Kategori
blog

Aditya Birthday

Pada 9 Desember lalu, kami merayakan ulang tahun @adityakosman. Di tengah dinamika proses bekerja di studio, ada pribadi-pribadi yang kehadirannya memberi kedalaman, bukan hanya pada pekerjaan, tetapi juga pada cara berpikir dan refleksi. Adit adalah salah satu pribadi yang seperti itu.

Sejak awal, Adit dikenal memiliki kecintaan yang besar pada arsitektur. Ketertarikannya merambat pada bacaan tentang tokoh, bangunan, sejarah, dan teori—digali dengan kesabaran dan rasa ingin tahu yang serius. Ia kritis, tidak mudah menerima sesuatu secara mentah-mentah, dan selalu terdorong untuk memahami lebih jauh.

Adit merupakan lulusan California College of the Arts (CCA). Ia pertama kali datang ke studio kami sebagai intern. Selama masa itu, ia mempelajari banyak hal yang beragam: mulai dari konseptual design, design development, project management, hingga penulisan. Kemauan dan keseriusannya membuat proses belajarnya berjalan cepat; ia menyerap, mencatat, dan mengolah setiap pengalaman dengan sungguh-sungguh.

Kini, Adit hadir sebagai rekan yang dapat diandalkan sekaligus teman diskusi yang tajam. Di luar pekerjaan, ia juga pribadi yang menyenangkan untuk diajak berbincang—tentang olahraga, film, dan hal-hal ringan dalam keseharian.

Perayaan ini mungkin sederhana, tetapi rasa syukur kami tidak pernah sederhana. Syukur atas perjalanan seseorang yang terus bertumbuh, menjaga kedalaman berpikirnya, dan menghadirkan energi baik di lingkungan kecil kami. Semoga langkahmu ke depan dipenuhi kebahagiaan, proses-proses baik yang terus bertumbuh, dan segala impianmu dapat tercapai.

Sejak 2010 di Studio Garasi, kami percaya bahwa arsitektur, proses bekerja, dan belajar selalu berangkat dari hal yang paling dasar, yaitu manusia. Merayakan ulang tahun bukan sekadar menandai usia, tetapi kembali ke titik awal—sebuah momen yang pasti dialami setiap orang. Di sanalah kami mengingat bahwa di balik peran dan jabatan, selalu ada manusia yang bertumbuh. Tradisi ini kami jaga sejak masa studio garasi: merayakan satu sama lain, mendengarkan cerita, dan menjaga semangat kebersamaan yang merupakan DNA kami, RAW DOT OMAH.

Selamat Ulang Tahun Adit!

Kategori
blog

Java House

The Java House was finished in 2015. It explores poetic architecture shaped by abstract poetic philosophy, architecture theories, and materialities where space unfolds gradually and privacy is formed through transition rather than enclosures, boundaries remain soft, movement is deliberate, and intimacy is achieved through depth rather than separation. Strategies:

  1. The plan is composed as a series of overlapping planes and courtyards. In the middle of the inside-outside foyer, a tumpang sari skylight, welcoming visitors with the grammatics of the traditional stacks of wood and flat glass before they move deeper into the house.
  2. Walls guide movement, frame views, and create moments of pause, allowing the house to be experienced as a continuous sequence rather than a collection of rooms.
  3. Each bedroom is paired with its own views of the garden, forming a personal environment that remains closely connected to light, air, and nature. The open façade, expressed through a rhythmic arrangement of red brick and timber panels, responds to western heat while supporting north–south cross ventilation. Crafted by local artisans, these materials convey warmth, restraint, and durability. Skylights and clerestory openings bring daylight deep into the interior, casting a soft, even light throughout the house.

As a conclusion, the heart of the house, an open living area extends toward a garden terrace, creating a courtyard-like space for daily activities and family gatherings. The landscape, composed of native planting and a modest lawn, softens the urban context, cools the microclimate, and grounds the house in its natural setting.

Built on a compact site, Java House relies on passive cooling strategies and local materials to maintain comfort and efficiency. Designed to support family life over time, the house allows everyday routines to unfold naturally, balancing privacy, openness, and shared living.

Architecture #Jakarta #FinishProject #JavaHouse

Kategori
blog

Inter Garden Home

Inter Garden Home is organized through a clear sequence from public to private. At the front, a promenade defines the entry experience, creating a gradual transition into a highly private residential environment. This entrance zone is anchored by a central core that accommodates a micro garden, contributing to daylight, ventilation, and spatial orientation from the outset.

The main interior opens into a double-height atrium equipped with a skylight, allowing natural light and airflow to move effectively through the house. This atrium functions as a spatial and environmental connector, supporting cross ventilation and enhancing indoor comfort.

The building form responds directly to climate and site conditions. A slanted façade is introduced as a response to sun angles, providing effective shading, while the overall massing follows the diagonal nature of the site. Spatial zoning is clearly defined: two bedrooms are positioned toward the front, while more private bedrooms are located at the rear, oriented toward the swimming pool to maximize privacy and views.

On the upper level, a badminton court is integrated with a wood-decked garden. Slightly elevated in relation to the surrounding spaces, this area extends the domestic program vertically, combining recreational use with an outdoor garden setting.

Photo by:
1: @aryophramudhito @luil_mn
2, 3: @aryophramudhito
4: @aryophramudhito
@luil_mn

#Architecture #Jakarta #RealrichArchitectureWorkshop #FinishProject #InterGardenHome

Kategori
blog

Farewell Ambre + Noemie

We first crossed paths with @noemieschh
and @amber_gth_ during a presentation by our principal, @rawarchiteture_best, in La Réunion.

What was shared that day was personal. Yet what lingered was the way they listened. Their attentiveness carried a quiet enthusiasm, as if they were recognizing something deeply resonant, something that intersected with their own questions and longings.

That realization became clearer when we saw them in Baduy. They asked many questions about the mystery of sufficiency, about a way of living that does not rush. It felt as though Baduy offered a life they had been imagining: grounded, deliberate, and whole, standing calmly against the constant acceleration of technology.

We sensed the same feeling when they were in Piyandeling.
They smiled. They were present. They were genuinely happy.

Noémie tends to move through rational structures, while Amber navigates the world more empirically, guided by intuition and feeling. Together, they represent a generation in motion, always thinking, sensing, and searching. The time we shared with them was deeply valuable. Their curiosity invited us to look again at Indonesia: at Nusantara, at simplicity, at modesty, at materials and craftsmanship we often take for granted.

They were most alive in the field, observing mock-ups, touching steel and wood shaped by hand, witnessing making as a process rather than merely a result. Through their excitement, we were reminded that what feels ordinary to us still holds care, meaning, and quiet beauty.

They come from far away, separated by thousands of kilometers, between Jakarta and La Réunion, between Indonesia and Africa. Yet we felt close. Connected not by geography, but by an inner energy: a shared spirit that keeps moving, keeps questioning, and keeps seeking.

This is how we will remember Noémie and Ambre, as part of a kinship across the equator, and as fellow travelers in a journey shaped by curiosity, humility, and care.

Kategori
blog

Mendekati akhir tahun 2025 – Our little family, bersama Miracle dan Heaven

Mendekati akhir tahun 2025-Our little family, bersama Miracle dan Heaven, Miracle dan Heaven nata buku, pajangan bersama, latihan komposisi, organisasi, hal – hal sederhana ^^

Kami belajar, begitu berharga waktu, fokus kami ke mereka, apa kebutuhannya, sejauh manakecintaannya, bagaimana keinginannya terbentuk dan itu bukan ke apa kita anggap paling benar sebagai orang tua.

Ini proses melihat, mendengarkan, menyemangati mereka supaya menikmati waktu – waktu mereka yang tidak akan terulang.

Kategori
blog

Farewell Haykal

Beberapa waktu lalu, kami merayakan graduasi salah satu rekan kami, @ha.ykal. Haykal adalah salah satu rekan kami di studio yang punya banyak bacaan yang disukai. Ia adalah alah satu dari sedikit orang yang membawa bacaan ke dalam percakapan sehari-hari. Salah satunya tentang Manfredo Tafuri akan kritik kontekstual yang berlapis, telaah struktural, melihat konteks bukan sebagai latar, melainkan sebagai medan perjuangan; yang dibaca bukan sekadar bentuk, tetapi virtue dan aktornya.

Haykal adalah salah satu anak didik dari UII, yang tumbuh sebagai salah satu mahasiswa terbaik di sana. Dengan bekal referensi yang kuat, kami rasa ia adalah orang yang sangat menjanjikan untuk menjadi salah satu pemikir ulung di arsitektur Indonesia ke depan.

Seorang pemikir memang membutuhkan waktu untuk mencapai kematangannya. Pemikiran itu seperti abstraksi yang dalam, ia tidak instan, tapi mengendap pelan, dalam, dan membutuhkan waktu panjang. Haykal adalah seorang yang punya variasi cara berpikir yang lengkap.

Di studio, kami sangat senang bertemu dengan keberagaman karakter yang ada. Dari seorang pemikir yang punya bacaan yang kuat, Haykal mewarnai praktik yang diskursif, kritis, dan diskusi yang selalu berjalan.

Kini kami melepas perjalanan Haykal di studio kami. Kami mendoakan dengan sungguh-sungguh agar Haykal terus bertumbuh dengan bacaan yang semakin luas, referensi yang tak terbatas, dan langkah yang membawanya ke titik di mana ia bisa merasa utuh dan bahagia dengan jalannya sendiri. Kami sangat bangga, karena orang seperti Haykal sangat langka.

Sampai jumpa lagi ya, doa kami menyertai @ha.ykal

Kategori
blog

Mas Hugo dan Mbak Ayu merayakan kelahiran anak

Salah satu momen terbaik akhir-akhir ini, adalah melihat Mas Hugo dan Mbak Ayu merayakan kelahiran anak perempuan mereka. Di balik rumahnya yang tumbuh, terlihat dari tanamannya yang makin rindang, kebahagiannya juga kami rasakan sekeluarga. Dan ingin rasanya saya mengabadikan ini dalam kenangan kami.

Kategori
blog

RAW DOT OMAH Team

Di RAW DOT OMAH, kami memiliki berbagai divisi, dan komunitas yang saling terangkai. Yang menarik adalah kami tidak melihat arsitektur sebagai semacam kotak kaca, tetapi justru menjalani esensinya, dan kemudian bertumbuh secara perlahan. Sampai akhirnya ada sebuah benih yang berkembang menjadi sebuah pohon: dengan akar-akarnya, dahan-dahannya, ranting-rantingnya, dan begitu banyak organisme di baliknya.

Tim pertama adalah tim strategic. Strategic ini dilematik karena di dalamnya ada proyek, klien, dan begitu banyak critical point yang menanti. Sebuah bangunan tidak dikerjakan oleh satu orang saja; ada banyak orang yang terlibat. Oleh karena itu, kerja tim menjadi hal yang utama dalam menghadapi critical point dan berbagai prioritas yang ada di tim strategic.

Di dalamnya sering kali juga terkait dengan hubungan interpersonal yang ketat. Kemampuan membaca psikologi menjadi salah satu kunci, memiliki empati menjadi kunci berikutnya, hingga sampai pada simpati.

Selain tim strategic, ada tim Sophia, tim Episteme, tim Techne, tim Phronesis, tim Finance, tim Branding, tim Penulisan, tim Analitik, serta laboratorium teknologi yang bekerja pada ranah workshop. Kami mencoba melakukan begitu banyak telaah dan detailing agar di lapangan dapat menghasilkan karya yang optimal.

Antoniades pernah mengatakan bahwa ada 9 channels of creativity: dari buku, mentorship, tempat, referensi, klien, tim, permenungan, refleksi, hingga melihat sesuatu yang baru dari teori, dogma, dan ideologi. Kami menyebutnya sebagai fragments. Fragments ini seperti sebuah kolase yang membentuk keutuhan, terus bergerak itulah mengapa kami menyebutnya sebagai creative fragments.

@melisaakma@almujaddidi@andriiyansyahmrm@joanaagustin@gabymarcelina@putrakhairus@mu.zyd
@muhammadyusrul@joshinoel chairunnisabels
@namanyaemailku@adityakosman@tyoadngrh@rrianditaa@k.ezraa@ridwan.kp@rizkasra@reviynatk@irvitaingrid@auliahnssy@san.lbs@ahcaayran@noviola_esther@carmelinagabriellah Nielson @veeryanaa@zikrirahardian@timothytuahatu@kennpranoto@edhobaronmack@rawarchitecture_best
Photo by @rrianditaa (tim lapangan by @reviynatk)
Video Editor: @jocelynemilia@7withsisca

Kategori
blog

Bertemu dengan Greg dan Mas Gayuh

Orang2 luar biasa mendiskusikan apa ya ? wkwkwk
@gayuhbudi @gregoriusgiovannigerard @hanifahsausann @jocelynemilia sikaaat haha1 hari

Tuhan pertemukan @gregoriusgiovannigerard sama @gayuhbudi dua G, melambangkan venturian Indonesiana haha. Thank u mas gayuh sudah diskusi banyak tadi dari refleksi, ritual, sampai keluatan rombengan. Atas hati, semangat, dan berbagi strateginya terima kasih ya :) see you soon 🔥

Kategori
blog

Book Discussion – Strange Details by Michael Cadwell

Beberapa waktu lalu, studio kami mengadakan sesi diskusi secara internal. Di pertemuan ini, kami membahas buku Strange Details karya Michael Cadwell, tetapi juga mengangkat premis yang selama ini menjadi fondasi cara kami bekerja di studio.

Premis bahwa materiality memegang peran krusial. Sebagai cara untuk membolak-balik metode desain, bukan hanya soal gambar atau ide, tetapi tentang bagaimana gagasan itu diuji di realitas lapangan.

Mulai dari perjalanan Carlo Scarpa dalam renovasi Querini Stampalia di Venice. Tim yang bekerja adalah orang-orang yang sama, dari proyek ke proyek sehingga chemistry pun sudah terbangun, mereka refining berlapis-lapis, sampai terbentuk maturity of work dan maturity of concept.

Lalu ada kisah keluarga Jacobs yang bertemu Frank Lloyd Wright setelah melihat Usonian House dan ingin membangun rumah mereka, bagaimana dalam kasus ini klien menjalin hubungan yang personal namun tetap profesional.

Diskusi berlanjut ke Farnsworth House karya Mies van der Rohe. Cadwell menyoroti bagaimana detail-detail di rumah itu justru menjadi representasi dari ide besar Mies. Namun dekade setelahnya, rumah ini beberapa kali kebanjiran. Cadwell menulis, as far as the architect tries to prioritize the situation, nature will have an ultimate power over architecture—sebuah pengingat tentang ego arsitek dan batas-batas kontrol manusia atas alam.

Terakhir, kami membahas Yale Center, bagaimana cahaya, material, dan bayangan dapat menjadi detail yang menegaskan atmosfer dan pengalaman ruang, sekaligus membawa kita kembali pada gagasan besar bangunan tersebut.

Diskusi berlangsung terbuka, untuk menyelaraskan cara pandang dan mempertajam sensibilitas desain. Bulan-bulan ke depan, kami akan membahas buku lainnya sebagai bagian dari usaha kolektif studio untuk terus belajar seperti sebuah detail yang dibentuk dengan kesabaran.

Content: Strange Details by Michael Cadwell
Videographer: @hanifahsausann
Video Editor: @jocelynemilia@arlynkeizia
Presenter: @rawarchitecture_best
Located at: @realricharchitectureworkshop
Produced by: @guhatheguild
Footage: Trip to Venice “Carlo Scarpa” by Realrich Sjarief
Cover photo by @jonatan_mulia2

Kategori
blog

Old Friend

Seneng bisa ketemu one of our best friend Bambang, Tya and family, ketemu kakak bambang,. Take care ya broo ^^ have fun di Indonesia, ngopi2 ya sometime soon ^^

Kategori
blog

Perkutut Bird Farm

Previously, our studio has been exploring the idea of belonging in architecture, how space can embrace people, support communities, and nurture shared meaning. Today, we had the opportunity to work on a project that brings these values together, through a simple coexistence between communal spaces and perkutut birds dwellings.

The bird pavilion is shaped philosophy of nurturing and care. The perkutut birds, with their distinct voices and behaviors, offer a reflection on human life as Homo Socius, social beings who grow through presence, connection, and shared experience. Rather than standing apart, the architecture is meant to listen, to accommodate, and to grow alongside these relationships.

The project houses a communal lounge and farm supports perkutut competitions and its daily care. Over a hundred bird poles tower across the compound, with the lounge circling them to embrace their singing. This program offers privacy for the community, as living among passion would bear fruit for many. With abundant existing trees, it becomes the most introverted area for this activity.

Supported by abundant existing trees, the space becomes the most inward-looking part of the site, offering privacy and focus for the community that gathers around this shared passion.

Team: @melisaakma @almujaddidi @joanaagustin @andriiyansyahmr @veeryanaa @zikrirahardian @timothytuahatu @edhobaronmack @kennpranoto @joshinoel @ridwan.kp @rizkasra @reviynatk @muhammadyusrul @chairunnisabels @san.lbs @noviola_esther @namanyaemailku @gabymarcelina @tyoadngrh @adityakosman
Principal: @realrichsjarief

Kategori
blog

Sapo House

We are excited to unveil RAW Architecture’s progress for Sapo Home. The images reveal the roof structure, with details carefully developed piece by piece in close collaboration with trusted craftsmen Inspired by the metaphor of a mountain, the roof integrates skylights with colorful glass patterns. The house’s silhouette expresses genuine values through the vernacular construction. The undulating canopy shades the ground floor, constructed through a restrained palette of steel, concrete, and bitumen finishes.

The house accommodates bedrooms, a gym, and a studio for prayer and gathering, forming a deeply personal retreat. “Sapo” in Karo culture, refers to a resting house where farmers could pause, reflect, and look out over their fields. This meaning shapes the vision of the home as a peaceful space for solitary remote work and a sanctuary to grow old in harmony together with nature.

Surrounded by arcades and terraces, the house is sheltered from the hot afternoon and evening sunlight. Preserved trees act as natural sunshades, while lattice elements filter daylight into the interior, creating a calm and inviting atmosphere. Building simulations informed the design, helping to optimize both daylight quality and thermal comfort throughout the house.

Team : @melisaakma@andriiyansyahmr@veeryanaa@zikrirahardian@irvitaingrid@timothytuahatu@joshinoel@chairunnisabels@putrakhairus@san.lbs@tyoadngrh@ridwan.kp Nielson @reviynatk@ahcaayran@rizkasra@rrianditaa@adityakosman
Project Lead : @almujaddidi@mu.zyd@namanyaemailku
Principal : @rawarchitecture_best

📷@luil_mn

Kategori
blog

Tyo Birthday

23 November menjadi salah satu hari yang spesial di studio kami—hari di mana kami merayakan perjalanan salah satu teman yang sudah berjalan cukup panjang bersama studio ini: ia adalah Tyo @tyoadngrh

Dari awal masuk pada Agustus 2021, ketika struktur tim masih belum seperti sekarang, Tyo sudah menunjukkan satu hal yang jarang dimiliki orang: keberanian untuk mencoba. Ia memulai perjalanannya bersama Kak Riyan di divisi Conceptual Design, lalu berpindah dari satu divisi ke divisi lainnya—bukan karena ragu, tapi karena ingin belajar seluas-luasnya.

Februari 2022 ia bergabung di Project Management; di tahun berikutnya, Februari 2023, ia masuk ke Design Development —menghitung RAB, menggambar polyline, hingga menyelesaikan detail sanitary. September 2023 ia bergabung dengan tim Episteme, Tahun 2024 ia sempat part-time dan kemudian masuk ke OMAH Library untuk penulisan dan branding. Sampai akhirnya di 2025, Tyo menjadi bagian dari tim Analytic, Visual, dan Design Communication—tempat ia terus tumbuh hingga hari ini.

Perjalanan yang panjang itu membentuk karakter yang semakin matang: Tyo eksploratif, cepat belajar, dan tidak pernah takut mencoba hal baru. Ia membawa energi ceria, mudah terbuka dengan teman baru, dan selalu peduli pada anak-anak intern—menyambut mereka, mengajarkan hal kecil dengan sabar, membuat mereka merasa aman di lingkungan baru.

Ia mungkin satu-satunya orang yang pernah mencicipi hampir semua divisi, dan justru dari situlah tampak ketekunan dan rasa ingin tahunya. Tyo bergerak dengan ringan, tapi kontribusinya terasa; hadir dengan santai, tapi membawa suasana yang hangat.

Lewat perayaan sederhana ini, kami bersyukur untuk pejalanan Tyo, untuk prosesnya, keberaniannya, dan untuk semua warna yang ia bagikan kepada semua orang yang ada di studio RAW.

Semoga di usia yang baru ini, Tyo semakin mantap melangkah, semakin luas eksplorasinya, dan semakin banyak kebaikan yang menyertai setiap prosesnya.

Happy birthday, Tyo!
Semoga tahun-tahun kedepan membawa cerita-cerita baru yang baik untukmu.

Kategori
blog

Reuni 25 Tahun Sang Timur

25 tahun yang lalu, kami semua lulus,
Dan kali ini kami merayakan reuni 25 tahun silver angkatan 2000 sang timur. Untuk yang datang kami menyambung rasa, kenangan, kehilangan. Campur aduknya dilengkapi dengan mendatangkan guru – guru kami dulu. Bu Meka, Mam Siska, Bu Thres, Bu Kris, Pak Agus, Pak Bagyo, Pak Yanto, Bu Katryn, Pak Heru, Bu Eny. Terima kasih ya kawan – kawan untuk berikan kenangan berkesan di akhir tahun 2025.

Juga panitia yaaa kawan2 semua.
@lanovialanovia @nofu @yesayadanu dkk yaa

Kategori
blog

Balai Kartini

Balai Kartini stands as one of Jakarta’s cultural landmarks, envisioned as a place of togetherness and the spirit of Kartini, symbolizing enlightenment and progress. Inaugurated in 1980 by Ibu Tien Soeharto, Balai Kartini was established under Yayasan Kartika Eka Paksi (TNI AD).

It underwent its first renovation through the initiative of Ibu Nora Tristiana, before the building later closed during COVID. After the pandemic, the renewal started under Ibu Uli Pandjaitan and redesigned by RAW Architecture.

The design explored the use of bioclimatic design, reducing thermal intake by replacing the old façade with fins inspired by Borobudur’s stupa forms. These elements reduce heat on the west side and define three new canopies at the main entrance.

The design consists of a renewed space for gathering and community with a woven tapestry of our archipelago, spreading from east to west with a concept of Adiwastra — from the Sanskrit words “Adi” meaning superb and “Wastra” meaning cloth.

The details captures all layers from mountains, to rivers, trees, boats, and human. The Wastra is transformed into display of weaving, batik, patterns across Indonesia from local masters. The essence reflects to our conversation with Asmoro Damais, a prominent role in UNESCO’s recognition towards batik.

Panels in the lobby, textile chandeliers inspired by Nias, printed fabrics in the corridors, and details referencing cap, stupa, and textured stucco, highlights the poetic expression of Indonesia’s cultural continuity.

Proportions and materials are preserved where possible, while new insertions act as bridges between eras. Natural light filters through the atriums, becoming the new medium of celebration, and gardens reintroduce softness and care.

Balai Kartini continues its founding spirit as more than a building. Through this renewal, the entire team of designers, engineers, and project managers is honored to carry its story forward, reflecting Jakarta’s present and its hope for the future.

Photographs :
1, 2, 6, 8, 16, 20 @aryophramudhito
4, 10, 12, 14, 15, 17 – 19 @luil_mn

@balaikartini.official @realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Zikri Birthday

Di antara dinamika ruang kerja yang terus bergerak, ada pribadi-pribadi yang memberikan pengaruh yang berarti. Mereka hadir, belajar, berproses, dan pada akhirnya meninggalkan jejak baik di lingkungan kecil kami.

20 November menjadi hari yang berarti di studio kami, kami merayakan perjalanan teman kami, Zikri @zikrirahardian yang bertumbuh bersama tim Sophia di studio kami.

Sejak pertama kali bergabung sebagai intern, Zikri menunjukkan karakter yang mudah disukai, ia adalah pribadi yang sopan dan punya kepekaan untuk membantu orang lain bahkan tanpa diminta. Ada ketulusan dalam caranya hadir di tengah tim.

Seiring waktu kami melihat sisi lain dari dirinya. Zikri adalah pribadi yang fleksibel, cepat menyesuaikan diri, dan mampu membaca kebutuhan tim dengan sangat baik. Sikap adaptif itu membuatnya menjadi seseorang yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan banyak hal.

Ritme kerjanya cepat ketika standar tugas sudah jelas, dan meski kadang kecepatan itu membuat beberapa detail kecil terlewat, kontribusinya tetap sangat membantu tim di studio. Ia membantu tim bergerak lebih cepat, menjaga ritme kerja dan menguatkan proses kami setiap minggu.

Dalam setiap tantangan project, Zikri menunjukkan sikap yang tenang. Ia sabar, tidak mudah goyah, Tentu saja, tingkahnya yang tidak terduga sering membuat orang-orang di studio tertawa kecil, memberi warna dan energi positif di sela kesibukan kami.

Perayaan kali ini memang sederhana, tetapi rasa syukur kami tidak pernah berhenti. Syukur atas seseorang yang tumbuh sedikit demi sedikit, yang belajar setiap harinya, dan yang memberi dampak baik pada lingkungan kami.

Once again, Happy birthday, Zikri!
Semoga di usia yang ke-26 ini, Zikri semakin matang dalam melangkah, semakin bijak dalam bertindak, dan semakin banyak kebahagiaan yang hadir di hidupnya, dan untuk orang-orang yang ia temui di perjalanan hidupnya.

📸 oleh : @andriiyansyahmr

Kategori
blog

Miracle Birthday

Ini catatan pribadi papa, kalau Miracle besar semoga catatan ini bisa menemani Miracle dalam suka dan duka dan mengerti betapa kamu sungguh unik dan spesial. Miraclerich yang berulang tahun ke 10, dari apa yang papa baca dan pelajari dari banyak buku, jurnal, dan artikel inilah masa krusial untuk fase menata daya logika berpikir.

Menurut papa dan mama, Miracle adalah anak yang kreatif , dan suka bersosialisasi. Dan dari apa yang papa baca dari Ellen Kristi, ia menulis dalam buku “cinta itu berpikir” bahwa kepribadian anak adalah fitur yang membuat seorang manusia menjadi manusia. Menurutnya memandang seorang anak sebagai satu pribadi berarti melihatnya sebagai sesuatu yang tak akan terulang lagi, tidak ada duplikatnya, bukan produk pasaran, ia sangat unik, jenius, dan punya kebaikan spiritual.
.
Di balik kamar yang kecil dengan ranjang tumpuk Miracle tumbuh bersama heaven, ia menemani adiknya setiap hari tidur satu ranjang, juga siang malam kadang bermain sama kakak – kakak desainer di studio, ka mel, ka chai, ka, ataupun ka adit, tio dkk
.
Dengan majunya teknologi, Miracle suka sekali main komputer, papa mama takut sebenarnya bahwa miracle akan terdampak buruk, dimana impuls penyerapan pikiran menjadi dangkal, dan titik fokus menjadi berkurang. Hal ini dijelaskan Kristi pentingnya menyerap “great ideas”dalam buku yang bermutu. Untuk itu, Mama mengusulkan ikut kursus roblock, membangun “tower, castle” sampai Miracle ingin berlatih musik drum, membaca buku.’ semua adalah untuk membantu menikmati ide, mendapatkan titik fokus, dan bahagia dalam alam yang serba cepat dan membutuhkan kolaborasi.

Kali ini Papa Mama kasih satu komputer supaya Miracle bisa berekspresi riset mencari informasi. Dan apa yang papa mama berikan adalah komputer dulu dipakai kakak – kakak desainer, spesifikasinya cukup untuk usia Miracle jd bisa membangun dunia roblocknya.

Papa mama berkeyakinan bahwa anak-anak memiliki waktu, dunia, dan cara melihat teknologi yang melewati generasi orang tuanya, Miracle akan lebih pintar, lebih adaptif dibanding generasi papa mama. Seperti namamu, kami memberikan keyakinan dan kasih. Tuhan sudah punya rencana untukmu, kami berserah seutuhnya.

Kategori
blog

Budi Sukada – Pentingnya Sejarah dalam Refleksi Perancangan Strukturalis

Terima kasih Pak Budi Sukada @budisukada, telah memberikan salah satu kelas terbaik di OMAH Library @omahlibrary. Beliau mengajarkan pentingnya sejarah dan bagaimana menggunakannya dalam refleksi perancangan yang strukturalis. Ia mengandalkan referensi, dan menggali satu persatu melalui kejadian yang spesifik, aktor yang spesifik, serta tahun yang spesifik.

Ia membahas orang-orang yang berpengaruh menggeser pranata arsitektur saat itu seperti William Morris, Philip Webb, juga Violet-Le-Duc dengan penemuan gramatika, Peter Behrens dengan gagasan gestalt, penggunaan beton, dan bahasa inovasi yang semakin jujur, menekuk tajam, serta sesuai dengan konteks dan problematika yang kritikal. Ia menggarisbawahi Art and Craft Movement yang bergeser peruntukannya dari kelas ekonomi atas ke kelas menengah sehingga mendorong kepraktisan olah material, produksi yang lebih banyak, dan lebih merepresentasikan budaya modern masyarakat. Ini dibahas dalam buku Herman Muthesius, Style-Architecture and Building-Art (1902) yang memperkenalkan semangat masa kini (Zeitgeist). Mesin hanyalah alat yang mempermudah produksi, yang terpenting adalah alam pikiran manusia yang mampu membayangkan bentuk yang dapat dibuat dengan mesin, yaitu Sachform (undercorated parctical form).

Banyak istilah yang muncul di kelas ini membantu menjembatani alam pemikiran dan realitas, menggali apa yang masih di angan-angan menjadi dalam dan bermakna. Pada akhirnya, Pak Budi menggarisbawahi pentingnya kejujuran, kelugasan (Sachlichkeit) dan kepekaan artistik yang murni, yang partikular dan beralasan. Atau keluagasan ini digarisbawahi sebagai gaya bahasa desain.

Terima kasih Pak Budi Sukada akan kelas yang bernas!

Kategori
blog

Cerita Arsitektur Modern 2

Terima kasih Pak Budi Sukada @budisukada, telah memberikan salah satu kelas terbaik di OMAH Library @omahlibrary. Beliau mengajarkan pentingnya sejarah dan bagaimana menggunakannya dalam refleksi perancangan yang strukturalis. Ia mengandalkan referensi, dan menggali satu persatu melalui kejadian yang spesifik, aktor yang spesifik, serta tahun yang spesifik.

Ia membahas orang-orang yang berpengaruh menggeser pranata arsitektur saat itu seperti William Morris, Philip Webb, juga Violet-Le-Duc dengan penemuan gramatika, Peter Behrens dengan gagasan gestalt, penggunaan beton, dan bahasa inovasi yang semakin jujur, menekuk tajam, serta sesuai dengan konteks dan problematika yang kritikal. Ia menggarisbawahi Art and Craft Movement yang bergeser peruntukannya dari kelas ekonomi atas ke kelas menengah sehingga mendorong kepraktisan olah material, produksi yang lebih banyak, dan lebih merepresentasikan budaya modern masyarakat. Ini dibahas dalam buku Herman Muthesius, Style-Architecture and Building-Art (1902) yang memperkenalkan semangat masa kini (Zeitgeist). Mesin hanyalah alat yang mempermudah produksi, yang terpenting adalah alam pikiran manusia yang mampu membayangkan bentuk yang dapat dibuat dengan mesin, yaitu Sachform (undercorated parctical form).

Banyak istilah yang muncul di kelas ini membantu menjembatani alam pemikiran dan realitas, menggali apa yang masih di angan-angan menjadi dalam dan bermakna. Pada akhirnya, Pak Budi menggarisbawahi pentingnya kejujuran, kelugasan (Sachlichkeit) dan kepekaan artistik yang murni, yang partikular dan beralasan. Atau keluagasan ini digarisbawahi sebagai gaya bahasa desain.

Terima kasih Pak Budi Sukada akan kelas yang bernas!

Kategori
blog

Jakarta Dini Hari

Sedikit kegelisahan, udara, menjadi mahal. Di balik ruang kota yabg terus ditata ada hal – hal mendasar juga yang perlu terus jadi kesadaran baru yang lebih baik. Sesederhana mengolah sampah semampu kita.

Baru belajar pake capcut ^^ukses jadi arsitek hebat.

Senang juga bisa ketemu Pak Agus, Mas @farid.nazaruddin , dan Pak Pudji, cerita sahabat, perjuangan edukasi. Dan, Saya juga ikut belajar dari presentasi pak Bambang dan pengalamannya di Kampung Kota dari visi sampai mandiri, dinamika perjuangan yang hebat !

Ini semua untuk anak2 UIN. Terus maju ya anak2 UIN, @himahajaraswad terus fokus belajar.

Kategori
blog

Shafira Birthday

Setiap pertemuan selalu memberikan makna berharga bagi kami, teman-teman yang baru kami temui di guha, juga teman-teman yang sudah berjalan bersama kami. Semoga dengan merayakan hari yang membahagiakan ini dapat meneruskan aliran energi baik.

16 November 2025 menjadi salah satu hari yang istimewa, hari ketika kami merayakan perjalanan seorang teman yang tumbuh bersama tim Desain Sophia di Studio RAW Architecture, ia adalah Shafira @veeryanaa

Saat pertama kali bergabung, Shafira mungkin terlihat pendiam di lingkungan baru. Namun seiring berjalannya waktu, di balik ketenangannya, ada karakter yang mandiri dan memiliki resiliensi yang kuat. Ia belajar menghadapi banyak tantangan, dan setiap proses memperlihatkan betapa seriusnya ia ingin bertumbuh.

Setiap proyek yang dijalani Shafira tidak pernah mudah. Ada dinamika, revisi, dan berbagai tuntutan. Namun Shafira selalu kembali dengan konsistensi—menyelesaikan tugas dengan hati-hati, teliti, dan penuh tanggung jawab.

Kritis dan penuh rasa ingin tahu, Shafira menjadi salah satu suara yang kami percaya dalam menghadapi tantangan desain keseharian. Ia membawa perspektif baru, ide-ide segar, dan pendapat jujur yang membuat tim semakin kaya warna. Kehadirannya bukan hanya menambah tangan yang bekerja, tetapi juga menghadirkan keberanian baru dalam melihat masalah dan merumuskan solusi.

Perayaan ulang tahunnya mungkin sederhana, tetapi rasa syukur yang kami rasakan tidak pernah sederhana. Syukur atas perjalanan seseorang yang tumbuh sedikit demi sedikit, yang belajar memahami dirinya sendiri, dan yang membawa pengaruh baik bagi lingkungan kecil kami.

Semoga di usia yang ke-25 ini, Shafira semakin dewasa dalam melihat dunia, semakin bijak dalam melangkah, dan dipenuhi banyak kebahagiaan—untuk dirinya, dan untuk banyak orang yang akan ia temui ke depannya.

Happy birthday, Shafira!
Semoga tahun ini menjadi tahun yang penuh cerita, pertumbuhan, dan kebaikan yang menyertaimu setiap hari.

📸 oleh: @andriiyansyahmr@edhobaronmack

Kategori
blog

Refleksi Minggu Pagi

Silau kena cahaya pagi, releksi sederhana di hari minggu, waktu, rambut memutih, hidup bahagia. have a great weekend ^^

Kategori
blog

RJ Bioclimatic Home

Recently, RAW Architecture has just completed the concept phase of the RJ Bioclimatic Home. Each project feels like planting a new seed, shaped by its own process, people, methods, and context. On this site, the sun angles in diagonally and our design adjusts the massing by 50° to true North, aligning the home to its coolest orientation.

This rotation opens a “borrowed vista” toward the courtyard, connecting spaces such as the sunken living room with circular vistas, the staircase with an integrated bookshelf, a poetic book-nook landing, and a set of sleeping and living spaces layered with compartments. Above, a dual realm of healing, resting, and working brings the family together around a central garden.

Through these diagonal forms, we positioned the massing away from direct sunlight, potentially reducing heat from 32°C to comfort 27°C. This axis provides privacy in the North-South direction while revealing glimpses of life along the East-West. The clarity of massing, envelope, details, and brick materiality reinforces this bioclimatic intent.

Reflecting on this project and our works since 2012, nurtured by readings like Strange Details, Poetics of Architecture, and Material Imagination, we are reminded that poetic space, material play, and climatic sensitivity have always been at the heart of our practice. This scheme, through many iterations, leads us into an “upgraded reality,” a fresh outcome born from deep, persistent reflection.

Team: @melisaakma@almujaddidi@joanaagustin@andriiyansyahmr@joshinoel@putrakhairus@k.ezraa@veeryanaa@zikrirahardian@irvitaingrid@timothytuahatu@edhobaronmack@ridwan.kp@rizkasra@reviynatk@carmelinagabriellah@adityakosman@tyoadngrh

Kategori
blog

Open House: Davio House

Open House Davio bertajuk “Flow -The Creative Fragments” adalah Open House ketiga RAW Architecture setelah Rumah Ngumpar dan Rumah Lumintu di 2025.

Sejak 2011, kami memiliki kegelisahan akan bagaimana kreativitas arsitektur bisa dipahami lebih dalam, dari sudut pandang teknologi, pendekatan personal, juga proses desain. Hal ini terwujud dalam bentuk tulisan, buku, dan sebagian dalam bentuk detail dan karya. Inisiasi ini mulai terjawab satu persatu dalam kesempatan untuk mengadakan “Open House” di rumah karya kami yang dinamakan Davio, dan energi baik ini akan berkumpul menjadi satu pada 29 November 2025.

Pemilik rumah, pak david akan berbagi tentang optimalisasi penggunaan tenaga surya dalam bangunan dan Kak Realrich dan tim gabriela berbagi tentang The Creative Fragments, tentang sebuah ide dasar dan jarak antara gagasan ideal dengan kenyataan yang terjadi dalam alam klien, alam tim, alam biaya, dan alam waktu, dan alasan mengapa perpaduan material begitu banyak hadir.

Proyek ini spesial karena membicarakan soal bagaimana kanopi dapat menghadirkan kenyamanan termal, dan perpaduan materialnya dari bambu, bata, acian ekspos juga menjadi satu manifestasi yang kami percayai hadir dari pancaran proyek-proyek kami sebelumnya.

Open House ini bukan sekadar memamerkan fisik bangunan. Ia menjadi ruang berdiskusi dan berefleksi, juga untuk mendapatkan perspektif desain yang lebih kaya. Di sinilah arsitektur diuji secara nyata, apakah ruang tumbuh dan hidup, sekaligus dievaluasi apakah desain bekerja sebagaimana mestinya.

Rumah ini dirancang untuk menurunkan suhu alami melalui sirkulasi udara dan tata ruang terbuka. Lantai dasar terangkat menciptakan koridor angin dengan ruang komunal diatasnya. Lantai dua dilengkapi balkon sejuk sekaligus ruang berkebun dengan bukaan untuk pohon tumbuh. Sementara atapnya dilengkapi panel surya sebagai sumber energi berkelanjutan.

Pengunjung akan diajak berkeliling serta memahami batas-batas dalam proses perencanaan dan konstruksi. Seluruh rangkaian acara akan didokumentasikan sehingga yang belum berkesempatan hadir tetap dapat menyaksikannya.

Pendaftaran: bit.ly/OpenHouseRAW
(gratis – kuota terbatas)

📷 @luil_mn

Kategori
blog

Sharing di Unpar

Kemarin ke unpar, dan sharing untuk kelas pak Chris, dan tim dosen, ketemu Suwardi, one of our beloved big brother di himpunan ima g, kita sudah lama ngga ketemuan 20 tahun lamanya. Waktu berubah, kenangan masih sama. Sharing kali ini untuk anak2 unpar adalah soal metode desain, mereka ada di tugas akhir sebuah proses penting di akhir perjalanan belajar arsitektur.

Terus maju ya anak2 kampus arsitektur Parahyangan, pray for your progress, teacher chris and friends, and also the teaching. Terima kasih sudah diundang.

Selain itu hidup berjalan seperti biasa. Pagi bertemu satu klien, zoom meeting, workshop di alicante, sampai berkunjung ke ITB, kehangatan kampus tidak berubah, ngobrol2 panjang soal idealisme, teknologi, sampai realita proyek. Dari jaman lab multimedia, arsitektur itb tidak banyak berubah, kuncinya adalah apa yang ada di balik layar, struggle, truth, and willingness to learn. Di balik itu ada banyak cerita di balik layar dan tawa juga tangis, kesedihan, dan ego yang pasang surut di era teknologi yang berubah cepat “survival, adaptif, “^^ Diajakin juga melihat struktur knock down yang dibongkar pasang setahun sekali.

Satu refleksi mungkin ke depannya dengan keterbatasan tempat, ide workshop/botega jadi penting, struktur bongkar pasang, persiapan di tpt berbeda, konstruksi di tempat berbeda jd hal yang berharga.

Banyak hal terjadi dalam beberapa jam di Bandung ^^ kangen terus

@chris_hendrawan@suwarditedja@widiastuti_indah erica yunita firman ❤️ @arsunpar@architecture.itb

Kategori
blog

The Progress of Noah Kindergarten

We are excited to share the progress of Noah Kindergarten. The kindergarten project is located in Cipinang, East Jakarta. The project stands like an ark, welcoming its future students such that of a cave and canyon, enveloping them with the best possible environment. We do things for our children wholeheartedly, creating an ecosystem for them through the beautiful premises in which our architecture touch:

1. Our approach responds thoughtfully to Indonesia’s tropical climate through a series of strategies to achieve a Bioclimatic architecture. Slanted terraces and façades respond to tropical challenges, shading the harsh west sun and cooling corridors between classrooms and the exterior—creating a bioclimatic design that minimizes reliance on air conditioning. The south-facing roof channels indirect light into the auditorium, filling in a calm and even glow.

2. The design evokes a non-judgmental environment defined by soft, flowing curves that merge naturally into the site. Dots become lines, and lines transform into volumes, reflecting a continuous spatial evolution that invites curiosity and exploration.

3. The details of each edge are crafted to ensure durability while expressing the story of Indonesian craftsmanship. Inspired by Wastra, the woven narrative of the archipelago, the design captures a journey from the mountains to the rivers, and to the islands beyond. No corner is the same and each one holds its own story. The beauty presents itself in the details, and should be experienced at the scale of both children and nature, creating a living symbiosis between craft, space, and experience.

RAW and Noah School’s values resides in these subtle and intricate gestures rather than the big grand moves. Through this approach, the project finds its soul, ensuring the best way to do this special project.

Client: @sekolahnoah
Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Structural Engineer: @vindicontractor
MEP: @narama_mandiri

#realricharchitectureworkshop#RAWarchitecture#kindergarten#kindergartendesign#schooldesign#architecturaldesign

#rawcasestudy31

Kategori
blog

Happy Birthday Chai, Pak E, Nurul, Alya, dan Kamil

Studio kami merayakan hari ulang tahun lima orang spesial. Mereka adalah @chairunnisabels, Pak Effendi, @septia.ti@rrianditaa, dan @ridwan.kp. Dalam ucapan selamat ini, terselip doa untuk mereka semua agar selalu diberi kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan.

Chai adalah pribadi yang tenang, namun di balik ketenangannya tersimpan semangat belajar dan ketulusan untuk memahami orang lain. Ia punya cara sederhana tapi bermakna dalam membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Dari Chai, kami belajar bahwa kesungguhan tak selalu hadir dalam kata-kata besar, tapi justru dalam tindakan kecil yang dilakukan dengan sepenuh hati.

Pak Effendi, atau akrab disapa Pak E, adalah sosok yang terasa seperti Bapak di dalam tim kami, karena wibawa dan ketulusannya yang alami. Meski begitu, tak ada jarak di antara kami. Kami bisa bercanda dan tertawa bersama tanpa sekat usia, karena beliau selalu hadir dengan hati dan semangat yang hangat.

Nurul dikenal sebagai sosok yang peduli dan rendah hati. Ia selalu menyapa dengan senyum hangat, tak pernah pelit berbagi ilmu, dan selalu siap membantu ketika ada kesulitan. Ia mampu menjadi pemimpin yang memastikan pekerjaan selesai tepat waktu, sekaligus teman yang mau mendengar dan memberi nasihat dengan tulus. Di tengah keseriusan bekerja, terkadang ia pun kerap mencairkan suasana lewat tawa dan cerita lucunya.

Alya adalah sosok yang kami kenal mahir dalam bermain piano dan fotografi. Ia juga adalah seorang yang penuh fokus dan ketelitian. Di saat yang lain beristirahat, ia masih setia merevisi gambar, mengulik lighting foto, atau sekedar membaca hal random tentang jamur kesukaannya. Di balik kesibukannya, Alya punya sisi lembut yang menenangkan. Kadang ruangan bambu berubah jadi mini konser karena permainan pianonya, kadang jadi tempat ngobrol seru soal musik orkestra, dan berbagai kisah unik lainnya yang hadir bersama dirinya.

Terakhir, ada Kamil, rekan kerja, teman, sekaligus chef andalan yang tak pernah gagal bikin suasana ramai di kantor. Namun di balik itu semua, ia adalah sosok yang hangat, kreatif, dan penuh inisiatif.

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Chai, Pak E, Nurul, Alya, dan Kamil!💛

Kategori
blog

Noah Children Development Center

RAW Architecture unveiled NCDC Project (Noah Children Development Center) which host the children development clinic, a place together with @sekolahnoah where children is nurtured and the child’s authentic language emerges through exploration and expression. The NCDC provides proper structure for young learners during their critical developmental years.

The design features an inviting open space with neutral tones and textures as a blank canvas, creating a safe, comfortable environment for children’s imagination. The architecture prioritizes child ergonomics with low sightlines, soft curves, and intuitive layouts that encourage free movement without being overwhelmed.

The center ensures thermal comfort through thoughtful design suited to the local climate, using strategies of shade and stack ventilation to create pleasant microclimates. Drawing from nature, the NCDC uses metaphors of flowers and trees, symbolizing growth and stability. Like seeds in fertile soil, early education plants knowledge that grows into fruits of culture, while trees offer great shade and rooted support.

Key spaces at the NCDC spark discovery. The importance of expressiveness is highlighted through spaces like theaters that guide the child’s development. Flexible therapy spaces as classrooms encourages collaborative learning. These methods are how the NCDC weaves a big, warm web of support for the child, supporting authentic language of the children.

@sekolahnoah@realricharchitectureworkshop

#realricharchitectureworkshop#RAWarchitecture#kids#parenting#earlyeducation#childcare#childcenter#developmentcenter#childdevelopment

#RAWCaseStudy77

Kategori
blog

Cangkrukan Malang

Ini anak2 UIN Malang dan peserta seminar, mereka anak2 yang terus mau belajar dengan serius dan hebat, terlihat dari energi, persiapan, pertanyaan, dan diskusi di acara @cangkrukan.mlg ,
.
Presentasi arsitektur kali ini saya cerita tentang kota, arsitektur, apa yang ideal dari keduanya dan merangkai mimpi yang ada dari kepercayaan klien, proyek, dari prototipe yang ideal. Ada 4 hal penting jadi refleksi problem praktik di studio kami, 1. Perjuangan menggali esensi dari dalam 2. Kota kita bermasalah, polusi bumi, air, udara 3. Arsitektur itu kolaborasi 4. Keseimbangan teknologi lokal yang terjangkau
.
Cerita yang diberikan adalah negosiasi antara hal nyata dari para guru, soal sikap dan inovasi,brikolase romo Mangun, toleransi Pak Eko Prawoto, Konstelasi Yogyakarta dan tensi kapital dan polusi kota sampai pengembangan ilmu konsep arsitektur yang diturunkan terus menerus prototipe konsep desain “generic city”, neighbourhood unit, pedestrian pocket, Evolusi Metode, realitas praktik yang menantang, ketukangan studio, sampai ke pentingnya literasi, buku, perpustakaan, dan sekolah.
.
berharap semua yang direnungkan dan dibagikan di sesi kali ini bisa dijadikan bahan diskusi, refleksi, dan turut mendoakan adik2 yang masih muda ini terus fokus, belajar, dan sukses jadi arsitek hebat.

Senang juga bisa ketemu Pak Agus, Mas @farid.nazaruddin , dan Pak Pudji, cerita sahabat, perjuangan edukasi. Dan, Saya juga ikut belajar dari presentasi pak Bambang dan pengalamannya di Kampung Kota dari visi sampai mandiri, dinamika perjuangan yang hebat !

Ini semua untuk anak2 UIN. Terus maju ya anak2 UIN, @himahajaraswad terus fokus belajar.

Kategori
blog

Kenn Birthday

Tanggal 18 Oktober lalu, menjadi momen kecil yang berarti di studio kami. Di tengah ritme kerja yang padat, kami berhenti sejenak untuk merayakan perjalanan seorang teman yang tumbuh bersama kami. Ia adalah @kennpranoto, anggota tim desain Sophia di Studio RAW.

Setiap perjalanan selalu menyimpan cerita tentang bagaimana manusia tumbuh. Setiap harinya, kami bisa melihat setiap gestur kecil, bagaimana Kenn mendengar, serta kesungguhannya mengerjakan hal-hal detail, yang lahir dari hati yang ingin belajar dan memberi.

Ia tumbuh bersama waktu, tantangan, harapan, dan juga bersama teman-teman yang percaya padanya. Kehadirannya di tim Sophia bukan hanya menambah satu tangan yang membantu, tetapi juga menghadirkan kesejukan bagi seluruh tim.

Perayaannya sederhana, diiringi tawa, lilin, dan kue kecil di tengah sore yang hangat. Tapi di balik kesederhanaan itu ada rasa syukur yang besar atas perjalanan manusia yang saling belajar, saling bertumbuh, dan saling menjaga.

Kami berdoa agar setiap langkah Kenn selalu dipenuhi kegigihan untuk terus belajar, kebijaksanaan untuk memahami, dan ketulusan untuk memberi. Semoga di setiap tahun yang datang, Tuhan selalu menjagamu dalam terang yang lembut, dalam hati yang jujur, dan dalam kasih yang tak terhingga.

Selamat ulang tahun ke-22, Kenn.
Semoga tahun ini dan seterusnya menjadi tahun yang luar biasa!

Kategori
blog

Amphiteater for the Children Library

RAW Architecture’s design for the amphitheater for the children library is ready for use, the kids can play here ❤️. a result of the craftsmanship of carpenters and welders using a shell structure made of stiffening rods, spanning 8 meters with seating as beams.
.
In this case, inexpensive and simple wood can serve as a filler for the railing structure, mutually reinforcing each other. Steel acts as the primary structure, while wood serves as the secondary structure supporting the steel to maintain structural stability. It not only supports gravitational loads but also lateral loads, such as those on staircase supports, which can sometimes be supported very thinly.
.
In detail, RAW designed the steel, which serves as the primary element, to have the same thickness as the wood, at 10 cm. Steel measuring 5×10 cm meets wood of the same size, supported by wood measuring 5×7 cm as a tertiary element.
.
This combination can mutually support each other as long as the wood is bonded at intervals of approximately 35–40 cm. In this project, we used leftover scaffolding materials arranged in such a way and will later be complemented with glass covering material. This composition forms an interlocking pattern, ultimately creating wastra/patterns resulting from its functional elements.
.
Detail by #realricharchitectureworkshop
@dot_workshop

Kategori
blog

Privilage

Privilege itu dianterin pagi2 sama istri dan anak2 ke bandara, weekend trip ^^ buat acara Cangkrukan Malang ^^ can’t wait for tommorow home coming.❤️
.
Pagi ini bangun, kordinasi kerjaan, anak2 tim beres, klien beres, kerjaan ga pernah beres2 , terus harus kordinasi dan ingetin, senengnya akan ketemu temen2 baru, kawan lama, menerus jadi ide baru ^^ Hal ini dibahas oleh Jim Collings dan Jerry I. poras, di buku Built to Last mengenai perusahaan Boeing, Johnson & Johnson, Motorola, Disney, Walmart, Sony. Ada perusahaan yang bisa merubah keadaan, menjadi inovator, merubah paradigma dan menjadi yang terdepan karena proses kreatif yang fokus ke inti jiwa manusia, perusahaan, komunitas yang progresif.

Inti dari temuan Collins adalah bahwa perusahaan-perusahaan ini berhasil karena mereka memiliki proses membangun perusahaan itu sendiri sebagai produk utama, didukung oleh visi ideologi inti yang kuat (core ideology) dan budaya yang intensif (cult-like culture), sambil terus mendorong kemajuan dan perubahan dalam tim. Proses leadership menjadi penting di balik semua itu, kepemimpinan substansial, menyelesaikan masalah dengan membangun sistem dengan kritis, perlahan – lahan namun drastis.

terus semangat semua happy weekend ya.

Kategori
blog lecture

Cangkrukan “Design to Regeneration: Reviving Nature, Inspiring Change”

Studio RAW Architecture berkesempatan untuk berbagi dalam acara Cangkrukan di Malang pada tanggal 25 Oktober 2025, Bersama dengan Ir. Bambang Irianto, dengan tema: “Design to Regeneration: Reviving Nature, Inspiring Change”

Tema ini mengajak kita untuk kembali meninjau bagaimana arsitektur menjadi bagian dari proses regenerasi, bukan hanya melalui bentuk, tetapi juga melalui cara berpikir, materialitas, dan hubungan kita dengan alam.

Perubahan selalu terkait erat dengan waktu dan sumber daya, dua hal yang begitu spesifik dalam konteks Indonesia. Reviving nature bukan hanya mengagumi alam sebagai inspirasi, tapi menjadikannya sebagai tujuan dari proses perancangan itu sendiri.

Prinsipal RAW, kak Realrich melihat komparasi kritis dengan merujuk pada pemikiran banyak praktisi. Seperti, kita belajar tentang bagaimana urban forestry dan natural riparian bisa menjadi cara untuk menyatukan bangunan dan lanskap secara alami, bagaimana pendekatan ini tidak hanya memengaruhi praktik di Sri Lanka, tapi juga menyebar hingga ke Bali, Singapura, dan Malaysia. Dari Pak Eko Prawoto, kita diajak untuk membaca tapak secara lebih peka—melihat konteks dan menghubungkannya dengan ide-ide seperti milik Doxiadis – Pikionis tentang sistem angular dan wide angle, sebagaimana kuil-kuil Yunani yang mengarahkan pandangannya ke titik-titik tertentu untuk menciptakan harmoni ruang dan lansekap.

Di Indonesia, Romo Mangunwijaya mengingatkan bahwa praktik arsitektur adalah juga soal ketukangan. Ada kesadaran bahwa berpikir kritis adalah bagian penting dari proses menciptakan sesuatu yang tidak hanya indah, tapi juga relevan, kontekstual, dan bertanggung jawab.

Dari warisan pemikiran itu, kami merenungkan kembali praktik studio kecil kami di Jakarta, Bandung, Tangerang, dan berbagai kota lainnya, bahwa setiap proyek bukan hanya tentang menyelesaikan ruang, tapi juga menciptakan pengalaman yang bermakna bagi semua. Dan dari situ, kita terus belajar mencari komposisi yang selaras agar alam, manusia, dan budaya bisa hidup berdampingan.

Kami mengajak teman-teman di Malang untuk bergabung bersama dalam acara Cangkrukan, dan daftarkan diri melalui tautan atau QR code yang tertera pada poster.

Kategori
blog

Ezra Birthday

Beberapa hari yang lalu, terjadi momen hangat yang mengisi studio kami. Hari di mana @k.ezraa salah satu anggota tim Techne merayakan ulang tahunnya. Di hari itu, kami berhenti sejenak, tertawa bersama, dan bersyukur atas kehadiran Ezra yang kurang lebih dua tahun ini tumbuh bersama kami di @guhatheguild

Bagi kami, Ezra adalah contoh kecil bagaimana bekerja dan tawa bisa berjalan beriringan, presisi dan cekatan dalam bekerja namun tetap berbagi humor dalam satu napas yang sama. Dalam setiap gambar yang ia buat, terlihat kesungguhan yang tidak bising dan selalu ada niat baiknya untuk membuat suasana di studio terasa hidup.

Di hari ulang tahunnya, Ezra datang dengan niat baiknya berbagi kebab untuk kami semua, tentu tidak ketinggalan juga pose mewing-nya yang legendaris yang menjadi gaya khasnya yang tak dibuat-buat. Di balik wajah iseng dan gurauan yang sering muncul, ada ketekunan dan ketulusan yang terus tumbuh bersama dengan dirinya.

Terima kasih Ezra, untuk setiap tawa dan energi positif yang kamu sebar bagi kami semua. Semoga tahun ini dan seterusnya langkahmu selalu dikelilingi cahaya yang menuntun, desain yang semakin keren, dan tentu tetap membawa tawa yang menjaga semangat semua orang di sekitarmu.

Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun Ezra!

Kategori
blog

RAW Analytical Framework – Details, Thermal, Wind Pressure

In RAW Architecture, we produce 3 main analytical framework, such as responses towards attentions to Details (Tectonics), Thermal conditions, and Wind Pressure. It is a lesson learnt that we implement in all of our projects.

In context of this case study, Jakarta exemplifies the challenges such as :

1. Details of Critical resources, our design depart from the fact that our context, Indonesia, is a postcolonial country, and we recognize its lack of resources. To focus on craftsmanship is a way to design in creative way with critical thinking senses. RAW’s core value has been shaped by the intangible knowledge of the craftsmen, artist, and design and we prioritize craftsmanship process over expensive materials. This approach coins to Pluralism architecture that involves diversity in construction, using whatever in our excess to create buildings that are inclusive and connected to their context, combining high-tech systems with low-tech basics.

2. To achieve thermal and wind pressure comfort in Jakarta, a hot-humid tropical climate (23–33°C, 70–85% humidity, 0.2–0.8 m/s winds), the work of RAW embraces the needs and constraints of our context. We are aware of keeping the indoor temperature towards 27°C, and relative humidity must be kept at 30-60% to avoid dryness and dampness, is essential in maintaining maximum comfort through strategies that allows for microclimate to exist. The architecture must employ passive strategies such as stack and cross ventilation to carry steady cooling inside the building. To add to our efforts, we work with active strategies such as fans to help regulate fresh air. Our analytic team approach designs through the studies of comfort. The team uses modelling and simulation to review design from the lenses of data, to model these strategies more accurately to test its impact to our designs.

Credits to RAW Analytic team:
Principal : @rawarchitecture_best
Analytic Team : @adityakosman@tyoadngrh@rrianditaa
Team : @ha.ykal@noviola_esther@carmelinagabriellah@farrashsal
Other Lead : @melisaakma @almujaddidi @andriiyansyahmr @joanaagustin @gabymarcelina @putrakhairus @mu.zyd @muhammadyusrul @joshinoel @chairunnisabels @namanyaemailku

Kategori
blog

Reflections from Kolkata.

A few months back, during an invitation to Kolkata, my flight was delayed for 14 hours — and quite unexpectedly, I met Pavel ( @pavelpedia ) along with his family (@mukherjee_smriti) + team Sayan (@shadow_paint_).

After RAW Architecture’s lecture on design perspectives in Kolkata, India, we continued the conversation at the terminal through a podcast session. Pavel has a fascinating way of building inspiration behind his films — using podcasts as a kind of backbone, a space to think aloud and weave ideas.

This post is my small gesture of appreciation for their effort to document a way of sharing struggles, processes, and inspirations — many of which I only discovered during that conversation. We talked about so many things: how to appreciate architecture, the sense of wonder and struggle within it, the tension between global inspiration and local action — and how critical thinking can lead us back to architecture rooted in culture and nature.

Our conversation flowed through the Mahabharata, the Seven Wonders, education, libraries, hermitage, postcolonial conditions, and even children’s education. It all ended on a reflective note — about the meaning of life, the joy of meeting new people, and how every encounter brings new energy.

Pavel is an Indian film director and screenwriter who primarily works in Bengali-language films. He made his debut with Babar Naam Gandhiji, followed by many others.

Thank you, my friend — and to the team and all the beautiful people behind it. You can listen to our podcast through the QR code below. Have fun, and enjoy the conversation.

Note: I still owe a reflection on the trip to the Santiniketan constellation, Bidyut Roy and Lipi Biwas’s home and works — brought to us by Swagata Mam, Lakshmi, Priyak and Riya. Thank you.


(Ep. 40), we cross oceans and cultures – from India to Indonesia –
Host: Pavel
Producer: Jaspreet Kaur & Pavel
Cinematography: Sayan Bose
Assistant DOP: Ayush Gupta
Research & Creative Head: Smriti Mukherjee
Edit: Pallab Bose
Team: Arko Kiran Guha, Sumit Chowdhury & Priyanka Bhattacharya

Kategori
blog

Reflection

Mendapatkan testimonial seperti ini memberikan keteduhan, angin sejuk dalam keseharian kami, tidak diduga tidak disangka ada yang mengapresiasi ruang kecil di boboto, ia hadir dengan semangat kesederhanaan, setiap ruang dan tumpukan bata, adalah keringat dari pengrajin dan jejak baik orang lain. Semoga keteduhan yang diberikan perpustakaan ini memberikan ketenangan batin untuk orang lain tuk kembali menjalani hari demi hari ke depan.

Kategori
blog

Happy Birthday Billy

Happy birthday Billy, all the best for the future, Billy is eldest son of om Frans Wirawan. Billy dan Om Frans berdua banyak kesamaan, dari cara mengamati persoalan, menilai, dan membuat rencana – rencana. Ia memiliki kelebihan dalam interpretasi seni dan melihat komposisi, proyek dari sudut pandang proses. Billy juga finy, dan Ita kerap berkolaborasi dengan saya dan tim, ia membuat setiap pertemuan adalah saat menggali ide – ide dan realitas baru. Ia suka fotografi, juga design thinking, reading, and look at artistic space, material, and its constelation.

Ia bisa sangat menghargai ide, dan juga memiliki toleransi akan realitas yang ada. Racikannya membuat proyek – proyek yang unik, otentik dengan dasar akar yang kuat. Akar ini berbasis pada fungsi, sudut pandang, dan niat untuk bereksplorasi. Ada cerminan apresiasi tersendiri untuk tim, untuk orang sekitar sembari terus personal.

Melihat proses cara pandang, melihat bisnis, lingkaran keluarga dan bagaimana memandang kehidupan, dengan wonderball, saya melihat gerakannya, cara pikir, dan sikap sebagai satu legacy dengan inisial W yang sama, Wirawan fam, keluarga Wirawan. Dari rumah kotak bermaterial kayu, saya mengenal Billy, tante Giok, om Frans, Finy, Ita dan lingkaran2 keluarga besarnya. Architecture is struggle process, a way of life, show humanityband progress in every aspect.

Bil, if you father still here, he will be super proud of you Bil. He is smiling in heaven now, Thumbs up, we miss him so much day by day. Have fun today greeting for you and big fam ^^

Photos :
1. Meet up
2,3,4 With Billy in Wonderball
5. Photograph of wood box house : @ericdinardi@bacteria.archphotography

Kategori
blog

Wonderball Padel Court

Raw Architecture introduce our collaboration on @wonderballpadel project that consist of two padel courts, plus an F&B experience with artistic architecture experience. The project comes with a hypothesis, of how to combine the programs within the not so big lot, while integrating it with a sustainable design strategy.

  1. Positioned along the east-west axis, the courts are integrated within the landscape + facade design that acts as a climate filter. They are enveloped by a thoughtfully composed skin of curved shape brick,plastic, perforated metal panels, and Sukabumi stone, which allow airflow, add texture, and enhance tactile quality.
  2. The design creates a comfortable playing environment, supported by active 4 cooling fan to get cross active air circulation and air stack effect
  3. A transition from the entrance into the court is made through a non-obstructive, glass and curved canopy, creating a subtle boundary that invites spectators, players, and passersby. Inside, a small gallery space offers a curated retail and lobby with the skylights above, while a concealed back-of-house service at the front efficiently supports the F&B.

Client : @wonderballpadel
Architects: @realricharchitectureworkshop
Structure Consultant: @vindicontractor
General Contractor: @vindicontractor

Client Team :
@globewanderer.billy @finywrwn @fwirawanthe3rd @haryosuryoputro @audreyjk
RAW + DOT Team :
Principal: @rawarchitecture_best
Conceptual: @andriiyansyahmr @veeryanaa @timothytuahatu
Detailing: @melisaakma @chairunnisabels @tyoadngrh @san.lbs @namanyaemailk @noviola_esther
Design Supervision: @melisaakma @almujaddidi @putrakhairus @san.lbs @namanyaemailk
Team: @joanaagustin @joshinoel @rizkasra @zikrirahardian @ahcaayran @irvitaingrid @adityakosman @tyoadngrh @rrianditaa

Kategori
blog

Ditemenin Istri dan 2 Anak Malaikat ke Kuburan Karya Aldo Rossi

Miracle dan Heaven dengan dunianya, kita harus banyak belajar dari mereka dan keluguannya, kreatif, bahagia, dengan bahasanya sendiri.

Kategori
blog

Refleksi dari Pak Johan Silas – Harapan Untuk Terus Bergerak

Melihat akhir-akhir ini… Dinamika politik, energi batin yang Banyak membuat hati kecil orang – orang kecewa…

Suara Tuhan yang Maha Kuasa memberikan jalan ini semoga bisa terus membuat ketenangan batin bangsa, dan sekitar…

Indonesia negara besar, plural dan sangat indah… Tuhan berkati kita semua. Sehingga semesta bisa terus membolehkan… Kita semua untuk terus Tumbuh dan belajar…

Ketika melihat guru kami, salah satu pengajar terbaik arsitektur di Indonesia , pak Johan Silas dengan semangatnya dan mengajak untuk terus membongkar stagnasi dengan melihat isu kota, permukiman, kampung, proses membangun bersama. Umur 89, kuat mengakar, dedikasi ke pendidikan, pemerintah kota, arsitektur, dan kedisiplinan-titik fokus. dan selalu berdiskusi dengan mas Mohammad Cahyo Novianto, membuat saya selalu tersenyum, bahagia, dan kembali melihat selalu ada harapan, dan mari terus bergerak. @madcahyo

Kategori
blog

Topi dari Ama Tersayang

Topi dari ama tersayang ^^, kemarin saya terapi ke rumah ibu kami, ia memberikan topi ini, topinya yang dipakai untuk menangkal silaunya matahari, dan dipakai oleh anak – anak dengan ekspresinya sendiri. “Yang udah liat foto anak – anak ? “ laurensia fotoin ini, kadang saya miss dari momen-momen lucu mereka. Dan tiap liat foto anak – anak, saya selalu bisa senyum. Hari ini ke Pontianak, acara sharing ketemu kawan – kawan lama, urun rembug sama mas Cahyo dan Yoris, dan kawan – kawan profesi, akademia, dan anak – anak muda luar biasa. See soon @laurensiayudith besok, miss you already ^^

Kategori
blog

Equator Architecture Forum – IAI Kalimantan Barat

Antara bisnis dan proses mengayomi, keduanya menjadi bahan yang membuat saya merasa perlu untuk lebih hati-hati. Hubungan antara studio dengan keluarga, antara luar dan dalam perlu dijaga keseimbangan di banyak hal. Jujur saya mengalami kesulitan, dan semua pasti pernah berada di masa “ke engah-engahan” untuk menyeimbangkan banyak sekali ekspektasi. Dalam tawa lepas, dan air mata lelah. Sungguh rasa lelah yang luar biasa, tetapi tanpa lelah rasanya tidak ada juga puas. Keduanya resiprokal, dan keduanya menjadi kenangan yang sama-sama penting.

“What you see is on the branches, but the treasure is actually on the roots!” Itu kalimat @madcahyo, to the so many unseen things, banyak hati yang ber-resonansi antar satu sama lain. Setiap bertemu seperti banyak energi yang terjalin membentuk persaudaraan baru, walaupun terbatas oleh waktu, tetapi rasa ingin bertemu masih terus mengiringi. Dalam waktu Tuhan punya kuasa, dalam keinginan manusia kita sama-sama berusaha.

Sempet bertemu Yoris di Pontianak, anak muda pengawal budaya Dayak yang mencintai dan menyalurkan banyak energi kebaikan dari dayak, memberikan repetisi, tumbuh untuk membuka jalan arsitektur yang mencerahkan. Ia ikut mereferensikan kakak-kakaknya seperti @rasa.architektura dan @fas_architects 

Akhirnya juga bisa ketemu Mas @rickyarchitectandpartners. Ia banyak menceritakan tentang kesadaran budaya, dari menggali titik personal. Seperti bagaimana pembuktian yang datang setelah kesadaran terbentuk, seperti “Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894” karya Anton W. Nieuwenhuis mengenai dinamika budaya Dayak, mulai dari arti menghormati leluhur, dan kekayaan kenangan yang berpusat dari tradisi air, kesabaran, memahami maksud-makna alam saujana, sampai kembali ke rahim ibu, penerimaan pelukan dan pengakuan budaya dalam ketetapan hati untuk being proud and taking care!

juga ketemu banyak saudara-saudara yang buat kangen seperti bli @gmahaputra, mas @reviantosantosa, dan teman-teman lainnya. Perjalanan kali ini membuka gerbang kesadaran baru! Thank you untuk @iai.kalbar dan acara Equator Architecture Forum. Thank you Almighty!

Kategori
blog

Workshop Denah: Meracik 5 Resep Denah

OMAH Library dengan bangga mempersembahkan buku baru lagi setelah Buku Pak Yuswadi Saliya, dan Pak Eko Prawoto, yaitu Buku “Workshop Denah”, buku bilingual yang dirancang sebagai dasar pengajaran membuat denah arsitektur yang baik. buku ini hadir menjawab kegagapan desain yang kerap dialami mahasiswa dan fresh graduate—yang sering berdampak pada inefisiensi hingga bongkar-pasang perencanaan.

Buku ini terdiri dari 5 Resep Denah, mulai dari Meracik Denah, Pragma, Referensi, Iterasi hingga meracik Epilogmu sendiri.

Pada bagian Resep Denah 1: Meracik Denah, membahas pentingnya denah sebagai jantung desain, dengan segala mimpi, semangat, sekaligus keterbatasan yang dimiliki. Lalu bertemu dengan mimpi klien dan arsitek yang harus bernegosiasi dengan realita biaya, mutu, waktu. Kemudian, melalui pembahasan lapisan-lapisan denah, seperti ergonomi tubuh, konstruksi ruang, hingga struktur anatomi desain.

Pada bagian Resep Denah 2: Meracik Pragma, membahas bagaimana setiap proyek membawa “resep pribadi” masing-masing. Bab ini juga mengelompokkan proyek ke dalam 3 karakter: Intrikasi, Terbatas, dan Fleksibel. Selanjutnya pada

Pada bagian Resep Denah 3: Meracik Refrensi buku ini mengajak teman-teman untuk melakukan beberapa rangkaian latihan dari Refrensi mulai dari Intrikasi, Terbatas, dan Fleksibel. Di sinilah teori dan ide-ide diuji melalui diskusi.

Pada bagian Resep Denah 4: Meracik Iterasi akan membahas bagaimana proses latihan tersebut melalui hipotesis sampai premis. Dan pada bagian terakhir Resep Denah 5: Meracik Epilog untuk kemampuan berefleksi dari proses latihan denah ini

Buku ini dirancang untuk disebarkan dengan harga Rp93.000,- sebagai ganti biaya produksi, Jika teman-teman tertarik namun mengalami kesulitan dalam berdonasi, silakan hubungi kami dan kirimkan motivation letter berisi alasan kenapa kamu ingin membaca buku ini. Kuota terbatas, namun semangat belajar tak boleh dibatasi. Ada bonus 1 buku berbeda untuk 3 pembeli pertama. Jika berminat bisa pesaan di bit.ly/OrderOMAH

#GuhaTheGuild #OMAH #Perpustakaan #Tangerang #Jakarta

Kategori
blog

Anniversary ke-14

Hari ini adalah hari anniversary kami ke 14, kami menikah tanggal 23 september 2011. Foto ini diambil 11 tahun yang lalu, di Venice setahun kemudian Miraclerich lahir setelah itu. Dan pada waktu 2020 Heavenrich lahir. Kedua malaikat yang mewarnai hari – hari kami, perjuangan kami, juga kenangannya di sekitar kami, sekitar keluarga besar, studio, klien, tukang, sampai orang – orang sekitar dan orang baru.

Semoga gerak tindakan saya, kami dimaafkan kalau ada yang masih belum pantas, belum sempurna. Ada satu refleksi yang saya dapatkan dari kakak saya, bu Yo, soal keluarga soal pekerjaan, “Berproses terus ke inti baik secara teknis, filosofis & spiritual saling berkelindan… Yg penting (dalam proses) sabar, pelan2 & pastikan kalau relasi keluarga inti aman & saling melengkapi… tantangan lebih berat, tp mudah2an kita dianugerahi media pemulihan selalu.”

Kalimat terakhir merepresentasikan kesulitan yang kita hadapi, dan proses pemulihan diri. Proses pemulihan diri kami sebagai orang tua salah satunya ketika melihat hubungan anak – anak malaikat kecil dengan komunikasi ajaibnya, tulusnya, tidak terduganya celetukan, reaksi, kenangan2 yang sungguh pemberian Tuhan.

Kategori
blog

Cersaie – Erwin & Vania

New bro and sis, brilliant thinkers, take care  @erwin_regina  @anantavania ❤️ TTYL soon !!!

Mas Erwin yang praktiknya di Bandung, punya banyak pengalaman dengan brand global, dengan suka dukanya, dan Ananta yang mencerminkan arsitek desainer di generasinya, muda, sosial, membawa keinginan untuk memperbaiki lingkungan dan sekitar dengan progresif. Dari keduanya saya belajar banyak, juga dari saat2 bersama2, diskusi, berbagi kenangan, banyak mendengarkan. Satu kata untuk proses arsitektur yang tidak mudah , “Struggle” diri sendirinya ke lingkungannya untuk terus melayani dengan terus belajar.

Kategori
blog

Great People, Circle

Great people, circle. Di satu hari Jumat, 191025, Ngumpul – ngumpul sharing dengan lingkungan doa bersama. Akhirnya bisa kenal dengan beberapa orang di komplek, Jakarta – Tangerang, dua kota yang sibuk dan padat. Hal-hal seperti ini, sangat kami syukuri bisa berkumpul, saling mendoakan dalam kasih.

Kategori
blog

Kawan di Masa Sepi – Rei

Rei mungkin ngga inget dulu dia yang bawain compact disc album Wicked dari Inggris, hanya gara – gara saya lupa, cd yang ada ketinggalan pas pindahan. Kadang dia datang di London, sampai menemani dulu ngobrol, di taman sambil saya skypean long distance sama Yudith dulu belum jadi istri.

Ia jadi kawan saat sepi banget di Inggris, dingin, kerjanya cuma kerja – kerja – kerja. Dari pagi ke pagi, black cab to black cab karena lembur di kantor. Dan akhirnya bisa ketemu lagi sama Rei !!! precious mentor, brother, guide, dan teman baik banget. Lingkaran yang selalu pas ketemu bisa membuat awet muda, dengan kenangan yang positif dari Singapore, London, sampai ketemu di Bali yang ternyata nyambung sama one great architect di Indonesia – Budi Lim. Rei, I just wanna really appreciate, and keep the moment as one of butterfly collection ! Thank you

Cara Rei care, tidak terlihat tapi nyata terasa, ketulusan dan intensi akan terlihat, dan membekas, kapan kita makan lagi ya di Four Season ha ha. Ngga kerasa akhirnya sudah 12 tahun lebih dari 2012 an ngga ketemuan, big thank you again yaa rei!!! Hugs from us again and again. ^^

Foto saya sekeluarga diambil oleh @reintamin

Kategori
blog

OMAH Library featured on 150 Libraries You Need to Visit Before You Die

We are honored that OMAH Library has been featured in the book 150 Libraries You Need to Visit Before You Die by Léa Teuscher, published by Lannoo, a renowned Belgian publisher known for its celebrated “150” series.

It all began when we were contacted by Léa Teuscher, a London-based writer researching the world’s most fascinating libraries. We are truly humbled that OMAH Library was selected to be part of this thoughtfully curated global list.

To be recognized among the 150 most inspiring libraries worldwide is not just an appreciation for us, it’s also a moment of reflection on the role of libraries as spaces of knowledge, culture, and community.

Thank you to Léa Teuscher and Lannoo Publishing for seeing value in our library.

OMAH Library Photo by @kiearch 

#omahlibrary #guhatheguild #perpustakaan #tangerang #jakarta #150libraries #lannoopublisher

Kategori
blog

Great Circle

Sudah 25 tahun kami semua lulus, dari tahun 2000 di arsitektur ITB, dari lucu/culun/kelakuan mirip taman kanak – kanak. Memang aneh, lucu, sekaligus mencoba terus lugu. Dari situ persahabatan diuji, dalam suka, dalam duka, dalam drama, dalam kejujuran. Itulah makna reuni, ketika kenangan berjumpa dengan kenyataan – kenyataan yang baru. Kadang perasaan bergejolak, ketakutan dan kebahagiaan dan juga kesedihan dalam menghadapi realitas. Sebuah perasaan sureal yang nyata-“sunyata”.

Persahabatan adalah imajinasi menuju kenyataan, dari tidak kenal menjadi kenal, dari tidak peduli menjadi peduli. Kali ini dalam reunian, empati seperti ini yang berusaha dihadapi, seluruh bungkus ditinggalkan dan kita semua menghadapi diri kita kenangan kita yang lampau salam bentuk yang sekarang. Uban, otot, tulang yang menua – 25 tahun dari tahun 2000 ketika kami semua bersama. Dari satu angkatan, satu himpunan (IMA G), satu kekerabatan, ada yang sama unit budaya, olahraga, sampai sekarang beda jurusan, sama jurusan, seperti rujak dan gado-gado, kebhinekaan yang menyatu.

Dalam gelak tawa pasta (pasukan dangdut angkatan), tangis dan air mata perjuangan Ar2k, jujur dan apa adanya menjadi mahal, kembali ke masa muda menjadi mimpi, dibalik seluruh waktu yang tidak berulang. Setidaknya kami bisa selamat, survive, tertawa, tersenyum, dan saling mendoakan, (juga pertemuan singkat dengan anak2 KMK- ada yang sudah jadi pastur di Lembang). Sebelumnya satu hari ketemu Wira, anak2 IMA G vino dkk dan mantan dan still dosen kami pak Agus.

Kawan – kawan ar 2k, adik2 IMA G, rekan2 semua jaga diri ya, saling mendoakan, dan sampai ketemu lagi. Mohon maaf telat reportasenya. ^^ thank rekan panitia yang sudah capek banget siapin acara – acara juga adik – adik angkatan yang mau berkeringat untuk kami. Tuhan yang mahakuasa memberkati dan

melindungi. @rasyarie @tisamedinna @gumzkiew @rinita.e @leiakila @amandasiradj @psabd dkk yaa sluru ar 2k yang cakep2  @ar00.barokah  @tahapparuhbaya

Kategori
blog

Kelas Arsitektur 01 – Arsitektur Berkelanjutan di Tengah Sejuta Keinginan Masyarakat

Hi Restless Spirit, rekaman video kelas kuliah pertama kami Kelas Arsitektur 01 – Arsitektur Berkelanjutan di Tengah Sejuta Keinginan Manusia, sudah bisa teman-teman akses melalui website OMAH Library dan Youtube Realrich + Guha : RAWDOTOMAH

Kelas ini berbagi tentang kenapa arsitektur berkelanjutan jadi penting, bagaimana membawakan tema ini dalam desain, diturunkan dalam 7 tahapan global dalam arsitektur berkelanjutan (Site dan Klien, Massa, Kulit Bangunan, Denah, MEP, Efisiensi Energi dan Air, Material), ditambah 2 tahap lokal yang terinspirasi dari vernakularitas di Indonesia, (solidaritas + pluralitas desain).

Kuliah menggunakan beberapa studi kasus beberapa arsitek yang menginspirasi studio kami seperti pada karya Foster + Partners dengan Gherkin St. Mary Axe – Masschuchets Institute of Technology, Gehry Partners LLC dengan IAC Building, ataupun belajar dari desain-desain shopping mall (big box desain) sampai rumah tinggal di Indonesia. Selain itu, juga belajar dari Eropa Utara bagaimana Sigurd Lewerentz dengan desain St. Peter’s Church di Klippan, yang menggunakan material bata tidak terpotong dengan pendekatan massa sederhana. Termasuk juga beberapa contoh karya di Indonesia seperti karya provokatif YB Mangunwijaya hingga Eko Prawoto dengan Wisma Kuwera dan Rumah Kedondong yang menunjukkan pengolahan material dengan budaya solidaritas ketukangan di Indonesia.

Teman-teman bisa menyampaikan kesan pesan kelas ini, di link berikut bit.ly/TestimoniOMAH

Untuk menonton dapat melalui link: https://youtu.be/wlyQw0N3u_g

Materi: Realrich Sjarief + RAW DOT OMAH
Moderator: Jocelyn Emilia
Persiapan acara: OMAH Library
Video Editing: Jocelyn Emilia dan Fransisca Matanari

Case Study:

The Sainsbury Centre for Visual Arts by Norman Foster and Wendy Cheesman
St. Mary Axe by Foster + Partners
IAC Building by Gehry + Partners
St. Mary Axe by Foster + Partners
Hongkong and Shanghai Bank Headquarters by Foster + Partners
3Beirut, Lebanon by Foster + Partners
Commerzbank Headaquarters by Foster + Partners
St Mark’s Church by Sigurd Lewerentz
Church of Saint Peter, Klippan
Wisma Kuwera by Y.B. Mangunwijaya
Rumah Kedondong by Eko Prawoto

Video:

St Mark’s Church
Footage: Realrich Sjarief
Video Editor: Jocelyn Emilia
Music: “Grateful” from Levi Gunardi’s Inside Out(2018)

Church of Saint Peter, Klippan
Footage: Realrich Sjarief
Video Editor: Jocelyn Emilia
Music: “Grateful” from Levi Gunardi’s Inside Out(2018)

Wisma Kuwera
Footage: OMAH Library Team
Video Editor: Lu’luil Ma’nun
Music: Natasya Grisella Plays Levi GUnardi’s Loneliness

Rumah Kedondong
Footage: OMAH Library Team
Video Editor: Lu’luil Ma’nun
Music: Happy Birthday by Levi Gunardi
Produksi: @omahlibrary

kelasomah #omahlibrary #rumaharsitekturindonesia

Kategori
blog

Cersaie – Bologna

Our studio Realrich Architecture Workshop felt grateful to be present by @cersaie 2025, as part of the Indonesian delegation in the historic city of Bologna, Italy. Being invited here is not just about representation, but also about carrying stories, experiences, and hopes from where we come from and cherish Italian ceramic as part of global genius creative.

Cersaie itself is an international exhibition that runs from 22 to 26 September 2025, gathering people and companies from around the world. It is a meeting ground where ideas, materials, and innovations in architecture and design are shared—creating space to listen, to learn, and to be inspired by what others are exploring.

For us, this moment is meaningful because it reminds us of the importance of exchange, to rethink how architecture can respond to challenges with solutions that are sustainable, thoughtful, and grounded in material performance. More than just showcasing, it is about being part of a larger conversation on how to build with care—for people and for the environment.

Photograph:
1 by @_yophrm
2-7 event documentation by @rawarchitecture_best
8-10 Cersaie 2025 Booklet

cersaie2025 #realricharchitectureworkshop #realrichsjarief

Kategori
blog

Farewell Karisya, Syahid

Beberapa waktu lalu kami baru saja melepas adik-adik kami yang telah menyelesaikan masa magangnya di studio kami. Kedua adik kami ini memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama seorang pengamat. Kemampuan ini membuat mereka menjadi orang yang tidak hanya kritis dan berwawasan luas, tetapi juga peduli terhadap sekitarnya.

@__skyraia yang diberkati dengan pribadi yang supel, tidak sungkan menyapa dan berbagi cerita dengan teman-teman lainnya sembari mengamati dinamika studio, hingga @syahidalshadiq yang memiliki semangat tinggi dalam berarsitektur, memperhatikan detail-detail dan secara kritis belajar dan seringkali bertanya.

Terima kasih Karisya dan Syahid sudah menjadi warna baru di studio kami. Harapan kami kalian bisa memancarkan warna kalian lebih luas lagi. Semoga sukses selalu dan apa yang sudah dipelajari bersama bisa terus berguna untuk perjalanan kalian ke depannya. Semangat kalian akan selalu ada di tengah-tengah kami.

📸 & 🎥 oleh:

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10: @tyoadngrh

8: @rrianditaa

9: @chairunnisabels

Kategori
blog

Event Session: Design Perspective – Kolkata Edition

Antara bisnis dan proses mengayomi, keduanya menjadi bahan yang membuat saya merasa perlu untuk lebih hati-hati. Hubungan antara studio dengan keluarga, antara luar dan dalam perlu dijaga keseimbangan di banyak hal. Jujur saya mengalami kesulitan, dan semua pasti pernah berada di masa “ke engah-engahan” untuk menyeimbangkan banyak sekali ekspektasi. Dalam tawa lepas, dan air mata lelah. Sungguh rasa lelah yang luar biasa, tetapi tanpa lelah rasanya tidak ada juga puas. Keduanya resiprokal, dan keduanya menjadi kenangan yang sama-sama penting.

“What you see is on the branches, but the treasure is actually on the roots!” Itu kalimat @madcahyo, to the so many unseen things, banyak hati yang ber-resonansi antar satu sama lain. Setiap bertemu seperti banyak energi yang terjalin membentuk persaudaraan baru, walaupun terbatas oleh waktu, tetapi rasa ingin bertemu masih terus mengiringi. Dalam waktu Tuhan punya kuasa, dalam keinginan manusia kita sama-sama berusaha.

Sempet bertemu Yoris di Pontianak, anak muda pengawal budaya Dayak yang mencintai dan menyalurkan banyak energi kebaikan dari dayak, memberikan repetisi, tumbuh untuk membuka jalan arsitektur yang mencerahkan. Ia ikut mereferensikan kakak-kakaknya seperti @rasa.architektura dan @fas_architects

Akhirnya juga bisa ketemu Mas @rickyarchitectandpartners. Ia banyak menceritakan tentang kesadaran budaya, dari menggali titik personal. Seperti bagaimana pembuktian yang datang setelah kesadaran terbentuk, seperti “Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894” karya Anton W. Nieuwenhuis mengenai dinamika budaya Dayak, mulai dari arti menghormati leluhur, dan kekayaan kenangan yang berpusat dari tradisi air, kesabaran, memahami maksud-makna alam saujana, sampai kembali ke rahim ibu, penerimaan pelukan dan pengakuan budaya dalam ketetapan hati untuk being proud and taking care!

juga ketemu banyak saudara-saudara yang buat kangen seperti bli @gmahaputra, mas @reviantosantosa, dan teman-teman lainnya. Perjalanan kali ini membuka gerbang kesadaran baru! Thank you untuk @iai.kalbar dan acara Equator Architecture Forum. Thank you Almighty!

Kategori
blog

Arch Daily – KAMPOONG GUHA

Our work, Kampoong Guha is featured in @archdaily curated by @miwanegoro. We are honoured to be featured in Archdaily. It’s a huge effort by all of our the team involved over these continuous years, refining the craft through numerous iterations and hard work by everybody.

Kampoong Guha is a mixed-use project that brings together @omahlibrary, architectural studio @realricharchitectureworkshop, home education classrooms @rumaharsitekturindonesia, co-living spaces @dot_workshop, and a residence @guhatheguild, blending formal and informal neighborhoods in Meruya, Tangerang. Designed as an adaptive, evolving structure, the project seamlessly merges traditional and industrial materials with passive cooling, ensuring indoor temperatures remain below 30°C inspired by Kampoong. Over 200 doors, stacked combinations of hybrid materials, and layered gardens create a flexible spatial experience serving both as a learning hub and a prototype for compact tropical living. Together they form a way towards bioclimatic architecture in Jakarta.

To reduce temperature, we tested various passive strategies by using shading, cross ventilation, and air-stacking effects, all integrated into a cohesive system that blends built form with greenery. To create bioclimatic architecture involves deep collaboration and ongoing testing post-construction. But each challenge helps us reflect and grow better for the next journey.

Please see the article here:
https://www.archdaily.com/1033888/kampoong-guha-realrich-architecture-workshop

Photograph by:
1, 4: @luil_mn
2, 3: @kiearch
6, 9: @aryophramudhito

Credit:
Architect: Realrich Architecture Workshop | @realricharchitectureworkshop
Lead Architects: Realrich Sjarief
Analytic Team: @adityakosman, @rrianditaa, @tyoadngrh
Management Construction: @DOT Workshop
Design Team: Aep Saepuloh, Eddy Bachtiar, Amud
General Contractor: Singgih Suryanto
ISupervisor in Charge: Sudjatmiko, Singgih Suryanto
Construction Manager: Eddy Bachtiar
Structure Engineer: Edy Sinergi
Mechanical & Electrical Contractor: Bambang Priyono, Andi, Karim, Hamim
Master Carpenter: Syarifuddin Pudin

Kategori
blog

F arewell Gabby, Adli, Riki, Luna, Mai, Tristan

Akhir bulan Agustus lalu menjadi akhir perjalanan belajar adik-adik kami berikut ini di program magang studio kami. Ada @carmelinagabriellah, @lunaakirn, @olgamaisha, dan @gervahoy dari Institut Teknologi Bandung, @adli.shiedieq dari Institut Teknologi Sumatera, dan @rikiriynto_ dari Universitas Pembangunan Jaya. Menariknya, setiap adik-adik kami ini memiliki dan memancarkan energinya masing-masing selama berada di studio.

Gabby dengan kemampuan berpikir kritis dan tulus dalam membagikan pengetahuannya ke teman magang yang lain, Luna yang cair dan mampu mengikuti perkembangan pembelajaran, Mai yang menjadi virus kebahagiaan dan penuh kasih, Tristan yang cepat belajar dan tanggap dalam menyelesaikan pekerjaan, Adli yang mau terus belajar dan konsisten dengan yang dilakukan, hingga Riki dengan kemauan yang kuat dan rendah hati.

Terima kasih Gabby, Luna, Mai, Tristan, Adli, dan Riki atas energi yang sudah kalian bagikan ke antara kami di studio. Kami berharap kalian bisa memancarkan diri kalian ini ke orang lain lebih luas lagi. Semoga sukses selalu di perkuliahan dan apa yang sudah dipelajari di studio bisa terus berguna untuk perjalanan kalian ke depannya. Semangat kalian akan selalu ada di tengah-tengah kami.

📸 & 🎥 oleh:
1, 2, 3, 4, 5: @tyoadngrh
6: @carmelinagabriellah
7: @rikiriynto_
8: @reviynatk
9: @dimasdwiicahyo @rikiriynto_
10: @chairunnisabels @reviynatk @muhammadyusrul
11: @lunaakirn
12: @olgamaisha

Kategori
blog

Farewell Rama, Davina, Caca, Adri, dan Anevay

Beberapa waktu lalu, kami kembali melepas teman-teman magang yang sudah menyelesaikan masa belajarnya di studio. Meski masa belajar mereka di studio yang singkat, adik-adik kami ini juga memiliki semangat yang tak kalah besarnya dengan adik-adik di periode sebelumnya. Kami bisa merasakan kesungguhan dan kontribusi penuh yang mereka pancarkan ke tim kami di studio.

Setiap adik-adik kami kali ini memiliki keunikan dan energi mereka masing-masing. Dari Universitas Sriwijaya, ada @rmdprtm_43 yang memiliki kemauan belajar yang tinggi, @davinashaff yang memiliki rasa keingintahuan yang besar, dan @al.khns yang detail dan teliti dalam melakukan pekerjaannya. Kemudian ada juga @jaladr dari Universitas Langlangbuana yang sangat kritis dan memiliki kemampuan beradaptasi yang baik. Hingga @_yavena dari University of Sydney dengan perspektif yang memberikan warna baru di studio kami.

Terima kasih Rama, Davina, Caca, Adri, dan Anevay karena sudah menjadi angin segar di dalam tim kami di studio. Kami menantikan pertemuan kembali dengan pribadi kalian yang lebih bersinar, sukses selalu dengan perkuliahan, dan semoga apa yang sudah dipelajari di studio bisa terus berguna untuk perjalanan kalian ke depannya. Energi kalian akan selalu membekas di tengah-tengah kami.

Terima kasih Rama, Davina, Caca, Adri, dan Anevay yang sudah menjadi angin segar di tengah tim kami di studio.
Meski kehadiran kalian terbilang singkat, semangat yang kalian bawa, baik dari cara belajar, bekerja, hingga energi positif yang ditularkan setiap harinya, benar-benar memberi warna baru bagi kami. Semoga apa yang kalian pelajari di studio bisa terus berguna, dan tumbuh bersama langkah kalian ke depan. Sukses selalu dengan perkuliahannya, dan sampai bertemu lagi dengan versi diri kalian yang makin bersinar ✨

📸 & 🎥 oleh:
1, 2, 3, 7: @tyoadngrh
6: @jaladr
8: @davinashaff

Kategori
blog

Wonderball Padel

default

We’re excited to unveil RAW Architecture’s progress for wonderfull new creative @wonderballpadel It consists of high quality two Padel courts with optimal design experience, warm, & natural. The design is with Bio climatic method, curvy aesthetic, and also cost effective with light weight structure combining steel, local stone, bricks, glassbox in one composition to address problems in rain fall angle, sun thermal angle, and cost wise constructed in very short period 4 months time.

“Padel as a sport has been evolving less than a year becoming culture, and the challenge here is accomodating fast-cost effective structure briefed by clients and integrate it with design strategy in terms of accomodating user optimal experience, play of material, cost effective structure, cool space, and integrated program with f+b, retail in efficient space planning.”- Realrich Sjarief, Principal RAW Architecture

📷@luil_mn

#realricharchitectureworkshop #wonderballpadel #padelsocial #indonesia #jakarta #rawarchitecture #sport #architecture #RAWCaseStudy47

Kategori
blog

Referred to as Craftsmen”s

Referred to as craftsmen’s housing or architecture of the poor, these spaces are constructed on extremely modest budgets sometimes as low as IDR 1 million per square meter yet they are tactically intelligent, materially efficient, and socially responsive. The same spirit lives on in Indonesia’s vernacular heritage: from the elevated rumah panggung of Sumatra to the modular Joglo of Central Java, each exemplifies how to build wisely with limited means, responding to local conditions while subtly resisting centralized systems of exclusion.

In RAW’s design, Boboto project, this spirit is embraced through the use of available, repurposed materials and vernacular construction logic. Materials such as Jambi wood, plywood, scrap timber, and glue-laminated timber (Glulam) were all sourced and processed on-site, making the entire construction process both cost-efficient and environmentally responsible.

“What is being built here has long existed in villages, it’s a simple solution that is easy to implement.”
-Aep Syapuloh, Craftsmen @DOTWorkshop

📷 @luilmn @realricharchitectureworkshop
#realricharchitectureworkshop #architecture #libraryjakarta #architecture #craftmanship #vernacular

archdaily #dezeen #omahlibrary #guhaboboto #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Farewell Yoshinta, Zakka & Haidar

Beberapa waktu lalu, kami kembali melepas adik-adik yang magang di studio kami. Mereka adalah @yoshintaas_, @zakkazx, dan @haidartmm, tiga nama yang hadir dari tiga kampus berbeda, tapi memberi satu semangat yang sama: ketulusan untuk belajar dan keberanian untuk tumbuh.

Yoshinta, dari UPN “Veteran” Jawa Timur, datang dengan ketenangannya. Awalnya ia tampak malu-malu, namun perlahan keberaniannya muncul, menjadi pribadi yang penuh inisiatif. Ia adalah pribadi menunjukkan konsistensi dalam bekerja, rapi dalam detail, dan tangguh dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, shingga menjadikannya sosok yang sangat bisa diandalkan oleh kakak-kakak di studio.

Sementara itu, Zakka dan Haidar datang dari kota yang sama, Semarang. Zakka dari Universitas Negeri Semarang dan Haidar berasal dari UIN Walisongo Semarang. Keduanya memiliki kehangatan dan sikap kerendahan hati yang serupa, dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk melebur bersama teman-teman di studio. Selama masa magang di Guha the Guild, mereka menunjukkan semangat yang kuat dan selalu sigap dalam membantu tim. Mereka juga adalah 2 orang yang paling banyak menyelami semua bagian tim dari konstelasi kami di RAW, DOT, OMAH.

Terima kasih Yoshinta, Zakka, dan Haidar untuk warna baru, semangat, dan energi positif yang sudah kalian bawa ke tengah-tengah kami. Kami menantikan pertemuan kembali dengan pribadi kalian yang lebih bersinar. Sukses selalu dan semoga proses di studio menjadi bekal yang bermanfaat dalam langkah kalian berikutnya, baik di kampus maupun di kehidupan.

Sampai bertemu lagi!

📸 & 🎥 oleh:
1, 3, 4: @andriiyansyahmr
2, 6, 7, 8: @tyoadngrh
9, 10: @reviynatk

guhatheguild #farewell #studioculture #internshiprawdotomah #internship

Kategori
blog

Farewell Meizzhan

Ini adik saya namanya Meizhan, dan beberapa bulan, minggu, dan hari-hari terakhir adalah hari yang spesial dan bagaimana saya harus berterima kasih atas seluruh semangatnya di studio. Ia adalah salah satu mahasiswa terbaik UII, yang diperkenalkan oleh kakak saya, salah satu pengajar arsitektur terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini @reviantosantosa. Keduanya orang terbaik dalam generasi yang berbeda

Dan, Tuhan punya rencana yang indah dengan pembelajarannya untuk Meizhan, sesuatu yang dinantikannya sejak lama, belajar di Italia. Kondisi Italia, 75 tahun mirip dengan Indonesia memiliki amalgamasi yang plural sebelum dibekukan oleh jaman. Negeri itu juga negeri para pemikir yang begitu menginspirasi kami, dari Carlo Scarpa, Aldo Rossi, Renzo Piano, sampai Manfredo Tafuri, dan begitu banyak ahli yang mengajak berpikir melalui lapisan-lapisan sejarah, relik, kritik dan teori yang substantif. Itulah energi para pemikir yang datang dan pergi, seiring dengan pertemuan begitu pula munculnya perpisahan, matahari yang terbit akan menyongsong senjanya, dan akan terbitnya matahari-matahari baru.
.
Saya masih ingat bagaimana Meizzhan adalah sosok selfless, dalam setiap tugas kecil, ia selesaikan dengan membaca konteks, dan perlahan-lahan memikul tanggung jawab lebih luas dengan pesat, adaptif, dan presisi dalam strateginya. Sampai saatnya ia menjadi salah satu leader di studio yang memposisikan anggota tim di atas kepentingan dirinya. Dia meninggalkan sikap underdog, merunduk untuk menerobos batas. Batasan itu ditembus karena hati kecil perantau dari Lombok ini memiliki jiwa pemberani yang haus tantangan, dengan ketahanan dan konsentrasi yang tinggi.
.
Dia jadi penyeimbang sempurna untuk kawan-kawannya kadang menjadi api dan air yang saling melengkapi. Diskusi kami punya dinamika yang membuat diskusi desain menjadi warna warni dalam waktu-waktu panjang.
.
Bahkan di saat-saat terakhirnya masih memikirkan orang lain, mengurus ini-itu seperti bukan hari terakhir. Mungkin semua akan setuju, seolah dia akan selalu ada di sini, sibuk kerja sampai detik terakhir. Meizzhan, membawa energi yang terhubung, membentuk lingkaran baru dalam perjalanan hidupnya.
.
Tuhan mohon bukakan jalan adik kami ini, karuniakan ia dengan semangat, guru baru, kawan baru yang membuat dirinya menembus batas lagi. Dari kami semua di studio, Meizzhan, terima kasih atas segala semangat, tawa, dan penembusan batas dirimu sendiri yang tak ternilai. Slide 1 diambil dengan baju tidur, khas kami di studio, slide 2 diambil bersama kompatriot jendral Riyan, slide 3 diambil dengan tim sophia, dari tim lama juga ada tim baru ada Shafira, Inggrid, Timothy, Edo, Ken, dan slide 4 diambil beserta keluarga besar studio.
.
Kami percaya Tuhan punya rencana besar untukmu, Meizhan untuk semua yang kau sayangi, kau jaga, kau lindungi. Kami mendoakan langkahmu selalu diberkati, masa depanmu berbuah manis, dan setiap usahamu menari dalam lindungan tangan Tuhan yang Maha Kuasa.

Kategori
blog

Sapo House

Sapo named by the client, is a tranquil, multifunctional sanctuary that celebrates personal retreat while honoring the Batak Karo vernacular village, Siwaluh Jabu. In Karo culture of Sumatra, “Sapo” is a rest house where farmers reflect while overlooking their fields.

The house reflects the client’s vision of a peaceful space for solitary remote work and a sanctuary for growing old in harmony with nature. Inspired by the metaphor of a mountain, the house’s silhouette recalls the Siwaluh Jabu form. Its undulating canopy shades the ground floor while echoing Karo’s natural landscape. Built with steel, concrete, and bitumen finishes, the structure ensures durability and efficient construction. The low-rise, dual-angled pyramid roof adds to its sculptural identity.

Surrounded by terraces that harness afternoon and evening sunlight. Preserved trees act as natural sunshades, while latticework filters light into the interior, creating a calm, inviting atmosphere. Building simulations helped optimize daylight and thermal comfort.

Inside, the house includes a living room, bedroom, gym, workspace, and gardens. At the center is an open atrium, lit by patterned skylights. A stained-glass crown on the roof continues the organic language, flowing into the canopy and wings.

Ceiling patterns inspired by traditional Indonesian textiles bring cultural richness and transform the central area into a temple-like retreat for contemplation and rest.

Client | Collaborator: @adir.ginting
Architects: @realricharchitectureworkshop
Structure Consultant: @vindicontractor
MEP Consultant: @dot_workshop
Project Management: @dot_workshop
General Contractor: Azwar-Marno

RAW + DOT Team
Principal: @rawarchitecture_best
Concept: @andriiyansyahmr@meizzh_@melisaakma
Detailing: @joshinoel@chairunnisabels@san.lbs
Design Supervision: @almujaddidi@mu.zyd@namanyaemailku
Team: @putrakhairus@veeryanaa@zikrirahardian@irvitaingrid@timothytuahatu@tyoadngrh@ridwan.kp Nielson Huang @reviynatk@ahcaayran@rizkasra@rrianditaa@adityakosman

#RealrichArchitectureWorkshop#RAWarchitecture#SapoBioclimaticHouse#SustainableArchitecture#TropicalDesign#IndonesianArchitecture#BioclimaticDesign

Kategori
blog

Summary Open House Ngumpar + Invitation Open House Lumintu

Terima kasih kepada Mas Hugo yang sudah memberikan kesempatan untuk belajar bersama dan teman-teman yang kemarin telah ikut Open House rumah Ngumpar, 12 Jul 2025. Kami bersyukur acara kemarin berjalan dengan baik.

Dikelas tersebut kami berdiskusi bagaimana bioclimatic design terimplementasikan dari proyek pertama hingga ke rumah Ngumpar. Pemanfaatan natural climate di landscape, yang secara aktif kembangkan. Ada juga banyak bentuk-bentuk yang perlu konsistensi, dan menjadikan budaya ketukangan hal yang bisa dibanggakan.

Tanggal 2 Agustus 2025 mendatang, kami mengundang kembali para restless spirit untuk mengikuti Open House, rumah Lumintu. Ini menjadi series kedua Open House kami di 2025.

Rumah ini memiliki microclimate yang berbeda dengan Ngumpar, microclimatenya disusun dari lattice curve yang dibangun oleh tukang di lapangan. Bagaimana lattice membantu mengkondisikan iklim dan tanah gersang untuk menanam pohon. Kombinasi bentuk lengkung, kompresi, tension, denah, ceiling pendek-tinggi, sandwich antara program dengan banyak teknik yang dilibatkan dalam merumuskan desain. Ada juga skylight, acian lengkung, tangga melayang plat dan beton, kombinasi besi yang menyerupai beton, kayu, dan batu bata.

Bagi kami Open House seperti pintu yang dibuka. Dengan kriteria rumah yang selesai dalam 1-2 tahun, hal tersebut tidak lah mudah. Kami sangat berterima kasih kepada klien-klien kami yang telah membuka diri dan rumahnya untuk dikunjungi dan belajar. Di situlah makna Open House bagi kami ajang solidaritas, toleransi, dan belajar bersama, bertemu kolega yang saling mencintai arsitektur.

Bagi teman-teman yang mau ikut Open House ini bisa isi form berikut yah bit.ly/OpenHouseRAW , acara tidak berbayar dan kuota terbatas

informasi lebih lanjut: +62 815-1797-0213 (Wa Chat)
Tempatnya terbatas, ditunggu kedatangannya.

Kategori
blog

Open House: Lumintu

Sejak 2011, kami selalu memiliki kegelisahan akan bagaimana arsitektur bisa dipahami bukan hanya dari “kotak kaca”. Kadang – kadang hal ini terwujud dalam bentuk tulisan, buku, dan sebagian dalam bentuk detail dan karya. Salah satunya terjawab dalam kesempatan untuk mengadakan “Open House” di salah satu rumah karya kami yang dinamakan Rumah Ngumpar yang berarti energi, intensi, makna yang berkumpul pada nanti tanggal 12 Juli 2025.

Open House bukan sekadar tempat memamerkan wujud fisik tetapi acara ini ditujukan sebagai media berdiskusi, berefleksi, melihat bagaimana penghuni mendiami rumah dan mendapatkan perspektif desain yang lebih kaya.

Di sinilah arsitektur diuji secara nyata, apakah ruang itu tumbuh, hidup, dan sekaligus malah evaluasi apakah desain tersebut berfungsi sebagaimana mestinya?

Open House menjadi momen untuk memahami proses perancangan yang sudah berlangsung secara berkelanjutan, sistematis, dan juga tidak berkesudahan, karena sisi manusia yang terus mencari kesempurnaan.

Proses desain Rumah Ngumpar sendiri dimulai dari lebih darj memahami cerita dan mimpi klien, tempat untuk istirahat dengan berkumpul, sehingga ruang-ruang fleksibel namun terarah menjadi penting, dimana ada kedekatan tapi berjarak. Proses desain pun dimulai dengan pertimbangan bukaan terhadap sisi yang terdingin, orientasi bangunan, pemanfaatan lahan, pola ruang, biaya, hingga kebutuhan operasional jangka panjang, merancang sirkulasi dan fungsi ruang secara efisien, inilah pendekatan arsitektur bioklimatik untuk memastikan kenyamanan termal dan efisiensi energi secara alami.

Hal ini akan kami bagikan dalam acara “Open House” bertajuk “Di antara Batas dan Performa”. Nanti, pengunjung akan kami ajak untuk berkeliling, merasakan ruang, material, dan konsep penghawaan alami juga termasuk batas – batas yang hadir.

Seluruh rangkaian acara akan kami dokumentasikan dalam bentuk video, sehingga yang belum berkesempatan hadir tetap dapat menyaksikannya.

Untuk mendaftar bisa klik bit.ly/OpenHouseRAW (gratis – kuota terbatas)
Informasi lebih lanjut: +62 815-1797-0213 (WA Chat)

Kategori
blog

Manusia Punya Waktu – Gani Wijoyo

.
Manusia punya waktu, yang Kuasa menentukan seberapa jauh kita mempunyai waktu. Hari ini saya mendapatkan berita dari Pak Budi Sumaatmadja, @anggara.architeam Architect. Bahwa Gani Wijoyo sudah berpulang, saya sedih sekali, mengetahui bahwa ia masih muda, brilian, dan sangat berbakat di arsitektur. Saya mengenal Gani pada saat ia masih bekerja di DP Architect, tahun 2006-2007, ia ada di tim Mr. T sedangkan saya ada di tim Mr. Wu, ia satu tim dengan Pebiloka dan Rizky, ketiganya adalah kartu as Mr. T dalam menggolkan proyek konseptual, pengolahan desain, massa, denah, 3 dimensi, sampai skala berhektar – hektar bisa dikerjakan dengan komprehensif. Mereka adalah tim yang solid, dan siap menempuh waktu – waktu panjang pagi menuju pagi dalam proses perancangan sampai posisinya sebagai Associate Director di DP Architect.

Bulan Juni saya berkomunukasi dengan Gani, terkait mengundangnya sebagai salah satu pemateri di Omah Library, pribadinya yang peduli dengan timnya, peduli dengan proyek, juga mau tahu tentang kesulitan orang lain menjadikan ia pribadi yang langka di tengah maraton proyek. Saya bertemu dia sebanyak 2 kali setelah ia memutuskan untuk ke Indonesia, menjadi design director dari Anggara menemani Pak Budi. Sayang sekali kami belum sempat mendokumentasikan kiprah dari pribadi yang rendah hati dan sangat berbakat ini.

Kali ini saya ingin mengenang dan membagikan semangatnya, keunikannya dan berbagi disini, seorang sahabat yang dirindukan. Selamat jalan ya bro, selalu keinget dimana saya belajar tentang budaya korporasi yang sehat yang diperjuangkan dirimu, juga seluruh batas dan dilemanya yang seharusnya kita bisa bagikan pengalamanmu di Omah.

Tuhan yang Maha Kuasa, lindungi keluarga yang ditinggalkan, dan selalu berkati seluruh amal yang sudah diberikan Gani juga seluruh warisan ilmu, dan pengalaman yang sudah dibagikan. Selamat jalan bro, see you again when I see you.

Kategori
blog

Wonderball Padel Court

Wonderball project consist of two padel courts, plus an F&B experience with artistic architecture experience. The project comes with a hypothesis, of how to combine the programs within the small size lot 46m x 17.65m, while integrating it with a sustainable design strategy.

Positioned along the east-west axis, the courts are integrated within the landscape design that acts as a climate filter. They are enveloped by a thoughtfully composed skin of brick,perforated metal panels, and Sukabumi stone, which together allow airflow, add texture, and enhance tactile quality. This design creates a comfortable playing environment, supported by four active cooling fans.

A transition from the entrance into the court is made through a non-obstructive, glass and curved canopy, creating a subtle boundary that invites spectators, players, and passersby alike. Inside, a small gallery space offers a curated retail and lobby with the skylights above, while a concealed back-of-house service at the front efficiently supports the F&B.

The flexible seating arrangement is designed around the main community table. Implemented in collaboration with Mejorset, a renowned Spanish padel brand, this project brings internationally standardized sport facility into the local context. At the back, visitors are pampered with amenities including a shower room, locker area, and makeup room, crafted using local Sukabumi stone and translucent glass blocks. The programs are based on the client’s research on the one of the most promising business opportunities at the end of 2024. It is a way to connect sports with lifestyle and business circle, defining a new kind of social gathering.

#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture #RAWCaseStudy47

Kategori
blog

Open House: Ngumpar House

Sejak 2011, kami selalu memiliki kegelisahan akan bagaimana arsitektur bisa dipahami bukan hanya dari “kotak kaca”. Kadang – kadang hal ini terwujud dalam bentuk tulisan, buku, dan sebagian dalam bentuk detail dan karya. Salah satunya terjawab dalam kesempatan untuk mengadakan “Open House” di salah satu rumah karya kami yang dinamakan Rumah Ngumpar yang berarti energi, intensi, makna yang berkumpul pada nanti tanggal 12 Juli 2025.

Open House bukan sekadar tempat memamerkan wujud fisik tetapi acara ini ditujukan sebagai media berdiskusi, berefleksi, melihat bagaimana penghuni mendiami rumah dan mendapatkan perspektif desain yang lebih kaya.

Di sinilah arsitektur diuji secara nyata, apakah ruang itu tumbuh, hidup, dan sekaligus malah evaluasi apakah desain tersebut berfungsi sebagaimana mestinya?

Open House menjadi momen untuk memahami proses perancangan yang sudah berlangsung secara berkelanjutan, sistematis, dan juga tidak berkesudahan, karena sisi manusia yang terus mencari kesempurnaan.

Proses desain Rumah Ngumpar sendiri dimulai dari lebih darj memahami cerita dan mimpi klien, tempat untuk istirahat dengan berkumpul, sehingga ruang-ruang fleksibel namun terarah menjadi penting, dimana ada kedekatan tapi berjarak. Proses desain pun dimulai dengan pertimbangan bukaan terhadap sisi yang terdingin, orientasi bangunan, pemanfaatan lahan, pola ruang, biaya, hingga kebutuhan operasional jangka panjang, merancang sirkulasi dan fungsi ruang secara efisien, inilah pendekatan arsitektur bioklimatik untuk memastikan kenyamanan termal dan efisiensi energi secara alami.

Hal ini akan kami bagikan dalam acara “Open House” bertajuk “Di antara Batas dan Performa”. Nanti, pengunjung akan kami ajak untuk berkeliling, merasakan ruang, material, dan konsep penghawaan alami juga termasuk batas – batas yang hadir.

Seluruh rangkaian acara akan kami dokumentasikan dalam bentuk video, sehingga yang belum berkesempatan hadir tetap dapat menyaksikannya.

Untuk mendaftar bisa klik bit.ly/OpenHouseRAW (gratis – kuota terbatas)
Informasi lebih lanjut: +62 815-1797-0213 (WA Chat)

Kategori
blog

Farewell Uung

Uung @yunitauung kami memanggilnya, adalah kesayangan kami semua. Hari ini adalah hari spesial, dan bagaimana saya berterima kasih atas seluruh semangatnya di studio. Ia salah satu mahasiswa terbaik Binus, dan ia belajar di studio dengan pesat. Tidak banyak yang bisa memposisikan diri dengan baik, menjadi jembatan yang baik antara tim studio, engineering, juga klien.

Manusia punya rencana, Tuhan tentukan, dirinya yang memiliki kapabilitas yang komplit, memiliki tugas lain, tugas yang lebih penting dari arsitektur bangunan. Saya percaya dalam waktu ke depan Tuhan punya rencanaNya, yang besar untuk dirinya, untuk semua yang disayangnya. Setiap gelak tawa adalah derai air mata begitu menghitung hari bahwa momen yang sudah terjadi tidak akan terulang lagi.

Saya masih ingat saat – saat di rapat pertama, Uung masuk dengan ceria, bisa menyelesaikan tugas – tugas kecil yang berujung kadang mewakili saya ke rapat – rapat. Saya merasa banyak sekali terbantu dan mengucapkan terima kasih banyak untuk kontribusi di RAW DOT Omah,

Dibalik itu ada juga perpisahan dari @yoshintaas_ yang sudah menimba ilmu selama magang, beserta one of lead best @putrakhairus + @k.ezraa juga ada anggota baru salah dua mahasiswa terbaik dari Perancis, La Reunion, Gonthier dan Noemie, selamat datang dunia, menjemput waktu datang dan pergi, energi terhubung membentuk lingkaran yang baru dalam syukur saat ini. Slide 1 dan 2 di atas diambil oleh one of the best sister, leader di RAW, @melisaakma ,

Kami semua di studio RAW, DOT Omah mendoakan mereka.Tuhan yang Maha Kuasa, berkati mereka, juga seluruh tim yang ada dalam lindungan kami, keluarga yang mereka kasihi, dan masa depan yang mereka rangkul, seluruh daya upaya, tidak sia – sia dan akan berbuah manis dalam tangan yang menari dan berdoa.

Photo by @melisaakma dan @andriiyansyahmr

Kategori
blog

Wedding – Timbul & Celin

.
Ini saat yang paling mengharukan dan menyentuh hati begitu melihat @timbulsimanjorang dan @celindvk , mendapatkan berkat dari pendeta, memohon restu orang tua, disaksikan saudara, sahabat. Dua insan dari salah satu pasangan arsitek terbaik jebolan RAW.

Di dalam kehidupan ada fase yang berbeda – beda yang ada di kita semua, dari anak – anak melihat dunia, berkembang dengan kemandirian sampai mencari belahan jiwanya. Dan, pernikahan adalah soal janji bersama, syahadat sehidup semati bersama – sama, menjalin ikatan batin yang menyatu. Dua insan menjadi satu merajut mimpi untuk menjadi bahagia. Untuk orang tua, melepas buah hati menjadi hal yang tidak mudah. Dalam tangis, dan kebahagiaan ada kehidupan disitu. Disini kita belajar arti penyatuan, arti cinta yang tulus, saling merendahkan hati untuk pasangan.

Acara dihias cantik oleh @gabymarcelina dan @angelkusumaa , bersahaja, bersatu padu, dengan warna – warni yang simpel, detail-detail daun, bunga, menyatu menjadi komposisi seni, mereka bertiga bersama joce lekat satu sama lain, dulu selalu bersama-sama.

Tuhan yang Maha Kuasa mohon berkati kedua insan ini, juga keluarga mereka, saudara, sahabat, hal – hal yang akan beririsan di masa lalu, masa depan dalam kasih tak berkesudahan. Tidak ada yang kebetulan dalam rencananya yang indah, semua baik.

Kami semua kakak – kakak, saudara – saudara di RAW, DOT, OMAH mengucapkan bahagia, langgeng, dikaruniai banyak berkat untuk kehidupan yang terberkati dalam salah hari terindah dalam kehidupan dan pelukan yang erat. Apa yang dipersatukan oleh Allah tidak akan diceraikan okeh manusia.

Kategori
blog

Bertemu Eka Swadiansa

.
Tidak terduga dan tidak direncanakan bisa bertemu dengan sahabat @eka_swadiansa , membicarkaan kehidupan, aktivitas sehari – hari, keluarga, juga teman – teman, saudara – saudara yang kami rindukan. Dunia terasa lambat di tempat, waktu yang spesial. Begitupun cerita di baliknya, visi, misi, perjuangan, kesulitan, kebahagiaan, dalam air mata dan tawa. Banyak rencana terkait irisan “passion” kami di arsitektur, telaah satu dengan yang lain elemen emosi, pengalaman yang berlipat -lipat saling kait mengait.

Perasaan ini seperti menemukan saudara dengan semangat persaudaraan, dalam arsitektur. hal ini sulit, langka, namun berharga.
Pada umumnya arsitektur dibingkai dalam estetika tren, apa yang populer. Namun dibalik itu ada semangat persaudaraan yang saling mengingatkan dan reflektif.

Seperti hari ini segala sesuatu pertemuan memang sudah rencanaNya. Setiap titik temu adalah doa untuk titik temu selanjutnya, selamat jalan kembali ! Selamat hari minggu ! Foto terakhir adalah kami berdua di rumah Gayungsari, rumah dari keluarga Pak Ardi Pardiman. Rumahnya beratap
miring, yang diteruskan dan dilubangi untuk lubang cahaya, di dalamnya ada teras-teras 3 tumpuk dari kayu dan beton. Sebuah cerita amalgamasi banyak hal. Tq mas Lendra, mba @adetinamei , bu Santi dan seluruh keluarga, kami bisa mampir kesini.

Kategori
blog

Farewell Unggul & Akmal

Hari ini hari yang penting ^^ With 2 of the best intern in RAW, you will be missed. Dari bulan Januari dan Februari tidak terasa ya, kita akan kangen sama @unggul_prasetyoo dari UNNES
@akmalaminullah_ dari UNS.

Waktu berlalu, ombak datang silih berganti, mereka harapan arsitektur kita ke depan :), apapun yang sudah diajarkan di studio semoga berguna, dikembangkan lebih baik lagi supaya bisa jadi versi terbaik diri masing – masing yang lebih baik lagi. Setiap saat bertemu tidak ada yang hanya kebetulan, semua yang terjadi pertemuan adalah rencana masterplanNya, mempertemukan mereka dengan kami semua adalah sebuah berkat tidak ternilai. Hai penjaga waktu jagalah anak – anak muda terbaik kami ini, berkatilah mereka dengan kebahagiaan, progress, pembelajaran, kerendahan hatian, dan masa depan yang cemerlang. See you soon dengan kami semua yaa.

Kami semua, kakak2 di RAW DOT OMAH bangga kepadamu, semangatt terus belajar dan menembus batas ya.

Kategori
blog

Selamat Ulang Tahun – Yuswadi Saliya

.
Selamat Ulang Tahun pak Yuswadi Saliya. Beliau adalah seorang legenda arsitektur Indonesia. Kalau mau melihat isi pemikiran, dan hati seseorang, lihatlah ruang kerjanya, penuh dengan buku yang sedemikian banyaknya.

Sikapnya yang mau mendengarkan menjadi satu hal yang jadi inspirasi, mengambil sudut pandang yang didengarkan untuk diolah dalam diskusi – diskusi lanjutan. Nigel Cross Designerly Ways of Knowing menjadi satu tolak ukur dan penjelasannya menginspirasi untuk memberikan dimensi bahwa desain itu sistemik, ada klien, ada fungsi juga estetika, ia holistik, dan banyak pembelajaran waktu membuat pilihan. Sehingga prosesnya adalah reflektif dimana tidak ada yang absolut, semua tergantung konteks dan pilihan – pilihan yang punya konsekuensi.

Buku Perjalanan Malam Hari menjadi satu buku yang memperlihatkan kelenturan beliau dalam berpikir, merenung, mengenai perjuangan dalam praktik, dan berpikir. Satu saat di Selasar Sunaryo, setelah pameran Indonesialand, ia menjelaskan tentang pentingnya 3 pisau bedah untuk mengupas sudut pandang dengan kritis, ia menjelaskan apa itu epistemologi (pengetahuan formal), ontologi (rentang runut waktu), dan axiologi (posisi moral dan etis) dalam waktu yang pendek, memperjelas bagaimana memulai membicarakan isu dengan komprehensif. 3 sisi itu yang menjadi pintu masuk di Omah Library dalam membicarakan isu – isu terkait praktik dan design.

Yang tidak terlupakan, Endurancenya yang tinggi dalam mengupas permasalahan, dan berdiskusi, hal itu muncul dalam diskusi – diskusi panjang Hermit of Architecture pada saat pandemi, dimana diskusi bisa berlangsung sampai menjelang subuh dari pukul 19:00. Beliau adalah kesayangan banyak orang, begitupun dengan kami di omah library, kami selalu menantikan kedatangan beliau di setiap sesi, dan kami berharap Omah selalu menjadi rumah beliau yang nyaman.

Pak kami kangen juga kalimat khas beliau”samberlag (SAMpai BERjumpa LAGi),Pekik Jangkrik!!! YeWeTea” ha ha ha, Selamat ulang tahun Sir ! Arsitektur Indonesia patut bangga memiliki seorang Yuswadi Saliya.

Photo diambil oleh @permanasatriaa ❤️ “inget ga sat?”

Kategori
blog

Catatan Penyemangat Pribadi – Nando Yudhi

.
Baru cek hp subuh-subuh, saya dapat pesan seperti ini “Selamat Malam Ko Rich, Saya Nando Yudhi murid dari kelas space workshop, setelah 11 tahun berlalu saya bisa merasakan sekolah dan kuliah sekaligus 😁

Mungkin ada kata2 saya yang belum di sampaikan, karena canggung bisa jadi 😁

Terima kasih untuk 3minggu terakhir ini dan masih ongoing mempelajari arsitektur melalui ig dan sekarang melalui buku dari ko Rich & team, saya sebelum nya awam sekali dengan arsitektur, hanya melihat bagus atau tidak nya sebuah tempat.

Saya datang dari masa depan Ko Rich, Saya tidak melanjutkan kuliah karena pemikiran lingkungan yang salah.ketika saya menemukan passion yang saya sukai yaitu arsitek, it’s to late for me. Kalau waktu bisa di ulang,tahun 2014 ketika saya tamat sekolah, dan mengambil jurusan arsitektur, (saya ada lihat omah dibangun di 2016) mungkin takdir hidup saya bisa berubah 😁

Seperti buku thinking fast & slow karya daniel kahneman system 1 system 2,yang saya bicarakan mungkin lebih ke system 1

System 2,ilmu yang saya dapat bisa saya implementasi kan dalam kehidupan sehari-hari

Saya bisa lihat Bapak Rich dapat memberikan impact luar biasa untuk Indonesia, diskusi2 seperti ini yang di butuhkan masyarakat kita pak, untuk menaikan taraf pola pikir, saya termasuk privilage bisa melihat dan mendengar langsung.

Ketika Ko Rich mencantum kan nomor whatsapp ini,dan bilang bisa tanya atau bantu,(kalau bertanya itu pasti ko 😁),kalau permintaan cuma 1

Saya hanya punya permintaan 1 saja ko Rich, kalau generasi penerus saya misalkan tertarik dengan arsitektur, mohon di bantu dan di bimbing 😁,jangan sampai menyesal seperti saya 🙏”

Kalimat seperti ini membuat lebih punya harapan, semangat, terima kasih ya Nando, terharu membacanya berulang – ulang untuk saya yang bukan siapa- siapa, seluruh pengetahuan ini kami bisa dapatkan dari guru- guru, mentor – mentor kehidupan yang begitu banyak membantu studio RAW dan Omah. Saya doakan dirimu selalu dalam saat teduh, semoga ucapanmu menerus menjadi berkat untuk yang lain. Gbu to u and all.

Ps: saya posting ini dengan seijin Nando sebagai catatan penyemangat pribadi.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Eko Prawoto dan Desa, Metode Arsitektur Masa Depan untuk Indonesia

(English translation is available below)

Sepuluh tahun terakhir sebelum wafat, arsitek Eko Prawoto memutuskan untuk menepi ke desa. Keseharian kota yang tak pernah luput dari pembangunan dan lahan subur proyek arsitektur itu ia tinggalkan. Beliau membangun rumah baru di desa, menciptakan “proyeknya sendiri” bersama tukang-tukang yang tidak selalu ada karena disambi bertani. Kami keheranan, kok beliau mau ya ngurusin sesuatu yang tidak jelas kapan mulai dan selesainya? Saat OMAH Library berkunjung ke sana di 2023, akhirnya kami mulai paham. Di sana ada spirit yang dipancarkan, yang semangatnya menggema dengan lantang di tengah perjalanan yang sunyi, yang keras memantik di antara ruang-ruang yang terjalin lembut.

Eko Prawoto, Realrich Sjarief, dan tim OMAH Library.
Sumber: OMAH Library

Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Sebelum pindah ke desa, sejak 1988 Eko Prawoto dan keluarganya tinggal di rumah rancangannya sendiri di Bener, pinggiran Kota Yogyakarta. Rumah itu perlahan berkembang dan sebagian menjadi studio yang ia namai Eko Prawoto Architecture Workshop.

Dari sana lahir karya-karya seperti Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), dan banyak rumah seniman lainnya, serta rumah murah untuk berbagai kalangan. Di sini pula beliau mulai mendapat tawaran untuk mendesain instalasi dan perlahan meniti jalan sebagai seniman internasional.

Sejak awal, pendekatan kontekstual, organik, dan humanistik sudah mewarnai karya-karyanya baik sebagai arsitek, maupun sebagai seniman. Hanya saja, pendekatan itu menjadi semakin kuat ketika berhadapan dengan kondisi di desa yang memiliki keterbatasan akses material dan tukang-tukang terampil. Namun, di situlah Eko Prawoto meyakini adanya kecerdasan dan kreativitas tinggi untuk menciptakan sesuatu yang sederhana sebagai wujud dari sikap kematangan serta keutuhan dan harmoni dengan alam.

Kepindahannya ke Kulon Progo dipengaruhi berbagai faktor. Daerah Bener yang dahulu dikelilingi sawah-sawah dan sudah menjadi rumahnya selama 3 dekade, perlahan berubah menjadi kawasan pemukiman yang cukup padat. Namun, ia masih bertahan karena masih harus mengajar di UKDW—posisi yang sudah ia tekuni sejak 1985. Rencananya, Pak Eko ingin menjalani kehidupan yang lebih lambat setelah pensiun. Terlebih, sebagai pengajar beliau merasakan bagaimana pendidikan arsitektur saat ini cenderung berfokus pada pendekatan urban, industrial, dan kapitalistik.

“Sekarang semua kurikulum itu karakternya hanya berfokus pada urban, industri, dan kapital. Mungkin cocok buat kota, tapi perlu diingat bahwa ada desa, ada pulau-pulau kecil, yang mungkin tidak cocok dengan pendekatan yang diajarkan,” ujar Pak Eko waktu kami mengunjungi beliau di rumah desanya—barangkali lebih seperti self-reminder daripada kritik untuk publik.

Rumah Bener akhirnya hanya ditinggali sampai tahun 2014. Kantor biro arsitekturnya masih terpusat di sana, dan beliau masih terus mengajar di UKDW. Namun, di tahun itu Pak Eko dan istrinya Bu Rina memantapkan hati, pindah menjadi warga Desa Kedondong di Kulon Progo. Sejak itu, ia memposisikan untuk hadir dan hidup di desa, mengamati cara hidup masyarakatnya dengan alam.

Diskusi OMAH Library bersama Eko Prawoto di Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

“Memang proses belajar lagi,” begitu katanya. Ibarat beliau sedang mengambil disertasi S3 tentang “bahasa arsitektur yang lebih gayut di desa”. Dari situ kita bisa melihat karyanya yang semakin seimbang dan semakin mendengarkan, seperti yang nampak di kediamannya, Rumah Kedondong (yang ditempati hingga beliau jatuh sakit dan wafat pada September 2023), dan Balé Klegung (2021), warung makan tak jauh dari sana yang dikelola pribadi.

Kedua tempat ini nampak dieksekusi dengan metode desain yang sama. Secara spasial, Rumah Kedondong dan Bale Klegung memang punya karakter yang mirip: luasnya masing-masing ± 2.000 m2 dan sama-sama berlokasi di lereng tepi sungai dengan banyak pohon eksisting. Kondisi spasial yang spesifik ini direspons dengan cara berpikir vernakular, mengambil mindset masyarakat desa yang lebih mengikuti bentuk alam. Metodenya sangat kontekstual, salah satunya dengan sebisa mungkin tidak memotong pohon dan tidak mengubah kontur.

Sebagai konsekuensinya, massa bangunannya tersebar dan naik turun mengikuti kesediaan lahan. Seperti di rumah pertamanya di Bener, dan karya-karyanya yang lain, adanya pohon yang mencuat di tengah bangunan menjadi hal yang biasa. “Rumah ini muncul belakangan, sementara pohon ini sudah ada duluan. Pohonnya yang harus dimenangkan, kemudian bermain di antara ruang yang ada.”

Pekarangan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

Desainnya pun seringkali tampak tidak terencana. Program ruangnya berkembang secara organik mengikuti pertumbuhan kebutuhan, dari hunian, tempat pertemuan untuk menyambut tamu, musyawarah, atau perkuliahan, hingga guest house dan museum. Hampir seluruhnya diwadahi struktur kayu bekas dari berbagai daerah, seperti rumah Jawa Timuran dan lumbung dari Bawean yang dikumpulkan secara bertahap. Material bekas, material baru, dan apa pun yang tersedia dipadukan dan digunakan secara maksimal.

Sekilas, alam seperti menjadi elemen yang tertinggi dalam karya-karya Pak Eko. Namun, beliau justru menempatkan alam di posisi kedua dalam refleksinya selama hidup di desa. Yang pertama justru nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya agraris. “Institusi sosial, relasi sosial sangat penting di desa untuk membedakan dengan kota.”

Di desa, warga biasa membiarkan tetangganya untuk keluar masuk halaman rumah. Pekarangan tidak hanya bukan lagi ruang personal, tetapi juga ruang publik tempat warga bisa numpang lewat dan memotong akses. “(Bagi orang desa) Rumah itu adalah halaman, relasi menjadi penting,” tutur Pak Eko. Pagar di desa pun menjadi batas yang lentur, tidak pernah benar-benar tertutup. Pak Eko juga pernah menyampaikan bahwa gerbang rumahnya tidak pernah dikunci. Di kemudian hari beliau justru membuka akses baru, sebuah jembatan yang menghubungkan halaman Rumah Kedondong dengan rumah tetangga di seberangnya. Saat kami berkunjung ke sana pun, kami mendapati tetangga Pak Eko menggunakan jembatan tersebut, masuk ke halaman Rumah Kedondong, bertegur sapa sejenak, lalu melanjutkan perjalanan ke destinasinya yang entah di mana. Toleransi masyarakat desa ini barangkali sudah menjadi hal biasa di sana, tetapi sangat jarang ditemukan di masyarakat urban.

Hubungan antar-manusia menjadi elemen yang penting, tak hanya dalam praktik arsitekturnya di desa, tetapi konsisten dalam proyek-proyek Pak Eko yang lain. Beliau menjalin hubungan erat dengan semua yang terlibat dan seringkali memposisikan diri sebagai jembatan, fasilitator, pendamping. Pak Eko berkali-kali menyampaikan, kepada klien ia bertindak layaknya bidan yang membantu “persalinan”. Bangunan yang dihasilkan ibarat jabang bayi yang jelas bukan anak Pak Eko, melainkan orang tuanya sendiri alias si klien atau user yang akan menggunakan dan merawatnya selama puluhan tahun. Oleh karenanya, Pak Eko berusaha tidak memaksakan egonya sebagai arsitek. Pada proyek rumah tinggal, apalagi milik seniman yang egonya besar misalnya, Pak Eko mempersilakan klien untuk menentukan bagaimana rumah itu akan diisi, sementara beliau hanya membantu mengarahkan supaya keinginan klien terfasilitasi dengan baik sesuai sumber daya yang ada. Cara beliau memposisikan diri memberi ruang untuk relasi-relasi kolaboratif yang menantang batas-batas formal arsitek.

Di Rumah Kedondong, Pak Eko memang punya kekuasaan lebih sebagai pemilik dan pengguna, tetapi lagi-lagi ego itu ia simpan untuk memberi ruang pada tukang-tukang di desa. “Tukang-tukang di desa sebenarnya adalah petani yang di waktu luangnya menjadi tukang. Jadi, kemampuannya terbatas dan peralatannya juga seadanya,”—selain juga kesediaan waktu mereka yang sempit. Karakter tukang-tukang inilah yang kemudian banyak menentukan rupa arsitekturnya.

Pagar depan Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

“Kita tidak punya resources yang banyak, jadi kalau bisa tidak usah terlalu mengolah. Jangan memotong dan menghasilkan material sisa, jadi semua habis dipakai. Makanya saya senang keramik pecah itu karena tidak ada sisa, habis.” Yang muncul kemudian adalah arsitektur yang frugal (murah dan sederhana) dan primal (awal, mentah, dasar) yang jujur. Berawal dari relasi sosial dengan tukang desa, Pak Eko diantarkan kembali pada karakter otentik desa yang lebih membumi, yang secara naluriah mengalah pada bentuk alam.

Bukan berarti arsitekturnya menjadi tidak inovatif, justru sikap mengalah ini memunculkan kreatifitas baru. Misalnya, sebuah unit kamar keluarga di Rumah Kedondong dengan struktur beton yang kolom-kolomnya terpisah perbedaan kontur. Untuk menghindari cut-and-fill berlebih, akhirnya dibuat model panggung dengan kolom-kolom yang diberi perkuatan catenary arch agar dimensinya tetap tipis. Penyelesaian desain ini mungkin biasa untuk Pak Eko, tetapi baru untuk para tukang. Karena itu, beliau tidak memaksakan hasilnya harus rapi, “(Yang penting) secara struktur benar.” Lagipula, keteraturan alam juga tidaklah seragam. “Semua punya peran, punya fungsi. Kita tidak bisa menemukan dua helai daun yang sama dalam satu pohon. Jadi berbeda. Tidak usah berarsitektur dengan ngotot, gitu.”

Mempekerjakan tukang-tukang setempat merupakan strategi yang Pak Eko pelajari dari sosok gurunya, Romo Mangun. Kegiatan membangun tidak hanya dilihat sebagai cara memenuhi kebutuhan programatik, tetapi menjadi kesempatan untuk mendukung ekonomi lokal. “Dengan membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu, sehingga dia tetap punya pekerjaan.”

Pada Rekonstruksi Desa Ngibikan pasca-gempa di Yogyakarta tahun 2006, Pak Eko bergerak erat dengan komunitas lokal. Awal keterlibatan beliau di Ngibikan adalah karena Pak Maryono, warga desa tersebut yang sudah lama bekerja bersama Pak Eko sebagai tukang. Rumah Pak Maryono masih berdiri, tetapi rumah lain banyak yang rubuh karena penambahan konstruksi modern pada struktur asli limasan tanpa perkuatan yang layak. Warga kemudian mengungsi di tenda-tenda plastik yang didirikan di persawahan. Prihatin dengan kondisi ini, Pak Eko dan Pak Maryono dengan bantuan dana dari Kompas mencoba membangun ulang desa.

Kerusakan di Ngibikan pasca-gempa Yogyakarta 2006. Sumber: https://the.akdn/en/how-we-work/our-agencies/aga-khan-trust-culture/akaa/ngibikan-village-reconstruction

Ada banyak aspek yang coba direspons dalam kasus ini: kebutuhan mendesak terhadap tempat tinggal layak, karakter masyarakat dan budaya setempat yang harus dijaga, juga keterbatasan sumber daya material dan tukang berpengalaman. Desain yang kemudian muncul adalah rangka limasan yang dimodifikasi menggunakan kayu kelapa dari sekitar desa dengan umpak beton dan sambungan mur-baut. Tiga modul utama dibangun pada masa rekonstruksi dan bisa diduplikasi sesuai kebutuhan pengguna di masa mendatang. Tembok bata yang disusun ulang dari reruntuhan gempa berdiri setinggi ± 1 meter, disambung tembok papan gipsum yang ringan dan mudah dipotong. Prosedur konstruksinya mudah diikuti bahkan oleh warga biasa tanpa pengalaman bertukang sebelumnya, tetapi secara struktur lebih efektif menahan gempa dibanding struktur yang ada sebelumnya.

Dalam waktu 4 bulan saja, 55 rumah di RT 5 Ngibikan berhasil berdiri dan siap menyambut bulan Ramadhan. Ketika dikunjungi empat tahun kemudian untuk penilaian Aga Khan Award, desa ini terlihat seperti tidak pernah terguncang gempa sebelumnya. Suasananya hidup dengan rumah-rumah berkerangka serupa tetapi dengan pengembangan masing-masing yang penuh karakter—cukup kontras apabila dibandingkan dengan beberapa desa yang direkonstruksi dengan sistem top-down yang berjarak dengan keseharian warganya. Karena peristiwa itu, tumbuh pula tukang-tukang generasi baru dari desa ini. Lewat kolaborasi, arsitektur yang lahir dari tangan Eko Prawoto tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga merawat hubungan manusia dengan alam dan budaya.

Kisah Pak Eko dan Pak Maryono mengingatkan kami pada Le Corbusier dan muridnya, José Oubrerie pada pembangunan Gereja Saint-Pierre di Firminy. Oubrerie membutuhkan Corbusier untuk bisa menurunkan bentuk yang baku dari sketsa menjadi bangunan beton yang kokoh yang menjadi bangunan publik. Pak Maryono dalam studi kasus Ngibikan seperti menjadi Oubrerie, tukang yang menjadi murid Pak Eko. Beliau turut menurunkan gagasan limasan ke dalam teknis pengerjaan yang efisien, membagi warga yang juga merupakan pengguna dalam kelompok-kelompok kerja sesuai tahapan bangun: pondasi, rangka, pemasangan—dan mengajari mereka semua hingga bisa membangun sendiri. Di sini batas-batas arsitek menjadi lentur. Arsitek, tukang, dan klien menjadi satu demi ilmu arsitektur—sesuatu yang Pak Eko harap bisa lebih di akomodasi dalam pendidikan arsitektur di kampus.

Pendekatan Eko Prawoto untuk Ngibikan dan juga proyek-proyeknya lain tidak hanya mengingatkan pada pemberdayaan lokalitas khas Romo Mangun, tetapi juga kurikulum Berlage Institute yang menjadi tempatnya mengambil studi S2 pada 1993. Kontras dengan Amsterdam School yang ekspresif dan arsitektur yang ornamental, Berlage Institute menerapkan pendekatan yang lebih kritis, kolaboratif, dan eksperimental. Penekanannya ada pada relasi konteks lokal dan global, serta keterlibatan realitas praktis yang sarat konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Seperti Bauhaus di Jerman, atau AA School di London, dan berbagai institusi lain di dunia.

Ada aspek efisiensi dari modular rangka yang bisa diproduksi dengan mudah dalam jumlah besar sesuai kapasitas sumber daya alam dan manusianya sehingga semakin banyak rumah bisa dibangun dengan lebih cepat. Dalam pemilihan rangka limasan, kayu kelapa, dan penentuan program dapur di luar rumah, ada kepekaan pada budaya setempat—validasi terhadap identitas masyarakat yang menjadi pijakan untuk bangkit kembali.

Dalam hal relasi lokal dan global, kita perlu mengingat bahwa arsitektur merupakan sebuah investasi yang mahal, tetapi dibutuhkan oleh seluruh kalangan, tanpa terkecuali. Ketika pendidikan dan industri punya tendensi untuk menggunakan dan mengembangkan material hi-tech yang mahal, Pak Eko pun berkali-kali bertanya, “Posisi arsitek ada di mana?”

Pertanyaan itu beliau jawab secara literal dengan pindah ke Kulon Progo. Kekecewaan dan kemarahannya terhadap pendidikan dan industri arsitektur seakan ia olah kembali dalam kesederhanaan dan ketenangan desa—yang menurut kami adalah upayanya mendesain sebuah shift of paradigm, yang akan banyak merubah arsitektur Indonesia, dari kota menuju desa, melalui arsitektur frugal yang menyentuh hati.

Perbincangan di Limasan Depan. Sumber: OMAH Library

Di sisi lain, pertanyaan itu secara tersirat mengingatkan bahwa arsitek perlu bisa melayani berbagai kalangan, sehingga ia juga perlu menguasai berbagai teknik, tidak hanya teknik-teknik modern, tetapi juga teknik-teknik sederhana untuk kalangan yang mungkin hanya butuh pernaungan.

Roxana Waterson dalam buku The Living House mengamati bagaimana peradaban di Asia-Tenggara dimulai dengan shelter-shelter sederhana, dari ranting, daun, dan kulit pohon. Di buku ini Roxana mengemukakan teori Gaudenz Domenig tentang alternatif proses evolusi teepee structure (yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang disusun radial, mengerucut ke atas membentuk tenda) yang primitif, menjadi struktur vernakular berupa kolom-kolom tegak yang menopang atap lebar. Di Jawa, pengembangan ini muncul salah satunya dalam bentuk limasan. Mitu M. Prie melalui pengamatan sejarah dan arkeologi, mendapati bahwa bentuk limasan menjadi struktur yang paling sederhana dan banyak diduplikasi. Ia adalah versi vernakular dari kebutuhan primitif terhadap naungan.

Entah beliau sadari atau tidak, limasan menjadi model struktur yang seringkali Pak Eko adaptasi dalam karya-karyanya—baik dalam wujud aslinya seperti di Rumah Bener dan Rumah Kedondong, maupun dalam bentuk modifikasi seperti di Ngibikan. Terbukti, struktur ini memang mudah dipahami dan dibangun oleh tukang-tukang. Di bawah naungan struktur yang sederhana ini, program ruang yang lebih rinci kemudian dikembangkan.

Limasan Depan. Sumber: OMAH Library

Saat kami datang ke rumahnya di Kulonprogo, massa-massa limasan dan struktur lainnya yang bertebaran di halaman membuat kami ingin menangkap visualnya menggunakan drone. Namun, ketika dicoba, kami merasa gagal karena massa-massanya malah hampir tidak terlihat sama sekali, hampir seluruhnya tertutup rimbunan pohon.

Foto drone Rumah Kedondong. Sumber: OMAH Library

Memang, nampaknya kami ini datang masih dengan mindset kota. Belakangan, kami baru menyadari bahwa justru rimbunan pohon itulah wujud sesungguhnya dari arsitektur Eko Prawoto. Nampaknya beliau bersungguh-sungguh ketika berbicara bahwa bagi orang desa rumah adalah halaman. Rumah Kedondong bukan sekadar massa dan program ruangnya yang tersebar, melainkan juga halamannya itu sendiri yang membentuk sirkulasi, menjadi penjalin relasi dengan komunitas desa, dan juga menjadi ruang hidup itu sendiri bagi Pak Eko untuk mengamati semesta. Dan ketika halaman pun menjadi rumah, maka pohon-pohon pun menjulang layaknya kolom-kolom, dan rimbunan daun pun menjadi atap yang menaungi. Siapa sangka, konsep shelter atau pernaungan di Rumah Kedondong dikembalikan pada bentuk alaminya, bahkan sebelum peradaban primitif dimulai. Kembali ke fitrahnya.

