineer: Hamin MEP Master Craftsmen: Tata Pirmansyah, Aep, Aep Syapuloh, Nari , Solehudin Grandong, Syaipuddin, Dicky, Bonari, Tohirin, Nur Hidayat, Rudi Setiawan Interior + stylist: Cindy Sumawan Management: Laurensia Yudith, Reffi Nurkusuma, Nurul Plan, Illustration Team: Lu’luil Ma’nun, Andriyansyah Muhammad Ramadhan, Satria A. Permana, Agustin, Riswanda Setyo Addino Curatorial and Writing team: Andhika Annisa, Lu’luil Ma’nun, Aryo Phramudhito, Maylani Tiosari Photo Credits: Eric Dinardi Videographer: Muhammad Farhan Nashrullah .
Rajutan Rivoli is a Hotel located in crowded area next to Kramat Raya street, east Jakarta, with street’s length of 50 m. It standing on a 1500 sqm land in hook position, with only 16 m width facing south and 97 m length facing west. Within early construction phase, this area had already have existing main stake columns on one floor high construction. The plan was business hotel that yet to be discussed in detail about its program.
The Hotel were designed to inject new design by splitting building masses from north-south side. The splitting achieved by few lightwell corridor, placed in linear manner that allows light to penetrates from transparent roof to first floor. Each lightwell designed in 1.0 m x 4.5 m size, installed on the highest point of the building’s 4th floor, creating a luminous bridge before entering rooms in west side.
West and east side designed to be more introvert. This achieved by a plane that weaved from imaginary line of view, resulted in forming a rationalized balcony with 2.5 m concrete cantilever width and 6.0 m diagonally. This cantilever functioned as room’s eaves that give shade on west side from 3.00 PM at noon until night.
This concrete cantilever also illuminating vista and landscape of south area, which is Kramat Raya street to Tugu Tani street and capital city’s landmark Monas. This cantilever projection also forming a passive design inside planned interior of the hotel.
This hotel designed with module of 21 sqm per room. Each divided by bathroom as 20% and 2 bedroom as 80%. The design totalled of 109 rooms on 4-7-4 m grid section long and 7.7 m width, with briefing area placed on the 1st floor of the building.
Basement area designed to receive natural light and air by cross ventilation system. Hotel corridor also designed to gain same effect from north and south area. Material design were chosen with easy maintenance and accessibility towards minimal cost due to financial situation that available within construction period. This followed by time-challenge on 15 months period, that the architect’s solution is to design building’s structure with prefabrication floor plate technology, to accelerate construction time.
A house or in the Java language called Omah is considired by the Javanese as a cosmos miniature. Where the whole house components are arranged systimatically and harmoniously. The Javanese believe that what they build is the result of an adaptation of struggling with the nature. Those things are combinations of micro and macrocosm of the house that they expect to always keep the balance of life and the positive aura.
The owner is Nina Subiyanto, she was born in the middle of viscous Java culture where closeness and warmth be the main of character its culture. The kinship at Java culture has a social bond that strong, unique and ascriptive.
Sumarah The architecture of this Java House applies Sumarah principle which means ‘surrender’. The philosophy of Sumarah originally is about the acceptance through the body relaxation, feelings and thoughts. This is the first step to process the personal self-transformation and to connect with the subconscious.
“Sumarah, like the old Chinese peasant, teaches the wisdom that respects change and the practice of looking beyond what appears to be good or bad.” – Laura Romano
In the context of architecture, Sumarah means the willingness to blend with the nature and culture, about how to integrate all of those elements into the building, as if make it the spirit of the building. The sequence is designed through intimate passage from the public area, entrance to the private area which is the bedroom and the living room. The sequence is arranged by poisition in the wall providing sense of privacy and intimacy it’s like a journey to the heart of the family.
Interaction between old building and new building Java house that located at Pangakalan Jati street, Pondok Labu, South Jakarta, house with total area of 1940 sqm was a house dominated by a teak. The owner wants to redesign her house also with teak as the dominant material. But, considering the use of teak are 7 times more costly than other materials, so the architect suggests other options to avoid cost overruns.
This house is divided by a tropical corridor with 2,5 m width and 7,2 height as the axis of the building: north axis and south axis. The east side building is the new building and the west side building is the old building. The east façade made layered and enclosed to minimize noise and light. While on the west side the house made more open to maximize the light and also to reduce the heat from the outside.
Ground Floor The main entrance is located at the north, facing the front yard. To reach the entrance, visitors must walk through a 10,2 x 4,8 m terrace with 4 stairways which have 60 cm width of antrade. It’s like, visitors should enjoy the front yard before entering the house.
The entrance made by free standing 2.6 m pervorated wall with kerawang shape, enabling cross air ventilation in the house with small open pattern on the entrance wall. The gap between pervorated wall and ceiling give the impression of warmth greetings and openness of the owner to their visitors.
The first thing that visitors met after walk through the entrance door is two garden at the left and right side. It’s giving an ambiguity, as if we entered the house but then we go out again. Here,visitors are shown at once about one of owner’s favourite thing: plants and owner’s job as a florist. The inside gardens with 10 m2 of each total area are full of pot plants. This area is a transition from public area to semi-public area.
At the first layer, there is a 4 x 3 m foyer which is a transition to connect prayer room, living room and a corridor. Prayer room and living room are facing directly toward the garden A skylight on the foyer ceiling made by merbau wood adapts tumpang sari shape. This tumpang sari serves to drain the air pressure that occurs within the building (air stacking effect). In Joglo house design principle, the existence of tumpang sari is a necessity because it describes a connection between human and God.
Then, the foyer will bring the guest to a corridor and the corridor will bring the guest to the core of the house that divides semi private area and service area.
Corridor to the west directs visitor to the first child bedroom and guest bed room. Between those rooms there is a fish pond which is its existence will bring relaxation effect by gurgling sound of its water. Total area of child bedroom is 30,75 sqm with dress room inside. Besides the fish pond, first child bedroom is facing directly to the back yard area at north side and dry garden at the south side. Between both bedrooms there is abathroom with a size of 3 x 3,15 m that separate the bedrooms and side door.
Corridor to the south directs visitor to the dining room that connected to the family room. Dining room floor made 15 cm higher than any other rooms. It’s like, it wants to tell the visitor about how important its existence as a place where the family can sit together and share their stories while they’re eating.
Corridor to the east directs to service area and semi private area such as master bedroom and family room. The master bedroom of 46 sqm total area that can accessed directly from backyard through the corridor. The master bedroom is faced directly to the south area where besides the backyard, there is also a working area where the plants and flowers are arranged for sale.
The family room which is the core of the building is the widest area with total area 60 sqm. Its wall is full of giant window with size of 3 x 1,25 m every sills, give the visitors an transparent impression to this room and ensuring the guests that they won’t lack of light and air if they are here. The vista from the family room frames backyard and swimming pool at the center of backyard. The interaction concept between the family room, backyard and swimming pool is based on the owner wish who wants to revive childhood memories where at that time, their father sat in the living room while watching his children playing and swimming on the backyard.
First floor Vertical sirculation begin from the family room and connect to an intimate corridor with size of 1,2 x 8 m. It’s like, in this area visitor can learn more about this family. Memory images of Subiyanto family from children to adult, lined up neatly on the shelf that has a length along the corridor.
Vertical sirculation begin from the family room connecting to an intimate corridor with size of 1,2 x 8 m. It’s like, in this area we can learn more about this family. Memory images of Subiyanto family from children to adult, lined up neatly on the shelf that has a length along the corridor. The corridor connects service area, library, study room and two bedrooms: second child bedroom and third child bedroom. The library is at the end of the corridor, storing childhood books and parents favourite books.
Javanese tropical house One of effort to minimize energy use in the house is by using local material optimally. Materials such as concrete, wood, bricks and glass were selected to considering the thermal conductivity that may blocking the sun radiation heat and carbon foot print to the house.
The interaction between building and tropical climate is very visible inside and outside the house. The inside of the building shouldn’t always introverted from the outside. A lot of organic elements are created inside the building, shaping voids, and make the inside building as if it’s on the outside house. Besides for sun light and air system, these voids also for social function that can build an intimate relationship between family members.
The meaning of Java house in ‘Java House’
Joglo house is Java house ‘Java House’ is Java house
Although both of them physically different, but they still imply the real meaning of Java house, that show us friendliness and openness of the owner, that try to adapt with its surroundings, that try to stay connect with God.
Location : Pangkalan Jati, Jakarta Selatan Owner : Ati Subiyanto Family Principal Architect : Realrich Sjarief Project Team : Bambang Priyono, Rudianto, Andhang Trihamdhani, Randy Abimanyu, Emmy Ulfah Interior Designer : Nina Subiyanto Civil Engineer : Ir. Herwin Siregar Contractor : PT. Bimal Construction Manager : Ir. Bambang P.V. Adi
Located in Puri Indah, West Jakarta region, the tropical open house creates intimate space from entrance through void in the garden, in living room, library, and the roof top garden.
“I want a house. A house to retreat, to relax with my family,” explains homeowner Mr. Wirawan to Realrich Sjarief. Situated in the increasingly crowded West Jakarta area, the 500 sqm house occupies a 450 sqm plot of land. Reflected by the owner’s name, Wirawan House forest wood, Size-wise it is inconspicuous, but its exposed brassed wood facade gives it a humble look. The concept is elaborated from Bare Minimalist, Akanaka, and Istakagrha to provide tropical open houses.
The architecture of Tropical Open House separated the service on the ground floor, lifted the building floats with living room, and master bedroom on the first floor and bedroom for three children on the second floor. The composition is designed by designing multiple small landscapes based on the view from each intimate space, this way the heat is reduced by facing the opening to the north-south side while opening the skylight and the window to let air and light in. The house has one receiving area then no more separation wall on the first floor which is the living room. In the living room, the kitchen also takes some importance its final layout is the result of a few adjustments based on the owner’s domestic habits. The only enclosed space in the second level is Wirawan’s study, which doubles as a library and his space to remember memory for his family. A simple foyer and a light well integrated with stair, and artwork is placed after the receiving area. The second story houses private spaces. At the end of the corridor is 2 bedrooms of his daughter’s equipped with a suite bathroom and a walk-in closet. An outdoor feel showering area is attached to the bathroom, while the surface connecting its indoor and outdoor area is made of clear glass. The material used in this building is chosen based on the best craftsmanship available in Jakarta.
5 types of local Wood was picked based on each unique character. First is, dried pine wood 180 mm x 30 mm x 3000 mm, for the facade, and 85 mm x 10 mm x 3000 mm for the ceiling. Pinewood was chosen because of the durability and lightness. Second, reused Ironwood which is the most durable material used for the Phinisi boat, combined with Bengkirai wood which is more economical for the less walkable space is used for indoor-outdoor decking because of the texture, durability, and economic. Teakwood is used for main area bedroom, library, and foyer area, and Merbau wood 300mm x 480 mm x 2800 mm combined in the single door is used for door because of its tolerance on expansion, the most available material in Jakarta.
An additional bedroom, bathroom, and a multi-function room linked by a corridor leading to an open space beside the void leading to the stairwell and staircase, a pretty bow to knot the horizontal and vertical circulations together. The project installed stormwater harvesting and reuses it in water landscaping. While stormwater harvesting is increasingly common in some countries, it is still a rare, exceptional facility in Indonesia, one that this project was determined to have in this home. The attention of the play of light and shadow, created through a combination of materials and artificial and natural light is fundamental to the design of the house and evokes the quietude of such a retreat house which stated by its architecture.
Located in Alam Sutera, Tangerang, as it completed in 2016, Puncak Keemasan Group Office occupies 2.450 sqm of built area. The building is intended as an office for several companies, which is a noticeable challenge in programming schemes. As part of a given solution, the design proposes a permeable transition to create unifying ambiance with the structural parabolic shape made by plywood while maintaining separation inside each chamber. The material used as the main language is plywood that covered almost all interior offices. The result is a jungle-like hall that connects every room with a tree bookshelf and library as its main hub.
The primary concern of the design is to restrain any unnecessary cost while maintaining a sense of playfulness and creativity. The scheme is elaborated from Omah Library Summer pavilion modular concept.
Form of design was expressed in two main sequences. The first sequence is to convey the flow by continuous circle form of tree structured bookshelves along the path of the office. The Second sequence is the type of flow expressed through plywood ceiling placement, which creating sense of wave, thus also resulted in dynamic interior lighting. Another use of plywood is manifested in giant curvature bookshelf that also works as room partition. This bookshelf formed double curvature for a reason. The curve reversed each other vertically, like a section of double helix. This way, it has stable load point in the middle of double arch as self-supporting barrier.
The design also aims for material efficiency. By using 600 x 600 waffle module of bare plywood to cover the ceiling, gave results to its cost efficiency up to 50% to compare with a normal cost. Not only as a transitional element, but plywood also became the main form for its ceiling structure. Giant waffle is also functioned for mantling cables and pipes by the least usage of material.
The entire interior element is consistent with the same porous detail; from square module bookshelf to various high for the ceiling, while some part of supporting areas is using modular rectangle layout form. The detail is enhanced by low hanging Edison lamp along with the office, and synthetic grass carpet to heighten the jungle mood.
Sumarah is inspired by an Indonesian form of meditation centered on the philosophy of life. Sumarah is defined as a “total surrender,” allowing the partial ego to give way to the universal self.The practice is based on developing sensitivity and acceptance through deep relaxation of body, feelings and mind. Its aim is to create inside ourself the inner space and the silence necessary for the true self to manifest and to speak to us said the architects. Realrich Sjarief explained that a total surrender to life allows one to see the real beauty in the world. They added that this cycle between mind and soul is a continuous loop, which was the inspiration behind their plan for the structure.
Created with polycarbonate, the project is connected with steel elbow and screw bolt. By creating space within space, the architects have, in essence, created life within life by filling each box with plants or fish. Looking at the elevation of the structure resonates with the Indonesian mountains that possess sacred meanings of human achievement. Moreover, the box-like composition was influenced by the stacking system in Indonesian temples. Ancient temples, like Borobudur and Prambanan, were formed by stacking many blocks of stone. The best part of the structure is translucency and transparency. people can see through the boxes and into other forms of its life systems.
Located in Taman Meruya Ilir, West Jakarta region, Istakagrha meaning brick house, Situated in the increasingly crowded West Jakarta area, the 150 sqm house occupies a 150 sqm plot of land, 10m x 15m. Istakagrha is reflected by its name, brick House, it is a small and compact house with a orange painted color on the light weight brick, black colour , and rough concrete texture finishes.The expression creates humble and distinctive look.
“We have a dream to have a house which like a villa in Bali. A house more than a functional but a place to live and grow with feel of nature, we really love staying in tranquil house” explains homeowner Mr. Ferdian Septiono and Ms. Joice Verawati to Realrich Sjarief. The couple are graphic designer who are willing to have a compact Ecological house which is resortlike.
The architecture of Istakagrha separated inside and outside with the landscape of a barrier wall made by light weight brick. The combination is stacked with pattern of solid void, which provide sense of privacy and security, meanwhile allowing sunlight and air circulation to flow inside the living room. The Ecological Approach of this house elaborated from Realrich Architecture Workshop’s project such as Bare Minimalist project and the privacy design elaborated by Bris Soleil (sun breaker) elaborated from akanaka.
The house faces east side allowing morning sunlight come to the space at 9 am. The stair is placed at the west side, the west side is walled with brick to provide thermal insulation. The air ventilator is placed at the west side of the house above the stair from ground to 1st floor providing fresh air circulation through air stacking effect. The house has one open air receiving area as anteroom then no more separation wall between living, dining, and cooking which In the living room, the kitchen also takes some importance its final layout is the result of few adjustments based on the owner’s domestic habits. The only enclosed space in the second storey is guest room, which doubles as a working space and guest bed room. A simple foyer and a light well integrated with stair, and art work is placed after the receiving area at the west side of the building. The second story houses private spaces. At the end of the corridor is 1 bedroom with shared bathroom and a walk-in closet. An simple and functional feel showering area is attached to the bathroom. The material used in this building is choosed based on the best craftmenship available in Jakarta, concrete structure is used because of the cost efficiency, engineered wood is used because of the look and lightness, metal frame for facade and sunshading are used because of durability.
3 types of brick was used based on each character. First, is light weight brick, 200 x 600 x 100 mm, for the facade. Light weight brick was chosed because of the lightness, precision and can be easily molded and constructed as facade/ Second, orange brick which is most common material used in Jakarta, The third one is the ceramic brick 50 mm x 150 mm x 10 mm which is used for covering the stair wall as insulation and interior surface. An additional bedroom, bathroom and a stair way to the attic on the 1st floor is linked by a corridor leading to an open space beside the void leading to the stairwell and stair case through compact space. Istakagrha showed an example of small house in Jakarta with small plot of land with sustainable design approach and keeping privacy from out side to inside through simple form which is stacking brick.
“I want a residence where is comfortable, natural, and energy efficient,” said Mr. Yuwono to Realrich Sjarief when he stated the brief of Akanaka. Akanaka is located on 800 sqm lands, consists 19 serviced bedrooms, in 2 levels building with an open-air corridor. It is in Kemang, South Jakarta, a precinct where is well known as the art district.
From the facade, Akanaka’s 4.5 meters cantilevered canopy blocks the east-west sun while giving a tropical device for heavy rainfall. The ecological approach for the building elaborated from the principle in Bare Minimalist house (the project that is been done before by Realrich Architecture Workshop as project 01). The orangish terracotta facade module 300 mm x 300 mm made by craftsmen at Pamulang gives a private, solid void, an expression which is functional and beauty. The balustrade is made from steel painted with brownish colour with gaps to allow cross air ventilation coming inside the building. The floor is concrete, one at the outdoor is grass block and the one inside the building is 1200 mm x 1200 mm cast concrete with glass grout.
The linear and communal courtyards are introduced at the centre of the building as a communal space, sculpture garden providing air stacking effect, and natural sunlight coming to the communal space. The size of the rooms varies from 16 sqm, 24 sqm, to 35 sqm which each of the room provide cross air circulations, functional interior design, and dual aspect window providing sunlight to the room.
Inside the building, there is much feeling of wood and concrete. The teak wood was engineered by cut into 3mm thin slices, glued on top of plywood to increase lightness, cost, and availability of teakwood. The engineered teak wood panel in module 200 x 1200 mm is hung by stainless steel pin, this construction technique allows the system to be prefabricated, dismantled, maintained whenever it is necessary. Akanaka is one of the examples of how the passive design executed in simple method opening side for air and sunlight to the building.
Bahasa :
Rumah kos Akanaka menempati lahan seluas 800 meter persegi, terdiri dari 18 kamar sewa di dalam bangunan dua lantai dengan koridor yang terbuka. Perancangan rumah kos akanaka memperhatikan 3 hal, pertama bangunan ini dibangun di atas struktur bangunan lama, kedua adaptasi terhadap arah hadap bangunan ke arah barat, ketiga memaksimalkan sirkulasi udara alami dan cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan, sehingga bangunan kos-kosan ini menjadi hunian yang sehat dan nyaman.
Pada bagian muka bangunan, atap kantilever sepanjang 4,5 meter dan dinding terakota buatan pengrajin lokal menghalau cahaya matahari langsung dari sisi barat bangunan, memberikan ekspresi soid void dari sisi muka bangunan, menjaga privasi penghuni dan memberikan celah udara masuk ke dalam bangunan.
Ruang terbuka yang melingkar dan linear diletakan di tengah bangunan sebagai ruang komunal, taman untuk meletakan sculpture, memberikan celah air stacking effect, dan memaksimalkan cahaya alami yang masuk ke dalam bangunan. Ukuran ruang kamar kos memiliki 3 variasi, dari 16 meter persegi, 24 meter persegi, hingga 35 meter persegi, dimana tiap kamar memiliki sistem sirkulasi silang, desain interior yang fungsional, dan jendela di dua sisi untuk cahaya alami.
Koridor di dalam Bangunan ini menggunakan sistem air stacking effect dan cross-ventilation yang membuat ruang-ruang di dalamnya tidak memerlukan pengkondisian udara buatan. Di dalam bangunan, material yang ada didominasi oleh beton dan kayu. Kayu jati dipotong setebal 3mm dan ditempel pada bagian atas plywood untuk mengurangi beban, biaya, dan penggunaan kayu jati. Panel kayu jati dimodulasi dengan ukuran 200×1200 dan digantung dengan menggunakan pin stainless stel, teknik konstruksi ini memungkinkan sistem untuk fabrikasi, sehinga bisa dibongkar pasang untuk perawatan apabila dibutuhkan.
Rumah kos akanaka merupakan satu contoh bagaimana passive design dieksekusi dengan metode yang sederhana mulai dari menyediakan bukaan yang maksimal untuk cahaya dan udara ke dalam bangunan. Sistem railing menggunakan sistem knockdown dengan kulit kayu yang dilapis di atas triplek 18mm yang di konstruksi dengan pin stainless steel yang menciptakan kesan melayang dan ringan. #rumahkosakanaka
Presentasi Realrich Sjarief untuk Nominasi IAI Jakarta Award 2015
Architects : Realrich Architecture Workshop, Principal Architect | Architect in Charge : Realrich Sjarief, Tim Desain : Suryanaga Tantora, Maria Vania, Mukhammad Ilham., Lokasi : Jl. Kemang Timur Raya no. 2 Jakarta Selatan, Konsultan Struktur : Cipta Sukses | Anwar Susanto, Konsultan MEP : Karim Listrik, Kontraktor : Singgih Suryanto, Masa Konstruksi : 2012 – 2013, Luas Bangunan : 800 m2, Luas Area : 800 m2, Tinggi Bangunan : 2 tingkat
Buku Soul of Borobudur, Filosofi Mandala Chakravartin bercerita mengenai nilai-nilai atau esensi dari Candi Borobudur, bahwa ia bukanlah sekadar monumen mati, melainkan monumen hidup yang relevan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Di dalam buku ini, penulis berusaha menyadarkan pembaca mengenai betapa hebatnya bangsa Indonesia. Pada era pembangunan Candi Borobudur, peradaban Nusantara banyak dibawa jauh ke Jepang, Cina, Korea, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan hingga ke Tibet. Penyebaran peradaban tersebut kemudian memantik munculnya peradaban-peradaban baru di negara-negara tersebut.
Bagi penulis, Borobudur bukan sekadar cerita perjalanan masa lampau. Borobudur menjadi mandala dalam diri setiap manusia yang direpresentasikan secara monumental. Borobudur menggambarkan kehidupan keseharian yang mengajak kita untuk lebih mengenal dan menggali diri sendiri.
Harapannya, dengan menghayati isi dari buku ini, pembaca juga dapat terinspirasi untuk lebih mencintai Indonesia dan turut berkontribusi membawa Indonesia maju ke depan dengan menengok kisah dari masa lalu.
Pembuatan buku ini didukung oleh banyak sekali mandala yang membantu penulis. Di antaranya ada Ivan Chen dan Ninoi Kiling, CEO dan kepala pengembang dari studio yang membuat game moba pertama di Indonesia. Merekalah yang membantu penulis menetapkan Borobudur sebagai titik awal sudut pandang buku ini. Setelah naskah selesai ditulis, tantangan belum berhenti. Di sanalah dukungan OMAH Library masuk dengan segala naik-turun, suka-duka, yang membuat penulis masih merasa menjadi manusia di dalam prosesnya.
Pada akhirnya, walaupun buku ini lebih banyak menekankan kecintaan kepada Indonesia, ia tetap membebaskan pembaca untuk menyukai sesuatu yang berasal dari luar. Namun, sama halnya dengan mandala diri, kita perlu mencintai diri sendiri terlebih dahulu untuk dapat mencintai orang lain.
Dengan demikian, kita akan menjadi mandala yang utuh dan kaya.
Guha berada di antara batas area informal dan formal, antara kampung dan kompleks perumahan. Sisi selatan didominasi rumah bergaya Mediterania dari era 1990-an, kontras dengan sisi seberang berupa rumah kos-kosan, warung kopi, grosir durian, katering, dan masjid dengan jalan yang sempit.
Kontur lahannya menurun dari utara ke selatan setinggi 2 meter, dan jalan di depannya sering tergenang saat hujan karena posisinya yang paling rendah di kompleks dan kurangnya sudut kemiringan menuju saluran air yang jaraknya jauh.
Daerah ini juga memiliki tingkat kriminalitas tinggi, seperti penjambretan di gang dan rumah warga yang sering kemalingan. Ini membuat saya juga penuh keragu-raguan, maklum saya juga manusia yang terus ingin sempurna. Meski begitu, saya mulai melihat lingkungan ini dengan perspektif yang berbeda setelah berdiskusi dengan ayah saya yang mengatakan, “Selalu lihat kehidupan dengan indah, sembari terus kritis. Itulah kembali ke dasar.”
Meski lahan ini memiliki problematika, tapi banyak juga keindahan yang dimiliki. Iklim mikro jadi nyaman berkat hadirnya 3 pohon trembesi dengan tajuk selebar 15 meter. RTH terbentuk karena kebutuhan untuk ruang resapan. Hadirnya perpustakaan anak sebagai ruang bermain bagi anak-anak sekitar ternyata membantu menurunkan tingkat kriminalitas.
Kami belajar tumbuh dengan memprioritaskan ruang kerja karena limitasi dana, sehingga ruang keluarga yang kecil membuat kami terus bersama. Sementara, ruang kerjanya efisien dan fleksibel, terintegrasi dengan banyak pintu. Segala problematika dalam keterbatasan ini menciptakan senyum sekaligus tangis bersama, tegur sekaligus enggan menyapa, bercampur aduk dengan indah. Termasuk hubungan saya, keluarga, tim, tukang, juga seluruh kawan yang menjadi keluarga baru saya.
Setiap rumah adalah permata bagi keluarganya, begitu juga dengan prosesnya, perjuangan sebelum dan sesudahnya, kenangan lintas masa dan harapan, mencerminkan keindahan rumah keluarga yang membawa kita kembali ke dasar masing-masing.
Kofuse Coffee & Dine is an F&B project made for the brand of Kofuse Retro Fit Artisan Fine Dining, located on Cikajang Street, Kebayoran Baru, South Jakarta. It is a renovation project from a previous nail art and spa building. Almost 75% of the existing structure is re-used. Some structural columns with an arch shape are added to strengthen the roof structure. The arch columns are also applied to the facade as an additional structure to support the canopy we made to shade the inner building from direct sunlight and heavy rainfall, considering its context in the tropical climate of Indonesia. The arch shape of the columns is then mirrored to the top, making the impression of minarets. The facade is illuminated by the lighting path, giving a dramatic effect once we enter the site at night and standing out the minarets as an anchor point on the face of the T-section.
The canopy grille which is refracted by light displays an artistic side that is emphasized by dynamic lighting lines and is framed by curved walls showing the beautiful side of this building.
After the pandemic of COVID-19, people get used to do activities from home. Therefore, we tend to provide a space that can stimulate the imagination and give a home vibe, with an intimate feeling and a familiarity of a poetic space. We divide the Kofuse Cafe & Dining area into 3 zones, including the main room, the private space, and the front yard. The private space results in a group of micro-rooms that imitate several adjacent islands, private enough for discussion activities but still can look outside through the vista.
In the indoor dining area, there is an existing building column in the middle, this column is then covered with a new curved structure that is in harmony with the other designs and is used as a dining area as well.
The walls are made from exposed concrete and masonry, with wood as a list to give a transition effect. The ceiling is covered by bamboo woven and layered with UV plastic behind it to keep the cool air from AC from flowing out through the ceiling. It gives the cafe the nuance of an unpretentious and aesthetic museum or gallery. All the materials used in this project can be easily found in nearby areas, even the andesite used for the front yard, promoting local craftsmanship. However, the localized approach is taken as a method to adjust the after-pandemic condition.
Finally, the era of COVID-19 really teaches us that something valuable in the future doesn’t always have to be expensive. The localized and adaptive reuse approach can always be a choice we offer to the client. Moreover, it gives us the spirit to be optimistic and always rise after the critical condition.
There seems to be a unity of the various materials that exist in this cafe bar area, wooden floors combined with hexagon tiles, bricks rubbed with white paint, and woven bamboo ceilings look harmonious with all the elements in the building.
Project Credit :
Completion Year: 2022 Gross Built Area (m2/ ft2): 255,96 sqm Project Location: South Jakarta, Indonesia
Lead Architect : Realrich Sjarief
Design Team : Realrich Sjarief, Andriyansyah Muhammad Ramadhan, Melisa Akma Sari, Agustin Support Team : Avinsa Haykal, Prasetyo Adi Nugroho, Sharfina Nur Dini Supervisor : Muhammad Eno
.
Photographer | Photo Credits: Nilai Asia, Aryo Phramudhito Plan, Curatorial, and Illustration Team : Alya Hasna Rizky Riandita, Lu’luil Ma’nun, Imega Reski
Hari ini Laurensia ulang tahun ke 42, senang sekali melihat keceriaannya setelah selesai sakit kami. Ia adalah wanita yang sangat sederhana, ngga banyak keinginan, kemauan yang berlebih-lebihan dan hal itu mewarnai kesederhanaan keluarga kami. Ia adalah partner kehidupan, keluarga, dan memegang banyak pintu, kunci dari keluarga dan juga studio. Dokter gigi yang juga membantu mengorganisasi studio sehingga anak- anak studio bisa lebih bahagia. . Anak – anak kami sudah cukup besar, ada Miracle dan Heaven yang memiliki sifat – sifat unik. Kami percaya bahwa setiap anak memiliki jiwa yang baik dan bersahaja, seringkali pada saat ia dewasa ia menjadi terpapar dengan jiwa orang tuanya yang memiliki kebaikan dan juga berbagai macam trauma/rasa kenangan yang perlu diselesaikan. Laurensia dari dulu kami bersama dari tahun 2008 banyak membantu saya untuk arsitektur juga pribadi, sisi trauma saya, ia mengerti, memaafkan, dan menyabarkan saya pribadi. Bahkan untuk nonton bioskop senang-senang, dulu ia yang mensupport saya dengan praktiknya ketika uang saya habis karena memulai karir tidak pernah mudah. . Laurensia adalah orang yang perasa dan halus, ia mampu merasakan, mencium hal – hal yang tidak bisa dirasa oleh orang biasa, dan menajamkan intuisi saya pribadi sehingga bisa merasakan energi baik, niat baik, proses yang selalu berputar dalam keluarga kami. . Dari dirinya saya mendapatkan karunia 2 anak yang baik – baik. Seiring dengan kehidupan waktu kami yang berhitung mundur, saya ingin dia bahagia. Di balik ketidak sempurnaan kami semua, bagi saya inilah kesempurnaan yang layak dijalani. Berhitung mundur di balik rambut putih saya yang mulai muncul sehingga kehidupan ini akan mulia dan sempurna demi Tuhan yang kami pegang teguh. Semesta ini begitu luas dan indah dan ini bermula dari ibu sebagai pusat galaksi kecil, yaitu keluarga kita masing – masing. . Photograph @_yophrm #realrichsjarief #miracleheavenrich
Hari minggu kemarin, kami merayakan momen istimewa Nurul dalam acara lamarannya. Proses lamarannya begitu khidmat dalam adat jawa yang penuh kehangatan dan makna. Dua keluarga besar bertemu, dalam sebuah proses menyatukan dua insan dari latar yang berbeda, untuk melangkah menuju jenjang berikutnya. Bagi kami, Nurul adalah seorang yang memiliki peran penting dalam keluarga besar Guha. Seorang admin yang mengepalai divisi auditing dan administrasi, menandakan bahwa di dalam studio desain, yang dikerjakan tidak hanya soal desain namun juga menjaga keseimbangan keuangan. Hubungan dekat antara keluarga Nurul dan keluarga Kak Realrich adalah seperti ikatan keluarga yang tidak bisa dipisahkan, mereka sudah seperti keluarga besar. Hal yang lumrah terjadi di dalam praktik studio yang tradisional, bahwa ada kedekatan yang dirayakan, ikatan batin yang ada sejak jaman ayah dari Realrich dan ayah dari Nurul. Kakak dan adik membentuk lingkaran, dari generasi ke generasi, dan itulah keluarga.Momen ini juga mengingatkan kami akan sebuah kutipan dari Jalaluddin Rumi, “Hari kemarin telah berlalu dan ceritanya sudah diceritakan. Hari ini benih-benih baru tumbuh.” Kami dari keluarga besar di Guha dengan tulus mengucapkan selamat akan lembaran baru yang dibuka. Semoga lamaran mereka membawa berkah, rejeki, dan keberkahan dari semesta untuk langkah-langkah dalam proses selanjutnya.
Pak Gunawan Tjahjono, seperti namanya “cahaya yang berguna”, adalah seorang professor yang saya selalu rindukan karena pengetahuan arsitekturnya yang berlimpah, dan banyaknya buku yang dibacanya.
Saya banyak menanyakan hal-hal terkait perjalanan hidupnya, sampai ke bagaimana seorang praktisi dididik, mengenal pola dan bagaimana melatih bahasa pola. Saya yang dulu berada dalam praktik kecil yang terbatas di ruang garasi, sekarang tersadar bahwa dalam praktik, bahasa pola perlu dilatih dalam ruang-ruang imajinasi & teori.
Dari diskusi ini saya belajar relasi antara 3 dunia: 1) grammar (pola), 2) rasa, dan 3) spiritual. Saya ingat grammar dipelajari melalui kekayaan wawasan, bercerita melalui kekuatan analitis.
Hal itu saya dapatkan ketika Pak Gun bercerita kembali tentang kekuatan story-telling Charles Moore dan metode analitik berpikir kritis Horst Rittel.
Cerita kedua adalah bagaimana menajamkan rasa melalui prinsip RSVP (resources, score, value, perform): sebuah perjalanan mengenal diri, menghidupkan kembali kepekaaan dengan merasakan kehilangan indra, membangun sistem diri yang definitif & terukur, bertindak secara kolektif, hingga pada akhirnya kita bisa menemukan makna dari aksi kolektif ini dalam sebuah proses kreatif.
Ia membahas pentingnya rasa melalui pengalaman arsitektur yang tidak hanya analitis, tetapi menembus kualitas atmosferik. Bukan hanya soal bentuk, tetapi perpaduan indra, teknik, cerita, dan kesadaran, yang layaknya beliau alami pada karya-karya Louis Kahn seperti Kimbell Art Museum & Salk Institute, ataupun figur Eko Prawoto.
Pak Gun cerita beliau sedang menyusun tulisan tentang domestifikasi arsitektur, sebuah titik di mana ia mencari definisi demi definisi kehidupan manusia & arsitekturnya.
Saya ingat beliau berkata, “Seorang pengajar tidak perlu merasa bisa memiliki semua jawaban dari pertanyaan murid-muridnya, tapi ia perlu menjawab ‘mari kita cari bersama-sama’.” Dari sini saya merasa relasi arsitektur Indonesia ada di 3 antara: antara pola, antara rasa, dan antara jiwa yang membentuk ikatan batin untuk pulang.
Terima kasih Pak Gun sudah menemani kami semua untuk mencari jawaban & juga pertanyaan-pertanyaan baru.
Pulangnya beliau mau membeli buku. Saya tanya, “Yang mana, Pak?”
Beliau jawab, “Yang dua ini, Alvar Aalto dan Methodgram.”
“Pak, ini ditulis sama saya dan Anas Hidayat, disunting sama Johannes Adiyanto. Buku Methodgram inget ngga, Pak? Saya ditantang sama Agustinus Sutanto, ‘Kalau kamu tidak bisa menemukan metodemu sendiri, kamu ngga akan bisa berkembang. Lihat Bjarke Ingels, Vo Trong Nghia.’ Setelah itu saya tulis buku ini, yang kadang saya ngga ngerti apa yang saya tulis sekarang.”
“Ya, semua bertumbuh kembang,” jawabnya. “Bagusnya begitu.”
“Kamu tau Alvar Aalto? Dulu Pak Wondo pernah cerita ke saya kalau gedung konsernya didesain supaya jari jemari pianisnya terlihat dari tempat duduk. Saya mau baca buku itu.”
Terakhir saya bilang, “Pak, Antologi Kota 1 & 2 ini dibuat oleh Mas Cahyo, Mas Gede, Mas Fritz, dan teman-teman.”
“Oooh iya. Oke, saya mau bayar semua.”
“Ngga usah, Pak. Ini semua sudah dibayar, saya tambahin beberapa buku ya, Pak. Kan untuk perpustakaan Bapak juga. Kita berbagi ilmu.”
Lima tahun setelah perjumpaan saya dengan Pak Gun di Bintaro Exchange—beliau menjelaskan relasi Jung, Archetype, dan kekuatan metode Rittel—beberapa buku, diskusi tentang arsitek & arsitektur mumpuni sudah terbit, dan cakrawala baru yang saya dapatkan dulu tidak ada habis-habisnya sampai sekarang, dan saya selalu menunggu apa yang akan saya lakukan besok pagi. Saya sebut itu “The Night Flame”, malam yang membara. Sebuah pantikan api yang dinyalakan di lubuk hati, yang saya perlu banyak berterima kasih pada beliau atas pencerahan dan penemanannya sampai sekarang.
For us, the daily journey in GUHA is something we continually cherish, especially with the presence of a big family in RAW DOT OMAH. Together, we continue to carve our process, fight within our limits, forge ourselves, continue to learn, and unite in our dedication to the team.
Our collective fight, both as individuals and as a team, unfolds in three interconnected aspects: Body, Mind, and Soul. The Body signifies the presence of the RAW DOT team, who continues to put in long hours to transform imaginations into reality. The studio serves as a visionary place where we explore creativity, drive innovation, and ensure each project reflects the continuity of our studio’s and client’s visions.
Beneath the strong Body lies the Mind, representing insights and knowledge that emerge from daily studio discussions and our reflections on the written work continually produced by the OMAH team. Just as we dwell into and learn from various architectural case studies and thousands of projects, our commitment to working with focus, down to the smallest details, ensures that every aspect is meticulously crafted and executed, reflecting our dedication to delivering the best for all.
After the Body and Mind work in harmony, there is also the Soul, embodying how we remain dedicated to serving, sharing knowledge, and resonating with the young interns. Sharing experiences also means being willing to listen. The internship culture in our studio is not merely a place for knowledge transactions but also an exchange of life experiences, fostering a continuous cycle of learning and creating new memories in GUHA. With a creative spirit and good intentions, we strive to uplift and inspire each other, nurturing a soulful connection within our team.
From this, we can see how RAW DOT OMAH is formed from the casual and our everyday life. Together, Body, Mind, and Soul, we fight as one to achieve greatness and the best for the future!
Pak Endang Syamiyudin adalah orang yang sungguh berjasa dalam karir saya dan studio kami. Sejak 14 tahun yang lalu, ia menemani saya dari Jakarta, Tangerang, sampai Bali. Dari tangan dinginnya muncul proyek-proyek yang saya banggakan.
Proyek pertamanya adalah Bare Minimalist bersama Pak Singgih, diikuti Akanaka, Wirawan House, Alfa Omega, Chimney House, sampai Lumintu House. Bersama Pak Singgih, ia selalu menutup dan membuka proyek pada libur lebaran.
Beliau ada ketika saya jatuh tertancap paku di proyek, beliau juga ada saat kami tertawa bersama. Ketika yang lain tertidur lelap, beliau menemani saya berdiskusi sampai larut, bahkan di hari libur. Banyak sekali parameter tak terduga, tetapi semuanya akan baik dan selesai.
Dari sosoknya muncullah adik-adik didikannya: Pak Edy, Sarip, Indra, orang-orang terdekatnya yang menjadi keluarga baru saya sampai belasan tahun kami bekerja bersama.
Kemarin saya ditelpon bahwa Pak Endang meninggal dunia. Saya kehilangan seorang jenderal yang menjaga keseharian proyek kami. Ayah saya berpesan: detail dan ketukangan adalah pusaka arsitektur Indonesia yang jarang dibicarakan, tetapi harus diperhatikan karena tukang dan mandor tetaplah manusia biasa juga. Ada transfer ilmu, kebanggaan yang berbeda. Dari tangan-tangan terampilnya muncul karya arsitektur. Selalu sadari bahwa setinggi apapun kita, hargailah manusia setinggi-tingginya.
Pak Endang, saya minta maaf kalau ada salah ke Bapak dalam keterbatasan saya sebagai manusia biasa. Saya Realrich juga minta maaf ke saudara-saudara, kalau ada salah dari Pak Endang, mohon dimaafkan.
Selamat jalan, Pak Endang. Dalam kesementaraan hidup ini saya belajar bahwa cinta hadir karena solidaritas dan toleransi.
Nama Pak Endang akan selalu hadir di studio saya RAW DOT dan Omah, dalam sebuah memorial, dalam sebuah asa untuk menjaga ikatan batin, dan saya akan mengingat jasa beliau sampai saya mati. Tuhan, terima kasih sudah memberikan salah satu malaikatmu untuk menjaga kami, teman-teman saya, klien, kontraktor dan memberi kebaikan ke semesta ini.
Tuhan Yang Maha Kuasa, Pak Endang yang di surga, saya titip salam untuk ayah saya dan ayah Bapak. They will be proud of you.
In our project within the #rawcollectivecave, we strive to embed intricate details to create innovative spatial concepts that tell our clients and studio’s story and produce designs that hold value within the retail business landscape bringing nature and human centric together.
Apart from working on residential and office project, we are also working on small scale of coffee shop such as initiation of Fore Coffee back in 2018. At 1st Fore Coffee store at Plaza Indonesia, we embark on our design journey by crafting design experiences that align with their business, and also seeking designs that vividly depict the brand’s identity. Every detail is crucial because this Fore Coffee serves as the defining starting point that sets the future of Fore Coffee’s design language.
While executing this project, we had to work within the confines of a tight 15 m2 space. We had to ensure that the booth was strategically positioned to catch the attention of passersby from both the entrance and side corridors, maximizing visibility from all angles.
The backdrop formed from a tree module integrated with the Fore logo, while the forefront featured a seamlessly integrated coffee machine, showcasing the streamlined process of preparing coffee within limited space. The tree modules were embraced by luminescent translucent panels, casting a futuristic impression that harmonized with the Fore logo. This project was completed well and marked the genesis of the expanding Fore Coffee store chain.
Realrich Sjarief, Hanifah Sausan N., Imega Reski, Jocelyn Emilia, Arlyn Keizia, Lu’luil Ma’nun, M. Nanda Widyarta Soft cover | Monochrome | Bahasa | 14,8cm × 21cm | 243 page | Release Date: (coming soon) ISBN: dalam proses pengajuan ISBN
Sinopsis
Setelah terbitnya #1 Alpha: Never-ending Dialogue in the Strange Architecture Library pada tahun 2016, OMAH Library kembali mempublikasikan Pamflet: Gerak dan Sentuhan Tari Arsitektur Berkelanjutan. Volume ini diterbitkan dalam bentuk pamphlet sebagai alat berdiskusi bagi kami. Dalam ranah global, ide mengenai pamflet ini kami dapatkan dari publikasi Pamphlet Architecture yang diprakarsai oleh Steven Holl dan William Stout pada tahun 1977. Dalam ranah Indonesia, publikasi semacam ini juga pernah dilakukan oleh AMI (Arsitek Muda Indonesia) melalui pameran dan publikasi yang bertajuk “Penjelajahan 1990-1995”. Menurut kami, pamflet menjadi media yang menyuarakan sudut pandang berbagai individu terhadap isu yang sedang berkembang. Mereka menggunakan pamflet untuk membuat anak-anak muda sadar, mempertanyakan banyak hal, dan membuat perubahan.
Di dalam pamflet kali ini, OMAH Library menyajikan berbagai realitas mengenai permasalahan lingkungan yang sedang kita hadapi bersama. Kita hidup di satu dunia yang sama dengan bentangan geografis dan dinamika di dalamnya. Pandemi COVID-19 dan krisis udara bersih telah menyadarkan kita untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Kami memulai dengan hipotesis bahwa ide arsitektur yang dibangun di atas pemikiran yang kritis akan berkelanjutan, menerus, dan dapat diturunkan hingga ke generasi selanjutnya, serta menjadi cerminan kegeniusan lokal masa kini untuk masa depan.
Beberapa contoh penerapan arsitektur yang demikian dibahas di pamflet ini, mulai dari teknologi vernakular perkotaan Iran dengan bentuknya yang memukau hingga ide pembuatan brise soleil oleh Le Corbusier di Perancis yang terinspirasi dari India dengan pola-pola dinding, seperti kerawang, kisi-kisi, dan berbagai macam ornamen tampak lainnya. Hal tersebut juga muncul di Indonesia, seperti di Masjid Turen dengan karakteristik humanistiknya dan pandangan Silaban dalam praktiknya di Jakarta ataupun di kota-kota besar lainnya yang merujuk ke arah modernisme dengan tetap memperhatikan konteks.