Selain relasi sosial, hubungan manusia dengan alam turut menjadi refleksi utama Pak Eko. Bersama beliau, konsep genius loci tak lagi sebatas teori pendekatan desain, tetapi seperti kembali lagi pada makna aslinya, “jiwa dari sebuah tempat”. Ia mencoba berdialog dengan alam seperti berdialog dengan manusia, yang kadang perlu beberapa kali bertemu dalam setting yang berbeda baru bisa akrab dan kenal. “Kalau datang, sebaiknya jangan sekali. Tapi pagi kayak apa, siang kayak apa, lalu malam seperti apa. Lalu pas matahari terbit dari sini, itu kok bagus banget. Berarti visual koridor ke arah ini penting,” tuturnya dalam seri kelas Contextual Method (OMAH Library, 2021).

Dinding taman yang menghindari pepohonan, diterangi cahaya sore hari dari barat. Sumber: OMAH Library

Di Rumah Kedondong, proses berkenalan itu terjadi dalam ritual keseharian yang sederhana, seperti ketika Pak Eko menyapu halaman. Di situ ia memperhatikan detail-detail baru yang sebelumnya luput: dari titik pancaran matahari, detail daun yang menginspirasi, sampai keseimbangan ekologi. Semua makhluk hidup coba beliau rangkul, meski saat itu ia berpotensi merusak.

“Kadang-kadang kita merasa kita memiliki banyak hal, tapi sebetulnya makhluk lain itu juga berhak … Saya mikir, ketika tidak ada ulat lagi, kita jangan mengharapkan akan melihat kupu-kupu. Jadi kadang-kadang ya sudahlah dibiarkan.” Ia memahami alam yang bergulir dinamis, keindahan dan keburukannya yang relatif, sehingga mengalahnya Eko Prawoto adalah untuk menang demi kebaikan yang lebih luas.

Teras rumah dengan berbagai tanaman hias yang dirawat Bu Rina. Sumber: OMAH Library

Dalam sebuah presentasi IPLBI di Yogyakarta tahun 2024 lalu, untuk pertama kalinya kami menampilkan video yang diambil dari kunjungan kami ke Rumah Kedondong dalam iringan lagu Happy Birthday oleh Levi Gunardi. Lagu tersebut merupakan persembahan Levi untuk gurunya, Iravati Mursit. Video dan potongan kenangan yang diceritakan kembali dalam presentasi itu pun juga menjadi persembahan kami untuk Pak Eko Prawoto, atas rasa syukur bisa bertemu beliau sebagai murid.

Mengutip Pak Galih Pangarsa, salah seorang sahabat Pak Eko, ketika membicarakan arsitektur Eko Prawoto, kita menjadi tersadar bahwa “yang lebih penting bukanlah debat aspek keruangan ‘lokal-global’, bukan pula aspek temporal ‘tradisional-modern’, tetapi bagaimana menjadikan arsitektur sebagai wujud upaya bersama untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan penghancuran benih-sifat kemanusiaan.”

Di 2025 ini, 2 tahun sudah berlalu sejak Pak Eko wafat, tetapi keberadaan beliau masih kami rasakan dan kami rindukan. Beliau adalah seorang Kesatria, seorang agent of change yang berjuang dengan pergerakan di desa, yang mengetuk tak hanya raga dan pikiran, tetapi juga hati orang-orang yang bersinggungan dengannya. Dari sosok Pak Eko kami belajar untuk tenang dalam kemarahan dan berefleksi dari kekecewaan. Kata-kata beliau selalu bisa “membersihkan” hati dan membuat kami merasa seperti dilahirkan kembali. Menjadi manusia sejati. Dan hari ini pesan itu kami sampaikan lagi.

Happy birthday, Sir.

Siluet Eko Prawoto. Sumber: OMAH Library

English translation

Eko Prawoto and the Village, Future Architectural Methods for Indonesia

The last ten years before he died, architect Eko Prawoto decided to move to the village. He left the daily life of the city that was never free from development and the fertile land of architectural projects. He built a new house in the village, creating “his own project” with craftsmen who were not always there because they were farming. We were surprised, why did he want to take care of something that was unclear when it would start and finish? When OMAH Library visited there in 2023, we finally began to understand. There was a spirit that was radiated there, whose enthusiasm echoed loudly in the midst of a silent journey, which loudly sparked between the softly woven spaces.

An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan

Before moving to the village, since 1988 Eko Prawoto and his family lived in a house he designed himself in Bener, on the outskirts of Yogyakarta City. The house slowly developed and part of it became a studio that he named Eko Prawoto Architecture Workshop.

From there were born works such as Cemeti Art House (1998), Viavia Café Prawirotaman (2004), Padusan Sendang Sono (2013), Rekonstruksi Desa Ngibikan (2006), Rumah Butet Kertaradjasa (2002), and many other artist houses, as well as affordable houses for various groups. Here he also began to receive offers to design installations and slowly made his way as an international artist.

Since the beginning, a contextual, organic, and humanistic approach has colored his works both as an architect and as an artist. However, this approach became stronger when faced with conditions in the village that had limited access to materials and skilled craftsmen. However, that was where Eko Prawoto believed in the existence of high intelligence and creativity to create something simple as a manifestation of maturity and integrity and harmony with nature.

His move to Kulon Progo was influenced by various factors. The Bener area, which was previously surrounded by rice fields and had been his home for 3 decades, slowly changed into a fairly dense residential area. However, he still persisted because he still had to teach at UKDW—a position he had held since 1985. Pak Eko planned to live a slower life after retiring. Moreover, as a teacher, he felt how current architectural education tends to focus on urban, industrial, and capitalist approaches.

“Now all the curriculums are only focused on urban, industrial, and capital. It might be suitable for the city, but remember that there are villages, there are small islands, which might not be suitable for the approach taught,” said Pak Eko when we visited him at his village house—perhaps more like a self-reminder than a criticism for the public.

Rumah Bener was finally only occupied until 2014. His architectural bureau office is still centered there, and he continues to teach at UKDW. However, in that year Pak Eko and his wife Bu Rina made up their minds, moving to become residents of Kedondong Village in Kulon Progo. Since then, he has positioned himself to be present and live in the village, observing the way the people live with nature.

“It’s indeed a learning process again,” he said. It’s as if he is taking a doctoral dissertation on “architectural language that is more connected to the village”. From there we can see his work that is increasingly balanced and increasingly listening, as seen in his residence, Rumah Kedondong (which he occupied until he fell ill and died in September 2023), and Bale Klegung (2021), a food stall not far from there that is privately managed.

Both of these places appear to be executed with the same design method. Spatially, Rumah Kedondong and Bale Klegung do have similar characters: each has an area of ​​± 2,000 m2 and is both located on a riverbank slope with many existing trees. This specific spatial condition is responded to with a vernacular way of thinking, adopting the mindset of village communities that follow natural forms more. The method is very contextual, one of which is by not cutting trees as much as possible and not changing the contour.

As a consequence, the mass of the building is spread out and rises and falls following the availability of land. As in his first house in Bener, and his other works, the presence of a tree sticking out in the middle of the building is commonplace. “This house appeared later, while this tree was already there first. The tree had to be won, then played between the existing spaces.”

The designs often seem unplanned. The spatial program develops organically following the growth of needs, from residences, meeting places to welcome guests, discussions, or lectures, to guest houses and museums. Almost all of them are accommodated by used wooden structures from various regions, such as East Javanese houses and barns from Bawean that were collected gradually. Used materials, new materials, and whatever is available are combined and used to the maximum.

At first glance, nature seems to be the highest element in Pak Eko’s works. However, he actually places nature in second place in his reflections during his life in the village. The first is the value of togetherness as part of an agrarian culture. “Social institutions, social relations are very important in the village to differentiate it from the city.”

In the village, residents usually allow their neighbors to enter and exit their yards. The yard is no longer just a personal space, but also a public space where residents can pass through and cut off access. “(For villagers) The house is the yard, relations become important,” said Pak Eko. The fence in the village also becomes a flexible boundary, never completely closed. Pak Eko also once said that the gate to his house was never locked. Later, he actually opened a new access, a bridge that connects the yard of Rumah Kedondong with the neighbor’s house across from it. When we visited there, we found Pak Eko’s neighbor using the bridge, entering the yard of Rumah Kedondong, greeting for a moment, then continuing the journey to his destination who knows where. The tolerance of the village community may have become commonplace there, but it is very rare to find in urban communities.

Human relations are an important element, not only in his architectural practice in the village, but also consistent in Pak Eko’s other projects. He establishes close relationships with all those involved and often positions himself as a bridge, facilitator, and companion. Pak Eko has repeatedly said that to clients he acts like a midwife who helps with “delivery”. The resulting building is like a baby that is clearly not Pak Eko’s child, but rather his own parents, namely the client or user who will use and care for it for decades. Therefore, Pak Eko tries not to impose his ego as an architect. In residential projects, especially those owned by artists with big egos, for example, Pak Eko allows the client to determine how the house will be filled, while he only helps direct so that the client’s wishes are well facilitated according to the available resources. The way he positions himself provides space for collaborative relationships that challenge the formal boundaries of architects.

In Rumah Kedondong, Mr. Eko does have more power as the owner and user, but again he keeps that ego to himself to give space to the craftsmen in the village. “The craftsmen in the village are actually farmers who work as craftsmen in their spare time. So, their abilities are limited and their equipment is also simple,”—in addition to their limited availability of time. The character of these craftsmen is what then largely determines the appearance of the architecture.

“We don’t have many resources, so if possible, don’t process too much. Don’t cut and produce leftover material, so everything is used up. That’s why I like broken ceramics because there’s no leftover, it’s all used up.” What then emerges is an honest frugal (cheap and simple) and primal (initial, raw, basic) architecture. Starting from social relations with the village craftsmen, Mr. Eko is brought back to the authentic character of the village that is more down to earth, which instinctively gives in to the form of nature.

This does not mean that his architecture is not innovative, in fact, this attitude of giving in gives rise to new creativity. For example, a family room unit in Rumah Kedondong with a concrete structure whose columns are separated by different contours. To avoid excessive cut-and-fill, a stage model was finally made with columns reinforced with catenary arches so that the dimensions remain thin. This design solution may be common for Mr. Eko, but new for the craftsmen. Therefore, he did not force the results to be neat, “(The important thing is) that it is structurally correct.” Moreover, the order of nature is also not uniform. “Everything has a role, has a function. We cannot find two identical leaves on one tree. So it’s different. Don’t be too stubborn in your architecture, like that.”

Employing local craftsmen is a strategy that Mr. Eko learned from his teacher, Romo Mangun. Building activities are not only seen as a way to meet programmatic needs, but also as an opportunity to support the local economy. “By making those details, it is not an aesthetic consideration, but actually to absorb it longer, so that the craftsmen work longer in that place, so that they still have jobs.”

In the post-earthquake reconstruction of Ngibikan Village in Yogyakarta in 2006, Mr. Eko worked closely with the local community. His initial involvement in Ngibikan was because of Mr. Maryono, a villager who had long worked with Mr. Eko as a carpenter. Mr. Maryono’s house was still standing, but many other houses had collapsed due to the addition of modern construction to the original limasan structure without proper reinforcement. The residents then took refuge in plastic tents set up in the rice fields. Concerned about this condition, Mr. Eko and Mr. Maryono, with financial assistance from Kompas, tried to rebuild the village.

There were many aspects that were attempted to be responded to in this case: the urgent need for decent housing, the character of the local community and culture that must be maintained, as well as the limited material resources and experienced carpenters. The design that then emerged was a modified limasan frame using coconut wood from around the village with concrete bases and nut-bolt connections. Three main modules were built during the reconstruction and can be duplicated according to the needs of future users. The brick walls reassembled from the earthquake debris stand ± 1 meter high, connected by light and easy-to-cut gypsum board walls. The construction procedure is easy to follow even for ordinary people with no previous carpentry experience, but structurally it is more effective in withstanding earthquakes than the previous structure.

In just 4 months, 55 houses in RT 5 Ngibikan were successfully built and ready to welcome the month of Ramadan. When visited four years later for the Aga Khan Award assessment, the village looked as if it had never been shaken by an earthquake before. The atmosphere is alive with similar framed houses but with their own development full of character—quite a contrast when compared to several villages that were reconstructed with a top-down system that is distant from the daily lives of its residents. Because of this event, a new generation of carpenters also grew from this village. Through collaboration, the architecture born from the hands of Eko Prawoto not only functions physically, but also maintains the relationship between humans and nature and culture.

The story of Mr. Eko and Mr. Maryono reminds us of Le Corbusier and his student, José Oubrerie in the construction of the Saint-Pierre Church in Firminy. Oubrerie needed Corbusier to be able to reduce the standard form from sketch to solid concrete building that became a public building. Pak Maryono in the Ngibikan case study is like Oubrerie, a craftsman who became Pak Eko’s student. He also reduced the idea of ​​limasan into efficient work techniques, dividing residents who were also users into work groups according to the construction stages: foundation, frame, installation—and taught them all until they could build it themselves. Here the boundaries of the architect become flexible. Architect, craftsman, and client become one for the sake of architectural knowledge—something Pak Eko hopes can be more accommodated in architectural education on campus.

Eko Prawoto’s approach to Ngibikan and his other projects is not only reminiscent of Romo Mangun’s typical local empowerment, but also the curriculum of the Berlage Institute where he took his Master’s studies in 1993. In contrast to the Amsterdam School’s expressive and ornamental architecture, the Berlage Institute applies a more critical, collaborative, and experimental approach. The emphasis is on the relationship between local and global contexts, as well as the involvement of practical realities that are full of social, cultural, and economic contexts. Like Bauhaus in Germany, or AA School in London, and various other institutions in the world.

There is an efficiency aspect of modular frames that can be easily produced in large quantities according to the capacity of natural and human resources so that more houses can be built more quickly. In the selection of the limasan frame, coconut wood, and the determination of the kitchen program outside the house, there is sensitivity to local culture—validation of the community’s identity that is the basis for rising again.

In terms of local and global relations, we need to remember that architecture is an expensive investment, but it is needed by all groups, without exception. When education and industry tend to use and develop expensive hi-tech materials, Mr. Eko has asked many times, “Where is the position of the architect?”

He answered that question literally by moving to Kulon Progo. His disappointment and anger towards education and the architecture industry seemed to be reprocessed in the simplicity and tranquility of the village—which we think is his attempt to design a paradigm shift, which will greatly change Indonesian architecture, from the city to the village, through heart-touching frugal architecture.

On the other hand, the question implicitly reminds us that architects need to be able to serve various groups, so they also need to master various techniques, not only modern techniques, but also simple techniques for groups who may only need shelter.

Roxana Waterson in the book The Living House observes how civilization in Southeast Asia began with simple shelters, made of twigs, leaves, and tree bark. In this book, Roxana presents Gaudenz Domenig’s theory about the alternative process of evolution of the primitive teepee structure (which consists of wooden slats arranged radially, tapering upwards to form a tent), into a vernacular structure in the form of upright columns supporting a wide roof. In Java, this development appears, among others, in the form of a limasan. Mitu M. Prie, through historical and archaeological observations, found that the limasan form is the simplest and most widely duplicated structure. It is a vernacular version of the primitive need for shelter.

Whether he realized it or not, the limasan became a structural model that Pak Eko often adapted in his works—both in its original form such as in Rumah Bener and Rumah Kedondong, and in a modified form such as in Ngibikan. Evidently, this structure is indeed easy to understand and build by craftsmen. Under the auspices of this simple structure, a more detailed spatial program was then developed.

When we came to his house in Kulonprogo, the masses of the limasan and other structures scattered in the yard made us want to capture the visuals using a drone. However, when we tried, we felt like we failed because the masses were almost invisible at all, almost entirely covered by the thick trees.

Indeed, it seems that we came with a city mindset. Later, we realized that the thick trees were the true form of Eko Prawoto’s architecture. It seems that he was serious when he said that for village people, a house is a yard. Rumah Kedondong is not just a mass and its spread out spatial program, but also its yard itself that forms circulation, becomes a weaver of relations with the village community, and also becomes a living space for Mr. Eko to observe the universe. And when the yard becomes a house, the trees tower like columns, and the thick leaves become a roof that shelters. Who would have thought, the concept of shelter or shelter in Rumah Kedondong is returned to its natural form, even before primitive civilization began. Back to its nature.

In addition to social relations, the relationship between humans and nature also becomes Mr. Eko’s main reflection. With him, the concept of genius loci is no longer limited to a design approach theory, but rather returns to its original meaning, “the soul of a place”. He tries to have a dialogue with nature like a dialogue with humans, who sometimes need to meet several times in different settings to be able to be familiar and know each other. “If you come, it’s better not to come once. But what’s it like in the morning, what’s it like in the afternoon, and what’s it like at night. Then when the sun rises from here, it’s really beautiful. That means the visual of the corridor in this direction is important,” he said in the Contextual Method class series (OMAH Library, 2021).

At Rumah Kedondong, the process of getting to know each other occurs in simple daily rituals, such as when Mr. Eko sweeps the yard. There he notices new details that were previously missed: from the point of sunlight, the inspiring details of the leaves, to the ecological balance. He tries to embrace all living things, even though at that time he has the potential to cause damage.

“Sometimes we feel like we have a lot of things, but actually other creatures also have the right … I think, when there are no more caterpillars, we shouldn’t expect to see butterflies. So sometimes, just let it be.” He understands the dynamic rolling nature, its relative beauty and ugliness, so that Eko Prawoto’s defeat is to win for the greater good.

In an IPLBI presentation in Yogyakarta in 2024, for the first time we showed a video taken from our visit to Rumah Kedondong accompanied by the song Happy Birthday by Levi Gunardi. The song is Levi’s dedication to his teacher, Iravati Mursit. The video and snippets of memories retold in the presentation are also our offerings to Mr. Eko Prawoto, as a form of gratitude for being able to meet him as a student.

Quoting Mr. Galih Pangarsa, one of Mr. Eko’s friends, when discussing Eko Prawoto’s architecture, we realize that “what is more important is not the debate on the spatial aspects of ‘local-global’, nor the temporal aspects of ‘traditional-modern’, but how to make architecture a form of joint effort to escape the trap of dwarfing and destroying the seeds of humanity.”

In 2025, 2 years have passed since Mr. Eko passed away, but we still feel and miss his presence. He was a Knight, an agent of change who fought with movements in the village, who touched not only the body and mind, but also the hearts of those who came into contact with him. From Mr. Eko we learned to be calm in anger and reflect on disappointment. His words could always “cleanse” our hearts and make us feel like we were reborn. To become true human beings. And today we deliver that message again.

Happy birthday, Sir.

Kategori
blog

Lumintu front door menuju pintu bulat

Di RAW Architecture, proses desain selalu dimulai dari sketsa tangan. Bukan hanya tentang menggambar bentuk, tetapi sejak awal sketsa menjadi ruang dialog tentang program ruang, fungsi, sirkulasi, hingga susunan massa bangunannya. Sketsa menjadi alat eksplorasi yang cair yang membuka banyak kemungkinan, dari bentuk-bentuk yang abstrak hingga komposisi ruang yang lapang, bagaimana ruang-ruangnya dirancang blong, dengan jarak antar kolom yang renggang untuk menciptakan fleksibilitas dan rasa lega di dalam rumah.

Ada satu cerita yang kami ingat yaitu ketika klien memutuskan untuk memindahkan pintu utama ke sisi bangunan, agar bisa sesuai dengan fengshui. Setelah dihitung ternyata angin dari barat laut bisa masuk lebih optimal. Hal-hal seperti ini muncul dari percakapan yang santai, tapi memberi dampak besar dalam membentuk ruang masuk yang lebih sejuk.

Foto – foto ini memperlihatkan area penerima di Rumah Lumintu yang dinaungi oleh kanopi dan membentuk bayangan lembut bagi area tanaman di bawahnya. Keteduhan ini adalah hasil dari strategi bioklimatik yang dirancang secara cermat untuk menjawab tantangan panasnya tapak yang menghadap barat.

Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Structural Engineer: PT. Cipta Sukses
Photography: @kiearch
Design process video by @realricharchitectureworkshop team

#lumintuhouse #tropicalarchitecture #realricharchitectureworkshop #jakartaarchitecture #arsitekturindonesia #microclimate #sustainablehome #architecturestory #rumahindonesia #moderntropical #bioclimaticarchitecture

Kategori
blog

Magical People : Greg, Eric with Jemai

Magical people in @omahlibrary Greg, Erica with Jemai akhirnya ketemu lagi yaaa, best companion, librarian, father, and warm little fam :) filing day with warm hugs ❤️❤️❤️

Photo by @hanifahsausann tq ya ufi

Kategori
blog

Guha Boboto

Located in West Jakarta, Guha Boboto is a residential renovation project that turns a 1990s workshop made of simple plywood structures into a hybrid space integrating a family home, boarding house, food stall, and a public library. Set within a dense neighborhood, with a site of 26 x 14 m, the design posed two critical questions: Can a renovated house blend family, work, and community using recycled materials? And how can a bioclimatic design adapt to Jakarta’s climate with simplicity?

Our strategy was a “Vernacular Hybrid” approach, blending recycled materials with local craftsmanship. We reimagined the 1990s plywood structure, transforming it with glulam and lightweight steel to create a resilient, affordable framework. We use materials such as traditional wood joineries, plywood, and bricks. The interventions are designed and composed in such ways to preserve the old structure. This project highlights the spirit of locality, affordability, and sustainability.

The facade mixes repurposed plywood and steel slats, opens north-south for airflow, shading the west for thermal comfort. Craftsmen crafted plywood from 1997 into intricate wall and ceiling patterns, adding warmth. A central hallway, linking the family home, boarding house, and OMAH Library, acts as a courtyard like space, buzzing with community life. The library, a bookstore and activity hub, joins family-run stalls from the 1990s, supporting local micro-businesses. The landscape, with small garden patches shaded by the structure, weaves into the kampoong fabric.

The innovation lies in craft and sustainability. Repurposed bricks and plywood form intricate patterns, reducing heat while guarding privacy, also extending the lives of the waste materials, turning them into valuables by the touch of local craftsmen. It is a living experiment of how homes in urban Jakarta can be adaptable and generous, proving that less can be more.

Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop

Photography:
1-3, 6-10 by @aryophramudhito
3-4 by @luil_mn

#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture #adaptivereuse #recycledmaterial #mixedusearchitecture #circulardesign #architecturaldesign

RAWCaseStudy09

Kategori
blog

Belajar dan Berdiskusi dari pak Budi Sukanda


Kami belajar banyak dan berdiskusi cerita arsitektur Indonesia dari pak Budi Sukada di hari minggu dari sejarah, teori, sampai kritik dan dinamikanya. “Very blessed day today” bisa bertemu seperti ini di hari minggu.

Diskusi sampai tentang pak Ardi Pardiman, relasi dengan pak Gunawan Tjahjono, penerbitan Djambatan dimana mbak Lit istri pak Budi sempat kerja disitu yang dimiliki oleh Mustafa Pamuntjak . Sungguh ditunggu kehadiran pak Budi di diskursus banyak tempat tentang arsitektur Indonesia. Indonesia memiliki banyak role model hebat untuk jadi sumber pelajaran juga tempat berdiskusi dengan puluhan tahun pengalaman.

Seorang maestro tidak untuk dipuja puji saja, namun untuk sebagai kawan berdiskusi, menguji seberapa kuat pemikiran kita, seberapa rendah hati kita untuk terus belajar, seberapa lentur ego kita, dan seberapa jauh kita mau berempati dengan apa yang namanya waktu, pengalaman, jam terbang, dan arti senyuman yang merangkul.

Kategori
blog

Meja belajarnya Heaven Rich

Di meja belajarnya, Heavenrich dengan cermat mengatur mainan-mainannya, menciptakan dunia kecil yang rapi. Kadang, ia kesulitan fokus atau mengatur barang, seperti lazimnya anak seusianya, namun setiap langkah kecilnya adalah progress. Bersama Laurensia, saya belajar untuk menjadi pembimbing yang sabar, mengingatkan diri bahwa anak-anak bukan miniatur orang dewasa. Tugas orang tua bukan menuntut, melainkan menunjukkan jalan.

Di usia 3 hingga 7 tahun, anak – anak sedang menjelajahi wilayahnya, belajar mengenal batas dan mempraktikkan kemandirian. Kami mengajarinya cara mengatur, mulai dari mainan hingga waktu, dengan penuh kasih. Setiap kali ia berhasil, kami mengabadikan momen itu dalam foto, menunjukkan betapa gagahnya ia. Pujian sederhana ini membangun harga dirinya, membuat matanya berbinar. Progresnya, meski kecil, terasa besar di hati kami.

Membimbing Heavenrich, dan belajar darinya adalah bagian dari tugas pembimbingan, juga pembelajaran, sebuah perjalanan untuk menumbuhkan kepekaan dan keberanian dalam dirinya. Sebagai orang tua, kami belajar rendah hati, menyadari bahwa setiap anak punya tempo sendiri untuk berkembang.

Saya merefleksikan arsitektur berpusat dari keluarga, dan dari situlah kasih muncul, itulah arsitektur.

Kategori
blog

Sawo Morahai

Nestled within the dense complex of South Jakarta, The Sawo Morahai House is a home designed with the intention to engage and contribute meaningfully to its surroundings.

Located at the corner of a children’s playground (RPTRA) in the middle of a bustling neighbourhood, the area are alive with activities throughout the day. This vibrant context became an opportunity for the client to reflect on design that represent both of them, a design with strong identity links to his Maluku heritage, and her dedication to community service.

The home regularly welcomes many visitors, where it translates to a social area around the corner. Here, daily newspapers are made available in order to invite neighbours to gather and read. This creates an informal communal space, making the house a hub for social activities to take place.

The ground floor become a dynamic social core. An open garage accommodates up to four cars and doubles as a flexible multi-use area, seamlessly connected to the adjacent RPTRA. Two bedrooms and a workspace on the ground floor cater to daily needs, while a generous social space ties the home to its communal context.

The second floor houses a library and two guest bedrooms, with a central office space serves as the heart of the home. The third floor forms the private family zone, with a main bedroom and two children’s rooms. Above, a rooftop garden crowns the design, featuring a ping pong area, pantry, and seating zone—inviting retreat for relaxation and play.

The house explores combination of curves and rectangular shapes in its form and facade to facilitate healthy airflow and natural light into the interior spaces. The facade expresses Maluku’s heritage, with exposed wooden elements mimicking boat masts and totems through uses of natural ulin wood for a raw, organic texture, and gray toned finishes to compliment it.

Design: RAW Architecture – @realricharchitetcureworkshop
Photography by:
Slide 1-2 @aryophramudhito @luil_mn
Slide 3, 5, 7 @aryophramudhito
Slide 4, 6, 8-10 @ernesttheofilus

#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture #architecturaldesign #architecture #homedesign

RAWCaseStudy40

comment:

As to respond to its climatic context, the design prioritizes methods to achieve thermal comfort of 28°C by strategically placing trees and plants to create a natural cooling effect. A lush garden fronts the house to block excess sunlight, while still offering views of the children’s playground. A rooftop garden serves as insulation for the rooms beneath it. Respecting its surroundings, the house maintains open southern and northern boundaries to prevent overshadowing neighbouring properties, ensuring light and air to circulate freely.

The name Morahai carries multiple meanings: a beautiful house, the beauty of family, and the beautiful notion of how opportunities can rise a meaningful live for the client. Morahai reflects a belief that every home should be rooted to its residents, nurtures them, and bring positive impact to its surrounding community.

Kategori
blog

Part 3 Lumintu

Part 3 – Lumintu

Foto oleh @kiearch ini menceritakan bagaimana keteduhan, material ringan, dan ritme garis dari elemen kanopi yang naik turun membentuk komposisi indah sekaligus berfungsi secara termal. Fasad Rumah Lumintu dirancang seperti cabang-cabang pohon yang membentuk kanopi berkelanjutan, menciptakan naungan yang melindungi ruang di bawahnya. Tak hanya sebagai peneduh dari terik matahari Jakarta, kanopi ini juga memberi rasa tenang, seperti duduk di bawah rindangnya pohon.

Proyek ini menantang karena tapaknya menghadap barat. Oleh karena itu, pendekatan arsitektur bioklimatik menjadi landasan utama perancangannya. Mulai dari pemilihan material yang tepat, penempatan ventilasi silang, penerapan stacking effect, hingga kanopi sepanjang 6–8 meter, semua dirancang untuk menciptakan buffer alami terhadap panas sekaligus menghadirkan kenyamanan sejuk bagi ruang di dalamnya.

Dari Rumah Lumintu, kami belajar bahwa arsitektur tropis bukan hanya soal estetika, tapi soal kenyamanan yang dirancang dengan kepekaan. Menghilangkan panas bukan berarti ruang menjadi kosong, melainkan menghadirkan kesejukan nyata melalui bukaan dan ventilasi silang. Angin pun dimanfaatkan untuk mengurangi kelembapan, membuat ruang terasa sejuk dan nyaman. Rumah Lumintu lahir dari proses performatif yang menyesuaikan kebutuhan iklim, fungsi, dan gaya hidup klien. Inilah filosofi “Lumintu”, berkelanjutan, alami, dan tumbuh bersama waktu.

Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Structural Engineer: PT. Cipta Sukses
Photography: @kiearch
Design process video by @realricharchitectureworkshop team

#lumintuhouse #tropicalarchitecture #realricharchitectureworkshop #jakartaarchitecture #arsitekturindonesia #microclimate #sustainablehome #architecturestory #rumahindonesia #moderntropical #bioclimaticarchitecture

Kategori
blog

The School of Alfa Omega”s Workshop Building

The School of Alfa Omega’s workshop building, as the second phase of the school’s development, is an attempted response to support educational needs in collaborative environment, uniting architectural design and alternative educational initiative to promote an open, creativity-driven pedagogy. From a holistic perspective, traces of rigid educational culture are still common and are the byproduct of varying elements from the post-colonial situation, often reflected in students through lack of participation, favoritism, and the suppression of creativity and critical thinking. These issues, rooted in a post-colonial legacy, inspire to rethink a new spatial and better pedagogical approach.

The new building serves as a multifunctional space, primarily for student workshop activities as part of the school’s initiative in direct collaborative education. Its star-shaped form reflects a break from rigid planning, emphasizing openness and connectivity, with a central atrium maximizing interaction. Six inward-facing rooms complete the program, all linked to the central atrium as the pivotal space and each used for different types of student workshop that includes timber, bamboo, metal, plastic, and clay workshops. The design is then guided by four main principles: connectivity, responsiveness to tropical climate, bamboo tectonics and sustainability, and adaptable function.

Client: @alfaomegaindonesia
Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Structure Engineer: Singgih Suryanto, Amud, and team
Photography by:
1-9 @bacteria.archphotography
10 @indonesiacreativemedia

#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture #architecture #design #architecturaldesign #architecturedetails
#bamboo #naturalbuilding #alfaomegaschool #school #bamboobuilding #tangerang #tropicaldesign #schooldesign

RAWCaseStudy01

To reinforce the school’s vision of closeness to nature and local wisdom, bamboo was again chosen as the primary material. The structure was developed through collaboration between designers, craftsmen, and school staff, showcasing craftsmanship and experimentation. Elevated above the ground to respond towards the existing flood threat, the slanted roof responds to climate needs, with flooring made from bamboo and concrete layers. The walls combine traditional “gedhek” weaving and polycarbonate for ventilation and daylight, while the wind tunnel created from raised central roof enhances cross-ventilation.

The Workshop supports the holistic spirit to embody an alternative educational model: one that resists inherited rigidity and encourages independent, critical, and imaginative thinking through space that is close to nature and locality.

Kategori
blog

Domba : Lembang melahirkan 2 domba lagi

.

Lembang melahirkan 2 domba lagi, total sudah 11 sekarang , yeaaaaay, welcome new fam ^^ piyandeling

Kategori
blog

Domba : Tahura Melahirkan

.

Domba kami si Tahura, sudah melahirkan anaknya 2 jantan baru saja lahir lagi, dapet kiriman pak saniin , kelahiran selalu jadi sesuatu yang ditunggu – tunggu. Dari 3 ekor dengan Tahura,Dago, Bandung, akhirnya beranak dengan nama si kembar satu, si kembar dua, dan si tunggal. Yang dua ini baru dinamain Maribaya dan Mekarwangi. Sekarang udah 9 ekor.

Domba – domba ini lucu – lucu, sekaligus bisa jadi koperasi bersama, saham saya 20 persen sisanya buat pak Saniin, mang Dede, mang Rojak, mang Uyu. ^^

Kategori
blog

Part 2 Lumintu

Part 2 Lumintu

Foto ini menunjukkan material lengkung dari besi membungkus struktur beton dua lantai, foto lain menunjukan bagaimana taman di bawahnya di teduhi oleh kanopi sehingga lebih teduh. Bangunan ini mengalami beberapa pergantian tampak, karena klien yang memberikan tantangan detail dan mau memberikan toleransi waktu untuk proyek.

Klien kami memiliki bisnis peralatan bangunan industri. Ia menginginkan rumah yang juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan tempat berkumpul bersama keluarga. Saya menampilkan juga video yang dibuat tim kami, jocelyn dan tim untuk menjelaskan proses desain secara singkat. Kuesioner selalu menjadi titik awal proses desain, bukan hanya formalitas, tetapi landasan untuk memahami siapa klien kami, apa yang mereka butuhkan, dan yang lebih penting, bagaimana mereka hidup dan dicatat.

Semoga rumah ini dapat tumbuh bersama mereka lintas generasi. Terhubung dengan klien juga berarti menghormati tradisi budaya, seperti mempertimbangkan feng shui untuk memastikan desain selaras dengan nilai-nilai yang sangat berarti bagi mereka seperti pintu di ujung sudut, memutar menikmati taman sebelum memasuki rumah.

Ia menghabiskan banyak waktu di lapangan lebih dari arsitek namun tetap menghargai proses desain. Penghargaan sederhana ini adalah proses kreatifitas yang sehat, inklusif. Banyak orang, banyak perputaran ide, kepercayaan yang total, proses desain yang analitis terhadap biaya, waktu, dan mutu yang terkontrol.

Foto ini diambil oleh @kiearch menunjukkan Fotonya memiliki komposisi bagus, memang fotografer ini punya mata yang tidak biasa, berseni, dan mampu memicu sudut – sudut yang khas kuat. Untuk arsitektur yang dibangun lama, fotografer mengabadikan memori yang berkesan untuk kami, tim studio, juga klien.

Design : RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Structure Engineer: PT. Cipta Sukses
Photography by @kiearch
Design process video by @realricharchitectureworkshop team

architecture #lumintuhouse #realricharchitectureworkshop #indonesianarchitecture #architecturedetails #jakarta #tropicaldesign #homedesign #architecturaldesign #sustainablearchitecture #moderntropical #architecturalinspiration

Kategori
blog

Heaven Perform jadi Billy Goat

.

Ganteng dan lucuuuu hihi
Hari ini Heaven perform jadi Billy the Goat ^^

“Great of All Time” hihi

Kategori
blog

EduAll

EduAll is a learning and study center located in West Jakarta, nestled within a dense urban complex. The spatial constraints of the site called for a departure from conventional school design. In response, the project explores key questions: How can an informal school be effectively realized within a modest space? And to what extent can spatial potential be maximized despite physical limitations?

The design addresses these questions by reimagining the constrained urban site—defined by fixed columns and low ceilings—as a dynamic, playful, and therapeutic alternative to rigid, traditional schools.

At ground level, a “playground of possibilities” welcomes students with soft, curved forms and vibrant colors inspired by treetops to spark exploration and imagination. A vista from the entrance frames a broadcast space, rooting learning in communication and interaction.

Across four levels, the design uses thoughtful zoning to overcome spatial limitations. The ground floor combines functional spaces—admissions and lobby—with a creative hub. The first floor houses a science zone, integrating structure with experimentation. The second floor features a maker space to encourage hands-on innovation. At the top, the third floor offers an open-plan exhibition and art area to promote flexibility and expression.

Each level balances “viewing” and “being seen” through a combination of open and enclosed geometries. Materials evolve from simple whites and transparent glass on the lower floors to bold, colorful finishes above—serving as a visual and spatial stimulus that encourages students’ creative exploration.

EduAll offers an example on how an informal school can thrive within a modest setting. The space now serves to nurture the student in their creative endeavors, challenging traditional norms for a more dynamic and exploratory approach to learning.

Client: @eduall.junior
Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Contractor: @alpha.creative_id, @veliomobili
Photography by: @aryophramudito

#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture #informalschool #creativelearning #kindergartendesign #schooldesign #architecturaldesign

RAWCaseStudy27

Kategori
blog

Liburan bersama Keluarga di TMII

.

Hari ini di Taman Mini Indonesia Indah lagi,
Betapa anak – anak suka banget kesini, sekarang TMII semakin bagus dan rapih, semoga semakin banyak tempat seperti ini dan bisa biaya juga semakin murah, :) Tuhan sungguh baik.

Kategori
blog

Noah Kindergarten

Noah Kindergarten is a new kindergarten project located in Cipinang, East Jakarta. It is built in a hot and humid area, within a rather enclosed space. Therefore, the design considers the following questions: How can a kindergarten host an inclusive space while responding to its tropical context? What are the barriers, and how can a simple, groundbreaking sequence overcome them?

The design responds by prioritizing the child’s journey—how they enter, feel, and explore—within a safe, creative, and climate-responsive space.

From the lobby, an open expanse flows seamlessly to a playground, connecting every level with accessible, open areas. The ground floor offers a unified, safe space; the first floor links to an open swimming pool and landscape; the second floor ties together a library, terraces, and an open auditorium; and the rooftop blends sports with a garden of endemic plants.

Corridors, open to natural air, are crafted from a child’s perspective portraying explorative portals into varied “worlds”, all while ensuring disability access and intuitive navigation. Addressing spatial barriers, the classrooms adopt a simple, double-loaded corridor layout to maximize efficiency, while the building is lifted above ground as a safety measure against flooding in the area, and to house utilities and parking below.

Slanted terraces and façades respond to tropical challenges, shading the harsh west sun and cooling corridors between classrooms and the exterior—creating a bioclimatic design that minimizes reliance on air conditioning. The south-facing roof channels indirect light into the auditorium, enhancing comfort.

The building is now well on its way. The kindergarten aims to bring reassurance and security for its children, combining spaces of learning with a close connection to nature. Noah Kindergarten hopes to shape an open-minded education for the future.

Client: @sekolahnoah
Design: RAW Architecture – @realricharchitectureworkshop
Structural Engineer: @vindicontractor
MEP: @narama_mandiri

#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture #kindergarten #kindergartendesign #schooldesign #architecturaldesign

RAWCaseStudy31

Kategori
blog

Selamat Ulang Tahun Laurensia

.
Happy birthday ka @laurensiayudith dr kami di studio RAW DOT OMAH ^^ terus bercahaya dan sabar dengan kami – kami semua. Terima kasih untuk bro and sis yang sudah menyiapkan kue dan waktunya untuk ka yudith.

Kategori
blog

Selamat Ulang Tahun Laurensia

.
Selamat ulang tahun istri tersayang, Dokter gigi terbaik di dunia @laurensiayudith, sungguh tidak ternilai gimana kita bisa dapat ibu yang jadi pusat keluarga kami. Semoga Tuhan memberkati dirimu dengan kasih berlimpah, kesehatan, kebahagiaan, dan kenangan yang manis. Ia adalah permata Keluarga kami, ibu dari anak – anak yang lucu – lucu,mohon doanya ya untuk istri saya yang sangat sabar dan baik ini, mengurus begitu banyak hal sehari – harinya, memastikan semua baik2 saja di rumah, studio, dan sekitarnya. Ia hadir di tengah – tengah arsitektur, figur yang jarang dibicarakan namun perannya sentral dalam desain RAW.

Kali ini sempat menulis refleksi di bandara. Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, begitu cepat, banyak yang mengagetkan seperti hari ini kena delay sampai ber jam- jam ke kolkata.

Memang hidup tidak bisa diprediksi, dalam Hal – hal yang mengagetkan ada saja hal positif yang menanti, membuat harus sabar di hari – hari ini, di luar rencana, dan tidak ada yang kebetulan. Tuhan memberkati dirimu dengan seluruh kuasa baik yang terjadi dalam hidupmu. Saya hanya bisa mengucap terima kasih dan rasa syukur untuk karuniaNya mendapatkanmu 🙏🏻

Album foto kenang2an
Slide 1 : foto hari ini ^^
Slide 2 : nunggu delay, dapet bantal dr sq buat nunggu 14 jam ^^

Kategori
blog

Delhi Airport

A Family Room at Gate 56

At Gate 56 of Delhi Airport, I sat waiting, initially weary from a 14-hour flight delay that felt like a test of endurance. Yet, in His mysterious way, God turned bitterness into sweetness. There, I met Jason Thankachan, a warm, smiling coder who shuttles between India and Indonesia, living in Bekasi. Simple and courteous, he sparked our connection with a question: “Do you like video games?”

I chuckled, memories flooding back. “I used to play Dota and Mobile Legends,” I said. Jason eagerly shared updates on characters I still recalled—Skeleton King, Berserker—reviving nights at ITB’s multimedia lab, where I installed Dota, learning software by day and battling in tournaments by night. Then, he showed me a tiny emulator packed with hundreds of games, affordable yet brilliant. I pictured my sons, Miracle and Heaven, delighting in it, their eyes bright with joy.

Sayan Bose, a DOP (Director of Photography), joined us, intrigued. “What’s that?” he asked, eyeing Jason’s emulator. From casual gaming talk, we dove into Kolkata’s culinary treasures: sweet desserts, potatoes, biryani. The three of us laughed freely, as I tweaked slides for my RAW Architecture presentation at FOAID later that day. The air felt light, like a family reunion unfolding unexpectedly.

Then came Pavel, a humble film director with a curious spirit, asking where Jason got the emulator and its price, peppering us with questions about Indonesia. I later learned via Google that he’d produced films like Kolkata Chalantika, Asur, and Rosogolla. Our chat shifted to life’s deeper currents—children, education, growth. Pavel shared that his wife, Smriti, whose name means “memory,” is a teacher. Her work shaping young minds resonated with me, reminding me of my own efforts to nurture through architecture and community. We spoke of Smriti’s dedication, how she crafts lessons with care fostering curiosity and kindness in her students, a quiet yet profound act of building the future…(continue in comment)
.
@hiitsme_pavel @mukherjee_smriti @shadow_paint_

Kategori
blog

School Of Alfa Omega

School of Alfa Omega explores how an educational building can fully embody the spirit of locality and craftsmanship through its design approach. With a budget, time, and contextual constraint, it challenges the mutual teamwork of varying parties and local craftsmen on how to create a vernacular-inspired school typology on the chosen site that is a part of the design decision, and will become the main strategy to achieve the operational and aesthetical goal by itself.

The site chosen is an unstable, swampy ground in Tangerang. The project faced challenges of limited time and budget, all while committing to a collaborative process with local craftsmen. By combining steel with lightweight bamboo, the design balances efficient construction, completed within just four months, with an emphasis on local building techniques. To address the unstable site conditions and reduce its carbon footprint, the structure was first elevated 2.1 meters above ground and built.

To ensure that the spirit of craftsmanship is holistic, materials used are sourced from the surrounding area, contributing to efficient logistics and reducing the carbon footprint of the construction. Alongside that, a collaborative bond between various craftsmen is established, including local stone masons, steel welders from the Salembaran area, and bamboo craftsmen from the Sumedang area. With each bringing their own originality, the bond accelerates the construction process without losing its ubiquitous understanding of school typology.

The building is composed of four modular masses, utilizing a blend of brick and lightweight materials to form a flexible yet grounded composition. Its parabolic, curve-shaped roof, that draws inspiration from the characteristic form of nipah, was designed to align with tight budget constraints without sacrificing architectural identity. Stacked brickwork in a solid-void pattern facilitates natural cross-ventilation, eliminating the need for air conditioning, while 100% daylight is being used in the morning and afternoon time. Polished bare concrete flooring finish is used to ensure long-term durability in the high-traffic learning environment.

At its core, the project reflects the relationship between materiality and craftsmanship, where the spirit of collaboration becomes fundamental both for the construction and shown by the soul of the building. It stands as an attempt on how a learning space can be both modest and meaningful, rooted in local wisdom and vernacularity while responding to the particular site and climate.

#realricharchitectureworkshop #RAWarchitecture

Client: PKBM Alfa Omega
Architect: RAW Architecture – Realrich Architecture Workshop
Structure Engineer: John Djuhaedi and Associates
Photography by @bacteria.archphotography

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Romo Mangun, Jejak-Jejak Arsitektur yang Memanusiakan

(English translation is available below)

Selama proses penulisan artikel ini, seorang desainer di studio kami bertanya, “Kenapa sih Kak Rich menulis tentang Romo Mangun? Kenapa kami yang muda ini perlu untuk mengenal beliau?” 

Well, mempelajari sosok Romo Mangun bukanlah sekadar tanggung jawab sejarah. Dalam refleksi praktik penulis di Jakarta, di tengah hingar-bingarnya arsitektur yang provokatif dan berorientasi bisnis di Jakarta, Romo Mangun melalui praktiknya menunjukkan ada banyak kalangan masyarakat yang membutuhkan pendekatan lebih terjangkau. Indonesia bukan cuma soal Jakarta, dan sepak terjang beliau secara strategis merespons dilema tersebut dengan berbagai perannya, menembus batas-batas keprofesian arsitektur yang dilematis.

Father Y. B. Mangunwijaya (right) receives guests in his house on the slopes of Kali Code, Yogyakarta, 1986 Photo: TEMPO/Yuyuk Sugarman.

Sebuah tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Dalam sebuah pertemuan kami dengan alm. Adhi Moersid, beliau bercerita sempat merasakan kuliah bersama Y.B. Mangunwijaya di ITB tahun 1959-1960. Menurut beliau, Mangunwijaya sering berangkat ke kampus mengenakan baju pastor. Sebuah potongan memori yang cukup menggelitik mungkin bagi kita yang lebih familiar dengan Mangunwijaya lewat karya-karya terbangunnya—meski kita tahu ia sering dipanggil dengan sebutan “Romo” yang menunjukkan perannya sebagai imam Katolik, juga karya-karyanya yang sebagian besar merupakan fasilitas keagamaan Katolik.

Berkaca pada sosok Antoni Gaudi yang kita bahas sebelumnya, Mangunwijaya ini adalah “spesies” arsitek yang karya-karyanya tak tersekat pada profesi perancangan, tetapi juga dalam pengajaran, penulisan, aktivisme, dan pelayanan. Dari jubah pastor, kisah burung manyar, hingga anyaman bambu di tepi Kali Code, apa yang membuat Mangunwijaya memilih jalur multi-spektrum ini? Visi apa yang beliau perjuangkan?

Lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah di tengah keluarga Katolik dengan ayah dan ibu yang keduanya guru, Yulianus Sumadi Mangunwijaya tumbuh dalam lingkungan religius dan terpelajar. Sejak kecil ia sudah berkeinginan menjadi arsitek, tetapi belum juga tamat sekolah, ia harus turut memperjuangkan kemerdekaan sebagai Tentara Pelajar sepanjang 1945–1948. Dalam prosesnya, ia menyaksikan bagaimana warga desa telah banyak membantu tentara, sekaligus juga menjadi korban dari kekejaman penjajah. Menyaksikan kawan-kawannya gugur juga sudah pasti, dan bukan tak mungkin bahwa ia sendiri merasakan momen-momen antara hidup dan mati.

Di titik itu, barangkali muncul kesadaran bahwa selamat dari peristiwa itu merupakan sebuah anugerah tersendiri, dan kehidupan ini terlalu berharga untuk dihabiskan ala kadarnya. Mangunwijaya pun terdorong untuk “membayar utang kepada rakyat”, dan jalan yang ia pilih adalah pelayanan sebagai pastor. Di umur 21, beliau masuk sekolah pastor St. Paulus di Yogyakarta, terlepas usianya yang lebih tua dibanding calon pastor lain.

Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta

Buku The Altruism of Romo Mangun yang ditulis Darwis Khudori menjelaskan bahwa selepas lulus dari Sancti Pauli, Mangunwijaya ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Albertus Soegijapranata. Ia menggunakan nama resmi yang sudah tak asing di telinga kita, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Namun, baru sehari menjadi pastor, Soegija memintanya untuk belajar arsitektur, supaya bisa membangun rumah-rumah ibadah di berbagai tempat dengan bahasa yang lokal alih-alih ala kolonial. Di situlah ia belajar di ITB dan bertemu Adhi Moersid pada 1959-1960, sebelum akhirnya beliau pindah ke Rhein Westfalen Technical School di Jerman dan meraih gelarnya di sana.

Mangunwijaya Muda

Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mangun mulai membangun banyak gereja dan wisma di DIY dan Jateng. Beliau juga merancang untuk kalangan di luar lingkup gereja, berupa rumah tinggal, kos-kosan, komplek pemukiman, dan sekolah. Beberapa karya beliau di antaranya adalah Gereja Maria Asumpta (1967-1969), Sendang Sono (1972-1991), Permukiman Tepi Kali Code (1983-1987), Rumah Arief Budiman (1986-1987), Wisma Kuwera (1986-1999), Seminari Tinggi Fermentum (1996), dan masih banyak lagi.

Bila melihat perkembangan arsitektur Indonesia pasca-kemerdekaan, terlihat selalu ada urgensi untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia. Arsitektur modern ala Barat saat itu menjadi preferensi untuk membangun identitas nasional yang baru dan kuat, diinisiasi oleh Soekarno dan dilanjutkan saat kepemimpinan Soeharto lewat proyek-proyek monumental dan penataan urban.

Proyek Mercusuar Orde Lama

Namun, yang disayangkan Romo Mangun adalah aplikasi arsitektur tanpa penyesuaian terhadap iklim tropis dan budaya Indonesia, seperti yang banyak terjadi di Jakarta saat itu dengan gedung-gedung beton berlapis kaca. Selain itu, arsitektur yang membutuhkan material industri dengan teknik membangun yang canggih akan sulit diterapkan untuk rakyat biasa yang mayoritas tinggal di kota kecil atau desa-desa, sesuatu yang menjadi realitasnya selama masa kecil dan dalam kesehariannya sebagai pastor. Jadi, selain kebutuhan untuk mendefinisikan identitas nasional lewat arsitektur, di saat yang sama timbullah keresahan tentang arsitektur Indonesia yang relevan dengan iklim, sumber daya alam, dan keseharian masyarakat pada umumnya.

Generasi arsitek yang aktif saat itu, seperti Friedrich Silaban, Soejoedi, dan Romo Mangun sendiri rata-rata belajar arsitektur di luar negeri, khususnya Jerman. Wajar saja bila kemudian bahasa arsitektur yang digunakan banyak terpengaruh arsitektur modern. Namun, setiap arsitek punya caranya masing-masing dalam menerjemahkan kondisi iklim setempat dan masyarakat Indonesia dalam karya-karyanya.

Friedrich Silaban (1912-1984), meski mengerjakan proyek-proyek berskala monumental dengan gubahan massa modern, ia selalu mengupayakan bukaan yang lebar dan kisi-kisi untuk menghalau sinar matahari langsung. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928-1981) lebih memilih menggunakan tritisan yang lebar alih-alih kisi-kisi untuk merespons iklim. Sementara, secara budaya, beliau mengambil konsep ruang dalam dan luar pada arsitektur Jawa sebagai inspirasi program ruang yang seimbang, meski gubahan massanya benar-benar baru dan bercitra independen. 

Sementara, Adhi Moersid, teman sejawatnya yang bersekolah di dalam negeri, punya pendekatan yang lebih lokal dengan konsep Arsitektur Papan Kayu yang terangkum dalam buku Kagunan. Prinsipnya adalah menggabungkan dua papan kayu pipih untuk membentuk bilah usuk yang lebih kokoh, sehingga memungkinkan konstruksi atap tanpa gording. Konsep ini pun membuka lompatan dari struktur rangka menjadi struktur bidang. Susunan papan kayu ini juga menghasilkan visual yang lebih rapi dan indah ketika diekspos sehingga menjadi wujud “langit-langit yang baru”.

Ketiganya punya cara-cara tersendiri untuk meramu ruang dan material. Dengan skala yang monumental, material beton dan teknik fabrikasi jadi relevan untuk karya-karya Silaban dan Soejoedi. Visual yang sederhana pun membutuhkan tektonika tersendiri yang membuat hubungan antarmaterial jadi seamless. Pendekatan Adhi Moersid sifatnya lebih teknokratik, fokus pada ilmu itu sendiri dan konteks biaya-mutu-waktu dari suatu proyek. Ia mencoba menembus batas dengan material kayu yang natural dan lokal, tetapi masih perlu dibeli dari “pasar” dengan spesifikasi yang seragam.

Begitu bicara sosok Romo Mangun, segala aspek dieksplorasi. Dari bentuk atap, susunan bata, corak tekstur beton, hingga detail sambungan, semua diolah total tiada luput. Yuswadi Saliya pernah menggambarkan Sendang Sono dengan ekspresi, “Keinginannya untuk berbuat membekas di mana-mana. Menyaksikannya boleh jadi melelahkan, detail itu bercerita tanpa putus, menyapa pada setiap lekuk dan liku. Segi-tiga dan segi-empat membentuk bidang dan ruang yang bergema bersahut-sahutan, turun naik berundak-undak, semuanya membentuk tamasya buatan manusia yang lebur dengan kelok alur sungai dan punuk palung bukit. Sangat kompleks. Majemuk.” Keberagaman teknik menjadi kata kunci arsitektur Romo Mangun. Konsepnya adalah variatif atau hibrida yang menggambarkan konteks lokasi tempat arsitekturnya hadir.

Secara gubahan massa, beliau banyak mengeksplorasi bentuk atap miring dengan pertimbangan material genteng sebagai penutup yang mudah didapat dan relatif murah dibanding instalasi atap beton, apalagi bila harus menghadapi curah hujan Indonesia yang tinggi. Atap-atap Romo Mangun membentang lebar, tak jarang mendominasi citra bangunan. Terlebih dengan proporsi badan yang rendah, terkesan ada upaya untuk membuat skalanya tetap manusiawi agar perawatan menjadi mudah.

Untuk menopang atap-atap ini, beragam material digunakan. Dari sekitar 30 karya terbangunnya, terdapat belasan gereja yang mayoritas menggunakan beton sebagai elemen struktur. Kadang ia cukup menjadi kolom ketika bentang atap masih bisa ditopang oleh struktur kayu, terkadang ia juga hadir sebagai balok bila kapasitas gereja terlampau besar. Sementara, pada gereja-gereja kecil, wisma, sekolah, atau hunian dengan luasan yang tak seberapa, peran struktur utama biasanya dipegang oleh kayu.

Namun, sekalipun beton digunakan, Romo Mangun tak terbiasa meninggalkannya polos begitu saja. Motif-motif digoreskan, kadang dalam pola yang teratur, kadang menggunakan cetakan bambu atau kayu bekas, memberi kesan organik seperti pohon di dalam bangunan. Dimensi beton juga dijaga agar tetap ramping dan ditata dalam pengulangan berirama untuk menekan karakter kasar dan beratnya (Tjahjono, 1995). Kadang balok konsol dicetak sedemikian rupa menyerupai ranting. Beton di tangan Romo Mangun menjadi lebih lembut dan kadang terkesan organik.

Lanjut ke bagian badan, Romo Mangun sering membuat ruang-ruang publiknya, terutama gereja, tampil terbuka tanpa dinding penutup, kecuali hanya sebaris yang melatari altar. Pertama, untuk memasukkan udara secara maksimal—seperti gagasan Silaban yang lebih meyakini Indonesia butuh atap lebar untuk menghalau panas matahari daripada dinding yang menghalangi angin ekuator dengan kecepatan tak seberapa. Kedua, karena konsep “gereja pasar”. Romo pernah berpesan, “Ketika religiositas semakin mengakar dalam terang Tuhan, maka manusia sejati adalah cerminan bayang-bayang Tuhan sendiri,” (Mudji Sutrisno, 2001). Tidak ada urgensi untuk memisahkan ruang suci gereja dengan “pasar” kehidupan sehari-hari. Justru batas itu dibuka untuk menjembatani jiwa-jiwa yang mencari cahaya Tuhan.

Ketika sebuah dinding diperlukan, wujudnya hadir dalam berbagai bentuk: dari batu bata, kayu, bambu, batuan alam, beton, atau kombinasi dari semuanya. Parameternya tak jauh-jauh dari batasan anggaran, kesediaan material di lokasi, kreativitas ketukangan, dan pemberdayaan komunitas. Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono, Salatiga misalnya, awalnya dirancang menggunakan dinding batu bata. Namun, ketika Romo Mangun survei ke Gedono, beliau melihat warga setempat banyak yang berprofesi sebagai pemotong batu kricak. Ia mendapat ide untuk menggunakan jasa warga setempat untuk memotong batu yang lebih besar dari daerah Banaran, lebih dekat daripada harus mendatangkan batu bata dari Klaten. Akhirnya, biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil, dan warga pun belajar keterampilan baru untuk memecah batu besar dengan potongan yang rapi. Material yang terkesan biasa-biasa saja pun bertransformasi dengan cara yang istimewa.

Pertapaan Suster Bunda Pemersatu di Gedono

Untuk lantai, pada beberapa karyanya yang dikonstruksi menggunakan kayu, khususnya yang berfungsi sebagai hunian, Romo Mangun banyak menerapkan struktur lantai panggung. Misalnya pada sebagian massa di Wisma Salam, Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Wisma Kuwera. Ini merupakan respons penggunaan kayu terhadap iklim tropis Indonesia yang lembab. Akan tetapi, lebih dari itu, kombinasi struktur panggung dengan struktur lantai konvensional dalam satu karya sekaligus menciptakan permainan ketinggian yang dinamis, membuat ruang-ruang di dalamnya terasa menyenangkan!

Arsitektur Romo Mangun menjadi salah satu preseden utama dalam hal kolaborasi antara low technology dengan high technology. Julia Watson di bukunya Lo-TEK (2019) menjelaskan bahwa low technology atau lo-tech sering diasosiasikan dengan sistem atau mesin yang sederhana, tidak canggih, tidak rumit, dan berasal dari masa sebelum revolusi industri. Kami juga melihatnya sebagai metode yang intuitif dan impulsif dengan penyelesaian yang terjadi secara impromtu di lapangan. Sebaliknya, high technology (high-tech) sifatnya baru, berfitur canggih, dan memberi kesan seakan jadi pilihan yang lebih baik. Watson mengungkapkan, sistem high-tech yang mencoba menjadi solusi untuk semua permasalahan justru bertentangan dengan heterogenitas atau kemajemukan yang ada dalam kompleksitas ekosistem.

Oleh karenanya, high-tech tidak selalu bisa menjadi solusi. Kombinasi lo-tech dan high-tech pun menjadi titik tengah yang diambil Romo Mangun dalam merespons gap antara arsitektur barat yang mutakhir dan mendominasi dunia, dengan arsitektur lokal yang jadi keseharian masyarakat Indonesia saat itu. Refleksi atas keresahan ini akhirnya menelurkan buku Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) lebih fokus pada aspek teknis dan respons terhadap iklim tropis Indonesia, juga fenomena alam yang khas seperti gempa bumi. Di dalamnya terdapat bab khusus yang membahas aplikasi material lokal bambu, kayu, dan bata yang cocok dengan kondisi Indonesia. Ditujukan untuk pelajar dan praktisi non-akademik, buku ini dikemas dengan bahasa dan diagram yang sederhana, dilengkapi dengan contoh-contoh praktis. Ada pemahaman bahwa masyarakat memiliki keterbatasan akses terhadap high technology, maka pendidikan berbasis arsitektur barat perlu diimbangi dengan pengetahuan tentang cara membangun yang relevan dengan kondisi setempat.

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980)

Sementara itu, Wastu Citra (1988) lebih mengambil sudut pandang diskursus. Dirilis pada masa di mana Romo Mangun sudah tidak ingin bertugas menjadi pastor dan lebih sering berkutat dengan kegiatan aktivisme bersama masyarakat kelas bawah, barangkali Romo Mangun melihat bagaimana kebiasaan membangun tradisional dan yang berkembang di keseharian masyarakat seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari arsitektur juga. Oleh karena itu, digunakanlah istilah “wastu” yang mencakup segala bentuk kegiatan membangun untuk menyetarakan semuanya. 

Wastu Citra

Revianto B. Santosa di dalam film Wastu mengamati bagaimana Romo Mangun bersikap “universal” di buku ini: tidak hanya membahas keunggulan arsitektur Indonesia dengan iklim tropis dan budaya vernakularnya, tetapi juga mencantumkan bab tentang arsitektur barat dan filsafatnya serta inspirasi mancanegara seperti dari Yunani, Jepang, dan India. Ketika membahas makna-makna kosmologis yang lebih dalam dari sekadar wujud fisik wastu, Romo Mangun pun menarik studi dari berbagai adat budaya serta agama di dunia. Namun, pada akhirnya, beliau menutup buku ini lagi-lagi dengan ajakan untuk meramu hal-hal baik dari masing-masing kutub untuk membawa kesejahteraan bagi semua, termasuk kaum marjinal.

Menurut kami, lebih dari sekadar kombinasi low and high technology, keberpihakan Romo Mangun terhadap rakyat kecil bisa diturunkan hingga dimensi material yang digunakan. Katakanlah sebuah joglo yang datang dari tradisi low technology, penggunaannya tidak lagi relevan untuk masyarakat kecil karena balok-balok kayu yang besar, panjang, dan utuh tidak mungkin terbeli. Romo Mangun mau tak mau harus bekerja dengan kayu-kayu yang pendek ukurannya—dan material apa pun yang tersedia, sekalipun itu sisa-sisa atau bahkan sudah menjadi sampah. Dari wawancara kami dengan Rina Eko Prawoto, adalah hal yang biasa ketika Romo Mangun meminta para tukang untuk mencabut paku-paku dari sebilah balok kayu. Baik kayu maupun pakunya, keduanya akan sama-sama digunakan lagi untuk kebutuhan lain.

Kami sempat berkunjung ke Wisma Kuwera. Sekilas bangunan ini seperti mencoba merespons konteks urban Yogyakarta dengan menciptakan kepadatan program ruang di dalamnya. Dimensi modulnya tidak lebih besar dari 3 meter, dengan komposisi vertikal yang saling saut, dengan variasi ketinggian lantai antara 1-1,5 meter. Pengalaman ruang yang tercipta sungguh sangat menarik, memantik pertanyaan, “Kok Romo kepikiran membuat sesuatu seperti ini?” Setelah dipikir-pikir lagi, dimensi yang kecil-kecil itu adalah respons dari terbatasnya akses terhadap material-material masif, hanya saja dikreasikan sedemikian rupa membentuk susunan ruang yang kreatif.

Keterbatasan material juga mendorong munculnya elemen-elemen multifungsi. Salah satunya adalah kerangka A yang banyak digunakan kemudian di Sendang Sono, Rumah Arief Budiman, Kampung Code, dan Pertapaan Gedono. Di sini, atap juga menjadi dinding, kolom sekaligus menjadi rangka atap. Seperti sebuah loteng, tetapi justru digunakan sebagai ruang primer. Hadirnya dinding sejati atau elemen lainnya pun tumbuh sesuai kebutuhan, membuat bangunan bertransformasi secara elegan.

Ketika akses terhadap material begitu terbatas, mau tak mau seseorang harus mengerti bagaimana memaksimalkan material tersebut. Mungkin dari sini muncullah benih-benih yang menghasilkan tektonika seorang Mangunwijaya. Mengutip Mahatmanto (2001, Tektonika YB, Mangunwijaya), “Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya.” 

Yuswadi Saliya pernah berkesempatan mengamati Romo Mangun saat hendak membangun dinding pembatas dari kerawang/roster. Beliau membolak-balik balok roster tersebut cukup lama. “Ditumpuk, dideretkan, diserongkan … Dibidiknya dari sisi, dari bawah, menjauh kemudian menyimpang … Mencari posisi yang paling serasi, memadu lagu yang paling merdu.” Elaborasi dilakukan tanpa gambar, mengandalkan kepekaan indrawi ketika manusia berinteraksi dengan ruang bentuk. Yuswadi melihatnya sebagai sebuah bentuk kemerdekaan.

Dalam prosesnya Romo Mangun bergerak sangat erat dengan para tukang. Tak sebatas mengawasi, beliau mendidik, dan tak jarang beliau pun belajar hal baru dari mereka. Kedudukannya begitu tinggi hingga dituliskan dalam halaman persembahan buku Wastu Citra, “Buku ini ditulis untuk menghormati para tukang dan karyawan-karyawati lapangan, yang dalam cara-cara mereka tertentu telah menjadi mahaguru arsitektur yang ulung bagiku.” Merekalah sosok-sosok yang oleh Romo Mangun ingin diajak untuk merdeka bersama-sama.

Romo Mangun fokus pada proses berkarya, tidak hanya untuk menghasilkan uang secara pendekatan kapitalisme, tetapi uang yang didapat untuk mensejahterakan. Eko Prawoto pernah bercerita tentang gurunya ini, “Romo membuat detail-detail itu bukan pertimbangan estetika, tapi sebenarnya untuk menyerap lebih lama, agar tukangnya bekerja lebih lama di tempat itu.” Bisa jadi biaya yang dikeluarkan untuk tukang menjadi lebih tinggi dibanding biaya yang dikeluarkan untuk belanja material. 

Di titik ini kami teringat arsitek Louis Kahn saat mendesain Gedung Parlemen Bangladesh di Dhaka. Proyeknya membuka banyak lapangan kerja baru dan menjadi sarana pengembangan keterampilan tukang lokal. Yang membuat berbeda adalah pilihan material dari kedua arsitek ini. Untuk sebuah proyek sebesar Gedung Parlemen Bangladesh, penggunaan beton dan marmer menimbulkan gap ketukangan di tengah masyarakat yang terbiasa membangun menggunakan tanah, bambu, kayu, dan bata.

Di sinilah pilihan Romo Mangun untuk mengkombinasikan low dan high technology menjadi penting. Karenanya, para tukang tetap mengerjakan sesuatu yang masih dekat dengan kesehariannya, tetapi juga sembari bersama-sama mempelajari material atau teknik baru. Circular resource pun terjadi dengan bahan sisa atau bekas yang masuk kembali dalam siklus dibarengi para tukang yang kembali berdaya. Mahatmanto dalam dokumenter Wastu menyampaikan bagaimana Romo Mangun menyadari kualitas masyarakat yang heterogen. “Sehingga dia mengambil ambang bawah supaya semua bahan, semua ketukangan atau keterampilan yang dimiliki oleh para tukang itu bisa dimanfaatkan secara optimal.”

Namun, teknik yang sederhana bukan berarti hasilnya biasa-biasa saja. Justru pendekatan ambang bawah membuka kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi. Tak jarang para tukang mengusulkan hal baru yang tak terpikirkan Romo Mangun sebelumnya. Gunawan Tjahjono menggambarkan proses ini seperti permainan musik Jazz di mana tiap pemain punya kebebasan untuk memperkaya sebuah lagu. “Dari tukang ke pemakai, semua terlibat dan berpeluang menafsirkan. Para pelaku memiliki ruang berekspresi atas bagian-bagian bangunan yang mungkin akan seumur hidup dihuninya.” Pada akhirnya, setelah Romo Mangun sudah tak lagi bisa mendampingi, diharapkan pengguna dan para tukang nantinya bisa melanjutkan atau merawat secara mandiri.

Performa bangunannya sendiri juga dirancang untuk mendidik. Di Seminari Tinggi Fermentum Bandung misalnya, Romo Mangun membagi wisma untuk para frater (calon pastor) dalam unit-unit kecil berisikan 5-6 orang saja untuk membentuk komunitas-komunitas kecil seperti keluarga yang saling mengenal. Kombinasi low and high technology lagi-lagi diterapkan, memberikan unsur kesementaraan yang membutuhkan perawatan berkala. “Romo Mangun bilang biarin aja, supaya nanti para frater di setiap unit berlomba mana unit yang paling terawat,” tutur Pastor William. Romo Mangun seakan memberi penekanan bahwa menjadi imam bukanlah sebuah keistimewaan, melainkan untuk melayani komunitas. Kesadaran ini dibentuk dari kebiasaan sehari-hari, menggunakan fasilitas selayaknya dan memperbaiki titik-titik yang rusak.

Nilai-nilai keseharian menjadi salah satu hikmah yang kami temukan pada sosok Romo Mangun. Selain diterjemahkan pada program ruang dan garis besar rancangan, beliau seakan mencoba menangkap hal-hal baik dari keseharian masyarakat dan merayakannya dalam simbolisme. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari massa unik yang menjadi vocal point, pengulangan struktur, pola susunan material, hingga elemen-elemen dekoratif. 

Penggunaan simbolisme mungkin terkesan dangkal bagi sosok dengan kedalaman berpikir seperti Romo Mangun. Namun, barangkali ini adalah cara paling sederhana untuk menimbulkan kebanggaan pada masyarakat kecil yang beliau dampingi—bahwa setiap kehidupan itu berharga, bahwa keindahan hadir dalam berbagai keadaan. Di lembah Kali Code misalnya, yang diharapkan Romo Mangun adalah kebangkitan harga diri warganya. Dari sana akan timbul semangat untuk berjuang, untuk menempuh setiap proses tanpa harus selalu disuapi. Ia menyadari bahwa pengembangan diri setiap orang sebaiknya berangkat dari apa yang dia punya dan diupayakan sendiri, sehingga buah kesejahteraan yang dipanen tidak tercabut dari akar identitasnya.

Eksplorasi arsitektur Romo Mangun menunjukkan keseimbangan antara aspek ontologi tentang hakikat dari sesuatu, epistemologi terkait cara mengetahui informasi tersebut, dan aksiologi yang membahas keberpihakan. Di ontologi, Romo Mangun berada dalam situasi di mana ia harus memahami karakter material secara mendalam hingga akhirnya menelurkan tektonika. Di epistemologi, beliau dibayangi arsitektur barat, tetapi di saat yang bersamaan menghadapi realita yang kontras, sehingga lahirlah metode mendesain yang mengkombinasikan low dan high technology. Pada aksiologi, keberpihakan Romo Mangun terhadap masyarakat marjinal menghasilkan elaborasi ketukangan yang menjadi bahasa estetika baru dan bisa dilanjutkan meski Romo Mangun sudah tidak ada. Setiap individu pasti memiliki tiga aspek ini dalam perjuangannya, hanya saja tidak banyak yang bisa menunjukkan totalitas di ketiganya, apalagi di titik aksiologi yang memerlukan empati dan keteguhan prinsip.

Ketika ditanya pendapatnya tentang Pameran Arus Silang AMI (Arsitek Muda Indonesia) di Jakarta (1992) yang mengangkat pendekatan ala dekonstruksi, Romo Mangun merasa apa yang mereka lakukan adalah cara yang ketinggalan zaman. Dalam artian, apabila arsitektur dikembangkan demi arsitektur itu sendiri—apabila fokusnya pada fungsi, ruang, dan permainan bentuk saja—kapan arsitektur bisa hadir untuk menanggapi permasalahan yang ada di Indonesia? Pada akhirnya, arsitektur bagi Romo Mangun bukanlah tujuan akhir. Ia adalah salah satu kendaraan yang dipakai untuk mendukung keberpihakannya.

Selain berarsitektur, menulis menjadi kelihaian lain Romo Mangun dalam mengkomunikasikan pemikirannya. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan dan Wastu Citra hanya segelintir dari 35 judul buku yang pernah beliau tulis. Tidak hanya tema arsitektur, beliau justru banyak menulis esai kritik sosial tentang kesejahteraan rakyat dan pendidikan, selain juga menulis soal spiritualisme dan kemanusiaan. Beliau juga menelurkan puluhan artikel yang diterbitkan dalam antologi dan berbagai media massa sepanjang 1978-1998. Kekuatan Romo Mangun ada pada gaya menulisnya. Tidak kaku dengan diksi intelek seperti tulisan akademik, tetapi justru terkesan lebih amatir dengan pendekatan yang menyentuh. Tidak dengan teori yang mendakik-dakik, tetapi berdasarkan pengalamannya langsung sebagai praktisi dan pendidik. Refleksinya memberikan interpretasi baru pada fenomena yang selama ini ada dan membuka alternatif praktik atau penyelesaian masalah. (Darwis Khudori, 2001)

Namun, di antara banyak jenis tulisan yang pernah dibuat Romo Mangun, karya fiksi menjadi kendaraan terkuatnya. Esai-esai mungkin hanya akan dibaca oleh orang-orang terpelajar, sedangkan kalangan yang menjadi targetnya seringkali tidak memiliki akses pendidikan yang memadai. Fiksi pun menjadi media yang mampu menyentuh lebih banyak audiens, dan dengan adanya karakter, Romo Mangun dapat menggambarkan kompleksitas kehidupan yang selama ini beliau renungkan. Beberapa karya fiksi yang beliau tulis antara lain: Trilogi Roro Mendut, Rumah Bambu, Pohon-Pohon Sesawi, dan tentunya yang paling dikenal Burung-Burung Manyar.

Sama dengan karya-karya Romo Mangun dalam media lain, keberpihakan terhadap rakyat kecil masih menjadi tema utama dalam karya fiksinya, dielaborasi dengan nilai-nilai filosofis dalam menghadapi ekosistem pasca-kolonialisme yang rentan di berbagai bidang (lingkungan hidup, sosio-politik, budaya, sejarah). Akan tetapi, itu semua dibalut dalam metafora yang menyembunyikan kritik tajam yang sesungguhnya. Lagi-lagi Romo Mangun bermain dengan simbolisme. Selain agar pesan lebih mudah dicerna, faktor rezim Orde Baru yang ketat sensor dan antikritik membuatnya harus mencari jalur komunikasi alternatif. Strategi ini mengingatkan pada penulis Amerika, Ernest Hemingway (1899-1961) yang juga menggunakan metafora keseharian yang interpretatif untuk mengkritik peperangan, materialisme di dunia modern, dan isu sosial lainnya.

Burung-Burung Manyar

Romo Mangun di Burung-Burung Manyar, mengajak kita menyelami kehidupan masyarakat biasa di Indonesia pada rentang masa 1934-1978. Novelnya berkisah tentang Teto, pemuda keturunan campuran Indo-Jawa pro-Belanda yang kemudian berubah setelah bertemu Atik, gadis pribumi yang cerdas dan berani, tetapi juga punya sisi feminin dan hangat. Atik diceritakan menulis disertasi tentang “Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar”. Dari situ pembaca bisa menarik makna lebih dalam dari karakter Burung Manyar yang dikenal dengan kemampuan menganyam sarang. 

Burung Manyar

Teto tak ubahnya manyar jantan yang sedang berusaha membangun “sarang” untuk betinanya, tetapi ia harus lebih dahulu menghadapi krisis identitas dan pencarian “tempat” di tengah negara yang bergejolak. Sementara, Atik si manyar betina baru bersedia dipinang setelah memastikan bahwa sarangnya aman untuk bertelur. Metafora burung manyar memberikan pelajaran bahwa yang terpenting bukanlah rasa cinta terhadap pasangan, tetapi bagaimana pasangan ini bisa menyiapkan lingkungan yang kondusif untuk bertelur dan membesarkan generasi baru burung manyar. 

Masuk era 1980-an, kondisi sosial yang kritis nampaknya membuat Romo Mangun tak lagi bisa tenang di balik jubah pastur, arsitek, ataupun penulisnya. Visi pembangunan Orde Baru yang berorientasi pada modernisme dan keindahan kota berujung pada tergusurnya kaum-kaum marjinal. 

Salah satu yang menjadi korban adalah warga bantaran Kali Code di Yogyakarta. Rata-rata mereka adalah warga desa yang tidak lagi bisa sejahtera sebagai petani dan mencoba mencari peruntungan dengan merantau, tetapi justru tidak menemukan tempat di kota. Akhirnya, mereka bermukim di “ruang-ruang negatif” dan bekerja di sektor buangan, bahkan waktu itu Kampung Code sering dicap sarang preman dan PSK. Upaya penggusuran pada pemukiman ilegal ini sudah dilakukan berkali-kali sejak 1960-an dan aliran lahar Gunung Merapi pun turut mengancam kelangsungan kampung, tetapi warga selalu berhasil untuk kembali bermukim di sana lagi.

Prihatin melihat kondisi yang kurang kondusif bagi mental masyarakat dan pembelajaran anak-anak di sana, pada 1981 Romo Mangun mulai meninggalkan kesehariannya sebagai pastor dan tinggal bersama warga di Kali Code. Romo Mangun bernegosiasi untuk merevitalisasi kampung agar lebih aman, bersih, dan tertata. Pembangunan sepanjang tahun 1983-1987 menggunakan bambu, kayu, dan material murah lainnya, ternyata berhasil meningkatkan kualitas fisik kampung ini. Simbolisme terbentuk dari bahasa arsitektur yang sederhana ini, ditambah dekorasi warna-warni dari goresan cat yang membuat suasana lebih hidup. Revitalisasi ini menumbuhkan kebanggaan pada diri warga serta mengangkat nilai Kampung Kali Code di mata masyarakat umum. Kesejahteraan sosio-ekonomi warga Code pun turut membaik seiring waktu. Pada 1992, proyek ini mendapat penghargaan Aga Khan Award for Architecture.

Perjuangan Romo Mangun masih belum berhenti di sini. Seperti pada novel Burung-Burung Manyar yang ia tulis, generasi muda selalu jadi perhatian Romo Mangun. Satu dekade terakhir hidupnya didedikasikan untuk menciptakan ekosistem pendidikan dasar yang menyenangkan dan memerdekakan. Namun, biar cerita itu kita simpan untuk lain waktu. 

Di titik ini, kita cukup tahu bahwa empati dan keinginan Romo Mangun untuk bertindak amatlah besar hingga satu cara pun tak cukup untuk menyalurkan kehendaknya. Biasanya, orang yang empatinya begitu dalam memiliki daya yang terbatas karena emosi yang menguras energi. Namun, Romo Mangun justru bisa merdeka dari jebakan ini. Jolanda Atmadjaja melihat ini sebagai respons yang matang terhadap kondisi “Split Subject”. Psikoanalis Jacques Lacan (1901–1981) mengemukakan teori ini di 1960-an, menyatakan bahwa manusia tidak pernah memiliki identitas yang utuh, melainkan selalu terpecah—di antaranya karena simbol/label/peran sosial yang tersemat pada diri dan juga gap antara kondisi ideal yang kita impikan dengan realita yang terjadi. Seyogianya, manusia akan terus mencari titik seimbang, mengejar sesuatu yang membuat dirinya merasa utuh, mengembangkan perannya terus menerus. Kebanyakan orang, terutama yang baru memulai perjalanan menemukan jati diri, mungkin akan terjebak dalam ilusi satu peran/label saja, mengiranya sebagai kondisi utuh. 

Pengalaman menghadapi realita yang ekstrem sejak muda barangkali membuat Mangunwijaya begitu cepat merespons kondisi split dan pandai memposisikan ulang dirinya dalam peran lain lantaran menyadari adanya batasan dalam peran yang sebelumnya. Ia menyadari bahwa tidak semuanya bisa diselesaikan dari satu perspektif. Ia juga menyadari bahwa tidak semua bisa diselesaikan sendirian, sehingga ia senantiasa mengajak orang lain untuk ikut bergerak. Di titik ini ia mampu merubah konstruk dengan produktivitas di banyak lini dan berkonstelasi. Ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah terjun total dan menyadari bahwa batas-batas ilmu itu sebenarnya bisa dirangkai ulang.

Berkaca pada Kampung Code, hingga saat ini ia masih berdiri, sebagian bangunan yang seharusnya temporer sudah berubah menjadi lebih permanen. Memang, ini menyalahi visi dasar Romo Mangun untuk Code sebagai shelter sementara bagi warganya sampai mereka berangsur mandiri dan pindah ke tempat yang lebih baik. Hanya saja perubahan sosial yang terjadi ternyata tidak secepat yang diimpikan Romo Mangun. Meski patut disyukuri bahwa generasi mudanya saat ini sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan punya prospek yang lebih baik daripada orangtuanya.

Melihat apa yang hadir, pertanyaannya bukan sejauh mana Romo Mangun bisa berjuang untuk Kampung Code, tetapi bagaimana visi tersebut bisa terus mengudara jauh di atas bentuk arsitektural, bagaimana memperjuangkan tempat yang membumi, dan sejauh mana kata kemerdekaan itu bisa direnungi dan dihidupkan oleh generasi penerus Romo Mangun.

Romomangun bersama anak-anak Code

English translation

Romo Mangun: Footprints of Architecture That Humanizes

During the process of writing this article, a designer at our studio asked, “Why does Kak Rich write about Romo Mangun? Why do we, the younger generation, need to know about him?”

Well, studying the figure of Romo Mangun is not merely a historical responsibility. Reflecting on the author’s practice in Jakarta, amid the hustle and bustle of provocative, business-oriented architecture in the capital, Romo Mangun, through his work, demonstrated that many segments of society need a more accessible approach. Indonesia is not just about Jakarta, and his endeavors strategically addressed this dilemma through his multifaceted roles, breaking through the often contradictory boundaries of the architectural profession.

An essay by Realrich Sjarief and Hanifah Sausan

In a meeting with the late Adhi Moersid, he shared his experience of studying alongside Y.B. Mangunwijaya at ITB (Bandung Institute of Technology) in 1959–1960. According to him, Mangunwijaya often came to campus wearing his priestly robes. This snippet of memory might seem amusing to those of us more familiar with Mangunwijaya through his built works—though we know he was often called “Romo” (a Javanese term for a Catholic priest), and many of his projects were Catholic religious facilities.

Drawing a parallel with Antoni Gaudí, whom we discussed previously, Mangunwijaya was a “species” of architect whose work transcended the boundaries of design, extending into teaching, writing, activism, and service. From his priestly robes to the tales of weaverbirds and bamboo weaving along the banks of Kali Code, what drove Mangunwijaya to pursue this multispectral path? What vision did he champion?

Born on May 6, 1929, in Ambarawa, Central Java, into a Catholic family with both parents as teachers, Yulianus Sumadi Mangunwijaya grew up in a religious and educated environment. From a young age, he aspired to become an architect, but before he could finish school, he joined the struggle for independence as a student soldier from 1945 to 1948. During this time, he witnessed how villagers supported the soldiers while also becoming victims of colonial brutality. He saw his comrades fall, and it’s likely he himself experienced moments on the brink of life and death.

At that point, he may have realized that surviving such events was a blessing in itself, and that life was too precious to live halfheartedly. Mangunwijaya felt compelled to “repay a debt to the people,” and the path he chose was service as a priest. At the age of 21, he enrolled in St. Paulus Seminary in Yogyakarta, despite being older than most of the other aspiring priests.

In the book The Altruism of Romo Mangun by Darwis Khudori, it is explained that after graduating from Sancti Pauli, Mangunwijaya was ordained as a priest by Bishop Albertus Soegijapranata. He took on the official name we now know well: Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. However, just one day after becoming a priest, Bishop Soegija requested that he study architecture, so he could build places of worship in various regions with a local architectural language rather than a colonial one. This led him to study at ITB, where he met Adhi Moersid in 1959–1960, before later continuing his education at the Rhein Westfalen Technical School in Germany, where he earned his degree.

Upon returning to Indonesia, Romo Mangun began constructing numerous churches and retreat houses in Yogyakarta (DIY) and Central Java (Jateng). He also designed projects beyond the church’s scope, including residences, boarding houses, housing complexes, and schools. Some of his notable works include the Maria Assumpta Church (1967–1969), Sendang Sono (1972–1991), the Kali Code Riverside Settlement (1983–1987), Arief Budiman House (1986–1987), Wisma Kuwera (1986–1999), Fermentum Seminary (1996), and many others.

Looking at the development of Indonesian architecture post-independence, there was always an urgency to define what Indonesian architecture should be. At the time, Western modern architecture was the preferred style to build a new, strong national identity, initiated by President Soekarno and continued under President Soeharto through monumental projects and urban planning.

However, Romo Mangun lamented the application of architecture without consideration for Indonesia’s tropical climate and culture, as seen in Jakarta with its concrete-and-glass buildings. Moreover, architecture that required industrial materials and advanced construction techniques was difficult to implement for ordinary people, most of whom lived in small towns or villages—a reality Mangunwijaya knew well from his childhood and his daily life as a priest. Thus, alongside the need to define a national identity through architecture, there arose a concern for an Indonesian architecture that was relevant to the climate, natural resources, and daily lives of the general populace.

The generation of architects active at the time, such as Friedrich Silaban, Soejoedi, and Romo Mangun himself, mostly studied architecture abroad, particularly in Germany. It’s no surprise, then, that the architectural language they used was heavily influenced by modernism. However, each architect had their own way of interpreting local climate conditions and Indonesian society in their works.

Friedrich Silaban (1912–1984), despite working on monumental projects with modern mass compositions, always incorporated wide openings and louvers to block direct sunlight. Soejoedi Wirjoatmodjo (1928–1981) preferred using wide eaves instead of louvers to respond to the climate. Culturally, he drew inspiration from the Javanese concept of inner and outer spaces as a basis for balanced spatial programming, even though his mass compositions were entirely new and conveyed an independent image.

Meanwhile, Adhi Moersid, a peer who studied locally, took a more localized approach with his concept of Wooden Board Architecture, as outlined in his book Kagunan. The principle involved combining two flat wooden boards to form a stronger rafter, enabling roof construction without purlins. This concept marked a leap from frame structures to planar structures. The arrangement of wooden boards also produced a neater and more aesthetically pleasing visual when exposed, creating a “new ceiling.”

Each of these architects had their own methods for working with space and materials. For the monumental scale of Silaban and Soejoedi’s works, concrete and fabrication techniques were relevant. Even simple visuals required a specific tectonic approach to ensure seamless connections between materials. Adhi Moersid’s approach was more technocratic, focusing on the science itself and the context of cost, quality, and time in a project. He pushed boundaries with natural, local wood materials, though these still needed to be sourced from the “market” with uniform specifications.

When it comes to Romo Mangun, every aspect was thoroughly explored. From the shape of the roof to the arrangement of bricks, the texture of concrete, and the details of joints—nothing was overlooked. Yuswadi Saliya once described Sendang Sono with the expression, “His desire to create left its mark everywhere. Witnessing it can be exhausting; the details tell an unending story, greeting you at every curve and turn. Triangles and rectangles form planes and spaces that echo and resonate, rising and falling in tiers, creating a human-made spectacle that blends with the winding river and the ridges and valleys of the hills. It’s incredibly complex. Diverse.” Diversity in technique became the hallmark of Romo Mangun’s architecture. His concept was variational or hybrid, reflecting the context of the location where his architecture stood.

In terms of mass composition, he often explored sloped roof forms, considering the use of tiles as a covering that was easily available and relatively affordable compared to concrete roof installations, especially given Indonesia’s high rainfall. Romo Mangun’s roofs spanned wide, often dominating the building’s image. With low body proportions, there seemed to be an effort to keep the scale humane, making maintenance easier.

To support these roofs, a variety of materials were used. Out of his roughly 30 built works, more than a dozen churches primarily used concrete as a structural element. Sometimes it served merely as columns when the roof span could still be supported by wooden structures; other times, it appeared as beams when the church’s capacity was too large. Meanwhile, in smaller churches, retreat houses, schools, or residences with modest areas, the primary structural role was typically taken by wood.

However, even when concrete was used, Romo Mangun was not accustomed to leaving it plain. Patterns were etched into it—sometimes in regular designs, sometimes using molds made from bamboo or reclaimed wood—giving an organic impression, like a tree within the building. The dimensions of the concrete were kept slender and arranged in rhythmic repetition to soften its rough, heavy character (Tjahjono, 1995). Sometimes, cantilever beams were molded to resemble branches. In Romo Mangun’s hands, concrete became softer and often felt organic.

Moving to the body of the building, Romo Mangun often designed his public spaces, especially churches, to be open without enclosing walls, except for a single row behind the altar. First, this maximized airflow—similar to Silaban’s belief that Indonesia needed wide roofs to shield from the sun’s heat rather than walls that block the equatorial breeze, which moves at a modest speed. Second, this was due to his concept of the “market church.” Romo once advised, “When religiosity becomes more deeply rooted in the light of God, then the true human being is a reflection of God’s own shadow” (Mudji Sutrisno, 2001). There was no urgency to separate the sacred space of the church from the “market” of daily life. Instead, that boundary was opened to bridge the souls seeking God’s light.

When a wall was needed, it took various forms: brick, wood, bamboo, natural stone, concrete, or a combination of them all. The parameters were not far from budget constraints, material availability on-site, the creativity of craftsmanship, and community empowerment. For example, the Convent of the Sisters of the Mother of Unity in Gedono, Salatiga, was initially designed with brick walls. However, when Romo Mangun surveyed Gedono, he noticed that many locals worked as gravel stone cutters. He had the idea to employ them to cut larger stones from the nearby Banaran area, which was closer than sourcing bricks from Klaten. This reduced costs, and the locals learned new skills in cutting large stones neatly. Materials that seemed ordinary were transformed in an extraordinary way.

For the floors, in some of his works constructed with wood—particularly residences—Romo Mangun often applied a raised floor structure. Examples include parts of Wisma Salam, Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and Wisma Kuwera. This was a response to Indonesia’s humid tropical climate, which can affect wood. But beyond that, the combination of raised and conventional floor structures within a single work created a dynamic play of heights, making the spaces within feel delightful!

Romo Mangun’s architecture became a key precedent in the collaboration between low technology and high technology. Julia Watson, in her book Lo-TEK (2019), explains that low technology, or lo-tech, is often associated with simple, unsophisticated, uncomplicated systems or machines from before the industrial revolution. We also see it as an intuitive and impulsive method, with solutions that emerge spontaneously on-site. Conversely, high technology (high-tech) is new, advanced, and gives the impression of being a better option. Watson reveals that high-tech systems, which attempt to be a solution for all problems, often contradict the heterogeneity or diversity within the complexity of ecosystems.

Therefore, high-tech isn’t always the answer. The combination of lo-tech and high-tech became the middle ground Romo Mangun adopted to address the gap between cutting-edge Western architecture, which dominated the world, and the local architecture that was part of Indonesian daily life at the time. This reflection on his concerns eventually led to the creation of the books Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (Introduction to Building Physics) and Wastu Citra (The Image of Building).

Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan (1980) focused more on technical aspects and responses to Indonesia’s tropical climate, as well as natural phenomena like earthquakes. It included a special chapter discussing the application of local materials such as bamboo, wood, and brick, which were suitable for Indonesian conditions. Aimed at students and non-academic practitioners, the book was written in simple language with diagrams and practical examples. There was an understanding that society had limited access to high technology, so Western-based architectural education needed to be balanced with knowledge of building methods relevant to local conditions.

Meanwhile, Wastu Citra (1988) took a more discursive perspective. Published at a time when Romo Mangun no longer wished to serve as a priest and was more involved in activism with the lower classes, he likely saw how traditional building practices and those developed in daily life were often not considered part of architecture. Thus, he used the term “wastu,” which encompasses all forms of building activities, to level the playing field.

Revianto B. Santosa, in the documentary Wastu, observed how Romo Mangun took a “universal” approach in this book: not only discussing the strengths of Indonesian architecture with its tropical climate and vernacular culture but also including chapters on Western architecture and its philosophy, as well as international inspirations from Greece, Japan, and India. When discussing deeper cosmological meanings beyond the physical form of wastu, Romo Mangun drew on studies from various cultural and religious traditions around the world. However, he ultimately concluded the book with a call to blend the best elements from each pole to bring prosperity to all, including the marginalized.

In our view, beyond just combining low and high technology, Romo Mangun’s commitment to the common people extended to the very dimensions of the materials he used. Take a joglo—a traditional Javanese house from the low-tech tradition; its use was no longer relevant for the lower classes because large, long, and solid wooden beams were unaffordable. Romo Mangun had to work with shorter pieces of wood—and whatever materials were available, even if they were scraps or what others might consider trash. From our interview with Rina Eko Prawoto, it was common for Romo Mangun to ask workers to remove nails from a piece of wood. Both the wood and the nails would be reused for other needs.

We had the chance to visit Wisma Kuwera. At first glance, the building seems to respond to Yogyakarta’s urban context by creating a dense program of spaces within. Its modular dimensions are no larger than 3 meters, with a vertical composition that interlocks, featuring floor height variations between 1 and 1.5 meters. The spatial experience it creates is truly fascinating, prompting the question, “How did Romo come up with something like this?” Upon further reflection, those small dimensions were a response to limited access to massive materials, creatively arranged to form an innovative spatial composition.

Material limitations also gave rise to multifunctional elements. One example is the A-frame structure, which was later widely used in Sendang Sono, Arief Budiman House, Kampung Code, and the Gedono Convent. Here, the roof also served as a wall, and the columns doubled as the roof frame. It was like an attic but used as a primary space. The presence of actual walls or other elements grew as needed, allowing the building to transform elegantly.

When access to materials was so limited, one had to understand how to maximize what was available. Perhaps this was the seed that produced Mangunwijaya’s tectonics. Quoting Mahatmanto (2001, Tectonics of YB Mangunwijaya), “Understanding the material is the starting point in building, and that can only be done by directly touching and feeling the qualities it holds.”

Yuswadi Saliya once had the chance to observe Romo Mangun while he was about to build a partition wall from lattice blocks. He spent a long time turning the blocks over. “Stacking them, lining them up, angling them… He examined them from the side, from below, stepping back and then shifting… Searching for the most harmonious position, composing the most melodious tune.” The elaboration was done without drawings, relying on sensory sensitivity as a human interacts with the form of space. Yuswadi saw this as a form of freedom.

In his process, Romo Mangun worked closely with the workers. He didn’t just oversee them—he educated them, and often, he learned new things from them as well. Their significance was so great that he dedicated a page in Wastu Citra to them: “This book is written to honor the workers and field laborers who, in their own way, have become master teachers of architecture to me.” They were the ones Romo Mangun wanted to invite to achieve freedom together.

Romo Mangun focused on the creative process, not just to make money through a capitalist approach, but to use the money earned to bring prosperity. Eko Prawoto once shared a story about his teacher: “Romo created those details not for aesthetic reasons, but to prolong the work, so the workers could stay employed longer at the site.” It’s possible that the cost spent on labor exceeded the cost of materials.

This reminds us of the architect Louis Kahn when he designed the National Parliament Building in Dhaka, Bangladesh. His project created many new jobs and became a means of skill development for local workers. What sets them apart is their choice of materials. For a project as large as the Parliament Building, the use of concrete and marble created a craftsmanship gap in a society accustomed to building with earth, bamboo, wood, and brick.

This is where Romo Mangun’s choice to combine low and high technology becomes significant. As a result, the workers could continue working on something familiar to their daily lives while also learning new materials or techniques together. A circular resource system emerged, with leftover or used materials reentering the cycle alongside workers who were re-empowered. Mahatmanto, in the documentary Wastu, explained how Romo Mangun recognized the heterogeneous quality of society: “So he took the lowest threshold to ensure that all materials, craftsmanship, and skills possessed by the workers could be utilized optimally.”

However, simple techniques didn’t mean ordinary results. On the contrary, the low-threshold approach opened opportunities for everyone to participate. Often, the workers proposed new ideas that Romo Mangun hadn’t thought of before. Gunawan Tjahjono described this process as a jazz performance, where each player has the freedom to enrich the song: “From the workers to the users, everyone was involved and had the chance to interpret. The participants had the space to express themselves through parts of the building they might inhabit for a lifetime.” Ultimately, after Romo Mangun was no longer there to guide them, it was hoped that the users and workers could continue or maintain the buildings independently.

The buildings’ performance was also designed to educate. At the Fermentum Seminary in Bandung, for instance, Romo Mangun divided the residence for the fraters (priest candidates) into small units of 5–6 people to form small, family-like communities that knew each other well. The combination of low and high technology was again applied, introducing a sense of temporariness that required regular maintenance. “Romo Mangun said, ‘Let it be, so the fraters in each unit can compete to see which unit is the best maintained,’” said Father William. Romo Mangun seemed to emphasize that being a priest is not a privilege but a role to serve the community. This awareness was cultivated through daily habits—using facilities appropriately and repairing any damaged parts.

The values of everyday life were one of the lessons we found in Romo Mangun’s figure. Beyond being translated into spatial programs and overall designs, he seemed to capture the good aspects of society’s daily life and celebrate them through symbolism. This could take various forms, from unique masses as focal points to repetitive structures, material arrangement patterns, and decorative elements.

The use of symbolism might seem superficial for a thinker as profound as Romo Mangun. However, this might have been the simplest way to instill pride in the small communities he served—that every life is valuable, that beauty exists in all circumstances. At the Kali Code valley, for example, what Romo Mangun hoped for was the revival of the residents’ self-esteem. From there, a spirit to strive would emerge, to go through every process without always being spoon-fed. He realized that personal development should stem from what one has and be achieved independently, so the fruits of prosperity reaped are not uprooted from their identity.

Romo Mangun’s architectural exploration demonstrates a balance between ontology (the essence of something), epistemology (the way of knowing that information), and axiology (the study of values and biases). In ontology, Romo Mangun was in a position where he had to deeply understand the character of materials, ultimately giving birth to his tectonics. In epistemology, he was overshadowed by Western architecture but simultaneously faced a contrasting reality, leading to a design method that combined low and high technology. In axiology, Romo Mangun’s commitment to the marginalized produced a craftsmanship elaboration that became a new aesthetic language, one that could continue even after he was gone. Every individual undoubtedly has these three aspects in their struggle, but few can demonstrate totality across all three, especially in axiology, which requires empathy and steadfast principles.

When asked his opinion on the 1992 Arus Silang AMI (Young Indonesian Architects) Exhibition in Jakarta, which promoted a deconstructivist approach, Romo Mangun felt that what they were doing was outdated. In the sense that if architecture is developed for architecture’s sake—if the focus is only on function, space, and form—when will architecture address the real issues in Indonesia? Ultimately, for Romo Mangun, architecture was not the end goal. It was merely one vehicle he used to support his advocacy.

Beyond architecture, writing became another skill Romo Mangun used to communicate his thoughts. Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan and Wastu Citra are just a few of the 35 books he authored. His works weren’t limited to architecture; he wrote extensively on social critique regarding people’s welfare and education, as well as on spirituality and humanity. He also produced dozens of articles published in anthologies and various mass media from 1978 to 1998. Romo Mangun’s strength lay in his writing style. It wasn’t rigid with intellectual diction like academic writing but felt more amateurish in an approachable way. It wasn’t laden with lofty theories but was based on his direct experience as a practitioner and educator. His reflections offered new interpretations of existing phenomena and opened alternative practices or solutions to problems (Darwis Khudori, 2001).

However, among the many types of writing Romo Mangun produced, fiction became his most powerful medium. Essays might only be read by the educated, while his target audience often lacked access to adequate education. Fiction became a medium that could reach a broader audience, and through characters, Romo Mangun could depict the complexities of life he had long contemplated. Some of his fictional works include the Roro Mendut Trilogy, Rumah Bambu (Bamboo House), Pohon-Pohon Sesawi (Mustard Trees), and, of course, the most well-known, Burung-Burung Manyar (The Weaverbirds).

As with his works in other media, his commitment to the common people remained the central theme in his fiction, elaborated with philosophical values in facing the fragile post-colonial ecosystem across various fields (environment, socio-politics, culture, history). However, this was all wrapped in metaphors that concealed his sharp critiques. Once again, Romo Mangun played with symbolism. Besides making the message more digestible, the strict censorship and anti-criticism stance of the New Order regime forced him to find alternative communication channels. This strategy is reminiscent of the American writer Ernest Hemingway (1899–1961), who also used interpretive metaphors of daily life to critique war, materialism in the modern world, and other social issues.

In Burung-Burung Manyar, Romo Mangun invites us to delve into the lives of ordinary Indonesians from 1934 to 1978. The novel tells the story of Teto, a young man of mixed Indo-Javanese descent who initially sided with the Dutch but changed after meeting Atik, a smart and brave indigenous girl with a feminine and warm side. Atik is depicted as writing a dissertation on “Identity and Visual Language in the Communication Structure of the Weaverbird (Ploceus Manyar) Variety.” From this, readers can draw deeper meanings from the weaverbird’s character, known for its nest-weaving ability.

Teto is akin to a male weaverbird trying to build a “nest” for his mate, but he must first confront an identity crisis and a search for his “place” in a turbulent nation. Meanwhile, Atik, the female weaverbird, is only willing to be courted after ensuring the nest is safe for laying eggs. The weaverbird metaphor teaches that the most important thing is not the love for one’s partner but how the couple can create a conducive environment for laying eggs and raising the next generation of weaverbirds.

Entering the 1980s, the critical social conditions seemed to make Romo Mangun unable to remain at ease behind his roles as a priest, architect, or writer. The New Order’s development vision, which prioritized modernism and urban beautification, led to the displacement of marginalized communities.

One group affected was the residents along the banks of Kali Code in Yogyakarta. Most of them were villagers who could no longer prosper as farmers and sought better fortunes by migrating to the city, only to find no place for themselves. They ended up settling in “negative spaces” and working in discarded sectors, with Kampung Code often labeled at the time as a den of thugs and sex workers. Eviction attempts on this illegal settlement had been made multiple times since the 1960s, and the lava flows from Mount Merapi further threatened the village’s survival, but the residents always managed to return and resettle.

Concerned about the conditions that were detrimental to the community’s mental well-being and children’s education, in 1981, Romo Mangun left his daily life as a priest and began living with the residents of Kali Code. He negotiated to revitalize the village to make it safer, cleaner, and better organized. Construction from 1983 to 1987, using bamboo, wood, and other affordable materials, successfully improved the physical quality of the village. Symbolism emerged from this simple architectural language, enhanced by colorful decorations from painted strokes that brought the atmosphere to life. This revitalization fostered pride among the residents and elevated the value of Kampung Kali Code in the eyes of the wider community. The socio-economic welfare of the Code residents also improved over time. In 1992, this project received the Aga Khan Award for Architecture.

Romo Mangun’s struggle didn’t stop there. As in his novel Burung-Burung Manyar, the younger generation was always a focus for him. The last decade of his life was dedicated to creating a joyful and liberating elementary education ecosystem. But let’s save that story for another time.

At this point, it’s enough to know that Romo Mangun’s empathy and desire to act were immense, to the extent that a single medium was not enough to channel his will. Typically, people with such deep empathy have limited capacity due to the emotional toll it takes. However, Romo Mangun managed to break free from this trap. Jolanda Atmadjaja sees this as a mature response to the “split subject” condition. Psychoanalyst Jacques Lacan (1901–1981) introduced this theory in the 1960s, stating that humans never have a whole identity but are always fragmented—partly due to the symbols, labels, or social roles attached to them, and the gap between the ideal conditions we dream of and the reality we face. Ideally, humans will continually seek balance, chasing something that makes them feel whole, constantly evolving their roles. Most people, especially those just beginning their journey of self-discovery, might get trapped in the illusion of a single role or label, mistaking it for wholeness.

Perhaps Mangunwijaya’s experiences facing extreme realities from a young age allowed him to quickly respond to this split condition and adeptly reposition himself in other roles, recognizing the limitations of his previous ones. He understood that not everything could be resolved from a single perspective. He also realized that not everything could be solved alone, so he consistently invited others to join the movement. At this point, he was able to reconstruct frameworks, being productive across multiple domains and forming constellations with others. This can only be achieved by someone who has fully immersed themselves and realized that the boundaries of knowledge can be reimagined.

Looking at Kampung Code, it still stands to this day, though some buildings meant to be temporary have become more permanent. This does go against Romo Mangun’s original vision for Code as a temporary shelter for its residents until they could become independent and move to better places. However, the social changes that occurred were not as rapid as he had hoped. Still, it’s worth celebrating that many of the younger generation there now have higher education and better prospects than their parents.

Given what remains, the question is not how far Romo Mangun could fight for Kampung Code, but how his vision can continue to soar far beyond its architectural form, how to advocate for a grounded place, and to what extent the concept of freedom can be contemplated and brought to life by Romo Mangun’s successors.

Kategori
blog

Event Session: Design Perspective – Kolkata Edition

[Repost from instagram @designperspective_]

A full house and an inspired audience

@rawarchitecture_best (@realricharchitectureworkshop session at Design Perspective – Kolkata Edition was nothing short of transformative. 🌿✨

With his signature philosophy rooted in simplicity, humility, and craftsmanship, he walked us through a series of soulful projects that celebrated local materials and honest architecture.
Every story he shared, every detail he revealed, reminded us that design is at its best when it’s grounded, sustainable, and deeply human.

(Design, Perspective, Kolkata, Success, Event, Architecture, Keynote, Speakers, International architects, Showcase, Inspiration, Audience, Highlights.)

#designperspective#kolkata#cityplanning#sustainablecities#futureofdesign#urbandevelopment#architectureinsights#foaid2025#designleaders#keynotespeaker#eventhighlights

Kategori
blog

Part 1 Lumintu

Part 1 Lumintu

Foto ini diambil @aryophramudhito , ia mulai dari memahami objek, ruang, dari bawah, prosesnya saya lihat sendiri ia berjuang untuk mendapatkan satu sudut yang tidak mudah.

Di slide seterusnya dijelaskan proses desain, yang tidak mudah, bagaimana memahami site, suhu yang panas, juga karakter klien yang baru kenal, memerlukan waktu untuk memahami problem lingkungan, juga klien yang akan di olah lebih lanjut. K‪lien kami mendamba sebuah rumah yang tropis dan fungsional. Mereka adalah keluarga yang sibuk sehari – hari bekerja di pabrik, dan ingin di rumah memiliki nuansa yang reflektif, seperti ada di oase di tengah kepadatan Jakarta.

Sedangkan di tahun 2017, kami baru mengerjakan proyek alfa omega, selesai dengan proyek Dancer House, dan beberapa proyek lain yang konsepnya relatif sederhana. Beton digunakan karena strukturnya efisien dan bisa diterima oleh klien. Penggunaan materialnya juga tidak neko – neko sederhana dan ditujukan supaya lebih ekonomis, ketukangan lokal diutamakan. Jadi uang, resources bisa digunakan untuk hal – hal yang lain. Rumah tinggal pribadi memiliki ciri khas akan keputusan yang berpusat dari relasi klien dan arsitek.

kelenturan dari ketukangan bambu yang menjaga kestabilan, cara berpikir tersebut lah yang kami dapat di 2017. Cara berpikir kelokala yang semakin lama semakin dalam, bagaimana setiap sudut dan detail material perlu dilakukan secara lokal. Penggunaan besi kecil menjaga kestabilan, microclimate dengan cantilever yang panjang, massa yang ringan dengan Harga yang ekonomis. Selain itu ekspreksi naik turun dari bentuk kanopi merupakan hasil dari parameter agar tidak menutupi pandangan dari dalam keluar ruangan, dengan tetap menjaga kestabilan dan estetika.

Filosofi di RAW selalu adalah bagaimana membuat bangunan dengan variasi yang kreatif, dan memiliki konsep dan detail yang kritis. Dari perumusan konsep sampai material, seluruhnya didiskusikan, dan postingan ini bercerita tahap awal sekali, dimana pemahaman tentang lingkungan berupa, level tanah, bentuk tanah, drainase, dan kondisi tapak kiri kanan jadi hal yang spesifik.

Photography by @aryophramudhito
Design by @realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Culture by Design featuring Guha the Guild

“An architect shouldn’t just tell their own story, they should listen, comprehend, and gather the stories. That’s how we create not a single narrative, but thousands of stories. Architecture is a mission, not only just a business.” – Realrich Sjarief for Culture by Design on ABS Australia

Tune in to Episode 5 – SUSTAINABLE also featuring Britta Knobel Gupta, Amit Gupta, and Alvin Tjitrowirjo on ABC Australia, Sunday, 18th May 2025.

Culture by Design is a architecture cultural journey across Asia with Australian presenter and international design expert Anthony Burke featuring the creative visionaries shaping the future of design.

Berbicara tentang kultur bukanlah hal yang mudah, ini seperti proses melintasi ruang dan waktu. Studio RAW memulainya dari bawah, termasuk praktik dari garasi, mendapatkan dukungan dari klien-klien kami, rumah tinggal pribadi, renovasi, proyek publik, komersial sampai sekarang meneruskan energi positif dari banyak orang.

Di tahun 2016 kami menyusun bagaimana perpustakaan OMAH, buku, dan literasi dapat menjadi perjuangan yang nyata sekaligus menjadi fondasi dari arsitektur yang edukatif bersama begitu banyak kontribusi. Bagi kami, arsitektur mencerminkan semangat untuk terus belajar dan bertumbuh.

Dalam film dokumenter Culture by Design yang dibuat oleh ABC Australia oleh Anthony Burke, Justine May, Claudine Ryan, Mim Stacey, Andrew Dorn, Alan Stalich, Frank Lotito, Rachel McLaunghlin, Christos Agripoulous dan Tim Smith. ABC Australia memberikan begitu banyak pertanyaan mengenai Nest House atau Guha. Guha atau Nest House ini tempat di mana begitu banyak hal terjadi: tempat tinggal, tempat belajar, tempat menulis. Guha the Guild sendiri adalah rumah petak, gua yang mencerminkan kepadatan penduduk Jakarta yang tinggi. Ketika tempat tinggal menjadi mahal, kami berkumpul dan menciptakan ruang yang lebih terjangkau, lebih padat, namun tetap nyaman.

Seperti panasnya matahari yang kita atasi secara arsitektur dengan cara sederhana: menciptakan kenyamanan tanpa biaya tinggi. Arsitektur, menurut kami, seharusnya ekonomis dan memiliki fungsi yang baik — melampaui sekadar gaya atau estetika.

Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Almarhum Pak Eko Prawoto dan juga tim RAW, ada begitu banyak orang hebat di balik proses kebersamaan ini melintasi ruang dan waktu melalui tulisan, buku, teori, dan diskursus arsitektur, dan kami sangat berterima kasih atas setiap dukungan. Terutama kepada ABC Australia, yang telah mengangkat cerita Design by Culture. Kami merasa sangat terhormat. Semoga film ini apa yang dikerjakan oleh tim ABC Australia dapat menjadi berkat bagi banyak orang.

#culturebydesign #realricharchitectureworkshop #abcdesignseries #realrichsjarief #designfuture #sustainabledesign #creativevisions #designasia #indonesiandesign #jakartadesign #indonesianarchitecture #designleaders #regenerativedesign #designvisionaries #designforgood #designinspo #asiancreatives #futurebydesign #designinspiration #designculture #anthonyburke

Kategori
blog

Design Perspective – Kolkata Edition

[Repost from instagram @designperspective_]


We are honoured to welcome @rawarchitecture_best, Founder of @realricharchitectureworkshop, Indonesia , as a keynote speaker at Design Perspective – Kolkata Edition, an initiative by FOAID.

Known for his philosophy rooted in simplicity, humility, and craftsmanship, Realrich creates architecture that is both soulful and timeless. His work with local materials and honest forms defines a unique approach that is grounded, sustainable, and deeply human.

🗓️ 23rd May 2025
📍Taj Taal Kutir
🕕 5:00 PM Onwards

Join us for an inspiring evening as he shares the RAW way of building — where emotion, context, and intention come together in the purest form.

[Event, Architecture, Architect, Architecture event, interior design, Speaker, Brand, Indian Architects, Networking]

#designperspective#kolkatacity#kolkata#interiorstyling#luxurydesign#moderndesign#architects#kolkataarchitects#architecture#architecturelovers

Kategori
blog lecture

Craftsmanship Grammar: Bringing Craftsmanship Roots to Life

Craftsmanship Grammar: Bringing Craftsmanship Roots to Life

We will share a lecture at Yonsei University, diving into the evolution of RAW Architecture’s design at Yonsei University, one of the oldest, prestigious architecture universities in Korea. Building on our Underdog Philosophy lecture, which tackled Indonesia’s challenges like unaffordable housing and cultural gaps while celebrating its tropical resilience and craftsmanship, we’ll explore how our underdog spirit has grown into a revolution of craft.

Where: Room A563, Yonsei University, Seoul
When: Thursday, May 1, 2025, 6:00 p.m.

Our Principal, Realrich Sjarief will share about the concept of Grammar is about seeing design as a whole—from the tiniest details to the big picture, micro to macro, and back again. Our principal, Realrich Sjarief, will share three key perspectives: Methodology Grammar: How we research and lay a strong design foundation. Tectonic Grammar: The language of buildings, where structure and form vibe together. Craftsmanship Grammar: The final touch, where skilled hands turn details into living projects.

From raw concrete to bamboo, bricks, and woven steel, we use low-cost materials with a high-quality process, like CRISPR in genetic design: precise, natural, and transformative, without forcing the material’s essence. Our focus is detail-oriented, moving from small-scale to large, creating solutions for communities in Jakarta’s urban hustle, Yogyakarta’s cultural core, vernacular regions, and the visionary Nusantara. The presentation will share community house, library building, and private residence to dream a model of public project later on. These collaboration linked RAW with its community, clients, and engineering from low to high technology.

Yonsei University, a centre of Korean architecture blending tradition and innovation, is the perfect place to explore how craftsmanship and philosophy shape design’s future. Join us to see how we turn craft into reality! Yonsei is one of the three most prestigious universities in the country, part of a group referred to as SKY universities.

Photograph by:
1: @bacteria.archphotography
2: @mariowibowo_
3: @bacteria.archphotography@yophrm_ @luil_mn
4: @yophrm_ @luil_mn
5: @bacteria.archphotography, @luil_mn
6: @yophrm_
7, 10 (diagram) : @rrianditaa @adityakosman @tyoadngrh
8: @kiearch
9, 11: @yophrm_

Kategori
blog

Petualangan ke Baduy

Perjalanan yang tidak terlupakan, diajak
mas Cahyo Novianto, bareng Fitri, Hanifah, dan
rombongan anak-anak Universitas Mercu Buana kami
memulai petualangan ke Baduy, Desa Kanekes, Lebak,
Banten. Beliau punya visi bagaimana arsitektur bisa
dilihat dari sudut pandang yang lebih holistik,
substansial akan tradisi dan modernitas. Disitulah ada
krisis -krisis, komunal juga personal

Kami datang untuk belajar dari masyarakat adat
sekaligus mendukung survei ekspedisi tim Mercu
Buana. Perjalanan yang jauh terasa ringan berkat
pemandu kami yang penuh semangat. la berjalan tanpa
henti, kang Sarpin dan kang Cahyo membuat kami ikut
melaju hingga waktu tempuh terpangkas setengah.

Di Baduy, kami disambut hamparan hutan, aliran Sungai
Cisimeut, dan kampung-kampung sederhana yang kaya
makna. Mas Cahyo, yang sangat memahami budaya
Baduy, menjadi pencerah. la menjelaskan bagaimana
masyarakat Baduy menjalani kehidupan sehari-hari
dengan kearifan lokal: hidup selaras dengan alam, tanpa
teknologi modern (terutama di Baduy Dalam), dan
mengandalkan pertanian organik serta sumber daya
hutan.

Salah satu pelajaran menarik adalah tentang leuit,
lumbung padi tradisional. Mas Cahyo menunjukkan
perbedaan leuit lenggang dan leuit kampung. Leuit
lenggang, khas Baduy Dalam, adalah lumbung
panggung tinggi dengan tiang panjang, dilengkapi kayu
bundar (gelebek) anti-tikus dan batu rata (tatapak)
anti-rayap. Leuit ini sakral, menyimpan padi hingga 100
tahun sebagai simbol ketahanan pangan dan
penghormatan pada Dewi Sri. Sebaliknya, leuit
kampung (atau leuit gugudangan/handap) di Baduy
_uar lebih rendah, dengan tiang pendek atau hampir
menyentuh tanah. Meski fungsinya sama, leuit kampung
lebih sederhana

Kami juga melewati Jembatan gajeboh, struktur
menakjubkan di atas Sungai Cisimeut yang
menghubungkan kampung Batara (Baduy Luar) dengan
ladang dan desa lain. Terbuat dari akar pohon karet dan
bambu, jembatan ini terbentuk alami selama puluhan
tahun.

Kategori
blog lecture

Roots and Reach of RAW Architecture: The Philosophy of Underdog Studio

Realrich Sjarief will present the lecture theme “Roots and Reach of RAW Architecture: The Philosophy of Underdog Studio”

Venue: 2F, OneOOne Architects (115-9, Daeshin-dong, Seodaemun-gu)
Hosted by: Director Park Chang-hyun (A-round Architects), Director Park Sun-young (O-scape Architekten)
Time: Wednesday, April 23, 2025, 7:00 p.m. – 9:00 p.m.
Hosted by: Director Park Chang-hyun (A-round Architects), Director Park Sun-young (O-scape Architekten)

Here is the synopsis of the presentation :

Indonesia, a vast archipelago brimming with cultural diversity, faces critical challenges: unaffordable housing, a culture of status quo, and gaps in literacy and critical thinking. Yet, its tropical climate, abundant materials, skilled craftsmanship, and rich historical inspirations offer immense potential.

Realrich, principal of RAW Architecture, will deliver a lecture in Korea exploring the philosophy of the “underdog studio” through the lens of Roots and Reach. Roots embody a radical, fundamental philosophy of survival—grounded in the resilience and essentials of human existence across Jakarta’s urban density, Yogyakarta’s cultural heart, Indonesia’s vernacular areas, and the envisioned Nusantara. Reach envisions independence and liberation through cooperation, inspired by Indonesia’s declaration of freedom, aspiring toward transformative futures in these diverse contexts.

This discourse examines the limit of architecture—the boundaries of space, form, and order—where constraints of site, culture, and resources shape innovative solutions. Using Jakarta, Yogyakarta, vernacular areas, and Nusantara as case studies, the lecture navigates disparities between urban and rural, center and periphery, and the tension between modernity and vernacularity. It will also reflect on Nusantara as an architectural concept of a postcolonial move, redefining identity and progress within the limits of spatial and formal order.

At its core, RAW Architecture’s ecosystem is driven by design by research, responding dynamically to data, climate, economic constraints, management, community needs, symbolic meaning, and visionary aspirations. As architects, academics, and lifelong learners, we anchor ourselves in roots to address challenges in Jakarta, Yogyakarta, vernacular areas, and Nusantara, reaching beyond the limits of architecture to create imaginative, inclusive solutions that empower the underserved.

언형세미나(Language + Form) No.20

인도네시아 건축가 RAW Architecture의 Realrich Sjarief를 초청하여 25년 4월 23일(수) 19시~21시에 동남아시가 건축가 시리즈 중 두번째 시간을 갖습니다

.
언형세미나#20 참가신청은 4월 16일(수) 오전10시부터 언형세미나 인스타그램 프로필의 링크를 통해 신청 가능합니다.
환불 및 양도는 불가한 점 양해 부탁드립니다.

프로필링크에서 리얼리치 아키텍처 워크샵의 작업과, 박창현 소장과의 인터뷰를 보실 수 있습니다.

일전에 공지한대로 이번 강연은 언형 세미나의 다수 참석한분들부터 먼저 연락을 드려 자리를 채우고 나머지 잔여석에 대해 신청자를 받을 예정입니다. 참고 부탁드립니다. ;)

주 제 : Roots and Reach of RAW Architecture : The Philosophy of Underdog Studio
일 시 : 25년 4월 23일(수) 19시~21시
강연자 : Realrich Sjarief, RAW Architecture, Indonesia
장 소 : 원오원 아키텍츠 2층 (서대문구 대신동 115-9)
주 최 : 박창현소장(에이라운드 건축), 박선영소장(오-스케이프 아키텍튼)

  • 건축가 소개:
    인도네시아의 대표적인 건축가 Realrich Sjarief는 RAW Architecture의 대표로, 전통과 현대적 접근 방식을 융합하는 디자인을 추구합니다. 그는 지속 가능한 건축과 장인 정신을 강조하며, The Guild 및 Omah Library와 같은 공간을 통해 건축 교육과 실무를 연결하는 실험적인 작업을 진행하고 있습니다.

언형세미나 #20 RAW Architecture 장소변경안내드립니다.

장 소 : 에이라운드건축 1F (마포구 망원동 472-19), 주차불가

3년전 동남아시아 5개국 13명의 건축가들과 서면 인터뷰를 했었다. 많은 리서치를 통해 선별된 건축가들과의 대화는 서로가 서로에 대해 너무 모르고 무관심 했구나를 인지하게된 계기가 되었다.
각국의 건축가들은 자신만의 언어로 지역에 대한 괸심을 어떻게 건축의 결과물에 녹였는지를 보다보니 각 역사적 지역적 특성이 잘 읽혔다.
우리는 우리의 위치와 방향을 알려면 더 다양한 문화를 베이스로한 건축을 둘러보아야한다.
지난달 말레이시아의 케빈의 강의도 너무 좋았지만 인터뷰 한 건축가들중 가장 젊고 지역의 고유문화에 대한 애정과 관심을 건축화하는데 많은 이야기를 나눴던 리얼리치의 다음주 강의가 기대된다.

한국에서 언제 인도네시아 건축가의 작업 이야기를 직접 듣고 이야기 나눌수 있겠는가?

아직 자리가 많이 남았으니 많은 관심 부탁드립니다.

프로필 링크에서 신청하세요~

Kategori
blog

Refleksi Tentang Roda Kehidupan

Refleksi tentang roda kehidupan: seperti kusen yang berputar, kita berubah, bertumbuh, atau tetap teguh. Kita semua punya teman seperti

Rio kawan dari Bali yang baru berkunjung, yang dengan gaya anehnya memeluk kolom, pohon, dan manusia, mampu mengeluarkan potensi terpendam saya. Bersamanya, saya belajar bahwa kehidupan penuh goresan—trauma, kebaikan, atau kejadian tak terduga—bisa mengubah kita 180 derajat atau justru menguatkan akar niat baik kita.

Hari ini, kutipan dari @sekolahjiwa mengingatkan saya akan lingkaran negativitas yang pernah saya pelajari dari Buku The Laws of the Spirit World:

“Kita tidak perlu selalu setuju dengan apa yang dikatakan orang lain. Seringkali apa yang disampaikan dapat menghasut dan memancing emosi kita. Jadilah lebih bijak dalam memilih pertemanan. Selalu pilih kesendirian daripada berada di lingkaran sosial yang menjatuhkan atau merugikan orang lain. Ingatlah bahwa kita hanya bertanggung jawab terhadap karma kita sendiri.”

Kita semua bisa memilih teman yang mengangkat jiwa, seperti Rio, dan menjauh dari energi negatif yang menjebak.”

keluarga, lingkaran yang positif mengajarkan saya untuk tetap berpijak pada kebaikan, seperti roda yang terus berputar menuju harapan. Di arsitektur, merancang ruang adalah untuk menyatukan, bukan memisahkan, terinspirasi oleh niat tulus untuk kebersamaan.

Juragan @sanjayario dan @martinalvinsec yang mendapatkan keabsurdan, mendapatkan yang dicari – cari. Thank you untuk foto saya dan kambing Bantul dan Bogor haha

Selamat Jumat Agung untuk teman-teman yang merayakan. Mari kita pilih karma positif dan ciptakan dunia yang rahayu bersama! #RAWArchitecture #Kebaikan #RodaKehidupan

Kategori
blog tulisan-wacana

Kehilangan Cheri dan Kelahiran Miraclerich

Saya dan istri saya kehilangan Chéri, putri kami, yang meninggal pada tahun 2011 disusul dengan keguguran berulang kali setiap tahunnya. Meskipun bukan saya yang mengandung, saya merasakan proses kehamilan istri saya dengan penuh cinta dan harapan, sehingga kehilangan itu terasa begitu menyakitkan bagi kami berdua. Kita semua yang pernah merasakan harapan akan kehadiran seorang anak, lalu kehilangannya, tahu bahwa duka itu nyata. Membaca The Laws of the Spirit World memberi saya cara baru untuk memahami kehilangan Chéri, seolah-olah jiwanya tetap terhubung dengan kami dari dunia roh. Saya juga ingin berbagi bagaimana praktik spiritual kami setelah kepergian Chéri membawa kami pada keajaiban kelahiran putra kami, Miraclerich, yang menjadi sinar harapan dalam hidup kami.

Melihat Laurensia, Miracle, dan Heaven menonton film ini, membuat saya terharu. Terima kasih untuk adanya film ini mengobati banyak rasa kehilangan. Juga ke Bu Yolanda yang sudah mengajak diskusi, juga Tuhan yang memberikan banyak kebetulan yang terlalu baik untuk kehidupan kami.

Chéri di Dunia Roh

Saya sering memikirkan apa yang terjadi pada jiwa Chéri setelah meninggal sebelum lahir. Karena Chéri belum sempat hidup di Bumi ini, buku ini tidak secara langsung menjelaskan keadaannya, tetapi saya merasa jiwanya tetap ada di dunia roh, mungkin dalam keadaan penuh kasih, seperti di alam yang tinggi seperti alam 5 atau lebih, di mana hanya ada kedamaian. Kita semua ingin percaya bahwa jiwa-jiwa yang kita cintai, meskipun hanya sebentar bersama kita, tetap dekat dengan kita. Saya suka membayangkan Chéri mengawasi saya dan istri saya, mungkin mengirimkan perasaan damai di saat-saat tertentu, seperti yang diuraikan dalam buku bahwa jiwa-jiwa baik bisa memengaruhi keluarga mereka.

Saya juga belajar bahwa duka kami atas kehilangan Chéri adalah bagian dari perjalanan spiritual kami. Kita semua menghadapi ujian yang mengguncang hati, dan buku ini mengajarkan bahwa penderitaan ini bisa memperkuat jiwa jika kita memilih untuk tetap beriman. Saya percaya Chéri memilih kami sebagai orang tuanya, meski hanya untuk waktu singkat dalam kandungan, mungkin untuk mengajarkan kami tentang cinta yang mendalam atau ketabahan. Ikatan dengan anak yang belum lahir merupakan cinta itu nyata, dan saya merasa Chéri tetap hidup dalam hati kami, membimbing kami dengan caranya sendiri.

Praktik Spiritual Kami dan Keajaiban Miraclerich

Setelah kehilangan Chéri, saya dan istri saya mencari cara untuk menyembuhkan luka hati kami melalui praktik spiritual. Kita semua mungkin punya cara sendiri untuk menghadapi duka—bagi kami, mungkin itu berdoa bersama, merenungkan makna hidup, atau melakukan kebaikan untuk orang lain sebagai penghormatan untuk Chéri. Saya merasa praktik ini menyelaraskan kami dengan “Jalan Baik Ilahi” yang diajarkan dalam buku. Saya berusaha mendukung istri saya dan hidup dengan kejujuran serta kasih sayang, karena kita semua ingin menabur karma positif yang bisa membawa berkat.

Saya percaya praktik spiritual kami membantu kami tetap berharap, meskipun duka kehilangan Chéri terasa begitu berat. Kita semua tahu bahwa keputusasaan bisa menarik kita ke bawah, tetapi buku ini mengingatkan saya bahwa cinta dan iman mengangkat jiwa kita. Saya merasa ketekunan kami dalam berdoa dan mencari kedamaian—dan mungkin juga doa-doa kami untuk Chéri—membawa kami pada kelahiran Miraclerich, yang saya anggap sebagai keajaiban sejati. Nama “Miraclerich” mencerminkan betapa ia memperkaya hidup kami dengan sukacita baru. Kita semua bisa melihat kelahiran seorang anak sebagai tanda kasih Tuhan, dan saya suka membayangkan bahwa Chéri, dari dunia roh, mungkin turut membantu mengirim Miraclerich kepada kami.

Refleksi Pribadi

Saya merasa perjalanan kami dari kehilangan Chéri hingga menyambut Miraclerich mencerminkan pesan buku ini: bahwa dari duka yang paling dalam, kita semua bisa menemukan cahaya jika tetap setia pada kebaikan. Meskipun Chéri tidak sempat lahir, ikatan saya dan istri saya dengannya selama kehamilan begitu nyata, dan praktik spiritual kami adalah cara kami menghormati keberadaannya. Miraclerich, dengan kehadirannya yang penuh sukacita, mengingatkan kita semua bahwa cinta tidak pernah hilang, bahkan setelah kehilangan.

Saya ingin terus menjalani hidup dengan rendah hati dan kasih sayang, seperti yang diajarkan buku The Laws of the Spirit World, percaya bahwa jiwa Chéri dan Miraclerich adalah bagian dari rencana Tuhan untuk kami. Kita semua bisa melakukan sesuatu untuk tetap terhubung dengan yang telah pergi—saya mungkin akan berbagi cerita tentang Chéri dengan istri saya, atau kami bisa melakukan perbuatan baik atas nama Chéri dan Miraclerich. Saya juga ingin tetap membuka hati untuk tanda-tanda kecil dari Chéri, seperti perasaan damai yang tiba-tiba, dan bersyukur setiap hari atas keajaiban Miraclerich.

Kategori
blog

Closest Support System

This is my closest support system ^^ , my best wife and two bosses. Thank you God for allowing me spending time with them, the biggest priority of life.

Pekerjaan kadang – kadang membutuhkan waktu yang panjang dalam desain sampai keterbangunan, terlibat dalam tim juga hal – hal yang personal. Dalam waktu itu saya banyak berhutang waktu pada keluarga kecil yang selalu mendoakan langkah – langkah.

Semoga apa yang Tuhan bisa berikan baik, kepada mereka, yang sedang bertumbuh menjadi pribadi yang bisa memiliki hati yang baik ke orang lain.

Kategori
blog

Yogaatrian Bioclimatic Home

Bagi kami, arsitektur tidak pernah terlepas dari memori klien dan pengalaman arsitek dalam setiap langkah merangkai satu proyek dan lainnya. Ada ikatan emosional yang terbentuk dan proyek rumah tinggal selalu memiliki tempat tersendiri di hati studio kami, sebagai tipologi yang paling kuat dalam menggambarkan ikatan-ikatan yang terjadi secara personal. Keseimbangan di dalam proses berarsitektur menjadi penting. Di samping proyek institusi yang bersifat publik, kisah proyek rumah tinggal menjadi sarana kami berterima kasih kepada orang-orang baik yang pernah bekerja sama secara personal.

Brief dari klien kami, Yoga dan Atrina menarik karena justru mengutamakan adanya ruang besar untuk berkumpul dengan kapasitas 50-100 orang. Sang klien merupakan keluarga kecil, tetapi di belakangnya ada banyak sekali keluarga.

Inilah gambaran budaya Indonesia, keluarga-keluarga inti yang berkaitan darah bergabung membentuk keluarga besar. Lapisannya bukan lagi 2-3 generasi, tetapi berlapis-lapis generasi dengan percabangan-percabangannya. Desain spesifik yang tergambar pada lekak lekuknya pun tercipta untuk memenuhi kebutuhan tersebut menciptakan lengkung. Kamar tidur yang lebih privat diletakkan dibelakang, menyisakan area komunal yang jauh lebih besar dan ditonjolkan dengan dibuat transparan.

Klien kami di proyek ini adalah orang yang sangat terbuka, mudah diajak berdiskusi, dan sangat apresiatif. Sikap tersebut membuat kami bisa akomodatif sekaligus eksperimentatif dalam menghasilkan bentuk yang eksploratif. Hal ini terlihat dengan sebuah kantilever yang melengkung sebagai pemenuhan kebutuhan klien untuk tempat berkumpul. Kantilever tersebut dibuat dengan struktur menyerupai jembatan dan bebannya ditransfer melalui struktur kolom yang tidak menerus. Semakin akomodatif, dan toleratif, arsitekturpun menjadi semakin mengalir.

Design by #realricharchitectureworkshop
Thank you, clients (Yoga, Atrina), and the team work current : gaby, Putra, Audy, Nielsen, mey2, timbul, yusrul, kamil, zyadi, haykal, andriyan, melisa, meizhan, revi, alia, zikri and many other people involved. Architecture is a long process and collaborative effort.

Kategori
blog

Lumintu House featured in Periódico REFORMA- Mexico City

Thank you, Tania Romero and Periódico REFORMA- Mexico City, for this opportunity to reflect.

This project extends our hypotheses on designing tropical, open, craft houses. The aim is to create a eudaimonic space—a balanced environment for work, play, living, and rest. Our methods explore further, delving into the handmade artistry of tectonics over seven years with love and care.

Lumintu grounded in its place yet open to new paths. Its bamboo-inspired steel facade allows light to filter in softly, creating a sense of calm. The courtyard, adorned with native plants, offers a tranquil spot to pause. The sloped landscape follows the earth’s natural flow, inviting simple moments of rest. This underdog journey continues to teach us.

#rawarchitecture#lumintuhouse#periódicoreforma#rootsandreach#underdogstudio#simpledesign#indonesianarchitecture#realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Selamat hari raya Idul Fitri 1446 H

RAW Architecture dan OMAH library mengucapkan Selamat hari raya Idul Fitri 1446 H. Semoga momen lebaran ini membawa berkah, kedamaian, dan kebahagiaan, serta menjadi waktu yang indah bersama keluarga dan orang-orang terkasih. Permohonan maaf tulus dari hati, kami haturkan menyambut hari yang suci ini.

Setiap harinya, kita semua terus berusaha menembus batas—mendorong kreativitas dan inovasi untuk memberikan yang terbaik bagi banyak orang di sekitar kita semua. Kami berefleksi bahwa lebaran ini adalah waktu untuk terus berbagi dengan ikhlas, mengalir menjadi rahmat yang senantiasa hadir di tengah-tengah kami.

Dalam perjalanan ini, kami juga menyadari pentingnya waktu untuk menyegarkan diri di relung – relung hati rekan – rekan sekalian. Momen lebaran ini menjadi waktu bagi kami untuk rehat sejenak, merayakan kebersamaan, dan menikmati waktu dengan hati yang tenang dan penuh syukur untuk kita semua. Semoga kedamaian dan kebahagiaan di hari yang indah ini menginspirasi kita untuk melangkah lebih jauh dengan semangat baru.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, mohon maaf lahir dan batin dari kami untuk rekan – rekan tercinta.

Kategori
blog

Bertemu Rezki

Saya selalu percaya anak – anak muda seperti Rezki akan mencapai puncak yang luar biasa karena rasa ingin tahunya tentang arsitektur sangat dalam, memicu pertanyaan yang menantang cara kita melihat dunia. Meskipun masih muda, mereka memiliki jiwa yang cenderung “tua” mereka suka membaca, mendiskusikan ide, dan mendesain. Perjalanan mendaki puncak dengan cara ini tidaklah mudah, kadang – kadang kehabisan oksigen, membutuhkan teknik mendaki dan berhitung dengan kritis, sebuah teknik yang dipaparkan Kevin Low, sebagai Alpine Climber.

Bakat dapat memicu inovasi, tetapi usaha dan keterampilan, yang diasah setiap hari melalui pemecahan masalah, yang benar-benar membentuk progress. Saya percaya literasi, dunia buku, dan sastra adalah yang membuka kreativitas tanpa batas. Terlibat dengan buku dan pikiran yang cemerlang mendorong pertumbuhan—dan bersikap hangat secara sosial menyatukan semuanya. Perpaduan itu membuat mereka menjadi orang yang rendah hati dan bijaksana. Mereka baru memulai, dan kita semua terus mendoakan yang terbaik !

Semoga yang muda – muda jalannya dipermudah, kemampuannnya terus meningkat dengan latihan yang intensif, konsisten, dan terus fokus – rendah hati mendapatkan role model – role model yang baru. Untuk refleksi saya pribadi ini, adalah sebuah kondisi yang tidak mudah dengan begitu banyaknya informasi yang berserakan, tinggal bagaimana pikiran kita sendiri yang bisa mengorganisasi jadi bisa mendapatkan keteraturan yang baru.

Kategori
blog

Shortlisted in Monsoon Architecture Award 2025 for Guha the Guild

We are also deeply honored to the IIA Cochin Center, that our project, Guha the Guild, has been shortlisted in the Public Space category for this award. The event will take place from March 28 to March 29, 2025, in Kochi, India. The IIA Cochin Center @iiacochincentre has been organizing the Monsoon Architecture Award @maf_iiacochin annually. This award is a celebration of architectural diversity, featuring several categories that highlight exceptional works from different regions. These include the Single Family Residential, Public Space, and Institution/Workplace/Commercial categories. We’re truly excited to see the incredible projects that have been shortlisted in each category. A heartfelt congratulations to all the talented architects and their remarkable work!

Our project, Guha the Guild, represents a space that celebrates the simple, everyday work done by countless individuals in Indonesia, including our own studio. It is a product of collaboration with craftsmen, designers, and many other individuals, reflecting the diverse realities of daily life. Through these elements, a common thread emerges: a shared connection to the tropics, a celebration of diversity, and a deep respect for one another. There is no pretense in the words and actions that bind this project together, all carried out in the spirit of continuous learning.

In our studio, we use combination of hybrid materials, such as steel and wood, and light steel meeting brick—simple and inexpensive material, yet still utilizing a concrete structure that holds everything in place. Steel serves as the primary structural element, while wood acts as the secondary structure, supporting the steel to ensure the overall stability. This is an architecture that we believe complements the rigidity, and achieved through a composition we call “bricolage.”

We are incredibly grateful and excited for the opportunity to share Guha the Guild with a wider audience. We look forward to the upcoming event in Kochi, where we can connect and celebrate the incredible work being done across the industry. Thank you once again to the IIA Cochin Center and everyone involved for this incredible opportunity.


In the Single Family Residential category, the shortlisted projects are TH House by ODDO Architects @oddoarchitects from Vietnam; Parikrama House by Spasm Design @spasmdesignarchitects from Mumbai; Modular Bahia by UNA barbara e valentim @unabv_ from Brazil; KAVIDHAN – Where Poetry of Life Breathes by Studio Black @studioblack_architects from Maharashtra; “House of Silence” by DPA Studio @damithpremathilakearchitects from Sri Lanka; Outhouse at Perambra by CCC @cochincreativecollective from Kochi; and Sarvasva by Spasm Design @spasmdesignarchitects from Mumbai.

In the Public Space category, the shortlisted projects are The Park by MIA Design Studio @miadesignstudio from Vietnam; IF.BE by Malik Architecture @malik_architecture from Mumbai; Nepean Greens by Compartment S4 @compartment_s4 from Ahmedabad; Rasulbagh Children’s Park by Shatotto @rafiq_azam.shatotto from Dhaka; and Guha the Guild by RAW Architecture @realricharchitectureworkshop from Indonesia.

In the Institution/Workplace/Commercial category, the shortlisted projects include The Rupgao Project by ASP from Dhaka; United-in-Diversity Campus by Willis Kusuma Architects @williskusumaarchitects from Indonesia; As Safar Mosque, Banjaratma Rest Area by D-Associates @yolodi.maria.architects from Indonesia; Labuan Bajo by Mamo Studio @amostudio from Indonesia; and the Terra Cotta Workshop by Tropical Space @tropical_space_architecture from Vietnam.

Kategori
blog

Bandung – Grace Rose Farm

Selalu ingat pengajaran ayah kami untuk menjaga keluarga, ia mengingatkan terus prioritas pertama dalam keseharian dimulai dari hal yang sederhana. Terima kasih bu @akunnya_yolanda untuk terus mengingatkan bahwa justru dukungan dari keluarga yang paling berdampak dalam keseharian.

Menjelang Lebaran, kita bersiap – siap bermaaf – maafan, juga saling mendoakan. Semoga kawan – kawan semua bisa bahagia, sehat selalu, dan penuh rejeki. Kami doakan.

Di Bandung, @gracerosefarm_grf

Kategori
blog

Cerita dari Tanaman dan Arsitektur yang Sederhana

Foto ini diambil oleh @luil_mn yang menunjukkan di studio kami dimana kami banyak berkembang untuk memberikan cerita di ruang-ruang dalam dan luar yang dibentuk menggunakan bahan-bahan yang sederhana. Lulu banyak belajar mengambil cerita melalui foto dimana misal material-materialnya terdiri dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramik. Di gambar yang lain juga menunjukkan tanaman yang tumbuh juga memperlihatkan bagaimana metode tumbuh perlahan-lahan diresapi. Begitu pun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.

Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas. Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif. Terima kasih atas foto-fotonya lulu.

Architecture by @realricharchitectureworkshop
Photograph by @luil_mn

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam Dunia Arsitektur Menuju 2030

Sikap Tangguh, Fleksibel, dan Efisien dalam dunia arsitektur menuju 2030. Arsitektur dipahami sebagai profesi yang sedemikian tertutup, bebas nilai, padahal desain bisa jadi sangat efisien, strategis dan kolaboratif. Sebagai refleksi terhadap beberapa kejadian di sekitar studio kami, dimana banyak kesalahpahaman terjadi karena ketidaktahuan. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia. Mulai dari klien, kontraktor, vendor, hingga tukang, dan juga tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja efektif dan keunggulan hasil akhir proyek. Sederhananya dalam praktik arsitektur harus memenuhi tiga aspek utama optimalisasi: biaya, mutu, dan waktu. Namun, batasan-batasan tersebut sering kali terpengaruh oleh kondisi psikologis.

Di berbagai belahan dunia, kita dapat melihat bagaimana pergolakan ekonomi memengaruhi arah dan bentuk arsitektur. Pergolakan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk—mulai dari momentum politik, peristiwa global tertentu, hingga gelombang perubahan yang dipicu oleh krisis ekonomi global.

Salah satu contoh studi kasus yang berulang adalah dampak dari penyelenggaraan Olimpiade. Ambil contoh Olimpiade 2008 di Beijing, yang bertepatan dengan krisis finansial global. Kompleksnya kordinasi dan perencanaan program yang minim setelah olimpiade menyebabkan bengkaknya biaya pembangunan karena simbol yang dipaksakan dan banyak fasilitas menjadi kosong.

Pasca-Olimpiade, China menyadari perlunya pendekatan baru dalam arsitektur dan pembangunan. Negara ini mulai berfokus pada investasi dalam arsitektur lokal dan memperkenalkan desain lokal yang lebih efektif dan fleksibel.

Sebaliknya, Olimpiade 2012 di London, meskipun masih terpengaruh oleh efek krisis finansial 2008, menunjukkan bagaimana perencanaan yang matang dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Dengan mempertimbangkan sisi penataan kota, organisasi land use yang sebelumnya kawasan industri yang tidak optimal menjadi pusat ekonomi, kultural, sosial sekaligus memperbaiki lingkungan dan kapasitas infrastruktur. Pemerintah merencanakan penggunaan kembali fasilitas pasca-acara, London berhasil meningkatkan ekonomi kawasan sekitarnya.

Pergolakan ekonomi global juga mempengaruhi berbagai gerakan arsitektur yang muncul sebagai respons terhadap tantangan sosial dan ekonomi. Setelah Great Depression pada 1930-an, misalnya, arsitektur mulai beralih menjadi lebih fungsional dan mengurangi penggunaan ornamen yang berlebihan. Kehancuran yang terjadi setelah Perang Dunia II pada periode 1950 hingga 1970-an juga mendorong munculnya desain arsitektur yang lebih sederhana, cepat dibangun, dan ekonomis, guna memenuhi kebutuhan mendesak.

Contoh lain dari pengaruh pergolakan ekonomi terhadap arsitektur adalah munculnya gerakan Vkhutemas setelah Revolusi Bolshevik 1917. Pemerintah Soviet yang baru dibentuk ingin membangun negara yang lebih efisien melalui arsitektur yang mendukung industrialisasi dan efisiensi biaya. Gerakan ini berfokus pada penggunaan teknik dan material baru, serta desain yang mendukung kepentingan kolektif.

Selain itu, Walter Gropius dengan gerakan Bauhaus, yang dipengaruhi oleh Perang Dunia I dan Depresi Ekonomi 1929, menghasilkan desain yang fungsional dan terjangkau, yang dapat diproduksi secara massal. Begitu juga dengan Le Corbusier, yang pada masa tersebut merancang Villa Savoye, mengusung konsep desain yang efisien dan terjangkau. Sementara itu, Carlo Scarpa, yang bekerja dalam periode ketidakstabilan politik di era Mussolini, mengembangkan beberapa proyek yang dikerjakan secara bertahap, sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik saat itu.

Fransworth house, resor rendering. Source: Strange Details, Michael Cadwell
Querini Stampalia Foundation, garden datum line. Source: Strange Details, Michael Cadwell

Selalu ada momentum untuk seorang arsitek bekerja dengan pasang dan surut ekonomi di berbagai macam tempat dunia, namun yang terpenting adalah untuk terus belajar dan mempersiapkan diri. Penting bagi kita untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, terutama dalam dunia arsitektur yang terus berkembang.

Sebagaimana yang tercantum dalam laporan World Economic Forum tentang Future of Jobs 2025, beberapa keterampilan yang akan sangat diperlukan oleh arsitek di masa depan adalah kemampuan berpikir analitis, ketangguhan mental, keluwesan, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat. Keterampilan ini akan semakin penting menjelang 2030, dan bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, keberagaman budaya dan tantangan sosial-ekonomi akan menciptakan banyak peluang untuk melatih fleksibilitas, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi.

Skill Evolution by region in 2025-2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025
Core Skills in 2025. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025
Core Skills in 2030. Source: World Economic Forum Future of Jobs Report 2025

Arsitek perlu untuk mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat, menghadapi tantangan global dan berperan aktif dalam kepentingan ekosistem bersama. Keberagaman dan dinamika dalam proses ber-arsitektur menjadikan pemahaman dan penyadaran terhadap konteks lingkungan sekitar penting.