Artikel-artikel pada pampflet ini kami lengkapi dengan materi kelas yang pernah disampaikan oleh Andhang R. Trihamdani, tulisan M. Nanda Widyarta, dan narasi wawancara dengan tokoh arsitek mumpuni seperti Eko Prawoto, serta kontributor-kontributor lainnya: Eka Swadiansa, Rezki Dikaputera, M. Cahyo Novianto, Eko S. Darmansyah, I Nyoman Gede Mahaputra, Prasetyoadi, Dian Fitria, Doti Windajani, Adli Nadia, Mitu M. Prie, Hugo Diba. Meskipun dengan latar belakang yang beragam, para kontributor ini dan teman-teman OMAH Library bergerak menuju satu visi yang sama, menuju ekosistem arsitektur Indonesia yang lebih baik. Pamflet ini kami tutup dengan semangat untuk tidak pernah menyerah dalam menyongsong harapan di tengah dinamika kondisi lingkungan di masa kini dan masa depan.
Normal Price: Rp400.000,- Student Price: Rp200.000,-
At our studio, we strive to create projects that are responsive to movement and push the boundaries of design. Our innovative #rawcollectivecave concept, inspired by kampoong cross programming arrangement, combines diverse design elements, such as integrating recycling materials and cross-programming inside one big box.
Nizamia Andalusia is a school located in East Jakarta. This school caters to the Middle High School level of education, where ‘high’ signifies a higher level of maturity compared to elementary school students. As children begin to act independently, it becomes crucial to filter external influences through the lens of the school’s vision and mission. Nizamia is committed to fostering a maturity that embraces social and spiritual impulses, and we are dedicated to translating this ethos into the building’s design. Thus, the Nizamia school’s space program is meticulously designed to facilitate the learning, activity, and socialization processes for children.
The primary challenge of this project is time constraints, which we have overcome through innovative solutions. We have utilized existing buildings, repurposing their modules for the classrooms, and adding new structures where necessary. The two main buildings of this school are connected by existing bridges on floors 2 and 5, which we have ingeniously repurposed to support horizontal circulation. Vertically, the 1st and 2nd floors of the building feature integrated gardens, classrooms, and communal spaces. The 3rd floor is a spacious prayer room with a capacity of 700 people, the 4th floor functions as an auditorium, and the 5th floor is an open sports hall.
Nizamia is one of the projects that utilizes existing structures and translates limitations in the design process into an architectural language that can support people’s lives.
#rawbioclimatichome#refleksiraw Klien kami ini salah satu teman lama ayah saya. Sudah lama sekali, sejak saya bermain tenis bersama ayah saya di tahun 1995 dan keluarga kami terus menjaga hubungan baik dengan beliau dari 2005 hingga saat ini. Rumah ini merupakan gambaran dari perjalanan panjang hubungan saya, ayah saya, dan juga beliau yang kadang bercerita tentang how great my father is.
Rumah ini unik karena memiliki dua lahan kosong yang sebenarnya adalah wujud dari impian beliau untuk hidup di sebelah taman yang besar. Ini karena rumah beliau saat ini tidak memiliki ruang yang cukup untuk taman, sehingga keberadaan lahan ini dapat memenuhi keinginannya dan istrinya yang sangat menyukai tanaman dan binatang.
Baginya, rumah ini adalah rumah terakhir di mana ia berharap tidak perlu berpindah lagi. Rumah ini dirancang untuk menjadi tempat berkumpul keluarga serta tempat menyambut ketiga anaknya saat pulang dari luar negeri. Oleh karena itu, ruang keluarga pada rumah ini ditempatkan di tengah, luas, dan terbuka, serta dilengkapi dengan void dan skylight.
Rumah ini dibangun untuk mendukung hobinya mengutak-atik barang dan istrinya yang gemar menanam, sehingga disediakan ruang workshop dan area taman. Orientasi rumah yang menghadap utara dan selatan, semakin mendukung untuk menciptakan area tanaman dan balkon yang ideal untuk bersantai. Perumusan rumah ini juga dibantu dengan dialog yang hangat dan ramah dari anak mereka.
Setiap lantai rumah dibagi sesuai dengan kebutuhan keluarga. Lantai dasar sebagai area workshop dan taman baginya dan istri, lantai 2 sebagai ruang keluarga, lantai berikutnya untuk kamar anak-anak mereka, dan lantai paling atas diisi area taman dan ruang gym. Dalam setiap detailnya, kita dapat melihat rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi keluarga, tetapi juga menjadi rumah yang menggambarkan kehidupan keseharian dari keluarga yang hidup di dalamnya.
Terima kasih tim: Mey2, Timbul, Alim, Putra, Audy, Tyo, Yusrul, Kamil, Zyadi, Neilson dan semua yang terlibat. Arsitektur adalah proses panjang dan kolaboratif.
Proyek Tunas Muda Kindergarten memiliki cerita menarik dalam pemilihan lahannya. Awalnya, kami bersama klien menjelajahi kompleks sekolah untuk mempertimbangkan area yang potensial untuk dikembangkan. Akhirnya keputusan jatuh ke letak lahan yang strategis di depan sekolah di balik dinding perimeter.
Dinding perimeter eksisting sepanjang 19 meter dan struktur atap cremona ditempatkan di atasnya dengan material UPVC yang ringan untuk ditanggung oleh struktur bentang lebar. Desain juga memanfaatkan perbedaan level tanah eksisting yang turun 80 cm untuk menciptakan area penyambutan yang luas dengan penambahan tangga dan ramp. Denahnya dibuat terbuka untuk memberikan fleksibilitas pengembangan di masa depan.
Tunas Muda Kindergarten kini memiliki 5 kelas yang fleksibel, 1 ruang serbaguna, area playground, dan 2 taman, salah satunya berfungsi sebagai daerah sumur resapan. Dari luar, tampak depan didesain sederhana dengan hanya menambahkan cat putih di area pintu masuk lingkaran. Sisa dinding dengan tanaman-tanamannya merupakan bagian dari eksisting yang dipertahankan. Hasilnya, bangunan ini memberikan kesan nostalgia, dan menjadi tempat yang memiliki banyak kejutan di dalamnya.
Area ini memiliki makna Tunas Muda yang sesungguhnya dengan area kindergarten tempat dimulainya pendidikan di taman kanak – kanak, simbol penting dari pertumbuhan dan perubahan, sebagaimana tunas yang tumbuh dari benih tanaman.
#rawbioclimatichome#refleksiraw Bagi kami, arsitektur tidak pernah terlepas dari memori klien dan pengalaman arsitek dalam setiap langkah merangkai satu proyek dan lainnya. Ada ikatan emosional yang terbentuk dan proyek rumah tinggal selalu memiliki tempat tersendiri di hati studio kami, sebagai tipologi yang paling kuat dalam menggambarkan ikatan-ikatan yang terjadi secara personal. Keseimbangan di dalam proses berarsitektur menjadi penting. Di samping proyek institusi yang bersifat publik, kisah proyek rumah tinggal menjadi sarana kami berterima kasih kepada orang-orang baik yang pernah bekerja sama secara personal.
Brief dari klien kami, Yoga dan Atrina menarik karena justru mengutamakan adanya ruang besar untuk berkumpul dengan kapasitas 50-100 orang. Sang klien merupakan keluarga kecil, tetapi di belakangnya ada banyak sekali keluarga.
Inilah gambaran budaya Indonesia, keluarga-keluarga inti yang berkaitan darah bergabung membentuk keluarga besar. Lapisannya bukan lagi 2-3 generasi, tetapi berlapis-lapis generasi dengan percabangan-percabangannya. Desain spesifik yang tergambar pada lekak lekuknya pun tercipta untuk memenuhi kebutuhan tersebut menciptakan lengkung. Kamar tidur yang lebih privat diletakkan dibelakang, menyisakan area komunal yang jauh lebih besar dan ditonjolkan dengan dibuat transparan.
Klien kami di proyek ini adalah orang yang sangat terbuka, mudah diajak berdiskusi, dan sangat apresiatif. Sikap tersebut membuat kami bisa akomodatif sekaligus eksperimentatif dalam menghasilkan bentuk yang eksploratif. Hal ini terlihat dengan sebuah kantilever yang melengkung sebagai pemenuhan kebutuhan klien untuk tempat berkumpul. Kantilever tersebut dibuat dengan struktur menyerupai jembatan dan bebannya ditransfer melalui struktur kolom yang tidak menerus. Semakin akomodatif, dan toleratif, arsitekturpun menjadi semakin mengalir.
Thank you, clients (Yoga, Atrina), and the team work @realricharchitectureworkshop , current : gaby, Putra, Audy, Nielsen, mey2, timbul, yusrul, kamil, zyadi, haykal, andriyan, melisa, meizhan, revi, alia, zikri and many other people involved. Architecture is a long process and collaborative effort.
Jika Idul Fitri adalah lentera, mari membukanya dengan maaf agar cahayanya bisa menerangi jiwa. Permohonan maaf tulus dari hati kami haturkan menyambut hari yang suci ini.
Kami mengucapkan Selamat hari raya Idul Fitri 1445 H. Semoga momen lebaran ini membawa berkah, kedamaian, dan kebahagiaan, serta menjadi waktu yang indah bersama keluarga dan orang-orang terkasih.
Perjalanan kami dalam berkenalan dengan banyak orang di sekitar, baik saudara, klien, kontributor, engineer, penulis, intelektual, maupun pengunjung perpustakaan telah memberikan dampak yang luar biasa bagi kami.
Semangat untuk terus berbagi dengan ikhlas, mengalir menjadi rahmat yang terus hadir di tengah-tengah keluarga. Rahmatan lil ‘alamin, yaitu memberikan manfaat untuk sesama dan terus berjuang baik dalam kebaikan-kebaikan di masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Tahun ini thaun 2024 sebagai tahun bersama kita yang terbaik yang kita punya, mari kita syukuri bersama dan jalani untuk tumbuh dengan gembira.
Baru hari ini saya sempat menulis, dan berefleksi, kadang-kadang kalau nulis bisa terlalu serius, meski perlu ibaratnya untuk pijat emosi, pijat otak. Hal ini penting untuk terus tidak lupa berterima kasih ke banyak pihak. Kali ini saya ingin mengucap terima kasih kepada banyak pihak yang sudah mengundang untuk berbagi di banyak tempat. Menurut saya kegiatan berbagi adalah kegiatan yang wajar dilakukan oleh seorang arsitek, di kampus sampai bekerja hingga berhadapan dengan client kita juga berbagi.
Di dalam studio, kampus, hal ini adalah latihan, simulasi. Namun, di dalam kehidupan nyata, kepentingan orang yang dihadapi begitu beragam dan begitu banyak. Di sinilah penempatan diri menjadi hal yang sangat penting, untuk siapa kita melakukan presentasi, untuk apa kita membagikan sebuah gagasan. Bagi saya niatan untuk terus meningkatkan diri bahwa setiap kali presentasi adalah momen yang berbeda. Dan situasi tersebut adalah hal yang cocok hanya untuk sebagian orang dan sebagian kondisi saja. Berbagi adalah hal yang kami di studio juga pergunakaan untuk bisa menghargai waktu orang lain, ini adalah sikap “tidak egois (selfless)” dengan less less yang lain, karena diskusi terjadi setiap saat. Di situlah toleransi menjadi penting untuk menentukan jalan keluar, dan itulah sebuah sikap yang tidak kenal lelah atau “less yang kedua, restless”. Dari situ segala tindakan baik kita dalam arsitektur menjadi kenangan yang baik dan tidak lekang waktu, menuju less yang ketiga, yaitu “timeless”.
Satu saat di tengah-tengah ruang pamer Arch.ID ada paviliun yang digagas oleh UII mengenai Pak Josef dan Pak Eko. Menurut saya ini sebuah mata air yang ada di tengah-tengah pusaran kapital. Di dalamnya ada karya literasi, tulisan, dan juga pola pikir pedesaan yang merupakan estetika yang biasa-biasa saja dan sangat toleratif, juga solider. Hal itu sangat saya rindukan. Saya postingkan gambarnya, ya.
Juga beberapa bulan terakhir, saya diberi kesempatan untuk menjadi narasumber acara sharing sebagai prinsipal studio untuk menceritakan proses berpikir dan berpraktik di beberapa organisasi, universitas, maupun platform yang ada di Indonesia untuk berbagi terkait proses berpraktik yang saya kerjakan sehari-hari.
Sebagai refleksi, beberapa benang merah dari tema, diskusi yang terjadi berkaitan dengan manusia dan lingkungan. Di mana hal tersebut adalah hal yang sehari-hari dan fundamental di dalam kehidupan, bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Bahwa kita hidup secara bersama-sama dan memiliki visi yang sama untuk hidup lebih baik. Arsitektur juga demikian, ia berkembang karena manusia menginginkan kehidupannya menjadi lebih baik. Jangan sampai saya juga di sela-sela kesibukan lupa berterima kasih, lupa untuk membina ikatan, lupa akan waktu, di mana di refleksi ini saya diingatkan bahwa waktu untuk takaran setiap orang adalah sama, di manapun ia, apapun yang ia lakukan, 24 jam satu orang sama dengan orang yang lain. Selamat berbahagia dan terus saling berkontribusi.
Selamat kepada leader-leader yang berhasil naik tingkat dan mendapatkan promosi di Ekosistem Guha (RAW-DOT-OMAH) yang membuat arti sebuah kehidupan di Guha menjadi lebih meningkat untuk menjaga nilai-nilai yang baik supaya lebih lestari. Tadi malam, kami merayakan kenaikan level @andriiyansyahmr menjadi Associate Partner Designer, @melisaakma menjadi Senior Associate Designer, @putrakhairus dan @almujaddidi menjadi Intermediate Associate Designer, dan @arlynkeizia menjadi Intermediate Associate Reseacher.
Kami beruntung bertemu dengan mereka-mereka yang menjadi keluarga tempat bertumbuh bersama. Arsitektur adalah bagian dari kehidupan, ada sesuatu yang lebih besar dan menyatukan yaitu jiwa-jiwa yang tidak pernah kenal lelah, itulah Guha. Akhir-akhir ini kami mendengar banyak testimoni tentang Guha, dari teman-teman internal maupun dari pengunjung yang datang untuk merasakan apa itu Guha. Hal tersebut membuat kami berefleksi tentang makna sebuah kehidupan yang terjadi di Guha, karena “Kehidupan” merupakan salah satu benang merah yang teman-teman kenang dari tempat ini.
Mereka dirasa bisa menjadi jembatan antara klien, prinsipal, dan tim. Dari proses mereka bertumbuh, berprestasi, mendapat kepercayaan, hingga mengemban tanggung jawab yang kompleks yaitu terus membawa makna sebuah kebaikan yang menghasilkan segala bentuk cerita yang istimewa dihati masing-masing. Dan kami menyaksikan mereka bertumbuh di mana waktu dan orang yang capable adalah aset yang sangat berharga. Komitmen menjadi kunci utama sebagai faktor penentu dalam kenaikan tingkat.
Terima kasih kepada mereka dan seluruh anggota tim yang terus-menerus menghadirkan cerita-cerita kehidupan baru di Guha, “from dust to dust”, dengan menjadi debu akan membuat kita rendah hati.
Selama 3 bulan terakhir, Guha the Guild kedatangan mahasiswa terbaik Indonesia dari berbagai macam universitas: @arsitektur.ugm @unsarsitektur @arsitektur.umn @architecture.undiportfolio @architecturebinus . Mereka sudah memiliki pengetahuan desain secara teori dan praktik yang bisa menjadi dasar belajar berarsitektur mereka ke depannya.
Mimpi tentang bayangan diri kita di masa depan menjadi sangat penting, terutama bagi anak-anak muda yang masih mencari tujuan hidup dan posisi untuk berkontribusi menciptakan lingkungan sekitar yang lebih baik. Di Guha, kami percaya bahwa setiap orang memiliki keunikan spiritualnya masing-masing yang mampu memunculkan potensi. Setiap orang dilatih untuk mendidik dirinya berefleksi lebih jauh, menemukan visi dan misi kehidupan berarsitektur di dalam usaha menemukan cakrawala yang baru.
Guha menaungi berbagai tim dengan framework, dinamika, dan karakter yang berbeda-beda. Ada RAW Architecture yang berfokus pada desain, DOT Workshop yang bergerak di bidang pengawasan dan manajemen desain, serta OMAH Library yang bergerak di bidang literasi dan riset arsitektur. Relasi yang terjadi di Guha menggambarkan sebuah total design management. Anak-anak magang belajar di antara banyaknya lapisan proses berarsitektur secara nyata.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh mahasiswa yang pernah magang di Guha (RAW-DOT-OMAH): @noviola_esther @jayadi.darwis @audreylia.adeana @audreyesirait_ @gorjess.ivra @najwachikas @ksndrabening @farisazzzhr @salmaputrin @marvellafelicia_ @habiebreza @jasminesdr @jsubagiyo @jelenajaa @anastaciasherlyy @faisalcahyo_ @_agtrs @fikr.riii @ariqsyahrafif
Semoga kalian dan kita semua selalu bahagia dan tidak pernah lelah belajar arsitektur.
#rawcollectivecave Bagaikan sebuah kota, Sekolah Andalusia Nizamia memiliki banyak sekali aktivitas yang diakomodasi di dalamnya. Kisah 1001 malam yang melegenda menjadi inspirasi dari 1001 cerita dari pagi menuju malam. Cerita adalah aktifitas, fungsi dan program. Hal ini tercermin pendekatan cross-programming sebagaimana dibahas oleh Rafael Moneo di dalam “Theoretical Anxiety and Design Strategies in the Work of Eight Contemporary Architects” dan dipraktikkan oleh Rem Koolhas.
Konsep ini diterapkan di organisasi tiap ruang. Lobby di lantai dasar bangunan utama disambut oleh ruang ibadah besar di lantai lantai dasar dan, dilanjutkan ruang-ruang kelas dengan area berkumpul di antaranya di atasnya atasnyaz ruang – ruang antara berada maju mundur berfungsi sebagai ruang lounge dan wudhu. Lantai ketiga diisi dengan ruang berkumpul yang terhubung dengan jembatan ke bangunan tahap sebelumnya.
Ruang – ruang kelas, ruang – ruang antara mengisi lagi di antaranya hingga diakhiri dengan fasilitas olahraga dengan tribun di area rooftop. Hal tersebut menunjukkan urgensi berkumpul , bermain, berdoa di tengah-tengah belajar.
Bagi kami, istilah “high” dalam “high school” SMP, bermakna adanya tingkat kedewasaan yang lebih tinggi daripada siswa Sekolah “Dasar”. Pemikiran mereka sudah mulai terelaborasi dan mereka pun sudah mulai bisa bersikap mandiri. Dari Nizamia, kami belajar bahwa pengembangan kedewasaan dapat disambut dengan impuls arsitektural. Kami memaknai simbol program, atau kotak – kotak yang tersusun yang menandai masa kini.
All of the context and the design results portray our belief that poetic architecture comes from many experiments involving many parties. Design variations resulting from consistent experimentation have a common thread that is intact and complex but still integrated. The thread connects one and another projects through a collaborative but personal architectural approach, a continuous point. That’s the “M”, the symbol elaborated from our studio’s daily, which we interpret as Method, a way to connect architectural theory to the practice.
The Chimney Bioclimatic Home results from a study of skylight as a passive light and air tunnel in tropical climates. There are 7 skylights on the house varying in dimension, which suit the lighting needs calculation based on the room volume below and compared to the sunlight angle. One of the skylights is made big as a center point and a visual connection with the void between the living area.
The skylights are made to have a good air circulation performance without letting the rainwater in. The construction is designed to be floating without a frame, but just a stainless pin, giving a gap below covered with a mosquito net. Finally, the glass cover is installed with a slope to prevent waterlogging.
Besides the details of the skylights, the house has another uniqueness in its form. The form of the house is inspired by the site, which is located on the curved corner, giving the vibe of it sitting on the top of the garden, shaded by tree canopies. So, the curved shape is implemented for the massing, as well as for doors, windows, skylights, and even several elevations that function as a divider between the family and prayer rooms.
Architects : @realricharchitectureworkshop
Photograph by @farhannash @luil_mn Project narrative by @khunmey_
Thank you, @archdigest and @juliaeskins, for the published article. It’s a huge appreciation for our team.
Piyandeling is a work of togetherness. There are Pak Saniin and friends’ work and many more craftsmen who have worked together before and are still making progress to this day. I want to express myself with gratitude. The world is all about work, work for the family, family connecting the world, and the world becomes a family. The work represents family, which is everywhere in this world and closer than ever.
Piyandeling signifies the birth of Heaven, our second child. The land is a promise of our love for bamboo; we love impermanence. It reminds us that this life is perfect because somehow when our imperfections are stuck together and can work together, this condition is more than perfect.
There are three sheep named Dago, Garut, and Lembang. One of the sheep, Dago, has given birth to a girl named Tahura, which means great garden forest. It’s the fourth sheep. Making architecture is like therapy, a healing and beautiful experience. I hope many more people believe in architecture that can touch people’s souls. Through Piyandeling, Tahura’s birth is touching our hearts, and Julia’s writing signifies this presence that the sound of the great garden forest is within her writing work. Great work Julia
Through Architectural Digest and Julia’s writing in person, we go through the beautiful bamboo world, feel blessed, and feel hope in architecture together again. And, It is nice to know and reconnect again with the eight other most beautiful bamboo buildings in the world architect, @ibukubali @nomadicresort @colab_tulum @chiangmailifearchitects @vtnarchitects_votrongnghia @luxury_frontiers you are the best.
Kemarin saya ke proyek di Bukit Golf, sudah hampir tahun ke 8 ini proyek berjalan dari tahap konsep. Banyak orang bilang ini lama betul, saya jawab, ada juga proyek yang 13 tahun juga proyek belum selesai – selesai, dan lanjut sampai proyek ke 4 di lahan yang sama sekarang. Attitude tidak kalah lebih penting daripada metode desain. . Arsitektur itu ngga bisa dilihat dari cepet selesai, ataupun lama selesai. Menurut saya arsitektur itu soal keterikatan batin yang kuat dengan banyak orang di dalamnya. Bisa ditutup – tutupi tapi akan terpancar jelas relasi – relasi yang muncul dengan adanya waktu. semoga sebentar lagi selesai, sebulan – dua bulan lagi maksimal ya. . Arsitek itu ibaratnya pelari maraton yang panjang, ia menjembatani banyak pihak, banyak gengsi, ego, dan materialisme mengetahui bahwa segala hal tidaklah murah, dan malah mahal itu di prosesnya. Mulai dari mengingatkan tidak boleh merokok di proyek, berdiskusi hal – hal yang sederhana dari arsitektur yang terdiri pemipaan, kualitas finishing, sampai ke sejauh mana proteksi terhadap tikus dengan menutup semua lubang, proteksi terhadap air. Proteksi itu penting sembari menyempurnakan. Segala masalah pasti selesai, proyek pasti selesai, dan kenangan yang manis menghasilkan mimpi yang baik tim yang baik, hasil yang baik, niat yang baik, jadilah masa depan yang baik. . Terima kasih untuk tim yang ikut rapat hari ini, you are the best @rikoyohanes_ @joanaagustin @realricharchitectureworkshop @dot_workshop
Minggu lalu, saya dapat kesempatan bertemu dengan Pak Budi Sukada. Dalam perbincangan kami, beliau banyak berbagi tentang perjalanan karir arsitektur dan pengalamannya menempuh magister di Architecture Association (AA) London. Beliau juga bercerita bahwa ada peran Prof. Gunawan Tjahjono, dosennya di UI, yang terus mengajaknya berdiskusi tentang buku-buku, hingga akhirnya membuat beliau mencintai filsafat. Salah satu buku yang sangat berkesan baginya adalah karya Pak Fuad Hassan berjudul “Berkenalan dengan Eksistensialisme”
Bagi beliau, menjadi mahasiswa AA Graduate School adalah semacam dunia fantasi karena ia dapat bertemu dengan banyak arsitek dunia seperti Rem Koolhaas, Zaha Hadid, Charles Jencks. Yang menarik adalah ketika mentornya bertanya tentang apa yang ingin beliau pelajari, beliau menjawab ingin belajar teori arsitektur. “Tidak ada yang namanya teori arsitektur, yang ada itu sejarah dan teori arsitektur. Anda harus mengerti sejarah dulu sebelum belajar tentang teori arsitektur.” Jawaban ini terus diingat oleh beliau hingga saat ini.
Di usia yang sudah tidak muda lagi, Pak Budi Sukada masih memiliki keinginan untuk terus berkontribusi. Beliau menyebutnya sebagai sikap “refuse to be forgotten”. Ia tidak ingin arsitektur Indonesia hanya sisa kulitnya saja. Beliau juga banyak sekali membahas tentang pentingnya sejarah dalam teori. Saya kemudian bertanya, “Kenapa perlu belajar teori arsitektur, Pak? Bapak menyebut kaitannya dengan sejarah. Untuk apa sebenarnya teori itu diingat dan dipelajari?”
“Sejarah dan teori itu untuk menguji pernyataan seseorang, baik terhadap karyanya maupun karya orang lain. Kalau tidak teruji, ya omong kosong. Sejarah, teori, dan kritik itu penting. Ada saja yang selalu tidak terima ketika dikritik. Yang penting, kalau tidak terima, harusnya bisa menjelaskan kenapa tidak terima, dan itu secara teoritis, jangan secara sensitif, subjektif.”
Beliau menyampaikan bahwa kritik menjadi hal biasa di luar negeri, seperti Charles Jencks saat mengkritik James Stirling, begitu juga dengan kritik kepada Zaha Hadid, Leon Krier, dan Norman Foster dalam kelas kritik yang beliau ikuti di AA Graduate School.
Pak Endang Syamiyudin adalah orang yang sungguh berjasa dalam karir saya dan studio kami. Sejak 14 tahun yang lalu, ia menemani saya dari Jakarta, Tangerang, sampai Bali. Dari tangan dinginnya muncul proyek-proyek yang saya banggakan.
Proyek pertamanya adalah Bare Minimalist bersama Pak Singgih, diikuti Akanaka, Wirawan House, Alfa Omega, Chimney House, sampai Lumintu House. Bersama Pak Singgih, ia selalu menutup dan membuka proyek pada libur lebaran.
Beliau ada ketika saya jatuh tertancap paku di proyek, beliau juga ada saat kami tertawa bersama. Ketika yang lain tertidur lelap, beliau menemani saya berdiskusi sampai larut, bahkan di hari libur. Banyak sekali parameter tak terduga, tetapi semuanya akan baik dan selesai.
Dari sosoknya muncullah adik-adik didikannya: Pak Edy, Sarip, Indra, orang-orang terdekatnya yang menjadi keluarga baru saya sampai belasan tahun kami bekerja bersama.
Kemarin saya ditelpon bahwa Pak Endang meninggal dunia. Saya kehilangan seorang jenderal yang menjaga keseharian proyek kami. Ayah saya berpesan: detail dan ketukangan adalah pusaka arsitektur Indonesia yang jarang dibicarakan, tetapi harus diperhatikan karena tukang dan mandor tetaplah manusia biasa juga. Ada transfer ilmu, kebanggaan yang berbeda. Dari tangan-tangan terampilnya muncul karya arsitektur. Selalu sadari bahwa setinggi apapun kita, hargailah manusia setinggi-tingginya.
Pak Endang, saya minta maaf kalau ada salah ke Bapak dalam keterbatasan saya sebagai manusia biasa. Saya Realrich juga minta maaf ke saudara-saudara, kalau ada salah dari Pak Endang, mohon dimaafkan.
Selamat jalan, Pak Endang. Dalam kesementaraan hidup ini saya belajar bahwa cinta hadir karena solidaritas dan toleransi.
Nama Pak Endang akan selalu hadir di studio saya RAW DOT dan Omah, dalam sebuah memorial, dalam sebuah asa untuk menjaga ikatan batin, dan saya akan mengingat jasa beliau sampai saya mati. Tuhan, terima kasih sudah memberikan salah satu malaikatmu untuk menjaga kami, teman-teman saya, klien, kontraktor dan memberi kebaikan ke semesta ini.
Tuhan Yang Maha Kuasa, Pak Endang yang di surga, saya titip salam untuk ayah saya dan ayah Bapak.
Klien kami ini salah satu teman lama ayah saya. Sudah lama sekali, sejak saya bermain tenis bersama ayah saya di tahun 1995 dan keluarga kami terus menjaga hubungan baik dengan beliau dari 2005 hingga saat ini. Rumah ini merupakan gambaran dari perjalanan panjang hubungan saya, ayah saya, dan juga beliau yang kadang bercerita tentang how great my father is.
Rumah ini unik karena memiliki dua lahan kosong yang sebenarnya adalah wujud dari impian beliau untuk hidup di sebelah taman yang besar. Ini karena rumah beliau saat ini tidak memiliki ruang yang cukup untuk taman, sehingga keberadaan lahan ini dapat memenuhi keinginannya dan istrinya yang sangat menyukai tanaman dan binatang.
Baginya, rumah ini adalah rumah terakhir di mana ia berharap tidak perlu berpindah lagi. Rumah ini dirancang untuk menjadi tempat berkumpul keluarga serta tempat menyambut ketiga anaknya saat pulang dari luar negeri. Oleh karena itu, ruang keluarga pada rumah ini ditempatkan di tengah, luas, dan terbuka, serta dilengkapi dengan void dan skylight.
Rumah ini dibangun untuk mendukung hobinya mengutak-atik barang dan istrinya yang gemar menanam, sehingga disediakan ruang workshop dan area taman. Orientasi rumah yang menghadap utara dan selatan, semakin mendukung untuk menciptakan area tanaman dan balkon yang ideal untuk bersantai. Perumusan rumah ini juga dibantu dengan dialog yang hangat dan ramah dari anak mereka.
Setiap lantai rumah dibagi sesuai dengan kebutuhan keluarga. Lantai dasar sebagai area workshop dan taman baginya dan istri, lantai 2 sebagai ruang keluarga, lantai berikutnya untuk kamar anak-anak mereka, dan lantai paling atas diisi area taman dan ruang gym. Dalam setiap detailnya, kita dapat melihat rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi keluarga, tetapi juga menjadi rumah yang menggambarkan kehidupan keseharian dari keluarga yang hidup di dalamnya.
Terima kasih tim: Mey2, Timbul, Alim, Putra, Audy, Tyo, Yusrul, Kamil, Zyadi, Neilson dan semua yang terlibat. Arsitektur adalah proses panjang dan kolaboratif.
Proyek Tunas Muda Kindergarten memiliki cerita menarik dalam pemilihan lahannya. Awalnya, kami bersama klien menjelajahi kompleks sekolah untuk mempertimbangkan area yang potensial untuk dikembangkan. Akhirnya keputusan jatuh ke letak lahan yang strategis di depan sekolah di balik dinding perimeter.
Dinding perimeter eksisting sepanjang 19 meter dan struktur atap cremona ditempatkan di atasnya dengan material UPVC yang ringan untuk ditanggung oleh struktur bentang lebar. Desain juga memanfaatkan perbedaan level tanah eksisting yang turun 80 cm untuk menciptakan area penyambutan yang luas dengan penambahan tangga dan ramp. Denahnya dibuat terbuka untuk memberikan fleksibilitas pengembangan di masa depan.
Tunas Muda Kindergarten kini memiliki 5 kelas yang fleksibel, 1 ruang serbaguna, area playground, dan 2 taman, salah satunya berfungsi sebagai daerah sumur resapan. Dari luar, tampak depan didesain sederhana dengan hanya menambahkan cat putih di area pintu masuk lingkaran. Sisa dinding dengan tanaman-tanamannya merupakan bagian dari eksisting yang dipertahankan. Hasilnya, bangunan ini memberikan kesan nostalgia, dan menjadi tempat yang memiliki banyak kejutan di dalamnya.
Area ini memiliki makna Tunas Muda yang sesungguhnya dengan area kindergarten tempat dimulainya pendidikan di taman kanak – kanak, simbol penting dari pertumbuhan dan perubahan, sebagaimana tunas yang tumbuh dari benih tanaman.
My 3 best person, musketeer that I love most, Laurensia, mother of Miracle and Heaven.
Waktu berjalan dengan cepat, di balik keseharian yang menderu-deru, letih,mereka yang menemani keseharian dalam cinta, saya bener2 bersyukur bisa bersama – sama keluarga kecil ini ditambah sun, moon, star (3 marmut) Love u mom and kids. .
Pagi – pagi, anak – anak sudah bangun ya wis kami kenalin temen baru namanya jessica si singa laut ❤️ ngerasain dikilik2 sama kumisnya, kata orang kalau dikilik sama kumis singa laut bawa ke keberuntungan beberapa tahun ke depan. Selamat Lebaran lagi ya happy holiday all.
Heaven mulai belajar gambar, dunianya berkisar antara bermain – main sama kakaknya, mukanya yang lucu dan menggemaskan, apalagi ketika ia nanya “whyyy, whyy ?” Siap2 jawab terus dan disambut dengan “whyy , whhy lagi”
Dalam memahami konteks sebuah bangunan, kami menyadari bahwa setiap lahan memiliki konteks yang berbeda-beda dan memberikan keunikan dalam proses perancangan massa bangunannya. Ini lah yang juga kami sadari ketika kami berkarya dalam tipologi bangunan publik. Hal ini kami sebut dengan #rawcollectivecave
Ini adalah sebuah proyek renovasi yang kami kerjakan pada Pasar Sukasari, salah satu pasar tradisional yang terletak di Bogor. Dalam proses renovasi ini, kami perlu memastikan kepentingan komersilnya, di mana diperlukan penyesuaian jumlah lapak penjual yang harus diakomodasi.
Untuk memenuhi kebutuhan baru yang ingin dicapai oleh Pasar Sukasari, kami mengambil konsep desain yang terinspirasi dari rumah khas sunda yaitu Julang Ngapak. Rumah ini memiliki performa termal yang sangat baik dengan atap tinggi, yang biasa dipakai sebagai ruang publik untuk menjalankan berbagai macam aktivitas. Oleh karena itu, kami membagi Pasar Sukasari menjadi zona-zona berdasarkan aktivitasnya untuk mengoptimalkan fungsionalitas bangunannya. Atapnya yang tinggi juga terinspirasi dari bentuk gunung, di mana titik awal dan titik akhir pada atapnya berada pada bagian yang paling rendah. Ini mencerminkan upaya kami untuk menciptakan pasar yang modern namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Hal-hal yang kami tawarkan dalam desain Pasar Sukasari ini adalah dengan mengakomodasi berbagai program yang dibutuhkan, mulai dari menambah jumlah pedagang, meningkatkan kebersihan lapak, dan memberikan akomodasi untuk gerobak di lantai teratas. Kami juga menambahkan sarana publik seperti lapangan olahraga, tempat main anak, dan area foodcourt. Harapannya, pasar ini dapat menjadi daya tarik baru bagi para pengunjung dan menjadi pilihan area publik baru yang dapat dinikmati bersama keluarga.
Design by #realricharchitectureworkshop @pasar.gembrong
Saya baru membaca puisi Kipling, ini relevan dengan bagaimana pengajaran budi baik ke anak – anak dan kehidupan personal. Puisi ini adalah refleksi disaat bimbang, dan berguna untuk kami sekeluarga, menetapkan jalan untuk terus belajar. Happy CNY, Valentine, Election day for u ❤️
JIKA oleh Rudyard Kipling
Jika kau bisa menjaga akal sehat mu ketika semua yang lain kehilangan akal sehat dan melampiaskan itu padamu
Jika kau dapat mempercayai dirimu ketika semua orang meragukanmu namun memberi ruang bagi keraguan mereka itu
Jika kau mampu menunggu dan tidak dilelahkan oleh menungguatau, meski didustai, tidak ikut mendustai atau, meski dibenci, tidak ikutan-ikutan benci dan tetap tidak bergaya sok saleh atau sok bijak
Jika kau bisa bermimpi – dan tidak membuat impian-impian itu majikanmu
Juka kau bisa berpikir – dan tidak membuat pikiran – pikiran itu tujuanmu
Jika kau berjumpa dengan Kemenangan dan Bencana dan memperlakukan kedua penyamar itu sama rata
Jika kau menahan diri saat mendengar kebenaran yang kau sampaikan diputar balik oleh para bangsat untuk menjebak orang-orang lugu atau menyaksikan hal-hal yang baginya kau pertaruhkan hidupmu, dihancurkan kau membungkuk dan menyusunnya lagi dengan perkakas ausmu
Jika kau bisa menumpuk semua yang telah kau menangkan dan mempertaruhkannya pada kesempatan sekali seumur hidup dan kalah, dan mengulangi lagi dari awal dan tak pernah mengeluh sepatah kata pun tentang kekalahanmu
Jika kau bisa memaksa hatimu dan syarafmu dan uratmu untuk menjalankan tugasmu sekalipun kekuatan mereka telah lama hilang dan terus bertahan meskipun tak ada apa pun lagi padamu kecuali Kehendak yang memerintahkan pada mereka, “Bertahanlah!”
Jika kau bisa bergaul dengan orang banyak dan memelihara keluhuranmu, kejelataanmu atau berjalan bersama para Raja – tanpa kehilangan
Jika entah musuh ataupun sahabat kekasih tak dapat melukaimu
Jika semua orang masuk perhitunganmu, tapi tiada yang terlalu
Jika kau bisa mengisi satu menit yang tak akan kembali dengan upaya sejauh mungkin seharga enam puluh detik
Milikmulah Bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dan – lebih lagi – kau akan menjadi Manusia Sejati, anakku!
Kemarin kami bertemu dengan adik dan kakak kami dari Universitas Tadulako, Palu. Sahabat dari daerah timur Indonesia, yang dekat bagaikan keluarga. Pertemuan kami kemarin seperti reuni kembali dengan 65 adik-adik muda, dan dua dosen terbaik mereka. Bagi kami sahabat dan keluarga tidak dapat dipisahkan oleh jarak, kami tetap terhubung oleh ikatan yang menembus waktu menjalin memori baru.
Di setiap pertemuan pasti ada alasan, Pak Rahmat Atok bercerita, bahwa kedatangan mereka ke Guha sebagai salah satu kunjungan KKL untuk mengajak mahasiswa merasakan pengalaman baru, yang lahir dari sebuah studi dan pencarian sehari-hari yang intensif, natural, dan mengalir. Perkenalan dengan saudara dari Universitas Tadulako terjalin karena ada kak Cahyo yang terus merangkai jalinan jaringan arsitektur di Indonesia. Kami bersyukur semua jaringan ini membentuk lingkaran dan menyatukan kita kembali. Menurutnya desain arsitektur Guha berbasis dari “apa yang dibutuhkan dari sebuah tempat”. Hal tersebut menjadi konsern kami setiap harinya untuk terus merespon kebutuhan sehari-hari melalui arsitektur. Bagi kami belajar bisa melaui banyak hal mulai dari studio, kelas, berjalan-jalan, maupun ziarah arsitektur. Pengalaman terbaik adalah mengalami, dan belajar secara langsung.
Ini testimonial dari salah seorang mahasiswa, Blenda L. W.
“… Setelah saya datang kesini, fasad, suasana, dan materialnya mirip dengan di tempat-tempat lain, tapi untuk prinsip bagaimana cara membuatnya, itu beda jauh dari apa yang sudah saya pelajari dari tempat lain, mulai dari cara mengolah materialnya dan merakitnya fungsinya. Dari sini, satu pelajaran yang bisa saya ambil adalah barang-barang indah tidak harus mahal, tapi bisa dari apa yang ada disamping kita.”
Kami bersyukur, Guha bisa menjadi tempat kita bersama, seperti kata kak Cahyo Novianto, nyalakanlah api lilin-lilin kecil di sekitar kita ke seluruh penjuru nusantara. Kami bisa mengucapkan rahayu-rahayu-rahayu bumi, jiwa, dan segala isinya.
Tahun ini, waktu ulang tahun saya tidak punya harapan untuk saya pribadi. Saya hanya berharap saya bisa membahagiakan keluarga, ibu saya, istri, dan 2 anak saya, juga keluarga besar. Juga harapan saya ke tim saya, dan kawan – kawan saya di arsitektur, you are the best.
Kemarin kita mau selesaikan proyek kami yang namanya boboto-proyek ini adalah peninggalan almarhum ayah saya, saya rencana menyelesaikan proyek itu tanggal 13 Januari waktu ayah saya ulang tahun. Ibu saya bilang, sudah tanggal 16 Januari saja diselesaikan. Sekeras itu saya berusaha, seperti anak yang selalu punya banyak mau, ternyata tanggal 13 tidak bisa diselesaikan. Akhirnya saya menyerah di tanggal itu siangnya saya pergi ke pasar bunga, menyewa boat, kemudian menelpon saudara dan ibu saya untuk menebar bunga. Saya senang bertemu almarhum lagi di laut lepas. Akhirnya tanggal 16 kita selesaikan dan kami satu studio pakai untuk acara bersama, seperti keluarga. Ada yang lain yang ulang tahun juga di bulan Desember dan Januari, juga saya rayakan bersama mereka, ada Putra, Haykal, Audy, Yoshi, dan Adriyan. Kita makan enak, minum enak di Boboto, juga bersama pak Misnu, Mbak Sri, dan Nurul yang mengatur tim kami. Ibu saya pagi – pagi menelpon, mengucapkan selamat ulang tahun, juga ayah dan ibu mertua saya dari sisi Laurensia. Terima kasih doanya.
Setelah itu di Guha, malamnya Rezki datang dan membawa kue, bentuknya bulat, kotak, dan segitiga. Ia bilang ini sanmi-sangen. Bulat merepresentasikan energi restless spirit (energi yang tidak pernah lelah), kotak merepresentasikan (pikiran), dan segitia merepresentasikan spirit (jiwa) yang memiliki ujung. Saya mengganguk2 dan kemudian meniup lilin, harapan saya, semoga ia dan fei bisa mendapatkan berkat terbaik dalam kehidupan mereka.
Di balik susunan bata yang rapuh dan tidak sempurna, itulah keluarga, arsitektur yang frugal muncul dan menyatukan. Laurensia bilang, “It’s okay to be imperfect” hal itulah keluarga.
Studio culture ini diceritakan oleh Lu’luil Ma’nun didalam platform @guhatheguild
Dunia profesional merupakan dunia yang sangat intensif, setiap pribadi akan berhadapan dengan begitu banyak tanggung jawab yang berhubungan dengan orang lain. Dalam kondisi penuh tekanan dan deadline yang berturut-turut. Oleh karena itu salah satu culture di studio kami adalah menciptakan momentum relaksasi bersama, hal ini ditujukan untuk meregangkan pikiran yang sebelumnya tegang dan menghadirkan perasaan damai. Momentum ini sekaligus menjadi waktu istirahat sejenak dari pekerjaan yang begitu padat, agar kedepannya dapat mempertajam kembali goals apa yang ingin di capai.
Makan-makan sambil merayakan ulang tahun seperti ini merupakan budaya yang kami perjuangkan bersama setiap bulannya. Karena arsitektur tidak hanya identik dengan deadline yang padat, tapi juga identik dengan kerja kolaborasi + menciptakan kebahagiaan dibalik tekanan yang ada. Persiapan gathering bulan Januari ini melibatkan multi tim, ada begitu banyak layer-layer divisi yang terlibat, seperti tim biru, logistik, designer, reseacher, admin, dan juga koki di studio kami.
Hal ini dapat menjadi proses latihan bagi kami, berlatih untuk bekerjasama dengan berbagai jenis karakter dan kebiasaan kerja yang beragam. Dari hal-hal sederhana seperti ini kami belajar bahwa acara ini tidak bisa kami persipkan tanpa keterlibatan banyak orang. Karena diwaktu yang singkat, setiap orang dapat menyumbangkan kontribusinya masing-masing untuk memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Selamat ulang tahun principle kami @rawarchitecture_best, dan juga @audykiranard, @andriiyansyahmr, @ha.ykal, @putrakhairus, @joshinoel, kami bangga pribadi-pribadi seperti kalian ada distudio ini.
Dari acara ini, secara tidak langsung kami berlatih membangun hubungan jangka panjang yang sehat. Dibalik canda tawa yang memenuhi ruangan, kami menyadari akan pentingnya meluangkan waktu, bekerja bersama, dan berbagi kebahagiaan untuk orang lain.
Dunia arsitektur merukapan kehidupan yang diverse, didalam sebuah studio kita tidak bisa bekerja sendirian, diwaktu yang singkat kita pasti membutuhkan orang lain. Hal ini selalu kami latih didalam keseharian, melalui aktivitas sehari-hari hingga kedalam karya-karya arsitektur yang terencana.
Akhir – akhir ini saya berefleksi seperti apa yang dilakukan banyak orang tentang pekerjaan, tentang sejauh mana kami di praktik sudah melangkah, akan kemana, dan apa yang mau dilakukan di awal tahun 2024. Puji Tuhan untuk 2023 kawan2 semua, dan saya doakan berkat berlimpah di 2024, rejeki cukup, sehat, dan dikaruniai kebahagiaan. . Sebagian besar proyek kami adalah proyek rumah tinggal dan beberapa di antaranya adalah proyek institusional seperti sekolah, ritel, dan kantor. Secara pribadi, saya suka mengerjakan proyek-proyek tersebut terutama rumah tinggal karena bagi saya, kehidupan klien itu unik dan menjadi cerita tersendiri dibalik beraneka ragamnya desain yang tercipta untuk mereka. Beberapa di antaranya, bahkan belum sempat kami publikasikan karena terlalu banyak hal yang harus dipersiapkan dengan waktu yang terbatas. Untuk ini saya merasa memiliki hutang banyak karena tanpa klien, kami tidak bisa berkembang sampai sekarang. Arsitek dan arsitektur tidak pernah berdiri sendiri. . Dalam beberapa ilustrasi ini, kami menjelajahi prinsip Rumah Bioklimatik. Salah satu hipotesisnya yang lebih spesifik adalah bahwa kami dapat membuat rumah tetap sejuk di iklim tropis di Indonesia dengan suhu mencapai 28 derajat Celsius jika metode ini diimplementasikan dengan ketat. Hal ini membentuk desain rumah sehat. . Pada gambar bisa dilihat di halaman 2 bahwa, 4 elemen 1, 2, 3, dan 5 ada di konseptual desain dan 2 elemen 4 dan 6 ada di integrasi desain dan disiplin lain, 2 lapisan keberagaman budaya dan semangat gotong – royong ada di semua lapisan yang mewarnai bumi Indonesia sebagai perjuangan bersama. Sementara 6 prinsip lainnya terbagi dari massa bangunan hingga materialitas yang spesifik di lokasi. Hal ini akan dijelaskan dalam publikasi proyek-proyek kami selanjutnya. . Tipologi rumah tinggal adalah salah satu tipe proyek yang paling penting dalam studio kami, karena ini menunjukkan kontrol dari klien dan arsitek dalam menunjukkan kolaborasi dalam skala kecil. Dalam tipe ini, eksperimen terus-menerus disesuaikan untuk mencapai hasil yang optimal. . @realricharchitectureworkshop #realricharchitectureworkshop#bioclimatichome#arsitekjakarta#arsitekindonesia
09 01 24, Hari ini saya menulis refleksi singkat tentang acara UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan tema “Arsitek dan Eksistensi Bangunan : Ketika Desain Menjawab Kerinduan Literasi Akan Atensi Manusia”. . Disini saya berbagi bahwa sederhananya literasi itu terkait juga dengan menyimpulkan pengalaman praktik dan menuliskannya kembali termasuk disini. Di dalam proses desain, saya juga percaya bahwa klien, pengguna, orang lain hadir dan memberikan kekuatan kasih yang memberi dan menerima. Disitulah rasa empati itu saya dapatkan dan ada rasa memiliki yang muncul dari berbagai macam pihak. Rasa memiliki itu muncul dari rasa sayang, keinginan untuk menjaga dan juga keinginan untuk selalu belajar, dan mengevaluasi hasil untuk selalu menjadi pribadi dan kebersamaan yang lebih baik. Dalam diskusi saya banyak belajar dari mas Farid dan bu Nur, dan diskusi di dalamnya mengenai simpul menyimpulkan dengan kualitas perancangan perpustakaan yang membutuhkan tanaman, simbol keunikan, sampai program yang terbuka untuk orang relaksasi. . Dalam sharing ini saya juga berbagi tentang beberapa pengalaman praktik yang bisa jadi contoh atau memiliki kecocokan paling pas dengan tema, misalnya seperti proyek yang namanya perpustakaan boboto yang disusun dari material sisa yang dipakai lagi, kami menyusun bata sisa yang imperfect, triplek bekas dipotong kecil – kecil dan membuatnya jadi komposisi yang unik yang didesain polanya oleh tukang – tukang. ada empati terhadap bahan,enginering, sekaligus berkarya bersama dengan para pengrajin dari bisa menjadi biasa. . Ruang – ruangnya terbuka dan nanti tinggal tanaman muncul mengisi ruang-ruang transisinya. Dari awal praktik membuat Bare Minimalist, Guha, Piyandeling. Saya yakin bahasa – bahasa kesederhanaan dan dialog bersama – sama ini menjadi penting dan berlanjut dari satu ke proyek lain secara menerus memberikan tempat yang sederhana dan empatik. . @ars.uinmalang@realricharchitectureworkshop Tim Panturanian New Style of Architecture haha- @melisaakma@arlynkeizia and friends @muiz5129 . Photo oleh @_yophrm . #realricharchitectureworkshop#dotworkshop#arsitekindonesia#arsitekjakarta#jakarta#indonesia
Hari ini adalah hari house warming, rumah milik Willy, Cindy dan family. Rumah ini tidak lepas dari bagaimana duo Willy – Cindy yang mengatur rumahnya sedemikian intensif, dan semangat, jadinya saya ikutan semangat. Dulu arsitek Frank llyod Wright yang mendesain rumah kliennya Frederick Robby menyebut rumah kliennya “Robbie house” karena permintaan kliennya yang intensif, ingin rumah dengan kantilever atap mendatar yang panjang, taman internal, dan proporsi yang efisien sekaligus manusiawi. Lahirlah style prairie, memang arsitek tidak bisa lepas dari kehidupan kliennya. Desainer utamanya sebenarnya adalah sang klien lol. . Dari guyonan rumah kotak – kotak yang menurut Willy membosankan satu waktu, lahirlah bentuk yang teradaptasi dari bentuk lahan, sinar matahari, balkon, dan usaha mencari bayang – bayang. Ada bentuk yang mengerucut dibalik bentuk planar, dibalik dua gaya berbeda antara dalam dan luar ada kontras yang sekali jalan, ada kesederhanaan, perasaan nyaman. Saya suka tantangan, dan menantang terus apa yang klien kami mimpikan. . Sebuah gaya arsitektur adalah milik masa lalu, dan kehidupan masa kini dibalik bayang – bayang rumah tinggal, hidup sebuah keluarga beserta mimpi, masa kini, dan harapan untuk masa depannya yang unik. Uniknya rumah ini memiliki lapangan bulu tangkis di atasnya dengan desain struktur pelana, dan kolam renang, anak – anak senang sekali disini, sampai lupa bermain gadget kata Willy. kalau disini desain kepalanya adalah Cindy saya bilang, dan super bos besarnya adalah Willy. Saya berkelakar karena hal guyon seperti ini sehat untuk menempatkan prioritas bahwa klien adalah penting, dan usaha melayani itu adalah pancaran untuk proyek – proyek selanjutnya yang terus mengalir, dalam masa depan cerah yang dirangkai sambil guyon2, mbuncit. . @willywinarta@clovamelia . @realricharchitectureworkshop
Kawan baru saya ini namanya Eko, menurut saya dia adalah pejuang, terus bergerak di ranah – ranah keterbatasan ekosistem arsitektur sekitar dia. Dari mailing list AMI jaman 2000 sampai awal era facebook, ia memperhatikan dan menyenangi berbagi ilmu pengetahuan. Ia juga memiliki keahlian mensketsa, dan melakukan observasi arsitektur, seperti urban desain sampai ke arsitektur vernakular. Ia adalah orang yang memiliki talenta dan kalau diskusi bisa panjang, mbeleber kemana – mana, berjilid – jilid. lol
Mungkin sama seperti saya yang senang bercerita. Kami bertemu tidak sengaja setelah bertukar pesan online. Di dalam arsitektur saya berdiskusi dengan Eko mengenai fokus ini bisa dibentuk melaluipengetahuan dasar – dasar presentasi untuk mahasiswa. Dasar ini perlu dibentuk melalui dasar pengetahuan yang tidak autodidak, tapi runtun satu persatu. Mulai dari mengenali garis tangan, motorik tangan, kemampuan mensketsa dengan berbagai macam media. Media di dalam arsitektur bisa dimulai dari pensil, ballpoint, drawing pen, copic, cat air, cat akrilik, dan banyak sekali media digital yang bisa dipergunakan.
Semoga ada ilmu yang bisa dibagikan dari dirinya untuk para mahasiswa baru yang muncul dari talenta beliau. Hal ini bisa menjembatani arsitektur dengan proses gerak tangan, motorik, keahlian menggambar yang harmoni selaras dengan pikiran arsitektural yang semakin lama semakin dalam dan menyenangkan. terus berkarya mas bro, dan tetaplah gelisah, galau, dan terus berwacana sambil guyon – guyon.
Menurut psikolog Rosen, otak kita tidak kapabel untuk melakukan multi task tapi otak bekerja dengan fokus dengan singkat yang dilakukan dengan pelatihan yang dalam. Ia melalukan studi dengan adanya social media fokus menjadi turun drastis per 3 menit, dan di menit ke delapan dan sembilan banyak orang membuka lebih banyak jendela di browsernya, dan distraksi yang paling buruk terjadi. Melatih diri untuk mengerjakan sesuatu lebih dalam dan lama akan membantu proses fokus yang terjadi.
Menariknya keterputusan antara kemampuan motorik dan kemampuan pikiran menangkap dan mengolah informasi menjadi penting sekarang di era sosial media. Saya ingat kuliah yang saya tonton dibawakan oleh Larry Rosen menjelaskan bahwa multitasking digital memiliki pengaruh terhadap kinerja kognitif (proses berpikir), terutama pada generasi muda. Salah satu karyanya yang terkenal adalah buku “iDisorder: Understanding Our Obsession with Technology and Overcoming Its Hold on Us” yang menyelidiki bagaimana penggunaan teknologi digital, termasuk media sosial, dapat memengaruhi gangguan kognitif dan emosional pada individu menjadi short tempered, ketidak sabaran, ketidak fokusan, dan bergantung pada alat – alat yang mengurangi proses berpikir substansial. Hal ini ditambahkan oleh Dr. Adam Gazzaley, seorang profesor neurologi di University of California, San Francisco, bahwa gangguan dan multitasking teknologi digital dapat memengaruhi rendahnya kinerja kognitif sekaligus kemampuan menyimpan memori.
Ia menambahkan “People have now become so dependent on their BlackBerrys, iPads, smartphones, and suchlike gadgets, if they are parted from their apparatus, if they can’t check e-mails every ten seconds or scan the internet’s 30 billion images, they experience ‘chest pain, heart palpitations, shortness of breath, or dizziness’.”
Menariknya ini adalah tentang kegelisahan menemukan siapa diriku (who am i?) dan kesulitan empati di dunia nyata/ Offline, seakan – akan kita semua tertarik dalam dunia online, tetapi pada kenyataannya tidak hanya di online, dunia offline juga kedua sama2 penting.
Bagi saya arsitektur adalah seni dan ilmu perancangan bangunan yang mencakup segala aspek dari konsep, perencanaan, dan konstruksi. Episteme merujuk pada pengetahun ilmiah dan prinsip-prinsip dasar yang mendasari arsitektur, seperti prinsip-prinsip matematika dan fisika yang digunakan dalam perencanaan struktur bangunan. Techne, di sisi lain, mencakup aspek teknis dalam merancang dan membangun bangunan, yang melibatkan keterampilan dan metode Teknik. Phronesis sendiri adalah pengetahuan praktis dan etis yang dibutuhkan dalam membuat keputusan dalam merancang bangunan. Sophia atau keberanian, muncul dalam estetika dan makna yang mendalam yang dibawa oleh arsitek dalam menciptakan bangunan yang memadukan fungsi, keindahan, dan kualitas sejati. Dengan mengintegrasikan semua empat kuadran pengetahuan ini, arsitek dapat menciptakan bangunan yang bukan hanya berfungsi, tetapi juga mencerminkan kebijaksanaan dan kualitas yang mendalam.
Empat kuadran pengetahuan menurut Aristotle (300 SM) dalam konteks Pendidikan Arsitektur bisa di mulai dari Episteme sendiri memiliki porsi paling besar, karena dalam dunia Pendidikan sendiri kita lebih banyak belajar dengan mendengarkan seorang akademisi. Menurut definisi sendiri Episteme adalah istilah yang digunakan dalam filsafat untuk merujuk pada pengetahuan atau pemahaman. Istllah epistemology, yaitu cabang filsafat yang berkaitan dengan pengethuan berasal dari kata episteme. Dari riset yang saya temukan, Episteme bisa juga diartikan menjadai pengetahuan historis yang berdasarkan kebenaran dan wacana, sehingga mewakili kondisi kemungkinannya dalam kurun waktu tertentu.
Hampir semua umat manusia ingin memahami dunia tempat mereka tinggal, kerja, atau belajar, dan banyak dari mereka membangun berbagai macam teori untuk membantu mereka memahaminya. Namun, karena banyak aspek di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah, kebanyakan orang cenderung menghentikan upaya mereka pada suatu saat dan puas dengan tingkat pemahaman apa pun yang berhasil mereka capai. Hal tersebut yang dapat membedakan seorang filsafat dan orang biasa pada umumnya, seorang filsafat umumnya mereka memiliki insting untuk terus menerus mencari arti hidup dan menggali terus pengetahuan yang mereka miliki dan mereka tak cepat merasa puas dengan hasil keberhasilan pertama. Beberapa orang mungkin mengatakan para filsafat debagai individu yang terobsesi oleh gagasan memahami dunia dalam istilah umum.
Bagi saya dari definisi Episteme ini sendiri kita dapat melaksanakan studi Arsitektur dengan menggunakan prinsip filsafat yaitu, tidak cepat merasa puas dengan pengetahuan yang kita dapati sekarang, lebih dalam menggali pengetahuan pribadi tentang arsitektur adalah kunci dalam kesuksesan studi arsitektur itu sendiri. Dalam perjalanan melakukannya sendiri tidak akan luput dengan kata keraguan yang tentu dapat menimbulkan anomaly-anomali tertentu dalam pengalaman semua orang terhadap dunia. Dua dari anomali-anomali tersebut bisa dijelaskan untuk mengilustrasikan bagaimana seseorang mempertanyakan klaim umum atas pengetahuan tentang dunia.
Phronesis merupakan kecerdasan taktikal dalam bertindak. Phronesis menyiraktan penilaian yang baik dan keunggulan karakter dan kebiasaan, hal ini menjadi menjadi celah yang sulit untuk ditutup dalam ruang belajar. Karena dalam awal pembelajaran arsitektur, para mahasiswa lebih di tuntut bisa mengerjakan contoh gambar yang sudah diberikan, hal itu sendiri dapat menghambat proses membiasakan diri dalam bertindak sebagai desainer. Karena Phronesis berkaitan dengan bagaimana bertindak daam situasi tertentu. Seseorang dapat mempelajari prinsip-prinsip Tindakan, namun menerapkannya di dunia nyata, dalam situasi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, memerlukan pengalaman dunia. Misalnya, jika seorang arsitek tahu bahwa ia harus jujur dan transparan mengenai budget, makai ia harus bisa membandingkan budget dan goals kepada seorang client agar menimbulkan rasa percaya dan mengandalkan ke seorang arsitek.
Menurut Ellett,2012. Dalam praktis social diartikan bahwa jika seseorang mampu bertindak dengan cara yang paling rasional, maka tindakan itu yang akan mereka lakukan. Hal itu juga dapat di aplikasikan saat seorang arsitek diberikan kebebasan oleh client untuk mendesain suatu bangunan dengan harapan tetap memberikan pilihan desain yang tetap realistis dan tidak sepenuhnya hanya memikirkan Impian pribadi. Phronesis juga berkaitan dengan inovasi, inovasi yang dapat menyeimbangkan desain teori dan metode realistis. Dimana kedua hal tersebut jika digabung dengan seimbang dapat menghasilkan sebuah pemikiran atau desain yang sempurna.
Techne disimulasikan kedalam studio deain, atau bisa disebut pengetahuan praktik. Jika Phronesis dikenal dengan Tindakan, maka techne dikenal dengan ciptaan, menurut Aristotle sendiri, techne berada di bawah phronesis. Karena walau menciptakan itu suatu hal yang lebih terasa membanggakan, tetapi dalam dunia arsitektur, mengambil Tindakan dam pemikiran rasional itu lebih dibutuhkan. Walau menurut banyak orang praktik bekerja seperti magang itu masih terhitung opsional, tetapi menurut saya dalam berpraktik pada dunia nyata lah yang dapat benar benar mengajarkan seorang arsitek dalam menjalani trial and error mereka dalam mendesain. Dari wawancara saya kepada arsitek pun mereka banyak menyimpulkan bahwa masa masa internship itu masa yang paling membuat mereka seutuhnya mengerti esensi terbesar dalam menjalana studi arsitektur.
Techne bagi saya sebagai mahasiswa arsitektur mencakup berbagai aspek, seperti kemampuan dalam mmebuat gambar teknik, pemahaman prinsip-prinsip structural dalam banguna, mengelola proyek kontruksi, dan berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait dalam industry konstruksi. Hal ini juga melibatkan pemahaman umum tentang kode bangunan, peraturan, dan standar keselamatan bangunan yang sudah diterapkan oleh pemerintah. Karena techne dapat diasosiasikan dengan ciptaan, maka dalam arsitektur, techne merupakan pondasi yang diperlukan untuk mengubah ide-ide desain menjadi realita fisik yang berfungsi. Ini melibatkan penerapan keterampilan teknis seorang arsitek yang juga berdampingan dengan tingkat phronesis yaitu bertindak dalam mengatasi tntangan teknis yang mungkin munculselama proses mendesian, konstruksi, sehingga dapat menghasilkan sebuah bangunan yang efisien, aman, dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Sophia merupakan ranah yang lebih personal yang membentuk keberanian dan kecintaan dalam berkarya. Sophia sendiri adaah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang disebutnya sebagai “eudaimonia,” yang dapat diterjemahkan sebagai “kebahagiaan yang sejati” atau “kehidupan yang baik.” Aristotle sendiri percaya bahwa mencapai eudaimonia adalah tujuan utama dalam hidup, dan kebijaksanaan adalah salah satu unsur utama yang membantu manusia mencapai Sophia. Bagi saya sendiri mencapai kuadran Sophia pada bidang arsitektur adalah saat dimana seorang individu mulai mencakupkan kesehariannya dengan konteks arsitektur. Dimana rasa penasaran atau rasa ingin mengkritik sebuah bangunan menjadi hal yang menarik bagi orang itu. Sophia bisa juga di pandang sebagai stages of acceptance, dimana hal tersebut sangat krusial bukan hanya dalam dunia arsitektur, bahkan dalam filsafat kehidupan itu sendiri.
Sophia dalam arsitektur juga melibatkan kemampuan untuk mengenali dan menghargai sejarah arsitektur, budaya, dan konteks local, serta untuk menggabungkan elemen-elemen ini dengan visi kreatif yang unik. Arsitek yang mencaai tingkat Sophia dalam karyanya mungkin dapat menciptakan bangunan yang tidak hanya memenuhi fungsi praktisnya, tetapi juga memberikan pengalaman emosional, menginspirasi, dan mencerminkan nilai-nilai yang lebih dalam. Selain itu, Sophia dalam arsitektur juga dalam meranah pada kemampuan untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dan keberlanjutan dalam perancangan bangunan. Ini mencakup pemahaman detail tentang cara menggunakan material dan sumber daya secara bijak, serta bagaimana menciptakan bangunan yang ramah lingkungan.
Ke empat pengetahuan tersebut membentuk sebuah Nous, kapasitas untuk membangun wawasan, kecerdasan, Tindakan, dan kemampuan memperoleh kebijaksanaan secara intelektual. Nous sendiri adalah konsep dari filosofi klasik tentang pikiran manusia yang penting untuk menegaskan apa yang benar. Bukan hanya benar, tetapi juga harus mementing pilihan rasional. Empat kuadran kecerdasan Aristotle bukannya satu satunya kuadran yang dapat dijadikan pedoman bagi seorang arsitek. Ada juga diagram profesi yang mencakup:
A. Desainer
B. Developer
C. Kontraktor
D. Akademisi
Jika dibuat dalam diagram arah mata angin, north diartikan sebagai capitalism, west di asosiasikan dengan power, east sebagai tradisi, dan south sebagai socialism. Dari ke empat profesi tersebut, semua mencakupi bagiannya dalam kuadran dengan rata. Seperti akademisi sendiri dapat di kelompokkan ke dalam bidang tradisi dan sosia, karena melanjutkan Pendidikan turun temurun sudah menjadi tradisi yang tak akan bisa dihilangkan samapi kapanpun, itulah yang membuat manusia bisa berkembang hingga sekarang. Dalam hal social dapat diartikan bahwa seorang akademisi lebih mementingkan ranah socialism dibandingkan capitalism, bisa dilihat dari jumlah pemasukan dari profesi lain bahwa akademisi cenderung mendapatkan pemasukkan yang lebih kecil dibandingkan praktisi seperti desainer, developer, dan kontraktor. Tetapi bukan uanglah yang jadi hal pendorong inti bagi seorang akademisi, tradisi dan nilai social lah yang mendorong mereka untuk menjalani profesi tersebut.
Untuk desainer dan kontraktor akan selalu kerja berdampingan karena keduanya membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan sebuah project. Profesi ini cenderung di anggap sebagai seorang risk taker, karena profesi tersebut sangat sering mendapat klien dengan budget yang ternyata tidak memadai dari goas sebuah project. Maka bisa disimpulkan bahwa profesi ini sangat kuat di bidang power dan juga capitalism, karena dengan capitalism tinggi lah yang dapat menggerakkan usaha seorang dengan dua profesi ini. Bahkan hingga membuat orang orang sungkan untuk hire seorang arsitek atau kontraktor yang memang bersertifikat untuk mengerjakan proyek mereka karena mereka tak melihat hasil yang worth it dari jumlah uang yang akan mereka keluarkan untuk semua hal kecil saat berhubungan dengan kontraktor atau arsitek. Seorang Arsitek dan kontraktor penting untuk memiliki pride karena dengan pride itu yang memasuki mereka dalam kuadran pwer yang dapat membut mereka bertindak dengan tegas dalam menyelesaikan masalah dalam proyek. Untuk developer sendiri menurut saya terasa penuh di titik capitalism, karena pekerjaan mereka sendiri adalah sebagai instansi yang menyediakan dan membuat lahan atau tempat tinggal dengan jumlah proyek yang besar sesuai dengan permintaan pasar. Mereka cenderung tidak memikirkan keinginan klien secara individu, melainkan hanya memenuhi syarat kebutuhan khalayak umum. Banyak kita temukan kompleks perumahan dengan desain rumah yang sama membentang jauh mereka bangun dan pasarkan untuk di kontrakan, dan biasanya tidak diperbolehkan untuk di perjual belikan guna untuk memastikan pemasukkan dari kompleks tersebut terus berjalan seiring waktu berjalan. Maka dari contoh seperti itulah mengapa developer adaah profesi yang berperan paling tinggi dalam capitalism.
Bagi saya, konsep Nous adalah salah satu gagasan paling menarik dan berpengaruh dalam filsafat, khususnya dalam bidang filsafat Yunani kuno. Saat saya menavigasi perjalanan akademis saya, terlihat jelas bahwa konsep Nous, dengan empat elemen penting – Sophia (kebijaksanaan), Techne (keterampilan), Pronesis (kebijaksanaan praktis), dan Episteme (pengetahuan), memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan intelektual dan pribadi saya. Dalam esai ini, saya akan menelusuri makna Nous dan mendalami empat elemen penyusunnya. Selain itu, saya akan mengkaji bagaimana Nous memiliki dampak besar pada kehidupan akademis saya, meningkatkan kemampuan saya untuk berpikir kritis, mengembangkan keterampilan praktis, membuat keputusan, dan memperoleh pengetahuan.
I. Pemahaman Nous: Hakikat Keunggulan Intelektual dan Moral
Nous, istilah yang berasal dari filsafat Yunani kuno, memiliki makna filosofis yang beragam. Ini dapat diterjemahkan sebagai “intelek”, “kecerdasan”, atau “pikiran”. Dalam bidang filsafat, Nous mewujudkan bentuk keunggulan intelektual dan moral tertinggi yang dapat dicapai manusia. Ini mencakup kemampuan untuk memahami konsep-konsep abstrak, membedakan batas antara benar dan salah, dan memandang dunia dari perspektif yang mendalam.
Konsep Nous secara intrinsik terkait dengan karya-karya filsuf Yunani terkemuka, khususnya Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, Nous dianggap sebagai alam realitas tertinggi, mewakili alam Bentuk yang sempurna dan tidak berubah. Aristoteles, sebaliknya, mendefinisikan Nous sebagai bentuk pengetahuan tertinggi, yang menggabungkan kebijaksanaan praktis dan teoretis.
II. Empat Elemen Nous
A. Sophia (Kebijaksanaan)
Sophia, komponen penting dari Nous, berkaitan dengan kebijaksanaan atau kemampuan untuk membuat penilaian yang masuk akal berdasarkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip etika dan moral. Dalam konteks kehidupan akademis, Sophia mengajak saya untuk merenungkan persoalan etika dalam berbagai disiplin ilmu. Sebagai mahasiswa, kiita diharapkan untuk merenungkan konsekuensi etis dari tindakan saya, baik dalam penelitian, pengambilan keputusan, atau interaksi sehari-hari. Kebijaksanaan memberdayakan saya untuk menumbuhkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai yang mendasari pendidikan saya, yang memandu perilaku dan pilihan saya.
Dalam lingkungan akademis, Sophia memengaruhi kemampuan saya untuk terlibat dalam wacana moral dan etika. Hal ini membekali saya dengan kapasitas untuk mengevaluasi isu-isu kompleks, menavigasi dilema moral, dan membuat keputusan etis. Saat saya merenungkan pilihan akademis saya, Sophia-lah yang mendorong saya untuk menjunjung standar perilaku etis tertinggi, baik dalam upaya keilmuan saya maupun dalam interaksi saya dengan rekan, mentor, dosen dan teman-teman.
B. Teknologi (Keterampilan)
Techne adalah elemen integral lain dari Nous, yang menunjukkan keterampilan atau keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Dalam dunia akademis, mahasiswa terus ditugasi untuk mengembangkan berbagai keterampilan, mulai dari kemahiran meneliti dan analisis kritis hingga kemampuan komunikasi yang efektif. Keterampilan ini sangat diperlukan dalam memahami dan menerapkan konsep-konsep yang diperoleh dalam berbagai mata kuliah. Penguasaan Techne memungkinkan siswa untuk menumbuhkan kompetensi dalam bidang studi masing-masing, secara aktif berkontribusi terhadap kemajuan pengetahuan.
Techne khususnya diucapkan dalam bidang studi praktis seperti teknik, kedokteran, dan seni. Melalui Techne siswa mendapatkan pengalaman langsung, menyempurnakan keahlian mereka, dan menerapkan keterampilan mereka dalam skenario dunia nyata. Baik mahasiswa kedokteran yang mempelajari seluk-beluk pembedahan atau calon seniman yang menguasai teknik mereka, Techne menggarisbawahi pentingnya keterampilan praktis dalam perjalanan akademis.
C. Pronesis (Kebijaksanaan Praktis)
Pronesis, unsur kebijaksanaan praktis, mencakup kapasitas untuk membuat keputusan yang tepat dan bijaksana dalam situasi nyata. Di bidang akademik, siswa sering kali menghadapi tantangan yang memerlukan keterampilan pengambilan keputusan. Pronesis membekali saya untuk mengidentifikasi solusi optimal dan efektif terhadap masalah yang kompleks. Kemampuan ini sangat berharga dalam konteks proyek penelitian, tugas kursus, dan proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan akademik dan karir.
Penerapan Pronesis meluas ke perencanaan dan strategi akademik. Siswa sering menghadapi pilihan mengenai jalur pendidikan, pilihan kursus, dan arah penelitian mereka. Kebijaksanaan praktis memandu saya dalam mengevaluasi keputusan-keputusan ini, mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari pilihan-pilihan, dan memilih opsi-opsi yang paling sesuai dan bermanfaat.
D. Episteme (Pengetahuan)
Episteme adalah elemen terakhir dari Nous, mewakili pengetahuan atau pemahaman mendalam tentang dunia dan beragam disiplin ilmu. Dalam konteks akademis, perolehan Episteme merupakan tujuan utama. Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep, teori, dan prinsip yang mendasari bidang studi pilihannya. Pengetahuan ini berfungsi sebagai landasan untuk menghasilkan ide-ide baru, perluasan teori-teori yang ada, dan pengembangan solusi inovatif terhadap masalah-masalah kompleks.
Episteme adalah inti dari penelitian akademis. Hal ini mendorong siswa untuk mengeksplorasi batas-batas pengetahuan, terlibat dengan penelitian mutakhir, dan berkontribusi pada pemahaman manusia. Melalui Episteme, mahasiswa memperoleh kemampuan mengevaluasi secara kritis pengetahuan yang ada, melakukan penelitian orisinal, dan memajukan batas-batas pemahaman manusia di bidangnya masing-masing.
III. Pengaruh Nous dalam Kehidupan Akademik
Konsep Nous dengan empat unsur penyusunnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan akademik mahasiswa. Di bawah ini, saya mengeksplorasi bagaimana Nous membentuk pengalaman saya di paruh pertama semester ini:
A. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis: Unsur Sophia dan Pronesis memainkan peran penting dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis. Siswa didorong untuk merenungkan dan menganalisis isu-isu kompleks baik dalam kursus teoritis dan praktis. Kapasitas ini memungkinkan saya untuk memahami dan menghargai beragam perspektif, serta mengevaluasi implikasi etis dari tindakan saya.
Dalam konteks perkuliahan, Nous merangsang saya untuk mendalami mata pelajaran yang ada. Saya didorong untuk mempertanyakan asumsi, menilai bukti secara kritis, dan berpikir kreatif. Pemeliharaan keterampilan berpikir kritis ini penting tidak hanya untuk keberhasilan akademis tetapi juga untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
B. Mengoptimalkan Proses Pembelajaran: Techne sebagai elemen penting memberdayakan siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Pencatatan yang efektif, manajemen waktu, dan pengorganisasian informasi adalah keterampilan yang diperoleh siswa. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk memahami dan mempertahankan materi luas yang disajikan dalam berbagai mata kuliah.
Techne juga memupuk kemampuan beradaptasi dan pemecahan masalah, saat siswa belajar menggunakan beragam strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan unik mereka. Keterampilan ini memungkinkan siswa untuk unggul secara akademis dan terbawa ke dalam kehidupan profesional mereka.
C. Memperluas Wawasan dan Pengetahuan: Episteme, unsur pengetahuan, mendorong siswa untuk memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman mereka di berbagai disiplin ilmu. Siswa diberi kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai bidang pengetahuan dan mempelajari mata pelajaran yang membangkitkan rasa ingin tahu mereka.
Melalui Episteme, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan yang luas tetapi juga keahlian yang mendalam di bidang studi pilihan mereka. Landasan pengetahuan ini memberdayakan siswa untuk secara aktif terlibat dalam wacana intelektual, berkontribusi pada bidang minat mereka, dan menumbuhkan budaya pembelajaran dan penemuan berkelanjutan.
D. Menghadapi Tantangan Praktis: Pronesis, elemen kebijaksanaan praktis, membekali siswa untuk mengatasi tantangan praktis dalam kehidupan akademik. Siswa sering dihadapkan dengan pilihan mengenai jalur pendidikan mereka, pilihan kursus, dan pengelolaan proyek penelitian. Kebijaksanaan praktis membantu dalam mengevaluasi keputusan-keputusan ini, mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari pilihan-pilihan, dan memilih pilihan-pilihan yang paling sesuai dan bermanfaat.
E. Kesadaran dan Tanggung Jawab Etis: Unsur Sophia, yang menekankan kebijaksanaan dan penilaian moral, meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab etis kita sebagai siswa. Dalam kegiatan akademis kita, Nous mengingatkan kita akan pentingnya perilaku etis dalam penelitian, kolaborasi, dan penyebaran pengetahuan. Kita didorong untuk berperilaku dengan integritas, kejujuran, dan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap masyarakat dan civitas akademika.
Saat kita terlibat dalam proyek penelitian dan kerja kolaboratif, Nous mendorong kita untuk mempertimbangkan implikasi etis dari tindakan kita. Hal ini memperkuat pentingnya mengutip sumber, menghindari plagiarisme, dan menjunjung tinggi integritas akademik. Kesadaran etis ini, yang ditanamkan melalui Sophia, mempersiapkan kita untuk menavigasi medan etika yang kompleks di dunia akademis dan, pada akhirnya, dunia profesional.
F. Pemikiran Interdisipliner: Unsur Episteme yang mewakili pengetahuan mendorong siswa untuk menganut pemikiran interdisipliner. Dalam dunia akademis modern, batasan antar disiplin ilmu menjadi semakin keropos, dan solusi terhadap permasalahan dunia nyata yang kompleks sering kali memerlukan pendekatan multidisiplin. Melalui Episteme, siswa memperoleh kemampuan untuk menarik hubungan antara bidang studi yang tampaknya tidak berhubungan dan untuk mensintesis pengetahuan dari berbagai bidang.
Perspektif interdisipliner ini sangat berharga dalam mengatasi tantangan dunia nyata, seperti perubahan iklim, krisis kesehatan masyarakat, dan kesenjangan sosial. Nous mendorong pengembangan siswa yang dapat berpikir secara holistik, mengintegrasikan beragam perspektif, dan berkontribusi terhadap solusi inovatif dan lintas disiplin.
G. Kemampuan beradaptasi dan Pemecahan Masalah: Techne, unsur keterampilan, membekali siswa dengan kemampuan beradaptasi dan memecahkan masalah secara efektif. Dalam lanskap kehidupan akademis yang dinamis, tantangan tak terduga dan permasalahan kompleks tidak bisa dihindari. Techne membekali mahasiswa dengan perangkat untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, baik yang berkaitan dengan teknologi yang berubah dengan cepat, pergeseran paradigma penelitian, atau persyaratan akademis yang terus berkembang.
Saat kita menghadapi gangguan dan ketidakpastian, Nous mendorong kita untuk menghadapi tantangan dengan pola pikir berkembang. Kami belajar beradaptasi, memperoleh keterampilan baru, dan mengembangkan strategi pemecahan masalah yang inovatif. Elemen keterampilan memungkinkan kita untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan keluar dari rintangan akademis dengan ketahanan dan keserbagunaan yang lebih besar.
H) Kepemimpinan dan Inisiatif: Kombinasi Pronesis dan Sophia menginspirasi siswa untuk mengambil peran kepemimpinan dan mengambil inisiatif dalam upaya akademis mereka. Kepemimpinan adalah sifat berharga yang melampaui kehidupan akademis dan karir masa depan. Nous memperkuat gagasan bahwa pemimpin harus menunjukkan kebijaksanaan praktis dalam pengambilan keputusan, dipandu oleh prinsip-prinsip etika, dan meningkatkan kesejahteraan komunitasnya.
Melalui Pronesis, siswa belajar membuat keputusan yang tepat dan etis ketika memimpin proyek, tim, atau inisiatif. Kebijaksanaan praktis ini memberdayakan individu untuk menjadi pemimpin efektif yang dapat menavigasi situasi kompleks dengan anggun dan integritas. Lebih lanjut, Sophia mendorong kepemimpinan etis dengan menekankan tanggung jawab
I)Pembelajaran Seumur Hidup: Konsep Nous mendorong komitmen terhadap pembelajaran seumur hidup. Sebagai pelajar, kami menyadari bahwa perjalanan akademis kami hanyalah salah satu fase dari pencarian pengetahuan dan kebijaksanaan seumur hidup. Nous menanamkan dalam diri kita rasa ingin tahu untuk terus belajar melampaui pendidikan formal dan mencari peluang untuk pengembangan diri. Dalam bidang studi praktis, seperti bisnis atau teknik, Pronesis menjadi sangat penting
Episteme, khususnya, menggarisbawahi nilai pembelajaran berkelanjutan dan pengembangan diri. Hal ini menumbuhkan apresiasi yang mendalam terhadap sifat pengetahuan yang tidak terbatas, memotivasi siswa untuk mengeksplorasi bidang studi baru, terlibat dalam wacana intelektual, dan berkontribusi pada pemahaman manusia yang terus berkembang sepanjang hidup mereka.
Kesimpulan
Kesimpulannya, konsep Nous, dengan empat elemen pentingnya, memiliki dampak yang mendalam dan beragam dalam kehidupan akademis kita. Nous menanamkan dalam diri kita pentingnya kebijaksanaan, keterampilan praktis, kesadaran etis, pemikiran interdisipliner, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, dan upaya pembelajaran seumur hidup. Sebagai siswa, kita terus-menerus dibentuk dan dibimbing oleh prinsip-prinsip Nous, yang tidak hanya mempersiapkan kita untuk kesuksesan akademis namun juga membekali kita untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan etis di luar kelas.
Perjalanan akademis kita bukan sekedar pencarian pengetahuan namun juga pengalaman transformatif yang membentuk kita menjadi individu yang dapat berpikir kritis, memecahkan masalah kompleks, dan membuat keputusan yang tepat dan etis. Nous berfungsi sebagai
cahaya penuntun, menerangi jalan kita dan menginspirasi kita untuk mencapai tingkat intelektual dan moral yang baru. Melalui Nous, saya memulai perjalanan penemuan seumur hidup, pertumbuhan berkelanjutan, dan pencarian kebijaksanaan dan pengetahuan.
Tugas 2 – Midterm Reflection
Perkenalkan, Nama saya Mahabir,
Bagi saya, konsep Nous adalah salah satu gagasan paling menarik dan berpengaruh dalam filsafat, khususnya dalam bidang filsafat Yunani kuno. Saat saya menavigasi perjalanan akademis saya, terlihat jelas bahwa konsep Nous, dengan empat elemen penting – Sophia (kebijaksanaan), Techne (keterampilan), Pronesis (kebijaksanaan praktis), dan Episteme (pengetahuan), memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan intelektual dan pribadi saya. Dalam esai ini, saya akan menelusuri makna Nous dan mendalami empat elemen penyusunnya. Selain itu, saya akan mengkaji bagaimana Nous memiliki dampak besar pada kehidupan akademis saya, meningkatkan kemampuan saya untuk berpikir kritis, mengembangkan keterampilan praktis, membuat keputusan, dan memperoleh pengetahuan.
I. Pemahaman Nous: Hakikat Keunggulan Intelektual dan Moral
Nous, istilah yang berasal dari filsafat Yunani kuno, memiliki makna filosofis yang beragam. Ini dapat diterjemahkan sebagai “intelek”, “kecerdasan”, atau “pikiran”. Dalam bidang filsafat, Nous mewujudkan bentuk keunggulan intelektual dan moral tertinggi yang dapat dicapai manusia. Ini mencakup kemampuan untuk memahami konsep-konsep abstrak, membedakan batas antara benar dan salah, dan memandang dunia dari perspektif yang mendalam.
Konsep Nous secara intrinsik terkait dengan karya-karya filsuf Yunani terkemuka, khususnya Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, Nous dianggap sebagai alam realitas tertinggi, mewakili alam Bentuk yang sempurna dan tidak berubah. Aristoteles, sebaliknya, mendefinisikan Nous sebagai bentuk pengetahuan tertinggi, yang menggabungkan kebijaksanaan praktis dan teoretis.
II. Empat Elemen Nous
A. Sophia (Kebijaksanaan)
Sophia, komponen penting dari Nous, berkaitan dengan kebijaksanaan atau kemampuan untuk membuat penilaian yang masuk akal berdasarkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip etika dan moral. Dalam konteks kehidupan akademis, Sophia mengajak saya untuk merenungkan persoalan etika dalam berbagai disiplin ilmu. Sebagai mahasiswa, kiita diharapkan untuk merenungkan konsekuensi etis dari tindakan saya, baik dalam penelitian, pengambilan keputusan, atau interaksi sehari-hari. Kebijaksanaan memberdayakan saya untuk menumbuhkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai yang mendasari pendidikan saya, yang memandu perilaku dan pilihan saya.
Dalam lingkungan akademis, Sophia memengaruhi kemampuan saya untuk terlibat dalam wacana moral dan etika. Hal ini membekali saya dengan kapasitas untuk mengevaluasi isu-isu kompleks, menavigasi dilema moral, dan membuat keputusan etis. Saat saya merenungkan pilihan akademis saya, Sophia-lah yang mendorong saya untuk menjunjung standar perilaku etis tertinggi, baik dalam upaya keilmuan saya maupun dalam interaksi saya dengan rekan, mentor, dosen dan teman-teman.
B. Teknologi (Keterampilan)
Techne adalah elemen integral lain dari Nous, yang menunjukkan keterampilan atau keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Dalam dunia akademis, mahasiswa terus ditugasi untuk mengembangkan berbagai keterampilan, mulai dari kemahiran meneliti dan analisis kritis hingga kemampuan komunikasi yang efektif. Keterampilan ini sangat diperlukan dalam memahami dan menerapkan konsep-konsep yang diperoleh dalam berbagai mata kuliah. Penguasaan Techne memungkinkan siswa untuk menumbuhkan kompetensi dalam bidang studi masing-masing, secara aktif berkontribusi terhadap kemajuan pengetahuan.
Techne khususnya diucapkan dalam bidang studi praktis seperti teknik, kedokteran, dan seni. Melalui Techne siswa mendapatkan pengalaman langsung, menyempurnakan keahlian mereka, dan menerapkan keterampilan mereka dalam skenario dunia nyata. Baik mahasiswa kedokteran yang mempelajari seluk-beluk pembedahan atau calon seniman yang menguasai teknik mereka, Techne menggarisbawahi pentingnya keterampilan praktis dalam perjalanan akademis.
C. Pronesis (Kebijaksanaan Praktis)
Pronesis, unsur kebijaksanaan praktis, mencakup kapasitas untuk membuat keputusan yang tepat dan bijaksana dalam situasi nyata. Di bidang akademik, siswa sering kali menghadapi tantangan yang memerlukan keterampilan pengambilan keputusan. Pronesis membekali saya untuk mengidentifikasi solusi optimal dan efektif terhadap masalah yang kompleks. Kemampuan ini sangat berharga dalam konteks proyek penelitian, tugas kursus, dan proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan akademik dan karir.
Penerapan Pronesis meluas ke perencanaan dan strategi akademik. Siswa sering menghadapi pilihan mengenai jalur pendidikan, pilihan kursus, dan arah penelitian mereka. Kebijaksanaan praktis memandu saya dalam mengevaluasi keputusan-keputusan ini, mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari pilihan-pilihan, dan memilih opsi-opsi yang paling sesuai dan bermanfaat.
D. Episteme (Pengetahuan)
Episteme adalah elemen terakhir dari Nous, mewakili pengetahuan atau pemahaman mendalam tentang dunia dan beragam disiplin ilmu. Dalam konteks akademis, perolehan Episteme merupakan tujuan utama. Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep, teori, dan prinsip yang mendasari bidang studi pilihannya. Pengetahuan ini berfungsi sebagai landasan untuk menghasilkan ide-ide baru, perluasan teori-teori yang ada, dan pengembangan solusi inovatif terhadap masalah-masalah kompleks.
Episteme adalah inti dari penelitian akademis. Hal ini mendorong siswa untuk mengeksplorasi batas-batas pengetahuan, terlibat dengan penelitian mutakhir, dan berkontribusi pada pemahaman manusia. Melalui Episteme, mahasiswa memperoleh kemampuan mengevaluasi secara kritis pengetahuan yang ada, melakukan penelitian orisinal, dan memajukan batas-batas pemahaman manusia di bidangnya masing-masing.
III. Pengaruh Nous dalam Kehidupan Akademik
Konsep Nous dengan empat unsur penyusunnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan akademik mahasiswa. Di bawah ini, saya mengeksplorasi bagaimana Nous membentuk pengalaman saya di paruh pertama semester ini:
A. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis: Unsur Sophia dan Pronesis memainkan peran penting dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis. Siswa didorong untuk merenungkan dan menganalisis isu-isu kompleks baik dalam kursus teoritis dan praktis. Kapasitas ini memungkinkan saya untuk memahami dan menghargai beragam perspektif, serta mengevaluasi implikasi etis dari tindakan saya.