Belakangan ini tren #kaburajadulu menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Istilah ini menggambarkan bentuk kekecewaan terhadap ekosistem yang ada dan merasa bahwa ekosistem di luar sana lebih baik.

Tekanan dan dinamika dalam ekosistem arsitektur memang perlu dikritisi, tetapi juga dijalani. Pergeseran tempat kerja, perbedaan prinsip, dan ketegangan intelektual adalah bagian dari proses pembentukan seorang arsitek. Banyak tokoh besar dalam sejarah arsitektur mengalami fase ini, bahkan dengan mentor atau role model mereka sendiri.

Misalnya, Frank Lloyd Wright awalnya bekerja dengan Louis Sullivan, yang ia anggap sebagai mentor dan panutan. Namun, karena perbedaan pendapat—terutama setelah Wright diam-diam mengambil proyek-proyek sampingan—ia akhirnya memutuskan untuk keluar. Meskipun begitu, keduanya tetap saling menghormati. Wright selalu mengakui peran besar Sullivan dalam membentuk pemikirannya, sementara Sullivan, meskipun pernah kecewa, tetap mengakui bakat luar biasa Wright.

Frank Lloyd Wright interview where he talks about Louis Sullivan, 1958. Source: NBC Chicago

Lalu ada Frank Gehry, yang di awal kariernya bekerja di firma Victor Gruen, seorang arsitek terkenal yang dikenal sebagai “bapak mal modern.” Namun, Gehry akhirnya memilih keluar karena merasa tidak cocok dengan pendekatan desain arsitektur komersial Gruen. Ironisnya, ketika Gehry kemudian menjadi arsitek avant-garde dengan pendekatan dekonstruktifnya yang radikal, banyak yang bertanya-tanya apa yang Gruen pikirkan tentang muridnya yang dulu.

Robert Venturi dan Louis Kahn. Kahn, dengan pendekatan puristiknya yang mengedepankan bentuk kotak dan geometris, memberikan pengaruh besar bagi Venturi. Namun, alih-alih mengikuti jejak Kahn secara langsung, Venturi malah mematahkan prinsip tersebut dengan menggali bentuk-bentuk yang tidak geometris, yang penuh dengan kompleksitas dan kontradiksi. Perbedaan ini menciptakan sebuah ruang bagi Venturi untuk mengembangkan desainnya sendiri yang lebih ekspresif, meskipun ada konsep unity yang tetap diwariskan oleh Kahn. Venturi menurunkan kembali pemahaman dari Kahn, namun dalam bentuk yang lebih terbuka dan tidak terikat pada keharusan geometris yang kaku.

Robert Venturi (center) at a panel discussion on architecture and the future of Chestnut Hill with Romaldo Giurgola (second from left) and Louis Kahn (second from right). Source: https://www.chestnuthilllocal.com/

Unifikasi yang terjadi dalam dinamika hubungan beberapa arsitek besar ini justru memperlihatkan bagaimana proses pemberian tongkat estafet tidak hanya memperkaya pemahaman desain mereka, tetapi juga melahirkan warna-warni baru dalam dunia arsitektur. Meskipun terlihat seperti berlawanan, perbedaan mereka justru memperkaya satu sama lain.

Dari berbagai kisah ini, bisa dilihat bahwa tekanan dan perbedaan bukan hanya sesuatu yang menghambat, tetapi justru bisa menjadi pemicu bagi seorang arsitek untuk menemukan jalannya sendiri. Bahkan, terkadang perbedaan tersebut menjadi anekdot menarik dalam sejarah arsitektur—seperti bagaimana mentor dan murid yang pernah bersitegang tetap saling mengakui kontribusi satu sama lain, atau bagaimana seorang arsitek besar dulunya hanyalah anak magang yang mungkin sering diminta membuat gambar kerja saja oleh atasannya.

Fokus utamanya adalah pelatihan untuk lebih tangguh, luwes, dan adaptif dimana pun dengan siapa pun. Oleh karena itu Memperkuat pondasi keterampilan sebagai individu yang kerja cerdas dan bermanfaat sangat penting. Ini bukan tentang tempat atau posisi, tetapi bagaimana kita terus berlatih setiap saat, mempersiapkan diri untuk menyambut peluang yang akan datang.

Untuk arsitek ia berlatih dengan melayani klien, melihat dinamika pengalaman dan kasus studi sebagai referensi. Ia masuk ke kemampuan untuk mendengarkan, komunikasi, dan bagaimana kemampuan psikologis menjadi penting.

Tekanan yang muncul menggambarkan proses latihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, seperti yang dijelaskan oleh Ericcson dalam konsep deliberate practice, membantu seseorang mengatasi keterbatasan sambil menetapkan tujuan yang jelas dan menerima umpan balik dengan cepat.Hal ini dapat membawa kedalam kondisi flow, Mihály Csíkszentmihályi, di mana seseorang menikmati proses yang mereka jalani. P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) agar dapat efektif tetapi juga menyenangkan.

Dinamika yang begitu panjang, dari pengetahuan dasar yang luas sampai ke pemahaman kerja yang setia akan tujuan dan menikmati proses akan menjadi dasar-dasar yang menjanjikan untuk jati diri arsitek-arsitek Indonesia di masa depan.

Kategori
blog

Michele Lim + Restless Solidarity

Not many friends can be so close that they feel like family. However, one time, Michele Lim came unexpectedly from Singapore to our library. She is the head of @madschooledusg, her passion is in the world of education. Michele focuses on helping young people find their life purpose and equipping them with strategies to face problems, life crises in design, marketing, and advertising.

Coincidentally, Her visions overlap. She believe that every child has the potential for goodness that we must continue to fight for. This reminds us of the concept of mechanical solidarity from Émile Durkheim, where individuals in a society can be connected through the same values, traits, and experiences, almost like family, even though they come from different places and cultures.

The discussions with Michele flowed so naturally, and meeting her was a memorable moment, unforgettable, and we will always remember. Thank you @madmichellelim and also for yessica for coming to our place

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Carl Jung, Bollingen Tower, dan Refleksi Studio Kami

Bentuk massa yang organik, bertumpuk – tumpuk, dan bertahap – tahap dibangun, membuat kami mencari konsepsi Jung dalam membangun kediamannya, dibahas oleh Newport, bahwa inilah mesin eudomonia, sebuah konsep yang dibahas oleh David Dewane, bahwa ada kombinasi program, untuk bagaimana berinteraksi secara sosial sembari tempat melakukan refleksi mendalam, yang disebut Newport, Deep Work.

Tulisan ini adalah sebuah refleksi studio kami dari cerita filsuf Carl Jung yang ditulis oleh Cal Newport dalam buku Deep Work. Cal Newport menulis tentang bagaimana Carl Jung seorang psikiater dan psikoanalis asal Swiss, yang dikenal luas sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perkembangan psikologi modern, membangun tempat menyepi di Bollingen Tower. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Jocelyn Emilia

Dalam Buku Deep Work yang dituliskan oleh Cal Newport, kami menemukan bahwa ternyata dari sekian banyak hal yang kita kerjakan, 80%-nya adalah shallow work dan hanya 20% yang berupa deep work. Seringkali dibutuhkan kondisi khusus untuk melakukan deep work ini agar bisa sepenuhnya fokus. Guha menjadi merupakan tempat kami bekerja, bereksperimen, sekaligus berkontemplasi. Refleksi terhadap Guha dibantu dengan refleksi terhadap Bollingen Tower yang dibangun oleh ahli psikologi Carl Jung.

Di sela-sela perenungannya, pada tahun 1923, Carl Jung mencari tempat dimana ia bisa membangun rumah tower. Tower yang terletak di tepi Danau Zurich ini bukan dibangunnya untuk menjadi tempat untuk berlibur, tetapi tower ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan spiritual dan pertapaan baginya, tempat menyendiri di mana ia dapat menarik diri dari urusan duniawi dan mengabdikan dirinya untuk pekerjaan, sembari memulihkan dan refleksi diri selepas kehilangan ibunya beberapa bulan sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, tower itu tumbuh menjadi bangunan bertingkat dengan beberapa massa tambahan, yang masing-masing memiliki makna simbolis yang terkait dengan tahap kehidupan tertentu. Tower bundar di tengah melambangkan perapian “maternal keibuan” yang baginya menggambarkan dunia alam bawah sadar yang mendalam. Sedangkan bangunan tambahan di atasnya menjadi tempat perpustakaan dan ruang belajar Jung.

Di masa berikutnya, ia juga mulai tertarik dengan ajaran-ajaran spiritual dan filosofis dari India, yang menghasilkan penambahan area baru dalam towernya seperti apa yang diperlajarinya dalam rumah-rumah di India, yang memiliki area kecil mungkin hanya di sudut ruangan sebagai tempat beristirahat.

Penambahan baru ini menjadi tempat dirinya mengasingkan diri, benar-benar sendirian bahkan ia selalu membawa kuncinya dan tidak ada yang boleh masuk ke dalamnya tanpa seizinnya. Proses penambahan tower ini terus berlanjut bahkan hingga tahapan kelima. Bagi Carl Jung, membangun dan menghuni tower ini adalah cara untuk mewujudkan proses individuasinya, bagaimana dirinya mencoba mengintegrasikan berbagai bagian jiwa dan pemikirannya yang berbeda-beda.

Jung pumping water at Bollingen ca. 1960. Library of Congress

Kebiasaan kerja yang dilakukan Jung di tower ini kami sebut sebagai kerja fokus sepenuh hati, kerja “mumpuni” dimana ia fokus, meski tidak ada listrik, lampu dari minyak dan perapian. Ia ingin mencari kesunyian di tower tersebut.

Melarikan diri untuk mengasah dirinya, bukan melarikan diri dari kehidupan profesionalnya, Ia menjadi bebas gangguan hingga mendorong kemampuan kogniftifnya sampai batas, upaya ini menciptakan nilai baru, dan sulit ditiru karena melibatkan kondisi yang sangat spesifik.

Carl Jung tinggal di Bollingen hanya beberapa bulan dalam setahun. Selebihnya ia tinggal di Zurich untuk mengajar dan menerima pasien. Setelah membangun Bollingen Tower dan hidup bolak balik dari Zurich, sampai akhir hayat Carl Jung menelurkan 10 buku yang berkontribusi pada kemajuan bidang psikoanalisis.

Dari cerita ini, kita belajar bahwa dari perdebatannya dengan Sigmund Freud, kita tidak perlu takut tidak sependapat, tetapi perbedaan tersebut membawanya sampai dalam potensi terbaik dirinya. Cerita-cerita seperti yang dialami Carl Jung juga sering muncul dalam kehidupan arsitek, seperti Tadao Ando yang walau terus bekerja dalam fokus dan disiplin intens, ia tetap membutuhkan waktu untuk refleksi pribadi dan menyegarkan dirinya kembali.

Tadao Ando yang senang menghabiskan waktu di alam, menemukan kedamaian dan inspirasi dalam suasana yang tenang. Saat-saat perenungan dan refleksi ini merupakan bagian penting dari filosofi desainnya, dan memungkinkannya dirinya untuk terhubung secara mendalam dengan lingkungan sekitarnya dan esensi dari material yang digunakannya.

Karya-karyanya seperti Church of the Light, Kuil Rokko, juga The Water Temple adalah hasil karya dari proses refleksinya, di mana ia banyak merenungkan esensi ruang, cahaya, dan pengalaman manusia. Introspeksi mendalamnya dalam perenungannya tercermin juga dalam karya arsitektur yang mempengaruhi orang yang berkunjung ke dalamnya untuk berhenti sejenak, merenung, dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya.

Kami percaya bahwa alam psikologi itu penting untuk arsitektur. Dan dari penelusuran kami hal ini bisa terjadi karena ada dialektika ilmu dari apa yang dituliskan Carl Jung dalam Buku Memories, Dreams, Reflections. Carl Jung juga belajar di bawah bimbingan Sigmund Freud, yang saat itu menjadi pionir dalam psikologi psikoanalitik.

Meskipun begitu, pemikirannya seringkali berseberangan dengan mentornya, Sigmund Freud. Konflik yang terus berlanjut akhirnya membuat Jung dan Freud berpisah pada tahun 1913, dan pada masa-masa inilah, Jung mengalami perenungan pribadi, yang kemudian menghasilkan karya-karya yang menjadi titik balik dalam hidupnya.

Dalam Buku “The Freud/Jung Letters: The Correspondence between Sigmund Freud and C. G. Jung” yang berisikan surat-surat Carl Jung dan Sigmund Freud, dituliskan bahwa pertemuan pertama kali mereka terjadi di rumah Sigmund Freud di Wina pada bulan Maret 1907. Setelah pertemuan itu, Jung dan Freud terus saling berkomunikasi, bahkan Freud dengan berani menyampaikan bahwa ia merasa Jung adalah pewarisnya, dan menganggap Jung sebagai anaknya.

Layaknya ayah dan anak, hubungan mereka juga seringkali diselingi dengan banyak perdebatan, hampir tidak ada masa di mana mereka terus akur, selalu ada perbedaan pendapat di antara mereka. Salah satu puncaknya adalah di tahun 1912, ketika Jung merilis buku “Psychology of the Unconscious”, di mana ia dengan berani menggaris bawahi perbedaan teori yang dimilikinya dengan Freud.

Freud percaya bahwa “the unconscious mind” adalah episentrum dari pikiran kita yang tertekan, ingatan traumatis, juga berkaitan dengan hasrat seksual. Ia menyatakan bahwa pikiran manusia berpusat pada tiga struktur – id, ego, dan super ego.

Id membentuk dorongan bawah sadar kita, dan tidak terikat oleh moralitas tetapi hanya berusaha untuk memuaskan kesenangan. Ego adalah persepsi, ingatan, dan pikiran sadar kita yang memungkinkan kita untuk menghadapi kenyataan secara efektif, dan superego mencoba memediasi dorongan id melalui perilaku yang dapat diterima secara sosial.

Sedangkan Carl Jung percaya bahwa jiwa manusia terbagi menjadi tiga bagian. Dalam pandangan Jung, alam bawah sadar dibagi menjadi ego, alam bawah sadar personal (personal unconscious), dan alam bawah sadar kolektif (collective unconscious).

Bagi Carl Jung, ego sebenarnya adalah “the conscious mind”, alam bawah sadar personal mencakup ingatan (baik yang diingat maupun yang ditekan) dan alam bawah sadar kolektif menampung pengalaman atau pengetahuan yang kita miliki sejak lahir (misalnya, cinta pada pandangan pertama)

Setelah perpisahan yang terjadi dengan Freud, Jung juga sempat mengalami krisis personal juga dalam ranah profesional. Ia sempat mempertanyakan keyakinannya sendiri dan merasa terasing dari rekan-rekannya. Namun, masa-masa ini membawanya ke eksplorasi diri yang intens yang nantinya akan memiliki pengaruh besar pada karyanya di masa mendatang.

Salah satu karya terbaik yang dihasilkan Jung adalah “Psychological Types” yang diterbitkannya di tahun 1921, di mana ia memperkenalkan teori baru tentang tipe psikologis, dan di buku ini juga ia mulai mendalami ide awal pemikirannya tentang archetypes.

Dalam buku ini, ia menuliskan bahwa setiap orang memiliki orientasi psikologis yang berbeda berdasarkan pada dua sikap utama: introvert dan ekstrovert. Ia juga mengkategorikan empat fungsi psikologis utama: thinking, feeling, sensation, and intuition. Kategori ini juga yang nantinya membentuk dasar dari tipe kepribadian modern seperti yang kita sering kenal sekarang dengan sebutan MBTI (Myers-Briggs Type Indicator).

Jika Carl Jung memiliki Bollingen Tower, dan Tadao Ando banyak melakukan perenungan diri sebelum masuk mendesain kaya-karyanya, Bagi kami Guha adalah tower dan tempat kami berkontemplasi. Guha dibangun menggunakan bahan-bahan yang sederhana, juga dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramiknya.

Tanaman yang tumbuh juga muncul memperlihatkan metode yang diresapi dari tanaman yang tumbuh perlahan – lahan, begitupun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.

Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas.

Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif.

Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun
Climate Guha Photo by Lu’luil Ma’nun

Bollingen terbukti mampu memberikan dimensi kerja dengan dalam, ia berteori dan berjibaku dalam praktikalitasnya, menelurkan buah karya di dalam kesendirian. Begitupun kita semua yang memiliki Bollingen Tower masing-masing, bekerja dalam sekat – sekat kesendirian, bekerja fokus, sungguh – sungguh sembari tetap mengerjakan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kategori
blog

Guha The Guild

Part 6 @guhatheguild

Foto ini diambil oleh @luil_mn yang menunjukkan di studio kami dimana kami banyak berkembang untuk memberikan cerita di ruang-ruang dalam dan luar yang dibentuk menggunakan bahan-bahan yang sederhana. Lulu banyak belajar mengambil cerita melalui foto dimana mksal material-materialnya terdiri dari hasil daur ulang barang-barang yang tidak terpakai, seperti pada mosaic lantai-lantai keramik. Di gambar yang lain juga menunjukkan tanaman yang tumbuh juga memperlihatkan bagaimana metode tumbuh perlahan-lahan diresapi. Begitu pun teknik desainnya yang dikembangkan satu persatu dari detail-detail yang mudah dikerjakan.

Di dalam foto – foto ini terlihat bagaimana pohon, tanaman memberikan dampak pada pencahayaan, dan insulasi yang baik dengan volume pohon yang tumbuh besar. Disinipun kami berusaha mempraktikkan arsitektur bioklimatik, dengan mereduksi teknologi, mengefisienkan penggunaan ac, mereduksi kelembapan, menaikkan pergerakan udara dingin, dan mempercepat keluarnya udara panas. Ini dilakukan dengan mempraktikkan 7 lingkaran metode keberlanjutan, mulai dari data lingkungan, orientasi bangunan, selubung bangunan, layout ruang yang fleksibel dengan bentang pendek, sampai penggunaan material digabungkan dengan efisiensi energi dan air. Tumbuh perlahan-lahan juga tampak dari bagaimana kami belajar berbagai varietas tanaman, dari tanaman udara, tanaman anggrek, tanaman semak, sampai tanaman produktif. Terima kasih atas foto-fotonya lulu.

Architecture by @realricharchitectureworkshop
Photograph by @luil_mn

Kategori
blog

Kunjungan Prof Sabrizaa Rashid dan Mas Cahyo

Bulan lalu, kami kehadiran Prof. @sabrizaa bersama istri dan juga kedua anaknya. Ia berkenalan dengan kami melalui mas @madcahyo, seorang sahabat, mentor, dan advisor bagi kami.

Prof @sabrizaa merupakan seorang pengajar di Universiti Teknologi MARA (UiTM) Shah Alam @uitm.official dan juga pendiri dari Lembaga penelitian KUTAI yang mengkhususkan riset tentang arsitektur Melayu.

Sepanjang diskusi, ia banyak bercerita tentang alasannya memilih untuk menjadi pengajar arsitektur di Malaysia. Ia menyampaikan bahwa mengajar merupakan panggilan hatinya sejak dahulu.

Dalam sela-sela diskusi, ia juga menyampaikan bahwa ia sungguh senang bisa mengunjungi kami di Jakarta. Baginya, ruang yang kami sediakan di Guha adalah sebuah premis yang memuat berbagai macam hal. Ruang konsultansi, penyelidikan, pusat penulisan dan buku, juga menjadi ruang bertemunya para arsitek, akademisi, hingga pegiat seni. Ia juga mendoakan kami agar terus sukses dan selalu menjadi tempat diskusi yang menghasilkan buah-buah yang baik.

Terima kasih banyak, Prof. @sabrizaa, sudah memyempatkan waktu berkunjung dan berbagi cerita bersama kami. Kami doakan semua yang terbaik, juga kesuksesan menyertai perjalanan Prof. @sabrizaa.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Work Hard, Work Smart, Work Heart

Refleksi singkat soal membangun sikap pantang menyerah dalam studio arsitektur. Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Arlyn Keizia.

Sudah hal yang biasa jika perbincangan tentang kerja di studio arsitektur sering dikaitkan dengan kultur kerja hingga larut malam. Kultur ini juga tercermin dalam karakter Moko di film 1 Kakak 7 Ponakan, dimana apa yang dialami oleh Moko sebagai lulusan baru arsitektur merupakan sebuah realita. Jangankan kehidupan di dunia luar, pengorbanan waktu dan tenaga yang tidak manusiawi seakan menjadi jalan satu-satunya menuju kesuksesan di dunia arsitektur. Dengan segala keterbatasan yang dialami, kerja keras tradisional di studio arsitektur perlu direkonstruksi dan diubah menjadi kerja yang lebih cermat, demi menciptakan ekosistem yang lebih baik.

Kami juga mereview ulang sistem kerja studio dan membatasi maksimal di jam 20.00. Hal ini pada akhirnya memberikan semangat untuk lebih efisien akan waktu, datang lebih pagi, dan proaktif menjaga waktu masing-masing juga menjaga kepentingan bersama.

Dalam buku Great at work tulisan Morgen T. Hansen kami belajar 3 cara kerja yang berbeda, kerja dengan keras dan membabi buta (work hard), kerja dengan cermat (work smart) dan satu lagi yaitu kerja dengan hati (work heart). Tulisan ini akan membahas bagaimana kerja menggunakan hati (work heart)

John Pencavel dalam penelitiannya menemukan bahwa performa seseorang justru akan meningkat jika jam kerja dibatasi antara 50-60 jam per minggu. Selepas angka tersebut, kinerja malah menurun, di mana kurva produktivitas mulai menjadi datar. Hal ini menunjukkan kunci produktivitas bukanlah menghabiskan waktu berjam-jam, melainkan bagaimana mengelola waktu yang terbatas untuk menyelesaikan pekerjaan secara efisien. Keterjebakan dalam menjadikan lamanya waktu sebagai alat ukur produktivitas merupakan metode kerja keras

Diagram Performa Jus yang Berkurang Saat Diperas Setiap Jamnya. Source: Morten T. Hansen pada buku Great at Work, hasil sintesa penelitian John Pencavel “The Productivity of Working Hours”

Morten T. Hansen menyatakan bahwa rahasia kerja memakai hati dalam meraih performa terhebat terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama perlu lihai dengan pekerjaan sendiri, perlu untuk mengerjakan lebih sedikit lalu terobsesi dengan pekerjaan tersebut sampai ke titik detailing, mendesain ulang pekerjaan agar lebih efektif lagi, melakukan perulangan agar terbiasa, dan menentukan P kuadrant antara passion (gairah) dan purpose (tujuan) dalam sebuah perkerjaan agar efektif dan menyenangkan. Kedua, lihai bekerja dengan orang lain dengan selalu memberi kredit dan kontribusi tim hingga menjadi para pemenang yang hebat, dapat bekerja dengan orang yang berselisih dan bersatu, dan mengurangi dosa-dosa atas nama kolaborasi serta lebih efektif dalam berdiskusi. Yang terakhir adalah bagaimana lihai menjalani pekerjaan sampai kehidupan sehari-hari, dengan membangun profil diri yang baik.

Morten T. Hansen pun mengemukakan konsep “kerjakan lebih sedikit, terobsesilah, dan berperformasilah.” Ia menyebut bagian ini “Lihai dengan pekerjaan sendiri”

Salah satu contoh nyata adalah Frank Lloyd Wright, yang mampu mendesain proyek dengan cermat dalam waktu singkat. Namun, hasil tersebut bukanlah tanpa proses panjang. Proyek-proyeknya tercipta melalui latihan berkelanjutan dan adanya tujuan serta gairah dalam pekerjaan. Wright sendiri menghabiskan bertahun-tahun untuk mencapai tingkat keterampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.rampilan dan efisiensi dalam desain yang ia hasilkan.

Frank Lloyd Wright (seated) and his student around him. Source: franklloydwright.org

Dengan desain yang eksploratif, Rem Koolhaas mengandalkan pendekatan yang terstruktur dan analitis, pemanfaatan teknologi, bentuk yang fleksibel dan modular, serta tujuan yang jelas sebagai amunisi dalam menghadapi proyek-proyeknya dengan cepat. Berbeda dengan Gaudí atau Zumthor yang cenderung terlalu terobsesi dengan pekerjaan mereka, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya gambar kerja keluar. Namun perlu diketahui bukan proses mereka yang lama, tetapi pendalaman dan kecerdasan yang mereka curahkan terhadap suatu konsep iterasi yang mereka percayai yang membuat karya mereka, menjadi magnum opus.

CCTV Headquarter programmatic diagram, Rem Koolhas, OMA. Source: Archdaily, OMA
Detail of the roof in the central nave of la Sagrada Familia. Source: SBA73 via Wikimedia Commons under CC BY-SA 2.0

Strategi yang keliru adalah bekerja dengan menghabiskan banyak tenaga dan waktu dengan tanpa kecerdasan. Padahal menyusun daftar prioritas baru hanya merupakan separuh dari suatu persamaan yang utuh. Prinsipnya adalah penyadaran bahwa dalam bekerja, kita harus mencurahkan segalanya untuk fokus dengan konsentrasi penuh pada apa yang telah dipilih berdasarkan prioritas, agar hasilnya semakin baik.

Proses untuk menyeleksi apa pun yang masuk atau diterima sangatlah penting. Oleh karena itu, mendokumentasikan, membagi, dan menjaga jam kerja dengan menggunakan timesheet menjadi prioritas, itu lah work smart.

Namun, bukan hanya pengaturan jam kerja yang perlu diperhatikan, komunikasi yang baik untuk mendelegasikan tugas juga menjadi tantangan tersendiri. Seorang pemimpin tim harus memastikan bahwa setiap anggota tim memahami tujuan dan mengutamakan kepentingan bersama, sehingga proses delegasi dapat berjalan efektif. Hal ini disebut Morgen T. Hansen sebagai bagian lihai bekerja dengan orang lain.

Covey’s Maturity Continuum. Source: https://aaronicabcole.com/7-habits-of-highly-effective-people-habits-1-2/

Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People juga menekankan pentingnya proaktif, menetapkan prioritas, dan memiliki tujuan yang jelas untuk mencapai efisiensi.

Dalam bekerja dengan orang lain, sikap profesional dan kemampuan untuk bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan mereka yang mungkin dianggap sebagai musuh, sangat diperlukan. Mengurangi ego, menghindari konflik yang mengatasnamakan kolaborasi, serta fokus pada produktivitas dan efektivitas adalah langkah-langkah penting dalam mencapai hasil yang maksimal.

Menurut Morten T. Hansen, tujuan pekerjaan haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Meskipun seseorang tahu apa tujuannya, terkadang ia tidak merasa bergairah atau tidak merasa sesuai dengan apa yang diinginkan. Ia menyebut bagian yang sehari-hari itu “Lihai bekerja dengan orang lain”

Praktik Kunci yang Memengaruhi Keseimbangan Keja-Kehidupan. Source: Morten T. Hansen, Great at Work

Hansen mengidentifikasi empat sumber gairah kerja yang penting, yaitu intrinsik, kreatif, perkembangan, dan sosial. Menurutnya, gairah ini tidak hanya mendukung keberhasilan dalam pekerjaan, tetapi juga membantu menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan citra yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, transparansi informasi, pengetahuan, dan kesadaran untuk memahami psikologi serta posisi tim, vendor, dan klien menjadi hal yang krusial. Mengurangi ego, lebih banyak mendengarkan dengan empati, dan melayani dengan sepenuh hati adalah langkah-langkah yang dapat memperkuat hubungan kerja. Dengan pendekatan ini, arsitektur bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan juga jalan hidup yang dapat memenuhi isi hati. Dari sini work heart baru dimulai.

Bagi mahasiswa arsitektur, bergabung dalam kegiatan kemahasiswaan sangatlah penting. Ini merupakan kesempatan untuk mulai melatih diri dalam bekerja tanpa pamrih dan melayani tanpa mengharapkan imbalan. Pekerjaan di bidang arsitektur memang erat kaitannya dengan semangat bekerja tanpa pamrih, yaitu memenuhi kebutuhan klien tanpa menuntut bayaran langsung. Dari sikap tersebut, kepercayaan dan hubungan jangka panjang akan terjalin, dan pada akhirnya, hasil kerja tersebut akan dihargai dengan pantas.

DOT Workshop, RAW Architecture, and OMAH Library Team 2024. Soruce: RAW Architecture
Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Hemingway, Apurva and Metode Iceberg

Kemampuan literasi (membaca, menulis, dan berpikir kritis) sastra di dalam arsitektur seringkali dihubungkan dengan kemampuan mengatasi tantangan hidup. Mulai dari memahami situasi dalam pemecahan masalah, menganalisis kegagalan, hingga bangkit dari kegagalan tersebut. sebuah tulisan dari Realrich Sjarief + Jocelyn Emilia.

Ernest Hemingway menulis “Kehidupan menghancurkan kita semua, tetapi beberapa di antara kita menjadi lebih kuat di tempat-tempat yang hancur.” Realitas kehidupan nyatanya memang penuh dengan cobaan dan penderitaan. Tidak ada seorang pun yang luput dari luka dan kegagalan, tetapi yang membedakan adalah bagaimana respon dari orang tersebut.

Hemingway sendiri juga mengelaborasi metode Iceberg. Seperti namanya, metode Iceberg adalah analogi gunung es yang hanya menunjukkan sebagian kecil dari dirinya ke permukaannya. Bagaimana hanya sebagian kecil informasi yang ditampilkan secara eksplisit, sementara sebagian besar makna atau konteks dibiarkan tersirat untuk disimpulkan. Teknik ini membuat tulisannya menjadi lebih efektif dalam penyampaian, namun juga interpretatif. Tulisannya tidak literal, namun sarat akan puisi.

Iceberg. Source: https://www.50odd.co.uk/icebergs/

Sebagai gambaran contoh tulisan dengan metode Iceberg, “Menara kaca itu berdiri tegak, memantulkan langit biru. Di dalamnya, orang-orang bergerak seperti bayangan, sibuk dengan rutinitas mereka. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti monolit yang tak tergoyahkan, tetapi jika diamati lebih dekat, retakan-retakan halus terlihat di permukaannya.”

Sedangkan tulisan ini tidak memakai metode Iceberg yang teknis, yang saya sering sebut sebagai tulisan mati rasa, “Menara kaca ini dirancang oleh arsitek terkenal, John Smith, dan selesai dibangun pada tahun 2010. Bangunan ini memiliki 50 lantai, dengan total tinggi 200 meter. Fasadnya terbuat dari kaca tempered yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Di dalamnya, terdapat kantor-kantor perusahaan multinasional, restoran, dan pusat kebugaran. Bangunan ini telah memenangkan beberapa penghargaan desain arsitektur.”

Pada contoh tulisan dengan metode Iceberg, deskripsi bangunan sangat sederhana—hanya menyebutkan bentuk, material, dan kesan visualnya. Namun, ada petunjuk tersirat tentang kehidupan di dalamnya, kontras antara kekuatan luar dan kerapuhan dalam, serta mungkin simbolisme tentang ketidaksempurnaan yang tersembunyi. Pembaca diajak untuk mengisi kekosongan makna tersebut dengan interpretasinya sendiri.

Keterampilan Hemingway diasah melalui kombinasi pengalaman praktis, belajar mandiri, dan pengaruh ketika menjadi pengemudi ambulans selama Perang Dunia I (1918) saat ia baru berusia 18 tahun. Pengalamannya menjadi supir ambulans memberinya banyak pelajaran tentang penderitaan, keberanian, dan kekejaman perang. Pengalaman traumatis ini membuka mata Hemingway terhadap sisi gelap kemanusiaan, namun juga mengajarkan tentang ketahanan, keberanian, dan kehormatan.

Hemingway in WWI Red Cross ambulance in Italy, 1918. Source: https://redcrosschat.org/2015/10/09/archives-hemingway-red-cross-italy/wwi-ambulance-in-italy/

Setelah perang, ia bergabung dengan komunitas sastra di Paris pada 1920-an. Di sinilah Hemingway menempa dan mengasah gaya penulisannya yang khas, yang juga dipengaruhi oleh panduan gaya surat kabar The Kansas City Star, yang menekankan kalimat pendek, bahasa Inggris yang kuat, dan menghindari kata-kata yang tidak perlu, prinsip-prinsip ini yang membentuk gaya minimalisnya di kemudian hari. “Pelatihan” sejati Hemingway datang dari membaca dengan rakus dan pengalaman hidupnya.

Hemingway at Shakespeare and Company in the 1920s (Paris). Source: Alamy

Seperti logam yang ditempa api, manusia yang menghadapi kesulitan dengan keberanian dan ketahanan akan menjadi lebih kuat di titik-titik di mana mereka pernah jatuh. Kita bisa belajar dari Hemingway, di dalam alam kehancuran, ada peluang untuk tumbuh, belajar, dan menjadi pribadi yang lebih tangguh. Kuncinya adalah bagaimana kita memilih untuk menghadapi kehidupan-apakah kita akan menyerah, atau menjadikan luka sebagai kekuatan baru untuk melangkah maju.

Novel The Old Man and the Sea karya Hemingway juga digunakan untuk mengajarkan keterampilan membaca, analisis teks, dan penulisan kepada muridnya. Dengan mengangkat tema-tema universal yang tidak intimidatif seperti keberanian, cinta, dan perjuangan, novel ini menarik banyak minat publik. Gaya penulisannya yang cenderung santai menjadikan kisahnya dekat dengan pembaca, dan perlahan meningkatkan kemampuan literasi publik.

Novel The Old Man and The Sea (original cover)

Teman baik kami Apurva Bose, ia adalah seorang jurnalis arsitektur, kurator, editor, dan pengajar di India. Dalam bukunya Architectural Voices of India (2017), ia mewawancarai total 19 orang, dan ia menggali data, fakta, serta realitas dengan sangat baik. Begitu juga dengan karya editorialnya dalam Writing and Literature untuk Architecture Asia. ia menyajikan kumpulan tulisan dari 5 narasumber yang berasal dari latar belakang berbeda-beda di arsitektur.

19 architects in the Architecture Voices of India. Source: https://www.apurvabose.com/book/

Apurva begitu giat mengkampanyekan pentingnya penulisan arsitektur di India. Bahkan setelah tulisannya selesai, ia terus menjaga komunikasi dengan narasumber dan melatih anak-anak muda supaya bisa menulis. Melalui Apurva, sastra dalam arsitektur menjadi lebih inklusif, sehingga lebih banyak orang membaca dan menghargai karya tulis, hingga karyanya diterjemahkan di berbagai bahasa di seluruh dunia.

Bagaimana sastra arsitektur bukan hanya tentang mendeskripsikan bangunan atau ruang berdasarkan fakta yang ada. Arsitektur juga merupakan sebuah ruang untuk mengeksplorasi makna-makna yang lebih dalam yang terkandung dalam praktik, sejarah, dan konteks sosial budaya. Kami belajar banyak dari langkah hidup dan tulisannya.

Salah satu narasumber dari Writing and Literature untuk Architecture Asia, Sumita Singha, turut mengangkat masalah bias dalam penerimaan arsitektur India oleh dunia Barat— bagaimana selama ini narasi yang disampaikan kepada dunia tidak tertangkap dengan baik sehingga seharusnya narasi penulisan bisa mengangkat inti yang lebih substansial.

Narasumber lainnya, Chatterjee, juga membicarakan bagaimana pentingnya sastra dalam kurikulum pendidikan arsitektur untuk menggali makna membentuk ruang, bangunan, dan bahkan cara kita mendesain. Penulisan bukan hanya sebuah refleksi pasif dari arsitektur, tetapi sebuah kekuatan aktif yang membentuk budaya, sosial, dan intelektual kita.

Dalam pengertian ini, arsitektur juga bisa dilihat dari metode Iceberg tadi, di mana banyak elemen penting seperti nilai-nilai budaya, filosofi desain, dan konteks sosial tersembunyi di bawah permukaan bangunan itu sendiri. Dengan penulisan yang tepat, kita dapat lebih mudah memahami makna-makna tersebut dan memberi interpretasi lebih dalam tentang apa yang membentuk arsitektur kita. Hal tersebut memperkaya, memperbanyak variasi dan mempertajam kemampuan berpikir kritis dengan kreatif.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Mengejar Ekor Waktu, Proses De-Tailing

Tulisan kali ini adalah tentang bagaimana seorang arsitek bisa melihat metode melalui tahapan waktu dan observasi di lapangan secara menerus. Dalam refleksi singkat kami, seringkali saat menjalani proyek arsitektur, studio kami melakukan proses detailing yang membuat arsitektur bicara dengan skala yang kecil. Proses detailing ini memakan waktu yang tidak sebentar, dan merupakan cerminan jam terbang yang panjang sekaligus proses transformasi diri. Apalagi jika proyek dikerjakan dalam waktu tidak sebentar karena biaya hanya bisa dikucurkan secara bertahap.

Kami ingat ada Carlo Scarpa dari Venesia yang senantiasa menampilkan elemen-elemen arsitektur yang puitis, artistik, dan memukau.

Carlo Scarpa at Casa Businaro (Monselice), courtesy Archivio Pietropoli

Tulisan oleh Realrich Sjarief dan Hanifah Sausan

Sepanjang karirnya, Scarpa banyak mengerjakan proyek renovasi. Sentuhannya memberikan kehidupan baru yang begitu signifikan pada bangunan lama. Detail-detailnya demikian artikulatif dengan teknik repetisi. Orang yang melihatnya jadi auto bertanya: “Bagaimana ini bisa terbangun? Pasti butuh waktu yang lama.”

Rekam jejak Scarpa menunjukkan dua kecenderungan. Mayoritas proyeknya, terutama di rentang 1930-1960an justru dikerjakan dalam waktu relatif normal, rentang 1-5 tahun. Namun, karya-karya representatifnya yang dikerjakan di 2 dekade terakhir hidupnya memang punya timeline yang cukup ekstensif. Renovasi Castelvecchio Museum memakan waktu 14 tahun. Sementara, Brion Tomb yang menjadi karya terakhirnya sebelum wafat, selesai dalam waktu 10 tahun.

Kalau kita bicara proyek dengan skala sebesar Guggenheim Museum Bilbao karya Frank Gehry yang kita bahas terakhir kali, mungkin waktu sepanjang itu terdengar biasa saja (Gehry bahkan bisa menyelesaikan proyek seluas 24.000 m2 ini dalam 6 tahun saja). Namun, dalam konteks Scarpa, kita bicara proyek dengan luasan antara 2.000-7.000 m2 saja. Ini semakin menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana proyek-proyek tersebut dikerjakan begitu lama, ketika umumnya arsitek selalu kejar-kejaran dengan waktu?”

Pada dasarnya, sebelum benar-benar sampai di titik “selesai”, arsitek tidak pernah benar-benar menggenggam kontrol terhadap durasi pengerjaan proyek. Sekuat apa pun kontrol internal dilakukan, akan selalu ada hal tak terduga dari luar yang membuat pengerjaannya molor. Namun, bagaimana dengan Scarpa sendiri?

Arsitek kelahiran 1906 ini punya metode desain yang tidak hanya terpusat di gambar-gambar kerja, tetapi juga observasi dan pengambilan keputusan di lapangan bersama tukang dan seniman yang menjadi kolaboratornya. Proses perancangannya tidak linier, tetapi terjadi bolak-balik, menghasilkan berlapis-lapis gambar revisi yang menunjukkan upaya bertahap Scarpa untuk memahami apa yang diinginkan desain dan konteks yang mengelilinginya. Scarpa pernah bilang ia harus “melihat” supaya bisa paham, yang artinya proses konstruksi menjadi dialog antara konsep dan realita, bukan semata perlombaan menuju deadline.

Di Querini Stampalia Foundation misalnya, bangunan dari tahun 1869 ini memerlukan renovasi karena lantai dasarnya sering kebanjiran air kanal Venesia. Alih-alih memikirkan bagaimana menghalau air masuk, dalam renovasi di tahun 1961-1963 Scarpa membuat semacam catwalk yang memisahkan entrance dengan aula yang membuatnya seakan seperti dermaga ketika air sedang naik.

Scarpa juga membuat sistem kanal mengikuti dinding-dinding bangunan yang memungkinkan air surut dengan sendirinya. Untuk mencapai ini Scarpa harus mengamati langsung bagaimana air bergerak dan bereksperimen dengan desain kanal untuk mendapatkan leveling air yang tepat. Dan ini membutuhkan waktu serta dedikasi.

Aspek sejarah menambah tantangan proyek-proyek Scarpa yang banyak berupa renovasi bangunan historis. Castelvecchio Museum misalnya (1956–1975), bangunan aslinya sudah berdiri sejak abad ke-14. Direncanakan untuk pameran karya seni dari era medieval, renaisans, dan modern, museum ini membutuhkan sentuhan baru yang sekaligus mampu menghighlight sisi historisnya.

Selain melakukan rekonstruksi pada bagian museum yang terdampak PD-II, Scarpa juga mendesain jalur, tangga, dan jembatan yang menghubungkan berbagai massa di dalamnya. Ia membutuhkan waktu bahkan untuk “sekadar” menemukan perpaduan komposisi beton dan batu medieval yang cocok, atau menentukan peletakan patung-patung koleksi yang pas.

Sensitifitas Scarpa dalam meramu komposisinya banyak dipengaruhi oleh kecintaannya pada sastra dan prosa. Ia melihat desainnya dalam bahasa yang puitis. Bagi Scarpa, setiap elemen seakan bisa berbicara, dan ia mencoba mendengarkan apa yang masing-masing mereka inginkan.

Cara pandang ini mempengaruhi gaya komunikasi Scarpa dengan para tukang dan kolaboratornya. Ia seringkali mendeskripsikan desain atau material dengan ekspresi yang penuh kiasan. Misalnya, ketika menjelaskan tekstur beton untuk tangga baru di Castelvecchio Museum, ia menyebutnya “the breath of stone” atau “a memory caught in the grain”. Tukangnya pun keheranan dan nyeletuk, “Ini orang mau nyetak beton atau nulis puisi, sih?”

Castelvecchio Museum, concrete details

Gemas karena idenya tak kunjung tersampaikan, Scarpa pun mengambil sekop dan mencoba membuat adonan betonnya sendiri. Namun, tampaknya ia memang ditakdirkan menjadi konduktor sahaja, adonan buatannya menggumpal dan proporsinya aneh. Tukangnya pun nyengir, “Cukup, Maestro. Anda gambar, kami yang bangun—kasih tahu feelnya seperti apa, jangan cara nyampurnya.” Giliran Scarpa yang nyengir karena si tukang akhirnya mengerti.

Ada kalanya tukang-tukang Scarpa ikut bermain-main dengan ekspresi puitisnya. Saat menjelaskan sebuah sambungan di proyek Brion Tomb, Scarpa menyebutnya “jabat tangan dari dua material.” Lalu tukang kayunya membalas, “Semoga mereka tidak bertengkar terlalu keras saat hujan,” yang kemudian sukses menjadi bahan candaan di proyek.

Brion Tomb, metal details

Pembawaan Scarpa yang ringan dan humoris seperti menjadi penyeimbang terhadap ekspresinya yang imajinatif, dan barangkali menjadi oase tersendiri di tengah pergolakan yang terjadi sepanjang 1960-1970-an di Italia.

Saat baru memulai karir sebagai desainer di era 1930-an, Scarpa meniti langkah-langkah kecil di tengah rezim fasisme Mussolini. Karirnya baru naik setelah rezim berganti dan PD-II usai. Pemerintah Italia saat itu punya semangat untuk menebus ketertinggalan budaya yang terjadi 2 dekade sebelumnya. Dukungan pemerintah dan kemajuan ekonomi di masa itu nampaknya menjelaskan kelancaran proyek-proyek Scarpa yang didominasi renovasi museum/galeri, setidaknya hingga awal 1960-an.

Sayangnya, kemajuan ekonomi Italia ternyata menyebabkan kecemburuan di beberapa kalangan. Di politik, kubu kanan dan kiri juga saling berebut kekuasaan. Teror dan kekerasan terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Arsitektur pun tidak menjadi perhatian utama saat itu. Ini menjelaskan tersendatnya proyek Castelvecchio Museum dan juga Brion Tomb (1968-1978) yang menjadi magnum opus Scarpa.

Italian strike demonstration, 60s/70s

Proyek pemakaman untuk keluarga Brion ini terletak di pedesaan Altivole, tidak jauh dari Asolo, kota kecil tempat Scarpa menepi setelah menjalani drama gugatan praktik tanpa lisensi di Venesia. Brion Tomb menjadi kesempatan langka bagi Scarpa yang terbiasa dengan proyek renovasi untuk mendesain segalanya from scratch.

Di tempat terpencil ini, jauh dari pusat pergolakan, Scarpa bersama tukang dan seniman kolaboratornya “diam-diam” mencurahkan tenaga dan pengalaman puluhan tahun untuk mengkonstruksi ruang yang begitu puitis dalam percakapan bahasa beton, marmer, logam, dan kaca yang bercerita tentang kematian sekaligus selebrasi kehidupan.

Meski terkendala situasi sosio-ekonomi-politik yang tidak stabil, Keluarga Brion tetap percaya dengan pengalaman dan visi artistik Scarpa sehingga tetap mendampingi hingga akhir. Brion Tomb dinyatakan selesai di 1978, sekitar 10 tahun sejak pertama kali dirancang. Tak berselang lama, Scarpa meninggal dunia saat berkunjung ke Jepang. Jasadnya ikut dimakamkan di Brion Tomb bersama istrinya Nini Lazzari, di bawah batu nisan yang dirancang oleh putranya juga menjadi desainer, Tobia Scarpa.

Dinamika perancangan Scarpa menunjukkan banyaknya faktor yang mempengaruhi durasi pengerjaan sebuah proyek. Visi arsitek semata belum tentu cukup untuk mengawal pembangunan hingga akhir, perlu dukungan ekosistem yang disambut dengan komitmen untuk memberikan yang terbaik. Saat ekosistem sedang tidak berpihak, barangkali rekam jejak dan kesungguhan yang telah dipupuk selama ini akan mebuahkan kepercayaan pada klien, yang akan setia menemani dalam perjalanan yang panjang.

Adakah perjalanan proyek yang lebih lama lagi? Tentu. Megastruktur dari masa lalu seperti Piramida Mesir, Borobudur, Tembok Besar Tiongkok telah menorehkan sejarah yang lebih panjang lagi. Namun, di era ini kita punya keistimewaan menjadi saksi pembangunan karya arsitektur Sagrada Familia rancangan Antoni Gaudi yang setidaknya sudah berjalan selama 144 tahun dan masih terus dibangun. Bagaimana dinamikanya? Mungkin bisa jadi bahasan di lain waktu~

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Jam Terbang Arsitek dalam Ekosistem yang Terbatas

Melihat arsitek-arsitek dengan jam terbang tinggi, kita bisa belajar sebenarnya hal-hal yang substansial justru ada di luar studio sang arsitek atau metode desainnya. Hal yang substansial tersebut terkait klien, komunikasi, dan bagaimana memposisikan diri.

Refleksi ini membuahkan tulisan-tulisan, termasuk tulisan ini yang ditulis oleh kami, Realrich Sjarief + Hanifah Sausan. Dengan bingkai praktik Frank Gehry, Alvaro Siza, dan Enric Miralles, juga melihat perjuangan panjang studio kami melalui refleksi strategi-strategi mereka yang membuat kami belajar kembali.

Seperti Frank Gehry dengan metodenya, ia bisa menjanjikan kepastian biaya, mutu, dan waktu. Dengan senjata CATIAnya, kita bisa melihat bagaimana leway jam terbang mereka yang berdekade-dekade, mereka memposisikan diri agar bisa dipercaya dengan metode desain, bentuk, dan teknik eksekusi yang pembiayaannya ketat. Begitu pun Alvaro Siza yang melakukan kontrol desain yang ketat, meskipun apa dikata klien dan dinamika politik proyek publik yang berkata berbeda. Juga Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue yang perlu menelan pil pahit meledaknya biaya di luar kendali untuk mempertahankan bentuk, tetapi di saat yang bersamaan menemukan hasil yang berbeda di proyek pasar Santa Catarina. Metode satu seakan-akan tidak kompatibel dengan metode yang lain.

Selihai-lihainya kapabilitas seorang arsitek, ada begitu banyak kondisi yang tidak bisa dikontrol yang membuat arsitek menjadi jembatan komunikasi, persetujuan antar-kepentingan, menanggung resiko beban biaya, mutu, dan waktu dengan kuasa yang terbatas. Seorang mediator.

Frank Gehry. Source: AFP/Getty Images

Di tahun 1991, Frank Gehry mendapat komisi untuk dua proyek penting, Guggenheim Museum Bilbao dan Walt Disney Concert Hall. Namun, keduanya punya nasib pembangunan yang berbeda.

WALT DISNEY CONCERT HALL: FRANK GEHRY’S ORIGINAL SKETCH. Source: Google Arts & Culture

Di proyek Walt Disney Concert Hall, peran Gehry terhenti di fase perancangan. Para eksekutif skeptis dengan bagaimana Gehry dianggap tidak mampu sehingga desainnya dilempar ke arsitek lain untuk dieksekusi. Namun, ternyata mereka malah kebingungan bagaimana membangun desain Gehry yang melengkung-lengkung, sehingga proyek itu terhambat hampir 10 tahun.

Initial sketch of Guggenheim Museum Bilbao

Sementara, di Bilbao, sejak awal Gehry mendapat kepercayaan untuk merealisasikan desainnya. Gehry bereksperimen dengan berbagai software permodelan, salah satunya CATIA yang biasa digunakan untuk permodelan pesawat terbang.

Full 3d model of Gehry’s project using CATIA (Shelden, 2002)

Software CATIA memungkinkan Gehry dan timnya menggambarkan berbagai lekukan massa yang dinamis, sekaligus menunjukkan bagaimana desain bisa dibangun hingga sedetail gaya tekanan yang diterima tiap material sesuai sifat dan spesifikasinya. Dengan ini kalkulasi anggaran terdesain lebih akurat.

Ia butuh 2 tahun hingga mencapai titik optimal sebelum masuk ke fase konstruksi di 1993 dengan waktu 4 tahun dan biaya sesuai anggaran. Museum resmi dibuka pada 1997 dan sukses.

Guggenheim Museum Bilbao

Keberhasilan museum di Bilbao menumbuhkan kepercayaan pada stakeholder Walt Disney Concert Hall untuk “mengembalikan” proyek ini pada Gehry di tahun 1999. Dengan metode permodelan yang sama, concert hall ini berhasil dibangun sesuai perkiraan waktu serta biaya. Ketika resmi dibuka tahun 2003, proyek ini mengenalkan Gehry sebagai arsitek dengan bentuk unik, tepat waktu, tepat biaya.

Walt Disney Concert Hall

Sementara itu seorang Alvaro Siza, pada 1973 ditunjuk pemerintah Protugal untuk merancang perumahan rakyat Bouça bagi masyarakat ekonomi rendah yang mendiami kawasan kumuh nan padat di Kota Porto.

Alvaro Siza

Dalam proses perancangan, Siza banyak berkomunikasi dengan calon penghuni untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik, sekaligus untuk menghindari biaya renovasi di masa depan akibat penghuni tidak puas dengan desain yang ada.

Standar material yang baik pun tetap dijaga dengan pasangan batu bata lokal yang tahan cuaca dan api karena dinilai lebih murah dan lebih mudah dibangun ketimbang beton.

Meski lahannya terbatas, Siza ingin menghadirkan rumah yang cukup lapang, sehingga ia menumpuk dua rumah bertingkat menjadi struktur 4 lantai. Dengan ini ia bisa menambah luasan per unit tanpa mengurangi jumlah rumah yang dibangun dengan manusiawi.

Bouça Housing Complex, plan.
Bouça Housing Complex, section.
Bouça Housing Complex, First Phase.

Siza berhasil menyelesaikan tahap pertama sebanyak 58 unit dari total 131 unit yang direncanakan. Namun, pembangunan tahap kedua dihentikan oleh klien karena dinamika politik di Portugal.

Bouça Housing Complex, Final Phase.

Baru 30 tahun kemudian, pemerintah Portugal berinisasi untuk menyelesaikan perumahan Bouça. Alvaro Siza diundang kembali menyelesaikan tantangan masa kini dengan efisiensi energi. Pada 2006, akhirnya kita bisa melihat perumahan ini selesai dibangun dalam rentang waktu lebih dari 3 dekade.

Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue (EMBT). Photographer: © Yoshio Futagawa

Yang ketiga adalah arsitek Spanyol, Enric Miralles dan Benedetta Tagliabue (EMBT) yang menghadapi dua realitas berbeda di tahun 1997-2005. Mereka sukses menjaga anggaran di Pasar Santa Caterina, tetapi di saat yang sama mengalami dilema karena pembengkakan dana di proyek Gedung Parlemen Scotlandia.

The Old Santa Caterina Market.

Di Pasar Santa Caterina, EMBT melakukan renovasi terhadap bangunan pasar yang sudah berdiri sejak 1840-an. Seperti Siza, mereka berdialog dengan para pedagang dan pengguna untuk memastikan desain yang baru bisa membentuk harmoni dengan bangunan lama dan mendukung kegiatan yang selama ini sudah berjalan di sana, sembari menjaga anggaran tetap ideal.

The New Santa Caterina Market.
Santa Caterina Market, interior.

Desain akhirnya memanfaatkan kembali fasad asli pasar, ditambah struktur atap parabolis yang ditopang kolom beton dan baja serta rangka kayu. Kenaikan atap yang signifikan memungkinkan cahaya alami masuk yang menghemat energi dengan 325 ribu tegel keramik lokal berwarna-warni. Renovasi dilakukan secara cerdas dalam pentahapan sepanjang 2001-2004. Pada 2005, pasar ini akhirnya bisa selesai dan sukses.

Berikut adalah video kunjungan kami ke sana yang diedit oleh Lu’luil Ma’nun: klik di sini. https://youtu.be/Jw6893ZyBM4

Scottish Parliament Building.
Scottish Parliament Building, interior.

Sedangkan, situasi yang kontras terjadi di Gedung Parlemen Scotlandia yang dirancang dan dibangun di masa yang sama. Dana membengkak 10 kali lipat karena visi yang terlalu ambisius untuk menunjukkan identitas dan karakter alam Skotlandia pada desainnya. Sementara, hal ini tidak dibarengi komunikasi efektif dengan klien.

Ketiga contoh dinamika ini menggambarkan bagaimana perencanaan yang matang dan komunikasi yang efektif menjadi kunci optimalisasi BMW: biaya, mutu, dan waktu dari sebuah proyek. Akan tetapi, arsitek perlu selalu terbuka dengan berbagai kemungkinan, juga perlu menyadari keterbatasan kondisi sekitarnya: sejauh mana seorang arsitek bisa mengontrol, atau kapan saatnya memposisikan diri dengan komunikasi yang sehat. Dinamika waktu membuat sang arsitek perlu sabar, rendah hati, dan terus bisa berkarya, meski proyeknya tidak berjalan mulus, ataupun berhenti.

Siapa tahu beberapa dekade kemudian, nasib berkata berbeda. Persis seperti kata pak Yuswadi Saliya, arsitek ada di gerbong belakang.

Kategori
blog

Lumintu House featured in ArchDaily

Our work, Lumintu House, is featured in Archdaily. It’s huge effort by clients and the team involved in these continous years, refining the crafts, tons of itterations, hard work by everybody.

This project has a unique way to test methods to reduce the temperature by shading and air ventilation with modification to cool fresh air. Our design team also carries out the thermal simulation effort by providing a responsive form, increasing wind speed, and reducing temperature. The fins outside are extended as a 3.5 m canopy on the ground floor, providing a shaded space similar to sitting under a tree. This design also protects the surrounding plants from excessive sunlight and forms a soft, seamless transition. In the middle of the house, we design active fan and wind tunnel to lower humidity provide air stacking effect inside the house. Lumintu House also has a rooftop garden to add insulation and provide biodiversity on site.

To create a bioclimatic architecture is not easy, involving the team, acceptance from the client, and testing again in post-construction by our team, so we can reflect on being better for the next journey.

Thank you, @archdaily and @miwanegoro as the ArchDaily curator. We are honoured to be featured in archdaily.

Further Credit:
Architect: Realrich Architecture Workshop | @realricharchitectureworkshop
Lead Architects: Realrich Sjarief
Structure Engineer: PT. Cipta Sukses
Management Construction: DOT Workshop
Design and Project Team: Realrich Sjarief, Alim Hanafi, Joana Agustin
Support team: Rico Yohanes, Aqidon Noor Khafid, Sharfina Nur Dini, Sofiana Estiningtya, Pandu Nazarussadi
Prefinishing design team: Erick, Septrio Effendi, Miftahuddin Nur Hidayat, Kanigara Ubazti Putra, Fadiah Nurannisa, Tirta Budiman, Larasati Ramadhina
Interior Design: Realrich Architecture Workshop
Landscape Design: Realrich Architecture Workshop
Analytic Team: Alya Hasna Rizky Riandita, Aditya Kosman
Photographer: @kiearch, @aryophramudhito, @luil_mn
Videographer: @kiearch

#Lumintu #ArchDaily #realrichsjarief #realricharchitectureworkshop #arsitekturindonesia #house #residential

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Membangun Diskusi yang Substansial

Akhir-akhir ini, studio kami fokus pada hal-hal yang substansial dan penting. Hal ini bermula dari pengalaman menghadapi kritik, sanggahan, atau ajakan untuk berdiskusi dalam presentasi atau workshop yang kadang membuat kita merasa tidak percaya diri. Tidak jarang juga kata-kata yang dilontarkan mencerminkan frustrasi, kekesalan, dan keterbatasan dari pembicara, yang bisa menyebabkan perdebatan menjadi berputar-putar dan kehilangan substansi. Vibrasinya pun membuat orang lain ikut merasa kesal, frustasi, dan bingung.

Menurut Mark Twain, kata-kata yang bertujuan membuat orang lain merasa tidak berdaya justru akan membuat orang yang melawannya terlihat bodoh. Persepsi memang bervariasi, dan selama tidak melanggar norma dasar, tidak ada yang salah. Namun, inilah yang sering memicu kesalahpahaman dan konflik yang tidak disengaja.

Twain juga memperingatkan bahwa perbedaan pola berpikir yang ekstrem dapat memicu kekesalan, membuat diskusi menjadi terlalu personal, dan bahkan menumbuhkan dendam pada pihak yang kalah. Kutipan ini juga jadi sindiran bahwa orang yang tidak bijak sering kali berusaha memenangkan perdebatan bukan dengan logika atau fakta, tetapi dengan permainan kata-kata yang membuat lawan bicaranya terprovokasi.

Perbedaan pola berdebat dan berpikir ini sering kali menyebabkan kesalahpahaman yang mencerminkan ketidakselesaian pribadi antara pihak-pihak yang terlibat. Di sinilah gagasan substansial menjadi sangat penting: apa tujuan diskusi, apa solusi yang ditawarkan, dan variasi penyelesaian masalah yang ada? Jon Lang dalam bukunya Creating Architectural Theory membahas hal ini, serta apakah semua pihak dapat memahami pesan yang disampaikan dengan tepat. Semua itu harus disampaikan dengan mempertimbangkan batasan biaya, mutu, dan waktu yang dapat diterima bersama.

Ketika seseorang yang tenang, rasional, dan tidak emosional berhadapan dengan pihak yang emosional, maka ekosistem diskusi bisa menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman psikologi yang baik untuk membentuk diskusi yang sehat. Lang menyebutkan bahwa gagasan yang substansial adalah kunci untuk menghasilkan kualitas diskusi, sementara label dan status justru menjadi hambatan. Proses awal yang penting adalah memiliki pemimpin diskusi yang berkualitas—seseorang yang rendah hati, fokus pada tujuan bersama, dan mampu menanggalkan status atau label yang dimilikinya. Konsep ini juga dibahas oleh Robin Sharma dalam bukunya Leadership with No Title, yang menggambarkan pemimpin yang bijaksana, tegas, dan fleksibel dalam satu karakter yang sama.

Jika proses diskusi dua arah tidak terjadi, cara terbaik untuk menghadapi kekesalan atau kebodohan yang disebut Twain bukan dengan berdebat, tetapi dengan menjaga kebahagiaan diri sendiri. Tentunya, hal ini membutuhkan akal sehat, kasih sayang, dan sikap berpikiran positif.

Jika segala upaya telah dilakukan tetapi hasilnya masih belum optimal, tetaplah positif dan terus melangkah dengan bahagia. Jangan diam, ucapkan, “Maaf, saya tidak sempurna, mohon dimaafkan, terima kasih atas waktunya,” dan katakan dengan tegas, “I love you.” Mungkin Anda belum mengenal pemimpin diskusi yang tepat.

Untuk menjadi hebat, memilih tempat yang tepat untuk fokus, termasuk mendekatkan diri dengan pemimpin yang berkualitas, sangatlah penting. Di sinilah presentasi menjadi sarana untuk menyajikan mutu, membangun diskusi dua arah yang saling memperkaya, demi menciptakan proses desain yang sehat di dalam studio.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

Overbudget, Kritis, dan Tumbuh

Ini adalah cerita soal satu dari 3 strategi desain yang mempertanyakan fenomena over-budget, Kritis, dan tumbuh dari diskusi sekitar kami, yang dikembangkan di Guha oleh Realrich Sjarief + Hanifah Sausan

Refleksi singkat dari beberapa cerita di sekitar kami: sebuah karya arsitektur milik kawan kami yang bisa sampai over-budget berkali-kali lipat misalnya, merupakan hal yang jadi catatan. Mungkin saja ada hal yang berubah karena program misal belum sempurna, belum dipikirkan matang, atau ada deviasi karena kurangnya ahli dalam eksekusi. Atau bisa saja itu merupakan strategi dari seorang arsitek untuk mempengaruhi klien, mendapatkan persetujuan.

Cerita terkenal tentang desain Fallingwater oleh Frank Lloyd Wright mengisahkan bagaimana ide proyek tersebut “mengalir begitu saja dari Wright” dalam ledakan inspirasi selama tiga jam. Dan memang ada benarnya.

Pada pagi hari tanggal 22 September 1935, Wright menerima panggilan telepon mendadak dari E.J. Kaufmann yang mengatakan bahwa ia akan tiba di Taliesin dalam beberapa jam dan ingin melihat perkembangan desain yang telah dibuat Wright.

“Wright berkata, ‘Tentu, kita akan bertemu nanti,’ padahal sebenarnya ia belum memiliki desain sama sekali,” kata Catherine Zipf, seorang penulis yang fokus pada karya-karya Wright. “Jadi Wright duduk bersama para murid di Taliesin dan mulai menggambar.”

Meskipun Wright memang membuat sketsa awal Fallingwater dalam tiga jam tersebut, ide-ide arsitektur radikal di baliknya sebenarnya telah berkembang dalam pikirannya selama berbulan-bulan.

Faktanya, menurut Zipf, Wright telah bereksperimen dengan prinsip-prinsip rekayasa di balik Fallingwater selama beberapa dekade. Beton, konstruksi kantilever, integrasi air yang mengalir, bahkan membangun di atas lokasi alami—semua konsep tersebut telah ia eksplorasi sejak tahun 1920-an, dan kini semuanya menyatu dalam sebuah proyek ambisius.

Ketika E.J. tiba di Taliesin, Wright menunjukkan sketsa yang baru saja dibuat lengkap dengan nama, “Fallingwater.”

E.J. berkata kepada Wright, “Saya kira Anda akan meletakkan rumah di dekat air terjun, bukan di atasnya.” Dan Wright menjawab, “E.J., saya ingin Anda hidup bersama air terjun, bukan hanya melihatnya, tetapi agar ia menjadi bagian integral dari hidup Anda.”

Fallingwater pun kini dianggap sebagai mahakarya arsitektur modern dan karya terbesar Frank Lloyd Wright. Namun, egonya yang besar dan sering kali mengabaikan saran dari para insinyur menyebabkan beberapa kompromi pada stabilitas struktural, yang akhirnya menjadi masalah serius di kemudian hari.

Struktur kantilevernya yang ikonik itu bermasalah. Balok beton utamanya mulai melengkung tak lama setelah selesai dibangun karena Wright mengabaikan rekomendasi dari para insinyur untuk memperkuat struktur dengan baja yang cukup. Akhirnya pada tahun 2000-an, bangunan ini memerlukan perbaikan besar untuk mencegah kegagalan struktural total, yang menghabiskan biaya jutaan dolar. Perawatan rutinnya juga memakan biaya yang tidak sedikit.

Selain itu, karena rumah dibangun di atas air terjun, tingkat kelembapan di dalam rumah sangat tinggi, menyebabkan masalah seperti jamur dan kerusakan material interior. Sekaligus Suara air terjun yang konstan bisa sangat bising, mengganggu kenyamanan penghuni.

Meskipun visualnya mengesankan, beberapa ruang di dalam rumah tergolong sempit, dengan langit-langit rendah yang bisa membuat beberapa orang merasa klaustrofobik. Beberapa ruangan memiliki pencahayaan alami yang terbatas karena desain overhang (atap yang menjorok keluar) yang ekstrem.

Meskipun ada berbagai kritik tersebut, Fallingwater tetap menjadi ikon desain arsitektur organik dan sering dipuji karena keberaniannya dalam mengintegrasikan alam dengan ruang hidup.

Dari sini kita bisa kembali belajar bahwa di balik bentuk yang mencengangkan, ego seorang arsitek seharusnya menjadi jembatannya untuk mempermudah kehidupan banyak orang. Dari kegagalan struktur, kelembapan, dan sulitnya akses, refleksi menjadi satu poin strategis yang penting dalam arsitektur. Selain pendekatan pertama di atas, ada dua strategi lain nanti kita bahas dalam utas selanjutnya.

Ada strategi lain juga yang erat berkaitan dengan resource, biaya, metode konstruksi, dan desain itu sendiri, sehingga luas bangunan menjadi efisien. Ini teknik yang digunakan Frank Gehry dalam Bilbao Museum, dan Alvaro Siza, Eduardo Souto de Moura dalam beberapa desainnya sehingga melahirkan arsitektur yang serba putih. Resources yang minimal dikerjakan dalam sekali jalan.

Pendekatan yang ketiga bisa dilihat dari arsitektur yang tumbuh dan dikerjakan dalam waktu tidak sebentar. Detail yang diulang dan dielaborasi dengan tangan-tangan terampil. Kadang-kadang tidak semua resource dimiliki di awal perencanaan. Di sinilah desainer Carlo Scarpa dengan Castelvecchio ataupun Gaudi dengan Sagrada Familia jadi satu contoh bagaimana seseorang yang bisa mendorong dengan segenap asa dan keringatnya. Budget itu tumbuh, desain itu tumbuh.

Peran arsitek dalam berkomunikasi jadi penting untuk menjembatani ekspektasi dan juga bersikap proaktif dalam memecahkan masalah. Setiap titik membutuhkan komunikasi yang matang, di situlah sikap diri untuk tidak hanya ahli, tapi memiliki tujuan yang fokus pada klien dan masalah proyek yang banyak sekali. Namun, bukan hanya komunikasi yang menjanjikan, tetapi juga ujian untuk terus fokus dan konsisten menjadi proaktif, menghindar dari menjadi arogan, dan mendefinisikan kesederhanaan dari rendah diri menjadi rendah hati. Ini 3 titik yang tidak perlu dipilih karena bisa saja ada arsitek yang menjalaninya sekaligus, meskipun bisa batuk-batuk karena namanya integrasi tidak akan mudah.

Kategori
Arsitek dan Arsitektur dalam Ruang dan Waktu? blog tulisan-wacana

“Brothering” Geoffrey and Bevis Bawa, Perjalanan Dukung Mendukung dalam Bersaudara.

Di dalam praktek arsitektur, bagaimana memperlakukan klien dengan baik menentukan masa depan praktek arsitektur arsitek. Perlakuan seperti saudara, memperjuangkan klien seperti saudara, adalah komitmen yang membuat seseorang sukses. Berbahagialah apabila memiliki saudara / kawan yang selalu mendukung sepenuh hati, untuk meletakkan kepercayaannya ke tangan kita.

Brothering, hal yang jarang dibahas di dalam literatur arsitektur, justru dibahas di buku Robson tentang relasi Bawa brothers, sang adik Geoffrey dan sang kakak Bevis. Bevis menulis surat untuk kawan – kawannya, supaya menjaga adiknya yang baru pulang. selama puluhan tahun ia tidak menghabiskan waktu dengan adiknya, lalu Geoffrey harus pulang karena kesulitan ekonomi. Dan Bevis menunjukkan bisnis taman/ladang karet, sebagai kesehariannya.

Geoffrey melihat desain The Brief, kediaman Bevis, dan ia terinspirasi untuk tinggal di Sri Lanka dan belajar untuk membuat salah satu master piece desain Geoffrey di Lunagangga. Robin Maugham berceloteh “Brief is a Paradise: it is Shangri-la, a glimpse of Nirvana- call it what you will after you have been to see it. ” Saya berpikir bagaimana seseorang menulis sebuah tempat yang penuh aura misterius seperti itu, sampai – sampai kita yang membaca buku itu begitu ingin melihatnya.

Untungnya Robson dan Dominic menulis buku tentang mereka, dibalik lansekap Bawa ada hubungan yang lekat antara keduanya. Bukunya berjudul Bawa The Sri lanka Garden. Bevis kehilangan ayahnya di 1922, Bevis tinggi-besar, berbeda dengan Geoffrey yang lebih kurus dan rupawan, mereka berbeda umur 10 tahun. Geoffrey lebih banyak menghabiskan waktu di Eropa, berbeda dengan Bevis yang dalam satu saat terkena TBC yang membuat ia diminta berkeliling Cina, Jepang, Singapore, Hongkong.

Dalam pembicaraan dengan Channa Daswatte, ia berkata “I remember going to China. I remember vaguely, walking through dusty chinese squares, yellow walls, big doors. I don’t think at the time that one assessed these as such… but it all gave me feeling of pelasure, because one enjoyed the whole journey. I remember the Summer Palace and that great marble boat, pretending to be afloat… and lots of long corridors, galleries fo red laquer.”

Ini yang saya percaya, perjalanan ke timur, sangat penting untuk melihat bagaimana lansekap / arsitektur di cina dan banyak tempat di asia memiliki relasi dengan sejarah, materialitas, bentuk yang menurun kesejarahan yang kental masih turun dengan vista, simbol dengan skala besar dan kecil, semua ada di dalam satu area. Sebuah hal yang menjadi filosofi, yaitu “Embracing Things” dari situlah rasa, kesederhanaan yang elegan itu muncul dalam representasi kecantikan yang apa adanya.

Di balik debu, ada sejarah, ada pengaturan, ada desain, dan ada sebuah visi tentang kesederhanaan.Sedangkan Geoffrey menghabiskan waktu di eropa, setelah ia menyelesaikan studi hukumnya, ia pindah ke London dan tinggal bersama lingkaran dekatnya, Guy Strutt, yang adalah anak dari Lord Rayleigh yang memiliki banyak koneksi orang – orang kerajaan, dan properti seperti taman dan kastil.

Satu saat ia diajak oleh seorang arsitek untuk melihat karya arsitektur dari Andrea Palladio, dan taman Lombardy, dan Veneto. Perjalanan itu tidak terlupakan dan menjadi benih cintanya akan arsitektur Italia. Sebuah perjalanan ke barat di masa mudanya. Dua definisi barat dan timur ini sifatnya personal dan adalah sebuah perziarahan batin antara 4 kutub, kekuatan, kapital dan tradisi juga kerakyatan yang saling mengikat.

Bisnis Bevis di penjualan kayu karet tidak menguntungkan, kayu karet diproduksi dengan harga 9 cents – dan ia menjualnya sebesar 6 cents. Bevis bercerita ” I told my mother that if we cut down 200 trees we would lose less. Her mathematical capability was as shocking as my own and she said You seem to have a point there, but le’ts not go into it to deeply. Howver I agree that a view from you house is absolutely essential.”

Bertha menyetujui dan melihat bahwa bisnis yang lain harus dibuat, dan view rumah mereka begitu indah dengan lansekap yang besar. Lalu Ia melanjutkan bisnis dengan membuat peternakan, dan ayam, dan nursery tanaman, yang dijual ke kelas menengah di colombo. Ketika Geoffrey pulang dari Eropa itulah yang dilihatnya, yaitu Taman bernama The Brief.

Di Tahun 1950, bisnis peternakan mengalami kegagalan tapi bisnis nursery tanaman sukses, dan taman tersebut dikenal luas. dan banyak orang datang untuk melihat dan membeli , Bevis didapuk menjadi desainer taman yang terkenal, dan bersama kawannya ia memulai bisnis desain lansekap. menariknya justru Bevis tidak pernah diundang untuk mendesainkan taman untuk saudaranya, bahkan ada catatan oleh Robson bahwa Geoffrey menginstruksikan kliennya untuk tidak menyewa Bevis.

Lalu di tahun – tahun berikutnya Begitu banyak orang – orang berbakat datang, artis – artis Sri lanka, seperti artis batik : Ena de Silva, Desainer Barbara Sansoni, Artis, Laki senanayake, penari Chitrasena dan Vajra. Bevis adalah pusat dari lingkaran itu, dan Brief adalah tempat bertemu mereka. dalam akhir hidupnya ia mewariskan rumah dan tanah 7 acre ke kawan baiknya Dooland, dan membagi 22 acre tanah ke 5 orang pembantu terdekatnya.

Bevis belajar dari sekitarnya, hal ini menunjukkan bahwa seseorang desain belajar dari figur sekitar mereka, mereka mendengarkan cerita, dan mendapatkan banyak rencana dari sekitarnya. Dengan kerendahan hati, di sekitarnya terciptalah hub, pusat – pusat perlintasan informasi, energi, dan jiwa yang sampai sekarang bisa kita semua nikmati dalam turunan gaya arsitektur “Bali Style”.

Bevis memiliki empati yang besar dan baru kali ini saya melihatnya melalui jejak – jejaknya yang dikumpulkan oleh Robson dan Dominic. Sampai seseorang tuan tanah di bali, Waworuntu dan mendesain tanjung sari, satu butik hotel pertama di dunia, dimana kawan donald yang pernah ke brief menginspirasi mereka untuk membuat desain.

Robson menulis “The hotel incroporated many features inspired by friend’s experiments with Bevis at Brief-friezes of decorated terracotta tiles, paving slabs decorated with the imprints of leaves, open – air bathrooms. …. it was key.. of what came to be known as “Bali Style”, later in 1973, friend invited Geoffrey Bawa to Bali and commissioned him to design an estate of fifteen exclusive villas at Batu Jimbar.

Batu Jimbar adalah salah satu awal dari desain modern yang terintegrasi dengan elemen budaya yang menjadi cikal bakal bagaimana arsitektur bali bisa dipandang di dunia dengah desain hotel yang eksotik. Dari sebuah ziarah, diskusi, bisnis Bevis-Bertha- sampai ke Geoffrey, turunan itu kompleks namun mudah dipahami sebagai aksi cinta Bevis pada sekitarnya.

Termasuk cintanya pada sang adik. Ia menulis. “I have started my memoris and I have to bring my brother in to them at some stage… Though Geoffrey and I are dearly fond of each other we are strangers and … to avoid upsetting each other, … communicate through third parties… I remember seeing a book in which Geoffrey was described as one of the best architects in the world. Let me know all such detail but Don’t tell Geoffrey about my request. He knows, I don’t know how, that I am writing my life story. In writing about him I intend to leave out all his weaknesses, only telling about his extraordinary charisma, which enables him to get all he wants and desires.”

Sang kakak dengan segala otoritasnya sebagai kakak, di sini memberikan toleransinya, solidaritasnya yang bisa terjadi karena posisinya yang lebih tua. Tetapi untuk mengakui bahwa sang adik memiliki kredibilitas untuk dijaga, adalah aksi cinta. Dimana sekali saudara tetaplah saudara, dukung mendukung itu biasa, namun begitu abstraksinya adalah cinta yang sepenuh hati, dalam umur yang makin menua, segala kebaikan itu membuahkan kemumpunian, sebuah master piece, Magnum Opus yang bisa dilihat sampai sekarang, energi inspirasinya menyebar dimana – mana dalam karya, pemikiran, dan abstraksi yang jujur dan mendalam. Itulah magisnya arsitektur dengan hubungan personal, benci dan cinta menjadi sebuah perjuangan bersama.

Kategori
blog

Integrasi Tanaman, Jembatan Kayu, Kolam, dan Aktivitas di dalamnya

Foto ini menunjukkan transformasi ruang yang berisi integrasi tanaman, jembatan, kolam, dan aktivitas orang-orang yang kadang-kadang makan bersama di tengah courtyard, ruang tengah kami. Jembatan di sini juga adalah sebuah transformasi dari susunan kayu-kayu yang dirangkai seperti perahu dan ditambatkan di dinding, dilengkapi dengan kombinasi tanaman-tanaman di sekitarnya. Di bagian ini, fasad bangunan yang menghadap ke selatan adalah fasad yang terdingin, tempat kami mendapatkan suhu dengan temperatur paling rendah, sebelum masuk ke ruangan-ruangan di alamnya. Courtyard ini juga dikelilingi oleh tiga pohon besar yang memang sudah ada sejak dahulu.

Di courtyard ini juga terdapat pecahan-pecahan batu yang yang tadinya tidak terpakai namun dirangkai satu persatu menjadi mozaik, serta tempat duduk-duduk untuk bersosialisasi. Sisi sebaliknya adalah sisi bangunan yang menghadap ke barat, di mana terdapat banyak kanopi yang dikelilingi tanaman, tangga yang juga berfungsi sebagai kanopi, dan beberapa komposisi yang menyatukan berat dan ringan. Keseluruhan komposisi membentuk bayangan supaya suhu bisa turun dan kelembapan bisa turun dengan penghawaan yang baik.

Improvisasi dan eksperimen dilakukan dalam ruangan ini ditujukan menggali kesiapan dalam berkarya, ada persiapan yang selalu diperhatikan untuk proyek ke depannya.

Architecture by @realricharchitectureworkshop
Photography and Videography by @kiearch

Kategori
blog

Ruang yang Terus Tumbuh

Foto kali ini bercerita tentang ruang di antara bagian yang kami sebut OMAH kaca dan ruang material. Ruangannya terdiri dari toilet yang dahulu dipakai oleh tukang-tukang, dan hingga saat ini tidak pernah dibongkar, tetapi terus-menerus diperbaiki. Tukang-tukang yang mengerjakan area ini juga terbagi menjadi tiga bagian: tukang yang menggali dan membuat toilet, tukang yang mengerjakan bambu, dan tukang yang mengerjakan bagian kaca.

Akses masuk yang lebih privat ke ruangan perpustakaan terbuat dari material kaca. Area ini sendiri diselimuti oleh tanaman di dinding-dindingnya untuk memberikan insulasi termal. Hal ini juga perlu dikombinasikan dengan kipas angin, sehingga kami menempatkan beberapa kipas angin untuk menjaga kelembaban tetap rendah. Area ini juga merupakan tempat di mana kastil bambu mulai dibangun, sehingga bangunan bambu ini selesai dengan dibangun dari atas ke bawah. Jadi area lantai kaca hingga ke bawah adalah sebagai hasil dari menggali sampai ke tanah keras dan batas air tanah.

Bagian ini juga sebenarnya adalah sebuah riset tentang bagaimana mengembangkan ruangan tanpa AC, namun tetap bisa menyentuh suhu yang nyaman. Karena tidak ada cahaya matahari di dalam ruangan, lantai kaca dipilih karena sifat dan mutunya yang stabil dan kekuatannya yang bisa menopang orang-orang yang beraktivitas di atasnya. Menuju ke lantai di bawahnya, lantai perforated dirancang untuk memungkinkan sirkulasi udara alami yang bisa melingkupi tiga lantai sekaligus. Di sini juga terdapat banyak testimonial yang tertulis di dinding. Ruangan ini menjadi sumber harapan bagi kami, ketika kami membutuhkan semangat, kami datang ke sini untuk melihat berbagai rangkaian kata-kata testimoni tersebut.

Arsitektur kami refleksikan sebagai begitu banyak harapan yang menjadi kata-kata. Inilah permulaan dari budaya tulisan ini, karena keinginan untuk mengapresiasi, di sini justru testimonial menjadi jalan bagi kami untuk tumbuh, membuka diri, berkontribusi, dan melangkah lagi.

“energy flows where attention goes”

Architecture | @realricharchitectureworkshop
Photography and Videography by @kiearch

Kategori
blog

Suwon Convention Center – Korea

We are deeply honored and grateful to have been selected as one of the “100 Architects of the Year” for 2024 by the Korean Institute of Architects (KIA). We are thankful to have had the opportunity to be part of the international invitational exhibition at the Suwon Convention Center in Korea, alongside 109 talented architects and 83 teams.

We extend our heartfelt thanks to Han Young Keun, the President of KIA, and Regina Gonthier, the President of the International Union of Architects (UIA), for their support and belief in our work.

We are truly humbled to have been part of the exhibition alongside so many talented architects from around the world. The incredible work on display was truly inspiring, and we are amazed by the creativity and innovation that continues to shape the field of architecture. This recognition is not just ours but a reflection of the collaboration and dedication of all those who contribute to the field of Indonesian architecture.

Our Guha the Guild project that featured in the exhibition reflect our ongoing commitment to creating bioclimatic architecture. A core principle of our work is to create comfortable, energy-efficient spaces by optimizing natural ventilation, allowing cool breezes to naturally regulate and lower the indoor temperatures. This approach not only minimizes energy consumption but also creates healthier and more sustainable environments that prioritize the natural rhythms of the climate.

As we look ahead, we are filled with hope for the future of architecture and the continued opportunities to learn, grow, and contribute to creating meaningful spaces for all.

Architectural photography by @aryophramudhito @luil_mn
Product photography by @luil_mn

Kategori
blog

Tempat Kami Berbagi Dialog, Musik, dan Kenangan

Foto ini menunjukkan ruang foyer yang adalah hasil dari banyak pertimbangan. Pertimbangan akan ruang yang tidak terlalu besar dengan lebar 2.5 meter, namun bisa memancing dialog. Ruangan ini seperti lorong yang bisa dipakai sebagai tempat duduk. Jika melihat ke atas, terdapat skylight seperti tumpang sari yang berundak-undak, juga skylight dengan bentuk lebih sederhana. Di bawah skylight sederhana itu, terdapat ruangan dengan perforated metal yang digunakan sebagai gudang yang terorganisir. Angin dan cahaya bisa masuk melalui perforated metal, dan juga bisa diinjak sebagai lantai.

Di ruangan ini, saya juga bertemu dengan banyak musisi yang datang secara tak terduga dan memainkan lagu di atas tuts piano. Piano di sini adalah angan-angan dari dulu, karena seringkali saya berkeliling ke toko-toko musik hanya untuk menjajal piano atau ikut kebaktian di gereja untuk bisa mendapatkan kesempatan bermain piano. Piano dan musik adalah sarana terapi, begitu juga dengan ruangan ini, yang dilengkapi dengan kucing hoki sebagai simbol pengharapan akan ekonomi yang baik serta pentingnya manusia untuk hidup sederhana dan berkontribusi dengan dirinya yang kecil di antara dunia yang terus menekan.

Ruangan yang tadinya adalah sebuah koridor, berubah menjadi atrium dan berkembang menjadi ruang penuh kenangan bagi kami, dan ini dihasilkan dari banyak hal-hal kecil. Kemudian memasuki ruangan yang kami sebut sebagai toko buku, terdapat buku-buku yang ditulis oleh begitu banyak kontributor, penulis, pengajar, dan praktisi. Terlihat pula plat beton tipis yang dirangkai dan dibuat oleh Pak Edi, seorang mandor dan supervisor lapangan yang merancang sendiri besinya, Ide kami adalah menggunakan meja sebagai balok dan menggantung besi dengan menempel di ujung kolom.

Keseluruhan komposisi itu dibingkai oleh jendela bulat sebagai vista ke arah kolam renang selebar 1,5 meter.
Hal-hal ini memberikan bahasa yang tumbuh, perlahan – lahan tetapi pasti.

“all power comes from within.”

Architecture | @realricharchitectureworkshop
Photography + Video by @kiearch

Kategori
blog

Farewell Intern Gustav

Di tanggal 31 Januari 2025 kemarin kami juga melepas adik kami, Gustaviano, yang sudah bersama kami selama satu tahun dari Universitas Bina Nusantara. Selama setahun ia sudah belajar dari berbagai divisi yang ada di guha. Ia berproses dan berkembang, menyentuh hati kami dengan kegigihan dan tekatnya. Dalam setiap pertemuan, kita pasti menjumpai perpisahan, dan kini masa internshipnya sudah selesai. Sampai jumpa di waktu terbaik ya, pribadi yang tangguh dan tulus, kami mendoakan masa depan terbaik yang gemilang @gustavianovict

Terima kasih untuk seluruh semangat dan energi positif yang sudah dibawakan ke kami. Kami mendoakan yang terbaik untuk selalu sukses dimanapun berada, melanjutkan perkuliahan kembali dengan lancar. Harapannya semua yang sudah di pelajari di studio bisa bermanfaat untuk ke depannya.

Photo and Video by
1: @luil_mn
2: @almujaddidi
3, 4, 5: @jocelynemilia
6: @tyoadngrh
7: @rrianditaa
8: @gustavianovict

Kategori
blog

Farewell Intern (Julia, Maria, Radita, Nabila, Carina)

Kemarin, 31 Januari 2025, kami melepas 5 adik-adik internship kami, yang datang dari berbagai universitas di Indonesia. Mereka berproses dan menyentuh hati kami, dan kini, mereka sudah menyelesaikan masa internshipnya. Dalam setiap pertemuan, kita pasti akan menjumpai perpisahan menyentuh. Sampai jumpa dalam bentuk terbaik ya, pribadi yang tangguh, cerah, tulus sudah selayaknya memiliki akan masa depan yang gemilang, @juliaptrip dari Desain Interior @gunadarma.info@maria.tsaa dari @architecturebinus, dan @raditaaaulia@belleisnotyellow, dan @carina.h_ dari Arsitektur @univ.brawijaya. Doa kami untuk kesuksesan kalian.

Terima kasih untuk warna baru, semangat, dan energi positif yang sudah kalian bawa ke tengah – tengah kamj. Kami selalu berharap kalian, adik-adik kami bisa sukses di manapun kalian berada, melanjutkan perkuliahan kembali dengan lancar, dan harapannya apa yang sudah dipelajari di studio bisa berguna buat kalian ke depannya. Kalian akan selalu hadir di tengah – tengah kami.

Photo and Video by
1: @luil_mn
2, 3, 7: @tyoadngrh
4, 5, 6: @jocelynemilia
8 : @rawarchitecture_best
9: @rrianditaa
10: @rizkasra@carina.h_

Kategori
blog

Happy Chinese New Year!

Di balik usia kami yang tidak muda lagi, dan anak – anak, ponakan yang semakin ganteng dan cantik kami berkumpul satu kali satu tahun baru Cina. Sebuah tradisi ngumpul, makan, cerita yang saling menyemangati di keluarga kami. Banyak hal yang terjadi dalam satu tahun ini, pekerjaan, pelajaran, kenangan hubungan yang baik dengan orang lain dimulai dari hubungan baik dengan keluarga.

Kali ini kami berkumpul untuk mendoakan satu sama lain panjang umur, banyak rejeki, dan diberikan kesehatan tubuh yang bahagia. Hal ini jg menjadi doa yang tulus untuk sekitar.

Setiap tahun ama, engkong, emak mempersiapkan makanan, minuman, dan tempat untuk berkumpul. Hal – hal sederhana seperti waktu, kenangan kembali diulang – ulang. Dad pasti senang lihat anaknya berkumpul bersama juga dengan cucu, besan, dan keluarga besarnya. Terlebih lagi ini shio dad tahun ini shio ular. Jadi di sekitar kami yang baik terjadilah, dengan ketekunan, kepandaian, dan kerendahan hati yang diajarkan selalu oleh dad kami. Keturunan yang baik, perilaku yang baik, menjaga nama baik keluarga, itulah yang selalu dijunjung dad dengan rasa hormat terhadap orang lain.

Happy Chinese New Year teman – teman dan sahabat ! Semoga rejeki teman – teman, sahabat berlimpah juga karunia kesehatan dan peruntungan yang baik. Sukses selalu kami doakan.

Photography @luil_mn

Kategori
blog

Farewell Intern Faisol

Hari-hari di studio kami dipenuhi dengan orang-orang yang tulus belajar arsitektur dan memiliki kecintaan mendalam terhadap arsitektur. Di Guha, ditempat yang terlihat sunyi ini, pikiran kami selalu riuh dipenuhi dengan beragam aktivitas yang saling terhubung dimana pun kami berada, termasuk untuk Bang Faisol dari @arsitektur.ums yang menghabiskan hari terakhirnya kemarin bersama kami. Selamat menempuh dunia kampus kembali setelah belajar di Guha ya @fslyzd_. Kami doakan dirimu bisa tetap menjadi dirimu yang terbaik ❤️

Kategori
blog

Ulang tahun yang ke-43

Hari ini saya berulang tahun, ke 43. Umur yang saya syukuri karena bisa punya waktu foto bareng sama keluarga kecil kami. Laurensia yang selalu hadir untuk menyemangati dan menemani kesibukan. Hari ini juga kami sibuk sepanjang hari, rapat, lapangan, workshop-workshop desain. Akhirnya bisa pulang di rumah jam 17:00 untuk sedikit mengabadikan foto yang diambil oleh @luil_mn, yang punya talenta untuk mengambil momen – momen menyentuh hati, cukup foto ini kado ultah saya yang berkesan.

Kalau ada harapan di tahun 2025 ini, saya ingin kehidupan lebih bahagia untuk keluarga, studio, klien, masyarakat. Banyak penyadaran yang saya pelajari justru dari istri saya, supaya saya lebih sabar dan semangat. Doanya setiap hari ketika saya mau kerja ataupun anak – anak yang memeluk setiap kali saya pulang. Ada cerita dimana Heaven menyapa kakaknya dan meminta diajarin piano lagu Million Dream, padahal sebelumnya sulit berkomunikasi. Ataupun Miracle yang mengintip satu kakak di studio yang sedang main piano dan memberikan apresiasi bahwa ia suka akan permainannya. Kejujuran untuk memberikan apresiasi dan keinginan belajar yang tulus dari mereka membuat kami tersenyum.

Kami dikaruniai putra – putra yang baik dimana Heaven yang sudah bisa pose bareng Miracle menunjukkan pertumbuhannya yang bisa saya syukuri menjadi pribadi yang lebih terbuka.Ya Tuhan, Terima kasih ya yang sudah mengirimkan malaikat – malaikatnya menjadi keluarga, sahabat, dan inspirasi selamat ini dan di masa depan.

Hal – hal kecil itu kado terindah untuk ulang tahun saya kali ini akhirnya bisa foto bareng sekeluarga, Thank you ya lu buat foto2nya , @wiwidun dan @hendrick_tanu yang sudah sharing hari ini, juga guru-guru saya, kawan- kawan di raw, dot, omah, teman – sahabat, keluarga terkasih yang mendoakan.

Photograph by @luil_mn

Kategori
blog

Rumah Vermont

This house is located on a plot measuring approximately 25 x 12 meters, and situated in Tangerang that still shaded with a microclimate that remains favorable, with daytime temperatures reaching around 29-30°C. The primary goal of this house design is to reduce the temperature by up to 3 degrees.

From the front view, the house features curves made of bamboo and brick, with railings that curve upwards, forming a consistent architectural language that unifies the entire structure.

The ground floor is appears to be elevated, allowing air to flow through creating a wind corridor that extends from the front of the house through to the backyard garden. This layout integrates the service and utility areas while enhancing the circulation of fresh air throughout the home.

The first floor consists of a communal space with a bedroom overlooking the swimming pool. This room is open and unpartitioned, separated only by dynamically shaped brick arches, which provide privacy for the residents on the first floor and create shading in the living room.

On the second floor, there is a balcony with overlapping elements that create a cooling light effect below. This balcony also offers space for the homeowners who enjoy gardening, allowing them to place plants on top. On the concrete slab of the second floor, openings have been created to allow a tree to grow. By bringing natural elements closer to the home, this provides positive psychological effects, like a “hugging tree,” fostering a harmonious relationship between the inhabitants and nature.

The top floor is equipped with photovoltaic solar panels, providing the home with a sustainable energy source and supporting the home’s overall environmental performance.

The performance language is a key aspect of our research in implementing bioclimatic architecture. It demonstrates that creating thermal comfort and functionality can be achieved through thoughtful and good design.

design by #realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Rimbunnya Pepohonan dan Arsitektur yang tumbuh

Di foto – foto ini, @kiearch mendokumentasikan sebuah momen yang merefleksikan banyak hal. Mulai dari rimbunnya pepohonan dan arsitekturnya yang tumbuh, juga udaranya yang semakin lama terasa semakin sejuk.

Di foto dan video tersebut, kami menjelaskan ruang luar – dalam yang terbuka, yang didesain supaya angin bertiup. Di dalam tanah ini, terdapat resapan yang besar untuk mencegah air tidak tergenang. Prinsip-prinsip dasar seperti ini tidak akan pernah bisa terkomunikasikan dengan baik tanpa jasa fotografer yang sangat baik. Itulah yang kami apresiasi dari karya fotografi ini.

Sebagai refleksi singkat, rahasia dari komposisi arsitektur dan tanaman adalah dari ayah dan ibu kami. Ayah insinyur teknik sipil, dan percaya kekuatan dasar, dan fungsional dari bangunan. Ibu hobi menanam tanaman, jadi setiap kali kami menanam tanaman, kami ingat betapa ibu sangat hobi menanam pot demi pot yang menjadikan rumahnya sangat hijau. Ia mengajarkan untuk memiliki tangan rajin yang membolehkan banyak tanaman itu tumbuh, dapat dilihat setiap hari, dirawat setiap hari, dan nantinya performanya pun berkembang. Lalu arsitektur bisa muncul belakangan untuk menopang tanaman-tanaman ini.

Buku tentang Geoffrey Bawa yang berjudul “Bawa: the Sri Lanka Gardens” menjelaskan bagaimana Bevis dan Geoffrey memulai karir sebagai tukang taman, dan mereka juga seringkali berdialog dengan ibunya. Profesi arsitek kadang sesederhana itu, mulai dari hal seperti tanaman-tanaman ini yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Hari ini tanggal 13 Januari adalah hari ulang tahun almarhum ayah kami, ia berpesan, “jagalah ibu”. Kami di keluarga merefleksikan, awal tahun baru 2025 ini membawa banyak harapan dan mimpi baru. Mari kita memulainya dengan menjaga keluarga kita masing-masing, terutama orang tua, pasangan, dan juga anak-anak kita.

Architecture | @realricharchitectureworkshop
Photograph + Video by @kiearch

Kategori
blog

Guha dan Refleksi Arsitektur Bioklimatik

Berbicara tentang bioclimatic architecture adalah berbicara tentang refleksi mendalam akan arsitektur yang dapat terus berinovasi dengan “less-using resources”, merespons iklim, dan merangkul budaya dari manusia yang menciptakan serta menghidupi ruang tersebut.

Seperti bangunan Guha yang kami rancang, simbol dari arsitektur bioclimatic adalah pertumbuhan. Guha yang tampak awal kering berubah menjadi hijau dipenuhi tanaman. Struktur rangka bidang-bidang yang saling menyambung membentuk komposisi utuh yang tumbuh secara organik. Arsitektur yang jauh dari kata selesai.

Pendekatan ini tujuan utamanya adalah untuk menurunkan suhu secara maksimal dan mendinginkan ruang dengan memanfaatkan elemen alam, sekaligus terus membuka diri terhadap fungsi-fungsi yang memberi efek terapi dalam desain. Ruang yang dihasilkan terasa hangat dan memeluk, seperti rumah lama yang membawa kita pada kenangan masa lalu. Namun, dalam kehangatan itu hadir semangat kebaruan, sebuah harmoni antara nostalgia dan masa depan.

Suatu hari, kami melihat anak-anak berlari riang di perpustakaan anak. Suara tawa mereka, permainan yang spontan, dan keakraban di antara teman-teman kecil itu membawa kami pada masa ketika kami bermain bebas di ruang-ruang seperti ini. Itu adalah momen sederhana, namun mengingatkan bahwa arsitektur memiliki peran besar yang tidak hanya menampung aktivitas, tetapi juga menciptakan ruang yang hidup, ruang yang menyatu dengan alam, budaya, dan memori.

Foto-foto ini diambil oleh Kie @kiearch, seorang fotografer yang sering disebut sama anak-anak studio, dan kami melihat kesabarannya dalam mengambil foto satu persatu. Ia menanyakan “apa konsepnya, mana lagi yang mau di ambil?” dan banyak pertanyaan lainnya. Dari hasil karyanya kami belajar tentang berkreasi melalui mendengarkan. Dan akhirnya muncullah karya fotografi yang menggambarkan dinamika Guha.

Architecture | @realricharchitectureworkshop
Photography by @kiearch

Kategori
blog

IAI Jakarta – Pengembangan Keprofesian Arsitek 3

We are deeply grateful to IAI Jakarta for offering us the opportunity to participate in the valuable professional development program on Thursday, 9 January 2025, alongside respected architects such as @cosmasgozaliofficial and @tatengkd, who continue to inspire us with their expertise and vision.

We would also like to extend our heartfelt thanks to @farrizky for moderating the session, fostering meaningful discussions, and making this experience even more enriching. Being part of a community so dedicated to excellence and growth in the field of architecture is truly an honor.

Kategori
blog

ACICIS – Sustainability Design: Products, Branding, and Space

Our heartfelt thanks goes to ACICIS for inviting Ar. Realrich Sjarief as a speaker in the discussion “Sustainability Design: Products, Branding, and Space” held at Atma Jaya University on Tuesday, January 14th, 2025. It was a great moment to engage with international students on how sustainability intersects with branding, products, and spatial design, and how we can continue to push boundaries in our practices.

Ar. Realrich Sjarief discussed about how Indonesia has so much inspiration to offer the world, with different places having their own unique characteristics. From architecture that responds to its environment to branding strategies that emphasize local values, everything demonstrates that sustainability is an approach that can be applied across various disciplines.

In this session, he also discussed the importance of communication skills, how sustainable ideas can be translated into impactful design, products, and branding. Interestingly, the students was not only from the field of architecture but also from various other disciplines, so we try to tell them that sustainability is a cross-disciplinary issue that requires collaboration. Through our project at Guha the Guild, we explored how a space can grow sustainably, not only in terms of materials but also by fostering engagement with craftsmen and achieving bioclimatic architecture through various experimentation and design analytics in the process.

Ar. Realrich Sjarief also spoke about a figure he greatly admires, Pak Eko Prawoto, who has taught many valuable lessons through the strong spirit of the village, how we need to learn from him about the power of humility and the deep meaning of life found in simplicity. The new Indonesian architecture should emerge from local wisdom and a sensitivity to nature.

During this experience, we had the opportunity to meet one of our interns, @itsgaric. It was a great moment for us to connect and get to know each other before he begins his learning journey at our office. We’re excited for what’s to come and hope to collaborate more with ACICIS @acicis.studyabroad in the future!

Kategori
blog

Road to ARCH:ID

Ar. Realrich Sjarief was invited to the Road to ARCH:ID event on January 18th, 2025, at Wisma TOTO, Jakarta. We want to express our sincere gratitude to the organizing team of the Road to ARCH:ID 2025 Talk Series for bringing together such a diverse and inspiring group of architects. We were honored to share the stage with fellow architects @yanuarpf and @adi1710, whose contributions added immense value to the discussion also special thanks to the moderator @imeldaevasari for facilitating such an engaging and insightful conversation.

During the event, Ar. Realrich Sjarief discussed the concept of performative archipelago, a theme that resonates deeply with architecture firm’s approach in Indonesia; began by exploring the fundamentals of architectural education in Indonesia, dividing it into two main pillars: studio and theoretical classes. Before entering the university level, he highlighted the importance of early education, focusing on character development, psychology, and skill alongside scientific reasoning. The stages of cognitive development in education begin at age 2, where attachment is key, to age 2-7, when symbolic thinking emerges, followed by logical reasoning between 7-11, and scientific reasoning after age 11.

This scientific reasoning plays a significant role in shaping how we approach architecture and also how our firm is built on a scientific foundation, transitioning from an intuitive-based approach to one grounded in evidence and data. Looking to the future, we emphasized the importance of adaptability and resilience, aligning with economic trends and findings from the World Economic Forum. We also highlighted the need to nurture and build specific skills to address the industry’s evolving demands. Those skills are psychological skills, strategic skills, abstraction skills, integrative skills, practical skills, analytical skills, narrative skills, and branding skills.

Road to ARCH:ID is a platform to encourage meaningful conversations and exchange valuable insights within the architectural community. We hope the upcoming ARCH:ID 2025 @arch.id.indonesia will continue to contribute to architecture development and shape the future.

Kategori
blog

Jeda sejenak di akhir tahun 2024 dengan bertemu sahabat lama

Ini sebagai refleksi singkat untuk saya yang sering bekerja terus yang kadang2 lupa perlu pengingat. Saat – saat kemarin bertemu sahabat jd jeda yang menyisakan banyak kenangan,

Belajar dari 4 hal yang dibagi Nita pada waktu jalan kaki menyambangi teman yang ternyata tetangga kami, ia bercerita tentang cerita dari Brian Dyson CEO Coca Cola. Cerita itu sangat berkesan dan akan saya ingat terus,

“Bayangkan hidup sebagai sebuah permainan seperti pemain sirkus di mana Anda menyulap lima bola di udara bernama pekerjaan, keluarga, teman, kesehatan, dan semangat.

Ketika Anda berusaha untuk menjaga semuanya tetap di udara, Anda segera menyadari bahwa pekerjaan itu adalah bola karet, dan jika Anda menjatuhkannya, ia akan memantul kembali. Namun empat bola lainnya, keluarga, kesehatan, teman, dan semangat terbuat dari kaca.

Jatuhkan salah satu dari mereka, dan bola akan lecet, tertanda, tergores, rusak, atau bahkan hancur, dan tidak akan pernah sama lagi.”

Thank you ya Nita untuk refleksinya dan perjalanan hidup yang luar biasa untuk terus kuat, juga ada Tisa, teman jalan2 ke zoo, cerita lucu2, keren, jenius tak terduga dan suaminya Andhie yang kepala ong and ong Indonesia, jg Ririe dan Acha yang super baik dan care sama teman-temannya dari dulu sampai sekarang dan kenal sama Dhisti jg , mereka orang yang rendah hati yang observant. Terakhir ada Aulia yang partner main musik dengan suaranya yang bagus, andalan singing telegram pada zamannya, suaminya Norman adalah satu role model yang mengajarkan saya banyak hal di arsitektur jg kawan serumah di Singapore.

Semua berkembang menjadi pribadi yang tidak akan terlupakan, akhir Desember ini menjadi refleksi untuk terus kuat, dan bersyukur akan kenangan dan pertemanan yang baik. Hari ini adalah hari penuh rasa syukur bisa mengingat persahabatan, kenangan. Hidup tidak mudah untuk kita. tapi masih bisa tertawa dan tersenyum. Banyak cerita yang jadi doa untuk ke depan, untuk selalu kuat dan bersyukur akan kenangan yang ada.

Selamat tahun baru 2025

Kategori
blog

Platonic Bioclimatic Home

Located on Ciasem Street, this Platonic Bioclimatic Home is situated in 17 x 28 m land area surrounded by dense trees in South Jakarta. For this reason, we focused on a bioclimatic design principles that contributes to reducing the urban heat island effect while creating a sustainable oasis for the homeowners.

The concept of the house is to have a 4-sided design, with most of the private and public spaces oriented to face multiple sides. This allows indirect sunlight to reach the interior throughout the day, creating dynamic shadow patterns and air corridors that break up the mass of the building.

The west side of the building is remains solid for thermal comfort, while the east side features an artistic brise soleil wall that provides privacy and also functions as a sunlight blocker. This wall consists of about 40 patterns made of lightweight concrete block and has been refined through several experiments, concerning structure, strength, composition, and how the materiality is designed to ensure long-lasting durability.

On the south side, wooden-patterned lattices made of concrete are placed. These lattices create poetic spaces that highlight the grain of the wood and offering a timeless quality, akin to the durability of concrete. As homeowners enter from the ramp, they will experience a sequence of light-filled corridors that lead them through dynamic vistas.

The lower spaces are designed to be open, with the library and workspace located at the far end of the mass. On the first floor, an open family room is positioned, accessible via an exterior ramp. The access route curves around the side, and an open void allows light to penetrate from all four sides of the building. The second floor is designated as the bedroom zone, which also includes a shared gathering space. It is also designed with by considering the client’s domestic space needs, including communal areas for activities such as religious study, which can be held in various spaces and on different floors. The house is also designed with a zero-water runoff concept, utilizing recycled water to minimize its environmental impact.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @bacteria.archphotography

Kategori
blog

Terima kasih untuk seluruh rekan-rekan yang hadir dalam diskusi 8 jam 99% Abstraksi di Ruang Guha Plato

Terima kasih untuk seluruh rekan-rekan dan semua yang hadir dalam diskusi 8 jam di Ruang Guha Plato, yang gelap seperti lubang hitam. Kami duduk bersila, sejajar, dari pribadi menuju komunitas. Di sini saya mendapat kawan, teman berdiskusi, sehingga perjuangan terasa tidak sendirian. Dari topik abstraksi, tafsir, post-colonial, hingga utopia, dibahas dari berbagai sudut pandang oleh orang-orang yang mencurahkan hidupnya untuk arsitektur. Mereka yang hadir adalah orang-orang yang cinta pada pengetahuan, dan dari merekalah kami belajar tentang menjadi manusia pembelajar, penuh kasih sayang, bahwa masa depan adalah mimpi untuk membangun dan meneruskan tongkat estafet ke generasi muda.

Dari Mas Anas, kami belajar tafsir yang merdeka melalui mendengarkan. Dari Pak Ryadi, kami belajar kultur studio yang melihat kelemahan sebagai kekuatan. Pak Abidin mengajarkan kami bahwa tujuan post-colonial adalah membela yang lemah. Juga Gede yang mengajarkan bahwa isolasi adalah cara untuk keluhuran, perlu sikap kritis dan keberanian untuk membangun sistem yang terhubung secara global, hingga membentuk budaya luhur. Cahyo mengajarkan variasi pengajaran melalui rangka dan solid, memberi pilihan dalam membentuk karakter yang adaptif. Nanda mengingatkan kami bahwa identitas bukan hanya ideologi, tetapi juga strategi bermanuver. Jo Adiyanto mengajarkan pentingnya jejaring sejarah, keseimbangan kampung-kota, dan desa.

Kategori
blog

PIK House

This PIK house is located on a compact plot of land in a residential area in Tangerang. This plot of land is facing southeast with measuring 10 x 20 meters. From the front, its exterior of this house is a combination of natural forms featuring wooden frames with flowing grass-like shapes arranged as if spreading from one side to the other.

The wavy frame in facade can be manually opened and closed using a simple hinge system that crafted by local craftsmen. Combination of brick and wood language reinforced with metal is also seen with the placement of brick arrangements. Those pattern become openings that aim brise soleil while maintaining natural ventilation.

This system used to reduce thermal heat while ensuring airflow into the living spaces. This strategy will also growing with the landscape that integrated between the exterior and interior connection. The placement of trees in front of the house mean to make a natural connection and act as a sun shading.

The lowest level or the ground floor is dedicated to the needs of a family gathering space, in the form of a living room and dining room. There is also a maids quarter area located on one side of this floor. The first floor features more private spaces including the master bedroom and two children’s room that connected with the same bathroom.

The second floor functions as a prayer room, and office room, which is used to interact with the outside world. The highest floor of this house is the rooftop area which is constructed with steel plates, serves as both a gathering space and an additional layer of insulation to maintain thermal comfort for the lower level. This strategy to ensures the house comfortable.

Currently, this house is still under construction. It continues progressing every day and gradually taking shape as it moves closer to completion.

design by #realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Balai Kartini

This project is like our expedition on working in bigger scale, with existing structure, and public function room which has long history. our design begins with activating and renovating the facade and lobby, aim to create a optimised thermal comfort performance for Balai Kartini, integrated with the philosophy and functions of the convention center, gallery, auditorium, and restaurant within its 3,000m² space, planned in phases.

Balai Kartini is a cultural and historical reconstruction where it’s hot at the west side, and it lacks a storytelling of space. The design emphasizes understated beauty that emerges from interiority to architecture. In the interiority, the design proposes Kartini’s spirit and legacy through symbols, storytelling of traditional Nusantara patterns like weaving, ikat, and batik, which have become Indonesia’s heritage to the world. The project was launched with a strong commitment: to transform Balai Kartini into a home for the Kartini of the future.

In the outside, the vertical louvers on the building’s structure evoke the grandeur of Nusantara temple stupas, while also reducing the heat of the sunlight entering the main lobby. The result is a shadow cast onto the old floor, which has been revitalized and polished. The grain patterns in the floor remind us of a design rooted in history, that forms the foundation of Kartini’s struggle. Every design aspect was carefully considered for energy efficiency, cost, and maintenance.

This project illustrates process to document many hopes, reborn through tears and struggles. The spirit of Kartini, that touches the heart, inspires us to always spread goodness and provide a “home” for Indonesia’s future.

Design for @balaikartini.official

By #realricharchitectureworkshop

Still on ongoing process

Kategori
blog

Ngumpar Bioclimatic Home

Ngumpar Bioclimatic house is located at the end of the street, with a land area of approximately 300 sqm. The 12 x 17 m layout was designed to create thermal performance and foster a natural atmosphere, creating a comfortable microclimate. Upon entering the building, the entrance access is set back through a foyer ramp, which is covered by a tropical garden, endemic trees, and bushes that serve as a way to provide thermal comfort. This setback strategy covers access to the building from the west side sun. It leads to a swimming pool that also cools the microclimate. The circulation then ended in a wooden deck through the main entrance of the living area on the 1st floor.

The first floor is a spacious main living area with a large void and skylights in the form of a ‘tumpang sari ‘, a traditional Javanese architectural element that allows for natural light penetration, inspired by a traditional joglo house, allowing sunlight to flood by side gaps. On this level, we can see a visual connection to the master bedroom in the void. This level also includes a shared workspace, private areas, and an atrium as a long foyer, linking the more prominent spaces with utility areas.

The second floor features a void that connects the master bedroom with the children’s rooms, while the upper level includes a gym and social spaces. The roof is designed to provide thermal insulation and air flow by tumpang sari skylight, wooden deck, and canopy, and is enhanced with greenery, providing insulation for the bedrooms below. This approach effectively lowers ambient temperatures by 3-5 degrees.

While on the ground floor, the service area and living area encircle a 2 central staircase, which acts as the house’s spine, featuring openings on its sides for natural light and airflow. The gap between the building and the neighbor’s house facilitates airflow and enhances natural light.

The house has an exploration of forms of opposing curves, creating an expansive feel despite the site’s limited size. This design also offers a flowing aesthetic. The recurring curves extend to the finer details of the home, including the curved railings made from a blend of iron and local ulin wood, as well as arched doorways made by local craftsmen.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @sonnysandjaya

Kategori
blog

Morahai Bioclimatic Home

The Morahai House is located on a 17.5 x 24.5 meter plot of land at the corner of Jalan Damai II, South Jakarta, directly adjacent to RPTRA Taman Sawo at the north. The northern, eastern, and southern sides of the house are surrounded by community activities and street vendors, while the western side is quieter, bordered by shophouse and formal residences.

The goal of designing this house was to reduce the indoor temperature to 28°C through a bioclimatic approach. This involves strategically placing trees and plants both inside and outside the perimeter to create a natural cooling effect. Additionally, we aimed to achieve a PM2.5 concentration of under 30 µg/m³ to ensure the house remains free from air pollution.

The exploration of combining curved and rectangular shapes in the building’s form and facade aims to facilitate healthy airflow and natural light into the interior spaces. The design features carefully selected materials that are cost-effective yet still provide a unique character. We used a mix of materials, including cement plaster and ulin wood. The western side of the house is designed to be more enclosed, complemented by lush trees to block excess sunlight, while still offering views of the RPTRA. A rooftop garden serves as insulation for the rooms beneath it.

The surrounding context, which blends both formal and informal characteristics, inspired us to create a design that is not only environmentally friendly but also provides space for the local community. Interestingly, the house features a social area with a newspaper corner on one side, creating an informal social space that can facilitate activities for the surrounding community. Through this approach, the Morahai House becomes a home that not only offers comfort to its occupants but also contributes positively to the environment and the surrounding community.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @ernesttheofilus

Kategori
blog

Bamboo Detailing at Piyandeling

Di bangunan ini berukuran diameter 9 m, terbuat dari material bambu dan plastik poly carbonat. Pemetaan masalah-masalah arsitektur penting untuk memberikan analisa apa saja yang perlu dilakukan untuk mempermudah pekerjaan di lapangan sekaligus menambah nilai positif budaya. Dalam kasus ini apa yang kami lakukan di Bandung, khususnya di dalam bangunan 3 lantai yang terbuat dari bambu ini membantu menyelesaikan permasalahan angin sehingga bentuk yang tercipta yaitu silinder adalah hasil kompromi termudah, tersederhana sesuai dengan namanya saderhana.

Poly carbonat dengan frame bambu ditujukan untuk memberikan lapisan pelindung pertama, sekaligus plastik dengan ketahanannya akan baik untuk mempreservasi bambu dengan maksimal. Seluruh engsel menggunakan bambu. Gridnya 3.00 m, dengan akses tangga ada diantara lapisan pertama dan kedua. Bangunan ini dijangkar dengan kamar mandi di belakang menyerupai bentuk konde. Bangunan ini tidak mahal tetapi juga eksperimental, dengan tujuan membuktikan bahwa arsitektur bambu bisa didekati dalam intensi yang analitik juga intuitif yang terlihat dari komposisi detailing di sekujur ruang-ruang, pintu, jendela, langit-langit. Dari luar ia platonis dari dalam ia penuh pola matra dari berbagai sudut pandang dan wastra keberagaman pola nusantara yang begitu banyak dan kaya dalam sebuah komposisi

Detailing by
#dotworkshop
.
#realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Bioclimatic Tube House

Located in Alam Sutera, this three-story house features a compact, modern design with a focus on sustainability. The 17 x 7 meters site is relatively narrow, which poses unique challenges in optimizing space while ensuring the home remains functional and comfortable.

The design focuses on integrating key sustainability features, such as solar panels and a north-south orientation, to optimize natural light and ventilation. The layout uses three simple grids, which structure the space efficiently while allowing for a fluid and dynamic spatial experience.

The design process begins by considering the overall organizational framework of the space. Each section is rearranged based on several criteria, such as the proportion of space, views, and the potential for creating interesting spatial experiences. By placing the most important areas, such as the living room and bedroom, in the center, the design ensures transparency through the core of the building. This central area provides the best views and natural light in the limited space. This iterative process continues with carefully selecting materials, ultimately achieving an optimal composition that balances functionality, aesthetics, and sustainability.

The final form of the house is tubular in shape, with a central “bridge” element. This “bridge” serves as a strategic feature, enhancing the flow of air and light throughout key areas like the bedroom and living room, ensuring a comfortable living and microclimate to the inner space.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @bacteria.archphotography

Kategori
blog

Artisanal Bioclimatic Home

This project is located in Taman Permata Buana, Jakarta. The location faces the east side and is opposite a residential park. This project uses 80% of the old walls and structures to reduce construction costs optimally. The renovation is designed with a unique shape with simple exposed concrete materials and is equipped with balconies and canopies to protect the building from excessive sunlight.

The client dreamed of a house with natural light, passive cooling, aesthetics, and affordable costs and maintenance. To fulfill these desires, this project carries an open-plan concept combining indoor and outdoor spaces, providing an intimate space experience with wide gaps between spaces to maximize natural lighting.

The continuity of the design from inside and outside helps maximize the quality of the ground floor space. The living room facing the yard or small garden creates a more private and intimate space. The design of this house also has a unique shape that responds to the angle of sunlight from the east side, which is maximum at 10 am. The shape is formed by cavities that allow light to enter and can be used for cross-ventilation.

Natural light enters from the north and south through skylights and from the front and back through openings, ensuring that all rooms are exposed to natural sunlight and have good air circulation. The building uses raw materials, such as cement, brick, steel, wood, rough tiles, and terrazzo, showing layers of Javanese craftsmanship, where everything combines to create unity but also diversity in its interior and architecture.

This project illustrates a bioclimatic design by utilizing small gardens, natural light, passive cooling, diversity of materials, but still with easy maintenance to improve the quality of life indoors and outdoors. This design is also suitable for dense urban areas, with construction that can be done at a minimal cost and simple craftsmanship techniques, and all of these approaches underline the approach in our studio to create an earthy, environmentally friendly beauty in residential design in Jakarta.

design by #realricharchitectureworkshop
photograph by @luil_mn @_yophrm

Kategori
blog

Refleksi singkat dari perjalanan bersama Carlos Betancur dan Sophie Paviol

Sedikit refleksi singkat, Ini adalah foto-foto diambil oleh Carlos Betancur adalah seorang desainer yang sangat berbakat, artis, dan fotografer jg kawan yang memiliki kerendahan hari dan kualitas spiritual yang bisa saya baca. Ia mengambil beberapa gambar dan mengirimkannya, foto – foto yang tidak akan pernah saya lupakan.

Juga bagaimana ia bercerita tentang pemahamannya belajar dari buku Harvard Business Review. Ia menceritakan soal Paul Nakazawa soal preposisi nilai, yang perlu dijawab justru oleh studio arsitektur yang akhirnya merubah studio opus secara fundamental dalam diagram produk dan klien.

Sophie Paviol adalah seorang pengajar yang menginspirasi kedekatan alam, proses dalam waktu yang sesingkatnya perlu dijalani. Ia belajar dari muridnya, ia mendengarkan apa saran muridnya, termasuk perjalanan kami yang sebenarnya adalah ide dari Claire murid disertasinya. Donald miller menulis bagaimana ide eksistensi manusia sebenarnya ada di dalam citra dirinya yang membutuhkan role model, figur. Disini proses mencari guru membutuhkan patahnya ego dan mengakui bahwa masalah yang kita hadapi tidak bisa kita selesaikan. Ego harus dijatuhkan sampai seseorang berlutut sebelum ia dapat bangkit kembali, serendah – rendahnya sampai tiarap menangis dalam derai air mata. Ego perlu dijatuhkan sampai titik terendah anda, kalau anda tidak siap, semesta akan mempersiapkan untuk anda, suka atau tidak suka.

Paradoksnya ketika kita terinspirasi, kita harus menahan keinginan untuk merekayasa balik kisah sukses seseorang. Dan bahkan ketika kita ada di atas awan dengan semua euforia kemenangan , menurut Ryan Gold dalam penaklukan ego kita harus menahan keinginan untuk menganggap semua hal terjadi sesuai dengan rencana kita. Ia melanjutkan bahwa Tidak ada cerita besar di balik semua cerita kehidupan. Tidak ada yang istimewa, semua terjadi bukan hanya karena anda namun orang lain. Nama besar dimulai bukan karena mereka berpikir untuk mengubah dunia namun bagaimana mereka dengan riang hati berkerja sesuai kata hati, jiwa yang berjalan tulus.

Disitulah persahabatan muncul cerita bahwa desain perlu jadi pengobat rasa takut dan sakit juga meraih nilai tambah.

Kategori
blog

Wirawan Bioclimatic Home

In a residential project, the architect has the opportunity to get to know the client. It’s the beginning of a long-lasting relationship, where the architect and client come together not only to create a space but to shape a dream that will serve the client and their family for years to come.

Started in 2012, where we learned about the standardization of construction materials and the diversity of wood with its types of advantages, thickness, thinness, and imperfections. We also learned that space programming is important and and will be reflected in the daily life, attitude, nature, and goals of our client. How our client takes care of his family and all the dreams, including his children, are woven together in sequence.

This house maintains its compact efficiency. With a larger land area, this house has a view towards the garden from the family room, library, and bedroom by keeping its distance from the neighbors. The layout consists of 3 bedrooms + 1 master bathroom with their own bathrooms, allowing space for family members to gather while also respecting individual privacy.

The ground floor is attached to provide structural integrity while a central light and wind corridor serves as the heart of the home, opening up into a large void that invites natural light and air, creating a comfortable, family-centric atmosphere.

The house’s form is based on a stepped Platonic shape, rooted in clarity and simplicity, using a Cartesian grid. The green roof garden creates a transitional space that links the indoors with the outdoors, while wood elements and lush trees provide insulation on the west side.

The interior design is coordinated with the PIU studio; this is the first time we have worked with an interior consultant. This collaboration brought a special detail to the design, with thoughtful choices in the shape of the TV backdrop, sofa layout, and dining table selection. Every element was carefully selected to create a space filled with texture, color, and meaning—reflecting the family’s story and the legacy that will continue to develop into a new reality.

design by #realricharchitectureworkshop
Interior @studio_piu
photograph by @bacteria.archphotography

Kategori
blog

Jalan-jalan sekitar St. Denis

“Ini jalan-jalan sekitar St. Denis”,

ada satu jalan memanjang yang işin ya bangunan – bangunan lama yang direstorasi ataupun di tutup fasadenya, ataupun diperbaiki eksterior, dan interior supaya bisa representatif untuk dijual. Langit- langit rendah, sumber daya terbatas, banyak ruang – ruang luar yang tertutup bayangan. Es krimnya enak, setara dengan Kochi India (salah satu es krim terenak yang pernah saya coba) di dekat kedai eskrim yang tidak perlu ada si jalan utama karena rasanya yang enak ada juga bisnis parkir mobil bertebaran di belakang jalan utama. Es krim membuat waktu berhenti selama beberapa menit harus habis. Suhu sekitar kira – kira 29-30 derajat celcius. Ada banyak landscape tropis dijejer padat di beberapa rumah penduduk, memberikan bayangan.
.
Daerah pulau ini dramatis, ada dua area, pantai dan gunung, dikelilingi oleh laut yang terkenal akan hiu dan larangan berenang. Koridor jalan disini sangat nyaman, drainase, kemiringan, materialnya sederhana tapi durable perpaduan semen dan batu. Arsitekturnya dua lantai mirip di kota gede, tapi ada pedestrian besar, mirip juga seperti di Dili, banyak bangunan putih, fungsional. Ada juga seperti arsitektur Jengki ngingetin sama mas Cahyo dkk dengan risetnya.

Di akhir jalan – jalan, saya tetap nyari nasi, pinginnya nasi padang tapi dapetnya chinese food ^^ lumayan, isi perut sebelum besoknya acara padat maklum dari tadi bunyi – bunyi seperti alarm nyala terus, perut adalah kunci ^^

Kategori
blog

Akhirnya, Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2024) selesai dan berjalan dengan baik!

“Capek hilang ^^ !”

Akhirnya ! Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2024) kali ini selesai, berjalan dengan baik, saya belajar banyak tentang arsitektur tropis dan performanya dari panitia dan presenter yang lain Prof Hao, Anthony, Carlos, Javier, Kevin, Anne, Alfredo, Juan, Maria, Rafael, David, sebastien, Javier, dan lain-lain. Tq untuk Panitia menghabiskan banyak waktu untuk mengkurasi , memilih materi berbulan – bulan dan akhirnya kami semua datang untuk berkumpul di La Reunion, saya bertemu banyak sahabat baru. Di tpt ini kami saling bertukar pikiran, dan saya tidak pernah bisa membayangkan kok bisa ada disini. “Tuhan punya kuasa atas apapun yang akan terjadi“ kata Bu Lisa Sanusi.

Kami juga belajar dari banyak biro, banyak professor, juga banyak kerja keras dari tim RAW DOT OMAH yang terus berjuang, saya menamakan tim kami the underdog studio, dengan semangat untuk terus belajar dengan keterbatasan, dan kesederhanaan praktek seperti di studio garasi. Semoga semua ilmu, jaringan kesetiakawanan teringat terus sampai jangka waktu yang lama. Sampai kemarin pun setiap presentasi selalu deg-degan, masih perlu doa, masih perlu geladi resik, masih perlu nulis sebelum presentasi.

La Reunion, bertemu saudara baru, pengetahuan baru. “I learn during talk with about our teacher and all Indonesian brothers that tolerance and solidarity teaches about coexistence that we share the same moon, the same sun, and the same earth. We are closer than ever, by inheritance and by such a fate. It’s a deep connection, and resonance about this beautiful world. I think it is meaning of reunion.” Satu catatan yang kami bacakan di awal penjelasan yang terinspirasi dari pertemuan dengan Pak Eko Prawoto.

Semoga Tuhan panitia, mahasiswa yang bertemu, semua yang mengajarkan pentingnya arsitektur bioklimatik dan berjejaring. Sampai jumpa lagi 👍 sukses untuk Biennale Internationale d’Architecture Tropicale (BIAT 2025) dan ke depannya.

Inilah pentingnya simposium, konferensi, sharing, diskusi yang adalah soal abstraksi yang bisa dibawa pulang, jg pentingnya perjuangan orang lain yang kita dapatkan semangatnya. “Menular !!^^ mari capek lagi”

Kategori
blog

Perjalanan menuju konferensi BIAT di La Reunion

“Capek!!!”

Beberapa bulan yang lalu kami mendapatkan undangan dari panitia BIAT, tentang jadi speaker “sebutnya diskusi ”Karena senangnya banyak belajarnya dari pembicara lain secara gratis, ini konferensi di La Reunion, sempat ragu – ragu karena ini memang di perancis tapi di daerah kepulauan dekat benua Afrika. Kaya kata Jon Lang “to learn is to teach to teach is to learn, and you please dont give me that blank face!” Haha

Senengnya juga bisa ketemu Tony, adik kelas saya dulu kerja bareng di DOT ngurusin pedestrian sampai desain Bank Indonesia yang saking kerennya atau jeleknya sampai ditolak ha ha. Ia l sekolah lagi di Cornell Amerika sekarang jadi urban transformation leader, ternyata ilmu analitik arsitekturnya terpakai sampai jadi planner, ekonom, dan strategis. Kita satu flight bareng ke Doha ia pisah untuk ke World Economic Forum di Mesir.

Dan perjalanan yang jauh 48 jama kadang membuat saya mengeluh dalam hati dan menelan ludah, kapan sampainya. “Kok ngga sampai – sampai?” Sesampainya transit di Paris, Begitupun hawa dingin, yang membuat harus cepat beradaptasi. Perut yang kosong, gemetarnya badan, membuat sadar juga musim dingin tidak menyenangkan untuk tubuh. Adaptasi badan, adaptasi pikiran, adaptasi ego. Bahwa proses yang tidak nyaman itu malah buat kita belajar lagi, jadi underdog lagi, dari situ malah buat saya jd tidak berjarak dengan perubahan positif untuk lebih sabar.

Sekarang masih 11 jam lagi perjalanan. Mimpi saya ya bisa belajar kualitas studio dari situ, pemahaman diri, desain tropis yang ilmunya bisa dibawa pulang. Prosesnya ya kok berat, Semoga kita semua bisa lebih kuat dalam perjalanan hidup kita yang membutuhkan adaptasi dalam belajar.

Ngomong dalam hati “Semoga makin kuat”

Kategori
blog

To be Part of ( BIAT ) -Biennale Internationale d’Architecture Tropicale

RAW Architecture are excited to be part of (BIAT) Biennale Internationale d’Architecture Tropicale de La Réunion # 3 on October 6th, 2024 in Le Port, La Réunion France. This edition, entitled “Alternative Project Practices in Tropical Environments”. Our presentation aims to explore and promote innovative approaches to architecture in tropical settings. BIAT will bring together international experts, local professionals, and students to discuss contemporary issues and advancements in the field.

The event features esteemed leaders from many regions, such as Hoang Thuc Hao from Vietnam, Carlos Betancur from Colombia, Javier Mera from Ecuador, Kevin O’Brien from Australia, Sébastien Clément from La Réunion, Léandre Guigma from Burkina Faso, Narein Perera from Sri Lanka, Anne-Laure Cavigneaux from Australia, and many more.

Our presentation will be presenting daily and simple works many people have done in Indonesia, like the photos in this post including our studio, by working hand to hand with craftsmen, designers, and many individuals creating unique structure of design who reflect the diverse realities of daily life. From these fragments, a common thread emerges: a shared connection to the tropics, a celebration of diversity, and a profound respect for one another, with words and actions without pretension in the spirit of continuing to learn.

The presentation will also featured several projects that emphasizing locality, affordability, and sustainability, also promoting green and bioclimatic architecture while encourage environmental awareness and critical thinking about the potential negative impacts of construction development.

BIAT de La Réunion serves as an exciting platform to share what we are doing in the studio and discuss mutual approaches in another tropical region. We believe this event will foster shared insights within the global architectural community and contribute to our field’s collective growth.

#realricharchitectureworkshop #guhatheguild #guhaboboto #piyandeling #alfaomega #jakarta #indonesia #biat #ensam #leport #france

Kategori
blog lecture

ETALASE 2024, Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Our principal, Realrich Sjarief, participated in the ETALASE 2024 discussions hosted by Universitas Negeri Semarang (UNNES) on October 4th, 2024. The theme, “What is the Role of Architects for Net Zero Action?” centered around the role of architects in designing buildings based on Net Zero Emission principles, emphasizing the importance of caring for the environment and reducing carbon emissions.

Realrich’s presentation featured defining roles, that every step has its beginning—a state of humbleness inside the mindset. Our practice started in the humble garage studio. The RAW’s project harnessed locality, affordability, and sustainability to its limit by defining the limit’s territory. Ten projects presented are about getting the best air quality, reducing the temperature, providing well-being and biodiversity, and getting economic value while addressing the client’s physiological state. It’s a step-by-step process towards empathy, symphony with others, and diverse inspirations. Ultimately, it’s about creating an open design paradigm for architecture’s creative yet critical, more humanistic side.

In conclusion, Young architects must prepare for a long and complex journey by forming more detailed variations to grow new territory. In this case, DOT Tectonic’s evolution and solutions to clients include high-speed, crafted, and functional detailing. This comprehensive method needs a consistent willingness to learn that architecture is also about the clients. The last thing is to enjoy the process, bringing the best sensibility to the architect’s role.

ETALASE 2024 has attracted over 400+ attendees, and hopefully, we provide valuable insights. The Dean of UNNES, Wirawan Sumbodo, opened it, followed by a speech from Resza Riskiyanto, Chair of IAI Central Java. They encourage us to take responsibility and reduce environmental impact while enriching our surroundings. We also extend our heartfelt gratitude to the lecturers and students at UNNES for their support in nurturing.

Follow their journey on Instagram @unnesetalase

Photograph by

1, 6: @yophrm

2: @mariowibowo

3, 5: @bacteria.archphotography @luil_mn

4: @yophrm @luil_mn

7: @kiearch

#unnesetalase2024 #RAWArchitecture #GuhaBoboto

Kategori
blog

Refleksi singkat untuk saya sendiri

Ini refleksi singkat, untuk saya sendiri yang perlu terus mendapatkan umpan balik terutama dari berbagai macam generasi, ataupun banyak orang- orang hebat yang ditemui setiap hari, ditambah foto dari iyok dulu di DP Architect, menunjukkan kalau perjuangan di dalam studio tidak pernah mudah, jam panjang, dan jatuh bangun, proses yang jauh dari musik klasik, lebih seperti dangdut. 🙂
.
Menarik kembali catatan dari bu Eileen Rachman bahwa “kesuksesan belajar berasal dari 10% dari wejangan satu arah 20% dari diskusi sejajar , 2 arah , 70% dari learning by doing ( apalagi kalau di koreksi secara positif) “ Pikiran positif menghasilkan berbagai macam sudut pandang yang menjalar, seperti prinsip Getok Tular, yang sambung menyambung.
.
Belajar arsitektur membutuhkan fleksibilitas tingkat tinggi, karena adakalanya proses internalisasi mendigest apapun yang dialami dalam proses praktik itu perlu waktu, sedangkan banyak permintaan – permintaan diluar dirinya membuat ia harus sabar untuk juga menjawab permintaan tersebut.
.
Proses ini membutuhkan pengolahan sikap untuk membuka diri, tidak marah, perlu sabar, dan juga yang terpenting.
Studio arsitektur perlu mengintrospeksi dirinya, dan membicarakan proses edukasi ini dengan terbuka, bahwa tantangan ada yang diluar kendali para leader, juga para desainer, apalagi klien, banyak permasalahan psikologis juga muncul berbarengan dengan permasalahan teknis. Gambar hanya representasi dari kualitas diri, tim, sekaligus quality control yang muncul dari banyak pihak yang membutuhkan konsistensi. Dan hal ini dicek terus menerus dalam kualitas yang memiliki standarisasi.
.
Sesederhananya ukuran, metodologi proses desain, dan bagaimana pengambilan – pengambilan keputusan itu ada yang memang membutuhkan kalkulasi presisi juga ada yang terkait bagaimana proses interview dengan klien itu dilakukan. Dan hal itu baik karena membuat kita semua jadi sadar, bahwa edukasi mengenai gambar pun harus terjadi. Dan memang banyak sekali talenta di studio itu hadir, dan cara untuk bisa bekerja bersama – sama adalah memiliki komunikasi yang baik, keterbukaan pikiran, dan contoh – contoh yang dibicarakan yang akan menjadi SOP.

Kategori
blog

Taslim Bioclimatic Home 1st Phase

This house was designed in 2011, about 14 years ago, and the project is still ongoing, having now entered the third stage of construction in 2024. It began with the needs of our clients, who desired a home that facilitates 3 families living together. Located in Alam Sutera, the house with an area of around 3000 m² features a cluster concept, allowing each family member to have their privacy and space for expression while still feeling connected to one another. This cluster concept aligns with research from a Harvard Medical School study, which indicates that the quality of relationships with family and the community significantly impacts health, happiness, and longevity. We believe that a home designed for multigenerational living reflects health and embodies a unique Indonesian harmony.

We adopted a bioclimatic approach to enhance thermal comfort by considering sun orientation, with roof angles opening toward the north and closing toward the west. Each corner of the house is designed to receive sunlight and fresh air, incorporating long overhangs, lattices, and surrounding trees to filter sunlight from the west and east.

At our studio, we have learned that continuous adaptation to changes over time is fundamental. In designing a house, finding abstraction within the process is crucial, as it allows us to align our vision with the client’s desires. We also found that the fight to find abstraction in this lengthy architectural process also aligns with what Carlo Scarpa has accomplished in Italy, such as the renovation of Museo Castelvecchio and the design of Banca Popolare in Verona, both of which took decades. In our studio, we foster a collaborative environment where contributions come from all levels, top down and bottom up. This emphasis on craftsmanship and grassroots detailing ensures that everyone is part of the process, enhancing our architectural studio practice.

Design by #realricharchitectureworkshop

Photograph by:
Slides 6, 7, 8: @bacteria.archphotography

Kategori
blog

Guha Boboto at Mbloc Design Week

We will participate in the exhibition at M Bloc Design Week, themed ‘Daur Rupa – Sustainable Design,’ meaning “everything recycled,” from September 27th to October 6th, 2024. The exhibition will feature the Guha Boboto model panel, that has four key components: a family home, a boarding house, a family-operated stall, and OMAH new philosophers survival library. This project emphasizes preserving old structures as a way to survive by minor changes and major impact while emphasizing kampoong material locality, family affordability, and local-symbolic sustainability, showing the DOT Workshop detailing at its critical and finest.

Our principal, Realrich Sjarief, will speak at the M Bloc Design Week 2024: Design Conference on October 5th, which focuses on exploring and advancing sustainable design in today’s fast-paced and complex world, questioning many thinking mode, defining static assumptions of sustainability in RAW practice. The conference will also feature other notable friends, brothers colleagues, including Antonius Richard, Sibarani Sofian, and Anton Siura.

The presentation will focus on empowering local craftsmen and harnessing their skills to create meaningful bioclimatic architecture. Our commitment to lifelong learning drives us to craft architecture with care and dedication to families, firmly grounded in sustainability and redefined local engagement to achieve operational expenditure in sustaining legacy of literacy, domestic needs. This is the model of the self-sustained economy, social, and culture of togetherness for the future.

M Bloc Design Week 2024 promises to be an exciting platform for discussing innovative approaches to sustainable architecture. We believe this event will foster valuable insights and contribute to the growth of the architectural community.

Join us at M Bloc Space Jakarta for inspiring discussions and don’t miss this opportunity to learn about the future of sustainable architecture!

@mblocdesignweek

Design by #realricharchitectureworkshop for @guhaboboto
Detailing by #dotworkshop
Guha Boboto Photograph by talented @_yophrm

#MBlocDesignWeek #RAWArchitecture #GuhaBoboto #Architecture #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Morahai Bioclimatic Home

Building a house is never easy; it’s a lengthy process that requires significant refinement and resources from the client, all focused on the client’s needs. This house took considerable time to complete, as the design and construction began during the COVID-19 pandemic. It was an unique opportunity for us, and the clients were supportive throughout the critical design process also open to exploring new possibilities as long as they remained functional.

Our goal in designing this house was to reduce the indoor temperature to 28°C through a bioclimatic approach. This involved strategically placing trees and plants both inside and outside the perimeter to create a natural cooling effect. Additionally, we aimed to achieve a PM2.5 concentration of below 30 µg/m³ to ensure that the house is free from air pollution.

The design features a thoughtful selection of materials that are not costly but still give a unique character. We utilized a mix of material, including cement plaster and ulin wood. The west side of the house is more enclosed, offering a view of the nearby RPTRA (children’s playground). Interestingly, the house features a social area where newspapers are placed, allowing people to read them. This creates an informal social space, making the house a neighborhood activity hub.

The layout of the house comprises two zones: public and private. This design was inspired by the clients’ desire for visiting relatives to feel at home. In the private zones, functional living spaces like the family room and bedrooms are designed with unique curved forms. The bedroom area features a series of continuous curves resembling terracing, echoing the natural language of curves. The staircase is prominently located on the west side, serving as a central element that enhances spatial efficiency and circulation.

The exploration of combining curved and rectangular forms in both the shape and façade of the building is intended to facilitate healthy airflow and introduce natural light into the interior spaces. To minimize the load on air conditioning, a rooftop garden serves as insulation.

design by #realricharchitectureworkshop

photograph by
1, 3, 5, 6, 8, 9: @_yophrm @luil_mn

Kategori
blog

Gembrong market Colective Cave

The idea of our design of Gembrong Market is about accommodating an adequate number of stall units, emphasizing an inclusive design process led by the operator for arranging area zoning and layout, so the number is based on dialogue between stalls and business feasibility. It resulted in almost 200 wet market stalls, almost 400 dry market stalls, nearly 50 F&B stalls, 2 playgrounds, and a multipurpose hall. A key market feature is the integration of F&B spaces and children’s areas on the rooftop, creating vibrant anchors for the community. The ground floor is dedicated to a wet market, serving as another anchor.

Hygiene is a top priority in our design of the Gembrong Market. We have envisioned a market equipped with floor drains and grating to manage water flow in the wet market area effectively. Our design aims to cool down the temperature to 28 degrees Celsius by introducing voids that reduce the need for artificial lighting. The open, curved roof design allows for air gaps that enhance ventilation, creating a functional interior that is business viable and an open-air public space that reconnects with the city through affordable problem-solving solutions. Introducing an atrium allows natural sunlight to illuminate the inner core, minimizing the reliance on air conditioning and maximizing daylight.

Through this project, We grow our relationship and architecture grammar and patterns, evolving from personal or residential projects to more public projects. We believe that architecture is fundamentally about relationships rather than mere technical skills. It transcends aesthetics but is a way to understand basic design to create a viable business market while creating an aesthetically pleasing environment that makes people happy by having well-performed thermal performance.

design by #realricharchitectureworkshop for @pasar.gembrong #bogor #architecture #dezeen #archdaily #arsitekindonesiadesign

Kategori
blog

Bertemu Bu Eileen Rachman yang menginspirasi saya dalam melihat dunia mentorship yang baik di studio arsitektur

Bu Eileen Rachman adalah guide, inspirator saya dalam melihat cara untuk melihat dunia mentorship yang baik ke studio arsitektur kami. Bu Eileen sendiri adalah pemimpin dari Decorous, Kemang 89. Ia kesini bersama dengan bu Widarti Gunawan yang adalah mantan CEO Femina grup. Keduanya adalah mindfull soul sehingga saya merasakan bertemu keluarga yang saling terhubung, rasa, jiwa bertemu menjadi jalinan yang mengakar.
.
Apa yang disampaikan Bu Eileen dalam Salah satu TED talknya sangat menginspirasi, Beliau melihat bahwa ada 4 cara berpikir yang kami adopsi dan turunkan di dalam prinsip mentorship, dan cara mengajar. Pertama adalah berpikir kritis yaitu tidak ada yang original di dunia ini, kita harus belajar mendengarkan dari sekitar, dan arsitektur adalah sebuah ilmu yang majemuk. Kita sebagai arsitek mendapatkan inspirasi dari mana – mana. Kedua adalah berpikir kritis yaitu belajar berpikir kenapa , apa, dan mempertanyakan banyak hal bertahun – tahun. Ketiga adalah bepikir fleksibel, yang diilustrasikan dengan pertemuan beberapa great minds di dalam diskusi, tempat, yang memancing kreatiftias sehingga melahirkan neo klasik. Yang keempat adalah berpikir lateral, yakni bisa saja yang kita bahas arsitektur tapi tidak harus mulai dari ilmu yang sama, karena praktik bisa mulai dari mana saja, bisa dari biologi, kimia, psikologi, ataupun manapun. Dan hal ini adalah sebuah runtunan proses bahwa berpikir itu menyenangkan.

kami percaya bahwa bertemu great minds merubah cara pandang, menjalin rasa, merangkai hal yang terlihat baru sebenernya ada dalam relasi yang lama dan begitu panjang. Kami sangat terhibur ketika ia bercerita tentang relasi pak Adhi Moersid dan Pak Tan Tjiang Ay. Decorous Kemang 89 didesain oleh Tan Tjiang Ay, dengan bahasa yang modernist, sebuah kesederhanaan di pojok Kemang. Saya terkejut juga menemukan bahwa rumahnya didesain almarhum Adhi Moersid. Mereka semua orang yang saya rindukan abstraksi kebersahajaannya, pemandu yang rasa persahabatannya yang mengakar dalam arsitektur. Tidak jauh – jauh mereka berkumpul dalam lingkaran yang terus menjemput dalam masa lalu dan masa depan.

 #guhatheguild#realrichsjarief .

Kategori
blog

Guha Boboto

Guha Boboto is a building that has various functions that can also help reduce the operational expenditure of the building and maintain economic independence for families living in Boboto. Guha Boboto consists of four key components: a boarding house and a family-operated stall to support a family home while sustaining the community efforts in literacy with the library concept.

The boarding house itself is divided into 2 types: the first is a boarding house and a temporary boarding house for staffs and craftsmen. This setup allows flexibility to meet the needs of the Boboto family and provides space for visiting family members when needed. The family-operated stall has been part of the Guha Boboto since the 1990s. The library and the boarding house are open in 2024.

Originally the structure built in the 1990s with a basic plywood structure, the building has been upgraded with repurposed plywood transformed into glulam, and recently reinforced with lightweight steel and locally sourced glulam. Most materials used are recycled, including roof coverings, steel rods, bricks, aluminum, and glass.

The library within Guha Boboto plays a crucial role as a guardian and functions as a community activity center. Its goal is to support literacy in Indonesia by offering a space for communal learning and activities. The building is also designed to be easily constructed by anyone without requiring specialized skills, using local and low-cost materials. This also aligns with our studio’s vision that architecture does not need to look luxurious or glamorous; even simple and locally sourced materials can create aesthetically pleasing designs.

Design by #realricharchitectureworkshop
Detailing by #dotworkshop

#GuhaBoboto #jakarta #architecture #details #architectureproject #archdaily #dezeen #indonesia

Kategori
blog

Thank you Alim, Keep on exploring further

Sesuatu menjadi terang karena kita melihatnya dengan terang, sesuatu menjadi dekat karena kita mendekatinya, sesuatu menjadi terwujud karena kita mau mewujudkannya. Manusia awalnya tidak saling mengenal, tetapi kemudian ada hal yang membuat mereka terhubung, salah satunya melalui kenangan. Dan koneksi yang tercipta akibat kenangan ini juga tak jarang menjadi pendorong bagi seseorang untuk maju.

Dari semua hal tersebut, dibutuhkan kekuatan kesabaran untuk percaya pada sesuatu yang hasilnya mungkin belum terlihat di awal. Di Guha, proses ini kami alami dalam keseharian di studio. Kami fokus untuk berpikir dan berproduksi membuat karya yang baik, namun ikatan batin tetap menjadi oase yang kami butuhkan di tengah-tengah rutinitas kami.

Kehadiran Alim di Studio kami membuat suasana paguyuban di Guha terasa begitu kental. Alim adalah sosok yang sering dikerumuni adik-adiknya dan banyak bercerita tentang hal-hal dan nilai-nilai yang ia pelajari selama di Guha serta kesabaran dalam menggawangi proyek. Jika kita dapat mengajar dan memiliki semangat berbagi ke teman-teman lain, hal ini tentu menjadi sesuatu yang bermanfaat. Di samping melewati berbagai pengalaman, kita juga sekaligus memberi dampak bagi orang lain.

Di tengah-tengah kesibukannya, Alim juga tetap berusaha untuk membagi-bagi peran dan memposisikan dirinya. Ini adalah ciri khas dari seseorang dengan attitude yang sangat baik. Di samping itu, Alim juga seseorang yang bertanggung jawab. Ia pernah terlibat dalam salah satu proyek tersulit di RAW dimana ia tetap bertahan hingga proyek tersebut selesai.

Kami senang pernah melalui hari-hari bersamamu serta berjuang bersama, Lim. Semoga seluruh potensi dan hati yang dimiliki Alim bisa terus bermanfaat. Selamat mengembara lebih jauh dan lebih dalam lagi.

@realricharchitectureworkshop
@alimhanz
@rawarchitecture_best

guhatheguild #realricharchitectureworkshop #studioculture #arsitekindonesia #arsitekmuda #architecturestudentlife #architecturestudio #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Ketemu dan ngobrol – ngobrol sama temen SMA Sang Timur, Nina dan Dafik

Ketemu dan ngobrol – ngobrol sama temen SMA Sang Timur while we are in Omah library , Nina with her kind, simple, and humble hubby, take care ya. Good memories since elementary school, sudah lama ngga ketemu 24 years ya. Kalo dihitung temenan sudah dari sd umur 10 aja sudah 32 tahun yaa.

Kategori
blog

Menghargai setiap momen Miracle dan Heaven

Yang menarik dari pengalaman kami dalam mendidik anak adalah bagaimana peran kami adalah sebagai mediator untuk dirinya membuka banyak hal yang ia suka. Ellen Kristi dalam buku cinta yang berpikir menulis bahwa anak harus mendengar dengan telinga, membaca dengan matanya, dan menyentuh dengan tangannya sendiri.

Terkadang saya mengambil foto Heaven dan Miracle , untuk supaya mereka tau dulu mereka tumbuh dari tidak mengerti apa – apa menjadi dewasa. “Pa kamu foto aku ya ?” kata Heaven,
.
saya menjawab “Iya, papa suka foto kamu sama koko, karena waktu tidak akan kembali, dan ini untuk kalian semua nanti akan ingat foto – foto kamu waktu kecil, makanya kalau kamu sadar kalau difoto, kamu senyum ya.” Anak – anak seperti mempertanyakan kenapa saya mengambil gambar dirinya, ia juga mempertanyakan seberapa dirinya itu penting untuk kami. Setelah saya menjelaskan, barulah ia bisa tersenyum dan difoto dengan lepas, penjelasan saya itu sedemikian penting untuk menjelaskan kenapa, apa, bagaimana, siapa, dan dimana dirinya menjadi penting.
.
Belajar setiap hari itu terkait dengan pelajaran mengenai membaca kata – kata yang mulia, seperti juga kita semua membaca kitab suci dari berbagai banyak kebaikan agama dan nilai moral yang awalnya hanya bisa dipahami samar – samar. Kalimat yang muncul akan mengeluarkan pesona rohaninya, menyuburkan perilaku. Begitupun dengan belajar tentang sejarah, yang dimulai dengan mengerti, dan mengapresiasi sejarah dirinya. Begitupun dengan Miracle yang mendokumentasikan progress-progress dirinya setiap hari apa yang ia bisa, dari menyanyi atau main drum, ia sedang memperkaya galeri hidupnya di dalam formasi yang paling berharga dalam hidup manusia, mengingat bahwa saat – saat ia belajar dari awal. Hal itu mengingatkan kami, orang tuanya akan masa – masa kami kecil, akan ketidaksukaan kami dulu waktu kami tidak dianggap, tidak diakui, tidak didengarkan. Dan bagaimana ketika kami berusaha memutar balikkan waktu dan memberikan anak kita, momen terbaik di hidupnya.
.

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Ngumpar Bioclimatic Home

Sudah lama saya tidak cerita tentang proyek – proyek kami di RAW DOT OMAH. Kali ini saya bercerita mengenai Rumah Ngumpar terletak di ujung belokan jalan sehingga memberikan kesan memeluk lahan dan menyambut setiap orang yang akan masuk. Desain rumah ini memanfaatkan posisi strategisnya untuk menciptakan pengalaman penuh kehangatan dan keteduhan. Dari entrance, penghuni disambut oleh taman kecil di entrance sebagai barrier, memberikan nuansa adem sebelum memasuki rumah. Sequence rumah ini berjenjang dengan shading alami dari tanaman dan air, berlanjut ke dek kayu, sebelum memasuki area utama.

Di lantai dasar, area servis terletak di sekeliling tangga yang berfungsi sebagai batang tubuh rumah, dengan bukaan di sisi-sisinya untuk cahaya, sementara celah antara bangunan dan tetangga memfasilitasi aliran udara dan cahaya alami. Di lantai satu, ruang keluarga utama memiliki void besar dan bukaan atap, memungkinkan cahaya matahari masuk dan menciptakan koneksi visual antara penghuni dengan privasi masing-masing. Lantai ini juga menampung tempat kerja bersama, area pribadi, dan atrium sebagai foyer panjang yang menghubungkan ruang-ruang, membelah sisi yang lebih utama dan ruang yang supporting.

Di lantai dua, void menghubungkan ruang kamar utama dengan kamar anak, sementara lantai atas mencakup area gym dan ruang untuk bersosialisasi. Atap dirancang untuk melindungi dak beton, dan ditambahkan dengan tanaman sehingga memberikan insulasi bagi lantai kamar di bawahnya. Pendekatan ini menurunkan suhu udara 3-5 derajat di seluruh area rumah.

Secara bentuk, rumah ini mengambil bentuk kurva yang saling yang berlawanan seperti magnet. Sisi maskulin berwujud pada bentuk tegas dan ujung-ujungnya, sementara sisi feminim muncul melalui kurva yang mengalir, menciptakan ruang yang terasa luas meskipun ukuran lahannya terbatas. Bentuk ini juga menciptakan kesan plastis yang kontras dengan beton yang kaku. Kurva berulang terus hadir hingga ke detail rumah, bahkan dalam raiiling melengkung dengan perpaduan material besi dan kayu, hingga pintu yang memiliki lengkungan. Kayu ulin dipilih untuk menambah konektivitas dengan alam dan memberikan sentuhan yang alami.

Kategori
blog

Thank you Qybar and Edho! (our intern at Guha the Guild)

Proses untuk melepaskan anak-anak intern kembali ke kampus merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, selalu ada pertemuan hangat di akhir masa internship untuk saling menyampaikan kesan dan pesan, masukkan, serta harapan bagi teman-teman intern. Pertemuan yang diadakan di studio ini biasanya kami lakukan dengan santai sambil mengenang setiap kesempatan yang telah dilalui.

Pertemuan-pertemuan hangat kami menciptakan sebuah komunikasi. Sebuah komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang diingat. Biasanya, hal ini dapat datang dari momen-momen tidak biasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula di studio. Begitu banyak momen yang tercipta mulai dari momen unik saat pertama kali datang ke Guha, momen mentoring yang menegangkan, momen kritikal menghadapi realita proyek, momen keseharian di meja makan, hingga momen random dan konyol bersama yang terjadi secara natural. Momen-momen ini merupakan wujud dimana realitas dan kreativitas tetap terawat dengan baik. Dualitas suasana ini muncul dalam keseharian kami, serius tapi juga santai dengan penuh rasa tanggung jawab. Semoga momen-momen ini bisa membantu mereka bertumbuh menjadi lebih baik.

Terimakasih @rizqyakbarrr dan @edhobaronmack atas warna yang kalian berikan. Qybar dan Edho adalah beberapa contoh intern terbaik RAW. Qybar adalah sosok yang unik, kreatif, ceria, dan humoris. Lewat setiap humornya, ia menjadi pencair suasana studio. Dalam bekerja, ia merupakan sosok yang strategis, bermental baja, dan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan tepat.

Sementara itu, Edho adalah sosok yang tenang tetapi sangat serius dan profesional saat bekerja. Jika telah mengenalnya lebih dalam, ia juga seseorang yang hangat, penuh perhatian, setia, dan rendah hati. Meski Edho cukup pendiam, di balik diamnya ia banyak mendengar dan menyerap hal-hal di sekelilingnya.

Kami berharap, Qybar dan Edho dapat berhasil dimanapun mereka berada. Teruslah menempa diri dan bersinar. Sampai bertemu kembali di Guha

.

@realricharchitectureworkshop @rawarchitecture_best

.

#guhatheguild #realricharchitectureworkshop #studioculture #arsitekindonesia #arsitekmuda #architecturestudentlife #architecturestudio #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Miracle yang senang mencoba banyak hal

Dari pingpong Miracle mencoba banyak hal, jujurnya apa yang kami harap sama Miracle adalah bagaimana ia menikmati hari – harinya yang berharga, dengan waktu yang tidak bisa kembali. Daya becandanya ala srimulat seringkali muncul seperti ketika pura2 naik meja, ia bercanda terus dengan gurunya.
.
Termasuk dengan gurunya yang di kelas robotika, ia kemarin diajari catur sederhana dan langsung minta les catur. Begitulah anak – anak ini tergantung dari guru – gurunya yang membimbing menuju pelatihan yang majemuk.
.
Impulsnya yang tinggi tergantung dari mana ia dapat pengaruh. Ia baru saja mendapatkan teknik bernyanyi mendayu-dayu dengan alat olahraga yang bergetar-getar yang ia temukan. Kalau dilihat – lihat sudah mirip dengan penyanyi opera genre baru ha ha.
.
Ping pong video by jedi master @putrakhairus

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Bertemu dan Belajar dari Mirza dan Dhisty


Hari ini saya belajar bahwa tiap jiwa akan bertumbuh dan menemukan lingkarannya sendiri seperti setiap saat bertemu Mirza dan Dhisti. Satu hal yang saya tidak pernah lupakan adalah asal darimana beton bisa melengkung membentuk tangan yang menari, membentuk doa, membentuk banyak asa dan rasa. Lengkungan itu juga membentuk jalan masa depan yang memisahkan dan menyatukan jiwa -jiwa yang sejalan.
.
Di balik waktu, rumah tumbuh dan penghuni tumbuh dalam harapan adanya grand piano, gamelan, cerita anak – anak, pekerjaan, rekonsiliasi banyak energi baik dalam hidup yang berserah yang ada di dalam dua ranah. Satu ranah abstraksi yang merupakan akar terdalam menggali kemauan jiwa yang baik. Charlote Mason, seseorang pendidik keluarga yang saya dapat pengetahuannya dari kawan lama saya percaya bahwa setiap anak dikaruniai jiwa yang baik dan mulia. Abstraksi itu ditandai dengan latihan jiwa keseharian yang natural untuk percaya dengan abstraksi bahwa hidup ini baik apa adanya.
.
Lain hal abstraksi ada juga implementasi dan fisik yang nyata, ia adalah 3 dunia, manusia yang berkembang, keuangan, dan juga operasional. 3 hal itu tertuang dalam bagian usaha, HRD, finance, dan juga manajemen. Dialog – dialog kami di rumah Kampono ini sampai 3 jam lebih mengalir, masukan, pengalaman, cerita, sambung menyambung memberikan benih yang tumbuh. Sejatinya benih disitulah ada harapan kita menyebarkan kebaikan dari semesta.

Tidak banyak arsitek dapat kesempatan belajar dari klien berulang – ulang kali, keduanya saling melengkapi, Sudah dua tahun terakhir kami tidak bertemu, mereka teman baik saya, klien, dan juga saudara seperjalanan, orang yang saya jaga dan juga saya sayangi sebagai jenderal mereka, di atas rumah yang menari, ada akar yang kuat doa untuk rahmat semesta yang mulia.
.
Terima kasih always for inspirations, dan semoga ya minggu depan bisa bertemu belajar bersama kembali.
.
@mirza_kampono@adhistykampono
.
#realrichsjarief

Kategori
blog

Hari gym bersama anak-anak

Hari ini adalah hari gym bersama anak – anak, mereka kreatif dan mengikuti termasuk Heaven dengan cobra yoga mamanya, dan Miracle yang ngga mau kalah lari di Treadmill seperti idolanya Usain Bolt, terakhir juga begitu liat barbel “pa aku bisa angkat barbel.” Mereka mudah sekali meniru dari sekitar.

Akhirnya tempat ini selesai, juga sebagai tempat main kita semua, saya meleng sedikit, treadmill ini langsung jadi landasan pacu mobil – mobil mainan mereka.
.
Termasuk gaya khas chameleon legendaris Miracle di atas struktur diagonal yang menopang kanopi atap.
.
“Can u go higher ?” tanya saya.
“Only if somebody carry me.” Jawabnya
.
Ha ha ha, saya hanya mesem – mesem aja sambil ragu – ragu. wajar sekali jawaban yang jenius. Belajar dari anak – anak ini ternyata sederhana, masalahnya badan Miracle berat sekarang, membuat saya harus latihan otot biar kuat haha.
.

#realrichsjarief #miracleheavenrich

Kategori
blog

Miracle dan Heaven yang saling belajar satu sama lain

Miracle dan Heaven hampir tiap saat bersama, keduanya saling belajar satu sama lain. Kalau Miracle disiplin, Heaven akan ikut disiplin, malau Miracle belajar, Heaven akan ikut belajar. Ada sebuah tren ikut – ikutan dari anak kedua ke pertama. Saya tanya ke laurensia itu heaven lg ngapain sih di video ini, bisa joget2 goyang pinggul seperti itu, “dia lagi ngikutin micky waktu di depan film Disney kan ada.” Sebegitu cepatnya Heaven bisa menyerap tiap informasi sekitarnya.

Menariknya role model Heaven adalah kakaknya juga, begitupun juga pertengkaran yang dipantik hal – hal sepele, berebut mainan. Yang didasarkan pada keisengan yang tidak disadari dari sang adik, yang mendorong kakaknya sampai batas kesabaran. Kakak yang sepantasnya lebih tua menjadi contoh, begitupun Miracle yang mencontoh kami berdua seperti kereta api yang sambung menyambung, ada satu rel yang menyatukan menuju tua bersama kami orang tuanya. Termasuk rel supaya perut kami lebih terkendali dan tidak membuncit supaya terus lebih bahagia, haha.
.
#miracleheavenrichsjarief

Kategori
blog

Heaven’s and dad’s activity time at Tunas Muda school

Heaven’s and dad’s activity time at Tunas Muda school. And off course with mama. No more papa sibuk-sibuk, hari ini untuk Heaven, “pa ayo nanti terlambat !” Heaven sudah mengingatkan sejak pagi. Anak kedua adalah anak yang sangat pintar, ia belajar dari kakaknya dan ia berlimpah kasih sayang dari sekitarnya, ia akan punya titik tolak yang membuat dirinya selalu berarti dan lebih baik lagi. Sikap yang kritis, hati – hati membuatnya lebih teliti, santai, dan serius.
.
Hari ini kita main game, kerja sama yang menyenangkan,kayanya perlu sering – sering supaya awet muda. Haha
.
#realrichsjarief #miracleheavenrich

Kategori
blog

Budaya Makan Bersama di Guha

“Food brings people together on many different levels, it’s the nourishment of the soul and body. It’s truly love.” – Giada De Laurentiis

Di dalam kehidupan yang penuh dengan perbedaan, makan bersama menjadi bagian yang menyatukannya. Seperti tradisi Ngeliwet, Tumpengan, Bajamba, dan Patita di Indonesia, makan bersama sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya hingga sekarang.

Momen di mana kami bisa duduk bersama, makan, dan saling bercerita menjadi kesempatan untuk saling mengenal dan membangun rasa nyaman serta saling percaya. Kebiasaan ini bukanlah hal yang baru di studio kami, melainkan sebuah budaya yang diwariskan. Makan bersama-sama sudah lama dilakukan oleh Pak Asnawi Sjarief, ayah Realrich Sjarief bersama dengan para pengrajin dan tukangnya. Sekarang, kebiasaan ini kami jaga, sebagai rupa dari kekeluargaan kami di Guha.

Makan bersama seperti perayaan sederhana yang biasa kami lakukan, berterima kasih atas dukungan dan berkat yang sudah kami terima selama ini.

Terkadang kami juga mencoba makanan-makanan baru, merasakannya bersama dengan saling berpendapat tentang rasa dan hal lainnya di luar keseharian. Momen-momen seperti ini menjadi penting karena kita disatukan dalam satu meja untuk saling belajar tentang berbagi, menerima, dan bersyukur dari sebuah piring berisi makanan.

Di studio kami makan bersama adalah proses penyatuan antar divisi, membangun rasa kepekaan dan kepedulian dalam keseharian, yang kemudian memupuk ikatan kekeluargaan meski dari latar belakang yang berbeda. Mulai dari tim desainer, penulis, admin, pengrajin, hingga logistik berbaur besama di ruang makan, bercerita tentang keseharian, hobi, keresahan, dan saling bertukar pengetahuan.

Makan bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan raga, tetapi juga mengisi jiwa bersama-sama melalui harapan dan cinta di dalamnya. Kami memimpikan budaya studio yang bisa melebur pekerjaan dan kehidupan sosial dengan seimbang, karena kehidupan lebih besar dari arsitektur itu sendiri.

guhatheguild #studioculture #architecture #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Miracle discusses about Metabolism with His Teacher

Miracle is discussing with his teacher, about metabolism. The way that he explained the concept to the teacher is really authentic, and really come from his heart. I really love his explanation, about what you eat, is what’s out from your body. He is improving in many aspect, including his drum with coach Adi, and care about his brother, We are fortunate to be blessed by him and his brother heaven. We hope that both of the brothers will be in harmony, brother is always brother, sister is always sister. Learning from my best friend, Hugo that relationship he told us, is the most important part to form happy life.

so many things happened in our life. Like your life, like my life, whatever happens, one thing i sure that it’s beautiful because the abstraction is a motive to bring kindness in this life. This abstraction is important to walk everyday life, for me it’s architecture, thinking, and sharing in family which is so important, for others maybe their business, their life and family. Those work and life balance is very important, let’s cherish both of it.

Happy weekend all.
#realrichsjarief

Kategori
blog

Merayakan Hari Kemerdekaan

Merdeka 17 Agustus 1945 bersama ketua RT tercinta, ibu kita semua. Tanggal 17 Agustus kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Di dalam usaha menyeimbangkan kehidupan studio dan keluarga yang berputar – putar tanpa henti, akhirnya hari ini bisa beristirahat dan menonton anak-anak ikut lomba. Dari satu hari sebelumnya ibu sudah telp kalau akan ada acara di RT, rumah Pulau Ayer. Miracle dan Heaven sangat antusias, dengan persiapan yang matang, ia berlatih makan pisang waktu pulang sekolah dengan bekalnya, ia bisa melahap satu pisang utuh langsung, dan alhasil dari latihannya dalam mukbang membuat ia menjuarai klasifikasi makan pisang.

Lain Miracle lain juga Heaven yang pun juga mendapatkan juara untuk memasukkan sedotan ke botol. Saya juga banyak bertemu teman-teman ibu dan ayah saya untuk bersilahturahmi, seakan-akan waktu berhenti dan kita bisa mengenang seberapa jauh kita sudah berjalan. Momen kemerdekaan jadi salah satu contoh bagaimana hal-hal kecil bisa membuat kita ingat momentum kebersamaan, menjadi satu dalam kemajemukan.

Dalam deru-deru kesibukan, dan keinginan untuk bisa seimbang dalam studio kami yang penuh dengan rasa panik, tidak nyaman, ketakutan. Tidak pernah menyerah untuk menggapai kesempurnaan dalam pekerjaan menjadi hal yang kami perjuangkan karena kami jauh dari kata sempurna. Kehidupan di belakang layar pekerjaan, keluarga, menjadi lapisan yang menyatukan dan membuat momentum ini justru bermakna dalam banyak kegiatan, relasi, dan harapan baru.

Saya senang bertemu lagi dengan guru saya Pak Apep dan juga bertemu kawan-kawan baru Gathi Subekti, Ivan Priatman, dan Irfan Fauzie dalam momen penjurian di Steel Architecture Award (IAI dan Bluescope). Hal ini membuat saya banyak belajar dari banyaknya variasi nominasi yang masuk.

Dalam kenangan panjang soal siapa kita, siapa saya, dan siapa yang masuk dalam kenangan. Kita semua merayakan doa kemerdekaan dalam satu kesatuan.

1 Ibu dan kami sekeluarga
2 Miracle mukbang pisang
3 Studio turbulensi
4 Rapat – Rapat, ketika hasil tidak sempurna
5 – 6 Studio hedon – hedon
7 Penjurian Bluescope
8 Presentasi kuliah di Mercubuana
9 – 10 Tanam – tanam lagi di Guha
.
#realrichsjarief

Kategori
blog

Hello Again, Farhan

Perjalanan memahami arsitektur bukanlah hal yang instan, dibutuhkan kesabaran untuk bisa mengerti lapisan demi lapisan. Proses memahami arsitektur dan apa yang kami lakukan di Guha merupakan perjalanan panjang yang terus kami refleksikan dalam keseharian, dan bersama orang-orang yang silih berganti.

Proses kami memahami apa yang terjadi di Guha dengan seluruh dinamikanya melatih kami memiliki penglihatan yang menyelam kebelakang, melesat jauh kedepan, tapi berpijak pada keseharian. Sama halnya seperti proses berarsitektur, perlu memahami konteks dan memanfaatkan eksisting sebelum membuat sebuah karya arsitektur. Apa yang terjadi dalam keseharian adalah fondasi bagi kami, seperti sebuah fondasi didalam sebuah bangunan.

Fondasi merupakan hal yang penting, begitu juga diranah videografi. Ada sebuah quotes yang mengingatkan kami pada perjuangan @farhannash dalam memahami arsitektur dan Guha, “A video without a storyboard is like a house without a foundation” Han Lung. Farhan pernah menjadi videografer beberapa tahun di Guha, dengan background skill broadcasting yang ia miliki, sangat membantu kami merekam hari-hari yang terjadi di Guha, momen-momen penting yang tidak akan terulang kembali, kelas-kelas yang ada di OMAH, hingga mendokumentasikan beberapa proyek di RAW Architecture. Usahanya dalam memahami arsitektur ia tuangkan kedalam storyboard yang kami buat bersama-sama, yang kemudian menghasilkan karya-karya video dan foto-foto tentang integrasi antara manusia, studio dan arsitektur.

Terimaksih sudah pulang kembali ke Guha @farhannash, bersama @ismipradina yang juga mencintai dunia arsitektur. Kami percaya bahwa dimana kita mencurahkan upaya terbaik kita, disitu kita dapat meraih keberhasilan. Semoga jalan yang kamu tempuh menjadi fotografer dan videografer arsitektur mengantarkanmu menjadi orang punya semangat belajar dengan hati dan terus bermanfaat bagi sesama. Kami menantikan cerita perjuanganmu selanjutnya.

@rawarchitecture_best

guhatheguild #realricharchitectureworkshop #studioculture #arsitekmuda #architecturestudentlife #architecturestudio #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Alfa Omega featured on Writing and Literature Issue, Architecture Asia

Context #rawarchitecturepublication

We are honored to be part of the architecture journalism led by @apurvabosesutta. She is the guest editor for the June issues of Writing and Literature from #ArchitectureAsia #ARCASIA.

As the official journal of Architects Regional Council Asia, a global organization representing architectural bodies in 22 Asian countries, Architecture Asia is a respected journal. We are delighted they found value in @apurvabosedutta proposal for this thematic issue.

@michael.j.crosbie , @olebouman, sumitasingha_riba , @prem_chandavarkar, dr_anu_arch, @chrislee.serie , @zhuxiaofeng_scenicarchitecture , @architecttonyjoseph , @stapatiarchitects.india , @dikshukukreja , @cpkukrejaarchitects , @farid_esmaeil , @x_architects , Z+T Landscape Architect, @hiroshi_nakamura_naparchitects , @the_fabiantan @fabiantan.architect , @tongji_1907 , @images_publishing

Kategori
blog

Sukasari Traditional Market

Context #RAWongoing

Bogor City enjoys a comfortable climate despite being known for its frequent rainfall. It experiences a high number of rainfall days, ranging from 16 to 29 days per month, contributing to a pleasant temperature range of approximately 22-30 degrees Celsius. Its proximity to Mount Salak also influences a noticeable mountain climate around Sukasari Market #Bogor, shaping the interpretation of its facade concept as resembling a mountain.

Concept #pasarsukasari

Designing such an #architecture is also challenging. It must be cost-effective, fast to implement, collaborative, and long-lasting. We prioritize local materials for cost-effectiveness, using what is readily available. Initially, the layout of Sukasari #TraditionalMarket was based on a circulation scheme to ease movement within the market. Each stall’s number is carefully calculated with allowances to accommodate sufficient foot traffic for sustainable market growth, balancing commercial viability.

Collaboration is key, involving various stakeholders such as the Bogor city government, clients, investors to jointly discuss helping the design team maximize the development of Sukasari Market. To ensure a long-lasting aspect, RAW Architecture Studio #details apply a lengthy tropical roof design to promote adequate airflow. This helps manage the city’s high humidity levels and maintain cooler temperatures, especially within the market.

Conclusion #realricharchitectureworkshop

Bogor City’s unique climate and geographical features significantly influence the design and functionality of Sukasari Market. By using local materials and implementing a thoughtful circulation plan, the market enhances its aesthetic appeal and ensures practicality and durability for years to come.

With innovative approaches like using a tropical #architectureproject design to manage humidity and temperature, Sukasari Market is a testament to blending environmental responsiveness with architectural ingenuity in #Indonesia. This approach supports Bogor’s local economy and enriches the community’s experience of the city’s vibrant market culture.

Projects by @realricharchitectureworkshop
Photograph by @_yophrm@luil_mn

Kategori
blog

Trip to Malaysia – Heavenrich vs the monkey 😆

Really enjoy this trip to Malaysia as we can see how my second son Heavenrich fought with monkey to defend his water bottle. Btw Heaven yang topi kuning ya bukan yang biru 😆


#realrichsjarief

Kategori
blog

Foyer Area and Library at Guha The Guild

On RAW Architecture design, there is a foyer area and a library room with a mezzanine. The foyer features a high ceiling and skylights arranged in a pyramid-like staircase configuration. It’s compact and efficient.

In contrast, the library room with the mezzanine has a low ceiling with a thin concrete structure suspended from a concrete slab above. On the mezzanine floor, semi-circular voids are covered by perforated metal plates and glass, serving as spatial dividers and providing natural light and ventilation for both the ground floor and the mezzanine. The atmosphere of this low-ceilinged room deliberately recalls the ambiance of the humble space.

Structural changes were made to separate different zones, including incorporating a glass frame in the arch structure. At times, the space also functioned as a display area for models before eventually being sterilized into a dedicated library area. This transformation occurred rapidly, involving the exploration of spatial programs and extensive material explorations that continue to this day, a space of flexibility.

#refleksiraw #kilasbalikraw #guhatheguild #realricharchitectureworkshop #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

DATUM+PLUS: PAM International Design Forum

We thank PAM, PAM President Prof. Ar. Adrianta Aziz and the team for making DATUM part of KLAF2024. We would also like to thank Ar. Dr. Lim Teng Ngiom, the director of KLAF2024, and all of the committees. Thank you for inviting us to be present in Kuala Lumpur to share with brothers and sisters who have unique works, perspectives, and breakthroughs. The venue was very discursive and open for discussion. There are so many multi-perspectives that we, as RAW Architecture, learn so much in the process.
.
Ar. Realrich, along Ar. Ho Chin Keng, Shin Tseng, and Fadzlan Rizan Johari, in the DATUM+PLUS class, discuss architecture and its discourses of multi disciplinary, materiality, collaborations in the whole.

Ar. Realrich presented daily and simple works many people have done in Indonesia, in our studio, working hand to hand with craftsmen, designers, and so many personal realities in daily life. However, from all these fragments, one common line unites us all: tropics, energy for diversity, and close respect for each other, with words and actions without pretension in the spirit of continuing to learn.
.
We also celebrated the other speakers’ presentations at the DATUM:GREEN and DATUM:KL, who had such positive energy and a heartwarming story. There was so much complexity in their own territory.
DATUM:GREEN: Chatpong Chuenrudeemol, Lucas Loo, Azman Zainal, and Mior Aizuddin
Datum:KL : Dr. Yu Kong Jian, Dato’Sri Ar. John Lau Kah Sieng, Prasanna Morey, Praveen Bavadekar, Bayejid M. Khondoker, Jo Nagasaka, Chen Xi, Rasem Badran, Jim Cumeron, and Kun Lim & Kun Sam.
.
We need to learn from so many people to show positive energy in the ups and downs process. We need so many dreams and hopes, personas and selves, and collaboration and community. Therefore, we do all the best for all of the restless spirit
.
@shin.tseng @ckho.architect @ezmenzainal @garyeow @fadzlan_rizan @seadbuild @bungaateelierdesign @lucasloozexian @chatarchitect

#rawreflection #pam #klaf2024 #datum #datum+plus #datum:kl #datum:green #archidex #kualalumpur #malaysia

Kategori
blog

Chimney Bioclimatic Home

All of the context and the design results portray our belief that poetic architecture comes from many experiments involving many parties. Design variations resulting from consistent experimentation have a common thread that is intact and complex but still integrated. The thread connects one project to another through a collaborative but personal architectural approach, a continuous point.

The Chimney Bioclimatic Home results from a study of skylights as passive light and air tunnels in tropical climates. The house has seven skylights varying in dimension, which suit the lighting needs calculation based on the room volume below and compared to the sunlight angle. One of the skylights is made prominent as the center point and becomes a visual connection in the form of a void between the family room and the floor above.

The skylights are designed to provide good air circulation without allowing rainwater in. The construction floats without a frame, using just a stainless pin, creating a gap below covered with a mosquito net. Finally, the glass cover is installed with a slope to prevent waterlogging.

Besides the skylight details, the house has another uniqueness in its form. Inspired by the site on the curved corner, it gives off a vibe of sitting on top of the garden, shaded by tree canopies. Thus, the curved shape influences the shape of the mass and is reflected in the design of doors, windows, skylights, and even several elevations that function as a divider between the family and prayer rooms.

Photograph by @farhannash @luil_mn

#chimneybioclimatichome #bioclimatichome #RAWfinished #realricharchitectureworkshop #home #architecture #details #architectureproject #tangerang #jakarta #indonesia

Kategori
blog

I.M. Pei: Taksu and Pragmatism

I.M. Pei: Taksu and Pragmatism

I got to know architect I.M. Pei more deeply through Eka Swadiansa when, in 2007, he sent an email to discuss the book Spirit 45 and the enthusiasm for exploring discursive architecture. I consider Spirit 45 still relevant to what I strive for today. I greatly appreciate the continuous efforts that overlap with what I and my friends at OMAH Library also fight for. Behind the platform in any name and branding used to boost popularity, architecture becomes a means of therapy, duty, and a noble mission to spread many stories of goodness.

I describe the Suzhou Museum as a classic work with neat, orderly datum, parti, and porch. This work has openings and closures with a disciplined repertoire that harmonizes with its surroundings. Pei is very careful in playing with vistas, reflecting the lines of hills and valleys, as well as the everyday patterns of Suzhou with its black-and-white colors.

Upon entering the main museum, we are greeted by a foyer as a meeting point, where light enters and illuminates the intersecting geometry of the stairs, combining clear forms to present the silhouette of Suzhou as it is. Imaginary lines are made to continue from the city’s horizon to the stairs and roof of this building, with the scale of the Forbidden City’s walls as the highest height limit. Each building mass is connected by corridor hallways with repetitive and pragmatic lighting grids. I learned pragmatism from Mr. Yuswadi Saliya. Pragma is the art of examining skills until they become familiar. Its highest point is exploring taxonomy. Therefore, the science of sense is synonymous with taksu (an abstract spiritual essence).

This intersecting fold is continued to the central axis of the entrance, framing a courtyard containing one of the most beautiful gardens I have ever seen. There, stones are processed with the fifth technique/rule (rules 1-4 are stones with many wrinkles, tall, slender, and with many holes), which is to slice the stones perfectly to produce new shapes like paintings on a frozen paper scroll. His technique is an elaboration from “make a hole but don’t break it” to “slice it to celebrate the history.”

Each viewing area of the museum is divided into floor plans resembling the layout of a pagoda, indicating a primitive phase, framing a bamboo garden. Gradually, we are then invited to experience the everyday life of Pei’s late elder, Ming (Ieoh Ming Pei), who had a calming simplicity as the culmination of three dimensions of religiosity he experienced. The first dimension is being quite happy (Confucius) where life is graded with the goal of being happy by feeling content within oneself. The second dimension is flowing like water (Tao). The third dimension is doing for others, not for oneself (Virtue). Virtue means more than good. It is a mission to continuously spread goodness without expecting a return.

In a previous post, I discussed three types of architecture in China. This time, I find it difficult to classify them. For me, that is no longer an issue. At this point, my heart has been touched by taksu. The journey to Suzhou Museum was then closed with an exhibition of vernacular Suzhou houses, where the ground can be used for learning while appreciating everyday aesthetics. When I entered the 1:1 scale model house, time seemed to stop…

I remember Mr. Eko Prawoto, Mr. Josef Prijotomo, my father, and their daily lives as ordinary humans. It is there that I found them.

——

Saya mengenal arsitek I.M. Pei lebih dalam melalui Eka Swadiansa ketika pada tahun 2007 ia mengirimkan e-mail untuk membahas buku Spirit 45 dan semangat untuk menggali arsitektur yang diskursif. Saya menganggap bahwa Spirit 45 masih relevan dengan apa yang saya perjuangkan sampai sekarang. Saya sangat menghargai usaha yang dilakukan terus-menerus dan sekaligus menjadi irisan atas apa yang juga diperjuangkan oleh saya pribadi dan teman-teman di OMAH Library. Di balik kendaraan platform dalam bentuk nama dan branding apapun yang dipakai untuk mendongkrak popularitas, arsitektur menjadi satu sarana terapi, darma, dan misi yang mulia untuk menyebarkan banyak sekali cerita kebaikan.
.
Saya menyebut Suzhou museum sebagai karya yang klasik dengan datum, parti, dan porche yang rapi, runtun, dan teratur. Karya ini memiliki bukaan dan tutupan dengan sebuah repertoar yang tertib dan selaras dengan lingkungan sekitarnya. Pei sangat berhati-hati dalam memainkan vista yang dibalik-balik, mencerminkan garis-garis lereng bukit dan lembah, serta pola keseharian Suzhou dengan warna putih-hitamnya.
.
Saat memasuki museum utama, kita akan disambut oleh foyer sebagai titik temu, tempat cahaya masuk dan menyinari geometri tangga-tangga yang dibuat saling-silang, menggabungkan bentukan yang jernih dalam usaha menampilkan siluet Suzhou apa adanya. Garis-garis imajiner dibuat menerus dari horizon kota menuju ke tangga dan atap dari bangunan ini, dengan skala dinding Forbidden City sebagai batas ketinggian tertingginya. Setiap massa bangunan dihubungkan oleh selasar koridor dengan pencahayaan dari kisi-kisi yang dibuat repetitif dan terlihat pragmatis. Saya belajar pragma dari Pak Yuswadi Saliya. Pragma adalah seni menelisik keahlian sehingga terbiasa. Titik tertingginya adalah menggali taksonomi. Oleh karenanya, ilmu rasa identik dengan taksu.

Tekukan saling-silang ini ia lanjutkan hingga ke aksis tengah pintu masuk yang membingkai courtyard yang berisi salah satu taman terindah yang pernah saya lihat. Di sana, ada batu-batu yang diolah dengan teknik/aturan kelima (aturan 1-4 adalah batu yang memiliki banyak kerutan, tinggi, kurus, dan memiliki banyak lubang), yaitu batu diiris sempurna sehingga menghasilkan bentukan baru bagaikan lukisan di atas gulungan kertas yang membeku. Tekniknya merupakan elaborasi dari “make a hole but don’t break it” menjadi “slice it to celebrate the history”.
.
Satu per satu area pandang museum dibagi ke dalam bentukan denah menyerupai denah pagoda yang menandakan fase primitif, membingkai taman bambu. Secara berangsur-angsur, kita kemudian diajak mengalami keseharian mendiang tertua keluarga Pei, Ming (Ieoh Ming Pei), yang memiliki simplisitas yang menenangkan sebagai kulminasi dari 3 dimensi religiusitas yang dialaminya. Dimensi pertama adalah keadaan cukup bahagia (Konfusius). Hidup ini berjenjang dengan tujuan untuk menjadi bahagia dengan merasa cukup pada diri sendiri. Dimensi kedua adalah keadaan mengalir seperti air (Tao). Dimensi ketiga adalah untuk orang lain, bukan untuk diriku (budi). Budi berarti lebih dari baik. Ia adalah misi untuk terus menebar kebaikan tanpa mengharapkan imbalan.
.
Di postingan sebelumnya, saya membahas tentang 3 tipe arsitektur di Cina. Kali ini, saya justru kesulitan menemukan klasifikasinya. Bagi saya, itu sudah tidak menjadi persoalan lagi. Di titik ini, hati saya sudah tersentuh oleh taksu. Perjalanan ke Suzhou Museum lalu ditutup dengan pameran rumah vernakular Suzhou yang bagian dasarnya dapat digunakan untuk belajar sembari memaknai estetika sehari-hari. Pada saat saya memasuki model rumah dengan skala 1:1 tersebut, waktu seakan berhenti …

Saya mengingat sosok Pak Eko Prawoto, Pak Josef Prijotomo, ayah saya, dan keseharian mereka menjadi manusia biasa. Di situlah, saya menemukan mereka.

#rawrefleksi #rawinspirasi #hohhot #innermongolia #shanghai #beijing #hangzhou #china

Kategori
blog

Studio Garasi to The Guild

Five years after Studio Garasi was established, Realrich bought a plot of land in the Taman Villa Meruya complex. On this land, The Guild was built, encompassing Realrich’s home, a dental clinic, a library, and our architecture studio.

The Guild is situated within a residential complex developed around the 1990s. On the south side, neighboring houses predominantly in Mediterranean style have a wide enough road that two cars can pass. On the north side, the neighboring houses consist of single-story rental homes, coffee shops with non-permanent materials, catering businesses, and wholesale durian vendors, with a narrow road where only one car can pass at a time. The Guild’s location precisely borders this existing paradox, the residential complex, and the urban settlement area.

On this land, three 12-meter-tall Trembesi trees surround the building on the south side. Meanwhile, the entrance to The Guild faces the hot western side. However, the presence of these trees and other small trees planted around it maintain a comfortable microclimate within The Guild.

The difference in contour, which is lower on the south side by 2 meters, often floods the entrance area of ​​The Guild as it is the lowest point compared to other roads in the complex. To address this, we also made infiltration wells along the west side of our building.

Sometimes, during the day, the front yard becomes a gathering point for neighboring children to play together. With its strategic location, the building enriches the daily lives of those who interact with it, fostering a sense of belonging and creativity in its unique environment. Looking to the future, The Guild continues to grow in the transformative power of craftsmanship architecture and play a role in shaping the microclimate in its environment.

Photograph:
1, 6, 7 by @bacteria.archphotography

#refleksiraw #kilasbalikraw #guhatheguild #realricharchitectureworkshop #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Journey to the East

We embarked on a journey to understand Chinese culture, starting with the roots that began in Mongolia, where I observed a cultural preservation to its most primitive point at the mountain peak, where offerings are still maintained. This illustrates how culture remains a deeply held value here. Comparable to Greece with its acropolis, here we have Confucius. From the West and East, there is a balance. Inner Mongolia is located on the central plate of China, dividing the western and eastern regions, where horseback riding and nomadic traditions persist, and people struggle to survive in the extreme climate.

Next, we learned from Shanghai, a metropolis that evolved from a poor village, the site of the opium wars. Its strategic location enabled it to become a place of cultural acculturation between the East and the West.

However, behind this, the influx of capital and trade brought artistic touches and beauty through the influence of bureaucratic families and garden house designs, residential forms featuring courtyards. Artistic touches extend even to the arrangement of stones with four rules: the number of wrinkles, the height of the stone, the slenderness of the stone, and the number of holes. Stones symbolize the strong character of humans. There is a proverb that describes how water continuously dripping on a stone can create a hole, but not break it. This phenomenon symbolizes the presence of problems in human life. Flow like water to create holes and learn to shape the stone, but do not break it.

In Western culture, designs often expose many things directly to the eye. However, in this garden, the aesthetic concept is designed to reveal itself gradually so that we can see more of nature as we enter each new point. In Chinese architecture, nature is the standard of beauty, not buildings, not architecture.

This concept extends to product design. A chair with an armrest symbolizes a man like the sun, with stability, strength, and power. Meanwhile, a chair without an armrest symbolizes a woman like the moon: soft, emotional, and sensitive. They care for children and support the family from behind.

Beijing is different from Shanghai. Beijing was built and developed by two dynasties, the Ming and Qing, led by 24 emperors over 600 years. We walked from south to north, passing through Tiananmen Plaza [tian (heaven), an (peace), men (gate)]. In this place, there have been many ideological struggles, power battles, and dreams for the welfare of the Chinese people, who are 2-4 times the population of Jakarta. In the 1950s, many people were illiterate. At that time, China bravely closed its doors for decades to organize its forces and reopened them later to showcase its progress. I had difficulty finding English-language books here. It seems that knowledge is stored in bookstores or libraries. There is a reflection of independent knowledge, confidence in its roots, and global-local integration. I found books like “Avant-Garde as Method: Vhkutemas and the Pedagogy of Space” and “Sigurd Lewerentz,” which are rarely discussed in popular realms. However, those aware of significant movements in world architecture will recognize their substantial contributions to the global map indirectly.

We then visited Ningbo, where we could observe one of the geniuses, Wang Shu, and his works to understand the rapid industry bridging Russian business interests and second-tier Chinese cities supporting the center. Here, there is a museum celebrating the city’s progress for its people, filled with many gardens, free art exhibitions, and complete archival data.

From there, we moved on to Hangzhou, where the genius was born and raised. Surrounded by hills and lakes, Hangzhou means a heavenly city. Marco Polo witnessed this philosophy when he arrived in China about 700 years ago. Despite many wars in China’s territory and conflicts over capital relocation, Hangzhou was spared from city destruction.

Hangzhou is the birthplace of a leader figure named Su Tung-Po, famous for his poetry, literature, and modern urban science. Su Tung-Po was a governor in the Song dynasty era. He solved water issues related to agriculture and city logistics with a canal system. We learned much from our journey to Hangzhou this time, with its poetic urban experience, uniting water and land with its architecture.

Besides being the capital of the Song dynasty, Hangzhou is famous for its Buddhist monasteries and tea-drinking culture, believed to prolong life with its polyphenols containing antioxidants, which clear the body from the impurities of daily food. According to a proverb, two earthly paradises are Suzhou and Hangzhou. Suzhou is renowned for its city center, culture, and daily architecture connected by its canals. Hangzhou is famous for its natural scenery. Here, the harmony between humans and nature is represented in the form of the city, nature, and architecture.

In Hangzhou, there is a saying, “Here, happiness is lived every day.” There are origins of temples and archaeological maps showing that this city is five centuries old. There are three UNESCO World Heritage sites here: West Lake, Grand Canal, and the ancient city of Liangzhu. They could build a dam without metal. Many works by Western Pritzker Prize winners are here. Uniquely, Wang Shu’s work at the China Academy of Art, one of the best art universities, has no clear axis or rules. Today, Hangzhou continues to move as the location of one of Alibaba’s largest branches in China.

On the last day, we visited Suzhou, the hometown of the craftsmen who built the Forbidden City, with its fragrant wooden sandals and large diameters. Suzhou has everything that makes it a beautiful place. It is close to Shanghai. It has water, stones, and the best craftsmanship in China. One of the most beautiful courtyards there belongs to the I.M. Pei family. Pei once recounted his childhood playing in the gardens and villages of Suzhou. The Suzhou Museum became one of Pei’s last projects, where he reunited with his family after wandering, battling with the best techniques he had to provide the greatest play he could for a well-deserved dignity.

#rawrefleksi #rawinspirasi #hohhot #innermongolia #shanghai #beijing #hangzhou #china

—–

Kami memulai perjalanan untuk mengerti budaya Cina, salah satunya, dari memahami akar budaya yang dimulai dari Mongol, tempat saya melihat preservasi budaya sampai ke titik paling primitif di puncak gunung, di mana persembahan masih dijaga. Hal ini menggambarkan betapa budaya menjadi salah satu hal yang masih dipegang teguh di sini. Setara dengan Yunani dengan akropolisnya, di sini ada Konfusius. Dari barat dan timur ada keseimbangan. Inner Mongolia berlokasi di lempeng tengah Cina yang membelah daerah barat dan timur, tempat menunggang kuda, di mana masih ada tradisi nomaden dan perjuangan untuk hidup di iklim yang ekstrim.

Setelahnya, kami belajar dari Shanghai, sebuah metropolitan yang berkembang dari kampung yang miskin, tempat terjadinya perang opium. Lokasinya yang strategis memungkinkannya menjadi tempat akulturasi budaya barat dan timur.

Namun, di balik itu, adanya kekuatan kapital dan perdagangan yang masuk memberikan sentuhan seni dan kecantikan melalui pengaruh keluarga-keluarga birokrat dan desain rumah taman, bentukan residensinya yang memiliki courtyard. Sentuhan seni muncul hingga ke penataan batu dengan 4 aturan: banyaknya kerutan, tinggi batu, kurusnya batu, dan banyaknya lubang. Batu menggambarkan kuatnya karakter manusia. Ada sebuah pepatah yang menggambarkan air yang menetes terus-menerus di atas batu dapat membuatnya berlubang, tetapi tidak sampai mematahkan. Fenomena tersebut melambangkan kehadiran problematika di dalam kehidupan manusia. Mengalirlah seperti air untuk membuat lubang dan belajar membentuk batu, tetapi jangan mematahkannya.

Di dalam budaya barat, desain banyak dibuat seakan-akan harus mengekspos banyak hal secara langsung di depan mata. Namun, di taman ini, konsep estetikanya justru dibuat untuk menyajikan perlahan-lahan agar kita bisa melihat alam lebih banyak lagi ketika masuk ke titik selanjutnya. Dalam arsitektur Cina, alamlah yang menjadi standar kecantikan, bukan bangunan, bukan arsitektur.

Konsep ini dibawa hingga ke dalam desain produknya. Kursi dengan adanya arm-rest menunjukkan perlambang laki-laki seperti matahari yang memiliki stabilitas, kekuata, dan kuasa. Sementara itu, kursi tanpa arm-rest menunjukkan perlambang wanita seperti bulan yang halus, emosional, dan sensitif. Mereka menjaga anak-anak dan membantu keluarga dari belakang.

Lain Shanghai, lain Beijing. Beijing dibangun dan dikembangkan oleh 2 dinasti, yaitu Ming dan Qing, dengan 24 raja dalam kurun waktu 600 tahun. Kami berjalan dari selatan ke utara, melewati plaza Tianmen [tian (heaven), an (peace), men (gate)]. Di tempat ini, ada banyak perjuangan ideologi, kekuasaan, dan juga mimpi akan kesejahteraan manusia Tiongkok yang besarnya 2-4 kali Jakarta. Di tahun 1950-an, banyak orang tidak bisa baca-tulis. Pada waktu itu, Cina dengan berani menutup tirainya selama berpuluh-puluh tahun untuk menata pasukannya dan membukanya kembali untuk menunjukkan kemajuannya di kemudian hari. Saya sulit menemukan buku berbahasa Inggris di sini. Seakan-akan, ilmu itu disimpan di toko buku atau perpustakaan. Ada cerminan kemandirian ilmu, kepercayaan diri akan akar kakinya, dan kelokalan yang mengglobal. Saya justru menemukan buku “Avant-Garde as Method: Vhkutemas and the Pedagogy of Space” dan “Sigurd Lewerentz” yang jarang dibahas dalam ranah populer. Akan tetapi, orang yang mengetahui pergerakan penting arsitektur dunia akan menyadari besarnya sumbangsih mereka dalam peta duni secara tidak langsung.

Kami kemudian mengunjungi Ningbo, tempat kita dapat mengamati salah satu jenius, Wang Shu, dan karya-karyanya untuk memahami industri yang pesat yang menjembatani kepentingan bisnis Rusia dan kota kelas dua Cina yang mendukung pusat. Di tempat ini, hadir museum yang merayakan kemajuan kota bagi rakyatnya, dipenuhi dengan begitu banyak taman, pameran seni gratis, dan data arsip yang lengkap. Dari situ, kami pun beralih ke Hangzhou, tempat sang jenius dilahirkan dan dibesarkan.

Dikelilingi oleh bukit dan danau, Hangzhou berarti kota surga. Marcopolo telah menyaksikan sendiri filosofi ini ketika mendarat di Cina sekitar 700 tahun yang lalu. Dalam banyak peperangan yang mewarnai wilayah Cina dan konflik pemindahan ibukota, Hangzhou pun luput dari penghancuran kota.

Hangzhou merupakan tanah kelahiran seorang pemimpin bernama Su Tung-Po yang terkenal dengan puisi, sastra, dan ilmu perkotaan modernnya. Su Tung-Po adalah gubernur di era dinasti Song. Ia menyelesaikan masalah air terkait pertanian sekaligus logistik kota dengan sistem kanal. Kami banyak belajar dari perjalanan kami ke Hangzhou kali ini, dengan pengalaman kotanya yang puitis, menyatukan air dan tanah dengan arsitekturnya.

Selain sebagai ibukota dinasti Song, Hangzhou terkenal dengan biara budha dan budaya minum tehnya yang dipercaya mampu memperpanjang umur dengan khasiat polifenolnya yang mengandung antioksidan dan mampu menjernihkan tubuh dari kekeruhan makanan yang dimakan sehari-hari. Dua dari surga dunia menurut pepatah adalah Suzhou dan Hangzhou. Suzhou terkenal dengan pusat kota, budaya, dan arsitektur kesehariannya yang disambung-sambung oleh kanal-kanalnya. Hangzhou terkenal dengan alamnya yang natural. Di sini, harmoni manusia dan alam terepresentasi dalam bentuk kota, alam, dan arsitekturnya.

Di Hangzhou, ada pepatah “di sini hidup bahagia itu setiap hari”. Ada asal-usul kuil dan peta arkeologi yang menunjukkan bahwa kota ini sudah berumur 5 abad. Ada 3 situs UNESCO World Heritage di sini: West Lake, Grand Canal, dan kota kuno Liangzhu. Tidak ada metal, tetapi mereka bisa membuat bendungan. Begitu banyak karya pemenang Pritzker Prize dari Barat ada di sini. Uniknya, karya Wang Shu di China Academy of Art, salah satu universitas seni terbaik, justru tidak memiliki aksis dan aturan yang jelas. Saat ini, Hangzhou terus bergerak sebagai lokasi dari salah satu cabang Alibaba terbesar di China.

Di hari terakhir, kami mengunjungi Suzhou, kampung dari para tukang yang membangun Forbidden City, dengan sandal kayunya yang wangi dan berdiameter besar. Suzhou memiliki semua hal yang menjadikannya tempat yang indah. Ia dekat dengan Shanghai. Ia memiliki air, batu, dan ketukangan terbaik di Cina. Salah satu courtyard terindah di sana dimiliki oleh keluarga I.M. Pei. Pei pernah bercerita tentang masa kecilnya bermain-main di taman dan perkampungan di kota Suzhou. Suzhou Museum menjadi salah satu proyek terakhir Pei, tempat ia bertemu kembali dengan keluarganya setelah berkelana, berjibaku dengan teknik terbaik yang dimiliki untuk memberikan permainan terdahsyat yang ia bisa demi sebuah harga diri yang pantas diperjuangkan.

#rawrefleksi #rawinspirasi #hohhot #innermongolia #shanghai #beijing #hangzhou #china

Kategori
blog

2024 Architectural Culture Symposium: Oriental Architectural Identify in the Context of Globalization (文化互鉴: 全球化语境下的东方建筑文化认同)

My opportunity to visit China came from an invitation by a friend, Poh Kulthida, who recommended my name to Professor Yehao to speak at the 2024 Architectural Culture Symposium: Oriental Architectural Identity in the Context of Globalization (文化互鉴: 全球化语境下的东方建筑文化认同), initiated by Tsinghua University and Inner Mongolia University of Architecture in Hohhot. The event featured Cheng Taining, an almost 90-year-old figure, a venerable legend in Chinese architecture since the 1950s. He has witnessed China’s transformations through various challenging eras, to the point where the country could rise and enter a phase of independence with its cultural explosion. He reflected that personal discourse is important and cultural confidence can be built by integrating that culture into everyday life. I took some of his words for reflection.

In my opinion, there are three types of contemporary architecture that I observed during my travels in China, based on their design approaches. The first type includes works with a strong narrative that unites the metaphors of mountains and water, heaven and earth. On earth lies history. In heaven, there is an image of prosperity and shared happiness, a dignity worth striving for. Such works represent a subtle narrative, like the kung fu stories of the Bamboo Curtain country, from nothingness to existence and reality. This is the work of architect Cheng Taining, starting from philosophy and belief.

The second type includes works that weave historical roots with integration studies by university academics. They research Chinese culture by delving into archaeological data, building performance, and tectonic functions, along with the relevance of their use according to their respective timelines within the constraints of speed and cost. Remarkably, they also actualize this data in designing and weaving their design stories. This can be seen in the works of Zhang Pengju, SUP Atelier, Song Yehao, Sun Jingfen, Li Xiaodong, and others. Astonishingly, with their expertise, Zhang Pengju and his team managed to create a museum in Hohhot that integrates the city park and our conference venue within a 90-day design and construction period.

The third type includes works that weave various local stories in a literal way that can be directly enjoyed. The stories are simple and capable of captivating the public through symbols, from small to large scales. This third type is universal enough to shake the world of stars. From local, it goes global. Whoever the actor, they coexist in their own way. The works of colleagues from Foster, Nouvel, Chipperfield, Heatherwick, and Perkins&Will fall into this category.

Meanwhile, my presentation started from small, simple, and underdog practices by exploring issues around us, such as waste, climate, plants, and the need for places for people to rest and work. There are so many tasks to be done, including the reconstruction of archives, history, vernacularity, and Eastern philosophy that needs to be adapted. Many interpretations emerge from what my team has created, which cannot be separated from the interpretations of @arlynkeizia and her team at @omahlibrary, regarding the story of a practitioner seen through the image of a clown tirelessly performing on stage behind long hours of practice.

I felt a sense of friendship from all of us present at this symposium, standing together and discussing architecture that is deeply embedded in the hearts of each of us. Some of the projects mentioned at this event depict problem-solving in very everyday contexts.

The photo above was taken by Professor Duan Jianqiang. He described the figure of a father as a reflection of all of us who are struggling. A father always entrusts the message to take care of the mother. Architecture is the mother, whom we all take care of together. I write this reflection with the hope that whenever I look at this page, I will become happier and make many people happier with their own architecture. On this trip, I felt happy and enlightened with the wealth of knowledge gained. Thank you Poh Kulthida, Yehao, Hoàng Thúc Hào, Duan Jianqiang, Zhang Pengju, Chomchon Fusinpaiboon, Dai Chun, Fan Lu, and all of the distinguished professors, all the best.

#rawinspirasi #rawrefleksi #hohhot #innermongolia #china

Kesempatan saya bertandang ke Cina datang dari ajakan seorang kawan, Poh Kulthida, yang merekomendasikan nama saya ke Profesor Yehao untuk ikut berbicara dalam acara 2024 Architectural Culture Symposium: Oriental Architectural Identity in the Context of Globalization (文化互鉴: 全球化语境下的东方建筑文化认同) yang diinisiasi oleh Tsinghua University dan Inner Mongolia University of Architecture di HohHot. Acara tersebut diisi oleh Cheng Taining, seorang figur yang sudah berusia hampir 90 tahun, seseorang yang dituakan, legenda arsitektur Cina sejak 1950-an. Ia adalah saksi perubahan Cina dalam berbagai era sulit, hingga negara tersebut mampu merangkak naik dan menjalani fase kemandirian dengan ledakan budayanya. Ia berefleksi bahwa diskursus personal menjadi penting dan kepercayaan diri budaya dapat dibangun justru dengan merangkai budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Saya mengambil beberapa kalimatnya untuk menjadi refleksi.

Menurut saya, ada 3 tipe arsitektur kontemporer yang hadir di sekitar perjalanan saya di Cina, berdasarkan observasi pendekatan desainnya. Tipe pertama adalah karya yang memiliki cerita kuat dalam menyatukan metafora gunung dan air, surga dan bumi. Di bumi ada sejarah. Di surga ada citra kemakmuran dan kebahagiaan bersama, sebuah harga diri yang patut untuk diperjuangkan. Karya-karya yang demikian merepresentasikan halusnya narasi, seperti pada cerita kungfu negeri tirai bambu, dari tiada menjadi ada dan nyata. Itulah karya arsitek Cheng Taining, karya yang dimulai dari filosofi dan keyakinan.

Tipe kedua adalah karya yang merajut akar sejarah dengan telaah integrasi dari para akademisi di universitas. Mereka meriset budaya Cina dengan menggali data arkeologi, performa bangunan, dan fungsi tektonika beserta relevansi penggunaannya sesuai kronologi waktunya masing-masing dalam kecepatan dan keterbatasan biaya. Dahsyatnya, mereka juga mengaktualisasikan data-data tersebut dalam merancang dan merajut cerita desainnya. Hal tersebut dapat terlihat pada karya-karya Zhang Pengju, SUP Atelier, Song Yehao, Sun Jingfen, Li Xiaodong, dan kawan-kawan. Dahsyatnya lagi, dengan kepiawaiannya, Zhang Pengju dan tim bisa membuat museum di HohHot yang mengintegrasikan taman kota dan tempat konferensi kami dalam durasi desain dan konstruksi 90 hari.

Tipe ketiga adalah karya yang merangkai berbagai cerita lokal melalui cara literal yang dapat dinikmati langsung. Ceritanya sederhana dan mampu memukau publik dalam simbol dengan skala kecil sampai besar. Tipe ketiga ini adalah tipe yang universal untuk dapat mengguncangkan dunia bintang-bintang. Ibaratnya, dari lokal ia mengglobal. Siapaun aktornya, ia koeksis dengan caranya sendiri. Karya rekan-rekan dari Foster, Nouvel, Chipperfield, Heatherwick, dan Perkins&Will termasuk pada tipe ini.

Sementara itu, presentasi saya dimulai dari praktik yang kecil, sederhana, dan underdog dengan menggali isu-isu di sekitar, seperti sampah, iklim, tanaman, serta kebutuhan tempat untuk orang beristirahat dan bekerja. Ada begitu banyak PR yang perlu dikerjakan, termasuk rekonstruksi arsip, sejarah, vernakularitas, dan filosofi timur yang perlu diadaptasi. Banyak interpretasi muncul atas apa yang dibuat oleh tim saya, yang tidak lepas dari penafsiran @arlynkeizia dan timnya di @omahlibrary , mengenai cerita praktisi yang dilihat dalam gambaran seorang badut yang sibut beratraksi di atas panggung tanpa kenal lelah di balik jam latihan yang panjang.

Saya merasakan rasa persahabatan dari kami semua yang hadir di simposium ini, saling berdiri membicarakan arsitektur yang hadir begitu dalam di hati setiap dari kami. Beberapa proyek yang dibahas dalam acara ini menggambarkan penyelesaian masalah dengan kasus yang sangat sehari-hari.

Foto di atas diambil oleh Profesor Duan Jianqiang. Beliau menggambarkan sosok seorang ayah sebagai cerminan atas diri kita semua yang sedang berjuang. Ayah selalu menitipkan pesan untuk menjaga ibu. Arsitektur adalah ibu, yang kita semua jaga bersama-sama. Saya menulis refleksi ini dengan harapan bahwa setiap kali saya melihat halaman ini, saya akan bisa menjadi lebih bahagia dan membuat banyak orang lebih bahagia dengan arsitekturnya masing-masing. Di perjalanan kali ini, saya merasa senang dan tercerahkan dengan banyaknya ilmu yang didapat. Terima kasih Poh Kulthida, Yehao, Hoàng Thúc Hào, Duan Jianqiang, Zhang Pengju, Chomchon Fusinpaiboon, Dai Chun, Fan Lu, and all of the distinguished professors, all the best.

#rawinspirasi #rawrefleksi #hohhot #innermongolia #china

Kategori
blog

2008 Towards 1001 Architectural Stories Tested by Time

My travels to various places in China have sparked many questions. What happened after 2008, and how did it unfold? Leading up to the 2008 Olympics, China significantly opened up to works by foreign architects. Even now, the colorful advancements in architecture paint the ongoing dialogue between the two.

Wei Jie was someone who sat in front of me, a fellow group member in Group 5, back in 2005 when we worked together in Norman Foster’s studio. Now, he is part of the partnership group in Shanghai led by Emily, who also serves on the Design Board at Foster + Partners. Truly familiar faces. That day, I also met Xiao Xue, a good friend and fellow group member when we worked on a project in Abu Dhabi. There are so many dreams for a better life. From Indonesia-London-Shanghai, we are connected. Wei Jie and Xiao Xue are now married and they are striving together. This reminds me of a saying, “The most important thing is not the journey or the destination, but who you travel with.”

Although my journey and theirs are filled with pressures, local and external traditions continue to relate powerfully over time. In the end, our faces and theirs never become unfamiliar, even as our hair turns white and we look forward to meeting again. As the children grow up, our architecture will also mature. Architecture will become more mature with the resonance between global and local, or between business interests and missions. Each choice comes with its own consequences. Interestingly, architectural stories remain exciting to discuss, each with its own extremes.

Everything has its own story, from the 1001 trees that received complaints from neighbours for looking like a graveyard, to the 1001 jars that became a world-class marketing tool, to the curves of Galaxy Soho and the paradox of a simple noodle shop as a tenant. There is also the Natural History Museum for children, with many animal replicas to accelerate learning, giving colour to the current virtual and instant world, and the Long Museum West Bund with its simple axis, foyer, and courtyard where books and exhibition spaces are located, adorned with soft light filtering through fins on stone materials made to resemble lanterns. This museum reflects the Zen power that came to China from America before the architect, Liu Yi-chun of Atelier Deshaus, learned from Greece and Japan.

Be it Nouvel, Heatherwick, Hadid, Chipperfield, or Perkins&Will, they all possess the storytelling power and maintain arguments as a result of economic influences, the rise and fall of the property industry, commerce, pandemics, and simple politics—a simple human intent to survive within their ecosystem.

Perjalanan saya ke banyak tempat di Cina mewarnai banyak pertanyaan. Bagaimana dan apa yang terjadi setelah 2008? Menjelang Olimpiade 2008, Cina banyak membuka diri terhadap karya yang dikerjakan oleh arsitek asing. Sampai sekarang, warna-warni kemajuan arsitektural mewarnai dialog yang terjadi antara keduanya. Wei Jie adalah seseorang yang duduk di depan saya, rekan satu grup saya di grup 5, pada tahun 2005 ketika kami bekerja bersama di studio milik Norman Foster. Sekarang, ia merupakan bagian dari grup partnership di Shanghai yang dipimpin oleh Emily yang sekaligus merupakan Design Board di Foster + Partners. Sungguh wajah-wajah yang familiar. Hari itu, saya juga bertemu dengan Xiao Xue, kawan baik yang juga merupakan rekan satu grup kami ketika mengerjakan proyek di Abu Dhabi. Banyak sekali mimpi untuk kehidupan yang lebih baik. Dari Indonesia-London-Shanghai, kami terhubung. Wei Jie dan Xiao Xue sendiri adalah pasangan suami-istri yang sedang berjuang. Saya menjadi teringat sebuah pepatah, “Yang terpenting bukanlah perjalanan atau tujuan yang tercapai, tetapi dengan siapa kamu menjalaninya.”
.
Meskipun perjalanan kami dan mereka dilingkupi oleh tekanan, tradisi lokal dan luar terus berelasi dengan dahsyat dalam ikatan waktu. Pada akhirnya, wajah-wajah kami dan mereka tidak pernah menjadi asing meskipun sudah berambut putih dan menantikan saat bertemu kembali. Anak-anak mulai bertumbuh besar, arsitektur kita semua juga akan semakin matang. Arsitektur akan semakin matang dengan resonansi antara global dan lokal, ataupun antara kepentingan bisnis dan misi. Semuanya merupakan pilihan yang memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Lucunya, cerita arsitektur tetap selalu asyik diperbincangkan dengan ekstrimnya masing-masing.
.
Semua punya ceritanya sendiri, dari 1001 pohon yang mendapatkan komplain dari tetangga karena mirip kuburan, 1001 toples yang menjadi bahan pemasaran kelas dunia, hingga lengkungan Galaxy Soho dan paradoks warung mi sederhana sebagai tenant. Ada juga Natural History Museum untuk anak dengan begitu banyaknya replika binatang untuk mempercepat proses belajar yang mewarnai dunia maya dan instan, serta Long Museum West Bund dengan aksis yang sederhana, foyer, dan courtyard tempat buku-buku dan ruang pamer berada, dihiasi cahaya lembut yang masuk melalui sirip-sirip pada material batu yang dibuat seperti lampion. Museum ini menjadi cerminan dari kekuatan zen yang datang ke Cina dari Amerika sebelum sang arsitek belajar dari Yunani dan Jepang.
.
Baik Nouvel, Heatherwick, Hadid, Chipperfield, maupun Perkins&Will, semuanya memilliki kekuatan bercerita dan mempertahankan argumen, sebagai hasil dari pengaruh ekonomi, maju-mundurnya industri properti, komersial, pandemi, dan politik yang sederhana, sebuah maksud sederhana manusia dalam ekosistemnya untuk bertahan hidup.

Kategori
blog

Wangkar Bioclimatic Home

The Wangkar Bioclimatic Home, currently under construction, is designed to serve as a residence for a large family. It consists of several houses for the parents, their grown-up childrens and their future family. The development process has spanned nearly eight years from conceptualization to its current state. Many have remarked that the project has taken too long. However, for us, attitude is as essential as design methodology.

Over these nearly eight years of construction, we’ve learned that architecture is not merely about completing a building. This project proves that success isn’t always measured by how quickly it is finished but by how the process builds solid and sustainable emotional connections with the people involved and various stakeholders.

Our journey with Wangkar Bioclimatic Home has been akin to a marathon, where we’ve learned not just as planners but also as mediators managing various dynamics and challenges. We’ve bridged different parties, overcome egos, and materialism, and learned that everything doesn’t come cheap—it’s a costly process.

From implementing simple rules like no smoking in the project area to discussing detailed architectural elements such as piping, finishing quality, and even ensuring protection against mice by sealing all gaps or safeguarding against water damage, every detail has been meticulously considered.

Every difficulty offers an opportunity to refine and produce high-quality results. For us, this project isn’t just a structure but the outcome of hard work, dedication from a solid team, and a sincere vision. With continued effort, we anticipate reaching the finish line soon, bringing along sweet memories and beautiful dreams for a better future.

#WangkarBioclimaticHome #RAWongoing #realricharchitectureworkshop #home #architecture #details #architectureproject #tangerang #indonesia

Kategori
blog

The Grammar of Aalto, SUP and RAW

Apart from taking lessons from Wang Shu, I also visited Tsinghua University which is said to be one of the best campuses in the world. There is Li Xiaodong’s figure there. I saw his works, the Liyuan Library in the north of Beijing, and a new building in the central area/courtyard of the architecture school of Tsinghua University.

Circulation to the new building is buried in the ground. The building is made open with so many student works exhibited in limited spaces. Its dense and intensive scale means that this building has to negotiate the intrigues through its interior. Many people’s dreams and hopes play out in it. My impression is that the program is bigger than the available dimensions, so it looks like they crowd the building. Academics, practitioners and architecture students are indeed one of the most difficult clients. There is always a need for new spaces, circulation and themes. The exterior of the building is covered by an iron frame with an industrial pattern that hides the outdoor split AC unit, exhaust fan and heater. This building seems to be racing at high speed in the construction process.

After that, I visited one of the works by the young bureau SUP Atelier, namely the Central Canteen of Tsinghua University, which was designed by Professor Song Yehao with his team and students. Besides teaching at Tsinghua University, Professor Song Yehao is also the curator of the Architectural Culture Symposium which invited me to speak at the Inner Mongolia University of Technology, Hohhot.

In this canteen building, there is an attempt to have a dialogue in forming the layers between industry and craftsmen through a brick pattern. The axis is formed by connecting the circulation that stretches around the building. The axis is made in the form of bridges and stairs that divide the site in its exterior and interior atmosphere. These axes are en by large windows and light holes that face the sky. “This hole can be opened from the top manually so it is cheaper,” Jingfen explained. Sun Jingfen is Song Yehao’s colleague that came to represent him who at that time was on a business trip. The details of this canteen building are simple. There are many attachments, such as plinths that are coated to maintain ease of operation and work with the use of color. The interior design is played by rotating and shifting elements slightly, also giving them different colors to give an understated personality.

This design approach was widely used by Alvar Aalto 100 years ago and is still valid today. The reconstruction of the studio’s language can be seen from the biography of SUP Atelier when they were working on several projects in the countryside. The new Tsinghua is red, a contrast to the old Tsinghua which was white. I feel a connection, a bond with the new generation. The language is still halting, but the intention is already shining through, waiting for the time to become more connected in an even stronger spirit of grammatical brotherhood.

Designing on this campus, I’m sure, is not easy, with the work of many world star architects in this area, such as Mario Botta, David Chipperfield, and Jean Nouvel. I whispered a prayer to Jingfen, and at the same time sent greetings to Yehao, hoping that SUP Atelier could work on more projects at Tsinghua University, the heart of the world of intelligent people. Hope is important and prayer is a sincere spirit of brotherhood for us to move forward together.

The hope is that this prayer will also be reflected in our lives at the RAW Architecture studio and the many things we do: building brotherhood, serving clients, absorbing daily dynamics, and learning again to improve our abilities. One moves forward, move forward altogether.

#rawinspirasi #refleksiraw #lixiaodongatelier #tsinghua #mariobotta #supatelier #beijing #china

Selain mengambil pelajaran dari Wang Shu, saya juga berkunjung ke Tsinghua University yang digadang-gadang sebagai salah satu kampus terbaik di dunia. Ada figur Li Xiaodong di sana. Saya melihat karya-karyanya, yaitu Liyuan Library, sebuah perpustakaan di utara Beijing, dan bangunan baru di area tengah/courtyard departemen arsitektur di Tsinghua University.

Sirkulasi menuju bangunan baru tersebut dipendam ke tanah. Bangunan dibuat terbuka dengan begitu banyaknya karya mahasiswa yang dipamerkan di dalam ruang-ruang terbatas. Skalanya yang padat dan intensif membuat bangunan ini harus bernegosiasi dengan intrik-intrik interiornya. Banyak mimpi dan harapan orang-orang yang bermain di dalamnya. Kesan saya, programnya lebih besar dari dimensi yang tersedia, sehingga terlihat memadati bangunannya. Para akademisi, praktisi, dan mahasiswa arsitektur memang merupakan salah satu klien tersulit. Ada saja kebutuhan ruang-ruang, sirkulasi, dan tema yang baru. Tampak luar bangunan diselubungi oleh kerangka besi dengan pola industri yang menyembunyikan outdoor unit AC split, exhaust fan, dan heater. Bangunan ini seolah berlomba dengan kecepatan tinggi dalam proses pembuatannya.

Setelahnya, saya berkunjung ke salah satu karya biro muda SUP Atelier, yaitu Central Canteen of Tsinghua University, yang didesain oleh Profesor Song Yehao bersama tim dan murid-muridnya. Profesor Song Yehao merupakan seorang pengajar di Tsinghua University dan sekaligus kurator Architectural Culture Symposium yang mengundang saya untuk berbicara di Inner Mongolia University of Technology, HohHot.

Pada bangunan kantin ini, terdapat usaha untuk berdialog dalam membentuk lapisan-lapisan antara industri dan perajin di dalam pola bata-bata. Aksis dibentuk dengan menghubungkan sirkulasi yang membentang di sekeliling bangunan. Aksis dibuat dalam rupa jembatan dan tangga yang membelah site pada suasana eksterior dan interiornya. Aksis ini dihubungkan oleh jendela besar dan lubang cahaya yang menghadap langit. “Lubang ini bisa dibuka dari atas secara manual sehingga lebih murah,” Jingfen menjelaskan. Sun Jingfen datang mewakili sebagai rekan dari Song Yehao yang saat itu sedang melakukan trip bisnis ke daerah. Detail dari bangunan kantin ini sederhana. Banyak terdapat tempelan, seperti plinth yang dilapis untuk menjaga kemudahan operasional dan pekerjaan dengan penggunaan warna. Desain interior dimainkan dengan memutar dan memajukan sedikit elemen-elemen dengan pemberian warna berbeda untuk memberi kekhasan yang bersahaja.

Pendekatan desain seperti ini banyak dilakukan oleh Alvar Aalto 100 tahun yang lalu dan masih valid hingga sekarang. Rekonstruksi bahasa milik studio terlihat dari biografi SUP Atelier pada saat mereka mengerjakan beberapa proyek di pedesaan. Tsinghua baru berwarna merah, kontras dari Tsinghua lama yang berwarna putih. Saya merasakan adanya hubungan, ikatan dengan generasi baru. Bahasanya masih terbata-bata, tetapi niatnya sudah terpancar, menunggu waktu untuk semakin terhubung dalam satu semangat persaudaraan gramatika yang lebih kuat lagi.

Mendesain bangunan di kampus ini, saya yakin, tidaklah mudah, dengan banyaknya karya arsitek bintang, seperti Mario Botta, David Chipperfield, dan Jean Nouvel, di kawasan ini. Saya membisikkan doa ke Jingfen, sekaligus menitipkan salam untuk Yehao, harapan agar SUP Atelier dapat mengerjakan lebih banyak lagi proyek di Tsinghua University, jantung penggodokan manusia-manusia pintar di dunia. Harapan itu penting dan doa menjadi semangat persaudaraan yang tulus untuk kita maju bersama.

Harapannya, doa itu juga terpantul ke dalam kehidupan kami di studio RAW Architecture dan banyak hal yang kami kerjakan: membangun persaudaraan, melayani klien, menyerap dinamika keseharian, dan belajar kembali untuk meningkatkan kemampuan. Maju satu, maju semua.

#rawinspirasi #refleksiraw #lixiaodongatelier #tsinghua #mariobotta #supatelier #beijing #china

Kategori
blog

Gading Tower Home

This project is located on Gading Indah Street in North Jakarta. The roads are narrow and dense, and flooding problems occur. To address these challenges, the complex has implemented dams and water gates, although flooding remains a concern. The neighborhood can also be seen as an “urban village”, characterized by small lots measuring approximately 6 x 15 meters, each totaling around 90 square meters.

At first, our client asked,
“Would you like to design a small house like this?”

Sometimes, we are surprised; perhaps there’s a perception that we only handle large projects. However, from this question, we realized that our client had placed great trust in us, and we also want to make the best collaborative effort, turning this project into a space for growth.

Once we started the design process, the question became how to create a house that meets our client’s needs. They desire a spacious layout and flexible spaces that can accommodate future needs over the next 20-30 years. They also want a home that still provides good ventilation and natural lighting.

From these considerations, the design process began by grouping essential parts and creating column-free spaces. The staircase was placed along one side to maximize usable area. Small light wells were designed around the building which double as boundaries between neighboring houses and the main structures. Also, the north-south orientation allows the facade to open widely while ensuring privacy and eco-friendliness for the users.

The result is a slim and tall house composition that adapts to the limited land in Gading Indah, incorporating a concept of zero water runoff to contribute positively to the beloved Jakarta.

Photograph by @_yophrm and @luil_mn

#gadingindahbioclimatichome #bioclimatichome #RAWongoing #realricharchitectureworkshop #home #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Wang Shu: Soul of Craftmanship

In this 2 weeks trip, I learned a lot from architect Wang Shu who lived and grew with craftsmen in the early 90s until the monetary crisis which made him work on many institutional projects. In a decade, he was economically dependent on his wife, Lu Wenyu, who eventually became his partner in founding the Amateur Architecture Studio which consisted of 10 people in 1997.

His early projects were renovations of old buildings. He studied architectural styles from India, Africa, and America, adapting these influences to fit the context of his work. His designs often feature elements like concrete-framed glass windows, reminiscent of Le Corbusier’s work. Wang Shu skillfully plays with the up and down of the lands, traditions, and new contexts in his architecture.

I learned many valuable lessons, particularly from the Ningbo Contemporary Art Museum which became a historical representation of the pier. It can be seen from the horizontal and vertical layers of its architecture. Through a journey that starts from wall to wall, we can observe the evolution of materials from ancient to modern like wood and copper, until finally we are taken to see works of art that are also always changing towards a view of the pier bridge which depicts a new era. The ground floor houses a children’s museum, with walls resembling the height of the Forbidden City’s walls. Interestingly, the walls of the museum’s upper floors are made of wood, taking inspiration from historical shophouses often found in Ningbo in the past. “Contemporary” in the context of this museum is defined as a journey to the pier.

I also explored the Ningbo Historic Museum which represents mountains and caves emerging from the rocky landscape of Ningbo, surrounded by water. Pier bridges connect the transition from outside to inside, with a linear circulation centered on the foyer and leading to the highest point, symbolizing heaven. At the top, a lecture hall surrounded by a wooden deck offers a space for children to play.

Next to the museum, is a park with a series of pavilions named the 5 Scattered Houses which illustrate Wang Shu and Lu Wenyu’s method of constructing new Chinese architecture based on historical and material contexts. These houses embody five different craftsmanship methods: roof, bridge, mass, courtyard, and shadow. Readings of their work are complex and bold. There is a radical fight to break through and a belief to integrate culture, everyday life, and materiality to realize their vision, by being amateurs and continuously learning.

Lastly, I visited the China Academy of Art, a manifestation of Wang Shu and Lu Wenyu’s beliefs. I see the consistency of the language replicated from their previous projects. Interestingly, Wang Shu drew an axis from the city towards the lake, surrounding the lake—which symbolizes heaven—with amorphous vistas forming mountains—which symbolize earth. It is a representation of Hangzhou City in a microcosm. There are many glimpses of the history of temples and people’s houses, as well as old materials and construction techniques. Each mass of the building is penetrated by a courtyard, connected by corridors that rise, fall and crisscross to the tiered auditorium, adapting to the natural contours and excavation fill. The knowledge is the philosophy of the artisans, simple logic in barefoot architecture—no wonder they call themselves amateurs. The architecture is flexible, aiming to reconstruct historical discourse. This is where art plays a role in making people attached, both personally and publicly, to have an inner bond that leads to a collective bond.

#rawinspiration #rawreflection #wangshu #ningbo #china

Dalam trip 2 minggu kali ini, saya banyak sekali belajar dari Wang Shu yang tinggal dan berkembang dengan para perajin di awal tahun 90-an hingga datangnya krisis moneter yang justru membuat dirinya banyak mengerjakan proyek dari institusi. Dalam rentang 1 dekade tersebut, ia pun bergantung secara ekonomi dari istrinya, Lu Wenyu, yang akhirnya juga menjadi rekannya dalam mendirikan Amateur Architecture Studio yang berisikan 10 orang pada tahun 1997.

Proyek-proyek yang ia kerjakan adalah renovasi bangunan tua. Ia belajar dari arsitektur India, Afrika, dan Amerika yang kemudian ia kontekstualisasikan dengan situasi tempatnya mendesain. Dalam karyanya, kita juga bisa melihat pancaran dari bingkai kaca yang terbuat dari beton sebagaimana yang terdapat di karya Le Corbusier. Wang Shu bermain-main dengan naik-turunnya lahan, tradisi, dan konteks-konteks baru.

Ada banyak hal yang saya dapatkan, khususnya dari Ningbo Contemporary Art Museum yang merupakan representasi sejarah dermaga. Pelabuhan dapat terlihat dari lapisan-lapisan horizontal dan vertikal arsitekturnya. Melalui perjalanan yang dimulai dari dinding demi dinding, kita dapat mengamati perubahan material dari material kuno menuju kayu dan tembaga, hingga akhirnya kita dibawa melihat karya seni yang juga selalu berubah menuju vista jembatan dermaga yang menggambarkan bingkai era baru. Area bawah merupakan museum anak. Ketinggian dinding pada tampak menyerupai ketinggian dinding Forbidden City. Menariknya, dinding museum ini terbuat dari kayu yang diambil dari sejarah rumah toko yang banyak terdapat di Ningbo pada masa lalu. Kontemporer dalam konteks museum ini didefinisikan sebagai sebuah perjalanan ke dermaga.

Saya juga sempat berkunjung dan belajar ke Ningbo Museum yang merepresentasikan gunung dan gua yang muncul dari lanskap bebatuan di Ningbo yang dikelilingi oleh air. Jembatan-jembatan dermaga menghubungkan transisi dari luar ke dalam bangunan dalam sirkulasi linear yang berpusat di foyer dan menuju ke titik tertinggi yang merepresentasikan surga. Di titik tertinggi tersebut, terdapat lecture hall yang dikelilingi dek kayu, tempat anak-anak bisa bermain.

Di sebelahnya, terdapat 5 Scattered Houses yang menjelaskan metode Wang Shu dan Lu Wenyu dalam mengonstruksi arsitektur Cina baru yang berbasis pada sejarah dan material yang berbasis pada ketukangan dengan 5 metode berbeda: cerita atap, jembatan, massa, courtyard, dan bayangan. Pembacaan karya mereka memang kompleks dan berani. Ada perjuangan dari akar untuk menerobos dan meyakini bahwa budaya, sesuatu yang sehari-hari, dan materialitas akan mampu menopang wujud dari mimpi mereka, yaitu menjadi amatir dan terus belajar.

Terakhir, saya berkunjung ke China Academy of Art yang merupakan sarang dari manifestasi keyakinan mereka. Saya melihat konsistensi bahasa yang direplikasi dari proyek mereka sebelumnya. Menariknya, ia menarik aksis dari kota menuju danau, mengelilingi danau yang melambangkan surga dengan vista-vista amorf membentuk gunung yang melambangkan bumi. Inilah representasi Hangzhou dalam mikrokosmos. Ada banyak cercahan sejarah kuil dan rumah-rumah penduduk yang terlihat, serta material-material lama dengan teknik konstruksinya. Setiap massa bangunan ditembus oleh courtyard-courtyard yang terhubung dengan koridor yang naik-turun dan bersilang-silang menuju auditorium yang berjenjang-jenjang, menyesuaikan kontur dan urugan tanah yang merupakan hasil dari penggalian pondasi. Ilmunya adalah ilmu filosofi tukang, logika sederhana dalam arsitektur kaki telanjang. Pantas mereka menyebut dirinya amatir. Arsitekturnya luwes dan berpijak pada upaya rekonstruksi diskursus sejarah. Di sinilah seni berperan untuk menjadikan lekat, personal sekaligus publik, memiliki ikatan batin yang menuju ikatan kolektif.

#rawinspirasi #refleksiraw #wangshu #ningbo #china

Kategori
blog

Studio Garasi – Arch Pavilion Transition

This Arch Pavilion was initially built to address space constraints in our garage studio. With dimensions of 2.4 m x 6 m, the pavilion provided a space for interns to learn and gain experience. It consists of 120 modules, each measuring 200 mm x 400 mm x 600 mm. It took approximately 14 days to complete using a knock-down system, facilitating easy relocation with the help of three craftsmen. The construction is simple, modular, and cost-effective.

After the interns leave to complete their studies, the pavilion transitions into a resting place for studio members, offering a place for various intimate and enjoyable activities, sharing sessions, and more. Over time, it evolved into an architecture learning hub for young individuals and architects. The sense of intimacy felt within the Studio Garasi continued to grow wider, fostering an open ambiance for interaction during discussions and learning sessions for all. This marked the beginning of the journey of OMAH Library. At that time, many people continued to come to the pavilion for lectures and discussions.

Studio Garasi is a space full of memories. Despite its limitations, small, and efficient space, Studio Garasi is always filled with the sound of laughter and conversation. This also reminds us to remember the message of simplicity, beauty, honesty, and self-limitation to continue learning and shaping our future.

Photograph by @mariowibowo_ (front pic)

#refleksiraw #kilasbalikraw #studiogarasi #realricharchitectureworkshop #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Perjalanan kami ke China

China dan pecahan- pecahan nya memang merupakan salah satu negara dengan kemampuan berhitung, membaca tertinggi di dunia bersama-sama Finlandia. Kedua regional ini ada di 10 teratas dunia, menjadi sebuah refleksi apa saja yang mereka lakukan dengan kerja keras, kritis, dan kolaboratif tentunya. Pendidikan karakter akan jadi kunci untuk tantangan ke depan padahal 1950 an dulu membaca dan menulis menjadi sebuah hal yang langka. Kemauan belajar, kerja keras dan kesederhanaan menjadi banyak hal yang bisa dipelajari.
.
Shanghai, Beijing, Ningbo, Hangzhou, perjalanan belajar bersama kami, satu keluarga, arsitektur, menghargai waktu, proses belajar, dan membuka mata. Laurensia berangkat di hari yang berbeda, saya ke Hohhot dulu karena ada lecture disitu. Sempet deg-degan karena ini kali pertama bawa anak – anak, dan Laurensia and kids doing it very well, eksplore budaya dan kota yang majemuk.
.
Dari taman Yu milik keluarga Pan, 1001 pohon, 1001 toples di Shanghai kami belajar filosofi kehidupan dari budaya China, dari Forbidden City, Temple of Heaven, dan Summer Palace kami belajar tidak mengeluh jalan berkilometer, mendapatkan sejarah yang dulu dijalani dalam abad – abad yang lalu. Kami juga belajar diajak oleh tim prof Yehao SUp Atelier untuk keliling Tsinghua untuk merasakan suasana salah satu kampus yang sungguh bagus.

.
Dari cara makan, cara berpikir kita perlu belajar untuk membuka mata, banyak cara pandang yang berbeda dengan apa yang dipikirkan, perjalanan selalu menjadi alat untuk refleksi. Kami belajar kekayaan seni, filosofi, kemanusiaan, sejarah, dan juga ekonomi. Musik dipilih oleh Miracle, tentang kebahagiaan, friendship in new year, new adventure. Tuhan berkati semua yang baik untuk kita semua.
.

#realrichsjarief

Kategori
blog

Lumintu House

Lumintu House is located on a challenging landfill site in North Jakarta, where temperatures can reach 35-40 degrees Celsius in the afternoon. The location is also near the beach, meaning the material used needs to be durable and protected with the best building technology in an urban area.

Lumintu House incorporates industrial and handcrafted sun-shading elements, doubling as a canopy for the building. This design resembles tree branching patterns extending outward as canopies, creating shaded spaces like sitting under a tree. It also protects surrounding plants from excessive sunlight and forms a soft and continuous transition, reflecting the “Lumintu” philosophy.

Craftsmen play a crucial role in construction, blending traditional craftsmanship with modern techniques. Skilled craftsmen bend each steel piece individually. Their meticulous attention to detail in shaping each component reflects a blend of modern construction efficiency, enhancing the overall value and character of the building.

Regarding spatial planning, Lumintu House reflects Indonesian family culture, where gathering with family is common. The expansive, column-free main spaces on the ground floor seamlessly integrate with the outdoor areas, facilitating natural airflow and offering tropical landscape views. The high ceilings and skylights optimize natural lighting, while the wire-lined ventilation around roof windows enhances air circulation and prevents insects. Lumintu House also added a roof garden as a space for relaxation and contemplation, offering panoramic views of the nearby sea.

Lumintu House strategically minimizes environmental impact in both the construction and operation phases. By utilizing locally sourced materials and engaging skilled local craftsmen, the project reduces carbon footprint while ensuring long-term durability and low maintenance. This approach not only supports environmental goals but also strengthens community ties and promotes economic sustainability.

Photograph by @_yophrm

#LumintuHouse #RAWfinished #realricharchitectureworkshop #home #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Piyandeling on Architectural Digest

Our project Piyandeling is published at @archdigest
.
It’s a project on remote site on North Bandung in village of Mekarwangi, Lembang, Bandung. This area has low temperatures, high wind speeds, and dense existing trees. Constructing here was challenging due to difficult transportation access, water availability, labor access, and the cold air.

We learn this during designing school of Alfa Omega and Bamboo Castle. That few people can manage to construct with lightweight construction.

Bamboo’s lightweight nature facilitated easy mobilization and quick construction, also locally available. The design simplified and eased the process by reducing the span and simplifing floor plans, into grids and courtyards. The simplification then made Piyandeling done by only four craftsmen experimenting with bamboo, carving bamboo compositions from ceilings, floors, columns, door elements, and rotating windows, utilizing materials efficiently without waste. It introduce join without nails by using glue laminated joineries.

Piyandeling is a work of togetherness. Pak Saniin’s and friends’ work, along with many other craftsmen, past and present, has contributed to its ongoing evolution. That fight makes it special, starting with four people and still progressing to this day express the soul of promising traditional craftmanship.

Making and experiencing this architecture is like therapy, a healing and beautiful experience. We hope many more people believe in architecture that can touch people’s souls through this project especialy by soul of craftmanship.

Check out Architectural Digest’s article at https://www.architecturaldigest.com/gallery/the-most-beautiful-bamboo-buildings-in-the-world

#realricharchitectureworkshop #architecturaldigest #piyandeling #architecture #jakarta #tangerang #bandung #indonesia

Kategori
blog

The Arch Pavilion in Studio Garasi

During our time in Studio Garasi, around 20 students from ITS, ITB, Petra, Gunadarma, and many more came for internships. With limited space available, accommodating their needs became a challenge. Luckily, an empty space in the garden area of Realrich’s parents house provided a solution. After discussions with Realrich’s parents, we constructed a building named the Arch Pavilion there.

The pavilion became an extension of our Studio Garasi. It was crafted primarily from modular plywood assembled using a knock-down technique. This approach ensured structural integrity and allowed for quick and efficient construction by just three craftsmen. The structure is also covered with polycarbonate for additional protection and natural lighting, creating a bright yet shady atmosphere.

What started as a workspace for student interns has evolved into much more. The Arch Pavilion emerged not only as a hub for collaboration and architectural exchange but also transformed into an OMAH Library. Through this library, we created a dynamic space, fostering discussion, research, and architectural collaboration.

In Studio Garasi, adaptation and growth are constant themes. This Arch Pavilion taught us that experimentation can be conducted through simple, modular, quick, and optimal approaches. The Arch Pavilion exemplifies how such principles can effectively address complex spatial needs while promoting sustainable and efficient construction methods, and it has become an integral part of shaping our architecture studio today.

Photograph by @mariowibowo_ and Tatyana Kusumo

Kategori
blog

Nizamia School

Our innovative #rawcollectivecave approach on Nizamia Andalusia is inspired by the kampong cross-programming arrangement that integrates diverse design elements, such as recycled materials, within the structure. We repurpose the existing buildings, adapt their modules for classrooms, and strategically add the new structures needed.

Like a city, Andalusia Nizamia School accommodates many activities within its walls. Inspired by the tales of 1001 Arabian Nights, the school unfolds 1001 stories from dawn to dusk. Here, stories are an activity, core function, and program. This approach resonates with the cross-programming philosophy discussed by Rafael Moneo in “Theoretical Anxiety and Design Strategies in the Work of Eight Contemporary Architects” and practiced by architects like Rem Koolhaas.

This concept is applied in the organization of each space. The ground-floor lobby opens into a spacious prayer area, followed by classrooms and gathering spaces above. The third floor connects additional gathering spaces via bridges to the preceding building phases.

Classrooms and other spaces continue to evolve, culminating in sports facilities stands in rooftop areas. This underscores the importance of gathering, playing, and praying in the learning environment.

For us, the term “high” in “junior high school” means a higher level of maturity than “elementary” school students. Their thinking has begun to be elaborated, and they have begun to be able to act independently. From Nizamia, we learn that maturity development can be met with architectural impulses.

@nizamiaandalusia @realricharchitectureworkshop

#nizamiaandalusia #collectivecave #RAWongoing #realricharchitectureworkshop #school #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog lecture

2024 Architectural Culture Symposium

Ar Realrich Sjarief from RAW DOT OMAH has been honored with the opportunity to serve as the keynote speaker at the 2024 Architectural Culture Symposium on June 16th, 2024, hosted by the Architectural Society of China (ASC). This event will focus on Asian architectural culture and take place at the Inner Mongolia University of Technology, featuring esteemed leaders from the ASC and the participation of Professor Cheng Taining, an academician of the Chinese Academy of Engineering.

Realrich will share his experiences and insights into innovative approaches to promoting cultural values in architectural work. His presentation will delve into three key stages that an architect undergoes: the process of survival, the process of making, and the process of playing in architecture.

The philosophy of Javanese local wisdom deeply permeates his profession. He also emphasizes the empowerment of local craftsmen and harnesses their skills to create meaningful bioclimatic architecture. Working with passion and love, Realrich believes that life is about how one can contribute to others and is committed to lifelong learning.

The 2024 Architectural Culture Symposium by ASC will be an exciting platform to showcase our studio’s endeavors. We believe this event will foster shared insights within the global architectural community and contribute to our field’s collective growth.

Photograph:
1,6,8,9 by @_yophrm
3 by @andhang.rt
4,5,6 by @bacteria.archphotography
7 by @luil_mn

Kategori
blog

Crafting Versatility in Studio Garasi

In our first ever office which we call the Garage Studio, the front space was initially designed as a transitional zone before entering the working area, a room to play and chat with black-painted walls, adorned with chalk and white marker scribbles. As time progressed and our team expanded, the need for working space became imperative. The garage studio underwent gradual transformations to maximize its ergonomics, yet still had a room for versatility.

In one scenario, the room could be used as a communal space with casual seating format. When demand for projects was high, it could easily transformed into a working space, first by opening a wide door to connect the room with the designers’ working space behind. The furniture installed were crafted by hand, with knockdown tables that could be easily assembled comprising three tables for the technical team. This team arrangement was strategically positioned streamline coordination among team members.

Various tasks unfolded simultaneously within the studio, fostering a natural and harmonious process. The spatial arrangement of this garage studio reminds us of how we once envisioned spaces, navigating spatial constraints through the strategic placement of horizontal and vertical dividers. Each stage represented a gradual and exploratory journey of growth within the garage studio.

Photograph by @mariowibowo_ and Tatyana Kusumo

#refleksiraw #kilasbalikraw #studiogarasi #realricharchitectureworkshop #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Tunas Muda School (Extension Wing 1)

Working on school projects has never been easy. Alfa Omega School, a medical school in UPH, a vocational school in UI, also Tunas Muda’s campus renovation, facelift, and multifaceted projects—each project brings its unique set of demands: from accommodating continuous growth, integrating cross-programs from clients, defining the school’s identity, adhering to budgets & timelines while also working on our vision & mission on architecture.

Now we are working on Tunas Muda’s new building with integration to the old one. The school is undergoing rapid growth driven by rising number of students, prompting the addition of several new buildings within its complex. In the first phase, they will build a 5-storey structure which we call the Extension Wing 1.

As the existing mass lacks adequate space for canteen, we dedicated a significant portion of the ground floor in the new wing to a semi-outdoor canteen. An outdoor area is also laid out to seamlessly connect the new and old ones, offering a more spacious & comfortable dining environment for the students.

Understanding the importance of convenient parking, we have calculated & adjusted the parking lot around the building to meet the community’s needs. Some parking spaces are also rented from adjacent vacant land.

Classrooms will be on the 1st to 3rd floors, with glass windows facing north & south to maximize natural ventilation & daylighting facing north south. Connecting bridges to the existing mass on several floors support student mobility, daily and especially during events that utilize the multi-purpose hall on the 4th floor.

The multi-purpose hall doubles as FIBA standard basketball court, utilizing wide-span curved steel structures topped with lightweight roof to create a column-free space. With a capacity of 380 students, the raised roof ensures cross ventilation through north & south openings.

The Extension Wing 1 was carefully crafted to address school’s growth and enhance the school community by fostering physical connections and creating a supportive environment for students.

#tunasmudaschool #RAWongoing #realricharchitectureworkshop #school #architecture #details #architectureproject #meruya #jakarta #indonesia

Kategori
blog lecture

Teras 45, IPLBI

Ar Realrich Sjarief from RAW DOT OMAH is set to present alongside Linda Ocatvia and Revianto B. Santosa at Temu Narasi 45 at Ikatan Penelitian Lingkungan Binaan Indonesia. This event will occur through a Zoom meeting on 8 June 2024, 10:00 am.

Realrich’s presentation will be based on the process before the design is made in the studio, starting from the architectural ecosystem, knowledge insight, teams as a family, and professional development.

In the studio, a personal and family approach is one variable in understanding each person’s role. From the team in the studio to the craftsmen in the field, it is an important point that turns the wheels of the architectural design studio.

IPLBI is an critical platform to share how our process in studio. Hopefully, this event will catalyze diverse collaboration between practical and architecture research on how people impact the studio.

Kategori
blog

Studio Garasi, Unlimited within Limitations

In 2011, our studio was mainly run inside a bedroom-turned-office in our principal’s parents’ house. Over the time, it expanded to the garage area. The house ceiling was designed to be 3.25 m high, providing the opportunity to divide the space vertically, so that our studio could have a mezzanine.

The layout design often modified every month according to the ever-changing function of the space. One day the mezzanine area was used as a place to store books and on other days it turned into a place for material samples.

Sometimes his mother commented, “Has it changed again?”

One thing that can be understood is that this limitation explored context sensitivity, by critically calculating the elements that were designed to be optimal. Thus forming a cave concept that changes slowly, transforming from one stage to another.

Photograph by Tatyana Kusumo & @mariowibowo_

#releksiraw#kilasbalikraw#studiogarasi#realricharchitectureworkshop#architecture#details#architectureproject#jakarta#indonesia

Kategori
blog

The 99%-almost-finished Tunas Muda Kindergarten

The 99%-almost-finished Tunas Muda Kindergarten project began with exploring the school complex to determine potential areas for development. Our attention was focused on the existing dormitory building as the starting point for the construction. This building is historically significant memory for the clients and everyone who has worked at Tunas Muda. However, because of its historical value, this building was still intact and had yet to be redesigned. We also tried to utilize it by reusing the existing structure.

This is the meaning of Young Shoots for us, small things that spark new things, just as shoots emerge from plant seeds and will grow into plants. That’s the cycle of life.

We maintained the existing perimeter wall with a span of 19 meters and one dividing wall in the middle. We placed the cremona structure for the roof with a very light UPVC covering so that the wide-span structure could bear the load. We also used the leveling of the land, which had fallen 80 cm, to get a sizeable welcoming area by adding stairs and ramps, and this also streamlined costs for creating new foundations. Currently, Tunas Muda Kindergarten has five classrooms, a multipurpose room, a mini zoo, and two parks. The lounge area was made continuous to form a corridor with a translucent roof to let in light.

From the outside, the front facade exudes simplicity with a circular entrance area adorned with a fresh coat of white paint. The remaining walls, adorned with plants, are part of the existing property that we have chosen to maintain. This design approach allows the historic building to be repurposed with minimal changes, preserving its unique character. However, the true beauty of this building lies within, with many surprises awaiting discovery. This project is significant for our client to commemorate a historic building through a new function filled with children’s laughter.

@tunasmudaschool @realricharchitectureworkshop

Team: Realrich, Agustin, Timbul, Riyan, Melisa, Gaby, Haykal (more credit in bio)

Photograph by @_yophrm and @luil_mn

#tunasmudakindergarten #RAWfinished #realricharchitectureworkshop #school #architecture #details #architectureproject #meruya #jakarta #indonesia

Kategori
blog lecture

DATUM + PLUS, Kuala Lumpur

Ar Realrich Sjarief from RAW DOT OMAH is set to present alongside Ho Chin Keng, Fadzlan Rizan Johani, and Shin Tseng at DATUM+ Plus, KLAF 2024. This event will occur at the Plenary Theatre (Level 3) of the Kuala Lumpur Convention Centre on 4th July 2024.

Realrich’s presentation will be based into the alignment of the studio’s design approach allign to critical craftmanship, the making of architecture’s guild, and the relation of using common – uncommon material such as waste, bamboo, wood, plastic alongside with concrete, steel, alumunium making symphony of collages.

The studio explore diverse variables, engage discussions with clients, engineers, and local craftsmen, thinking about architecture theory and implementations, or intuitively bringing our imaginations to reality and answering our clients’ needs with good spirit.

Datum @klaf_my is an exciting platform to share what we are doing in the studio. Hopefully, this event will catalyze fruitful collaborations and cultivate shared insights within friends and bro-sisterhoods in the global architectural community.

Kategori
blog

Studio Garasi, a Canvas for Creativity

From the very beginning of our practice, experimenting with materials has been a part of our process. This ethos is deeply rooted in our early days at the Garage Studio. Our front facade was a product of experimentation with plywood wrapped in teak wood and punctuated with circular perforations. This facade served as both cover and door, adaptable to our needs.

The garage’s front space was a canvas of creativity, with black-painted walls adorned with chalk and marker scribbles alongside sketches portraying an aerial city view. Einstein’s words, “If at first, the idea is not absurd, then there is no hope for it,” were engraved on the floor, reminding us to be brave enough to take a step and be willing to innovate.

Despite its modest dimensions, the front terrace was versatile, transforming from a gathering space to a reception or seating area as required. More than just a workplace, this Garage Studio had also become a home for those inside, fostering leisure alongside focused work and learning.

#refleksiraw #kilasbalikraw #studiogarasi #realricharchitectureworkshop #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog projects

Project 08 – Lumintu

Project Description

Lumintu House is located in the residential area of Pantai Indah Kapuk 1 (PIK 1), North Jakarta. The building is constructed on a landfill site near the beach, where daytime temperatures can reach 35 – 40 degrees Celsius.

Positioned in a corner, the house strategically places its main door diagonally, giving the impression of two front facades, with a steel lattice extending from above and gently curving outward, offering additional shade to the porch. Credit: Aryo Phramudhito

Rumah Lumintu terletak di kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk 1 (PIK 1), Jakarta Utara. Bangunan ini dibangun di atas area landfill yang dekat dengan pantai, di mana suhu siang hari bisa mencapai 35 – 40 derajat Celsius.

To address these challenges, the design strategy focused on using steel lattice to protect the building from direct sunlight. Steel was chosen for its strong durability, low maintenance, and ease of construction. The concept of “Lumintu,” meaning sustainability and flow, is reflected in the design of the steel lattice arranged like branches extending outward to form a canopy, creating an atmosphere akin to sitting under a tree. This canopy not only enhances the comfort of the residents but also protects the surrounding plants.

This canopy also provides comfort for the surrounding plants, protecting them from excessive sunlight. It forms a gentle and continuous transition, reflecting the philosophy of “Lumintu.”
Credit: KIE

Untuk mengatasi tantangan tersebut, strategi desain difokuskan pada penggunaan kisi-kisi baja untuk melindungi bangunan dari sinar matahari langsung. Baja dipilih karena daya tahan materialnya yang baik, perawatan yang rendah, dan kemudahan dalam proses konstruksi. Konsep “Lumintu” yang mengartikan keberlanjutan dan aliran, tercermin dalam desain kisi-kisi baja yang disusun menyerupai cabang-cabang pohon yang menjulur ke luar membentuk kanopi, menciptakan suasana seperti berada di bawah pohon. Selain meningkatkan kenyamanan penghuni, kanopi ini juga melindungi tanaman di sekitarnya.

Local craftsmen employed traditional techniques, bending each steel component individually to ensure quality and imbue the building with a distinctive touch. The meticulous attention to detail in shaping each component reflects the craftsmen’s skill in blending modern construction with traditional techniques, thereby enhancing the overall value and character of Lumintu House.

Para tukang-tukang lokal menerapkan teknik tradisional, membengkokkan setiap bagian baja satu per satu, untuk memastikan kualitas dan memberikan sentuhan khas pada bangunan ini. Kecermatan terhadap detail dalam membentuk setiap komponen ini mencerminkan keterampilan para tukang dalam memadukan konstruksi modern dengan konstruksi tradisional yang juga meningkatkan value dan karakter dari Rumah Lumintu secara keseluruhan.

Spatially, the arrangement of the family room in Lumintu House adopts an open-plan concept that integrates outdoor and indoor spaces. This large family room is connected to a pool to maintain the building’s temperature and provide views from the central area of the house, creating a seamless spatial experience while maximizing air circulation. This spacious family area also reflects Indonesian family culture, where gatherings with extended family are common. This cultural consideration influenced the decision to place a spacious, column-free main space on the ground floor.

Continuity in design is evident throughout the interior, with curved walls seamlessly integrated. The family room, located opposite the kitchen island, basks in natural light streaming through a large opening, blurring the boundaries between indoor and outdoor spaces.
Credit: KIE

Secara spasial, penataan ruang keluarga di Rumah Lumintu mengadopsi konsep open-plan yang memadukan ruang outdoor dan indoor. Ruang keluarga ini terintegrasi dengan kolam untuk tetap menjaga suhu bangunan dan memberikan pemandangan dari area tengah rumah, menciptakan pengalaman ruang tanpa batas sekaligus memaksimalkan sirkulasi udara. Ruang keluarga yang luas ini juga merupakan cerminan dari budaya keluarga Indonesia, dimana berkumpul dengan keluarga besar adalah hal yang umum. Hal ini juga menjadi pertimbangan utama bagi klien, yang mempengaruhi keputusan untuk menempatkan ruang utama yang luas dan bebas kolom di lantai dasar.

The house also features high ceilings that naturally cool the interior, even without air conditioning. Skylights are strategically installed for optimal natural lighting, and ventilation holes lined with wire mesh allow fresh air into the house while keeping insects out, particularly at night. Service areas in the house are consolidated into one corridor to optimize space efficiency. Lumintu House also includes a roof garden to assist with heat insulation and provides a space for family relaxation while enjoying nighttime views. From the rooftop, residents can also enjoy views of the nearby sea.

Rumah ini juga dilengkapi langit-langit tinggi yang secara alami menyejukkan, meski tanpa AC. Skylight dipasang secara strategis untuk memberikan pencahayaan yang optimal, dan terdapat juga lubang ventilasi yang dilapisi kawat untuk memungkinkan udara segar masuk ke dalam rumah sekaligus mencegah masuknya serangga, terutama di malam hari. Di rumah ini, area layanan dikonsolidasikan menjadi satu koridor untuk mengoptimalkan efisiensi ruang. Rumah Lumintu juga memiliki roof garden untuk membantu dalam insulasi panas, serta memberikan ruang bersantai bersama keluarga sambil menikmati pemandangan saat malam hari. Dari rooftop ini, penghuni juga bisa menikmati pemandangan laut yang terletak tak jauh dari lokasi.

Lumintu House is an example of a project that embraces diverse craftsmanship techniques, empowering local craftsmen without relying on expensive factory production. The collaboration between craftsmen, architects, and structural consultants, along with active client involvement during the design process, enriches its architecture and reflects a deep connection with its surrounding environment.

Rumah Lumintu adalah contoh proyek yang mencakup keberagaman teknik ketukangan, dengan memberdayakan pengrajin lokal tanpa memerlukan produksi yang mahal dari pabrik. Kolaborasi antara tukang, arsitek, dan konsultan struktur, serta keterlibatan aktif klien selama proses desain, memperkaya arsitekturnya dan mencerminkan hubungan mendalam dengan lingkungan sekitarnya.

Project Credit :

Completion Year: 2022
Gross Built Area (m2/ ft2): 898.63 sqm
Project Location: North Jakarta, Indonesia

Lead Architect : Realrich Sjarief

Design Team : Alim Hanafi, Joana Agustin
Support Team : Rico Yohanes, Aqidon Noor Khafid, Sharfina Nur Dini, Sofiana Estiningtya, Pandu Nazarussadi
Prefinishing Design Team: Erick, Septrio Effendi, Miftahuddin Nur Hidayat, Kanigara Ubazti Putra, Fadiah Nurannisa, Tirta Budiman, Larasati Ramadhina

Photographer | Photo Credits: Aryo Phramudhito, KIE Arch

Senang sekali dan bersyukur atas kesempatan terlibat dalam salah satu proyek paling menantang di RAW Architecture. Dalam proyek ini, saya menikmati setiap prosesnya dan banyak belajar dari berbagai aspek. Saya terlibat aktif dalam diskusi yang hampir berlangsung setiap hari, baik dengan klien maupun dengan tim di lapangan. Tantangan yang dihadapi tidak hanya terkait dengan penyelesaian masalah teknis dalam desain-desain eksperimental, tetapi juga bagaimana menyinergikan berbagai pemikiran dari kepala-kepala tim di lapangan untuk mencapai tujuan bersama yang telah diamanatkan oleh klien.

Penyelesaian masalah desain dan konstruksi dengan anggaran yang seefisien mungkin memaksa kami untuk berpikir dan bertindak secara kreatif. Selain itu, pengelolaan data dan informasi yang terus mengalir dan berkembang setiap waktu menjadi tantangan tersendiri. Kami dituntut untuk mensinkronkan data lapangan, gambar, serta pemikiran secara efektif, mengingat keterbatasan waktu dan energi. Dari pengalaman ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran berharga yang memperkaya kemampuan saya dalam menghadapi situasi kompleks di lapangan.

Alim Hanafi

Saya sangat senang dan bangga atas prestasi yang sudah dicapai RAW sampai saat ini. Semoga seterus RAW makin mengibarkan nama baiknya dan semakin besar. Sukses terus RAW dan team. Saya selaku alumni berterima kasih atas kesempatan yang pernah diberikan RAW pada saya. Ini kabar yang sangat menyenangkan. Lumintu house akhirnya selesai dengan apik!

Fadiah Nurannisa

Tadi habis liat juga di designboom nya jadi flashback keinget gimana dulu eksplorasi yang dilakuin sama temen2 RAW dan gimana elaborasi nya ke tim lapangan (dulu sama pak Endang dkk), senang liat dokumentasi akhirnya keliatan fulfilling dari semua effort yang dilakuin. Sukses selalu juga buat kak Rich dan temen2 RAW ya, looking forward to be back visiting guha 😁

Tirta Budiman

Cerita2 waktu proses designnya waktu itu sebenernya sempat ganti2 yg ngerjain. Gw inget d akhir2 kerja d RAW itu megang banyak lebih bagian konstruksinya. Gw itu terakhir megang waktu konstruksi sampe mulai nge cor lantai 2 kalo gak salah,

Ngerjain project rumah itu excited bgt sih karena rumah itu untuk dr luasan besar, lalu segi struktur juga lumayan advance dan waktu itu banyak belajar interdisiplin.

Salah satu pengalaman berharga itu adalah tetangga lahan kita sesuatu hahaha. Jd kita banyak juga ngehadapin masalah non technical ya dikonstruksi.

Tp kita jadi belajar juga design dan kegiatan konstruksi kita itu bakal berpengaruh ke tetangga di sebelah, jadi perlu d pikirin juga. Kalo masalah desain sih rumah ini jadinya lumayan jauh sih dr desain awal. Tapi facadenya jadi lebih bagus dari sebelumnya. Sama dulu sering ada monyet datang ke lahan haha. Gak tau monyet darimana.

Miftahuddin Nurdayat

Lumintu adalah proyek ke-3 yang saya alami dalam pekerjaan saya di studio RAW. Saat itu saya Bersama dengan kolega, sekaligus senior saya saat itu yakni Icha mencoba membuat tracing lengkungan kolam renang dimana sebelum di lakukan pengecoran sangat diperlukan untuk menjaga bentukan yang presisi. Dan ada beberapa pekerjaan juga yang terlibat didalamnya seperti pembuatan canopy rooftop, pembuatan kolam ikan rooftop dan lain-lain. Walaupun tidak terlalu lama ikut dalam proyek Lumintu ini, tapi menurut saya proyek ini sangat berkesan untuk saya.

Menurut saya ini adalah salah satu proyek yang sangat ekploratif yang pernah dilakukan oleh Kak Rich. Jendela yang memiliki bentuk seperti lengkungan yang tidak biasa, seperti lengkungan yang dibuat dari tali yang ditarik menyerupai bentuk parabolic atau biasa disebut catenary. Bentuk pintu yang terlihat rata dan kotak dari tampak depan, namun ternyata pintu tersebut tidaklah rata tapi berbentuk lengkungan, karena mengikutin sudut bangunan. Dan yang lebih menakjubkan menurut saya adalah saluran lubang-lubang Udara yang diciptakan melalui vent cap karena merespon iklim Jakarta utara yang lebih lembab dan sangat panas.

Saya sangat bersyukur bisa mengikuti sedikit dari proses pembanungnan rumah ini. Rumah ini sangat berkesan buat saya, dan jika diperbolehkan saya pasti akan studi Kembali rumah yang didesain kak rich ini, karena begitu unik dan menarik untuk dijadikan inspirasi. Semoga rumah dengan tingkat kesulitan yang amat rumit ini terus dapat menjadi pembelajaran bagi saya sebagai desainer muda untuk belajar berexplorasi dengan dasar mewujudkan impian klien yang dilakukan oleh Kak Rich. Sukses terus untuk Kak Rich dan studio RAW, karya-karya luar biasanya akan selalu ditunggu.

Rico Yohanes

Kategori
blog projects

Project 09 – Guha Boboto

Located in West Jakarta, Guha Boboto was initially constructed in the 1990s using a simple plywood structure—a cheap and easy-to-find material in the area. With its simplicity, this house continues evolving with a series of renovations. The first renovation was carried out using plywood, which the craftsmen glued together into glulam. In its latest renovation, the existing structure was reused and reinforced with light steel and local glulam wood to reduce costs.

Terletak di Jakarta Barat, Guha Boboto dibangun tahun 1990-an dengan strukur sederhana berbahan tripleks—material yang murah & mudah ditemukan di daerah tersebut. Dengan kesederhanannya, rumah ini terus mengalami evolusi dengan serangkaian renovasi. Renovasi pertama dilakukan dengan memanfaatkan tripleks yang direkatkan oleh para tukang menjadi glulam. Pada renovasi terkini, struktur yang ada dimanfaatkan kembali, ditambah dengan baja ringan & kayu glulam lokal sebagai perkuatan untuk mengurangi biaya.

Various waste materials, such as roof coverings, steel bars, bricks, aluminum, and glass, were creatively repurposed. Craftsmen skillfully turned cheap bricks into luxurious works of art that enhance airflow and privacy. They also created a ceiling design by recycling plywood. This recycling process was not easy, but it succeeded in emphasizing the craftsmen’s attention to creativity, detail, and sustainability in renovating this house.

Berbagai material sisa, seperti penutup atap, batangan baja, batu bata, aluminium, dan kaca juga digunakan kembali. Para tukang berproses mengubah batu bata yang murah menjadi karya seni yang terlihat mewah, yang juga membantu sirkulasi udara dan menjaga privasi. Para tukang-tukang ini juga membuat kreasi plafon dari hasil daur ulang tripleks bekas. Proses daur ulang ini tidaklah mudah, tetapi berhasil mempertegas adanya perhatian tukang terhadap kreativitas, detail, dan keberlanjutan dalam proses renovasi rumah ini.

Guha Boboto now hosts diverse programs, creating a dynamic environment that integrates various functions on different scales. Doors connect the residence to an employee dormitory which is separated by a hallway leading to the library. Library also functions as a bookstore and community activity center. There are also stalls that families of Guha Boboto residents have managed since the 1990s, which stand as a form of strengthening local micro-businesses and surrounding communities.

Guha Boboto kini mengintegrasikan beragam program, menciptakan ruang dinamis di mana berbagai skala fungsi dapat bersatu. Pintu-pintu menghubungkan hunian dengan asrama karyawan yang dipisahkan oleh sebuah lorong menuju perpustakaan. Perpustakaan juga berfungsi sebagai toko buku dan pusat kegiatan komunitas. Terdapat pula warung yang telah dikelola oleh keluarga penghuni Bobotoh sejak tahun 1990-an sebagai bentuk perkuatan bisnis mikro lokal & komunitas masyarakat sekitar.

Guha Boboto has become a place where a mixture of various needs and interests converge, showing that architecture can be flexible. By maintaining privacy, thermal comfort, and spatial functionality, all elements combine harmoniously in Guha Boboto.

Guha Boboto telah menjadi tempat bertemunya berbagai kebutuhan dan kepentingan, menunjukkan bahwa ada fleksibilitas dalam sebuah karya arsitektur. Dengan menjaga privasi, kenyamanan termal, dan fungsionalitas spasial, seluruh elemen tersebut berpadu harmonis di Guha Boboto.

Kategori
blog

All imperfection that makes life perfect.

All imperfection that makes life perfect.

Guha berada di antara batas area informal dan formal, antara kampung dan kompleks perumahan. Sisi selatan didominasi rumah bergaya Mediterania dari era 1990-an, kontras dengan sisi seberang berupa rumah kos-kosan, warung kopi, grosir durian, katering, dan masjid dengan jalan yang sempit.

Kontur lahannya menurun dari utara ke selatan setinggi 2 meter, dan jalan di depannya sering tergenang saat hujan karena posisinya yang paling rendah di kompleks dan kurangnya sudut kemiringan menuju saluran air yang jaraknya jauh.

Daerah ini juga memiliki tingkat kriminalitas tinggi, seperti penjambretan di gang dan rumah warga yang sering kemalingan. Ini membuat saya juga penuh keragu-raguan, maklum saya juga manusia yang terus ingin sempurna. Meski begitu, saya mulai melihat lingkungan ini dengan perspektif yang berbeda setelah berdiskusi dengan ayah saya yang mengatakan, “Selalu lihat kehidupan dengan indah, sembari terus kritis. Itulah kembali ke dasar.”

Meski lahan ini memiliki problematika, tapi banyak juga keindahan yang dimiliki. Iklim mikro jadi nyaman berkat hadirnya 3 pohon trembesi dengan tajuk selebar 15 meter. RTH terbentuk karena kebutuhan untuk ruang resapan. Hadirnya perpustakaan anak sebagai ruang bermain bagi anak-anak sekitar ternyata membantu menurunkan tingkat kriminalitas.

Kami belajar tumbuh dengan memprioritaskan ruang kerja karena limitasi dana, sehingga ruang keluarga yang kecil membuat kami terus bersama. Sementara, ruang kerjanya efisien dan fleksibel, terintegrasi dengan banyak pintu. Segala problematika dalam keterbatasan ini menciptakan senyum sekaligus tangis bersama, tegur sekaligus enggan menyapa, bercampur aduk dengan indah. Termasuk hubungan saya, keluarga, tim, tukang, juga seluruh kawan yang menjadi keluarga baru saya.

Setiap rumah adalah permata bagi keluarganya, begitu juga dengan prosesnya, perjuangan sebelum dan sesudahnya, kenangan lintas masa dan harapan, mencerminkan keindahan rumah keluarga yang membawa kita kembali ke dasar masing-masing.

Photograph @_yophrm

#99persenguhatheguild #realricharchitectureworkshop #home #architecture #details #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Laurensia’s Birthday

Hari ini Laurensia ulang tahun ke 42, senang sekali melihat keceriaannya setelah selesai sakit kami. Ia adalah wanita yang sangat sederhana, ngga banyak keinginan, kemauan yang berlebih-lebihan dan hal itu mewarnai kesederhanaan keluarga kami. Ia adalah partner kehidupan, keluarga, dan memegang banyak pintu, kunci dari keluarga dan juga studio. Dokter gigi yang juga membantu mengorganisasi studio sehingga anak- anak studio bisa lebih bahagia.
.
Anak – anak kami sudah cukup besar, ada Miracle dan Heaven yang memiliki sifat – sifat unik. Kami percaya bahwa setiap anak memiliki jiwa yang baik dan bersahaja, seringkali pada saat ia dewasa ia menjadi terpapar dengan jiwa orang tuanya yang memiliki kebaikan dan juga berbagai macam trauma/rasa kenangan yang perlu diselesaikan. Laurensia dari dulu kami bersama dari tahun 2008 banyak membantu saya untuk arsitektur juga pribadi, sisi trauma saya, ia mengerti, memaafkan, dan menyabarkan saya pribadi. Bahkan untuk nonton bioskop senang-senang, dulu ia yang mensupport saya dengan praktiknya ketika uang saya habis karena memulai karir tidak pernah mudah.
.
Laurensia adalah orang yang perasa dan halus, ia mampu merasakan, mencium hal – hal yang tidak bisa dirasa oleh orang biasa, dan menajamkan intuisi saya pribadi sehingga bisa merasakan energi baik, niat baik, proses yang selalu berputar dalam keluarga kami.
.
Dari dirinya saya mendapatkan karunia 2 anak yang baik – baik. Seiring dengan kehidupan waktu kami yang berhitung mundur, saya ingin dia bahagia. Di balik ketidak sempurnaan kami semua, bagi saya inilah kesempurnaan yang layak dijalani. Berhitung mundur di balik rambut putih saya yang mulai muncul sehingga kehidupan ini akan mulia dan sempurna demi Tuhan yang kami pegang teguh. Semesta ini begitu luas dan indah dan ini bermula dari ibu sebagai pusat galaksi kecil, yaitu keluarga kita masing – masing.
.
Photograph @_yophrm
#realrichsjarief #miracleheavenrich

Kategori
blog

Happy Engagement Our Beloved Sister, Nurul

Hari minggu kemarin, kami merayakan momen istimewa Nurul dalam acara lamarannya. Proses lamarannya begitu khidmat dalam adat jawa yang penuh kehangatan dan makna. Dua keluarga besar bertemu, dalam sebuah proses menyatukan dua insan dari latar yang berbeda, untuk melangkah menuju jenjang berikutnya. Bagi kami, Nurul adalah seorang yang memiliki peran penting dalam keluarga besar Guha. Seorang admin yang mengepalai divisi auditing dan administrasi, menandakan bahwa di dalam studio desain, yang dikerjakan tidak hanya soal desain namun juga menjaga keseimbangan keuangan. Hubungan dekat antara keluarga Nurul dan keluarga Kak Realrich adalah seperti ikatan keluarga yang tidak bisa dipisahkan, mereka sudah seperti keluarga besar. Hal yang lumrah terjadi di dalam praktik studio yang tradisional, bahwa ada kedekatan yang dirayakan, ikatan batin yang ada sejak jaman ayah dari Realrich dan ayah dari Nurul. Kakak dan adik membentuk lingkaran, dari generasi ke generasi, dan itulah keluarga.Momen ini juga mengingatkan kami akan sebuah kutipan dari Jalaluddin Rumi, “Hari kemarin telah berlalu dan ceritanya sudah diceritakan. Hari ini benih-benih baru tumbuh.” Kami dari keluarga besar di Guha dengan tulus mengucapkan selamat akan lembaran baru yang dibuka. Semoga lamaran mereka membawa berkah, rejeki, dan keberkahan dari semesta untuk langkah-langkah dalam proses selanjutnya.

Kategori
blog

Gunawan Tjahjono, Cahaya yang Berguna

Pak Gunawan Tjahjono, seperti namanya “cahaya yang berguna”, adalah seorang professor yang saya selalu rindukan karena pengetahuan arsitekturnya yang berlimpah, dan banyaknya buku yang dibacanya.

Saya banyak menanyakan hal-hal terkait perjalanan hidupnya, sampai ke bagaimana seorang praktisi dididik, mengenal pola dan bagaimana melatih bahasa pola. Saya yang dulu berada dalam praktik kecil yang terbatas di ruang garasi, sekarang tersadar bahwa dalam praktik, bahasa pola perlu dilatih dalam ruang-ruang imajinasi & teori.

Dari diskusi ini saya belajar relasi antara 3 dunia: 1) grammar (pola), 2) rasa, dan 3) spiritual. Saya ingat grammar dipelajari melalui kekayaan wawasan, bercerita melalui kekuatan analitis.

Hal itu saya dapatkan ketika Pak Gun bercerita kembali tentang kekuatan story-telling Charles Moore dan metode analitik berpikir kritis Horst Rittel.

Cerita kedua adalah bagaimana menajamkan rasa melalui prinsip RSVP (resources, score, value, perform): sebuah perjalanan mengenal diri, menghidupkan kembali kepekaaan dengan merasakan kehilangan indra, membangun sistem diri yang definitif & terukur, bertindak secara kolektif, hingga pada akhirnya kita bisa menemukan makna dari aksi kolektif ini dalam sebuah proses kreatif.

Ia membahas pentingnya rasa melalui pengalaman arsitektur yang tidak hanya analitis, tetapi menembus kualitas atmosferik. Bukan hanya soal bentuk, tetapi perpaduan indra, teknik, cerita, dan kesadaran, yang layaknya beliau alami pada karya-karya Louis Kahn seperti Kimbell Art Museum & Salk Institute, ataupun figur Eko Prawoto.

Pak Gun cerita beliau sedang menyusun tulisan tentang domestifikasi arsitektur, sebuah titik di mana ia mencari definisi demi definisi kehidupan manusia & arsitekturnya.

Saya ingat beliau berkata, “Seorang pengajar tidak perlu merasa bisa memiliki semua jawaban dari pertanyaan murid-muridnya, tapi ia perlu menjawab ‘mari kita cari bersama-sama’.” Dari sini saya merasa relasi arsitektur Indonesia ada di 3 antara: antara pola, antara rasa, dan antara jiwa yang membentuk ikatan batin untuk pulang.

Terima kasih Pak Gun sudah menemani kami semua untuk mencari jawaban & juga pertanyaan-pertanyaan baru.

Pulangnya beliau mau membeli buku. Saya tanya, “Yang mana, Pak?”

Beliau jawab, “Yang dua ini, Alvar Aalto dan Methodgram.”

“Pak, ini ditulis sama saya dan Anas Hidayat, disunting sama Johannes Adiyanto. Buku Methodgram inget ngga, Pak? Saya ditantang sama Agustinus Sutanto, ‘Kalau kamu tidak bisa menemukan metodemu sendiri, kamu ngga akan bisa berkembang. Lihat Bjarke Ingels, Vo Trong Nghia.’ Setelah itu saya tulis buku ini, yang kadang saya ngga ngerti apa yang saya tulis sekarang.”

“Ya, semua bertumbuh kembang,” jawabnya. “Bagusnya begitu.”

“Kamu tau Alvar Aalto? Dulu Pak Wondo pernah cerita ke saya kalau gedung konsernya didesain supaya jari jemari pianisnya terlihat dari tempat duduk. Saya mau baca buku itu.”

Terakhir saya bilang, “Pak, Antologi Kota 1 & 2 ini dibuat oleh Mas Cahyo, Mas Gede, Mas Fritz, dan teman-teman.”

“Oooh iya. Oke, saya mau bayar semua.”

“Ngga usah, Pak. Ini semua sudah dibayar, saya tambahin beberapa buku ya, Pak. Kan untuk perpustakaan Bapak juga. Kita berbagi ilmu.”

Lima tahun setelah perjumpaan saya dengan Pak Gun di Bintaro Exchange—beliau menjelaskan relasi Jung, Archetype, dan kekuatan metode Rittel—beberapa buku, diskusi tentang arsitek & arsitektur mumpuni sudah terbit, dan cakrawala baru yang saya dapatkan dulu tidak ada habis-habisnya sampai sekarang, dan saya selalu menunggu apa yang akan saya lakukan besok pagi. Saya sebut itu “The Night Flame”, malam yang membara. Sebuah pantikan api yang dinyalakan di lubuk hati, yang saya perlu banyak berterima kasih pada beliau atas pencerahan dan penemanannya sampai sekarang.

#rawinspirasi


Kategori
blog

The 2024 RAW DOT OMAH dream team!

For us, the daily journey in GUHA is something we continually cherish, especially with the presence of a big family in RAW DOT OMAH. Together, we continue to carve our process, fight within our limits, forge ourselves, continue to learn, and unite in our dedication to the team.

Our collective fight, both as individuals and as a team, unfolds in three interconnected aspects: Body, Mind, and Soul. The Body signifies the presence of the RAW DOT team, who continues to put in long hours to transform imaginations into reality. The studio serves as a visionary place where we explore creativity, drive innovation, and ensure each project reflects the continuity of our studio’s and client’s visions.

Beneath the strong Body lies the Mind, representing insights and knowledge that emerge from daily studio discussions and our reflections on the written work continually produced by the OMAH team. Just as we dwell into and learn from various architectural case studies and thousands of projects, our commitment to working with focus, down to the smallest details, ensures that every aspect is meticulously crafted and executed, reflecting our dedication to delivering the best for all.

After the Body and Mind work in harmony, there is also the Soul, embodying how we remain dedicated to serving, sharing knowledge, and resonating with the young interns. Sharing experiences also means being willing to listen. The internship culture in our studio is not merely a place for knowledge transactions but also an exchange of life experiences, fostering a continuous cycle of learning and creating new memories in GUHA. With a creative spirit and good intentions, we strive to uplift and inspire each other, nurturing a soulful connection within our team.

From this, we can see how RAW DOT OMAH is formed from the casual and our everyday life. Together, Body, Mind, and Soul, we fight as one to achieve greatness and the best for the future!

Kategori
blog

In Memoriam of Endang Syamiyudin

#refleksiraw

Pak Endang Syamiyudin adalah orang yang sungguh berjasa dalam karir saya dan studio kami. Sejak 14 tahun yang lalu, ia menemani saya dari Jakarta, Tangerang, sampai Bali. Dari tangan dinginnya muncul proyek-proyek yang saya banggakan.

Proyek pertamanya adalah Bare Minimalist bersama Pak Singgih, diikuti Akanaka, Wirawan House, Alfa Omega, Chimney House, sampai Lumintu House. Bersama Pak Singgih, ia selalu menutup dan membuka proyek pada libur lebaran.

Beliau ada ketika saya jatuh tertancap paku di proyek, beliau juga ada saat kami tertawa bersama. Ketika yang lain tertidur lelap, beliau menemani saya berdiskusi sampai larut, bahkan di hari libur. Banyak sekali parameter tak terduga, tetapi semuanya akan baik dan selesai.

Dari sosoknya muncullah adik-adik didikannya: Pak Edy, Sarip, Indra, orang-orang terdekatnya yang menjadi keluarga baru saya sampai belasan tahun kami bekerja bersama.

Kemarin saya ditelpon bahwa Pak Endang meninggal dunia. Saya kehilangan seorang jenderal yang menjaga keseharian proyek kami. Ayah saya berpesan: detail dan ketukangan adalah pusaka arsitektur Indonesia yang jarang dibicarakan, tetapi harus diperhatikan karena tukang dan mandor tetaplah manusia biasa juga. Ada transfer ilmu, kebanggaan yang berbeda. Dari tangan-tangan terampilnya muncul karya arsitektur. Selalu sadari bahwa setinggi apapun kita, hargailah manusia setinggi-tingginya.

Pak Endang, saya minta maaf kalau ada salah ke Bapak dalam keterbatasan saya sebagai manusia biasa. Saya Realrich juga minta maaf ke saudara-saudara, kalau ada salah dari Pak Endang, mohon dimaafkan.

Selamat jalan, Pak Endang. Dalam kesementaraan hidup ini saya belajar bahwa cinta hadir karena solidaritas dan toleransi.

Nama Pak Endang akan selalu hadir di studio saya RAW DOT dan Omah, dalam sebuah memorial, dalam sebuah asa untuk menjaga ikatan batin, dan saya akan mengingat jasa beliau sampai saya mati. Tuhan, terima kasih sudah memberikan salah satu malaikatmu untuk menjaga kami, teman-teman saya, klien, kontraktor dan memberi kebaikan ke semesta ini.

Tuhan Yang Maha Kuasa, Pak Endang yang di surga, saya titip salam untuk ayah saya dan ayah Bapak. They will be proud of you.

Kategori
blog

RAW COLLECTIVECAVE – FORE COFFE

In our project within the #rawcollectivecave, we strive to embed intricate details to create innovative spatial concepts that tell our clients and studio’s story and produce designs that hold value within the retail business landscape bringing nature and human centric together.

Apart from working on residential and office project, we are also working on small scale of coffee shop such as initiation of Fore Coffee back in 2018. At 1st Fore Coffee store at Plaza Indonesia, we embark on our design journey by crafting design experiences that align with their business, and also seeking designs that vividly depict the brand’s identity. Every detail is crucial because this Fore Coffee serves as the defining starting point that sets the future of Fore Coffee’s design language.

While executing this project, we had to work within the confines of a tight 15 m2 space. We had to ensure that the booth was strategically positioned to catch the attention of passersby from both the entrance and side corridors, maximizing visibility from all angles.

The backdrop formed from a tree module integrated with the Fore logo, while the forefront featured a seamlessly integrated coffee machine, showcasing the streamlined process of preparing coffee within limited space. The tree modules were embraced by luminescent translucent panels, casting a futuristic impression that harmonized with the Fore logo. This project was completed well and marked the genesis of the expanding Fore Coffee store chain.

@fore.coffee

Photograph by @kafinnoeman

forecoffee #RAWfinished #realricharchitectureworkshop #retailstore #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Nizamia Andalusia School Collective Cave

At our studio, we strive to create projects that are responsive to movement and push the boundaries of design. Our innovative #rawcollectivecave concept, inspired by kampoong cross programming arrangement, combines diverse design elements, such as integrating recycling materials and cross-programming inside one big box.

Nizamia Andalusia is a school located in East Jakarta.
This school caters to the Middle High School level of education, where ‘high’ signifies a higher level of maturity compared to elementary school students. As children begin to act independently, it becomes crucial to filter external influences through the lens of the school’s vision and mission. Nizamia is committed to fostering a maturity that embraces social and spiritual impulses, and we are dedicated to translating this ethos into the building’s design. Thus, the Nizamia school’s space program is meticulously designed to facilitate the learning, activity, and socialization processes for children.

The primary challenge of this project is time constraints, which we have overcome through innovative solutions. We have utilized existing buildings, repurposing their modules for the classrooms, and adding new structures where necessary. The two main buildings of this school are connected by existing bridges on floors 2 and 5, which we have ingeniously repurposed to support horizontal circulation. Vertically, the 1st and 2nd floors of the building feature integrated gardens, classrooms, and communal spaces. The 3rd floor is a spacious prayer room with a capacity of 700 people, the 4th floor functions as an auditorium, and the 5th floor is an open sports hall.

Nizamia is one of the projects that utilizes existing structures and translates limitations in the design process into an architectural language that can support people’s lives.

@nizamiaandalusia @nizamiahighschool

#refleksiraw #Nizamia #realricharchitectureworkshop #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Sunyoto Bioclimatic Home

#rawbioclimatichome #refleksiraw Klien kami ini salah satu teman lama ayah saya. Sudah lama sekali, sejak saya bermain tenis bersama ayah saya di tahun 1995 dan keluarga kami terus menjaga hubungan baik dengan beliau dari 2005 hingga saat ini. Rumah ini merupakan gambaran dari perjalanan panjang hubungan saya, ayah saya, dan juga beliau yang kadang bercerita tentang how great my father is.

Rumah ini unik karena memiliki dua lahan kosong yang sebenarnya adalah wujud dari impian beliau untuk hidup di sebelah taman yang besar. Ini karena rumah beliau saat ini tidak memiliki ruang yang cukup untuk taman, sehingga keberadaan lahan ini dapat memenuhi keinginannya dan istrinya yang sangat menyukai tanaman dan binatang.

Baginya, rumah ini adalah rumah terakhir di mana ia berharap tidak perlu berpindah lagi. Rumah ini dirancang untuk menjadi tempat berkumpul keluarga serta tempat menyambut ketiga anaknya saat pulang dari luar negeri. Oleh karena itu, ruang keluarga pada rumah ini ditempatkan di tengah, luas, dan terbuka, serta dilengkapi dengan void dan skylight.

Rumah ini dibangun untuk mendukung hobinya mengutak-atik barang dan istrinya yang gemar menanam, sehingga disediakan ruang workshop dan area taman. Orientasi rumah yang menghadap utara dan selatan, semakin mendukung untuk menciptakan area tanaman dan balkon yang ideal untuk bersantai. Perumusan rumah ini juga dibantu dengan dialog yang hangat dan ramah dari anak mereka.

Setiap lantai rumah dibagi sesuai dengan kebutuhan keluarga. Lantai dasar sebagai area workshop dan taman baginya dan istri, lantai 2 sebagai ruang keluarga, lantai berikutnya untuk kamar anak-anak mereka, dan lantai paling atas diisi area taman dan ruang gym. Dalam setiap detailnya, kita dapat melihat rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi keluarga, tetapi juga menjadi rumah yang menggambarkan kehidupan keseharian dari keluarga yang hidup di dalamnya.

Terima kasih tim: Mey2, Timbul, Alim, Putra, Audy, Tyo, Yusrul, Kamil, Zyadi, Neilson dan semua yang terlibat. Arsitektur adalah proses panjang dan kolaboratif.

#sunyotobioclimatichome #RAWongoing #realricharchitectureworkshop #home #architecture #details #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Tunas Muda Kindergarten

Proyek Tunas Muda Kindergarten memiliki cerita menarik dalam pemilihan lahannya. Awalnya, kami bersama klien menjelajahi kompleks sekolah untuk mempertimbangkan area yang potensial untuk dikembangkan. Akhirnya keputusan jatuh ke letak lahan yang strategis di depan sekolah di balik dinding perimeter.

Dinding perimeter eksisting sepanjang 19 meter dan struktur atap cremona ditempatkan di atasnya dengan material UPVC yang ringan untuk ditanggung oleh struktur bentang lebar. Desain juga memanfaatkan perbedaan level tanah eksisting yang turun 80 cm untuk menciptakan area penyambutan yang luas dengan penambahan tangga dan ramp. Denahnya dibuat terbuka untuk memberikan fleksibilitas pengembangan di masa depan.

Tunas Muda Kindergarten kini memiliki 5 kelas yang fleksibel, 1 ruang serbaguna, area playground, dan 2 taman, salah satunya berfungsi sebagai daerah sumur resapan. Dari luar, tampak depan didesain sederhana dengan hanya menambahkan cat putih di area pintu masuk lingkaran. Sisa dinding dengan tanaman-tanamannya merupakan bagian dari eksisting yang dipertahankan. Hasilnya, bangunan ini memberikan kesan nostalgia, dan menjadi tempat yang memiliki banyak kejutan di dalamnya.

Area ini memiliki makna Tunas Muda yang sesungguhnya dengan area kindergarten tempat dimulainya pendidikan di taman kanak – kanak, simbol penting dari pertumbuhan dan perubahan, sebagaimana tunas yang tumbuh dari benih tanaman.

@tunasmudaschool @realricharchitectureworkshop

My Best Dream Team: Agustin, Timbul, Riyan, Melisa, Gaby, Haykal

#tunasmudakindergarten #RAWfinished #realricharchitectureworkshop #school #architecture #details #architectureproject #meruya #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Yogaatrina Bioclimatic Home

#rawbioclimatichome #refleksiraw
Bagi kami, arsitektur tidak pernah terlepas dari memori klien dan pengalaman arsitek dalam setiap langkah merangkai satu proyek dan lainnya. Ada ikatan emosional yang terbentuk dan proyek rumah tinggal selalu memiliki tempat tersendiri di hati studio kami, sebagai tipologi yang paling kuat dalam menggambarkan ikatan-ikatan yang terjadi secara personal. Keseimbangan di dalam proses berarsitektur menjadi penting. Di samping proyek institusi yang bersifat publik, kisah proyek rumah tinggal menjadi sarana kami berterima kasih kepada orang-orang baik yang pernah bekerja sama secara personal.

Brief dari klien kami, Yoga dan Atrina menarik karena justru mengutamakan adanya ruang besar untuk berkumpul dengan kapasitas 50-100 orang. Sang klien merupakan keluarga kecil, tetapi di belakangnya ada banyak sekali keluarga.

Inilah gambaran budaya Indonesia, keluarga-keluarga inti yang berkaitan darah bergabung membentuk keluarga besar. Lapisannya bukan lagi 2-3 generasi, tetapi berlapis-lapis generasi dengan percabangan-percabangannya. Desain spesifik yang tergambar pada lekak lekuknya pun tercipta untuk memenuhi kebutuhan tersebut menciptakan lengkung. Kamar tidur yang lebih privat diletakkan dibelakang, menyisakan area komunal yang jauh lebih besar dan ditonjolkan dengan dibuat transparan.

Klien kami di proyek ini adalah orang yang sangat terbuka, mudah diajak berdiskusi, dan sangat apresiatif. Sikap tersebut membuat kami bisa akomodatif sekaligus eksperimentatif dalam menghasilkan bentuk yang eksploratif. Hal ini terlihat dengan sebuah kantilever yang melengkung sebagai pemenuhan kebutuhan klien untuk tempat berkumpul. Kantilever tersebut dibuat dengan struktur menyerupai jembatan dan bebannya ditransfer melalui struktur kolom yang tidak menerus. Semakin akomodatif, dan toleratif, arsitekturpun menjadi semakin mengalir.

Thank you, clients (Yoga, Atrina), and the team work @realricharchitectureworkshop , current : gaby, Putra, Audy, Nielsen, mey2, timbul, yusrul, kamil, zyadi, haykal, andriyan, melisa, meizhan, revi, alia, zikri and many other people involved. Architecture is a long process and collaborative effort.

Kategori
blog

Selamat Idul Fitri 1445 Hijriah

#guhamenyapa

Jika Idul Fitri adalah lentera, mari membukanya dengan maaf agar cahayanya bisa menerangi jiwa. Permohonan maaf tulus dari hati kami haturkan menyambut hari yang suci ini.

Kami mengucapkan Selamat hari raya Idul Fitri 1445 H. Semoga momen lebaran ini membawa berkah, kedamaian, dan kebahagiaan, serta menjadi waktu yang indah bersama keluarga dan orang-orang terkasih.

Perjalanan kami dalam berkenalan dengan banyak orang di sekitar, baik saudara, klien, kontributor, engineer, penulis, intelektual, maupun pengunjung perpustakaan telah memberikan dampak yang luar biasa bagi kami.

Semangat untuk terus berbagi dengan ikhlas, mengalir menjadi rahmat yang terus hadir di tengah-tengah keluarga. Rahmatan lil ‘alamin, yaitu memberikan manfaat untuk sesama dan terus berjuang baik dalam kebaikan-kebaikan di masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Tahun ini thaun 2024 sebagai tahun bersama kita yang terbaik yang kita punya, mari kita syukuri bersama dan jalani untuk tumbuh dengan gembira.

Kategori
blog

Berbagi, Refleksi, dan Sebuah Catatan Terima Kasih

#refleksiraw

Baru hari ini saya sempat menulis, dan berefleksi, kadang-kadang kalau nulis bisa terlalu serius, meski perlu ibaratnya untuk pijat emosi, pijat otak. Hal ini penting untuk terus tidak lupa berterima kasih ke banyak pihak. Kali ini saya ingin mengucap terima kasih kepada banyak pihak yang sudah mengundang untuk berbagi di banyak tempat. Menurut saya kegiatan berbagi adalah kegiatan yang wajar dilakukan oleh seorang arsitek, di kampus sampai bekerja hingga berhadapan dengan client kita juga berbagi.

Di dalam studio, kampus, hal ini adalah latihan, simulasi. Namun, di dalam kehidupan nyata, kepentingan orang yang dihadapi begitu beragam dan begitu banyak. Di sinilah penempatan diri menjadi hal yang sangat penting, untuk siapa kita melakukan presentasi, untuk apa kita membagikan sebuah gagasan. Bagi saya niatan untuk terus meningkatkan diri bahwa setiap kali presentasi adalah momen yang berbeda. Dan situasi tersebut adalah hal yang cocok hanya untuk sebagian orang dan sebagian kondisi saja. Berbagi adalah hal yang kami di studio juga pergunakaan untuk bisa menghargai waktu orang lain, ini adalah sikap “tidak egois (selfless)” dengan less less yang lain, karena diskusi terjadi setiap saat. Di situlah toleransi menjadi penting untuk menentukan jalan keluar, dan itulah sebuah sikap yang tidak kenal lelah atau “less yang kedua, restless”. Dari situ segala tindakan baik kita dalam arsitektur menjadi kenangan yang baik dan tidak lekang waktu, menuju less yang ketiga, yaitu “timeless”.

Satu saat di tengah-tengah ruang pamer Arch.ID ada paviliun yang digagas oleh UII mengenai Pak Josef dan Pak Eko. Menurut saya ini sebuah mata air yang ada di tengah-tengah pusaran kapital. Di dalamnya ada karya literasi, tulisan, dan juga pola pikir pedesaan yang merupakan estetika yang biasa-biasa saja dan sangat toleratif, juga solider. Hal itu sangat saya rindukan. Saya postingkan gambarnya, ya.