Dalam konteks perkuliahan, Nous merangsang saya untuk mendalami mata pelajaran yang ada. Saya didorong untuk mempertanyakan asumsi, menilai bukti secara kritis, dan berpikir kreatif. Pemeliharaan keterampilan berpikir kritis ini penting tidak hanya untuk keberhasilan akademis tetapi juga untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
B. Mengoptimalkan Proses Pembelajaran: Techne sebagai elemen penting memberdayakan siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Pencatatan yang efektif, manajemen waktu, dan pengorganisasian informasi adalah keterampilan yang diperoleh siswa. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk memahami dan mempertahankan materi luas yang disajikan dalam berbagai mata kuliah.
Techne juga memupuk kemampuan beradaptasi dan pemecahan masalah, saat siswa belajar menggunakan beragam strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan unik mereka. Keterampilan ini memungkinkan siswa untuk unggul secara akademis dan terbawa ke dalam kehidupan profesional mereka.
C. Memperluas Wawasan dan Pengetahuan: Episteme, unsur pengetahuan, mendorong siswa untuk memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman mereka di berbagai disiplin ilmu. Siswa diberi kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai bidang pengetahuan dan mempelajari mata pelajaran yang membangkitkan rasa ingin tahu mereka.
Melalui Episteme, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan yang luas tetapi juga keahlian yang mendalam di bidang studi pilihan mereka. Landasan pengetahuan ini memberdayakan siswa untuk secara aktif terlibat dalam wacana intelektual, berkontribusi pada bidang minat mereka, dan menumbuhkan budaya pembelajaran dan penemuan berkelanjutan.
D. Menghadapi Tantangan Praktis: Pronesis, elemen kebijaksanaan praktis, membekali siswa untuk mengatasi tantangan praktis dalam kehidupan akademik. Siswa sering dihadapkan dengan pilihan mengenai jalur pendidikan mereka, pilihan kursus, dan pengelolaan proyek penelitian. Kebijaksanaan praktis membantu dalam mengevaluasi keputusan-keputusan ini, mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari pilihan-pilihan, dan memilih pilihan-pilihan yang paling sesuai dan bermanfaat.
E. Kesadaran dan Tanggung Jawab Etis: Unsur Sophia, yang menekankan kebijaksanaan dan penilaian moral, meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab etis kita sebagai siswa. Dalam kegiatan akademis kita, Nous mengingatkan kita akan pentingnya perilaku etis dalam penelitian, kolaborasi, dan penyebaran pengetahuan. Kita didorong untuk berperilaku dengan integritas, kejujuran, dan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap masyarakat dan civitas akademika.
Saat kita terlibat dalam proyek penelitian dan kerja kolaboratif, Nous mendorong kita untuk mempertimbangkan implikasi etis dari tindakan kita. Hal ini memperkuat pentingnya mengutip sumber, menghindari plagiarisme, dan menjunjung tinggi integritas akademik. Kesadaran etis ini, yang ditanamkan melalui Sophia, mempersiapkan kita untuk menavigasi medan etika yang kompleks di dunia akademis dan, pada akhirnya, dunia profesional.
F. Pemikiran Interdisipliner: Unsur Episteme yang mewakili pengetahuan mendorong siswa untuk menganut pemikiran interdisipliner. Dalam dunia akademis modern, batasan antar disiplin ilmu menjadi semakin keropos, dan solusi terhadap permasalahan dunia nyata yang kompleks sering kali memerlukan pendekatan multidisiplin. Melalui Episteme, siswa memperoleh kemampuan untuk menarik hubungan antara bidang studi yang tampaknya tidak berhubungan dan untuk mensintesis pengetahuan dari berbagai bidang.
Perspektif interdisipliner ini sangat berharga dalam mengatasi tantangan dunia nyata, seperti perubahan iklim, krisis kesehatan masyarakat, dan kesenjangan sosial. Nous mendorong pengembangan siswa yang dapat berpikir secara holistik, mengintegrasikan beragam perspektif, dan berkontribusi terhadap solusi inovatif dan lintas disiplin.
G. Kemampuan beradaptasi dan Pemecahan Masalah: Techne, unsur keterampilan, membekali siswa dengan kemampuan beradaptasi dan memecahkan masalah secara efektif. Dalam lanskap kehidupan akademis yang dinamis, tantangan tak terduga dan permasalahan kompleks tidak bisa dihindari. Techne membekali mahasiswa dengan perangkat untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, baik yang berkaitan dengan teknologi yang berubah dengan cepat, pergeseran paradigma penelitian, atau persyaratan akademis yang terus berkembang.
Saat kita menghadapi gangguan dan ketidakpastian, Nous mendorong kita untuk menghadapi tantangan dengan pola pikir berkembang. Kami belajar beradaptasi, memperoleh keterampilan baru, dan mengembangkan strategi pemecahan masalah yang inovatif. Elemen keterampilan memungkinkan kita untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan keluar dari rintangan akademis dengan ketahanan dan keserbagunaan yang lebih besar.
H) Kepemimpinan dan Inisiatif: Kombinasi Pronesis dan Sophia menginspirasi siswa untuk mengambil peran kepemimpinan dan mengambil inisiatif dalam upaya akademis mereka. Kepemimpinan adalah sifat berharga yang melampaui kehidupan akademis dan karir masa depan. Nous memperkuat gagasan bahwa pemimpin harus menunjukkan kebijaksanaan praktis dalam pengambilan keputusan, dipandu oleh prinsip-prinsip etika, dan meningkatkan kesejahteraan komunitasnya.
Melalui Pronesis, siswa belajar membuat keputusan yang tepat dan etis ketika memimpin proyek, tim, atau inisiatif. Kebijaksanaan praktis ini memberdayakan individu untuk menjadi pemimpin efektif yang dapat menavigasi situasi kompleks dengan anggun dan integritas. Lebih lanjut, Sophia mendorong kepemimpinan etis dengan menekankan tanggung jawab
I)Pembelajaran Seumur Hidup: Konsep Nous mendorong komitmen terhadap pembelajaran seumur hidup. Sebagai pelajar, kami menyadari bahwa perjalanan akademis kami hanyalah salah satu fase dari pencarian pengetahuan dan kebijaksanaan seumur hidup. Nous menanamkan dalam diri kita rasa ingin tahu untuk terus belajar melampaui pendidikan formal dan mencari peluang untuk pengembangan diri. Dalam bidang studi praktis, seperti bisnis atau teknik, Pronesis menjadi sangat penting
Episteme, khususnya, menggarisbawahi nilai pembelajaran berkelanjutan dan pengembangan diri. Hal ini menumbuhkan apresiasi yang mendalam terhadap sifat pengetahuan yang tidak terbatas, memotivasi siswa untuk mengeksplorasi bidang studi baru, terlibat dalam wacana intelektual, dan berkontribusi pada pemahaman manusia yang terus berkembang sepanjang hidup mereka.
Kesimpulan
Kesimpulannya, konsep Nous, dengan empat elemen pentingnya, memiliki dampak yang mendalam dan beragam dalam kehidupan akademis kita. Nous menanamkan dalam diri kita pentingnya kebijaksanaan, keterampilan praktis, kesadaran etis, pemikiran interdisipliner, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, dan upaya pembelajaran seumur hidup. Sebagai siswa, kita terus-menerus dibentuk dan dibimbing oleh prinsip-prinsip Nous, yang tidak hanya mempersiapkan kita untuk kesuksesan akademis namun juga membekali kita untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan etis di luar kelas.
Perjalanan akademis kita bukan sekedar pencarian pengetahuan namun juga pengalaman transformatif yang membentuk kita menjadi individu yang dapat berpikir kritis, memecahkan masalah kompleks, dan membuat keputusan yang tepat dan etis. Nous berfungsi sebagai
cahaya penuntun, menerangi jalan kita dan menginspirasi kita untuk mencapai tingkat intelektual dan moral yang baru. Melalui Nous, saya memulai perjalanan penemuan seumur hidup, pertumbuhan berkelanjutan, dan pencarian kebijaksanaan dan pengetahuan.
Bagi saya arsitektur adalah seni dan ilmu perancangan bangunan yang mencakup segala aspek dari konsep, perencanaan, dan konstruksi. Episteme merujuk pada pengetahun ilmiah dan prinsip-prinsip dasar yang mendasari arsitektur, seperti prinsip-prinsip matematika dan fisika yang digunakan dalam perencanaan struktur bangunan. Techne, di sisi lain, mencakup aspek teknis dalam merancang dan membangun bangunan, yang melibatkan keterampilan dan metode Teknik. Phronesis sendiri adalah pengetahuan praktis dan etis yang dibutuhkan dalam membuat keputusan dalam merancang bangunan. Sophia atau keberanian, muncul dalam estetika dan makna yang mendalam yang dibawa oleh arsitek dalam menciptakan bangunan yang memadukan fungsi, keindahan, dan kualitas sejati. Dengan mengintegrasikan semua empat kuadran pengetahuan ini, arsitek dapat menciptakan bangunan yang bukan hanya berfungsi, tetapi juga mencerminkan kebijaksanaan dan kualitas yang mendalam.
Empat kuadran pengetahuan menurut Aristotle (300 SM) dalam konteks Pendidikan Arsitektur bisa di mulai dari Episteme sendiri memiliki porsi paling besar, karena dalam dunia Pendidikan sendiri kita lebih banyak belajar dengan mendengarkan seorang akademisi. Menurut definisi sendiri Episteme adalah istilah yang digunakan dalam filsafat untuk merujuk pada pengetahuan atau pemahaman. Istllah epistemology, yaitu cabang filsafat yang berkaitan dengan pengethuan berasal dari kata episteme. Dari riset yang saya temukan, Episteme bisa juga diartikan menjadai pengetahuan historis yang berdasarkan kebenaran dan wacana, sehingga mewakili kondisi kemungkinannya dalam kurun waktu tertentu.
Hampir semua umat manusia ingin memahami dunia tempat mereka tinggal, kerja, atau belajar, dan banyak dari mereka membangun berbagai macam teori untuk membantu mereka memahaminya. Namun, karena banyak aspek di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah, kebanyakan orang cenderung menghentikan upaya mereka pada suatu saat dan puas dengan tingkat pemahaman apa pun yang berhasil mereka capai. Hal tersebut yang dapat membedakan seorang filsafat dan orang biasa pada umumnya, seorang filsafat umumnya mereka memiliki insting untuk terus menerus mencari arti hidup dan menggali terus pengetahuan yang mereka miliki dan mereka tak cepat merasa puas dengan hasil keberhasilan pertama. Beberapa orang mungkin mengatakan para filsafat debagai individu yang terobsesi oleh gagasan memahami dunia dalam istilah umum.
Bagi saya dari definisi Episteme ini sendiri kita dapat melaksanakan studi Arsitektur dengan menggunakan prinsip filsafat yaitu, tidak cepat merasa puas dengan pengetahuan yang kita dapati sekarang, lebih dalam menggali pengetahuan pribadi tentang arsitektur adalah kunci dalam kesuksesan studi arsitektur itu sendiri. Dalam perjalanan melakukannya sendiri tidak akan luput dengan kata keraguan yang tentu dapat menimbulkan anomaly-anomali tertentu dalam pengalaman semua orang terhadap dunia. Dua dari anomali-anomali tersebut bisa dijelaskan untuk mengilustrasikan bagaimana seseorang mempertanyakan klaim umum atas pengetahuan tentang dunia.
Phronesis merupakan kecerdasan taktikal dalam bertindak. Phronesis menyiraktan penilaian yang baik dan keunggulan karakter dan kebiasaan, hal ini menjadi menjadi celah yang sulit untuk ditutup dalam ruang belajar. Karena dalam awal pembelajaran arsitektur, para mahasiswa lebih di tuntut bisa mengerjakan contoh gambar yang sudah diberikan, hal itu sendiri dapat menghambat proses membiasakan diri dalam bertindak sebagai desainer. Karena Phronesis berkaitan dengan bagaimana bertindak daam situasi tertentu. Seseorang dapat mempelajari prinsip-prinsip Tindakan, namun menerapkannya di dunia nyata, dalam situasi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, memerlukan pengalaman dunia. Misalnya, jika seorang arsitek tahu bahwa ia harus jujur dan transparan mengenai budget, makai ia harus bisa membandingkan budget dan goals kepada seorang client agar menimbulkan rasa percaya dan mengandalkan ke seorang arsitek.
Menurut Ellett,2012. Dalam praktis social diartikan bahwa jika seseorang mampu bertindak dengan cara yang paling rasional, maka tindakan itu yang akan mereka lakukan. Hal itu juga dapat di aplikasikan saat seorang arsitek diberikan kebebasan oleh client untuk mendesain suatu bangunan dengan harapan tetap memberikan pilihan desain yang tetap realistis dan tidak sepenuhnya hanya memikirkan Impian pribadi. Phronesis juga berkaitan dengan inovasi, inovasi yang dapat menyeimbangkan desain teori dan metode realistis. Dimana kedua hal tersebut jika digabung dengan seimbang dapat menghasilkan sebuah pemikiran atau desain yang sempurna.
Techne disimulasikan kedalam studio deain, atau bisa disebut pengetahuan praktik. Jika Phronesis dikenal dengan Tindakan, maka techne dikenal dengan ciptaan, menurut Aristotle sendiri, techne berada di bawah phronesis. Karena walau menciptakan itu suatu hal yang lebih terasa membanggakan, tetapi dalam dunia arsitektur, mengambil Tindakan dam pemikiran rasional itu lebih dibutuhkan. Walau menurut banyak orang praktik bekerja seperti magang itu masih terhitung opsional, tetapi menurut saya dalam berpraktik pada dunia nyata lah yang dapat benar benar mengajarkan seorang arsitek dalam menjalani trial and error mereka dalam mendesain. Dari wawancara saya kepada arsitek pun mereka banyak menyimpulkan bahwa masa masa internship itu masa yang paling membuat mereka seutuhnya mengerti esensi terbesar dalam menjalana studi arsitektur.
Techne bagi saya sebagai mahasiswa arsitektur mencakup berbagai aspek, seperti kemampuan dalam mmebuat gambar teknik, pemahaman prinsip-prinsip structural dalam banguna, mengelola proyek kontruksi, dan berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait dalam industry konstruksi. Hal ini juga melibatkan pemahaman umum tentang kode bangunan, peraturan, dan standar keselamatan bangunan yang sudah diterapkan oleh pemerintah. Karena techne dapat diasosiasikan dengan ciptaan, maka dalam arsitektur, techne merupakan pondasi yang diperlukan untuk mengubah ide-ide desain menjadi realita fisik yang berfungsi. Ini melibatkan penerapan keterampilan teknis seorang arsitek yang juga berdampingan dengan tingkat phronesis yaitu bertindak dalam mengatasi tntangan teknis yang mungkin munculselama proses mendesian, konstruksi, sehingga dapat menghasilkan sebuah bangunan yang efisien, aman, dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Sophia merupakan ranah yang lebih personal yang membentuk keberanian dan kecintaan dalam berkarya. Sophia sendiri adaah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang disebutnya sebagai “eudaimonia,” yang dapat diterjemahkan sebagai “kebahagiaan yang sejati” atau “kehidupan yang baik.” Aristotle sendiri percaya bahwa mencapai eudaimonia adalah tujuan utama dalam hidup, dan kebijaksanaan adalah salah satu unsur utama yang membantu manusia mencapai Sophia. Bagi saya sendiri mencapai kuadran Sophia pada bidang arsitektur adalah saat dimana seorang individu mulai mencakupkan kesehariannya dengan konteks arsitektur. Dimana rasa penasaran atau rasa ingin mengkritik sebuah bangunan menjadi hal yang menarik bagi orang itu. Sophia bisa juga di pandang sebagai stages of acceptance, dimana hal tersebut sangat krusial bukan hanya dalam dunia arsitektur, bahkan dalam filsafat kehidupan itu sendiri.
Sophia dalam arsitektur juga melibatkan kemampuan untuk mengenali dan menghargai sejarah arsitektur, budaya, dan konteks local, serta untuk menggabungkan elemen-elemen ini dengan visi kreatif yang unik. Arsitek yang mencaai tingkat Sophia dalam karyanya mungkin dapat menciptakan bangunan yang tidak hanya memenuhi fungsi praktisnya, tetapi juga memberikan pengalaman emosional, menginspirasi, dan mencerminkan nilai-nilai yang lebih dalam. Selain itu, Sophia dalam arsitektur juga dalam meranah pada kemampuan untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dan keberlanjutan dalam perancangan bangunan. Ini mencakup pemahaman detail tentang cara menggunakan material dan sumber daya secara bijak, serta bagaimana menciptakan bangunan yang ramah lingkungan.
Ke empat pengetahuan tersebut membentuk sebuah Nous, kapasitas untuk membangun wawasan, kecerdasan, Tindakan, dan kemampuan memperoleh kebijaksanaan secara intelektual. Nous sendiri adalah konsep dari filosofi klasik tentang pikiran manusia yang penting untuk menegaskan apa yang benar. Bukan hanya benar, tetapi juga harus mementing pilihan rasional. Empat kuadran kecerdasan Aristotle bukannya satu satunya kuadran yang dapat dijadikan pedoman bagi seorang arsitek. Ada juga diagram profesi yang mencakup:
A. Desainer
B. Developer
C. Kontraktor
D. Akademisi
Jika dibuat dalam diagram arah mata angin, north diartikan sebagai capitalism, west di asosiasikan dengan power, east sebagai tradisi, dan south sebagai socialism. Dari ke empat profesi tersebut, semua mencakupi bagiannya dalam kuadran dengan rata. Seperti akademisi sendiri dapat di kelompokkan ke dalam bidang tradisi dan sosia, karena melanjutkan Pendidikan turun temurun sudah menjadi tradisi yang tak akan bisa dihilangkan samapi kapanpun, itulah yang membuat manusia bisa berkembang hingga sekarang. Dalam hal social dapat diartikan bahwa seorang akademisi lebih mementingkan ranah socialism dibandingkan capitalism, bisa dilihat dari jumlah pemasukan dari profesi lain bahwa akademisi cenderung mendapatkan pemasukkan yang lebih kecil dibandingkan praktisi seperti desainer, developer, dan kontraktor. Tetapi bukan uanglah yang jadi hal pendorong inti bagi seorang akademisi, tradisi dan nilai social lah yang mendorong mereka untuk menjalani profesi tersebut.
Untuk desainer dan kontraktor akan selalu kerja berdampingan karena keduanya membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan sebuah project. Profesi ini cenderung di anggap sebagai seorang risk taker, karena profesi tersebut sangat sering mendapat klien dengan budget yang ternyata tidak memadai dari goas sebuah project. Maka bisa disimpulkan bahwa profesi ini sangat kuat di bidang power dan juga capitalism, karena dengan capitalism tinggi lah yang dapat menggerakkan usaha seorang dengan dua profesi ini. Bahkan hingga membuat orang orang sungkan untuk hire seorang arsitek atau kontraktor yang memang bersertifikat untuk mengerjakan proyek mereka karena mereka tak melihat hasil yang worth it dari jumlah uang yang akan mereka keluarkan untuk semua hal kecil saat berhubungan dengan kontraktor atau arsitek. Seorang Arsitek dan kontraktor penting untuk memiliki pride karena dengan pride itu yang memasuki mereka dalam kuadran pwer yang dapat membut mereka bertindak dengan tegas dalam menyelesaikan masalah dalam proyek. Untuk developer sendiri menurut saya terasa penuh di titik capitalism, karena pekerjaan mereka sendiri adalah sebagai instansi yang menyediakan dan membuat lahan atau tempat tinggal dengan jumlah proyek yang besar sesuai dengan permintaan pasar. Mereka cenderung tidak memikirkan keinginan klien secara individu, melainkan hanya memenuhi syarat kebutuhan khalayak umum. Banyak kita temukan kompleks perumahan dengan desain rumah yang sama membentang jauh mereka bangun dan pasarkan untuk di kontrakan, dan biasanya tidak diperbolehkan untuk di perjual belikan guna untuk memastikan pemasukkan dari kompleks tersebut terus berjalan seiring waktu berjalan. Maka dari contoh seperti itulah mengapa developer adaah profesi yang berperan paling tinggi dalam capitalism.
Awal tahun baru 2024 ini kami rayakan dengan bangga dicetaknya kembali buku “The Guild” setelah habis cetak berkali-kali. Pada cetakan kali ini, kami menghadirkan buku ini dengan cover yang baru, berwarna, dan dengan pengantar berisi foto The Guild saat ini, serta editorial yang baru.
Buku “The Guild”, berisi cerita awal tentang arsitektur dari bangunan Guha The Guild. Cerita awal dari 1001 cerita Guha serta 1001 pintu dan 1001 tekstur yang pernah teman-teman lihat sebelumnya dalam IG kami terdapat dalam buku ini. Teman-teman dapat menemukan banyaknya cerita yang melatarbelakangi Guha, pintu-pintu unik dengan material dan cara buka yang berbeda-beda, serta tekstur beragam yang menyusun setiap ekosistem Guha dalam buku ini.
Buku “The Guild” adalah buku kedua setelah Buku #1 Alpha: Never Ending Dialogue in Architecture yang diterbitkan tahun 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang serta menyusun kolase dari buku “The Guild” yang sebelumnya diterbitkan dalam bentuk hitam-putih. Setelah melihat ulang konteks The Guild, kami menyusun buku ini kembali dalam cerita arsitekturnya yang sekarang. Kami berharap teman-teman senang untuk membacanya dan dapat mengenal Guha lebih dalam lagi.
Pre order buku “The Guild” dapat dipesan melalui link: bit.ly/OrderOMAH atau hubungi Putri(WA) +62 81517970213
Nama saya yohanes wijaya lahir di karawang 1 oktober 2005, keluarga saya selalu tinggal di apartemen dan sudah pindah 3x. Saya bersekolah di IPEKA Pluit dan bercita cita sebagai arsitek karena suka tentang desain skala besar seperti bangunan. Hobi saya main game dan mendengar lagu khususnya lagu tenang seperti highs and lows, dan menggambar sebagai waktu luang. Saya memilih kuliah arsitektur karena ingin mempalajari bagaimana cara membangun bangunan yang baik dan bagus dan supaya dapat bekerja dan achievment sebagai arsitek. Saat saya masih sekolah dasar saya pernah ingin membuat rumah yang lebih bagus karena walaupun di apartemen ada banyak fasilitas umu yang bagus seperti kolam renang, lapangan basket, tenis lapangan, gym dan lainnya tetapi untuk rumah dan kamar sangat kecil bahkan rumah yang saya tinggali sekarang, kamar saya hanya 2m x 2m. Momen yang saya suka bicarakan kepada teman adalah saat saya pergi ke Singapura. Saya melihat gedung Marina Bay Sands dan bingung bagaimana caranya bisa seperti perahu yang terdampar di atas 3 gedung dibuat.
Tujuan besar saya memilih kuliah di bidang arsitektur karena saya ingin punya rumah yang bisa saya buat sendiri dan membuatnya menjadi bagus atau estetik. Untuk itu saya memilih kuliah bidang arsitektur dan juga karena dengan experient yang didapat saat belajar dan melihat hasil karya orang lain dapat membuat ide ide menarik yang masuk ke otak dan meluaskan persepsi pikiran saya tentang model bangunan. Apalagi dengan teknologi sekarang sudah menjadi semakin maju sehingga bentuk bentuk bangunan yang duluan mustahil dibuat sekarang sudah bisa dibuat walaupun masih ada keterbatasan. Salah satu rumah yang sekarang dibangun tanpa teknologi dan informasi yang cukup adalah di rumah sepupu pertama karena rumah itu tidak terlalu kedap suara dengan suara dari luar seperti suara mesin kendaraan masih bisa terdengar dengan jelas walupun sudah dibuat menjadi ruangan tertutup. Dengan informasi sekarang sudah ada banyak bahan bahan banguna yang dapat membuat suara dari luar tidak terdengar sehingga dapat membuat suasana rumah menjadi lebih nyaman. Arsitektur sendiri walaupun di negara Indonesia ini terbatas karena teknologinya kurang tidak seperti di negara lain yang berkembang jauh dengan teknologi sehingga bisa membuat bangunan bangunan yang hanya bisa dibuat dengan teknologi yang sangat maju di generasi ini tetapi ide ide tersebut tetap bisa membuat orang ber kreatif tentang bangunan bangunan yang dibuat nya sehingga dengan ide ide itu bisa dikelola ke kehidupan masyarakat yang membutuhkan kehidupan lebih baik maupun dari rumahnya ataupun lingkungannya.
Arsitek juga menjadi sarana untuk menjalin kehidupan sosial karena arsitek tidak bisa membuat bangunan bangunan sendiri. Dibutuhkan kerja sama dan tingkat sosial yang baik untuk membangun bangunan yang bagus seperti teknik sipil dan engineer air(plumber), eletric(listrik), dan lainnya. Rumah yang bagus dengan lingkungan yang baik akan membuat kehidupan di sekitar menjadi lebih baik dan sehat. Contohnya tanaman yaang di tanam di dalam rumah dapat membuat udara sekitar menjadi lebih sehat dan segar. Apalagi dengan lingkungan di Indonesia yang langit langitnya sudah sangat kotor sampai keliatan asap di langit. Sebagai peran dan tugas arsitek harus bisa menyelesaikan masalah ini supaya lingkungan kita menjadi sehat, oleh karena itu saya ingin menjadi arsitek.
Saya bernama William Tantra lahir di Tangerang pada tanggal 21 September 2005. Saya dilahirkan dari keluarga sederhana yang selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka ingin kami mengemban Pendidikan setinggi-tingginya dan mencapai citi-cita kami. Ayah saya bernama Sutjipto dan bekerja sebagai seorang karyawan swasta di sebuah toko barang teknik, dan ibu saya bernama Betty memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Saya merupakan anak sulung dari 2 bersaudara. Adik saya bernama Sebastian Tantra, dan saat ini masih berada di bangku Pendidikan SMA. Dari keluarga ini, saya dibentuk menjadi orang yang rajin, disiplin, dan taat pada aturan. Saya sangat dekat dengan keluarga besar saya. Saya sering meluangkan waktu libur saya untuk berpergian bersama mereka.
Saya sendiri menilai diri saya sendiri sebagai orang yang ceria, sabar, taat, disiplin, jujur, rajin, namun kurang percaya diri, kurang bisa berinteraksi dengan orang lain, dan kurang mempunyai inisiatif memulai suatu hal. Saya adalah orang yang kurang fleksibel, saya mungkin sulit bekerja sama dengan orang yang tidak setipe dengan saya, tapi saya selalu berusaha menyesuaikannya. Saya juga kurang b isa mengungkapkan sesuatu yang mungkin saya tidak sukai dari orang lain.
Kehidupan pendidikan saya dimulai dari sebuah taman kanak-kanak Bernama Bless Kids, lalu berlanjut ke sekolah dasar Pelita Anugerah. Disana saya meraih beberapa prestasi di bidang akademik. Lulus dari sekolah dasar, saya melanjutkan pendidikan saya di SMP dan SMA Kristen Kasih Kemuliaan. Di SMP dan SMA saya mengalami banyak momen-momen yang akan sulit untuk saya lupakan. Saya bertemu dengan teman dan sahabat yang baik dan berpengaruh bagi hidup saya. Saya tumbuh menjadi orang yang jauh lebih dewasa dan lebih berani, dimana sebelumnya saya merupakan orang yang sangat pendiam dan takut untuk mengungkapkan sesuatu. Kami sering berpergian bersama ke tempat yang dekat maupun jauh. Momen yang tidak akan pernah saya lupakan dan ingin saya ceritakan terus menerus adalah ketika foto year book SMP. Kejadian lucu dimana seharusnya saya dan 4 teman saya turun dari grab di Museum Naional atau yang lebih dikenal Museum Gajah, namun kami malah turun di sebelah timur Monumen Nasional. Kami harus berlari dari timur ke barat dengan jarak yang cukup jauh. Sesampainya di Museum Nasional, kami sudah berkeringat dan baju kami basah. Selain itu ada satu momen tidak terlupakan lagi yang baru bebraapa bulan berlalu. Tepatnya pada bulan Mei 2023, saya bersama 7 teman SMA saya mengadakan liburan ke Bandung dengan menggunakan kereta. Kami menghabiskan waktu 3 hari 2 malam disana. Di kedua malam tersebut kami berbagi cerita, ada yang membagikan kisah cintanya, ada juga yang membagikan cerita trntang masa depan nya. Selain itu, saat masa SMA saya mulai menyukai untuk mendengarkan banyak lagu, baik lagu berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Mandarin seperti lagu “You’re Beautiful” dari James Blunt dan lagu “Jemari” dari Juicy Luicy.
Setelah melewati masa-masa SMA, saya dihadapkan dengan pilihan jurusan dan universitas. Sebelum saya akhirnya memilih jurusan arsitektur, saya sempat memikirkan beberapa jurusan lain yang memungkinkan untuk saya pilih. Saya sempat berpikir untuk memilih jurusan akuntansi karena menurut saya tidak terlalu sulit dan saya suka menghitung. Saya juga sempat berpikir untuk memilih jurusan hukum dan hubungan internasional, namun saya kurang yakin bisa bertahan disana karena kurang bisa berbicara di depan banyak orang. Pada akhirnya saya memilih jurusan teknik arsitektur karena sesuai dengan minat dan kemampuan saya. Saya merasa dan tertarik melihat karya-karya arsitektur di berbgai negara. Karya-karya dari arsitek-arsitek hebat dunia menginspirasi saya dalam mempelajari arsitektur. Semakin hari semakin saya mencintai arsitektur. Saya ingin menuangkan pikiran dan kemampuan saya melalui desain arsitektur dan karya arsitektur saya. Saya ingin membangun negeri ini dan menatanya dengan baik. Saya juga ingin membangun rumah untuk keluarga saya berdasarkan desain saya. Saya akan sangat banggga dan bahagia jika dapat menjadi seorang arsitek profesional yang hebat. Selain kebingungan akan memilih jurusan, saya juga bingung untuk memilih perguruan tinggi mana yang akan saya tempuh. Pada awalnya saya mendaftar perguruan tiggi negeri (PTN) melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Saya mendaftar untuk Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan di Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai pilihan pertama karena merupakan universitas dengan jurusan arsitektur terbaik di Indonesia. Sebagai pilihan kedua saya mendaftar pada jurusan Arsitektur di Universitas Indonesia (UI) karena merupakan universitas terbaik di Indonesia. Saya melakukan tes di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada tanggal 27 Mei 2023. Pada tanggal 20 Juni 2023, pengumuman hasil tes SNBT keluar, hasilnya saya dinyatakan tidak diterima di kedua perguruan tinggi negeri tersebut dan mendapat skor rata-rata 645. Seharusnya skor yang diperlukan agar diterima sekitar 700. Setelah gagal di perguruan tinggi negri saya mencari perguruan tinggi swasta yang bagus di jurusan arsitektur. Ada beberapa pilihan universitas seperti Universitas Tarujmanegara, Universitas Tri Sakti, Universitas Parahyangan, dan Universitas Bina Nusantara. Saya mempertimbangkan beberapa universitas tersebut dari jarak, akreditasi, dan fasilitas. Pada akhirnya saya memilih universitas Bina Nusantara.
Selama berhari-hari saya menjalankan program-program di Universitas Bina Nusantara, saya merasakan perbedaan yang begitu signifikan antara pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah dengan perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, mahasiswa lebih bebas dalam menjalankan kegiatan perkuliahan. Namun, hal tersebut bisa menjadi pisau bermata dua, bergantung dari bagaimana kami menyikapinya. Dan di jenjang perguruan tinggi di Universitas Bina Nusantara ini saya aakan berusaha belajar dengan baik dan aktif agar dapat mewujudkan mimpi dan cita-cita saya serta dapat menjadi mahasiswa berprestasi yang lulus dengan nillai cumlaude. Selain di bidang akademik, sayaa juga mengikuti kegiatan non akademik yaitu unit kegiatan mahasiswa sepak bola atau futsal. Saya ingin mengembangkan bakat saya dalam bermain futsal dan sepak bola serta saya ingin menjadi bagian dari Universitas Bina Nusantara kampus Kemanggisan dan mewakilinya di ajang perlombaan futsal baik tinmgkat lokal, nasional, maupun internasional. Untuk itu saya akan berlatih keras selama ukm berjalan setiap hari senin dan rabu. Saya juga sedang mempelajari teknologi narsitektur digital, karena zaman sekarang semua sudah serba menggunakan teknologi digital. Di universitas Bina Nusantara kita tidak aakan diajarkan satu per satu penggunaan software arsitektur, jadi kita harus belajar sendiri melalui youtube, bimbingan belajar, google, tutor atau yang lain nya.
Universitas Bina Nusantara menuntut mahasiswanmya untuk aktif dlaam meengikuti kegiatan diluara proses pembelajaran. Karena itu saya mengikuti beberapa seminar dan kegiatan terkait arsitektur, teknologi, bisnis, Teknik, dan lainnya. Saya juga mengikuti kegiatan kegiatan seperti teach for Indonesia dan komunitas buddha di Bina Nusantara. Dari situ saya juga bisa belajar mengenai ilmu-ilmu lain yang tidak ada di jurusan arsitektur. Universitas Bina Nusantaar juga menuntut saya sebagai Binusian 27 untuk lulus tepat waktu.
Selama kegiatan pembelajaran yang sudah dilakukan selama 8 hari, saya sudah memperoleh setiap mata kuliah seperti architectural design 1, design thinking 1, architectural history, sustainable architecture, building technology 1, computational architecture, introduction to architecture, character building Pancasila, dan ESSE 1. Di kelas-kelas itu saya bertemu dengan dosen dosen yang berbeda kepribadiannya, cara mengajarnya, dan aturan yang diberikannya. Karena itu saya harus bisa menyesuaikan dengan masing masing dosen agar saya bisa maksimal selama kegiatan perkuliahan. Dari perkuliahan ini saya belajar bahwa nantinya dunia pekerjaan tidak akan jauh berbeda dari sini. Kita akan bertemu dengan orang orang yang berbeda karakteristik, berbeda beda kemampuan, tapi memiliki satu tujuan. Saya percaya bahwa pengalaman dan ilmu yang saya dapat saat ini akan sangat berguna bagi saya kedepannya. Saya percaya orang yang memiliki banyak pengalaman, ilmu juga relasi lah yang akan bertahan lama di dunia pekerjaan.
Saya berharap setelah masa perkuliahan selesai, saya lulus dan mengambil profesi dan magang di Perusahaan yang bagus, lalu saya akan mengambil sertifikat IAI, saya dapat bekerja dengan baik dan meningkatkan kemampuan saya di Perusahaan arsitektur terbaik di dunia. Saya ingin menciptakan bangunan bangunan ikonik yang tidak hanya melihat fungsi estetikanya saja, tapi juga melihat dampak bangunan tersebut untuk orang orang disekitarnya. Saya juga ingin mewujudkan arsitektur yang ramah lingkungan.
Baru-baru ini pemerintah mengumumkan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara. IKN akan dibangun dengan konsep Smart City. Saya selalu berharap dapat mempunyai nperan besar bagi banyak orang, oleh karena itu saya ingin menjadi bagian dari arsitek IKN yang saya nilai akan menjadi wilayah di Indonesia dengan penataan kota yang paling baik. Disana juga akan kebanyakan menggunakan teknologi dan kendaraan yang ramah lingkungan, tentunya ini berhubungan dengan salah satu mata kulliah saya yaitu sustainable architecture.
Selama 17 tahun saya hidup saya sering merasa sedih apabila sayaa gagal dalam melakukan sesuatu dan gagal mencapai apa yang saya inginkan. Tapi saya tidak pernah trauma ataupun menyerah dan bersedih berlarut larut, karena itu tidak ada gunanya. Saya terus berusaha, walaupun sering kali gagal, pengalaman dari gagal tersebut yang harusnya membuat kita dapat menjadi lebih baik.
Saya hidup bertujuan untuk menjadi pemenang, menjadi idola dan menjadi berkat bagi banyak orang. Saya ingin berperan penting dan memiliki pengaruh bagi orang lain. Saya ingin dikenal bukan karena kesalahan saya, tapi karna karya karya indah saya. Bila saya sukses suatu saat nanti, saya akan membagikan ilmu dan apa saja yang orang lain butuhkan.
Saya juga berharap kesediaan bantuan dan pengajaran dari setiap dosen agar saya mampu menjadi orang yang lebih baik lagi dan lebih mengenal diri saya sendiri. Sekian essai berjudul Get To Know Yourself saya ketik. Saya berharap dengan membaca essai ini, dapat mengenal saya lebih jauh lagi. Saya akan senang jika orang lain dapat mengerti dan mengetahui setiap kelebihan dan kekurangan saya.
Saya asli Bengkulu dengan orang tua yang ,campuran Aceh(Ayah) dan Padang(Ibu) dan saya sekarang berkuliah di Jakarta di kampus Binus Nusantara. Ayah saya berpengalaman sebagai konsultan dan Ibu Saya berkarier sebagai dosen dan sedang melanjutkan pendidikan S3. Saya tumbuh di keluarga yang harmonis. Ayah saya yang berkarakter tegas dan ibu saya yang berkarakter lemah lembut membuat mereka saling melengkapi. Pendidikan SD, SMP, dan SMA Saya di kota Bengkulu dengan jalur undangan/prestasi dan saat kuliah Saya mendapatkan kuota undangan tetapi tidak tembus karena tidak ada alumni,satu dan lain hal padahal saya bersekolah di sekolah yang top di Bengkulu.Tetapi pilihan kedua undangan tidak Saya isi Bengkulu.Saya ingin mencoba melihat dunia luar.Saya anak tunggal, Abang saya sudah meninggal tetapi saya sudah terbiasa hidup sendiri dan mandiri karena saya sadar semua tanggung jawab itu ada di Saya.Saya juga menjadi pribadi yang kuat dengan apa yang saya jalani.Saya memilih Binus sebagai back up karena letaknya strategis di jakarta dan ada kenalan dan katanya arsitektur nya bagus, selain itu saya mempunyai bakat menggambar dan saya ingin terus mengasah bakat saya,saya ingin memperluas relasi dan mendapatkan informasi dari teman- teman berbagai daerah. Harapan saya yang sekarang berstatus sebagai mahasiswi saya ingin belajar dengan sungguh-sungguh dan membanggakan kedua orang tua saya.
Saya menjalani hidup ini tidak lain dan tidak bukan untuk orang tua saya. Karena mereka adalah bagian terpenting di hidup saya.momen yang tidak pernah saya lupakan adalah usaha dan kerja keras meskipun terkadang banyak sandungannya, saya memilih arsitektur karena saya memiliki bakat menggambar dan ayah saya bekerja sebagai konsultan,prinsip yang selalu saya tekankan adalah belajar mensyukuri apapun pemberian Tuhan karena di luar sana banyak yang tidak mampu.Saya pernah mengalami trauma terhadap masa lalu, orang-orang yang jahat kepada saya tapi ingat tujuan awal tuhan menguji hambanya tidak perlu menakuti sesuatu secara berlebihan kita tidak pernah mengganggu mereka, jadi tidak usah menghiraukan mereka. Kita punya tuhan yang tau segala-galanya.dalam menjalani hidup ini jangan cepat menyerah dan berputus asa. Di dalam hidup ini orang datang dan pergi. Tak hanya itu lagu yang sangat saya sukai adalah NCT bukan karena mereka berasal dari negara tetapi makna lagu yang mereka berikan. Lagu beautiful ini bermakna seakan mengajak untuk menghargai hal kecil yang telah terjadi yang biasanya sering kali kita abaikan mulai sekarang bisa kita nikmati dan syukuri dengan kebahagiaan.
Lagu NCT Life is Still going on karena menurut saya lagi ini menjelaskan tentang hidup yang akan terus berjalan dan waktu yang terus berputar. Kita merasa orang-orang memiliki progress yang sangat jauh dibanding kita padahal setiap orang memiliki porsinya masing-masing. Kita diajarkan untuk menikmati hidup dan tetap berusaha tapi percaya kepada takdir tuhan itu sangat penting karena apapun akan terjadi apabila tuhan sudah berkehendak dan tidak ada yang bisa menghalanginya. Saya juga menyukai lagu NCT Hello Future.Lagu ini memili makna agar kita tidak takut untuk bermimpi,bermimpi yang sangat tinggi, bermimpi dengan bebas,Lagu Hello Future ini menunjukan harapan untuk terus optimis dan bertumbuh, berjuang menghadapi masa depan dengan cinta dan kepercayaan.selain itu saya menyukainya NCT karena mereka dulu ada yang hidup dalam kesusahan bahkan ada yg berpisah dari orang tuanya.namun takdir berkata lain begitu banyak terpaan yang mereka hadapi tapi mereka tetap tegar demi meraih mimpi dan mengangkat derajat keluarga nya.Akhirnya mereka membuktikan bahwa mereka layak untuk mendapatkan mimpi mereka.tidak sia-sia perjuangan mereka selama ini, perjuangan itu membuahkan hasil, mereka berhasil dikenal banyak orang dan tentunya menghasilkan pundi-pundi uang, padahal sebelumnya member mereka ada yang memiliki keterbatasan ekonomi, dan banyak masalah lainnya. Oleh karena itu, dari berbagai cerita di atas kita dapat menyimpulkan bahwa waktu itu sangat berharga, 1 detik waktu itu dapat mengubah segalanya.Oleh karena itu, jangan sia-siakan waktu karena waktu tidak dapat diputar kembali. Sekian dari saya, dan terima kasih.
My name is Victoria Joanna Huangga and I was born in Medan, Sumatera Utara. I will be turning 19 years old soon, 26th of January next year, to be exact. Fortunately, I grew up in a good house with loving and responsible parents. It’s safe to say that I have a great relationship with my family. Maybe that was part of why I felt like living so far away from them would be quite a challenge. Still, I do not regret making the decision to move away because a part of me also wanted to separate myself from them in an attempt to create a version of myself that is both independent and mature.
I could still remember what was going through my head when I was at Kualanamu International Airport in Medan. That was my second time flying alone in a plane, so obviously I was very nervous. I wasn’t just nervous because I would be flying alone, but because I knew that once I had arrived in Jakarta, it would be a while until I see my family again. We were sitting in the airport’s Starbucks, and at that time I was still teasing my brother that he would probably miss me a lot. Of course, he denied it and said he wouldn’t. Minutes and hours passed as it was finally time to board my plane. So, before this I had actually gone to Jakarta to participate in Binus University’s First Year Program back in early August. At the time, I came with my mom. After finishing all the FYP’s activities, my mom had already gone back to Medan by then. Because I was from the third batch, CBN, my parents and I had decided that it was better for me to go back to Medan as I had 2 whole weeks to spare before Week of Welcoming. Going back to Medan was my first time flying alone in a plane, but that time it didn’t feel as nerve-wracking as the second time. If anything, I was excited to be flying back to my hometown.
Back to my second time flying alone ever, it was time for me to board my plane. I still remembered the feeling of almost tearing up but stopped before I did just because they were doing an ID check and I would’ve been embarrassing to cry in front of a stranger. I waved my last goodbye and I didn’t look back, not because I didn’t want to look at my family but because I was scared I would cry if I did. Soon we got in the plane, 2 hours went by and I was at Jakarta, all on my own.
Next day after I arrived was immediately Week of Welcoming Day 1. There I met up with friends that I had previously befriended at the First Year Program. Admittedly it was fun, living on your own, you don’t have anyone tell you what you should and shouldn’t do, and the best thing of all- no curfew. But once you start living on your own, you start to make your own curfew for yourself, so it didn’t really matter.
Obviously, I do miss my family a lot. Because of that I’m very grateful to be living in an era where seeing another person is just one phone call away. Even as I’m typing this, I’m in a call with my mom and we still talk almost every day, but it just doesn’t feel the same. Not that I expect a phone call to be even remotely similar to talking face to face with another person, nor am I complaining. But as time went on and I started attending classes and was immediately bombarded with multiple assignments all at once, the only thing I’m ever thinking of these days are when and how I am going to finish an assignment. I guess you could say that being an architecture major really helped distract me from being homesick and miss my family.
What seems like a never-ending amount of assignments was definitely something that I didn’t expect but I wouldn’t say it necessarily surprised me as we were already warned multiple times by our seniors that the amount of assignments for first year students like us is no joke. Before coming here, I actually had plans on going to multiple places in Jakarta as I wasn’t a local, but in these past three weeks the furthest I’ve ever managed to go from my room was Binus Anggrek, another one of my campus’ establishments. Me and a couple of my “anak rantau” friends had even made plans to go out and visit a couple places in Jakarta and we couldn’t even do that because of the piles of assignments that is all due next week.