Juga beberapa bulan terakhir, saya diberi kesempatan untuk menjadi narasumber acara sharing sebagai prinsipal studio untuk menceritakan proses berpikir dan berpraktik di beberapa organisasi, universitas, maupun platform yang ada di Indonesia untuk berbagi terkait proses berpraktik yang saya kerjakan sehari-hari.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada @bintarodesigndistrict @ykkapi_official @futurarc @bciasia.id @pgnsaka @arsitektur_umbjm @himamsi_umbjm @architecture.carnival @ars.uinmalang @hmarspu @pdf.6.0 @afairui @arsitekturui @archirayftuh @hmaftuh @arsitektur.ftunhas @fsc_id @arch.id.indonesia @iai_diy yang sudah memberikan kami, saya, dan tim Guha semua kesempatan untuk berdiskusi, baik secara online maupun offline. Saya postingkan publikasi-publikasinya ya di sini untuk kenang-kenangan.

Sebagai refleksi, beberapa benang merah dari tema, diskusi yang terjadi berkaitan dengan manusia dan lingkungan. Di mana hal tersebut adalah hal yang sehari-hari dan fundamental di dalam kehidupan, bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Bahwa kita hidup secara bersama-sama dan memiliki visi yang sama untuk hidup lebih baik. Arsitektur juga demikian, ia berkembang karena manusia menginginkan kehidupannya menjadi lebih baik. Jangan sampai saya juga di sela-sela kesibukan lupa berterima kasih, lupa untuk membina ikatan, lupa akan waktu, di mana di refleksi ini saya diingatkan bahwa waktu untuk takaran setiap orang adalah sama, di manapun ia, apapun yang ia lakukan, 24 jam satu orang sama dengan orang yang lain. Selamat berbahagia dan terus saling berkontribusi.

Kategori
blog

Guha Studio Culture – Kenaikan tingkat di Guha

#guhastudioculture

Selamat kepada leader-leader yang berhasil naik tingkat dan mendapatkan promosi di Ekosistem Guha (RAW-DOT-OMAH) yang membuat arti sebuah kehidupan di Guha menjadi lebih meningkat untuk menjaga nilai-nilai yang baik supaya lebih lestari. Tadi malam, kami merayakan kenaikan level @andriiyansyahmr menjadi Associate Partner Designer, @melisaakma menjadi Senior Associate Designer, @putrakhairus dan @almujaddidi menjadi Intermediate Associate Designer, dan @arlynkeizia menjadi Intermediate Associate Reseacher.

Kami beruntung bertemu dengan mereka-mereka yang menjadi keluarga tempat bertumbuh bersama. Arsitektur adalah bagian dari kehidupan, ada sesuatu yang lebih besar dan menyatukan yaitu jiwa-jiwa yang tidak pernah kenal lelah, itulah Guha. Akhir-akhir ini kami mendengar banyak testimoni tentang Guha, dari teman-teman internal maupun dari pengunjung yang datang untuk merasakan apa itu Guha. Hal tersebut membuat kami berefleksi tentang makna sebuah kehidupan yang terjadi di Guha, karena “Kehidupan” merupakan salah satu benang merah yang teman-teman kenang dari tempat ini.

Mereka dirasa bisa menjadi jembatan antara klien, prinsipal, dan tim. Dari proses mereka bertumbuh, berprestasi, mendapat kepercayaan, hingga mengemban tanggung jawab yang kompleks yaitu terus membawa makna sebuah kebaikan yang menghasilkan segala bentuk cerita yang istimewa dihati masing-masing. Dan kami menyaksikan mereka bertumbuh di mana waktu dan orang yang capable adalah aset yang sangat berharga. Komitmen menjadi kunci utama sebagai faktor penentu dalam kenaikan tingkat.

Terima kasih kepada mereka dan seluruh anggota tim yang terus-menerus menghadirkan cerita-cerita kehidupan baru di Guha, “from dust to dust”, dengan menjadi debu akan membuat kita rendah hati.

@realricharchitectureworkshop @omahlibrary

#guhatheguild #realricharchitectureworkshop #studioculture #arsitekindonesia #architecturestudio #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Thank you to all the intern at Guha the Guild (RAW-DOT-OMAH)

Selama 3 bulan terakhir, Guha the Guild kedatangan mahasiswa terbaik Indonesia dari berbagai macam universitas: @arsitektur.ugm @unsarsitektur @arsitektur.umn @architecture.undiportfolio @architecturebinus . Mereka sudah memiliki pengetahuan desain secara teori dan praktik yang bisa menjadi dasar belajar berarsitektur mereka ke depannya.

Mimpi tentang bayangan diri kita di masa depan menjadi sangat penting, terutama bagi anak-anak muda yang masih mencari tujuan hidup dan posisi untuk berkontribusi menciptakan lingkungan sekitar yang lebih baik. Di Guha, kami percaya bahwa setiap orang memiliki keunikan spiritualnya masing-masing yang mampu memunculkan potensi. Setiap orang dilatih untuk mendidik dirinya berefleksi lebih jauh, menemukan visi dan misi kehidupan berarsitektur di dalam usaha menemukan cakrawala yang baru.

Guha menaungi berbagai tim dengan framework, dinamika, dan karakter yang berbeda-beda. Ada RAW Architecture yang berfokus pada desain, DOT Workshop yang bergerak di bidang pengawasan dan manajemen desain, serta OMAH Library yang bergerak di bidang literasi dan riset arsitektur. Relasi yang terjadi di Guha menggambarkan sebuah total design management. Anak-anak magang belajar di antara banyaknya lapisan proses berarsitektur secara nyata.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh mahasiswa yang pernah magang di Guha (RAW-DOT-OMAH):
@noviola_esther @jayadi.darwis @audreylia.adeana @audreyesirait_ @gorjess.ivra @najwachikas @ksndrabening @farisazzzhr @salmaputrin @marvellafelicia_ @habiebreza @jasminesdr @jsubagiyo @jelenajaa @anastaciasherlyy @faisalcahyo_ @_agtrs @fikr.riii @ariqsyahrafif

Semoga kalian dan kita semua selalu bahagia dan tidak pernah lelah belajar arsitektur.

#guhatheguild #realricharchitectureworkshop #rawarchitecture #dotworkshop #omahlibrary #internship #magang #studioculture #arsitekindonesia #arsitekmuda #architecturestudentlife #architecturestudio #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Nizamia Andalusia School Collective Cave

#rawcollectivecave Bagaikan sebuah kota, Sekolah Andalusia Nizamia memiliki banyak sekali aktivitas yang diakomodasi di dalamnya. Kisah 1001 malam yang melegenda menjadi inspirasi dari 1001 cerita dari pagi menuju malam. Cerita adalah aktifitas, fungsi dan program. Hal ini tercermin pendekatan cross-programming sebagaimana dibahas oleh Rafael Moneo di dalam “Theoretical Anxiety and Design Strategies in the Work of Eight Contemporary Architects” dan dipraktikkan oleh Rem Koolhas.

Konsep ini diterapkan di organisasi tiap ruang. Lobby di lantai dasar bangunan utama disambut oleh ruang ibadah besar di lantai lantai dasar dan, dilanjutkan ruang-ruang kelas dengan area berkumpul di antaranya di atasnya atasnyaz ruang – ruang antara berada maju mundur berfungsi sebagai ruang lounge dan wudhu. Lantai ketiga diisi dengan ruang berkumpul yang terhubung dengan jembatan ke bangunan tahap sebelumnya.

Ruang – ruang kelas, ruang – ruang antara mengisi lagi di antaranya hingga diakhiri dengan fasilitas olahraga dengan tribun di area rooftop. Hal tersebut menunjukkan urgensi berkumpul , bermain, berdoa di tengah-tengah belajar.

Bagi kami, istilah “high” dalam “high school” SMP, bermakna adanya tingkat kedewasaan yang lebih tinggi daripada siswa Sekolah “Dasar”. Pemikiran mereka sudah mulai terelaborasi dan mereka pun sudah mulai bisa bersikap mandiri. Dari Nizamia, kami belajar bahwa pengembangan kedewasaan dapat disambut dengan impuls arsitektural. Kami memaknai simbol program, atau kotak – kotak yang tersusun yang menandai masa kini.

@nizamiaandalusia @realricharchitectureworkshop

@rawarchitecture_best @melisaakma @andriiyansyahmr @chairunnisabels @tyoadngrh @almujaddidi @meizzh_ @rrianditaa @zikrirahardian @richieaweee

#nizamiaandalusia #collectivecave #RAWongoing #realricharchitectureworkshop #school #architecture #details #architectureproject #jakarta #indonesia

Kategori
blog

Chimney Bioclimatic Home

All of the context and the design results portray our belief that poetic architecture comes from many experiments involving many parties. Design variations resulting from consistent experimentation have a common thread that is intact and complex but still integrated. The thread connects one and another projects through a collaborative but personal architectural approach, a continuous point. That’s the “M”, the symbol elaborated from our studio’s daily, which we interpret as Method, a way to connect architectural theory to the practice.

The Chimney Bioclimatic Home results from a study of skylight as a passive light and air tunnel in tropical climates. There are 7 skylights on the house varying in dimension, which suit the lighting needs calculation based on the room volume below and compared to the sunlight angle. One of the skylights is made big as a center point and a visual connection with the void between the living area.

The skylights are made to have a good air circulation performance without letting the rainwater in. The construction is designed to be floating without a frame, but just a stainless pin, giving a gap below covered with a mosquito net. Finally, the glass cover is installed with a slope to prevent waterlogging.

Besides the details of the skylights, the house has another uniqueness in its form. The form of the house is inspired by the site, which is located on the curved corner, giving the vibe of it sitting on the top of the garden, shaded by tree canopies. So, the curved shape is implemented for the massing, as well as for doors, windows, skylights, and even several elevations that function as a divider between the family and prayer rooms.

Architects :
@realricharchitectureworkshop

Photograph by @farhannash @luil_mn
Project narrative by @khunmey_

#chimneybioclimatichome #bioclimatichome #RAWfinished #realricharchitectureworkshop #home #architecture #details #architectureproject #tangerang #jakarta #Indonesia

Kategori
blog

Article Published on ArchDigest

Thank you, @archdigest and @juliaeskins, for the published article. It’s a huge appreciation for our team.

Piyandeling is a work of togetherness. There are Pak Saniin and friends’ work and many more craftsmen who have worked together before and are still making progress to this day. I want to express myself with gratitude. The world is all about work, work for the family, family connecting the world, and the world becomes a family. The work represents family, which is everywhere in this world and closer than ever.

Piyandeling signifies the birth of Heaven, our second child. The land is a promise of our love for bamboo; we love impermanence. It reminds us that this life is perfect because somehow when our imperfections are stuck together and can work together, this condition is more than perfect.

There are three sheep named Dago, Garut, and Lembang. One of the sheep, Dago, has given birth to a girl named Tahura, which means great garden forest. It’s the fourth sheep. Making architecture is like therapy, a healing and beautiful experience. I hope many more people believe in architecture that can touch people’s souls. Through Piyandeling, Tahura’s birth is touching our hearts, and Julia’s writing signifies this presence that the sound of the great garden forest is within her writing work. Great work Julia

Through Architectural Digest and Julia’s writing in person, we go through the beautiful bamboo world, feel blessed, and feel hope in architecture together again. And, It is nice to know and reconnect again with the eight other most beautiful bamboo buildings in the world architect, @ibukubali @nomadicresort @colab_tulum @chiangmailifearchitects @vtnarchitects_votrongnghia @luxury_frontiers you are the best.

Check out Architectural Digest’s article on https://www.architecturaldigest.com/gallery/the-most-beautiful-bamboo-buildings-in-the-world

#realricharchitectureworkshop #architecturaldigest #architecture #jakarta #tangerang #indonesia

Kategori
blog

Proyek Bukit Golf

Kemarin saya ke proyek di Bukit Golf, sudah hampir tahun ke 8 ini proyek berjalan dari tahap konsep. Banyak orang bilang ini lama betul, saya jawab, ada juga proyek yang 13 tahun juga proyek belum selesai – selesai, dan lanjut sampai proyek ke 4 di lahan yang sama sekarang. Attitude tidak kalah lebih penting daripada metode desain.
.
Arsitektur itu ngga bisa dilihat dari cepet selesai, ataupun lama selesai. Menurut saya arsitektur itu soal keterikatan batin yang kuat dengan banyak orang di dalamnya. Bisa ditutup – tutupi tapi akan terpancar jelas relasi – relasi yang muncul dengan adanya waktu. semoga sebentar lagi selesai, sebulan – dua bulan lagi maksimal ya.
.
Arsitek itu ibaratnya pelari maraton yang panjang, ia menjembatani banyak pihak, banyak gengsi, ego, dan materialisme mengetahui bahwa segala hal tidaklah murah, dan malah mahal itu di prosesnya. Mulai dari mengingatkan tidak boleh merokok di proyek, berdiskusi hal – hal yang sederhana dari arsitektur yang terdiri pemipaan, kualitas finishing, sampai ke sejauh mana proteksi terhadap tikus dengan menutup semua lubang, proteksi terhadap air. Proteksi itu penting sembari menyempurnakan. Segala masalah pasti selesai, proyek pasti selesai, dan kenangan yang manis menghasilkan mimpi yang baik tim yang baik, hasil yang baik, niat yang baik, jadilah masa depan yang baik.
.
Terima kasih untuk tim yang ikut rapat hari ini, you are the best
@rikoyohanes_
@joanaagustin
@realricharchitectureworkshop
@dot_workshop

#realricharchitectureworkshop #tangerang #indonesia #arsitekindonesia #arsitektangerang

Kategori
blog

Budi Sukanda

Minggu lalu, saya dapat kesempatan bertemu dengan Pak Budi Sukada. Dalam perbincangan kami, beliau banyak berbagi tentang perjalanan karir arsitektur dan pengalamannya menempuh magister di Architecture Association (AA) London. Beliau juga bercerita bahwa ada peran Prof. Gunawan Tjahjono, dosennya di UI, yang terus mengajaknya berdiskusi tentang buku-buku, hingga akhirnya membuat beliau mencintai filsafat. Salah satu buku yang sangat berkesan baginya adalah karya Pak Fuad Hassan berjudul “Berkenalan dengan Eksistensialisme”

Bagi beliau, menjadi mahasiswa AA Graduate School adalah semacam dunia fantasi karena ia dapat bertemu dengan banyak arsitek dunia seperti Rem Koolhaas, Zaha Hadid, Charles Jencks. Yang menarik adalah ketika mentornya bertanya tentang apa yang ingin beliau pelajari, beliau menjawab ingin belajar teori arsitektur. “Tidak ada yang namanya teori arsitektur, yang ada itu sejarah dan teori arsitektur. Anda harus mengerti sejarah dulu sebelum belajar tentang teori arsitektur.” Jawaban ini terus diingat oleh beliau hingga saat ini.

Di usia yang sudah tidak muda lagi, Pak Budi Sukada masih memiliki keinginan untuk terus berkontribusi. Beliau menyebutnya sebagai sikap “refuse to be forgotten”. Ia tidak ingin arsitektur Indonesia hanya sisa kulitnya saja. Beliau juga banyak sekali membahas tentang pentingnya sejarah dalam teori. Saya kemudian bertanya, “Kenapa perlu belajar teori arsitektur, Pak? Bapak menyebut kaitannya dengan sejarah. Untuk apa sebenarnya teori itu diingat dan dipelajari?”

“Sejarah dan teori itu untuk menguji pernyataan seseorang, baik terhadap karyanya maupun karya orang lain. Kalau tidak teruji, ya omong kosong. Sejarah, teori, dan kritik itu penting. Ada saja yang selalu tidak terima ketika dikritik. Yang penting, kalau tidak terima, harusnya bisa menjelaskan kenapa tidak terima, dan itu secara teoritis, jangan secara sensitif, subjektif.”

Beliau menyampaikan bahwa kritik menjadi hal biasa di luar negeri, seperti Charles Jencks saat mengkritik James Stirling, begitu juga dengan kritik kepada Zaha Hadid, Leon Krier, dan Norman Foster dalam kelas kritik yang beliau ikuti di AA Graduate School.

#realrichsjarief #guhatheguild

Kategori
blog

Endang Syamsyudin

Pak Endang Syamiyudin adalah orang yang sungguh berjasa dalam karir saya dan studio kami. Sejak 14 tahun yang lalu, ia menemani saya dari Jakarta, Tangerang, sampai Bali. Dari tangan dinginnya muncul proyek-proyek yang saya banggakan.

Proyek pertamanya adalah Bare Minimalist bersama Pak Singgih, diikuti Akanaka, Wirawan House, Alfa Omega, Chimney House, sampai Lumintu House. Bersama Pak Singgih, ia selalu menutup dan membuka proyek pada libur lebaran.

Beliau ada ketika saya jatuh tertancap paku di proyek, beliau juga ada saat kami tertawa bersama. Ketika yang lain tertidur lelap, beliau menemani saya berdiskusi sampai larut, bahkan di hari libur. Banyak sekali parameter tak terduga, tetapi semuanya akan baik dan selesai.

Dari sosoknya muncullah adik-adik didikannya: Pak Edy, Sarip, Indra, orang-orang terdekatnya yang menjadi keluarga baru saya sampai belasan tahun kami bekerja bersama.

Kemarin saya ditelpon bahwa Pak Endang meninggal dunia. Saya kehilangan seorang jenderal yang menjaga keseharian proyek kami. Ayah saya berpesan: detail dan ketukangan adalah pusaka arsitektur Indonesia yang jarang dibicarakan, tetapi harus diperhatikan karena tukang dan mandor tetaplah manusia biasa juga. Ada transfer ilmu, kebanggaan yang berbeda. Dari tangan-tangan terampilnya muncul karya arsitektur. Selalu sadari bahwa setinggi apapun kita, hargailah manusia setinggi-tingginya.

Pak Endang, saya minta maaf kalau ada salah ke Bapak dalam keterbatasan saya sebagai manusia biasa. Saya Realrich juga minta maaf ke saudara-saudara, kalau ada salah dari Pak Endang, mohon dimaafkan.

Selamat jalan, Pak Endang. Dalam kesementaraan hidup ini saya belajar bahwa cinta hadir karena solidaritas dan toleransi.

Nama Pak Endang akan selalu hadir di studio saya RAW DOT dan Omah, dalam sebuah memorial, dalam sebuah asa untuk menjaga ikatan batin, dan saya akan mengingat jasa beliau sampai saya mati. Tuhan, terima kasih sudah memberikan salah satu malaikatmu untuk menjaga kami, teman-teman saya, klien, kontraktor dan memberi kebaikan ke semesta ini.

Tuhan Yang Maha Kuasa, Pak Endang yang di surga, saya titip salam untuk ayah saya dan ayah Bapak.

#realrichsjarief #dotworkshop

Kategori
blog

Sunyoto Bioclimatic Home

Klien kami ini salah satu teman lama ayah saya. Sudah lama sekali, sejak saya bermain tenis bersama ayah saya di tahun 1995 dan keluarga kami terus menjaga hubungan baik dengan beliau dari 2005 hingga saat ini. Rumah ini merupakan gambaran dari perjalanan panjang hubungan saya, ayah saya, dan juga beliau yang kadang bercerita tentang how great my father is.

Rumah ini unik karena memiliki dua lahan kosong yang sebenarnya adalah wujud dari impian beliau untuk hidup di sebelah taman yang besar. Ini karena rumah beliau saat ini tidak memiliki ruang yang cukup untuk taman, sehingga keberadaan lahan ini dapat memenuhi keinginannya dan istrinya yang sangat menyukai tanaman dan binatang.

Baginya, rumah ini adalah rumah terakhir di mana ia berharap tidak perlu berpindah lagi. Rumah ini dirancang untuk menjadi tempat berkumpul keluarga serta tempat menyambut ketiga anaknya saat pulang dari luar negeri. Oleh karena itu, ruang keluarga pada rumah ini ditempatkan di tengah, luas, dan terbuka, serta dilengkapi dengan void dan skylight.

Rumah ini dibangun untuk mendukung hobinya mengutak-atik barang dan istrinya yang gemar menanam, sehingga disediakan ruang workshop dan area taman. Orientasi rumah yang menghadap utara dan selatan, semakin mendukung untuk menciptakan area tanaman dan balkon yang ideal untuk bersantai. Perumusan rumah ini juga dibantu dengan dialog yang hangat dan ramah dari anak mereka.

Setiap lantai rumah dibagi sesuai dengan kebutuhan keluarga. Lantai dasar sebagai area workshop dan taman baginya dan istri, lantai 2 sebagai ruang keluarga, lantai berikutnya untuk kamar anak-anak mereka, dan lantai paling atas diisi area taman dan ruang gym. Dalam setiap detailnya, kita dapat melihat rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi keluarga, tetapi juga menjadi rumah yang menggambarkan kehidupan keseharian dari keluarga yang hidup di dalamnya.

Terima kasih tim: Mey2, Timbul, Alim, Putra, Audy, Tyo, Yusrul, Kamil, Zyadi, Neilson dan semua yang terlibat. Arsitektur adalah proses panjang dan kolaboratif.

Design by #realricharchitectureworkshop #sunyotobioclimatichome #home #architecture #details #jakarta #indonesia #dezeen #archdaily

Kategori
blog

Tunas Muda Kindergarten

refleksiraw

Proyek Tunas Muda Kindergarten memiliki cerita menarik dalam pemilihan lahannya. Awalnya, kami bersama klien menjelajahi kompleks sekolah untuk mempertimbangkan area yang potensial untuk dikembangkan. Akhirnya keputusan jatuh ke letak lahan yang strategis di depan sekolah di balik dinding perimeter.

Dinding perimeter eksisting sepanjang 19 meter dan struktur atap cremona ditempatkan di atasnya dengan material UPVC yang ringan untuk ditanggung oleh struktur bentang lebar. Desain juga memanfaatkan perbedaan level tanah eksisting yang turun 80 cm untuk menciptakan area penyambutan yang luas dengan penambahan tangga dan ramp. Denahnya dibuat terbuka untuk memberikan fleksibilitas pengembangan di masa depan.

Tunas Muda Kindergarten kini memiliki 5 kelas yang fleksibel, 1 ruang serbaguna, area playground, dan 2 taman, salah satunya berfungsi sebagai daerah sumur resapan. Dari luar, tampak depan didesain sederhana dengan hanya menambahkan cat putih di area pintu masuk lingkaran. Sisa dinding dengan tanaman-tanamannya merupakan bagian dari eksisting yang dipertahankan. Hasilnya, bangunan ini memberikan kesan nostalgia, dan menjadi tempat yang memiliki banyak kejutan di dalamnya.

Area ini memiliki makna Tunas Muda yang sesungguhnya dengan area kindergarten tempat dimulainya pendidikan di taman kanak – kanak, simbol penting dari pertumbuhan dan perubahan, sebagaimana tunas yang tumbuh dari benih tanaman.

@tunasmudaschool @realricharchitectureworkshop

tunasmudakindergarten #RAWfinished #realricharchitectureworkshop #school #architecture #details #architectureproject #meruya #jakarta #indonesia

Kategori
blog

My 3 best person

My 3 best person, musketeer that I love most, Laurensia, mother of Miracle and Heaven.

Waktu berjalan dengan cepat, di balik keseharian yang menderu-deru, letih,mereka yang menemani keseharian dalam cinta, saya bener2 bersyukur bisa bersama – sama keluarga kecil ini ditambah sun, moon, star (3 marmut) Love u mom and kids.
.

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Holiday bersama Singa Laut

Pagi – pagi, anak – anak sudah bangun ya wis kami kenalin temen baru namanya jessica si singa laut ❤️ ngerasain dikilik2 sama kumisnya, kata orang kalau dikilik sama kumis singa laut bawa ke keberuntungan beberapa tahun ke depan. Selamat Lebaran lagi ya happy holiday all.

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Heaven Belajar Gambar

Heaven mulai belajar gambar, dunianya berkisar antara bermain – main sama kakaknya, mukanya yang lucu dan menggemaskan, apalagi ketika ia nanya “whyyy, whyy ?” Siap2 jawab terus dan disambut dengan “whyy , whhy lagi”

#realrichsjarief#miracleheavenrich

Kategori
blog

Pasar Tradisional Sukasari

Dalam memahami konteks sebuah bangunan, kami menyadari bahwa setiap lahan memiliki konteks yang berbeda-beda dan memberikan keunikan dalam proses perancangan massa bangunannya. Ini lah yang juga kami sadari ketika kami berkarya dalam tipologi bangunan publik. Hal ini kami sebut dengan #rawcollectivecave

Ini adalah sebuah proyek renovasi yang kami kerjakan pada Pasar Sukasari, salah satu pasar tradisional yang terletak di Bogor. Dalam proses renovasi ini, kami perlu memastikan kepentingan komersilnya, di mana diperlukan penyesuaian jumlah lapak penjual yang harus diakomodasi.

Untuk memenuhi kebutuhan baru yang ingin dicapai oleh Pasar Sukasari, kami mengambil konsep desain yang terinspirasi dari rumah khas sunda yaitu Julang Ngapak. Rumah ini memiliki performa termal yang sangat baik dengan atap tinggi, yang biasa dipakai sebagai ruang publik untuk menjalankan berbagai macam aktivitas. Oleh karena itu, kami membagi Pasar Sukasari menjadi zona-zona berdasarkan aktivitasnya untuk mengoptimalkan fungsionalitas bangunannya. Atapnya yang tinggi juga terinspirasi dari bentuk gunung, di mana titik awal dan titik akhir pada atapnya berada pada bagian yang paling rendah. Ini mencerminkan upaya kami untuk menciptakan pasar yang modern namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Hal-hal yang kami tawarkan dalam desain Pasar Sukasari ini adalah dengan mengakomodasi berbagai program yang dibutuhkan, mulai dari menambah jumlah pedagang, meningkatkan kebersihan lapak, dan memberikan akomodasi untuk gerobak di lantai teratas. Kami juga menambahkan sarana publik seperti lapangan olahraga, tempat main anak, dan area foodcourt. Harapannya, pasar ini dapat menjadi daya tarik baru bagi para pengunjung dan menjadi pilihan area publik baru yang dapat dinikmati bersama keluarga.

Design by #realricharchitectureworkshop @pasar.gembrong

#pasarsukasari #RAWongoing #realricharchitectureworkshop #traditionalmarket #architecture #details #architectureproject #bogor #indonesia

Kategori
blog

Happy CNY, Valentine, Election Day for You

Saya baru membaca puisi Kipling, ini relevan dengan bagaimana pengajaran budi baik ke anak – anak dan kehidupan personal. Puisi ini adalah refleksi disaat bimbang, dan berguna untuk kami sekeluarga, menetapkan jalan untuk terus belajar. Happy CNY, Valentine, Election day for u ❤️

JIKA
oleh Rudyard Kipling

Jika kau bisa menjaga akal sehat mu ketika semua yang lain kehilangan akal sehat dan melampiaskan itu padamu

Jika kau dapat mempercayai dirimu ketika semua orang meragukanmu namun memberi ruang bagi keraguan mereka itu

Jika kau mampu menunggu dan tidak dilelahkan oleh menungguatau, meski didustai, tidak ikut mendustai atau, meski dibenci, tidak ikutan-ikutan benci dan tetap tidak bergaya sok saleh atau sok bijak

Jika kau bisa bermimpi – dan tidak membuat impian-impian itu majikanmu

Juka kau bisa berpikir – dan tidak membuat pikiran – pikiran itu tujuanmu

Jika kau berjumpa dengan Kemenangan dan Bencana dan memperlakukan kedua penyamar itu sama rata

Jika kau menahan diri saat mendengar kebenaran yang kau sampaikan diputar balik oleh para bangsat untuk menjebak orang-orang
lugu atau menyaksikan hal-hal yang baginya kau pertaruhkan hidupmu, dihancurkan
kau membungkuk dan menyusunnya lagi dengan perkakas ausmu

Jika kau bisa menumpuk semua yang telah kau menangkan dan mempertaruhkannya pada kesempatan sekali seumur hidup dan kalah, dan mengulangi lagi dari awal dan tak pernah mengeluh sepatah kata pun tentang
kekalahanmu

Jika kau bisa memaksa hatimu dan syarafmu dan uratmu untuk menjalankan tugasmu sekalipun kekuatan mereka telah lama hilang
dan terus bertahan meskipun tak ada apa pun lagi padamu kecuali Kehendak yang memerintahkan pada mereka, “Bertahanlah!”

Jika kau bisa bergaul dengan orang banyak dan memelihara keluhuranmu, kejelataanmu
atau berjalan bersama para Raja – tanpa kehilangan

Jika entah musuh ataupun sahabat kekasih tak dapat melukaimu

Jika semua orang masuk perhitunganmu, tapi tiada yang terlalu

Jika kau bisa mengisi satu menit yang tak akan kembali dengan upaya sejauh mungkin seharga enam puluh detik

Milikmulah Bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dan – lebih lagi – kau akan menjadi Manusia Sejati, anakku!

Kategori
blog

Guha The Guild as Ecosystem

Kemarin kami bertemu dengan adik dan kakak kami dari Universitas Tadulako, Palu. Sahabat dari daerah timur Indonesia, yang dekat bagaikan keluarga. Pertemuan kami kemarin seperti reuni kembali dengan 65 adik-adik muda, dan dua dosen terbaik mereka. Bagi kami sahabat dan keluarga tidak dapat dipisahkan oleh jarak, kami tetap terhubung oleh ikatan yang menembus waktu menjalin memori baru.

Di setiap pertemuan pasti ada alasan, Pak Rahmat Atok bercerita, bahwa kedatangan mereka ke Guha sebagai salah satu kunjungan KKL untuk mengajak mahasiswa merasakan pengalaman baru, yang lahir dari sebuah studi dan pencarian sehari-hari yang intensif, natural, dan mengalir. Perkenalan dengan saudara dari Universitas Tadulako terjalin karena ada kak Cahyo yang terus merangkai jalinan jaringan arsitektur di Indonesia. Kami bersyukur semua jaringan ini membentuk lingkaran dan menyatukan kita kembali. Menurutnya desain arsitektur Guha berbasis dari “apa yang dibutuhkan dari sebuah tempat”. Hal tersebut menjadi konsern kami setiap harinya untuk terus merespon kebutuhan sehari-hari melalui arsitektur. Bagi kami belajar bisa melaui banyak hal mulai dari studio, kelas, berjalan-jalan, maupun ziarah arsitektur. Pengalaman terbaik adalah mengalami, dan belajar secara langsung.

Ini testimonial dari salah seorang mahasiswa, Blenda L. W.

“… Setelah saya datang kesini, fasad, suasana, dan materialnya mirip dengan di tempat-tempat lain, tapi untuk prinsip bagaimana cara membuatnya, itu beda jauh dari apa yang sudah saya pelajari dari tempat lain, mulai dari cara mengolah materialnya dan merakitnya fungsinya. Dari sini, satu pelajaran yang bisa saya ambil adalah barang-barang indah tidak harus mahal, tapi bisa dari apa yang ada disamping kita.”

Kami bersyukur, Guha bisa menjadi tempat kita bersama, seperti kata kak Cahyo Novianto, nyalakanlah api lilin-lilin kecil di sekitar kita ke seluruh penjuru nusantara. Kami bisa mengucapkan rahayu-rahayu-rahayu bumi, jiwa, dan segala isinya.

@kkl_2024

#guhatheguild#experiechingguha#omahlibrary#realricharchitectureworkshop
#studioculture#arsitekindonesia#arsitekmuda#architecturestudentlife#architecturestudio#jakarta#indonesia#palu

Kategori
blog

16 Januari 2024 Ulang Tahun Kembali

Tahun ini, waktu ulang tahun saya tidak punya harapan untuk saya pribadi. Saya hanya berharap saya bisa membahagiakan keluarga, ibu saya, istri, dan 2 anak saya, juga keluarga besar. Juga harapan saya ke tim saya, dan kawan – kawan saya di arsitektur, you are the best.

Kemarin kita mau selesaikan proyek kami yang namanya boboto-proyek ini adalah peninggalan almarhum ayah saya, saya rencana menyelesaikan proyek itu tanggal 13 Januari waktu ayah saya ulang tahun. Ibu saya bilang, sudah tanggal 16 Januari saja diselesaikan. Sekeras itu saya berusaha, seperti anak yang selalu punya banyak mau, ternyata tanggal 13 tidak bisa diselesaikan. Akhirnya saya menyerah di tanggal itu siangnya saya pergi ke pasar bunga, menyewa boat, kemudian menelpon saudara dan ibu saya untuk menebar bunga. Saya senang bertemu almarhum lagi di laut lepas. Akhirnya tanggal 16 kita selesaikan dan kami satu studio pakai untuk acara bersama, seperti keluarga. Ada yang lain yang ulang tahun juga di bulan Desember dan Januari, juga saya rayakan bersama mereka, ada Putra, Haykal, Audy, Yoshi, dan Adriyan. Kita makan enak, minum enak di Boboto, juga bersama pak Misnu, Mbak Sri, dan Nurul yang mengatur tim kami. Ibu saya pagi – pagi menelpon, mengucapkan selamat ulang tahun, juga ayah dan ibu mertua saya dari sisi Laurensia. Terima kasih doanya.

Setelah itu di Guha, malamnya Rezki datang dan membawa kue, bentuknya bulat, kotak, dan segitiga. Ia bilang ini sanmi-sangen. Bulat merepresentasikan energi restless spirit (energi yang tidak pernah lelah), kotak merepresentasikan (pikiran), dan segitia merepresentasikan spirit (jiwa) yang memiliki ujung. Saya mengganguk2 dan kemudian meniup lilin, harapan saya, semoga ia dan fei bisa mendapatkan berkat terbaik dalam kehidupan mereka.

Di balik susunan bata yang rapuh dan tidak sempurna, itulah keluarga, arsitektur yang frugal muncul dan menyatukan. Laurensia bilang, “It’s okay to be imperfect” hal itulah keluarga.

Thank you ya semuanya, you are the best, that make me the best.
@laurensiayudith
@septia.ti
@audykiranard
@putrakhairus
@joshinoel
@ha.ykal
@rezkidk
@guhatheguild
📸 @_yophrm (diboboto)


Studio culture ini diceritakan oleh Lu’luil Ma’nun didalam platform @guhatheguild

Dunia profesional merupakan dunia yang sangat intensif, setiap pribadi akan berhadapan dengan begitu banyak tanggung jawab yang berhubungan dengan orang lain. Dalam kondisi penuh tekanan dan deadline yang berturut-turut. Oleh karena itu salah satu culture di studio kami adalah menciptakan momentum relaksasi bersama, hal ini ditujukan untuk meregangkan pikiran yang sebelumnya tegang dan menghadirkan perasaan damai. Momentum ini sekaligus menjadi waktu istirahat sejenak dari pekerjaan yang begitu padat, agar kedepannya dapat mempertajam kembali goals apa yang ingin di capai.

Makan-makan sambil merayakan ulang tahun seperti ini merupakan budaya yang kami perjuangkan bersama setiap bulannya. Karena arsitektur tidak hanya identik dengan deadline yang padat, tapi juga identik dengan kerja kolaborasi + menciptakan kebahagiaan dibalik tekanan yang ada. Persiapan gathering bulan Januari ini melibatkan multi tim, ada begitu banyak layer-layer divisi yang terlibat, seperti tim biru, logistik, designer, reseacher, admin, dan juga koki di studio kami.

Hal ini dapat menjadi proses latihan bagi kami, berlatih untuk bekerjasama dengan berbagai jenis karakter dan kebiasaan kerja yang beragam. Dari hal-hal sederhana seperti ini kami belajar bahwa acara ini tidak bisa kami persipkan tanpa keterlibatan banyak orang. Karena diwaktu yang singkat, setiap orang dapat menyumbangkan kontribusinya masing-masing untuk memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Selamat ulang tahun principle kami @rawarchitecture_best, dan juga @audykiranard@andriiyansyahmr@ha.ykal@putrakhairus@joshinoel, kami bangga pribadi-pribadi seperti kalian ada distudio ini.

Dari acara ini, secara tidak langsung kami berlatih membangun hubungan jangka panjang yang sehat. Dibalik canda tawa yang memenuhi ruangan, kami menyadari akan pentingnya meluangkan waktu, bekerja bersama, dan berbagi kebahagiaan untuk orang lain.

Dunia arsitektur merukapan kehidupan yang diverse, didalam sebuah studio kita tidak bisa bekerja sendirian, diwaktu yang singkat kita pasti membutuhkan orang lain. Hal ini selalu kami latih didalam keseharian, melalui aktivitas sehari-hari hingga kedalam karya-karya arsitektur yang terencana.

Kategori
blog

Exploration of Bioclimatic Architecture


Akhir – akhir ini saya berefleksi seperti apa yang dilakukan banyak orang tentang pekerjaan, tentang sejauh mana kami di praktik sudah melangkah, akan kemana, dan apa yang mau dilakukan di awal tahun 2024. Puji Tuhan untuk 2023 kawan2 semua, dan saya doakan berkat berlimpah di 2024, rejeki cukup, sehat, dan dikaruniai kebahagiaan.
.
Sebagian besar proyek kami adalah proyek rumah tinggal dan beberapa di antaranya adalah proyek institusional seperti sekolah, ritel, dan kantor. Secara pribadi, saya suka mengerjakan proyek-proyek tersebut terutama rumah tinggal karena bagi saya, kehidupan klien itu unik dan menjadi cerita tersendiri dibalik beraneka ragamnya desain yang tercipta untuk mereka. Beberapa di antaranya, bahkan belum sempat kami publikasikan karena terlalu banyak hal yang harus dipersiapkan dengan waktu yang terbatas. Untuk ini saya merasa memiliki hutang banyak karena tanpa klien, kami tidak bisa berkembang sampai sekarang. Arsitek dan arsitektur tidak pernah berdiri sendiri.
.
Dalam beberapa ilustrasi ini, kami menjelajahi prinsip Rumah Bioklimatik. Salah satu hipotesisnya yang lebih spesifik adalah bahwa kami dapat membuat rumah tetap sejuk di iklim tropis di Indonesia dengan suhu mencapai 28 derajat Celsius jika metode ini diimplementasikan dengan ketat. Hal ini membentuk desain rumah sehat.
.
Pada gambar bisa dilihat di halaman 2 bahwa, 4 elemen 1, 2, 3, dan 5 ada di konseptual desain dan 2 elemen 4 dan 6 ada di integrasi desain dan disiplin lain, 2 lapisan keberagaman budaya dan semangat gotong – royong ada di semua lapisan yang mewarnai bumi Indonesia sebagai perjuangan bersama. Sementara 6 prinsip lainnya terbagi dari massa bangunan hingga materialitas yang spesifik di lokasi. Hal ini akan dijelaskan dalam publikasi proyek-proyek kami selanjutnya.
.
Tipologi rumah tinggal adalah salah satu tipe proyek yang paling penting dalam studio kami, karena ini menunjukkan kontrol dari klien dan arsitek dalam menunjukkan kolaborasi dalam skala kecil. Dalam tipe ini, eksperimen terus-menerus disesuaikan untuk mencapai hasil yang optimal.
.
@realricharchitectureworkshop
#realricharchitectureworkshop #bioclimatichome #arsitekjakarta #arsitekindonesia

Kategori
blog

Refleksi – Arsitek dan Eksistensi Bangunan


09 01 24, Hari ini saya menulis refleksi singkat tentang acara UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan tema “Arsitek dan Eksistensi Bangunan : Ketika Desain Menjawab Kerinduan Literasi Akan Atensi Manusia”.
.
Disini saya berbagi bahwa sederhananya literasi itu terkait juga dengan menyimpulkan pengalaman praktik dan menuliskannya kembali termasuk disini. Di dalam proses desain, saya juga percaya bahwa klien, pengguna, orang lain hadir dan memberikan kekuatan kasih yang memberi dan menerima. Disitulah rasa empati itu saya dapatkan dan ada rasa memiliki yang muncul dari berbagai macam pihak. Rasa memiliki itu muncul dari rasa sayang, keinginan untuk menjaga dan juga keinginan untuk selalu belajar, dan mengevaluasi hasil untuk selalu menjadi pribadi dan kebersamaan yang lebih baik. Dalam diskusi saya banyak belajar dari mas Farid dan bu Nur, dan diskusi di dalamnya mengenai simpul menyimpulkan dengan kualitas perancangan perpustakaan yang membutuhkan tanaman, simbol keunikan, sampai program yang terbuka untuk orang relaksasi.
.
Dalam sharing ini saya juga berbagi tentang beberapa pengalaman praktik yang bisa jadi contoh atau memiliki kecocokan paling pas dengan tema, misalnya seperti proyek yang namanya perpustakaan boboto yang disusun dari material sisa yang dipakai lagi, kami menyusun bata sisa yang imperfect, triplek bekas dipotong kecil – kecil dan membuatnya jadi komposisi yang unik yang didesain polanya oleh tukang – tukang. ada empati terhadap bahan,enginering, sekaligus berkarya bersama dengan para pengrajin dari bisa menjadi biasa.
.
Ruang – ruangnya terbuka dan nanti tinggal tanaman muncul mengisi ruang-ruang transisinya. Dari awal praktik membuat Bare Minimalist, Guha, Piyandeling. Saya yakin bahasa – bahasa kesederhanaan dan dialog bersama – sama ini menjadi penting dan berlanjut dari satu ke proyek lain secara menerus memberikan tempat yang sederhana dan empatik.
.
@ars.uinmalang @realricharchitectureworkshop
Tim Panturanian New Style of Architecture haha- @melisaakma @arlynkeizia and friends @muiz5129
.
Photo oleh @_yophrm
.
#realricharchitectureworkshop #dotworkshop #arsitekindonesia #arsitekjakarta #jakarta #indonesia

Kategori
blog

House Warming – Willy, Cindy and family


Hari ini adalah hari house warming, rumah milik Willy, Cindy dan family. Rumah ini tidak lepas dari bagaimana duo Willy – Cindy yang mengatur rumahnya sedemikian intensif, dan semangat, jadinya saya ikutan semangat. Dulu arsitek Frank llyod Wright yang mendesain rumah kliennya Frederick Robby menyebut rumah kliennya “Robbie house” karena permintaan kliennya yang intensif, ingin rumah dengan kantilever atap mendatar yang panjang, taman internal, dan proporsi yang efisien sekaligus manusiawi. Lahirlah style prairie, memang arsitek tidak bisa lepas dari kehidupan kliennya. Desainer utamanya sebenarnya adalah sang klien lol.
.
Dari guyonan rumah kotak – kotak yang menurut Willy membosankan satu waktu, lahirlah bentuk yang teradaptasi dari bentuk lahan, sinar matahari, balkon, dan usaha mencari bayang – bayang. Ada bentuk yang mengerucut dibalik bentuk planar, dibalik dua gaya berbeda antara dalam dan luar ada kontras yang sekali jalan, ada kesederhanaan, perasaan nyaman. Saya suka tantangan, dan menantang terus apa yang klien kami mimpikan.
.
Sebuah gaya arsitektur adalah milik masa lalu, dan kehidupan masa kini dibalik bayang – bayang rumah tinggal, hidup sebuah keluarga beserta mimpi, masa kini, dan harapan untuk masa depannya yang unik. Uniknya rumah ini memiliki lapangan bulu tangkis di atasnya dengan desain struktur pelana, dan kolam renang, anak – anak senang sekali disini, sampai lupa bermain gadget kata Willy. kalau disini desain kepalanya adalah Cindy saya bilang, dan super bos besarnya adalah Willy. Saya berkelakar karena hal guyon seperti ini sehat untuk menempatkan prioritas bahwa klien adalah penting, dan usaha melayani itu adalah pancaran untuk proyek – proyek selanjutnya yang terus mengalir, dalam masa depan cerah yang dirangkai sambil guyon2, mbuncit.
.
@willywinarta @clovamelia
.
@realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Who Am I ?

Kawan baru saya ini namanya Eko, menurut saya dia adalah pejuang, terus bergerak di ranah – ranah keterbatasan ekosistem arsitektur sekitar dia. Dari mailing list AMI jaman 2000 sampai awal era facebook, ia memperhatikan dan menyenangi berbagi ilmu pengetahuan. Ia juga memiliki keahlian mensketsa, dan melakukan observasi arsitektur, seperti urban desain sampai ke arsitektur vernakular. Ia adalah orang yang memiliki talenta dan kalau diskusi bisa panjang, mbeleber kemana – mana, berjilid – jilid. lol

Mungkin sama seperti saya yang senang bercerita. Kami bertemu tidak sengaja setelah bertukar pesan online. Di dalam arsitektur saya berdiskusi dengan Eko mengenai fokus ini bisa dibentuk melaluipengetahuan dasar – dasar presentasi untuk mahasiswa. Dasar ini perlu dibentuk melalui dasar pengetahuan yang tidak autodidak, tapi runtun satu persatu. Mulai dari mengenali garis tangan, motorik tangan, kemampuan mensketsa dengan berbagai macam media. Media di dalam arsitektur bisa dimulai dari pensil, ballpoint, drawing pen, copic, cat air, cat akrilik, dan banyak sekali media digital yang bisa dipergunakan.

Semoga ada ilmu yang bisa dibagikan dari dirinya untuk para mahasiswa baru yang muncul dari talenta beliau. Hal ini bisa menjembatani arsitektur dengan proses gerak tangan, motorik, keahlian menggambar yang harmoni selaras dengan pikiran arsitektural yang semakin lama semakin dalam dan menyenangkan.
terus berkarya mas bro, dan tetaplah gelisah, galau, dan terus berwacana sambil guyon – guyon.

Menurut psikolog Rosen, otak kita tidak kapabel untuk melakukan multi task tapi otak bekerja dengan fokus dengan singkat yang dilakukan dengan pelatihan yang dalam. Ia melalukan studi dengan adanya social media fokus menjadi turun drastis per 3 menit, dan di menit ke delapan dan sembilan banyak orang membuka lebih banyak jendela di browsernya, dan distraksi yang paling buruk terjadi. Melatih diri untuk mengerjakan sesuatu lebih dalam dan lama akan membantu proses fokus yang terjadi.

Menariknya keterputusan antara kemampuan motorik dan kemampuan pikiran menangkap dan mengolah informasi menjadi penting sekarang di era sosial media. Saya ingat kuliah yang saya tonton dibawakan oleh Larry Rosen menjelaskan bahwa multitasking digital memiliki pengaruh terhadap kinerja kognitif (proses berpikir), terutama pada generasi muda. Salah satu karyanya yang terkenal adalah buku “iDisorder: Understanding Our Obsession with Technology and Overcoming Its Hold on Us” yang menyelidiki bagaimana penggunaan teknologi digital, termasuk media sosial, dapat memengaruhi gangguan kognitif dan emosional pada individu menjadi short tempered, ketidak sabaran, ketidak fokusan, dan bergantung pada alat – alat yang mengurangi proses berpikir substansial. Hal ini ditambahkan oleh Dr. Adam Gazzaley, seorang profesor neurologi di University of California, San Francisco, bahwa gangguan dan multitasking teknologi digital dapat memengaruhi rendahnya kinerja kognitif sekaligus kemampuan menyimpan memori.

Ia menambahkan “People have now become so dependent on their BlackBerrys, iPads, smartphones, and suchlike gadgets, if they are parted from their apparatus, if they can’t check e-mails every ten seconds or scan the internet’s 30 billion images, they experience ‘chest pain, heart palpitations, shortness of breath, or dizziness’.”

Menariknya ini adalah tentang kegelisahan menemukan siapa diriku (who am i?) dan kesulitan empati di dunia nyata/ Offline, seakan – akan kita semua tertarik dalam dunia online, tetapi pada kenyataannya tidak hanya di online, dunia offline juga kedua sama2 penting.

Kategori
blog

“The Guild” – Reborn


Awal tahun baru 2024 ini kami rayakan dengan bangga dicetaknya kembali buku “The Guild” setelah habis cetak berkali-kali. Pada cetakan kali ini, kami menghadirkan buku ini dengan cover yang baru, berwarna, dan dengan pengantar berisi foto The Guild saat ini, serta editorial yang baru.

Buku “The Guild”, berisi cerita awal tentang arsitektur dari bangunan Guha The Guild. Cerita awal dari 1001 cerita Guha serta 1001 pintu dan 1001 tekstur yang pernah teman-teman lihat sebelumnya dalam IG kami terdapat dalam buku ini. Teman-teman dapat menemukan banyaknya cerita yang melatarbelakangi Guha, pintu-pintu unik dengan material dan cara buka yang berbeda-beda, serta tekstur beragam yang menyusun setiap ekosistem Guha dalam buku ini.

Buku “The Guild” adalah buku kedua setelah Buku #1 Alpha: Never Ending Dialogue in Architecture yang diterbitkan tahun 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang serta menyusun kolase dari buku “The Guild” yang sebelumnya diterbitkan dalam bentuk hitam-putih. Setelah melihat ulang konteks The Guild, kami menyusun buku ini kembali dalam cerita arsitekturnya yang sekarang. Kami berharap teman-teman senang untuk membacanya dan dapat mengenal Guha lebih dalam lagi.

Pre order buku “The Guild” dapat dipesan melalui link: bit.ly/OrderOMAH atau hubungi Putri(WA) +62 81517970213

@rawarchitecture_best
@anashiday
@realricharchitectureworkshop
@dot_workshop
@guhatheguild

#omahlibrary#rumaharsitekturindonesia#guhatheguild#architectureproject#architecturestudio#bukuOMAHLibrary#tangerang#jakarta#indonesia

Kategori
blog

01 januari 2024 Cakrawala Baru yang Terberkati


Untuk banyak orang perjalanan hidup itu berjalan begitu saja, ada juga yang berjalan penuh pemaknaan. Untuk saya perjalanan hidup ini adalah perjalanan keseharian yang saya syukuri karena kehadiran orang yang saya cintai, Laurensia, anak-anak kami, keluarga besar, tim studio RAW DOT Omah yang sudah seperti keluarga saya sendiri, juga terutama almarhum ayah saya yang saya selalu rindukan.
.
Tahun ini adalah tahun yang tidak mudah untuk kami semua yang masih mengukir proses berkarya yang penuh tanda tanya dari mempertanyakan batas, seberapa jauh menempa diri, seberapa jauh melayani, seberapa jauh mau terus belajar. Anak2 studio RAW dan DOT pun muncul dengan keceriaannya, mulai dari karakter yang berbeda – beda dari tim yang berbeda – beda, dari tim cinta sampai tim lapangan yang solid, cinta, keras, lembut, dan air mata berbagai macam rupa pada arsitektur digelorakan setiap hari membentuk ekosistem Guha.
.
Banyak anak2 di Omah Library memberikan hatinya untuk membantu saya terutama dalam memberikan refleksi tulisan, verbal, diskusi. Arlyn, Hanifah, Ime, Lulu menuliskan di dalam salah satu manuskrip buku badut yang sedang dipersiapkan yang membuat saya menyadari bahwa mereka sedemikian penting untuk pertumbuhan kita semua.
.
“Bagi kami proses perjalanan … bagaikan badut yang mengendarai sepeda roda satu di tengah-tengah sirkus. Sepeda itu harus dikayuh dengan segala ketenangan dan keseimbangan untuk melalui segala rintangan tanpa gagal, dan tampil profesional di hadapan para penonton yang datang mencari hiburan….Proses pelatihan diri yang panjang, jatuh bangun, dan tumpah darah seorang badut di belakang layar, seakan tertutup dengan segala tarian dan pertunjukannya di depan layar. Senyum dan ketenangan diri …seakan menutup rapat seluruh kesulitan, kesedihan, dan keluh kesahnya.”
.
Satu saat di Cileunyi, di satu pojok studio seni murni, Yanas satu seniman yang saya kenal menyebut dialog ini Cakrawala yang Terberkati. Proses itu muncul dari niat baik semesta melalui perantara manusia – manusia yang saling memberkati satu dengan yang lain.
.
Selamat datang cakrawala terberkati 2024 dan puji syukur 2023.

Kategori
blog

Morning at “Lumintu” Home

Morning at lumintu home with simple inspirations like plants, nature, and architecture. Have a great coffee, great time, laughters with trial on the piano ❤️Enjoy it so much to start the day.
.
Rumah ini dibangun dalam waktu tidak singkat, penuh dengan iterasi, eksperimen, dan proses mendengarkan dan juga melakukan. Relasi hubungan klien dan arsitek memang tidak pernah sederhana. Ia berlanjut, bertransformasi, menyamakan hati yang dimulai dari proses saling mendengarkan. Ego dan penemuan keakuan kemudian muncul dari relasi intensif keduanya.

Disitulah dalam proses tawa dan bahagia orang – orang yang menghuni, ada harapan untuk masa depan, dan masa lalu yang selalu jadi kenangan manis bersama. Oleh karena itu saya selalu suka dengan proyek rumah tinggal, ia personal, tetapi juga penuh pergolakan, keduanya memberikan energi yang terus bergerak maju, mendefinisikan dirinya, dalam kehati – hatian, kesehatian, hati itu nampak dan bersinar cerah dan semakin cerah bercahaya seperti masa depan, sebuah keyakinan yang menjadi kenyataan.
.
Great friends, great clients @setianrubianto@marphing76
.
Project by @realricharchitectureworkshop
.
#realricharchitectureworkshop
#dotworkshop#jakarta#indonesia#arsitekindonesia#arsitekjakarta

Kategori
blog

Merry Christmas – 2023

Merry Christmas ya untuk semua saudara – saudara ku yang merayakan dan selamat berlibur dari kami sekeluarga di balik teduhnya bumi dan indah seisinya, air, dan udara yang melingkupi kita semua.

Semoga berkat Tuhan memberkati rekan – rekan semua. Natal kali inj menjadi refleksi dan keteduhan tersendiri di balik banyak kesedihan, problem, bencana di dunia. Kita semua diberkati dengan menikmati surga kecil di keluarga kita masing – masing, dengan selalu bersyukur akan nikmat Tuhan yang diberikan oleh semesta.

Kategori
blog

Architecture is Like Art of WAR

In this calm Sunday, I have bit of time to write and reflect on struggle and surviving. I met Gary few years ago in covid time, we talked so much about life as an architect how to survive, and he coined from our discussion that how me and my team survive in architecture is like art of war. I think it’s not about me on surviving but us together are surviving, and it’s not an easy process.
.
He started his journey again now back in Malaysia and has published one unique book titled an effortless and gave it to me. I think he has quest to find language beyond architecture that language bridges others element that could be bogus, fake, persona. He has concern image culture as copy and past, and quest to be frugal, finding locality, organic approach.

This method is not new, even it is condemned to be outdated but i like it even-though it’s not efficient somehow but it’s fun and pleasure as it touch humanity. Like the culture of information technology drive us to be more commercial, more global, following certain standard. This attitude will form passion resilience and adaptive of setting the contextual practice.

I know several friends like Gary are doing this kinda praxis, they are realistic and tough warrior. In the past they are warriors that fighting for architecture , CIAM has done theirs, team X, has done theirs, metabolism has done theirs. Some of the seniors, juniors and colleagues in my ecosystem has also done theirs, I have done mine. And now he is fighting on him. It should look on effortless if you do it with joy, but to do it, it will take you blood and tears. It glimpse of hope, things that is personal that resonates from the poet from he wrote in the book.

By reading his book, I always admire people who start write their thoughts at the beginning of the journey, because it cut through beyond images, beyond persona, and show true self, a honesty to be friend for. It is a treasure for me in this era of information, ai, and technology, there is time for cup of coffee and deep talk with friend.
.
Home coming brother Gary.
.
@garyeow@xyz_projects@guhatheguild
#guhatheguild#garyyeow#realrichsjarief

Kategori
blog

Hugo Bioclimatic Home

Hugo Bioclimatic Home berlokasi di Bintaro. Rumah ini memiliki kesan sederhana, dengan pohon randu putih didepannya. Material beton ekspos berwarna abu-abu memberikan kesan “un-finished” pada bangunan, serta kesan “under-stated beauty” melalui jendela lengkung menyerupai gua.

Rumah ini terdiri dari 4 lantai, di lantai dasar terdapat program ruang service pada sisi kanan, carport dan kolam renang pada sisi depan, ditengah rumah terdapat ruang makan dan dapur bersih. Di lantai pertama setelah menaiki tangga, penghuni langsung dapat mengakses ruang tamu dan ruang makan, dapur, dan tangga di sisi kanan. Pada lantai dua susunan program ruang semakin padat dengan adanya hobby room, foyer, beberapa kamar dan kamar utama yang dilengkapi dengan kamar mandi. Ketiga lantai ini dikoneksikan dengan atrium dan void ditengah-tengah.

Rumah ini sendiri memiliki dua akses, akses pertama merupakan akses service yang terdapat di sisi kanan rumah, sedangkan di sisi kiri terdapat akses utama yang memutar dan dikelilingi taman yang terkoneksi dengan kolam renang dan atrium. Rumah ini dirancang tidak menempel dinding tetangga pada sisi utara dan barat laut, hingga membentuk segitiga yang ditujukan untuk menciptakan mikro climate.

Rumah ini juga dilengkapi dengan ruang kantor untuk klien kami yang memiliki kesibukan dan sering bekerja dari rumah. Pada lantai teratas terdapat area dengan atap transparan yang digunakan untuk menjamu tamu dan area gym.

Pada sore hari, sinar matahari dari sisi barat menyinari area kolam renang, atrium, ruang gym, ruang tamu lantai atas, dan membingkai bayangan di dalam kamar dengan jendela bulat. Selain warna materialnya yang berwarna abu-abu memberikan kesan dingin, rumah ini juga memberikan suasana hangat dengan memberi akses sinar matahari.

Selain merespon cahaya matahari, rumah ini juga dilengkapi dengan resapan air yang kemudian digunakan lagi untuk penyiraman tanaman.

@rawarchitecture_best@hugodiba@realricharchitectureworkshop

Best 📸 @luil_mn@_yophrm
Further credit check on bio

#HugoBioclimaticHome#bioclimatichome#RAWfinished#realricharchitectureworkshop#home#architecture#details#architectureproject#Bintaro#Jakarta#Indonesia

Kategori
blog

Studio Culture

Bagi saya, studio kami adalah tempat yang menghubungkan imajinasi dan realitas, sebuah tempat dimana impian klien dapat terealisasi. Studio ini merupakan tempat visioner dimana kami dapat mengeksplorasi kreativitas, mendorong inovasi, dan memastikan setiap proyek mencerminkan visi klien.

Salah satu culture yang sering studio kami lakukan adalah duduk melingkar bersama. Kami saling berdiskusi dan menggali ide yang potensial dari setiap individu yang terlibat dalam pengejaan desain proyek. Tidak hanya memudahkan untuk berdiskusi, duduk melingkar juga sebuah simbol, tanggung jawab dan proses panjang dari kolaborasi di dalam praktik, di mana ide-ide bermunculan dan suara setiap individu dihargai.

Budaya studio ini mendorong inovasi, mendukung apa yang baik, dan memastikan setiap proyek mencerminkan visi klien dan kemampuan kami. Hal ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Taliesin yang dipimpin Frank Lloyd Wright. Taliesin adalah sebuah laboratorium kreatif, di mana kolaborasi erat antara Wright, staf, dan orang yang magang di dalamnya memperluas batas-batas desain “beyond architecture” seperti desain lansekap, produk, arsitektur, workshop, dan standar gambar.

Hal ini dengan sederhana terlihat dari luar, seperti penggunaan jubah oleh Wright dan anggota studio lainnya di Taliesin. Mencerminkan gaya hidup yang terkait dengan filosofi desain dan budaya yang ditanamkannya. Penggunaan jubah tersebut sejalan dengan apa yang Galinsky teliti tentang bagaimana pakaian membangun keyakinan individu melalui hal disebut sebagai “pakaian yang kuat dan berpengaruh (powerful)”. Berdasarkan penelitian, penggunaan seragam profesional dapat meningkatkan kepercayaan diri individu dalam menyelesaikan tugas yang memerlukan perhatian terhadap detail. Dari hal sederhana dan keseharian, kita bisa melihat bagaimana studio arsitektur dibentuk. Psikolog sosial seperti Kurt Lewin pun memberikan pemahaman bagaimana perubahan lingkungan kerja dapat memengaruhi perilaku dan interaksi antar individu.

@realricharchitectureworkshop
@dot_workshop
@guhatheguild

#realrichsjarief#realricharchitectureworkshop#DOTworkshop#guhatheguild#architecturestudio#studioculture#jakarta#indonesia

Kategori
blog

Nizamia Andalusia Collective Cave

Sekolah Nizamia Andalusia

Kali ini saya menulis tentang sekolah Nizamia di hari Sabtu, sembari liburan dan reflektif singkat bersama Miracle, Heaven, dan Laurensia.

Sekolah Nizamia, berlokasi di Jakarta Timur. Proyek ini dirancang dengan desain retrofit yang menggunakan struktur eksisting sebagai landasan utama. Desain dari sekolah Nizamia ini terinspirasi dari bentuk gua. Mulai dari kesan struktur alami gua, dengan tekstur dan material khasnya, menginspirasi kami dalam memilih material dan tekstur dalam desain ruang kelas sampai ruang baca kecil. Implementasi struktur gua dalam bangunan seakan membentuk “kota dalam kota”, yang menghadirkan serangkaian makna seperti cerita Seribu Satu Malam.

Ketika pertama kali memasuki sekolah ini, anak-anak langsung disambut dengan amphitheater melengkung sebagai ruang komunal, yang dilengkapi dengan ruang doa bersama dan kantin. Penempatan ruang komunal dibagian depan ditujukan sebagai sarana bersosialisasi anak-anak di sekolah Nizamia.

Tidak hanya dari penggunaan material dan tekstur pada gua. Sisi alami pencahayaan dalam gua pun kami coba implementasikan di proyek ini. Penggunaan pencahayaan aktif dalam sekolah, juga ditunjang dengan pencahayaan pasif melalui cahaya matahari. Setiap ruang di dalam sekolah ini dirancang untuk mendapatkan cahaya matahari. Hal tersebut ditujukan untuk memfokuskan penerangan dalam mendukung proses beraktivitas dan pembelajaran di dalam maupun luar kelas. Kami mendiskusikan sketsa dan konsep dan Ini adalah konsep yang didiskusikan dimana di dalamnya ada perubahan, adjustment, dan pentahapan intensif yang dipimpin langsung oleh owner dan tim konstruksi di tahap – tahap selanjutnya.

Have a nice monday

@nizamiaandalusia@realricharchitectureworkshop

My super duper lovely dreamteam @andriiyansyahmr@melisaakma@rrianditaa , @meizzh_ , @tyoadngrh , @almujaddidi@chairunnisabels@angelkusumaa

Best 📸 @_yophrm | @realricharchitectureworkshop

#nizamiaandalusia#collectivecave#RAWongoing#realricharchitectureworkshop#school#architecture#details#architectureproject#jakarta#indonesia

Kategori
blog

Dialog Arsitektur: Kebersamaan dalam Kecintaan, Refleksi bersama Michael van Bergen?

Satu kawan saya ini namanya @michaelvanbergen, seorang arsitek dari Belanda datang kira-kira dari satu tahun yang lalu ke GUHA dan penasaran dengan apa yang ada disekitar kami. Kami berdiskusi sangat panjang dari hal-hal yang personal sampai hal-hal yang sifatnya kecintaan kami pada arsitektur. Thesisnya mengangkat tema “Architecture for the Dead”, tentang sebuah hal yang transendental yang dimana kehidupan ini dimaksudkan untuk memberikan yang terbaik untuk arsitektur itu sendiri. Saya melihat hal ini jarang terjadi diantar teman-teman saya yang ada di belahan dunia bagian barat, pembicaraan seperti ini jarang terjadi. Saya teringat pembicaraan dengan para guru-guru yang ada di Indonesia hal itu justru sering dibicarakan, tentang hidup dan mati, tentang passion, juga kecintaan pada arsitektur. Dari situ saya tau bahwa ia sedang mencari sesuatu.Saya mendapat kabar bahwa ia mendapat “Best Instalation” di BDD (Bintaro Design Distric), saya mengucapkan congratulation, hasil kerjakerasnya datang ke Indonesia dengan menggunakan modal pribadi untuk membiayai seluruh instalasi dan menunjukkan eksistensinya, kecintaannya pada arsitektur patut diacungi jempol. Saya sendiri melihat dan mengamati, dari situ saya melihat bahwa instalasi yang dia buat memang layak, instalasi ruang yang sederhana, proses pembuatannya yang begitu sulit, seperti rajutan tulangan bambu yang ditumpuk dengan tanah liat yang dilemparkan ke dinding bedeng, dia sendiri juga ikut dalam proses pembangunannya. Paviliunnya dibangun hanya dalam beberapa hari saja, pada waktu dia datang ke Jakartapun juga paviliun itu belum dimulai, dan dia mendorong supaya dalam prosesnya bisa bekerjasama dengan ketukangan lokal. Hal ini tidak terlepas dari pertemanannya juga dengan mas @budi.pradono_real banyak memberikan influence ke Michael, jadi ini memang sebuah kerja-kerja yang luar biasa untuk ekosistem arsitektur di Indonesia, congratulation semua curator BDD, ada mas @andramatin, mas @budi.pradono_real, @dnnywcksn, dan juga Hermawan Tanzil.

Di lain itu, kita sendiri juga punya janji untuk bisa jalan-jalan bersama ke sebuah karya arsitektur yang luar biasa. Michael menemukan kerang yang namanya Holy Shell, pertumbuhan kerang ini setiap 1cm pertumbuhannya membutuhkan waktu 1 tahun, lebarnya kira-kira satu meter. Jadi kerang ini sudah berusia 1 tahun dan sebenarnya dia dari daerah eropa yang tersapu sampai ke Indonesia dan ada di sebuah tempat sampah.

Michael menemukan itu dan menelfon saya “Realrich i have a present for you”, dia menemukannya di tempat sampah. Saya ingat Paul Velery dan Le Corbusier, sebuah dialog yang ada dibuku Eupalinos bahwa ada seorang arsitek menemukan sebuah poetic object kemudian membawanya pulang, ia kemudian mempelajarinya, dan terjadilah hal yang luar biasa. Seorang filosofer menemukan poetic object, mengapresi, dan kemudian membuangnya.

Dari Michael saya jadi tau bahwa ada seorang arsitek yang bernama Sigurd Lewerentz, sekarang diletakkan di sebuah wadah air suci didalam sebuah gereja. Itu menandakan fasenya didalam berpraktik, ia memulai praktik sebagai seseorang yang percaya pada datum, ritme, dan sifatnya adalah sebuah pendekatan yang klasik. Tapi didalam perjalanannya seseorang bisa berubah, dan kemudian ia menemukan dasar-dasar klasikisme dan kemudian mereduksinya dalam sebuah pergerakan yang namanya critical modernism.

Ia adalah orang yang ada di peri-feri, dizaman itu ada Adolf Loos, Le Corbusier, ada Alvar Aalto, dimana mereka tidak ada ditengah-tengah keramaian, tapi mereka ada di pinggir. Nah menurut saya itulah esensinya, jadi memang perjuangan menjadi arsitek itu transformasional, jadi tergantung dari pemahaman masing-masing.

Kerang ini melambangkan bagaimana sesuatu yang sifatnya pengetahuan atau episteme itu bisa membuat apresiasi kita terhadap sebuah things itu didalam tingkatan yang berbeda dari sebelumnya dan yang sekarang saya lihat itu menjadi begitu berharganya, karena ada sebuah perjuangan dari seorang Sigurd Lewerentz. Dan Michael membawakan itu jauh-jauh dari Belanda ke GUHA, didalam sebuah pengetahuan we’re brothers.

Saya seseorang yang sangat mengapresiasi dari timbunan dan sampah, sama seperti kita semua dalam hidup. Saya sendiri juga banyak kesulitannya dan kadang-kadang merasa ada didalam ditumbunan sampah, tapi begitu kita memahami bahwa sampah itu juga berharga, bahwa didalam timbunan itu ada sesuatu yang berharga, dan itu menurut saya adalah sebuah kecintaan didalam hidup, terutama di arsitektur. Didalam sebuah pressure berpraktik di Jakarta, di Indonesia, itu tidak mudah, dan apresiasi tidak hanya di arsitektur, tetapi didalam dunia kita semua sama-sama berjuang.

Mungkin suatu saat kita akan bertemu lagi didalam sebuah semangat kekerabatan dan persaudaraan yang kita rajut bersama. Sampai bertemu kembali.

Kategori
blog

November Ceria

Culture Di studio kami yang salah satunya ada gathering bulanan, acara yang kami tunggu-tunggu setiap bulannya, karena mengusung tema yang berbeda-beda, tema bulan November ini adalah hari pahlawan, teman-teman antusias menyiapkan kostum-kostum yang merepresentasikan tema tersebut. Di bulan November ada begitu banyak juga teman-teman luar biasa di studio kami yang berulang tahun, seperti @tyoadngrh@zikrirahardian@khunmey_@miraclerichsjarief, dan @aldiandwiputra886, mereka adalah orang-orang yang sudah berkontribusi untuk ekosistem yang ada di Guha, dari studio desain, OMAH Library, sampai keluarga kecil saya sendiri, Miracle.

Di Guha ada begitu banyak generasi muncul, dari keempat orang ini kita berharap bahwa budaya untuk saling menyemangati, saling mendo’akan, dan saling bersyukur tentang apa yang sudah kita jalani setiap harinya menjadi lebih penting.

Kami bersyukur bahwa hari ini di Guha adalah hari dimana kita bisa menikmati makan sederhana tetapi enak bersama, dengan menu yang dibuat oleh kakaknya Laurensia Yudith, ada cumi hitam, nasi kuning, es cendol durian, dan juga sate padang.

Acara ini menjadi puji syukur kami untuk merayakan moment berulang tahun, momen kostum terbaik yang bulan ini dimenangkan oleh Riyan dengan effort yang luar biasa untuk menjadi hanoman. Ada perayaan kelulusan masa probation bagi para tim dan mereka menyanyikan lagu “Tanah Airku” versi mereka sendiri (Nanti kita akan bagi di postingan selanjutnya ya).

Selain itu, diacara ini juga ada kejutan untuk teman-teman semua. Dimana mereka mendapatkan tambahan cuti 2 hari dalam satu tahun khusus untuk “Dating leave / cuti cinta”. Karena kehidupan diarsitektur begitu intensive, waktu untuk hal personal menjadi sangat penting, dan kami di sini mendukung teman-teman untuk memiliki waktu luang personalnya.

Kami di Guha benar-benar bersyukur mendapatkan teman-teman yang mewarnai keanekaragaman di Guha dan menjadikan cikal-bakal arsitektur Indonesia yang lebih majemuk dan menjanjikan.

Dari acara ini kita saling belajar, mendukung, dan mendo’akan satu sama lain, karena kita tidak pernah tahu sampai mana batas setiap orang.
.
Dari @tyoadngrh, orang yang sudah banyak berkontribusi terhadap proyek-proyek di RAW, sampai bagaimana skill komunikasi yang baik dapat membawakan proyek dengan baik.
.
Dari @khunmey_, disini ia belajar bagaimana ia bisa menggawangi tim penulisan dengan sangat baik, dengan merajut narasi-narasi yang juga memiliki pengaruh ke studio sampai saat ini. Ime juga menggawangi divisi riset yang ada di studio penulisan OMAH.
.
Dari @aldiandwiputra886 kita bisa melihat bahwa hampir 99% dari semua testimoni yang ada, orang-orang yang berkunjung menyukai apa yang ada di OMAH Library, servicenya yang baik dan penuh hospitality. Aldian adalah garda terdepan kami di OMAH Library.
.
Dari @zikrirahardian kita bisa melihat kesabarannya didalam berproses, baru-baru ini ia berhasil lulus masa probationnya. Disini dia belajar bekerja secara tim dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya dengan baik.
.
Dari @miraclerichsjarief kita bisa mengetahui bagaimana seorang anak dengan tiga mimpinya yang luar biasa, seperti ingin mengikuti lari maraton, ingin bertanding di olympic seperti role models nya dibidang renang, basket, senam, dan juga mimpinya untuk bisa ke antariksa dan menyelam ke laut dalam. Hal-hal itu menyadarkan kita bahwa anak-anak memang memiliki dimensi imajinatif yang tidak terbatas.

Kategori
blog

Selamat Ulang Tahun Miraclerich

Selamat Ulang Tahun Miraclerich

Miracle kini berusia 9 tahun. Usia 9 merupakan usia kritis di mana pengulangan sikap dapat berubah menjadi kebiasaan dan karakter. Miracle merupakan anak yang ceria dan berpikiran terbuka, tetapi ia membutuhkan pelatihan fokus yang baik. Saya berpikir bahwa setiap anak memiliki keistimewaan masing-masing. Akan tetapi, dalam setiap pendidikan anak, ada benang merah yang sama. Lingkungan keluarga menjadi sangat penting untuk mendukung keutuhan pola pikir mengenai hidup sebagai sebuah penyatuan, bukan perpecahan.

Di dalam proses perkembangan anak, ada sebuah jiwa yang murni. Orang tua setidaknya diharapkan dapat memberikan kenyamanan dan juga tuntunan, karena pada dasarnya, anak adalah titipan.

Saat ini, Miracle sudah cukup lancar bermain drum. Ia akan segera tampil di dalam sebuah acara pada bulan Desember ini. Ia sebenarnya berkeinginan untuk bisa memainkan berbagai alat musik. Akan tetapi, keinginannya belajar bermain gitar untuk sementara harus diurungkan karena memang tangannya belum kuat. Jari-jemarinya membutuhkan pelatihan otot agar bisa menekan senar dengan baik. Meski demikian, ia tidak menyerah untuk mengejar mimpi-mimpinya. Kali ini dimulai dari drum, dilanjutkan mungkin dengan gitar jika tangannya sudah lebih kuat, lalu piano, suling, hingga biola.

Mimpi anak-anak mungkin terlihat berlebihan. Namun, bagi saya, mimpi adalah hal yang perlu dicoba melalui pelatihan yang beragam. Pelatihan yang beragam tidaklah mudah bagi kami, orang dewasa, yang mungkin pikirannya sudah lebih tidak beragam. Atau mungkin, kita yang justru memiliki keinginan tanpa bertanya apa yang sebenarnya diinginkan sang anak.

Bagi saya, pelatihan beragam harus dimulai dari orang tua yang berusaha mengerti bahwa sang anak memiliki kemauan. Miracle ingin bisa bermain alat musik. Di samping itu, dia juga banyak bertanya mengenai beberapa olahraga yang mungkin bisa dia mainkan. Kami hanya mencoba mengarahkan dengan menjelaskan bahwa ada olahraga yang bersifat tim dan individu. Dari sana, ia menemukan ketertarikannya sendiri dan mencoba-coba bermain, mulai dari badminton, basket, sepak bola, hingga gymmnastic.

Bagi kami, orang tuanya, tidak masalah apabila anak masih mencoba bereksplorasi. Penajaman yang sebenarnya akan terjadi pada saat ia menetapkan pilihannya nanti. Usia 9-nya bagi kami adalah sebuah pondasi dasar untuk dia menjalani hidup yang beragam, menjalani kebahagiaannya.

Kami harap di balik semua kelebihan dan kekurangan yang ia miliki, ia bisa merasa bahagia dan mengeksplorasi dunia yang lebih banyak dan lebih besar dari kami-kami yang sudah dewasa ini.

Selamat ulang tahun Miraclerich, semoga dirimu menjadi berkat bagi banyak orang, seperti namamu yang menjadi do’a bagi kami orang tuamu.

Kategori
blog

Green Garden Bioclimatic Home

Kira-kira 2 atau 3 tahun yang lalu saya bertemu dengan Eric dan Rani yang ingin dibuatkan sebuah rumah. Site mereka terletak di Green Garden yang merupakan daerah perumahan di Jakarta Barat. Daerahnya padat, dari tahun 1998 memang fungsinya sebagai perumahan. Jadi, banyak orang tua hingga beberapa generasi setelahnya memang tinggal di sana. Ada sebagian orang yang pindah dari sana ke daerah yang lebih perimeter, dan ada juga beberapa keluarga muda yang tetap tinggal di sana supaya bisa dekat dengan orang tua mereka.

Green Garden juga merupakan perumahan yang didesain untuk memudahkan akses ke beberapa sentra niaga. Komplek ini berada di Jalan Panjang dan Jalan Daan Mogot, persilang inilah yang merupakan jalur utama yang terhubung langsung dengan jalan besar di Jakarta. Dari jalan-jalan di Green Garden kita bisa menembus ke arah Jakarta Kota, ke Kota Tua, sampai ke daerah bagian selatan. Dari barat, ke tengah, ke selatan, sampai ke utara. Jadi, lokasi ini ada di urat nadi utama dengan jarak yang tidak jauh dari pusat Kota Jakarta.

Rumah Eric dan Rani menghadap ke selatan. Masuk ke gerbang terlihat carport dengan backgroud fasad perforated yang melengkung. Melihat ke kiri pada bagian entrance rumah ini terdapat ramp sebagai usaha agar orang tuanya merasa nyaman tinggal bersama mereka. Daerah service diletakkan di sisi kanan, supaya asisten mereka bisa mendapatkan ruang pribadi mereka sendiri dan tidak tercampur dengan ruang keluarga.

Mereka hidup di lingkungan keluarga yang saling mendukung & saya melihat bahwa rumah yang cocok dengan mereka adalah rumah yang berpusat pada living room, dari ruang living room disambung oleh skylight dan taman atau ruang terbuka yang dikelilingi oleh ruang bermain anak dan orang tua. Di tengah-tengah rumah ini terdapat skylight, sebagai penanda bahwa inilah magnum opus, sebuah master piece dari sebuah keluarga adalah ruang keluarga. Daerah ruang keluarga di sini dibatasi oleh ruang privasi yang berhadapan dengan tangga. Dinding tangga diberi bukaan kaca lebar supaya cahaya bisa mmasuk kedalam, sebagai sence of privacy dengan cara dibalik 90 derajat kita mendapatkan efisisensi ruangan yang baik.

Tiba di lantai atas, langsung ada selasar yang menghubungkan master bedroom dengan 2 kamar anak mereka, supaya mereka bisa terus menerus berinteraksi. Ruang belajar bersama diletakkan di depan untuk mengakomodasi kebisingan, supaya sisi lapisan yang terdalam bisa mendapatkan suasana yang lebih nikmat. Roof garden di paling atas menjadi ruang bersama tempat bersenang-senang, olahraga, ataupun bersantai.

Fasad dan ruang-ruang di rumah ini menggunakan finishing expose yang sederhana dilengkapi dengan indirect lighting. Lantai marmer digunakan untuk memberikan perasaan permanen atau kesan ketetapan dalam urat batuan yang teratur. Dari depan terlihat bangunan ini memiliki fasad perforated yang melengkung-lengkung sebagai sebuah komposisi yang memulai nuansa feminim di balik sentuhan maskulin di belakangnya atau ruang-ruang di dalamnya.

Di awal-awal diskusi kami, saya menawarkan kurang lebih 3 opsi desain, dan opsi desain ini dipilih oleh sang istri. Hal tersebut menandakan bahwa interaksi suami dan istri sangatlah penting di dalam membentuk sebuah hunian yang merupakan kediaman yang ideal bagi keluarga ini. Dari awal sampai konstruksi, hingga proyek ini selesai pun, rumah ini menghadirkan warna-warni interaksi yang begitu kaya dan merupakan sebuah perjalanan yang tidak akan terlupakan.

#BioclimaticHome36

.
Current design team: Timbul Arianto, Agustin, Andriyansyah Muhammad Ramadhan, Putra Khairus Sidqi, Muhammad Zyadi, Gabriela Marcelina, Meizzhan Hady, Alya Hasna Rizky Riandita
Past design team: Alifian Kharisma, Alvyan Adi Saputra, Janice Williem
Structural Design: Anwar., M.T. (PT. Cipta Sukses)
Supervisor: Singgih Suryanto, Sudjatmiko, Muhammad Enoh + Team
📸 Lu’luil Ma’nun
.

#RAWongoing #home #details #bioclimatic #architecture #dezeen #archdaily #arsitekturindonesia

Kategori
blog

Condet Bioclimatic Home

Beberapa hari yang lalu kami berkunjung ke salah satu proyek kami di Condet. Saya ingat kira-kira tiga tahun yang lalu kami dihubungi oleh klien kami ini. Mereka sedang mencari seorang arsitek. Saya kemudian bertanya-tanya, “Apa yang sedang mereka cari?, Apa saja programnya?, Apa saja kebutuhan yang mereka perlukan?”

Mereka menginginkan rumah untuk satu keluarga, tiga kamar dengan biaya yang terbatas di Condet. Kawasan yang sangat menarik, karena disitu jalannya sempit & berliku-liku, seperti masuk gang ke gang, seperti tidak di kota besar di Jakarta. Hal ini menunjukkan kontradiksi yang terjadi di tengah pusat kota Jakarta sendiri, bahwa ada jalan yang besar, juga gang yang sempit.

Tantangan proyek ini adalah program ruang yang tidak terlalu besar di lahan yang besar. Kami mendesain massa yang sederhana, membentang ke arah utara & selatan, ditutupi oleh dinding bata yang berlubang-lubang & jendela dari bata, yang bisa dibuka tutup. Kolam renang diterapkan di sisi yang memanjang sebagai dasar pentahapan apabila mereka memiliki kebutuhan yang lain di masa depan.

Massa yang memanjang itu dipadukan untuk bisa menciptakan ruang terbuka yang memberikan kelegaan begitu keluarga, maupun pengunjung yang masuk. Begitu masuk ke pintu masuk, bisa dirasakan bahwa ruang keluarga itu adalah bagian dari dua buah landscape. Satu landscape yang merupakan sisi di depan pintu masuk bangunan. Sedangkan isi yang lebih kering, di sisi belakang, ditempatkan kolam renang, di sisi samping pohon kantil yang sudah besar.

BioclimaticHome35 ,


Design Team @realricharchitectureworkshop: Realrich Sjarief, Agustin (Meimei), Putra Khairus Sidqi, Sharfina Nur Dini, Pandu Nazarrusadi, Aqmarina Badzlin, and Alifian Kharisma.
Structural Design: Kevin Vindi
Supervisor : Singgih Suryanto+Team
Photograph by Aryo Phramudhito

RAWongoing #home #details #bioclimatic #architecture #dezeen #archdaily #arsitekturindonesia

Kategori
blog

Stupa House on ArchDaily

Kali ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada ArchDaily, terutama untuk kurator Hana Abdel Latif dan timnya, karena tidak mudah menjadi kurator untuk wadah yang sangat besar seperti ArchDaily, sebuah tempat untuk menyebarkan dan mendapatkan banyak masukan tentang apa yang sedang kami kerjakan di studio Realrich Architecture Workshop (RAW Architecture). kami tidak bisa membayangkan ada berapa banyak karya yang diajukan karena untuk memasukan sebuah karya tidaklah mudah.

Untuk mengajukan karya, kami perlu mengkaji ulang ketepatan gambar dan mengurasi foto-foto. Tindakan kurasi tersebut adalah tindakan untuk menyajikan data yang representatif di dalam proyek dengan begitu banyak orang terlibat dan bertanggung jawab. Saya sendiri sebagai pemimpin berusaha melihat sebuah proyek tidaklah singular dan tidaklah mudah untuk dikerjakan. Kerja-kerja yang dilakukan bertahun-tahun lamanya.

Kami ucapkan terima kasih pada banyak orang yang telah terlibat, seperti klien kami dan tim studio @joanaagustin, @erick.fei, @fianali, @miftah_jd, @damdafiq, @rifandisn, Damar dan juga nama-nama yang tidak bisa saya sebut satu per satu. Memang, arsitektur di media adalah kerja-kerja representasi. Mereka yang ada di proyek ini adalah representasi dari banyaknya orang yang menaruh harapan dan mimpinya, atau sesederhana mencari sesuap nasi untuk keseharian.

Rumah ini adalah representasi dari klien kami yang sederhana tetapi menginginkan banyak hal yang tetap. Mereka adalah orang yang rasional dan kritis. Rumah ini merefleksikan sebuah pesan bahwa hidup kami adalah untuk membahagiakan orang lain melalui gaya apapun yang bisa dilakukan sebagai arsitek, dari goresan tangan, konstruksi besi, dinding yang membungkus, sampai kaca yang menempel, udara yang mengalir, dan topi-topi berbentuk stupa.

Material-material yang digunakan adalah material yang tersedia, material yang biasa saja, tetapi ada yang tidak biasa. Yang tidak biasa adalah usaha untuk meresapi latar belakang apa yang mereka miliki: dari alam mimpi, keinginan-keinginan yang direduksi dan diamplifikasi, dari meterialitas hingga reka ruang rupa dan juga komunikasi yang terbangun.

The best photographer Ernest Theofilus (@ernesttheofilus)

#rawarchitecturepublication #stupahouse #bioclimatichome #ArchDaily

Kami sendiri di dalam kerja intensif, terkadang tercampur-baur segala rasa dari emosi, personal, dan operasi, kerja-kerja studio dan keluarga. Stupa di bangunan ini seperti topi, ia dikenakan sebagai pengingat bahwa salah satu tugas dasar manusia adalah untuk menghibur orang lain. Topi pada dasarnya adalah sebuah simbol bahwa kerja-kerja arsitektur, produk, dan proses selalu melibatkan orang lain dan niat untuk membahagiakan orang lain.

Dengan melihat bangunan ini, sebuah bangunan yang bertopi trapesium, dengan semua gaya ketukangan, gelap dan terang, bata dan besi, tanah dan udara, serta air yang turun dan meresap ke dalam tanah menegaskan bahwa satu bangunan bisa memberikan perubahan besar di dalam hidup orang lain, klien, tukang, engineer, desainer, ataupun saya sendiri. Stupa adalah sebuah perwujudan doa yang kami lakukan setiap hari di saat berjaga-jaga, dalam bicara dan perilaku kita. Penghayatan itu yang saya dapatkan dan saya resapi dari guru-guru yang luar biasa dalam arsitektur di Indonesia. Betapa kita semua diajarkan untuk menghayati arsitektur secara terus-menerus sampai posisi yang seimbang, damai, dan tentram. Kami baru menemukan kata tersebut dari teman kami, dan kata itu adalah “ikhlas”.

Stupa house adalah sebuah perjalanan didalam berdo’a. Berdo’a itu seperti kita kembali kepadaNya. Stupa berarti adalah sebuah wujud do’a, sebuah representasi dari gunung yang berubah menjadi arsitektur yang keseharian. Di ranah pribadi, di project-project yang sepeti rumah tinggal, merupakan sebuah gerakan arsitektural juga tercermin dari nama OMAH, yaitu sebuah gerakan untuk kembali pulang.

Gerakan merumah supaya arsitektur menjadi rumah dihati kita. Tidak selalu mendobrak terus dan tidak hanya menjadi baru, karena yang muda akan menjadi tua dan kita semua akan menua dan akan kembali pulang. Itulah arti stupa yang sangat personal untuk kami.

Kategori
blog lecture

Refleksi Hunian Layak dan Berkeadilan

Bagi saya kegiatan menulis, mendesain, dan sharing di tengah-tengah kesibukan menjadi penting sebagai wadah refleksi, Bagi saya refleksi merupakan catatan personal yang membuat saya dan team terus berkembang. Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 31 Oktober 2023, saya diberi kesempatan oleh Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan, DKI Jakarta untuk menyumbangkan beberapa pemikiran di Webinar Bicara Kota, dengan tema “Hunian Layak dan Berkeadilan. Disana saya bersama dengan kawan -kawan saya bu Hanna Meiria, Kamil Muhammad, Yu Sing, dan pak Ambia Kamil sebagai moderator kami.

Sesi-sesi diskusi menjadi menarik, karena dari mereka saya banyak belajar. Dari presentasi bu Hana, beliau menjelaskan bahwa perencanaan kota itu sifatnya inklusif dan punya banyak dinamika yang tidak mudah, tapi Jakarta terus bertransformasi dan membuka diri terhadap perubahan. Presentasi Kamil Muhammad menjelaskan being aktif is very important untuk menembus batas-batas sekat yang terjadi di Jakarta, bahwa didalam sejarah banyak sekat-sekat yang tercipta secara ekosistem, tinggal ada kemauan dari arsitek untuk bisa menembus batas. Dan presentasi Yusing menjelaskan bahwa prototype terus diperjuangkan, kekritisan perlu terus dibangun, dan usaha untuk merajut elemen-elemen teknik arsitektur kedalam sebuah kenyataan yang nyata terjadi itu menjadi suatu perjuangan hingga sekarang.

Saya sendiri mencoba menyumbangkan sudut pandang yang berbeda. Dari apa yang saya refleksikan, saya mencoba melihat dengan kacamata yang lebih luas, bahwa semua pihak di Jakarta itu perlu konsensus dari sebuah tim. Maka dari itu kita perlu berdiskusi intensif di dalam waktu dan sumber daya yang terbatas. Semoga kita yang duduk disini bisa bertemu lagi ya pak @ayikamil, bu @hannameiria, @_kamilmuhammad, dan @iniyusing take care dan sama2 terus berkembang lagi ke tahap selanjutnya.

Menurut saya, webinar tersebut merupakan perbincangan mengenai bagaimana cara melakukan perencanaan kota dan arsitektur yang inklusif dan saling membangun. Kuncinya bukan berada di para aktor, yang pada akhirnya bekerja sendiri-sendiri. Akan tetapi, peran para aktor menjadi penting di dalam pembentukan tim khusus yang akan mengawali perumusan profil perumahan dan permukiman. Perumusan profil perumahan dan permukiman ini sendiri juga sangat terkait dengan negosiasi banyak elemen. Elemen-elemen yang dimaksud berkaitan dengan kepercayaan publik, program, agenda-agenda politik dan ekonomi, hingga perumusan dari para ahli yang nantinya akan berperan di dalam sisi keteknikan dan manajemen sebuah proyek.
.
Refelksi tersebut berangkat dari pertanyaan-pertanyaan,

  • Seberapa penting tim dalam perumusan profil perumahan dan pemukiman?
  • Apakah kondisi kota saat ini siap dengan perumusan tersebut?
  • Belajar dari negara maju, Bagaimana dengan proses di negara berkembang?
  • Tatanan kota sebagai wadah semua orang?
  • Tatanan kota yang kontekstual?
  • Bagaimana dengan kami?

Seberapa penting tim dalam perumusan profil perumahan dan pemukiman?

Hal tersebut berkaitan dengan negosiasi elemen-elemen yang berkaitan dengan kepercayaan publik, program, agenda-agenda politik dan ekonomi, hingga perumusan dari para ahli dalam sisi keteknikan dan manajemen sebuah proyek. Dalam prosesnya perencanaannya tim ahli berperan menghubungkan dan merencanakan keberlangsungan perumusan profil perumahan, hingga menjadi proses yang inklusif.

Ada 7 parameter yang perlu diperhatikan untuk elaborasi sistem yang inklusif. Parameter tersebut adalah

  1. Perizinan
  2. Pengadaan Lahan
  3. Infrastruktur
  4. Pengadaan Fasilitas Umum
  5. Manajemen Proyek
  6. Ketersediaan Material
  7. Manajemen Keuangan

Apakah kondisi kota saat ini siap dengan perumusan tersebut?

Kekayaan elemen di dunia membuat dunia ini sangat beraneka ragam (diverse). Namun, di dunia yang beragam ini, apa yang bisa dijadikan pegangan? standar minimal lah jawabannya. Dalam skala makro perkotaan yang paling mungkin untuk dipegang adalah standar minimal luasan.

Hal tersebut juga hasil dari refleksi tekanan kepadatan kota yang terus melonjak. Seperti apa yang terjadi di kota padat penduduk seperti India dan Singapura. Pengali luasan apa yang kita temukan di dalam konsensus yang kita punya, per orang itu bisa sampai 12 m, bisa dikali 3 sampai 5.
.Banyak strategi dan inovasi yang terus dipikirkan secara repetitif hingga, yang justru hasil kontribusi sektor privat.

Strategi untuk memenuhi standar kelayakan pada ruang yang terbatas?


Meminjam gagasan bahwa kita memiliki lahan terbatas, sumber daya terbatas. Parameter ini terjadi di banyak tempat yang padat di negara maju, dimana banyak pihak berjibaku untuk mendesain ruang-ruang yang secara filosofi memiliki kelayakan yang sangat baik.

Ada 4 efisiensi yang bisa dilakukan di dalam memanajemen desain:
1.Biaya yang efektif
2.Material yang lokal
3.Layout yang fungsional & didiskusikan secara intensif
4.Peralatan yang hemat energi dan efisien

Tetapi itu banyak terjadi justru di sektor privat. Jadi privat sektor itu banyak menyumbangkan inovasi, baru kemudian diadopsi sebagai sebuah sistem public housing.

Inovasi tersebut kemudian diadopsi secara makro dan mikro di dalam ranah sektor privat. Sebagai contoh Muji Prefab House menawarkan proses dari hulu ke hilir dan prototipe modul-modul, bahkan hingga ke detail furnitur. Desain menjadi jalan keluar yang kreatif, kritis, dan khas. Berkaca dengan kekayaan pengetahuan ketukangan di Indonesia, hal tersebut menjadi titik gravitas yang strategis dan khas.


Salah satu gagasan yang Terbentuk adalah berjibakunya pihak privat untuk mengisi gagasan perencanaan yang baik. Dalam kasus ini kapling berukuran25 m2 disusun 3 lanta dengan luasan 75 m2 untuk 1 keluarga. Dan ada kemungkinan di sekat- sekat menjadi rumah untuk 3 keluarga. Gagasan ini didukung dengan desain furnitur yang terintegrasi untuk memasyarakatkan bahwa good desain itu penting menjelaskan bahwa memang keterbatasan itu nyata terjadi, jadi disini desain berfungsi sebagai jalan keluar yang memliki kekhasan, kreatif, sekaligus kritis.

Dikombinasikan dengan kombinasi ketukangan menggunakan struktur kayu laminasi untuk mencapai penggunaan material yang berkelanjutan dengan melestarikan budaya ketukangan kayu. Hubungan antar ruang dihubungkan dengan struktur ringan knock-down dan modular.

Bagaimana dengan proses di tempat lain?


Jika merunut pada sejarah, gagasan ini sebenarnya sudah dikembangkan di Tokyo sejak tahun 1970 oleh Fumihiko Maki, yaitu Collective Form. Konektifitas antar program dalam satu tatanan kota layaknya sebuah sel yang membentuk metabolisme kota. Berbagai macam skala parsial green space dalam kota pun dapat dihubungkan, salah satu contoh dalam skala nasional adalah tata kota Washington dan Canberra Plan. Batasan ruang hijau, privat, residensial, bahkan hingga komersial dapat dileburkan menjadi satu tatanan kota yang harmonis dan integratif.

Jika melihat Kampung Admiralty, Singapura yang dirancang Woha Architect, integrasi antara ruang privat dan publik, ruang dalam dan luar, dan ruang hijau, menjadi strategi perumahan kota yang integratif, hijau dan fungsional. Namun jika dirumuskan, menurut saya pembentukan ruang yang integratif memerlukan kombinasi dari hal yang mewakili 4 kuadran Nous yang sebelumnya didiskusikan di OMAH Library:

1.Tempat peribadatan (sophia)
2.Tempat berkesenian (techne)
3.Perpustakaan (episteme)
4.Pusat komunitas (phronesis)

Gravitasi dari 4 kuadran ini memunculkan budaya yang mereduksi gentrifikasi, dan mengkoneksikan program kota. Kolaborasi dan konektifitas tersebut menjadi identitas dasar dari kawasan.

Tatanan kota sebagai wadah semua orang?


Jika mungkin secara kontekstual proses negara berkembang terlalu berjarak dengan proses di Indonesia yang begitu banyak kompromi, maka tatanan kota Barcelona menjadi salah satu contoh yang tepat. Tarikan garis formal kota Barcelona memiliki kompromi dalam koneksi ruang publik dan komersial. Hal tersebut memungkinkan kota semakin terbuka, terhubung, inklusif, dan adaptif. Perjuangan tersebut tidak hanya berhenti pada perancangan massa dua dimensi, tetapi secara tiga dimensi pun integrasi dalam program ruang, dapat meningkatkan kualitas dan potensi perkembangan kota.

Tatanan kota yang kontekstual?


Value di Inodesia yang bisa membentuk tatanan baru:
Ketukangan + Identitas + Budaya = Gotong Royong


Telaah lanjutan dari sistem integrasi kota adalah melihat bagaimana lapisan kapital dari luar daerah yang masuk dengan identitas budaya baru.

Melihat dari Quinta Monroy Housing yang dirancang oleh Alejandro Aravena, pembentukan secara organik justru di wadahi dengan memahami konteks keterbatasan biaya, setengah dari rangka struktural tersebut dibangun, dan setengahnya lagi dibiarkan kosong untuk potensi kedepannya. Bangunan yang efisien, tipikal, modular, dan adaptif jadi dasar perencanaan.

Perjuangan yang sama juga dapat dilihat di Masjid Turen, potensi yang di buka dengan ke khasan Indonesia memungkinkan budaya craftmenship muncul hingga ke detail, bagi mereka yang mau berjibaku.
.
Di Indonesia begitu banyak aneka ragam potensi budaya ketukangan, etnis, suku, dan lainnya untuk menyumbangkan sisi yang organik dari pembentukan tatanan kota di Indonesia.

Bagaimana dengan kami?


Saya dan tim ketukangan bambu juga melakukan perjuangan yang serupa di Piyandeling, Bandung. Dengan semangat gotong royong ketukangan, dan merancang dengan membuka diri, kita dapat ber-refleksi sampai ke ornamen bambu hanya dengan kekriyaan tukang, wawasan material, dan pemberdayaan material sisah. Perjuangan itu tidak hanya kami lakukan pada skala bangunan, di Guha the Guild, Air Quality Index menjadi refleksi terakhir saya untuk kondisi Jakarta saat ini. Kita berusaha memerangi AQI disekitar kita dengan mengunci parameter dan membuat enclosed space, air purifier, interior plantings, dan rancangan selubung untuk mereduksi tempratur ruang sampai 28-29 derajat celcius. Dari perjuangan tersebut kita dapat membuktikan dengan hasil penurunan AQI di Guha the Guild yang mencapai titik terendahnya di angka 5.

Menghadapi keadaan yang sulit dan besar, bukan berarti kita menyerah, duduk diam dan tidak melakukan apa-apa.


Eksistensial dan survival insting yang sangat materialistik menjadi sisi sebenarnya manusia. Jadi pertanyaannya untuk bicara hunian layak dan berkeadilan, apakah hanya sekedar memenuhi sandang, pangan, papan, atau lebih dari sekedar itu, seperti soal harga diri setiap manusia yang patut didengarkan. Kalau survival kita hanya butuh tenda, seperti tenda pengungsian cukup.

Tapi apakah itu yang kita harapkan ? pasti tidak. Perlu ada sebuah kesetaraan terlebih dahulu yang dasarnya adalah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, maka

kita perlu berdiskusi dan mengambil konsesus bersama tentang apa saja yang menjadi masukan di dalam tim khusus secara intensif di dalam waktu dan sumber daya yang terbatas.

Semoga kita yang duduk disini bisa bertemu lagi ya pak @ayikamil, bu @hannameiria, @_kamilmuhammad, dan @iniyusing take care dan sama2 terus berkembang lagi ke tahap selanjutnya.

Kategori
blog

Orang-orang yang ada di @omahlibrary

Saya berpikir kerja- kerja di sekitar saya jarang terlihat nama dan muka2nya, oleh karena itu saya ingin memulai dari omah library. Inilah orang-orang yang ada di @omahlibrary. Biasanya orang-orang ini hadir dibalik layar, yang paling sering muncul adalah Luluk karena dia terkait dengan Experiencing Guha yang diadakan setiap minggunya. Tim kami terdiri dari begitu banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang bertanggung jawab dibagian depan untuk melayani orang yang datang dan ingin belajar ditempat kami, ada juga yang menulis dan meriset arsitektur bersama saya.

Ada @hanifahsausann orang yang paling lama membidangi bagian editorial, dengan ketelitiannya ia sudah menyunting dan mempublikasikan beberapa karya bersama rekan-rekan akademisi lainnya di OMAH Library. Dan juga ada @luil_mn yang menjadi tempat saya bertukar pikiran mengenai budaya studio di RAW Architecture, DOT Workshop dan OMAH Library, diskusi dengan Luluk selalu berjalan sepanjang waktu, disela-sela rapat ataupun sampai larut malam. Selain itu juga ada @arlynkeizia yang menggawangi bagian managerial, ia menyusun tugas-tugas untuk bisa membagi dan untuk bisa melihat situasi terkait dengan kemudahan, kepraktisan operasional OMAH dari sisi bisnis dan riset, dan juga hal-hal yang sangat kritis dan relevan yang terjadi didalam riset-riset kami.

Selain itu juga ada @yophrm orang yang menggawangi bagian visualisasi, fotografi, grafis dan juga penyuntingan beberapa konten-konten yang merupakan kerjasama OMAH Library dengan bidang-bidang lain. Juga ada @khunmey_ seorang penulis yang sudah berkembang begitu pesat melalui proses transkrip, menyunting, dan mengevaluasi sekaligus merekritisi ulang beberapa manuskrip yang sedang dikerjakan ditempat kami menjadi luar biasa indah dan puitis. Ada juga @meinnamelani orang yang membantu tim kami untuk bisa merapikan beberapa protokol supaya sinkron antara satu dengan yang lain, dari segi waktu, penjadwalan, dan sampai ke hal-hal mikro yang terjadi didalam OMAH Library.

@aldiandwiputra886@avypuspita_, dan @chiiepoet adalah orang-orang yang menggawangi daerah administrasi, mereka adalah orang yang memberikan kestabilan untuk menemani begitu banyak orang yang sudah datang ke OMAH Library. Ada juga @fitry_sibuea, anak yang baru masuk beberapa hari terakhir, semoga semakin betah ya. Dan terakhir adalah @laurensiayudith yang sudah mengatur bagaimana kami bekerja.
.
Kami ini adalah manusia yang kreatif, yang terkadang membutuhkan sebuah protokol yang rapih dari seorang dokter gigi yang mengatur keterbatasan-keterbatasan kami supaya apapun tindakan yang kami lakukan menjadi realistis. OMAH Library sudah berjalan selama beberapa tahun, dari tahun 2015. Spiritnya adalah bagaimana kita sendiri yang di OMAH bisa terus belajar sembari kita juga bisa manarik orang-orang sekitar setidaknya untuk menemani kami jatuh cinta pada arsitektur melalui ruang – ruang yang memberikan kenyamanan, dan terus bertransformasi semakin hijau, segar, nyaman, terus memberikan arsitektur yang sederhana, praktis, nyaman.
.
Sama dengan Le Corbusier dengan spirit Nouveau nya, Steven Holl dan William Stout dengan Pamphlet Architecture yang memiliki beberapa seri, yang terkenal adalah seri 1-10. Dimana setiap arsitek bebas untuk menuliskan ide-idenya tersendiri kedalam bentuk sebuah pamflet. Kami percaya bahwa begitu banyak warna dan suara memberikan keunikan yang luar biasa dalam arsitektur. Tidak hanya keunikan tapi juga begitu banyak kegelisahan yang ingin didiskusikan bersama.
.
Didalam OMAH Library kami berdiskusi terus sepanjang hari, mengenai apa saja yang bisa kami bangun untuk bisa memuaskan pencarian keingintahuan kami. Hasilnya adalah begitu banyak acara, buku, dan kerja-kerja yang kami kerjakan bersama dengan begitu banyak orang dan kontributor yang ada. Didalam perjuangan kami, ini adalah perjuangan yang sangat pribadi dan personal, tetapi juga seringkali kami menghibur orang-orang supaya arsitektur bisa menjangkau begitu banyak kalangan, tidak hanya arsitektur secara eksklusif. Untuk itu tempat ini hadir untuk mewadahi begitu banyak orang.

Walter Gropius, seorang arsitek terkenal dari Amerika dan teman-temannya juga pernah membuat Black Mountain College, sebuah sekolah dan tempat dimana ada ranah seni, ranah arsitektur, ranah diskusi tentang industrialisasi yang terjadi di North Carolina, yang didirkan ditahun 1933-1957. Black Mountain College sebagai sebuah eksistensi dari Bauhaus, ketika adanya perang, mereka banyak yang lari dan merasa tidak memiliki save ground. Jadi ada situasi yang membuat daya kreativitas mereka tidak berjalan, sehingga ada kebutuhan untuk mencari sebuah platform lain supaya mereka bisa menuangkan kembali kekreativitasan mereka, karena sejatinya kreativitas itu tidak bisa dihentikan.
.
Ada sebuah kebutuhan untuk berdiskusi bersama, menemukan tempat yang setiap orang dambakan, sebuah tempat kreatif untuk bisa pulang. Dan OMAH Library adalah tempat yang tumbuh dan bertransformasi dengan orang – orang yang baru seperti  @christiemylind@jocelynemilia untuk mengembangkan penulisan yang tidak mudah.
.
OMAH Library hadir untuk bisa mengalirkan kreativitas-kreativitas ketempat-tempat yang lain. Secara pribadi juga sama, kalau saya sedang membutuhkan kreativitas, saya akan lari ke ruang buku. Jadi ada hal-hal yang saling transfer dan memantik keheningan dan juga mentransfer sesuatu yang membutuhkan tempat yang bisa memantik kreativitas-kreativitas baru.

Semoga apa yang dikerjakan di Omah bisa terus memberikan keteduhan untuk teman-teman. Puji syukur terima kasih untuk seluruh kontributor Omah, karena mereka kita bisa berkembang bersama dan kami doakan untuk bisa terus berkembang saling meningkatkan diri.

Kategori
blog

Anniversary Kami yang ke 12

Terima kasih untuk 12 tahun yang indah @laurensiayudith

Tgl 25 september kemarin hari anniversary kami yang ke 12, 12 tahun merupakan saat-saat yang tidak mudah tetapi selalu saya syukuri. Dibalik 4x rasa kehilangan calon buah hati kami, sekarang ada dua malaikat yang selalu menemani kami setiap harinya. Keduanya lucu-lucu, yang satu jenaka dan ceria, yang kedua serius dan brilliant. Dibalik perbedaan keduanya, mereka saling belajar satu sama lain. Banyak orang bilang bahwa cerminan kejeniusan anaknya berasal dari kejeniusan ibunya, dan saya sangat percaya akan hal itu.

Dibalik canda tawa yang terjadi diantara kami, saya percaya bahwa yang terbaik itu baru akan terjadi. Dibalik seluruh kesuksesan dan kebagiaan, itu ada penghayatan akan rasa kehilangan, duka, serta progress yang tidak mudah dalam menjadi ini semua. Saya bersyukur dibalik seluruh kesibukan saya yang tidur kadang-kadang hanya 4-6 jam sehari, Laurensia selalu menyediakan saya multi vitamin sampai obat sensei, mulai dari suplemen-suplemen yang tradisional hingga yang futuristik. Tapi yang terpenting dari saya adalah dibalik semua yang tersuguh di meja makan, baik itu vitamin, makan dan minuman yang luar biasa enak, ada vitamin “C” cinta yang tidak ternilai.

Saat-saat anniversary kami dihabiskan dengan makan makanan yang sederhana saja di sebuah Food Court yang enak menurut kami. Itu adalah hal-hal biasa yang kami syukuri setiap harinya.

Rasa nyaman, rasa aman, kebiasaan yang membekas, itu adalah surga dan mujizat itu hadir dan nyata didalam hidup saya. Dan itulah keadaan Laurensia yang memberikan saya dua anak yang luar biasa, @miraclerichsjarief dan Heavenrich. Laurensia, terimakasih untuk segenap hati yang sudah diberikan untuk saya. Saya sangat bersyukur bertemu dirimu di kehidupan sekarang. Semoga Tuhan memberkati seluruh hati, kebaikan, dan semua yang kamu punya di dalam waktu yang terbatas ini.

Happy anniversary yang ke 12 Laurensia, love u to the Moon, terima kasih Tuhan sudah memberikan malaikat yang menemani hidup saya sampai saya sampai saya bertemu diriMu satu saat nanti.

Saya sudah mengenal @laurensiayudith istri saya sejak kelas 4 SD, pada waktu saya baru pindah dari Surabaya ke Jakarta. Saya masuk di SDK Sangtimur, pindahan dari SD Petra Surabaya. Ia duduk di samping saya, perawakannya ketus dan suka iseng pada saya yang logatnya Suroboyo-an.

Waktu di Surabaya saya terbiasa melontarkan pertanyaan-pertanyaan di waktu guru bertanya “Apakah ada pertanyaan?”, dan juga menjawab ketika guru bertanya ” Siapakah yang mau menjawab? “, Saya pasti akan mengacungkan tangantangan. Dia dalam hati mungkin Laurensia bertanya-tanya “Siapa ini anak kok tunjuk tangan terus? “, sampai-sampai guru saya bilang ” sudah-sudah, kamu jangan menjawab-jawab lagi, kamu terlalu sering mengangkat tangan.

Pertemanan kami berlanjut sampai ke bangku SMA dan kami ada di satu kelas yang sama, kelas IPA 1 kumpulan anak-anak yang kutu buku. Saya sendiri waktu itu senang bermain pingpong dan selalu pulang sore, sangat berbeda dengan Laurensia dulu yang selalu pulang telat waktu. Kami ada di dua buah dunia yang berbeda. Dunia Laurensia adalah dunia kepastian, sedangkan dunia saya adalah dunia bagaimana saya bisa menikmati setiap harinya secara maksimal.

Saya suka berkeliling berjalan-jalan . Tapi hobi saya yang saya suka adalah saya terlalu terlambat datang ke sekolah, karena saya bisa menikmati pagi dulu dan bertegur sapa dengan orang-orang orang di luar sekolah. Dan kadang-kadang sudah tau terlambat, tapi saya masih berdo’a dulu di gereja, dan banyak yang bertanya saya sedang apa. Kemudian saya bilang “Saya berdoa”.

Waktu itu status kami adalah sebagai teman biasa, hingga kemudian kami berpisah dan tidak bertemu lagi, karena saya melanjutkan kuliah ke Bandung, dan Laurensia berkuliah di Jakarta i tahun 2000.

Suatu saat di tahun 2008, ada satu email yang saya kirim ke Laurensia dijawab. Padahal email tersebut sudah saya kirim sejak 2 tahun yang lalu. Isinya adalah balasan dari Laurensia dan saya sangat senang. Di email tersebut kami bertegur sapa dan saya baru tau kalau dia baru bisa membalas email tersebut karena dia sedang tidak punya pacar.

Yang saya syukuri pada saat itu adalah saya merasa nyaman, sebagai teman berbicara, berdiskusi, hingga mendiskusikan masa lalu dan masa kini, untungnya saya juga jomblo. Indahnya masa lalu waktu bersama-sama di bangku SMA, kemudian di masa kini dimana situasi sudah tidak sama lagi. Dia sudah menjadi seorang dokter gigi, dan saya adalah seorang calon arsitek pada waktu itu. Kemudian saya baru tahu kalau dia sudah tidak punya pacar, padahal dulunya dia berpacaran sudah cukup lama dengan pacar yang sebelumnya, sampai pada akhirnya bertemu dengan saya. Saya meyakini bahwa yang terpenting dalam cinta adalah garis finishnya. Hasil akhir dari penantian yang panjang.

Saya berusaha jujur ke Laurensia bahwa saya menyukainya, mengajaknya makan malam dan kemudian saya menyadari bahwa memang pribadinya sangatlah menenangkan dan menyenangkan. Karena kita berada di dalamdunia yang berbeda, dia tidak tahu dan mau mengerti dunia arsitektur. Saya melihat juga dunia dokter gigi mirip dengan dunia arsitektur, bahwa pondasi bangunan adalah akar gigi, ada mahkota, dan ada batang giginya. Itu adalah sebuah cara untuk merawat sebuah bangunan yang namanya gigi.

Suksesnya hari pertama saya meresmikan status, saya di interogasi oleh calon mertua saya, “Kamu itu mau serius?”. Pertanyaan itu muncul karena pada waktu itu usia kamk sudah tidak muda lagi, bagitu sudah umur 26, saya harus serius. Kemudian saya menjawab ” Saya serius, tetapi saya membutuhkan waktu untuk menyelesaikan profesionalitas saya, pekerjaan saya di London.

Kalau ada hal yang membuat saya pulang, Laurensialah orangnya, karena saya tau bahwa dia orang yang sangat layak untuk diperjuangkan dan saya menginginkan hidup bersama-sama dengan dia. Hidup bersama Laurensia adalah hidup penuh dengan ketenangan, dimana kita sendiri memiliki cara pandang dan perspektif sendiri, kita memiliki apa yang kita suka sekaligus tidak suka di dalam sebuah frekuensi yang ternyata hampir sama.

Banyak orang bilang bahwa perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, menurut saya tidaklah demikian. Bagi saya kita sendiri memiliki sisi-sisi yang justru apabila kita mengerti pribadi pasangan kita, kita akan merasa sangat kecil dibandingkan pasangan kita.

Ketika kita sudah sangat yakin bahwa dialah pasangan kita, kita tidak perlu sejuta alasan, karena kita akan merasa sangat kecil dibangdingkan dia. Karena itulah saya merasa kehadiran Laurensia membuat saya sempurna. Di dalam perjalanannya memang tidaklah mudah, kami menikah tahun 2011 dan sejak saat itu saya sangat bersyukur.

Hari ini adalah hari anniversary kami yang ke 12, 12 tahun merupakan saat-saat yang tidak mudah tetapi selalu saya syukuri. Dibalik 4x rasa kehilangan calon buah hati kami, sekarang ada dua malaikat yang selalu menemani kami setiap harinya. Keduanya lucu-lucu, yang satu jenaka dan ceria, yang kedua serius dan brilliant. Dibalik perbedaan keduanya, mereka saling belajar satu sama lain. Banyak orang bilang bahwa cerminan kejeniusan anaknya berasal dari kejeniusan ibunya, dan saya sangat percaya akan hal itu.

Di balik kesibukan saya, Laurensia setiap harinya menemani anak-anak. Saya sendiri sangat bersyukur bahwa laurensia bisa menjadi seorang ibu yang sangat baik dan memiliki rasa mengayomi. Sampai-sampai saya kadang-kadang takut, “Apakah anak-anak saya bisa berkembang mandiri?”. Tapi saya percaya bahwa niatnya adalah rasa sayang yang tidak berlebihan, saya percaya bahwa kemandirian anak – anak akan muncul seiring kedewasaan kami mendidik anak – anak, mengayomi juga mendisiplinkan. Menghayati anak – anak yang menjadi dewasa matang sesuai waktunya.

Di balik kesibukan saya juga, Laurensia membantu mengatur banyak hal di studio kami. Bagi saya dialah sebenarnya ratu dari studio dan kehidupan saya. Bagi saya posisinya sangat penting, karena apapun yang saya lakukan membutuhkan keterlibatan dia. Saya yakin bahwa arsitektur itu inklusif juga, sama seperti suami takut istri, istri tidak perlu takut suami. Karena inklusif itu berarti takut kehilangan bersama jadi selalu melibatkan dalam keputusan bersama.

Dibalik canda tawa yang terjadi diantara kami, saya percaya bahwa yang terbaik itu baru akan terjadi. Dibalik seluruh kesuksesan dan kebagiaan, itu ada penghayatan akan rasa kehilangan, duka, serta progress yang tidak mudah dalam menjadi ini semua. Saya bersyukur dibalik seluruh kesibukan saya yang tidur kadang-kadang hanya 4-6 jam sehari, Laurensia selalu menyediakan saya multi vitamin sampai obat sensei, mulai dari suplemen-suplemen yang tradisional hingga yang futuristik. Tapi yang terpenting dari saya adalah dibalik semua yang tersuguh di meja makan, baik itu vitamin, makan dan minuman yang luar biasa enak, ada vitamin “C” cinta yang tidak ternilai.

Dalam langkah-langkah dalam pribadi, didalam arsitektur yang saya jalani sebagai laku kehidupan. Saya yakin semua perlu tau bahwa didalam laku kehidupan saya semuanya berbasis atas nama Tuhan dan dia hadir untuk melengkapi saya yang tidak sempurna.

Terimakasih Laurensia sudah menemani saya. Mulai dari saat-saat kita menghabiskan waktu LDR, dimana waktu terbalik, saat di Landon pagi hari di Jakarta subuh, malam di Jakarta makan siang di London. Didalam puluhan ribu jam yang sudah kita jalani bersama, ada sebuah cerita tentang saat-saat menuju pernikahan. Dimana kita mengadakan foto prewedding di jalanan rumah kita, menggunakan sepeda pinjaman dari ibu kita. Sepedanya sebenarnya biasa-biasa saja tapi dikombinasikan dengan setting ruang yang sederhana dan di sekitar kita itu yang kami inginkan.

Hal-hal tersebut mewarnai keseharian kita yang biasanya kami berjalanan-jalan disana, setting didepan studio garasi, dan hal-hal seperti kita bersepeda saat di Cambridge, dimana sepeda yang kami gunakan sebenarnya tidak untuk boncengan, melainkan untuk menaruh barang. Dan saya baru tau ketika saya selesai menyewa sepeda tersebut.Laurensia, terimakasih untuk kesabarannya ketika dibonceng dan juga ketika sudah berpindah ke Guha, tatap mau menikmati saat-saat yang sulit, sederhana, penuh rasa syukur menjalani kehidupan kita seperti sekarang.

Sampai saat-saat anniversary kami dihabiskan dengan makan makanan yang sederhana saja di sebuah Food Court yang enak menurut kami. Itu adalah hal-hal biasa yang kami syukuri setiap harinya.

Rasa nyaman, rasa aman, kebiasaan yang membekas, itu adalah surga dan mujizat itu hadir dan nyata didalam hidup saya. Dan itulah keadaan Laurensia yang memberikan saya dua anak yang luar biasa, @miraclerichsjarief dan Heavenrich. Laurensia, terimakasih untuk segenap hati yang sudah diberikan untuk saya. Saya sangat bersyukur bertemu dirimu di kehidupan sekarang. Semoga Tuhan memberkati seluruh hati, kebaikan, dan semua yang kamu punya di dalam waktu yang terbatas ini.

Happy anniversary yang ke 12 Laurensia, love u to the Moon, terima kasih Tuhan sudah memberikan malaikat yang menemani hidup saya sampai saya sampai saya bertemu diriMu satu saat nanti.

Kategori
blog lecture

Sesi-sesi Berbagi di IAI Jakarta ?

Tanggal 30 September 2023 lalu, saya diundang ke Thamrin 9 oleh IAI Jakarta untuk mengisi penataran “Pengembangan Profesi Arsitek III” bersama pak Suwardana Winata dan pak Moehamad Deni Desvianto.

Untuk saya sesi-sesi berbagi di IAI Jakarta adalah momen untuk melihat secara luas apa yang menjadi kegelisahan saya pribadi dalam berpraktik, saya mencoba merumuskan apa saja sih yang menjadi hambatan. Kendalanya bahwa memang profesi arsitek itu memang masih terlampau dini usianya di Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemahaman-pemahaman masyarakat yang belum sempurna, tetapi profesi arsitek itu memang dibutuhkan untuk memberikan kebahagiaan berupa seni didalam bangunan.

Saya ingin membahas sebuah isu prosesi didalam kaitannya dengan management biro, dimana ada cara berfikir yang perlu untuk membuat arsitek itu lebih percaya diri. Dengan mengetahui bahwa memang ada batasan dan takaran perbandingan antara nilai kontrak yang didapat di Indonesia secara prosentasi itu masih sungguh jauh lebih rendah dibanding dengan negara lain. Hal tersebut identik dengan bagaimana arsitek bisa menjadi pimpinan dalam sebuah proyek.

Saya punya hipotesa bahwa kemampuan seorang arsitek untuk memanagement sebuah desain itu menjadi sebuah hal yang sangat krusial. Jadi arsitek tidak hanya berfungsi pasif hanya sebagai desainer saja, tetapi juga bisa berfungsi sebagai leader, project manager, dan sebagai advisor yang bisa membawahi seluruh garis konstruksi yang ada di lapangan.

Dari situ harapannya adalah apresiasi terhadap disiplin arsitektur bisa meningkat karena memang titik-titik dasar permulaan desain adalah ditangan arsitek. Secara etimologi arsitek sudah punya arti bahwa ia adalah sebuah perancang konstelasi bangunan dan isinya. Dilanjutkan dengan beberapa pemahaman bahwa ada beberapa kuadran tentang cara berfikir, disini diperkenalkan Nous didalam arsitektur, ada 4 kuadran yaitu sophia, techne, phronesis, dan episteme yang perlu terus digali oleh seorang arsitek didalam mengelaborasi dirinya dalam management dirinya sendiri dan juga management firma.

Dan dilain pihak diharapkan bahwa pendapatan atau kesejahteraan arsitek bisa meningkat setelah kapasitaspun meningkat, sehingga kepercayaan diripun ikut meingkat. Disitulah baru saya pikir bahwa management biro itu baru bisa berjalan. Dengan memiliki beberapa tujuan termasuk menciptakan situasi yang sehat untuk orang-orang didalamnya dan juga memberikan sebuah lingkungan ataupun tempat tinggal yang menantang sembari meneruskan transfer ilmu antar generasi dan mendapatkan sebuah keuntungan yang fair untuk berbagai macam pihak. Jadi disini kita bicara soal kebijaksanaan soal arsitektur bahwa melakukan menagement itu terkait dengan bagaimana mengatur kondisi kebahagiaan seorang arsitek.

Kategori
blog inspiring people

Josef Prijotomo

Saya mengenal pak Josef Prijotomo kira-kira 10 tahun yang lalu pada waktu itu saya datang ke ITS. Ia masuk ruangan dan duduk disamping saya dan bercerita tentang bagaimana ia mendambakan bahwa Indonesiaan itu seharusnya muncul dan dibahas di dalam tugas akhir. Dia menyebut konsep ini sebagai “Arsitektur Nusantara”.

Pertanyaan dan pernyataannya selalu menohok tajam, dan memantik emosi kami. Satu saat ia berseloroh “Bohong besar kalau Anda tidak mampu, paling-paling Anda tidak mau!” ketika saya menolak untuk hadir di grup beliau karena kesibukan kami, ia mengirimkan pesan-pesan berisi apa saja yang dibicarakan di grup. Ia terus memaksa kami untuk mau ikut berdiskusi dan ia terus berjuang supaya banyak orang di dunia mengetahui uniknya bumi Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Pak Josef Prijotomo menjelaskan hal tersebut didalam konsep kesamaan, perbedaan berdasarkan ciri seismik, iklim dan budaya yang kaya raya di indonesia.

Saya mendapatkan matahari saya, ketika saya mengutarakan ketakutan saya pada simbol tersebut, justru Pak Josef tidak pernah merubah persepsinya terhadap saya kapanpun itu, padahal siapa sih saya, saya bukan siapa-siapa. Beliau dari Surabaya saya sekolah di Bandung dan juga praktik ada di Jakarta, kami jarang bertemu karena lokasi kita berjauhan, Dia bilang ke saya, “Yessss, Realrich apa yang kamu pikirkan gak masalah, berada di luar sistem memang tak harus, tapi bukan berarti tak mau peduli. Maju terus, saya akan dukung dan selalu kompori !!!”.

Pondasi ideologi atas gerakan modernis dunia diturunkan pada akhir abad ke-19 dan di awal abad 20. Dalam revolusi industri sampai terjadinya tremor, perang, bencana kemanusiaan yang pada dasarnya adalah soal kekuasaan, yang dimana konsepitu telah diperkenalkan jauh lebih awal oleh Herder, yang telah kita ketahui menulis istilah Zeitgeist atau semangat jaman.

Pertemuan tatap muka saya terakhir dengan beliau juga ketika tanggal 7 Februari 2020 ketika saya berbagi dengan mas @anashiday mengenai buku 3 gram: Tectogram, Methodgram, dan Craftgram yang kami tulis dan tanggapi bersama mas @jo_adiyanto yang berhalangan hadir. Saya dan @satriaapermana membuat wayang pada waktu itu, ibaratnya Pak Josef adalah semar yang bijak, ia akan memaksa kami untuk maju dan mau mengikuti konsepsinya.

“Kamu harus mau bukan tidak mau.” Ia selalu memaksa dengan konsep arsitektur nusantara. Siap tidak siap saya, ia akan mempertanyakan hal-hal yang sederhana dan mengingatkan kami, seberapa Indonesia arsitekturmu?. Hal-hal itu sebenarnya mempertanyakan keakuan apakah perlu mengangkat Norberg Schulz dari Norwegia padahal khasanah budaya Indonesia pun sudah ada didepan mata, menunggu untuk digali.

Sesuatu yang genius itu dalam pergulatan arsitektur Indonesia, digaungkan oleh Josef Prijotomo yang sejak tahun 1990 aktif menggelorakan arsitektur nusantara. Ia mendefinisikan arsitektur nusantara sebagai “cerlang-tara” atau kecemerlangan nusantara, sebuah genius yang spesifik untuk bumi nusantara. Orisinil dan memiliki aspek fungsional-kultural yang sudah diolah sejak jaman dahulu, dan selalu dikembangkan untuk masa depan. Sudah sedemikian aktif ia bergerak di dalam dan di luar sistem pendidikan melalui seminar-seminar, namun belum adanya dampak signifikan yang terjadi. Padahal, apa yang digaungkan oleh beliau adalah hal yang mendasar, fungsional, dan lekat dengan budaya nusantara [1]. Josef Prijotomo menjelaskan hal tersebut di dalam enam butir dasar: Pertama, ia melihat beberapa aspek yang menjadikan lanskap kriteria nusantara pertama seperti hubungan terbuka yang dihubungkan oleh konsep pelayaran sehingga tipe-tipe bangunan bisa dilihat kesamaan bentuk-bentuknya, mulai dari Madagaskar hingga Pasifik dan Cina. Kedua, kelembaban yang menyebabkan perbedaan cara berpakaian. Ketiga, kondisi angin yang menyebabkan sirkulasi udara silang diperlukan. Angin sebagai sumber utama bagi penyejukan udara melalui konstruksi kolom, serambi, dan beranda. Keempat, kondisi dua musim, yakni kemarau dan penghujan. Hal ini menyebabkan arsitektur nusantara bersifat terbuka dan tidak isolatif, berbeda di negara empat musim. Kelima, bangunan tahan gempa yang ditandai dengan penggunaan bangunan kayu atau konstruksi ikat di masa lalu dengan penekanan pada konstruksi goyang. Keenam, Ia menekankan variable kultur dan ekonomi yang disatukan seperti upacara pemasangan kuda-kuda yang didahului wujud pengupahan tenaga kerja yang merupakan barter antara tenaga dengan makanan yang disajikan. Josef Prijotomo adalah pengajar murni dimana ia memberikan narasi yang ideal tentang bumi nusantara, seorang pembawa kabar Genius Loci untuk arsitektur Indonesia yang disebutnya bumi nusantara.

Menariknya pada waktu itu, yang ikut menanggapi materi kami adalah pak Eko Prawoto, yang justru membawakan metode, ketukangan, dan tektonika dalam ranah keseharian. Saya melihat figur Pak Josef dan Pak Eko seperti yin dan yang, keras dan lembut, teori dan praktik, praktik yang teoritis dan teori yang praktis. Kedua orang ini saling tarik menarik menciptakan benih benih perubahan di dalam arsitektur Indonesia. Pak Josef dan murid-muridnya menulis banyak buku, dan pak Eko berpraktek dengan lentur. Kita semua adalah murid-murid beliau, Pak Josef dan Pak Eko, keduanya saling mengisi dua pondasi arsitektur yang berbeda.

Pak Josep dan Pak Eko berperan memiliki pemahaman arsitek kaki telanjang, berjalan tanpa alas kaki, diatas kerikil, tanah, ataupun beling sekalipun, ia mantap berjalan dengan berpihak. Kedua adalah mereka ibaratnya seorang pertapa yang menyendiri sembari terkadang memberikan intuisinya, pemahamannya dari perenungan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Menurut keduanya sisi arsitektur perlu lekat dengan manusia kreatif, meluruhnya ego, membuka hati, dan peduli dengan tukang-tukangnya, ia hidup dari tukangnya, tukangnya juga hidup dari hasil kriyanya, ia adalah orang yang mampu mendengar apa keluhan sekitarnya dan membuat solusi yang sederhana dari masalah-masalah yang ada, masalah perut, masalah keteknikan ataupun masalah-masalah personal yang dihadapi sekitarnya. Arsitektur itu personal dan berkembang ke hal-hal yang lebih besar.

Di Pesantren Turen Malang, saya mendapatkan cerita dari Anas, yang kemudian saya datangi, saya melihat dimana arsitek melebur dengan tukang-tukangnya menjadi satu untuk merajut ornamentasi ruang. Mereka berusaha memberikan ruang gerak untuk tukang agar bisa mengaktualisasikan diri dengan dialog tanpa henti akan dirinya terhadap karya. Usahanya adalah usaha untuk menanyakan kepada semesta dengan keinginan yang tulus untuk menggali dirinya sendiri.

Saya mungkin angkuh dengan mencoba mengambil Norwegia dan Norberg Schulz sebagai barometer. Hal ini juga lekat dengan apa yang dilontarkan para rasionalis di sekitar 40 tahun yang lalu oleh “Vienna Circle” bahwa, kebenaran itu perlu diacu secara rasionalis, perlu referensi, perlu pembenaran dimana seperti sebuah kemandekan yang disumbat lubangnya dan menimbulkan peradangan.

Keangkuhan juga perlu dilunturkan seperti sumbat yang perlu dibuka dengan keberanian, sehingga dialektika antara pembuat dan pembaca bisa terjadi begitu intensif, bolak-balik dan terbaca secara lugas. Hal-hal itulah yang bisa membuat kita bisa mengapresiasi kehidupan untuk bisa dibagikan dengan orang lain.

Di dalam keseharian kita bersama, tidak mudah untuk kita bisa bersama-sama dengan Pak Josef atau Pak Eko yang berbeda dan terkadang berbeda pendapat. Justru dari keduanya, saya menemukan tempat untuk saling berkaca dan bercermin bahwa ada cara lain dalam bersikap, ada yang memaksa ada yang melepaskan interpretasi bahwa keduanya baik dan saling menyeimbangkan.

Saya memiliki teman beberapa murid murid beliau yang saya kenal di praktik, penulis, dan intelektual. Ada mas @madcahyo, mas @eka_swadiansa, mas @gayuhbudi, dan @andyrahman, mas @anashiday, mas @jo_adiyanto, Mas @reviantosantosa, Bu @altrerosje, Bu @akunnya_yolanda, dan Bli @gmahaputra juga banyak lagi ribuan orang lainnya. Pak Pak Josef dan Pak Eko ibaratnya seperti ayah bagi mereka. Ada juga Pak Ardi Pardiman, Pak Galih Widjil, Pak Adhi Mursyid, dan Romo Mangun yang juga seperti ayah yang meski bahkan belum pernah bertemu.

Kasih ayah dan anak tidak selamanya ada di temu fisik, namun menembus batas jarak, waktu, dan pertemuan.Dulu kami ada di sebuah grup yang senang memakai sarung. Sarung dipergunakan sebagai simbol keberpihakan dan kesetaraan. Di dalam grup itu, terkadang saya mempertanyakan ke Pak Josep sendiri, untuk apa perjuangan itu apakah hanya untuk bergerak sebatas representasi luar?.

Pada waktu itu saya marah dengan diri saya sendiri, karena ketidak berdayaan saya terhadap problematika simbol kesetaraan, karena banyak momen di hidup saya berada di pihak yang lemah, tertindas, dan minoritas. Dan puncaknya dari situ saya mulai bertahap memutuskan diri dengan dunia luar. Di titik itu dunia menjadi gelap dan “I have my own shadow”. Bayangan saya sebenarnya adalah ketakutan saya sendiri, semakin saya menghindari semakin cepat dia datang dan tidak pernah lepas.

Dari Pak Josef dan Pak Eko saya mendapatkan keberanian dan kejujuran untuk membicarakan ketakutan tersebut. Dari pak Eko saya mendapatkan benih bagaimana bertujuan baik, menerima kenyataan sebagai hal yang baik dan perlu ada, termasuk membicarakan ketakutan, kesakitan sekaligus makna pencapaian secara lugas.

Saya mendapatkan matahari saya, ketika saya mengutarakan ketakutan saya pada simbol tersebut, justru Pak Josef tidak pernah merubah persepsinya terhadap saya kapanpun itu, padahal siapa sih saya, saya bukan siapa-siapa. Beliau dari Surabaya saya sekolah di Bandung dan juga praktik ada di Jakarta, kami jarang bertemu karena lokasi kita berjauhan, Dia bilang ke saya, “Yessss, Realrich apa yang kamu pikirkan gak masalah, berada di luar sistem memang tak harus, tapi bukan berarti tak mau peduli. Maju terus, saya akan dukung dan selalu kompori !!!!”. Dia berbicara bahwa sarung itu jiwa bukan hanya simbol. Melalui pertanyaan-pernyataannya, ia mendobrak sisi-sisi kritis, dan itu yang menunjukkan kasih sayang sebagai ayah tidak hanya dengan pujian, tapi juga dengan kritik yang membangun yang ia ibaratkan kompor.

Ada satu kalimat yang saya ingat untuk menutup cerita ini. Pak Josef berkata, “Arsitektur Nusantara ada di tangan anda. Mau dilepaskan, dibanting, ataupun dimatikan, boleh saja. Sebaliknya, dikedepankan dan menggeser kebaratan, juga bisa. Ini tantangan buat anda. Saya siap membantu dan mendampingi langkah Anda bila mau menjadikan arsitektur Nusantara sebagai tuan di negeri sendiri.”

Suatu saat ia menghampiri saya di dalam sebuah acara seminar di Bali yang kami bawakan bersama. Pak Josef menyenggol saya sambil tertawa, ia bilang sembari berbisik-bisik, “Kamu bawa sarung enggak?! hari ini saya bawa!” Saya bilang “Bawa pak kan kita sudah janjian ha ha ha”. Ia lalu lanjut bertanya “Jadi mau apa kita pake sarung hari ini?”.

Melihat wajahnya, saya seperti melihat wajah seseorang yang saya rindukan dengan kenakalannya dan juga keluguannya, saya ingat ayah saya, lalu saya jawab dengan senyuman dan tertawa, “Hayuk pak”.

Beliau mengatakan bahwa sarung itu jiwa bukan hanya simbol. Melalui pertanyaan-pernyataannya, ia mendobrak sisi-sisi kritis, dan itu yang menunjukkan kasih sayang sebagai ayah tidak hanya dengan pujian, tapi juga dengan kritik yang membangun yang ia ibaratkan kompor.
.
Suatu saat ia menghampiri saya di dalam sebuah acara seminar di Bali yang kami bawakan bersama. Pak Josef menyenggol saya sambil tertawa, ia bilang sembari berbisik-bisik, “Kamu bawa sarung enggak?! hari ini saya bawa!” Saya bilang “Bawa pak kan kita sudah janjian ha ha ha”. Ia lalu lanjut bertanya “Jadi mau apa kita pake sarung hari ini?”.

Saya seperti melihat wajah seseorang yang saya rindukan dengan kenakalannya dan juga keluguannya, saya ingat ayah saya, lalu saya jawab, “Hayuk pak”.

Sekarang sarung itu saya gantung di pintu masuk sebagai pembatas ruang dalam – ruang luar, pertanda sebagai tanda kasih bagaimana perjuangan melawan ketakutan saya sendiri saat hidup di keseharian kami di studio yang diawali dengan pertemuan dengan Pak Josef Prijotomo di Bali. Terima kasih Pak Josef sudah menemani kami semua.

[1] Prijotomo, Josef. (ed. 2018). Prijotomo Membenahi Arsitektur Nusantara. (hlm. 42) Surabaya: Wastu Lanas grafika.

Kategori
blog inspiring people

Figur ayah itu juga kontradiktif

Apa yang saya syukuri dari perjalanan saya dibimbing ayah adalah bagaimana saya merasa utuh mendapatkan contoh menjadi bapak yang mungkin sungguh sempurna. Ia hadir di masa-masa terbaik saya. Ia juga hadir di masa terkelam saya. Ia hadir justru ketika saya membutuhkan bantuan—dan secara tidak langsung saya terus mencari figur ayah saya di dalam pertemuan saya dengan siapa pun. Ia hadir untuk memberikan harapan bahwa setiap masalah bisa diselesaikan. Dan kamu yang perlu membantu untuk menyelesaikan masalah itu. Janganlah pernah lelah berharap bahwa kamu bisa terus kuat dan menjadi contoh bahwa ini bisa diselesaikan.

Figur ayah itu juga kontradiktif. Dengan seluruh kekuatan dia juga penuh dengan kelemahan. Tapi saya ingat bahwa di hadapan anaknya ia tidak pernah lemah karena ia tahu dia adalah pribadi yang bisa diharapkan. Tidak pernah ia menunjukkan bahwa ia lemah dan patut untuk dikasihani. Di masa-masa terakhirnya ia justru bilang kepada kami bahwa ia tidak ingin dioperasi. Dia ingin semua berjalan baik. Dia tidak ingin mempersulit hidup kami, meskipun kami bisa setuju atau tidak setuju, tapi ia sudah memiliki pilihannya.

Dari ayah saya belajar untuk selalu berharap, kekuatan harapan utnuk menjadi sosok yang kuat, bersahaja, dan bisa memberikan harapan juga untuk orang lain. Dari beliau saya percaya bahwa hidup terpancar sesuai namanya, yang berarti “bisa”. Ia dengan badannya yang kecil bisa memberikan jumping smash yang tinggi. Ia memberikan lompatan-lompatan termasuk 3 buah nilai seratus di ijazahnya. Ia adalah orang yang jenius, meskipun Bahasanya mendapat nilai 40. Ia memang tidak sempurna tetapi ia justru menghargai ketidaksempurnaan itu dan tertawa-tawa di balik nilainya yang sempurna dan tidak sempurna. Di balik hidupnya tidak ada yang pernah sempurna, tapi justru itu menjadi sempurna karena hidup ini sebenarnya adalah tuntunan.

#RAWinspirasi

Sudah satu tahun ayah saya berpulang. Kepulangannya menyisakan banyak sekali kenangan yang manis. Kadang-kadang saya berpikir bahwa, saya merasa kehilangan. Di balik kesendirian, terkadang saya merasa masih membutuhkan kehadiran seorang Bapak. Itulah arti seorang ayah bagi anaknya. Dia tidak akan pernah hilang karena bagi saya sosok ayah adalah seorang role model.

Di tahun 2010, ayah saya menemani saya rapat di mana-mana dan saya dikenalkan ke teman-temannya yang banyak ahli manajemen konstruksi. Saya diajari oleh teman-temannya yang pada waktu umur 70-an tahun mengenai basis-basis dasar sikap, etika, teknik, dan engineering dalam sebuah proyek di mana service dan ketepatan kualitas itu penting. Saya juga belajar bagaimana proyek itu penuh dengan konsensus yang terbaca dan tidak terbaca. Ayah saya pada waktu itu juga setiap hari menutup pintu kantor. Mengecek, kadang-kadang jam 1, kadang-kadang jam 2, jam 3 pagi. Dan beliau pasti bangun jam 4 atau jam 5 pagi.

Pada saat di studio garasi juga ayah kadang-kadang melihat bagaimana gambar-gambar yang terpampang di dinding-dinding studio garasi. Beliau tidak pernah memuji langsung tetapi ia menitipkan rasa bangganya melalui istri saya. Begitulah ayah, tidak pernah memuji langsung. Ia hanya ingin menjadi tidak sombong. Ia selalu memberikan tantangan, pertanyaan-pertanyaan, supaya saya bisa berkembang lebih baik.

Kemudian ditahun 2015 saya mulai membangun the guild (Yang sekarang menjadi Guha the Guild), karena diminta oleh ayah saya. Sebenarnya saya tidak pernah mau keluar dari rumah itu. Tapi kalau sudah ayah saya meminta, saya punya prinsip bahwa apa kata ayah saya pasti akan saya laksanakan. Mungkin ini karena saya anak ketiga, anak tengah yang sebenarnya sangat mendambakan rasa sayang dari ayah. Anak tengah penuh dengan problematika yang justru menjadi punya potensi apabila ia menyadari bahwa dirinya menjadi jembatan untuk begitu banyak jalinan kasih di antara keluarga.

Di tahun 2016 saya pindah ke the guild bersama istri. Setahun kemudian saya mendapat kabar bahwa ayah saya terkena parkinson. Kadang-kadang pak Misnu bicara soal bagaimana ayah rutinitas studio garasi kami di rumahnya. Rutinitas itu menjadi penting karena ada harapan untuk berdiskusi. Saya yang semakin sibuk kadang-kadang menyempatkan diri untuk bertemu ayah saya tetapi tidak bisa sesering dulu lagi di mana saya setiap siang adalah momen-momen saya bisa makan siang dan ada momen makan pagi juga bersama ayah saya.

Di dalam perjalanannya beliau terus menjadi pribadi yang tangguh, tidak pernah merasa sakit. Begitu beliau sakit, saya menemani beliau sampai saat-saat terakhirnya dan merasa begitu bangga menjadi anaknya di mana ia selalu berpegang teguh pada prinsip bahwa melayani orang lain adalah yang terutama tanpa pernah kehilangan prinsip dasar bahwa melayani itu butuh kemampuan teknis yang baik.

Di saat-saat terakhirnya, ia sendiri berkata pada saya. Kira-kira dua hari sebelum dia meninggal. Pada waktu itu saya sudah mendoakan beliau. Di satu titik saya kira beliau sudah tidur, saya keluar kamar, beliau memanggil.

“Real jangan pulang. Sini, saya pengen peluk kamu.” dan kemudian saya mendekat, saya memeluk dan dia mencium pipi saya.

Dia bilang, “maafkan dad karena dad kadang-kadang tidak bisa berpikir jernih. Penyakit ini membuat saya tidak bisa mengontrol apa yang saya pikirkan. Dad bangga terhadap kamu dan jaga mami.” gitu.

Saya tahu bahwa itulah waktunya sudah dekat. Saya menghitung jumlah kalori makanan, makin lama makin sedikit, dan nafasnya pun makin pendek. Ada kalanya beliau membutuhkan oksigen lebih banyak dan saya menghitung waktu. Saya menghubungi beberapa kawan saya yang dokter dan mereka menitip pesan bahwa perlu untuk bersiap-siap. Di saat yang dua hari lalu itu saya sudah mempersiapkan diri dan saya memeluk beliau erat dan saya berkata, “dad if you think it’s about time, then i think saya siap dan rela.” jadi di situlah saya sudah mempersiapkan diri bahwa the worst thing will come. Kemudian saya mempersiapkan diri… mental, untuk menghadapi keluarga, ibu dan saudara-saudara bahwa setidaknya saya sudah melepaskan diri dari semua ekspektasi dan menerima apa pun yang terjadi di masa depan. Saya percaya bahwa he has done the best for the best and we have.. Kita sudah jadi yang terbaik. Dan saya sudah percaya bahwa ia sudah bersiap untuk berpulang.

Dua hari kemudian beliau berpulang.

Saya belajar dari Pak Wondo dan Pak Ary Murthy di dalam dialognya dengan Laura (Sumarah), bahwa hidup ini adalah tuntunan. Kita sama sekali tidak pernah memprediksi di mana kita lahir, kapan kita lahir. Tetapi beliau berkata bahwa hidup ini tuntutan dan tuntunan itu adalah bagaimana kita bisa semua belajar menjadi seorang pamong. Dari pamong pribadi sampai ke pamong yang lebih besar. Dan saya benar-benar bersyukur bahwa ayah saya memberikan saya sebuah contoh. Ia adalah sebuah pamong hidup yang menerangi kita sekeluarga. Sebuah matahari yang bisa, karena ia memang bertanggung jawab. Dari tanggung jawabnya muncullah reputasi. Dan kami benar-benar beruntung bisa meneruskan reputasi yang dimiliki oleh beliau untuk membawa nama baik keluarga.

Kenangan ini membawa sejuta makna, sejuta persaan, sejuta rasa kehilangan, dan juga rasa kelahiran kembali. Saya cuma sadar bahwa proses di sini yang dalami adalah sebuah proses di mana nanti, suatu saat nanti, adalah saat yang saya rindukan begitu saya bisa bertemu ayah saya kembali.

Saya berpikir hal-hal tersebut menjadi komplit. Melihat sebuah circle yang sangat menerus, dan menurut saya itu kan arsitektur juga seperti itu. Banyak orang yang tidak percaya sama kekuatannya. Tapi saya sendiri tahu bahwa arsitektur itu sedemikian kuat dan representasi hidup ayah saya itu tergambar dalam arsitektur yang saya hidupi dan saya lakoni sehari-hari. Jadi saya adalah wujud saksi hidup wujud kekuatan seorang ayah di dalam daya arsitektural yang maha dahsyat. Jadi terima kasih semesta sudah mempertemukan saya dengan role model saya yang luar biasa.