It might sound like I’m complaining, which I guess technically I am doing that right now, but I wouldn’t say that it’s a bad thing. At the end of the day, I am still a human with the ability to have feelings and emotions. Although I am complaining a lot, trust me when I say I wouldn’t want it any other way. I had come all this way from Medan to Jakarta to study in architecture, so I would’ve been way more pissed if all I had to do is small amounts of assignments as that would’ve been a waste of my potential. If anything, I almost feel like I’m challenged to finish multiple projects at a time, which is something that I need to get used to as being an architect is my current end goal in my career path. I’m sure it will get better overtime when I’m finally used to doing multiple assignments at once, but as of right now it would be a lie to say I don’t get frustrated at times.
I’m sure when I look back at this time of my life, I would probably laugh and find it hilarious as the assignments would’ve been a piece of cake for me by then. And hopefully I’m right. Getting to laugh or be embarrassed about your past should be something that is celebrated as it shows growth in a person. It shows that I have changed and grew as a person and is currently a better version of myself. And that better version of me shouldn’t feel cocky and instead try to learn more things and be an even better version until finally I can be the best version of myself.
Maybe until then, all I need to do is keep learning new things and find ways to improve myself so that in the future I get to be someone that I’m proud of. Speaking of future, like I have mentioned multiple times, I want to be an architect.
Before applying to many universities to major in architecture, I have thought about for so long whether this is the best path for me. I researched many forums, watched many videos, and the consensus was no, majoring in architecture is not worth it. If I had a penny for every video and forum that said you shouldn’t major in architecture, I would probably have about 10 to 15 pennies. That honestly really made me doubt my decision, as most of them has said it would probably be better to major in popular majors like business marketing or management as that at least could secure you a stable 9 to 5 job.
But then I started to change my question. Instead of typing “Should I major in architecture?”, I started to type “Why should I major in architecture?” in the search engine. And there it is, finally, a different answer. Most of the answers this time are from actual architects. From what I’ve seen, all of them don’t do it for the money. Most of them even said that if you only want to get into architecture for the money, don’t do it. Instead, from what I’ve seen, all of them got into architecture purely out of love. They said architecture is one of the many majors that you truly have to love to be able to do it. Of course, this isn’t them saying that being an architect means you can’t be rich, but its just something to keep in mind that you might be average.
I was also surprised to see many people with architecture majors that didn’t end up going through with working in the architectural field saying positive things about the major. Many said that being an architecture student really helped them with time management and discipline. Because of that, they were then able to do well in another job they ended up choosing.
Seeing those responses really sealed the deal for me; it made me realize that I do love the idea of majoring in architecture and other people’s opinions shouldn’t matter as much. I still think listening to other people’s opinions and points of view is important as it helps us consider our options. But ultimately, the decision should fall into your hands, not others.
So when I do become an architect, I want to create an environment where people can thrive and it should be able to prove itself useful from generation to generation. As of now, I still don’t have a clear picture of what it could be, but hopefully in the future, I will.
Nama saya Vannesa, saya lahir di sukabumi dari keluarga bersuku bugis. Saya kecil tinggal di Palu Bersama kakek dan nenek saya sampai saya berusia 5tahun kembali ke Jakarta. Saya kecil tidak mengenal ayah dan ibu saya sampai di Jakarta pun saya memanggil ayah(tiri) dan ibu saya dengan sebutan om dan tante. Setelah 2 hari beradaptasi lalu saya memanggil orang tua saya dengan sebutan mami dan papi.
Selama saya kecil hingga saya SMP kelas 1 saya selalu menggagap papi adalah ayah kandung saya. Walaupun saya suka bertanya kepada mamah saya ‘kenapa di akte saya nama papi berbeda dengan akte di adek2?’ mama saya selalu menjawab ‘itu dulu nama papi sebelum ganti nama, sekarangpapi udah ganti nama makanya di akte sama di KK beda’ dan setiap kali saya nginep dirumah tante dari keluarga mama saya , saudara–saudara saya bilang kalua papi saya ini bukan ayah kandung tapi tiri. Saya yang masih SD pun tidak peduli dengan omongan saudara–saudara saya karena saya tidak percaya dan mamah saya juga selalu meyakinkan kalua papi itu benar ayah kandung saya.
Hingga akhirnya pada saya kelas 1 SMP , wali kelas saya bertanya lebih dalam tentang keluarga saya kenapa nama ayah saya di KK berbeda dengan adik-adik saya dan saya harus menegaskan dan bertanya kembali kepada mamah saya, setiap hari saya overthinking memikirkan itu, sampai pada akhirnya saya menemukan buku nikah lama mama saya dengan nama kandung ayah saya yang di akte. Saya bertanya kepada mamah saya dengan memberinya bukti, setelah mengetahui bahwa papi adalah ayah tiri saya kecewa dan menangis sejadi-jadinya karena ayah tiri saya begitu baik tidak pernah membeda-bedakan anaknya sampai mami dan papi ceraipun beliau tetap menafkahi saya.
Saat saya kelas 2 SMP papi membawa bayi hasil selingkuhannya ke rumah dengan alibi menemukan anak, mami saya bukan orang bodoh yang gampang ditipu. Namun mami berpura-pura tidak tahu dan merawat anak itu seperti anak sendiri dan sudah sangat sayang. Namun keluarga besar dari mami saya tau gosip itu menyebar dan mami saya disuruh pisah dan mengembalikan anak itu kepada papi saya dan selingkuhannya, disana saya melihat ketulusan dan sayangnya mami kepada anak itu walaupun baru dirawat hanya 3 bulan mami saya menangis saat dikembalikan kepada ibunya.
Setelah itu papi saya tinggal dirumah kakaknya bersama istri baru nya yang jarak dari rumah kami tidak begitu jauh hanya beda rt, kami setiap minggu suka bertemu dengan anaknya papi bersama adik-adik saya , dan suka diajak makan malam bersama dengan om saya. Setelah itu papi saya pindah tidak tinggal Bersama kakaknya dan kami tidak ada komunikasi lagi, tidak lama papi saya kembali lagi dengan berstatus sudah cerai istrinya dan menyewa kos jaraknya dekat juga dengan rumah kami hanya beda rt. Dari situ papi selalu menghabiskan waktu bersama kami setiap malam minggu pun papi selalu ajak kami jalan-jalan ke kemayoran kuliner street food dan sering berenang di apartement pramuka.
Sampai pada akhirnya saya kelas 3 SMP semester 2 papi suka sakit-sakitan kami anak nya yang mengurus papi di kos nya pulang pergi setelah pulang sekolah. Setelah beberapa minggu papi pingsan dibawa kerumah sakit sumber waras di rawat dan dinyatakan mempunyai penyakit kanker paru-paru dan lambung, untuk kedua kalinya saya melihat papi menangis dan memeluk saya di rumah sakit sambil memberi nasehat-nasehat pertanda kalau umurnya sudah tidak panjang lagi. Setelah itu tanggal 30 september 2016 papi dinyatakan meninggal. Kehidupan setelah papi meninggal tidak begitu banyak yang berubah karena sebelumnya 1 tahun kami tidak tinggal seatap dengan papi
Akhirnya saya lulus dan mempunyai pacar yang dulu nya kakak kelas saya di SMP dia masuk ke SMK dengan jurusan Teknik mesin, disaat itu saya bingung harus masuk kemana? Apakah SMA atau SMK 1 sekolah dengan pacar saya saat itu. Akhirnya saya memilih SMK daerah Jakarta Barat atau biasa disebut dengan julukan ‘STM CAMPJAVA’ bareng dengan pacar saya. Namun saya memilih jurusan DPIB (Desain Permodelan dan Informasi Bangunan)
Masa-masa selama SMK saya begitu banyak kesan, saya menemukan sahabat saya dan teman-teman saya, dari sifat pun sangat berbeda jauh dengan SMP dulu yang pertemanan nya menetukan circle, berbeda dengan STM semua mementingkan kesolidaritasan yang sangat tinggi walaupun ada sisi gelapnya yaitu tawuran, tapi kalau dilihat dari sisi positifnya sangat banyak dan sangat sedikit sekali konflik tentang bullying.
Saya dahulu pernah mengikuti semua eskul yang ada di sekolah seperti basket,pramuka,osis,paskibra,band, dan teater, namun yang bertahan lama hanya osis,pramuka, dan paskibra. Saya sempat memgikuti lomba untuk 17 agustus di istana negara namun gagal, alasan saya megikuti banyak ekstrakulikuler karena saya ingin memperbanyak pertemanan dan benar saya dahulu banyak sekali teman dari berbagai jurusan hingga ke Angkatan atas saya banyak kenal dan dekat.
Hubungan saya dengan pacar saya itu hanya motivasi supaya punya semangat belajar dan semua guru pun tau kami berpacaran namun ke hal yang positif, saya memperbanyak eskul dan pacar saya saat itu selalu lembur sekolah untuk memperdalam ilmu dengan kaka kelas dan guru-guru jurusannya.
Di sekolah juga saya mengikuti LSP dan sertifikasi lainnya dan semua itu sangat berkesan bagi saya yang paling saya ingat saat sertfikasi di citeurep kami untuk pertama kalinya menginap di sebuah mess milik PUPR dan sekolah kami angkatan pertama yang mengikuti sertfikasi disana disana kami memiliki banyak momen bersama teman-teman selama 3hari 2 malam.
Dan saya juga mengikuti PKL dan untuk pertama kalinya kelompok saya PKL di KJSKB martin lay dan rekan , biasanya sekolah kami PKL di proyek2 bangunan. Namun kelompok saya untuk pertama kalinya PKL dengan pekerjaan pengukuran tanah kerumah-rumah warga dan membuat sertifikat rumah gratis program pemerintah
Lalu setelah itu tidak lama saya sudah mau lulus dan mau ujian namun tiba-tiba covid melanda di tahun 2020, akhirnya kami tidak mengikuti ujian nasional namun hanya ujian sekolah saja. Dan lulus mencari kerja pun susah, saat itu pacar saya sudah medapatkan kerja sebelum covid. Kami terpisah oleh lockdown dan disaat itu hubungan kami renggang dan putus tidak lama saya mendapatkan pacar sekaligus sekarang menjadi suami saya.
Suami saat ini dulunya kakak kelas saya dengan jurusan yang sama beda 1 tingkatan aja, dulunya angkatan beliau nama jurusannya TGB (Teknik Gambar Bangunan) sebelum 1tahun akhirnya di ubah menjadi DPIB. Kami berkenalan melalui teman kami yang menjodohkan, awalnya suami saya yang dekat dengan teman saya namun teman saya tidak menyukai nya dan mengenalkan kepada saya.
Dan suami saya juga sudah bekerja sebagai drafter sampingan dan sales wifi yang menjadi pekerjaan utama disaat covid banyak sekali orang memasang wifi dan penghasilannya pun lebih dari cukup mencapai 2 digit dan suami saya sudah mempunya tabungan untuk kami menikah.
6 bulan berlalu saya nganggur akhirnya saya mendapatkan pekerjaan sebagai admin di online shop daerah muara karang, banyak pait asam manis yang saya lalui selama bekerja termaksud dalam hal asmara saya dengan suami yang lebih berdinamika.
Akhirnya saya menikah pada 12 februari 2022 saya tetap bekerja dan pada bulan juli 2022 suami saya bekerja di perusahaan PT Ultima asia network dibidang periklanan dan suami saya bekerja dibagian creative menggambar produk atau booth untuk event dengan menggunakan software
Lalu pada bulan agustus saya hamil anak pertama dan bulan September saya resign dan bekerja di PT Pison berkat abadi di bidang menjual property bahan bangunan saya bertahan hanya 2bulan karena saya mabok hamil dan tidak kuat.
Lalu saya memutuskan untuk kehamilan pertama saya tinggal bersama orangtua sampai saya lahiran dan saya tidak bekerja. Anak saya lahir di tanggal 3 mei 2023 dengan cara melahirkan normal namun di vaccum dengan berat 3,6kg dan Panjang dan Panjang 51cm berjenis kelamin perempuan, banyak momen dimana anak saya harus di perina selama 11 hari dan saya mengalami babyblues bulan, namun saya mempunya mertua dan suami yang sangat sayang terhadap saya sehingga babybluesnya tidak berkelanjutan
Lalu mama saya menyarankan saya untuk kuliah demi masa depan saya dan anak saya, dan mama saya menyarankan saya untuk kuliah di BINUS University dan mengambil jurusan arsitektur karena sebelumnya saya ber sekolah di smk dengan jurusan design, mama saya ingin saya lanjut kuliah dan biaya ditanggung oleh mama saya
Saya di suruh fokus untuk sekolah dan anak saya dicarikan orang untuk menjaga nya , dan alhamdulillahnya anak saya di jaga dengan saudara dari suami saya sendiri dekat dengan rumah saya dan suami juga
Mama saya juga ingin saya sukses menjadi konsultan dan beliau juga ingin menantunya atau suami saya segera menyusul saya dengan kuliah arsitektur juga jika ada rezeki lebih, perjalanan hidup saya masih paanjang saya sangat bersyukur mempunyai kesempatan untuk kuliah di BINUS University dan mempunyai teman-teman yang sangat suportif
Saya dan saya juga sangat senang lingkungan di perkuliahan dengan vibes yang positif, walaupun saya gap years 3 tahun tidak membuat saya minder atau malas mencari ilmu.
Walaupun teman-teman smk saya yang kuliah sudah mau skripsi dan saya hanya seorang maba, itu malah menjadi pemanfaatan saya untuk belajar kepada teman saya yang sudah berkuliah lebih dahulu dan teman saya yang sudah bekerja lama dengan kontraktor
Ada kalanya saya merasa bangga jika ilmu saya yang ada di smk saya bagikan kepada teman teman kuliah saya walaupun tidak banyak setidaknya sedikit ilmu itu bermanfaat. Saya akan terus berjuang dan bersungguh-sungguh dalam kuliah agar ilmu yang saya dapatkan dapat bermanfaat bagi saya dan orang lain.
Mahasiswa merupakan salah satu komponen dari sebuah perguruan tinggi yang memiliki keinginan untuk mengenyam pendidikan tinggi karena di latar belakangi cita-cita dan kegigihan mereka yang kuat. Perguruan tinggi adalah sarana pendidikan tingkat lanjut yang memiliki berbagai bidang pembelajaran untuk mendukung pengetahuan dan pengalaman mahasiswa, Salah satunya adalah jurusan arsitektur.
Arsitektur merupakan ilmu yang mempelajari untuk mengatasi permasalahan dalam infrastuktur di bidang pembangunan. Mahasiswa arsitektur bukan hanya seorang pelajar melainkan mereka adalah seorang seniman, pemecah masalah, juga visioner. Hari-hari mereka dihabiskan dengan membuat sketsa, merancang, dan membuat model maket. Mereka membenamkan diri dalam studi bentuk, fungsi, dan estetika, Mereka belajar menganalisis ruang dan memahami bagaimana bangunan berinteraksi dengan lingkungannya. Setiap garis yang digambar di atas kertas atau setiap goresan yang dibuat di layar komputer dipikirkan dengan cermat dan dieksekusi dengan teliti.
Namun menjadi Seorang mahasiswa arsitektur bukan hanya tentang keterampilan teknis, ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang sejarah, budaya, dan masyarakat. Mereka harus menguasai teori arsitektur dan mampu mengartikulasikan ide-ide mereka melalui esai tertulis atau presentasi lisan.
Beban kerja terkadang sangat berat. larut malam dihabiskan di studio untuk memenuhi tenggat waktu atau berjam-jam dihabiskan untuk melakukan riset untuk proyek, tetapi mahasiswa arsitektur berkembang di bawah tekanan. Mereka tahu bahwa setiap proyek adalah kesempatan untuk mendorong batasan dan menciptakan sesuatu yang benar-benar luar biasa, Terlepas dari tantangan yang mereka hadapi, mahasiswa arsitektur tetap tangguh. Mereka memiliki tekad yang teguh untuk berhasil dan membuat jejak mereka di dunia desain.
Disinilah saya yang telah menjadi mahasiswa baru jurusan arsitektur selama 2 minggu. Dengan almamater universitas Bina Nusantara menjadikan diri saya sendiri bangga terhadap apa yang telah saya lalui untuk sampai di titik ini. Karena saya adalah salah satu dari sekian siswa high school fresh graduate yang memilih jalan gap-year atau bisa diartikan, jeda untuk beristirahat dari pendidikan formal. Banyak faktor dan peristiwa yang terjadi selama kurang lebih setahun ini, dari tahun 2022 hingga 2023, yang menjadikan saya harus harus menjalani pilihan yang berat bagi saya.
Perkenalkan, saya adalah Tyashabriya Amalia Sukahir, pemuja musik bergenre Classical dan Lo-Fi. Lahir di keluarga semi-hangat ini pada tanggal 12, bulan mei, tahun 2004 di kabupaten tangerang, lebih tepatnya klinik bidan di kecamatan sukabakti. Saya anak kedua dari dua bersaudara. Kakak saya adalah pria gagah nan cuek yang berselisih 6 tahun dari saya. Ayah saya adalah pekerja negri sipil yang berasal dari jawa tengah, semarang. Beliau merantau ke tangerang untuk melanjutkan studinya, lalu bertemu ibu saya dan menikah pada tahun 1988. Ibu saya asli sunda, kabupaten tangerang. Beliau adalah ibu rumah tangga yang hebat pula sesosok yang selalu saya harapkan apresiasi dan senyumannya. Saya merupakan anak terakhir dari keluarga semi-cemara ini, membuat saya menanggung beban sebagai “harapan terakhir” kedua orang tua saya.
sekolah menengah pertama ( SMP ) adalah saat-saat dimana saya sudah mulai mencari jati diri saya. Dan cerita ketika semasa SMP-lah yang selalu ingin saya ceritakan ulang kepada orang lain. Mencari jati diri bukanlah perkara hal “kamu suka apa”, atau “hobi kamu apa”. Tetapi jati diri adalah dimana ketika kita telah tau arti makna hidup yang sesungguhnya. Untuk apa, siapa, bagaimana kita hidup di dunia ini juga Saat dimana ketika kita sudah mulai mengenal dan menerima diri kita sendiri. Dan ini adalah hal yang harus bahkan wajib disadari sejak dini. Karena kita, hidup, butuh tujuan dan arti.
Arsitektur bukanlah pilihan pertama yang saya perjuangkan saat menjelang kelulusan Sekolah mengah keatas ( SMA ), Karena pada saat itu saya sangat merasa kurang pada kemampuan saya dan tidak memiliki keyakinan diri. Saya memilih DKV sebagai alternatif lain untuk pembelajaran tingkat lanjut. Namun ada keraguan pula didalamnya, karena hati saya masih kagum dan terpikat pada pembelajaran di bidang arsitektur, namun saya belum memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk memperjuangkannya. Tetapi ayah saya selalu mengatakan bahwa segala sesuatu harus dicoba terlebih dahulu dan tidak perlu ada yang ditakutkan.
Pilihan adalah hal yang masih sulit saya putuskan. Namun, lambat laun saya mulai menemukan jalan keluarnya, Saya belajar mempertimbangkan suatu pilihan dengan kemungkinan-kemungkinan lain. Seperti jangka panjangnya, dampaknya, resiko yang lebih kecil, dan manfaat yang saya dapatkan. Akhirnya saya memutuskan untuk memperjuangkan S.Ars ini dengan rasa tanggung jawab penuh. Karena saya lahir dikeluarga dengan berpegang teguh prinsip bahwa yang dimulai harus di selesaikan, maka saya harus menyelesaikan pilihan saya ini dengan menerima teguh berbagai resiko didalamnya.
Sekitar 1 tahun 5 bulan sebelum saya benar-benar menjadi Mahasiswa Arsitektur, banyak persiapan yang saya lakukan, sambil menjalani aktivitas lain seperti kursus mempelajari software AutoCAD, membeli bahan-bahan yang diperlukan, juga mempelajari teknik menggambar baru. Saya juga berlatih bagaimana agar dapat menarik lurus tanpa menggunakan penggaris. Lalu mulai menggambar tanpa menggunakan sketsa pensil terlebih dahulu, lalu mulai mencoba melukis dengan water colour. Sangat mudah untuk dilakukan, karena pada dasarnya saya sangat menyukai menggambar, dan semua hal berbau seni.
Sejak kecil saya sudah di sodorkan berbagai soft kill oleh orang tua saya. Saya mengikuti banyak kegiatan perlombaan juga berbagai kursus seperti bermain instrumen, kelas berenang dan yang lainnya. Hingga akhirnya saya dapat melalukan berbagai hal namun sayangnya tidak mahir di bidang apapun, dikarenakan tidak ada yang di fokuskan disalah satu bidangnya saja. Itu yang membuat saya kecewa terhadap diri saya sendiri dikarenakan telat menyadari hal tersebut lebih awal. Tetapi itu bukanlah sebuah hal yang harus disesali. Karenanya pula, saya jadi bisa melakukan berbagai hal yang belum tentu semua orang mampu. Dan saya bangga terhadap perubahan-perubahan kecil di diri saya sendiri. Sisanya, saya harus mulai memfokuskan keterampilan saya di satu bidang saja.
Ada beberapa hal menarik yang terjadi selama persiapan pra-kuliah ini. Yang pertama ketika di awal tahun 2023 ini. Saya dengan memberanikan diri memulai bisnis kecil dengan modal seadanya dan keterampilan yang masih belum terlalu mahir. Saya berjualan buket yang bunganya terbuat dari kawat alumunium yang dililit dan dibentuk menjadi bentuk berbagai jenis bunga. Saya sangat bersemangat ketika mempromosikan produk ciptaan saya sendiri saat pertama kalinya. Saya belajar berjualan, melayani custumer, mencatat pendapatan dan pengeluaran pula membuat produk sendiri dengan kualitas terbaik. Saya mempelajari ilmu perdagangan sedikit demi sedikit dengan tujuan ingin menciptakan pasif income saya di waktu dini. Dan sekarang masih terus berproses.
hal yang paling menarik lainnya adalah ketika adanya pembengkak kan besar kelenjar getah bening (KGB) di leher sebelah kanan dan kiri saya yang harus ditindak lanjuti dengan oprasi untuk diambil sampel jaringnnya. Saya didiagnosis TB (tuberkolosis), Dan tepat 2 minggu sebelum perkuliahan normal pada bulan agustus 2023 ini. Sesuatu yang sangat tidak pernah terduga dan harapkan seumur hidup saya. Namun, yang saya pelajari dari ayah saya adalah bahwa hidup harus selalu di syukuri, dan semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.
Penyakit ini memang mempengaruhi banyak hal baik dalam hidup saya. Bukan karena penyakit ini saya menjadi bahagia, tapi karenanya saya menjadi lebih dekat dan lebih terbuka kepada ayah saya, dan merasa lebih dekat dengan ibu saya. Kedekatan ini yang membuat saya lebih mengerti apa yang mereka pikirkan selama ini. Membuat saya lebih ingin menghadapi ketidaksamaan kepribadian keluarga semi-cemara ini. Tidak ingin menghidar lagi seperti hal yang sudah terjadi, saya akan mencoba berulang kali untuk menemukan titik tengah keluarga ini. Akan saya hadapi trauma ini demi dapat membangun momen berharga bersama keluarga saya secara lengkap. Saya percaya, bahwa hidup dengan selalu mensyukuri hal-hal kecil akan membuat kita selalu merasa tenang dan bahagia.
Saya menyadari, bahwa setiap momen adalah hal berharga yang harus diabadikan. Dengannya saya memilih jurusan arsitektur, adalah sebagai jembatan pembelajaran saya untuk dapat mengabadikan momen dan cerita berharga dalam sebuah struktur bangunan yang kokoh dan dinamis, yang dimana setiap ruangnya memiliki cerita tersendiri, Ukiran, lekukan, luas ruang, bahkan bentuk furniturenya. Saya ingin diri saya berarti untuk orang lain. Ingin menjadi alasan untuk mereka tetap hidup, dengan saya sebagai aplikator momen berharga mereka kedalam struktur bangunan tersebut. Karena saya yakin, bahwa arsitek bukan hanya sebagai orang yang mendesain bangunan. Namun dia lebih dari itu. Dia adalah orang yang menciptakan momen ke dalam ruang, dia adalah yang mengabadikan cerita kedalam ukirannya dindingnya.
Sebagai anak yang baru saja memasuki dunia perkuliahan tentang arsitektur. Saya tidak pernah se-semangat ini untuk menerima materi. Saya adalah tipikal pengantuk dan bosan-an ketika dikelas materi, namun tidak untuk pelajaran arsitektur, Itu yang membuat diri saya merasa mendapatkan validasi lebih kuat lagi untuk tetap bertahan di aliran ini. Banyak tugas dan materi yang menumpuk, namun tak seberat seperti biasanya saya mendapat materi fisika maupun kimia. Ada pembuatan model maket, yang dimana saya sangat menyukai hal tentang hand-craft. Arsitektur membuat saya nyaman berekspresi dan hal ini adalah seperti sesuatu yang selalu saya nantikan setiap harinya. Saya mulai mencintai arsitektur sejauh saya mencintai harum dan rasa nasi goreng buatan ibu saya. Yang selalu dinantikan, dan dirindukan.
Saya percaya, bahwa sesuatu yang kita lakukan dengan sepenuh hati akan selalu mewujudkan hasil yang maksimal. Dengan begitu, memilih jurusan untuk jenjang perguruan tinggi bukanlah sesuatu yang harus dilakukan secara tidak terencana. Karena ini menentukan masa depan yang harus seperti apa dan bagaimana nantinya. Tanyakan kepada diri kalian sendiri sejak sedini mungkin. Pilihlah sesuai yang kalian minati dan memiliki peluang yang besar, atau bahkan ciptakan peluang itu sendiri. tidak ada kata terlambat untuk selalu berubah ke arah yang lebih baik. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali dan Lebih baik memulai lebih awal dari pada terlambat.
perkenalkan nama saya thufail saya lahir di bekasi pada tanggal 5 april 2005 yg dilahirkan oleh orang tua yg bernama pak asep tommy taryana dan ibu barkah nihed, saya lahir menjadi anak ke 5 dari 7 bersaudara, anak pertama saya bernama nabila, yang kedua ada fachreza, yang ketiga ada dalhats, yg ke empat najwa, yg ke lima saya sendiri thufail, yg ke enam dubies, dan yg ke tujuh dan terakhir adik saya bernama durar. saya lahir dari keluarga yg alhamdulillah berkecukupan, saya bisa merasakan pendidikan dari TK SD SMP SMA dan yang saya sangat bersyukur saya bisa menduduki perkuliahan di Universitas Bina Nusantara atau BINUS, universitas yg sangat saya banggakan ini.
Ayah saya berumur 53 tahun, dia seorang Wirausaha yang hebat saya sangat bangga dengan dia, dan Ibu saya seorang Ibu Rumah Tangga yg hebat juga saya sangat sayang dengan dia.
saya punya keluarga yg memiliki kemampuan di bidang olahrga, dan menekuni semua olahraga, tapi ada satu olahrga yg sayang kami tekuni yaitu Badminton, orang tua saya sangat men support kita dimana saya pada kelas 1 sd sudah dilatih untuk mendalami olahraga badminton, dengan cara mengikuti pelatihan badminton atau yg biasa di sebut PB, saya mengikuti pelatihan ini sembari sekolah, dalam waktu seminggu saya menghabiskan 5 hari untuk pelatihan badminton yang membuat saya bisa mengikuti banyak perlombaan dan memenanginya, kakak kakak saya semua atlet badminton, itu yg membuat atau membangun ayah saya membuat lapangan atau gor badminton dirumah saya, sampai saya berada di kelas 6 sd atau mendekati ajaran baru untuk melanjut jenjang smp, saya berhenti mengikutin pelatihan badminton dan melanjutkan pelatihan mandiri atau private, ayah saya memanggil atlet professional yg bernama fikri untuk menjadikan pelatih untuk anak anaknya, saya berlatih dengan coach fikri dengan beranggotakan saya kakak saya dan adik saya, disitu saya tidak lama berlatihnya sampai 2 tahun saja, disitu saya disuruh ibu saya untuk fokus menuntut ilmu tapi saya masih menjadi pemain badminton hingga saat ini, saya banyak mengikuti tarkam tarkam, atau yg biasa disebut antar kampung, dan saya masih aktif dalam bermain badminton bersama abang abang saya dirumah, saya suka bermain di gor badminton saya sendiri dengan menunggu member member yang ada dirumah saya selesai biasa pada pukul 11 malem, dan saya baru bisa bermain pada pukul 11 malem hingga larut malam, bisa sampai jam 1 jam 2 dan pernah sampai azan subuh sampai jam 4, saya sangat menggemari olahraga badminton.
disamping itu saya sekeluarga juga menjadikan minni soccer atau futsal menjadi olahra ke dua saya dan abang abang saya serta adik adik saya, kita aktif melakukan olahraga sepak bola atau futsal bisa sekali dalam seminggu, saya bermain dengan keluarga saya dan teman teman kakak saya, kami sangat menyukai olahraga tersebut selain untuk kesehatan, olahraga tersebut memang menyenangkan.
karena ayah dan abang abang saya adalah orang yang pekerja keras, itu yg membuat saya menjadi pekerja keras juga, saya sangat menyukai berjualan kecil kecilan karena menurut saya dimulai dari hal itulah yg kita membuat percaya diri dalam hidup kita, saya melihat jejak abang saya yang menjadi pengusaha, dan memiliki berbagai usaha dari bidang makanan, pakaian, dan minuman, saya tertarik dan saya mulai berjualan pada saya ber umur 15 tahun, saya dan kakak saya tertarik berjualan makanan seperti ricebox dan saat itu konsomen saya kebanyakan temen temen SMP saya dan temen temen SMA kakak saya, saya sangat suka melakukan hal hal seperti memasak, menata makanan, membuat packaging agar menarik, dan memasarkan makanan melalui media sosial atau mulut ke mulut, sampai sampai saya sewaktu sedang melalukan kelas pembelajaran daring pada kelas 1 SMA karena sewatu itu sedang ada pandemi covid-19 saya mengikuti zoom dirumah dan saya meninggalkan laptop saya untuk mengantarkan pesanan makanan jualan saya, saya sangat menyukai hal hal yg berangkut pautnya dalam bejualan, sampai dimana pandemi sudah berakhir dan sekolah sudah normal kembali, saya berhenti dalam berjualan dan mengikuti sekolah seperti biasa lagi.
dan lagi lagi saya memiliki pengalaman dalam berjualan atau berdagang sewaktu 2021 saya menjadi jualan musiman, saya memiliki kaka dan pacarnya seorang pengusaha di bidang tekstil dan mempunyai usaha baju koko, sarung, sajadah dan sejenisnya, dia saya jadikan supplier dan saya menjualnya di sekitaran rumah saya, saya berjualan dengan kakak saya dan mendapatkan profit yang lumayan, dan itu yang menjadikan saya sebagai orang yg bekerja keras dan lebih dari percaya diri, di 2022 saya menjalani hal yang sama, tapi kali ini saya berdagang dengan teman smp saya yang bernama juan, kita berjualan dengan cara marketing yg lebih bagus, dengan memanfaatkan media sosial, dan menjadikan barang kita laku dan mendapatkan banyak pesanan, dan ayah saya juga membantu proses penjualan dengan cara membuat status whatsapp dan sangat banyak pesanan dari teman teman kerja nya.
oiyaa saya tinggal di cikarang dengan tempat yang banyak dengan pabrik pabrik, dan yang jelas sangat panas.
menurut saya, saya orang yg bisa berkembang dengan lingkungan saya, saya alhamdulillah bisa mengikuti alur kehidupan dengan baik, tanpa mengikuti pergaulan pergaulan bebas di dunia remaja yang sangat menyeramkan, alhamdulillah dengan didikan orang tua saya terutama ibu saya yang selalu mengingatkan saya atau mengajarkan saya apa itu pentingnya agama, saya lahir dari keluarga yang ber agama islam dan sangat mengikuti ajaran agama islam dengan baik, saya tidak pernah berbuat larangan yang diajarkan di agama saya sendiri alhamdulillah, saya jarang meninggalkan sholat walaupun sholat tidak tepat waktu, saya tidak pernah berbuat curang dalam ibadah puasa, alhamdulillah dari keluarga yg berkecukupan saya sudah pernah menunaikan ibadah umroh, itu pengalam yang menurut saya tidak akan pernah saya lupakan, alhamdulillah saya pernah umroh 2 kali, pertama dikelas 3 sd dan yg kedua di kelas 12 pada akhir tahun 2022.
saya sangat menyukai lagu rizky febian dengan semua judul, karena menurut saya lagunya sangat penuh dengan makna
saya memilihin jurusan arsitektur karena sejak sd saya suka menggambar gambar bangunan, seperti rumah, gedung gedung, dan kontruksi kontruksi jalanan, dari situlah saya bermimpi ingin menjadi arsitektur ternama didunia, saya mencintai arsitek sampai saya mencari tahu di youtube, instagram, dan tiktok tentang apa itu arsitek.
Seorang perempuan yang bernama The Jenifer, tentunya tentunya memiliki nama yang menarik di bagian depannya. Sebenarnya The yang di baca teh merupakan marga dari keluarganya. The Jenifer merupakan anak kelahiran tahun 2005. Ia lahir pada tanggal 11 Januari 2005, berzodiak Capricorn, bergolongan darah B, bola matanya berwarna coklat tua, rambut hitam legam agak bergelombang. Jen adalah panggilan akrab nya, ia berasal dari keluarga yang biasa saja, ia memiliki almarhum ayah yang bekerja sebagai entrepreneur, seorang ibu yang sekarang ini sebagai ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga, dan seorang kakak perempuan yang umurnya berpaut 16 tahun darinya, Jenifer sendiri merupakan anak bungsu di keluarga kecil itu. Kedua orang tua Jen selalu mengingatkan Jen untuk selalu berbuat baik dan jangan menjadi orang yang jahat, harus menjadi orang yang sopan dan tahu aturan. Sedari kecil Jenifer tinggal dan besar di Jakarta sehingga memberikan efek samping yaitu ia terbiasa hidup tanpa kesulitan dan serba tercukupi kebutuhannya, karena di Jakarta semua fasilitas mudah ditemukan dan di akses, tidak seperti di pedalaman yang membutuhkan usaha lebih ekstra lagi untuk menemukan dan mengakses sesuatu. Karena sudah lama hidup di Jakarta, Jen sempat terfikir untuk pindah ke kota atau negara lain. Jen terpikir untuk pindah ke kota atau negara lain karna Jen ingin merasakan suasana, pergaulan, kehidupan yang baru di kota atau negara lain.
The Jenifer merupakan seorang yang beragama Katolik, ia di baptis saat masih kecil dengan nama baptisnya Angelina yang berarti seorang Ratu yang hebat. Nama baptis itu merupakan nama yang dipilih oleh dirinya sendiri. Selama ia memeluk agama Katolik, ia sudah melewati atau mengikuti banyak hal dalam agamnya seperti sudah komuni dan menjalani sakramen krisma serta sakramen tobat. Di setiap minggunya ia pasti selalu meluangkan waktu untuk pergi ke gereja. Di dalam gereja ia merasa suasana hatinya menjadi damai, tenang, senang dan masih banyak lagi. Selain dari suasanya ia juga suka ke gereja karna di gereja lagu sangat menenangkan hati dan pikirannya.
Ada sebuah lagu yang berjudul Can’t Help Falling In Loveyang di bawakan oleh Elvis Presley sangat memorable baginya, lagu ini adalah lagu pertama yang ia nyanyikan saat performacara Valentine’s Day dengan kekasihnya. Jenifer sangat gemar bernyanyi dan mendengarkan musik, ia kerap kali mendengarkan musik saat sedang bosan. Terkadang ia juga menggambar abstrak, berbicara tentang menggambar, Jenifer mengambil jurusan perkuliahan Arsitektur, Jenifer mengambil jurusan ini karena ia tertarik dalam bidang properti dan sesuai dengan hobinya yaitu menggambar. Dari skala 1 – 10, Jenifermencintai arsitektur dalam skala 7 karena ia masih menggali lagi tentang arsitektur itu sendiri, ada pepatah “tak kenal maka tak sayang” ya seperti itu. Fakta mengejutkannya yaitu, awalnya Jenifer ingin mengambil jurusan business analyst tetapi ia mengubah pikirannya untuk mengambil jurusan teknik sipil, ia sudah sangat yakin tetapi pada akhirnya setelah ia mempertimbangkan beberapa hal, ia memutuskan untuk mengambil jurusan Arsitektur.
Sebelumnya pasti setiap orang memiliki cerita di masa lalu yang traumatis atau menyedihkan, tetapi Jenifer tidak pernah mengambil pusing hal-hal yang seperti itu, karena ia menganggap hal tersebut tidak pantas untuk di sedihkan, ia percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak – Nya. Ia merupakan seorang yang mudah mengikhlaskan dan memiliki prinsip “The past is in the past and I won’t look back”
Jenifer memiliki tujuan hidup yaitu;
1. Mendapatkan kehidupan yang nyaman, penuh kedamaian, dan kasih.
2. Menjadi berkat bagi banyak orang.
Jenifer tidak begitu suka membicarakan tentang dirinya, ia begitu tertutup dan tidak nyaman bila ada orang yang “kepo” dengan kehidupannya.
Ketika Jenifer berusia 4 tahun, ia memulai pendidikan di KBB TK El Shadai setelah lulus ia melanjutkan SD di Sekolah yang tidak ketahui namanya sampai dengan kelas 4 dia pindah sekolah ke SD Santo Kristoforus 2, Jakarta, kemudian setelah lulus dia melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMP di sekolah SMP Santo Kristoforus 2. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan SMA di SMAK Kasih Karunia Jakarta. Sekarang ia sedang berkuliah di Bina Nusantara University.
Saat TK, Jen pernah mengikuti lomba fashion show
saat hari Kartini dan lomba bermain angklung, ia berhasil meraih juara 2.
Saat SD, Jenifer pernah mengikuti lomba choir antar daerah, dan berhasil memenangkan lomba tersebut dengan meraih piala perunggu. Setelah lomba ini, Jenifer memutuskan untuk berhenti mengikuti choir dikarenakan kegiatan ini mengganggu kegiatan belajarnya di sekolah. Jenifer juga pernah mengikuti ekstrakurikuler biola, ia sangat mahir memainkannya, ia sempat melakukan pentas saat natal dan open house di sekolahnya, tetapi seiring waktu berjalan ia sudah lupa cara memainkannya seperti apa.
Saat SMP, Jenifer pernah menjadi anggota OSIS dan wakil ketua pramuka, ia mendapatkan penghargaan wakil ketua terbaik, ia juga pernah mengikuti ekstrakurikuler catur, setahun ia berlatih tetap tidak mahir juga karena tidak berbakat dalam bidang ini, ia juga mengikuti ekstrakurikuler musik, ia lumayan bisa mengikuti apa yang diajarkan oleh gurunya.
Ketika SMA, Jenifer mengikuti ekstrakurikuler musik dan badminton, ia sangat menggemari kedua hal ini, walau is tidak begitu mahir tetapi ia tetap menyukai kedua hal ini. Maka dari itu, saat berkuliah ia mendaftarkan diri UKM band dan badminton. Jen sempat bercita – cita menjadi penyanyi, tetapi iamengurungkan niatnya karena ia tidak begitu PD dengan suaranya.
Jen orang yang sangat tidak teratur, ia lebih suka sesuatu yang fleksibel. Tetapi, ia tidak suka mengerjakan sesuatu sehari sebelum hal itu di butuh kan, ia lebih suka dari jauh – jauh hari sebelum. Dengan kata lain ia tidak suka menunda dan menumpuk pekerjaan, ia sangat terorganisir. Tetapi musuh terbesarnya itu ialah malas, ia selalu merasa terganggu bila tidak mengerjakan sesuatu tetapi di sisi lain ia juga merasakan rasa malas. Tetapi hal ini tidak menghambatnya dalam melakukan kegiatannya.
Sedari kecil ia sangat hobi bernyanyi, saat kecil ia sangat sering bermain, seperti bermain sepeda bermain PS, ia jarang mempunyai teman perempuan. Pastinya Jen pernah jatuh dari sepeda karena menabrak mobil yang terparkir sembarangan, bagian tekukan kakinya luka terkoyak kawat, untungnya ada mamanya yang melihat kejadian tersebut, Jen segera di obati oleh mamanya. Jen sangat gemar membaca buku novel danmenonton film, biasanya saat jam 5 pagi ia bangun dan menonton film kartun, hobi ini masih ada sampai ia besar, tetapi genre film yang ia sukai berubah yaitu trailer dan horor, walau ia menyukai genre film ini, ia lebih suka menonton drama Koreadan film barat, menurutnya film Indonesia sanggatlahberlebihan, dan tidak ada faedahnya. Ia kerap kali di nasihatioleh ibunya karena ia sering bergadang untuk menonton film -film tersebut. Film seri kesukaannya adalah The Vampire Diaries, film ini ada 8 season, film ini menceritakan tentang vampir, dan manusia yang berubah menjadi vampir.
Berbicara tentang film, Jen memiliki karakter favorite nya, ia sangat menyukai Wonder Woman yang dibintangi oleh Galgadot, karena menurutnya Wonder Woman sangat kuat dan keren untuk menjadi panutan.
Saat beranjak remaja, Jen jarang sekali keluar rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah, dengan menggambar, nonton film, dan tidur. Saat sedang pandemi, ia tidak keberatan ataupun stress, karena ia sudah terbiasa di rumah saja. Ia sangat malas keluar rumah karena baginya hal tersebut buang – buang waktu dan tidak ada gunanya. Tetapi sejak SMA Jen bertemu dengan kekasihnya yang bernama Nathanael, sedari itu ia menjadi gemar keluar rumah jalan – jalan.
Jen mulai menyukai menggambar sejak 2021, ia pernah menggambar mata, bibir, dan masih banyak lagi.
Ada satu kejadian yang tidak akan pernah dia lupakan, yaitu ia pernah jatuh dari motor karena di tabrak oleh pengendara motor yang lalai, posisi Jen sedang di bonceng ibunya, mereka sedang menuju sekolah, tepat di hari terakhir Jenujian, para guru dan temannya menyaksikan kejadian tersebut, semua orang khawatir tetapi ia tidak memerdekakan tetap memaksakan diri untuk melaksanakan ujian, karena kembali lagi ‘hari terakhir ujian’, hal ini membuatnya greget, sehingga ia memaksakan dirinya untuk ujian. Hal ini tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
Jen sempat ingin berkuliah di luar negri karena menurutnya dunia properti di luar negeri jauh lebih maju ketimbang yang ada di Indonesia, tetapi ibunya tidak mengizinkan dia karena ibunya mengkhawatirkannya karena ia adalah seorang anak perempuan.
Ia sangat menyukai hewan, mulai dari mamalia sampai reptil. Jen sangat menyukai anjing yang berjenis rottweiler karena anjing ini sangat lucu, pintar, bersahabat, danmenggemaskan. Jen juga suka kelinci karena hewan ini terlihat sangat fluffy, selain hewan kelinci dan anjing. Jen juga menyukai hewan reptil seperti blue tongue, gecko, dan tarantula terutama cobalt blue, karena hewan ini terlihat sangat keren dan memiliki estetika khusus menurut Jen. Jen pernah memelihara anjing berjenis Tzitzu, ia menamainya kirlen, anjing ini berjenis kelamin laki – laki, Jen memelihara anjing ini sedari umurnya berusia 5 tahun, sampai pada akhirnya saat Jen beranjak usia 15 tahun hewan peliharaan kesayangannya itu meninggal karna sudah cukup tua. Jen sangat sedih saat hal ini terjadi karna anjing yang bersamanya selama 10 tahun pergi meninggalkannya. Sejak itu ia tidak pernah memelihara hewan apapun lagi karna takut sedih saat hewannya meninggal. Namun ia sempat memelihara ikan pemberian kekasihnya, tapi ikannya meninggal karena kelebihan makan, Jen kembali bersedih, tetapi tidak lama kemudian kekasihnya membelikannya ikan lagi lumayan banyak, namun kali ini kekasihnya yang merawat ikan tersebut, tetapi ada beberapa ikan yang meninggal. Karna takut kejadian yang lalu – lalu terjadi lagi, sekarang Jen lebih sering mengingatkan kekasihnya untuk memberi makan ikan – ikan tersebut.
Sebenarnya masih banyak hal lagi tentang seorang The Jenifer, tetapi ia sanggatlah tertutup sehingga sangat sulit sekali untuk mengetahui informasi pribadi tentang dirinya.
Nama saya Thalita Syahla Muqoddas, Saya lahir di kota kecil di Banten yaitu Cilegon. Saya berasal dari keluarga sederhana, papa saya bekerja di perusahaan konstruksi dan mama saya bekerja di bidang perminyakan. Saya anak ke satu, mempunyai adik perempuan yang umurnya beda 6 tahun adalah sebuah tantangan, dimana kita harus bisa mencontohkan untuk menjadi perempuan yang kuat dan tangguh serta harus bisa mencontohkan hal-hal untuk pertahanan diri, dimana sekarang perempuan seringkali menjadi korban kejahatan laki-laki tidak bertanggung jawab. Saya berasal dari suku sunda dan suku jawa.
Dari kecil saya tinggal bersama Eyang uti dan Eyang kakung saya karena papa saya sering kali tugas di luar kota dan mama bekerja dari pagi hingga sore hari. Meskipun mereka sangat sibuk tapi mereka selalu memberikan kualitas pendidikan yang sangat baik. Dari Playgroup sampai SMP saya bersekolah di Mutiara Bunda Cilegon, kemudian dilanjut SMA di SMA Negeri 2 Krakatau Steel dan sekarang saya berkuliah di BINUS UNIVERSITY. Sebelum saya berkuliah di BINUS saya mendaftarkan ujian mandiri di itb, Ipb dan unpad tapi ternyata saya berakhir dengan BINUS. H-3 jadwal FYP saya adalah pengumuman unpad, H-1 FYP saya pindah ke kos dan disitulah kehidupan kost saya dimulai.
Saya tidak pernah bosan atau merasa capek untuk hal yang namanya traveling, sedari kecil saya kurang betah dirumah, tapi keadaan yang membuat saya stay di rumah dengan waktu yang cukup lama. Orang tua saya serta kedua eyang saya sangat strict dengan pertemanan saya, yang ada dipikiran saya karena saya anak dan cucu perempuan pertama jadi mereka terkadang sangat overprotective.
Sekarang Anak sekaligus cucu yang dulunya mempunyai peraturan yang sangat strick ini sudah bisa tinggal sendiri di kos untuk menempuh jenjang perkuliahan di BINUS. Saya tidak menyangka bahwa sekarang saya merasakan kuliah dengan jurusan yang saya sangat bangga banggakan dan idam idamkan yaitu Arsitektur. Saya berdoa semoga setelah lulus saya bisa bermanfaat dengan ilmu yang saya dapat di jenjang yang baru ini serta dapat melewati masa perkuliahan dengan lancar, aman dan nilai bagus.
Karena saya sangat suka sekali dengan traveling cita-cita saya saat sudah bisa berpenghasilan sendiri adalah saya ingin sekali bisa menjelajahi banyak negara. Selain suka traveling saya juga suka berbelanja, meskipun ada yang berkurang tapi saya percaya bahwa uang yang habis akan datang kembali, meskipun tidak langsung tetapi buat saya itu menjadi hiburan dikala uang saya habis. Dari kecil saya suka ikut eyang uti, dan eyang kakung jalan jalan. Meskipun hanya ke rumah saudara tapi itu letaknya di lain pulau ataupun di pelosok desa. Selain di dalam negeri ada beberapa negara yang sudah pernah saya kunjungi seperti Singapore, Turki, dan Mekkah.
Tiga negara itu memberikan kesan dan pengalaman yang berbeda beda. mulai dari singapore, sejak TK saya suka ke singapore, terakhir ke singapore tahun lalu itu adalah hadiah ulang tahun saya dari kedua orang tua saya. setiap saya ke singapore saya selalu berpendapat bahwa rata rata penduduk negara tersebut berasal dari Tionghoa, Melayu, India, Arab dan lainnya. Mereka sangat gerak cepat, beda dengan di indonesia. Di singapore tempat yang selalu saya kunjungi adalah USS saya suka sekali dengan wahana-wahana yang menantang seperti disana.
Tapi sayangnya terakhir kali saya kesana papa saya tidak mengizinkan saya menaiki Roller Coasternya, tidak tahu spesifiknya kenapa tapi beliau tidak mengizinkannya. Karena singapura didominasikan dengan penduduk wilayah asia selatan yaitu india, saya dan keluarga saya sangat suka sekali berkunjung di restourant india. Selain mustafa center chinatown adalah tempat belanja kesukaan saya dan keluarga saya.
Kemudian Turki dan Mekkah adalah dua negara yang saya kunjungi dalam waktu yang lumayan berdekatan. Mulai dari turki, negara yang memiliki letak diantara dua benua yaitu benua asia dan eropa serta laut yang indah. Saya senang sekali berada disana, rasanya tenang, dan nyaman, pikiran juga lebih terasa ringan. Tapi sayangnya saya kurang cocok dengan makanan mereka. Menurut saya rasanya kurang flavourfull, dari tampilannya sangat enak tapi rasanya terkadang sangat kurang berasa sedangkan saya tipikal orang yang suka makanan ‘medok’ saya sangatt ingin sekali berkunjung kembali ke turki. Merasakan dinginnya salju untuk pertama kali, vibes eropa yang sangat khas membuat saya merasa fresh.
Makkah. Saya berkunjung kesana untuk ibadah, dimana di negara tersebut saya sebagai muslim memiliki aturan aturan khusus yang harus dilaksanakan saat melaksanakan rangkaian ibadah. Tapi yang saya rasakan adalah ketenangan, sangat tenang, aman dan terasa bahagia sekali tidak pernah saya merasa se tenang itu, Makkah atau ka’bah tempat mustajab, mana doa doa yang kita bacakan Insya Allah terkabul. makanannya pun saya sangat cocok sekali, rasa khas medok bumbu khas arab yang bisa menaikan selera makan saya secara terus menerus. Tidak lupa dengan belanja, ketika saya di Makkah selain saya banyak beribadah saya menghabiskan waktu untuk eksplore toko toko dan jajanan bersama teman saya. Meskipun banyak kesasar tidak mengurangi atau mematahkan semangat kita untuk lanjut eksplore.
Sejak kecil saya suka sekali dengan dunia otomotif di bidang mobil. sejak beberapa tahun terakhir saya tidak pernah melewatkan acara pameran mobil yang biasanya terletak di BSD serpong yaitu GIIAS. Koleksi mainan mobil saya yang saya kumpulkan sedari kecil pun masih ada, jumlahnya bisa sampai puluhan bahkan ratusan, merek yang saya suka adalah HotWheels. Saat Sma akhirnya saya bisa mendapatkan mobil pertama saya, yang saya sering gunakan untuk pergi ke sekolah, diingat jaraknya yang lumayan jauh saya tidak diperbolehkan membawa kendaraan motor. Mobil pertama saya, saya upgrade seperti mengganti velg, dan saya remap. Kebutuhan dan hobi saya bisa menyatu, saya yang suka sekali berangkat mepet dengan jam masuk sekolah membutuhkan kendaraan yang cepat.
Selain traveling dan penyuka otomotif saya suka sekali makan. Karena dari kecil saya diajarkan oleh eyang uti untuk tidak memilih-milih makanan serta dikenalkan dengan banyak makanan sampai sekarang pun beliau masih memperkenalkan makanan makanan baru khas daerahnya yang saya belum tahu. Saya juga sangat suka memasak. Saya bisa memasak menu dari hasil mandiri coba coba dan diajarkan oleh mama dan eyang uti saya.
Karna Zodiak saya Cancer saya ada membaca tentang beberapa informasi bahwa cancer sangat sensitif, dan saya lumayan setuju karena terkadang saya merasa orang orang tidak melihat situasi dan keadaan dalam berbicara. Omong-omong soal bicara saya mempunyai teman dekat dari tk sampai sekarang, yaitu Anti dan Naila, mereka kedua teman saya yang sangat berharga buat saya, mereka ada di setiap suka maupun duka, senang maupun sedih. Karna tipikal saya susah bergaul jadi kebanyakan orang yang baru pertama kali ketemu dengan saya first impression saya adalah orang yang sangat judes, padahal tidak, saya hanya memfilter pertemanan saya, teman saya sedikit namun saya merasa cukup karena mereka mempunyai kualitas pertemanan yang bagus, lebih rela kehilangan uang banyak dari pada saya tidak mendapatkan kualitas pertemanan yang bagus. Saya sangat over thinker dan tipikal orang yang tidak bisa tidur tenang ketika mempunyai tugas. Seperti tadi malam saya tidak tidur karena mengerjakan denah tugas pertama saya.
Selain memfilter teman saya juga memfilter lingkungan saya, jika saya merasa tidak aman atau tidak nyaman saya akan pergi dengan sangat ikhlas. Karna lingkungan dimana saya berada ataupun tinggal itu sangat berpengaruh bagi kehidupan saya dan ketenangan saya. Jujur setelah kurang lebih 2-3 bulan saya di Jakarta sampai sekarang saya masih culture shock dengan budaya budaya disini, dari harga sampai perilaku.
Olahraga yang saya sukai adalah berenang, bermain badminton, hand ball dan sedikit jogging plus gym. Semasa Smp saya beberapa kali memenangkan pertandingan badminton dan handball di acara acara sekolah saya sangat senang dalam melakukan beberapa olahraga tersebut, rasanya enjoy, relax, dan semua masalah yang saya hadapi seakan hilang, meskipun sejenak tapi setelah itu saya bisa mendapatkan pikiran baru yang fresh. Untuk olahraga seperti gym saya suka tempat tempat sepi atau khusus perempuan, karna saya yang masih sangat awam dan overthinker jadi lebih aman sepertinya di tempat tempat seperti itu.
Saya kurang suka main game, saya baru akan baru bermain game jika benar benar menemukan game yang seru buat saya, itupun kalau bisa bertahan lama ya keren. Sejauh ini game yang bisa membuat saya bermain sampai berjam jam dan tidak bosan-bosan adalah Minecraft. Di game tersebut saya dan teman lelaki saya dapat bermain hingga 8-12 jam dalam sehari. Beda dengan game yang lain yang hanya bisa bertahan 3-5 menit saja.
Dari kecil saya suka sekali pelihara hewan mulai dari kelinci, umang-umang, sampai sekarang kucing. Dirumah saya terdapat satu kucing putih jantan yang ber ras persia. Kucing putih tersebut kuberi nama geon, sebenarnya punya adik saya tapi geon kita rawat bersama sama. Sekarang geon berada dirumah dengan mama dan bibi. mama sangat memanjakan dia, dari awal dia datang kerumah badannya kurus tapi sekarang badannya sangat besar dan gembul. Dia sangat suka sekali makan dan mager mageran. Setiap saya dan adik saya pulang ke rumah dia selalu tidur di depan kamar saya dan adik saya.
Saya memiliki cita-cita yang saya harap dan doakan agar cita-cita saya ini terkabul.
Saya ingin mempunyai Rumah Consultant arsitektur sendiri, tapi disatu sisi saya juga ingin bekerja dengan arsitektur luar. Melihat dari Zaha Hadid rasanya mustahil untuk saya tapi saya harap saya bisa sukses seperti dia. Awalnya saya tidak menyangka kuliah arsitektur bisa selama itu, tapi saya terus ikhtiar dan sabar untuk melewati proses nya InshaAllah. Karena saya anak pertama jadi saya merasa tanggungan saya kedepannya akan lebih besar. Selain memberi contoh untuk adik saya, saya juga harus bisa membuat orang tua saya bangga terhadap saya, bisa berpenghasilan yang hasilnya untuk mereka. Ketika saya masuk arsi papa mama saya awalnya khawatir dengan kedepannya saya, tapi semakin kesini papa saya mulai mensupport saya. Saya berdoa semoga semua wishlist dan harapan saya bisa terealisasikan dengan baik, dan proses yang dimana saya kuat untuk jalani.
Hello, my name is Teuku Farouk Syiah Alam, rather called Alam or Lam. To clarify things before I dwelled into my stories, I came from an international school at Medan ever since i was small, so please do not think I’m using chatgpt or etc lol. This is genuinely my essay, written by me, you don’t have to believe my eloquenceness, you can simply communicate with me through English and you’ll be the judge.
To make things easy to comprehend, Im18 years old, born at Medan, North Sumatera on 10 March 2005. I’m the youngest son in a brotherhood of one older brother who is currently at university as well, just not at Binus. My dad is basically the only one who provides for my family, my mom like you guess is a housewife. Dad works at an institution that contributes to our country’s finances, but it is not part of the government, a non department, but has a direct contribution to our economy. I was enrolled in a school rather superficial to most Indonesian students, Sampoerna Academy, it was Singapore Piaget Academy before, same school but just changed management. The loop and gap from SPA to Sampoerna Academy was massive, especially in its teaching methods and syllabus. But unfortunately, I was those kids who were failing in almost every class, barely passing the minimum grade. Yep, as you guess I was those troublesome students who created absolute havoc and shenanigans at school, if students there ate lunch for their meal, my meal was getting called up by the principal on a day-to-day basis. My school life was an absolute masterpiece, it can be made as one of those Christopher Nolan movie sequences, because of the ups and downs it involves. School is always something I looked up to, until the death of my life.
Particularly because of the superbly splendid friends I made along the way. A friend that always accepts whoever you are, being real and not fake in every circumstance. A friend that tells you the truth, no matter how it hurts. These people genuinely care for my well-being and vise-versa, thus creating an analogy ‘susah senang bersama’ and they actually did, not only we had our highest highs and happiest moments together, we also experienced the lowest lows together as a unit. We always give a good impression behind their backs, despite talking shit straight to their faces. You probably thought my school life was perfect, absolutely not, why? Thanks to covid it ruined everything and myself but on the part of it, I discovered my true self. When covid hit Indonesia, we had to take online classes. Online classes also meant that we cannot interact with them f2f, although we still play online video games through discord every night. I still remember thoroughly in March 2019 when we were also so happy that our classes were online and we didn’t have to meet our teachers. Little did I know that it was the start of my massive downfall. Closest friends that I consider as a part of my family, start going on their own respective ways, departed ways with a lot of people without even saying a proper goodbye, like bro those memories we made does not exist? At that stage, I was just immature enough to understand the situation. Post-covid where school reopens, my class before covid was around 30ish (3 class), now left with just 10 students with half of it new students, 4 students who I had a history of fighting, and 1 rationale friend. That was the last year of my high school before graduation and it was worse than hell, maybe even deeper than hell god knows what it’s called.
Aight it’s becoming like a really depressing story lmao, let’s dwelled on the positive things. I love football, like love love football. Dream of going professional ever since I was little, but also knowing that the football career is impossible to reach. So I’ll gladly just be a passionate supporter. It’s funny really how football can affect my mental health and mood, especially if Man Utd is having a poor performance on the field (which they did for the past 6 years, idk what i’m doing lol, but I love this club). Moodswings hits me alot for no reason, can be hyped up like 5 seconds ago and can also look like a depressed lad 10 seconds later. Don’t really have a specific song genre, listen to all songs basically. Used to frequently go to the gym, I also thought that life would be crazy and amazing in Jakarta. Absolutely not, the traffic here is insane, most people I meet are either those really smartass geeks who shower once every month or those guys who’re against god, while inhaling and puffing coloured chemicals (vape). It ain’t easy finding the right friends here, so atm, I just spend my time alone, and I actually opt to spend time alone, as it was more peaceful. Miss my parents so much, homesick hits hard.
I took architecture in part because I believe that architecture is the orbit of the world. I want to increase the standard of quality living, connecting society to a more vibrant and robust environment. I was always good at drawing ever since I was small but ever since I received a tablet, paper and pencil just went extinct in my world, digitalization kills a lot of things, especially when life was way simpler and not as overwhelmed as today.
But those hardships I have to go through taught me a lot, both mentally and physically. It builds and creates a fundamentally strong character development, being resilient in tough circumstances. If you dont know where youre going, but you make things based on the decision that is best for you. Wherever you’re going to end up, it’s where you need to be
Slowly readjusting and adapting to a life where I do everything alone, although it took plenty of time, I can proudly say I’m where I’m supposed to be despite still figuring what’s best for myself. You don’t get what you deserve, but you get what you think you deserve, because it dictates your actions and effort despite what you get is still outside of your control. Life moves pretty fast. I’d say, I’m here for a good time, not for a long time. I felt like my peak and prime school days were yesterday, if only I could turn back time (took school for granted). You’re probably a very busy and meticulous man, so I doubt that you would read this, even if you did please keep this as CONFIDENTIAL. What’s even more funny is that the story I’m illustrating is very superficial. Law number 3 – Conceal your intentions.
Nama saya adalah Terry Wu Thong That. Saya lahir dan tumbuh di Jakarta . saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Saya merupakan orang yang cukup pemalu dan memiliki pribadi yang tertutup. Kelemahan saya adalah saya adalah orang yang pelupa sehingga untuk melakukan suatu aktivitas saya perlu mencatat nya. Saya memiliki hobi mendengarkan musik. Saya memasuki jurusan arsitektur karena saya memiliki rasa penasaran pada bagaimana cara dunia arsitektural bisa berkembang, bagaimana mereka memiliki ide dan gagasan yang pada waktu itu merupakan suatu hal yang gila. Dengan memasuki dunia perarsitekturan berarti saya telah memasuki dunia baru sebuah dunia yang tidak hanya imajinasi akan dilatih melainkan presisi inovasi dan kerja sama akan dilatih saya berharap saya dapat mencurahkan seluruh jiwa dan hati saya untuk mempelajari dan terus berkembang pada bidang ini.
Awal mula saya tertarik pada bidang ini mungkin pada saat saya kecil saya sering bermain dengan lego dan beberapa game sandbox open world yang dapat memungkinkan saya dalam mencurahkan seluruh imajinasi saya. Walau saya tau untuk menjadi seorang arsitektur yang handal harus mengorbankan seluruh jiwa raga danw aktu saya tetap akan berusaha lebih. Saya sering pergi jalan jalan ke beberapa tempat dan saya melihat banyak sekali bangunan bangunan yang tidak sesuai standar atau pun bangunan tua yang memiliki struktur yang kurang kokoh. Sehingga saya merasa bahwa kelak kedepan nya perlu dipikirkan bagaimana mengatasi masalah masalah tersebut. Saya sangat senang Ketika melihat Gedung Gedung dengan interior seperti bangunan bangunan turki yang megah ataupun seperti di vatikan yang Gedung nya memiliki banyak sekali ukiran dan lukisan yang indah sehingga menambah nilai estetika dari Gedung tersebut.
Harapan saya dalam waktu dekat adalah untuk mendalami pengetahuan saya dalam dunia arsitekturAssalamu’alaikum Wr.Wb
Assalamu’alaikum Wr.Wb perkenalkan namaku Tasya Rendita Azzahra umur 18 tahun, 28 Mei 2005 dan aku 2 bersaudara. Aku dan adikku sama-sama lahir di Jakarta. Biasa aku di panggil Aca awal mula aku dipanggil Aca karena itu plesetan aja sih dari Tasya, kadang juga aku dipanggil Tasman. Aku anak kamsi Serang, dibesarkan di Serang dari TK sampai SMA karena kedua orang tua ku bekerja di serang. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Ayahku seorang polisi dan Ibuku seorang PNS. Dari TK saya selalu mengikuti ekstrakulikuler menggambar, mewarnai sampai ketika saya memulai Sekolah Dasar saya pun masih mengambil ekstrakulikuler menggambar dan mewarnai sampai kelas 4.
Diluar dari kegiatan sekolah ketika saya berumur 11 tahun saya dibawa oleh Ayah saya untuk melihat mobil Tamiya saya mulai mencoba modifikasi mobil Tamiya tersebut dan saya senang, pada saat itu setiap harinya aku pergi ke tempat Tamiya untuk melihat orang memodifikasi mobil Tamiya nya masing masing, selang beberapa hari ternyata ada spanduk di tempat mainan tersebut bahwa akan di adakan perlombaan mobil Tamiya akhirnya saya pulang dan memberitahu ayah saya disitu saya didudkung untuk ikut karena saya suka sampai akhirnya saya selalu memenangkan perlombaan Tamiya tersebut bahkan pernah memenangkan juara 1 sekaligus mendapatkan juara 2 dan ketika saya sudah naik kelas 6 akhirnya memutuskan untuk focus belajar untuk UN.
Banyak sekali orang-orang yang saying dan peduli sama saya, khususnya kepada orangtua saya yang sudah membesarkan saya dan memberi Pendidikan sampai saya bisa meneruskan Pendidikan ke jenjang berikutnya. Setelah lulus SD saya melanjutkan pendidikan di SMPIT AL-IZZAH SERANG di tahun 2017. Sejak kelas 7 SMP saya di percayai oleh sekolah untuk menjadi Kepala Departemen OSIS sampai kelas 8, 2 tahun saya menjabat sebagai Kepala Departemen, di awal jabatan memang terasa berat sekali untuk saya karena pada saat saya kelas 7 dan di masa jabatan itu hanya saya yang menjadi Kepala Departemen bahkan anggota saya adalah kakak tingkat saya. Tetapi saya selalu dibimbing oleh guru, dibantu oleh teman-teman.
Banyak pertanggungjawaban yang harus saya lakukan dan yang pastinya waktu belajar saya berkurang karena dari pihak sekolah memberikan waktu dispensasi untuk Organisasi. Saya selalu kuwalahan untuk mengatur waktu dan mengejar target belajar hilangnya kefokusan dan pernah drop alias sakit karna harus mengerjakan PAS, Organisasi dan Ekstrakulikuler yang saya minati, jujur saya tidak menyesal pernah mengambil keputusan yang berat dan tidak bisa diulang walaupun tidak bias membagi waktu di SMP.
Saya melanjutkan pendidikan di SMAI NURUL FIKRI BOARDING SCHOOL SERANG. Seperti yang kita lihat sekolah saya adalah Boarding, yaa tentu saja aktivitas saya dimulai dari sebelum subuh sampai jam 10 malam itu dia kegiatan saya dan hampir monoton setiap harinya, dimulai dari menghafal Al-Qur’an setelah sholat subuh, sekolah jam tujuh pagi sampai jam tiga sore, sore hari aku pakai untuk kegiatan ekstrakulikuler aku yaitu volley, karena waktu SMP ekstrakulikuler yg aku ambil adalah volley juga dan waktu malam nya aku pakai untuk olahraga. Aku merasa mendapatkan lebih banyak pengalaman dari SMP karena jauh dari orang tua adalah hal yg pertama kali baru aku rasain untuk jangka waktu yang lama, dan aku pulang setiap 4-6 bulan sekali tetapi bisa untuk mengambil izin 2kali sebulan di minggu perempuan dengan alesan yang ada di buku panduan.
Di SMA ada kegiatan FLIGHT yaitu perlombaan yang wajib diadakan 1 angkatan angkatan dengan panitia dari angkatan itu sendiri, kegiatan dari kreativitas kita, sampai mencari sponsor juga sendiri tanpa bantuan dari guru, sepertinya setiap sekolah juga ada tetapi bagi aku beda karena kita dibatasi oleh sarana dan prasarana tetapi tidak memberhentikan kreativitas kita, mempersiapkan acara FLIGHT membutuhkan waktu hampir 1 tahun dan bagian setiap orang di acara tersebut tidak hanya 1 bisa ganda ataupun lebih dari itu, aku mendapatkan tanggung jawab untuk menjadi ketua dance competition, ikut dalam aksi gerakan pembukaan kepada gubernur, menjadi ketua DANA. Ini adalah bagian paling menyenangkan aku di SMA karena ribuan orang berada di sekolah ku. Aku ingin menceritakan Organisasi aku di SMA, aku bergabung menjadi sekretaris Organisasi Lingkungan Hidup dengan masa jabatan 1 tahun. Aku mengikuti kegiatan study tour ke kampus UNS, UNY, DAN UGM. Tetapi ada beberapa kampus yang belum di perbolehkan masuk ke dalam kampus dengan alesan tertentu. Selama 5 hari aku mengelilingi Yogyakarta dengan teman teman ku tanpa Handphone dan hanya diperbolehkan membawa 1 kamera di dalam 1 grup. Ini juga pengalaman yang paling saya ingat juga karena study tour tanpa Handphone, yang biasanya selalu update, mengabari orang tua, hanya bias membuat vlog di kamera. Dan tidak lupa untuk membawa pulang oleh-oleh yang sudah di titipkan dan yang paling ditunggu oleh keluarga dan teman teman lama ku yaitu tugu jogja dan bakpia, aku membeli banyak sekali untuk dibagi bagikan nya sewaktu aku pulang.
Pengalaman Organisasi di SMA ini mengajarkan aku untuk ber-kreativitas tanpa batas karena anak Organisasi memiliki program kerja yang harus terealisasikan contohnya seperti program kerja disaat Maulid Nabi SAW yaitu, panitia berdiskusi memilih ketua untuk program kerja tersebut selain ketua adapula sekretaris, bendahara, divisi perlombaan, photographer, divisi snack, divisi dekorisasi, divisi perkap, divisi pengarahan, adapula pemilihan MC, operator, tilawah, penampilan, dan MC games. Ini adalah contoh kegiatan dari panitia yaitu, pembukaan dari kepala sekolah, pembukaan dari ketua pelaksana, materi, penampilan, sesi arahan ISHOMA, pembagian snack, perlombaan untuk siswi, dan kesempatan divisi DANA untuk berjualan saat siswi melakukan perlombaan karna pastinya sangat melelahkan. Selain mengadakan atau merayakan hari hari besar di dunia, para anak Organisasi juga setiap pagi mengadakan sesi kreativitas yaitu, dari masing masing divisi menunjukan yel-yel dan informasi berguna untuk siswi misalnya, cara mencegah jerwat, pemilihan buah yang segar, bias juga informasi tentang dunia, isu-isu politik diluar sana disinilah divisi humas yang paling penting karena tugasnya mencari berita paling update untuk siswi, ada juga divisi olahraga yang sering membagi vitamin untuk menjaga imunitas tubuh, dan tugas divisi acara adalah mengadakan bersih-bersih sesuai waktu yang sudah di tentukan ketika rapat. Banyak waktu di SMA ini membuat aku bias lebih belajar untuk membagi waktu karena mau tidak mau semua harus dilakukan, terkadang memang ada yang berbarengan.
Di awal kelas 12 aku dan teman-teman asrama ku di sore hari selalu senam tujuan nya untuk semangat sampai akhir ujian sekolah hehe. Dan itu terlaksana, malah membuat aku melakukan aktivitas berat seperti lari, push up, dan workout ini semua aku lakukan dan tidak menghalangi tugas aku yang lain. Sapsuy adalah partner olahraga lari aku, karena hari minggu di sekolah aku libur kita memutuskan untuk lari di pagi hari, dan memang setiap minggu pagi di lapangan ramai siswi siswi yang beraktivitas juga berbagai macam ada yang bermain bulu tangkis, basket, volley, tapak suci, dan ada juga yang sama seperti aku dan sapsuy, aku merasa seperti ada di Car Free Day karena suasana yang ramai dan kelas 7 berjualan karena tugas dari sekolahnya. Ada suatu hal yang saya nikmati, yaitu saya bahagia dengan diri sendiri. Saya bersyukur dengan apa yang saya punya dan dapatkan saat ini. Saya tidak suka mengikuti gaya yang biasanya teman-teman ikuti. Saya cenderung memilih apa yang menurut saya nyaman. Harapan saya kedepannya adalah semoga saya dan orang-orang yang saya sayangi sehat selalu agar bias melihat saya sukses dan semoga saya mendapat nilai yang sanga =t memuaskan, tentunya semua itu tidak akan terkabul tanpa doa, usaha, ikhtiar dan tawakkal serta semoga saya sukses dalam berkarya dan mempunyai penghasilan sendiri untuk dapat membanggakan kedua orangtua dan keluarga saya. Amiin.
Ketika saya baru selesai ujian sekolah di SMAI NURUL FIKRI BOARDING SCHOOL SERANG di perguruan tinggi saya memilih jurusan kedokteran, namun tidak lolos di prodi tersebut. Tidak lepas dari situ perjuangan saya masih panjang sampai orang tua saya sudah membayar teknik perminyakan di Universitas Pertamina namun tidak saya ambil dikarenakan suatu hal. Saya memilih BINUS UNIVERSITY karena akreditasi yang bagus dan salah satu kampus swasta terbaik di Indonesia serta memiliki visi misi yang bagus, dan memiliki rekam jejak yang bagus di bidan pendidikan. Dan saya memilih jurusan Architecture di binus karena saya sangat gemar menghitung, menganalisis lingkungan sekitar, dan menggambar. Selain itu saya juga senang dengan nlai estetika yang dimiliki oleh seorang Architecture. Saya juga sangat senang berada di kelas saya sekarang karena teman teman dikelas sangat rumah dan baik bahkan sering membantu teman yang lagi kesulitas dalam mengerjakan tugas atau melakukan registrasi di setiap aplikasi pembelajaran. Walaupun saya memasuki kampus melalui Batch 6, dan berbeda dengan batch yang lain nya yang mempunyai FL dan mengikuti kegiatan FYP dari awal yang seru banget, tetapi aku tidak dapat, aku hanya mengikuti dari inaugurasi di Binus Alam Sutera, semua orang sudah beradaptasi bahkan sudah ada yang mendapatkan teman sekelas, akhirnya saat hari pertama masuk kampus aku berkenalan dan mereka semua menerima baik aku. Tetapi belum terbiasa dengan aplikasi BINUS MAYA, dan jadwal kuliah, bingung dengan siapa dosen pembimbing saya karena belum ada. Tetapi memang benar adanya jalanin aja dulu, nanti juga faham. Akhirnya saya mulai sedikit terbiasa dengan jadwal kuliah ini, namun masih belum bisa list tugas karena bingung.
Sebelum kisah cerita sederhana ini saya tutup, saya ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada keluarga, teman-teman yang baik terhadap saya dan mensupport saya, sehingga semua dapat berjalan dengan baik. Sekian kisah cerita sederhana ini saya buat, semoga bermanfaat dan bisa menginspirasi bagi yang membaca, bila ada kata-kata yang salah mohon di maafkan. Terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb
“Apa jurusan yang akan kamu ambil saat kuliah?”, pertanyaan itu terus berulang kali ditanyakan selama masa SMA. Dari mulai teman, guru dan keluarga terus menanyakan pertanyaan yang sama dan saya selalu jawab dengan jawaban jurusan arsitektur. Dengan diri saya yang sudah berstatus sebagai mahasiswa, pertanyaan tersebut berubah dengan “Bagaimana kehidupan kamu sebagai mahasiswa jurusan arsitektur?”. Pertanyaan tersebut mungkin belum bisa saya jawab dengan jawaban yang pasti karena saya masih dalam masa peralihan dari masa SMA ke masa perkuliahan. Tetapi, hal yang dapat saya bilang adalah bahwa kehidupan mahasiswa perpaduan dari rasa senang dan lelah. Saya merasa senang untuk belajar tentang arsitektur. Namun, terkadang saya juga merasa lelah dengan perkuliahan dan masih beradaptasi dengan lingkungan perkuliahan. Terlepas dari rasa lelah yang saya alami, saya sangat bersyukur dan sangat senang dapat belajar di jurusan yang sama impikan yaitu arsitektur.
Sebagian orang bertanya alasan saya tertarik dengan jurusan arsitektur. Sebenarnya, hal yang membuat pertama kali pemikiran ingin masuk jurusan arsitektur terlintas adalah saat saya sedang mempersiapkan dan meng-desain layout untuk pameran seni SMP saya. Saat itu, saya sedang bersama teman-teman saya berdiskusi tentang layout untuk pameran seni angkatan kami. Di SMP saya, setiap angkatan diwajibkan untuk membuat pameran seni yang memamerkan karya-karya siswa-siswi setiap angkatan. Saat itu, saya merasa bahwa membuat layout dan merancang sangatlah seru, dan terlintas di pikiran saya bahwa saya ingin menjadi arsitek. Waktu itu, saya belum seratus persen yakin bahwa saya akan memilih jurusan arsitektur saat kuliah. Namun, saat saya mulai masuk ke tingkat pertama SMA, saya mulai memikirkan jurusan apa yang cocok untuk saya. Saya memiliki tiga pilihan saat itu, yaitu arsitektur, perencanaan wilayah kota dan desain interior. Setelah melakukan riset tentang pekerjaan yang dilakukan masing-masing jurusan tersebut, saya menjadi lebih yakin untuk memilih arsitektur sebagai jurusan yang saya minati. Alasan saya memilih arsitektur adalah karena arsitektur merupakan perpaduan dari seni dan bangunan. Saya mempunyai ketertarikan pada keduanya.
Bagi saya, arsitektur adalah wadah yang tepat untuk menyalurkan dan mengembangkan kreativitas saya. Dengan luasnya pengaruh dari arsitektur terhadap lingkungan masyarakat, menambah ketertarikan saya karena arsitektur dapat memberikan solusi fungsional, terbentuknya ruangan yang dapat menginspirasi dan dampak pada makhluk hidup yang menempatinya. Hal tersebut membuat saya kagum serta semangat untuk berkontribusi di dalam bidang arsitektur ke dalam masyarakat. Saya percaya bahwa dalam memilih jurusan, harus ada ketertarikan dan semangat untuk belajar dalam bidang tersebut. Arsitektur bagi saya memenuhi hal tersebut. Ditambah, arsitektur juga bisa selaras dengan tujuan hidup saya bagi orang lain yaitu dengan membantu dan berguna bagi lingkungan dan makhluk hidup khususnya manusia yang sudah ditanamkan sejak saya kecil
Lahir dan besar di Jakarta membuat saya terbiasa dengan kesibukan dan keramaian Ibu Kota. Hal tersebut mengajarkan saya untuk selalu gesit dan sigap dalam menjalankan sesuatu pekerjaan dan kegiatan. Saya lahir dan besar pada keluarga biasa dan sederhana. Saya terlahir sebagai anak bungsu dari dua saudara. Walaupun saya terlahir sebagai anak bungsu, tidak membuat saya berkepribadian manja dan seenaknya. Dari kecil, saya diajarkan untuk selalu punya tujuan dan bertanggung jawab dalam semua kegiatan yang saya lakukan. Contohnya adalah ketika saya berkeinginan untuk les musik, saya harus bertanggung jawab untuk datang setiap minggunya. Saya juga diajarkan untuk tidak gampang menyerah dan selalu untuk berkembang serta berguna untuk sesama.
Dari pembelajaran itulah yang mengakibatkan adanya tujuan hidup saya yang berfokus pada diri saya sendiri dan juga untuk orang lain. Tujuan hidup saya untuk diri saya sendiri selalu berpusat pada bagaimana saya terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Saya percaya bahwa manusia harus terus bergerak dan mempunyai arah hidup. Untuk itu, perlu pengembangan diri dan tujuan dalam menjalani kehidupan. Saya juga percaya bahwa tujuan hidup itu harus juga yang berdampak pada orang lain. Kita sebagai manusia haruslah menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang. Kita harus membantu dan berguna bagi sesama. Menurut saya, semua orang bisa untuk membantu sesama terlepas dari apapun profesi atau pekerjaan yang ia miliki.
Lahir dan besar di Jakarta juga membuat kenangan yang melekat pada diri saya berputar pada kota tersebut. Memori atau momen-momen tersebut muncul kembali saat saya melewati gedung atau jalanan tersebut. Salah satu alasan juga saya suka arsitektur adalah bahwa sebuah lingkungan, gedung, perumahan, jalan bisa menjadi pengingat atau bisa melekat pada diri yang pernah berinteraksi pada tempat itu. Salah satu tempat yang melekat pada memori saya adalah gedung sekolah dasar saya. Bertempat tidak jauh dari rumah saya membuat saya tidak jarang untuk melewati gedung tersebut. Bagi saya, momen ketika masih menempati sekolah dasar adalah suatu momen yang sangat bahagia. Salah satu momen yang melekat pada diri saya adalah saat ayah saya mengantar saya pertama kali masuk sekolah dasar. Momen itu sangat melekat bagi saya karena ayah saya siap sedia menunggu saya di depan kelas sampai waktu pulang. Meskipun ayah saya waktu itu ada jadwal untuk ke kantor, tetapi ayah saya tetap menemani saya pertama kali masuk sekolah. Momen itu adalah salah satu momen yang melekat dalam hidup saya.
Terlepas dari semua kebahagiaan yang saya rasakan dari waktu saya kecil sampai lulus sekolah, cerita tentang masa-masa selama menduduki sekolah menengah atas (SMA) adalah cerita yang paling saya gemar untuk diceritakan kepada orang lain. Banyak kejadian, kegiatan, peristiwa yang saya alami ketika masa SMA yang sangat seru untuk diceritakan. Dari masa SMA yang dimulai di rumah sampai kisah waktu lulus merupakan masa-masa yang tidak terlupakan bagi saya. Masa SMA yang dimulai dengan adanya pandemi yang diakibatkan oleh virus corona membuat masa SMA saya selama kurang lebih dua tahun bertempat di rumah. Walaupun demikian, saya masih bisa berteman dan berinteraksi dengan teman-teman saya melalui fitur video call dan sebagainya. Saya selama SMA juga banyak mengikuti kegiatan dan organisasi yang cukup banyak membuat event atau kegiatan. Dari hal-hal tersebut membuat banyaknya cerita-cerita yang sangat seru untuk diceritakan kepada teman lama maupun baru. Saya merasa sangat senang saat menceritakan masa-masa itu.
Dalam masa SMA saya, saya juga banyak terlibat dalam seni. Mulai dari seni lukis, musik sampai film. Di dalam seni musik dan film saya menghasilkan beberapa karya seperti saya menjadi sound dan music director pada short movie yang dihasilkan oleh club cinematography sekolah saya. Saya juga membentuk band dengan teman-teman saya dan kerap tampil pada beberapa acara sekolah. Dalam bidang seni, SMA saya juga mewajibkan setiap angkatan untuk membuat sebuah pameran seni yang memamerkan karya siswa-siswi angkatan tersebut. Dalam pameran tersebut, setiap siswa harus membuat 2 karya lukisan untuk ditampilkan pada pameran tersebut. Di dalam kepanitiaan pameran tersebut, say berperan dalam divisi layout dan desain. Karena saat pelaksanaan pameran tersebut masih pada waktu pandemi, jadi tugas saya adalah untuk membuat pameran seni virtual. Saya bersama teman-teman saya yang lain membuat layout pameran tersebut dan memindahkannya ke dalam pameran seni virtual yang bisa dilihat melalui perangkat gadget. Di dalam masa SMA saya, masih banyak kegiatan dan organisasi yang sangat seru untuk di ceritakan.
Dengan banyaknya kebahagian yang saya rasakan pada masa SMA, saya juga mengalami kesedihan serta kegagalan pada masa tersebut. Pada akhir kelas 12, saya merasakan banyak kegagalan yang saya alami dalam perjalanan saya untuk masuk ke dalam universitas yang saya impikan dulu. Saya hanya menginginkan masuk ke dalam jurusan yang saya mau, yaitu arsitektur. Dan universitas yang saya inginkan saat itu terus menolak saya. Saat itu, saya merasa sangat sedih dan kecewa pada diri saya sendiri. Tetapi, dari semua kegagalan itu banyak membuahkan pelajaran bagi saya. Saya percaya bahwa setiap orang mempunyai jalan terbaik nya masing-masing. Dan saya belajar bahwa dari kegagalan, kita bisa banyak belajar untuk tidak terlalu lama larut dalam kesedihan dan terus berkembang serta belajar menjadi lebih baik lagi. Dalam hidup saya, say ajuga banyak merasakan kesedihan, tetapi saya selalu berusaha bangkit dari kesedihan itu dan menjadikannya sebuah pembelajaran. Saya percaya bahwa setiap kesedihan akan melahirkan sebuah kebahagiaan. Jadi, kita janganlah terlalu larut dalam kesedihan.
Saya mempunyai hobi yaitu mendengarkan musik dan memainkan alat musik. Saya bisa memainkan alat musik seperti gitar, piano dan biola. Sedari kecil, saya banyak terekspos dengan musik membuat saya tertarik dalam musik. Saya menyukai berbagai macam genre musik seperti Pop, R&B, K-Pop, Jazz dan sebagainya. Saya menyukai banyak artis, tetapi salah satu artis yang paling sering saya dengar adalah Taylor Swift. Walaupun menurut saya Taylor Swift bukan penyanyi yang mempunyai suara yang terbaik, yang membuat saya suka untuk mendengarkan lagunya dan menikmati karyanya adalah karena ia sangat pandai dalam menceritakan sebuah cerita yang diubah menjadi lagu. Pendengarnya bisa meng-imajinasikan cerita dari lagu yang ia tulis. Salah satu lagu yang saya sukai dari Taylor Swift adalah Clean dari album 1989. Lagu tersebut dapat diinterpretasikan ke dalam beberapa makna tergantung para pendengarnya. Saya selalu percaya bahwa sebuah seni itu subjektif. Seni dapat dilihat atau didengarkan tergantung masing-masing yang melihat atau mendengarkan karya tersebut.
Banyak kejadian yang terjadi dalam hidup saya. Semua itu meliputi rasa senang, sedih, kecewa, ketakutan, marah, dan lainnya. Itu semua yang membuat saya banyak belajar dalam menghadapi semua itu. Dalam menggapai mimpi terkadang ada kalanya kita gagal, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita bisa bangkit untuk menggapai mimpi tersebut. Bagi saya, arsitek adalah mimpi yang saya cita-citakan. Saya harus bisa terus belajar dan berkembang untuk mencapai mimpi tersebut. Pelajaran dan kenangan yang saya dapatkan dapat menjadi tangga dalam menggapai mimpi tersebut.
Nama ku Syekhan Dia Ulhaq. Aku lahir dan besar di Jakarta pada 1 Agustus 2004. Aku memiliki dua orang adik. Adik ku yang pertama laki-laki dan mengidap autisme. Seharusnya dia kelas 2 SMA kalau saja dia tidak austime. Walau tidak bersekolah di sekolah formal, dia tetap bersekolah di SLB. Lalu, adik ku yang kedua perempuan. Masih berusia 9 tahun, kelas 4 SD. Memang jarak kita berbeda 10 tahun, namun tidak menjadi halangan untuk kita dapat bersenda gurau. Kedua orang tua ku berprofesi sebagai dokter. Ibu ku seorang ketua divisi di salah satu puskesmas di jakarta. Sedangkan ayah ku di kementrian kesehatan.
Sejak kecil aku selalu mendapatkan pertanyaan; “kok anak dokter begini?”. ya, dulu aku bertolak belakang dengan kedua orang tua ku. Aku tidak suka hitung-hitungan (sekarang untuk yang berhubungan dengan arsitektur aku suka 😊). Aku tidak suka terlalu banyak menghafal, aku tidak suka bermain dengan logika, dan aku tidak suka apapun yang berhubungan dengan dunia kesehatan seperti jarum suntik, alat tensi, stetoskop atau apapun itu. Entah kenapa aku tidak suka akan hal-hal semacam itu. Yang aku sukai hanya menggambar dan membuat suatu kerajinan. Aku gemar sekali dalam hal yang memerlukan kreativitas. Dan sedari kecil aku juga mempunyai pemikiran bahwa, kemampuan dan bakat ku dalam menggambar dan menciptakan sesuatu harus aku kembangkan, karena aku mau berkutat dengan hal itu sepanjang hidupku.
Saat aku menginjak dunia SD, aku cenderung pemalu. Pada awalnya aku susah terbuka ke orang baru. Namun seiring berjalannya waktu, aku mendapat teman. Walau jumlahnya tidak banyak, tapi kita teman dekat. Kita sering bercanda ketika guru sedang menjelaskan pelajaran, sampai-sampai ibuku dipanggil kesekolah hanya karena aku terlampau berisik dikelas. Yang aku ingat waktu itu, aku hanya ingin menuangkan ide-ide dikepala ku. Jika tidak aku bagi ke teman dekat ku, aku menuangkan ide ku di buku tulis atau di buku paket pelajaran. Namun, itu tidak disukai guru ku dan tentu saja kedua orang tua ku. Tapi aku tidak perduli waktu itu. Yang aku inginkan hanyalah menuangkan ide ku. Lalu, ketika UN datang, jelas aku tidak mendapat nilai terbaik versi ku. Sebenarnya aku yakin aku bisa lebih dari itu, namun entah kenapa saat ujian aku tidak terlalu bisa mengerjakan ujian itu. Dan pada saat itu aku sadar. Ada sesuatu yang harus aku ubah.
Sesaat masa SD berlalu, aku beranjak ke SMP. Aku tidak bersekolah di SMP Negeri seperti yang ayah dan ibu ku inginkan. Aku ingin sesuatu yang baru. Aku ingin bebas. Aku ingin berkehendak atas kemauan ku sendiri tanpa ada yang bisa mengaturku. Aku ingin berubah menjadi orang yang lebih bebas. Maka dari itu, aku memilih untuk bersekolah di boarding school. Orang-orang menyebutnya sebagai pesantren moderen. Memang ada dua jenis pesantren yang ku tahu. Ada pesantren salafi, yang mengajarkan lebih banyak pelajaran agama dibanding pelajaran umum. Dan ada pesantren moderen yang mengutamakan pelajaran umum dan dibarengi dengan pelajaran agama. Sebenarnya, kedua orang tua ku terkejut atas pilihanku yang memilih pesantren dibanding sekolah negeri dan mengira bahwa pilihan ku adalah akibat dari pengaruh teman-teman ku yang rata-rata memilih pesantren juga. Namun tidak begitu. Aku memlilih pesantren hanya karena aku ingin bebas dan berkehendak atas diri ku sendiri. Tapi nyatanya aku salah.