#RAWinspirasi

Kategori
blog inspiring people

Eko Prawoto – Akar Arsitektur Indonesia

Apakah penting untuk mengakui bahwa ada banyak orang menginspirasi anda ? Dan apa pentingnya mengakui hal itu, Antoniades menginspirasi saya tentang pentingnya untuk mendalami apa itu creative pregnancy, bahwa ada fase kita menyerap dari begitu banyak hal yang dinamakan channels of creativity. Salah satunya adalah biografi seorang arsitek, selain itu ada banyak lagi, sebenarnya menurutnya ada 3 tingkatan aktualisasi ide. Yang pertama adalah alam fantasi dimana ada abstraksi yang jamak, luas, tak terhingga. alam kedua adalah alam imajinasi, dimana ada persilangan abstraksi diri kita dan orang lain, seni masuk disini. Yang terakhir adalah alam realisasi, yang merupakan alam produk. Originalitas menurut saya ada di bagaimana ada proses yang runtun dari fantasi, imajinasi, dan realitas. Disitulah arsitek perlu belajar dengan kerendahan hati.

Dimana banyak fenomena ketika ditanya, siapa yang menginspirasi anda, arsitek seringkali tidak tahu ataupun tidak mengakui darimana kepandaian dirinya. Hal ini membuat dirinya tidak sadar, dan belajar dalam ketidak sadaran itu membuat proses belajar berjalan lebih panjang. Untuk seseorang bisa mempercepat proses belajarnya, pembelajaran perlu terjadi di ranah tubuh, pikiran, dan jiwa yang menyeluruh, oleh karena itu praktik akan didampingi oleh teori, dan dibuat pengajaran 3 arah, dari subjek, objek, dan ekosistem.Ini sebagai refleksi, kebersamaan dengan Pak Eko membuat saya sendiri belajar tentang arti untuk terus memaknai ulang apa yang diperjuangkan demi sebuah nilai-nilai kebaikan yang universal. Dan Beliau mengajarkan untuk tidak pernah kenal lelah dan takut untuk terus mendengarkan kata hati yang terus membuat progress.Kemarin saya dapat berita dan melihat di IG bahwa Pak Eko sedang sakit. Saya mendoakan supaya Pak Eko cepat sembuh. Saya yakin tidak hanya saya yang mendoakan beliau, tetapi begitu banyak orang yang mendoakan karena kebersamaan dengan Pak Eko membuat saya sendiri belajar tentang arti untuk terus memaknai ulang apa yang diperjuangkan demi sebuah nilai-nilai kebaikan yang universal. Dan Beliau mengajarkan untuk tidak pernah kenal lelah dan takut untuk terus mendengarkan kata hati yang terus membuat progress.

Beberapa saat yang lalu saya bertemu dengan pak Eko Prawoto, sudah lama saya ingin berkunjung ke rumah beliau. Dan Begitu saya masuk dan melihat dari luar, saya melihat siluet matahari berwarna keemasan yang membelah dari arah timur ke barat. Pada saat itu jam menunjukkan pukul 3 sore. Nuansa landscape yang rimbun sekali dengan pohon juga berwarna keemasan, yang saya heran mengapa landscapenya begitu kering, tidak basah tetapi tanahnya sungguh subur dan sehat. Banyak ayam berkeliaran, suara-suara burung, dan kumbang. Saya melihat keteduhan dari kanopi pohon yang saling tutup menutupi. Di sisi bawahnya terlihat kumpulan massa berbentuk prisma, yang kadang-kadang massanya diputar 45 derajat untuk mengikuti bentuk kontur yang ada. Saya membaca ada tindakan-tindakan untuk mereduksi sumber daya yang tersedia, karena panjang kayu yang terbatas.

Pak Eko bergerak melalui jalinan rasa, disetiap langkah dan jengkal langkah kakinya ia berpikir. Saya yakin setiap pagi adalah pertemuan beliau dengan arsitektur. Di dalam sebuah pelataran dia menyapu plaza tersebut sambil menyusun dedaunan, yang kemudian dedaunan itu mengeras menjadi keramik-keramik yang berganti dan berolah rupa berbetuk binatang seperti burung, ataupun bebatuan. Mungkin ia ingin bebas seperti burung dan berkicau seperti burung. Tapi saya juga mempertanyakan sebenarnya, “Apa yang diperjuangkan?”.

Beliau seringkali bilang “Saya tidak memperjuangkan apapun, saya hanya mengalah kepada begitu banyak keinginan dunia”, tidak banyak arsitek yang bisa mengalah ataupun mau mengalah. Pak Eko menegaskan bahwa “Mengalah itu berarti menang”.

Kira-kira ditahun 2017, saya pernah membaca buku karangan Laura Romano yang berjudul “Sumarah: Spiritual Wisdom from Java”. Didalam buku itu saya menikmati cerita bahwa “Mengalah adalah awal dari ketenangan jiwa, bahwa inti dari kita hidup sebenarnya memberikan keharmonisan, kerahayuan bagi orang lain”.

Saya ditemani oleh beberapa anak-anak OMAH, ada Arlyn, ada Hanifah, ada Luluk. Dan kami diajak turun kebawah, melihat-lihat kontur tanah didalam jalan setapak. Ada beberapa aksis yang dipertahankan disitu, aksis menuju borobudur secara imajinasi bahwa ada satu stupa disana yang berbentuk melingkar sebagai pusat radial dari sumbu banyak hal. Di sumbu radial tersebut kita bisa berhenti sejenak dan melihat ke bawah, ada beberapa aksis yang dipertontonkan disana, ada kantilever beton, ada sambungan material kayu yang menggunakan sistem sederhana, ada ekspresi maju dan turunnya kayu-kayu bekas yang disusun berdasarkan panjangnya tanpa dipotong.

Disitu saya melihat adanya kombinasi sentuhan Kampus Berlage (kampus pak Eko waktu S2) dan desa, dimana sumber daya alam terbatas, sumber daya manusia terbatas, dan ketukangan pun terbatas. Jadi sebenarnya ketukangan yang disajikan disini adalah ketukangan yang biasa-biasa saja, bukan ketukangan yang super dahsyat. Saya turun kebawah, dibawa ada kolam renang, ada impian untuk anak-anak, cucu-cucunya, dan sanak keluarganya yang akan menikmati arsitektur yang ada disini lebih jauh.

Dirinya juga tidak luput dari sentuhan semesta yang memberikan kekayaan pengalaman yang beragam, diverse experience. Buku range yang ditulis oleh David Epstein, menekankan pentingnya kekayaan inspirasi, kelenturan berpikir, sampai berpikir 360 derajat.

Di akhir perjalanan saya diajak ke museum peralatan ketukangan desa yang sudah dikumpulkan beliau begitu banyak. Ia bergumam “Disini saya mengumpulkan alat-alat, alat-alat yang ada dikeseharian kita disini. Ada yang dari sini, ada yang dari situ (sambil menunjuk alat-alat dalam museum tersebut)”, kemudian saya hanya bergumam “Alat-alat ini menggambarkan bahwa keseharian pak Eko adalah sebuah dambaan bahwa ia ingin ketukangan tradisional yang sehari-hari itu muncul di dalam inspirasi yang ada di dalam keseharian kami-kami ini”.

Saya kembali ke pertanyaan saya diawal “Apa yang diperjuangkan pak Eko?”, dengan sedikit marah ia berkata bahwa “Saya kecewa dengan pendidikan arsitektur”. Saya tanya “Kenapa?”. Ia kemudian mengeluarkan satu kalimat yang saya kemudian memiliki interpretasi-interpretasi sendiri bahwa “Apakah sudah kita berfikir bahwa sebuah pengetahuan arsitektur itu memang perlu untuk dipahami? ataukah menelan mentah-mentah sebuah ilmu pengetahuan tanpa berfikir jangka panjang”. Ia mempertanyakan relevansi arsitektur dengan kritis, turunan – turunannya.

Satu titik dimana ia membawa saya ke satu persimpangan yang melintasi sebuah jalan, jalan tersebut adalah jalan kampung dan ia membangun jembatan ke tetangganya. Setelah saya menapak jalan itu dengan plat beton tipis, sebuan keahlian yang dipertunjukkan dia dengan keahlian yang dipelajari tentang struktur beton bertulang. Saya bertanya “Pak Eko, berani-beraninya bangun jembatan ke tetangga seperti ini? ini kan tidak normal, ia terkekeh-kekeh menjawab “Ini kalau setiap hari, tetangga saya lewat sini. Jadi jalan rumah ini dilalui oleh orang-orang lain”.

Sungguh sebuah inspirasi, menurut saya pak Eko Prawoto bukan orang yang mengalah, tapi dia justru sangat berani dan melihat dengan cermat. Begitu dia bertindak, maka tindakannya justru menggoyang pesan kehidupan “Sudahkah kita memahami esensi-esensi yang lebih dasar dari cuma sebuah formalitas dan sebuah tata arsitektur yang sudah baku”. Dari situ saya bisa belajar bahwa “The sky is the limit”.

Batu-batu yang disusun oleh pak Eko, menunjulkkan arsitektur yang kuat bisa dilemahkan, ia bisa bergerak dan ia akan stabil melalui bebannya sendiri. Batu-batu itu disusun dengan artistik, melingkar organik mengelilingi pohon. Ada satu aksis yang tegas, tetapi ada aksis juga yang memutar, radial bertemu aksial. Digerakkan oleh prinsip saling mengalah terhadap alam, batu-batu itu adalah penuntunnya. Batu-batu yang merupakan fosil jutaan tahun dibentuk oleh proses yang tidak mudah. Didalamnya terdiri dari jiwa-jiwa dan proses yang begitu panjang.

Dari batu kita bisa memaknai bahwa proses pembentukan hal yang fundamental itu tidak mudah. Tetapi fundamental itu bisa gerakkan oleh kekuatan alam dan kekuatan desain. Saya belajar akan kekuatan lemah, kekuatan kuat yang menopang yang lemah, dengan gaya gravitasi. Dari situ muncullah dasar ilmu landscape yang baru.

Di perkotaan kita sering dihadapkan dengan suatu kebakuan, suatu cetakan yang akhirnya kita terima apa adanya. Padahal batu yang tidak sempurna menyimpan bagitu banyak rasa tentang kepekaan hati. Manusia mungkin perlu dihajar hatinya supaya dia tidak sombong. Hatinya mungkin perlu di remukkan supaya batu itu menyala terang. Disitulah dasar dari batu itu muncul, mungkin ia bisa muncul dari gunung merapi, dari situ ia akan bergelimpangan menyabarkan dan menyebarkan rasa subur dan rasa pegangan yang kuat akan kehidupan.

Dari batu kita bisa belajar banyak, diatas batu itu ditempelkan keramik-keramik yang beraneka rupa, keramiknya adalah keramik-kemarik pecahan. Ia terlihat sebagai barang sisa, namun ia tampil begitu berkilaunya. Hal-hal seperti ini digarap juga oleh Gaudi didalam susunan konstelasi yang ada di Barcelona, Park Guell namanya. Di Indonesia kita bisa melihat Eko Prawoto. Citarasa seperti Park Guell juga ada di tempat rumah bu Kartika Affandi dan museum Affandi.

Satu saat Kartika Affandi bercerita bagaimana ia sangat mengagumi pak Eko Prawoto dan ia berkata “Tolong sampaikan salam saya untuk mas Eko”.

Dari kediaman Bu Kartika Affandi terdapat komposisi keramik menyerupai gambar alam kita dapat melihat bahwa ketukangan lokal itu terjadi diseluruh penjuru dunia, di kota dan desa. Dan ada sebuah dasar ketukangan yang menyatukan kita bahwa ilmu keramik satu dan ilmu keramik yang lain bisa jadi bebeda, tetapi memiliki penampakan yang serupa. Ada sebuah dasar benang merah yang mengatur kita semua. Dasar untuk berekperimentasi, berekplorasi dan memanusiakan tangan kita. Nah disinilah kita belajar bahwa arsitektur bukan hanya batu yang mati, tetapi arsitektur yang hidup berasal dari batu dan kombinasi keramik yang mulai menari.

Terimakasih pak Eko sudah mengajarkan banyak hal dengan semangat yang ada di desa. Menurut saya kami yang ada di kota perlu banyak belajar dari diri pak Eko, yang bisa mengalah untuk maju dan tidak mempermasalahkan, menang dan kalah itu hal yang biasa. tetapi memaknai nilai kehidupan yang begitu dalam melalui hal-hal yang biasa-biasa saja itu menjadi sungguh berarti. Rasakan liukan batu bata, rasakan angin muncul dari para-para, kita akan mulai sadar bahwa arsitektur akan menyapa, bulu kuduk kita akan merinding, dan saat itulah rahayu muncul. Itulah arsitektur Indonesia yang baru.

Semoga cepat sembuh pak Eko

#RAWinspirasi

Kategori
blog lecture

It Takes Two Tango

Sabtu, 26 Agustus 2023 lalu, saya diundang ke Surabaya, tepatnya ke Theater Budaya Balai Pemuda untuk mengisi seminar bersama dengan teman-teman saya, ada mas Andy Rahman, dan juga pak Gayuh Budi Utomo, yang di Moderatori oleh Mary Philia Alisabeth.

“It Takes Two to Tanggo” berarti bekerja bersama-sama dan menari bersama-sama, itu menandakan bahwa sebagai arsitek kita perlu menghargai bahwa sebisa mungkin kita berkarya. Berkarya itu lekat artinya dengan nilai kolaborasi, sehingga penghargaan terhadap tim menjadi satu hal yang penting, termasuk ketika kita membicarakan sesuatu yang begitu banyak orang lagi didalamnya.

Mengingat begitu banyak kesalahpahaman muncul didalam profesi arsitek yang seakan-akan perlu untuk melihat satu figur saja atau yang disebut sebagai starchitect didalam sebuah moderniasasi profesi, dan hal itu tidak bisa dielakkan karena memang kerja-kerja asritek itu sebagian adalah kerja-kerja individu, tetapi individu-individu itu juga saling bekerja bersama-sama.

Jadi menurut saya individu-individu yang bekerjasama ini bisa saling meningkatkan diri dengan mengetahui posisinya masing-masing untuk saling berbagi. Hal tersebut itu terjadi di OMAH Library, dengan begitu banyak dinamikanya OMAH Librray adalah sebuah kendaraan untuk bisa saling menghubungkan generasi, dan juga merupakan sebuah tempat untuk bisa saling belajar didalamnya. Belajar itu ditandai dengan penulisan dan pembacaan buku ataupun episteme.

It Takes Two to Tanggo sebenarnya terkait juga dengan tidak hanya praktik tapi juga akademik, tidak hanya praktik tapi juga teoritik. Diantara dua buah kutub ini menurut saya lintas batas menjadi cair bahwa arsitektur itu milik semua orang.

Kategori
blog

Bioclimatic Home ?


.
Beberapa bulan terakhir saya berpikir banyak aktifitas manusia terjadi di dalam bangunan, dan bagaimana bangunan yang bisa memberikan kenyamanan menjadi tantangan tersendiri. Kegiatan menanam menjadi sebuah rutinitas yang kami mulai pagi – pagi hari. Hal ini dimulai di waktu satu saat saya menemani ibu saya dan teman2nya yang saya anggap om dan tante melihat lahan pembibitan. Lalu Ibu saya memberikan beberapa tanaman miliknya yang saya letakkan di depan foyer studio. Kemudian foyer tersebut berkembang menjadi teman bereksperimen dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan micro climate yang baik, alat – alat seperti grow light, kipas angin, exhaust, humidifier.
.
Proses detailing tidak mudah, begitu banyak artikulasi untuk membedakan sisi utara selatan dengan bunga – bunga warna – warni, memiliki karakter beda dengan sisi barat timur dengan pepohonan lebat. Ada metode desain yang berbeda untuk sisi bangunan yang berbeda. Konsepsi ini berasal dari keinginan membentuk bahasa kerennya ^^ “Mountain Climate” + Placebo Effect (refresh mind, body, and soul through space) yang menjadi inspirasi untuk membentuk arsitektur bioklimatik di Guha.
.
Dari kegiatan menanam kami belajar mengenai filosofi tumbuh dengan pasti karena ia membutuhkan ekosistem yang sehat bahwa diperlukan bayangan berlapis – lapis untuk membuat tanaman tumbuh dengan sempurna. Dimulai dari pohon besar, tanaman yang hinggap di pohon, sampai tanaman – tanaman yang ada di bawah pohon. Lapisan – lapisan bayangan itu hipotesisnya bisa mereduksi panas sinar matahari berlebih. Dan bangunan bisa lebih dingin dan nyaman.
.
Hal tersebut membuat suhu di Guha direduksi ke 28’C, 4 derajat lebih rendah daripada suhu sekitar (32’C). Dengan pendekatan seperti ini kami percaya arsitektur hadir meningkatkan performa bangunan.
.
#guhatheguild#bioclimatichome#omahlibrary#arsitektur#architecture#arsitekturrumah#experiencingguha

Kategori
blog

Did you know about Guha before?

.

Let us introduce ourselves to those of you who are interested in architecture and life :)

Guha adalah tempat di mana @rawarchitecture_best dan @laurensiayudith tinggal dan di sini banyak cerita muncul mengenai moment bersama orang-orang yang mereka sayang dalam keseharian.

Berdasarkan testimonial teman-teman yang pernah datang ke sini di dalam program #experiencingguha, mereka mempunyai persepsi bahwa arsitektur itu eksklusif, mahal, dan butuh budget yang lebih untuk bisa merasakan dan mewujudkannya. Setelah datang ke Guha, persepsi tersebut terpatahkan, mereka tersadar bahwa desain itu sangat bisa diterapkan di keseharian dan dari barang-barang maupun alat-alat yang sederhana dan kita jumpai sehari-hari.

Arsitektur itu tidak harus mahal. Guha adalah arsitektur rumah yang bisa membuat kita belajar tentang arsitektur. Kata mereka Guha merupakan tempat yang bisa membangun ruang impian di rumah masing-masing.

Guha aktif untuk memperjuangkan arsitektur atau ruang-ruang di dalamnya sebagai tempat dimana orang-orang bisa terus belajar dan mencintai arsitektur.

Welcome to Guha the Guild 🖐️😃

#ExperiencingGuha
#HomeofRealrichSjariefandLaurensiaYudith

Kategori
blog

The Place Where Dreams are Activated

Kemarin saya ke daerah Jakarta pusat, secara tidak sengaja saya ke pameran, dan saya baru tahu bahwa pameran ini diinisiasi oleh anak-anak muda, salah satunya Agustinus Satya, murid saya. Melihat apa yang dikerjakan oleh Satya dan teman-temannya saya terkesima dan takjub karena hasil karyanya memiliki cerita yang sangat personal, dan teknik pengolahan yang sulit. Hal-hal tersebut tidak saya temukan di market place.

Mereka berdelapan termasuk gurunya, mas Haryo Soenggono berpameran sekaligus menjual karyanya. Bauhaus juga dimulai dari hal yang sangat sederhana, membuat prototype, dan kemudian mempopulerkan prototype tersebut, serta menjual prototype tersbeut didalam sebuah platform German Work Federation (Deutscher Werkbund), yang beranggotakan 12 seniman, di antaranya Peter Behrens, Theodor Fischer, Josef Olbrich, Bruno Paul dan Richard Riemerschmid dan 12 perusahaan, salah satu contoh integrasi industri yang telah menunjukkan pendekatan inovatif yang inovatif.

Saya jadi bertanya-tanya, akan kemana kreativitas anak-anak ini bisa mengalir?, Mempertanyakan tentang bagaimana ya ekosistem keramik yang yang ada di Indonesia?

Mereka dilatih didalam sebuah bengkel yang dimiliki gurunya. Mas Haryo Soenggono sudah mencetak anak-anak yang luar biasa dan mengajarkan langkah-langkah untuk bisa membuat kerajinan tembikar yang membutuhkan konsistensi tinggi dan dibutuhkan suhu yang sangat panas, mendekati 1000 derajat celcius untuk bisa membakar dan mencetak bahan dari liquid atau bahan yang cair dan kenyal menjadi solit.

Sebuah proses transpormasi yang biasanya terjadi secara alami, begitu lama. Seperti marmer di Indonesia yang diperkirakan berumur sekitar 30–60 juta tahun. Keramik dipapatkan kedalam proses yang begitu singkat, dan begitulah kerajinan, sangat lama kita mempersiapkan diri, segitu cepatnya kita harus mengeksekusi diri.

Dari sini kita belajar tentang kehidupan didalam pekerjaan yang nyata, sebenarnya adalah pancaran dari kerja-kerja, pelatihan, dan persipakan yang kita lakukan diluar jam kerja.

———–

LeKat Exhibition 3-18 June 2023:

LeKat Collection

They say two heads are better than one, in essence, would nine be much better?

The “LeKat” collection bring forth eccentric notions of form and function. “PuNya LekaT” meaning “to become closer to PuNya,” expresses the collaboration and union of our diverse piece, resulting in a line of authentuc and eccentric creations.

This collaboration is the result of the continuous growth of PuNya Keramik. Pieces of ceramic that have lost their functional purpose are brought together, not to hide imperfections, but rather to symbolize progress.

-PuNya Kemarik

Alles ist Gut, Asat Pottery, Bengkel Keramik Puspa 5, Creamico, Mind Melt Pottery, Reth Ceramics, Sedari Rupa, Svaja Studio, UnE Keramik

———–

Alles ist Gut

Alles ist Gut, Asat Pottery, Bengkel Keramik, Puspa 5, Creamico, Mind Melt Pottery, Reth Ceramics, Sedari Rupa, Svaja Studio, UnE Keramik

Brand Story
Alles ist Gut
Alles ist Gutcomes from the German language that translate into “All is good”. The products bring up the core philosophy of simplicity in its products, hoping to give a unique and personal experience for future owners. Currently, Alles ist Gut studio creates a range of items inspired by everyday life, icliding eating utensils, house decorations such as lamps and vases, all crafted with a focus on local craftsmanship, quality, and a modern design concept.

Alles is Gut employs both hand-building technique and wheel throwing in the creation of their ceramics, followed by firing with a traditional gas kiln. Beyond the technical processes, Jesslyn takes pleasure in every aspects-from clay drying to engaging with customers-which has led to an ongoing learning experienced for her.

Maker Story
Jesslyn Wei
Jesslyn’s fascination with ceramics began through her collection of distinctive ceramic mugs bought during her travels to various regions and countries, saving as cherished mementos. The individuality embodied by each mugs ignited a curiosity whitin her, inspiring a profound appreciation for the creative process of ceramic artist who possess the ability to envision pieces that provide personal experiences to their owners and enthusiasts of ceramics.

In 2018, Jesslyn decided to embark on a pottery journey under the guidance of Haryo Soenggono-a renowned ceramic artist from the Puspa Lima ceramic studio. 3 years later, her passion for ceramics blossomed, culminating in the creation of her own ceramic line, Alles ist Gut.

———–

Asat Pottery

Brand Story
Asat Pottery studio focuses on cheating pieces that serve as room decor or art object, such as lamps, vases, centerpieces, and artworks. The creative process prioritizes shape exploration, and the use of mixed raw materials, with careful attention given to achieving harmonious proportions and scales.

Maker Story
Agustinus Satya
Agustinus Satya’s early exposure to clay began during his childhood when his mother pursued pottery as a hobby at home. In early 2021, Satya reignited his passion for working with clay and dedicated his free time as ceramic artist Haryo Soenggono. This immersion in the world of ceramic further his fueled his growing interest in the craft.

In Satya’s creative journey, he strongly believes that the process holds utmost importance. He Recognizes that the true reward of creation often arise unexpectedly through good process. It is through this belief that Asat Pottery’s ceramic products are born, reflecting a continuous growth. Satya primarily employs the hand-building technique in this creations.

———–

Bengkel Keramik Puspa 5

Brand Story
Haryo Soenggono crafts a diverse range of ceramic pieces, including functional items such as eating and drinking utensils etc. His creations have found their way into numerous restaurants across Jakarta, Bali, and ather cities. The unique authenticity of his work is archieved through the skillful combination of Sukabumi clay and carefully applied glazes.

Maker Story
Haryo Soenggono
“Ceramic is a skill to add value and functionality of clay throught shaping and heating/burning processes”

With an engineering background, Haryo Soenggono started his career as a ceramic artist in the year 1998 at Liem Kang Sien’s studio. 2,5 years into his career, Haryo made the decision to open his own ceramic studio called Studio Bengkel Keramik Puspa Lima. Leveraging his engineering knowledge, Haryo Soenggono also developed various pottery tools, including the gas klin that is currently utilized. With over 20 years of experience, his studio has become a hub where numerous ceramic enthusiast learn the art of pottery.

———–

Reth Ceramics

Brand Story
Reth Ceramics employs the hand-thrown method and hand-building techniques, ensuring that each product possesses its own district uniqueness. Every piece is crafted individually, from the initial clay processing to the application of safe coloring, resulting in functional and beautiful tableware. Reth Ceramics is driven by a deep expression of joy and creativity, offering a range of tableware and simple ceramic pieces that add both functionality and aesthetic value to your home.

Maker Story
Margaretha Oei
Inspired by her enjoyment of watching pottery videos on YouTub. Margaretha Oei, also know as areth, was driven to delve into the world of clay processing and transform it into ceramic artworks. In 2018, Areth made the decision to embark on her pottery journenyat Studio Bengkel Keramik Puspa Lima, where she had the opportunity to learn under the guidance of Haryo Soenggono, the owner of the studio.

The intricate and meticulous nature of the pottery process, requiring attention to detail at every step, deeply fascinates Areth. Through her exploration and expression of ideas, she discovers the profound meaning and beauty in embracing the realities or the world. It is from her profound love for clay and pottery that Reth Ceramics was founded in 2019.

———–

Sedari Rupa

Brand Story
The name Sedari Rupa is derived from the combination of “sejak dari” (since) and “seni rupa” (visual arts). It signifies that there are no limitations as to when and for whom to begin any form of art. Aidin Fikri’s goal in introducing Sedari Rupa is to enhance people’s appreciation for the craft of handmade ceramics. Sedari Rupa offers a collection of tableware, crafted using hand-building techniques such as pinching and slabbing. Each piece is thoughtfully coated with intriguing glazes, adding an element of visual interest.

Maker Story
Aidin Fikri
Aidin’s Fikri’s fascination with pottery began in 2014 when he started collecting various pieces from established handmade ceramic brands. This sparked his interest in learning and creation his own ceramics, leading him to embark on his pottery journey in 2020. With the establishment of his brand, Sedari Rupa, Fikri aims to introduce his unique artworks that have yet to gain recognition in Indonesia.

———–

Svaja Studio

Brand Story
Svaja Studio utilizes a combination of wheel throwing and hand-building technique, incorporating distinctive details into each piece.

Maker Story
Juanita Sharika
Pottery artistry was never initially part of Juanita Sharika’s plans. However, her passion for the arts and background as an architect led her to venture into the realm of ceramics. Over the course of three years, she has immersed herself in this world, transiating her visions into tangible forms throught the exploration of various techniques, shapes, and the boundless realm of imagination.

At Svaja Studio, Sharika presents a collective of modern and quirky ceramics, with her love for fairytales shining through her art. Sharika expresses gratitude for the mentors she has encountered along her journey, as they have provided inspiration and guidance. She invites everyone to join her in imagining will be increasingly appreciated, as she believes that every imperfection holds its own unique narrative.

———–

UnE Keramik

Brand Story
UnE Keramik primarly employs hand-build technique such as plassing, pinching, coiling, and molding. The pieces are carefully shared and preferes using a banding wheel to achieve a smooth finish. Each pece is the followed by the glazing process that is both safe and explanatory, allowing for creative experimentation. The combination of techniques and materials results in pieces that are truly U-Eek.

Maker Story
Uli Padmanegara & Endah Affif
UU and Endah, who are now over 55 years old, discovered pottery because of their individual journey, it began with Endah’s search for a terapeutic to fresh outlet to exprss her creativity. Pottery became the answer to both of their needs, leading them down a path of exploration and self-discovery.

Arridst the chalenges of the pandemic, their search led them to discover Bengkel Keramik Puspa Lima, where they began the pottery journey under the guidance of Haryo Soenggono in November 2020. For Endah, this therapeutic activity brings a sence of joy and fullfilment, even though she can only induge in durung her limited tree time at the end of a busy week. For Uli, pottery has become a form of personal therapy, bringing a caiming effect to her emotions. Intally, they embaried on this pottery adventure without any expectations of their work garnering interest from others. Therefore, they are everjoyed to see that UnE Keramik has been embraced and appreciated bt many friends. Inspired by this, they astablished UnE Keramik with the hope of inspiring others to pursue their passions at any age.

———–

Kategori
blog lecture

Architecture Story: How The Journey Started (Tracing the Dots)

Sabtu, 27 Mei 2023 kemarin saya diundang di acara webinar archistory yang diadakan oleh himpunan mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Negeri Semarang. Tema dari webinar ini adalah “Architecture Story: How The Journey Started”.

Saya merefleksikan tema tersebut kebeberapa tahun yang lalu saat saya mengenal arsitektur di bangku kuliah, pengalaman kerja, merintis biro arsitektur hingga sekarang. Kami menambahkan judul dari webinar tersebut dengan “Tracing the dots”

Penggabungan konektivitas perjalanan-perjalanan berarsitektur yang saya mulai dari hal-hal sederhana yang dipupuk sejak dibangku kuliah, dari kehidupan akademik hingga berorganisasi. Masa dimana saya selalu menjadi orang yang terakhir. Terakhir merapikan kursi-kursi setelah acara, terakhir mematikan lampu dikantor dsb. Secara tidak langsung hal-hal tersebut membentuk karakter kerja sampai tuntas dan belajar mengakhiri apa sudah dimulai. Di dunia arsitektur ternyata hal tersebut sangat berguna, karena proses pengerjaan sebuah proyek arsitektur merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan konsistensi yang tinggi hingga sebuah arsitektur terbangun, membentuk karakter konsisten hingga akhir.

Senjatanya adalah 3 hal, yang pertama adalah pengetahuan, yang kedua menemukan mentor, seperti Norman Foster selama 2 tahun, Mas Emil 1 tahun di Urbane, seperti juga mas Dani satu tahun di DP Architect, semua mentor saya sampai sekarang saya punya mentor-mentor sampai pada akhirnya kita punya role model, yang ketiga bangga dengan diri sendiri.

Kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang setipe dengan kita, menurut adik-adik yang bertanya pada saat pemaparan materi kuliah, mereka mengaggap saya sosok seorang arsitek yang mempunyai idealisme, sehingga dia bertanya “Bagaimana menyikapi ketika idelisme kita bertentangan dengan dosen?”, jawaban saya sederhana, bahwa kita tidak bisa lepas dari ekosistem pendidikan kita, dimana kita masih terperangkat dengan cara mendidik yang sistemnya top down. Itu memeng sudah diteliti juga bahwa negara-negara seperti kita yang masih berkembang ini sangat butuh ekosistem untuk kita mendengarkan anak-anak muda, juga menvalidasi siapa mereka. Tetapi dari sistem pengajaran juga mereka takut bahwa anak-anak akan berhasil atau tidak, karena waktunya benar-benar mepet. Kita itu sama-sama terjepit, seakan-akan sudah harus berproduksi, padahal masih butuh waktu untuk didengarkan.

Semakin cepatnya informasi, maka tekanan itu juga semakin besar. Kamu seakan-akan tidak didengarkan padahal yang terjadi adalah informasi begitu banyak. Padahal zaman dulu kita susah mencari informasi. Sekarang infoemasi dimana-mana. Kalau dulu anak-anak harus haus akan ilmu, karena kalau tidak mencari informasi, dia tidak akan mendapat apa-apa. Kalau sekarang tidak bergerakpun bisa mendapatkan banyak hal. Tapi banyak hal itu anatar jelek atau bagus tidak tau, Jadi menurut saya menjadi penting untuk memposisikan cara berfikirnya. Menurut saya, saya bisa advice. Cara berfikir dan filosofi itu menjadi penting ditahap-tahap awal mempelajari arsitektur.

Filososfi dimulai dari memvalidasi diapa aku, jadi punya background cerita dulu seperti keluarga, dsb. supaya kamu bisa dihargai orang, karena itu sebuah hal yang sangat baik. Caranya bisa lepas dari itu adalah dengan menfalidasi diri sendiri dulu, meskipun mungkin tidak ada dosen ataupun orang yang memvalidasi, kamu harus survive. Jadi reposisinya harus dirubah dulu bahwa dosen itu jangan dianggap sebagai client. Kita tidak bisa tau pengalaman dosen kita, oleh karena maka yang tepat adalah bukan masalah client atau tidak, tetapi proses bagaimana kita menggerakkan bukan cuma clientnya, tapi tentang bagaimana kamu suka dan cinta pada arsitektur. Jadi menurut saya dosen jangan dianggap sebagai client, tapi dianggap sebagai mentor. Nah dari situ kamu akan suka, pada akhirnya idealismenya dimana sih? “Kamu tau apa yang kamu suka dan kamu cintai, jadi kamu bekerja secara otomatis, bekerja tanpa disuruh – dengan begitu soul terbentuk”.

Kategori
blog

Selamat Ulang Tahun Laurensia

.
“Kado terbaikku tahun ini adalah melihat Miracle pulih dari sakitnya”
.
Sudah hampir satu minggu ini Miracle sakit, dan kami beberapa kali ke dokter. Setiap hari juga, Laurensia berdoa supaya ia cepat sembuh, pusing setiap saat membuat kami was-was satu minggu ini. Beberapa hari terakhir ini Miracle sudah mulai pulih dan aktif kembali.
.
Umur kali ini adalah umur dimana kami belajar melewati krisis kami untuk lebih setia pada niat-niat baik ke orang lain, ke anak-anak. Dari Laurensia, saya belajar bahwa mana yang diniatkan akan terjadi, baik menjadi baik. Desain rumah kami, kehidupan studio tidak lepas dari peran dirinya. Ia sendiri yang meminta supaya tempat kerja dan tempat tinggal menyatu dan tidak berjauhan. Ia mengerti saya yang selalu tidak pernah lepas dari pekerjaan.
.
Kalau ada satu hal yang saya perjuangkan adalah membuat Laurensia bahagia, dan terus hadir di tengah-tengah kami. Melihat Laurensia dan harapannya, ia adalah orang yang sederhana, keluarganya adalah surganya, saya dan anak-anak sangat beruntung bisa mendapatkan kasih sayang dari dirinya. Setiap hari ia menyiapkan kebutuhan kami, setiap saat juga ia selalu hadir untuk kami semua.
.
Memang benar surga dan keajaiban hidup ada di telapak kaki Ibu dengan kesederhanaannya dan kesehariannya. Kami bersyukur bisa merasakannya. Happy birthday Laurensia, you are the best mom, wife, and dentist. Love u so much to the moon.

Kategori
blog

Home of Atlantis

.

Saya bertemu dengan client kami ini Anggit, kira-kira ditahun 2008 ketika saya masih ada di London. Saya tidak pernah menyangka bahwa kami bisa bekerja bersama sebagai arsitek & client. Anggit adalah pribadi yang menyenangkan & pikirannya terbuka akan berbagai macam kemungkinan. Ia dilatih oleh ayahnya dengan berbagai macam sudut pandang untuk bisa mempertanyakan “Kenapa sebuah hal itu bisa muncul?”

Di dalam interaksi desain kami menghabiskan waktu 4 tahun. Saya menemani Anggit didalam proses panjangnya untuk menggali nilai lebih tentang kehidupan. Dari dia & orang tuanya saya mengenal banyak pribadi & konsepsi tentang kebersahajaan. Saya sungguh berterimakasih karena konsep tersebut yang menggarisbawahi apa yang kami sedang perjuangkan didalam studio yaitu sebuah konsep mengenai “Understated Beauty”. Sebuah kecantikan yang bersahaja, tidak berlebihan & memiliki akar yang kuat.

Perbincangan dengan Anggit berlanjut dengan dikusi lebih dalam dengan pak Heru, ayahnya Anggit. Dari pak Heru saya mendapatkan cerita bahwa energi di dalam alam ini selalu berputar, cerita tentang bumi, air, dan udara akan terus menghiasi & menghayati arsitektur, & selalu hadir untuk mengisi kehidupan. Diantara serpihan memory, kenangan yang begitu dalam tentang rasa trauma, suka & duka didalam setiap keluarga.

Di satu waktu, Pak Heru menambahkan satu elemen lagi sebelum proyek ini dimulai dengan menambahkan kata tetangga. Hal ini menujukkan kepeduliannya dengan sekitar. Sama seperti cerita petugas keamanan yang begitu bersyukur mendapatkan beras beberapa kilogram perbulan dari dirinya. Arsitektur itu bisa saja sangat rumit, tetapi bisa juga sangat sederhana. Karena cerita-cerita arsitektur ini membuat saya bisa mengenal banyak kebaikan diantara serpihan rekonstruksi kenangan. Dan rumah ini adalah sebuah rekonstruksi kata pak Heru.

Rekonstruksi ini adalah bagaimana kita bisa saling meningkatkan kehidupan orang lain dengan cara apapun yang kita bisa termasuk arsitektur.
.
Terimakasih Anggit + Pak Heru tim @realricharchitectureworkshop: Haikal, Evan dan Adriyan, sudah mengawal project ini, Pandu, Alifian, Thomas dan Anthony juga, serta banyak orang yang lain.

.

Kategori
blog

Coil Bioclimatic Home

.

Bioclimatic Home
.
Pagi-pagi di rumah mas Hugo dan mbak Lisa, suatu rumah yang saya namakan Rumah Ngumpar atau Coiling Home. Di awal perbincangan, saya bertemu mas Hugo yang menginginkan rumah yang memiliki cerita. Permintaan seperti itu bukanlah permintaan yang mudah untuk dijalankan dan dimengerti, karena sebuah cerita di dalam sebuah rumah adalah cerita tempat dimana keluarga itu akan hidup dan besar bersama. Kemudian pertemuan-pertemuan setelah itu adalah mengenal mbak Lyza, istri dari mas Hugo yang sangat pengertian dan terbuka akan begitu banyak kemungkinan di dalam membesarkan anak-anak dan memberikan pengertian kepada mas Hugo.

Rumah ini kemudian terbentuk dengan kombinasi dan keterbukaan seperti bentuk tangan yang sedang memeluk sekitar. Kumparan menurut saya adalah sebuah kediaman yang akan memberikan kesejukan bagi keluarga yang tinggal di dalamnya.

Kejujuran itu memberikan kehangatan dan energi. Energi itu akan berkumpul seperti didalam sebuah kumparan atau coil dan bentuk lingkaran yang erat antara satu dengan yang lain. Begitulah hubungan antara sebuah keluarga yang disatukan oleh ruang-ruang keluarga tanpa sekat, yang terhubung antara beberapa ruang untuk beristirahat atau ruang tidur yang dihubungkan di dalam sebuah sirkulasi kearah yang vertikal. Dimana ada cahaya masuk dengan konsep Punden Berundak.

Pundak berundak ini menerus dari lantai paling atas berupa skylight sampai ke balkoni dan teras dan kolam renang kemudian sampai ke ramp yang mengelilingi bangunan sebagai pintu utama. Komposisi ini menunjukkan sebuah kesatuan dan pemikiran yang panjang tentang sebuah arsitektur biolimatic yang memberikan kesejukan bagi pengguna, kenyamanan termal, kedekatan personal, dan hopefully sebuah tampak yang menyerupai hutan kota. Ditunggu ya kabar selanjutnya.
.
Terimakasih tim @realricharchitectureworkshop : Mei mei, Rico, Putra, Teh Al, dan Pandu yang sudah mengawal project ini. Juga mas Hugo, seluruh tim pembangun Sirin, Watno.
.
#RAWongoing#RAWprogress#Kumparan#CoilBioclimaticHome#house#home#details#bioclimatic#architecture#architecturedetails#architectureproject#workingonprogress#dezeen#archdaily#arsitektur#arsitekturindonesia

.

Kategori
blog

IDN Media Headquarters

.
Kira2 beberapa tahun yang lalu kami mendapatkan pekerjaan desain ruang kantor IDN media yang memiliki perhatian terhadap Milenial dan Gen Z di Indonesia dituangkan dalam bentuk media digital multi-platform yang berfokus pada news and entertainment.
.
Program brief didasarkan pada desain ruang yang efisien multi guna sekaligus ruang meeting dan ruang kerja yanh fungsional, fleksibel, dan terbuka. Proyek ini juga dikerjakan dalam waktu yang singkat dan intensif, seperti salah satu core mindset IDN Media, sangat memperhatikan fokus dan kecepatan.
.
Menurut studi yang dilakukan oleh McKinsey pada tahun 2018 yang berjudul ‘True Gen: Generation Z and its implications for companies’, gen Z merupakan generasi yang penuh dengan keterbukaan dan bebas mengekspresikan diri, berorientasi pada komunitas, dan mengedepankan dialog. Mereka juga cenderung lebih realistis dan analitis.
.
Karakter tersebut mempengaruhi pendekatan dalam organisasi ruang kerja. Kami mendesain ruang kerja mereka dengan plafon ekspos, untuk mendapatkan ketinggian maksimal, dan ruang–ruang di desain untuk mendapatkan penerangan sebaik mungkin dan fleksibilitas banyaknya meja–meja kerja yang bisa memancing kolaborasi dan dialog. Di sisi–sisi pinggir diletakkan kotak kaca untuk memberikan tempat bagi leader ataupun ruang meeting sesuai kapasitas. Desainnya mengalir begitupun juga diskusi saya dengan winston dan william.
.
Sampai kita mendiskusikan cukup intens bagaimana bentuk lobby utama dengan menggunakan berbagai macam tipe komposisi batik sehingga muncul batik khas di dalam ruang yanng membingkai meja, grand piano, tv dan sofa, sebuah simbol seni, informasi, kolaborasi, dan keterbukaan. Bentuk anak panah yang diulang2 dan batik yang diulang2 menggambarkan kecintaan IDN terhadap Indonesia yang lekat dengan unsur budaya yang maya dan kritis terhadap sda yang terbatas.
.
Kami belum sempet mempublikasikannya sudah kepotong covid. Kemarin kami kesana lagi, dan saya senang dan bangga sekali dengan apa yang sudah dimulai mereka. Sudah lama saya pingin silahturahmi dan kali ini kami doakan mereka untuk maju terus wins william dan @idnmedia team !
.
Photographs by @kafinnoeman

.

Kategori
blog

Dari tidak bisa menjadi bisa, dari bisa menjadi biasa

.
Suatu saat kami mendapatkan tumpukan kayu tidak dipakai dengan kualitas bagus, sedangkan tempat di sudut benteng pun terbatas, mau ditaro dimana lagi. Setelah itu kami mendesain sebuah struktur mirip perahu pinisi yang ditambatkan di kedua ujung tumpuan yang ringan. Bentuknya menyerupai jembatan yang menghubungkan kanopi dengan berat yang ringan. Yang dulu tidak bisa diinjak menjadi bisa diinjak, menuju kotak yang digantung oleh plat yang menggantung. strukturnya menggunakan elemen-elemen yang kecil-kecil, ringan-ringan seperti sarang burung.

Waktu dibuat desainnya, tidak ada yang berani membangun. Tetapi justru tukang-tukang yang tidak berpengalaman dalam membangun konstruksi kayu dan tidak punya pikiran apapapun yang sung-sungguh bekerja dan bisa mengkonstruksinya dengan alat-alat yang sederhana dan mengandalkan benang sebagai as. Setiap pagi saya berjumpa mereka, berdialog, berdiskusi, dan bereksperimen didalam struktur sosial ketukangan. Mereka adalah tukang-tukang yang kelas tiga. Kelas satu adalah para mandor, kelas dua adalah para tukang pengrajin. Kawan-kawan kami ini mungkin tidak memiliki pengalaman yang banyak, namun memiliki daya juang dan kreativitas yang tinggi dan juga mau untuk terus belajar.

Sama seperti di dalam praktik arsitektur, hal ini terjadi. Bagaimana anak-anak di studio berkembang, dan terus meningkatkan diri, dari penggambaran, pengetahuan bahan, dan integrasi multi disiplin. Dulu kita kalau foto satu studio tidak muat, berkerumun dibawah, namun sekarang sudah bisa masuk semua. Disana Kami belajar bahwa kebudayaan dan masa depan adalah bagaimana menjembatani dan fokus ke keseharian di dalam berpraktik dan mampu membuat ketakutan dan nilai di dalam diri seseorang menjadi sumber untuk jiwa bertumbuh dan beregenerasi. Dari hal-hal kecil sehari-hari, kami belajar untuk terus fokus, berhati-hati, dan belajar.
.
Ditunggu ya cerita-cerita lebih lanjut lg dari studio kami, di studio kami sibuk menangani proyek yang intensif mulai dari pengecekan desain, merumuskan konsep, berdiskusi antar disiplin dan owner, juga menggali lagi, apa ada lagi yang bisa dieksplorasi. Salaam reflektif !

Kategori
blog lecture

Pendekatan Desain di Praktik?

Kemarin saya dihubungi oleh pak Hanson E. Kusuma (Pengajar di ITB), dulu dosen saya dan kita pernah bekerja bersama. Saya baru tahu juga beliau menggawangi IPLBI. Kerja-kerja arsitektur sebenarnya lekat kaitannya dengan sebuah hubungan yang tidak hanya personal, tapi juga saling berkolaborasi. Kemudian ada lecture IPLB, saya bersyukur bisa diundang oleh beliau dan juga bersama rekan-rekan yang lain,

Dhini Dewiyanti | Universitas Komputer (Chief Editor JLBI dan JDLBI)
@madcahyo | SDA Architects (Arsitek – penulis – peneliti)
Nurhikmah B. Hartanti | Universitas Trisakti (Kepala Pusat Peneliti GCE)
@pancawatidewi | Universitas Gunadarma (Kaprodi Magister Arsitektur)

Semoga acara ini bisa memberikan dampak baik, karena yang namanya pendekatan desain dalam artikel journalism ada kaitannya dengan hal yang sifatnya praktis dan juga elaborasi ilmu pengetahuan yang terjadi didalamnya.

Pendekatan desain dan penulisan itu dua hal yang saling membantu dan saling terhubung supaya dengan adanya penulisan, elaborasi ilmu pengetahuan bisa dilakukan dengan lebih runtun. Tapi pendekatan desain itu sebenarnya seperti penggabungan penyatuan antara intuisi dan merasionalkan keputusan-keputusan desain. Semakin runtun, semakin cepat. Jadi kedua hal tersebut saling menunjang untuk sebuah optimalitas kegiatan mendesain.

realricharchitectureworkshop #realrichsjarief #architecture #arsitek #lecture #architecturelecture #RAWArchitecturelecture


@realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Tracing Our Own Asian Architecture Heritage?

.

Dari dulu kami mencari nilai-nilai heritage/pusaka di dalam praktik, keseharian, belajar-mengajar di kampus ataupun di studio. Hal tersebut memunculkan banyak diskusi dan tanda tanya di kolaborasi kami kemarin antara @iaibanten@sabd.tribe@untar.architecture dan @omahlibrary
.
Puji syukur, acara Tracing Our Own Asian Architecture Heritage di @omahlibrary kemarin berjalan lancar. Diskusi ini seperti sebuah jeda sejenak untuk menyusun gambaran ide. Yang terpenting adalah interraksi yang terjadi berlangsung hangat dan intensif, dialognya terbuka dan saling membangun di sela-sela makan bersama, tertawa, dan serius bersama juga.
.
Kami berharap kolaborasi seperti ini bisa berjalan terus sebagai sebuah momen untuk mengisi waktu-waktu jeda yang menciptakan kesempatan untuk lebih banyak orang disela-sela praktik yang intensif.
.
Terimakasih untuk ibu Veronica Ng, head of School of Architecture, Building and Design (SABD), Taylor’s University. Bu Maria Veronica Gandha, ketua Program Studi Sarjana Arsitektur Universitas Tarumanagara. Pak @pierrepongai, ketua IAI Banten, Robert Powell, lecturer at Taylor University, Camelia, lecturer at Taylor University. Kawan dekat saya @eka_swadiansa, Researcher & Principal at OSA dan @madcahyo, JAAI-IAAN Advisory Board, Bu @_ti2n, pengajar di Universitas Tarumanagara, Bu @nyonya5161t, pengajar di Universitas Tarumanagara.
.
Dan teman-teman yang ada di OMAH Libray @hanifahsausann@luil_mn@meinnamelani@arlynkeizia@yophrm@khunmey, seluruh tim @majalahsketsa yang sudah membantu, serta teman-teman himpunan @himanika_nawasanga prodi Arsitektur Budi Luhur yang tidak hanya hadir namun menambah warna dan kesan yang tidak tergantikan. Hangat dan manis.
.
#architecture#architect#lecturers#architecturelecture#reseachers#arhitecturereseacher#writers#architecturewriters

Kategori
blog lecture

Kebudayaan dan Masa Depan: Merancang Arsitektur Rumah Panggung Masa Depan?

Pada tanggal 9 Maret 2023 kemarin, kami berbagi mengenai pendekatan desain dengan tema “Kebudayaan dan Masa Depan – Merancang Arsitektur Rumah Panggung pada Masa Depan” bersama moderator Kumbang Bernaung yang merupakan lulusan @kampusbudiluhur @arsitektur_ubl didalam rangkaian acara @kanvas_ubl. Kumbang adalah lulusan @omahlibrary yang kami banggakan dan senang sekali kami bertemu dengan dia kembali.

Didalam tema ini saya mencoba memberikan cerita tentang bagaimana saya mencoba melihat Indonesia dari hal yang sangat personal dan juga hal yang sangat publik. Jadi mencoba untuk mempertanyakan banyak hal. Kalau melihat Indoensia terdapat beberapa signery, kalau kita melihat postur badan, setiap orang punya idealnya masing-masing, di dunia juga ada beberapa postur badan. Kenapa hal ini penting? Karena ini kaitannya ke Rumah Panggung, kita tau ada Vitrivius yang gerakannya seperti huruf “V”, kalau kita membentuk huruf “V” yang kita tarik kebelakang kemudian punggung kita sakit, itu berarti kita forward neck.

Jadi problematik tulang belakang seperti rumah panggung, bukanlah tulang itu sendiri, tapi adalah otot yang menyangga tulang tersebut. Kita melihat Vitruvius seperti Architype Yunani Kuno. Kita lihat di India atau China, dimana kebudayaan Indonesia berasal dari migrasi dari laut China selatan. orang yang sedang berlutut memberikan mudra seperti yoga, bersila dan belakangnya rata, nafasnya melalui perut, diam dan perutnya kencang barulah muncul postur yang ideal. Mulai rata dan ada sebuah pelatihan kuda-kuda. Di Indonesia ini, kalau ada foto-foto budaya banyak orang yang jongkok dibawah, mendekatkan posisinya ketanah supaya tidak jatuh. Kalau jatuh pada bangunan iyu adalah fatalitas. Jadi postur itu sendiri ada berbagai macam rupa, tapi pernah tidak kita lihat apakah kita sudah punya postur yang sangat baik atau belum?.

Mempertanyakan kontek Indonesia berarti kita melihat bahwa Indonesia adalah budaya dan iklim yang ada dua musim. Sudut mataharinyapun berbeda, dia ada dari utara dan selatan, beda dengan Paris, Norwegia, ataupun Finlandia ya matahari itu kan dari selatan. Oleh karena itu Hagia Sophia sangat panjang dan tinggi suapaya matahari bisa masuk kedalam inti dari bangunan, makanya ada banyak lubang cahaya. Nah hal-hal seperti ini menjadi penting.

Jadi rumah panggung ada kaitannya dengan cara hidup dan budaya yang ada komunitas didalamnya. Tapi tidak sesimple itu, kamu lihat rumah panggung didalam konteks keadaan kota yang sekarang. Karena kalau semuanya dibikin rumah panggung 1 lantai dengan teman-tema arsitektur vernakular, tidak cukup lahan kita. Jadi pertanyaannya bagaimana?. Saya masih meyakini bahwa konsep rumah panggung adalah salah satu konsep terbaik yang kita punya, yang perlu di kontekstualisasikan dengan arsitektur masa depan. Masuknya buday luar ke Indonesia itu dilihat dari lautan dan dari daratan, karena kita dikelilingi oleh lautan. Tapi rumah panggung yang di daratan dan lautan itu memiliki problematika yang berbeda-beda, dan materialnya juga berbeda-beda, dari pemakain kayu besi, kayu biasa, kayu kecil dsb, itu berarti ada intervensi dari sesuatu yang tidak pada akar kita unutk masuk pada akar kita dan mempengaruhi secara langsung.

Hal tersebut memunculkan beberapa pertanyaan, apakah arsitektur Indonesia lebih baik daripada arsitektur barat? atau sebaliknya. Dan bagaimana posisi Indonesia didalam konstelasi arsitektur timur?. Aslinya Indonesia adalah sebuah negara yang sangat beragam, hibrida, yang akan menjadikan relasi, bagaimana ketakutan-ketakutan kita sebagai bangsa perlu untuk dihindari dan kita menghadapi, apa sih yang kita sedang cari?.

Permasalahan kota itu benar adanya sehingga perlu menempatkan arsitektur panggung pada tempatnya menurut analisis saya pribadi. Jadi permasalahan kota ini tidak bisa dianggap remeh karena sehar-sehari kita menghadapi permasalahan tanah, budget, gempa, banjir. Dan kita butuh justifikasi, apa itu arsitektur panggung?.

Jadi di lecture ini kita akan mencoba menelisik akar-akar arsitektur Indonesia kita. Didalam teori arsitektur oleh dowin numerik, belum tentu arsitektur itu terbentuk dari sebuah proses yang sangat sederhana. Proses untuk menopang siku-siku tenda membentuk segitiga-segitiga yang membentuk sebuah bangunan, dan kemudian bentuk itu bertransformasi, kemudian direvisi lagi menjadi sebuah tren. Tren itu punya sebuah persepsi juga dari publik tentang ekspektasi sebuah arsitektur. Tetapi didalam proses sebenarnya kita perlu merenungkan kembali dari proses menuju satu, menuju kebawa. Dari situlah persepsi kita semua terhadap rumah panggung. Apakah kita malihat rumah panggung hanya sebuah sebagai sebuah tren saja, sebuah bentuk saja, ataukah kita merunut satusatu mana yang penting sebenarnya untuk kita ambil hari ini.

Olah karena itu saya akan membicarakan bagaimana sebuah imaginasi itu mencul melalui hal-hal yang cukup popular dan membawakan nilai yang positif bagi kita. Seperti film-film disney seperti Marvel of united, membawa beberapa inspirasi nusantara kedalam bermacam-macam dunianya dan akhirnya memiliki banyak dunia, banyak tempat, sitsuasi dan kondisi. Dan itu adalah alam imaginasi. Dan sebenarnya pendekatan kita adalah akar kita. Banyak ilustrator dari Marvel of united itu muncul dari Indonesia dengan semua peradabannya. Kita punya 9 kebudayaan besar yang sudah mengakar sampai sekarang, dan terpecah dibanyak pulau. Dan beberapa budaya vernakular itu masih aktif sampai sekarang. Dibeberapa negara di eropa itu sudah tidak aktif lagi.

Di Indoensia, diranah ketertinggalan dan kemajuan kita mendapatkan sebuah referensi budaya-budaya yang masih aktif, masih mengakar, masih diajalankan, dan itu bisa kita rasakan secara langsung. Dan inilah alam imaginasi bersama. Sehingga begitu kita berbicara tentang geografis yang dilaut ataupun didaratan, itupun jadi tidak menjadi persoalan.

Mempertanyakan Rumah Panggung sebagai Masa depan Arsitektur Kita?

Lirik lagi “Panggung Sandiwara – Nike Ardilla”:

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata
Atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar
Dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan

Disana Kami belajar bahwa kebudayaan dan masa depan adalah bagaimana menjembatani dan fokus ke hal-hal yang terus mengakar membawa nilai budaya yang semakin kuat, dimulai dari keseharian di dalam berpraktik dan mampu membuat ketakutan dan nilai di dalam diri seseorang menjadi sumber untuk jiwa bertumbuh dan beregenerasi. Rumah panggung di dalam konteks ini hanyalah sebagian cerita dari jembatan – jembatan kehidupan yang kami jalani di dalam waktu yang terbatas.

1001 cerita
Sejuta rasa
Di dalam 99 persen
proses yang tidak pernah selesai

Kategori
blog lecture

Konsistensi Merancang Konsep Desain hingga Perwujudan ?

Tanggal 7 Maret 2023 lalu, saya diundang mengisi kuliah umum studio perancangan arsitektur di @maranathaarsitektur. Tema dari seminar ini “Membangun Konsep Desain Arsitektur yang Konsisten hingga Perwujudan Desain”

Tema ini mengingatkan saya pada proyek Rumah Gading Tower, pada saat itu saya ditelfon oleh klien, beliau menyakan “Mau ya pak mendesain rumah kecil sepeti ini?”. Kadang kami heran, mungkin ada persepsi bahwa yang kita kerjakan adalah proyek-proyek besar semua. Akhirnya saya mendapat empati bahwa pasangan klien ini sangat percaya kepada kami. Setelah itu kami berkomitmen bahwa apa yang dikerjakan disini adalah sebuah kolaborasi antara kami dan klien.

Banyak dari klien kami yang bertanya hal serupa, “Kenapa mau totalitas dalam mendesain rumah diatas lahan yang kecil?”. Menurut kami, bukan masalah mau tau tidak, tapi bagaimana sebuah proyek menjadi ruang untuk bertumbuh bagi klein dan juga kami. Jadi bukan masalah kecil atau besarnya proyek, tetapi apa nilai yang bertumbuh disana.

Arsitektur yang kami buat, secara visi bisa untuk banyak hal dan banyak orang. Di proyek ini lucu, kami mengeksplorasi letak tangga yang dipinggir sehingga bisa menjadi efisiensi diatas lahan yang tebatas. Pengolahan bentuk-bentuk jendela setelah lingkaran yang membingkai keseharian ketika sedang memasak dan bisa menjadi tampak bangunan. Dan penempatan lubang-lubang cahaya dan udara yang membuat bentuk kotak padat. Bentuk massa yang tinggi menjadi terbuka sehingga mendapat sirkulasi udara dan matahari secara langsung.

Penyadaran bahwa konsistensi didalam berarsitektur dimulai dari sebuah visi untuk melayani dan bagaimana arsitektur bisa dinikmati banyak orang dan menumbuhkan banyak hal. Dipupuk dari attitude didalam mendengarkan klien, kemudian hal tersebut menumbuhkan kepercayaan diatara klien dan arsitek dan berevolusi menjadi komitmen bersama. Darisana proses yang begitu intensif dimulai, antar designer dan klien, desainer dan crafsman, hingga operasional dengan seluruh stakeholder.

Kategori
blog lecture

Empathy in Architecture – Training the Soul

Hari Kamis, tanggal 23 Februari 2023 lalu saya diundang mengisi kuliah umum studio perancangan 8 oleh Universitas Tarumanegara sceara offline. Tema dari kuliah ini “Empathy in Architecture – Training the Soul”

Kami mencoba menarik akar dari tema tersebut, dari mana sebuah empati bisa muncul?. Di dunia digital saat ini banyak sekali informasi masuk melalui gadget kita, darisana dapat memunculkan sikap simpati yang menunjukkan kepedulian kita terhadap orang lain, kondisi sebuah emosi yang berjarak. Darisanalah empati terasah untuk muncul, berusaha merasakan yang orang lain rasakan lebih dalam dan tanpa jarak. Namun, apakah sikap empati cukup didalam berpraktik arsitektur? Jawabannya tidak cukup. Didalam membangun arsitektur diperlukan lebih dari sekedar emosi, tapi juga action atau kasih sayang berupa tindakan yang penuh dengan keringat dan air mata.

Didalam berpraktik arsitektur dibutuhkan kemampuan beradaptasi seperti bunglon, yang menjadi dasar sebuah brikolase. Brikolase seperti menyamar dan kemudian menjadi bagian dari orang lain, sampai blending. Hal tersebut diperlukan didalam proses desain hingga aktualisasi disain.

Didalam perjalanan panjang berpraktik, kami membagi proses perjalanan ini kedalam 3 fase: Yang pertama art, kedua detailing proses, dan ketiga supervising. Didalam fase Art atau tahap conceptual design, kita akan mengalami 5 kondisi. Dari mulai menghadapi ketakutan atau fear dan munculnya defensif atau perasaan yang muncul akibat menerima kritikan dsb yang menyebabkan munculnya vulnerability atau kerapuhan dari dalam diri. Ibarat lautan, di kondisi seperti ini kesakitan-kesakitan itu muncul hingga membuat kita jatuh kedasar paling dalam. Kondisi-kodisi yang kadang kita anggap sebagai proses gagal inilah yang sebenarnya akan membuat kita tumbuh dan muncul kembali kepermukaan.

Fase yang kedua adalah detailing proses atau tahap aktualisasi dari sebuah art. Fase dimana setiap detail pelaksanaan diimplementasikan dan diperbincangkan, seperti material, waktu, kendala konstruksi, hingga sisi operasionalnya.

Terakhir merupakan fase supervising, dimana ketika kita ke lapangan, kita akan menemukan kondisi-kondisi tidak tertebak atau tidak pasti. Terkadang menemukan kesalahan-lesalahan tukang, klien yang berubah-ubah dsb. Fase ini menjadi sangat penting, kita harus melewati fase detailing proses yang begitu komplek sebelum memasuki fase ini.

Dari mengetahui ketiga fase inilah perasaan lebih dari sekedar empati muncul. Didalam berpraktik, soul, mind and body bekerjasama memberikan kasih sayang kepada tim, client, dan tukang didalam keseharian kami. Begitu juga didalam mengeksekusi tugas-tugas studio perancangan.

Kategori
blog publication

RAW Architecture shares studio culture in Design Anthology Issue 32 | March 2022

Realrich Architecture Workshop featured on Design Anthology

We see architecture as an act of collaboration and deep connection. Enjoying the architectural process filled with memories of all our happiness and struggles. We love being able to share our studio process with lots of people. Luckily in 2022 Simone Schultz, Managing Editor of Design Anthology contacted us and gave us the opportunity to talk about the culture in our studio.

In Design Anthology Issue 32/March 2022 we share how our studio in Guha, has become a broad ecosystem with the presence of the OMAH Library and our experimental workshops in it. Having a wide cross-discipline in Guha from designers, writers, administrators and craftsmen makes our studio more like a campus with many individuals playing various roles, but they can all also be involved in the process of creative exploration and experimentation.

Kategori
blog publication

Guha featured on Monocle Magazine Issue 160 | Feb 2023

Guha featured on Monocle Magazine

During the pandemic, the living room has always changed from a private space to a more communal space. It’s a space that we are passing by every day at Guha. It consists of a round window, landscape with retention, and water filtration system, and connection to the closest library, pantry, and more private space. This living room is the center of the site. That’s why when the editor of Monocle Magazine, Nic Monisse contacted us to feature this space in the magazine, we are super excited and super happy that finally we have seen the publication in our space. This living room at Guha was featured in “50 x sense of places” Monocle Magazine.

Thank you Monocle Magazine and editor Nic Monisse for writing about our Guha.

The article highlighted how flexible the space in the middle of our studio is. A form of adaptation and expression from a living room to a library of materials, where we meet clients, to a private study room, and all of this is done in just a 4×8 m area. We are hoping to extend and redefine this space to be more hybrid, practical, and adaptive to more positive transformation. It’s like believing that architecture is always transforming with time and functions.

Kategori
blog publication

Otten Coffee Experience published on ArchDaily

Otten Coffee Experience published on ArchDaily

There is good news from one of our projects, Otten Coffee Experience, Bandung is published on ArchDaily. Thank you to all of the people involved in RAW Architecture.

Otten Coffee Experience is located at Pasir Kaliki Street, Bandung, West Java. In the design process, we applied the concept of a Bandung locality which is similar to Gesamtkunstwerk, which means total work of art in German. We make local craftmanship a common thread by elaborating 6 materials to summarize the craftmanship experiments at the Realrich Architecture Workshop such as: brick, bamboo, gypsum, stone, concrete and steel. This results in a fresh artistic shape with repetition of exposed cement brick arches and natural lighting plus artistic lighting and design layout..

Here is the full coverage:

Otten Coffee Experience / Realrich Architecture Workshop | ArchDaily

Kategori
blog publication

Stupa House featured on designboom

Stupa House featured on designboom

Cited from website: “RAW architecture crowns Indonesian house with six tapered skylights. RAW architecture brings peculiarity to the alam sutera neighborhood at the outskirts of jakarta with its house of skylights called ‘stupa’. characterized by a traditional tapered design, the residence stands as a small castle that honors local culture while providing thermal insulation and breathability amid the hot and humid local climate. effectively, each skylight features tiny gaps that let in natural light and ventilation without comprising internal temperatures.

Here is the full coverage:
https://www.designboom.com/architecture/raw-architecture-stupa-house-alam-sutera-indonesia-02-01-2022/

Kategori
blog publication

Sarang Nest House published on ArchDaily

Sarang Nest House published on ArchDaily

It’s a huge achievement for our team, Sarang Nest House is published on ArchDaily. Thank you to all of the people involved in RAW Architecture.

Located in a residential area, Taman Buana Permata house complex, West Jakarta. With an area of 250 sqm, Sarang Nest House consists of 2 generations of families living together, this underlies a centralized circulation and creates a micro-environment through a spatial arrangement with different angles. This angle creates distance between the perimeter of the house and the neighbors thereby allowing air to flow freely around the building while maintaining privacy between spaces. Each room has its own outdoor space. Light enters the room through perforated walls, crevices, windows, and skylights. The shape of this house is tilted to make it more efficient as well as a response from the corner of the building.

Here is the full coverage:

Sarang Nest House / Realrich Architecture Workshop | ArchDaily

Kategori
blog

Tahun ini saya berumur 41

.

Tahun ini saya berumur 41, saya mengucapkan banyak harapan untuk kita semua, terutama orang-orang terdekat saya. Ulang tahun kali ini saya merasakan lebih untuk mensyukuri kebahagiaan yang ada dan melihat refleksi bagaimana bisa punya dampak yang baik untuk orang lain.

Terima kasih untuk @laurensiayudith yang sudah menemani saya sejauh ini, mendoakan, dan mempersiapkan vitamin C setiap harinya. Juga pelukan, senyuman, tawa setiap hari dari Miracle, dan Heaven yang selalu adorable dan lucu. Juga semua tim, keluarga besar studio, juga kawan-kawan semua.
.
Semoga pikiran, badan, dan perkataan ini bisa lebih berguna di tahun ini untuk banyak orang. Doa saya untuk kesuksesan kita semua, kebahagiaan, kedamaian, mimpi-mimpi, dan keceriaan yang menjadi nyata. Di balik rambut yang memutih, perut yang membesar dan mengecil, kerutan yang nampak, ada keceriaan anak-anak, gelak tawa, dan keharuan yang tidak pernah terlupakan. Big Hugs

Picture by @_yophrm@luil_mn@meinnamelani, thank you ya guys, juga seluruh saudara-saudara, kawan-kawan tercinta, dan keluarga RAW Architecture @realricharchitectureworkshop

Happy Birthday 16 jan 2023
Happy 41st birthday Kak Realrich
Kategori
blog

Platonic Bioclimatic Home

.
Kali ini saya mau cerita tentang satu proyek di jakarta. Untuk klien sudah lama saya kenal, perbincangan dengan beliau memberikan kesan yang hangat tanpa kehilangan respek terhadap profesionalitas. Beliau adalah seseorang pencari nilai keluarga sekaligus seorang strukturalis yang memiliki prioritas nilai yang tergambarkan juga di program kebutuhan ruang.
.
Ruang-ruang bawah dibuat terbuka dengan posisi perpustakaan dan ruang kerja di massa yang paling belakang, di lantai atasnya diletakkan ruang keluarga yang fleksibel terbuka dengan akses ramp melalui luar. Aksesnya memutar dari sisi samping dan void ruang terbuka membuka cahaya dari keempat sisi bangunan. Lantai teratas adalah zona ruang tidur yang memiliki ruang berkumpul bersama.
.
Ruangannya optimal sekaligus lega. Tidak sabar buat rumahnya selesai dan bertransformasi kembali. Untuk tipologi rumah tinggal pribadi menjadi salah satu tipologi yang menantang karena sisi psikologi klien yang perlu diselami. Sekaligus mengolah keahlian mengolah ruang, detail, komposisi, dan kesadaran akan lingkungan yang sehat.
.
Konsep ruang-ruang privat dan publik rumah ini terdiri dari 4 sisi yang saling berhadapan dengan sisi-sisi yang transparan. Sehingga mendapatkan cahaya matahari tidak langsung yang menerus di sepanjang harinya. Hasil dari bayang-bayang menciptakan lorong-lorong udara yang membelah massa-massa bangunan. Lorong cahaya dibentuk dari 40 pola arsitektur di lorong pintu masuk.
.
Thank you, clients (IS), builders, engineers, and the teamwork @realricharchitectureworkshop team, @timbulsimanjorang@joanaagustin@gabymarcelina@vyaanasss, and others (Ali, Dini). Architecture is a long process and collaborative effort.
.
#RAWongoing#RAWprogress#Platonichome#PlatonicBioclimaticHome#house#home#details#bioclimatic#architecture#architecturedetails#architectureproject#workingonprogress#dezeen#archdaily#arsitektur#arsitekturindonesia


Kategori
blog

Artisanal Bioclimatic Home

.
Rumah ini merupakan proyek renovasi bangunan di atas lahan 8 x 20 yang mempertahankan sebagian dinding dan pondasi eksisting. Renovasi didesain memiliki bentuk unik sesuai kebutuhan (2 kamar anak, 1 kamar utama, ruang keluarga dengan sarana pendukung). Klien kami adalah pasangan yang sederhana, mendambakan rumah yang memiliki estetika yang baik sekaligus tidak mahal.

Saya mengenal salah satu dari mereka dari sejak kecil, kami bertetangga dan sering berpapasan. Justru kemudian pasangannya secara kebetulan mengetahui referensi dari klien kami. Mereka adalah pasangan yang rasional, empatik sekaligus senang dengan seni. Mereka bisa membuka dirinya, sehingga proses desain bisa berjalan lebih lentur dan eksploratif.

Strategi arsitektur dimulai dengan membuka pandangan ke arah belakang dengan memanfaatkan struktur yang digunakan untuk menopang struktur baru. Penambahan lantai menumpu diatas pondasi telapak sesuai dengan perhitungan beban dan kondisi tanah eksisting sekaligus dibuka untuk mendapatkan ruang yang fleksibel.

Celah Antar kiri kanan dan cerobong cahaya berfungsi untuk memasukkan udara segar sekaligus cahaya. Meskipun rumah terdiri dari 2 lantai dan berbatasan dengan dinding tetangga samping tidak menjadi penghalang agar rumah mendapat pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Tampak depan yang memiliki bagian balkon kantilever dan rongga ruang di samping kanan kiri sehingga menampilkan kesan ringan dan ramping. Kantilever berfungsi sebagai naungan pintu masuk yang ada di bawahnya. Rongga ruang samping ini juga berguna agar semua area mendapat cahaya dan sirkulasi udara yang baik. Pintu masuk didesain dengan bentuk bulat sehingga menampilkan kesan artistik di dalam komposisi arsitektur yang optimal.

Thank you, clients (H+T), builders, engineers, and the teamwork @realricharchitectureworkshop team, @joanaagustin@timbulsimanjorang@alimhanz, and others (Vivi, Ali, Aga). Architecture is a long process and collaborative effort.
.
#RAWongoing#RAWprogress#HarrisTiffanyHouse#house#details#bioclimatic#architecture#architecturedetails#architectureproject#workingonprogress#dezeen#archdaily#arsitektur#arsitekturindonesia


Kategori
blog

Morahai House

.
Rumah ini memiliki dua sisi, ia privat juga ada sisi publik. Sisi kamar tidur berisi permainan bentuk lengkung-lengkung yang menerus seperti terasering. Massa bangunannya seakan-akan diangkat untuk mengakomodasi daerah komunal-perpustakaan-dan daerah tempat tinggal. Ada tangga disisi ujungnya yang dikelilingi oleh bukaan kotak-kotak. Kebetulan suami dari sahabat saya, suka berkomunitas. Rumah ini adalah cerminan dua sisi komunitas dan keluarga yang saling bertolak belakang. Explorasi kombinasi bentuk lengkungan dan kotak pada bentuk dan fasad bangunan didesain untuk memberikan aliran udara yang sehat dan menghadirkan cahaya udara alami kedalam ruang.
.
Istri dari klien kami adalah sahabat lama saya dari SD. Dulu Saya bertemu dia lagi kira-kira 12 tahun yang lalu dan baru 3 tahun yang lalu bertemu kembali dan menjadi klien kami. Kali ini Pekerjaan kayu-kayu, kisi-kisi depan dan kayu ulin yang sudah terpasang.
.
Layouting didalam rumah rumah ini menyediakan dua jenis zona privasi, publik dan privat karena klien kami menginginkan setiap kerabat yang berkunjung bisa merasa seperti rumah mereka sendiri.
.
Thank you, clients (G+J), contractor, and the teamwork, architecture is collaborative work
@realricharchitectureworkshop , @timbulsimanjorang@alimhanz, and many other people involved, hugs 🤗
.
#RAWongoing #RAWprogress #Morahaihouse #house #details #bioclimatic #architecture #architecturedetails #architectureproject #workingonprogress #dezeen #archdaily #arsitektur #arsitekturindonesia

Kategori
blog inspiring people

Tan Tjiang Ay + Yuswadi Saliya

Barusan hari ini di akhir tahun 31 Desember 2022, saya berkesempatan bertemu Om Tan Tjiang Ay dan Pak Yuswadi Saliya.
.

Dari om Tan saya belajar keseharian berpraktik yang realistis, optimal, dan detail. Saya berpraktek karena keterpaksaan, ia berujar.
.
“Masa sih pak keterpaksaan, menurut saya bukan keterpaksaan, tapi memahami keterbatasan melalui penyelesaian permasalahan.” Jawab saya.

“Tapi yang saya selesaikan, adalah permasalahan lapangan yang sehari – hari. Yang tidak mahal, yang praktis.”Ujarnya.

“Itu salah satu aspek yang bisa dijawab arsitektur pak, permasalahan sehari – hari, dan juga diperlukan oleh banyak orang. Mungkin juga detail, solusi yang sederhana bisa menjadi inspirasi oleh publik.” Jawab saya

Perbicangan seperti ini berjalan berjam – jam lamanya. Sampai satu saat saya menanyakan benang merah berkarya. Ia menjawab, wah wah pertanyaan berbahaya itu, sambil terkekeh- kekeh. Ia bercerita saya menimpali, itulah kenikmatan tersendiri di dalam memahami om Tan yang sudah berpraktek 50 tahun lamanya. Tempat kerjanya ada di dalam sebuah bangunan yang sudah berdiri dari tahun 1920, disesuaikan ulang, di tambah – tambah dan juga dikurang – kurangi. Umur struktur bangunan tersebut sudah 102 menuju 103, dari situ kita bisa belajar soal sikap menghargai, ya attitude adalah awal dari proses perencanaan, sebelum filosofi, sebelum teori, sebelum metode, dan ilmu – ilmu lapangan.
.


Dari Pak Yus kita bisa belajar memahami perspektif yang lebih dalam dari permukaan.
Ia melihat perspektif perlu didukung oleh data, sehingga polanya bisa terbaca, ia menyebutnya taksonomi atau pengelompokkan. Arsitektur pun demikian.
.
Data itu penting yang dipergunakan untuk memetakan langkah – langkah ke depan, ia mengulangi berkali – kali.
.
Dari kedua legenda hidup tokoh arsitekur ini, saya belajar kedalaman perspektif dan sikap hidup sehingga perbincangan berjam – jam menjadi taksonomi desain. Memang langkah pertama dari kreativitas adalah membuka diri dari situ kita hanya warana(alat) dan wahana(kendaraan) yang indah untuk sekitarnya.
.
Pak ini resep awet muda, saya berkelakar, mereka pun tertawa.

“Untuk Om Tan saya siapkan anggur, untuk menemani malam tahun baru.” Saya berkelakar.

“Wah ini harus sedikit – sedikit nih, supaya santai dan diam – diam, nanti ngga boleh gaul sama ibu” Ia pun balas berkelakar sambil tertawa terbahak – bahak.
.
“Untuk pak Yuswadi saya siapkan buah, ini resep umur panjang.”

istri pak yus datang, dan beliau tertawa,

“aduh ini kita suka sekali.” Ia berkata, dan pak Yus tertawa lepas.”Jangan pulang dulu kita masih bisa ngobrol dan diskusi.” Saya pun duduk 30 menit lagi sebelum istri saya telp karena sudah mulai malam.
.
“Pak saya pamit dulu ya, soalnya saya mau nemenin istri dan anak – anak makan.” Saya berpamitan.
.
“Pak saya foto ya buat kenang – kenangan.”
.
“Hayuuuukk.” Katanya.
.
Memang tawa para legenda arsitektur ini tidak bisa dilepaskan dari pasangannya, dua legenda romantis yang sayang akan cinta sejatinya dan kehidupannya yang dijalaninya dengan seksama.
.
Ini hanya refleksi singkat dari pertemuan dengan para legenda hidup arsitektur. Doa dari keseharian, meneruskan pesan untuk merajut jiwa. 2023 yuk jalan.

Kategori
blog

Selamat Natal 2022

.

Kami sekeluarga mengucapkan Selamat Natal 2022 dan Tahun Baru 2023. Semoga berkat berlimpah untuk kita semua di dalam kedamaian dunia yang indah ini.
.
Semoga hidup lebih sehat dan bahagia, sukses juga untuk kita semua. Selamat liburan ya ^^
.
🙏🙏🙏❤️

Kategori
blog

Sunaryo dan Ronchamp Chapel 


.
Di Ronchamp Chapel karya Le Corbusier ada permainan cahaya dengan tampak menghadap utara selatan sehingga cahaya pagi didesain untuk menerangi altar utama. Sedangkan daerah selatan didesain untuk altar terbuka dengan bukaan-bukaan dengan pola besar kecil.

Kami tinggal di satu penginapan, salah satu keluarga donatur Ronchamp yang memiliki hotel di pinggir sungai yang bercabang ke sungai Le Rahin. Pada saat makan pagi bersama, ia berkata Ronchamp sendiri dibangun untuk membiayai ekonomi kota, bersama warga. Bentuknya yang tidak biasa terkadang membuat orang bertanya-tanya, bagaimana bisa karya seperti itu hadir di puncak bukit.

Bulan lalu saya bertemu Seniman Sunaryo di Selasar Paviliun, di pameran Le Corbusier. Saya menyapa beliau ketika melihat beliau duduk istirahat di rumput. Saya bertanya ke beliau “Apa itu arsitektur ?”

Menurut beliau bangunan dan seni adalah satu, tidak terpisahkan, itulah arsitektur lalu Ia bertanya pendapat saya “Apakah memang karya Le Corbusier yang di Ronchamp punya nilai yang baik?” Ia sendiri punya rasa penasaran terhadap pameran Le Corbusier di Selasar Paviliun.

Saya bertanya “Bagaimana cara untuk mengutuhkan arsitektur melalui seni?”. Pak Sunaryo menjelaskan bahwa penguasaan teknik menjadi langkah awal, kemudian disusul oleh pertanyaan untuk siapa kamu berkarya, yaitu untuk orang lain melalui dirimu sendiri.

Setiap karya arsitektur dari segi skala, memiliki tingkat kesulitan, pertimbangan, taktik eksekusi yang optimal dan efisiensi yang berbeda-beda. Yang menarik adalah bagaimana karya itu menggerakkan perekonomian kota dari masa waktu dibangun sampai setelah dibangun. Kerja tersebut pasti melelahkan. Hal itu berulang di dalam desain gereja Firminy dilanjutkan dari sketsa Corbusier. Oubrerie, asisten yang menemani Corbusier di dalam berkarya menjadi desainer dari gereja tersebut dengan banyaknya turunan teknik desain. Jadi energi beliau, berlanjut, merintis dan berkembang dari benih satu ke selanjutnya, beliau menjadi jembatan seperti Pak Sunaryo dengan program selasarnya yang menjadi jembatan untuk seniman muda berpameran.
.
Jembatan kasih untuk tahun 2023, pas :p

#RAWinspirasi
.

Kategori
blog

Variant of Free Curves 


.
Chimney House is one of RAW Architecture’s works in Tangerang. The design proposes free-curve variants to respond to lights, air movement, views, and programs. The design makes use of natural lighting through skylights above the stairs, corridors, and bathrooms. Opening and skylight in the center of the building are a response to getting enough natural light and allowing air movement.
.
The open plan concept that combines outdoor and indoor spaces provides a limitless space experience and maximizes space quality. The transparent room provides unlimited views and panoramas that can be enjoyed while relaxing inside the house.
.
#RAW99%finished #Chimneyhouse#house#bioclimatic#architecturedetails#details#architecture#architectureproject#realricharchitectureworkshop#realrichsjarief#archdaily#archistudent#architect#architecture#dezeen#indonesia#indonesianarchitecture#brikolase#dotworkshop

Kategori
blog

Bioclimatic Tube House 


.
One of the RAW Architecture #RAW99%finished. It’s a 3-story house with a compact, technological design with solar panel integration and a north-south opening.

The layout is separated by 3 simple grids. The shape is like a tube with a bridge in the middle – the result of efforts to incorporate air and light into the bedroom and living room.
.
@realricharchitectureworkshop
.

Rendering by @enomuvisual

.
#RAW99%finished #Rumahtabung#henderafanihouse#house#Banten#details#bioclimatic#architecture#architecturedetails#architectureproject#realricharchitectureworkshop#dezeen#archdaily#arsitekturindonesia

Kategori
blog

Poetic Space In Three-Generation Home 

.
New project ongoing at Bukit Golf BSD #RAWongoing. We design houses for three-generation families. The shapes of walls form the views of the golf course in South Jakarta and create airflow, natural lights, water catchment, and a series of landscapes that define bioclimatic architecture.
.
@realricharchitectureworkshop
.
#RAWongoing #RAWprogress #Wangkarhouse #bukitgolf #house #details #bioclimatic #architecture #architecturedetails #architectureproject #workingonprogress

Kategori
blog

Taman Hutan Raya Bandung 

Taman Hutan Raya
.
Kemarin kami berkunjung ke Taman Hutan Raya. Lokasi Tahura yang tidak jauh dari pusat kota dan berdekatan dengan @Piyandeling membuatnya mudah diakses, di dalamnya ada Gua Belanda, Gua Jepang, kandang kelinci. Setiap ke Bandung kami biasa berangkat jam 4 pagi, dan pulang lagi keesokan harinya, saya sendiri mengontrol kerja tim kami di Bandung jam 7-8 di Bandung sebelum bersiap – siap menemani Laurensia dan anak – anak. Dulu waktu saya sekolah di Bandung, kadang – kadang saya naik ke atas ke Tahura di tengah – tengah kesibukan untuk sekedar duduk – duduk di bawah pohon.
.
Di Tahura, kami menghabiskan waktu dengan hal – hal yang sederhana seperti berjalan di tengah – tengah pepohonan, makan jagung, pisang, kelapa, ketan, bertegur sapa dengan pengunjung lain.
.
Miracle terus bertanya ke pengunjung yang lain, “mas / mbak dimana gua Belandanya ?” Dijawab “Masih jauh satu belokan lagi.” Begitupun berulang – ulang, sampai akhirnya sampai.
.
Akhirnya kami sampai ke Gua Belanda, menemui guide dan dijelaskan banyak hal tentang sejarah gua tersebut, jalur logistik, cara konstruksi gua. Saya yakin guide ini sudah menjelaskan hal yang serupa ribuan kali sampai ia berbicara sedemikian fasihnya.
.
Begitupun juga keseharian, terus berulang mulain dari pertanyaan dan perjalanan untuk mencari jawaban, sebuah proses untuk mencari kefasihan.
.
Have a nice weekend all ❤️

Kategori
blog

Arsitektur Regionalisme yang Reflektif 

Kampono House

Hari jum’at saya diundang di event tahunan @titiktemu_2022 program studio arsitektur Universitas Muhammadiyah Banjarmasin. Tema dari seminar ini adalah “Arsitektur kini”.

Kami merefleksikan tema tersebut bahwa diantara arsitektur kini ada arsitektur dulu dan nanti. Arsitektur kini berkiatan dengan hal-hal mendasar yang menjadi kebutuhan manusia, seperti air, cahaya, dan udara.

Tantangannya adalah bagaimana kebutuhan dasar tersebut terintegrasi kedalam faktor-faktor yang mempengaruhi arsitektur masa kini, seperti sinergi dengan kondisi alam yang berubah-ubah, kondisi ekonomi yang fluktuatif, dan space yang semakin terbatas. Ketiga hal tersebut menjadi faktor yang membedakan cara hidup seseorang yang pada akhirnya akan mendasari pendekatan desain yang diambil oleh arsitek dan klien menuju masa depan atau arsitektur nanti.

Karena faktor tersebut desain bangunan memiliki jiwa yang bisa dikembangkan dari waktu kewaktu, terus berubah sehingga menjadi bahan refleksi nilai-nilai kehidupan. Dari sana muncullah judul seminar ini “Arsitektur Regionalisme yang Reflektif”.

Di tingkatan selanjutnya, pertanyaan lanjutan muncul tentang dari mana datangnya keunikan di dalam arsitektur. Apakah dari kebiasaan mendesain, tren, fantasi dan imajinasi?. Apa saja hal yang memantik keunikan dibalik ruang yang juga di bayangi fungsi yang harus diperhatikan? Ada stimulus proyek-proyek tertentu yang memiliki pendekatan yang khas.

Seperti di dalam foto ini, Kampono House. Di dalam proses iterasi desain yang terjadi bisa membuat hal yang tidak terduga menjadi kenyataan. Dimulai dari hal sederhana, orientasi terhadap matahari dan pohon existing, penempatan skylight pinggir dan tengah. Beberapa material yang memiliki volume besar seperti beton, bata, dan acian kami gunakan karena mudah didapatkan, tidak mahal, dan memiliki ketahanan. Permainan bentuk, seperti bidang lengkung di ujung untuk membingkai pandangan sekaligus menangkap cahaya dan angin.

Architect: @realricharchitectureworkshop
Photograph: @eric dinardi
Thank you @mirzakampono @adhistykampono

RAW99%finished #Dancerhouse #Kamponohouse #house #bioclimatic #architecture #architectureproject #realrichsjarief #arsitek

Kategori
blog

Lumintu House 

New project ongoing at Pantai Indah Kapuk, North Jakarta. #RAWongoing . We designs bioclimatic architecture by study on how industrial and handcrafted details can collaborate to break through the details of normal architectural stereotypes.
.
@realricharchitectureworkshop
.
#RAWprogress #PIK #Lumintuhouse #house #details #bioclimatic #architecture #architecturedetails #architectureproject #workingonprogress

Kategori
blog

Sarang Nest House is published in @archdaily 

It’s a huge achievement for our team, Sarang Nest House is published in @archdaily . Thank you @henry_yen , and all of the people involved in RAW Architecture | @realricharchitectureworkshop , captured by @ericdinardi
.
Located in a residential area, Taman Buana Permata house complex, West Jakarta. With an area of 250 sqm, Sarang Nest House consists of 2 generations of families living together, this underlies a centralized circulation and creates a micro-environment through a spatial arrangement with different angles. This angle creates distance between the perimeter of the house and the neighbors thereby allowing air to flow freely around the building while maintaining privacy between spaces. Each room has its own outdoor space. Light enters the room through perforated walls, crevices, windows, and skylights. The shape of this house is tilted to make it more efficient as well as a response from the corner of the building.
.
Further Credit:
.
Clients: Henry Kusuma Family
Lead Architects: Realrich Sjarief
Design and Project Team: Realrich Sjarief, Agustin, Erick Fei, Riswanda Setyo, Tirta Budiman, Septrio Effendi, Miftahuddin Nurdayat, Regi Kusnadi
Supervisor In Charge: Singgih Suryanto, Sudjatmiko, Muhammad Enoh, Eddy Bahtiar, Endang Syamsudin
Construction Manager: Singgih Suryanto, Agustin
Structure Engineer: John Djuhaedi, Singgih Suryanto
Mechanical And Electrical Engineer: Hamin MEP
Master Craftsmen: Tata Pirmansyah, Aep, Aep Syapuloh, Nari , Solehudin Grandong, Syaipuddin, Dicky, Bonari, Tohirin, Nur Hidayat, Rudi Setiawan
Interior + stylist: Cindy Sumawan + team
Management: Laurensia Yudith, Reffi Nurkusuma, Nurul
Plan, Illustration Team: Lu’luil Ma’nun, Andriyansyah Muhammad Ramadhan, Satria A. Permana, Agustin, Riswanda Setyo Addino
Photo Credits: Eric Dinardi
Videographer: Muhammad Farhan Nashrullah
.
#rawarchitecturepublication
.
#Sarangnesthouse#ArchDaily#realrichsjarief#realricharchitectureworkshop#arsitekturindonesia#house#residential

Kategori
blog

Defining Your Own Mega Transformation

Miracle umurnya 7 tahun hari ini, dia sekarang sudah kelas satu sd. Ia sudah punya teman – teman dekatnya di sekolah. Hal – hal yang kami tunggu adalah ceritanya di sekolah, bagaimana ia mengisi waktu istirahatnya, apa yang terjadi kelasnya, ataupun saat – saat ketika ia pulang dan bercanda ria beserta pak Misnu yang disebutnya mbah Nu, Nurul, ataupun siapapun yang menjemputnya.

Saya kadang tersenyum – senyum melihat bagaimana Nurul anak mbah Nu kadang bercerita “hahaha miracle bilang mau punya brain yg besar biar bisa inget a lot of memories with bapak 🤣 (misnu)… iya katanya dia sayang sm sy sm mbah Nu mangkannya mau selalu inget setiap momen kalau kita sama2”.
.
Miracle seperti namanya, saat – saat bersamanya adalah saat yang penuh keceriaan, kesenangan, dan magis. Seperti namanya ia memberikan keajaiban berupa rasa bahagia di sekelilingnya, mukanya sumringah, energinya besar, dan hidupnya penuh dengan rasa main – main dan penasaran. Satu saat ia bertanya sewaktu pulang sekolah “papa, bagaimana kamu tau aku ini Miracle.” Atau “Apa yang papa mama rasakan waktu aku belum ada?” Kami menjawab, kamu adalah doa bagi kami, semoga kebahagiaan yang bisa kamu berikan ke kami bisa menerus ke orang lain.
.
Juga satu saat dia bercerita tentang pokemon, bagaimana pokemon bisa melakukan mega transformation. Ia menjelaskan hal ini dilakukan pokemon untuk membela yang lemah, kemudian saya penasaran, kalau itu tujuan pokemon lalu apa tujuan hidupmu?
.
Dia bilang “saya masih berpikir tentang itu”, ia menambahkan “kalau saya sudah tau nanti saya bilang. Tidak mudah memikirkan tujuan hidup, perlu waktu.” Terakhir ia balik bertanya, “pa what do you think about me? Are you happy, I am here?”

Kami menjawab, son we are very proud of you. Ia pun tersenyum, dan berkata “aku mau ke heaven dulu.” Heaven lahir 5 tahun setelah Miracle, sebagai jawaban akan doanya, ia ingin adik yang bisa diajaknya bermain atau mungkin membuat keajaiban, membahagiakan orang lain bersama – sama.
.
Happy birthday yang ke 7 Miraclerich Sjarief. You are the best.
.
Thank you kak @luil_mn udah abadikan foto Miracle dengan sangat baik 👍

Kategori
blog

Kofuse Coffee and Dine

Ini kafe yang kami desain yang terbaru namanya Kofuse Coffee and Dine yang didesain setelah jaman pandemi. Bisa di cek di ignya @kofuse.id untuk temen – temen yang mau nyari suasana / experience di waktu weekend besok. Hidangannya enak, soft, my preference bisa dimakan berulang – ulang.

Kami menggunakan garis – garis lengkung yang natural dan dinamis untuk desainnya dengan material bata yang digosok cat putih, beton yang digosok dengan kombinasi batu dan kayu. Kofuse memiliki nuansa seperti suasana museum, galeri yang lebih bersahaja, cantik dari dalam dan artistik.

Terima kasih ke @idrissandiya atas kepercayaan yang diberikan. Juga @junarorimpandeyofficial atas diskusinya dan wawasannya tentang makanan dan kitchen setting. Juga bu dewi, nadira, dan keisya.

Juga seluruh tim kofuse bu @nu.rulh dan tim. Terlebih lagi tim dream team kesayangan saya RAW Architecture @realricharchitecturworkshop yang sudah be kerja super hard untuk selesainya kafe ini. @joanaagustin, @andriiyansyahmr, @melisaakma, @timbulsimanjorang, @ha.ykal, @cirana_nsb, @tyodngrh dan @_finasharfina dan mamang2 ano, asep, unang, ujang, saudara2 beda bapak dan beda ibu, juga @luil_mn yang membantu

Salam dari saya @rawarchitecture_best
Let’s go @kofuse.id maaaaaaemm nyammz have a great weekend. #RAW99percentfinishedproject #realrichsjarief #realricharchitectureworkshop

Kategori
blog tulisan-wacana

Lilin dan Gelas Kaca – Refleksi Terhadap Eksploitasi Arsitektur

Bagian 1 | Midlife Crisis ?

Sebenarnya saya enggan untuk membahas soal eksploitasi, karena ujungnya adalah soal identitas, atau mungkin saya sendiri enggan juga untuk menyinggung hal – hal personal. Ataupun mungkin saya sendiri takut apakah memang yang saya risaukan adalah hal yang saya hindari, saya irikan, atau justru hal – hal yang saya risaukan atau takutkan ini justru hal yang sedang saya kerjakan. Hal ini penting untuk bisa fokus di dalam mengeksplorasi secara total dan berani sekaligus menelusuri sisi – sisi yang membuat saya bahagia.

Tahun ini, saya berumur 40 tahun sekarang, secara umum arsitek baru berkembang di umur – umur 40, jadi perlu mengorientasikan dirinya, menginvestasikan dirinya. Mungkin di dalam kasus saya juga memilih – milih jalan mana yang harus ditempuh. Usia 40, adalah usia mematangkan diri. Seperti istilah “Midlife Criris” yang dikatakan oleh psikolog Elliott Jaquest, biasanya seseorang pada usia 40-65 tahun merenungkan kembali kedudukan profesionalitas mereka dan membuat perubahan. Pada usia ini seseorang jadi mempertanyakan banyak hal diantara kegelisahan, penuaan, tujuan yang masih ingin dicapai, sampai memperhitungkan kematian mereka. Begitu pula seorang arsitek, kematangan karyanya biasanya terbentuk di usia yang tidak muda, karena berarsitektur merupakan perjalanan yang panjang.

Salah satu arsitek yang menjadi role model saya, Renzo Piano, berumur 40 ketika Pompidou diselesaikan di 1977, ia sendiri lahir di tahun 1937. 4 tahun kemudian, selama 4 tahun barulah ia mematangkan diri di dalam karya Menil Galeri yang bertempat di kawasan rumah tinggal, sebuah tempat koleksi seni keluarga Menil. Di umur 50 an barulah ia memiliki sebuah body of work yang cukup lengkap, dengan begitu banyak variasi metode desain yang menghasilkan variasi tipologi proyek, di berbagai tempat di dunia dengan desain airport, cultural museum di Oceania, dan begitu banyak kantor, mall, residensial, dan paviliun. Selanjutnya bisa kita lihat, bagaimana ia menata ekosistem, menikmati masa tuanya dengan terus mendesain dan terus berkolaborasi dengan timnya RPBW (Renzo Piano Building Workshop). Di satu sisi saya berpendapat bahwa menjadi arsitek seperti beliau membutuhkan waktu yang panjang.


Namun, saya melihat persepsi melihat parameter sebuah kesuksesan terhadap waktu seringkali berbeda di dalam dunia digital. Dengan munculnya Tik Tok, instagram, facebook, banyak arsitek – arsitek, calon – calon arsitek, dan publik biasa, semua memiliki jejak digital dalam upaya mendefinisikan identitas diri. Identitas sendiri adalah hal yang penting, karena saya melihat Renzo Piano juga meraih identitas dirinya melalui begitu banyak hal yang bisa dipelajari yakni kliennya, publik dan intelektual melalui referensi tulisan ataupun verbal, kritik arsitektur, publikasi media melalui publikasi karyanya, penghargaan ataupun jejak – jejak media sosial yang dilakukannya dan juga firma RPBW (Renzo Piano Building Workshop). Ada yang saya pertanyakan di dalam mudahnya dan cepatnya identitas itu dibentuk sekarang melalui sosial media. Ibaratnya dengan media sosial, saya sendiri dengan mudah untuk mensejajarkan diri dengan arsitek – arsitek lainnya. Apakah sebenarnya sejajar ? ataukah apa yang sedang saya sejajarkan ini adalah upaya untuk mengaktualisasikan sisi ingin tampil saja. Mungkin arsitektur menjadi kompleks karena manusia pada dasarnya kompleks dan ingin memburu – buru waktu. “ini ada apa ya ?” seringkali saya merasa dieksploitasi dengan informasi yang terjadi tanpa diberitahu apa arahnya, apa maksudnya. Taruhlah mungkin kita ada di satu kumpulan. Anehnya di dalam satu titik, apa yang saya kerjakan jadi berorientasi juga ke ekosistem media sosial yang begitu masif, saya baru sadar saya berubah.

Bagian 2 | Midlife Crisis ?

Saya jadi teringat, peribahasa ekosistem merubahmu, dan kamu pun merubah ekosistemmu. Saya berpikir apa ada ya kecenderungan praktik yang mengedepankan apa – apa yang dilakukan perlu dibingkai dalam kacamata media sosial. Dan saya juga berpikir, mungkin saya saja yang terlalu kuno. Hal ini adalah hal yang terus baru untuk saya yang konvensional/malah tradisional dalam berpikir, dan wacana ini terus menjadi pergumulan untuk saya yang sedang terus mendefinisikan apa yang saya kerjakan sampai sekarang.

Di dalam keseharian, saya terpapar referensi visual. Referensi ini sangat memudahkan klien untuk memahami arsitektur. Perlu diingat bahwa arsitektur lebih daripada sebuah gambar visual, namun juga gambar teknis yang berupa instruksi berupa detail bubble programming , space planning, dan materialitas. Seorang calon arsitek yang tidak memahami keutuhan dari sebuah karya membentuk pemahaman arsitektur yang sebatas visual saja.

Tapi hal – hal yang saya bimbangkan di dalam kebimbangan di atas adalah, sejauh mana memang proses ekploitasi itu dilakukan oleh para praktisi arsitek? . Eksploitasi itu juga terkait di banyaknya klaim – klaim terbaik, terindah yang dimainkan di dalam persona – persona yang terbentuk. Saya sendiri juga berpikir, apa saya juga yang sering terjebak di dalam jebakan identitas, seperti itu, dan sejenak saya berpikir, refleksi ini berputar – putar tidak pernah selesai.

Kemarin saya bertemu mbak Sunthy, saya lama tidak bertemu dia. Tentunya saya selalu ingat bahwa tulisannya mengenai Bare Minimalist, berjudul “Function Over Fashion” adalah salah satu tulisan yang mengupas ide – ide di balik sebuah proyek. Yang menariknya, ia memulai dengan pertanyaan – pertanyaan sebelum mengamati, dan di tulisannya banyak referensi – referensi reflektif dari klien kami, Charles Wiriawan. Tentunya proses saya bertemu beliau juga ada kaitan dengan bisnis media dibaliknya, ada kepentingan mendapatkan karya dari para arsitek untuk kepentingan publikasi.

Dalam pertemuan kami, di satu lapak, ada kata – katanya yang membekas dalam ingatan saya “begitu membaca tulisan, sebenarnya bisa kita baca mana tulisan yang menggurui atau reflektif.” Kemudian kita berdiskusi perjalanan saya melihat polarisasi yang terjadi dengan kawan – kawan di barat (Jakarta Sumatra), timur (Jawa Timur khususnya), dan Jawa tengah (Yogyakarta, Solo) dengan berbagai macam dinamikanya kelompok kiri kanan ataupun tengah, kapitalis, sosialis, ataupun punya dogma – dogma kedaerahan. Ada yang terpolariasi sebagai arsitek yang terpinggirkan, ada juga yang terpolarisasi sebagai arsitek yang hedonistik, ada juga yang terpolarisasi sebagai arsitek yang introvert dan menyingkir ke pedalaman.

Kami berdiskusi dan saling bercerita tentang perjalanan hidup masing – masing, bersahabat dengan arsitek – arsitek dari jauh, dan memisahkan preferensi. Ada yang secara pribadi sesuai dengan preferensinya dan ada yang tidak sesuai. Diskusi berlanjut bahwa ada fenomena klaim – klaim yang kurang dalam/tidak berdasar/hanya judul yang dilakukan yang bukan preferensi kami. Contohnya arsitek dengan jualan material tertentu seperti beton atau batu batanya, ataupun dengan kayu atau bambu – bambunya, juga arsitek dengan medianya, klaim – klaim teritori itu, tidak menyehatkan. Saya bertanya – tanya dalam hati apa yang tidak menyehatkan tersebut karena perasaan tereksploitasi ?

Mbak Sunthy juga melanjutkan ceritanya, di dalam menggawangi beberapa arsitek yang ingin merajut media dan arsitektur di dalam platform design stories – spotify dsb. Ini adalah runtunan dari proses eksplorasi diri mbak Sunthy, memulai dengan pertanyaan di beberapa media yang berbeda. Kalau saya pikir, pertanyaan – pertanyaan yang diberikan sebenarnya untuk menjelaskan bahwa banyak elemen konteks arsitektur misal klien / arsitek / tempat / iklim / material / pembangunan / penemuan itu memiliki daya untuk saling tarik menarik. Dan elemen tersebut menjelaskan bahwa singularitas itu terjadi dari hibriditas elemen tersebut. Nah kemudian hal ini menjadi personal begitu menjelaskan preferensi saya. Bahwa ada subjektifitas, kecocokan dan juga ketidak cocokkan, nah hal tersebut mungkin yang bisa mejelaskan ketidak setujuan satu dengan yang lain. Dan hal tersebut memancing wacana.

Di dalam membahas eksploitasi terhadap arsitektur, saya secara personal, berusaha cukup hati – hati di dalam memainkan media sosial. Secara pribadi saya merefleksikan bahwa media sosial itu bisa jadi 4 hal yang perlu dijaga, di dalamnya adalah persahabatan, keluarga, keyakinan, kesehatan. dan 1 hal lainnya adalah tentang bisnis. 4 hal itu sifatnya rapuh, mudah retak, seperti gelas kaca, dimana sekali retak tidak akan kembali. Namun hal yang kelima yaitu bisnis yang bisa dieksplotiasi, sifatnya seperti lilin yang bisa dibentuk apabila dilelehkan. Persahabatan, keluarga, keyakinan, dan kesehatan adalah investasi seumur hidup kita, kenangan yang membentuk pribadi kita seutuhnya. Sedangkan bisnis, selalu rentan untuk dibentuk dan dieksploitasi, tinggal perlu api, dengan mudah.

Berbeda dengan bisnis yang seperti lilin yang bisa dibentuk, 4 lainnya bisa diibaratkan gelas kaca, yang membentuknya juga diperlukan api, sekali terbentuk gelas kaca tersebut, gelas kaca yang diibaratkan persahabatan, keluarga, keyakinan dan kesehatan akan kaku dan tidak akan bisa kembali, kecuali pecah. [1]

Semoga ketika pecah, bukan berarti tidak bisa kembali, namun bara api yang diperlukan untuk menyatukannya kembali bukan menggunakan api lilin. Namun api tungku dengan 1400 derajat celcius dan itu pasti bukan nyala api lilin dari bisnis belaka. 1400 derajat itu adalah vitamin C, cinta yang bisa mengubah semua orang menjadi kawan, termasuk musuh saya yang terbesar yaitu diri saya yang trauma terhadap masa lalu saya sendiri.

Terima kasih Tuhan untuk memberikan orang – orang yang bisa memberikan pelajaran berharga untuk memisahkan yang mana gelas kaca dan yang mana lilin yang bisa dibentuk sehingga yang namanya persahabatan, keluarga, keyakinan, dan kesehatan akan terjaga dengan apik.

note :

[1] Terinspirasi dari Bryan Dawson tentang cerita “Jugling Glass and Rubber Balls” lihat pidato di Georgia Tech September 1991.

Disunting oleh by Lu’luil Ma’nun, penyunting membantu menyusun diagram / gambar / komposisi / dan juga tulisan – tulisan pembantu.

Kategori
blog

Revolusi Humanisme

Dua bulan terakhir ini, kami merenovasi struktur dari Summer Pavilion/rumah buku untuk menambah 2 buah mezanin tempat tidur penjaga rumah buku sekaligus pengemong anak – anak kecil dari kampung sekitar rumah kami. Perpustakaan ini adalah perjuangan dari saya untuk melakukan kegiatan sosial di sekitar komplek kami dimana banyak anak – anak membutuhkan ruang singgah, dan visi apa yang bisa dicapai di masa depan. Titik lompatannya adalah bagaimana tempat yang tersedia bisa dijadikan sebagai ruang aktif, tempat bagaimana anak – anak bisa belajar, bermain, dan mendapatkan komunitasnya. Dibalik itu semua saya menulis beberapa refleksi dengan perspektif humanisme terhadap perjalanan hidup manusia, terkait kepercayaan, dogma, ataupun refleksi terhadap kekuatan – kekuatan dibalik arsitektur.

Masyarakat modern ditawarkan kekuasaan yang memiliki konsekuensi bahwa kita sebagai manusia cepat atau lambat akan melepaskan kepercayaan terhadap kosmis yang sejauh ini dipahami pahami sebagai sebuah makna kehidupan. Sedangkan sepanjang sejarah, nabi dan filsuf meyakini bahwa ketika umat manusia berhenti meyakini rencana kosmis, maka konsekuensinya adalah seluruh ketertiban di dunia ini akan lenyap. Namun sampai tahun 2016 umat manusia berhasil memiliki keduanya yaitu tak ada satu pihak pun yang membatasi kekuasaan dan di sisi lain masih meyakini bahwa hidup ini memiliki makna.

Humanisme merupakan sebuah kredo revolusioner yang telah menawarkan sebuah solusi penangkal untuk eksistensi tanpa makna dan tanpa hukum sehingga agama yang revolusioner seharusnya juga humanis berprinsip berorieontasi kemanusiaan dan mengharapkan kemanusiaan mampu mredefinisikan makna ke-Tuhan-an, sebagai contoh dalam berbagai agama seperti Kristen Katolik, sedangkan hukum alam masih berperan dan berlaku dalam kepercayaan Buddha dan Daoisme. Dalam konsep tradisional, kepercayaan terhadap kosmis raya memberikan makna bagi kehidupan manusia, namun konsep humanisme adalah manusia harus menarik pengalaman dari dalam diri mulai dari makna kehidupan dalam diri masing – masing individu hingga makna seluruh jagat raya untuk menciptakan makna bagi sebuah dunia yang tidak bermakna. Pada akhirnya inti dari revolusi religius modernitas adalah: mendapatkan kepercayaan pada kemanusiaan dan bukanlah menghilangkan kepercayaan kepada Tuhan.

Dua bulan terakhir ini, kami merenovasi struktur dari Summer Pavilion/rumah buku untuk menambah 2 buah mezanin tempat tidur penjaga rumah buku sekaligus pengemong anak – anak kecil dari kampung sekitar rumah kami. Perpustakaan ini adalah perjuangan dari saya untuk melakukan kegiatan sosial di sekitar komplek kami dimana banyak anak – anak membutuhkan ruang singgah, dan visi apa yang bisa dicapai di masa depan. Titik lompatannya adalah bagaimana tempat yang tersedia bisa dijadikan sebagai ruang aktif, tempat bagaimana anak – anak bisa belajar, bermain, dan mendapatkan komunitasnya. Dibalik itu semua saya menulis beberapa refleksi dengan perspektif humanisme terhadap perjalanan hidup manusia, terkait kepercayaan, dogma, ataupun refleksi terhadap kekuatan – kekuatan dibalik arsitektur.

Revolusi humanisme dapat dipahami kedalaman dan implikasinya melalui kultur modern Eropa yang berbeda dengan kultur Eropa pada abad pertengahan dimana pada tahun 1300 orang – orang di London, Paris dan Toledo mempercayai bahwa hanya Tuhan yang bisa mendefinisikan kebaikan, keindahan, dan kebenaran dan cenderung tidak bisa mempercayai bahwa manusia mampu menentukan sendiri kebenaran, keindahan dan kebaikan sehingga pandangan ini telah menjadikan Tuhan sebagai sumber tertinggi yang bersifat otoriter. Prinsip Tuhan sebagai makna dan otoritas dapat dikatakan cukup mempengaruhi manusia dalam kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh kasus ini tercermin melalui sebuah fenomena ketika seorang perempuan yang baru saja menikah bersenang – senang dengan tetangganya dan melakukan hubungan seks dengan lelaki yang merupakan tetangganya tersebut. Setelah melakukan perbuatan tersebut ia mulai bimbang dan mempertanyakan apakah yang telah dilakukanya adalah perbuatan baik atau buruk sehingga ia perlu untuk mendatangi pendeta untuk membimbingnya. Kemudian pendeta tersebut mengungkapkan tentang apa yang disebut dengan perzinaan. Pendeta tersebut dengan tegas memfonis perempuan itu telah melakukan dosa besar. Pada akhirnya perempuan tersebut ber-nazar untuk tidak melakukanya lagi dan menanggung semua konsekuensi atas dosa yang telah diperbuatnya.

Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa ketika manusia ingin memahami apa yang telah diperbuatnya maka ia akan mencermati dengan hati dan perasaannya. Ketika perasaannya tidak jelas ia akan menghubungi temannya untuk mencurahkan isi hatinya, jika keadaan masih terasa membingungkan ia akan pergi ke terapis untuk mengutarakan masalahnya karena secara teoritis kedudukan terapis sama dengan pendeta pada abad pertengahan.

Dari apa yang telah dipelajari tentang perasaan, hal ini cukup erat kaitannya dengan apa yang telah Nietzche deklarasikan yaitu “Tuhan Telah Mati”. beberapa kasus juga telah menggambarkan bahwa dalam politik humanis pemilihlah yang paling tahu, dalam ekonomi humanis pelanggan selalu benar, dalam estetika humanis keindahan ada pada mata penonton, dalam etika humanis jika terasa baik-lakukanlah, dan dalam pendidikan humanis prinsipnya adalah berpikirlah untuk diri anda sendiri. Pada akhirnya sebagai manusia masing – masing dari kita memiliki keyakinan yang kuat terhadap hati. Bahkan ketika manusia memiliki keyakinan pada Tuhan pun itu karena hatinya meyakini bahwa ia mempercayai Tuhan di dalam hatinya. Hal ini cukup membuktikan bahwa otoritas tertinggi adalah humanisme dan bukanlah Tuhan.

Namun Hal ini tidak cukup hanya sampai perasaan saja karena tidak menutup kemungkinan bahwa perasaan sendiri juga memiliki kelemahan sehingga hal ini menjadi soal bagaimana metode untuk menilai otoritas dan mendapatkan pengetahuan sejati. Dalam kepercayaan Eropa pada abad pertengahan rumus pengetahuan adalah Pengetahuan = Kitab Suci x Logika sehingga ketika seseorang ingin memahami makna dari teks kitab suci perlu untuk membaca kitab suci dan menelan teksnya dengan logika yang telah dimiliki. Hal ini digambarkan melalui: ketika seseorang inging mengetahui bentuk permukaan bumi. Meraka akan menggunakan penggalan teks dari kitab suci seperti Yesaya 40:22 yang menyatakan bahwa Tuhan “duduk bertakhta diatas lingkaran bumi” sehingga didapati jawaban bahwa permukaan bumi itu bulat.

Sedangkan revolusi saintifik mengajukan rumusan bahwa Pengetahuan = Empiris x Matematika. Ketika ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan perlu untuk menemukan data empiris yang relevan, dan kemudian menggunakan alat – alat matematika untuk menganalisanya. Hal ini dapat digambarkan melalui fenomena manusia yang ingin mengukur bentuk sebenarnya dari bumi. Jawabanya dapat ditelusuri melalui pengamatan terhadap matahari, bulan, dan planet – planet lain disekitar bumi. Setelah hasil observasi terkumpul maka bisa menggunakan trigonometri untuk menyimpulkannya.

Namun meskipun demikian, disisi lain humanisme juga menawarkan sebuah alternatif yaitu ketika manusia telah mendapatkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri maka rumusan untuk mendapatkan pengetahuan yang etis adalah Pengetahuan = Pengalaman x Sensitivitas. Artinya ketika kita ingin mengetahui jawaban etis atas pertanyaan apapun perlu untuk menjangkau pengalaman dalam diri kemudian mengamatinya dengan sensitivitas yang tinggi.

Rumus Pengetahuan = Pengalaman x Sensitivitas telah membawa persepsi kita kepada permasalahan berat seperti perang. Hal ini mulai dipikirkan oleh seniman Dix dan Lea dimana mereka mencoba untuk mengungkap kebenaran tentang perang yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan. Dix dan Lea mendapatkan jawaban bahwa di satu sisi perang adalah neraka namun disisi lain perang juga merupakan jalan menuju surga.

The Trench by Otto Dix (1923). https://mydailyartdisplay.uk/tag/war-cripples-by-otto-dix/

Hal ini dapat dilihat melalui fenomena seorang Katolik yang berperang dalam Pertempuran Gunung Putih dan ia berkata pada dirinya sendiri bahwa “Benar saya menderita. Namun Paus dan Kaisar berkata bahwa kita perang untuk kebaikan, jadi penderitaan saya ada artinya.” Sedangkan Otto Dix justru menggunakan logika yang sebaliknya bahwa pengalaman personel sebagai sumber dari segala makna sehingga cara berpikirnya menjadi: “Saya menderita-dan ini buruk-karena itu seluruh perang adalah buruk. Apabila Kaisar dan Kependetaan tetap mendukung perang ini, mereka pasti salah.”

Kemudian lambat laun Humanisme mulai terpecah hingga menjadi tiga cabang utama yaitu: Humanisme ortodoks, Humanisme Sosialis, dan Humainsme Evolusioner :

Humanisme ortodoks merupakan cabang humanisme yang memandang bahwa setiap manusia adalah individu yang unik yang memiliki suara hati yang khas dan serangkaian pengalaman yang tak akan pernah terulang. Oleh karena itu perlu untuk memberikan kebebasan sebesar mungkin pada setiap individu untuk mengalami dunia dengan mengikuti kata hatinya dan mengekspresikan kebenaran dari dalam dirinya. Dengan penekanan kepada kebebasan individu maka ortodoks humanisme memiliki cabang juga yang dikenal sebagai humanisme liberal atau biasa disebut dengan liberalisme. Salah satu prinsip Liberalisme seperti dalam seni yang memandang bahwa keindahan ada di mata penonton. Kemudian ketika humanisme mendapatkan kredibilitas sosial dan kekuatan politik, dua cabang yang berbeda mulai tumbuh darinya yaitu humanisme sosialis yang mencakup sosialis dan komunis, dan humanisme evolusioner dimana penyokong yang paling terkenalnya adalah kaum Nazi. Kedua cabang tersebut juga menyetujui liberalisme bahwa pengalaman manusia merupakan sumber tertinggi dalam hal makna dan otoritas.

Humanisme Sosial pada dasarnya sebenarnya bertentangan dengan liberalis karena hanya fokus terhadap pengalaman setiap individu sedangkan prinsip utama dari sosialis adalah memfokuskan pada apa yang telah dialami oleh orang lain. Artinya Humanisme sosial benar setuju dengan ortodoks namun dalam hal pengalaman manusia adalah sumber segala makna akan tetapi ada miliaran orang di dunia dan sosialis mereka semua sama bernilainya dengan kita.

Humanisme evolusioner berpijak dari teori evolusi Darwin bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihargai. Konflik merupakan bahan baku utama bagi seleksi alam untuk mendorong evolusi bergerak maju. Hal ini dapat diambil contoh dari fenomena ketika pengalaman – pengalaman manusia bertabrakan maka manusia yang kuat akan menggilas habis manusia lain yang lebih lemah. Namun hal positif yang didapat ketika menggunakan teori evolusi ini adalah bahwa manusia akan berevolusi menjadi manusia yang lebih kuat dan tangguh hingga akhirnya melahirkan manusia super. Sedangkan hubungannya terhadap humanisme ortodoks adalah humanisme evolusioner menganggap bahwa perang adalah sesuatu yang berharga dan bahkan penting karena memiliki presentase yang tinggi terkait evolusi.

Berkaca dari perhelatan antara kepercayaan Eropa pada abad pertengahan yang merumuskan (Pengetahuan = Kitab Suci X Logika) dengan rumusan (Pengetahuan = Pengalaman x Sensitivitas), pada akhirnya didapati kesimpulan bahwa agama-agama tradisional tidak akan mampu menjadi alternatif yang riil untuk liberalisme karena kitab suci tidak memiliki apapun yang bisa dikatakan tentang rekayasa genetika atau kecerdasan artificial. Begitupun dengan sebagian besar pendeta, rabbi, dan mufti tidak akan memahami terobosan-terobosan mutakhir dalam biologi dan ilmu komputer. Kalaupun jika mereka ingin memahaminya perlu untuk membaca banyak arstikel-artikel ilmiah dan melakukan eksperimen lab dan bukannya menghafal dan memperdebatkan teks-teks kuno. Pada dasarnya kedua hal ini adalah suatu pilihan karena keduanya perlu menggunakan banyak waktu.

Sedangkan diibalik dari kemenangan liberalis ini adalah terjadinya fenomena mendorong manusia untuk menjangkau imortalitas, kebahagiaan, dan keilahian. Dengan bertumpu pada prinsip bahwa kehendak pemilih dan pelanggan tak pernah salah, para ilmuan dan insinyur mulai mencurahkan energi mereka dalam proyek-proyek liberal. Kemudian skenario terburuk dari yang telah ditemukan ilmuan dan dikembangkan oleh insinyur dapat memapar keduanya pada cacat bawaan dalam pandangan dunia liberal dan kebutaan pelanggan dan pemilih. Hal ini disebabkan karena ketika rekayasa genetika dan kecerdasan artifisial menampakkan potensi penuh, liberalisme, demokrasi, dan pasar bebas menjadi suatu hal yang usang seperti halnya pisau batu, kaset, Islam, dan komunisme. Hal ini membawa manusia kedalam evolusi keadaan dirinya di dalam sebuah ekosistem berpikir, sebuah revolusi humanistik, yang berarti kepada permulaan runtuh akan kontrol dirinya akan humanitas itu sendiri.

Melihat praktik arsitektur sekarang ini di Indonesia, dimana kesadaran saya sendiri juga mulai sudah saya pertanyakan, sejauh mana saya sadar, mau bergerak, dan kemudian menebar benih – benih kemanusiaan. Jujur saya melihat jalan masih sangat panjang, sejauh mana arsitektur bisa masuk ke tingkatan humanisme yang evolusioner bahwa konflik yang dihadapi, tidak dihindari. Hal ini menggarisbawahi bahwa menghadapi konflik tidaklah mudah, dan mau tidak mau sistem yang menantang humanisme akan terus berhamburan termasuk konstestasi karya arsitektur, sejauh mana cerita – cerita humanistik digaungkan terutama kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial yang pada intinya ujung – ujungnya soal kejujuran untuk selalu humanistik sebelum hilangnya proses tersebut tanpa kita sadari di tengah revolusi humanistik.

Kategori
blog

Detailing Poetic Architecture

Studio RAW Architecture terus beradaptasi di dalam proyek – proyeknya, ada pancaran dan pantulan dari proyek – proyek di sekitar kami. Proyek – proyek seperti Rumah Harris-Tiffany, dan Lumintu juga memiliki hubungan bagaimana ruang dan detail arsitektur yang tidak terduga terimplementasi dengan cara dan materialitas yang berbeda. Rumah Lumintu adalah rumah Setian dan Mariana, mereka mendambakan rumah yang artistik. Setian selalu menanyakan “bisa begini?” saya selalu menjawab “bisa”, karena setiap saat adalah kesempatan untuk bereksplorasi.
.
Apa yang dipelajari dari rumah ini adalah bagaimana detail-detail fungsional yang unik yang merupakan kombinasi industri dan buatan tangan bisa dikolaborasikan dengan para tukang – tukang. Kombinasi tersebut menembus stereotipe detail – detail arsitektural normal. Hal tersebut adalah lumintu.”Lumintu artinya berkelanjutan dan mengalir, konsep tersebut membuat kami dan para tukang – tukang kami bisa mendapatkan kepercayaan diri sehingga bisa mendapatkan tempat di dalam ekosistem arsitektur bersama klien kami.”
.
Di dalam mengerjakan proyek, studio kami memiliki pola mendesain dengan bersahabat dengan banyak orang. Hal ini seringkali kami diskusikan dengan para mahasiswa, internship dan tim. Internship akan mengalami proses “Siklus Detailing”, yaitu belajar dari konseptual desain, gambar konstruksi, sampai pada pengawasan. Hal-hal tersebut membentuk sebuah pemahaman dan penguasaan desain arsitektur secara holistik.
.
Seluruh tim studio termasuk para peserta internship akan belajar desain secara transparan dengan berbagai macam aktor, dan membentuk studio culture. Hal tersebut meningkatkan personalitas, yang dapat membangun rasa percaya diri, dan menyadari keunikan yang membuat setiap orang special.
.
Design by #realricharchitectureworkshop
Project: (Cover) Lumintu House #rumahlumintu

#realricharchitectureworkshop

Kategori
blog

Let’s return to the “why” not just “what” is next.

We wanna thank really much to the curator of the TAB series Yann Follain from @wyto_architects described a need of looking in the region as an act of an act of togetherness, and @cosentino.asia. He put together curatorial note in new book in about ETAB lecture series. Yann wrote beautiful phrase that showing urgency of cultures, and being together for sustainability agenda “… Southeast Asia, the differences in practices and cultures have provided new vantage points on how we may innovate to advocate for the sustainability agenda.

We do not claim to know all the answers to every question, but our minds always remain open for growth and progression in thought. We see in the development of society that discoveries and new methodologies evolve over time. What may be considered revolutionary today could eventually be seen as unmistakably evident, and that is the beauty of progress and change in societies.

We as Architects, Designers & Craftsmen need a fresh change in perspective, to prevent us from just going with the flow as we practice and hone our skills. We need to reboot and think of creative solutions, even if means stepping out from the flurry of urban life just to Consider the impact of the daily decisions that we make, as we move into the new beginnings in 2022.

Let’s return to the “why” not just “what” is next.

We slowed down for this journey in the Making of Architecture. We shared generously through our project exchanges. We are now ready to invoke change.”

@realricharchitectureworkshop are delighted to be featured Together with another 15 architects curated by in TAB and eBook by Consentino, as joint forces in southeast Asia with Marc Webb & Naoko Takenouchi @naoko_takenouchi_, Mike Lim @mikelim_dpdesign & ER Yong Siew Omn, William Ti @entrari, Pan Yi Cheng @pan_yi_cheng, Alan Tay @alantay_formwerkz, Adela Askandra @adelaaskandar & Farah Azizah @farahazzizh, Goy Zhenru @goy_architects , Victor Lee & Jacqueline @plystudioarchitects , Chatpong Chuenrudeemol @chatpongc , Jonathan Quek & Koh Kari Li, Tiah Nan Chyuan, Andrian Lai.

“We are closer and stronger”

please look at the @Cosentino ig for the procedure of reading the free E book.

Kategori
blog publication

Inside All 10 Houses From Season 2 of Apple’s Design Docuseries

Guha is in the review in series of Apple Tv.

Cited from website : “The fantastical Indonesia home of Realrich Sjarief is defined from the exterior by its broad circular windows and draping plants, but inside, it’s much harder to define. Gohu means cave, and indeed the concrete structure feels like a place for discovery just like a cave. Age-old materials like bamboo are combined with steel and plastic to create a truly unique, 21st-century building.”

Here is the full coverage :

https://www.architecturaldigest.com/story/inside-houses-season-2-apple-design-docuseries

Kategori
blog blog - marriage years blog - marriage years - Family

Guha is in Apple TV +

Yesterday we watched a Guha movie on apple Tv, which was filmed by A24 the Apple TV team and edited and worked in a way I never expected. The film is directed by Sami Khan, and produced by dream team : Collin Urcutt, Nick Stern, Courtney Crock, Joe Yaggi, Patrick, Charlie Balsch, Maya Lubis, Lisa Sanusi, David Hutama, Laurensia, Miraclerich, Heaverrich, craftsmen Guha’s team, RAW Architecture studio, Omah and all of the big team in this movie.

We cried every seeing the lost our missing daughter and laughed every seeing Laurensia, Miraclerich and Heavenrich. We never expected the result to touch our heart, it’s gift to Guha.

.

Even they composed special music for the show. I discussed with Cali, to know their creativity to interpret Guha in their own way. “Thank you Realrich! initially we did some extensive research on traditional Indonesian instruments like Gamelan and Angklung and was trying to do a modern twist with them; throughout the creative process we developed quite a lot more than that, mainly drawing inspirations from your concept as an architect actually! The exciting and adventurous spirit to access every doors, blending Western Europe technology but make it work in our situation…; there was one part where you mentioned the process of bending the metal over and over again to make circle shapes (hope I remembered correctly), we found layering the music one by one, over and over (just like the process) works really well with the scene! It grew to be quite philosophical rather than just painting the right colors, if that make sense! And we had a lot of help and guidance from Collin and the team 😊
I hate to explain music too much hahah so really hope you and your family enjoy the music when the episode airs!” This humbled us with such beautiful process comes beautiful piece of music titled “Bamboo Fantasia”.


As an architects, we tried to control, experiment with, and try to fit into balance things. But this movie worked beyond the control as I can’t control of some of the aspect in my life with Laurensia. As a subject, we was prone to be able to open the question in my mind such as how can they touch my heart when we saw this movie? They made us cry and sad in one of the scenes and made me laugh and hold Laurensia’s hand, looking at her happy eyes. This movie is magical and touching with a simple script, but the technical and preparation aspects are not easy.


.
Collin and Nick spent much time discussing and talking about Guha and our family activities. Then, Sami joined as director, and then I felt the questions go more profound than before. Suddenly It touched our weakness which is Losing our daughter. That situation made me shut down my emotion over the years. I never expected that spot hits me hard, and it isn’t easy to talk about it. We cried in the session, we learned that opening myself helps to heal myself.
.
In the next session in the zoom meeting, they met with Laurensia. They needed to meet Laurensia because Laurensia was paranoid about the pandemic, and it was not easy to get Laurensia’s approval. She once said, “honey, this guy is going to make good on you. They have prepared to discuss and make things proper.”
.
She thought that it was only me who would be in the movie, but soon as she understood that her, Miracle, and Heaven were needed on the set, she changed to be a different person that is more open. This moment is a process of us opening ourselves to the fear of pandemic and the fear of us fanning ourselves. One zoom meeting sometimes takes 1-3 hours, and several times were meeting. Then, the day finally came when the Apple TV + team came to Indonesia. Sami, Courtney, and Collin led the team in collaboration with Joe, Patrick, and the team. What interests me is the perfection involved; they need to take the shots several times over and over at a different angle. The heavy tools consist of cranes, drones, lenses, and big cameras. Sami told me that the devices used to take Verite, which means the art or technique of filming something (such as a motion picture) to convey candid realism, and it’s a beautiful shot tested from several angles. Working on something over and over is like craftmanship. It takes enormous energy for one scene to take, but they did hundreds of images in weeks. One time I heard Patrick say,

Collin and Nick spent much time discussing and talking about Guha and our family activities. Then, Sami joined as director, and then I felt the questions go more profound than before. Suddenly It touched my weakness which is Losing our daughter. That situation made me shut down my emotion over the years. I never expected that spot hits me hard, and it isn’t easy to talk about it. I remember I cried in the session. I learned that opening myself helps to heal myself.

“Sami, I can’t take it anymore!” I saw Sami, Collin, and Courtney. They focus on the story, logistics, and details because their time to take shots is limited. The camera is heavy for sure.

The next interesting one is spontaneity, they encourage us, me Laurensia, and all of the people on set to be spontaneous like doing our daily activities. Being spontaneous is about showing the back and front stage as it is. It’s an open-up process. There was one line I liked when Laurensia noted that we are connected with gossip in Indonesia when we discussed the city that is so detached.

Spontaneity contested us, to be honest with me, and it helps us appreciate memories with my relation, especially with David Hutama, who interpreted and positioned me. Sami said one time, “Realrich have you heard David saying? Are you getting along with him usually ?” I think I have not met David for such a long time, 3-to 4 years. I remember I met and discussed with David when founding Omah Library.

Spontaneity contested us, to be honest with me, and it helps me appreciate memories with my relation, especially with David Hutama, who interpreted and positioned me. Sami said one time, “Realrich have you heard David saying? Are you getting along with him usually ?” I think I have not met David for such a long time, 3-to 4 years. I remember I met and discussed with David when founding Omah Library.


.
The session of Courtney directing Miracle is memorable, and It’s a Miracle’s favorite. Courtney helps to control Miracle without him even realizing he is on set. He always asked if he would meet aunty Courtney because he explored new things. It’s the same with Laurensia And Heaven, some images were sent to me by a team together as memories, and I genuinely love them because of their smile. I think about them all Of the time. Family is my priority.
.
During the interview, I saw Collin keep writing. One time, Sami asked questions, and Collin reviewed the answer and twisted it to another question for me to answer more clearly. He scrutinized all of the script, dubbing, and technical aspects over and over. They never told me that some of them were the producer, the director, and the scriptwriter. They just worked like a team that had been working for ages. Once, Collin said, “at the end of this release, we are going to be family,” which summarizes my proposition about ideas for answering the questions they prepared. So the situation, ecosystem in the making helps to inspire on site.
.
Then, the day after we went to Alfa Omega school, I felt connected with my childhood when I heard that Lisa spoke, always bringing a vision to help young people. She wanted to get independence from the education system. For young ones, I learned to be as simple as I could. Being honest is an act of humanity. That school is a reminder of how architecture can touch humanity, and we as an architect still have many things to learn.

Then, the day after we went to Alfa Omega school, I felt connected with my childhood when I heard that Lisa spoke, always bringing a vision to help young people. She wanted to get independence from the education system. For young ones, I learned to be as simple as I could. Being honest is an act of humanity. That school is a reminder of how architecture can touch humanity, and we as an architect still have many things to learn.


.
The Apple team traveled quite much, and I saw them quite exhausted. I asked Pak Joe whether this is normal For production to have a very intense camera. He said that it is only beginning. After this, there will be times for editing, and it will take months to finish. Editing takes time. I remember when collin wrote something, my mind came when I wrote the manuscript of architecture as an escape from my daily routines. Literacy for them is crucial to get the sequence in the movie. It’s like an architecture experience based on script: program, material, wisdom.
.
Ultimately, it takes the second trip with bu Maya and Charlie to add more verite video and make the shots even more beautiful. This process made me realize that we need to open myself up in this life. Wherever we are currently struggling, the energy around architects has its S curve, which means there is a steep learning phase associated with short time and intensive training, and then enjoying the learning outcomes until the graph decreases again. The key for a person to continue growing is getting the next S curve from a declining chart. It’s a process to incline up likewise from one angle to another to bring continuous improvement—this improvement leaps the system from the life around architects. In reflecting on that S curve break, there is a moment of celebration of the closeness, personal, and network that makeup life.

This Film made by the production, director and all of the amazing team featured in Apple Tv shows multiple S curves in a short time, and on every upside of the curve, there will be a scene of Miracle smiling and running. That opens up self to treat architecture and its people like a family through tears in heaven. A hope to bring miracles and heaven to others through architecture. Big Thank you to all of you below, you meant so much to my heart and Laurensia as family. Look at the big team below !

Traces of Miracle’s foot

Credit

Executive Producer :
Matthew Weaver
Kim Rozenfeld
Ian Orefice
Alyse Walsh
Collin Urcutt
Ben Cotner
Emily Q.Osborne
Sarba Das,

Co-Executivue Produce :
Nick Stern

Series Line Producer :
Aude Temel

Director :
Sami Khan

Directors of Photography :
Patrick Lavaud
Denny Chrisna
Charlie Balch

Editors
Erin Nordstorm
Aaron Vandenbroucke
Mari Keiko Gonzalez
Derek Kicker

Producer
Nick Stern

Field Producer
Courtney Crockett

Post Producer
Mark Newton

Production Manager
Courtney Crockett

Production Coordinators
Anna Keegan
Lindsey Steer

Post Production Manager
Audrey Schuberg

Clearance Manager
Mary Sheibani

Associate Producer
Tanner Jarman

Clearance Coordinator
Sam Cirilio

Local Production Consultant
Joe Yaggi

Associate Producers
Aldrian
Maya Lubis

Production Coordinator
Bintarti “Bince” Aquarti

Production Assistants
Yudi Gunawan
Hardianto
Dodi Irawan
Cici Sucik Sri Rahayu

1st Assistanst Camera
Nasir “Acing” Libria Hardi
Tezar Samara
Lucky Agus Setiawan

Steadicam Operator
Dedi Buaksono

Stadicam Assist
Samsul Arifin

Jib Operator
Sukirmo

Asistant Jib Operator
Chepy Jaya Kelana

Media Managers
Rizko Heru Angga
Muhamad Wahyu

Sound Mixers
Ikabl Wahyudin
Sri Wahyuni Retnowati

Gaffers
Nelson Erikiswanto
Arif Bina Yuana Pribadi

Grips
Asrul Alamsyah
Yudo Inarno

Drone Operator
Ody Putera

Covid Compliance Officers
Dr. Theresia Simbolon
Dr. Patricia Stephanie
Robin Limbong

Camera Guard
Hadi Prayitno
Siswanto
Jhon Ekoidu Simbolon

Lens Guard
Sumedi Hendro
Erwin Yuniarko
Sopican Syah

Ronin Guard
Moh. Fajar

Light Guard
Indra Rizky P. Matara

Video Assist
Zul Fadhil

Drivers
Agus
Ali Sokib
Dede
Iping Ariping
Latif Ponco Romadhon
Mujiarto
Mujiono
Naidi
Ngatimin
Nurrohmad
Pardomuan Simanjuntak
Rudiansyah S
Setiawan

Lead Assistant Editor
Anabel Rodriguez
Assistant Editors
Taylor Stoaks
Araceli Rodriguez
Kathy Hinh

Development Producer
Sara O’ Reilly

Series Consultant
Dung Ngo

Consultants
Sarah Williams Goldhagen
Allison Arieff
Germance Barnes
Suzy Annetta
Hugh Merwin
Jennifer Porter
Mimi Zeiger

Research PA
Keehup Yong

Production counsel
Donaldson Callif Perez, LL
Julie M. Phillips, Esq
Katy Alimohammadi, Esq

Clerance Counsel
David Wright Treamaine, Llp
Jonathan Segal
Rachel Gold

Production Accountants
R.C Baral & Company, Inc.
Lea Holmes & Melina Garay

Original Music Composed by
Aska Matsumiya
Cali Wang

Main Title Design and Motion Picture Graphics
The Other House

Dailies and Post Production Services
Banana Post

Visual Effects Artist
Miles Smith

Colorist
Chad mumford

Re-recording Mixer
Colin Moran

Online Editor
Stepehen Dickman

Transciption Services
Wordfactory

Translation Services
Strommen Inc.

Additional Footage & Images
Andhang Trihamdhani
Javier Ariadi
Mario Wibowo
Starlite Photography

For A24 Films

Coordinator, Documentaries
Chris Bowyer

Production Accountant
Anthony Putvinski

Media Weaver, Half Full studios

and , to our closest one as well Thank you to all of the contributors

Cast other than our family : David Hutama, Lisa Sanusi, and all of the

RAW Architeture team
Omah Library Team
Administration Team
Guha Craftsmen Team
Clients who supports us
Other Contributors
Brothers Sisters Friends

An Architect’s passion for experimentation transforms a bioclimatic house into a microcosm of his world and playground for his imagination


on Apple Tv to see Guha here

Kategori
blog

Happy birthday my dear, most beautiful wife in the world. laurensia Yudith

Today my wife is having her birthday. Birthday is a big L(love) day of rebirth and reflection on our lives. A soulmate fulfills a purpose in life with kindness, compassion, and love. Thirty-two years ago, when I moved to Jakarta with my family when I was ten years old, we sat at the same benches in the elementary classroom. We have been a usual friend to the best friends since that time. Best friends are never apart, maybe in the distance but never by heart.”

We have been a usual friend to the best friends since that time. Best friends are never apart, maybe in the distance but never by heart.”


I said “I love you” for the first time 14 years ago, and I found my soulmate. When Laurensia agreed to pre-wed in our home, garage office, and neighborhood to stay modest, we learned that this experience brings creativity beyond our limitations. Giving calm and humble life brings more happiness than success with restlessness.
.
Every day, She arranged our family daily life in our family life the pattern so I could have a proper purpose, rest appropriately, and have an excellent work phase. She is the fundamental principle of my life. She can smell when we need to limit our lives, stay safe, and be secured even in Covid.
.
She is the angel, a blessing from God to our family. She is the mother of two cute sons, Miracle and Heaven. They can’t be far from her, and me as well. She hears and speaks softly and touches my heart gently behind all imperfections. Thank you for your love, dear Laurensia. Thank you, God, Who has given us magnificent love, Love You to the Moon, Earth, Pluto, and Nebula.

I said “I love you” for the first time 14 years ago, and I found my soulmate. When Laurensia agreed to pre-wed in our home, garage office, and neighborhood to stay modest, we learned that this experience brings creativity beyond our limitations. Giving calm and humble life brings more happiness than success with restlessness… Thank you for your love, dear Laurensia. Thank you, God, Who has given us magnificent love, Love You to the Moon, Earth, Pluto, and Nebula.
Kategori
blog lecture

Pengembangan Keprofesian Arsitek

I will share compexity on managing the firm

How to define success, how to have sustained practice, and how to be happy because the fundamental of the firm.

Kategori
blog lecture

What’s Next After Surviving and Adapting to the New Life ? – IAI Jakarta

Andhi Priatmoko, currently He is director of Ong and Ong Indonesia, and the committee inside IAI (Indonesian Institute of Architects Jakarta Chapter) contacted me to contribute to sharing views about the next design approach after the pandemic. I summarized it into 5 cores which are vernacular, connectivity, design by research, informal economic sector, and materiality.

here is some view about the sharing inside

Forum Group Discussion (FGD): Pendekatan Desain Arsitektur yang Nyaman dan Sehat di Era Pasca Pandemi:

What’s Next After Surviving and Adapting to the New Life?”

(sebagai rangkaian kegiatan dengan webinar sebelumnya)

Masa pandemi merupakan masa sulit terutama dalam aspek kesehatan, tetapi dalam hal kenyamanan tipologi bangunan juga dipertanyakan akhir akhir ini. Lalu ruang tinggal seperti apa yang dapat mengakomodasi rasa aman dan nyaman bagi penggunanya dari sisi termal, visual, audial dan dari sisi ruang gerak yang leluasa?

Bagaimana tindak peningkatan kualitas udara yang harus dilakukan untuk ruang dalam dan lingkungan tempat tinggal?

Mari kita simak pada Forum Diskusi Grup Pendekatan Desain Arsitektur yang Nyaman dan Sehat di Era Pasca Pandemi.

Sabtu 16 April 2022 pukul 13.30 WIB.

Kategori
blog lecture

Tracing The Dots

See the video in facebook

Taylor University graduates invited me to share experience with dots in Realrich Architecture Workshop (RAW Architecture). I thought this presentation would be about not myself but the students and how they can trace their dots looking at the sharing. So I planned my presentation is about the unseen pathway and how to reconcile yourself if you face fear, failure, success, and further trauma. This presentation was the first time I tried to reconcile my experience, things that made me come back to Indonesia after working in London and studying in Sydney. My reason was my loved one, the willingness to make a family, and sacrifice by calculating the pros and cons. 1st that, obtaining an architect’s license for my with my b arch degree was not possible, I needed to extend my studies, took three different tests, and it cost five digits GBP. And it’s crossed with my ego. In the end, we discussed that Laurensia’s dentist license not be sacrificed. I can be more robust by practicing in Indonesia by winning competitions, and having a few projects run by developers and close relatives.

For me, architecture is very personal, which creates vital radiance to others as echoes, and the echoes represent other voices that might support and distract. The pathway to reconciling our own creates a more vital radiance that leads to the reality of our dream. By then, to build more vital radiance, I need to improve my resiliency by experiencing and maintaining my passion.

Ee Von tried to engage in discussions, which make deep talk in session and project the reality in our relationship with the client, not by saying yes or no, but by asking more profound questions that make me appreciate the options and ask the relevancy of the questions. In our journey in 2014, as a family, we got helped by Dhisti and Mirza as clients. They introduced some of the diagnoses and anticipation for my wife. By having that, Miracle was born 1.5 years after, and Heaven was born in 2020.

Life is unimaginable and an unexplored forest when I look back 20 years ago. Like many students will experience, but if I imagine now, I think everyone has their orbit and their rotation to get their purpose, contributing to others. My family is getting bigger, from Laurensia to Miracle, to Heaven, reconcile with my father, mother, brother and sisters, designers, librarians, colleagues, students, and clients. I am fulfilled and grateful for all of the blessings.

Kategori
blog lecture

Practicing Design Philosophy

I was invited by Altrerosje Asri to share some how to practice philosophy in architecture. There are several questions that we can discuss in the class such as : What is the current crisis in architecture students and academia, and practitioners ? What is the problem ? Is there any correlation to understanding philosophy ?

I tried to digest this over and over in my practice, there are several possibilities in this hybrid world, digital which is in hyper speed and our offline world which is slow pace like our heart beat. Maybe the question of what your purpose is , become quite fundamental to reorient ourselves in both world.

The session includes the discussion with students in the middle of presentation. My presentation is quite fortunate to be able to see the lecturers : Altre, Joyce, and Wira stood back and let the students explored their purposes. I felt that everybody was rough, including my self, and we are finding ourselves sharpen our thought, words, and feeling to be better person.

After the session I felt that this kind of sharing and discussion including presentation is more fulfilling as it provides not only one way or top – down, but allowing guidance and unpredictable sequence for the students to tell their own story.

At the end, what’s the meaning of our life ?

For myself, it’s the contribution for our memories, not sentimental, but building a deeper conversations that brings memories.

.

My tears drop and I felt touch of heaven.

.

Info from the event :

Kuliah Umum: “practicing design philosophy”
Realrich Sjarief, S.T., MUDD, IAI
Studio Merancang 6 & Teori Arsitektur Universitas Petra
Thursday, March 10 · 9:00 – 11:00am

Kategori
blog

Diproteksi: notes on lecture

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Kategori
blog

Diproteksi: Metode Desain : Bahasa

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Kategori
blog

Diproteksi: Kritik Arsitektur : Piyandeling

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Kategori
blog lecture

Meeting Craftsmanship Hermit – A Tactical Architecture Design

I will give workshop and sharing in Taylor University Malaysia. It’s first session for my being adjunct associate professor in there. I received invitation by Veronica Ng for the vision to share similar / contextual inspirations in South East Asia Region to redefine our own asian heritage.

Here is the explanation for the session.

Craftsmanship is the art of making, which involves traditional and industrial techniques. It is implemented and synthesized by people from multidisciplinary fields such as makers, engineers, design specialists, or even master artisans. The boundary between what architects did and what the other discipline is precise. The next question is, Is the implementation of craftsmanship that clear? The presentation will share an unorthodox view about making architecture from the importance of the craftsman guild, a workshop area for experimenting, extending to an ecosystem of builders that support the architect. The guild in the project also has memories that became grammar. It’s designed for the experimentation itself and, last but not least, for the clients that support you.

For the executions, some preparations are needed, such as grammar, drawing, critical thinking, creativity on-site to achieve a healthy ecosystem for making architecture. It’s about know-how on joineries and deconstructing dimensional mind that using the available material and adaptive technique is the forefront runner for architecture ecosystems that create the diversity of architecture.

The sharing sesion will be 25th October 2021 at 02.30 pm

Kategori
blog tulisan-wacana

Batas itu dimana ?

Saya seringkali berpikir, di dalam segala hal yang di sekitar kita yang penuh batasan. Bagaimana caranya mengetahui titik kelemahan diri kita sendiri ? Segala sesuatu yang jadi kekuatan biasanya adalah kelemahannya sendiri. Segala sesuatu yang jadi kekuatan bisa jadi kekuatannya. Lalu bagaimana caranya mengetahui kekuatan dan kelemahan, supaya keduanya bisa saling berdialog.