Ketika awal SMP aku masih mempunyai tekat untuk bebas. Namun, setelah beberapa bulan disana, aku baru bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak bisa bebas dan wajib mengikuti semua jadwal kegiatan di pesanten itu yang ketat dan teratur. Memang awalnya tidak terbiasa akan hal itu, tapi lambat laun aku terbiasa dan menikmati itu semua. Aku berubah dari orang yang ingin mendapatkan kebebasan menjadi orang yang paling taat peraturan. Sampai-sampai aku pernah dinobatkan sebagai santri paling disiplin dalam semester pertama aku bersekolah disana. Tentu ayah dan ibuku bangga akan hal itu. Aku juga bangga bisa membuat mereka bangga.
Ketika masuk kelas 8 SMP, aku ingin lebih “bersinar”. Aku haus akan pengakuan, rasa menang dari yang lain, dan rasa mendominasi. Aku menjadi ambisius dalam pelajaran, berorganisasi, dan yang lainnya. Dan pada akhirnya, seperti yang kita ketahui, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sesaat aku mendapatkan peringkat 3 besar di kelas, aku mulai mendapat perlakuan tidak baik dari teman-teman ku. Mereka seakan tidak suka dengan pencapaian ku. Mereka menganggap aku penjilat ke guru, aku sok tahu, dan sok bisa dalam segala hal. Dulu aku memang seperti itu. Terlampau berlebihan. Hingga klimaksnya, aku difitnah. aku difinah telah melakukan masturbasi di ranjangku saat malam hari karena ditemukan sesuatu seperti mani diatas kasurku. Reaksi ku seperti “ayolah, itu bisa jeli atau semacamnya”. Namun mereka yang terlanjur membenciku tetap memaki. Memanggilku mesum yang tak bisa mengontrol hawa nafsuku. Aku tidak menyukai perlakuan mereka namun aku tidak melakukan perlawanan sedikit pun sehingga mereka berspekulasi bahwa aku lemah. Aku seperti mangsa yang mudah diserang dari segala arah. Makin lama ku biarkan mereka, semakin jadi perlakuan merea terhadap ku. Hingga akhirnya peristiwa yang membuat ku trauma terjadi.
Ketika aku bersiap untuk sholat ashar di masjid kala itu, seorang teman datang menghampiri ku. Aku didorong dengan mudah dari belakang olehnya, secara badannya lebih besar dari ku. Terus didorong hingga pojok kamar. Saat itu aku hanya berdua dengannya sehingga aku tidak bisa meminta tolong pada siapapun. Aku dimaki habis-habisan oleh nya. Disebut “pengocok” dan sebutan lainnya. Aku tidak tahan. Dan seperti bendungan overload yang retak karena terlalu banyak air yang ditampungnya, perlahan-lahan aku pun retak dan mulai tak bisa mengendalikan emosi. Dia memaki lagi dan lagi sampai-sampai membawa nama ayah ku. Dan aku pun “meledak”. Aku tarik bajunya, aku seret dia ke dalam kamar mandi, dan aku pukuli dia. Berkali-kali sampai aku puas. Rasanya aku tak ingin berhenti sampai dia meminta maaf pada ku. dan ujung-ujungnya dia tetap tidak mau meminta maaf. Aku pun berhenti memukulnya. Dia terjatuh dikamar mandi dengan bibir yang berdarah.
Setelah kejadian itu. Tepatnya esok harinya, aku didatangi olehnya. Bedanya dia bawa kawannya yang murka atas perlakuan ku kemarin. Dan tebak apa yang mereka lakukan? Tanpa basa-basi mereka melakukan hal yang sama pada ku kemarin. Memojokan ku, memaki ku, dan mengeroyok ku. pada akhir cerita dia di DO dari sekolah ku dan aku menjadi lebih terkenal. Bukan karena prestasiku namun karena aku telah mengeluarkan satu santri dari pesantren itu.
Setelah lulus dari boarding school itu, aku kembali memutuskan untuk memilih hal yang berbeda. Toh hidup hidup cuma sekali. Aku memilih untuk bersekolah di SMA Negeri. Yang tidak aku sadari, budaya di sekolah negeri berbeda dan lebih beragam dari apa yang sudah aku jalani. mulai dari lebih banyak anak yang ambis dari ku semenjak SMP, anak yang ‘bodo amat yang penting sekolah’, anak jendral yang bersifat diktator, dan berbagai macam budaya dan sifat lainya. Tapi sebelum itu, aku bercerita dahulu soal bagaimana dunia saat itu.
Aku lulus dari SMP saat dunia sedang dilanda wabah. Mengharuskan aku tetap bersekolah namun secara virtual. Hal itu mempengaruhi banyak hal. Mulai dari tidak bersemangat dalam bersekolah, merasa terkurung dalam rumah, ditambah perasaan khawatir aku terhadap kedua orang tua ku. secara mereka berdua menjadi nakes yang berhadapan langsung dengan virus itu. Pada intinya, aku terlalu banyak menghabiskan masa SMA ku dengan penyesalan, ketidak seriusan, dan kekhawatiran. Dan itu yang menyebabkan aku menjadi orang yang tidak kompeten saat itu. Pada akhirnya aku dinyatakan tidak lolos perguruan tinggi negeri yang aku harapkan. Memang aku telah bekerja keras. Namu karena ketidak seriusan ku dalam memenuhi kewajiban ku, aku tertinggal. Sebenarnya ada faktor lain yang aku percaya adalah peyebabkan aku tidak lolos perguruan tinggi negeri manapun.
Semenjak aku merasa tertekan dalam kehidupan SMA ku, aku mulai menunjukan perilaku paling negatif dalam hidup ku. aku mulai mengenal rokok, tidak mempunyai semangat hidup, dan yang paling aku sesali adalah aku mulai tidak mempertanyakan keberadaan tuhan. Seakan semua yang aku pelajari semasa aku dipesantren hilang. Aku merasa depresi dan terlalu khawatir akan masa depan. Aku mulai meninggalkan waktu ibadah, lebih memilih rokok dibanding tugas, dan tidak mendengarka apa yang disampaikan orangtua. Singkatnya aku membangkang. Sulit untuk mengingat kembali apa yang aku rasakan saat itu. Namun, untuk kedua kalinya aku merasa aku jatuh terlalu jauh. Titik balik dimana aku sadar adalah ketika ibuku menemukan rokok ku ketika aku tertidur di pagi hari. Aku baru tahu juga saat itu, betapa dia membenci rokok. Karena itu yang menyebabkan hidup ibuku sengsara karena kakek ku sakit karena itu dan dia berusaha melawan rokok dengan semboyan kesehatan miliknya. Dan bayangkan betapa sedihnya dia mengetahui bahwa justru anak nya sendiri telah terikat dengan rokok. Ibuku menangis di depan ku dan mengatakan bahwa dia tidak akan ridha atas apapun pilihan ku kalau aku tetap merokok. Dan itu terbukti. Dengan betapa susahnya aku mencari perguruan tinggi negeri. Ditolak oleh semua PTN yang aku daftar padahal nilai SNBT ku mencapai 25% teratas.
Pada intinya aku sadar aku telah melakukan hal bodoh. Dan dari semua hal yang telah aku jalani dikehidupan ku, aku bisa mengambil banyak sekali pelajaran. Banyak yang aku sesali dan banyak yang aku syukuri. Bagaimana pun hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya. Yang bisa kita lakukan adalah terus melangkah maju dan jadikan apa yang sudah terjadi menjadi pelajaran. Terus merefleksi diri dan mengevaluasi atas apa yang kita lakukan dimasa lalu dan tetap memberikan yang terbaik versi kita.
Kita adalah manusa, wajar bila tak sempurna. Sekarang aku hanya ingin menjadi lebih baik. Untuk mencapai kebahagiaan jangka panjang yang aku impikan, dan bisa membaginya ke orang-orang disekitar ku. terimakasih.
The first thing I heard when I stepped into the area of what I would call home for the next three years was the echoing boom of fireworks in the distance. I was born on the 29th of December 2005 and my mom had just gotten home from the hospital on New Year’s Eve with a newborn baby. A welcoming ceremony being the blares of fireworks in the sky was the most memorable thing that night.
I have heard many stories about me as a baby. One that stuck with me would probably be that I learned to read in English first, despite my first language being Indonesian. I loved to read as a kid to the point that if I were to have a tantrum as a kid, my mom would give me a book to pipe down. The shocking thing is that it worked every single time without a doubt.
Fast forward to when I was three years old, I had moved to The United States of America because my mom wanted to pursue her master’s degree in The States. I was lucky to have traveled and lived in another country at such a young age and even still consider it the golden age of my whole life till this day because of how I was back then.
A small three-year-old foreign kid with perfect English and a myriad of questions, waiting to be asked. I was a small little detective, scientist, paleontologist, and artist all in one. I buried myself in books and would frequent the city library with my mom and dad to read books and do my school homework. Not to mention that in school, I was labeled as an exceptional student in our class. I went to a private predominantly Muslim school in the States and found myself indulging in Middle Eastern culture a lot because of my friends and my surrounding environments. I loved going to school and would dread the day that we had no school as I liked it that much.
I was your typical American kid who loves to run around in parks, play with chalk on the sidewalks, and dress up for Halloween every year to participate in trick-or-treats, the kid who would call break time “recess” and would play at the big playground at McDonald’s. Slowly but surely, at the end of those three years, every inch of Indonesia in me vanished into thin air.
I remember the anticipation as the plane landed in Jakarta for the first time in three years.
I had no single recollection of what Indonesia was like, a total amnesia of all the memories before I had arrived in The States. My six-year-old self ran her eyes around the place in observation. The smell of the airport was new to me, and I had to sink into the fact that I was in another place far away from the place I could call my second home. “Was this really where I came from?”, I had said to myself. Though I shook away the thought quickly.
On the first day of second grade, however, I had a question burning in the back of my mind as I entered the school gates. My father had driven me to school in a car that day, so I had the opportunity to ask him about what was happening in front of my eyes. Motorcycles and cars were stacked behind each other just like a chaotic domino game with their messy honking and machine rumbles. “Dad, why is the street like this?”, I ask my father. He looked at me, clearly puzzled about what to answer with.
He could only reply with a sigh.
“This is Indonesia.”
Those were always the words I heard for what felt like an eternity. I had been asking so many questions that were not simple at all for a child to hear. The answers had always been between culture and history together, but it wasn’t something I shouldn’t be concerned with now. I had started school in Indonesia, but where to start asking was my problem.
The anticipation and wanting to learn and explore my potential were only met by disappointing reactions and that same phrase all over again. “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” would be the catchphrase that I had heard repeatedly to the point I was physically tired of. Not that I rejected that notion, but I tried so hard to conform to what everyone expected a “normal” Indonesian would be to the point I didn’t even feel like myself.
I buried that six-year-old American kid inside me, putting her away to rot. I found myself not being a genuine child and would make up a lot of stories for my classmates to accept me. To my unexpected self, however, it didn’t work, and I ended up not having many friends in primary School.
I never liked school either, which was quite a shock to my parents when they found out I had slept in class during the second week of second grade. They had always seen how eager I was to go to school and usually came back home beaming with delight, frequently proceeding to talk nonstop about the stuff I had learned in school that day. In the following years, I had adjusted myself to be able to keep up with my studies though it didn’t mean I liked school anymore.
Middle school came in a flash, and I had moved to a national-plus school. I had told my mom about how I struggled to learn in Indonesian and asked if I could move to a school that has a semi-international curriculum. With her agreement, I could look forward to learning in class and exploring the world again.
That feeling didn’t last long.
I was overwhelmed with how much I had missed in the syllabus and had to take extra steps to catch up. Tasks and assignments that were assigned by my middle school were unfamiliar to me and made me realize how big the margins were in a national curriculum and an international curriculum. Discipline wasn’t my strong suit either and I was scolded a whole bunch of times in class and out of class. With everything going on, I had to work three times harder than any of my peers in that school.
Somehow, with sheer determination, I caught up in my second year of middle school and made the most amazing friends there who are still with me to this day. It was the silver lining to all the struggles I had in middle school, and I wouldn’t change anything at all. I finally felt heard and seen as an Indonesian who was still proud of my heritage but wasn’t acknowledged as one. All of us could relate in some way, either it was speaking Indonesian with an accent, being of Chinese-Indonesian descent in a small city like Bandar Lampung, or in my case, not having the same experiences as a “normal” Indonesian would have as a kid. We would confide in each other and regard our friend group as a safe place to talk about our experiences and even our vision for the future to make the world a better place.
Unfortunately, those years were cut short due to COVID-19 and we had to spend our last semester of middle school online.
For my high school, I enrolled in a public school near my house. My mom had told me to go there because she wanted me to understand what a “normal” Indonesian would go through in the so-called peak years of high school. She felt that I had become a responsible teenager and that was what made her confident to send me there.
I agreed to go. It would be a learning experience for me, and I could understand my environment better if I had another perspective to compare it to. I also felt very secure in myself to not be fazed when a person would judge how I acted. It was a matter of time for me to understand my peers.
To my agony, however, was the fact that I somehow managed to find myself in the same predicament I was in back in elementary school.
I had managed to be in the student council, and remember vividly what my friends were talking about in our council room. The snacks they loved as a kid, the events they did in middle school, what their day-to-day life in middle school was… I couldn’t relate to a single thing. “How do you not know that? You’re like… from another planet!” A friend exclaimed to me as I finished asking a question that was correlated to said conversation.
A foreign specimen to the place that I call home.
It bugged me at first, but I slowly learned to not care. It didn’t matter that I had a different perspective of the world than my peers near me. I had multiple perspectives and a diverse ecosystem of heritage and culture that I had known and experienced. Middle Eastern, Chinese-Indonesian, with a little bit of American sprinkled on top. I didn’t fit in any of these tightly labeled margins and that’s okay. I am my own person with my own dynamic ideas and am ready to develop myself to be my most optimum version.
Saya Sang Ayu Kinara Chanda Kayana, Akrab di sapa Kinara, lahir di Denpasar, 04 Maret 2005, di Pulau Dewata yang memiliki sejuta keindahan landscape, budaya, adat dan tradisi. Besar di keluarga yang beragam akan latar belakang agama tetapi sangat menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan membuat saya terbiasa melihat perbedaan dan menjadikan saya pribadi yang lebih memiliki rasa toleransi yang besar. Ayah saya merupakan seorang Arsitek sekaligus kontraktor dan Ibu saya adalah seorang Ibu rumah tangga. Saya anak pertama dari tiga bersaudara yang mana di tuntut untuk menjadi contoh untuk adik – adik saya dan harapan orang tua untuk menjadi orang yang kaya akan pengalaman dan pengetahuan yang nantinya dapat bermanfaat untuk keluarga, di tuntut untuk bisa dan mandiri dalam hal apapun dan bisa banyak hal, meskipun mendapat banyak mendapat batasan tapi tetap harus paham keadaan dan peka dalam membaca situasi, banyaknya tuntutan terkadang membuat saya overthinking atau berfikir terlalu jauh terhhadap hal hal yang belum tentu akan terjadi rasa ketakutan yang berlebihan sering kali menjadi beban tersendiri untuk saya sebagai anak pertama. Lahir dan besar di Bali membuat saya menyukai hal – hal yang berbau kesenian saya aktif kegiatan band dan bermain alat musik. Saya sangat beruntung dapat dari segi pendidikan, di sekolahkan di tempat yang terbaik, Ketika Berumur tiga tahun saya memulai pendidikan di TK Tunas Kasih Gianyar saat taman kanak – kanak saya aktif berkegiatan marching band lalu lanjut sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri 2 Gianyar, di sekolah dasar saya banyak mengikuti kegiatan seperti marching band dan ikut kejuaran marching band dan aktif dalam lomba – lomba nya saya juga aktif dalam kegiatan akademik mengikuti les tambahan seperti matematika dan bimbel untuk mejunjang pelajaran di sekolah dan lomba – lomba yang berada di bidang akademik lalu setelah lulus dari sekolah dasar saya melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Gianyar disana saya aktif mengikuti kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah dan menjadi ketua MPK dimana selama mengikuti ini saya banyak belajar mengenai cara berorganisasi, memimpin sebuah rapat berkomunasi di depan banyak orang, belajar cara berkomunikasi yang baik dan benar selain aktif dalam kegiatan OSIS saya juga banyak mengikuti kurus – kursus contohnya seperti kursus vokal dan alat musik banyaknya kegiatan membuat saya belajar banyak dalam mengatur waktu meskipun aktif dalam kegiatan non akademik pada saat SMP saya juga aktif mengikuti lomba akademik dimana waktu itu saya pernah di paksa oleh guru saya untuk mengikuti lomba cerdas cermat awalnya saya menolak untuk mengikuti lomba tersebut hingga saya menangis di sekolah tetapi pada akhirnya saya menerima tawaran guru saya tersebut lalu hari H lomba saya berhasil mendapatkan peringkat delapan se – Beli dan peringkat dua sekabupaten Gainyar, dan karena menang dalam lomba tersebut saya akhirnya lolos di SMA incaran saya tanpa menggunakan tes masuk hanya menggunakan sertifikat lomba tersebut yaitu di SMA Negeri 1 Gianyar, di SMA saya tidak banyak aktif di kegiatan sekolah seperti OSIS karena fase SMA saya terpotong dua tahun karena adanya pandemi covid – 19 tetapi saya tetap aktif mengikuti ekstra kurikuler tambahan seperti english club dan saya juga mengikuti private dan bimbel persiapan untuk masuk universitas dan pada saat SMA saya dan teman – teman saya memutuskan untuk membuat sebuah band yang bernama samara yang mana band kami saat itu cukup aktif mengisi acara di coffee shop dan hal itu sangat membantu saya untuk kembali beradaptasi untuk berkegiatan dan melatih mental untuk percaya diri melatih skill tampil dan kepercayaan diri saya. Akhirnya masuk di akhir tahun masa SMA saya disibukan dengan kegiatan bimbel dan private untuk persiapan tes universitas dimana awalnya saya juga mengalami kesulitan untuk membagi waktu bermain dan belajar. Dan pada akhirnya saat ini saya sedang melanjutkan pendidikan saya untuk S1 di salah satu universitas terbaik di Indonesia yaitu Binus University atau universitas Bina Nusantara mengambil jurusan Arsitektur dan saya harap selama perkuliahan ini dapat berjalan dengan lancar dan saya memiliki sistem pengaturan waktu yang baik.
Momen yang melekat di ingatan ketika saya yaitu ketika itu masa peralihan dari kehidupan normal ke pandemi covid – 19 dimana yang awalnya saya aktif berkegiatan seperti les, osis, latihan vokal, bertemu dengan teman – teman tetapi tiba – tiba harus berdiam diri di rumah, tidak berkegiatan dan. tidak bisa bersosialisasi semua kegiatan menjadi online perubahan kebiasaan yang tiba – tiba sehingga itu membentuk perubahan yang besar terhadap diri saya secara mental yang mana saya awalnya mudah dalam bergaul menjadi lebih tertutup, dan cenderung tidak percaya diri dan takut ketika bertemu dengan orang baru itu saya rasakan, lalu ketika covid mulai membaik dan sekolah mulai terlaksana saat saya SMA kelas 2 saya sulit beradaptasi dalam berteman dan bersosialisasi, sulit memulai percakapan kepada orang baru dan cenderung lebih menutup diri.
Cerita yang selalu diminta oleh teman lama untuk saya ulangi adalah ketika bertemu saya untuk di ulangi adalah cerita mengenai momen – momen lucu saya dan teman saya saat bersama, cerita mengenai struggle kami masing – masing hal – hal yang kami kurang sukai. Dan juga cerita – cerita kebiasaan saya ketika bersekolah dan cerita tentang kehidupan saya dan cara saya melewati masa sulit begitu juga sebaliknya.
Lagu hits atau favorit saya saat ini adalah Your Own Your Own, Kid dari taylor swift dimana lagu ini menegaskan bahwa hanya kamu yang memiliki kehendak atas dirimu sendiri, bukan orang lain dan lagu ini juga berisi semangat juang untuk berani memulai hal baru dan pantang menyerah untuk meraih apa yang kita impikan asalkan kita berusaha dan tidak peduli terhadap perkataan orang lain. Saya rasa itu menjadi hal yang patut kita sadari untuk tidak membiarkan orang lain mengontrol diri kita sendiri dan kita harus berekspektasi lebih terhadap diri sendiri bukan orang lain.
Tujuan hidup saya untuk diri sendiri adalah pastinya membahagiakan diri sendiri, sukses dengan karir yang baik, settled secara finansial menjadi pribadi yang baik dan menyenangkan dimana saya harap kedepannya dapat lulus sebagai lulusan arsitektur dan dapat menjadi arsitek yang legal yang memiliki rasa dan kreatifitas yang dapat dituangkan menjadi karya yang bermanfaat serta menjadi arstek yang tidak hanya mengerti estetika sebuah bangunan tetapi juga mengeri hubungan bangunan tersebut dengan budaya sekitar dan alamnya serta menjadi pribadi yang kaya akan pengalaman dan pengetahuan untuk menjadi bekal kedepanya bisa bertemu orang orang hebat untuk menjadi motivasi, menjadi pribadi yang tangguh dan konsisten dalam mencapai tujuan tersebut.
Tujuan hidup saya untuk orang lain pastinya dapat menjadi seorang arsitek yang bermanfaat untuk orang orang dan lingkungan di sekitar, menjadi anak yang dapat diandalkan oleh orang tua, menjadi keluarga serta kakak dan teman yang menyenagkan untuk menjadi tempat bercerita, lues dalam bergaul untuk menambah wawasan dan kenal dengan orang – orang hebat dari bidang manapun tanpa batasan apapun.
Trauma atau Kesedihan terbesar dalam hidup saya adalah ketika kehilangan nenek saya, memang banyak orang bilang ketika kehilangan orang yang kita sayang baru terasa, saya mengalami hal tersebut dan itu membuat saya menyadari bahwa kita harus lebih peduli terhadap orang – orang di sekitar kita, khususnya orang yang sehari – hari yang berada di sekitar kita dulu katena kehilangan nenek saya, saya banyak belajar untuk lebih menghargai cinta dan perhatian yang mereka berikan dan tidak menahan diri untuk mengungkapkan kasih sayang kita dengan kata – kata maupun tindakan. Dulu awalnya sering kali kita menahan diri ketika ingin mengungkapkan rasa sayang kita dengan kata – kata atau mengucapkannya secara langsung tetapi setelah hal tersebut terjadi penyesalan baru terasa, maka saya banyak belajar untuk tidak menahan diri dalam mengungkapkan kasih sayang dan lebih perhatian khusunya untuk orang tua, adik – adik saya dan keluarga terdekat.
Alasan Saya memilih kuliah di jurusan arsitektur adalah karena pada dasarnya saya suka menggambar dan menyukai bentuk – bentuk unik, tentunya hal tersebut tidak luput dari ayah saya yang merupakan seorang arsitek dimana dari kecil saya sudah melihat beliau duduk di ruang kerja untuk mengerjakan project design beliau malam – malam atau saya sekedar melihat ayah saya menggambar sketsa dan melihat project – project beliau, sering kali juga saya diajak dalam mengontrol proyek dan kami suka mengeksplor ke tempat yang memiliki bangunan yang unik dan kami rutin untuk menjadwalkan untuk jalan – jalan untuk melihat tempat – tempat yang baru dan beliau selalu setiap mengenalkan sebuang karya bercerita mengenai arsitektur bangunan tersebut dan juga sering menceritakan filosofi kenapa bangunan tersebut design nya seperti itu dan hubungan bangunan tersebut dengan lingkungan sekitarnya beliau juga banyak menceritakan menganai dunia arsitektur secara garis besar dan ayah saya juga kerab menceritan bagaimana perkuliahan arstitektur itu kesulitan dan senangnya, dari hal itu secara tidak langsung saya menyukai dan tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang dunia arsitektur dan tertarik untuk mendalaminya. Mungkin saya belum dapat mengukur sejauh mana saya mencintai dunia arsitektur karena menurut saya dunia arsitektur sangat luas dan kompleks tetapi awalnya saya sempat di berikan arahan oleh ayah saya bahwa perkuliahan arsitektur itu luas dan berat tetapi saya berusaha untuk tetap pada pendirian saya untuk mempelajari arsitektur, sejauh ini saya memiliki rasa penasaran yang tinggi dan tertarik dengan arsitektur karena saya pernah membaca bahwa arsitektur itu mencakup empat hal pokok, yaitu keindahan, kekuatan, kebermanfaatan, dan kenyamanan ada estetika yang menjadi variabel dari seni dan ada bagian kekuatan yang menjadi bagian matematis dan ada kebermanfaan yang menjadi fungsi gerak manusia yang telah ditentukan alam. Hal tersebut yang semakin menambah rasa penasaran saya untuk belajar dan memperdalam perjalanan saya dalam belajar di dunia arsitektur.
Saya Sakinah dari jurusan arsitektur mahasiswa universitas bina Nusantara, arsitektur merupakan jurusan yang saya minati sejak dahulu. Saat masih smp arsitektur sudah menarik perhatian saya, saya seringkali mengulik tentang apa itu arsitektur dan bagaimana para mahasiswa tersebut belajar arsitektur. Saat memasuki sma saya sudah menentukan untuk memasuki kelas ipa dengan tujuan untuk kuliah nanti agar saya bisa mengambil jurusan arsitektur. Tak hanya sebatas itu saya pun giat belajar terutama dipelajaran fisika dan matematika dan mencoba untuk mendapatkan nilai terbaik dari kedua Pelajaran tersebut. Saat sma saya pun mengulik Kembali dengan jurusan jurusan yang ada namun hati saya tetap memilih arsitektur dan menurut saya jurusan satu satunya yang paling cocok untuk saya yaitu arsitektur. Selama proses bertahun tahun alhamdulillah saya bisa dapat hasil yang memuaskan tapi nihil saat saya masuk jurusan arsitektur di bina Nusantara ternyata tidak ada mata kuliah berhitung. Saya belum tau seberapa saya mencintai arsitektur tetapi saya harap diri saya bisa enjoy selama perkuliahan sampai wisuda dengan adanya tugas tugas berat atau hal unexpected lainnya yang tidak pernah saya duga dan menikmati setiap proses yang saya lakukan.
Mengenai biografi saya, saya adalah anak pertama di keluarga. saya mempunyai 2 adik Perempuan tetapi ayah dan ibu saya adalah anak terakhir dari keluarga masing masing. Sejak dahulu keluarga saya tinggal bareng dengan keluarga ayah saya. Dari anak pertama sampai anak terakhir mereka hidup bareng di suatu rumah. Mungkin jika saya mengatakan rumah tidak begitu tepat tapi seperti suatu wilayah yang terdiri dari beberapa bangunan relative kecil dan bangunan itu adalah kamar masing masing keluarga. Dari dahulu ibu dan bapak saya sibuk kerja sampai pulang larut malam. Saya diurus dengan mba saya dan saya sering main dengan kaka kaka saudara saya. Saya mempunyai 4 kaka saudara yang lebih tua dan di rumah itu ada supir yang bekerja merupakan teman dekat keluarga saya mempunyai 2 anak perempuan yang lebih tua. Dan sejak itu saya sering main Bersama mereka, hari hari saya dipenuhi Bersama mereka. sebagai orang yang lebih tua, mereka sangat perhatian ke saya sampai saya anggap mereka itu kaka saya sendiri. Pengalaman itu kurang lebih berakhir saat saya akelas 6 sd. Banyak kejadian untuk berpisah seperti kaka saudara saya itu campuran bule dan mereka pergi ke luar negri untuk melanjutkan studi mereka.
Singkat cerita ayah dan ibu saya bercerai saat saya kelas 4 sd. Ayah saya menikah lagi dan ibu pun begitu. Saya mempunyai 1 adik yang bedanya cuman 2 tahun bahkan seperti teman seumuran. Saat 2017 ibu saya mempunyai anak lagi dan dari situlah saya baru merasakan role sebagai “kakak” sangat aneh sih menurut saya karena dari dulu juga saya tidak pernah mengurus yang lebih muda juga dari saudara ibu saya itu semua kakak kakak yang lebih tua, saya sering menginap bareng sama seperti pengalaman Bersama kaka saudara dari keluarga ayah saya. Ibu dan bapak tiri saya juga sangat sibuk sehingga saya dan adek saya sering jagain adek bayi sepulang sekolah. Itulah pengalaman saya sebagai kakak walaupun saya orang tertua di keluarga saya. Interesting things teman sekolah saya tidak pernah mengira saya sebagai anak pertama mereka selalu menduga saya adalah anak Tunggal atau anak terakhir.
Saat sekolah saya banyak mengalami kejadian hal yang saya tidak senangi bahkan sampai merubah personality saya sampai sekarang. Dahulu saya adalah orang yang sangat pendiam, gaenakan dan ovt terus. Saya saat smp tidak mempunyai banyak teman bahkan saya saat ngumpul dengan circle saya, saya hanya bisa mendengarkan dan tidak berbicara bahkan jika saya mengatakan sesuatu itu cuman sepatah satu dua kata. Disaat kelas 9 saya banyak merubah personality saya dari lingkungan sekolah yang lumayan toxic hingga circle saya. Saya cuman berpikir waktu itu saya sudah muak dengan keadaan sehingga saya mulai tidak peduli dengan keadaan, bisa megatakan “tidak” ke orang lain dan focus ke tujuan hidup saya. Singkat cerita saat sma saya mulai dekat dengan circle smp Saya. Saya mulai banyak bicara, ngejokes dan tertawa. Saat itu saya sering discord bareng, mabar, ketemuan dll. Namun saat saya kelas 12 saya mengalami hal yang tidak saya senangi itu merupakan sakit hati terbesar saya dalam hidup saya, sekarang pun kalau diingat masih ada rasa gimana gitu. Sebut saja a saat kelas 12 dia pindah ke LN dan saat dia ingin balik ke Indonesia beberapa orang dalam circle saya ketemuan tanpa sepengetahuan saya. Tidak usah saya jabarin saya sangat tidak suka menceritakan hal ini, intinya saya bertengkar karena beberapa orang tidak mengajak saya ketemuan dan ada beberapa orang juga yang tidak ikut. However pas saya debat sama mereka they said “gue kalo mau ketemuan sama orang ya suka suka gue lah mau ngajak siapa” yes they are very toxic and playing victims so much. I couldn’t agree anymore with their stupid argument. They never felt they are doing something wrong. The point is saya ga suka kenapa mereka ga ngajak circlenya ketemuan diem diem senggaknya kalo ketemuan izin dlu atau apa, itu pemikiran saya sejak kejadian itu. Saya sekarang udah ga peduli sih mereka mau ngapain.
After that saya nangis 2 hari I cant stop thinking why they are like that, that is rude things to say. we know each others for almost 5 years. Saya sakit hati sih dan saya nangis di bk 1 harian dan ada 1 tmn saya di dalem circle yg sampe skrg saya hargai, sebut aja b dia memihak saya karena menurut si b argument mereka bodoh aja. She is a highly logical person walaupun bergitu dia ngambil jalan Tengah agar hubungannya baik dengan 2 pihak. Dia cerita ke saya kalau dia setuju dari perspektif dia mengenai argument saya tentang mereka. I am grateful to have a friends like her i hope she know how thankful I am to her even if I don’t say straight forwardly. Selama kelas 12 dia memang teman deket saya dan teman sebangku saat saya cut off dari circle saya dia kemana mana selalu nemani saya setiap waktu ada dan tidak membuat saya feel lonely dan itu merupakan salah satu sakit hati terbesar saya.
Back then when I was in highschool I never thought that I have “that kind of friends” karena dari dulu saya kebanyakan menyindiri dan saya punya mindset saya tidak akan menemukan teman yang cocok but world proves me I am wrong. Saat klas 12 saya mempunyai circle yang hebat mereka anak anak ambis dan ranking sebagaimanapun saya. Circle saya ber 6 cewe semua ranking 10 besar. Banyak hal yang dilalui seperti ngambis bareng, belajar bareng kalau ada yang kesusahan bantuin Bersama, share pengalaman pengalaman dari sebatas circle yang ambis mereka pun jadi sahabat saya. I cant describe how I feel but they are my eternal. Saya sangat senang mempunyai positive friends dan sejalan dengan saya itu merupakan salah satu kenangan yang Bahagia di hidup saya dan saya sangat bersyukur mempunyai teman seperti mereka.
A moment that I can’t forget and is something new. I even thought I had no interest. In fact, I don’t understand why I find the other gender so attractive. I’m not even close to that individual, but for some reason I like him. I’m not sure what caused it. I was definitely in denial for the first three months about like that person, I just couldn’t understand how I could. despite the fact that is normal to other people? I recognized that I enjoyed it when I reached the fourth month. There are numerous things I take into consideration, but since I am a reasonable being, I believe that feelings comes first. Feelings can be superior to logic, but logic cannot be superior to feelings. What is an illustration? No matter how much you try to deny it, falling in love is an emotion that can’t be rejected out of hand. you have to accept reality nonetheless. However, I can see why I like him because he is not that kind of person. he is a calm, intelligent guy and really respects women. He never talks about dishonorable things, he is always careful with the words he says, Even if his face is a little cruel and unapproachable, if you talk to him, simply relax, it’s not as terrible as you think. As time goes by I observe about his interests and I just say we have the same interests if, I have one wish.. maybe we can talk about our interests unfortunately my personality which is similar to him separates that. I’m not close to a guy, doesn’t talk much and he’s just as indifferent. The point is, you have to be invited to chat first, especially with someone from the opposite gender, then you can start a topic. This incident was a new moment for me, I could feel things that I had never felt if I explained that the race was really strange.
Terakhir untuk tujuan, saya punya tujuan tentu saja untuk menjadi arsitek dan saat orang lain melihat bangunan yang saya liat saya ingin dengar orang tersebut bilang “ini siapa arsiteknya” mungkin saya tidak punya tujuan yang bener bener besar dan strict. Dalam waktu singkat ini tujuan saya cuman menjalani hidup dan menikmati prosesnya. Saya sebagai arsitek di masa depan tentu akan mewujudkan keinginan klien saya, membangun boundaries, dan ingin terlibat dalam proyek kecil maupun besar.
Saya Sajid Suhla Amilul Haq dengan nama panggilan Sajid. Tiga kata kunci dalam hidup saya adalah Desain, Inovatif, dan Ilmiah.
Saya dibesarkan di kota kecil, kota yang menjadi satelit ibukota provinsi Jawa Tengah dan biasa terkenal hanya karena sejarah kerajaan islam di masa lalunya, yaitu Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Saya tinggal sekitar dua kilometer dari salah satu bangunan bersejarah yaitu Masjid Agung Demak yang merupakan salah satu bangunan unik dengan penggabungan budaya antaragama di masa lalu.
Saya lahir dikeluarga yang berkecukupan dengan ayah dan ibu seorang pegawai negeri sipil. Keduanya adalah seorang guru biologi pada sekolah menengah atas di salah satu kecamatan di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Bapak saya sering dan selalu mengajari saya mengenai inovasi dan penelitian, karena beliau ingin menurunkan pola pikir yang terstruktur, inovatif, dan ilmiah. Salah satu pengajaran dari orang tua saya adalah membiasakan belajar dan bereksperimen ilmiah pada hari minggu pagi bersama orang tua, khususnya bapak saya pada saat usia sekitar lima tahun hingga sekolah menengah pertama.
Saya anak kedua dari tiga bersaudara, anak yang paling ambisius dan semaunya sendiri. Menjadi anak nomer dua menjadikan saya tidak harus meneladani kakak saya ataupun diteladani oleh adik saya. Saya bebas menentukan cita cita saya dengan restu kedua orang tua.
Trauma
Saya memiliki salah satu trauma, ketika saya duduk di bangku kelas sepuluh SMA, saya bergabung dengan organisasi intra sekolah bernama OSIS. Berbeda dengan cerita teman-teman lain yang pernah jatuh bangun bersama OSIS dan menjadi ketua OSIS, setidaknya pengalaman saya berbeda 180 derajat. Dalam sistem OSIS sudah pasti dan tidak ada seorang pun yang berani mengubah sistem OSIS. Tidak ada masukan dan saran yang masuk ke pihak manajemen sehingga kerjasama menjadi kacau. OSIS yang saya inginkan adalah terus bereksplorasi, tidak mengulang program yang sama setiap tahunnya.
Salah satu pengalaman saya adalah menjadi ketua tim robotika dalam delegasi Akademi Digital Madrasah yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Menjaga visi dan tujuan keempat anggota lainnya dalam 8 bulan akademi bukanlah hal yang sulit, jika kita tahu cara mengatasinya. Musyawarah terbuka dan jajak pendapat yang sering dilakukan adalah kuncinya. Secara pribadi saya lebih suka bekerja dengan orang-orang yang sedikit dan mengetahui pekerjaan mereka. Daripada banyak orang tapi hasil yang sama tanpa peningkatan yang dicapai.
Akhirnya saya menjadi salah satu pendiri ekstrakurikuler bernama Journalist Fun Club, ekstrakurikuler tersebut terhenti selama 2 tahun karena pandemi. Pertanyaannya apakah saya akan merombak sistemnya atau mengulangi sistem yang sama? Jelas jawabannya adalah dengan merombak sistem dan memperbaikinya dengan yang baru. Yang tadinya bekerja sebagai kelompok kecil yang tidak berhubungan satu sama lain menjadi pekerjaan berdasarkan kemampuan masing-masing anggotanya. Apakah membangun sistem itu sulit? Ya, sulit sekali apalagi membuktikan kepada pihak sekolah bahwa ekstrakurikuler ini layak dijadikan organisasi permanen.
Study
Pola pikir yang ditanamkan orang tua saya menjadikan rasa ingin tahu saya sangat besar dan selalu bertanya WHY? Atau mengapa, sebab, rangkaian proses dalam sebuah inovasi. Salah satu produk yang telah saya inovasikan adalah Batu bata yang lebih dapat meredam kebisingan dengan sistem interlock atau kuncian dalam dan telah mendapatkan penghargaan di kompetisi nasional dan internasional tahun lalu. Penghargaan itulah yang membuat saya mendapat beasiswa dari Bina Nusantara University dan mengambil Arsitektur. Produk saya tersebut sangat erat kaitannya dengan salah satu pembahasan arsitektur yaitu Sustainable Architecture dalam bidang modifikasi material partisi bangunan. Saya sangat nyaman dalam membahas bangunan dan membuat saya tertarik dalam dunia arsitektur ini.
Tentang tujuan dalam mengejar pendidikan tinggi, saya telah merancang rencana yang realistis dan dapat dirancang dengan menggunakan prinsip SMART Goals, yang mengacu pada tujuan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, disertai sumber daya yang memadai, dan memiliki batas waktu. Dalam masa empat tahun saya di universitas, saya bertekad untuk mencapai beberapa hal yang mencakup kuliah dengan mendapatkan beasiswa, aktif berpartisipasi sebagai seorang aktivis, serta mengembangkan keterampilan individu yang akan diakui melalui sertifikasi untuk lulus tepat waktu dengan prestasi akademis yang memuaskan. Semua pencapaian ini akan menjadi pijakan penting bagi rencana saya untuk melanjutkan studi lebih lanjut di luar negeri dengan mendapatkan beasiswa, mengikuti jejak alumni yang telah sukses sebelumnya. Dengan demikian, saya dapat mengembangkan diri dan mencapai puncak prestasi dalam perjalanan pendidikan saya.
Dalam Student Development Stage Career Choice, Binus University memberikan 3 cara bagi lulusannya yaitu employee, entrepreneur. Dan further study. Menurut saya lebih cocok untuk melanjutkan studi dan/atau berwirausaha. Saya dapat mencapai hal ini dengan mengumpulkan pengalaman secara bertahap yang tentunya dapat saya masukkan ke dalam resume saya dan menjadi batu loncatan. Dalam studi lebih lanjut, saya ingin belajar bagaimana membuat surat motivasi dan resume yang baik dan menarik, mencapai IELTS band 6.0 dan/atau N2 dalam bahasa Jepang serta rencana masa depan, impian dan usaha. Dalam berwirausaha, saya jelas berpikir untuk terjun ke industri startup atau saya dan mitra saya (jika ada mitra) membuat startup dan industri sendiri. Saat ini mungkin terlihat mustahil, namun saya yakin kolaborasi adalah cara terbaik.
My Experience of couple weeks in Architectural Study
Dalam kuliah arsitektur yang hampir dua minggu telah saya ketahui dan jelajahi. Saya sangat respect terhadap ilmu yang cakupannya sangat besar dan fundamental dalam kehidupan. Saya ingat di pola pikir saya yang awal hanyalah desain saja. Namun sekarang saya sadar analisis terhadap bentuk, tujuan maupun fungsi pada banguanan sangatlah penting, bukan melulu hanya desain terbaik saja. Architectural design dan design thinking membuat saya banyak eksplorasi bentuk dan tujuan bangunan secara fungsional dan simbolik. Building technology membuat saya paham akan structural bangunan low rise, namun saya ingin lebih tahu structural di daerah yang berbeda 180 derajat dari Indonesia.
Mata kuliah lain sebagai pendukung seperti Introduction to architecture mengajarkan saya adab dan perilaku arsitek serta analisis tujuan dan latar belakang bangunan. Dalam introduction to architecture saya benar benar di bawa ke dasar dasar berpikir yang mungkin banyak orang sekedar melewatinya saja. Computational architecture saya belajar, bahwa bukan alat penyebabnya namun kesadaran dari pilotnya yang dibutuhkan. Saya rasa mata kuliah tersebut terlihat berlebihan namun pada kenyataan aslinya sudah tepat pada tempatnya, karena luasnya ilmu arsitektur ini.
Mata kuliah yang lain lagi seperti Sustainable Architecture harusnya menjadi mata kuliah yang lebih menarik dan dinantikan. Architectural history juga harus menjadi matakuliah yang cukup menggugah wawasan tentang arsitektur yang dahulu. Semua mata kuliah sangat penting sebelum mulai mendesain.
Salah satu bahasan yang saya minati adalah Green Building. Salah satu prinsip terpenting dalam kehidupan manusia adalah sandang, pangan, dan papan. Bangunan ramah lingkungan (green building) menjadi isu global yang menarik perhatian, karena bangunan yang kita tinggali harus memenuhi kebutuhan alami dan alamiah tubuh kita. Menurut worldgbc.org, bangunan ramah lingkungan (juga dikenal sebagai konstruksi ramah lingkungan atau bangunan berkelanjutan) mengacu pada struktur dan penerapan proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan hemat sumber daya di seluruh siklus hidup bangunan.
Mengapa saya tertarik membahas Green Building? Bangunan ramah lingkungan mencakup beberapa poin dalam SDGs, salah satunya adalah poin 11, Kota dan Komunitas Berkelanjutan. Green building juga menjadi salah satu topik favorit saya, karena berkaitan dengan studi yang saya ambil, dan pembahasan ini belum banyak dilakukan pada proyek-proyek sosial. Bagaimana penerapannya dalam proyek sosial? Bisa dalam bentuk seminar mengenai green building dan penerapannya pada rumah kelas menengah ke bawah. Hal ini bisa berupa pembuatan produk untuk mengurangi sampah rumah tangga atau mengoptimalkan sampah rumah tangga.
Goals
Tujuan hidup saya adalah menaikkan dan mempercepat laju learning and analysis curve diri saya sendiri dengan begitu saya yakin dapat menganalisis dan mendesain sebuah karya fisik yang bermanfaat dan menjadi perbuatan baik yang terus menerus atau berkelanjutan. Tujuan tersebut memang terlihat tidak aplikatif dan tidak ada jangka waktu yang pasti. Namun perubahan secara fundamental bisa merubah secara drastis dan langsung berimpact.
Tujuan tersebut harus didukung dengan habit atau kebiasaan yang seharusnya dibentuk sejak dini dalam segi analisis. Salah satu hal yang mulai saya lakukan adalah eksplorasi bentuk dan analisis bangunan (hanya analisis kasar seperti menginterpretasikan tujuan dibangun) secara pribadi untuk menemukan gaya atau garis desain saya kearah atau subtopic seperti apa, mungkin terdengar klise. Namun hal tersebut seharusnya menjadi aplikatif. Di sisi lain, perubahan yang disruptif dan terjadi secara tiba tiba akan menimbulkan shock pada kebiasaan. Maka sebaiknya segera membiasakan diri.