Saya akan mulai dengan preposisi :

If you care about only your name, the limit is in the name itself.

If you care only about other people’s name the limit is in the other’s people name in your mind.

If you care about only your workshop, the limit is in the workshop itself

If you care about only your progress in Guha, the limit is in the Guha itself

If you care about introversion of yourself, the limit is in the introversion of yourself.

Saya sering bilang,

“saya tidak peduli, kalau…”

lalu kemudian saya menimpali kalimat selanjutnya dengan,

“Kak Rich minta maaf kalau tidak peduli. Kita perlu sadar bahwa…”

Yang membuat saya tersenyum adalah seringkali asisten saya, tidak mendengarkan sampai selesai, jadi dia mengambil kesimpulan kalau saya benar – benar tidak peduli, padahal saya menunjukkan kepedulian saya dengan mengatakan saya tidak peduli supaya munculnya kesadaran kolektif. Barulah mereka kasak – kusuk, berdesas – desus, dan apalagi sampai berdiskusi akan kejadian tersebut. Ditambah lagi seringkali, saya menimpalinya lagi dengan kenapa saya menjelaskan saya tidak peduli adalah sisi emosional manusia yang sedang keluar untuk mengharapkan adanya perubahan dengan lebih cepat.

Dan kenapa kita perlu berubah dengan cepat, dan perlu tidak perlunya merubah dengan cepat. Kemudian saya menjelaskan bahwa saya perlu meminta maaf karena kecepatan itu saya anggap begitu karena hidup ini hanya satu kali, namun hal itu juga menjadi batasan yang baru, pertanyaannya, kalau memang hidup hanya sekali, lalu kenapa harus cepat – cepat atau terbirit – birit ?

Pada akhirnya saya belajar bahwa melambatkan ritme itu penting, mempercepat ritme juga penting. Terkadang sisi lontaran emosi unutk tidak peduli itu penting bukan menunjukkan ketidak pedulian, namun justru sebaliknya, dan juga lontaran emosi menjadi peduli itu penting. Keduanya adalah cerminan emosional sesaat yang terkadang menjadi tidak emosional juga tidak kalah pentingnya.

Yang menjadi menarik adalah bagaimana caranya mengintegrasikan berbagai macam hal ? yang juga menarik adalah juga bagaimana menjalani kedua kutub kiri dan kanan, positif dan negatif, bisnis dan berbagi, diri sendiri dan orang lain, personal juga komunal secara bersamaan. Dan pergulatan sisi – sisi kontradiktif tersebut menghasilkan rekonsiliasi pemikiran yang mencengangkan, dan maha dahsyat, ledakan kreatifitas dengan mengetahui batas diri.

Namun sebelum kita masuk kesitu, saya ingin berbagi satu cerita mengenai latar belakang kontradiksi tersebut.

Saya punya cerita, dulu waktu di Surabaya saya sering pulang sekolah bersama ibu saya naik becak. Hal yang saya damba – dambakan adalah perjalanan naik becak itu, karena saya bisa melihat lebih lambat bagaimana orang berinteraksi. Kami melewati pasar, jalan – jalan tanah, dan rumah – rumah petak. Biasanya kami naik becak berdua, adik saya kalau tidak salah masih kecil dan saya masih TK pada saat itu.

Perjalanan itu memiliki beberapa kemungkinan. Saya tidak pernah bilang apapun ke ibu saya bahwa yang saya inginkan dan saya suka adalah perjalanan melalui kuburan Kembang Kuning.

Kami melintas area kuburan itu untuk mendapatkan jalan pintas. Saya ingat, melintasi kuburan itu adalah perjalanan sekitar 5 menit. Dari kejauhan, saya merasakan udara menjadi dingin, wewangian bunga mulai semerbak, dan warna – warni tanaman mulai muncul. Saya melihat pedestal kuburan yang kokoh, repetitif, beraneka rupa, dan indah – indah. Ada yang terbuat dari granit, ataupun marmer, ada juga yang dari kayu. Lebar jalan kuburan itu hanya sekitar 2.5 m, dan ada saja yang tidak rata. Kadang – kadang kepala saya terantuk kepala ibu saya ataupun besi becak, tapi selalu saya berdiri kembali untuk melihat suasana kuburan, menghirup udara yang wangi, dan merasakan dinginnya kuburan tersebut. Saya melihat bunga – bunga bougenville , dan wanginya harum, saya suka sekali dengan bunga kenanga. Padahal banyak orang bilang itu bunga orang mati.

Kelewat senangnya kalau lewat kuburan, saya selalu ada di depan becak sedepan – depannya untuk menghirup udara wangi kuburan. Ibu saya suka bilang “Kamu ngapain sih ? kaya anak kampung aja.” Belum lagi beliau kadang – kadang geli sendiri, kalau melihat saya suka makan pakai tangan, ataupun jalan tidak memakai sandal. Saya suka dengan hal – hal yang langsung, karena dari situ saya merasakan sentuhan, kehangatan, wewangian meskipun lucunya hal itu dianggap aneh oleh ibu saya.

Perjalanan saya praktik juga sama, ada hal yang saya suka, selalu saya ulang – ulang. Hal tersebut muncul karena saya merasakan keterhubungan langsung, emosional, dan personal. Saya mencoba membayangkan apa jadinya ya kalau bentuk ini begini dan begitu. Lebih lanjut lagi saya membayangkan apa jadinya ya, kalau orang ini merasakan ini dan itu. Ini dan itu, begini dan begitu, menjadi reka ruka, olah bentuk, berdasarkan pertimbangan – pertimbangan yang menerus. Inti dasarnya adalah kejujuran dalam berproses, membuka telinga tanpa harus terbawa arus juga. Begitu banyak kata – kata positif yang membangun kita, dan juga banyak juga kata – kata negatif yang bisa juga membangun kita asalkan pikiran kita bisa merubah yang negatif tersebut menjadi positif. Dan hal tersebut adalah sebuah proses untuk memahami diri kita sendiri. Dan satu hal yang terpenting yang saya pelajari adalah bagaimana menjadi satu kata

“Jujur akan diri sendiri.” kata – kata ibu saya adalah doa, ia tertawa melihat saya yang sungguh aneh, dan hal tersebut adalah pemaknaan tersendiri. Namun perasaan jujur tersebut adalah titik tengah sebelum pikiran kita bisa bermain dengan kutub – kutub ekstrim selanjutnya.

Di dalam arsitektur hal ini disebut juxtaposition, memperbandingkan dan mengintegrasikan kedua hal dengan ekstrim. Hal ini menghasilkan hasil yang hibrida. Pemikiran hal – hal seperti tidak ada yang baru di dunia ini, juga tidaklah benar seluruhnya, dan pemikiran bahwa ide dasar itu selalu orisinal juga tidaklah benar seluruhnya. Dan pertanyaan lebih mendasar, apa sih yang benar itu ? ataukah bukan masalah kebenaran ? tapi bagaimana saya paham mengenai batasan diri saya sendiri.

Dan kemudian, barulah kita bisa mengambil kesimpulan,

“saya cukup”

Di tengah – tengah Plato dan Aristoteles ada anak – anak dengan wujud kecil, berbaju putih yang menengahi mereka berdua ketika berdialog. Wujudnya lebih kecil dari lubang telinga, lubang hidung, dan lubang- lubang yang lain. Ia menyapa,

“hallo, namaku Kronos, sang penjaga semesta aku penjaga waktu, jembatan alfa dan omega ! cukup atau tidak cukup waktumu, kita cukupkan.”

Kategori
award blog

Guha by RAW architecture has been shortlisted in the business building category of Dezeen Awards 2021

Guha is shortlisted in the Dezeen Awards 2021 in business category ^^ Guha is a craftsman organic laboratory. It’s a building based on the transformation of experimentation of multiple materials.

Thank you for Dezeen, and we are together with Sanya Farm Lab by CLOUD Architects, FRizz23 by Deadline Architects, Imatra Electricity Substation by Virkkunen & Co. Architects, and Nodi by White Akitekter. They are great architects that we admire and learn from (their framework, design approach, detail, and many more).

After this, it’s a public vote ^^. Hopefully the process of transformation in Guha will always bring in-depth learning for us that can be shared to other people.

Guha by RAW architecture has been shortlisted in the business building category of Dezeen Awards 2021. RAW Architecture has designed Guha to accommodate offices, architecture studios, and dental clinics.

RAW Architecture implements a sustainable design approach in an effort to contribute to human and environmental sustainability by reducing carbon footprints. Departing from the context of the tropical climate in Indonesia with high rainfall and sunlight intensity, the space is designed to be responsive to the climate.

This is manifested in the layout of mass and space-oriented to the path of the sun, while the skin plays a role in reducing sunlight as well as air circulation. It is also supported by details through craftsmanship-making processes.

This project has been shortlisted in the business building category of Dezeen Awards 2021.

My team and I are really pleased to get the news :) hoping the architecture in Indonesia can spread to the world. Congrats to @guhatheguild @realricharchitectureworkshop @omahlibrary and all of the team, clients, including craftsmen, and friends. #formingbricolage

Vote for this project! www.dezeen.com/awards/vote
Voting closes on 11 October.

dezeenawards #rawarchitecture #guha #guhatheguilde #office #architecturefirm #architectureoffice #library #dentalclinic #indonesia #indonesianarchitecture

Kategori
blog blog - loving years - context before loving Laurensia blog-formative years

Surabaya – In Father’s Workshop

Looking back, I was born in Surabaya, near the poor slum area where there were crazy people, prostitutes, and the gap between rich and poor. Our family lived on Jalan Dukuh Kupang Timur gang 13 no. 75. I grew up and played in several alleys adjacent to Dolly’s Gang, which signifies the gap between a paradoxical iceberg phenomenon related to the necessities of life and the city’s identity.

I met one kid named Hamid every day, and he is a crazy toddler. Every time I pass him, I look at his genuine behavior such as running while showing arm-pit, laughing a lot unpretentiously, and always half-naked, walking without clothes. I asked my mother, who is Hamid. I found out that he came from a low-income family, his father and mother had many children, and his home is beside my grandmother’s home. I enjoyed it when I saw him, and it looked like he found his inner joy even though other people couldn’t understand him. He has a smile on his face, and I smile because of that. His smile is contagious, and my mother used to say,

“are you crazy? stop smiling and daydreaming.”

My father worked in Jakarta, and my mother, me, and three brothers were in Surabaya.

My father comes home once a week. The trip to pick up my father at the airport along with my mother is a lasting memory. We made The journey to Juanda airport at night. Usually, my father lands at 19:30, my mother drives, and we pass Waru, where rice fields stretch on the dark horizon. The journey was quiet, and we listened to the only sound of church songs set in a red civic car.

This red civic car is quite an impression because this is my father’s first car where he gave this car to my mother in Surabaya, while my father himself used a green used Kijang in Jakarta. It’s a pickup car. The pickup often gets hit and crashes because the driver is also a beginner or an impromptu driver, my father’s handyman. Uniquely, the green deer has an air conditioner that is colder than my mother’s honda civic. As if some futuristic junk, my dad didn’t have enough of one. He had two.

Our house in Dukuh Kupang consists of two plots, and each property has its access road. The left lot has garage door access with doors made of stainless steel pipes. At the same time, the right plot has one height with a canopy of thin iron plates, which is the entrance to the main house, while on the left, there is a small building plan field on the perimeter of the building. On this side, there is a small workshop, in which there is a chicken coop, craftsmanship tools such as saws, chisels, hammers, nails, or used plywood boards.

I was lucky because my mother was super busy at that time. She was active in the catholic group. When I was six years old, she cooked cookies to sell and loved to go to prayer groups. She is a busy person.
My mother likes to bake cakes to give or sell to people. She is pretty independent and firm in educating us, four sons. I know that our mother and father are always busy. I always like to accompany my mother for prayers or gatherings with church gatherings. While my mother was super busy, I had my own time in the workshop. I adored my father’s trace in the workshop, not because I saw his work or how he was working but simply because of the experiments he allowed me to do, and he always encouraged us to build our stuff. This workshop is where I make my wooden sword. One time, I created my sword using plywood. I used a saw to cut the plywood and make my toy. I get a feeling that we can make things by ourselves, even though it’s probably not perfect if seen by others, but it was perfect for me. I was proud of my toy.

Our residence is also adjacent to the carpenter’s house. From the front, you can see people passing by, and the workshop is always busy. Every time I pass the carpenter, I see piles of doors and wood – used wood. I just found out that Mr. Pardi, the head of the workshop, is a confidant of my father, who helped him make the doors for his project. Every year my mother and father always held a big meal celebration. All the chief craftsmen and their deputies will be present. The event was about chatting until the morning, including drinking events that have become their tradition. It’s an act of gratefulness celebrating the spirit of togetherness. It’s started by my grand father.

One time my father invited us to Jakarta, we stopped at my father’s boarding house. The room was small but warm. There my mother decided to help my father. From there, we plan to move to Jakarta. Leaving Surabaya was not easy. I had fallen in love with my freedom to play in my father’s workshop, chasing chickens, but seeing my father’s face when he landed and showing his face at the arrival gate made me miss. Maybe my mother wanted us to grow up together. I am in 3rd grade, and my little brother is going to kindergarten, my second big brother is in 6th grade, and my first big brother is going to 1st grade of high school. At that time, I was pretty sad that I had a feeling to move, where I already had my comfort zone in Surabaya. I didn’t know what would happen in Jakarta. I missed my playground, workshop, our fantastic house, and activity in praying groups. But I was excited to experience life with my father. I can see him every day, and It must be exciting.

In my father’s legacy

Surabaya

Looking back, I was born in Surabaya, near the poor slum area where there were crazy people, prostitutes, and the gap between rich and poor. Our family lived on Jalan Dukuh Kupang Timur gang 13 no. 75. I grew up and played in several alleys adjacent to Dolly’s Gang, which signifies the gap between a paradoxical iceberg phenomenon related to the necessities of life and the city’s identity.

One time my father invited us to Jakarta, we stopped at my father’s boarding house. The room was small but warm. There my mother decided to help my father. From there, we plan to move to Jakarta. Leaving Surabaya was not easy. I had fallen in love with my freedom to play in my father’s workshop, chasing chickens, but seeing my father’s face when he landed and showing his face at the arrival gate made me miss. Maybe my mother wanted us to grow up together. I am in 3rd grade, and my little brother is going to kindergarten, my second big brother is in 6th grade, and my first big brother is going to 1st grade of high school. At that time, I was pretty sad that I had a feeling to move, where I already had my comfort zone in Surabaya. I didn’t know what would happen in Jakarta. I missed my playground, workshop, our fantastic house, and activity in praying groups. But I was excited to experience life with my father. I can see him every day, and It must be exciting.

on site, playing in beach with family
me drawing in my father’s table
My mom, me, Mondrich, and my dad
My dad and his craftsmen
me and my little brother Mondrich.

I write this to show how I am thankful to my parents that have nurtured me and inspired me. They helped me grow, showing an example and encouraging me always to show my best, focus, be happy, and respect people without expecting somebody to listen while singing and dancing.

Up front, an educator must set a good example. In the middle or among students, the teacher must create initiatives and ideas. From behind, a teacher must provide encouragement and direction“,

Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.”
― Ki Hajar Dewantara

Kategori
blog

Redefine Role

It took years to redefine the role and responsibility of people in the studio Realrich Architecture Workshop. Below, I have written 4 roles to simplify how we work as a team and my responsibility as principal. These 4 roles are 4 different worlds, the associate designer is a world of techne, a world of architecture methodology grammar. That is the world of a design methodology. The second world is administration which is the world of matters, currency, and reality. It consists of archives and a way to survive. On the other hand, The Librarian and researcher in the world of episteme. It involves theorizing reality and fantasy. And, the last one in the world of phronesis is practical knowledge, which is called the craftsmen world. Below are the pictures of the dream team – Best Office in the World.

Principal Architect

As a principal, I am responsible for designing the vision and implementing the studio’s mission, making initial sketches, or discussing our experiments with the design team and clients. Our studio can develop from detail, materiality, and context understanding because the design is a collaborative process. This is possible in direct coordination with the design team, the associate designers, therefore.

The process of appointing us as an architectural firm is not easy to require. The relative compatibility is shown through a shared vision, a common goal, or simply a common approach. Once the client entrusts the results and process to us, it is the most valuable thing in the world of architecture.

From details to design concepts, the whole work shows how consistent we are with the richness of a multi-perspective, multi-disciplinary, multi-interest architectural approach. The entire procedure is evaluated in the form of architectural theory and is widely published.
It aims to jointly support the appreciation of architecture and the architectural profession in Indonesia. I believe that architecture, when thought out, is a powerful force that can improve the lives of many people.

Associate Designer

Associate designers at RAW Architecture have 1 year to 5 years of experience. The designers will be trained to reach the level of becoming a registered architects. They are connected in a studio where practical case studies are discussed to become a comprehensive grammar studio. In general, in some studios, the associate designer is called a junior architect or architectural assistant part 2 for ARB (Architect Registration Board) standardization. The name about this is related to habits and the meaning you want to aim for. I think there is a fundamental concept that is our studio culture about interpersonal relationships. I answered it with the idea of associate or associated with a collaborative, personal, and multi-personal design process. The associate is a concept that connects people’s social relationships with one another. A designer is someone who tries to solve design problems.

The learning process to become an associate designer at our studio has two paths. The first path is learning at the conceptual stage, then understanding how to draw technically well. The second path is to learn directly in the field, know the construction details, and then dismantle the knowledge of architectural concepts. Associate designers are people who have creative and critical power in answering architectural problems. The architectural design process faced by associate designers starts from reading the situation and context, dialogue with the principal for formulating design steps, managing project management, and carrying out forensic engineering with the integration of multi-disciplinary knowledge.

The association’s conception experiences a shift in meaning and reality every time due to the complexity of ethics, capabilities, and professional facts that the Indonesian Architects Association constantly updates.

Administration

The people in the administration department are responsible for documenting project archives, studios, libraries, including keeping the discipline of the large team as simple as possible regarding the neatness of bookkeeping related to taxes, accounting, finance, taxes, public relations, and personnel. Administrative tasks are carried out by recording chronologically according to job categories with an integrated system. The administration team led by Drg. Laurensia Yudith maintains client relations and reports with the principal to maintain the studio’s accountability and credibility.

Librarians and Researchers

The people involved in this division work in the Omah library. They are librarians who catalog and archive books. Librarians also have duties as researchers who carry out writing and production of knowledge through architectural literacy. Furthermore, the activity at Omah Library is to dialogue about relevant thought discourses with individuals who have critical thinking about everyday problems. At Omah Library, librarians and researchers also help develop architectural theory and archive case studies to form the basis for further architectural discourse. Librarians and researchers generally have 1 – 5 years of experience with multi-perspective thinking and comprehensive literacy skills. There are times when I invite them to develop architectural theories that are useful for our practice.

Craft Leader

The Craft Leader here means the leader of the builder who dedicates his time to the art, passion, and ability to not only build but make building art with taste and become a focus for subordinates indirect work or provide direction. The educational process to become a craftsman leader starts from the assitant, 1/2 craftsman, craftsman, executive craftsman, master craftsman. They are people who have 25-35 years of experience starting from before our studio was founded, during the time of my grandfather and parents. They have 10-25 years of practical experience who have had at least 3 built projects. In the next stage, the chief craftsman transforms into an advisor of art in building. They have worked from Sumatra, Kalimantan, Java, to Sulawesi.

Epilogue

Documentation of how we work, my interpretation of the ecosystem. The practical craftsmanship of RAW Architecture in Indonesia is being compiled in a manuscript on the philosophy of thinking about the roots of our craft school as a small, mutually supportive ecosystem.

Annisa Aprilita

Associate Administration and Finance

Affiliation SMAN 1 Kikim Timur

Fransisca Matanari

Associate Administration and Finance

Affiliation STMIK Triguna Dharma Medan

Arlyn Keizia

Senior Researcher, Curator, and General Manager

Affiliation Universitas Agung Podomoro

Aryo Phramudhito

Part Time – Photographer

Affiliation Institut Seni Indonesia Denpasar

Maylani Tiosari

Associate Librarian, Curator, and Creative Assistant

Affiliation

Master : Institut Teknologi Bandung

Bachelor : Universitas Trisaksti

Ujang

Management Construction Engineering

Nari

Management Construction Engineering

Sakum

Management Construction Engineering

Aqmarina Badzlin

Intermediate Associate Designer

Affiliation Master : Institut Teknologi Bandung, Bachelor : Universitas Diponegoro

Aldian Dwi Putra

Associate Administration and Finance

Affiliation SMK Muhammadiyah 2 Wates

Sirin

Management Construction Engineering

Aep

Craftmanship Leader

Tohirin

Management Construction Engineering

Bonari

Management Construction Engineering

Avinsa Haykal

Part Time – Designer

Affiliation Universitas Islam Indonesia

Nurul Septiawati

Senior Associate Administration and Finance

Affiliation Universitas Esa Unggul

Sudjatmiko

Associate Partner | Structure and MEP Engineering

Agustin (Meimei)

Associate Partner Designer

Affiliation Universitas Katolik Musi Charitas Palembang

Rico Yohanes

Senior Associate Designer

Affiliation Bina Nusantara University

Alim Hanafi

Senior Associate Designer

Affiliation Universitas Islam Indonesia (UII)

Kategori
blog

Semesta Kecil

Hari – hari ini saya menghabiskan banyak waktu bersama Laurensia di studio dan keluarga, sembari banyak mendiskusikan hal – hal terkait proyek bersama klien melalui zoom meeting. Pandemi ini memberikan banyak keresahan dari para peserta seminar dari dua webinar sebelumnya, ada banyak pertanyaan juga mengenai arah arsitektur di Indonesia kemana sebaiknya melangkah, bagaimana keadaannya, kenapa kok ngga maju – maju ? Hal – hal tersebut muncul di dalam keseharian saat ini yang berdasarkan keinginan untuk menyibak tirai ilusi dan mendapatkan kenyataan sebenar. Pertanyaannya apakah semudah itu ?

Saya merasakan bahwa saya punya perasaan aneh, perasaan bahwa akan meninggal, sakit, dan waktu itu terbatas. Saya pernah sempat masuk rumah sakit. Saya terkena penyakit lever, hepatitis A pada waktu itu saya mengambil ekatra kurikuler cukup banyak seperti tennis meja, tennis, badminton, aikido, aktif di organisasi keagaamaan dan mengikuti orientasi atau sederhananya mapram yang memakan waktu hampir satu tahun. Pada waktu itu saya masuk rumah sakit Pertamina selama 3 minggu, ayah saya tidur menemani saya selama itu juga di lantai beralaskan matras sederhana.

Malam hari tiba, Beliau tidur di lantai dengan kasur gulung ketika beristirahat. Momen – momen itu adalah saat terbaik saya mengamati kesehariannya. Ia tidak banyak bicara, hanya mengamati kawan – kawan saya yang datang dan pergi. Ketika kawan saya datang ia perlu keluar koridor atau berkeliling sejenak. Ia mengerti mungkin ia menganggap kami perlu privasi. Terkadang Ia mengingatkan bahwa saya perlu beristirahat. Ia mencari infus dan obat ke berbagai macam tempat dengan kakak saya supaya kadar SGPT dan SGOT saya yang 4300 an bisa turun menjadi ratusan. Kakak saya juga mirip dengan ayah saya ia juga tidak banyak bicara. Saya tahu kakak saya sibuk sekali karena pada waktu itu sedang menyelesaikan skripsi dan mempersiapkan bisnisnya. Ia memperluas sisi pemasaran bisinya dan kerap bolak-balik Jakarta dan Bali karena keperluan negosiasi dengan distributor brand yang berlokasi di Bali.

Energi saya memang sedang habis – habisnya pada waktu itu karena banyak membantu kegiatan kemahasiswaan sembari mengerjakan tugas TPB (tahap orientasi awal di ITB). Ada transisi besar dari masa kuliah sampai masa mahasiswa dan saya pada saat itu dipaparkan dengan kemahasiswaan, dan terlibat dengan beberapa kegiatan berbagi di Bala Keselamatan.

Dari cara ayah dan kakak saya memperhatikan saya. Mereka memberikan energi yang mereka punya untuk mengisi energi saya. Saya dididik dengan suasana sehari – hari bahwa, perhatian diberikan sepatutnya sewajarnya saja, laku kami adalah bukti bahwa kata – kata perlu menjadi perbuatan nyata di dalam keseharian. Kami semua sadar bahwa kami saling menyayangi tanpa harus berkata sayang. Hal tersebut adalah sebuah sikap menunjukkan dengan perbuatan tanpa perlu berkata – kata manis.

Selama ini saya terus mencari – cari apa kira – kira padanan istilah tersebut sampai pada satu saat berdiskusi dengan Jolanda Atmadja. Ia menjelaskan dengan istilah, “Semesta Kecil” yang adalah kondisi bawah sadar alam pikiran yang mendasari perbuatan. Dan, saya mendapatkan banyak inspirasi semesta – semesta kecil tersebut dari banyak orang yang menyumbangkan pikiran – pikiran untuk menjawab pertanyaan diatas.

Salah satunya pak Ryadi Adityavarman, beliau menjelaskan kemungkinan – kemungkinan apa yang bisa dipikirkan mengenai arsitektur di Indonesia. Hal – hal soal kemajemukan, soal regionalisme, soal kehalusan, kecairan, yang merupakan kunci – kunci dalam alam teori. Lain halnya di Indonesia, begitu juga yang terjadi di Thailand, mereka mengalami hal serupa. Saya mengetahui hal tersebut dari diskusi dengan Boonserm di studionya dan di lobby hotel Samsan, Bangkok, Thailand,

Bagian Relasi Sosial Arsitektur Berkelanjutan… Lihat lebih lanjut pada halaman research arsitektur berkelanjutan di link di atas

“Realrich, be mindfull selalu ingat akan konteks, mengakar, tanpa kehilangan arah. Sabar ketika harus sama, membaca arah konteks, praktik perlu dilakukan dengan kehati – hatian terhadap keinginan untuk memperkenalkan diri.”

Hal tersebut di dunia ini tidak terlepas dari dampak dari “representasi yang berlebih” yang kerap menjadi keluhan para intelektual di dunia informasi. Saya percaya akan semesta kecil yang baik dan kita membutuhkan orang lain yang justru akan memberikan lompatan yang tidak ternilai selain proses pendalaman diri. Di titik ini Boonserm bisa melakukan lompatan dari human centric architecture ke non human centric architecture. Kondisi budaya Thailand dengan masyarakat yang memiliki apresiasi terhadap budaya, arsitektur, dan gajah. Ketiganya memberikan warna dalam karya Boonserm. Urusannya bukan soal antar manusia lagi namun manusia dan alam.

Tanpa adanya inisiatif dan energi yang aktif untuk merangkaikan ketiganya menjadi karya, tidak akan ada lompatan inovasi tersebut. Sudah cukupkah kita mengenal Indonesia luar dan dalam ? Menembus kesombongan dan merendahkan hati untuk fokus berkarya. Intinya ada di laku sikap keseharian, hal ini dibahas oleh Singgih Kartono di dalam aspek pendalaman jiwa di dalam manifesto cyral spiriterial yang kontekstual dengan pendekatan Boonserm, Ryadi sebuah semangat persaudaraan dan rekonsilisasi. Dunia cyral spiriterial terdengar baik, terlihat indah, terasa nyata, dalam dan tidak sulit dilakukan memberikan kebajikan dalam membangun kota dan desa, jiwa dan materi.

Tulisan Singgih Kartono mengenai Cyral Spiriterial

Saya berterima kasih ke Singgih Kartono seusai sesi diskusi.

“… senang bisa berbagi pengalaman…ini satu tulisan serial untuk pengantar tidur, silahkan dibagikan…Kapan2 bikin workshop arsitektur, implementasi konsep Cyral-Spiriterial dalam dunia arsitektur ya.”

Saya lampirkan konsep dari beliau di bawah untuk teman – teman yang mau membaca dan jangan lupa kunjungi website, dan sapa beliau bisa di sosial media ataupun bertemu langsung. Singgih menjawab dengan semesta kecilnya, dan kemudian arsitektur menerima inspirasi dari disiplin lain. Selamat datang masa depan.

Kategori
blog lecture

Ruang Riung #05 : Modernism in Traditional Architecture Philosophy

Filsafat seringkali dianggap sebagai suatu ilmu yang tidak dipahami
peruntukkannya. Padahal bila ditilik lebih lanjut, filsafat memberikan banyak hal dan dampak bagi kehidupan sosial, budaya, maupun hal lainnya dapat memberikan suatu gambaran terhadap ilmu filsafat arsitektur yang memiliki hubungan dengan perkembangan gerakan arsitektur modern salah satu isu nya apakah di era modern mempengaruhi unsur nilai identitas arsitektur tradisional nusantara Ruang Riung #05 merupakan kegiatan diskusi seputar ke arsitektural, kegiatan ini dibuat sebagai wadah untuk kita mahasiswa yang ingin mendapatkan pengetahuan dan wawasan dunia arsitektur. Pada Kegiatan kali ini mengusung Tema “Modernisme Dalam Filosofi Arsitektur Tradisional”

Philosophy is often regarded as a science that is not understood allotment. In fact, when viewed further, philosophy provides many things and impacts on social life, culture, and other things can provide an overview of the philosophy of architecture that has a relationship with the development of the modern architectural movement. One of the issues is whether in the modern era it affects elements of architectural identity values the traditional archipelago of Ruang Riung #05 is a discussion activity about architecture, this activity was created as a forum for us students who want to gain knowledge and insight into the world of architecture. In this activity, the theme is “Modernism in Traditional Architectural Philosophy”

Narasumber:
Realrich Sjarief (Arsitek, Pendiri RAW architect & Omah library)
Moderator:
Titieandy Lie S.Ars, MT. (Dosen Arsitektur, ITI)

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada :
📆 : Sabtu, 11 September 2021
🕐 : 13.00 WIB – 15.00 WIB
📍 : Zoom Meeting & Live on Youtube Vhadyaswasti

Kegiatan ini terbuka untuk Mahasiswa, Dosen, Praktisi, Komunitas Lokal, Akademisi dan Masyarakat Umum.

Biaya pendaftaran Gratis!!!

📧E- sertifikat dikenakan biaya sebesar Rp. 15.000 yang dapat dibayar melalui :
💳Bank Mandiri 1640003517499 a.n. Aidah Nurul Hasanah.

Link Pendaftaran: http://bit.ly/ruangriung5

Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi :
📞0896-5035-0278 (Sri)
📞 0858-8133-7141 (Aidah)

#ruangriung#talkshow#archpedition#vhadyaswasti#vivatvhadyaswasti#architecture

Kategori
blog lecture

Critical Thinking and Creative Design Process

Ronny Gunawan asked me to share design thinking on projects. How to be creative and critical. The studio in UAJY exercises Plowright as design method. In this diagram shows how to understand context from social cultural technical is the techne. That is the part of acquiring the skill of understanding things / topos / human character / programs and all of the basic things.

Then critical thinking is started on how to filter the information and synthesis the questions. It’s when we form the hypothesis and start the process of mapping. The mapping is the starting of deliberate creativity , the it’s going back and forth to propose and evaluate becoming a proposal.

The practice looks so easy, but the really it’s not easy, because each decision involving the creativity and critical design process and it’s actually involving actors in every decision. How to negotiate between the boundaries. That makes the design is wicked but it’s also proving why architecture is so damn complex and damn powerful. It’s powerful because the proposal is based of steps of process and the culture is not easy. Like my greatest professor said, in every lines, there are design decisions, creative thinking and critical thinking, its shows how good you are and how long you have trained so far.

see you this Friday 18 : 30

Kategori
blog

Alifian Kharisma – Circle Means Family

Hari ini (jumat) di Bulan July 2021 adalah saat Alifian Kharisma menghabiskan hari terakhir di studio, Alifian akan berhenti menjadi tim permanen di studio dan mungkin akan membantu di project berdasarkan part time apabila diperlukan dan waktunya memungkinkan karena kesibukannya di sekolah dan keinginannya berdikari. Jadi setelah ini akan off dari grup kordinasi langsung studio ini. Jalan panjang masih terbuka, untuk berbagai kemungkinan. Kita semua masih bekerja bersama – sama, hanya saja dari tempat berbeda, berkumpul bersama, hanya intensitasnya lebih jarang. Lembar masa depan terbuka lebar dengan berbagai macam kemungkinan.

Hari ini (jumat) di Bulan July 2021 adalah saat Alifian Kharisma menghabiskan hari terakhir di studio, Alifian akan berhenti menjadi tim permanen di studio dan mungkin akan membantu di project berdasarkan part time apabila diperlukan dan waktunya memungkinkan karena kesibukannya di sekolah dan keinginannya berdikari. Jadi setelah ini akan off dari grup kordinasi langsung studio ini. Jalan panjang masih terbuka, untuk berbagai kemungkinan. Kita semua masih bekerja bersama – sama, hanya saja dari tempat berbeda, berkumpul bersama, hanya intensitasnya lebih jarang. Lembar masa depan terbuka lebar dengan berbagai macam kemungkinan.

saya sangat berterima kasih atas upaya, kerja kordinasi Alifian menuangkan kerja kreatif dan kritis yang intensif yang tidak hanya sebentar namun bertahun – tahun disini. Alifian adalah orang yang sabar dan tidak pernah lelah menemani saya dan adalah saksi hidup di studio dibalik gagalnya dan suksesnya proyek kecil maupun besar. Dan dirinya adalah jembatan antar generasi di dalam studio ini. Ia adalah saksi bahwa Kesuksesan adalah hasil dari pembelajaran – pembelajaran dan ia sendiri terus bertransformasi sampai sekarang.

Kerja – kerja Alifian adalah kerja yang tidak mudah karena untuk menempati posisi seperti dirinya yang adalah kepala di studio memerlukan untuk melepas ego dirinya dan melebur di dalam kondisi orang lain, multi perspektif, multi disiplin dan lagi – lagi multi generasi. Ia adalah jembatan nyata antara designer yang baru atau desainer dengan ratusan orang yang sudah masuk lalu lalang di studio
.

Di dalam budaya studio RAW Architecture, sekali sudah menjadi keluarga di studio, nama Alifian akan terus dikenang upaya, karakter, dan kontribusinya dan hal tersebut akan terus dicatat. Tali silahturahmi ini tidak akan terputus dan sama – sama kita doakan yang terbaik kesuksesan Alifian.

Tim kita adalah tim kecil yang realistis, ada tim admin, tim build, tim desain, dan tim perpustakaan. Tim ini bisa saja terlihat kecil namun terbukti progressif, dari tim yang kecil kita membuka sekat – sekat kemungkinan melalui ketepatan kerja, waktu dan kualitas personal. Alifian adalah tim inti salah satu nukleus yang menyatukan ekosistem yang ada. Tidak mudah mencari setiap orang untuk bisa bekerja bersama dari proses seleksi. Begitu antar personal bertemu sulit berpisah karena sudah tercipta ikatan emosional. Di balik ikatan tersebut ada doa untuk menjadi biasa, ada doa untuk menjalani segala suatu yang apa adanya, menjadi seseorang yang terus berbagi, dalam suka ataupun duka.

Kita semua berlatih untuk meraih dan melepaskan waktu, relasi, dan kesempatan. Momentum tersebut membentuk sebuah kenangan yang baik. Alifian sudah memberikan kenangan yang manis di dalam Studio ini. Semoga ilmu yang didapatkan di studio bisa diamalkan Alifian terus menerus. Alifian punya sendiri membentuk kehidupan orang lain memberikan dampak yang positif dan usaha untuk memperdalam ilmunya di dunia arsitektur. Di dalam arsitektur kita mendapatkan visi, misi, belajar, dan mengaktualisasikan jiwa raga kita semua sepenuh hati. Dari situ muncullah kesempatan untuk memberikan jejak kenangan, dan saya patut berterima kasih jejak kenangan Alifian yang tidak akan terlupakan kepada studio ini.

Di bawah ini saya lampirkan buku kecil, jejak – jejak kenangan cerita untuk Alifian, harapannya, dan pendapat orang lain mengenai dirinya dengan harapan memberikan kenangan yang manis.

Today (Friday) in July 2021 is when Alifian Kharisma spends his last day in the studio, Alifian will stop being a permanent team in the studio and may help on a project on a part time basis if needed and the time allows due to his busy schedule at school and his desire to be independent. So after this will be off from this studio direct coordination group. There is still a long way to go, for possibilities. We’re all still working together, just from different places, coming together, just less intensely. The future is wide open with a wide variety of possibilities.

I am very grateful for the efforts, Alifian’s coordinating work has poured intensive creative and critical work that has not only been for a short time but for many years here. Alifian is a patient person who never gets tired of accompanying me and is a living witness in the studio behind the failures and successes of small and large projects. And he is the bridge between generations in this studio. He is a witness that Success is the result of learning – learning and he himself continues to transform until now.
.
Alifian’s work is not an easy job because to occupy a position like him who is the head of the studio requires to let go of his ego and merge into other people’s conditions, multi perspective, multi discipline and again – again multi generation. He is a real bridge between a new designer or designer and hundreds of people who have entered the studio
.
In RAW Architecture’s studio culture, once family in the studio, Alifian’s name will continue to be remembered for his efforts, character and contributions and that will continue to be recorded. This friendship rope will not be broken and together we wish Alifian the best for success.
.
Our team is a realistic small team, there is an admin team, a build team, a design team and a library team. This team may look small but is proven to be progressive, from a small team we open up the barriers of possibilities through work accuracy, time and personal quality. Alifian is the core team of one of the nuclei that unites the existing ecosystem. It is not easy to find everyone to work together from the selection process. Once the personal meet is difficult to separate because it has created an emotional bond. Behind this bond there is a prayer to become ordinary, there is a prayer to live everything as it is, to be someone who continues to share, in joy or sorrow.
.
We all practice grabbing and letting go of time, relationships, and opportunities. The momentum forms a good memory. Alifian has given sweet memories in this studio. Hopefully the knowledge gained in the studio can be practiced by Alifian continuously. Alifian has his own way of shaping the lives of others, giving a positive impact and an effort to deepen his knowledge in the world of architecture. In architecture we get the vision, mission, learn, and actualize our body and soul, all of us wholeheartedly. From there came the opportunity to provide a trail of memories, and I should thank this studio Alifian’s unforgettable memories.
.
Below I attach a small book, traces of memories of the story for Alifian, his hopes, and other people’s opinions about him in the hope of giving sweet memories.

From monday the world goes on as usual, everyone has their own journey, congratulations Ali.

Alifian Kharisma Syahziar

“Thanks for everything kak Rich n kak Yudith . You’re such a Role Model. Saya banyak belajar dari kak Rich bagaimana mengelola biro dimana orang orang menggantungkan sebagian nasibnya disana, bagaimana mengelola biro yang dituntut terus berkembang pengetahuannya mengikuti perkembangan teknologi. Terlebih lagi, bagaimana menjadi arsitek yang juga orang tua, guru, dan manusia biasa. At the end, perjalanan di studio adalah bagaimana kita masuk, dan terkahir, bagaimana kita keluar.

Testimonial Alifian mengenai proyek di studio.

“kultur studio RAW tidak lepas dari karakteristik seorang kak rich. yang tangkas, mendidik, dan passionateful. dari ribuan jam sy di studio rasanya selalu ada hal baru menanti. ‘there is no problems if new one arrives every minute’. kutipan di ppt raw introduction yg selalu sy bacakan buat para staff baru dan anak magang.
ini kesan saya yang pertama. Bekerja seperti belajar berenang, kadang dibimbing, kadang dilepas. kalau tenggelam ada yg ngangkat ke permukaan lagi. kak rich dan para senior itu mentor sy untuk berenang. kak rich pun masih belajar dengan guru dan tingkatan yg berbeda. seiring pengalaman, saya juga harus menjadi mentor untuk yg lebih muda.”

” kesan saya untuk proyek Kemang sejauh ini: pengalaman yg baru dengan realitas proyek yang seperti nya lebih komplit dr yang pernah sy jalani di studio dari segi stages. mulai site analysis, skematik, DD, tender drawing, for con drawing, perijinan, meeting mingguan, MoM. saya bisa bertemu banyak stakeholder seperti proyek manajer, qs, kontraktor, konsultan2 lain.

di tim studio sendiri yg paling unik adalah dmn person incharge nya ganti ganti. seingat saya dimulai dr asep dan irul, trs ke saya, aga, gomes, aris, michael, trs ke nida dan dini. beberapa anak magang jg membantu untuk eksplorasi maket. jd kesannya proyek ini adalah proyek keroyokan. menurut sy portfolio bagus untuk kita sebagai studio dan individu mengingat proses nya yg komplit dan proyek nya adalah proyek bangunan publik, apalagi di kemang. memang disayangkan anak2 diatas tidak mengalami penuh proses ini.

bagi saya, proyek semacam ini adalah kesempatan yg baik bagi siapapun untuk bisa merelealisasikan apa yg direncanakan dengan banyak pelajaran. proses desain yang cukup dalam, interaksi dgn orang luar lingkup raw, mensinkronkan pikiran, professionalitas, mengujui kesabaran. 😁”

Testimonial Alifian tentang cara kerja studio.

“kultur studio RAW tidak lepas dari karakteristik seorang kak rich. yang tangkas, mendidik, dan passionateful. dari ribuan jam sy di studio rasanya selalu ada hal baru menanti. ‘there is no problems if new one arrives every minute’. kutipan di ppt raw introduction yg selalu sy bacakan buat para staff baru dan anak magang.

ini kesan saya yang pertama. Bekerja seperti belajar berenang, kadang dibimbing, kadang dilepas. kalau tenggelam ada yg ngangkat ke permukaan lagi. kak rich dan para senior itu mentor sy untuk berenang. kak rich pun masih belajar dengan guru dan tingkatan yg berbeda. seiring pengalaman, saya juga harus menjadi mentor untuk yg lebih muda.

kesan yang kedua yaitu: setiap orang di studio ini punya kepribadian masing2 yg unik. punya skill skill yg tidak terduga, jago bola, musik, jago joget, jago kerajinan tangan, dll. orang orang datang dan pergi. mereka punya kesan masing2 bahkan untuk orang yg cuma punya waktu 1 hari di studio. 😆. dari sini saya bersyukur kenal macam macam orang.

kesan sy yg ketiga yaitu bekerja di studio ini memang sangat dikejar kejar waktu. sejak marak wa grup 3 tahun lalu.semua proyek dibuat wa grup kordinasi dan hampir semua nya saya join. notifikasi di hp saya tidak berhenti muncul, akhirnya sy silent grup yang sedikit atau tidak ada kaitannya. hampir setengah dari waktu kerja dihabiskan dgn kordinasi wa atau telepon. semakin hari wa grup semakin bertambah. sy menyadari kalau proporsi proyek baru dan proyek selesai memang tidak pernah seimbang. laju informasi dari wa yang tidak bisa dibendung. untuk ini saya seringkali membalasnya dgn “”apa masih ada waktu?”

-Pesan untuk Studio: Punya lebih banyak kerabat yang baik, orang2 yang saling mendukung dan punya vibes yang sama diiringi dengan punya lead time yang baik sehingga bisa selaras.
-Pesan untuk kawan kawan terbaikku: Kumpulkan bekal sebanyak banyaknya. dengan rendah hati, enjoy,. Semoga lebih disiplin lagi kedepannya dan have a healthier cycle.”

Testimonial dari rekan – rekan yang lain.

Nurul dan Repi : ” Makasih mas ali udah gak ngeribetin kalo pas reimburse grab sm toll, makasih udah selalu dingin tapi tiba-tiba bikin ngakak, yaudalah yaaa makasih buat semuanya aja, semoga kita bisa bertemu di lain waktu dan kesempatan. aamiin”


Dimas Dwi Mukti Purwanto : “Saya memahami bahwa mas Ali adalah sosok yang tenang dan stabil. Dan sosok yang tenang dan stabil memiliki perannya sendiri dalam sebuah ekosistem perusahan dalam menenangkan situasi sehingga kita bisa berpikir lebih jernih. Saya pikir ini aspek fundamental dalam ekosistem pekerjaan arsitektur. Yang membutuhkan gagasan2 kreatif dalam waktu yang relatif singkat. Pernah suatu ketika bekerjasama dalam satu pekerjaan membuat materi presentasi. Deadline tergolong padat. Namun pekerjaan justru diselesaikan dengan sangat tenang. Dan pada akhirnya kita bisa menyelesaikan susunan materi sedalam apa yang telah kita pikirkan. Cukup membanggakan secara personal. Apa yang dikerjakan sangat berguna bagi perusahaan. Mungkin kalau tidak tenang, kita akan terjebak dalam pikiran “”yang penting selesai””. Dan ini akan menciptakan penyesalan bagi diri sendiri. Tetap tenang dan stabil adalah hal yang bisa dipelajari dari mas Ali”

Caroline : Senang melihat kamu terus berkembang, sukses selalu dalam karier, pendidikan dan pribadi, sampai jumpa

Kiswanto : Terima kasih untuk mas ali yang sudah menjadi bagian dari keluarga besar RAW dan semangat terus untuk menempuh pendidikan barunya semoga sukses dan apa yang di cita citakan semoga cepat terkabul.amiinn

Rico Yohanes : Hampir 2 tahun saya berada di RAW, pengalaman saya bertemu kak Ali sepanjang ini memang sering berada di luar lingkup proyek. Menurut saya Kak Ali adalah teman sekaligus guru yang ramah dan bijaksana. Bercandaan yang spontan tapi mengubah situasi studio menjadi lebih santai. Beliau suka bercanda, namun suka juga serius sekaligus tegas. Dia juga sering menjawab pertanyaan walaupun bukan lingkup pekerjaannya. Tidak heran dia menjadi seorang assosiate, karena mampu mengendalikan situasi studio. Semoga dampak yang diberikan oleh kak Ali di studio dapat berdampak juga diluar sana. Semoga kehidupan lahir baru arsitek-mu sukses dan jaya kak. Jangan lupa dengan kita kak, suatu saat kita akan bertemu dengan situasi yang berbeda 😁. Thank you untuk pengalaman sepanjang di studio kak. Setelah pandemi selesai ada permainan yang harus kita mainkan 🎮
Yuliana Putri semoga Ali untuk melakukan pekerjaan yang hebat dengan mencintai apa yang sudah dilakukan / dikerjakan dengan semangat dan bahagia, jika belum menemukannya, teruslah mencari dan jangan puas, sukses slalu untuk ka Ali :)


Satria : Thank you kak Ali. Good job ya. semoga setelah ini banyak hal keren menjumpaimu. meski nggak banyak kerjasama, tp lo banyak ngasih gw cara gimana cara menghadapi realita. see you on the next level.


Novita Gunawan : Momentny saat ngurusin ajib buat perijinan imb, ngejar ajib bareng kak Ali, bolak baliknya itu ada jengkel sama ajib sampai lega akhirnya selesai imb nya, keren sich, Kak Ali termasuk sesepuh di tim design, panutan yang baik buat karyawan disini, semoga Kak Ali tambah sukses dan semoga bisa ketemu lagi nanti dan bisa silaturahmi. Semoga Kuliah nya lancar dan Semoga sukses kak

Andriyansyah Muhammad Ramadhan : Kak ali itu salah satu sosok leader yg paling super duper humble, sabar, dan bener2 kaya sosok kakak yg bakal support dalam semua hal. Banyak banget dapet pelajaran2 berharga dari kak ali mulai dari arsitektur dan pelajaran hidup . Orangnya bisa diajak ngobrol dari hal2 serius tentang urusan kantor sampai hal2 sepele / gak penting di luar kantor. Bener – bener kak ali gak ada duanya, terbaik dari yang paling terbaik. Bakal kehilangan sosok kakak super humble ini di kantor, tapi yang paling penting all the best untuk karir kak ali kedepannya yaa, semoga bisa terwujudkan semua harapan dan cita2nya


Erick : Untuk Alifian, warna kantor baik secara karya maupun keceriaan kantor tidak lepas karena adanya Ali. Thanks untuk waktu bisa berkembang bersama di kantor. See ya again.


Khafyd : Teruntuk kak Alifian , pertama kali saya masuk studio saya melihat kak Ali ini orang yang sangat serius dan gak mudah ketawa, seiring berjalannya waktu saya mulai dekati kenalan dan ngajak ngobrol dan dari situ saya mulai tau kalau dia ternyata Assosiate, dimana seseorang yang memimpin mengatur pekerjaan tiap” orang di dalam studio ini. Dari situ saya coba melihat mengamati bagaimana cara dia dalam memimpin rapat, diskusi dengan pic masing” proyek dan juga bagaimana dia mengasih tahu detail” konsep design. Kak Ali ini merupakan seseorang asyik ketika menjadi teman dan suka ngelawak, yang serius ketika menjadi pemimpin, yang sabar ketika menjadi guru di dalam studio raw . Semoga kedepannya bisa ada ka Ali yang ke 2 ke 3 dan seterusnya yang hadir di dalam studio raw ini. Yang mempu memimpin semua proyek dan menjadi tauladan bagi anak” arsi raw untuk menjadikan studio ini yang terbaik dengan karyanya. Sukses terus untuk ka Ali kedepan nya khususnya study S2 nya. Semoga bisa bertemu lagee… :)


Memeh : Thank you for your help and kindness. I wish you the best of luck and continued success wherever you may find yourself. See you soon.


Meimei (Agustin) : Untuk mekanisme kantor sekarang saya merasa jadi lebih teratur dan lebih tertata kak. Dengan adanya absen yang baru, kita jadi bisa lebih disiplin, bukan hanya ke studio (pekerjaan) tapi juga ke diri sendiri. Karena terkadang kita lupa waktu sehingga tidak bisa disiplin ke studio ataupun ke diri sendiri. Terima kasih kak

Vivi Y. Santosa : “Adanya sistem jam kerja yang jelas membuat bekerja lebih mudah dan menciptakan keproduktifan yang baik. Saya juga lebih senang karena ada ruang waktu work life balance lebih baik. Arsitek adalah pekerjaan marathon yang panjang, batasan waktu kerja dan istirahat yang cukup itu perlu sehingga tidak jenuh dan bisa mendapatkan hasil yang optimal.

Testimoni untuk Kak Ali : Seseorang yang sangat saya hormati karena beliau bekerja secara profesional tapi tidak kaku (fun orangnya). Jarang mengeluh, fokus dalam membereskan pekerjaan. Sangat jelas dalam membimbing dan memberi pengarahan. Belajar banyak bagaimana harus bekerja secara smart, cepat, dan tepat sasaran. Best associate that i ever had! :)”


Thomas Andrean Santoso “..ingat dulu sy datang dikondisi kantor sedang hectic banget. hehe dan saya melihat dan merasa tensi kantor sedang tinggi sekali. serem juga sih awalnya termasuk Mas Ali. kaya sadis gitu. lalu saya ikut aja yang dia minta dan selesailah proyek deadline tersebut.saat makan malam eh mulai muncul sifat-sifat banyol yang saya ga abis pikir. ternyata orang nya ancur begini. joget-joget ga jelas, nyeloteh yang absurd, dan seringnya mecah keheningan kantor lewat celotehan aneh bin nyleneh. cuma ni orang saya pikir ada sisi tenang dan pendiamnya yang jadi enak kalo ngobrol yang serius-serius juga masuk. tak terasa 3 tahun perkenalan kita, istilahnya seperti temen SMA yang kocak abis selesai masa 3 tahun dan lulus sapa si yang ga kangen. tapi gapapa pertemuan dan perpisahan cuma dimensi waktu dan tempat saja, tapi hubungan relasi dan keterikatan memori tetap akan ada. sukses my Bro!”


Alvyan adi saputra : “Hubungan antar manusia yang sehat, sehingga menciptakan suasana kerja yang tidak membosankan walau sering pulang sampai malam. Terasa seperti kembali ke masa kuliah lagi. Banyak open space di kantor buat lingkungan kantor buat saya bisa tenang (karena saya tipikal orang yang tidak terlalu betah di dalam ruangan tertutup). Banyak buku-buku tentang Improving Self-Esteem yang bisa di baca. Untuk sedikit masalah kecil yang saya dapat di diri saya sendiri mungkin dari sisi jam kerja, kadang saat ada acara keluarga di rumah ,merasa sungkan untuk pulang lebih awal di banding teman2 yang lain, walau tidak ada aturan pulang jam 9 malam. Dan mungkin untuk makanan bisa di perbanyak sayur2an, tempe atau tahu di banding ayam yang berminyak, agar kondisi kesehatan dan imun warga kantor RAW bisa lebih kuat dan tidak mudah sakit. Sebelumnya moho maaf jika ada salah kata atau lancang dalam menginterpretasi atau memberikan hal hal yang ingin di sampaikan, terimakasih


Fina : “Banyak hal yang saya dapatkan di RAW. Bukan hanya mengenai desain dan teknis, tapi juga tentang tanggung jawab, kemandirian, kenekatan, keberanian, ketekunan, pertemanan orang2 dan budaya kerja yang berbeda di sini. Saya merasa atasan di sini juga bisa menjadi teman atau mentor yang baik, humble, bisa menyatu satu sama lain. Mungkin hal ini tidak akan saya dapatkan di tempat lain. Ketika memasuki suatu hal yang baru pasti ada banyak hambatan. Karena ketidaktahuan di awal. Saat masuk build saya menemukan banyak kesulitan, saya tidak tahu mengenai semua data, file, obrolan dengan owner / vendor karena tidak ada di grup, tidak tahu di mana letak semua file. Tidak tahu kalau ada update perubahan. Harus berkoordinasi dengan berbagai macam orang dengan karakter yang beda. Saya bersyukur sekarang sistemnya sudah lebih diperbaiki. Juga berharap agar saya yang ilmunya masih sedikit ini dapat dibimbing dan didengar. Kalau associates / HRDnya bukan Kak Ali aku mungkin sekarang ga di RAW. Kak Ali itu suka banget psikologi atau nebak2 orang. Peka banget, sabar, bisa inget sama ngerjain banyak hal dalam satu waktu. Anak pertama banget. Kalau ada yang ke lapangan Kak Ali juga diem2 ngecek. Selalu cepet cek hp, whatsapp, dll. Cek, double check, triple check. Suka nguping. Selalu nolongin sama ngurusin orang-orang. Aneh, nyentrik, suka ngejudge, ENFP gitu. Walaupun omongannya kadang nyelekit tapi Kak Ali abis itu bantuin/ngajarin. Kalau diajak yang aneh2 pasti mau walaupun awalnya malu-malu. Pake masker, makan biskuit bayi. Oiya kadang Kak Ali juga sering malu-malu atau awkward walaupun termasuk orang yang rame. Kalau mau sesuatu langsung gas bilang aja kak. Berharap bisa lebih banyak ngobrol, bercanda, belajar sama Kak Ali. Semoga kedepannya rejeki Kak Ali lancar, dapetin apapun yang dimau dan dikejar. Aamiin”

Pandu “…Salah satu hal yang kemudian menjadi berkesan lainnya adalah pertama kali saya bertemu dengan Alifian, partner sekaligus teman diskusi, hingga label “”menolak tua”” saya pikir cukup melekat pada dirinya. Visi hidupnya cukup jelas untuk menjadi yang berbeda dan memberikan dampak tidak hanya utk pribadi, melainkan juga untuk kultur arsitektur di generasi sekarang yang tidak lagi one-man-show, melainkan proses kolaboratif dan juga teamwork.

Dear kak Ali, cc temen temen semua,
ini wrapup saya untuk semuanya
jadilah gatekepeer
see u on another level
be bulletproof
dan yang terpenting
be secure
dont kill yourself
and take your time

Fadiah : “…hari ini bertepatan dengan selesainya tugas Ali di RAW. Setelah mengenal Ali selama hampir 5 tahun ini, Ali meninggalkan banyak kesan untuk saya secara personal maupun profesional. Ali orangnya sangat jenaka, gaya ceplas-ceplosnya, spontanitasnya dan jokesnya yang aneh-aneh, membuat suasana yang tadinya tegang bisa menjadi lebih cair. Dilain sisi, Ali adalah pemimpin yang baik dan bertanggung jawab. Saya ingat betul diawal saya masuk, dia dengan sabar membimbing saya dalam gambar yang dibutuhkan untuk dikirim ke client. Dia juga yang mengantar saya sampai kost waktu pulang sangat larut, padahal arah pulangnya berbeda. Saya menyaksikan banyak perubahan yang terjadi pada Ali. Dari gaya preman menjadi casual. Dari motor revo menjadi sigra. Dari kaca mata kotak menjadi kaca mata bulat. Dari single menjadi in relationship (thanks to proyek Felita ya Li). Dari junior designer menjadi longest associate. Dan dari semua perubahan itu, Ali tetap konsisten menjadi Ali yang jenaka dan bijaksana.

Ali adalah salah satu contoh berhasilnya RAW berperan dalam mencetak pribadi yang lebih matang. Saya percaya dibalik segala tekanan yang ada, itu adalah ujian untuk mengenal diri kita pribadi, bagaimana kita menghadapi dengan baik, bagaimana kita berproses untuk menjadi lebih dewasa, bagaimana kita tahu kapan untuk lari kencang atau duduk sejenak, dan akhirnya bisa naik level. Semoga akan terus ada Ali-ali yang lain di sini.

(Good job Li, sukses S2nya. Tq ya buat moments yang sudah dilalui bersama!)”


Timbul Arianto : “Its a serendipity having such opportunity of working and guidance by such a great mentor. Started from a raw freshman and still going into collegary and mentorships. Sebagai leader Mas Ali sosok yang sabar, tegas dan penuh dedikasi, baik dalam pekerjaan sebagai leader maupun sebagai kolega,

Kesabaran dalam mengajar dan mendidik para junior adik-adik baru, sehingga menjadi individu yang mampu dan capable. Tentunya ini bukan kata-kata manis saja, dari mana saya tau? karna sayapun sendiri mengalaminya. dipimpin dari 0 hingga menjadi individu yang “”confident””. Mungkin ini terlalu personal, namun memang pada dasarnya pendekatan profesional yang dilakukan oleh Mas Ali sangat sulit untuk tidak bisa masuk dalam ranah personal, karna tidak hanya berkaitan dengan pekerjaan tapi juga pola pikir yang berkembang dan terus berjalan.

Berkaitan dengan hal tersebut, tentunya peran kantor sebagai tempat bekerja yang mengizinkan adanya relasi yang sehat baik secara profesional dan personal. Terlebih dari itu juga tidak lepas dari peran kepemimpinan para leader, salah satunya Mas Ali.

Saya percaya Mas Ali sudah cukup mendidik dan meneruskan “”legacy”” yang baik, secara profesional dan figur untuk adik-adik disini. Oleh karna itu juga saya percaya dan positif terhadap policy terbaru dari kantor, Ini merupakan kesempatan untuk berbenah diri dan keluar dari zona nyaman, karna setiap fase tentu perlu berubah agar kita tau seberapa jauh sudah kita berkembang.”

Hari senin dunia berjalan seperti biasa, setiap orang punya perjalanannya masing – masing, selamat melangkah Ali.

Kategori
blog

Cerita di Balik Bentuk | Form

Satu ketika saya terbersit ide untuk membuat sebuah seminar isinya 7 orang yang memiliki latar belakang berbeda – beda mengenai bentuk. Latar belakangnya dari beberapa pengalaman perbincangan arsitektur yang baru terbatas di bentuk di sekitar saya. Beberapa orang saya kontak untuk memikirkan hal ini, saya mengontak Johannes Adiyanto pertama kali. Alasannya sederhana, karena dia tersedia dan mudah untuk di kontak, dan juga kami berkali – kali berkolaborasi bersama. Saya bilang ke dia “Mas aku mau buat webinar lagi, mau bantuin ngga ? mulai dua minggu lagi.” Pada saat itu saya juga ngga punya persiapan, yang saya rasa, diskursus mengenai bentuk akan sangat dibutuhkan mengingat bagaimana kecepatan dunia digital yang pembahasannya tidak bisa dalam, dan terkesan membahas bentuk dari produk bukan proses.

Ini rencana saya mula – mula, temanya Theory, Origin, Technique, Critique, Philosophy, Meaning.

Ia menjawab “Tunggu mas jam 20 an bisa ditelp ?” Dari situlah saya bercerita mengenai bagaimana pentingnya webinar kali ini untuk menguliti persoalan bentuk yang mungkin memiliki definisi berbeda dan patut untuk didiskusikan.

Sempat juga saya berdiskusi dengan Nanda Widyarta, ia berkomentar “Form, platonis banget euy,… tapi ini perlu. Orang suka susah bedakan shape dari form.”

Saya menjawab “… yang diperbincangan itu wujud atau bentuk… dua hal yang beda… Ada kompleksitas yang mungkin membuat pemahaman tentang ide tentang konsep bentuk perlu disadari dulu… apa artinya perlu pembahasan soal beda dan guna dulu ya … jadi praktis supaya jelas nanti aplikasi (nya).”

Nanda menjawab “Kemungkinan ada perbedaan konsep di dua budaya (kita dan barat). Di bahasa kita ga ada kata buat “form.” Adanya bentuk. Kata “wujud” diserap dari bahasa Arab. Tapi kita sering anggap wujud dan bentuk itu sama. Bukan sebuah handicap sih. tapi kita (dan umumnya orang sedunia) memamng kerap gagal melihat perbedaan pemahaman konsep2 di budaya2 berbeda… sepakat.”

Dari setelah saya berdiskusi dengan Jo, saya mengontak beberapa kawan – kawan pemateri dan semuanya tertarik. Undi Gunawan untuk teori, Johannes Widodo untuk asal mula, Setiadi Sopandi untuk kritik, Ryadi Adityavarman untuk teknik, Boonserm Premthada, khususnya untuk budaya, Johannes Adiyanto untuk filosofi,dan Revianto Budi Santosa untuk makna. Boonserm Premthada dan karyanya akan menjadi garis tengah gerbang untuk melihat sebuah karya yang memiliki konteks yang mengakar dari sudut pandang budaya. Setelah persiapan yang intensif dari tim Omah Library (Dimas, Hanifah, Satria) materi siap. Pertanyaan Hanifah atau yang sering kami panggil uffi, “Kak rich ini arahnya kemana ?”

Kejadian ini cukup lucu dan menggelitik dan setidaknya begitulah bentuk, sekonyong – konyong ia bisa menjadi arkitipe, yang secara tidak sadar bergerak secaral rasional, empirik ataupun intuitif, dari situ saya mendengar suara sayup – sayup di belakang telinga saya, mengingatkan saya.

“Realrich kamu nanya terus, kapan jalannya, ayo maju, anak – anak perlu jalan.”

Kelas Wacana Arsitektur – BENTUK | FORM]

Bentuk adalah hasil dari produksi pengetahuan arsitektur. Untuk memproduksi pengetahuan arsitektur melalui bentuk diperlukan pemahaman mengenai mengapa satu bentuk dibuat, dan apa dampak dari bentuk tersebut.

Webinar Omah library yang berjudul “Form | Rahasia dibalik sebuah bentuk” membahas bentuk dari sudut pandang teori arsitektur, asal mula (origin), teknik merangkai bentuk, kritik terhadap bentuk, metode desain sekaligus konteks alam dan budaya, filosofi dan pemaknaan. Berbagai sudut pandang ini memberikan peta bagaimana perjalanan sesorang menelusuri perjalanan proses membentuk bentuk. Beberapa pembicara yang akan mengisi acara ini adalah Undi Gunawan, Johannes Widodo, Ryadi Adityavarman, Boonserm Premthada, Johannes Adiyanto, dan Revianto Budi Santosa.

Arsitektur memiliki manifestasi kekuatan yang dahsyat melalui bentuk. Pertanyaannya bagaimana menjadi kreatif sekaligus kritis sehingga muncul hasrat untuk reflektif dan mempertanyakan keadaan sekaligus bersemangat untuk selalu progressif.

Theory
Undi Gunawan
28 Juli 2021 pukul 19.00 WIB

Origin
Johannes Widodo
4 Agustus 2021 pukul 19.00 WIB

Technique
Ryadi Adityavarman
11 Agustus 2021 pukul 19.00 WIB

Critique
Setiadi Sopandi
18 Agustus 2021 pukul 19.00 WIB

Culture
Boonserm Premthada
25 Agustus 2021 pukul 19.00 WIB

Philosophy
Johannes Adiyanto
1 September 2021 pukul 19.00 WIB

Meaning
Revianto B. Santosa
8 September 2021 pukul 19.00 WIB

Silahkan mengisi form pendaftaran dan ikuti petunjuk konfirmasi: bit.ly/OMAH_FF

Untuk mengikuti webinar Omah Library diperlukan donasi sebesar 10.000 per sesi yang akan dipergunakan untuk meningkatkan literasi arsitektur dan mengapresiasi pengetahuan yang diberikan pembicara. Bagi yang berkeinginan mengikuti namun tidak mampu, mohon untuk mengirimkan surat ke kami karena webinar ini adalah ajang membangun kebersamaan.

Untuk mengikuti webinar Omah Library diperlukan donasi sebesar 10.000 per sesi yang akan dipergunakan untuk meningkatkan literasi arsitektur dan mengapresiasi pengetahuan yang diberikan pembicara. Bagi yang berkeinginan mengikuti namun tidak mampu, mohon untuk mengirimkan surat ke kami karena webinar ini adalah ajang membangun kebersamaan. Silahkan mengisi form pendaftaran dan ikuti petunjuk konfirmasi: bit.ly/OMAH_FF
Silahkan mengisi form pendaftaran dan ikuti petunjuk konfirmasi: bit.ly/OMAH_FF

Semoga webinar ini mampu untuk mengobati kerinduan kita semua untuk bertemu, bertegur sapa, dan belajar di dalam situasi yang terbatas di masa pandemi.

#webinar#arsitektur#webinararsitektur#bentuk#form

Kami mencantumkan donasi untuk memberikan apresiasi terhadap ilmu materi yang diberikan oleh pemateri dan pembahas. Hal ini semoga akan memberikan sebuah siklus ekosistem yang sehat dan saling mengapresiasi untuk memproduksi ilmu pengetahuan. Silahkan mengisi form pendaftaran dan ikuti petunjuk konfirmasi: bit.ly/OMAH_FF

Translation :

The Story Behind the Bentuk | Form

One time I had the idea to make a seminar with 7 people from different backgrounds regarding Form. The background thinking is from some recent experience of limited architectural conversation in the Form around me. I contacted several people to think about this. At first, I called Johannes Adiyanto. The reason is simple: he is available and easy to reach, and we collaborate many times. I said to him, “Mas, I want to do another webinar. Do you want to help? It will start in two weeks.” At that time, I also didn’t have any preparation, which I think a discourse on Form will be very much needed considering how fast the digital world is. The discussion cannot be deep and seems to discuss the Form of the product the process.

This is my original plan. The theme is Theory, Origin, Technique, Critique, Philosophy, Meaning.

He replied, “Wait, mas at 20 can you call?” That’s where I talked about how vital this webinar is to address Form, which may have different definitions and deserves to be discussed.

I also had a discussion with Nanda Widyarta. He commented, “Form, it’s very Platonic, huh, but this is necessary. People like to find it difficult to distinguish shape from Form.”

I answered, “… what is being discussed is Form or Form… two different things… Some complexities might make understanding the idea of the concept of Form need to be realized first… what does it mean, we need to discuss about different and use it first… so it’s practical so that the application will be clear ).”

Nanda answered, “There may be differences in concepts in the two cultures (us and west). In our language, there is no word for “Form.” There is Bentuk. The word “Wujud” is taken from the Arabic language. But we often assume that shape and Form are the same. It’s not a handicap. but we (and the rest of the world in general) do often fail to see the different understandings of concepts in different cultures… agree.”

After I discussed it with Jo, I contacted several of the presenter’s friends, and all of them were interested. Undi Gunawan for theory, Johannes Widodo for origins, Setiadi Sopandi for criticism, Ryadi Adityavarman for technique, Boonserm Premthada, especially for culture, Johannes Adiyanto for philosophy, and Revianto Budi Santosa for meaning. Boonserm Premthada and his work will be the centerline of the gate to see a work that has a deep-rooted context from a cultural point of view. After intensive preparation from the Omah Library team (Dimas, Hanifah, Satria), the material was ready. Hanifah’s questioned me, or what we often call Uffi, is, “What is the narration big brother ?”

This incident is quite funny and intriguing, and at least that’s how it looks, suddenly it can become an archetype, which unconsciously moves rationally, empirically, or intuitively, from which I hear a faint voice behind my ear, reminding me.

“Realrich, you keep asking, when you want to walk the talk ? Let’s go. the Kids need to walk.”

Architectural Discourse Class – FORM | FORMS]

The Form is the result of the production of architectural knowledge. To produce architectural knowledge, we require an understanding of why a Form is created and knowing the impact of that Form.

Omah library webinar entitled “Form | The secret behind a form” discusses Form from the point of view of architectural theory, origin, techniques for assembling forms, criticism of Form, design methods as well as natural and cultural contexts, philosophy, and meaning. These various points of view provide a map of how a person’s journey traces the journey of the creation of Form. Some of the speakers who will fill this event are Undi Gunawan, Johannes Widodo, Ryadi Adityavarman, Boonserm Premthada, Johannes Adiyanto, and Revianto Budi Santosa.

Architecture has the manifestation of tremendous power through Form. The question is how to be creative and critical so that there is a desire to be reflective and question the situation and be eager to always be progressive.

theory
Gunawan vote
July 28, 2021, at 19.00 WIB

Origin
Johannes Widodo
August 4, 2021, at 19.00 WIB

Technique
Ryadi Adityavarman
August 11, 2021, at 19.00 WIB

Critique
Setiadi Sopandi
August 18, 2021, at 19.00 WIB

Culture
Boonserm Premthada
August 25, 2021, at 19.00 WIB

Philosophy
Johannes Adiyanto
September 1, 2021, at 19.00 WIB

Meaning
Revianto B. Santosa
September 8, 2021, at 19.00 WIB

Please fill out the registration form and follow the confirmation instructions: bit.ly/OMAH_FF

Participants’ donation of IDR 10,000 per session is encouraged To participate in the Omah Library Webinar. The gift will be used to improve architectural literacy and appreciate the knowledge provided by the speakers. For those who wish to attend but cannot donate, please send us a letter because this webinar is a place to build togetherness.

Hopefully, this webinar can cure all of us longing to meet, greet, and learn in a limited situation during the pandemic.

We include donations to give appreciation to the material science provided by the presenters and discussants. This will hopefully give a healthy and mutually appreciative ecosystem cycle for producing knowledge. Please fill out the registration form and follow the confirmation instructions: bit.ly/OMAH_FF

Kategori
blog

Guha Piyandeling

“Pak Amud, tolong ini digali diameter 3 m, saya ingin coba lihat dasar tanah urugnya, sampai tanah keras, setahu saya dulu pak Eddy menggali sampai – 2 meter dan membangun turap penahan tanah hampir 2 m.”

Proyek Piyandeling ini memiliki kesulitan karena lokasinya di puncak bukit, sulit mencari tenaga kerja dan lokasinya jauh dari keramaian. Saya mencoba mereka – reka eksperimen dengan menggunakan tulangan bambu dan beton, sejauh mana, bentuk drum ini bisa tahan, dan ekspresif dengan bahasa sederhananya “sekali jalan”. Sekali jalan ini pada dasarnya seperti sekali menumpahkan beton, kita sudah mendapatkan kekuatan struktural, estetika, dan fungsi ruangan.

Proyek Piyandeling ini memiliki kesulitan karena lokasinya di puncak bukit, sulit mencari tenaga kerja dan lokasinya jauh dari keramaian. Saya mencoba mereka – reka eksperimen dengan menggunakan tulangan bambu dan beton, sejauh mana, bentuk drum ini bisa tahan, dan ekspresif dengan bahasa sederhananya “sekali jalan”. Sekali jalan ini pada dasarnya seperti sekali menumpahkan beton, kita sudah mendapatkan kekuatan struktural, estetika, dan fungsi ruangan.

Pada waktu konstruksi di dasar dinding beton ada batu kali yang memang sudah ada disitu. Piyandeling sendiri ada permainan bahasa primitif, bahasa bentuk platonis. Di balik kesederhanaan ada keindahan untuk bisa dimengerti orang yang berkunjung.

Pada waktu konstruksi di dasar dinding beton ada batu kali yang memang sudah ada disitu. Piyandeling sendiri ada permainan bahasa primitif, bahasa bentuk platonis. Di balik kesederhanaan ada keindahan untuk bisa dimengerti orang yang berkunjung.

Seperti Repertoar lagu Fragmen dan Tembang Alit Indonesia yang dimainkan dengan indah oleh Gillian Geraldine, lagu ciptaan Jaya Suprana. Repertoar di arsitektur pun terkait dengan eksperimen – eksperimen adaptasi baru (Ibaratnya di arsitektur dikenal dengan detail tektonika – tektonika), gerakan yang unik yang belum pernah terjadi sementara itu juga mengacu pada catatan tradisional yang membuat kolaborasi keduanya membentuk Fragmen. Arsitektur juga mengalir seperti sungai seperti Tembang Alit. Ibaratnya di arsitektur dikenal dengan metode yang mengalir tanpa batas, sebuah usaha mewujudkan adaptasi keseharian, Bricolage.

Ini adalah contoh Repertoar Indonesia yang dimainkan dengan indah oleh Gillian, lagu (Fragmen dan Tembang Alit) ciptaan Jaya Suprana. Ini menyerupai eksperimen baru. Ibaratnya di arsitektur dikenal dengan detail tektonika – tektonika, gerakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, sementara itu juga mengacu pada catatan tradisional yang membuat Fragmen. dan mengalir seperti sungai seperti Tembang Alit. Ibaratnya di arsitektur dikenal dengan metode yang mengalir tanpa batas, sebuah usaha mewujudkan adaptasi keseharian, Bricolage.

Pagi – pagi setelah saya berdoa dan bermeditasi, terkadang ada saja panggilan yang muncul. Dari mengingatkan untuk menjaga pola makan, mengingatkan untuk jangan lupa mengecek proyek ini itu, detail ini itu, dan jangan lupa ruangan untuk Laurensia, Miracle dan Heaven. Seperti halnya gua yang sedang dibangun di Piyandeling ini adalah sebuah usaha untuk menemukan kehangatan, termal, juga program, dan pengalaman, juga materialitas. Ruangan ini adalah ruangan doa yang paling hangat di Piyandeling dibangun dengan kehangatan pengrajin bambu.

Pagi – pagi setelah saya berdoa dan bermeditasi, terkadang ada saja panggilan yang muncul. Dari mengingatkan untuk menjaga pola makan, mengingatkan untuk jangan lupa mengecek proyek ini itu, detail ini itu, dan jangan lupa ruangan untuk Laurensia, Miracle dan Heaven.
Seperti halnya gua yang sedang dibangun di Piyandeling ini adalah sebuah usaha untuk menemukan kehangatan, termal, juga program, dan pengalaman, juga materialitas. Ruangan ini adalah ruangan doa yang paling hangat di Piyandeling dibangun dengan kehangatan pengrajin bambu.

Terkadang saya melihat ke atas langit di piyandeling, melihat balok – balok yang melengkung saling bersilangan membentuk archetype tersendiri. Di dalam sentuhan tangan, lengkungan – lengkungan ruas – ruas bambu menonjolkan archetype alam, dengan kekuatannya yang tumbuh perlahan – lahan. Seakan – akan alam mengetuk, “mau lambat salah, mau cepat salah, jadi kamu maunya apa ?” Alam kemudian bertanya – tanya apa lagi setelah ini. Di dalam alam kreatif dan kritis, perjalanan arsitektur itu dimulai dengan kadang batuk – batuk, merangkak, dan kemudian tersenyum dalam prosesnya.

Terkadang saya melihat ke atas langit di piyandeling, melihat balok – balok yang melengkung saling bersilangan membentuk archetype tersendiri. Di dalam sentuhan tangan, lengkungan – lengkungan ruas – ruas bambu menonjolkan archetype alam, dengan kekuatannya yang tumbuh perlahan – lahan. Seakan – akan alam mengetuk, “mau lambat salah, mau cepat salah, jadi kamu maunya apa ?” Alam kemudian bertanya – tanya apa lagi setelah ini. Di dalam alam kreatif dan kritis, perjalanan arsitektur itu dimulai dengan kadang batuk – batuk, merangkak, dan kemudian tersenyum dalam prosesnya.

“Bu berapa telur hari ini yang siap ?” Bu Lisa menjawab, “kita kemarin dapat 80 pak, hari ini 210.” sekitar beberapa bulan ini, kami cukup sering bertemu.

Telur ayam yang kami bicarakan berasal dari peternakan ayam yang ada di sekolah Alfa Omega. Sekitar setahun yang lalu, ketika pandemi tiba, Bu Lisa bercerita bagaimana ia mendapatkan inspirasi dari seseorang yang sudah berhasil mengembangkan peternakan untuk membantu panti asuhan miliknya, namanya pak Gaspar. Dari situlah Bu Lisa mengajak saya untuk berkunjung ke peternakan tersebut. “Bu Lisa, sudah banyak membantu saya pak, sekarang saya ingin membantu ibu.” Kalimat tersebut muncul ketika saya menanyakan mengenai bagaimana beliau terhubung dengan Bu Lisa.

Pertanyaan – pertanyaan tersebut penting untuk dilontarkan sebelum memulai proyek kandang ayam tersebut yang dimulai dengan mempertanyakan hal – hal yang relevan, tentang siapa yang memulai, bagaimana harus memulai, dan apa saja hal – hal yang mungkin menghambat. Informasi tersebutpenting untuk membangun konteks, bagaimana satu hal terbentuk dan bagaimana satu hal mempengaruhi yang lain. Dari hal tersebut saya bisa belajar, untuk menghargai proses untuk tumbuh membutuhkan akar yang kuat.

Ketika satu saat saya berdiskusi dengan Laurensia, mengenai bagaimana Bu Lisa berjuang untuk menjalankan peternakan ayam petelurnya di Alfa Omaga. Satu saat kemudian Laurensia mengkontak beberapa relatif, ibu kami untuk bisa membantu menjualkan telur dari alfa omega. Hal – hal kecil ini mulai dari simpati saya dan Laurensia ke Bu Lisa dan keluarganya dan melihat bagaimana ia berjuang untuk sekolah Alfa Omega. Kami membantu, tidak perlu dibayar, kadang kami melihat Bu Lisa juga sedemikian, membantu tanpa perlu bayaran. Sebuah prinsip filosofi Jawa, Rame ing gawe,sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono (giat bekerja,membantu dengan tanpa pamrih,memelihara alam semesta/ mengendalikan hawa nafsu).

Hari pertama, bisa terjual 80 telur, selanjutnya 150 telur, dan selanjutnya 200 telur. “Ada 4 ayam petelur yang mati pak” kata bu Lisa di satu pagi, telurnya terlalu besar jadi tidak bisa keluar. Hal – hal tersebut terjadi beruntun.

Nassim Nicholas Taleb di dalam buku Black Swan menulis mengenai hal – hal yang tidak terduga yang merubah proyeksi masa depan. Hal tersebut juga dibahas Malcolm Gladwell di dalam Tipping point dimana ada hal – hal kecil yang memicu lompatan kejadian – kejadian selanjutnya. dalam konteks proyek kandang ayam ini, prediksi dan antisipasi sangatlah penting di awal memulai berbisnis. Sesederhananya ada kejadian yang memang di luar kehendak, kuasa kita sebagai seseorang yang sedang berjalan di dalam karir, ekosistem bisnis, personal. Dan ada juga kejadian yang muncul karena persiapan yang matang, terprediksi dengan konsistensi. Kematangan tersebut muncul dari persiapan teknis yang baik, rapih, mudah dilaksanakan, efisien dan kritis. Hal – hal tersebut adalah permulaan proses kreatif. Saya mendiskusikan dengan Bu Lisa untuk pentingnya membersihkan kandang, memperhatikan ayam – ayam tersebut, dan mengganti 4 ayam yang mati.

Kehidupan di studio berjalan seperti biasa, saya sendiri sangat bahagia dengan kondisi kehidupan kami. Saya merasa perjalanan berarsitektur memiliki tahapan – tahapan. Dari jujur berproses saya pikir tim desain akan semakin solid, informasi akan merata dan detail tektonika pun akan semakin kaya. Di balik semua karya yang saya desain saya beranggapan bahwa arsitek dikenal dari karya – karyanya yang sebenarnya ada dalam hitungan jari, jadi membangun portfolio akan semakin penting. Itulah latar depan dari konstelasi kehidupan arsitek, yaitu karya atau proyek yang memiliki klien dan kehidupan di baliknya.


Kehidupan di studio berjalan seperti biasa, saya sendiri sangat bahagia dengan kondisi kehidupan kami. Saya merasa perjalanan berarsitektur memiliki tahapan – tahapan. Dari jujur berproses saya pikir tim desain akan semakin solid, informasi akan merata dan detail tektonika pun akan semakin kaya. Di balik semua karya yang saya desain saya beranggapan bahwa arsitek dikenal dari karya – karyanya yang sebenarnya ada dalam hitungan jari, jadi membangun portfolio akan semakin penting. Itulah latar depan dari konstelasi kehidupan arsitek, yaitu karya atau proyek yang memiliki klien dan kehidupan di baliknya.
Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang, kehidupan belakang panggung yang mendasari bagaimana saya menulis di blog ini sejak 2005. Saya percaya bahwa penting untuk para arsitek berbagi cerita mengenai orang ketiga, ekosistem di sekitar arsitek dan studio perancangannya. Kemarin kami mempublikasikan satu platform kami di IG(instagram) : GuhaTheGuild.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang, kehidupan belakang panggung yang mendasari bagaimana saya menulis di blog ini sejak 2005. Saya percaya bahwa penting untuk para arsitek berbagi cerita mengenai orang ketiga, ekosistem di sekitar arsitek dan studio perancangannya. Kemarin kami mempublikasikan satu platform kami di IG(instagram) : GuhaTheGuild.

Saya melihat bagaimana apabila informasi yang dasar tersebut dibagikan dengan gratis, bukankah itu akan membantu banyak orang yang sedang mencari jalannya masing – masing ?

Mungkin sesederhananya mengkomunikasikan kenapa arsitektur itu begitu dahsyat, dan berharga. Dan juga sesederhana berbagi bagaimana membangun ekosistem, mengapresiasi satu sama lain di dalam tim, sesama kolega. Dan sesederhanananya juga pentingnya merefleksikan diri, sadar bahwa setiap saat memulai kembali proyek, membangun tim, adalah saat meletakkan harga diri kita sebagai arsitek, dan turun untuk melayani dengan sepenuh hati.

Platform GuhaTheGuild : Setiap arsitek memiliki rahasia – rahasianya sendiri, dan begitupun ekosistem di sekitar arsitek dan studio perancangannya. Kemarin tim saya mempublikasikan satu platform kami di IG(instagram) : GuhaTheGuild. Saya melihat bagaimana apabila informasi yang dasar tersebut dibagikan dengan gratis, bukankah itu akan membantu banyak orang yang sedang mencari jalannya masing – masing. Mungkin sesederhananya mengkomunikasikan kenapa arsitektur itu begitu dahsyat, dan berharga. Dan juga sesederhana berbagi bagaimana membangun ekosistem, mengapresiasi satu sama lain di dalam tim, sesama kolega. Dan sesederhanananya juga pentingnya merefleksikan diri, sadar bahwa setiap saat memulai kembali proyek, membangun tim, adalah saat meletakkan harga diri kita sebagai arsitek, dan turun untuk melayani dengan sepenuh hati. Difollow ya yang tertarik. :)

Kira – kira dua minggu yang lalu tim Apple TV datang ke rumah, dan mereka mendokumentasikan bagaimana saya dan tim bekerja, termasuk menghabiskan waktu bersama Laurensia, Miracle dan Heaven. Di dalam proses pengambilan momen tersebut berlangsung selama hampir 2 minggu, setiap harinya saya perlu siap jam 6 pagi. Dari situ saya melihat proses sprint atau kerja tim kelas dunia (selayaknya atlit olimpiade) yang berjumlah hampir 20 -30 orang setiap harinya. Mereka bekerja sangat cepat, kompak, dan hal – hal tersebut dijalankan dengan effortless. Saya berdiskusi dengan sang sutradara dan produser yang berbagi cerita mereka yang akan kita bahas di lain waktu. Mereka ini adalah para nominator penghargaan sekelas academy award.

Di dalam salah satu diskusi dengan mereka, saya bercerita mengenai bagaimana pentingnya kandang ayam di Alfa Omega untuk pengembangan sekolah ke depannya, dan satu saat setelah break, satu orang berbisik di sebelah saya.

“Pak, biasanya kalau beternak ayam, akan habis semua, sampai akhirnya sukses.” ” Habis semua pak ?” jawab saya. “Iya, mati semua” jawab orang tersebut. Dari situ saya sadar bahwa saya perlu memberitahukan bu Lisa, perlu bersiap – siap. Satu hal yang negatif akan menjalar, mulai dari hal yang sederhana, bersiap – siap memperhatikan hal – hal yang detail.

“Gimana bu hasil peternakannya hari ini ?”

“Puji Tuhan pak 400 telur siap di tray hari ini”

“Laurensia pun siap dengan sapaan di pagi hari ini ke relasi kami untuk membantu Bu Lisa, telur sudah siap ada 400 telur hari ini.”

Dari cerita studio, dan cerita tentang bu Lisa, memberikan inspirasi kepada saya bahwa cerita Guha yang dimulai di Piyandeling, di The Guild, dan yang sebuah gua itu bisa jadi cerita untuk bu lisa yang sedang membangun Guhanya di Alfa Omega. Dari situ saya memikirkan apabila kita membangun arsip digital transformasi belakang pangung dari proses kreatif berkarya kami, mungkin hal ini bisa lebih bermanfaat untuk banyak orang.


Saya belajar bahwa selebih – lebihnya orang yang memberi, rejeki dari Nya tidak akan kurang sedikitpun. Jangan pernah berhenti memberi karena dibalik itu masa surga yang penuh dengan berkat.

Catatan Levi Gunardi : “Tidak ada yang lebih membahagiakan dari para petani ketika musim panen tiba.  Sesuatu yang ditunggu-tunggu dari awal, jerih payah yang telah mereka tuang sepenuhnya adalah untuk masa ini.”

Hari ini Laurensia berulang tahun, dan kami sudah mendapatkan berkat berlimpah dengan anak – anak yang memberikan kebahagiaan. Laurensia, Miracle dan Heaven muncul. Kami merayakan ulang tahun Laurensia dengan sederhana, ia sudah berumur 39 tahun di tanggal 22 Mei. Miracle menyapa menghampiri untuk memeluk,

ia berkata “Papa”

Celoteh seperti itu sudah cukup untuk membuat saya berhenti menulis. Pikiran saya menerawang kembali ke perjalanan kembali ke Piyandeling.

What is future ? sometimes it’s covered by uncertainty.
feeling architecture by touching it’s surface and beyond skin deep
by knowing fragility of architecture. It can evolve to unlimited Bricolages.

Translate to English

 “Pak Amud, please excavate this with a diameter of 3 m, I want to try to see the bottom of the fill soil, until the soil is hard, as far as I know, Pak Eddy dug up to 2 meters and built almost 2 m of retaining sheeting.”

The Piyandeling project has difficulties due to its location at the top of a hill, it is difficult to find labor and its location is far from the crowds. I tried them – experimental designs using bamboo and concrete reinforcement, to what extent, this drum shape can withstand, and is expressive in its simple “one way” language. This one go is basically like once pouring concrete, we have gained the structural strength, aesthetics, and function of the room.

At the time of construction at the base of the concrete wall there was a river stone which was already there. Piyandeling itself is a game of primitive language, the language of the platonic form. Behind the simplicity there is beauty to be understood by the people who visit.

Like the repertoire of songs Fragment and Tembang Alit Indonesia beautifully played by Gillian Geraldine, a song composed by Jaya Suprana. The repertoire in architecture is also related to experiments – experiments on new adaptations (For example, in architecture known as tectonic detail – tectonic), a unique movement that has never happened while also referring to traditional records that make the collaboration of the two to form Fragments. Architecture also flows like a river like Tembang Alit. It’s like in architecture known for the method that flows without limits, an effort to realize daily adaptation, Bricolage.

The morning after I prayed and meditated, sometimes a call came up. From reminding to maintain a diet, reminding not to forget to check this project, this detail, and don’t forget the room for Laurensia, Miracle and Heaven. Like the cave being built in Piyandeling this is an attempt to find warmth, thermals, as well as programs, and experiences, as well as materiality. This room is the warmest prayer room in Piyandeling built with the warmth of bamboo craftsmen.

“Mom, how many eggs are ready today?” Mrs. Lisa replied, “Yesterday we got 80 sir, today 210.” In the past few months, we have seen each other quite often.

The chicken eggs we’re talking about come from the chicken farm at the Alfa Omega school. About a year ago, when the pandemic arrived, Mrs. Lisa told how she got inspiration from someone who has succeeded in developing a farm to help her orphanage, named Pak Gaspar. From there, Mrs. Lisa invited me to visit the farm. “Miss Lisa, you have helped me a lot, sir, now I want to help mother.” This sentence came up when I asked him how he was related to Mrs. Lisa.

These questions are important to ask before starting the chicken coop project which begins by asking relevant questions, about who started, how to start, and what are the things that might hinder. Such information is important for establishing context, how one thing is formed and how one thing affects another. From that I can learn, to appreciate the process of growing requires strong roots.

One time I was discussing with Laurensia about how Mrs. Lisa was struggling to run her laying hens farm in Alfa Omaga. One moment later Laurensia contacted some of our relatives, our mother, to help sell eggs from alpha omega. These little things started from my and Laurensia’s sympathy to Mrs. Lisa and her family and seeing how she fought for the Alpha Omega school. We help, we don’t need to be paid, sometimes we see Mrs. Lisa as well, helping without paying anything. A principle of Javanese philosophy,, Rame ing gawe,sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono (working hard, helping selflessly, preserving the universe/controlling lust).

The first day, you can sell 80 eggs, then 150 eggs, and then 200 eggs. “There are 4 laying hens that died, sir,” said Mrs. Lisa one morning, the eggs were too big so they couldn’t come out. These things happened successively.

Nassim Nicholas Taleb in the book Black Swan writes about unexpected things that change future projections. This is also discussed by Malcolm Gladwell in Tipping point where there are small things that trigger a jump in the next events. In the context of this chicken coop project, prediction and anticipation are very important at the beginning of starting a business. Simply put, there are events that are beyond our will, our power as someone who is running in the career, business ecosystem, personal. And there are also events that arise because of careful preparation, predictable with consistency. This maturity arises from good technical preparation, neat, easy to implement, efficient and critical. These things are the beginning of the creative process. I discussed with Mrs. Lisa the importance of cleaning the coop, paying attention to the chickens, and replacing the 4 chickens that died.

 Life in the studio went on as usual, I myself was very happy with our living conditions. I feel that the architectural journey has stages. From the honest process, I think the design team will be more solid, the information will be evenly distributed and the tectonic details will be richer. Behind all the works that I design I think that architects are known from their works that are actually on the fingers, so building a portfolio will be even more important. That is the foreground of the constellation of the architect’s life, namely the work or project that has a client and a life behind it.

Besides that, what is no less important is the background, the backstage life that underlies how I write on this blog since 2005. I believe that it is important for architects to share stories about third people, the ecosystem around architects and their design studios. Yesterday we published one of our platforms on IG(instagram): GuhaTheGuild.

I see how if the basic information is shared for free, won’t it help many people who are looking for their own way?

It may be as simple as communicating why architecture is so powerful, and valuable. And also as simple as sharing how to build an ecosystem, appreciating each other in the team, fellow colleagues. And simply as important as self-reflection, knowing that every moment of restarting a project, building a team, is a time to put down our pride as architects, and come down to serve with all our heart.

About two weeks ago the Apple TV team came to the house, and they documented how the team and I worked, including spending time with Laurensia, Miracle and Heaven. In the process of capturing the moment it lasted for almost 2 weeks, every day I needed to be ready at 6 am. From there I saw the sprint process or world-class team work (like Olympic athletes) which amounted to almost 20 -30 people every day. They work very fast, are compact, and they are executed effortless. I discussed with the director and producer who shared their stories which we will discuss at a later time. These are the nominees for the academy award class.

 In one of the discussions with them, I talked about how important the chicken coop at Alfa Omega is for the future development of the school, and one moment after the break, one person whispered next to me.

“Sir, usually if you raise chickens, it will be all gone, until you finally succeed.” “Is it all over, sir?” answer me. “Yes, all dead” replied the man. From there I realized that I needed to tell Mrs. Lisa, I needed to get ready. One negative thing will spread, starting from simple things, get ready to pay attention to details.

“How’s the farm today, ma’am?”

“Praise God pack 400 eggs are ready in the tray today”

“Laurensia is ready to greet our relatives this morning to help Mrs. Lisa, 400 eggs are ready today.”

From the studio’s story, and the story about Mrs. Lisa, it inspired me that Guha’s story which started in Piyandeling, at The Guild, and that a cave could be a story for Mrs. Lisa who is building Guhanya at Alfa Omega. From there, I thought that if we build a digital archive of behind-the-scenes transformation of our creative process, maybe this can be more useful for many people.

I learned that the more people who give, the sustenance from Him will not be lacking in the slightest. Never stop giving because behind it is a heaven full of blessings.

Today is Laurensia’s birthday, and we have been blessed with many happy children. Laurensia, Miracle and Heaven appeared. We celebrated Laurensia’s birthday in a simple way, she turned 39 on May 22. Miracle greets coming over for a hug,

Such babbling was enough to make me stop writing. My mind wandered back to the trip back to Piyandeling.

Kategori
blog

Guha Memanggil

Semburat cahaya menyinari dak lantai bambu di Piyandeling. Bayangan batang – batang bambu terpapar di lantai membentuk pola – pola batang – batang bambu yang berjajar, seperti metafora hutan bambu. Di balik latar terlihat susunan ramp yang melingkar memeluk tiang yang sekaligus berfungsi sebagai pemisah hubungan ruang privat. Ruang tersebut ada di lantai dasar yang terhubung dengan kebun dan wadah yang terbuka. Begitu masuk dari pintu utama, kita bisa melihat ramp dan dak bambu sebagai komposisi bangunan yang melayang di atas tanah, sebuah komposisi adaptasi dari bangunan tradisional Sunda, Imah Julang Ngapak. Ramp digunakan untuk proses memasuki ruang, sebagai sebuah wadah transisi. Elemen ini menyatukan sisi vertikal dan horisontal di bagian Piyandeling yang disebut Kujang. Atapnya menari naik dan turun, membentuk metafora seperti namanya, bentuk ini berkembang dari sekolah Alfa Omega sehingga bertransformasi seutuhnya dengan materialitas bambu seutuhnya.

Begitu masuk dari pintu utama, kita bisa melihat ramp dan dak bambu sebagai komposisi bangunan yang melayang di atas tanah, sebuah komposisi adaptasi dari bangunan tradisional Sunda, Imah Julang Ngapak. Ramp digunakan untuk proses memasuki ruang, sebagai sebuah wadah transisi.
Ketukangan yang diolah disini adalah ketukangan tradisional Sunda yang dikembangkan oleh kawan – kawan tukang dari Sumedang. Ramp selebar 1 m ini pun juga demikian dengan bambu – bambu yang menjadi rangkanya yang juga berfungsi sebagai pegangan tangan dengan kesederhanaan konstruksi, bahasa pasak dan perekat.

Piyandeling dikerjakan oleh 4 orang pengrajin yang bekerja bereksperimen dengan ketukangan bambu, membuat elemen – elemen pintu – jendala putar, memanfaatkan bahan – bahan sampai tidak bersisa. Bentuk massanya sederhana, platonis dengan elemen yang terdiri dari bentuk – bentuk alam. Ketukangan yang diolah disini adalah ketukangan tradisional rumah Sunda yang dikembangkan oleh kawan – kawan tukang dari Sumedang. Ramp selebar 1 m ini pun juga demikian dengan bambu – bambu yang menjadi rangkanya yang juga berfungsi sebagai pegangan tangan dengan kesederhanaan konstruksi, bahasa pasak dan perekat.

Piyandeling dikerjakan oleh 4 orang pengrajin yang bekerja bereksperimen dengan ketukangan bambu, membuat elemen – elemen pintu – jendala putar, memanfaatkan bahan – bahan sampai tidak bersisa.

Satu kawan saya, Anas mengingatkan ketika kami berdiskusi soal pentingnya proses, ia berkata “Terkadang kita lupa untuk bersyukur dibalik seluruh proses yang ada, ia melanjutkan,

KAS ( Ki Ageng Suryomentaram) itu seperti Bima dlm cerita Dewa Ruci…Bima yg benar2 ada…Ya dia mencari kebenaran gk ke mana2. Ya dari dirinya sendiri. Betul. Kan ceritanya perjalanan jauh, tp itu hanya kiasan. Justru diri sendiri ini yg sebenarnya sangat jauh. Krn orang sering lupa, sibuk meniru orang lain. Jika kamu menghadap ke utara, apa yg paling jauh di utara sana ? Ya punggungmu, karena bumi ini bulat. Lawan terkuat sebetulnya ya diri sendiri. Kalo dari sloki (tahap kemabukkan) ya sloki ke 10: dasa buta (nama tingkatan kemabukkan terakhir) … mati. Balik nol lagi. Maka di Jawa yg utama adalah Slamet (selamat), bukan bener (benar).

Berbeda dengan Guha yang ada di Jakarta, Piyandeling menggunakan elemen tradisional dan mencoba mendekati desain dari sudut pandang ketukangan tradisional. Sedangkan Guha menggunakan adaptasi antar material industri dan fiber. Guha melambangkan kota dengan gemuruh kompleksitas rumah petak di dalamnya, kehidupan studio yang intensif, efisiensi, kecepatan, presisi, konsep-ide-gambar-membangun. Dan, Piyandeling melambangkan ketenangan desa dengan kedamaian yang sunyi.

Guha menggunakan adaptasi antar material industri dan fiber. Guha melambangkan kota dengan gemuruh kompleksitas rumah petak di dalamnya, kehidupan studio yang intensif, efisiensi, kecepatan, presisi, konsep-ide-gambar-membangun.
Berbeda dengan Guha yang ada di Jakarta, Piyandeling menggunakan elemen tradisional dan mencoba mendekati desain dari sudut pandang ketukangan tradisional. Piyandeling melambangkan ketenangan desa dengan kedamaian yang sunyi.

Laurensia mengingatkan setiap harinya untuk tidak lupa bersyukur, membicarakan setiap permasalahan di dalam saat – saat kami makan bersama. Di saat – saat itu saya bisa menghargai kualitas waktu yang sungguh menjadi sangat berharga sekarang ini.

Beberapa hari terakhir ini juga, saya berdiskusi cukup intensif dengan tim internal studio, beberapa desainer, craftsmen, dan para advisor. Keseluruh-lapisan yang ada memiliki curahan hati yang berbeda. Saya bangun pagi – pagi hanya untuk menyelesaikan sketsa – sketsa dan menyusun jadwal di hari itu, kemudian di jam 09.00 desainer, pustakawan, admin mulai datang saya sering menyapa mereka di pagi hari “gimana progressmu, apa semua pekerjaan lancar ?” Saya hanya ingin memastikan apa mereka mengalami kesulitan.

Sejauh ini perimeter kami masih aman, dan meskipun keluarga anak – anak studio kami juga ada yang terkena Covid, namun Puji Tuhan semua orang, kerabat masih sehat, dan berangsur – angsur kembali normal dengan penyesuaian, tanpa kurang suatu apapun. Sering kali saya lupa bahwa kehidupan manusia begitu rapuhnya yang terkadang mengagetkan kita dengan senda gurau dan tawa air mata. Foto oleh gabby (IG: veronica.capture)

Prinsip keselamatan ini, diwarnai dengan saat – saat kami saling mengapreasiasi satu sama lain, di dalam studio sekarang, kami mengadakan acara selamatan berupa hari apresiasi. Di satu hari itu kami memilih satu orang yang terbaik dari 3 divisi berbeda, desain, administrasi, dan perpustakaan. Di saat tersebut, orang – orang bergantian memberikan testimonial terhadap orang tersebut. Momentum tersebut seperti titik kompas, kembali ke titik awal, bagaimana sesederhananya bekerja adalah proses untuk belajar, mengapresiasi dan mengenali diri sendiri. Di dalam acara tersebut saya juga memberikan apresiasi bonus dan meminta Farhan untuk merekamnya untuk kebersamaan.

Kira – kira setahun yang lalu pandemi Covid ini mulai muncul di Indonesia. Saya pikir Covid ini setidaknya sedikit membawa refleksi di dalam tim studio kami. Setidaknya filosofi ini menjadi penting, untuk menyadari bahwa masih diberikan kesehatan, rejeki, dan waktu berkumpul keluarga atau teman terdekat. Munculnya kesadaran akan merasa lebih dari cukup sungguhlah proses yang berharga. Saya ingat waktu itu kira – kira sore hari, saya mengumpulkan anak – anak studio . Saya menanyakan apa ada kemungkinan anak – anak studio untuk pulang ke rumah masing – masing.

Baru satu hari sebelum pertemuan tersebut di satu tahun yang lalu, saya mengecek grafik kematian di Korea dan China yang signifikan, Singapore, dan beberapa negara lainnya. Presiden Joko Widodo pun mengumumkan 3 kasus pertama di Indonesia. Di saat itulah saya sadar, pandemi sudah di depan mata. Setelah itu 3 cluster pun terbentuk, seperti cluster pertama untuk yang tinggal di The Guild, cluster kedua untuk yang tinggal di luar The Guild, anak – anak bekerja dengan masker diperimeter The Guild. Cluster ketiga adalah anak – anak yang bekerja dari jarak jauh.

Tahap pertama saya perlu mengamankan arus kas yang ada di studio. Kami memecah waktu kerja menjadi setengah – setengah untuk satu minggu. Dan bergantian ada yang masuk penuh, karena perlu menjaga putaran keuangan untuk memberikan THR secara penuh dan menjaga arus kas untuk 6 bulan ke depan dengan minimnya proyek yang ada. Baru 5 bulan kemudian, situasi berangsur – angsur pulih.

Sejauh ini perimeter kami masih aman, dan meskipun keluarga anak – anak studio kami juga ada yang terkena Covid, namun Puji Tuhan semua orang, kerabat masih sehat, dan berangsur – angsur kembali normal dengan penyesuaian, tanpa kurang suatu apapun. Sering kali saya lupa bahwa kehidupan manusia begitu rapuhnya yang terkadang mengagetkan kita dengan senda gurau dan tawa air mata.

ke-Slamet-an penting sebagai basis landasan untuk maju ke tahapan selanjutnya. Hal ini terlihat di dalam proses Tumpeng, atau manifest Tumpang Sari yang bertahap – tahap melangkah untuk hal yang lebih baik. Sejak Pandemi datang, akar semakin kuat, relasi semakin nyata, jembatan saling menyambung, dan saya bisa ucapkan Terima Kasih Tuhan.

Tumpang Sari di Guha The Guild : ke-Slamet-an penting sebagai basis landasan untuk maju ke tahapan selanjutnya. Hal ini terlihat di dalam proses Tumpeng, atau manifest Tumpang Sari yang bertahap – tahap melangkah untuk hal yang lebih baik. Sejak Pandemi datang, akar semakin kuat, relasi semakin nyata, jembatan saling menyambung, dan saya bisa ucapkan Terima Kasih Tuhan.

Lisa Sanusi bercerita mengenai tumpang menumpang di dalam ceritanya soal Nasi Tumpeng yang pada hakikatnya menumpang satu sama lain menjadi jembatan yang teranyam kuat.

Ia menulis “Tumpeng menceritakan … susunan anak tangga demi anak tangga kehidupan yang akan kita naiki … betapa tingginya dan dalamnya sebuah perjalanan … tumpeng harus punya dasar yang kokoh dan kuat untuk menopang sampai kepuncak panggilan, dihiasi dengan banyak hal kehidupan yang kita bisa nikmati …

ada banyak rasa dan warna berjuta rasa dan asa … dalam kehidupan … bulat bentuknya menandakan kebulatan hati dan tekad ….

sahabat yang jarak tempuh jauh seperti jembatan teranyam kuat satu… hati kami berpaut…”

Satu saat ketika saya kembali ke Piyandeling dan menatap langit – langit, memahami lompatan selanjutnya, Laurensia memanggil “Yang yuk makan, sebentar lagi kita kembali lagi ke Jakarta.” Guha sudah memanggil dari kejauhan dengan gaung dan gemanya.

.
Terima kasih Guha dan Piyandeling, pengrajin dan keseluruhan tim sudah membantu membangunnya. Satu saat ketika saya kembali ke Piyandeling dan menatap langit – langit, memahami lompatan selanjutnya, Laurensia memanggil “Yang yuk makan, sebentar lagi kita kembali lagi ke Jakarta.” Guha sudah memanggil dari kejauhan dengan gaung dan gemanya. Di antara dua kutub Guha dan Piyandeling, pelajaran dimulai kembali. Foto terakhir adalah foto spesial karena ada Mang Uyu (ditengah) ibaratnya beliau adalah kapten bambu dari Sumedang dengan ketukangannya. Mang Saniin di bawah, Mang Rojak di kanan, Mang Dede di belakang.
.

Foto terakhir adalah foto spesial karena ada Mang Uyu (ditengah) ibaratnya beliau adalah kapten bambu dari Sumedang dengan ketukangannya. Mang Saniin di bawah, Mang Rojak di kanan, Mang Dede di belakang.
Lisa Sanusi bercerita mengenai tumpang menumpang di dalam ceritanya soal Nasi Tumpeng yang pada hakikatnya menumpang satu sama lain menjadi jembatan yang teranyam kuat. Ia menulis “Tumpeng menceritakan … susunan anak tangga demi anak tangga kehidupan yang akan kita naiki … betapa tingginya dan dalamnya sebuah perjalanan … tumpeng harus punya dasar yang kokoh dan kuat untuk menopang sampai kepuncak panggilan, dihiasi dengan banyak hal kehidupan yang kita bisa nikmati … ada banyak rasa dan warna berjuta rasa dan asa … dalam kehidupan … bulat bentuknya menandakan kebulatan hati dan tekad …. sahabat yang jarak tempuh jauh seperti jembatan teranyam kuat satu… hati kami berpaut…” Sejak Pandemi datang, akar semakin kuat, relasi semakin nyata, jembatan saling menyambung, dan saya bisa ucapkan Terima Kasih Tuhan.


Kategori
blog

realrich sjarief of raw architecture speaks the power of architectural literacy

people by shafa diandra

when we hear the word “designing”, many of us are often fixated on a portrait of a particular object, structure, or craft worth remembering functionally and aesthetically. however, perhaps also many of us underestimate the power of literacy that brings these very objects to life.


this is where realrich sjarief, a former architect at foster & partners, a poetic believer and founder of jakarta-based raw architecture, and principal architect of the famous alpha omega school and the notable omah library – sees how architectural literacy shapes one’s success story. it is a tool that creates a safe haven for one personal’s space – not only to fantasize and imagine what is yet to come, but also to broaden our horizons.

sjarief spent most of his life reading and writing architectural literature, emphasizing literacy through craftsmanship, people, and material, which led him to such methodology and philosophy.

the story began with his fond childhood memory of accompanying his father to construction sites and with his love for books that gradually turned into a passion for writing and delivering stories through design.

understanding literacy

when i was working in borneo during the great recession, i read many books and found them to give me all kinds of imaginations and the ability to understand people and settings. so reading became my escape from work and my safe haven.

then when i got accepted to bandung’s institute of technology, i came across a book by norman foster that speaks about curiosity and technology. i was lucky that i got an opportunity to work at fosters and partners and to have many amazing mentors at the start of my career. and it was the tall and narrow library at foster and partners that gave me my passion in architectural literacy, as i saw it becoming a ground for discussions to happen around a great mix of people, works, and beliefs.

it is all about a network of people

for me, architecture literacy is the essence of critical and creative thinking in architecture. it is about creating a network of people to share thoughts and discuss matters.

when we talk about literacy, it isn’t all about written stories, but it needs to be spoken as well. to be literate is not to be cynical. literacy simply means a space, whether a physical space or an imagining community, to understand that the world of knowledge has multiple perspectives – it is very broad. you have to acknowledge that you are part of something greater than you, so it is about the maturity of knowing information and digesting knowledge. 

creating the “ecosystem” in the constantly-changing era 

architectural literacy really helps me out whenever i am stuck in a certain project. reading case studies, theories, history, even rereading my own manuscripts will make us see different methods that remind us to not look into our problem from a single point of view only. reflect – review your work – act differently – and find new things. it truly is a method that broadens one’s horizon, because it is only by experiencing the real and the fantasy world that we can create an extraordinary solution.  

more in the website of Design Story here : https://www.thedesignstory.com/blog/people/realrich-sjarief-of-raw-architecture-speaks-the-power-of-architectural-literacy

and here the recording of the session :

Realrich Sjarief shares about sharpening both creative and critical minds when it comes to practicing, appreciating, and understanding a work of architecture and also about the importance of nurturing micro-communities to encourage learning together.

SHOW LESS

read the full article on the design story:
https://www.thedesignstory.com/blog/p…
———————————————–
the design story is a weblog for cutting-edge news and development in architecture and design, and a curated shop of design products. our mission is to bring you a carefully edited selection of the best, sustainable, and innovative architecture design and interior projects and news from around the world. follow and subscribe to our page:
website: https://www.thedesignstory.com/​ blogs: https://www.thedesignstory.com/blog​ instagram: https://instagram.com/thedesignstoryy​ podcast: https://open.spotify.com/show/6NhB2Fz​… twitter: https://twitter.com/thedesignstoryy​ Pinterest: https://pinterest.com/thedesignstoryy/

Kategori
blog

Other Ways of Doing Architecture, Lecture at PAM Malaysia (Pertubuhan Akitek Malaysia) Malaysian Institute of Architects

I will be presenting the lecture in title of Other Ways of Doing Architecture. Gary Yeow contacted me. As part of the co-organised sharing session with Malaysia Institute of Architects, this forum will be speculating on “Other Ways of Doing Architecture” – inspired by Spatial Agency’s publication. The first session here, conducted in December 2020. As Gary was browsing through my portfolio work, he noticed a great amount of details and experiments in my projects, especially Alfa Omega and Guha (with Omah Library & your studio), while other projects showcased great understanding of materiality as well.


The other architects are invited to the discussion such as Jan Glasmeier, from SimpleArchitecture (I know him from Design United India) and One Bite Studio from Hongkong – both are more on curations and workshops – Gary thought on looking at local materials and cultural craftsmanship ( sharing the behind-the-scenes of these successful projects?) – how these connect to genius loci and essence of Indonesia – are the core values they are very excited for.

It’s event supported by Taylor Insitute and Pertubuhan Akitek Malaysia (PAM) – Malaysian Institute of Architects – is the national professional institute representing architects in Malaysia.

https://www.facebook.com/PertubuhanAkitekMalaysia/videos/789442701951064/

Here is the link shared by Gary Yeow in his email. I found out that the discussion led by three moderators, Gary, Hazeek, and Joyee are profound, I learnt architecture as social agency from Jan and how social platform can breach towards new understanding in Sarah’s presentation. Please have a look if you are interested in link above, I do learn from them.

Here is some points that I would like to share from Laurensia’s in our journey to find happiness, in my case being a father, architect, and together with her, the dentist who supports our life as family and the lease is Miracle and Heaven ! our lovely angelic son.

Kategori
blog

Interview with Realrich Sjarief, Founder of Realrich Architecture Workshop

From his firm located on the outskirts of Jakarta, Realrich wants to design buildings that are timeless and break out of the mould.

I’ve done interview with Vaibhav Srivastava Editor-in-Chief of Design City Lab. It’s on today, please visit

https://designcitylab.com/post/people/interview-with-realrich-sjarief-founder-of-realrich-architecture-workshop

Here is some discussion in interview summed by Vaibhav,

From his firm located on the outskirts of Jakarta, Realrich wants to design buildings that are timeless and break out of the mould. His architecture comes across as honest, simple and grounded in locality which he says is achieved by working closely with regional craftsmen and adopting a minimal local material palette. He belongs to the new breed of architects that is redefining design innovation in building industry and creating a new design language for a new Indonesia.

I have inspired by may people including Y.B. Mangunwijaya, learning the core of explorations and attitude of practice.

” Vaibhav : Which architects inform and inspire your work?

I took three trips which I refer to as pilgrimages. The first one was to see the work of Alvar Aalto. I find his work amazing because of its simplicity. I really respect him as an architect because he created functional designs with ordinary and low cost materials. Second visit was to see Le Corbusier’s work. He had the ability to make fairly simple architecture, which is at the same time very thought-provoking. Third architect that really inspire me is Carlos Scarpa. Scarpa’s attention to detail is almost unmatched and his attention to the smallest details brings his work to a point of simplicity, where even waste becomes the grammar of the design. The Indonesian figure that inspires me the most is Father Y.B. Mangunwijaya, who is an architect, writer, and philosopher. He taught me how to use local material and encouraged me to keep an attitude of having discussions with craftsmen and produce intellectual process on making.

Here are questions elaborated by him.

  1. Could you give us a brief introduction about yourself and your firm?
  2. How do you reflect on the journey of your firm in last 10 years?
  3. What is the role of form-making in your projects?
  4. What is the role of form-making in your projects?
  5. How do you measure success in your projects?
  6. What are the biggest challenges that you face?
  7. How do you support craftsmen through your work?
  8. Can you see timber and bamboo being widely used in a mega city like Jakarta for construction?
  9. The Alpha Omega project was finished on site in six months. How did you achieve such efficiency on site?
  10. How do you approach sustainability in your work?
  11. Which architects inform and inspire your work?
  12. How does your work in university inform your work as an architect?

These questions are amazing, thought very carefully to bridge a learning, practice, teaching experience. Looking at this experience being interviewed with him, I feel that I need to gather my methodology again, this time more integrated, evaluated. It’s looping process.

“To become an architect, we need to learn how to think, draw and critically evaluate ourselves. In academics there is peer pressure to always keep evolving your design and keep improving. We are always evaluating our work and making sure we are contributing to the discourse around architecture. Teaching helps to keep my practice working, as in a small campus where we all are learning from each other, developing feedback loops.”,

please look at the link above. Thank you Vaibhav for the session of support and I also learn by connecting the discourse that you have. I love to read some of your interview with other people and your article about 2021 pritzker prize, you try to have a thought about what’s beyond form investigating the context of the practice, people, and impact of the project to people’s life.

“To become an architect, we need to learn how to think, draw and critically evaluate ourselves. In academics there is peer pressure to always keep evolving your design and keep improving. We are always evaluating our work and making sure we are contributing to the discourse around architecture. Teaching helps to keep my practice working, as in a small campus where we all are learning from each other, developing feedback loops.”,
Kategori
blog tulisan-wacana

Cangkirku, Kehidupan yang Kedua

Bangunan dengan atap meliuk – liuk ini adalah bangunan dengan struktur panggung yang terbuat dari konstruksi bambu, dengan grid 5.0 m dan 4.0 m untuk mengakomodasi fungsi ruang perpustakaan, kamar tidur, dan ruang pertemuan. Strukturnya seperti bentuk kupu – kupu atau kepakan sayap burung yang dielaborasi dari proyek Alfa Omega. Balok bambu dikakukan dengan dagu – dagu (pengkaku), sementara kolom duduk di atas umpak batu kali yang dihubungkan dengan konstruksi bambu sebagai pelataran di lantai dasar.

Bangunan dengan atap meliuk – liuk ini adalah bangunan dengan struktur panggung yang terbuat dari konstruksi bambu, dengan grid 5.0 m dan 4.0 m untuk mengakomodasi fungsi ruang perpustakaan, kamar tidur, dan ruang pertemuan. Strukturnya seperti bentuk kupu – kupu atau kepakan sayap burung yang dielaborasi dari proyek Alfa Omega.
Balok bambu dikakukan dengan dagu – dagu (pengkaku), sementara kolom duduk di atas umpak batu kali yang dihubungkan dengan konstruksi bambu sebagai pelataran di lantai dasar.

Bentuk – bentuk melengkung ini sebenarnya pernah saya elaborasi di dalam Kampono (Dancer) House sebelumnya di dalam konstruksi beton dengan perhitungan terhadap sisi panas, angin yang mengalir di dalam desain massa – kulit bangunan sampai detail – detail yang lain. Dan, di balik permainan bentuk – bentuk melengkung yang muncul, ada logika kekuatan dan estetika yang terinspirasi dari bahasa alam.

Bentuk – bentuk melengkung ini sebenarnya pernah saya elaborasi di dalam Kampono (Dancer) House sebelumnya di dalam konstruksi beton dengan perhitungan terhadap sisi panas, angin yang mengalir di dalam desain massa – kulit bangunan sampai detail – detail yang lain. Dan, di balik permainan bentuk – bentuk melengkung yang muncul, ada logika kekuatan dan estetika yang terinspirasi dari bahasa alam.

Selain sisi tradisional yang ditonjolkan, sisi industri juga muncul dengan komposisi bentuk atap yang melengkung ditutupi dengan daun Nipah yang dikombinasikan dengan membran tahan air untuk atap.Membentuk Julang Ngapak sebagai bangunan vernakuler tradisional Jawa Barat. Balustrade bambu yang dilengkungkan dimainkan sebagai bentuk hiperboloid yang lebih kompleks, lebih kuat, dan lebih fleksibel serta menciptakan siluet gerakan alami burung atau pergerakan Kujang yang merupakan senjata tradisional dalam Tradisi Sunda.

Selain sisi tradisional yang ditonjolkan, sisi industri juga muncul dengan komposisi bentuk atap yang melengkung ditutupi dengan daun Nipah yang dikombinasikan dengan membran tahan air untuk atap.Membentuk Julang Ngapak sebagai bangunan vernakuler tradisional Jawa Barat.
Balustrade bambu yang dilengkungkan dimainkan sebagai bentuk hiperboloid yang lebih kompleks, lebih kuat, dan lebih fleksibel serta menciptakan siluet gerakan alami burung atau pergerakan Kujang yang merupakan senjata tradisional dalam Tradisi Sunda.

Pak Jatmiko adalah orang yang membantu saya melakukan supervisi ke bangunan inti di Piyandeling, dimana ia memberikan batas seberapa tinggi bangunan dengan konstruksi bambu ini bisa dibangun dengan aman. Pak Jatmiko dulu menemani kakek saya, dan ayah saya ke proyek. Ia juga adalah pengawas bangunan dari almarhum Han Awal, dan Teddy Boen (ahli gempa Indonesia). Dari Pak Jatmiko saya belajar bahwa setiap murid membutuhkan guru dan pelatih, seorang pelatih akan bisa melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Sebegitunya kita membutuhkan waktu untuk berlatih setiap harinya. Di kasus saya berlatih ini erat kaitannya dengan berapa banyak masalah desain yang bisa kita pelajari dan pecahkan setiap harinya dan relasi dengan beliau dimana beliau bisa menjawab dengan kata “tidak” lalu saya mulai belajar menilai keadaan dengan diskusi lebih lanjut.

Pak Jatmiko adalah orang yang membantu saya melakukan supervisi ke bangunan inti di Piyandeling, dimana ia memberikan batas seberapa tinggi bangunan dengan konstruksi bambu ini bisa dibangun dengan aman. Pak Jatmiko dulu menemani kakek saya, dan ayah saya ke proyek. Ia juga adalah pengawas bangunan dari almarhum Han Awal, dan Teddy Boen (ahli gempa Indonesia). Dari Pak Jatmiko saya belajar bahwa setiap murid membutuhkan guru dan pelatih, seorang pelatih akan bisa melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Sebegitunya kita membutuhkan waktu untuk berlatih setiap harinya. Di kasus saya berlatih ini erat kaitannya dengan berapa banyak masalah desain yang bisa kita pelajari dan pecahkan setiap harinya dan relasi dengan beliau dimana beliau bisa menjawab dengan kata “tidak” lalu saya mulai belajar menilai keadaan dengan diskusi lebih lanjut.

Saya kenal 2 orang pengrajin, pengrajin pertama pintar berbicara, mulutnya manis-kerjanya hanya di permukaan, terlihat manis – hanya estetika tempelan, apabila diminta memasang bata ia akan memasang bata dengan apik, namun terkadang lupa bahwa di balik bata tersebut ada pipa, perhitungannya hanya sebatas manis dilihat. Sedangkan pengrajin kedua tidak pandai berbicara namun pekerjaannya halus dan langkah – langkahnya bisa membuat proyek aman karena perhitungan yang mendalam tentang prosedur kerja dan detail tahapan kerja, kekuatan, tahan terhadap air, cuaca. Seiring dengan perjalanan saya berkembang di dalam praktik, detail – detail yang saya pikirkan bertransformasi di dalam pertemuan dengan banyak pengrajin. Termasuk pertemuan dengan pengrajin pertama, saya belajar untuk susunan yang terlihat manis, sebuah kualitas yang literal. Dan, dengan pengrajin kedua saya belajar untuk masuk ke kualitas yang esensial. Kedua pola pikir diperlukan untuk bisa bermain di integrasi disiplin (MEP, Struktur, Arsitektural). Saya menyebut detail transformatif ini ke dalam detail yang berkelanjutan.

… pertemuan dengan pengrajin pertama, saya belajar untuk susunan yang terlihat manis, sebuah kualitas yang literal. Dan, dengan pengrajin kedua saya belajar untuk masuk ke kualitas yang esensial. Kedua pola pikir diperlukan untuk bisa bermain di integrasi disiplin (MEP, Struktur, Arsitektural). Saya menyebut detail transformatif ini ke dalam detail yang berkelanjutan.

Terkadang setiap 2 minggu saya berulang kali ke Piyandeling untuk memikirkan ulang detail – detail selanjutnya termasuk penggabungan detail tradisional dan industrial. Di tempat ini saya melepaskan diri sejenak dari rutinitas dan masuk di dalam dunia fantasi Piyandeling. Arsitektur memiliki kekuatan maha dahsyat untuk membuat orang mengingat pengalaman ruang yang menjadi kenangan membekas.

Terkadang setiap 2 minggu saya berulang kali ke Piyandeling untuk memikirkan ulang detail – detail selanjutnya termasuk penggabungan detail tradisional dan industrial. Di tempat ini saya melepaskan diri sejenak dari rutinitas dan masuk di dalam dunia fantasi Piyandeling. Arsitektur memiliki kekuatan maha dahsyat untuk membuat orang mengingat pengalaman ruang yang menjadi kenangan membekas.

Pada akhirnya saya sadar, seperti halnya seorang manusia yang seakan-akan memiliki dua kehidupan. Kehidupan pertama dimulai ketiga manusia tersebut berusaha menggapai banyak hal, berjuang di tengah – tengah keterbatasan sampai dirinya merasa cukup. Saya merasa perjalanan suka – duka berpraktik lekat dengan perjuangan di tahap ini.

Dan sebenarnya, kehidupan kedua dimulai ketika, dirinya sadar bahwa ia hanya punya satu kehidupan. Dari situlah saya belajar mengenai fokus dan kebahagiaan sebenarnya sehingga saya tidak merasakan apapun lagi.

Tiba – tiba ada sapaan yang hangat dari belakang.

“Mau minum pak ? satu pengrajin menawarkan kopi dengan cangkir terbuat dari bambu.”

“Terima kasih pak untuk cangkir, kopi, dan perjalanannya bersama – sama.” ini Cangkir kedua saya, puji Tuhan.

Pada akhirnya saya sadar, seperti halnya seorang manusia yang seakan-akan memiliki dua kehidupan. Kehidupan pertama dimulai ketiga manusia tersebut berusaha menggapai banyak hal, berjuang di tengah – tengah keterbatasan sampai dirinya merasa cukup. Saya merasa perjalanan suka – duka berpraktik lekat dengan perjuangan di tahap ini.

Dan sebenarnya, kehidupan kedua dimulai ketika, dirinya sadar bahwa ia hanya punya satu kehidupan. Dari situlah saya belajar mengenai fokus dan kebahagiaan sebenarnya sehingga saya tidak merasakan apapun lagi.
Tiba – tiba ada sapaan yang hangat dari belakang.
“Mau minum pak ? satu pengrajin menawarkan kopi dengan cangkir terbuat dari bambu.”

Translation :

Title : Second Cup of My Life

The building with a twisting roof is a building with a stilt structure made of bamboo construction, with a grid of 5.0 m and 4.0 m to accommodate the functions of the library room, bedroom and meeting room. The structure is like the shape of a butterfly or the flapping of a bird’s wing which is elaborated from the Alfa Omega project. Bamboo blocks are stiffened with chin – chin (stiffeners), while the column sits on a river stone pedestal connected by a bamboo construction as a platform on the ground floor. I actually elaborated these curved shapes in the previous Kampono (Dancer) House in concrete construction by calculating the hot side, the wind that flows in the mass design – the skin of the building to other details. And, behind the game of curvy shapes that appear, there is a logic of strength and aesthetics inspired by the language of nature. Apart from the traditional side that is highlighted, the industrial side also appears with the composition of the curved roof shape covered with Nipah leaves combined with a waterproof membrane for the roof. Forming the Julang Ngapak as a traditional West Javanese vernacular building. The curved bamboo balustrade is played as a hyperboloid form that is more complex, stronger and more flexible and creates silhouettes of natural bird movements or kujang movements which are traditional weapons in Sundanese Tradition.

Pak Jatmiko is the person who helps me supervise the main building in Piyandeling, where he provides a limit on how high a building with bamboo construction can be built safely. Pak Jatmiko used to accompany my grandfather, and my father to projects. He was also the building supervisor of the late Han Awal, and Teddy Boen (Indonesian seismologist). From Pak Jatmiko I learned that every student needs a teacher and a trainer, a trainer will be able to see it from a different point of view. In fact, we need time to practice every day. In my case this practice is closely related to how many design problems we can learn and solve every day and the relationship with him where he can answer with the word “no” then I start to learn to assess the situation with further discussion.

I know 2 craftsmen, the first craftsman is good at talking, his mouth is sweet – he works only on the surface, looks cute – just a sticky aesthetic, when asked to install a brick he will put the brick neatly, but sometimes forgets that there is a pipe behind the brick, the calculation is as sweet as seen. Meanwhile, the second craftsman is not very good at talking, but the work is smooth and the steps can make the project safe because of in-depth calculations of work procedures and details of work stages, strength, resistance to water, weather. As I progressed in practice, the details I had in mind were transformed in the meetings with many craftsmen. Including meeting the first craftsman, I studied for a cute looking array, a literal quality. And, with the second craftsman I learned to get into the essential qualities. Both mindsets are needed to be able to play in the integration of disciplines (MEP, Structure, Architecture). I call this transformative detail into continuous detail

Sometimes every 2 weeks I repeatedly go to Piyandeling to rethink the next details including a mix of traditional and industrial details. In this place, I took a break from my routine and entered the fantasy world of Piyandeling. Architecture has the immense power to make people remember the experience of space that has become a lasting memory. In the end I realized, like a human who seems to have two lives. The first life started by the three humans trying to achieve many things, struggling in the midst of limitations until they feel enough. I feel that the journey of joy and sorrow is closely related to the struggle at this stage. And in fact, the second life begins when, he realizes that he only has one life. From there I learned about true focus and happiness so that I didn’t feel anything anymore.

Suddenly there was a warm greeting from behind. “Want to drink, sir? One craftsman offers coffee with a cup made of bamboo.”

“Thank you sir for the cup, coffee and the trip together.” this is my second cup, thank God.

Kategori
blog

Sumarah itu Mengalir Seperti Air

Piyandeling terletak di desa Mekarwangi di Perbukitan di Dago Utara. Daerah ini memiliki suhu yang rendah, kecepatan angin yang tinggi, dan pepohonan eksisting yang rimbun yang membantu untuk mencegah longsor. Sebenarnya membangun di lahan ini sangat sulit di awal konstruksi, karena sulitnya akses transportasi, air, dan akses tenaga kerja sekaligus udara yang dingin. Dengan menggunakan bambu, permasalahan ini teratasi karena ketersediaan material bambu sebagai material lokal, dan karena beratnya yang ringan sehingga mudah dimobilisasi, dan cepat dikonstruksi dengan detail yang adaptif di dalam keterbatasan sumber daya.

Tampak depan didesain dengan pertimbangan untuk melindungi konstruksi bambu supaya awet dan tahan lama. Dari sisi luar, kulit bangunan terbuat dari bambu, plastik daur ulang dan atap nipah. Kulit bangunan ini berfungsi sebagai pelindung dari matahari dan curah hujan sekaligus memberikan ruang antara ruang inti bangunan (core) dan kulit bangunan dengan lorong antara.

Tampak depan didesain dengan pertimbangan untuk melindungi konstruksi bambu supaya awet dan tahan lama. Dari sisi luar, kulit bangunan terbuat dari bambu dan plastik daur ulang, dengan atap nipah. Kulit bangunan ini berfungsi sebagai pelindung dari matahari dan curah hujan sekaligus memberikan ruang antara ruang inti bangunan (core) dan kulit bangunan dengan lorong antara.
Kulit bangunan ini memiliki beberapa komponen, pertama Jendela memiliki lebar 500 – 600 mm, kedua lorong antara dimana terletak tangga dan ruang jemur sekaligus berfungsi sebagai proteksi struktur utama bangunan. Piyandeling didesain berbentuk silider untuk mengurangi beban angin dan melindungi ruang keluarga, ruang tidur, ruang kerja yang terletak di sisi terdalam dari bangunan inti.

Kulit bangunan ini memiliki beberapa komponen, pertama Jendela memiliki lebar 500 – 600 mm, kedua lorong antara dimana terletak tangga dan ruang jemur sekaligus berfungsi sebagai proteksi struktur utama bangunan. Piyandeling didesain berbentuk silider untuk mengurangi beban angin dan melindungi ruang keluarga, ruang tidur, ruang kerja yang terletak di sisi terdalam dari bangunan inti.

Detail – detail didesain untuk mempertimbangkan aspek fungsional untuk saling memperkuat elemen arsitektural dari struktur, lorong antara, dan kulit bangunan.

Sederhananya bangunan ini dinamakan Sumarah, karena menggunakan bahan – bahan daur ulang dari Paviliun Sumarah. Sumarah berarti kepasrahan, sebuah sikap untuk mengalir di dalam kehidupan. Dari Piyandeling kita belajar untuk lentur sekaligus kokoh, dan ia mengajarkan material lain yang kokoh untuk lentur. Sebuah fleksibilitas yang mengalir.

Ada satu kejadian di waktu kami melakukan inspeksi lapangan di proyek lain, taruhlah namanya proyek Srabi. Inspeksi lapangan ini identiknya seperti memberikan ruang antara, jembatan antara klien, kontraktor, dan disiplin – disiplin lain supaya berjalan harmoni.

Baru kemarin saya rapat dengan satu klien dan kontraktornya, saya melihat di lokasi, kenapa pekerjaan lift yang ada di tengah rumah tidak dikerjakan dan seakan – akan tertinggal. Kami meluangkan waktu untuk melihat data – data yang ada, ternyata gambarnya tidak lengkap dan ada banyak ketidak-konsistenan, sehingga orang lapangan kebingungan.

Saya membuka diskusi dengan bertanya ke vendor lift di depan saya :

“Pak, ini gambarnya tidak lengkap ya ?”

Saya memberikan referensi kenapa gambarnya tidak lengkap, dengan memberikan contoh bahwa lubang lift perlu “digambar” untuk memperlihatkan besaran bracket struktural yang tersedia, dan perlu hati – hati dengan ketinggian lokasi. Hal ini wajar terjadi karena terkadang, beberapa vendor tidak memiliki orang teknikal. Gambar menjadi penting sebagai sarana komunikasi dan tanggung jawab sekaligus kontrol untuk menghindari adanya kesalahan.

Pertanyaan kemudian muncul, bracket struktural itu perlu disupply oleh siapa ?

Kemudian nada orang di hadapan saya ini meninggi,

“katanya bapak sudah pernah bekerja sama orang lift lain ?? Kok begini saja tidak tahu ??”

Saya menatap satu orang dari vendor ini, dan sedih sebenarnya karena saya berusaha menjembatani data yang kurang di lapangan. Untungnya ada temannya yang memberikan informasi bahwa ketinggian kaca yang akan datang untuk lift tersebut adalah 3.0 m dan diperlukan ketinggian balok 2.1 m untuk pintu masuk. Setelah saya mendapatkan data tersebut dan mendapatkan kepastian bahwa bracket struktural itu akan disediakan oleh vendor tersebut, saya bilang ke klien saya,

“Pak sudah cukup kita sudah dapat apa yang perlu dilakukan.”

Saya pikir di dalam project, penting untuk bisa melihat substansi yang ada yaitu gambar, dan memang di dalam gambar diperlukan beberapa penyesuaian di luar verbal. Di dalam gambar, ada dua tingkatan, tingkatan pertama gambar itu bicara sendirian, tingkatan kedua gambar tersebut menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya, semudah menyesuaikan dengan ketinggian di potongan dan detail potongan, tata letak kondisi eksisting yang ada dengan denah dan penjelasan berapa dimensi yang dibutuhkan untuk menjadi “jembatan” antar disiplin.

“Pak Real saya minta maaf ya karena memang dia orangnya keras, dia cuma sales Pak” klien saya menyapa di akhir diskusi kami setelah kita selesai berkordinasi membicarakan desain.

Mendengar komentar klien seperti ini membuat kerja arsitek terapresiasi, dan hal ini akan membuat dunia arsitektur bersama kita semakin maju dengan cara yang sederhana.

Untuk kejadian di atas anggap saja cara penyampaian saya, bahasa saya salah. Yang terutama adalah proyek, dan klien tidak terlantar akibat gambar tidak lengkap dan orang lapangan tidak kebingungan lagi. Memang wajar setidaknya proyek membutuhkan waktu dan setiap orang – orang di dalamnya punya masalah – masalahnya sendiri. Kuncinya adalah bagaimana kita bisa saling menyelesaikan masalah di luar personal kita itu yang terpenting.

Saya kembali teringat dengan Piyandeling dan Sumarah yang ada di Bandung, dengan material apapun kita dari keras belajar untuk lembut, dan dari sosok yang mengalir belajar untuk lebih tegas, semua pihak saling belajar tanpa henti seumur hidup. Satu saat setelah saya melakukan inspeksi lapangan disana saya tersenyum melihat kerja keras mereka melakukan menutup celah bambu yang tidak mudah untuk membuat bambu awet, sisi suka dan duka, terekam di dalam pembelajaran tanpa henti di dalam proyek lain dan juga Piyandeling.

Untuk kejadian di atas anggap saja cara penyampaian saya, bahasa saya salah. Yang terutama adalah proyek, dan klien tidak terlantar akibat gambar tidak lengkap dan orang lapangan tidak kebingungan lagi. Memang wajar setidaknya proyek membutuhkan waktu dan setiap orang – orang di dalamnya punya masalah – masalahnya sendiri. Kuncinya adalah bagaimana kita bisa saling menyelesaikan masalah di luar personal kita itu yang terpenting.

Terima kasih Pak Saniin dan Pak Rozak. Mereka adalah 2 dari 4 tukang bambu yang ada di Piyandeling. Saya kembali teringat dengan Piyandeling dan Sumarah yang ada di Bandung, dengan material apapun kita dari keras belajar untuk lembut, dan dari sosok yang mengalir belajar untuk lebih tegas, semua pihak saling belajar tanpa henti seumur hidup. Satu saat setelah saya melakukan inspeksi lapangan disana saya tersenyum melihat kerja keras mereka melakukan menutup celah bambu yang tidak mudah untuk membuat bambu awet, sisi suka dan duka, terekam di dalam pembelajaran tanpa henti di dalam proyek lain dan juga Piyandeling.
Kategori
blog

Open Call for Designers

As Realrich Architecture Workshop (RAW Architecture) grows in Indonesia, we are calling back restless souls to experiment, learn from the ground up and want to explore design to work together with a multi-disciplinary studio team. Our designs progress from symbolic designs to more analytical designs.

We invite you to join us in RAW Architecture as our family.
For further information please contact us to kak Yudith (+62 8161644022)

  • Able to design space with function, shapes, and form
  • Have interest to discuss design thinking
  • Familiar with design tools – common CAD and Graphic
  • Familiar with IT facilities
  • Work on every day, regular time
  • Good knowledge of social media
  • Good knowledge of book layout and graphic design
  • Basic photography and video editing is an advantage
  • Experience in project management is a plus
  • Able to work in well integrated team with Structure, Mechanical, and Designers.

Responsibilities

  • Designing architecture and assisting Realrich and team leaders in RAW Architecture project
  • Coordinating project for design research practice – management – built
  • Selecting, developing, cataloging and classifying material resources for projects
  • Using library systems and special computer applications
  • Managing budgets and resources
  • Promoting the studio’s event and resources to public.

Apply Now
Send us your motivation letter, curriculum vitae, portfolio to
this form by google drive link
have a question ? please contact Laurensia +62 8161644022 (Whatsapp)

fill this form please https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSfCNskYQgzXlp7UTC7sNWKbTn7N7pI0jGtWxV83_h80wbE_fA/viewform?usp=sf_link

Kategori
blog

Susunan Batu Kali yang Lembut di Mekarwangi

Terlihat dari depan Piyandeling menggunakan struktur yang melayang untuk menjaga kelembapan dari struktur bambu sekaligus memanfaatkan ruang di bawah sebagai area garasi terbuka. Di daerah ini dimanfaatkan juga untuk kamar mandi komunal. Secara alami sebenarnya daerah ini memiliki tanah yang lebih tinggi yang diakibatkan pengurugan dari lahan sekitar, namun seiring jalan lahan ini rawan longsor. Oleh karena itu tahap pertama adalah memperkuat konstruksi turap yang berfungsi sebagai dinding lahan.

Pengrajin – pengrajin yang terlibat disini juga pernah terlibat di dalam pembangunan sekolah Alfa Omega dan Guha Bambu, ada Mang Amud, Mang Saniin, Mang Rojak, Mang Uyu, Mang Deden, dan lain – lain.

Area yang terlihat di dalam gambar ini adalah kolong dari bagian dari bangunan yang dinamakan Sumarah. Material yang digunakan untuk lantai adalah batu kali yang merupakan batu yang didapatkan di dasar sungai ketika kita berjalan ke dasar lembah. Batu itu keras, namun kita bisa belajar mengenai bagaimana kekerasan itu dilembutkan dan mengalir dari daya adaptasi ketukangan yang muncul dari pengrajin bambu.

Area yang terlihat di dalam gambar ini adalah kolong dari bagian dari bangunan yang dinamakan Sumarah. Material yang digunakan untuk lantai adalah batu kali yang merupakan batu yang didapatkan di dasar sungai ketika kita berjalan ke dasar lembah. Batu itu keras, namun kita bisa belajar mengenai bagaimana kekerasan itu dilembutkan dan mengalir dari daya adaptasi ketukangan yang muncul dari pengrajin bambu. Di daerah ini dulunya juga sering mati lampu, dan juga air bisa mendadak mati, karena masih menggunakan pipa air berbentuk selang yang terbuka (tidak tertanam). Sehingga proses menemukan batuan tersebut adalah ketika tukang- tukang perlu mengambil air pada waktu itu, dan tiba – tiba mereka memberitahukan,

bagaimana kalau kita menggunakan batu – batu dari kali pak ?

Tahap pertama adalah menyelesaikan dinding turap, umpak, penggalian resapan dengan artistik. Dari tukang – tukang ini saya belajar mengenai membentuk karakter yang lembut dengan teknik yang matang, dan prosesnya membutuhkan waktu dan dialog yang terjadi.

Para pengrajin ini berubah dari mengetahui bambu, menjadi merangkai apapun, termasuk bebatuan yang keras, bebatuan tersebut kemudian membentuk bentuk daun yang disusun berbentuk daun dengan didesain dengan mempertimbangkan aliran air yang meresap perlu untuk ke tanah. Patut diingat di daerah ini tidak ada infrastruktur pembuangan saluran air. Jadi tahap pertama adalah menyelesaikan dinding turap, umpak, penggalian resapan dengan artistik. Dari mereka saya belajar mengenai membentuk karakter yang lembut dengan teknik yang matang, dan prosesnya membutuhkan waktu dan dialog yang terjadi.

Para pengrajin ini berubah dari mengetahui bambu, menjadi merangkai apapun, termasuk bebatuan yang keras, bebatuan tersebut kemudian membentuk bentuk daun yang disusun berbentuk daun dengan didesain dengan mempertimbangkan aliran air yang meresap perlu untuk ke tanah.

Lama saya tidak menulis di postingan IG yang saya gunakan untuk tempat menyampaikan perlunya merefleksikan diri dan mengapresiasi arsitekturini, saya terus berpikir kadang, mau menulis apa, terkadang kesibukan membuat saya tidak terlalu meluangkan waktu mengupdate postingan. Namun kali ini dan ke depan saya mencoba mengapresiasi dan menggali relasi antar orang – orang luar biasa di sekitar saya ya. Karena Indonesia itu seperti bambu, tumbuh bersama – sama dengan rumpun dan tidak sendirian. Terus pakai masker dan saya doakan supaya sehat selalu.

Indonesia itu seperti bambu, tumbuh bersama – sama dengan rumpun dan tidak sendirian.Lama saya tidak menulis di postingan IG yang saya gunakan untuk tempat menyampaikan perlunya merefleksikan diri dan mengapresiasi arsitekturini, saya terus berpikir kadang, mau menulis apa, terkadang kesibukan membuat saya tidak terlalu meluangkan waktu mengupdate postingan. Namun kali ini dan ke depan saya mencoba mengapresiasi dan menggali relasi antar orang – orang luar biasa di sekitar saya ya.

Kalau dilihat – lihat masa pandemi ini saya belajar mengenai kedekatan. Kali ini saya mau bercerita mengenai pak Singgih Suryanto, beliau sudah ikut kerja dengan ayah saya puluhan tahun dan sudah berkerja bersama saya dari tahun 2011 ketika rumah Bare Minimalist dikonstruksi. Beliau pada saat itu menjadi pengawas. Saya mendapatkan banyak cerita mengenai anak – anak studio desain dari beliau, kami berdiskusi pagi – pagi kadang dimana anak – anak belum datang ke studio.

“Real, ini anak lagi kena sakit Maag.”

“Real, kayanya anak ini kos – kosannya di belakang kampung kurang baik, katanya banyak kecoak.”

“Real , kayanya anak ini keteteran kerjaannya, mungkin perlu dibantu.”

Dari perjalanannya pulang dari proyek , ia kadang mampir ke tukang gorengan ataupun martabak. Kejutan – kejutan tersebut membuat suasana studio lebih cair, mengalir dalam senda gurau, tawa. Baginya anak – anak studio seperti keponakannya sendiri.

Beliau dulu tinggal di Rawa Mangun, untuk ke-studio kami perlu sedikitnya 2 jam perjalanan. Ketika satu saat beliau sakit dia sempat berkata, saya sudah selesai, dan jantung saya berdegub keras pada saat itu. Saya tidak boleh kehilangan beliau, Pada waktu itu saya ingat, saya mengumpulkan beberapa orang di studio pada saat itu, termasuk pak Jatmiko, Pak Misnu, Bonari, Rudi, dan lain – lainnya. Saya menekankan bahwa Pak Singgih perlu dirawat bergantian sampai sembuh, tolong kabari saya setiap harinya. Mungkin kalau ada saya keinginan yang belum terpenuhi untuk beliau adalah bagaimana saya meluangkan lebih banyak waktu, uang, dan tenaga untuk lebih perhatian akan kecintaan beliau di dalam mengayomi anak – anaknya.

Ayah saya selalu berkata, susun prioritas terutama, hal – hal yang penting didahulukan terutama masalah relasi, keuangan, nama baik, seperti ayah saya kadang beliau tidak mau menjadi pemberat di dalam hidup saya. Ia diam, kadang ia tahu saya perlu fokus di dalam bekerja, ia tahu bahwa mungkin dia pikir saya tidak memerlukannya dan memilih tidak mengganggu meskipun dia rindu. Terkadang ayah saya hanya minta diantar oleh Pak Misnu ke The Guild, kadang ia melihat dari luar dari luar mobil saja, dia bilang, ngga usah repot – repot kalau lagi sibuk. Saya selalu bilang apaan sih, ayo masuk, atau saya keluar rumah menyambutnya . Dia tahu bahwa dia sendiri sudah sulit berjalan. Sepanjang hidup saya, nafas saya, darah saya dibentuk oleh beliau, termasuk oleh Pak Singgih dan orang – orang yang sedermikian penting untuk saya. Saya sungguh bersyukur dikelilingi oleh ayah saya, pak Singgih, dan orang – orang baik di sekeliling saya.

Terkadang ayah saya hanya minta diantar oleh Pak Misnu ke The Guild, kadang ia melihat dari luar dari luar mobil saja, dia bilang, ngga usah repot – repot kalau lagi sibuk.Saya selalu bilang apaan sih, ayo masuk, atau saya keluar rumah menyambutnya . Dia tahu bahwa dia sendiri sudah sulit berjalan.
Ayah saya selalu berkata, susun prioritas terutama, hal – hal yang penting didahulukan terutama masalah relasi, keuangan, nama baik, seperti ayah saya kadang beliau tidak mau menjadi pemberat di dalam hidup saya. Ia diam, kadang ia tahu saya perlu fokus di dalam bekerja, ia tahu bahwa mungkin dia pikir saya tidak memerlukannya dan memilih tidak mengganggu meskipun dia rindu…Sepanjang hidup saya, nafas saya, darah saya dibentuk oleh beliau, termasuk oleh Pak Singgih dan orang – orang yang sedermikian penting untuk saya. Saya sungguh bersyukur dikelilingi oleh ayah saya, pak Singgih, dan orang – orang baik di sekeliling saya.

Di dalam pembentukan kultur studio, kedekatan antar-personal menjadi penting, kejutan – kejutan, ritual – ritual, perlakuan – perlakuan yang baik berdasarkan keinginan untuk memperhatikan, apresiasi dari yang tua ke yang muda, dari yang muda ke yang tua, dari yang muda ke yang muda, dari yang tua ke yang tua. Bergandengan tangan menjadi rumpun dan maju bersama. Rumusnya ternyata sederhana, seperti Pengrajin Bambu yang menukang batu di atas membentuk batu yang keras menjadi lembut mengalir dengan artistik, menjadi “Pengrajin Kasih”.

[1] Catatan : Ini postingan link ke IG pertama saya setelah beberapa lama. Saya berdoa Tuhan semoga postingan ini membawa berkat, dan jauhkanlah saya dari hal – hal buruk. Berkati orang – orang yang sudah membawa begitu banyak hal baik di dalam kehidupan saya.

Kategori
blog

Bertemu Zarathustra

“Miracle sayang Heaven.” katanya sambil menepuk – nepuk Heaven. Sudah satu bulan ini Miracle sekolah kembali setelah libur tengah tahun. Hari – hari kami diwarnai hal – hal yang repetitif yang mewarnai keseharian. Laurensia bangun pagi setiap harinya, untuk mempersiapkan sekolah Miracle (nama panggilan Miraclerich). Saya sendiri banyak belajar dari sekolah Miraclerich, jadwal sekolahnya berpusat pada pelajaran budi pekerti, ilmu pengetahuan alam, dan pelajaran bahasa Mandarin.

“Miracle sayang Heaven.” katanya sambil menepuk – nepuk Heaven. Sudah satu bulan ini Miracle sekolah kembali setelah libur tengah tahun. Hari – hari kami diwarnai hal – hal yang repetitif yang mewarnai keseharian. Laurensia bangun pagi setiap harinya, untuk mempersiapkan sekolah Miracle (nama panggilan Miraclerich)

Laurensia berkata satu saat “keluarga dibentuk seperti badan manusia, ayah adalah tulang yang bekerja keras untuk kebutuhan dasar, ibu adalah jantung yang ada di tengah keluarga” itulah relasi antara kedua peran yang saling melengkapi pikiran badan dan hati di dalam keluarga, disitulah adalah pelajaran budi pekerti.

Saya ingat Suryamentaram sampai harus meninggalkan gelar kebangsawanannya untuk mengetahui sejauh mana ia bisa menjernihkan suara hatinya. Hal tersebut bisa diibaratkan seperti Zarathustra. Dalam tulisan-tulisan awalnya, Friedrich Nietzsche (1844-1900) bereksperimen dengan posisi filosofis, mengujinya terhadap ilmu pengetahuan dan sejarah pemikiran, melawan budaya, pemikir, dan momentum zaman. Selain itu, ia mengadopsi persona atau topeng untuk menyajikan ide-ide kontroversial dalam konteks eksperimental dan sebagai cara baru untuk berfilsafat. Karakter dramatis Zarathustra dan pertapa dalam Thus Spoke Zarathustra.

“When Zarathustra was thirty years old, he left his home and the lake of his home, and went into the mountains. There he enjoyed his spirit and his solitude, and for ten years did not weary of it. But at last his heart changed, and rising one morning with the rosy dawn, he went before the sun and spoke to it.”

Zarathustra perlu menyendiri di perjalanannya menuju gunung. Setiap orang perlu menggali apa itu gunungnya, apa yang aku mau tuju, dan bagaimana cara saya mendaki gunung saya. Itulah proses menggapai impian melalui meramu tujuan. Gunung itu ibaratnya adalah sebuah tujuan. Setiap orang di dalam menyendiri akan bertemu Zarathustra, berdialog dan kemudian menjadi dirinya untuk mempertanyakan siapa aku di dalam kesendiriannya.

Satu murid, ia mengirimkan saya Whatsapp Message, dulu saya bertemu dia di dalam kelas satu kelas.

Selamat malam Pak Rich… maaf mengganggu pak.. Saya boleh menanyakan saran ga pak, soal karir hidup pak.. Selama kelas pak Rich, saya sangat menikmati luasnya eksperimentasi yang bisa dilakukan pada setiap tugas. Tiba-tiba bisa menulis tugas soal bahan material arsitektur yang kita minati atau bayangkan, atau bahkan bisa memperagakan demonstrasi di depan kelas. Hal-hal yang berhubungan dengan eksperimentasi hampir setiap hari selalu membuat saya semakin curious dan ingin mencoba untuk merealisasikannya. Bisa saja tiba-tiba kepikiran ingin melakukan suatu proyek yang berhubungan dengan videogrammetry, atau bisa saja proyek film yang menggunakan the other 4 senses… dan bahkan bisa tertarik untuk berpikir output apa yang dapat dihasilkan dari musik dan arsitektur, apakah yang akan terjadi jika musik menggunakan teori-teori desain yang dipelajari dalam arsitektur, atau animasi menggunakan teori-teori desain yang dipelajari dalam arsitektur, multi-disciplinary and architecture, & etc…

Dari semua kebingungan ini, saya sudah mencoba untuk me-riset jurusan yang memungkinkan, dan salah satunya itu adalah experimental media… namun saya masih belum yakin apakah itu akan fulfill keminatan saya pada jangka panjang.. Sementara ini, saya mungkin berpikir untuk mengambil gap year setelah kuliah selama 1 – 2 tahun untuk mengeksplor ketertarikan saya dulu.. Walaupun mungkin belum terlalu jelas, karena randomness dari setiap proyek bisa cukup besar…

Namun, kalau menurut pak Rich, mungkin apakah saya lanjutkan saja dulu semua eksplorasi dan proyek2 ini, dan endingnya lihat nanti saja.. Atau mungkin saya perlu mengambil patokan suatu jurusan dulu, baru untuk berbagai macam ide lainnya akan saya lakukan secara otodidak? Maaf pak kalau saya jadi menanyakan secara tiba-tiba seperti ini…

Perjalanan mendaki gunung memang perlu kegalauan dan kebingungan, kabut kadang pekat, kadang tipis, bisa jadi ada harimau muncul di perjalananmu dan harus kau tundukkan. Bisa jadi juga kamu perlu mencari air di dalam perjalananmu supaya dirimu tidak kehausan. Alam mencari gunung ini adalah ranah filsafati, sebuah proses pencarian diri. Menariknya ia menjadi perjalanan tidak berujung, semakin lama semakin luas, membawa di dunia langit beberapa tingkat ke atas.

saya menginterpretasikan seperti anak – anak ini,berusaha menggali sendiri untuk mengetahui apa arah kehidupan ini di masa yang akan datang.

Di satu sisi, euforia perjalanan diri ini, terkadang membutuhkan kompas. Apakah benar yang saya pikirkan ? Bagaimana menurut kawan saya ? Apakah saya punya progress di dalam kehidupan ini ? pertanyaan – pertanyaan tersebut membutuhkan orang lain untuk bisa memberikan interpretasi. Perjalanan mendaki gunung membutuhkan persiapan, kaki yang kuat, hati yang lapang, dan kemauan yang kuat. Kaki yang kuat diibaratkan adalah pengetahuan tacit mengenai bagaimana berpraktik sebagai arsitek, bagaimana memproduksi desain, gambar, melakukan supervisi proyek, dan melayani klien. Kemauan yang kuat adalah ketekunan dan kerja keras yang menjadi bensin atau makanan penggerak tubuh kita. Hati yang lapang adalah ketulusan budi pekerti.

Pelajaran Budi pekerti itu disebut Ren Wen 人文 . Miracle mendapatkan kelas ini satu kali seminggu. Ren Wen adalah sebuah pelajaran mengenai kemanusiaan, bagaimana menghargai orang lain. Hal ini akan membentuk budaya yang baik. “Tahukah kamu permisalan tentang udang dan ular ? Kata gurunya satu saat.” Hal ini kami bahas pada waktu kami makan siang bersama. “Jangan berbicara hal yang buruk, nanti kami akan jadi seperti ular berbisa, dan jangan juga duduk membungkuk seperti udang.”lalu kata Laurensia menjelaskan bagaimana pelajaran di kelas hari itu.

Pelajaran Budi pekerti itu disebut Ren Wen 人文 . Miracle mendapatkan kelas ini satu kali seminggu. Ren Wen adalah sebuah pelajaran mengenai kemanusiaan, bagaimana menghargai orang lain. Hal ini akan membentuk budaya yang baik. “Tahukah kamu permisalan tentang udang dan ular ? Kata gurunya satu saat.” Hal ini kami bahas pada waktu kami makan siang bersama. “Jangan berbicara hal yang buruk, nanti kami akan jadi seperti ular berbisa, dan jangan juga duduk membungkuk seperti udang.”lalu kata Laurensia menjelaskan bagaimana pelajaran di kelas hari itu.

Ia menjelaskan bahwa murid – murid diajarkan untuk welas asih, memiliki budi pekerti yang baik, seperti menjadi sebuah bunga yang harum untuk orang lain. Pelajaran – pelajaran sederhana bagaimana menjadi tenang dengan meditasi, minum teh, makan dengan sopan, menyapa orang, merangkai bunga, ataupun sesederhananya menyapa dengan “I love you Mommy.”

” anak – anak di umur 4 tahun, mereka mulai aktif untuk meniru, dan salah satu hal yang bisa dilakukan untuk belajar adalah bermain peran.”

Terdengar sayup – sayup Laurensia berkata ke Miracle ketika menemaninya belajar satu hari,

“ayo duduk yang tegak jangan seperti udang.”

Jordan Patterson membahas cerita mengenai lobster di dalam buku 12 Rules of Life, ia menjelaskan cerita lobster untuk menjelaskan tentang hirarki sosial yang ada di dalam kehidupan sehari – hari. Patterson menjelaskan tentang bagaimana lobster yang menang akan menegakkan kepalanya, dan yang kalah inferior akan membungkuk. Mendadak saya pun tersadar, saya pun beringsut bangun, membetulkan tempat duduk saya, memang budi pekerti itu bekerja ke segala arah, dari hati, pikiran, sampai hal – hal sederhana dan detil sampai ke posisi duduk. Mengingat ini, saya kembali ingat ketika Laurensia menepuk satu saat, “Jangan membungkuk Yang.

“O iya”

“Untung ada Laurensia yang selalu mengingatkan :)” sekarang gantian saya mengingatkan para pembaca. “Jangan membungkuk ya.”

“Untung ada Laurensia yang selalu mengingatkan :)” sekarang gantian saya mengingatkan para pembaca. “Jangan membungkuk ya.” family photo taken by Jeffri Hardianto (pepen) House of Photographers
Kategori
blog tulisan-wacana

Autumn Strong

Dulu kira – kira 13 tahun yang lalu, bulan – bulan Agustus menuju Desember adalah bulan dimana autumn tiba, di saat itu saya ingat satu waktu saya menghabiskan waktu ke Cambridge, menyusuri sungai disana, naik sepeda bersama Laurensia. Kami mengambil gambar untuk mengabadikan bahwa kami pernah di situ. Perjalanan kami berdua di kota – kota di Inggris seperti St. Ives, Cambridge, London dan kota – kota kecil lainnya membekas di dalam musim autumn. Musim autumn memberikan suasanya jatuhnya daun – daun dan masuknya musim dingin, terbitnya bunga, dan datangnya musim panas. Hal ini adalah siklus berulang di dalam waktu yang linear.

Kali ini, kira – kira mulai bulan Agustus sampai bulan Desember lalu, saya menghabiskan waktu – waktu malam dengan membaca jurnal, buku, membuat mind map, menyusun presentasi. Hal ini paralel di siang hari dan kadang subuh untuk berpraktik, mendesain, survei lapangan, supervisi proyek. Setiap senin diwarnai dengan meeting pagi tim proyek yang dilanjutan dengan webinar jam 10 bersama Iwan Sudrajat, belajar mengenai metodologi penelitian melalui buku dan diskusi. Hari selasa, saya mendapatkan waktu untuk berdiskusi dengan Himasari Hanan sebagai pembimbing, dan hari kamis, saya bertemu dengan Bambang Sugiharto di kelas filsafat.

Apa yang mau saya bagikan di dalam tulisan ini adalah soal merasa cukup, sebuah proses dari menuju sesuatu, waktu adalah linear.

Pertama, soal disertasi, topik yang saya minati adalah soal kreatifitas di dalam desain. Saya tertarik untuk mengikuti kelas di 3 bulan pertama sampai satu titik dimana saya bertemu dengan Anna Herringer di dalam acara Design United dimana kami mengisi acara bersama – sama. Di dalam diskusi bersama dan sharing, ia menjelaskan bagaimana arsitek perlu peka di dalam praktik, dan melihat karya – karyanya saya merefleksikan bahwa tataran yang saya jalani di dalam disertasi adalah tataran yang teoritis. Saya membutuhkan tataran praktis sebagai pelengkap teori, lokalitas dalam praktik, membumi, mengakar, fundamental.

Selain urusan disertasi, waktu saya habiskan juga untuk mengatur studio dan perpustakaan juga menulis buku sebagai bahan refleksi. Covid ini merubah banyak sekali hal, mulai dari hilangnya tatap muka, dan munculnya peluang – peluang digitalisasi, seperti media webinar, dan rapat di atas awan (rapat digital menggunakan zoom). Sebenarnya kami hidup lebih sehat, lebih tenang, dan lebih damai. Karya – karya yang saya hasilkan jauh lebih mengakar, dan terpikirkan matang.

Saya teringat kira – kira setahun yang lalu, saya memutuskan untuk keluar dari banyak grup digital karena terus terang merasa tidak nyaman apabila tidak memiliki jarak akan segala hal sehingga hal – hal yang prinsipal menjadi dogma yang ikut – ikutan. Mungkin hal ini yang menyebabkan Pak Gunawan Tjahjono tidak memiliki WA. Saya mengamati ada teman saya yang sukanya mengumbar dirinya sendiri, ada juga teman saya yang juga problematis dengan masalah waktu, ada juga teman yang sukanya pansos. Setiap orang punya masalah, masalah pribadi biarlah menjadi masalah pribadi, masalah bawaan. Masalah bersama itulah yang lebih penting untuk dibicarakan. Masalah pribadi itu urusan refleksi masing – masing. Saya sungguh merasa kesepian, mungkin yang bisa mengobati adalah adik – adik saya di perpustakaan, ataupun murid – murid atau teman – teman yang bisa bersenda gurau tanpa pretensi ataupun sekedar mengupdate berita mengenai bagaimana hidup mereka akhir – akhir ini dengan cerita yang konyol, gagal, bodoh, hidup memang tidak sempurna kawan.

Minggu ini saya bertemu dua orang anak muda, satu sedang mencari jalan hidup. Ia adalah calon arsitek yang potensial, ia memiliki kegelisahan mengenai sejauh mana jalan itu aman baginya, untungnya ia memiliki begitu banyak kesempatan yang diberikan keluarganya dan teman – teman sekitarnya. Orang yang kedua justru tidak memiliki kesempatan tersebut, ia harus berjuang sendirian di dalam menembus keterbatasannya sebagai anak di dalam ekosistem yang broken home. Ia sendiri sekarang sukses di dalam dunia retail yang memegang salah satu banyak brand tas yang ternama. Mereka berdua berjuang menembus keterbatasannya sendiri, memiliki kesamaan akan sebuah proses yang understated. Proses ini adalah proses yang sederhana, fokus kepada kemauan belajar, yang tidak kompetitif, tanpa perlu menonjolkan diri, ada rasa cukup yang terlihat di dalam prosesnya. Saya bangga akan proses mereka berdua dan menyaksikan keduanya tumbuh mandiri.

Saya melihat tantangan ke depan tidak mudah, dengan menghitung jumlah proyek, dan proyeksi keuangan, beberapa langkah – langkah perlu di lakukan dengan taktis dan hal tersebut membutuhkan waktu. Disinilah tegangan akan waktu ini muncul. Waktu sekali lagi linear, pertimbangan – pertimbangan yang dipilih akan menghadapkan pilihan – pilihan seberapa layak satu pilihan itu dipilih, apa yang didapatkan, perkiraan – perkiraan apa yang menunggu di ujung jalan. Proses ini seperti proses menyiapkan bahan masakan dengan menimbang satu dan yang lain supaya hasilnya memuaskan.

Sebelumnya, sebenarnya di dalam proses saya mengerjakan disertasi tidak berfokus ke tujuan mendapatkan gelar S3 namun lebih ke proses pembelajaran, menemukan teman untuk berdiskusi, ekosistem untuk membicarakan penelitian – penelitian lebih lanjut dengan masuk ke substansi bukan normatif.

Satu minggu setelah saya mengirimkan surat untuk mundur ke prodi , saya bertemu dengan Lisa Sanusi. Kita berdua berdiskusi mengenai mimpi – mimpi akan dunia pendidikan. kira – kira baru 2 minggu lalu ia mengirim pesan “pak Rich apa ada waktu saya mau bicara.”, ia kemudian melanjutkan :

“Pak Rich, saya sudah dari Bandung, kita dalam pengurusan sekolah arsitektur.”

Saya terdiam, dan jantung ini berdegup keras. Dan sekonyong – konyong ada suara dari belakang telinga mengingatkan,

“jangan lupa doa ya.”

The feeling of autumn, leaving someone feels like the sadness of autumn
a glass of wine thousands of different emotions, so many farewells when the leaves fall, there are so many farewells, holding your hand tight
remembering this, i want you to remember
this silent promise I’m not afraid of being lovesick
I’m just afraid of hurting you all resentments vanish with the wind
meeting or parting ways, it’s not up to me
I’m not afraid of being lonely
I’m just afraid you’ll be disappointed
that you won’t have a shoulder to cry on

Saya terbangun, mari jalan kembali. Sampai jumpa kawan.

Kategori
blog tulisan-wacana

Forming the Gift Society

“Apa yang menjadi dasar kriteria untuk membuat buku ini untuk mahasiswa ?” Ini satu pertanyaan yang muncul dari peserta diskusi ketika ada acara Omah Library di Bandung, kira – kira dua tahun yang lalu ketika terdapat paparan mengenai bagaimana kerangka pemikiran buku Filsafat, Teori, dan Keprofesian di dalam 3 buku yang sudah diterbitkan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang luar biasa bagus, yang biasa ditanyakan ketika ada pengujian. Di dalam assesment mengenai kualitas, ada penentuan parameter, kunci – kunci penentuan parameter ini sangatlah penting dan kritikal sebagai dasar apa yang menjadi pertimbangan, dan bagaimana menimbangnya. Pertanyaan ini menjadi dasar bahwa ada pembaca yang ingin mengerti kualitas seperti apa yang menjadi konsep dasar buku tersebut.

“Terima kasih ya pak, sudah mau membuatkan buku untuk kami.” Eubisius, murid saya berbicara pada saat saya menanyakan di malam saya mempresentasikan buku ini ke mereka, “apa ada yang mau kalian sampaikan atau tambahkan ?”.

Malam itu adalah saat dimana saya mempresentasikan apa yang sudah kami lakukan di Omah Library, untuk mengkurasi, dan menyusun materi ajar di dalam buku Strategi Arsitektur Berkelanjutan. Isu – isu arsitektur berkelanjutan kerap digunakan untuk menggali tema di dalam proses perencanaan.

Saya masih ingat, dulu Eubisius atau Ubi panggilannya, berkata pada saya, “mungkin ini terdengar konyol pak, cuma saya bercita -cita ingin menjadi pemenang Pritzker Prize.” Pritzker Prize adalah satu penghargaan di arsitektur yang identik dengan nobel, penghargaan itu ditujukan untuk seseorang yang sudah berjasa untuk menyumbangkan hidupnya untuk kemanusiaan di dalam menjalani profesinya sebagai arsitek. Saya bisa membayangkan bahwa mungkin saja pengajar – pengajar yang menertawakan keinginan muridnya seperti ini. Namun di mata saya, keinginan seperti ini adalah sungguh amat berharga.

Perkataan – perkataan “saya ingin seperti ini, seperti itu…” itu sebenarnya yang sering dilontarkan oleh para mahasiswa, sebuah keinginan untuk menggapai mimpi menyumbangkan hidupnya untuk kemanusiaan. Dari perjumpaan dengan banyak mahasiswa yang menginginkan hal tersebut, ada benang merah, bahwa para mahasiswa ini ingin dihargai sebagai perancang, dan mereka juga ingin belajar mempertanggung-jawabkan metodologi desainnya sebagai arsitek, dan terakhir mereka semua juga menyadari pentingnya sikap untuk selalu belajar.

Seringkali benang merah tersebut disalah-artikan sebagai keinginan untuk menonjolkan diri, padahal sesederhananya keinginan itu berawal dari kebutuhan untuk diapresiasi oleh orang lain termasuk pengajarnya.

Buku ini tidak boleh mahal, tapi boleh tebal, setebal 600 halaman juga oke. Berikan yang terbaik untuk anak – anak, karya ini dari anak – anak untuk anak – anak, kita akan menjadi jembatan yang baik untuk mereka.” saya menekankan di dalam rapat di Omah Library

Apresiasi ini begitu penting di dalam pembentukan Gift Society dimana Gift Society tidaklah sama Consumerism Society, hal ini dibicarakan oleh Lewis Hyde di dalam bukunya The Gift: How the Creative Spirit Transforms the World. Hyde membagi dua buah kelompok, pertama yaitu : Consumerism Society , kelompok mengandalkan asas untung rugi, ibaratnya keinginan untuk mengetahui apa yang aku dapat di dalam proses kreasi sebagai motif dasar. Di dalam kelompok ini, terdapat keterbatasan waktu yang mengikat untuk berproduksi, informasi yang dibatasi, dan patronisasi yang kuat. Sedangkan di dalam kelompok yang kedua Gift Society, menghasilkan karya yang inovatif dari sikap saling percaya , hubungan yang saling memberi, dan aspek pembagian ekonomi yang bijaksana, memiliki motif untuk membangun.

Buku “Untuk Mahasiswa” ini ditulis untuk mahasiswa dan oleh mahasiswa, bahwa mahasiswa bisa dan boleh berinterpretasi untuk kasus – kasus yang mungkin mereka sendiri belum terbayang seutuhnya bagaimana cara arsitek berproses. Disinilah proses (pedagogi) pengajaran itu perlu dipaparkan dengan apa adanya yang terkait ke 4 titik permenungan, pertama : sistem pengajaran, kedua : anatomi pemaparan dari quiz sampai tugas, ketiga : buku yang direferensikan, dan keempat : evaluasi dari tugas mahasiswa yang patut diapresiasi. Disinilah proses pedagogi “untuk mahasiswa” patut untuk dibagikan untuk sebagai titik awal bagi pengajar – pengajar lain berbagi hal yang menjadi rahasia kecil yang terkadang terselubung di dalam hubungan pengajar dan diajar.

Lebih lanjutnya buku ini sebenarnya adalah tempat merefleksikan kegiatan mencatat, mengarsip, dan mengevaluasi proses pengajaran arsitektur berkelanjutan untuk kepentingan menyambung tongkat evaluasi yang dibutuhkan. Hal ini perlu supaya pengajar dan murid bisa memahami kompleksitas praktik- teori di dalam bentuk kontekstualisasi kasus studi ke dalam kasus – kasus yang kita alami di dalam keseharian kita semua sebagai murid – murid kehidupan.

Beberapa komentar dari adik – adik saya di Omah Library dimana pada dasarnya buku yang baru terbit ini adalah strategi untuk menemukan diri sendiri menggunakan tema arsitektur berkelanjutan setidaknya membuat saya menghela nafas.

“Selama proses penyuntingan, saya belajar banyak hal dari tulisan-tulisan yang terkumpul. Sepertinya, kesadaran kolektif memang muncul disini, di mana benang merah ini saling merajut antar tulisan dengan tujuan yang sama; sebuah kesadaran arsitektur berkelanjutan. Buku ini buku paling tebal, dan buku yang membawa saya menemukan apa makna arsitektur berkelanjutan, yang jarang sekali diperbincangkan. Ini memang buku strategi. Strategi yang menghantarkan kita mencari strategi sesuai konteks kita sendiri, dengan melibatkan kesepahaman arsitektur yang berkelanjutan.” – Satria A. Permana

Mungkin kalau Ian Mcharg masih hidup, ia bisa tersenyum sembari berjaga – jaga kembali.

bit.ly/OrderOMAH

.
Terima kasih untuk para kontributor murid – murid kami : Albert Lionggo, Andreas Hasiholan,Anggreny Ratnasari, Anissa Dipa, Anke Ardine, Ansell Samuel Julianto, Antonius Priya Prathama, Bayu Abimanyu, Carla Aurellia, Chelsea Gracelyn Halun, Chelsya Setiawan, Christal Yohanes Edy Widjaya, Darwin Winata, Dharmawan, Diandra Arya Eka Putrim Edgard Jeremy, El Grantnada Romaulina Chyntia, Manihuruk, Eubisius Vercelli Ocvanto Kuncoro, Evania Hamdani, Fania, Farisya Yunandira Putri, Fikra Abhinaya Djuhara, Franca Kartasasmita, Gerardo Leonard Nugroho, Gilbert Antonious, Heidy Laurentia, Heinrich Benedick, Jason Lim, Jason Aristya Wongso, Jason Axel, Jesslyn Amanda, Joshua Alfando, Joshua Felix Theo, Joshua Michael, Jovin JuanMarcell Cruxivisyo, Mauritzio Hizkia, Michael Antonio Halim, Michael Imanuel Susilo, Michellin Sonia Wibowo, Muhamad Yusuf Nyompa, Nathanael Christopher Ng, Novi Synfah, Oliver Victor Wibowo, Praisella Hatijanto, Putroaji Darma Maulana, Raihan Ramadhan, Rayka Martawijana, Raynaldo Febrio Istanto, Sander Ekaputra, Satya Krisnadi, Shania Salsabila, Shella Angelica, Sherlyn Christiane, Spazio Julius, Stanly Alviando, Thessalonicca Venesya, Valencia Angelita, Vania Serrafine, Para Restless Spirit Librarian : Penyunting (Amelia Widjaja, Satria A. Permana), Kirana Adrya, Hanifah Sausan, dan Dimas Dwimukti. Juga tim administrasi, Laurensia, Vivi, dan Putri. Kawan – kawan yang menulis pengantar bersama – Johannes Adiyanto dan penutup Anas Hidayat.

Kategori
blog tulisan-wacana

Filosofi Donat di tahun 39

“Yang, besok ulang tahun mau dibuatin apa ?” Laurensia bertanya, 

Saya tidak punya ekspektasi apa – apa untuk ulang tahun kali ini. Saya menyadari sudah diberikan begitu banyak berkat dari Tuhan di masa krisis karena pandemi ini dan saya selalu berdoa supaya kawan – kawan dilindungi selalu kesehatannya dan jangan lupa memakai masker. Berkat – berkat di masa pandemi ini mewujud pada kenangan – kenangan yang membekas berupa kedekatan kami sekeluarga. Seperti ketika Laurensia mempersiapkan donat pada hari ini. Kemarin ia bercerita bahwa Miracle ingin makan donat dan ia ingin mengajarkan Acle (panggilan sayang miracle) membuat donat bersama, hal yang sederhana.

Titik kali ini adalah titik ulang tahun yang ke tiga puluh sembilan, dan Laurensia sudah mempersiapkan bahan – bahan tepung, telur, dan topping, seperti mendesain proses persiapan ini yang paling penting yaitu mempersiapkan adonan, dan menikmati momen proses pembuatannya. [1]

Kemarin Laurensia bercerita bahwa Miracle ingin makan donat dan ia ingin mengajarkan Acle (panggilan sayang miracle) membuat donat. Donat memiliki bentuk seperti lingkaran, garis yang memutar saling menjaga dan menerus.

“Papa, jangan lihat kesini, we are making surprise for you, close your eyes.”

kata Acle sambil membawa bantal sambil menutupi mata saya. Saat – saat sederhana seperti ini membuat saya bersyukur, dengan bagaimana Acle dan Laurensia ingin membuat sesuatu untuk saya, perhatian – perhatian kecil seperti ini adalah hadiah yang tidak ternilai untuk apa yang saya dapatkan di hari ulang tahun ini. Salah satu hal yang tidak ternilai adalah keluarga termasuk Acle, Heaven, dan Laurensia di dalamnya. Kami sibuk mengisi hari – hari dengan rutinitas pagi dimulai dengan doa, makan pagi bersama, bekerja, makan siang bersama, kerja/istirahat siang, makan malam dan istirahat. Hal yang kami tanamkan ke keluarga adalah respek untuk orang – orang di sekitar kami. Respek menjadi penting, dimulai respek kepada diri sendiri, sebuah bentuk self criticism.

Dulu ayah saya di waktu memimpin konstruksi, memperkenalkan proses slametan, sebuah proses syukur yang ada di dalam akhir sebuah proses yang kritikal, kalau di dalam pembangunan rumah hal ini dilakukan sebelum bangunan dibangun, dan sesudah proses tutup atap. Hal ini adalah sebuah proses yang wajar dan manusiawi. [2]

Prinsip slamet ini menjadi relevan di masa Covid dimana, sebagai manusia kita harus menahan diri. Ada beberapa cerita lucu tetapi juga sedih, juga mengenai mandor – mandor di sekitar saya yang kehilangan orang – orang terbaiknya karena flow proyek terputus karena COVID. Mereka setengah menggerutu, orang saya diambil orang pak, ada proyek baru disana. Sudah capai – capai melatih lalu mereka pergi. Kira – kira ada dua kelompok di tim kami yang kehilangan anak didik mereka. Terkadang mereka menggerutu, saya terus berpikir kenapa orang – orang terbaik mereka pergi ya ? apakah ada faktor kepemimpinan, ataukah tantangan, selain faktor ekonomi? Saya memiliki hipotesa – hipotesa soal ini. Hal ini wajar terjadi dimana – mana, dan wajar setiap orang ingin tumbuh dan berkembang [3]

Besoknya saya mengajak bicara mereka soal ketiga hal ini, dan hal ini juga saya alami di studio bahwa untuk maju setiap lingkungan membutuhkan evaluasi dan regenerasi. Seperti pohon besar yang tumbuh yang membutuhkan regenerasi, memang perlu dipotong ataupun terpotong karena keadaan supaya pohon – pohon kecil di sekitarnya bisa tumbuh. Dengan memaklumi hal ini, melihat apa yang terjadi di sekitar pengrajin memang ada dua tipe pembelajar bangunan, tipe yang pertama adalah tipe pengrajin, disini sifat patronisasinya dominan yang diperlihatkan, dengan keahlian – keahlian yang melibatkan teknik bereksperimen dan memiliki struktur seperti pohon besar. Tipe kedua adalah tipe pekerja yang melibatkan teknik yang sudah ada / repetitif mengikuti apa yang menjadi standar baku, di kelompok ini patronisasinya bisa jadi berubah menjadi sebuah platform terbuka berbentuk rhizoma dimana ada transparansi, dengan syarat yang masuk di dalam lingkungan kerja mereka adalah orang – orang yang memang sudah ahli. Keduanya memiliki perbedaan cara bekerja, berkordinasi, transfer ilmu, dan membagi ekonomi. Meskipun demikian ada banyak hal yang menjadi rahasia masing – masing, biarlah itu menjadi urusan kantong sendiri – sendiri.

Seperti satu saat Abidin Kusno yang menulis buku Melawan Waktu memulai dengan tulisan yang merupakan suatu bentuk melawan waktu itu sendiri, Perlawanan itu bisa diibaratkan melalukan negosiasi waktu, dan bagaimana beliau mengisi kehidupan yang sementara ini dengan mencoba merubah keadaan dengan diskursus arsitektural. Bahwa perubahan itu wajar, hal ini adalah sebuah proses dari titik, menuju garis.

Perlawanan waktu ini bisa diibaratkan juga seperti orang yang melalui perjalanan menghitung mundur, dan identik juga dengan proses kelahiran – kematian, kejadian ulang tahun, setiap tahun berulang – ulang, dengan rambut yang semakin memutih, teman – teman yang datang, tinggal, pergi silih berganti, keluarga besar dan anak yang semakin besar. Ulang berulang adalah sebuah rutinitas yang menjadi kebiasaan dan karakter, sederhananya proses hidup, apa yang kamu ulangi itulah karaktermu. Proses pembentukan karakter ini akan membentuk Gift Society. Sebuah lingkaran yang saling memberi yang dimulai dari diri sendiri, self criticism, respek kepada orang lain, dan mengulang – ngulangnya sehingga menjadi karakter yang dimulai dari lingkaran keluarga dan diri sendiri.

Hal – hal inilah yang membuat kadang saya membanting setir, kanan – kiri, gas dan rem, keluar-masuk di dalam menulis buku, keluar-masuk ke penelitian, keluar-masuk dari proses disertasi, keluar-masuk ke kelompok praktik, keluar-masuk dari kelompok belajar, ataupun apapun yang terkait hubungan antar-personal, bahwa pada dasarnya mempertanyakan apa sih yang layak untuk dilakukan untuk waktu yang sedemikian terbatasnya.

“Papa I want to be like you”… Miracle menghampiri saya satu saat ketika saya sedang bekerja di ruang kerja yang berbatasan dengan kamar tidur kami. Untuk masuk ke ruang kerja itu harus melewati pintu putar berupa lemari yang bisa berputar dimana ia mengintip dibalik sela – sela pintu putar tersebut.

“Hei, kamu ngapain ?” kata saya, “come here” saya membiasakan berbicara dua bahasa dengan Miracle. Saya memangku dia untuk memperlihatkan apa yang sedang saya kerjakan, dan berbagi bagaimana memencet tombol keyboard ataupun berinteraksi dengan layar sentuh. Saya melanjutkan “You will be better than papa, we are proud of you.” Dari lingkaran terkecil kami berupa donut, saya menarik nafas semoga semesta memberkati kita semua, dan memberikan rasa slamet, sehingga kehidupan kita, saya doakan menjadi lebih bersahaja, menenangkan, damai dan tenteram.

Di usia ke 39 ini, saya belajar untuk lebih memberi kepada orang lain, tidak untuk dibalas kebaikannya namun karena memang sudah sepantasnya kita memberi. Berbuat tidak untuk dilihat, bernyanyi tidak untuk didengar, berdansa tanpa mengharap tepuk tangan, bertindak tanpa mengharap hadiah.

“Papa please don’t work today, where are you going ?” Miracle mengintip dibalik pintu, karena melihat saya turun tangga.

“Sebentar I will come back in a few minutes.” (ada beberapa tukang sudah menunggu, pak ini detailnya bagaimana.) “Is there someone below ?” Miracle bertanya, saya menjawab, “sebentar ya, sabar few minutes.” Miracle berteriak, “Semangat pa”

Hadiah dari Tuhan untuk saya di umur 39 ini, Laurensia, Miracle, Heaven yang memberikan filosofi donat. Seperti Filosofi Donat bahwa setiap orang memiliki keteduhan di lingkaran terkecilnya. Tidak ada yang manusia yang ditakdirkan menjadi titik yang sendiri. Ada lingkaran membentuk donat yang saling merajut, dari titik, kemudian menjadi garis untuk menjadi lingkaran yang saling menjaga.

Kembali ke pertanyaan pertama,”Yang, besok ulang tahun mau dibuatin apa ?” Laurensia bertanya.

Saya menjawab “Donat ^^”

Terima kasih Tuhan, Terima kasih Tuhan, Terima kasih Tuhan untuk memberikan Laurensia, Miracle, dan Heaven yang sudah membentuk donat keluarga kecil kami juga beserta kawan – kawan tempat kami berkarya bersama. Tuhan memberkati.

[1] Proses persiapan adalah proses pertama di dalam studi mengenai kreativitas, hal ini digagas oleh Wallace di dalam buku Art of Thought dengan tahapan preparation, incubation, illumination, verification.

[2] Inspirasi : Satu kawan saya mengingatkan ketika kita berdiskusi soal arsitektur untuk menghargai soal kekuatan berproses dan jalan masih panjang, “Terkadang kita lupa untuk bersyukur dibalik seluruh proses yang ada.” Saya teringat juga suatu waktu, Wastumiruda (saya menyebutnya Kungkang pemabuk yang bijaksana) atau mas Anas yang bercerita tentang hakikat respek terhadap diri sendiri ini. “KAS ( Ki Ageng Suryomentaram) itu seperti Bima dlm cerita Dewa Ruci…Bima yg benar2 ada…Ya dia mencari kebenaran gk ke mana2. Ya dari dirinya sendiri. Betul. Kan ceritanya perjalanan jauh, tp itu hanya kiasan. Justru diri sendiri ini yg sebenarnya sangat jauh. Krn orang sering lupa, sibuk meniru orang lain. Jika kamu menghadap ke utara, apa yg paling jauh di utara sana ? Ya punggungmu, karena bumi ini bulat. Lawan terkuat sebetulnya ya diri sendiri. Kalo dari sloki (tahap kemabukkan) ya sloki ke 10: dasa buta (nama tingkatan kemabukkan terakhir) … mati. Balik nol lagi. Maka di Jawa yg utama adalah Slamet (selamat), bukan bener (benar).

[3] lihat cuplikan youtube untuk melihat relasi craftmen dimana hal ini sedang distudi oleh Yasmin Aryani, nanti akan saya bagikan cerita proses kami bertemu Yasmin lebih lanjut. Link youtube : https://www.youtube.com/watch?v=cySldJBIlqA&t=52s, hal ini dibahas di dalam postingan https://real-rich.org/2020/08/22/hidup-bersama-sama-arsitektur-yang-rahayu/

[4] foto – foto diambil oleh Jeffri Hardianto (Pepen) dari House of Photographers.

lingkaran contoh lingkaran donat di bidang musik yang dibentuk oleh Gita Gutawa dan Erwin Gutawa yang menaruh cita di tangan anak – anak muda Indonesia.
Kategori
blog

Forming Bricolage

This writing is for Archidiaries’s venue, Reflections#2 which I have prepared a writing and book about it. It’s a reflective journey to find discourse between practice and pedagogy. The both of streams colors my practice in RAW Architecture and more discouses in Omah Library.

There is a reflection that the young generation forgets the old wisdom that can teach us about the building technologies of the past. This old wisdom forms a bricolage architecture. It is an understanding that, to design and build something out of the land, you need to find the roots of Local Genius people. This concept explores how architecture should be tested by the optimization of local resources, building technology, and the implementation method, which together build the structure of local genius.

This presentation explores the root and progression of the social structure that cultivates the building tradition, manifested in generations of traditional craftspeople. It is not limited to the debate of how we should preserve the form of modern architecture, but it rather discusses the evolution of future architecture with the spirit of modern architecture by the introduction of a model of craftsmanship – a total adaptation of craftspeople, architect, builder, and client into one holistic ecosystem. It’s a humble and honest attempt to reflect on RAW Architecture Practice in Indonesia – Forming Bricolage.

Kategori
blog tulisan-wacana

70 Tahun Pendidikan Arsitektur Indonesia – Suara dari Jiwa – Jiwa yang Tidak Kenal Lelah

Saya mengawali judul materi kali ini dengan sebuah judul “Melihat 70 tahun pendidikan arsitektur di Indonesia Suara dari jiwa – jiwa yang tidak kenal lelah.”Saya lulus di tahun 2005, mulai masuk ITB di tahun 2000. Pada waktu saya belajar arsitektur di tingkat dua, saya ingat oleh pak Eko Purwono diajak untuk mensketsa bangunan yang didesain oleh Henri Maclaine Pont, ada perasaan berbeda, yaitu penggunaan materialnya lokal, konstruksinya yang jujur, dan ada rekayasa teknik untuk mengaktualisasikan bentuk bentang lebar. Dari situ saya mulai jatuh cinta dengan arsitektur dan tidak pernah berpikir berhenti memikirkan arsitektur satu hari pun. Pertemuan dengan pak Eko Purwono dan Henri Maclaine Pont menjadi penting.

.
Pertemuan saya dengan Pak Baskoro Tedjo, Pak Ridwan Kamil dan dosen – dosen lain di tingkat setelahnya menjanjikan sebuah lompatan selanjutnya, saya ingat, beliau berkata

“kamu bisa, buat lebih baik lagi”

dan saya ingat itulah sebuah kekuatan yang mendorong membuat saya terpacu untuk ikut menyemangati teman – teman yang lebih muda. Saya ingat untuk tidak pernah lelah untuk lebih baik lagi. dan hal itulah yang mendasari judul kali ini, yang membuat saya membagikan kuesioner ke anak – anak muda dan semua orang lain testimonial mengenai pendidikan kita, hanya karena saya ingin tahu apa sih yang dipikirkan orang lain soal kondisi pendidikan kita sekarang. Teman saya yang berasal dari Serawak bernama Wendy Teo, memberikan masukan kepada saya untuk terus semangat pantang menyerah mewujudkan suatu hal yang kita anggap ideal. Ia berkata,

“If you want to stand for something and you’re someone, if you don’t stand for anything then you’re no one.”


Dari sudut pandang sebagai praktisi di praktik kami RAW Architecture, proses untuk maju bisa dilihat dari 3 buah posisi, yang pertama adalah pentingnya wacana untuk mengkonstruksi hal yang lebih positif .

Materi dari 4 pemateri menyajikan 3 hal yang yaitu mengenai isu setting, ritual, dan memory. Pemaparan ini sebenarnya adalah sebuah reaksi utnuk melihat tegangan yang ada antara ITB sebagai pihak yang merayakan ulangtahun dan melihat bahwa desain berbasis inovasi dan ilmu pengetahuan ini menjadi penting dan kritis untuk masa kini. Sebelum pak Adhi Moersid meninggal kami menginterview pak Adhi, dan melihat bagaimana dahulu ketiadaan pengajar, bagamana pada saat itu mengejar ketertinggalan yang menjadikan pengajaran masuk ke ranah teknis. Hal tersebut menyisakan gap atau celah yang dibahas juga oleh Aswin Indraprastha bagaimana menutup gap tersebut. ada dua hal untuk melihat gap tersebut, gap sebagai sebuah hal yang mengkhawatirkan ataukah gap tersebut adalah sebuah berkat. Di dalam presentasi kedua, presentasi Donny Koerniawan memaparkan bagaimana aktor – aktor yang terlibat di keilmuan perlu untuk merendahkan hatinya untuk merajut antar bidang keilmuan, bahasa beliau adalah menyerahkan axioma keilmuannya untuk bersatu membentuk ilmu baru.
.
Presentasi ketiga dari Sonny Sutanto mungkin justru menampar lagi posisi mendesain, titik inovasi dari sudut pandang ekonomi, yakni ketika produksi sudah begitu murah dimana posisi ide, saya ingat di sesi omah library, Rizal Muslimin membahas hal ini dimana manusia perlu terus berinovasi untuk bisa mereposisi dirinya dari replikasi dan representasi komputasi dari bahasa mesin. Di presentasi ketiga Gusti Ngurah Antaryana menyajikan sebuah potensi akan sebuah hal yang sudah pernah ada, dan sekarang ekosistem yang merdeka ada di depan mata, lalu apa reaksi kita ? pertanyaan ini terus berkelindan di kepala saya ketika mendengarkan 4 pemaparan material ini. Saya pikir mungkin jalan keluarnya ada di ritual yang dijalankan, atau mudahnya eksekusi apa yang akan menjembatani tataran teoritis dan eksekusi atau metode yang dilakukan di dunia nyata yang tidak abstrak. Sebagai contoh di dalam pandemi ini justru kami di studio menjalankan praktik melalui gambar tangan, karena tatarannya adalah konsepsi, perspektif juga dilakukan dengan gambar tangan lalu sampai ada komitmen baru ditransfer ke tools, jadi ada strategi yang perlu dilakukan.
.

Wacana ketelanjangan akibat ekosistem ditunjukkan oleh provokasi yang digagas oleh Marina Abramovic. Selama pertunjukan Abramovic dengan sengaja menjadi pasif, mengubah dirinya menjadi benda hidup demi seni. Dia memutuskan bahwa dia akan berdiri dengan tenang di galeri selama enam jam, di mana penonton diundang untuk menggunakan salah satu dari 72 objek di atas meja di ruangan itu untuk berinteraksi dengannya. Benda-benda itu berkisar dari bulu, kue coklat, minyak zaitun dan mawar, hingga pisau, gunting, pistol, beberapa peluru dan rantai. Instruksi di atas tabel berbunyi: Kinerja. Akulah objeknya. Selama periode ini saya bertanggung jawab penuh. Durasi: 6 jam. Selama enam jam, dia menyerahkan hidup dan tubuhnya sepenuhnya ke tangan orang asing, mengubah dirinya menjadi objek untuk digunakan, seperti yang diinginkan. Selama waktu ini dia setuju untuk tetap pasif, dan tidak responsif sampai eksperimen selesai. Abramovic memutuskan bahwa dia akan mengamati dengan tenang dan lemas. Untuk penonton, tidak ada konsekuensi langsung. Menurutmu, apa yang terjadi ?

Ia berakhir di dalam kondisi setengah telanjang, terluka.

Hal ini sebenarnya memunculkan tingkatan interpretasi selanjutnya dari sebuah pemikiran yang tidak hanya cantik, saya berintepretasi bahwa pemikiran yang menutup gab tersebut membutuhkan sebuah pemikiran yang tidak hanya ekspresif dan perlu untuk menggelontorkan wacana yang diskursif, dari sini saya pikir wacana untuk bertindak aktif dan tidak pasif akan penting, bagaimana yang pasif akan ditelanjangi, tidak berdaya, dan menunjukkan derasnya informasi dan kemajuan memungkinkan terjadinya ketelanjangan tubuh kita.

Di dalam bertindak aktif ada 3 hal yang bisa dipikirkan seperti, yang pertama adalah Setting yang bisa didefinisikan sebagai Kondisi sebelum wacana tersebut digulirkan yang melibatkan proses pembacaan relevansi terhadap problematika yang terjadi (Konteks)
Ritual yang bisa didefinisikan sebagai tindakan – tindakan untuk mengaktualisasikan wacana tersebut yang melibatkan proses aksi – reaksi (praksis). Di dalam proses ini sebenarnya terlibat lebih jauh ranah – ranah keilmuan. Memory yang bisa didefinisikan sebagai Hasil dari Wacana yang sudah menjadi milik publik yang ditandai akan pergeseran/pendalaman/penolakan akibat proses dari aksi reaksi yang muncul dengan repetitif. IAI sebagai asosiasi profesi pun dibentuk dengan sebuah setting, dengan melihat konteks apa yang terjadi disaat itu , dimana di tahun 1960 an ada instruksi dari pemerintah untuk membentuk gabungan perusahaan untuk menunaikan tugas membangun. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan konferensi seperti mungkin yang sedang kita lakukan sekarang, dan disitulah ada sebuah wacana ketidakpuasan, bahwa kedudukan perencanaan dan perancangan tidaklah sama dan tidak juga setara dengan pelaksanaan, ada harga diri yang dipertaruhkan yang berbeda dengan bisnis komersial yan gkeberhasilannya diukur dengan besarnya laba. Lalu pada waktu itu Ir. Soehartono susilo dan Friederich Silaban meneruskan pemikiran yang radikal (ketidakpuasan) tersebut dengan menggalang para arsitek muda dan mengadakan pertemuan – pertemuan lanjutan, di tahun 1959 dihadiri oleh 21 orang, dan selanjutnya di jalan wastukancana di rumah Lim Bwan Tjie, dan akhirnya di tahun 1959 tersebut muncullah Ikatan Arsitek Indonesia.
.
Hal ini adalah hasil dari sebuah kegelisahan, muncul dari yang muda, ada integrasi dari sistem dan di luar sistem, dan mereka memiliki energi / sumberdaya untuk berpikir lebih dari kebutuhan sehari – hari.
.
Salah satu konteks ekonomi yang bisa langsung terasa dalam praktik adalah bagaimana akses terhadap industri software berlisensi misal, kalau menggunakan gambar tangan itu masih gratis, namun apabila melihat dokumen autocad harga 1521 USD, sketchup 649 USD, 3dsmax 1620 USD, REvit 2425USD, Rhino 995 USD ) total satu tahun pertama dibutuhkan kira – kira 110 juta. sedangkan untuk standarisasi gaji di Indonesia, dengan 4,5 -6 jt misal untuk anak – anak yang baru lulus kira – kira sisa gaji hanya 34 juta, setelah dipotong dengan kebutuhan sehari hari. Apabila misal gaji sekitar 10 juta, baru bisa mengakses setelah 2 tahun menabung, dan setelah beli software tidak ada uang tabungan lagi. Lalu pertanyaannya bagaimana kita menjembatani hal ini. Saya ingat china memiliki software cadnya sendiri, dan pertanyaannya bagaimana hal ini bisa dibantu utuk dijembatani ? inilah konteks kita yang menjadi setting, lalu apa wacana yang perlu digelontorkan ? mungkin share resources menjadi penting, pembuatan platform yang menembus batas.

.
Jadi apabila kita semuan ada di sebuah setting dan wacana, lalu apa ritualnya ? mungkin yang penting adalah kecepatan yang menjadi kuncinya, untk merangkul elemen yang tidak hanya ceklist, berbicara antar relasi, antar wilayah, merangkum ulang relasi – relasi yang bhineka. Acara ini adalah permulaan. titik yang penting adalah merangkul yang muda, integrasi sistem, gelisah, dan memiliki energi lebih.

.
Kami di omah library berusaha sekeras mungkin untuk membentuk iklim ekosistem literasi yang baik dengan membantu penulis – penulis, mempermudah jalan, menyambung rasa antar generasi, antar librarian, pemateri, antar peserta, dari situ diharapkan bisa ada sebuah ekosistem yang mengayomi, kolaborasi, keguyuban, kerendahan hati untuk berbagi dimana yang penting adalah bagaimana teori, wacana, kritisme yang terjadi di dalam diskusi kita kali ini bisa berbuah inspirasi yang akan mewarnai lingkup praktik ataupun akademik yang mempengaruhi suasana belajar – mengajar untuk membentuk pribadi yang rendah hati dan mau selalu belajar membentuk budaya ajar mengajar yang diskursif, sebuah proses yang membuka jalan.

Perjalanan Ki Ageng Suryomentaram bisa diibaratkan sebagai analogi perjalanan Pendidikan arsitektur di Indonesia. Kondisi perkuliahan arsitektur yang hanya fokus pada kemampuan teknis seperti penanaman tugas dan tanggung jawab, etika berprofesi, estetika, budaya, dan sosial, membuat arsitek akan mengalami titik dimana ia akan mengalami kegelisahan mendalam terhadap jiwanya. Keprofesian ini akan menjadi membosankan karena berjarak dengan realitas sendiri dan menjadi pengetahuan normatif saja karena hilangnya kerendah-hatian oleh karena itu mari bersama – sama merajut dengan bergotong – royong, Ohana means family, family means nobody gets left behind or forgotten.

Saya berbicara mengenai refleksi di acara diskusi pendidikan arsitektur.
menit 2.58 – 3.08
Kategori
blog

Serendipity after Sketches and Regrets

Saya ingat dulu anak – anak universitas Gunadarma pertama kali mengadakan acara di taman samping rumah orang tua saya, ada 60 orang, mereka mempersiapkan acara dengan riang gembira hanya ingin mendengar satu kuliah dari Mas Barani. Beberapa saat kemudian bersama David Hutama, kami menggagas kuliah seri Omah pertama dan ide How to Think Like an Architect muncul. Acara pertama lancar, kedua lancar, ketiga lancar, keempat hadir hanya 10 orang, acara kelima sukses hadir hanya 3 orang, bahkan satu saat staff kamk saya sms untuk datang ke studio dan ikut acaranya. Hal ini kontras dengan 5 tahun kemudian acara webinar yang bisa sampai mengundang ratusan orang. Pertanyaannya, apakah meledaknya partisipan itu yang dicari ? mungkin itu barometernya. Seperti ketika orang bertanya, berapa jumlah orang di studio kamu ? yang sebenarnya untuk mengukur barometer pendapatan, kapabilitas studio juga. Satu saat saya disadarkan oleh paman saya.

“Terus gali apa yang kamu cari, passion, keluarga, ilmu dan jangan terlena dengan harta, publikasi, ataupun tahta.” (Mungkin ada kemiripan dengan harta, tahta, Renatta yang sedang viral, lol)

Meskipun terlihat riuh rendah, dunia ini sepi kawanku, bagaimana bisa berkontemplasi begitu dunia begitu riuh. Mata – mata saling melihat, kuping – kuping terus mendengar. Inilah Lawang Kala (pintu waktu) yang baru, kita sudah memasuki jaman baru. Dan herannya saya baru sadar, kok ya baru sadar. Untung ada paman saya mengingatkan,

Saya baru menyadari, saat ini saya rindu akan kehangatan kawan – kawan yang dulu saya rasakan ketika menghabiskan waktu di Goldiers Green, Hampsted Heath dan juga saat – saat yang berkesan adalah saat saya dan Laurensia berkunjung ke negara Finlandia salah satu negara yang memiliiki ekosistem desain mengandalkan bermain – main di dalam fase mendidik anak, hal ini di dasarkan common sense bahwa ada relasi yang patut untuk dijaga, relasi akan mimpi.

Di dalam 5000 teman maksimal yang ada di Facebook, berapa orang teman kamu sesungguhnya ? dan beribu atau berjuta orang yang mengikutimu di Instagram, berapa yang benar – benar perhatian kepadamu ? Salah satu tujuan menjalin relasi adalah sisi bisnis, atau memperkenalkan diri untuk menggapai eksistensi. Selain ada juga yang bertujuan untuk bersilahturahmi dengan sahabat lama, tertawa, bersenda gurau dimana lingkaran pertemanan masih kecil. Di saat – saat ini, begitu banyak pertanyaan, apa masih berguna presensi social media kita ? Jadi seberapa mau saya mengubah hidup saya ? Baru hari ini saya bertemu dengan Airin Efferin dan Setiadi Sopandi, dan mereka bercerita tentang proses pembuatan buku Sketches and Regrets. Saya melihat kekuatan proses, memberi dan menerima, tanpa melupakan jejak jiwa. Menariknya hal ini yang saya lihat langka, menjadi personal sekaligus professional. Cerita Airin dan Setiadi Sopandi adalah cerita mengenai sepatu orang lain, dimensi efek arsitektur terhadap kehidupan orang lain, bukan hanya ajang promosi diri. Di karya tulisnya ada kejujuran yang menohok belakang kepala saya untuk bisa terus berefleksi bahwa relasi menjadi penting.

btw, ini IG Live pertama Omah Library yang sebenarnya masih pemula.
Photo by Mathias P.R. Reding on Pexels.com

Setelah itu saya memposting dua postingan di facebook satu untuk berterima kasih akan acara Design United dengan beberapa kawan lain termasuk Anna Herringer, Wendy Teo dan lainnya, setelah itu ada lagi postingan untuk Airin dan Cung. Setelah itu ada permintaan memasukkan email dan password, saya refresh screen facebook saya error, email saya berubah, password saya berubah, beberapa permintaan teman terkirim untuk orang – orang yang saya tidak ketahui, saya mengirim email ke facebook untuk mendeaktifasi acc facebook saya. Anggap saja ini jalan semesta, ha ha ha, toh sudah lama saya malas untuk mengupdate facebook, sambil nungguin recovery, ada – ada aja, lucu sekali dunia ini.

.

Miracle sedang main game yang dikirimkan oleh Miss Atika di sekolah.

HP saya ambil dan saya memanggil sahabat lama saya,

“Bro, apa kabar?”

di satu sisi ia terdengar setengah tertawa dan saya pun tertawa kembali.

“eh kampret katanya, lo kemana aja”

Disitulah kita tertawa tergelak – gelak sambil bernostalgia, atau tepatnya bernostalgila, sambil di sebelah saya, anak saya Miraclerich yang berusia 5 tahun sedang membuka game Mobile Legend dan terdengarlah suara

“Enemy Defeated !”

“anak umur 5 tahun ini ^^ iso2ne”

Kategori
blog

70 tahun Pendidikan Arsitektur di Indonesia

Terima kasih untuk SAPPK ITB yang sudah mengundang saya untuk menjadi penanggap di dalam acara “70 tahun Pendidikan Arsitektur di Indonesia”

Terima kasih untuk SAPPK ITB yang sudah mengundang saya untuk menjadi penanggap di dalam acara “70 tahun Pendidikan Arsitektur di Indonesia”

Dalam rangkaian acara Peringatan 70 tahun Pendidikan Arsitektur di Indonesia, Program Studi Arsitektur, SAPPK menyelenggarakan acara diskusi panel bertajuk: Menuju Desain Berbasis Pengetahuan dan Inovasi (Towards Knowledge-based and Innovative Design) secara daring pada Sabtu, 31 Oktober 2020.

Acara ini diikuti oleh sekitar 150 peserta yang berasal dari kalangan akademisi, profesional, dan mahasiswa dan menampilkan empat pembicara dan empat penanggap yakni:

Para Pembicara:

  1. Aswin Indraprastha, PhD dari Program Studi Arsitektur ITB
  2. Eng Moch. Donny Koerniawan dari Program Studi Arsitektur ITB
  3. Sonny Sutanto, IAI dari profesional
  4. I Gusti Ngurah Antaryama dari Program Studi Arsitektur ITS

Para Penanggap:

  1. Harris Kuncoro dari InPlace Design, USA
  2. Hari Sungkari dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
  3. Realrich Sjarief dari RAW Architecture
  4. Sammaria Simanjuntak, sutradara film.

Moderator: Dr.- Ing Hmasari Hanan, MAE.

Acara ini membuka kembali diskusi tentang disrupsi teknologi dalam proses desain arsitektur dan pendidikan arsitektur, kompetensi lulusan arsitektur dan peluang-peluang baru sebagai akibat perkembangan industri 4.0.

Link acara 70 tahun pendidikan arsitektur di Indonesia: https://www.70thpai.com

Kategori
blog

School of Alfa Omega

In this video, I want to share the our studio design approaches in creating the School of Alfa Omega. It is generally known that the spirit of locality is a process embedded in the practice of sustainable architecture, where the sustainable architecture itself is the product of the process. Meanwhile, the locality itself is an approach in the design process that considers its certain situation and location. In sustainable architecture, there are aspects of optimality that regard as basic criteria to be considered, such as the limitations and conditions in the site, optimization of building technology, and the relation of existing resources that nurtured by its social organizations. Yet, at the same time taking them into account about the risk that might occur in the future by managing its resources optimally that relatively limited. However, is it the same as the process of exploring local identities?

Kategori
blog

Lecture in Locality vs Future

Saya akan berbicara mengenai Pemikiran – pemikiran reflektif tentang desain yang sederhana namun bermakna sekaligus menjalin relasi dengan klien, untuk menghadapi masa Covid ini bersama – sama. Saya juga berbagi mengenai pendekatan karya studio kami yang terbaru menggunakan pendekatan kontekstual kritis melalui penggunaan material lokal, pertimbangan terhadap iklim tropis, dan tentunya berbagi mengenai ekosistem di dalam budaya studio yang eksperimental.

[SEMINAR ONLINE : Locality vs Future] ⁣⁣
⁣⁣
Salam Arsitektur!⁣⁣
Halo teman teman, HMA Atrivm mengadakan seminar online via Google Meets, dengan pembicara seminar ini adalah :⁣⁣
⁣⁣
Arch. Dipl. Ing. Cosmas D. Gozali, IAI, (Atelier Cosmas Gozali)⁣⁣
Realrich Sjarief (Realrich Architecture Workshop-RAW Architecture) @rawarchitecture_best
⁣⁣
Hari, tanggal: Sabtu, 24 Oktober 2020 pk. 12.00 WIB – selesai (diharap login 15 menit sebelumnya)
⁣⁣
Mekanisme mengikuti sharing ini: ⁣⁣

  • Mendaftar dengan mengisi link google form di bawah.⁣⁣
  • Ketika peserta sudah terdaftar, undangan link meets akan dikirimkan melalui email pribadi peserta seminar.⁣⁣
    ⁣⁣
    LINK PENDAFTARAN⁣⁣
    https://forms.gle/MqBvTGU5AiWQ8mHZ8
    (atau cek bio @hma_atrivm)⁣


    CP : 085225082255 (Tirza) & 088806266191 (Emma)⁣⁣
Kategori
blog book writing tulisan-wacana

Rentang Asa dalam Ragam Rona Nusantara yang Terselubung

“…the man who regards his life as meaningless is not merely unhappy but hardly fit for life.” (Albert Einstein)

Victor Frankl menghabiskan waktu 3 tahun di dalam kamp konsentrasi. Ia menyaksikan bagaimana anak dan istrinya dibunuh di dalam kamp konsentrasi tersebut. Ia sendiri menghabiskan waktunya dengan bercakap – cakap membuat simulasi mengenai ruang kelas, tempat ia sedang memaparkan sebuah materi ke murid – muridnya. Materi tersebut adalah sebuah terapi terhadap dirinya sendiri, namanya logotherapy. Logotherapy adalah Konsep yang didasarkan pada premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian yang menjadi dasar pemikiran) bahwa kekuatan motivasi utama seorang individu adalah untuk menemukan makna dalam hidup.Semangat yang muncul di dalam kuliah Nusantara hadir seperti bayi mungil yang tanpa pretensi, ia lahir dengan kekuatan cinta, sebuah keinginan untuk merekonsiliasi, memperbaiki, membangun semangat Arsitektur di Indonesia.

Semangat yang muncul di dalam kuliah Nusantara hadir seperti bayi mungil yang tanpa pretensi, ia lahir dengan kekuatan cinta, sebuah keinginan untuk merekonsiliasi, memperbaiki, membangun semangat Arsitektur di Indonesia. Lagu terima kasih Ayla adalah lagu yang digubah Jaya Suprana untuk istrinya Ayla sebagai ungkapan terima kasih dan puji syukur.

Di dalam perenungan mengenai Nusantara setidaknya ada sebuah ide bahwa Indonesia yang dikaitkan Nusantara adalah negara besar, ada sebuah ide bahwa Indonesia yang dikaitkan Nusantara sebenarnya bagian dari sebuah tatanan yang lebih besar lagi, dan ada ide juga bahwa Indonesia tidaklah besar – besar amat. Saya percaya bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan sebuah ide adalah sebuah awalan, yang membantu untuk menggulirkan ritual – ritual yang lebih besar yang akhirnya bergulir menjadi kenyataan – kenyataan baru. Tanpa adanya ide kita tidak bisa maju jalan dan Frankl pun tidak akan bisa merekonsiliasi trauma yang dialaminya.

Ada kontradiksi di lukisan School of Athens yang dilukis oleh Raphael juga perjalanan hidup Suryomentaram. Di lukisan Raphael Terlihat figur Plato yang menaikkan tangannya dan Aristoteles yang menurunkan tangannya menunjukkan pentingnya bagaimana berpikir fundamental, atau mengakar, berbasis pada pengamatan lapangan. Berpikir fundamental ini di dalam definisinya adalah bagaimana menemukan akar dari sebuah hal yang sedang dibahas. Hal ini terkait dengan radix atau berpikir radikal. Untuk konteks Indonesia yang terajut dengan berbagai silang budaya, hal ini terlihat dari perjalanan Suryomentaram untuk melepas gelar kebangsawanannya dan berteman dengan rakyat jelata, menikmati realitas sosial yang tidak berjarak. Proses meniadakan ini mewarnai dinamika aksi reaksi yang menelurkan sikap filsafati yang berkelindan terhadap aksi reaksi diri pribadi dan kosmologi yang lebih luas sampai ke tataran negara dan dunia, disinilah muncul kekuatan sikap untuk mendapatkan fundasi yang kokoh dan dahsyat.

Berpikir radikal adalah sebuah fundasi, sebelum bisa menerapkan bagaimana berpikir kritis. Pembahasan pengetahuan yang ilmiah, ini dimulai dari Yunani dengan berusaha untuk menjelaskan dasar teori sebagai sebuah takaran intelektualitas, dimana kebudayaan pra sejarah Mesir – Mesopotamia, Sumeria, Babilon, dan India masih di ranah Mistis – Praktis. Di dalam kebudayaan di Yunani, sifat ilmiah dari sebuah pengetahuan muncul karena mengandung hal – hal yang pasti. Dimana terbagi ke dalam dua kutub yang dibahas di atas, Plato dengan pengetahuan yang universal dan Aristoteles dengan menjelaskan mengapa “the why”.

Di dalam buku Nusantara yang ditulis oleh Abidin Kusno (bisa dipesan disini) penelisikan “the why” dituliskan oleh Suwardana Winata di prolog dan Mohammad Nanda Widyarta di epilog. Suwardana melihat bahwa keterkaitan pembentukan brand di dalam dunia digital berpotensi memundurkan perkembangan keilmuannya.

Suwardana menulis “Arsitektur Nusantara dalam perdebatannya, secara terus menerus dicari dan diungkap dengan berbagai konteks pemikiran maupun filosofi serta perancangannya. Berbagai pendekatan dan metodologi digunakan untuk mencari atau mengungkap Arsitektur Nusantara itu. Dalam era digital, pencarian arti Arsitektur Nusantara dapat menghasilkan berbagai kemungkinan, akibat pembentukkan opini (tafsir opini). Pembentukkan opini ini  dapat “nyasar”, dengan hanya menjadi brand atau label bahkan hanya sebuah tag. Dalam era yang didominasi visual ini,  peran label ini memiliki pengaruh besar dalam membangun opini publik bahkan pembentukkan pengetahuan Arsitektur Nusantara. Perjalanan Arsitektur Nusantara, perlu terus “dikembangkan” dari berbagai arah, sehingga Arsitektur Nusantara tidaklah dapat didefinisikan sebagai “single” Selain itu perlu juga diperhatikan dengan opini “Arsitektur Nusantara” …oleh para star atau publicist digital yang akan menjadikan Arsitektur Nusantara hanya sebagai trend yang sifatnya sangat temporer dan meaningless.”

Di satu saat pada waktu saya memberikan kuliah di Universitas Udayana Bali, saya bertemu dengan Pak Josef Prijotomo, ia menitipkan satu manuskrip yang ketika saya buka, tulisannya seperti tulisan seorang penutur. Isinya tidak terstruktur, dan saya jujur saja kesulitan untuk menatanya. Akhirnya saya putuskan bahwa kami perlu menghabiskan waktu untuk berbincang- bincang dan membahas kuliah tersebut, sehingga saya masih belum bisa melanjutkan untuk menyunting manuskrip tersebut. Pada dasarnya, manuskrip itu perlu diolah kembali terutama dengan referensi apa ia akan dipadu padankan, banyak referensi yang belum jelas apakah itu hasil dari ekspedisi ataukah dari tutur – tuturan Pak Josef sendiri, dari situlah muncul sebuah dialog tentang, premis, pembuktian lapangan dan dasar teori yang digunakan. Disinilah masalahnya namun juga disinilah potensinya. Manukrip tersebut masih membutuhkan orang – orang yang perlu turun tangan untuk meneruskannya, wacana yang digagas beliau sebenarnya adalah wacana kritisisme yang dimulai dari refleksi hidupnya, dan semangat tersebut diperlukan untuk diteruskan, ditransformasikan ke dalam energi yang baru kembali.

Potensi seperti gambaran daya juang yang menjadi hulu ledak, neuron – neuron perjuangan di dalam kepala, hati dan kaki-tangan orang – orang yang sedang memperjuangkan pemikirannya untuk apa yang dicintai. Semangat daya juang ini menular, membuat rasa gairah yang tinggi, sebuah proses cinta. Proses tersebut pastilah melibatkan rasa benci, rasa suka, jarak dan tanpa jarak. Potensi ini muncul di dalam sebuah bentuk paguyuban.

Lain lagi potensi, lain lagi masalahnya, masalahnya muncul di dalam komunitas ilmiah dimana di dalam proses pembuktian proses berteori, yang dihindari adalah bagaimana proses penyusunan teori menjadi dasar dari proses berideologi. Dimana proses berideologi tersebut perlu untuk diungkapkan apa posisinya, apa urgensinya dan keputusan sejauh mana sang pemikir bisa menjaga jarak dari teorinya sendiri untuk bisa diuji oleh komunitas ilmiah.

Victor Frankl menulis Man’s Search for Meaning di dalam rekonsiliasinya terhadap penindasan yang dialaminya. Rekonsiliasi pemikiran ini terpancar di dalam proses kuliah Nusantara yang ada di Omah Library. Frankl menulis mengenai 3 tahap bagaimana seseorang bisa menemukan makna di dalam hidup. Pertama, dengan membuat karya atau melakukan perbuatan. Hal pertama yang dilakukan Jerman untuk bisa merekonsiliasi setelah perang dunia kedua adalah mengakui kesalahan dan membuat kenangan – kenangan tersebut menjadi kenyataan dengan banyaknya situs museum yang dibangun sebagai sarana refleksi bahwa Holocoust nyata – nyata terjadi dan memberikan pelajaran mahal mengenai korban yang muncul. Hal ini juga muncul tersirat di dalam diskusi yang muncul justru setelah pemaparan Abidin Kusno yang bisa dilihat di lembar lampiran.

Kedua, dengan mengalami sesuatu pengalaman baru atau bertemu orang lain. Pentingnya untuk bisa terhubung dengan orang lain, atau fakta – fakta baru bisa membuat kenyataan yang baru. Kenyataan tersebut misal sifatnya tidak tunggal atau ganda juga tidak sederhana dan kompleks. Fumihiko Maki perlu membuat teori Investigations in Collective Form, untuk mengantarkan kedahsyatan Jepang di dalam pembentukan teori yang akhirnya menyemangati munculnya gerakan kontemporer selanjutnya di Jepang yang mempengaruhi dunia barat . Hal ini juga ditunjukkan Bernard Rudofsky dengan penyingkapan arsitektur tanpa arsitek di tahun 1960 an dimana ia melakukan investigasi dan menelurkan pemikiran arsitektur tanpa turunan.

Ketiga, sikap yang kita ambil sebagai respon terhadap penderitaan yang tak terhindarkan. “Keadaan ini dipicu oleh trauma yang dihadapi setiap harinya di dalam kamp konsentrasi. Pentingnya keterbukaan di dalam melihat sebuah permasalahan. Perbedaan sudut pandang filsafati adalah, bagaimana medekonstruksi cara berpikir yang kaku dan merelasikan kedalam kebenaran yang situasional. Relasinya seperti, kekayaan situasional budaya, ekonomi, sosial di Indonesia misal, begitu kaya. Pemikiran filsafati berguna untuk menemukan akar keilmuan, proses perjalanannya seperti masuk ke hutan rimba yang pekat dan gelap diantara paradoks pandangan yang ideal dan pandangan yang fundamental. Perjalanan tersebut dimulai dari mempertanyakan hutan tersebut, dengan melihat gambaran besar hutan – hutan yang ada, dan apa sih hutan yang mau kita jalani ? terlebih lagi hal ini mempertanyakan apa yang kamu mau cari, passion apa yang kamu mau cari ? ataukah ada yang ingin dibuktikan ataupun sebenarnya tidak perlu membuktikan apa – apa. Pemikiran filsafati sebenarnya menjanjikan sebuah proses kedewasaan berpikir untuk menguraikan kekusutan terminologi, sebuah pemikiran yang terbuka (open ended) seperti kutipan diatas. sebuah progresi yang regresif, di satu sisi ia menjanjikan progress akan kedewasaan, disatu sisi mendefinisikan arti sebuah progresi dan regresi. Bahwa pada akhirnya, memahami maju mundurnya cara berpikir membuat tidak ada yang tidak mungkin di dalam alam pikir. Pertanyaannya apakah Nusantara patut untuk diperbincangkan ?

Melihat Indonesia yang sedang membangun dirinya, terkadang kita mungkin perlu bertanya – tanya di dalam kecepatan yang demikian pesat, bisakah kedua potensi dan masalah tersebut berdialog menjadi sebuah alfa (awal) dan omega (akhir). Kedua hal tersebut jelas – jelas sama – sama memiliki posisi masing – masing, dan saya pikir keduanya sedang mencari makna untuk kehidupannya masing – masing. Makna untuk rekonsiliasi trauma di dalam perjalanannya, penindasan, dan keleluasaan yang terjadi di dalam kehidupan setiap orang terpancar, terpantul dan terefleksi di dalam tata laku.

Melihat Indonesia yang sedang membangun dirinya, terkadang kita mungkin perlu bertanya – tanya di dalam kecepatan yang demikian pesat, bisakah kedua potensi dan masalah tersebut berdialog menjadi sebuah alfa (awal) dan omega (akhir). Kedua hal tersebut jelas – jelas sama – sama memiliki posisi masing – masing, dan saya pikir keduanya sedang mencari makna untuk kehidupannya masing – masing. Makna untuk rekonsiliasi trauma di dalam perjalanannya, penindasan, dan keleluasaan yang terjadi di dalam kehidupan setiap orang terpancar, terpantul dan terefleksi di dalam tata laku.

Abidin Kusno membuka kuliah pertama dengan sebuah tema reposisi, hal ini diperlukan untuk melihat Nusantara dari sudut pandang yang lebih luas. Diawali dengan Abidin Kusno, seseorang yang bisa melihat dari dalam dengan relasinya dengan Nusantara dan juga dari luar. Dalam kuliah wacana Nusantara: Reposisi, Abidin Kusno menampilkan 5 posisi/konsepsi nusantara, mencoba menunjukkan “nusantara” dalam sebuah konstruksi yang tidak lepas dari konteks suatu ruang dan waktu, politik negara, dan imaginasi intelektual & arsitek. Ia menjelaskan bahwa kelima posisi ini bisa saling berkelindan meskipun ada kontradiksi di antara mereka. Misalnya yang 1 & 2 itu tipis garis pemisahnya dan 3, 4, 5 erat hubungannya meskipun tekanannya berbeda.
1. Melalui Gajah Mada The Periferi: tanah di sebrang lautan (dari subjektivitas sebuah pusat). Dalam kehidupan zaman Majapahit, arsitektur nusantara mengandung 2 pengertian: arsitektur tanah sebrang/luar negeri, dan arsitektur pan-Majapahit style, atau mungkin sebuah empire style?
2. The Geo-body Melalui perspektif nation-state. Integrasi: penyatuan konsentris. Merupakan sebuah posisi yang berakhir dengan meng-nasionalisasikan nusantara. Menjadi ekspresi anti-kolonialisme dan legitimasi bagi formasi negara.
3. Melalui pengaruh austronesia Maerupakan konsep Aquatic space: yang berdasarkan aliran/arus/air. Posisi ketiga ini menjadi simbol tradisi bahari yang telah lama mengalami marginalisasi.
4. Melalui Denys Lombard Beyond the Nation-State. Yang dimaksud adalah posisi nusantara sebagai Persilangan: Hibrida budaya. Misal pada akhirnya ada yang klaim nusantara itu milik Indonesia atau Malaysia, tidak masalah, tapi tetap saja formasi budaya dari kedua negara ini adalah nusantara. Nusantara menjadi ungkapan kosmopolitanisme.
5. Melalui Josef Prijotomo Resistensi: Perlawanan dalam Kesetaran. Gerakan nusantara terjadi pada saat ada tekanan dari budaya hegemoni global yang cenderung memarginalisasikan sumber lokal. Sebagai perlawanan, nusantara diletakkan dalam posisi yang setara dengan kekuatan lain.

Pada akhirnya, Abidin Kusno merasa bahwa nusantara itu adalah istilah dimana keadaan ‘struggle over culture’ terjadi. Dan diharapkan lahir berbagai positioning lain sehingga membentuk sebuah himpunan yang beragam. Setelah itu kuliah disambut oleh 10 orang lain yang membicarakan arsitektur nusantara di dalam 10 buah perjuangan yang berbeda, dengan definisinya sendiri tentang Nusantara.

Di dalam Omah Library kami mengambil Nusantara untuk melihat apa yang penting dari kata tersebut, sejauh mana dampaknya untuk diperbincangkan, lalu pertanyaannya sejauh mana hal ini relevan di dalam komunitas – komunitas atau pribadi – pribadi yang saling berkelindan di dalam diskusi di Omah Library. Abidin Kusno mengambil 5 buah reposisi yang berbeda di dalam melihat Nusantara. Reposisi yang terakhir adalah latar belakang mengapa kuliah wacana Nusantara ini digulirkan.

Terkadang setelah acara saya menelpon Pak Josef untuk menanyakan pendapatnya, untuk melihat situasi yang mengukung beliau, apa perasaan beliau dengan pertanyaan, pernyataan yang satu dua hal terdengar mengadili dengan pretensi dari pihak yang berdiskusi. Hal ini saya lakukan karena beliau adalah orang yang patut diapresiasi dengan pencurahan seluruh energi hidupnya di dalam penyebaran dan kelahiran Arsitektur Nusantara. Ada beberapa kemungkinan – kemungkinan muncul di dalam diskusi yang dilakukan di Omah Library, mengenai bagaimana forum diskusi dan pemateri memaknai kekayaan dinamika budaya yang mewarnai wacana Nusantara di arsitektur Indonesia ke depannya.

  1. Munculnya diskusi yang kritis hasil dari pertemuan antargenerasi atau antarpengalaman orang – orang yang gelisah. Ada benang merah bahwa ketakutan yang muncul adalah wacana komersialisasi ataupun kompetisi yang mendegradasi perjuangan akan mencintai arsitektur tersebut. Dengan melihat akar permasalahan yang muncul, setidaknya bisa dipisahkan kompetisi dan komersialisasi dari perbincangan Nusantara yang lebih serius. Ataukah memang perlu ada dewan pengawas Nusantara untuk meregulasi bagaimana komersialisasi dan kompetisi Nusantara ini diturunkan ke ranah praktis. Saya harap tidak karena dasar filsafati yang terbaik adalah bagaimana membawakan diri dengan tepat, ketepatan ini ditunjukkan dengan suri Tauladan, memberikan ruang gerak pada penerus yang masih muda dan gelisah.
  2. Hubungan guru murid yang kental antara beberapa pembicara dengan Pak Josef Prijotomo. Keambiguannya terlihat dan terus muncul, meskipun diklarifikasi oleh beberapa orang yang membuat definisi – definisinya masing – masing dan berkelit dari hubungan yang memang nyata terjadi. Di dalam perdebatan Arsitektur Nusantara, saya masih melihat bahwa ada potensi luar biasa, hanya saja mungkin tongkat estafet itu sendiri perlu disibakkan oleh generasi penerusnya. Di antara hubungan guru murid tersebut, terlihat bahwa Pak Josef sendiri seakan – akan menantang murid – muridnya sekaligus memberi restu antara rasa euwuh pekewuh sekaligus kecintaan terhadap murid – muridnya. Hal ini perlu digawangi mungkin dengan kekuatan literasi.
  3. Adanya kesepahaman bahwa proses berpikir kritis diperlukan dengan saya tambahkan sebuah kebijaksanaan untuk merangkul orang yang tua dan yang muda dengan menjaga jarak dari hegemoni politik yang tidak diperlukan. Untuk itu pihak yang sadar (atau mudahnya bisa diinisiasi dengan Omah Library dan Jaringan Arsip Arsitektur Indonesia yang diinisiasi Mohammad Cahyo Novianto) perlu membantu menggawangi pendekatan akar rumput dari muda dan tua, antargenerasi hal ini dilakukan dengan bingkai acara perjalanan mengenal Indonesia dimana ini adalah usaha untuk merangkul orang – orang yang sudah mendokumentasikan arsitektur vernakular Indonesia untuk disebarkan dan memperkaya literasi arsitektur vernakular di Indonesia. Kita semua perlu bersatu bukan tercerai berai, untuk bersatu tersebut ditunjukkan dengan tauladan yang baik dengan menghindari pretensi yang muncul dalam menuangkan pemikiran.

Mari melangkah, banyak isu – isu lain yang layak dibahas seperti isu lingkungan, gender, ras, ekonomi kerakyatan, studio desain, dan banyak lagi. Mungkin kita akan bisa mendefinisikan Nusantara kembali setelah kita berjalan dan mengalami sebuah perjalanan ke empat penjuru dunia Barat-Timur, Utara-Selatan untuk mendapatkan kompas di dalam menjalani reposisi yang muncul di kemudian hari. Untuk menunggu hari itu tiba, mari kita mulai dengan Abidin Kusno, sebuah reposisi akan wacana Nusantara. Saya pikir jarak diperlukan untuk melihat bagaimana kedahsyatan Arsitektur Nusantara, energi yang mewakili salah satu dinamika arsitektur Indonesia.

Untuk menutup keseluruhan sesi ini, ijinkan saya meminjam pernyataan Mohammad Nanda Widyarta yang dituliskan ke dalam epilog buku,

Nanda menulis, “Menurut hemat saya, bila Arsitektur Nusantara kehilangan aspek perlawanan ini, maka ia akan menjadi kajian yang “itu-itu saja.” Maksudnya, ia masih juga terjebak dalam pengetahuan sebagaimana didefinisikan berdasarkan sudut pandang si pemilik hegemoni. Penggunaan istilah seperti “kearifan lokal” misalnya, masih menyiratkan adanya hegemoni dalam pemikiran si pemikir/periset. Arsitektur Nusantara sepatutnya bertindak sebagai pengingat bahwa ada banyak arsitektur-arsitektur lain di dunia yang juga patut diangkat.”

Dengan selesainya epilog dari Mohammad Nanda Widyarta di buku Nusantara kita bisa bersama – sama mengucapkan :


Hi semesta, ayam sudah berkokok berulang kali, selamat pagi, mari berjalan !

Dan pada akhirnya, saya perlu mengucapkan terima kasih terutama kepada Abidin Kusno yang mau berjibaku untuk mereposisi sebuah terminologi Nusantara dan memberikan tongkat estafetnya kepada kami – kami melalui Omah Library. Terima kasih juga kepada 10 pembicara yang sudah meluangkan waktunya untuk menyumbangkan 10 jembatan pemikiran reposisi lanjutan dari kuliah Abidin Kusno. Kesepuluh orang tersebut adalah Indah Widiastuti, Eka Swadiansa, Robin Hartanto, Mohammad Cahyo Novianto, Anas Hidayat, Revianto Budi Santosa, Mitu M. Prie, Defry Ardianta, Altrerosje Asri Ngawi, dan Johannes Adiyanto. dari kesepuluh orang tersebut kita memulai konstruksi pemikiran yang terbuka, rajutan pembangunan konstruksi yang sehat.

Terima kasih terbesar ada di Kirana Ardya Garini yang sudah membantu menyimpulkan kuliah demi kuliah, menemani di dalam sesi – sesi yang ada di dalam Nusantara, mengkordinasikan dan menjadi jembatan untuk banyak pihak. Juga kepada Satria Agung Permana, Amelia Mega Djaja, Dimas Dwi Mukti Purwanto untuk teman berdiskusi tanpa henti di dalam Omah Library, jembatan yang terakhir ini adalah doa untuk mereka berempat menjadi mata air baru untuk arsitektur Indonesia.

Dengan selesainya epilog dari Mohammad Nanda Widyarta di buku Nusantara kita bisa bersama – sama mengucapkan :

Hi semesta, ayam sudah berkokok berulang kali, selamat pagi, mari berjalan !
Publikasi buku yang dibuat oleh tim Omah Library, Tulisan ini berjudul Rentang Asa dalam Ragam Rona Nusantara yang Terselubung, atas dasar usulan Jolanda Atmadjaja untuk menanti – nanti kekuatan semesta terkait dinamika budaya yang melingkupi kebaikan setiap orang untuk selalu berproses dalam perjuangannya masing – masing.

Omah library dengan bangga mengeluarkan buku baru berjudul Nusantara: Reposisi
.
Masa mendekati perayaan 75 tahun merdekanya Republik Indonesia ini adalah saat yang tepat untuk menelusuri kembali imajinasi kita tentang negara, tak terkecuali juga hubungannya dengan ruang, makna, dan sejarah. Penelusuran tersebut kerap kali berujung dengan pertanyaan seputar “bagaimana kita memaknai Nusantara?”

Pemesanan buku @omahlibrary dapat melalui link di bio bit.ly/OrderOMAH atau hubungi Vivi (WA) 08998898239

Kategori
blog tulisan-wacana

Cermin Aku

Baru saja kemarin saya bertemu dengan teman saya Eric Dinardi, dan klien saya yang sudah seperti keluarga saya, Djonny Taslim. Pertemuan itu berlangsung karena rumah Djonny Taslim yang saya panggil om di Danau Biru, akan difoto oleh Eric Dinardi. Pagi itu Eric sudah melakukan sesi foto di pagi hari, dan saya baru datang.
.
Saya menyapa Eric dan Om Djonny, dan membuka jalan untuk masuk ke kamar beliau yang privat, Joan (istri Eric) menyemprotkan disinfektan, dan membantu menata, merapihkan perabot dibantu oleh asistennya. begitulah proses yang berlangsung ketika pemotretan, terlihat mudah tetapi membutuhkan persiapan.
.

Setelah pemotretan di kamar Om Djonny selesai, kami semua dipersilahkan untuk makan pagi bersama, sementara Om Djonny bersiap – siap untuk mandi karena akan berangkat kerja. Di meja makan disediakan bakmi 1 porsi, dan bihun 2 porsi. Om Djonny bertanya “kamu mau yang mana Rich ?” saya bilang, saya bihun saja om, supaya Eric dan Joan bisa saling mencicipi masakan yang berbeda. Setelah itu kami makan dan Om Djonny mempersiapkan dirinya, setelah menyetel lagu dengan speaker yang disiapkan dari dalam rumah.
.
Ketika kami makan, awal mulanya Eric mempertanyakan hal – hal yang fundamental, seperti “pernah kepikiran ngga sih ? saya ini maunya mencari apa ?” saya sebenarnya bingung darimana Eric bisa mendapatkan pertanyaan seperti itu. Hal ini seperti komposisi yang dimainkan oleh Ravel S. Gunardi dengan karya Victorious dari Levi Gunardi bahwa ada hal yang memuncak, sebuah keinginan untuk memurnikan diri. Diskusi kemudian berlanjut ke hal – hal seperti pendalaman diri, karya, dan pentingnya metode, skill untuk mempertajam karya, sampai satu saat Om Djonny Taslim bergabung duduk di meja makan. Saya kemudian mengarahkan pertanyaan ke beliau, dan meminta beliau mengeluarkan pendapatnya mengenai pendalaman diri, desain, arsitektur, fotografi sampai industri. Ia membuka diskusi dengan sebuah kalimat,

Ketika kami makan, awal mulanya Eric mempertanyakan hal – hal yang fundamental, seperti “pernah kepikiran ngga sih ? saya ini maunya mencari apa ?” saya sebenarnya bingung darimana Eric bisa mendapatkan pertanyaan seperti itu. Hal ini seperti komposisi yang dimainkan oleh Ravel S. Gunardi dengan karya Victorious dari Levi Gunardi bahwa ada hal yang memuncak, sebuah keinginan untuk memurnikan diri.
foto bersama Eric dan Joan bertemu dengan Djonny Taslim. Diskusi kemudian berlanjut ke hal – hal seperti pendalaman diri, karya, dan pentingnya metode, skill untuk mempertajam karya, sampai satu saat Om Djonny Taslim bergabung duduk di meja makan. Saya kemudian mengarahkan pertanyaan ke beliau, dan meminta beliau mengeluarkan pendapatnya mengenai pendalaman diri, desain, arsitektur, fotografi dampai industri. Ia membuka diskusi dengan sebuah kalimat,

“Jadi terkenal salah, ngga terkenal pun salah.”

Ia menjelaskan bahwa sebenarnya kami perlu mempertanyakan apa yang kami mau raih, di antara menjadi terkenal ataupun tidak terkenal, ada maksud masing – masing yang kontekstual dengan kebutuhan dan keinginan, juga persiapan. Ia berkata bahwa, penting untuk memiliki kawan untuk bertukar pikiran, jangan maju gegabah ke sebuah peperangan, menjadi terkenal ataupun tidak terkenal tidak masalah asalkan ada kebersamaan. Segala hal perlu disiapkan, sistematika pemikiran, ekonomi, hubungan relasi, dan hal – hal yang mendasar supaya begitu kamu terjun, kamu akan berprestasi. Dan pada akhirnya ia menitipkan ke kami, dan ingat tidak semua orang bisa menghargai karya kamu, yang terpenting, kamu harus bisa menunjukkan kenapa satu karya itu lebih unggul dari yang lain, dengan bukti, dan semua pembuktian itu membutuhkan waktu.

Batu Andesit yang disusun dengan pengaturan yang natural, kesan tidak teratur namun teratur, pola dalam kebersahajaan sesuai dengan karakter kesederhanaan. Dan pada akhirnya ia menitipkan ke kami, dan ingat tidak semua orang bisa menghargai karya kamu, yang terpenting, kamu harus bisa menunjukkan kenapa satu karya itu lebih unggul dari yang lain, dengan bukti, dan semua pembuktian itu membutuhkan waktu.
Foto bersama Djonny Taslim di rumah yang didesain di Danau Biru, sebuah konsep rumah kommunal yang dilanjutkan di dalam konsep rumah di Bukit Golf, mengenai hidup bersama – sama, sebuah konsep harmoni. Pertemuan kali ini berlangsung kira – kira hari rabu, 3 hari yang lalu. Saya masih mengendapkan, bahwa memang kami, Eric, Om Djonny, dan saya sendiri, berelasi dan kami perlu untuk saling mendukung satu sama lain, dan hal tersebut diwarnai saat – saat makan bersama di pagi hari di Danau Biru.

Pikiran saya kembali ke masa 2011, rumah Om Djonny dibangun dalam jangka waktu hampir 5 tahun, dan 9 tahun kemudian, baru kami berkumpul bersama, dan Eric ada disitu untuk memotret bagaimana rumah ini selesai dari tahun 2017. Waktu menjawab soal kualitas relasi, keutuhan, dan rasa kesabaran dari hanya hubungan klien dan arsitek. Pertemuan itu berlangsung kira – kira hari rabu, 3 hari yang lalu. Saya masih mengendapkan jawaban dan pertanyaan yang muncul, bahwa memang kami, Eric, Om Djonny, dan saya sendiri, berelasi dan kami perlu untuk saling mendukung satu sama lain, dan hal tersebut diwarnai saat – saat makan bersama di pagi hari di Danau Biru.
.
Sore ini Laurensia mengirimkan cerita ini ke saya :
.
Seorang Anak Muda sedang membersihkan aquarium Paman nya, ia memandang ikan arwana agak kebiruan dengan takjub..
Tak sadar Pamannya sudah berada di belakangnya .. “Kamu tahu berapa harga ikan itu?”. Tanya sang Paman..
.
“Tidak tahu”. Jawab si Anak Muda..
.
“Coba tawarkan kepada tetangga sebelah!”. Perintah sang Paman.
.
la memfoto ikan itu dan menawarkan ke tetangga .. Kemudian kembali menghadap sang Paman.. “Ditawar berapa ?” tanya sang Paman. .
“50.000 Rupiah Paman”. Jawab si Anak Muda dengan mantap.
.
“Coba kau tawarkan ke toko ikan hias!!”. Perintah sang Paman lagi.
.
“Baiklah Paman”. Jawab si Anak Muda. Kemudian ia beranjak ke toko ikan hias..
.
“Berapa ia tawar ikan itu?”. Tanya sang Paman.
.
“800.000 Rupiah Paman”. Jawab si Anak Muda dengan gembira, ia mengira sang Paman akan melepas ikan itu.
.
“Sekarang coba kau tawarkan ke Juragan Joni Rahman (nama – penamaan cerita ini tidak ada kaitan dengan Djonny Taslim ataupun siapapun, saya hanya menampilkan mentah – mentah cerita yang dikirimkan Laurensia)

, bawa ini sebagai bukti bahwa ikan ini sudah pernah ikut lomba”. Perintah sang Paman lagi. “Baik Paman”. Jawab si Anak Muda. Kemudian ia pergi menemui Pak Joni yang dikatakan Pamannya. Setelah selesai, ia pulang menghadap sang Paman.
.
“Berapa ia menawar ikannya?”. “50 juta Rupiah Paman”.
la terkejut sendiri menyaksikan harga satu ikan yang bisa berbeda-beda.
.
“Nak, aku sedang mengajarkan kepadamu bahwa kamu hanya akan dihargai dengan benar ketika kamu berada di lingkungan yang tepat”. “Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenal kita”. “Kita adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita”. “Kita istimewa dalam penglihatan orang-orang yang mencintai kita”. “Kita ada lah pribadi yang menjengkelkan bagi orang yang penuh kedengkian terhadap kita”. “Kita adalah orang jahat di dalam tatapan orang-orang yang iri akan kita”. Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing masing terhadap kita, maka tak usahlah bersusah payah supaya kelihatan baik dimata orang.

Tapi berusahalah terus melakukan kebaikan dan menjalankan apapun dengan keikhlasan.

Refleksi ini muncul secara paralel di dalam wacana perbincangan arsitektur soal Nusantara dari Altrerosje Asri dan Johannes Adiyanto soal pentingnya membuka diri dan pentingnya merendahkan hati untuk bercermin kepada situasi – situasi yang membuat manusia perlu untuk beradaptasi dan mempertanyakan pemikirannya sendiri, bahwa perubahan itu ada, tidak ada yang sempurna, mari belajar kembali. Dari mereka berdua ada sebuah kegelisahan untuk melangkah maju, termasuk dialog dengan Eric Dinardi dan Djonny Taslim, termasuk Joan.

Cerita – cerita di atas ini setidaknya membuktikan satu hal, bahwa terkadang waktu bisa menjawab segalanya, dan memang Tuhan bekerja dengan caranya yang indah dan misterius untuk mempertemukan jiwa – jiwa yang gelisah.

Cerita – cerita di atas ini setidaknya membuktikan satu hal, bahwa terkadang waktu bisa menjawab segalanya, dan memang Tuhan bekerja dengan caranya yang indah dan misterius untuk mempertemukan jiwa – jiwa yang gelisah.


Lalu ada suara yang hangat menyapa,

“makanya bangun, dan hari ini jangan lupa berdoa ya, dan membuka dirimu terhadap hal – hal yang baru”

Kategori
blog tulisan-wacana

Jalan yang Sepi

Minggu depan, kuliah S3 dimulai. Ada 3 mata kuliah yang saya ambil, pertama adalah mata kuliah wajib metodologi penelitian yang diampu oleh Professor Iwan Sudrajat, dan kolokium yang diampu oleh Professor Sugeng Triyadi, dan Dr. Ir. Himasari Hanan. Yang kedua adalah filsafat ilmu pengetahuan yang diampu Professor Bambang Sugiharto.

The Road Not Taken – Jalan yang tidak diambil, Puisi dari Robert Frost.

Yang menarik adalah kenapa saya mengambil studi S3 ini, apakah ada waktunya ? lalu apa yang dicari ? Saya ingat satu kawan taruhlah namanya Abramovic menanyakan, atau bukan menanyakan tapi memberikan pernyataan yang cukup aneh mungkin terkesan punya presumsi tertentu,

“elo niat banget sih – semua mau – kantor mau / bikin buku mau / anak banyak mau / sekolah terus mau hehehehee 👍🏼👍🏼👍🏼👏🏼👏🏼👏🏼”

mungkin pernyataan pertama “kantor mau” itu muncul dari observasi kawan saya ini bahwa saya sudah membuat studio Realrich Architecture Workshop (dikenal dengan nama RAW Architecture), dimana studio tersebut adalah tempat saya dan anak – anak saya bereksperimen. Kami berusaha untuk terus bereksplorasi, bertanya, dan mencoba mencari tahu mengenai kemungkinan – kemungkinan eksplorasi. Menurut saya yang menarik adalah membongkar kondisi kata “mau” sebagai predikat dan objectnya “kantor”.

Pernyataan kedua “bikin buku mau”, lebih kepada observasi kawan saya ini akan saya dan kawan – kawan sudah membuat beberapa buku di Omah Library, tempat dimana kami membuka wacana – wacana yang diskursif. Dimana buku – buku tersebut adalah hasil dari proses dialog – dialog yang ada, satu arah, dua arah, ataupun tiga arah, arah – arah tersebut ada di dalam perspektif orang yang lain yang dibangun dengan repetisi yang saling membangun.

Pernyataan ketiga “anak banyak mau”, berkaitan dengan kelahiran Heaven anak kami yang kedua (lihat artikel “Heavenrich Selamat Datang Surga”), setelah beberapa kali mencoba dan tidak kunjung berhasil. Disini mungkin perlu dilihat perjuangan Laurensia di dalam menahan suntikan demi suntikan, ataupun, proses – proses kehilangan buah hati kami yang membawa rasa syukur akhirnya Heaven lahir dan menjadi kesayangan kakaknya juga.

Pernyataan keempat “sekolah terus mau”, muncul dari observasi terhadap kemauan untuk bersekolah (saya coba balikkan kalimatnya). Hal ini dikaitkan dengan mungkin usaha mahasiswa untuk mendapatkan gelar S “3 (atau saya simpelnya berbicara kadang es tung tung)” dimana hal tersebut menjadi salah satu tolak ukur sebagai pengajar. Proses tersebut adalah proses menemukan diri, dengan membongkar tatanan dengan sistematis, dan menyusun ulang dengan sistematis. Bu Himasari berkata pada sebuah saat tatap muka, “S3 itu bukan proses problem solving, tapi proses menemukan ilmu baru dengan pembacaan obyek yang diteliti.”

Saya merefleksikan darimana saya mendapatkan kondisi pemikiran untuk mau bersekolah kembali untuk meneguhkan kemauan diri supaya bisa berjalan sampai selesai (titik). Mungkin saya mencari sebuah oase perhentian, tempat untuk berpikir, berhenti sejenak, dan tempat untuk menilai, mendiskusikan, menambal, dan mengikis jelaga dari apa yang sudah dipikirkan, lakukan, rasakan. Mungkin manusia itu sebenarnya hanya menjadi jembatan yang berkelindan di antara dirinya dan orang lain, lalu kalau ditanya maunya apa, “kita berbagi kondisi – kondisi yang sama, dan juga berbeda, namun dari kesamaan tersebut kita bisa berbagi tentang matahari dan bulan yang sama dan meninggalkan bayangan yang berbeda – beda.

Kawan saya yang lain di satu saat Johannes Adiyanto mengirimkan pesan,

“beberapa teman yg ty sy ttg s3, selalu sy tanya, mo ngapain s3? cr pamor, ato cari apa? klo sekedar sibuk dan demi karir dosen… siap2….siap2 sakit semua badan, krn yg dikejar gak terlihat mas,perlu dari dalam sendiri, lha jenengan skrg dalamnya adalah suwung dan pasrah, ini modal, tp perlu ‘api’, ya itu tadi… pertaruhkan semuanya….” – Johannes Adiyanto

Teringat dahulu di dalam perjalanan karir di negeri Kuda Besi (kawan saya, yang lama tidak saya jumpai Marissa Aviana menyebut), dimana keputusan diambil dengan pertaruhan. Dan saya pikir, banyak orang juga mempertaruhkan banyak keputusan – keputusan dalam hidup masing – masing, dan kondisi – kondisi yang memicu pertaruhan tersebut membuat kita sedang berbagi tentang matahari dan bulan yang sama dan meninggalkan bayangan yang berbeda – beda.

Ini adalah tulisan saya sebelumnya tentang berbagi jalan, yang saya lampirkan juga puisi dari Robert Frost sebagai tempat refleksi :

SETIAP MINGGU WANITA TERBAIKKU SELALU BERANGKAT KE KLINIKNYA, TERMASUK HARI SABTU PAGI.

“Dari hari senin sampai kamis ia harus ke puskesmas, dari pagi jam 6 pagi sampai jam 9 malam. juga hari jumat dan sabtu. Terkadang kemudian kita bercerita hal – hal yang biasa, namun selalu membuat hal – hal yang biasa menjadi luar biasa dengan tertawa. Ternyata kita masih bisa tersenyum dibalik kesibukan yang luar biasa…”

The Road Not Taken – Jalan yang tidak diambil.

“Dua jalan bercabang dalam remang hutan kehidupan,

Dan sayang aku tidak bisa menempuh keduanya

Dan sebagai pengembara, aku berdiri lama

Dan memandang ke salah satu jalan sejauh aku bisa

Ke mana arahnya mengarah di balik semak belukar

Kemudian aku memandang yang jalan yang lain, sama bagusnya,

Dan mungkin malah lebih bagus,

Karena jalan itu segar dan mengundang

Meskipun tapak yang telah melewatinya

Juga telah merundukkan rerumputannya

Dan pagi itu keduanya sama – sama membentang

Di bawah hamparan dedaunan rontok yang belum terusik.

Oh kusimpan jalan pertama untuk kali lain!

Meski tahu semua jalan berkaitan

Aku ragu akan pernah kembali

Aku akan menuturkannya sambil mendesah

Suatu saat berabad – abad mendatang;

Dua jalan bercabang di hutan, dan aku,…

Aku menempuh jalan yang jarang dilalui,

Dan itu mengubah Segalanya.”Robert Frost [1916]

Dan seketika saya, tersadar, ternyata masih ada pernyataan terakhir dari kawan saya satu lagi itu yang mungkin memiliki presumsi, menyisakan Pernyataan kelima “hehehehee 👍🏼👍🏼👍🏼👏🏼👏🏼👏🏼” yang saya anggap sikap sebagai kawan dan dukungan untuk perjalanan yang akan dimulai, dengan gestur terkekeh – kekeh.

dan memang hal itu mengubah segalanya, menjadi begitu menyenangkan :) .

lalu,

“Dang Dut Time !” mumpung sepi ngga ada yang liat, hi hi. Ayo jalan, ga usah dipikirin kaya ngga ada kerjaan aja.

Es lilin adalah makanan penyegar berupa es dengan batang kayu sebagai alat untuk dipegang.Hal ini seperti permisalan seperti es (S) 1, es (S) 2, es (S) 3. sebuah bentuk yang baku seperti lilin yang dicetak siap untuk disajikan. Ia bisa mencair, yang dinikmati bersama sesuai selera. bisa jadi semakin ditambah S nya akan semakin membeku mulut kita, atau apabila dinikmati perlahan – lahan, rasa beku tersebut akan melumer dan nikmat dimulut lengkap dengan jus jeruk, durian, nangka, stroberi, kopyor, atau yang lainnya sesuai selera) yang diberi batang kayu lalu dibekukan.
Kategori
blog

Edy Bahtiar – Tat Twam Asi, Dia adalah Aku, dan Aku adalah Dia.


“Dalam tradisi lisan, Arsitek melibatkan semua entitas yg [di]hadir[kan]. Arsitek sbg koordinator atas semua entitas yg hadir.
Pdhl masing2 entitas punya tingkat pemahaman yg beda2 satu sama lain dalam menafsir (cerita) arsitektur yg sama. Bagaimana menghadirkan keutuhan & kesatuan arsitektur, shg arsitektur bs diibaratkan sebagai orkestrasi yg terpadu antar masing2 entitas … memainkan improvisasinya masing2.” – Pudji P Wismantara

Kalimat di atas di atas dilontakan dari Pak Pudji P Wismantara mengenai cerita di dalam sesi presentasi mengenai Cerita Nusantara yang dibawakan oleh Anas Hidayat.

Dari diskusi yang terjadi sebenarnya yang dibahas adalah adalah soal dialog di dalam melihat berbagai pandangan, Arsitektur seperti karya sastra, bukan menulis karya ilmiah, menulis hal – hal yang konotatif ataupun denotatif, menulis simbol – simbol yang harus diisi, dan menjadi proses berkarya yang hidup. Hal inilah yang kemarin dibicarakan oleh Johannes Adiyanto soal dialog, ia mengelaborasi ini kedalam bentuk Trialog.

Cerita Pak Eddy Bahtiar tentang prosesnya di dalam The Guild, Guha, dan Mekarwangi

Edy Bahtiar yang saya kenal adalah seseorang yang telah banyak membantu saya sejak pembangunan rumah Istakagrha, Mekarwangi, sampai ke proyek The Guild – Guha. Video ini adalah arsip untuk proses ketukangan yang sedang dijalankan di dalam studio di rentang tahun 2016 – 2017 – 2018 (tengah). Sekarang proses ini masih berjalan.

Data ini sebenarnya bertujuan untuk mendengarkan suara langsung dari dimensi tukang. Ada persepsi – persepsi yang khas dengan persepsi langsung dari Edy. Di dalam proses pembangunan, seluruh hasil memerlukan pertimbangan matang, terukur, dan pertimbangan dari insinyur struktur, MEP, dan saya sendiri untuk sebuah eksperimen arsitektur. Sebagai arsip data – data ini dibutuhkan oleh kawan saya Johannes Adiyanto yang menyusun sebuah konstelasi yang dinamakan Alfa menuju Omega, sebuah Trialogi Praksis.

Ini babak – babak yang ada di dalam video :

00.10 – Sebelum pak Eddy bergabung

07.30 – Cerita membuat 3 bentuk piramida – tumpang sari

12.20 – Tantangan demi tantangan

19.30 – Clue Catenary (membentuk pintu lengkung)

24.30 – Proses hampir selesai – 99 % proses bersama – sama 3

3.50 – Sebuah kemungkinan

Kita kembali ke diskusi Cerita Nusantara, saya ingat, Mas Nurudin pun menyambut dengan pernyataan tentang dialog di diskusi tersebut

“Arsitek mungkin bisa diibaratkan memberikan cerita awal. Barulah dari cerita awal tersebut masukan2 muncul terkait cerita itu. Tanpa cerita itu mungkin tidak ada dialog dan masukan. Seperti ngobrol di angkringan itu. Arsitek bisa menjadi “pemantik” obrolan. Arsitektur tidak mendominasi tapi justru membuka obrolan. cair sifatnya
kalau digital saya bayangkan mirip wikipedia. cair. terbuka. semua boleh ikut edit. Hanya saja mungkin yang perlu dipikirkan bagaimana menjaga akurasi informasi di era digital yang sangat masif arus informasinya (?)” – Nurudin

Kehidupan di dalam proyek cukup kompleks, dengan setiap orang memiliki posisi masing – masing, posisi arsitek, tukang, klien, kritikus, tukang, tetangga, dan begitu banyak posisi – posisi yang lain.

Aku adalah dia dia adalah aku, Prof. Oka Sarasvati membahas ini di dalam dialog di dalam bentuk tattwamasi. Tat twam asi berarti “itu adalah kau”. “Kau” di sini mengacu pada substrat yang tak lepas dari setiap individu. Hal tersebut bukanlah tubuh, pikiran, pancaindra, atau sesuatu yang dapat teramati. Hal tersebut adalah sesuatu yang paling dasar, jauh dari segala sifat keakuan. Dalam pengertian ini, “kau” berarti atman. Entitas yang dimaksud dengan kata “itu”, menurut Weda, adalah Brahman, realitas yang melampaui segala sesuatu yang terbatas. Intinya Tat twam asi adalah dia adalah aku, dan aku adalah dia.

Titik utamanya adalah adalah bagaimana membangun dialog yang saling merajut, seperti air yang mengalir.

Kemudian saya terkejut, ketika merasakan air mandi di satu hari di Mekarwangi-Piyandeling.

“dinginnnn”

Kategori
blog

RAW Architecture is Longlisted Emerging Architect in Dezeen 2020

Kami mendapatkan email dari Aisling Cowley dari Dezeen, tentang kabar baik untuk studio RAW Architecture. Jadi studio kami mendapatkan nominasi (long listed) berarti daftar panjang untuk arsitek yang “emerging”. yang berarti, baru muncul ( Emerging bisa berarti : becoming apparent or prominent.”established and emerging artists”).

Saya meminta anak – anak untuk menuliskan kesan – pesan di Studio. Ini pesan saya ke anak – anak sebagai harapan dan refleksi proses perjalanan kami, dan saya tuliskan disini dengan harapan untuk membangun kultur studio saling berdialog.

“Hi (guys)…tolong kasih pesan dan kesan ya, semoga bisa jadi harapan yang baik untuk proses yang terjadi.”

Ini satu dialog saya dengan Johannes Adiyanto,

“Realrich Sjarief : bagaimana bisa trialog, kalau dialog saja tidak pernah dilakukan
Jo Adiyanto: hahahaha…. bagaimana bercinta…. berkenalan saja antipati…..”

Paguyuban Spirit – I had learned that architecture is sacred, and is all about collaboration process. Our team consists of dedicated craftsmen, young designer, many of them are brothers, sisters, friends for life. None of these was of more use to me than the call for long lasting relationship. If any Outlier wished to be successful in his place, we helped them to rise, which all who were within hearing answered yes to the bright future of all of my fellow family. Then the nature will call of reciprocal rules, that every kind people deserve to be succesful, effort should be noted, and thanked for. It will be appreciated. That is the beautiful side of monumental architecture, that is creating memories for all of the people’s in.

Alifian adalah kepala studio RAW Architecture, dan ada beberapa orang yang juga memberikan kesan pesan tentang studio.

Alifian Kharisma – “kultur studio RAW tidak lepas dari karakteristik seorang kak rich. yang tangkas, mendidik, dan passionateful. dari ribuan jam sy di studio rasanya selalu ada hal baru menanti. ‘there is no problems if new one arrives every minute’. kutipan di ppt raw introduction yg selalu sy bacakan buat para staff baru dan anak magang. ini kesan saya yang pertama. Bekerja seperti belajar berenang, kadang dibimbing, kadang dilepas. kalau tenggelam ada yg ngangkat ke permukaan lagi. kak rich dan para senior itu mentor sy untuk berenang. kak rich pun masih belajar dengan guru dan tingkatan yg berbeda. seiring pengalaman, saya juga harus menjadi mentor untuk yg lebih muda. kesan yang kedua yaitu: setiap orang di studio ini punya kepribadian masing2 yg unik. punya skill skill yg tidak terduga, jago bola, musik, jago joget, jago kerajinan tangan, dll. orang orang datang dan pergi. mereka punya kesan masing2 bahkan untuk orang yg cuma punya waktu 1 hari di studio. 😆. dari sini saya bersyukur kenal macam macam orang.”

Fadiah – “26 September 2020 nanti tepat 4 tahun saya bergabung dengan RAW Architecture. Bukan waktu yang sebentar tapi juga masih sangat dini dalam berkarir di dunia arsitektur. Untuk saya pribadi, proses pendewasaan dan perubahan pola pikir saya banyak terjadi dalam masa-masa tersebut. Saya beruntung dipertemukan oleh teman-teman dengan karakter unik yang akhirnya banyak membuka pikiran saya. Dunia arsitektur sangat luas cakupannya. Dulu saya kira dengan saya tidak mahir dalam mendesain … saya tidak bisa melanjutkan karir saya di bidang arsitektur. Tapi setelah saya masuk …, saya menemukan kenyamanan dalam pola kerjanya. Menggambar detail, mencari solusi untuk lapangan, diskusi dengan principal sampai mandor, mengenal material, dll. Memperhatikan proses dalam mewujudkan bentuk dari gambar ke bentuk nyata di lapangan memberi kepuasan sendiri untuk saya, …”

Vivi Yani Santosa – “Bagi saya RAW itu studio yang besar dan hebat, bangga bisa termasuk di dalamnya. Besar karena bisa memberi impact kebanyak orang (tukang2, kami yang ada di studio, dan Kak Rich n fam) buat sama2 belajar dan memberikan apa yang terbaik dalam diri ke orang luar (klien, keluarga, org sekitar spt Bang Yus, ataupun org lain yang baca artikel dari RAW atau OMAH). Hebat karena ada proses give and take, bisa berusaha membuka lapangan pekerjaan buat banyak tukang, termasuk membuat koneksi ke kontraktor … jg sesuatu yg hebat karena jadi sama-sama belajar dan membuka diri ke orang lain untuk saling percaya. Pastinya RAW jauh dari sempurna tapi saya merasa ada proses berjalan ke arah yang lebih baik lagi dan itu baik :) Disini saya jg merasa bisa belajar untuk lebih berani mencoba banyak hal, menyuarakan ide / potensi diri, mendapat feedback, belajar untuk memiliki komunikasi yang baik (ke tukang, ke teman, ke kak Rich), dan keberanian untuk mengambil tanggung jawab lebih (karena apa yang dikerjakan pasti menyangkut ke orang berikutnya ataupun ke pekerjaan lapangan). Belajar juga kalau ada hal yang lebih fatal daripada kesalahan yaitu tidak mencoba atau malu bertanya…RAW harus terus maju tanpa memusingkan perkataan orang lain tapi mendengarkan saran yang membangun, jangan terlalu tergesa2 dalam semua hal, tp terus maju ke arah yang lebih baik…”

Thomas Andrean Santoso – “Hal yang paling berkesan selama di RAW adalah ruang untuk belajar. RAW adalah ruang untuk belajar mulai dari teknikal hingga hal mendasar yg bersifat attitude dan semangat.
Attitude dan semangat tersebut mulai dari semangat belajar, semangat kesejawatan, dan semua halnya untuk membuat karya yang semaksimal baik dan benar. Idealis memang, tapi itu yang saya rasa perlukan untuk bisa dikembangkan. Pesan untuk RAW dan OMAH untuk tetap semangat berbagi dengan insan arsitektur di Indonesia.”

Timbul Arianto- “Selama bekerja di RAW saya menemukan banyak sekali hal baru yang belum pernah sama sekali djalani, banyak insight baru, baik dari segi design maupun implementasi. RAW memberikan ruang dan memberikan kesempatan untuk seorang Freshgaduate seperti saya untuk dapat berkembang dan menemukan jati diri, mengenali diri. Bekerja di RAW melatih seorang individu untuk berfikir taktis mampu memilah-milah, mengenali, dan menyelesaikan masalah (problem) karna untuk mengenali masalah saja dibutuhkan knowledge yang cukup. Ekosistem yang terbentuk sekarang di RAW mengharuskan untuk setiap individu memiliki inisiatif dan berkapasitas besar, untuk saya sendiri hal ini cukup menarik dan menantang, melihat betapa dinamisnya jenis pekerjaan dan metode penyelesaiannya sehingga memunculkan berbagai excitement tertentu terlepas dari berbagai obstacle yang dihadapi. Saya sendiri menilai ini sangat baik jika boleh saya refleksikan terhadap diri saya untuk dapat berkembang dan memperoleh skill yang mumpuni, seperti belajar di sekolah favorit yang terus terpacu oleh diri sendiri yang terus berkontemplasi, berimajinasi dan berfantasi… saya sendiri yakin bahwa RAW banyak sekali berkontribusi terhadap pembentukan individu-individu yang sudah pernah dan sedang terlibat ikut serta dalam proses berkaryanya. segala yang baik akan terus dijalankan, dikembangkan, dan dilestarikan oleh setiap orang, …”

Riswanda Setyo Addino – “Hal yang menarik ketika ditempatkan pada kondisi lapangan yang dikatakan oleh orang Indonesia ‘tidak akan sama dengan teori’. Namun disini saya menemukan bahwa pendapat itu seharusnya mulai ditambahi ‘namun dengan teori yang fundamental kita bisa menata pikiran untuk menyelesaikan sebuah kasus secara rapi dan meminimalisir efek samping.’. Karena pada dasarnya yang menciptakan apa yang disebut sebagai ‘teori’ adalah praktisi juga namun dengan konteks yang berbeda. Namun konteks tersebut jika dirinci memiliki variable yang bisa jadi memiliki beberapa kesamaan dengan konteks yang kita hadapi. Sehingga ‘teori’ yang kita implementasikan nantinya hibridasi dari dua konteks, sehingga kita bisa mengatakannya sebagai ‘teori’ baru ke orang lain. Sehingga ‘teori’ tersebut sah-sah saja untuk digugat dan diuji dan pasti berbeda dengan situasi lainnya. Bisa jadi dari waktu, musim, insiden, kualitas manusia, tingkat referensi, dan tentunya teknologi…”

Agustin (Meimei) – “Beberapa hal yang didapat dari studio, yaitu saya belajar bagaimana untuk membuat keputusan, berkomunikasi dan berkoordinasi bersama tim, subkon, supplier, dan lainnya. Jujur lebih banyak pengalaman yang didapatkan di studio dibanding dengan di kampus. Untuk sistem yang sekarang dimana saya duduk di dekat kak Rich, awalnya membuat saya gugup. Tapi setelah mengalami, banyak hal yang malah membuat ekspektasi saya mental. Duduk di dekat kak Rich membuat masalah yang ada langsung terpecahkan. Memudahkan berdiskusi mengenai desain ataupun teknis. Saya juga dapat banyak pelajaran baru.”

Riko Yohanes – “RAW merupakan studio arsitektur yang progressif. Sebuah studio yang terus berkembang. Karenanya disini selalu terdapat ilmu-ilmu baru, sebuah tempat yang cocok untuk belajar menjadi seorang arsitek. Disini saya belajar tentang kemandirian dalam cara berpikir. Tentang bagaimana cara untuk tidak selalu disuapi dalam hal berpikir. Saya dituntut untuk memahami lebih dalam setiap permasalahan dan bagaimana men-solusikan setiap permasalahan secara mandiri yang kemudian di diskusikan bersama-sama dengan team. Sebuah kemandirian yang harus dimiliki setiap arsitek apabila inging menjalani petualangannya sendiri (memiliki biro sendiri).Selain itu saya belajar bagaimana membentuk mental saya sebagai arsitek. Bagaimana saya, seorang lulusan freshgraduate harus menginstruksi para pekerja di lapangan yang lebih tua puluhan tahun, dan seolah-olah menggurui mereka, sebuah hal yang aneh tetapi tetap harus dilaksanakan demi keberlangsungan proyek. Kemudian, dalam permasalahan di lapangan, saya dituntut untuk belajar tetap tenang dalam menghadapi situasi yang urgent sekalipun, dan bersikap profesional untuk menjaga sikologi klien, sehingga disini mental saya terus diasah dan menjadikan saya lebih dewasa sebagai seorang arsitek…”

Arlene – “Kegiatan2 seperti makan siang dan makan malam bersama benar2 membangun kerja sama tim yg baik. Lalu yang paling berkesan adalah acara omah bittersweet krn menencourage orang2 untuk lebih lagi berjuang dan bertahan di industri arsitektur…”

Khafid – “Pelajaran berkesan yang saya dapatkan di kantor yaitu Berhubung saya masuk di divisi MK dan sering banyak kelapangan jadi saya lumayan cukup tahu bangaimana proses awal pekerjaan struktur pondasi, kolom, balok hingga selesai. setelah itu selesai selanjutnya, lanjut masuk mulai pekerjaan finishing disinilah saya harap saya mendapatkan hal baru yang sebelumnya saya belum pernah dengan tetap mengikutinya sehingga pengetahuan saya bukan hanya tentang struktur saja akan tetapi proses dari awal hingga endingnya atau sampai finishing selesai complete.”

Muhammad Alim Hanafi – “Pertama-tama saya bersyukur bisa dapat kesempatan belajar dan berkontribusi di RAW. Saya sangat merasakan bagaimana di RAW tidak hanya dituntut untuk bekerja saja, tapi juga untuk berkembang pada setiap individunya. Ekosistem pembelajarannya cukup terasa, seperti seolah pada tiap individu tim design dan build tertuntut untuk belajar dan ‘mengajar’ sesama…”

Dan saya juga meminta tim Omah Library untuk mengisi harapan tersebut sebagai bagian dari keluarga besar.

Amelia Mega – “Selama sekitar 8 bulan berada di OMAH Library, saya mempelajari dan melakukan banyak hal yang baru. Dari menulis manuskrip, wawancara, membuat acara, promosi, serta materi kuliah. Hal-hal tersebut kemudian mempertemukan saya kepada pengetahuan-pengetahuan baru (paling tidak bagi saya), dan mengetahui berbagai perbincangan tentang arsitektur yang kini sedang terjadi. Kesadaran ini kemudian turut membentuk persepsi-persepsi personal saya terhadap arsitektur, arsitek, dan ilmu yang melingkupinya. Saya merasa senang dan berterima kasih dapat melalui proses tersebut, karena kurang-lebih seperti itu yang saya bayangkan akan didapatkan saat mendaftar di OMAH…”

Dimas Dwi Mukti Purwanto – “Selama belajar dan bekerja di Omah Library memberikan pengalaman yang sangat berkesan bagi saya pribadi karena tempat ini benar – benar mampu membentuk pola pikir baru yang lebih baik bagi saya. Terlebih terkait tentang bagaimana cara bekerja secara profesional dengan mengetahui dengan benar beban pekerjaan yang harus diprioritaskan. Selain itu saya juga menambah skill menulis dan menemukan skill baru yaitu tentang bagaiman meriset hingga sedikit mampu melihat konteks yang kemudian dapat menentukan bagaimana tindakan yang relevan melalui kegiatan menulis…”

arsitek profesional memiliki tugas-tugas dasar, yang merupakan praksis, pendekatan aksi reaksi antara metode desain dan refleksi atas metode tersebut. Ini disebut praksis. Seperti memainkan gamelan di atas denting tuts piano.

arsitek profesional memiliki tugas-tugas dasar, yang merupakan praksis, pendekatan aksi reaksi antara metode desain dan refleksi atas metode tersebut. Ini disebut praksis. Seperti memainkan gamelan di atas denting tuts piano. Karya Levi Gunardi dimainkan oleh Euginia S. Sandjaja “Little Gamelan”

“Cara kerja Model Praxis mengacu pada penjelasan Paulo Freire dimana terdapat aksi refleksi dan refleksi atas aksi.Titik tugas arsitek adalah bekerja secara eksploratif, puitis, dan mempersiapkan transfer ilmu kepada penerus kita, dunia yang indah bagi yang muda. arsitek.”

Praktik ini beroperasi berdasarkan konsep kontemplasi rahayu, yang diterjemahkan menjadi ‘harmoni. Ini berarti keadaan bebas dari prasangka dan ego, yang digunakan untuk memperoleh (secara paradoks) totalitas. Tiga prinsip dari konsep ini adalah: Memayu (membawa keindahan dan kedamaian ke dunia seseorang), Manunggal (percaya pada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri), dan Mudheng (memiliki kesadaran akan peran seseorang di alam semesta). Dalam menjawab pertanyaan kontemporer (saat ini) untuk melanjutkan semangat eksplorasi.

Semoga harapan – harapan yang baik dari anak – anak studio bisa terus dipertahankan, dan diwujudkan. Hal – hal yang patut untuk ditingkatkan bisa diperbaiki, Rahayu perlu dipraktekkan untuk menjadi jembatan yang baik.

Lalu Miracle datang berteriak

“paaaa lava is coming,

lets go together, hiding, let’s play.”

Kategori
blog

Batas Langit itu Dimana ?

Satu waktu saya bertemu dengan Pak Daniel dan Bu Lany untuk mendengarkan rencana mereka membangun satu galeri baru di Kemang. Pak Daniel pun mengundang saya untuk bertemu di Modena Experience Center di Kuningan. Saya kenal pak Daniel dari klien kami Pak Danny dan Pak Edhie. Dan, ternyata Bu Lany juga kenal dengan Pak Budiman, salah satu arsitek yang saya kagumi karena dedikasinya yang tulus dan mengingatkan satu saat di presentasinya di Omah. Hal itu saya masih ingat sampai sekarang,

Saya bertanya ke Pak Budiman, “Pak apa rahasianya, … untuk tidak pernah takut ?”

Ia menjawab “Realrich hidup itu cuma sekali, jalanilah kenapa takut ? … ” dan Pak Budiman mengingatkan.

“jangan lupa sembahyang…”

kehidupan yang cuma sekali, ini bisa diibaratkan anak kecil yang sedang menari – nari di antara bintang, Lagu komposisi dari Levi gunardi ini menggambarkan, jiwa anak – anak di dalam persona yang berkelindan di antara harapan – harapan. Begitupun arsitektur ada di dalam alam tegangan keinginan banyak pihak, klien, tim yang tidak kecil.

Dari perbincangan Pak Daniel , terlihat ada bangunan lama yang sudah ada di lokasi. Saya berpikir bahwa perlu untuk melihat apa yang sudah ada dan kemudian menggunakannya dengan cermat untuk melakukan penghematan. Saya membuat janji untuk berkunjung melihat lapangan jam 11 di hari Jumat, kebetulan hari itu hari libur, jadi saya kesana sendirian. Kami berdiskusi di lapangan. Setelah mengecek lokasi yang bebas dari banjir, melihat ketinggian bangunan, kemungkinan layout ruang, saya mengusulkan untuk mengecek struktur bangunan. Prosedur pertama adalah pengecekan material apa yang bisa dipertahankan, posisi kolom yang menjadi batasan, dan kualitas struktur yang bisa dilihat secara visual. Saya mengirimkan pesan ke beliau,

“Hallo pagi Pak Daniel,Pak Daniel masih ada data existing yang saya masih belum dapetin data eksisting kuda – kuda atap, saya memerlukan data tersebut untuk bisa membuat konsep dengan pertimbangan yang lebih terukur. Apa saya bisa melakukan pengecekan lokasi kembali untuk melihat kondisi kuda – kuda atap ? Kalau tidak bisa hari ini tidak apa – apa, mungkin juga saya perlu buka langit-langitnya untuk cek keadaan kuda – kuda.”

Di awal meeting saya meminta kawan saya, Anwar Susanto untuk melihat bagaimana struktur bangunannya. Dari situ teridentifikasi beberapa bagian yang patut untuk dibongkar ataupun di tambal / diperkuat.

Satu minggu kemudian kami bertemu kembali dan saya memberikan sketsa beserta analisa ruang dan sirkulasi. Ceritanya adalah bagaimana mengembalikan memori akan kemang yang intim, bersahaja dengan mengakomodasi fungsi galeri yang baru , menggunakan pencahayaan alami.

Maket yang diadakan untuk diskusi mengenai layout ruang, dan kemungkinan penggunaan desain atap yang baru. yang penting disini adalah hubungan massa bangunan lama dengan bangunan baru dibelakang.

Saya ingat meminta tim untuk melakukan beberapa percobaan untuk merubah atap dari yang paling eksperimental dengan membuka pertimbangan sudut utara selatan, dan menggunakan bentuk – bentuk platonis dan kurvilinear. Pembuatan maket dimaksudkan untuk mendapatkan komposisi yang berbeda – beda dengan mempertimbangkan komposisi, sudut matahari, program ruang di bawahnya, dan metafora bentuk (literal ataupun esensial).

Ini adalah bentuk lingkaran, yang pada akhrinya kita kerucutkan untuk menyaring sinar matahari yang masuk ke ruang pamer.
Bentuk ini adalah metafora dari bentuk topi dengan skylight dengan tujuan mengurangi sinar matahari langsung.
sampai ke penggunaan bentuk perisan dengan intervensi skylight. Dan struktur bangunanpun disederhanakan dengan mengangkat atap sehingga cahaya matahari masuk dengan tidak langsung ke ruang pamer.

Di dalam membenahi layout ruang, konsep desain disusun dengan logika bangunan core disisi belakang berbentuk tubular dan memiliki ramp di belakang, meskipun pada akhirnya berubah fungsi menjadi ruang serba guna karena dinilai mereka membutuhkan fleksibilitas ruang yang tertutup.

Bagian fasade merupakan secondary skin yang menutupi seluruh tampak depan bangunan eksisting. Dinding secondary skin ini terdiri dari susunan modul bata berlubang yang berdiri di atas struktur baja CNP dengan pondasi sendiri dan struktur tambahan yang menopang ke atap dak bangunan eksisting. Bahasa material bata ini diadopsi dari beberapa proyek sebelumnya yaitu sekolah alfa omega dengan tektonika dengan susunan solid-void yang diadopsi juga dari proyek istakagrha dan rumah Henry.Secara fungsional secondary skin ini menyaring cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan serta memberikan privasi.

Eksplorasi kulit bangunan pun dilakukan dari sudut pandang ekonomis, artistik, dan kemungkinan – kemungkinan inovasi yang baru.

Ada kemungkinan – kemungkinan perbincangan sejauh mana, Galeri bisa berkelanjutan dari sudut pandang ekonomi dengan melakukan perbandingan studi, ataupun fungsi ruang yang fleksibel yang terkait dengan Galeri dari Modena yang melibatkan interior desain. Dan kemudian riset sejarah pun dilakukan untuk mengetahui sejauh mana galeri ini relevan terhadap kehidupan Kemang.

Setelah itu , tender pun dilakukan untuk memilih kontraktor. Dan puji Tuhan proses konstruksi sudah dimulai. Inilah hasilnya, dan perjalanan pun masih panjang. Tunggu ya cerita selanjutnya. Ini foto bersama tim, minus pak Daniel dan bu Lany, semoga suatu saat kita bisa berfoto bersama untuk mengenang proses desain, dan bangunan yang didesain dan dibangun bersama – sama dengan kolaboratif.

Dari yang paling kiri adalah Alifian, Nathan, Bambang, saya sendiri, Eko Nuryanto, tim Kencana Sewu, Rizal.

Sebenarnya proyek ini memiliki rentang waktu yang panjang, lebih panjang dari kontraknya sendiri. Di dalam prosesnya, untuk tipe proyek seperti ini komposisi tim disesuaikan dengan kebutuhan proyek, dan momentum yang baik untuk arsitek-arsitek muda untuk belajar, setiap proyek adalah sebuah kesempatan untuk belajar, seperti dokter yang berhadapan dengan pasien baru, dan kasus baru.

Kemarin saya meminta anak – anak saya untuk menulis satu atau dua kesan, untuk mendapatkan kenangan bersama.

Alifian Kharisma Syahziar (Kepala Studio Desain) menulis “kesan saya untuk proyek kemang sejauh ini: pengalaman yg baru dengan realitas proyek yang seperti nya lebih komplit dr yang pernah sy jalani di studio dari segi stages. mulai site analysis, skematik, DD, tender drawing, for con drawing, perijinan, meeting mingguan, MoM. saya bisa bertemu banyak stakeholder seperti proyek manajer, qs, kontraktor, konsultan2 lain. …. menurut sy portfolio bagus untuk kita sebagai studio dan individu mengingat proses nya yg komplit dan proyek nya adalah proyek bangunan publik,….proyek semacam ini adalah kesempatan yg baik bagi siapapun untuk bisa merealisasikan apa yg direncanakan dengan banyak pelajaran. proses desain yang cukup dalam, interaksi dgn orang luar lingkup raw, mensinkronkan pikiran, professionalitas, menguji kesabaran. 😁”

Dini Aghnia (Designer in charge) menulis ” … proyek ini memberikan pengalaman dan pembelajaran yg banyak sekali terutama dari aspek koordinasi dgn pihak luar krn berkesempatan untuk turun langsung bertemu stakeholder2 dan menjalani proses meeting rutin. … terlibat di dalam proyek ini adalah pengalaman yg menyenangkan walau harus bersabar cukup panjang untuk menikmati hasilnya, seperti membesarkan bayi sedikit demi sedikit. Selama perjalanan di RAW sampai saat ini selalu membuahkan kesan tersendiri untuk saya pribadi ketika didelegasikan untuk meeting/mengawas ke lapangan … selalu menjadi satu satunya perempuan di lapangan dan yg paling muda di antara semua stakeholder lain 😅 ini menjadi tantangan tersendiri juga karena harus bisa bersosialisasi dengan bapak2, tukang2, bahkan saya sampai menjadi akrab dengan security di plaza indonesia dan menara global krn sering ke lapangan saat itu… Thank you atas kesempatan berceritanya semoga bisa memberi insight baru dan membawa manfaat kedepannya 🙏 u “

Cerita di dalam rapat – rapat selalu berkesan, mulai dari bertemu Pak Daniel pertama kali, dan juga Bu Lany beliau bertanya, bahwa apakah saya mengajar ? karena cara presentasi dan cara melihat permasalahan berbeda dari arsitek yang sering beliau temui. Sebenarnya melihat showroom beliau dan interior ataupun arsitekturnya saya sungguh tersanjung studio kami diberi kesempatan untuk mengerjakan desain Artspace ini. Satu waktu saya rapat dengan Pak Daniel, saat itu kami membawa maket – maket studi yang ada di penjelasan sebelum. Dan terus terang saya sudah kehabisan tenaga hari itu karena tidak tidur semalaman. Ketika baru saja rapat ditutup dan selesai setelah kita rapat beberapa jam. Bu Lany masuk dan beliau minta diceritakan hasil desainnya, kemudian saya mengulang kembali presentasi dan mencatat perubahan – perubahan, untuk mengkalibrasi keinginan beliau yang dituangkan ke dalam kebutuhan ruang. Meeting berlanjut kembali kira – kira 1.5 jam setelahnya. Lidah saya sebenarnya kelu, dan keringat dingin mulai menetes, saya pun gemetar karena energi saya sudah mulai habis. Saya mengerti bekerja memang membutuhkan ketekunan dan kesungguhan, memang hal ini yang membuat berkesan, sebuah proses untuk melakukan yang terbaik.

Saya teringat satu saat Bu Lany bercerita, saya mau pakai kitchen designer yang ini bukan yang itu. Saya tanya “kenapa bu ? “

Untuk saya pertanyaan ini penting karena saya bisa mengetahui cara pandang klien di dalam menilai desainer atau pun arsiteknya.

Ia pun bercerita bahwa ada sebuah proses yang panjang untuk menata ruang, mencocokkan pernik – pernik, berdialog dengan orang – orang misal siapa yang akan mengoperasikan bangunan, ini senua adalah detil – detil yang kompleks. Ia sering berkata “Ini bagus tapi belum maksimal.” Ia memiliki standar yang cukup mencengangkan di dalam penataan pernik – pernik. Bu Lany bilang,

proses ini panjang dan saya tidak mudah memilih orang, saya akan berjalan bersama orang yang bisa punya nafas panjang bukan pendek,…”

Dalam hati saya berpikir, “lalu apa ya”

Ia menambahkan “so, the sky is the limit, seperti kami memilih kamu Realrich.”

Saya kembali ke judul tulisan ini. “Jadi batas langit itu dimana ? ” pertanyaan itu yang menjadi judul tulisan diatas, mungkin hal itu dimulai dengan membentuk hubungan relasi yang sehat, dan itu dimulai dari kepercayaan dan apresiasi yang baik. Dari situ saya menutup laptop, bersyukur mengenai proses di studio yang panjang dan berkesan.

Seketika saya melihat Whatsapp terus berbunyi. Wanitaku tercintaku, Laurensia memanggil,

“Sudah makan belum yang ?”

Terlihat diatas sketsa bangunan yang didiskusikan pada awal desain, dan gambar dibawah adalah tampak bangunan yang ditutupi kulit bangunan yang menggunakan tektonika bata sebagai penutup. Visualisasi oleh : Enomu Visual
Diatas ini adalah desain setelah menyesuaikan terhadap desain baru pedestrian jalan di Kemang yang lebih terbuka. Visualisasi oleh : Enomu Visual
Eksplorasi kulit bangunan pun dilakukan dari sudut pandang ekonomis, artistik, dan kemungkinan – kemungkinan inovasi yang baru.
Ini hasil setelah penggodokan terhadap, optimalisasi konstruksi, optimalisasi fleksibilitas ruang yang diperlukan, biaya, dimana atap diangkat seringan mungkin dari ruang galeri. Hal ini juga mempertimbangkan kondisi termal di dalam ruangan.
Pak Daniel menunjuk yudha sebagai Interior, kami berdiskusi bahwa space galeri perlu untuk bisa fleksibel sebagai ekstensi showroom dari Modena atau membuka kemungkinan terhadap fungsi – fungsi lain.

Terima kasih Alifian Kharisma dan Dini Aghnia Lukman yang masih Work from Home untuk kerja kerasnya yang masih mau menemani di proses – proses panjang dari rubah, rubah dan rubah, dan juga ke beberapa orang yang terlibat sebelumnya. Bambang Ardi, Eko Nuryanto, Kencana Sewu, Tanto , Rizal, Gunawan, Yudhanarta, Yudha, Nathan. Juga Pak Daniel dan Bu Lany.

Visualisasi 3d tampak depan: Enomu Visual

Kategori
blog tulisan-wacana

Belenggu Kultural

Di dalam acara Nusantara kemarin, saya teringat saya melemparkan anekdot ke Eka mengenai,

“Ka itu Spirit 45 sebaiknya dibubarkan saja. Karena memang berbasis kepada acara tertentu, perjalanan ke Paris.”

Saya sendiri sudah tidak memiliki kepentingan disitu. Mungkin yang tersisa adalah pengembangan ide mengenai Le Corbusier bahwa kami pernah berziarah bersama. Apabila ada ide tentang pengembangan buku dan sebagainya, saya melihatnya sebagai ajang romantisme bahwa sejujurnya saya dahulu ingin supaya kami bertiga (Eka Swadiansa dan Andy Rahman) tetap berdialog dan tidak saling meninggalkan, dimana ini adalah ranah personal, bukan bisnis dan juga bukan misi tertentu.

Mempelajari sesuatu yang baru, seperti berada menelusuri tempat – tempat yang rahasia. Seperti metafora taman, “Secret Garden” yang indah, proses menelusurinya yang berkesan, setelah proses itu dilakukan, lalu sudah saatnya kita kenang lalu kita menelusuri taman – taman rahasia yang lain.

Sebagai sebuah grup, secara personal dulu Eka mengirimkan email ke saya untuk membentuk Spirit 45. Yang menarik bagi saya adalah ajakan untuk berkunjung ke karya Le Corbusier selain menyiapkan turunan dari Arsitektur Vernakular, dimana saya percaya bahwa apa yang digagas akan mampu memberikan wacana untuk kontemplasi kami di studio.

Arsitektur Vernakular adalah arsitektur dengan pendekatan perancangan yang biasa, menggunakan bahan yang dipakai sehari – hari, bentuk massa yang sederhana, kulit bangunan menggunakan kekriyaan lokal, penggunaan layout yang platonis, dan juga sistem MEP, pemanfaatan energi dan air yang mudah didapatkan, tidak mahal. Ibaratnya lekat dengan kehidupan sehari – hari, kehidupan tanpa solek. Turunan ini sifatnya memang problematis, karena perlu menggali bagaimana sistem produk bekerja di dalam perancangan yang biasa.

Sarah Edwards menulis “Arsitektur vernakular, bentuk paling sederhana untuk memenuhi kebutuhan manusia, tampaknya dilupakan dalam arsitektur modern. …merangkul tradisi regionalisme dan bangunan budaya, mengingat bahwa pemikiran ini … terbukti hemat energi dan sepenuhnya berkelanjutan. Di era urbanisasi dan kemajuan teknologi yang pesat ini, masih banyak yang dapat dipelajari dari pengetahuan tradisional tentang konstruksi vernakular. Metode berteknologi rendah untuk membuat perumahan yang secara sempurna disesuaikan dengan lokasinya adalah brilian, karena ini adalah prinsip yang lebih sering diabaikan oleh arsitek yang ada.” lihat link

Disinilah ada irisan antara kami, karena memang ada irisan terhadap apa yang dipercayai, bahwa arsitektur seharusnya bisa diturunkan dengan pendekatan – pendekatan spesifik tertentu.

Meta-Vernacular adalah teori arsitektur turunan yang dibahas di buku putih Spirit 45, sebuah terminologi yang digagas oleh Swadiansa untuk irisan kami, saya hanya berperan kecil di dalam buku itu, ia menyapa dan kami masih berkawan baik sampai sekarang. Di ranah profesionalitas bisa saja kami tidak sependapat namun tidak akan bertengkar secara personal. Ia pun masih berproses, dan saya mendukungnya secara personal. Ia melanjutkan kemudian dengan merajut Spirit 47. Teori seperti yang dibahas oleh Undi Gunawan adalah sebuah cara memandang, Meta Vernacular adalah turunan lebih lanjut daripada ranah vernakular sebagai aksi reaksi dari postmodernism. Saya sangat mendukung Eka di dalam menurunkan hal – hal ini, karena seseorang yang mengembangkan teori sangatlah jarang di Indonesia.

Setelah trip kami ke karya Corbusier di satu saat di kereta kembali ke Paris saya mengusulkan untuk membuat buku 0 dimana itu adalah buku awal mula, dan di hotel saya menelpon Anas Hidayat dari Perancis untuk memintanya menjadi penulis buku Andy Rahman karena saat itu saya sedang menulis beberapa buku dengan Anas Hidayat, dan saya pikir ia akan mudah berkerjasama dengan Andy selain ada kemungkinan kepentingan bisnis yang bisa baik untuk kedua belah pihak. Buku Nata Bata selesai, saya menantikan buku Static City dari Eka. Namun waktu dan jalan hidup berkata berbeda. Karena saya kehabisan waktu menunggu dan Eka memiliki momentum untuk mengembangkan hal yang lain.

Saya memiliki ide untuk menerbitkan beberapa hasil riset kami berupa buku – buku saya tulis beserta kawan – kawan di Omah Library, juga Anas Hidayat, dan Johannes Adiyanto hanya karena saya merasa dekat, dan ada teman seperjalanan, tidak kurang dan tidak lebih, alasannya pun cukup personal. Setahun setelahnya, saya merefleksikan kembali, banyak yang sudah dilakukan, dan didiskusikan. Bahwa ada yang tidak sejalan itu normal ataupun semuanya yang sejalan itu pun juga wajar – wajar saja, dan hubungan personal akan baik – baik saja di antara kami.

Kemudian apa yang saya takutkan bahwa Spirit 45 sebagai alat untuk agenda-agenda personal tertentu (bisnis, ketenaran, dan ambisi pribadi tertentu termasuk saya sendiri), dan saya memang pernah dan sudah jadi bagian disitu. Suka atau tidak suka disclaimer diperlukan untuk menjaga hubungan antarpersonal yang lain.

Sementara bola sudah bergulir,

jadi bagaimana ?

“Eh jangan mas, di-peti es kan saja, sampai satu saat cair kembali, atau beku selamanya.”

Satu saat kawan saya bergumam. Bisa ya ? karena sekali bergulir tidak bisa kembali itulah namanya Snowball Effect, ataupun hal tersebut sering dibahas di dalam terminologi perubahan iklim (climate change).

lalu apa. Minggir ae lah ya, ke ladang membajak sawah, berproduksi dan berhenti dan kemudian berteriak – teriak “kerja – kerja – kerja.”

Sejenak saya sadar dan bangun, bahwa belenggu kultural tercipta kembali, setiap orang punya peperangannya sendiri dan kontemplasinya sendiri, dan itu sah – sah saja. Belenggu kultural akan muncul apabila apa yang kita proyeksikan menjadi kenyataan dan hasilnya pun kita tidak akan bisa tebak arahnya kemana. Ada yang menggelinding ke ranah bisnis, ada juga ke ranah misi tertentu, ada juga ke ranah yang personal. Bola saljunya pecah ke segala arah.

Sejenak saya ingat cerita Phytagoras dimana ia harus memilih antara permainan publik, politik, permainan ketenaran dan kuasa untuk menang atau paling mudahnya, hegemoni. Seperti yang dikutip dari Simon Singh


“Kehidupan… mungkin bisa diperbandingkan dengan sebuah permainan di dalam keramaian. Beberapa orang tertarik dengan seberapa ia bisa memperoleh keuntungan, sementara yang lain tertarik oleh harapan dan ambisi akan ketenaran dan kemenangan. Tapi di antara mereka, ada beberapa yang datang hanya mengamati dan memahami semua yang terjadi di kerumunan dan lalu lalang disini.”

“Sama juga dengan kehidupan. Beberapa orang terpengaruh akan cinta akan harta dimana yang lain buta akan kekuasaan, dan keinginan untuk mendominasi. tetapi tipe manusia yang terbaik memberikan dirinya untuk menemukan arti dan tujuan kehidupan. Ia akan mencari untuk mengungkap rahasia kehidupan. Orang ini yang saya sebut, filsuf, meskipun tidak ada orang yang sepenuhnya bijaksana, ia bisa mencintai kebijaksanaan akan sebuah kunci untuk memahami rahasia alam.”

Tiba – tiba ada suara hangat kembali menyapa. Kali ini disertai dengan sentuhan halus.

“Kerja Kerja Kerja, Bangun!”

Lalu saya bangun dari mimpi, muka Miracle tepat di depan saya, Heavenpun menangis dan sepertinya semua baik – baik saja, tidak terlihat bola salju yang besar itu, mungkin saya sedang berhalusinasi.