Hal yang paling saya secara pribadi takutkan adalah belum menemukan gaya atau garis desain kesukaan, sehingga saya terus saja eksplorasi namun inkonsistensi atau tidak konsisten terhadap karya saya. Mungkin masih terlalu awal untuk memikirkannya namun hal seperti itu perlu.
Tentunya saya ingin berkontribusi untuk Indonesia. Membangun startup saya sendiri. Startup merupakan perusahaan inovasi teknologi yang berkembang dengan idenya masing-masing. Ide-ide unik akan menarik minat masyarakat luas. Kapan startup tersebut akan dibuat? Jika startup itu sesederhana sebuah ide, maka startup itu sudah ada sekarang. Namun startup ternyata lebih kompleks dari yang diperkirakan. Berdasarkan ilmu yang dipelajari dari berbagai kompetisi di bidang teknologi. Kecanggihan teknologi bukanlah salah satu cara untuk menjadi besar dan memiliki banyak penilaian. Namun ada satu hal yang kurang dan sering terlupakan yaitu branding. Dalam tim non-teknis, branding dan pemasaran adalah hal yang paling penting. Bagaimana produknya diminati? adalah salah satu pertanyaan besar yang sangat sulit dijawab. Apakah dengan sponsor yang kuat atau sederhana namun menarik? Namun semua itu hanya omong kosong belaka tanpa adanya investor. Startup memang dibuat oleh para inventor, namun mereka sangat membutuhkan investor. Jika Anda masih berkutat pada idealisme yang harus canggih dan menjadi penerobos teknologi baru, maka tidak ada artinya tanpa investor. Dalam hal ini, mari kita fokus pada penemu startup. Setidaknya ada beberapa poin yang dimiliki startup yaitu strategi dan valuasi.
Bagi saya, konsep Nous adalah salah satu gagasan paling menarik dan berpengaruh dalam filsafat, khususnya dalam bidang filsafat Yunani kuno. Saat saya menavigasi perjalanan akademis saya, terlihat jelas bahwa konsep Nous, dengan empat elemen penting – Sophia (kebijaksanaan), Techne (keterampilan), Pronesis (kebijaksanaan praktis), dan Episteme (pengetahuan), memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan intelektual dan pribadi saya. Dalam esai ini, saya akan menelusuri makna Nous dan mendalami empat elemen penyusunnya. Selain itu, saya akan mengkaji bagaimana Nous memiliki dampak besar pada kehidupan akademis saya, meningkatkan kemampuan saya untuk berpikir kritis, mengembangkan keterampilan praktis, membuat keputusan, dan memperoleh pengetahuan.
I. Pemahaman Nous: Hakikat Keunggulan Intelektual dan Moral
Nous, istilah yang berasal dari filsafat Yunani kuno, memiliki makna filosofis yang beragam. Ini dapat diterjemahkan sebagai “intelek”, “kecerdasan”, atau “pikiran”. Dalam bidang filsafat, Nous mewujudkan bentuk keunggulan intelektual dan moral tertinggi yang dapat dicapai manusia. Ini mencakup kemampuan untuk memahami konsep-konsep abstrak, membedakan batas antara benar dan salah, dan memandang dunia dari perspektif yang mendalam.
Konsep Nous secara intrinsik terkait dengan karya-karya filsuf Yunani terkemuka, khususnya Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, Nous dianggap sebagai alam realitas tertinggi, mewakili alam Bentuk yang sempurna dan tidak berubah. Aristoteles, sebaliknya, mendefinisikan Nous sebagai bentuk pengetahuan tertinggi, yang menggabungkan kebijaksanaan praktis dan teoretis.
II. Empat Elemen Nous
A. Sophia (Kebijaksanaan)
Sophia, komponen penting dari Nous, berkaitan dengan kebijaksanaan atau kemampuan untuk membuat penilaian yang masuk akal berdasarkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip etika dan moral. Dalam konteks kehidupan akademis, Sophia mengajak saya untuk merenungkan persoalan etika dalam berbagai disiplin ilmu. Sebagai mahasiswa, kiita diharapkan untuk merenungkan konsekuensi etis dari tindakan saya, baik dalam penelitian, pengambilan keputusan, atau interaksi sehari-hari. Kebijaksanaan memberdayakan saya untuk menumbuhkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai yang mendasari pendidikan saya, yang memandu perilaku dan pilihan saya.
Dalam lingkungan akademis, Sophia memengaruhi kemampuan saya untuk terlibat dalam wacana moral dan etika. Hal ini membekali saya dengan kapasitas untuk mengevaluasi isu-isu kompleks, menavigasi dilema moral, dan membuat keputusan etis. Saat saya merenungkan pilihan akademis saya, Sophia-lah yang mendorong saya untuk menjunjung standar perilaku etis tertinggi, baik dalam upaya keilmuan saya maupun dalam interaksi saya dengan rekan, mentor, dosen dan teman-teman.
B. Teknologi (Keterampilan)
Techne adalah elemen integral lain dari Nous, yang menunjukkan keterampilan atau keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Dalam dunia akademis, mahasiswa terus ditugasi untuk mengembangkan berbagai keterampilan, mulai dari kemahiran meneliti dan analisis kritis hingga kemampuan komunikasi yang efektif. Keterampilan ini sangat diperlukan dalam memahami dan menerapkan konsep-konsep yang diperoleh dalam berbagai mata kuliah. Penguasaan Techne memungkinkan siswa untuk menumbuhkan kompetensi dalam bidang studi masing-masing, secara aktif berkontribusi terhadap kemajuan pengetahuan.
Techne khususnya diucapkan dalam bidang studi praktis seperti teknik, kedokteran, dan seni. Melalui Techne siswa mendapatkan pengalaman langsung, menyempurnakan keahlian mereka, dan menerapkan keterampilan mereka dalam skenario dunia nyata. Baik mahasiswa kedokteran yang mempelajari seluk-beluk pembedahan atau calon seniman yang menguasai teknik mereka, Techne menggarisbawahi pentingnya keterampilan praktis dalam perjalanan akademis.
C. Pronesis (Kebijaksanaan Praktis)
Pronesis, unsur kebijaksanaan praktis, mencakup kapasitas untuk membuat keputusan yang tepat dan bijaksana dalam situasi nyata. Di bidang akademik, siswa sering kali menghadapi tantangan yang memerlukan keterampilan pengambilan keputusan. Pronesis membekali saya untuk mengidentifikasi solusi optimal dan efektif terhadap masalah yang kompleks. Kemampuan ini sangat berharga dalam konteks proyek penelitian, tugas kursus, dan proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan akademik dan karir.
Penerapan Pronesis meluas ke perencanaan dan strategi akademik. Siswa sering menghadapi pilihan mengenai jalur pendidikan, pilihan kursus, dan arah penelitian mereka. Kebijaksanaan praktis memandu saya dalam mengevaluasi keputusan-keputusan ini, mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari pilihan-pilihan, dan memilih opsi-opsi yang paling sesuai dan bermanfaat.
D. Episteme (Pengetahuan)
Episteme adalah elemen terakhir dari Nous, mewakili pengetahuan atau pemahaman mendalam tentang dunia dan beragam disiplin ilmu. Dalam konteks akademis, perolehan Episteme merupakan tujuan utama. Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep, teori, dan prinsip yang mendasari bidang studi pilihannya. Pengetahuan ini berfungsi sebagai landasan untuk menghasilkan ide-ide baru, perluasan teori-teori yang ada, dan pengembangan solusi inovatif terhadap masalah-masalah kompleks.
Episteme adalah inti dari penelitian akademis. Hal ini mendorong siswa untuk mengeksplorasi batas-batas pengetahuan, terlibat dengan penelitian mutakhir, dan berkontribusi pada pemahaman manusia. Melalui Episteme, mahasiswa memperoleh kemampuan mengevaluasi secara kritis pengetahuan yang ada, melakukan penelitian orisinal, dan memajukan batas-batas pemahaman manusia di bidangnya masing-masing.
III. Pengaruh Nous dalam Kehidupan Akademik
Konsep Nous dengan empat unsur penyusunnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan akademik mahasiswa. Di bawah ini, saya mengeksplorasi bagaimana Nous membentuk pengalaman saya di paruh pertama semester ini:
A. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis: Unsur Sophia dan Pronesis memainkan peran penting dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis. Siswa didorong untuk merenungkan dan menganalisis isu-isu kompleks baik dalam kursus teoritis dan praktis. Kapasitas ini memungkinkan saya untuk memahami dan menghargai beragam perspektif, serta mengevaluasi implikasi etis dari tindakan saya.
Dalam konteks perkuliahan, Nous merangsang saya untuk mendalami mata pelajaran yang ada. Saya didorong untuk mempertanyakan asumsi, menilai bukti secara kritis, dan berpikir kreatif. Pemeliharaan keterampilan berpikir kritis ini penting tidak hanya untuk keberhasilan akademis tetapi juga untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
B. Mengoptimalkan Proses Pembelajaran: Techne sebagai elemen penting memberdayakan siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Pencatatan yang efektif, manajemen waktu, dan pengorganisasian informasi adalah keterampilan yang diperoleh siswa. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk memahami dan mempertahankan materi luas yang disajikan dalam berbagai mata kuliah.
Techne juga memupuk kemampuan beradaptasi dan pemecahan masalah, saat siswa belajar menggunakan beragam strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan unik mereka. Keterampilan ini memungkinkan siswa untuk unggul secara akademis dan terbawa ke dalam kehidupan profesional mereka.
C. Memperluas Wawasan dan Pengetahuan: Episteme, unsur pengetahuan, mendorong siswa untuk memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman mereka di berbagai disiplin ilmu. Siswa diberi kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai bidang pengetahuan dan mempelajari mata pelajaran yang membangkitkan rasa ingin tahu mereka.
Melalui Episteme, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan yang luas tetapi juga keahlian yang mendalam di bidang studi pilihan mereka. Landasan pengetahuan ini memberdayakan siswa untuk secara aktif terlibat dalam wacana intelektual, berkontribusi pada bidang minat mereka, dan menumbuhkan budaya pembelajaran dan penemuan berkelanjutan.
D. Menghadapi Tantangan Praktis: Pronesis, elemen kebijaksanaan praktis, membekali siswa untuk mengatasi tantangan praktis dalam kehidupan akademik. Siswa sering dihadapkan dengan pilihan mengenai jalur pendidikan mereka, pilihan kursus, dan pengelolaan proyek penelitian. Kebijaksanaan praktis membantu dalam mengevaluasi keputusan-keputusan ini, mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari pilihan-pilihan, dan memilih pilihan-pilihan yang paling sesuai dan bermanfaat.
E. Kesadaran dan Tanggung Jawab Etis: Unsur Sophia, yang menekankan kebijaksanaan dan penilaian moral, meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab etis kita sebagai siswa. Dalam kegiatan akademis kita, Nous mengingatkan kita akan pentingnya perilaku etis dalam penelitian, kolaborasi, dan penyebaran pengetahuan. Kita didorong untuk berperilaku dengan integritas, kejujuran, dan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap masyarakat dan civitas akademika.
Saat kita terlibat dalam proyek penelitian dan kerja kolaboratif, Nous mendorong kita untuk mempertimbangkan implikasi etis dari tindakan kita. Hal ini memperkuat pentingnya mengutip sumber, menghindari plagiarisme, dan menjunjung tinggi integritas akademik. Kesadaran etis ini, yang ditanamkan melalui Sophia, mempersiapkan kita untuk menavigasi medan etika yang kompleks di dunia akademis dan, pada akhirnya, dunia profesional.
F. Pemikiran Interdisipliner: Unsur Episteme yang mewakili pengetahuan mendorong siswa untuk menganut pemikiran interdisipliner. Dalam dunia akademis modern, batasan antar disiplin ilmu menjadi semakin keropos, dan solusi terhadap permasalahan dunia nyata yang kompleks sering kali memerlukan pendekatan multidisiplin. Melalui Episteme, siswa memperoleh kemampuan untuk menarik hubungan antara bidang studi yang tampaknya tidak berhubungan dan untuk mensintesis pengetahuan dari berbagai bidang.
Perspektif interdisipliner ini sangat berharga dalam mengatasi tantangan dunia nyata, seperti perubahan iklim, krisis kesehatan masyarakat, dan kesenjangan sosial. Nous mendorong pengembangan siswa yang dapat berpikir secara holistik, mengintegrasikan beragam perspektif, dan berkontribusi terhadap solusi inovatif dan lintas disiplin.
G. Kemampuan beradaptasi dan Pemecahan Masalah: Techne, unsur keterampilan, membekali siswa dengan kemampuan beradaptasi dan memecahkan masalah secara efektif. Dalam lanskap kehidupan akademis yang dinamis, tantangan tak terduga dan permasalahan kompleks tidak bisa dihindari. Techne membekali mahasiswa dengan perangkat untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, baik yang berkaitan dengan teknologi yang berubah dengan cepat, pergeseran paradigma penelitian, atau persyaratan akademis yang terus berkembang.
Saat kita menghadapi gangguan dan ketidakpastian, Nous mendorong kita untuk menghadapi tantangan dengan pola pikir berkembang. Kami belajar beradaptasi, memperoleh keterampilan baru, dan mengembangkan strategi pemecahan masalah yang inovatif. Elemen keterampilan memungkinkan kita untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan keluar dari rintangan akademis dengan ketahanan dan keserbagunaan yang lebih besar.
H) Kepemimpinan dan Inisiatif: Kombinasi Pronesis dan Sophia menginspirasi siswa untuk mengambil peran kepemimpinan dan mengambil inisiatif dalam upaya akademis mereka. Kepemimpinan adalah sifat berharga yang melampaui kehidupan akademis dan karir masa depan. Nous memperkuat gagasan bahwa pemimpin harus menunjukkan kebijaksanaan praktis dalam pengambilan keputusan, dipandu oleh prinsip-prinsip etika, dan meningkatkan kesejahteraan komunitasnya.
Melalui Pronesis, siswa belajar membuat keputusan yang tepat dan etis ketika memimpin proyek, tim, atau inisiatif. Kebijaksanaan praktis ini memberdayakan individu untuk menjadi pemimpin efektif yang dapat menavigasi situasi kompleks dengan anggun dan integritas. Lebih lanjut, Sophia mendorong kepemimpinan etis dengan menekankan tanggung jawab
I)Pembelajaran Seumur Hidup: Konsep Nous mendorong komitmen terhadap pembelajaran seumur hidup. Sebagai pelajar, kami menyadari bahwa perjalanan akademis kami hanyalah salah satu fase dari pencarian pengetahuan dan kebijaksanaan seumur hidup. Nous menanamkan dalam diri kita rasa ingin tahu untuk terus belajar melampaui pendidikan formal dan mencari peluang untuk pengembangan diri. Dalam bidang studi praktis, seperti bisnis atau teknik, Pronesis menjadi sangat penting
Episteme, khususnya, menggarisbawahi nilai pembelajaran berkelanjutan dan pengembangan diri. Hal ini menumbuhkan apresiasi yang mendalam terhadap sifat pengetahuan yang tidak terbatas, memotivasi siswa untuk mengeksplorasi bidang studi baru, terlibat dalam wacana intelektual, dan berkontribusi pada pemahaman manusia yang terus berkembang sepanjang hidup mereka.
Kesimpulan
Kesimpulannya, konsep Nous, dengan empat elemen pentingnya, memiliki dampak yang mendalam dan beragam dalam kehidupan akademis kita. Nous menanamkan dalam diri kita pentingnya kebijaksanaan, keterampilan praktis, kesadaran etis, pemikiran interdisipliner, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, dan upaya pembelajaran seumur hidup. Sebagai siswa, kita terus-menerus dibentuk dan dibimbing oleh prinsip-prinsip Nous, yang tidak hanya mempersiapkan kita untuk kesuksesan akademis namun juga membekali kita untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan etis di luar kelas.
Perjalanan akademis kita bukan sekedar pencarian pengetahuan namun juga pengalaman transformatif yang membentuk kita menjadi individu yang dapat berpikir kritis, memecahkan masalah kompleks, dan membuat keputusan yang tepat dan etis. Nous berfungsi sebagai
cahaya penuntun, menerangi jalan kita dan menginspirasi kita untuk mencapai tingkat intelektual dan moral yang baru. Melalui Nous, saya memulai perjalanan penemuan seumur hidup, pertumbuhan berkelanjutan, dan pencarian kebijaksanaan dan pengetahuan.
Kehidupan mahasiswa awal saya merupakan suatu hal penting dalam perjalanan hidup saya. Saya saat ini masih tinggal di Tangerang, sebuah kota yang relatif jauh dengan kampus Binus Kemanggisan. Namun, meskipun jaraknya jauh, saya tetap semangat untuk pergi berkuliah, perjalanan ke kampus bukanlah hal yang mudah. Untuk mencapai kampus, saya harus berangkat dan pulang dengan kereta setiap hari. Ini adalah tantangan tersendiri, terutama ketika harus bangun pagi-pagi buta untuk menghindari kemacetan dan mencapai kelas tepat waktu. Apalagi ditambah dengan kereta yang hampir tiap harinya dipenuhi oleh orang – orang yang ingin berangkat kerja.
Binus Alam Sutera yang seharusnya menjadi tempat saya untuk berkuliah tidak memiliki jurusan arsitektur, yang merupakan jurusan pilihan saya. Hal ini membuat saya harus mencari alternatif untuk mengejar jurusan yang saya ingini. Pilihan yang dapat saya ambil adalah bergabung dengan program studi arsitektur di kampus lain yang lebih jauh yaitu Binus Kemanggisan. Ini berarti saya harus menempuh perjalanan panjang setiap hari, naik kereta untuk pergi dan pulang. Meskipun ini menjadi beban tersendiri, saya tidak pernah menyerah pada impian saya untuk menjadi seorang arsitek.
Selama beberapa waktu, saya juga mempertimbangkan untuk mencari kost di dekat kampus agar perjalanan tidak terlalu melelahkan. Namun, ayah saya belum memberikan izin untuk hal tersebut. Saya merasa tidak nyaman membebani ayah saya dengan biaya kost, mengingat kondisi keuangan keluarga kami. Sebagai alternatif, saya mencoba mencari cara untuk mendukung keuangan saya sendiri. Saya mulai bekerja paruh waktu di samping kuliah untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang bisa saya alokasikan untuk biaya perjalanan dan peralatan arsitektur yang mahal.
Di minggu-minggu awal perkuliahan, saya menghadapi berbagai tantangan. Perbedaan lingkungan antara SMA dengan perguruan tinggi, terutama lingkungan pertemanan yang berbeda dari yang saya jalani sebelumnya, membuat saya merasa kewalahan. Namun, sifat saya yang ramah dan terbuka membantu saya untuk dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Saya mulai berkenalan dengan banyak teman sekelas, meskipun belum terlalu dekat.
Namun, tantangan yang paling signifikan datang dalam bentuk tugas-tugas perkuliahan yang cukup berat. Saya harus menghadapi banyak proyek, tugas, dan presentasi yang menguras waktu dan tenaga. Terkadang, tugas-tugas ini bahkan membuat saya harus mengorbankan waktu tidur dan waktu luang saya. Ini adalah saat-saat ketika saya merasa sangat tertekan dan kewalahan, tetapi saya menyadari bahwa ini adalah bagian dari perjalanan menuju impian saya untuk menjadi seorang arsitek yang sukses. Saya harus berjuang dan berusaha keras untuk meraihnya.
Alasan saya memilih jurusan arsitektur adalah karena ketertarikan mendalam saya terhadap bangunan-bangunan yang megah dan indah. Sejak kecil, saya selalu terpesona saat diajak untuk berjalan-jalan ke kota dan melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang tinggi. Melihat bangunan-bangunan ini membuat saya merasa kagum dan takjub. Keindahan arsitektur yang ada di sekitar saya membuat saya yakin bahwa ini adalah jalur karier yang sesuai untuk saya.
Namun, saat saya menghadapi keputusan untuk memilih jurusan kuliah saat di SMA, saya merasa bingung. Tidak ada jurusan yang benar-benar mencerminkan minat dan bakat saya saat itu. Saat saya berkonsultasi dengan ayah saya tentang pilihan jurusan, dia mengusulkan ide yang kemudian membuka jalan untuk impian saya menjadi seorang arsitek. Dia berkata, “How about architecture?” Saat itu, saya merasa bahwa jurusan inilah yang tepat bagi saya. Ide ini langsung memicu minat dan antusiasme saya.
Meskipun saya sangat tertarik dengan arsitektur, saya sadar bahwa saya tidak memiliki basic dalam menggambar. Di sekolah sebelumnya, saya tidak pernah diajarkan untuk menggambar, dan ini adalah kelemahan besar yang perlu saya atasi jika ingin berhasil dalam jurusan ini. Namun, tekad dan semangat saya untuk mempelajari seni menggambar dan mengerjakan tugas-tugas menggambar di kuliah membantu saya untuk mengatasi hambatan ini. Saya percaya bahwa dengan latihan yang keras dan ketekunan, saya dapat mengembangkan keterampilan menggambar yang diperlukan untuk menjadi seorang arsitek yang sukses.
Selama masa kuliah, terkadang saya merasa tidak percaya diri dibandingkan dengan teman-teman sekelas yang memiliki latar belakang dalam menggambar. Mereka tampaknya lebih berpengalaman dan mahir dalam aspek ini. Namun, saya selalu mengingatkan diri sendiri bahwa saya memilih jurusan ini dengan keyakinan bahwa saya dapat belajar dan tumbuh. Saya tahu bahwa setiap orang memiliki titik awal yang berbeda dalam perjalanan mereka, dan yang terpenting adalah kemauan untuk terus belajar dan berkembang.
Pada awalnya, saya mungkin tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dunia arsitektur. Keluarga saya tidak memiliki latar belakang atau hubungan khusus dengan bidang ini. Sebelum memulai perkuliahan, saya bahkan tidak pernah membayangkan diri saya sebagai seorang arsitek.
Saat saya menghadiri kuliah arsitektur pada minggu pertama, saya merasa sedikit kewalahan. Saya harus beradaptasi dengan lingkungan baru, bertemu dengan teman-teman baru, dan berinteraksi dengan dosen-dosen yang sangat berpengalaman dalam bidang arsitektur. Semua ini menciptakan apa yang sering disebut sebagai “culture shock.” Namun, saya yakin bahwa saya bisa beradaptasi dan berhasil dalam dunia perkuliahan ini.
Sejauh mana saya mencintai arsitektur? Pertanyaan ini belum pernah terpikirkan oleh saya. Pada awalnya, cinta saya terhadap arsitektur mungkin hanya sebatas permukaan. Namun, melalui pengenalan yang mendalam terhadap teori-teori arsitektur, sejarah bangunan-bangunan ikonik, dan proses perancangan yang rumit, cinta saya terhadap arsitektur berkembang pesat. Saya mulai menghargai keindahan yang tersembunyi di balik setiap bangunan, bagaimana arsitek mampu menciptakan ruang yang menginspirasi dan memengaruhi kehidupan sehari-hari kita.
Mimpi saya adalah menjadi arsitek yang mampu menciptakan bangunan-bangunan yang tidak hanya estetis serta menakjubkan, tetapi juga berfungsi secara optimal dan ramah lingkungan. Saya ingin membangun gedung-gedung pencakar langit yang menjadi simbol kemajuan dan inovasi. Menciptakan desain bangunan yang dapat meningkatkan kualitas hidup orang-orang adalah salah satu tujuan utama saya dalam karier ini.
Ada satu momen dalam hidup saya yang sangat berkesan dan memiliki dampak besar pada diri saya. Kejadian ini terjadi ketika saya masih bersekolah di tingkat dasar. Saat itu, saya terlibat dalam sebuah perkelahian dengan kakak laki-laki saya. Perkelahian ini tidak hanya fisik, tetapi juga menghasilkan kata-kata yang tajam dan menyakitkan.
Pada saat itu, kakak laki-laki saya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat menikam saya. Dia berkata, “kalau mikir tuh pake logika.” Kalimat sederhana ini seolah-olah menusuk hati saya. Meskipun awalnya saya merasa tersinggung dan marah, kalimat ini akhirnya mengubah pandangan hidup saya secara mendasar.
Sejak saat itu, saya mulai memahami betapa pentingnya logika dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Saya menyadari bahwa emosi tidak selalu membantu dalam mengatasi masalah atau membuat keputusan yang baik. Logika dan pemikiran rasional menjadi landasan dalam setiap tindakan dan keputusan saya. Ini membantu saya dalam mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menjalani kehidupan saya selanjutnya.
Pengalaman ini juga mendorong saya untuk menjadi lebih toleran terhadap pendapat orang lain dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik. Saya belajar bahwa dalam berinteraksi dengan orang lain, penting untuk menggunakan logika dan argumen yang kuat, bukan emosi dan kata-kata kasar. Dengan demikian, momen berkesan ini telah membentuk saya menjadi individu yang lebih dewasa dan bijaksana.
Saat saya bertemu dengan orang baru, cerita yang ingin saya bagikan adalah tentang pengalaman bertemu teman-teman saya di SMA. Ini adalah momen yang benar-benar mengubah hidup saya secara signifikan dan mengubah saya menjadi pribadi yang lebih baik.
Pada saat saya masih duduk di bangku SMP, saya adalah seorang yang introvert. Saya lebih suka menyendiri dan tidak begitu percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Saya memiliki teman-teman di SMP, tetapi hubungan kami tidak terlalu dekat, dan saya jarang menghabiskan waktu di luar sekolah dengan mereka.
Semuanya berubah ketika saya memasuki SMA. Saat itu, saya mulai tertarik pada game online, terutama game online yang mampu dimainkan secara bersama sama. Saya mulai bermain game bersama beberapa teman yang pada awalnya belum saya kenali di SMP.
Ketika kami bermain bersama, kami saling berkomunikasi melalui komunikasi dalam game. Lambat laun, kami mulai mengenal satu sama lain lebih baik. Kegiatan bermain game online ini membantu kami membangun ikatan yang kuat. Kami berbagi pengalaman, tawa, dan bahkan membuat kami menjadi sahabat. Kami menjadi tim yang solid dalam permainan kami dan juga menjadi teman yang akrab.
Setelah beberapa waktu, yaitu saat sekolah sudah diadakan secara onsite kami memutuskan untuk berkumpul bersama dan bermain di rumah salah satu dari kami setiap pulang sekolah. Ini adalah langkah besar bagi saya, yang biasanya lebih suka berada di balik layar komputer. Dari hal kecil yaitu game online membuat saya yang awalnya sulit untuk bergaul dengan teman sebaya saya, menjadi orang yang sangat mudah bergaul dan tergolong friendly terhadap orang lain. Semua itu berkat mereka yang melakukan pendekatan dengan saya melalui game online ini.
Selama pertemuan ini, kami menghabiskan waktu bersama, bermain game, berbicara, dan berbagi cerita. Ini adalah momen yang luar biasa bagi saya karena saya mulai merasa bahwa saya tidak lagi sendiri. Teman-teman ini menerima saya apa adanya dan membantu saya merasa lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain.
Pengalaman ini juga membantu saya mengembangkan kemampuan sosial saya. Saya menjadi lebih ramah, terbuka, dan lebih mudah berbicara dengan orang lain. Saya mulai memiliki banyak sahabat yang mendukung saya dalam perjalanan hidup saya. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup saya, dan saya sangat berterima kasih atas pertemuan tersebut karena telah mengubah saya menjadi pribadi yang lebih baik.
Salah satu aspek penting dalam hidup saya adalah musik. Musik telah menjadi teman setia saya dalam berbagai momen, termasuk dalam kebahagiaan dan kesedihan. Lagu favorit saya yang sangat berarti bagi saya adalah “Hold On” oleh Chord Overstreet. Lagu ini memiliki makna mendalam bagi saya karena mengingatkan saya pada masa-masa sulit yang saya alami ketika mengalami perpisahan dengan mantan pacar saya. Momen perpisahan tersebut adalah salah satu pengalaman yang paling sulit dan menyakitkan dalam hidup saya. Ketika hubungan kami berakhir, saya merasa hancur dan kehilangan.
Setiap kali saya mendengarkan lagu “Hold On,” liriknya menyentuh hati saya secara mendalam. Lirik-lirik seperti “Hold on I still want you. Comeback I still need you.” membuat saya merenung tentang kenangan indah bersama mantan pacar saya. Meskipun perpisahan itu pahit, lagu ini mengajarkan saya untuk tetap berpegang pada kenangan yang baik dan terus maju. Lagu ini juga mengingatkan saya tentang pentingnya untuk terus melangkah dan tidak terjebak dalam masa lalu. Meskipun masih ada perasaan yang kuat terhadap mantan, saya memahami pentingnya untuk terus maju, mengejar impian, dan membangun kebahagiaan saya sendiri.
Awalnya, alasan saya hidup untuk diri sendiri adalah karena saya lahir dari keluarga yang tidak memiliki banyak sumber daya finansial. Sejak kecil, saya telah belajar menjadi mandiri dan mencari uang tambahan dengan cara reselling barang. Saya tumbuh dengan pemahaman bahwa untuk mencapai tujuan dan impian saya, saya harus bekerja keras dan berusaha sendiri.
Namun, seiring berjalannya waktu, alasan hidup saya mulai berkembang. Saya menyadari bahwa hidup tidak hanya tentang mencapai kesuksesan dan kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga tentang memberikan dampak positif pada kehidupan orang lain. Saya merasa terdorong untuk membantu orang lain dan berkontribusi pada masyarakat.
Salah satu tujuan utama saya dalam hidup adalah mencapai kecukupan finansial yang dapat membuat orang tua saya bahagia. Ayah saya telah bekerja keras untuk menyokong keluarga kami, dan saya ingin membalas budi dengan cara memberikan mereka kehidupan yang lebih baik dan nyaman. Saya ingin menghapus beban finansial dari pundak mereka dan membuat mereka merasa bangga dengan pencapaian saya.
Selain itu, saya juga memiliki tekad untuk memberikan kepada yang membutuhkan. Saya percaya bahwa keberhasilan yang saya raih tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Saya bermimpi untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan amal yang dapat memberikan dampak positif pada komunitas dan masyarakat sekitar.
Setelah mencapai tujuan finansial saya dan memberikan dukungan yang cukup kepada orang tua saya, saya berencana untuk mencari pasangan hidup yang dapat saya bagi kebahagiaan dan kesuksesan bersama. Hidup bukan hanya tentang meraih kesuksesan materi, tetapi juga tentang menciptakan hubungan yang kuat dan berarti dengan orang yang kita cintai. Setelah itu, saya akan tetap fokus pada pengembangan diri saya sendiri, terus belajar, berkembang, dan mencapai impian-impiam yang saya miliki.
Saya lahir di Tangerang, sebuah kota yang terletak di daerah metropolitan Jakarta, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Keluarga kami, meskipun tidak kaya, tergolong harmonis. Namun, kami mengalami perubahan besar dalam hidup kami ketika ibu kandung saya meninggal ketika saya masih sangat kecil. Kehilangan ibu adalah pengalaman yang sangat sulit bagi seluruh keluarga kami, dan itu meninggalkan luka yang dalam.
Setahun setelah kematian ibu, ayah saya menikah lagi. Saya menjadi anak tengah dalam keluarga, di antara dua kakak laki-laki dan dua adik perempuan. Peran sebagai anak tengah seringkali membawa ekspektasi untuk menjadi sempurna dalam segala hal. Saya merasa dorongan untuk berhasil dalam studi, kehidupan sosial, dan segala aspek kehidupan.
Peran ini juga berdampak pada kepribadian saya. Saya tumbuh menjadi seorang yang perfeksionis yang selalu ingin melakukan yang terbaik dalam segala hal yang saya lakukan. Saya memiliki ambisi untuk menjadi mandiri dan berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Walaupun peran sebagai anak tengah menimbulkan tekanan, itu juga membantu membentuk karakter saya dan memberi saya tekad yang kuat untuk meraih impian dan tujuan dalam hidup saya.
Hidup saya tidak selalu penuh dengan kebahagiaan dan keberuntungan. Seperti semua orang, saya juga mengalami berbagai kesedihan dalam hidup saya. Namun, saya selalu berusaha untuk menjalani hidup dengan tekad dan kekuatan, tanpa membiarkan kesedihan mengalahkan saya.
Salah satu pengalaman paling menyakitkan dalam hidup saya adalah saat saya kehilangan seseorang yang sangat saya cintai yaitu mantan pacar saya. Kehilangan itu datang dan meninggalkan luka yang dalam di hati saya. Saya merasa bersedih, kehilangan, dan kesepian. Namun, saya memilih untuk tidak membiarkan kesedihan itu menghancurkan saya.
Saya percaya bahwa setiap pengalaman, baik yang baik maupun yang buruk, adalah bagian dari perjalanan hidup kita. Pengalaman-pengalaman ini membentuk kita menjadi pribadi yang kita adalah hari ini. Saya selalu berusaha untuk mengambil pelajaran dari setiap pengalaman dan menggunakan kesedihan sebagai motivasi untuk tumbuh dan berkembang.
Saya percaya bahwa hidup adalah tentang bagaimana kita menghadapi tantangan dan kesulitan, bukan tentang seberapa sering kita terjatuh, tetapi tentang seberapa sering kita bangkit. Saya memilih untuk tidak memiliki penyesalan dalam hidup ini. Saya menganggap setiap pengalaman sebagai pelajaran berharga yang membantu saya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
Dalam hidup ini, kita semua akan menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan. Namun, yang penting adalah bagaimana kita meresponnya. Saya yakin bahwa dengan tekad dan semangat yang kuat, kita dapat mengatasi semua kesedihan dan menjalani kehidupan yang berarti dan bahagia. Itulah filosofi yang saya anut dalam hidup saya, dan saya akan terus melangkah ke depan dengan tekad yang sama.
Nama saya Safira Puteri Zaila, saya lahir di Salah satu rumah sakit di duren tiga, jakarta selatan pada tanggal 24 agustus 2005. saya asal jakarta, sedari kecil saya lahir dan besar di kemang, jakarta selaran hingga akhirnya sejak saya duduk di kelas 5 sd saya pindah ke jagakarsa, jakarta selatan yang menjadi tempat tinggal saya hingga sekarang. Saya dilahirkan oleh sosok ibu yang hebat dan ayah yang pekerja keras, ayah saya memiliki darah keturunan padang dan bengkulu, sementara ibu saya memiliki darah lampung dan arab namun sayangnya saya tidak paham keempat bahasa dari masing masing daerah tersebut. ayah saya merupakan seorang kontraktor, maka dari itu salah satu alasan saya memilih arsitektur karna ayah saya sangat mendukung saya masuk ke dunia yang mirip dengannya, ibu saya merupakan ibu rumah tangga namun beberapa kali ibu saya memiliki usaha sendiri. Saya merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (anak tengah) dan saya adalah anak perempuan satu-satunya, kakak saya merupakan mahasiswa manajemen di trisakti yang kini sudah memasuki semester 5, adik saya merupakan siswa kelas 9 SMP di sumbangsih.
Saat saya playgroup hingga tk saya bersekolah di TK Tadika Puri di kemang, lalu saya melanjutkan sekolah di SD Sumbangsih Duren Bangka, kemudian saya bersekolah di SMP Negeri 166 Jakarta, berikutnya saya SMA di SMA Avicenna Jagakarsa, dan akhirnya saya melanjutkan studi S1 saya di Bina nusantara (binus).
Sejak saya kecil saya sudah tertarik di bidang seni, dimulai dari seni tari, seni musik, dan seni gambar. Sejak saya playgroup saya sudah mengikuti ekskul tari kemudian saya terus lanjut mengikuti ekskul tari tradisional hingga saya duduk di bangku SMA dan mengikuti banyak perlombaan hingga selalu mendapatkan piala kejuaraan dari lomba-lomba tersebut. Lalu saya juga sangat suka bermain alat musik yaitu pianika, suatu kala saat yang duduk di bangku 4 sd saya mengikuti pembelajaran seni budaya lalu pada saat itu kami murid di kelas itu diberi tugas untuk belajar menghafalkan lagu-lagu daerah dan memainkannya dengan alat musik pianika. Dan yang terakhir bagaimana saya menyukai seni gambar yaitu saya terpukau dengan bagaimana hal ini bisa menciptakn karya karya yang sangat keren dan spektakuler, saya gemar bermain dengan warna, bentuk, dan keindahan. Mungkin saya memang tidak terlalu aktif dalam organisasi namun saya aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. saya sangat suka apabila ada tugas menggambar, mewarnai, melukis, dan sebagainya. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa saya dangat mencintai dengan dunia seni, hingga akhirnya pilihan saya jatuh kepada arsitektur binus dan saya jatuh cinta kepada arsitektur, salah satunya juga karna saya merasa bahwa saya lebih memiliki kelebihan dalam menggambar bangunan dibandingkan dengan menggambar animasi di jurusan DKV.
Setelah hati saya jatuh kepada arsitektur, saya jadi memiliki keinginan tinggi untuk bisa menjadi seorang arsitek wanita yang hebat dan dapat dikenal dengan karya-karyanya, bagi saya menjadi seorang arsitek merupakan pekerjaan yang sangat menakjubkan. tujuan saya di masa depan yaitu saya ingin menjadi seseorang yang dapat membanggakan orang tua serta keluarga, menjadi seseorang yang dapat berguna bagi orang banyak, menjadi seorang arsitek yang karyanya dapat dinikmati oleh orang banyak, dan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang lain.
Pada awalnya saya tertarik pada jurusan desain komunikasi visual di salah satu ptn terbaik yaitu di itb, namun sayangnya karena saya merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga, jadi keluarga saya tidak mengizinkan saya untuk kuliah di luar kota terlebih lagi di kota bandung, saat itu saya merasa terpuruk dan hilang arah karena saya bingung ingin memilih jurusan apa selain jurusan tersebut, lalu saya terfikirkan untuk masuk ke jurusan arsitektur namun lagi-lagi keluarga tidak setuju dan tidak mengizinkan saya, karena arsitektur merupakan salah satu jurusan di fakultas teknik yang dimana pasti saya akan sering terjun ke lapangan dan bagi mereka perempuan tidak seharunya turun ke lapangan kerja jadi saya akhirnya mulai merelakan arsitektur dan memikirkan jurusan lain, kemudian saat kelas 12 saya akhirnya berfikir untuk lintas jurusan dan memilih jurusan psikologi, kemudian saya mulai mendaftarkan diri di tempat les, dan belajar lebih giat untung mengikuti UTBK. Hingga suatu saat tiba-tiba orang tua saya mengizinkn saya untuk memilih arsitektur sebagai jurusan saya di kuliah nanti, mulai detik itu saya semakin giat belajar baik di sekolah maupun di tempat les, hingga saat pengumuman utbk keluar hasilnya cukup membuat saya kecewa dan sedih, lalu saya memutuskan untuk daftar ujian mandiri untuk mengejar arsitektur di ui, namun sekian banyak kali saya mencoba hasilnya tetap belum berhasil akhirnya saya mencoba untuk ikhlas dan mendaftar di pts terbaik di jakarta yaitu arsitektur binus dan akhirnya saya mendapatkan ucapana selamat dari binus, dan dari sanalah saya merasa sudah saatnya saya bangkit dan tidak larut dalam kesedihan.
Saya memiliki hobi mendengarkan lagu dan salah satu penyanyi indonesia favorite saya yaitu Juicy Luicy, disaat saya sedang hectic untuk les saat saya duduk di kelas 12, tentu saja saya sering menghabiskan waktu di perjalanan untuk berangkat sekolah, berangkat les, dan pulang ke rumah. Sejak saat itu saya merasa lagu yang saya dengarkan sangat membosankan karna terus berulang-ulang di playlist yang sama, hingga akhirnya saya mencoba untuk mendengarkan semua lagu juicy luicy dan pada akhirnya saya jatuh cinta kepada salah satu lagunya yang berjudul “Tampar” saya sangat suka lagu itu karna menurut saya lagu tersebut liriknya sangat menyentuh hati dan nada dari lagunya juga calming. Sejak saat itu dimanapun dan kapanpun saya selalu menyetel lagu itu hingga teman-teman saya sudah heran dan bosan jika saya mendengarkan lagu tersebut secara terus-terusan, namun saya memang tidak aku pernah bosan dengan lagu itu karena lagu itu juga mengingatkan perjuangan saya saat bulak-balik untuk les demi mendapatkan kata selamat dari perguruan tinggi negeri yang saya inginkan walau akhirnya yang saya dapatkan yaitu kata maaf. mulai saat itu saya memiliki keingininan tinggi untuk menonton juicy luicy secara langsung dengan cara menonton konser namun saya selalu ketinggalan info konser mereka hingga akhirnya momen terbahagia saya terjadi saat pengumuman guest star acara inaugurasi binus di alam sutera yaitu juicy luicy, saya nangis bahagia karna pada akhirnya saya bisa menonton mereka dan mendengarkan mereka menyanyikan lagu tampar di hadapan saya, hingga saat tersebut tiba saya berandai-andai apabila saya tidak di binus mungkin saya hingga saat ini saya belum bisa menonton juicy luicy secara nyata.
Selain juicy luicy, saya juga suka idol korea lebih tepatnya grup kpop, yaitu boyband NCT, NCT berada dibawah naungan SM entertainment. NCT memiliki 20 member yakni taeyong, taeil, johnny, yuta, kun, doyoung, ten, jaehyun, winwin, jungwoo, mark, xiaojun, hendery, renjun, jeno, haechan, jaemin, yangyang, chenle, dan jisung. Pada awalnya mereka berjumlah 23 namun 2 member memutuskan untuk mengundurkan diri dan bergabung dengan grup baru lain, dan 1 member lain memutuskan untuk mengundurkan diri setelah terjadi skandal pembullyan yang dilakukan olehnya semasa sebeluk menjadi idol. NCT juga terbagi menjadi beberapa unit yaitu NCT 127, NCT DREAM, WAYV, dan NCT U. Saya sangat suka dengan unit NCT DREAM, lebih tepatnya saya suka oleh salah satu membernya yaitu Park Jisung. dia menjadi salah satu role model saya karna ia sudah terjun dalam dunia karir sejak ia kecil, dan dia menjadi member termuda di NCT. Saya sudah menyukai NCT DREAM sejak mereka debut, mereka memulai karir sejak mereka sebelum pubertas dan masih dibawah 17 tahun, hingga saat ini suara berubah menjadi lebih dewasa.
Kucing adalah hewan yang sangat lucu dan menggemaskan namun sayangnya saya takut dengan kucing karena saya memiliki trauma dengan kucing, saat saya duduk di kelas 6 sd saya sedang mencoba mengusir kucing di kelas bersama teman saya namun sayangnya saya sedang apes hari itu dan tangan saya dari pundak hingga pergelangan tangan dicakar seperti seakan-akan kucing tersebut sedang menggali menggunakan cakarnya, lalu saya menangis saat melihat tangan saya penuh cakaran dan darah, hingga saat ini cerita itu merupakan cerita yang selalu saya ingin ceritakan kepada teman-teman saya yang selalu bertanya “kenapa takut kucing? kan kucing lucu”. Namun seiring berjalannya waktu saya mulai memberanikan diri untuk melawan ketakutan saya pada kucing dan mulai menyukai kucing secara perlahan-lahan, dan saya juga mempunyai keinginan untuk memelihara kucing namun sepertinya hal tersebut akan saya lakukan saat saya sudah mulai lebih leluasa dan tidak memiliki tugas yang menumpuk krena takut saya tidak bisa menjaga kucing tersebut dengan baik dan tidak mempertanggungjawabkan keputusan saya yang ingin memelihara kucing dirumah.
Masa-masa paling seru dan cerita yang paling seru yang juga menurut saya paling berkesan bagi saya adalah masa-masa saat saya di SMA, dimana saya menemukan teman-teman yang sangat seru yang mau melakukan segala hal gila, hal baru, hal aneh bareng-bareng. Walaupun saat kelas 10 dan kelas 11 semester satu angkatan saya terkena dampak pandemi yang mengharuskan kami semua untuk melakukan pembelajaran via zoom, google classroom, dan masih banyak lagi namun hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi saya dan teman-teman SMA saya untuk melakukan banyak kegiatan, dimulai dari zoom hingga tengah malam, main bareng game via zoom, dan sebagainya. Hingga akhirnya mulai dari kelas 11 semester 2 kami semua resmi melakukan PTM ( pembelajaran tatap muka ) mulai saat itulah kami semua menjadikan semakin dekat dan berteman untuk menikmati masa remaja kita di SMA yang tidak akan terulang lagi. Sayangnya, kini saya dan teman-teman saya berpencar di universitas yang berbeda-beda dan jurusan yang juga berbeda-beda, namun itu tidak akan menjadi hambatan bagi saya dan teman-teman saya untuk bisa terus bermain dan berkomunikasi dengan satu sama lain.